1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang mengalami pemisahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun
minuman bagi konsumsi manusia (Saparinto dan Hidayati, 2006). Pangan sudah
mengalami pemisahan bagian-bagian dari karkas hewan utuh sehingga jenis
hewan asal pangan tersebut tidak dapat diketahui secara kasat mata. Hal ini
menyebabkan konsumen tidak dapat menentukan perbedaan asal pangan,
melainkan hanya mengandalkan kepercayaan terhadap produsen pangan.
Ketidakjujuran produsen pangan inilah yang kemudian mengancam jaminan
keamanan pangan yang beredar di pasaran.
Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk pencegahan pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan bahan lain
yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia
(Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004). Pemerintah menetapkan pedoman
‘aman, sehat, utuh dan halal’ (ASUH) sebagai keamanan daging. Aman berarti tidak
menimbulkan penyakit, sehat berarti berguna bagi kesehatan, utuh berarti tidak
dikurangi atau dicampur dengan yang bukan semestinya, dan halal berarti sesuai
dengan syariat agama Islam. Pangan halal didefinisikan sebagai bahan pangan yang
tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat
1
2
Islam serta pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam (Departemen
Agama Republik Indonesia, 2001).
Media massa elektronik sudah cukup sering menayangkan produk
makanan yang berasal dari daging untuk konsumsi manusia dengan sengaja
dicampur atau bahkan diganti dengan daging spesies lain. Bukan hanya sekedar
rumor, tim investigasi dari sebuah acara televisi biasanya mendatangi dan
mewawancarai langsung salah satu pelaku pemalsuan. Hal ini menunjukkan
bahwa pelaku tidak melakukan tindak ini seorang diri tetapi aktivitas pemalsuan
ini cukup meluas dan dianggap sah oleh beberapa pelaku usaha. Pemalsuan
dengan bahan dari spesies lain selain bahan asli dimaksudkan untuk menghasilkan
produk akhir dengan harga yang relatif lebih murah (Hapsari dan Misrianti, 2007).
Pemalsuan daging tersebut dapat berupa pencampuran atau penggantian dengan
daging tikus, daging ayam, babi hutan maupun babi budidaya, daging kuda atau
campuran jenis lain. Kasus pemalsuan yang kini kian merebak di masyarakat
adalah pemalsuan dengan daging tikus, terutama pada pangan olahan bakso.
Daging tikus tidak lazim untuk dikonsumsi masyarakat terutama di Indonesia
karena merupakan hewan yang diharamkan menurut syariat Islam. Selain itu tikus
merupakan salah satu sumber zoonosis bagi manusia, meskipun kasus keracunan
makanan karena memakan daging tikus belum pernah dilaporkan. Namun
dikarenakan asal-usul tikus yang digunakan sebagai sumber daging tidak diketahui
dengan jelas, maka akan sangat berbahaya apabila dikonsumsi oleh manusia karena
dapat saja membawa penyakit zoonosis berbahaya, memiliki kandungan racun tikus,
residu obat dari tikus percobaan laboratorium, ataupun zat toksik lainnya yang dapat
menganggu kesehatan manusia.
3
Tindak pemalsuan dengan daging tikus bertentangan dengan daging ASUH.
Daging tikus tidak aman karena tikus merupakan sumber berbagai penyakit
berbahaya seperti salmonellosis, Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS), Lassa
Fever, toksoplasmosis, leptospirosis, plague, dan tularemia (Center for Disease
Control and Prevention, 2011). Daging tikus belum diketahui aspek sehatnya untuk
konsumsi manusia karena secara ilmiah daging tikus belum diketahui memiliki
manfaat khusus bagi kesehatan. Daging tikus tidak halal karena bukan termasuk
hewan yang halal untuk disembelih menurut syariat agama Islam.
Istilah “tikus” itu sendiri menimbulkan kerancuan karena semua hewan
dari famili Muridae seringkali dianggap sebagai satu spesies tikus yang sama.
Penampilan fisik yang sama, terutama pada genus Rattus dan Mus, dapat
menimbulkan kesalahan pendeteksian sehingga hal ini penting untuk diperhatikan.
Perbedaan spesies tikus memberikan hasil yang berbeda pula dalam penelitian
untuk mendeteksi tindak pemalsuan pangan.
Seiring perkembangan teknologi yang pesat, kini banyak metode baru
yang dapat diaplikasikan untuk deteksi pemalsuan pangan. Metode yang
digunakan pada dasarnya dapat dilakukan berdasarkan pendeteksian protein atau
DNA yang terdapat pada pangan. Contoh metode teknik identifikasi berdasar
protein yang sering digunakan yakni isoelectric focussing (IEF), immunoassays
(ELISA, immunostrip) (Janosi, 2006), immunological testing, analisis isoenzim
(Ono et al., 2007), immunochemistry, analisis protein dengan elektroforesis
(Lenstra et al., 2001), dan imunodifusi ganda (Dewi, 2011).
Namun metode-metode tersebut memiliki kekurangan untuk identifikasi
spesies pada produk pangan, yakni teknik IEF tidak cocok untuk mendeteksi
4
daging yang telah mengalami pemrosesan karena protein telah terdegradasi.
Teknik immunoassays dapat mendeteksi protein yang telah mengalami pemanasan
namun keberadaan antibodi yang bebas dari reaksi silang jumlahnya terbatas
sehingga pendeteksian cukup sulit. Teknik immunological testing membutuhkan
antibodi spesies-spesifik. Teknik analisis isoenzim membutuhkan reagen dan
peralatan khusus yang komplikatif (Ono et al., 2007). Metode immunochemistry
dan analisis protein dengan elektroforesis tidak dapat menganalisis produk pangan
yang telah dipanaskan hingga lebih dari 120oC (Lenstra et al., 2001). Sementara
metode imunodifusi kurang optimal apabila digunakan untuk sampel yang telah
mengalami perlakuan lebih lanjut seperti proses pemanasan (Dewi, 2011).
Metode identifikasi asal spesies berdasar Deoxyribonucleic Acids (DNA)
lebih sering dipilih daripada metode identifikasi berdasar protein karena DNA
cukup stabil pada kondisi temperatur yang tinggi, tekanan dan perlakuan kimia
(Saez et al., 2003, Hsieh et al., 2007, Kesmen et al., 2007). Metode identifikasi
berdasar DNA diantaranya adalah hibridisasi DNA (Broadman dan Moor, 2003;
Saez et al., 2004; Sawyer et al., 2003; Guoli et al., 1999), chromosome-typing
(Ono et al., 2007), sodium dodecyl sulfate polyacrylamid gel electrophoresis (Dewi,
2011) dan polymerase chain reaction (PCR).
Metode-metode tersebut juga memiliki kekurangan, yakni teknik
hibridisasi DNA memiliki kompleksitas dan harga yang cukup tinggi (Matsunaga
et al., 1999; Meyer et al., 1994; Meyer et al., 1995), teknik chromosome-typing
membutuhkan kemampuan intra personal yang sangat tinggi (Ono et al., 2007),
5
dan teknik sodium dodecyl sulfate polyacrylamid gel electrophoresis kurang optimal
bagi sampel yang telah mengalami pemanasan (Dewi, 2011).
Metode yang kini terkenal sangat akurat, cepat, mudah digunakan, dan
dapat menentukan spesies asal pangan yakni metode Polymerase Chain Reaction
(PCR) (Aguado et al., 2001; Ilhak dan Arslan, 2007). Selain itu, teknik PCR ini
dapat dilakukan meski sampel yang digunakan berjumlah sedikit ataupun
berukuran sangat kecil. Deoxyribonucleic acid (DNA) yang berada pada sampel
kemudian dapat dilipatgandakan jumlahnya dan hasilnya dilihat sebagai pita yang
jelas (Ilhak dan Arslan, 2007). Penggunaan teknik PCR pada kasus pemalsuan
pangan pernah dilakukan pada pendeteksian daging kucing, anjing, babi, ayam,
sapi, domba dewasa dan kuda pada pangan maupun produk pangan (Martin et al.,
2007; Tanabe et al., 2007).
Kebanyakan dari penelitian yang menggunakan teknik PCR menggunakan
DNA mitokondria sebagai target karena memiliki jumlah beberapa kali lipat lebih
banyak daripada DNA nukleus (Wertz, 2000). Pada DNA mitokondria, gen-gen
yang paling sering digunakan sebagai penanda jenis hewan atau daging di
antaranya adalah sitokrom b (cyt b), ribosom RNA subunit 12S dan 16S, serta
daerah displacement loop (D-loop) (Primasari, 2011). Adanya variasi urutan pada
ribosom RNA subunit 16S menyebabkan gen ini dapat digunakan sebagai
penanda untuk membedakan material yang berasal dari jenis hewan yang berbeda.
Pada penelitian, teknik PCR diaplikasikan untuk mendeteksi daging tikus.
Jenis tikus yang biasanya digunakan pada pemalsuan daging yakni tikus rumah,
tikus laboratorium, dan mencit. Deoxyribonucleic Acids mitokondria gen ribosom
6
RNA subunit 16S spesifik untuk tikus (rat) akan digunakan sebagai target
spesifik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui penggunaan teknik PCR
sebagai pendeteksi daging tikus pangan olahan bakso secara laboratorium.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
cara mendeteksi keberadaan daging tikus pada pangan olahan seperti bakso
sehingga konsumen merasa aman dan tidak dirugikan dari tindak pemalsuan.
Download