1 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Tinjauan Umum
2.1.1
Definisi Gereja
Dalam Alkitab pada Efesus 1:22-23 dinyatakan bahwa : “Dan segala
sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikanNya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah
tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.”
Dalam arti singkat yakni Gereja adalah Tubuh Kristus.
Stroik (2000) mengatakan bahwa Gereja memiliki beberapa arti yakni
:
- Arti pertama ialah “umat” atau lebih tepat persekutuan orang Kristen.
Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja
pertama-tama bukan sebuah gedung.
- Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat
Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel,
atau pun tempat rekreasi. Jadi, tidak melulu mesti di sebuah gedung
khusus ibadah.
- Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen.
Misalkan Gereja Katolik, Gereja Protestan, dll.
- Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab
Kristen. Misalkan kalimat “Gereja menentang perang Irak”.
- Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat
Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.
2.2
Tinjauan Khusus
2.2.1
Sakral dan Ruang Sakral
Menurut Hoffman (2010), sakral atau suci adalah pengalaman yang
aneh terkait agama dan pada dasarnya tidak rasional serta tak terlukiskan.
Dalam
arti
bahwa
benar-benar
berada
diluar
konsep.
Hoffman
mengidentifikasi tempat ibadah sebagai lokasi untuk mengalami kesakralan.
Ia menjelaskan bahwa mengalami kesakralan tidak bisa secara tegas
5
6
diajarkan, itu hanya dapat dibangkitkan dalam pikiran. Pemahaman ini perlu
untuk membangkitkan pengalaman spiritual yang terbukti berperan dalam
memahami hubungan arsitektur dan sakral. Sebagai bentuk yang “diam”
secara fisik, arsitektur tidak dapat mengajarkan secara langsung, tetapi dapat
memberikan penanda untuk membangkitkan kesadaran terhadap sakral itu
sendiri.
Menurut Eliade (1959), “every sacred space implies a 'hierophany',
an irruption of the sacred”. Eliade menjelaskan bahwa sebuah tempat disebut
sacred sebab kekuatan Ilahi (divine power) hadir di tempat itu, sehingga
kekuatan
Ilahi
pada
tempat
itu
menggerakkan
komunitas
untuk
mengorientasikan dirinya (secara vertikal dan horizontal) pada tempat
tersebut. Secara “vertikal” sacred space menciptakan spatial link antara
kekuatan di surga dengan manusia di dunia dengan segala problematika
hidupnya. Secara “horizontal” membagi dataran (landscape) menjadi area
sacred sebagai pusat dengan pinggiran yang profan; sehingga membentuk
hirarki kesucian ruang.
Menurut Walter (1988), ruang suci adalah lingkungan spesifik yang
mendukung imajinasi, memelihara pengalaman religius, dan menyampaikan
kebenaran agama. itu mengatur penglihatan dan suara, memperkenalkan
cahaya untuk menyajikan kejelasan dan ketertiban; atau membuat hal-hal
gelap untuk menunjukkan kehadiran tak terlihat dan kekuatan tersembunyi.
Kesimpulan dari beberapa pendapat mengenai sakral ini adalah sacred
space melekat pada pengalaman spiritual manusia dalam upayanya mencari
dan berelasi dengan Tuhan dan tidak dibatasi atau disekat sebagai milik
agama atau kepercayaan tertentu saja. Namun, meskipun sacred space adalah
universal dialami berbagai agama dan kepercayaan, masing-masing
kepercayaan dan agama memiliki “keunikan” atau “kekhasan” dalam sejarah
dan proses iman yang mendasari terbentuknya sacred space tersebut.
2.2.2 Karateristik Ruang Sakral
Menurut Hoffman (2010), ruang sakral dibagi kedalam tiga kategori
yakni architectural, archetypal, and atmospheric.

Architectural (Eksterior)
7
Gate
Gerbang menandai awal dari pengalaman spiritual dengan entri
definitif untuk zona suci. Di zaman kuno, ketika kota-kota baru dibentuk,
anggota pendiri daerah di ditentukan dan kemudian seremonial
mengerjakan alur besar untuk menentukan batas-batasnya. Tindakan ini
menandai wilayah suci.
Path
Jalan
merupakan
perjalanan
dari
inisiasi
transformasi.
Menyediakan cara untuk mendapatkan pengetahuan dan mungkin lebih
penting untuk membangkitkan kesadaran. Arsitektur memiliki kapasitas
untuk membingkai lingkungan dan menentukan urutan entri ritual.
Place
Tempat adalah tujuan, puncak dari perjalanan spiritual. Anthony
Lawler menyatakan pada tempat ini kontradiksi jalan dilampaui,
persatuan ditemukan, dan pemenuhan damai dicapai

Architectural (Interior)
Gate (Portal)
Portal menandai ruang ibadah dan menegaskan pengalaman
gerbang. Sebagai ambang ke tempat suci, pintu masuk melambangkan
transformasi spiritual. Desain pintu, yaitu ukuran, style, dan perangkat
keras, menandakan pentingnya ditempatkan pada transisi ini.
Path (Aisle)
Aisle dalam ruang ibadah bermakna sebagai proses masuk dari luar.
Bentuk yang dapat digunakan yakni linear, radial, melingkar (spiral), dan
menyebar. Banyak komunitas iman Kristen menggunakan keselarasan
aksial untuk menentukan jalur, seperti lorong pusat aksial sejajar
berpotongan dengan meja perjamuan atau altar dan pusat di pintu masuk
utama.
Place (Altar/Pulpit)
Titik tujuan dalam rumah ibadah bervariasi antar umat beragama,
praktek memfokuskan perhatian mendominasi desain interior rumah
8
ibadah itu sendiri. Altar atau mimbar dalam gereja merupakan tempat
kedudukan sakral.

Archetypal (Universal)
Earth
Representasi bumi memiliki banyak bentuk, termasuk bidang tanah
yang sebenarnya seperti kebun.
Air (Sky)
Representasi metafora dari langit paling sering dicapai melalui
kubah, skylight, jendela clerestory, atau perangkat lain untuk membuat
langit hadir di interior. Langit mewakili surga dan akhirat.
Water
Air mungkin merupakan elemen yang paling umum disusun
menjadi sulaman dari pencitraan keagamaan. Air melambangkan seluruh
alam semesta dari virtual. Sebuah simbol pembaharuan dan kelahiran
kembali, air direpresentasikan dalam sungai, kolam, dan danau.
Fire
Representasi fire diwujudkan melalui kerlip lilin di katedral.
Beberapa ibadah atau doa layanan dimulai tanpa pencahayaan lilin
upacara. Beberapa layanan khusus seperti berjaga Paskah di gereja-gereja
Katolik Roma dan Episkopal telah dilengkapi teknologi membangun api
unggun sebagai awal untuk ibadah.

Archetypal (Religious)
Axial pillar
Aksial pilar adalah bentuk paling umum dari menunjuk titik untuk
ritual sakral. Tampaknya menjadi cara kita sebagai manusia untuk
menunjuk ruang sakral, untuk mendirikan kembali dunia. Dengan
menandai pusat rotasi, kita memusatkan diri kita sendiri dan melihat
dunia seperti berputar di sekitar titik pusat.
Tree
Pohon memiliki akar yang diibaratkan sebagai neraka, batang
diibaratkan sebagai dunia ini, dan cabang-cabang diibaratkan langit ke
9
surga. Dengan demikian, seperti halnya pilar aksial, menjembatani semua
tiga dunia; seperti tangga Yakub turun dari langit dan menyediakan akses
ke surga.
Mountain
Simbol lain dari kenaikan-Nya ke surga adalah gunung suci.
Gunung menembus langit, dan gunung berada di atas awan, atau simbolis
para dewa. Bahkan udara menipis seolah-olah untuk menangkal campur
tangan manusia dalam bidang surgawi.
Stone
Dalam Kitab Kejadian, Yakub memiliki mimpi dimana ia melihat
malaikat turun dari surga dan dia dikunjungi oleh Allah, yang
memberikan kepadanya tanah di mana ia berdiam. Ketika ia terbangun, ia
menamai tempat itu Beth-el (Rumah Allah) dan menandainya dengan
batu dimana ia meletakkan kepalanya.

Archetypal (Geometric :Square, Circle, Triangle)
Robert Lawlor menulis, dalam studi yang luas mengenai geometri
sakral, “Dalam filsafat geometris lingkaran adalah simbol dari wujud
kesatuan, sementara persegi merupakan kesatuan seimbang, karena itu
untuk manifestasi.” Interaksi persegi dan lingkaran dipandang sebagai
menyimbolkan dialog antara manusia dan ilahi. Menempatkan lingkaran
dalam persegi, diyakini menandai tempat pertukaran ilahi manusia, di
mana Allah berbicara kepada umat manusia.”
Segitiga figur yang menonjol dalam ajaran Pythagoras, dan sejak
zaman kuno piramida telah dipercaya memiliki kekuatan suci. Dalam
simbolisme Kristen, segitiga berkonotasi trinitas Bapa, Anak, dan Roh
Kudus.

Atmospheric Ambiguities
Silence/Noise
Dengan ketenangan dari tempat kudus sebelum suara, musik, dan
lagu ibadah adalah contoh dari titik ini keberangkatan, ambang batas
untuk suci. Silence/Noise didefinisikan keheningan sebagai reaksi
10
spontan terhadap kehadiran numinus (perasaan dan keyakinan sesorang
terhadap adanya Yang Maha Kuasa, Yang Esa, Yang Kudus).
Darkness/Light
Pertukaran antara terang dan gelap juga menjadi kehadiran
numinus, atau interaksi yang efektif dari bayangan dan sinar matahari
yang dramatis. Para arsitek Inggris Peter Smithson dan Alison Smithson
yang terpesona dengan pentingnya bayangan dan sinar matahari ketika
ditugaskan untuk merancang sebuah masjid di Arab Saudi. Mereka
mencatat bahwa bayangan pada waktu tertentu hari memungkinkan
jamaah untuk pindah ke halaman masjid dan menggunakan area gelap
sebagai
perpanjangan
dari
ruang
ibadah,
bayangan
dasarnya
menguduskan tanah biasa.
Emptiness/Profusion
Kekurangan dan kelangkaan kontras dengan hiasan berlimpah dan
elemen ritmik. Gereja daerah Barat Daya yang memiliki interior
sederhana, namun jelas bertolak belakang dengan latar belakang altarnya
yang dilukis dengan ilustrasi yang dramatis.
Humility/Monumentality
Tampak kontradiksi ini digambarkan oleh ruangan besar, kokoh,
atau historis terkemuka yang menginspirasi kerendahan hati seolah-olah
berhadapan dengan kekuatan yang lebih tinggi. Secara fisik, memimpin
seperti tempat dimana Allah diam, ruang ini juga cukup rendah hati bagi
manusia untuk beribadah.
2.2.3 Sacred Space dalam ruang Gereja Katolik
Menurut Mc Namara (1998) berikut adalah arsitektur ruang gereja
katolik yang mengadopsi konsep “sacred space”.

Hirarki Sacred Space Gereja Katolik
Menurut Denis McNamara dalam bukunya Catholic Church Architecture
and the Spirit of the Liturgy, konsep tatanan ruang sacred space dalam
Arsitektur Gereja Katolik “mengadopsi” dari tatanan sacred space
Perjanjian Lama (Alkitab).
11
Gambar 2.1 Skema Perbandingan Hirarki Ruang Bait Allah Salomo dan
Gereja Katolik
Sumber: Catholic Church Architecture and the Spirit of the Liturgy (2009)
Pada bagian selanjutnya akan dibahas hirarki ruang dalam Gereja Katolik
yang secara mendasar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : (1) Narthex (Lesssacred); (2) Nave (sacred) dan (3) Sanctuary (most-sacred)

Narthex : Less Sacred
Narthex adalah area yang less-sacred berupa ruang yang panjang
dan “sempit” (jika dibandingkan dengan keseluruhan luas Gereja) berupa
teras tertutup beratap; melintasi seluruh lebar gereja di pintu masuk.
Narthex ini biasanya dipisahkan dari area nave dengan kolom atau
dinding.

Nave : Sacred
Nave sacred adalah bagian dari Gereja Katolik yang menempati
bagian tengah Gereja yang membentang dari pintu masuk (narthex) ke
transepts (jika Gereja berbentuk salib, yaitu lorong melintang melintasi
bagian tengah di depan tempat kudus) atau jika tidak ada transepts, ke
mimbar (daerah sekitar altar).

Sanctuary: Most Sacred
Sanctuary adalah bagian paling sacred dari Gereja Katolik.
Kesucian ruang ini ditandai dengan level yang lebih tinggi dibandngkan
level nave. Pada area Sanctuary ini diletakkan altar utama (jika ada altar
kecil yang lain, altar kecil diletakkan pada nave), Tabernakel dan Salib.
12
Area ini di Indonesia disebut dengan “Panti Imam” karena pada area ini
menjadi pusat (center) dari seluruh proses perayaan liturgi.

Tata Ruang dan Orientasi
Tata ruang Gereja Katolik, harus mengikuti tatanan hirarki ruang
sebagaimana sudah disinggung sebelumnya. Penataan hirarki tersebut
harus dengan pemahaman atas sacred furnitures pembentuk kualitas
sacred Gereja Katolik. Penataan elemen-elemen sacred furnitures
pembentuk sacred space haruslah membawa umat (imam maupun awam)
untuk terfokus pada pusat dari perayaan Liturgis Gereja. Beberapa butir
penting dalam General Instruction of The Roman Missal mengenai
penataan orientasi interior Gereja Katolik adalah sebagai berikut :

Tata ruang harus menunjukkan hirarki ruang (perbedaan tempat antara
kaum klerus, pelayan dan umat awam) namun serentak menunjukkan
adanya kesatuan

penataan
tempat
umat
di
area
nave,
harus
secara
visual
memungkinkan umat memandang imam sebagai pemimpin perayaan
Ekaristi di belakang altar atau ketika imam berdiri pada ambo.
Demikian juga umat harus bisa mendengarkan suara imam dengan
jelas sehingga bisa menanggapi imam dengan baik dalam jawabanjawaban upacara doa (participatio actuosa). Desain penataan di area
nave dalam relasinya dengan area sanctuary jangan sampai terjadi misalnya- ada kolom atau dinding yang menghalangi antara umat dan
area sanctuary, khususnya posisi altar dan imam.

Imam, diakon, dan pelayan-pelayan mengambil tempat di area
sanctuary (altar dan sekitarnya); dengan demikian maka disediakan
kursi bagi imam dan konselebran, diakon dan pelayan-pelayan lain.
Jika jumlah konselebran banyak, hendaknya tempat duduk mereka
diatur di bagian lain gereja, tetapi masih dekat dengan altar. Peletakan
kursi-kursi tersebut harus berorientasi pada altar di tengah area
sanctuary.

Area sanctuary haruslah diberi elevasi yang lebih tinggi daripada nave
agar area sanctuary lebih kelihatan secara visual dan tampil lebih
berwibawa.
13

Mengenai salib ditegaskan dalam General Instruction for The Roman
Missal no. 308, sebagai berikut : Salib juga mengambil posisi sentral
di area sanctuary dan harus jelas terlihat sebagai pusat orientasi di
samping altar; dengan demikian salib pasti dekat dengan altar.

Ambo -sebagai tempat sabda Allah diwartakan- ditegaskan juga
bahwa harus terlihat jelas oleh umat

Posisi penempatan kursi imam atau cathedra (untuk uskup) ialah
harus jelas nampak oleh umat di area nave. Jadi, posisi kursi imam
atau cathedra tidak diperkenankan membelakangi tabernakel.

Pada area nave, penataan bangku untuk umat ditata sedemikian rupa
sehingga tercapai kondisi orientasi dan fokus yang baik sebagaimana
diatur dalam General Instruction of Roman Missal no. 311.

Tabernakel harus ditempatkan pada tempat yang bisa dilihat secara
visual, sebagaimana dinyatakan dalam General Instruction of Roman
Missal no. 314

Ornamen Sebagai Sacred Symbol
Dalam General Instruction of The Roman Missal dinyatakan the places
and requisites for worship should be truly worthy and beautiful, signs
and symbols of heavenly realities. Dari pernyataan ini nampak jelas
bahwa Arsitek harus mencari dan menampilkan bentuk-bentuk simbolik
untuk menyatakan “heavenly realities” tersebut dalam desain Arsitektur
Gereja Katolik. Sacred images dalam Gereja Katolik ditampilkan dalam
bentuk frescoes, mosaik, ukiran kayu dan batu, lukisan icon dan kaca
patri (stained glass). Fungsi dari sacred images tersebut adalah: (1) untuk
memperingati orang kudus atau peristiwa tertentu; (2) membantu umat
untuk fokus dalam doa dan meditasi; (3) sebagai media pembelajaran
iman bagi anak-anak; (4) pewartaan isi Kitab Suci dalam media gambar.
2.2.4
Makna Cahaya Pada Gereja
Mangunwijaya (1995) mengatakan bahwa, Cahaya yang menembus
masuk ke dalam ruang merupakan lambang rahmat Tuhan yang menembus
kefanaan hidup manusia dan meneranginya dengan terang Ilahi. Alkitab
mengingatkan manusia tentang hubungan secara langsung Allah dengan tiga
14
pengalaman manusia : Allah adalah Roh, Allah adalah Kasih, Allah adalah
Terang.
Menurut Vitebsky (1997), Dalam alam raya objektif matahari adalah
simbol pusat, sumber terang dan hidup bagi manusia, sehingga cahaya yang
masuk ke dalam ruang ibadah gereja dapat diartikan sebagai simbol kehadiran
Kristus sebagai terang dunia, menghalau kegelapan di dunia, menyiratkan
harapan dan kebangkitan.
Menurut Dillistone (2002), terang mampu menghasilkan suatu efek
yang gaib, misterius dan keramat. Terang dapat mengisyaratkan, bahkan
menunjuk kepada, suatu sumber transenden atau kepada sifat meresapi yang
imanen, mengingatkan tentang pernyataanNya yang dramatis ‘Aku adalah
terang dunia’, menunjuk kepada sifat dasar perutusan Yesus dan kepada arti
penting hidup, wafat dan kebangkitanNya. Pendapat ini memperjelas bahwa
simbol matahari yang memancarkan sinar-sinarnya merupakan simbol yang
paling mengena untuk menyampaikan ajaran tentang Allah Tritunggal.
William M.C. Lam (2010) Mengatakan bahwa desain pencahayaan
alami di gereja-gereja yang mungkin selalu ditentukan oleh efek estetika dan
simbolisme agama bukan oleh pertimbangan energi atau kenyamanan termal.
2.2.5 Cahaya Alami
Cahaya alami merupakan cahaya yang didapatkan dari sinar matahari
secara langsung dari awal matahari terbit hingga terbenam (Satwiko, 2004).
Karlen (2007) mengatakan bahwa pencahayaan matahari adalah proses
lengkap dalam mendesain bangunan untuk memanfaatkan cahaya alami
secara maksimal. Hal itu meliputi aktifitas berikut:
1) Penempatan
bangunan,
yaitu
mengorientasikan
bangunan
untuk
memperoleh cahaya matahari secara optimal.
2) Pembentukan massa bangunan, menampilkan permukaan bangunan yang
secara optimum menghadap ke arah matahari.
3) Memilih bukaan bangunan yang memungkinkan jumlah cahaya yang
cukup masuk ke dalam bangunan, dengan memperhitungkan siklus
matahari,musim, dan cuaca.
15
4) Melindungi fasade dan bangunan dari radiasi matahari yang tidak
diinginkan.
5) Menambahkan peralatan pelindung yang tepat dan dapat diatur, seperti
kerai atau tirai, untuk memungkinkan penghuni bangunan untuk
mengontrol cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan.
6) Mendesain kontrol pencahayaan lampu listrik yang memungkinkan
penghematan energi dengan memanfaatkan cahaya matahari pada siang
hari.
Menurut
Darmasetiawan
dan
Puspakesuma
(1991)
dalam
merencanakan pencahayaan yang baik, ada 5 kriteria yang harus diperhatikan,
yaitu:
1) Kuantitas cahaya (lighting level) atau tingkat kuat penerangan
2) Distribusi kepadatan cahaya (luminance distribution)
3) Pembatasan agar cahaya tidak menyilaukan (limitation of glare)
4) Arah pencahayaan dan pembentukan bayangan (light directionality and
shadows)
5) Kondisi dan iklim ruang
6) Warna cahaya dan refleksi warna (light colour and colour rendering)
Ada beberapa alasan utama untuk mempertimbangkan cahaya alami
dalam bidang arsitektur (Robbins, 1986):
- Kualitas cahaya
- Pentingnya cahaya alami sebagai elemen desain
- View dari bukaan yang menyediakan komunikasi visual dari dalam
bangunan ke luar bangunan
- Penggunaan cahaya alami untuk area darurat (tangga darurat)
- Penghematan energi dan penghematan biaya energy
- Tidak ada perubahan biaya dalam konstruksi
- Manfaat psikologis dan fisiologis yang tidak bisa di dapatkan dengan
penggunaan lampu
Menurut William M.C.Lam (2010) :
“ the best use of sunlighting is not only to save energy and guard against
rising energy prices but, more important, to create more pleasant, delightful
16
luminous environment for the occupants. To achieve these objectives,
sunlighting must be given the highest priority.”
Yang dapat diartikan sebagai berikut, pemanfaatan cahaya matahari
yang terbaik bukanlah untuk menghemat energi dan menjaga agar biaya
penggunaan energi tidak meningkat, tetapi yang lebih penting adalah untuk
membuat lingkungan bercahaya yang terasa menyenangkan bagi penghuni.
Untuk mencapai tujuan tersebut pencahayaan alami harus dijadikan prioritas
tertinggi.
Strategi dasar pencahayaan alami menurut buku Heating, Cooling,
Lighting karya Norbert Lechner (2007) yaitu:
 Orientasi, orientasi terbaik adalah ke selatan dan utara, dan orientasi
terburuk adalah ke barat dan timur.
 Bentuk, bentuk bangunan tidak hanya ditentukan oleh kombinasi bukaan
horizontal dan vertikal, tetapi juga oleh berapa banyak area lantai yang
memiliki akses terhadap cahaya alami. Umumnya pada bangunan
bertingkat banyak, 15 kaki zona perimeter sepenuhnya mendapat cahaya
alami, dan 15 kaki di atasnya secara parsial.
 Gunakan bukaan terpisah untuk pemandangan dan pencahayaan alami.
Gunakan jendela tinggi, clerestory, atau skylight untuk pencahayaan alami
yang baik, dan gunakan jendela rendah untuk pemandangan.
 Warna, Interior dengan warna terang dapat mengurangi silau, bayangan
gelap dan rasio tingkat terang berlebih, dan juga dapat memantulkan
cahaya lebih jauh ke dalam ruang. Plafon harus memiliki faktor pemantul
semaksimal mungkin. Urutan tingkatan pentingnya permukaan pantulan
adalah plafon, dinding belakang, dinding samping, lantai, dan mebel kecil.
 Pencahayaan melalui atap, ada dua keuntungan bila menggunakan bukaan
horizontal yaitu: pertama, mereka membiarkan iluminasi tidak seragam
secara adil pada area interior yang sangat luas, sementara cahaya alami
dari jendela terbatas pada kedalaman 15 kaki, kedua, bukaan horizontal
juga menerima lebih banyak cahaya daripada bukaan vertikal. Berikut
adalah contoh bukaan pada atap.
17
Gambar 2.2 Berbagai Macam Kemungkinan Bukaan pada Atap untuk
Pencahayaan Alami
Sumber: Heating, Cooling, Lighting (1986)
 Perencanaan ruang, sangat menguntungkan untuk membawa cahaya ke
dalam interior.
2.2.6
Prinsip Cahaya
Lechner (2007) mengatakan bahwa bila cahaya melalui batas dua
media maka terdapat tiga peristiwa yang dapat terjadi yaitu:
1. Refleksi
Refleksi adalah peristiwa terpantulnya cahaya bila mengenai suatu
permukaan. Jumlah cahaya yang direfleksikan permukaan ditunjukkan
dengan besaran faktor refleksi (p) yaitu perbandingan fluks cahaya yang
dipantulkan dibandingkan dengan fluks cahaya yang diterima permukaan.
Terdapat berbagai macam refleksi yang tergantung pada sifat
permukaan yaitu:

Refleksi spekular
Refleksi spekular merupakan peristiwa khusus refleksi. Refleksi ini
mengikuti hukum Snellius yaitu sudut datang cahaya ɵi sama dengan
sudut pantul ɵm. Peristiwa ini terjadi pada permukaan rata dan datar
misalnya pada permukaan cermin. Peristiwa refleksi spekular dapat
dilihat pada Gambar 2.2
18
Gambar 2.3 Refleksi Spekular
Sumber: Heating, Cooling, Lighting (1986)

Refleksi menyebar
Refleksi menyebar merupakan peristiwa refleksi yang biasa terjadi.
Cahaya yang datang pada suatu permukaan akan dipantulkan secara
menyebar tetapi masih di sekitar sudut pantul bila terpantul secara
spekular. Peristiwa refleksi menyebar dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.4 Refleksi Menyebar
Sumber: Heating, Cooling, Lighting (1986)

Refleksi difus
Peristiwa refleksi ini terjadi pada permukaan yang kasar atau acak dan
dapat dilihat pada Gambar 2.4. Distribusi intensitas tidak harus sama
ke segala arah. Intensitas yang sama ke segala arah dapat terjadi bila
permukaan pada cahaya datang sangat acak.
Gambar 2.5 Refleksi Difus
Sumber: Heating, Cooling, Lighting (1986)
19
2. Absorbsi
Peristiwa absorbsi merupakan peristiwa terserapnya cahaya oleh suatu bahan.
Harga absortansi tergantung karakteristik bahan. Penyerapan cahaya oleh
bahan dapat lihat pada faktor absorbsi (α) bahan yaitu perbandingan fluks
cahaya yang diserap dengan fluks cahaya yang datang.
3. Transmisi
Transmisi adalah peristiwa penjalaran cahaya melewati suatu medium ke
medium yang lain. Cahaya akan mengalami pembiasan bila melewati medium
yang mempunyai indeks bias yang berbeda. Cahaya akan dibiaskan
mendekati garis normal bila memasuki medium dengan indeks bias lebih
tinggi dan akan menjauhi gans normal bila memasuki medium dengan indeks
bias lebih rendah. Pada peristiwa transmisi diperoleh faktor transmisi (t) yaitu
fluks cahaya yang ditransmisikan dibanding dengan fluks cahaya yang datang
pada bahan tersebut.
Macam transmisi:

Transmisi spekular
Transmisi spekular mengikuti hukum Snellius yaitu:
n1 sin ɵi = n2 sin ɵm
dengan
n1
= indeks bias medium 1
n2
= indeks bias medium 2
ɵi
= sudut datang cahaya
ɵm
= sudut bias cahaya
Transmisi spekular dapat dilihat pada Gambar 2.5
Gambar 2.6 Transmisi Spekular
Sumber: Heating, Cooling, Lighting (1986)
20
Bila cahaya datang dengan sudut �i1 akan dibiaskan mendekati garis
normal. Hal ini terjadi karena n2 > n1. Kemudian cahaya diteruskan dan
memasuki medium yang mempunyai indeks bias n3. Pada medium ini cahaya
dibiaskan menjauhi garis normal karena n3 < n2. Jika n1 = n3 maka ɵm2 =
ɵi. Transmisi spekular akan menghasilkan cahaya transmisi pada satu arah
tertentu tanpa mengalami penyebaran cahaya.

Transmisi menyebar
Cahaya transmisi yang terjadi tidak hanya pada satu arah tetapi
penyebarannya masih pada arah tertentu. Peristiwa ini dapat dilihat
pada Gambar 2.6
Gambar 2.7 Transmisi Menyebar
Sumber: Heating, Cooling, Lighting (1986)

Transmisi difus
Gambar 2.8 Transmisi Difus
Sumber: Heating, Cooling, Lighting (1986)
21
Transmisi difus dapat dilihat pada Gambar 2.8. Cahaya transmisi mempunyai
arah sebaran ke segala arah. Transmisi difus terjadi bila melewati batas
permukaan medium yang sangat acak.
2.2.7
Letak Sumber Cahaya
William M. C. Lam (1986) mengatakan bahwa bentuk bangunan dan
massa bangunan mempengaruhi bagaimana cara cahaya matahari dapat
masuk ke dalam bangunan. Bukaan bangunan adalah faktor utama dalam
element fasade yang membentuk komposisi tampak suatu bangunan, dan
bukaan tersebut menjadi faktor penting untuk membuat cahaya matahari
masuk ke dalam bangunan, salah satu contohnya adalah jendela.
Jendela dibagi menjadi tiga area yaitu rendah, tengah dan tinggi.
Untuk orientasi, sudut pemantulan cahaya dan bentuk langit-langit
diasumsikan sama dalam kasus ini.
1. Jendela Rendah
Jendela rendah menghasilkan bentuk pencahayaan yang paling merata
dengan mendistribusikan pantulan cahaya ke dalam bangunan. Namun
jendela rendah juga memiliki kekurangan: jendela rendah efektif bila
ditempatkan di dekat atau di bawah ketinggian mata manusia sehingga
memaksimalkan potensial silau untuk pekerjaan yang dilakukan di atas
meja. Ini bukan masalah untuk ruangan dengan tugas yang tidak spesifik
atau pekerjaan yang dapat diterangi dengan cahaya matahari. Dengan
menggunakan jendela rendah memungkinkan dinding bagian atas dan
langit-langit akan terkesan gelap. Hal tersebut dapat diatasi dengan
meminimalisir daerah depan dengan memiringkan langit-langit ke bawah
menuju kepala jendela dan meletakan jendela rendah berdekatan dengan
dinding tegak lurus.
Dari segi view, jendela rendah dapat memiliki view tergantung
besarnya jendela rendah tersebut, terlihat pada contoh gambar, dimana
gambar kedua dengan skala jendela rendah yang kecil ruangan tersebut
tidak memiliki view yang memuaskan.
22
Gambar 2.9 Jendela Rendah
Sumber : Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
2. Jendela Tinggi
Keuntungan dari jendela tinggi adalah menghasilkan penyebaran cahaya
terbaik saat langit mendung, selain itu jendela tinggi dapat menghasilkan
cahaya dengan tingkat privasi dan keamanan yang lebih baik dari jendela
lainnya.
Gambar 2.10 Jendela Tinggi
Sumber : Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
3. Jendela Tengah
Jendela tengah tidak sebaik jendela rendah dalam hal pendistribusian
cahaya dari pantulan tanah, dan tidak sebaik jendela tinggi dalam
pendistribusian cahaya dari langit mendung.
Gambar 2.11 Jendela Tengah
Sumber : Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
23
4. Cahaya Matahari Dari Atas Bangunan
Bukaan dari atas bangunan lebih efisien menjangkau area gelap dalam
bangunan daripada bukaan dari badan bangunan, namun dapat menyebabkan
panas berlebih karena masuknya cahaya langsung, hal tersebut dapat diatasi
dengan di buat area-area pemantul pada dinding bangunan agar cahaya yang
masuk tidak langsung.
Gambar 2.12 Bukaan dari Pinggir
Sumber : Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Selain memantulkan dari dinding samping bangunan, dapat juga
dipantulkan dari elemen estetika dalam bangunan, seperti sculpture dan
kolam.
Gambar 2.13 Contoh Skylight
Sumber : Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
24
Ada beberapa jenis bukaan atas yaitu:
Gambar 2.14 Pencahayaan dari Atas
Sumber : Sunlighting as Formgiver for Architecture (1986)
Keterangan:
1. Court, sebuah area terbuka keatas yang dikelilingi dinding bangunan.
2. Atrium, adalah bukaan atas pada bagian tengah ruangan atau bangunan yang
dibuka hingga atap.
3. Lightcourt, sebuah area kosong untuk memaksimalkan cahaya pada bangunan
yang berdekatan.
4. Litrium, sama seperti atrium namun bertujuan untuk memaksimalkan cahaya
pada bangunan yang berdekatan.
5. Lightwell, bukaan atas untuk menyalurkan cahaya alami pada area yang
berdekatan dengan melewati satu atau beberapa lantai dalam bangunan.
6. Pemberian elemen vertikal untuk memantulkan cahaya ke dalam bangunan.
2.3
Studi Banding
2.3.1 Gereja Katedral Jakarta
Gereja
Katedral
Jakarta (nama
resmi: Santa
Maria
Pelindung
Diangkat Ke Surga, (De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming)
adalah sebuah gereja katolik di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan
25
pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni
arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja
beberapa abad yang lalu.
Katedral yang kita kenal sekarang sesungguhnya bukanlah gedung gereja
yang asli di tempat itu, karena Katedral yang asli diresmikan pada Februari
1810, namun pada 27 Juli 1826 gedung Gereja itu terbakar bersama 180
rumah penduduk di sekitarnya. Lalu pada tanggal 31 Mei 1890 dalam cuaca
yang cerah, Gereja itu pun sempat roboh. (katedraljakarta, 2012)
Interior Gereja Katedral berdasarkan studi banding dan wawancara:

Ruang perantara
Ruang perantara pada gereja Katedral ini ruang transisi yang terdapat
area air suci, tempat warta ibadah, dan batu tulis sebagai media informasi
terdahulu mengenai pendiri gereja.

Panti Umat
Panti umat adalah area ibadah bagi para umat gereja katedral. Maksimal
umat yang tertampung adalah 800 orang. Pada tempat duduk umat
terdapat sandaran untuk berlutut sebagaimana sesuai dengan aktifitas
ibadah umat Katolik.

Ruang pengakuan dosa
Ruang yang dipergunakan untuk para umat yang ingin mengaku dosa dan
melakukan curahan hati di hadapan pastor. Dimana keberadaan ruang ini
sebagai salah satu sakramen dalam Katolik.

Pelataran imam
Pada pelataran imam terdapat altar, tempat duduk imam, tabernakel,
tempat duduk diakon, putri sakristi, lektor, mimbar. Pelataran imam pada
gereja katedral berada pada depan umat dan menjadi fokus umat ketika
ibadah.

Ruang Sakristi
Ruang sakristi di gereja katedral diperuntukkan untuk mempersiapkan
misa dan sebagai ruang ganti para liturgis gereja.

Goa Maria
Gua Maria adalah tempat ziarah khas umat Katolik, biasanya bangunan
utamanya dibentuk seperti gua tetapi ada juga yang berada pada gua alam
26
asli. Disebut gua Maria karena ditempatkannya patung Bunda Maria
ibunda Yesus pada gua tersebut. Tempat itu kemudian menjadi tempat
ziarah umat Katolik untuk mendekatkan diri pada Allah Pencipta yang
Maha Kuasa dengan berdoa melalui perantaraan Bunda Maria dan tentu
saja Yesus Kristus.

Gedung pastoran
Gedung pastoran pada katedral terdiri dari 2 lantai dimana lantai 1
difungsikan sebagai kantor (sekretariat, keuangan, ruang kerja imam,
ruang tamu, kapel, ruang rapat) dan lantai 2 difungsikan sebagai tempat
tinggal imam.

Gedung aula-aula
Gedung aula-aula ini terdiri dari aula-aula kecil dan besar. Ruang-ruang
aula kecil berfungsi sebagai ruang untuk ibadah anak-anak, ruang
pertemuan para komunitas internal gereja, ruang konferensi dll. Ruang
aula besar berfungsi sebagai tempat diadakannya acara-acara serbaguna,
seperti
aula
untuk
pernikahan,
pertunangan,
dan
acara-acara
kepemudaan.
Gereja katedral adalah gereja peninggalan zaman belanda. Desain
sangat kuat pada unsur gotik, dimana unsur gotik sangat terasa sekali kesan
sakralnya karena ornamen-ornamen yang ditawarkan serta kemegahan
bangunan yang menjulang tinggi. (katedraljakarta, 2012)
Dari sisi pencahayaan, katedral dominan menggunakan kaca patri yang
ditembuskan oleh cahaya.
27
Gambar
2.15 Pencahayaan pada Katedral
Sumber : Dokumentasi pribadi (2014)
Gereja katedral menjadi salah satu contoh penerapan masuknya cahaya ke
dalam gereja melalui sisi bangunan menggunakan kaca patri yang bercorak.
2.3.2
Gereja Notre Dame Ronchamp
Dalam komune Ronchamp, sedikit selatan dari timur dari Paris,
berdiri salah satu proyek yang paling tidak biasa Le Corbusier dalam
karirnya, Notre Dame du Ronchamp, atau lebih sering disebut sebagai
Ronchamp. Pada tahun 1950, Le Corbusier ditugaskan untuk merancang
sebuah gereja Katolik baru untuk menggantikan gereja sebelumnya yang telah
hancur selama Perang Dunia II.
28
Gambar 2.16 Eksterior Gereja
Sumber : archdaily.com diakses tanggal 4 April 2014
Corbusier ingin ruang yang bertujuan untuk meditatif dan reflektif.
Dinding putih dingin menambah mentalitas gereja ini bahwa ketika cahaya
masuk ke dalam kapel seperti menjadi dicuci. Efek cahaya membangkitkan
kualitas ekspresif dan emosional yang menciptakan sensasi tinggi selaras
dengan kegiatan keagamaan .
Gambar 2.17 Pencahayaan pada Notre Dame Ronchamp
Sumber : archdaily.com diakses tanggal 4 April 2014
Salah satu aspek
yang paling menarik dari desain ini adalah
penempatan lubang cahaya yang sporadis pada dinding. Dinding memiliki
29
ketebalan yang cukup tebal dan Le corbusier memainkan dimensi kecil ke
besar. Setiap dinding dilingkupi bentuk jendela yang berbeda-beda. Pada
dinding di belakang altar di kapel , efek pencahayaan menciptakan pola
berbintik-bintik , hampir seperti malam berbintang , bukaan jarang yang
dilengkapi dengan pembukaan yang lebih besar di atas salib yang
memancarkan banjir cahaya , menciptakan citra agama yang kuat sebagai
serta pengalaman transformatif . hal ini memberikan pengalaman tersendiri
bahwa cahaya dapat menciptakan lingkungan baru. (archdaily, 2014)
2.3.3
Church of the light
Di kota kecil Ibaraki, 25 km di luar Osaka, Jepang, berdiri salah satu
baangunan karya arsitektur Tadao Ando, Church of the light atau Gereja
terang. Gereja Terang mencakup kerangka filosofis Ando antara alam dan
arsitektur melalui cara di mana cahaya dapat menentukan dan menciptakan
persepsi ruang yang baru secara bersamaan. Selesai pada tahun 1989, Gereja
Cahaya adalah renovasi untuk senyawa Kristen yang ada di Ibaraki.
Gambar 2.18 Eksterior Church of the light
Sumber : archdaily.com diakses tanggal 4 April 2014
Gereja terang didominasi oleh beton ekspos karakter dari sang arsitek.
Dinding yang polos serta ekspos tekstur material. Satu hal yang orang ingat
akan gereja ini adalah cahaya berbentuk salib yang berada pada belakang
altar.
30
Gambar 2.19 Cahaya Interior Church of The Light
Sumber : archdaily.com diakses tanggal 4 April 2014
Suasana kontras antara terang gelap tersajikan lengkap dari gereja ini,
dimana ketika umat masuk akan didominasi oleh gelap, dan ketika menuju
ruang ibadah mereka akan melihat seberkas cahaya disana berbentuk salib.
Simbol salib dipilih sebagai identitas kristen, sedangkan cahaya dipilih oleh
Ando adalah pengibaratan datangnya sang ilahi yakni cahaya yang menembus
kegelapan simbol Tuhan telah memasuki hidup manusia yang diibaratkan
gelap, juga sebagai simbol turunnya rahmat Ilahi. (archdaily, 2014)
Gambar 2.20 Interior Church of The Light
Sumber : archdaily.com diakses tanggal 4 April 2014
31
2.3.4
MIT Chapel
Eero Saarinen adalah salah satu arsitek yang paling dihormati dari abad
ke-20 , Dikenal untuk bentuk-bentuk yang dinamis, desainnya untuk kapel
Massachusetts Institute of Technology mengambil tipologi yang berbeda dari
karya sebelumnya . Selesai pada tahun 1955 , Kapel MIT adalah volume
silinder sederhana yang memiliki kualitas yang kompleks dan mistik dalam .
Desain yang sederhana Saarinen dibayangi oleh bentuk interior dan cahaya
yang dimaksudkan untuk membangkitkan spiritualitas dalam pengunjung .
Gambar 2.21 Eksterior dan Interior MIT Chapel
Sumber : archdaily.com diakses tanggal 4 April 2014
Setelah masuk, pengunjung diangkut ke ruang interior benar-benar tak
terduga yang tidak diketahui dari fasad eksterior. Interior dibanjiri dengan
detail tingkat tinggi dan kualitas atmosfer yang ditingkatkan oleh cahaya
alami.(archdaily,2014)
2.3.5
Mountain Church
Gambar 2.22 Eksterior dan Interior Mountain Church
Sumber : archdaily.com diakses tanggal 4 April 2014
32
Church of San Juan Bautista adalah sebuah gereja tua di daerah
pedesaan Mogno , Swiss. Gereja tersebut rusak di terpa longsor sehingga
harus di rekonstruksi. .Sang arsitek , Botta , memahami bahwa praktek
meditasi adalah keseharian sehingga kehadiranNya harus menyatu dengan
alam.
Botta membuat interior dalam gereja ini menjadi indah. Pola elips
merangkak naik keatas menuju atap kaca yang bundar dengan frame miring.
Saat siang hari, cahaya masuk membentuk pola bayangan yang kontras
dengan pola tembok. (archdaily, 2014)
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pemaparan studi
banding mengenai penerapan cahaya matahari pada bangunan religius diatas
adalah dimana teknik dan strategi memasukkan cahaya alami dalam bangunan
dengan fungsi ini adalah beragam, hal ini sah-sah saja dimana berdasarkan
teori yang ada pemasukan cahaya matahari dalam bangunan religius adalah
telah mengandung unsur sacred space dan memaknai simbol ‘kehadiran’
Sang Ilahi. Beberapa melakukannya dengan menggabungkan dengan unsur
filosofi untuk menambah kuat pemaknaan fungsi bangunan tersebut, seperti
Church of The Light dan Notre Dame Ronchamp.
33
2.4
Kerangka Berfikir
Gambar 2.23 Kerangka Berpikir
Sumber : Hasil Olahan Pribadi (2014)
34
34
Download