ERUPSI OBAT

advertisement
BAB I
I. PENDAHULUAN
Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
mendefinisikan erupsi obat sebagai respons terhadap suatu obat yang berlebihan,
tidak disengaja dan tidak diingini yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan
untuk pengobatan untuk suatu penyakit. Ada berbagai macam obat yang dapat
menyebabkan reaksi pada kulit, beberapa obat dari golongan tertentu berkaitan
erat dengan tipe reaksi tertentu. Obat yang dapat mengakibatkan terjadinya reaksi
harus disadari oleh pasien yang mendapatkan pengobatan atau pasien yang
mengalami erupsi pada kulitnya.(1)
Efek samping obat adalah reaksi yang sifatnya merugikan si pemakai obat
atau reaksi yang tidak diinginkan, yang timbul pada saat penggunaan obat dengan
dosis yang biasa digunakan untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis. Setiap
obat dapat menyebabkan efek samping, mungkin hanya berbeda dalam kualitas
dan kuantitas kejadiannya. Reaksi efek samping obat merupakan reaksi yang tidak
dapat dicegah tetapi dapat diusahakan agar timbul seminimal mungkin.(13)
Erupsi obat adalah perubahan – perubahan pada kulit dan membran –
membran mukosa yang terjadi sebagaimana efek – efek samping yang tidak
digunakan setelah pemberian obat dengan dosis yang normal dan biasa yakni
setelah pemberian oral, intrakutan, subkutan, intramuscular, injeksi intravena dan
juga setelah intralesi atau absorbsi obat – obatan melalui kulit atau membran
mukosa (mukosa atau tetesan obat,suppositoria,suppositoria vaginal).(13)
Alergi obat adalah salah satu bentuk reaksi simpang terhadap obat yang
merupakan reaksi yang tidak dikehendaki/tidak diharapkan yang timbul pada
pemakaian obat dalam dosis lazim.(13)
Erupsi obat alergik mencakup semua efek samping pada kulit yang
disebabkan oleh obat – obatan. Erupsi ini timbul bila obat diberikan kepada
penderita yang telah menderita hipersensitifitas. Mekanisme terjadinya erupsi obat
dapat secara non imunologik dan imunologik (alergik) tetapi sebagian besar
merupakan reaksi imunologik.(13)
1
Beberapa obat yang diketahui dapat menyebabkan terjadinya reaksi pada
kulit yaitu Antibiotik (terutama penisilin,penisilin semisintetik,dan sulfonamid),
obat – obat NSAIDs, obat – obat hipnotik, obat – obat penenang, dan lain-lain.(15)
Identifikasi yang cepat dan penghentian penggunaan obat sesegera mungkin
dapat mengurangi efek toksik dari obat tersebut, namun untuk menghentikan
pemakaian obat dimana efek utama obat tersebut masih sangat dibutuhkan dapat
menimbulkan dilema.(2)
I.a. EPIDEMIOLOGI
Erupsi obat terjadi kira-kira 2-5% dari pasien yang dirawat dirumah sakit.
sebagian besar dari kasus erupsi obat yang terjadi merupakan kasus yang ringan,
sembuh dengan sendirinya maupun mengalami perbaikan setelah pemakaian obat
tersebut dihentikan. Kasus yang berat terjadi kira-kira 1:1000 dari pasien yang ada
dirumah sakit.(5,6,7,8)
Yang terpenting dari faktor-faktor resiko hubungannya dengan hipersensifitas
obat yaitu dalam hal sifat-sifat kimiawi dan berat molekul dari obat. Obat-obatan
yang lebih tinggi dan besar kompleksitas struktural (protein-protein yang tidak
berasal dari manusia) yang lebih mungkin menjadi imunogenik. Antiserum
heterologus, streptokinase, dan insulin merupakan contoh-contoh dari antigen
yang kompleks yang berpotensi memperoleh reaksi-reaksi hipersensitifitas.
Kebanyakan obat memiliki berat molekuler yang lebih kecil (kurang dari 1.000
dalton), tapi masih bisa menjadi imunogenik dengan menggabungkan proteinprotein karier, seperti albumin, untuk membentuk kompleksitas karier kimiawi
(hapten).( 5,6,7,8)
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi frekuensi dari hipersensitifitas reaksireaksi obat yaitu cara pemberian obat seperti misalnya topikal, intramuskular, dan
pemberian secara intravena yang lebih berpotensi menyebabkan reaksi-reaksi
hipersensitifitas. Pengaruh ini disebabkan oleh efisiensi penyajian antigen di kulit,
pengaruh dari pengolahan obat disaluran nafas, dan konsentrasi yang meningkat
dari sirkulasi antigen obat yang secara cepat dalam terapi intravena. Pengobatan
oral kurang menunjukkan hasil dalam penanganan hipersensitifitas obat.( 1,5,8)
2
Faktor-faktor yang memperbesar resiko timbulnya erupsi obat adalah : (2,8)
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai resiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli
yang mampu menjelaskan mekanisme ini.
2. Sisten imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan resiko timbulnya erupsi eksantematosa
10 – 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak
dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan
sistem immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa
disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan
antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi
obat karena sensitisasi sukar terjadi tetapi menimbulkan mortalitas yang tinggi
bila terkena reaksi yang berat.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat
kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat
digunakan, semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada
penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang
disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human
herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami
sindrom hipersensitifitas obat.
6. Atopik
Faktor resiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun
pasien yang atopik tidak mempunyai dasar sensitifitas dari obat, mereka hanya
meningkatkan resiko pada reaksi-reaksi alergi yang serius.
3
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. MEKANISME ERUPSI OBAT
Reaksi simpang terhadap obat
pada kulit dapat terjadi sebagai akibat
terangsangnya mekanisme imunologik dan non imunologik, meskipun antara
keduanya kadang – kadang sukar dibedakan mekanisme imunologik yang mendasari
terjadinya reaksi alergi obat sedang non imunologik dapat disebabkan oleh karena
dosis berlebihan, toksisitas kumulatif, efek samping, toksisitas lambat, interaksi obat
dan efek fakultatif.( 13 )
Dasar imunokimia alergi obat dan obat sebagai imunogen potensi alergen obat
sangat tergantung pada sifat – sifat kandungan kimianya. Peningkatan ukuran
molekulnya dan kompleksitasnya dikaitkan dengan peningkatan kemampuan untuk
menghilangkan respon imunitasnya. Imunogenitas lemah atau hilang bila substansinya
mempunyai berat molekul kurang dari 4000 dalton.( 13 )
Obat pada umumnya merupakan kimia organik dan tidak bersifat antigen
karena berat molekulnya rendah biasanya kurang dari 1000 dalton. Untuk obat dengan
berat molekul yang sedemikian rendah, agar menjadi imunogenik, maka obat atau
metabolit obat harus diikat pada sebuah carier makro molekul sering dengan ikatan
kovalent sebagai proses antigen yang efektif.( 13 )
Respon imunopatologi terhadap beberapa antigen bisa berbeda – beda dan
reaksi penyertanya sangat kompleks. Biasanya lebih dari satu mekanisme yang
menyebabkan reaksi – reaksi tertentu, namun ada satu yang menonjol.( 13 )
Patofisiologi erupsi obat bervariasi, salah satunya memakai dasar imunologis.
Raksi alergi atau hipersensitivitas merupakan hasil respon imun organisme,
menyebabkan terbentuknya antibodi spesifik, limfosit tersensitisasi atau keduanya.( 13 )
4
∗
Table 1
Mekanisme Erupsi Obat : Immunologis dan Non-Imunologis
REAKSI OBAT IMUNOLOGIS
Tipe
Reaksi Tipe I
Contoh
Anafilaksis dari antibiotik beta
laktam
Reaksi Tipe II (sitotoksik)
Anemia hemolitik dari pencilin
Reaksi Tipe III (kompleks imun)
Serum sickness dari globulin antitimosit
Reaksi Tipe IV
Dermatitis kontak dari antihistamin
topical
Aktivasi sel T yang spesifik
Ruam morbiliformis dari sulfonamid
Fas/Fas ligand induced apoptosis
Stevens Johnson Syndrome
Toxic epidermal necrolysis
Drug induced, lupus like syndrome
Lain-lain
Anticonvulsant hypersensitivity
syndrome
REAKSI OBAT NON IMUNOLOGIS
Dapat diprediksi
Efek samping farmakologi
Mulut kering dari antihistamin
Efek samping farmakologi sekunder
Thrush karena antibiotik
Toksisitas obat
Hepatotoksistas dari metotreksat
Interaksi obat
Kejang dari teofilline sementara

mengambil eritromisin
Dikutip dari kepustakaan no.6
5
Kejang dari lidocane eksessive
Overdosis obat
Tidak dapat diprediksi
Pseudoallergi
Reaksi anafilaktik setelah peyuntikan
media radiokontras.
Idiosinkroti
Anemia hemolitik setelah pemberian
primakuin pada pasien defisiensi
G6PD
Intoleransi
Tinnitus setelah pemberian aspirin
Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik
dilakukan klasifikasi secara imunopatogenesis yaitu :
1.
Reaksi yang diperantarai antibodi
Klasifikasi sistem Gell dan Coombs menjelaskan mekanisme imun yang
menimbulkan gejala klinik dari erupsi obat. Sistem Klasifikasi ini yaitu :
Tipe I (Reaksi anafilaktik), Tipe II (Reaksi Sitotoksik),Tipe III (Reaksi
Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Tipe Lambat).(15,17)
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah
Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan
basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi.
Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka
obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan
merangsang
pelepasan
bermacam-macam
mediator
seperti
histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang
dilepaskan
ini
akan
menimbulkan
6
bermacam-macam
efek,
misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan
adalah timbulnya syok anafilaktik.
Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang
melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu
sejumlah
reaksi
yang
berakhir
dengan
lisis. Dengan adanya
komplemen serum, maka sel yang dilapisi antibodi akan dibersihkan atau
dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag. Contoh mekanisme ini adalah pada
anemia hemolitik dari pencilin
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk
kompleks
antigen
antibodi.
Kompleks
antigen
antibodi
ini
mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
mengakibatkan
reaksi
radang.
Aktivasi
sistem
komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai
akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan.
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi
mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe
lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap
antigen.
2. Reaksi fotosensitivitas
(13 )
Terdapat 2 tipe reaksi yaitu :
A. Fototoksisitas yaitu reaksi yang ditandai oleh adanya lesi
kulit (epidermis) akibat cahaya dengan spektrum pendek
(285-310 nm) dan terbatas pada daerah terpajan reaksi
menyerupai sun burn yang diikuti oleh hiperpigmentasi.
Tipe reaksi ini membutuhkan pajanan cahaya yang intensif.
B. Fotoalergi, tidak memerlukan intensitas cahaya yang
tinggi dengan spektrum yang lebih luas pada panjang
7
gelombang yang lebih besar (320-450 nm) cahaya akan
mengubah obat menjadi hapten reaktif yang mampu
bergabung dengan protein kulit membentuk antigen baru.
Pada pajanan ulang, obat bersama dengan pajanan cahaya
akan mengakibatkan lesi kulit berbentuk urtika atau lesi
yang papulovesikuler atau eksudatif dengan batas kurang
jelas. Misalnya : salep yang mengandung asam para-amino
benzoat atau penyuntikan sulfomid.
II.2. MANIFESTASI KLINIS
Setidaknya pasien telah sebelumnya di sensitisasi ke obat, intervalnya yaitu
antara inisiasi dari reaksi terapi dan onset yang jarang dan kurang dari seminggu atau
lebih dari sebulan. Hipersensitifitas yang nyata pada reaksi obat yang tidak cocok,
sering menyerupai suatu penyakit dan dapat muncul dengan terlibatnya berbagai
sistem organ, termasuk reaksi-reaksi sistemik seperti anafilaksis. Reaksi-reaksi obat
umumnya merupakan manifestasi dari gejala-gejala dermatologik yang disebabkan
oleh metabolik dan aktivitas imunologik dari kulit.( (2-5,10,11 )
Manifestasi dermatologik yang paling umum dari reaksi obat adalah ruam
bentuk morbili. Secara tipikal, suatu eritematous, ruam makulopapular yang muncul
sekitar 1-3 minggu setelah pemberian obat, yang awalnya pada badan, yang bahkan
menyebar ke tungkai dan lengan. Urtikaria merupakan manifestasi yang tipikal dari
suatu reaksi alergik tipe 1, tapi ini bisa saja muncul pada tipe III atau pada reaksi
pseudoalergik. Reaksi kutaneus hipersensitifitas (multiform eritem, sindrome stevenjohnson, dan nekrolisis epidermal toksik) munculnya bullous pada penyakit kulit yang
cepat dikenali karena hubungannya dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Ruam ekzematus paling umum berhubungan dengan medikasi topikal dan biasanya
muncul dermatitis kontak, yang diklasifikasikan sebagai reaksi tipe IV dari perluasan
obat.( 4,8,9,12 )
8
Table 2
∗
Gell and Coombs Classification of Drug Hypersensitivity Reactions
Immune
Timing of
reaction
Mechanism
Clinical manifestations
reactions
Type I (IgE-
Drug-IgE complex binding to Urticaria, angioedema,
Minutes to
mediated)
mast cells with release of
bronchospasm, inflammatory
hours after drug
histamine, mediators
pruritus, vomiting, diarrhea,
exposure
anaphylaxis
Type II
Specific IgG or IgM
Hemolytic anemia, neutropenia,
(cytotoxic)
antibodies directed at drug-
thrombocytopenia
Variable
hapten coated cells
Type III
Tissue deposition of drug-
Serum sickness, fever, rash,
1 to 3 weeks
(immune
antibody complexes with
arthralgias, lymphadenopathy,
after drug
complex)
complement activation and
urticaria, glomerulonephritis,
exposure
inflammation
vasculitis
Type IV
MHC presentation of drug
Allergic contact dermatitis,
2 to 7 days after
(delayed, cell-
molecules to T cells with
maculopapular drug rash*
cutaneous drug
mediated)
cytokine and inflammatory
exposure
mediator release
MHC = major histocompatibility complex.
*--Suspected Type IV reaction, mechanism not fully elucidated.
Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai gambaran
klinis yang mirip dengan gangguan kulit lain pada umumnya, seperti misalnya :

12,14,15)
Dikutip dari kepustakaan no.6
9
(2,5-
II.2.a. Urtikaria
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat
tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan
subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema.
Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka
waktu 1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari.
Pelepasan mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga
dapat
menimbulkan
reaksi urtikaria.
Urtikaria
dan
angioedema
sangat
berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun
antibiotik lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitor dalam jangka waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria.
Gambar 1. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin ∗
II.2.b. Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa.
Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustul. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar
ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi
baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan
warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan

adanya deskuamasi kulit.
Dikutip dari kepustakaan no. 11
10
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin,
sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa
sel T juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat
tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali
ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum. Tempat predileksi disekitar
mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki, sehingga sering
disangka penyakit kelamin.
Gambar 2. Sejumlah papul yang disebabkan penggunaan obat golongan sefalosporin ∗
II.2.c. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala
umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksinya ialah di regio ekstensor
tungkai bawah.
Gambar 3. Eritema nodosum ∗


II.2.d. Eritroderma
Dikutip dari kepustakaan no. 11
Dikutip dari kepustakaan no. 14
11
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada
umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat
terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada
stadium penyembuhan.
Gambar 4. Eritroderma ∗
II.2.e. Erupsi pustuler
Ada dua jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).
1.
Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti
iodida, bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan
actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan
dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo.
Gambar 5. Erupsi akneiformis ∗

∗

DIkutip dari kepustakaan no.5
Dikutip dari kepustakaan no.5
12
2.
Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) memberikan
gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan
lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami
demam tinggi (>380C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka
waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi kulit. Pada
pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau subcorneal
yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear
perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit.
Walaupun demikian, penyakit ini sangat jarang terjadi.
II.2.f. Erupsi bullosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada : pemphigus foliaceus, fixed drug eruption
(FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN.
1.
Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan
penisilin dan golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat
terlihat dalam beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla
yang luas dengan melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa
beberapa bulla dalam ukuran sedang atau berupa plak dan nodul yang
disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat muncul kembali pada 35-50
persen kasus sebagai pemphigus foliaceus.
2. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai
dua minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi
berikutnya dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai
makula yang soliter, eritematosa dan berwarna merah terang dan dapat
berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi biasanya akan muncul di
daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila penderita memakan
obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang sama.
Histologisnya, FDE serupa dengan erythema multiformis yang ditandai
dengan adanya limfosit di dermal-epidermal junction dan perubahan
degeneratif dari epitel yang disertai diskeratosis. FDE kronis memberikan
gambaran acanthosis, hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat
13
ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T helper
dan sel T supresor pada tempat lesi.
Gambar 6. Fixed drug eruption ∗
3. Eritema multiformis. merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit
dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).
Gambar 7. Eritema multiformis ∗
4. Sindrom Stevens-Johnson. (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom
mukokutanea¬okular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme
mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput
lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik


sampai buruk.
Dikutip dari kepustakaan no. 8
Dikutip dari kepustakan no. 5
14
Gambar 8. Stevens-johnson syndrome ∗
5. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET). adalah penyakit kulit akut dan berat
dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan
pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada
kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel
dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit
dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan
ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan
bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu
epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai
luka bakar.
Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit
yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan
terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena
tekanan, yakni punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan
kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel,
dan
bula.
Pada
NET,
kuku
dapat
terlepas
dan
dapat
terjadi
bronkopneumonia. Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus
gastrointes¬tinal. Umumnya NET terjadi pada orang dewasa. NET
merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena
gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis.
II.3. DIAGNOSIS
Untuk menentukan bahwa suatu reaksi alergi disebabkan oleh obat sebenarnya
sulit. Pada umumnya diagnosis alergi obat berdasarkan atas adanya reaksi spesifik
∗
Dikutip dari kepustakaan no.5
15
yang pernah terjadi atau karena gejalanya mirip reaksi alergi pada umumnya. Jadi
untuk menegakkan diagnosis alergi obat yang perlu adalah : (13,17 )
1. Anamnesis yang teliti mengenai :
a. Obat – obat yang didapat
b. Kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat
c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril
2. Kelainan kulit yang ditemukan :
a. Distribusi : menyeluruh dan simetrik
b. Bentuk kelainan yang timbul
3. Pemeriksaan khusus
Saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitive dan dapat dipercaya untuk
mendeteksi erupsi obat alergik. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk membantu memastikan penyebab erupsi obat alergik, antara lain :
1. Pemeriksaan in vivo
•
Uji tempel (patch test)
•
Uji tusuk (prick test)
•
Uji profokasi
2. Pemeriksaan in vitro
I.
Yang diperantarai anti bodi
• Hemaglutinasi pasif
• Degranulasi basofil
• Radioimmunoassay
• Tes fiksasi komplemen
II.
Yang dipengaruhi sel
• Tes transformasi limfosit
• Leucocyte migration test
Penilaian pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut merupakan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang teliti.
II.3.a. Kriteria klinis alergi Obat
16
Beberapa kriteria klinis alergi obat yang memberi kemungkinan dugaan
adanya reaksi alergi obat adalah sebagai berikut : (13)
1. Ada periode laten antara pemberian obat dan timbulnya gejala klinik,
umumnya 7 – 10 hari setelah obat diberikan. Pada penderita yang telah
tersensitisasi sebelumnya, reaksi akan timbul segera dan eksplosif.
2. Reaksi dapat terjadi walaupun dengan pemberian obat dalam dosis yang sangat
kecil dan bila pernah terjadi reaksi semacam akan terulang bila diberi obat
yang sama atau sejenisnya.
3. Manifestasi klinis yang terjadi tidak berhubungan dengan efek farmakologi
obat yang diberikan .
4. Mempunyai pola gejala tertentu yang umumnya sama bila terkena alergen lain
misalnya urtikaria, anafilaksis, dermatitis kontak.
5. Terdapat eosinofilia dalam darah dan jaringan.
6. Respon baik bila diberi obat anti alergi atau gejala berkurang bila obat
dihentikan.
7. Apabila reaksi hanya terjadi pada sebagian kecil dari mereka yang dapat obat.
Ketika diagnosis telah ditegakkan, maka dokumentasi yang tepat harus
dimasukkan ke dalam catatan medis untuk melakukan spesifikasi terhadap penyebab
dari obat dan sifat-sifat dari efek samping. Reaksi hipersensitifitas terhadap obat yang
dimediasi oleh imun seringkali masih dapat diprediksi sebagai resiko kesehatan yang
lebih serius dengan paparan kembali terhadap obat yang sama. Reaksi-reaksi nonimun cenderung untuk kurang-parah dan kurang-reproduktif. Penggunaan berlanjut
terhadap obat-obat tersebut mungkin sebaiknya dilakukan jika resiko tidak terjadinya
penyakit tambahan lebih besar daripada resiko pemakaian obat yang dilanjutkan, dan
jika tidak ada alternatif lainnya yang memadai dan cocok untuk dilakukan. Dalam
kasus-kasus tersebut, akan sangat penting untuk pasien untuk berada dalam
pengawasan menyeluruh dan ketat oleh dokter-ahli yang berpengalaman. Ketika
diputuskan untuk menghentikan pemakaian obat, maka pasien harus diberikan daftar
obat-obatan pengganti untuk digunakan di masa depan.( 2,3,5,10,11)

Table 3 ∗
Dikutip dari kepustakaan no. 6
17
Evaluation and Management of Drug Reaction
*--Not for Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis.
II.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tujuan dari uji diagnostik yaitu mengevaluasi tanda biokimiawi atau
imunologik yang mengkonfirmasikan aktivasi dari suatu jalan imunopatologik untuk
menjelaskan pengaruh ketidakcocokan obat yang dicurigai. Uji lab di antar dengan
mekanisme patologik yang dicurigai.(Tabel 4).( 6,7 )
18
∗
Table 4
Terapi dan uji diagnostik untuk hipersensitiftas obat.
Reaksi imun
Tes laboratory
Pertimbangan terapeutik
TipeI
Skin test
Penghentian penggunaan obat
(IgE-mediasi)
RAST
Pertimbangan epinefrin, antihistamin,
Serum triptase
Kortikosteroid sistemik, bronkodilator.
Monitoring pada pasien jika buruk.
Tipe II
Tes Coombs langsung
Penghentian penggunaan obat,
(sitotoksik)
atau tidak langsung
Pertimbangan kortikosteroid sistemik,
Transfusi pada kasus-kasus buruk.
Tipe III
ESR protein C-reaktif
Penghentian penggunaan obat
(kompleks imun)
Kompleks imun
Pertimbangan NSAIDs,antihistamin,
Studi lengkap
atau Kortikosteroid sistemik,atau
Studi immunofluoresen Plasmapheresis jika buruk
Antibodi anti nuklir
Antibody antihiston
Biopsi jaringan untuk
Tipe IV
uji potongan kecil
Penghentian penggunaan obat
(mediasi sel tertunda) Proliferasi limfosit
Pertimbangan kortikosteroid topikal,
Assay
antihistamin, kortikosteroid sistemik
Jika buruk.
RAST : tes radioallergosorbent ; ESR : rate sedimentasi eritrosit
NSAIDs : obat-obatan anti inflamasi nonsteroid.
Reaksi imun tipe IV seringkali mucul sebagai dermatitis kontak alergis yang
disebabkan oleh pengobatan topikal. Dalam keadaan seperti itu, uji-uji tambahan
untuk agen-agen obat spesifik, seperti yang digaris bawahi dalam tabel 5, adalah
langkah diagnostik yang tepat. Fitur-fitur dari erythema, indurasi dan ruam-ruam
vesiculopapular pruritis yang berkembang dalam waktu 48 jam setelah diterapkannya

uji tambahan akan mendukung diagnosis terhadap rekasi imun tipe IV.( 4 )
Dikutip dari kepustakaan no. 6
19
∗
Table 5
Prosedur Uji Tambahan untuk Dermatitis Kontak yang Dipengaruhi oleh Obat
(Patch Test)
Lakukan tes tempel
Tempatkan agen-agen topikal yang dicurigai sebagai tetesan cairan atau campuran
dengan petrolatum
Lakukan uji tambahan strip secara tegas terhadap kulit belakang pasien
Beri garis batas pada kulit yang menjadi daerah uji tambahan dengan memakai tinta
Dokumentasikan semua posisi dari setiap alergen dalam catatan medis
Instruksikan kepada pasien untuk tetap menjaga agar daerah uji dalam keadaan kering
Lepaskan strip uji tambahan setelah 48 jam
Baca hasil uji strip setelah 48 jam dan baca kembali setelah 72 hingga 96 jam setelah
penerapan dilaksanakan.
1+ (Erythema)
2+ (Edema atau vesiculasi kurang dari 50% pada lokasi uji tambahan)
3+ (Edema atau vesiculasi lebih dari 50% dari lokasi uji tambahan)
Tentukan apakah reaksi uji tambahan relevan dengan kondisi klinis pasien
Jika diperlukan, lakukan “uji penggunaan obat” dengan memakai agen-agen yang
dicurigai terhadap fossa antecubital dua kali sehari selama satu minggu.
II.5. TERAPI DAN PENATALAKSANAAN
Bila erupsi kulit berat dan luas penderita perlu dirawat inap. Tempat
perawatan disesuaikan dengan besarnya masalah. Pengobatan erupsi obat alergik
belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya,
apakah karena obatnya sendiri atau metabolitnya. Pengobatan dibagi dalam 2 cara
yaitu pengobatan kausal dan pengobatan simptomatik.
1. Pengobatan kausal
Terapi yang paling penting dan paling efektif dalam menangani reaksi
hipersensitif terhadap obat adalah dengan memutuskan pemakaian obat-obatan
tersebut, jika memungkinkan untuk dilakukan. Pemakaian obat-obatan
alternatif
yang tidak memiliki struktur kimiawi yang sama dengan obat
sebelumnya harus dilakukan jika situasinya memungkinkan. Konsekuensi

klinis dari penghentian atau penggantian obat harus diawasi dengan ketat.
Dikutip dari kepustakaan no. 6
20
Sebagian besar spasien, gejala-gejala akan terlihat dalam waktu dua minggu
jika diagnosis terhadap hipersensitifitas obat terbukti benar.( 5,9,10,11,12 )
2. Pengobatan simptomatik
Manajemen farmakologi reaksi alergi obat bertujuan untuk meredakan
manifestasi sampai reaksinya berkurang. Untuk reaksi ringan terapi biasanya
tidak diperlukan. Tindakan untuk reaksi yang berat tergantung pada sifat
erupsi kulit dan tingkat keterlibatan sistemik. Obat – obatan yang digunakan
pada erupsi obat antara lain : (13,17)
1. Kortikosteroid
Penggunaannya terutama pada kasus yang berat atau generalisata untuk
menghentikan progresivitas penyakit, antiinflamasi dan anti alergi.
Pemberian harus dalam jangka waktu pendek, dosis permulaan cukup
besar, setara dengan prednison 30 – 50 mg per os dan segera dituunkan
sesuai dengan respon klinik. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, eritema nodusum, dan eksantema fikstum dosis
standar untuk orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednison sehari. Pada
eritrodermia dosisnya ialah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
2. Antihistamin
Merupakan obat yang memberikan hasil paling memuaskan untuk terapi
simptomatik
pada
penyakit
–
penyakit
alergi.
Dapat
diberikan
intramuscular dan dilanjutkan pemberian per oral.
3. Adrenalin atau beta adrenergic lain
Digunakan pada reaksi anafilaksis, urtikaria yang berat, angiodema atau
obstruksi jalan napas dan lain – lain. Bisa diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5
ml secara subkutan atau intravena. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam
waktu 15 – 20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24
jam berikutnya untuk komplikasi.
4. Obat topical
Pengobatan topical bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Kalau keadaan kering, seperti pada eritema dan urtikaria, dapat
diberikan bedak, contohnya : bedak salisilat 2 % ditambah dengan obat
antipruritus, misalnya mentol ½ - 1 % untuk mengurangi rasa gatal. Kalau
21
keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa, perlu digunakan
kompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1 %.
Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan pengobatan
topical. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberi
kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim
hidrokortison 1% atau 2 ½ %.
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh
dengan skuamasi, dapat diberi salap lanolin 10 % yang dioleskan sebagian
– sebagian.
Pada erupsi obat alergik penggunaan antiseptik atau anti pruritus topical
dapat berguna tetapi dapat terjadi reaksi silang dengan obat penyebabnya.
Perlu diperhatikan pada beberapa kasus, penggunaan kortikosteroid topical
juga bisa menyebabkan dermatitis kontak alergik.
II.6. PROGNOSIS
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada berbagai
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan – kelainan berupa sindrom steven-johnson,
prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.( 17)
BAB III
KESIMPULAN
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi
alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat
pemberian obat dengan cara sistemik. Belum didapatkan angka
kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat. Faktor-faktor yang
memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin,
22
orang dengan sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan
keganasan.
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama
adalah mekanisme
imunologis
dan
kedua
adalah
mekanisme
non
imunologis.
Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang
dikemukakan
oleh
Commbs
dan
Gell
yaitu;
Tipe
I
(Reaksi
anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi Kompleks
Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat). Mekanisme Non
Imunologis pula dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast
secara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau
pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.
Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara progresif
ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan
hiperpigmentasi
generalisata
diffuse.
Morfologi
erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada
umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, purpura,
erupsi eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler, dan erupsi
bulosa.
Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan
dengan
teknik
in
vivo.
Belum
ditemukan
uji
fisik
maupun
laboratorium maupun teknik in-vitro yang
cukup reliabel untuk digunakan secara rutin.
Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan
umum
dan
penatalaksanaan
khusus.
Penatalaksanaan
umum
dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif sedangkan
penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul
terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin.
Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang
terkena.
23
DAFTAR PUSTAKA
1.Thien FCK. Drug hypersensitivity. Medical Journal Of Australia [serial online]
2006 September [cited 2007 September 14]; 185(6):333-8. Available from: URL:
http://www.mja.com.au/public/issues/185_06_180906/thi10282_fm.html
2. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneous reactions to drugs. In:
Freedberr IM, Eisen AZ, Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc-Graw Hill;
2003. p. 1331-6
3. Breathnach SM. Drug reactions. In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, editors.
Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of dermatology. 5th ed. Oxford: Blackwell
ScientificPulishing;1992. p.3349-76
4.Millikan LE. Drug eruptions (Dermatitis medicamentosa). In: Moschella S, Hurley
H,editors. Dermatology. 3rd ed. Edinburgh: Mosby; 2003. p.425-462
5. Blume JE. Drug eruptions. E-medicine [Online] 2007 March 28 [cited 2007
September 10]; Available from: URL:http://www.emedicine.com/derm/topic104.htm
6. Rield MA, Casillas AM. Adverse drug reactions:types and treatment options.
American Family Physician [serial online] 2003 November [cited 2007 September
14];68(9). Available from: URL:http://www.aafp.org/afp/20020901/797/html
7. Harsono A, Endaryanto A. Alergi obat. [Online] 2006 [cited 2007 September 21];
Available from: URL:http://www.pediatrik.com.id
8.Svennson CK, Cowen EW, Gaspari AA. Cutaneus drug reactions. Pharmacological
Reviews [serial online] 2001 September [cited 2007 September 14]; 53(3):357-379.
Available from:
URL:http://www.pharmrev.aspetjournals.org/cgi/content/full/53/3/357
9. Roujou JC, Stern RS. Severe adverse cutaneus reaction to drugs. The New England
Journal of Medicine [serial online] 1994 November [cited 2007 September 14];
331:1272-1285. Available from: URL:http://www.nejm.com.
24
10. Kooken AR, Tomecki KJ. Drug Euptions [Online] 2004 July 14 [cited 2007
September 10]; Available from: URL:
http://clevelandclinicmeded.com/diseasemanagement/dermatology/drug_eruptions/dru
g_eruptions.htm
11.Revus J, Allanore AV. Drug reactions. In: .Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology. 2nd ed. London: Mosby; 2003. p. 333-53
12. Vervloet D, Durham S. Adverse reaction to drugs. British Medical Journal [serial
online] 1998 [cited 2007 September 14]; 316:1511-14. Available from:
URL:http://www.bmj.org
13. Muh. Dali A. Erupsi Obat Alergi dan Penatalaksanaannya. In : Ilmu Penyakit
Kulit. 2003. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. h. 313 - 22
14. Drug eruption (information on the diagnosis) [Online] [cited 2007 September 14];
Available from:
URL:http://dermis.multimedica.de/dermisroot/en/13645/diagnose.htm.
15. Drug eruption [Online] 2003 [cited 2007 September 10]; Available from:
URL:http://www.ecureme.com/emyhealth/data/Drug_Eruption.asp
16. Retno WS, Suharti KS. Pedoman dan Diagnosis Erupsi Obat Alergik. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
17. Djuanda, adhi, Hamzah, Mochtar, Djuanda, Suria, Aisah, Siti. 2007. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h. 122 – 5
18. Robin GB, Tony B, Reaksi Obat Pada Kulit. In : Lecture notes on Dermatologi.
Penerbit Erlangga.
25
Download