8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Human Papilloma Virus Gambar

advertisement
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Human Papilloma Virus
Gambar 2.1 Human Papilloma Virus (Borruto and Marc, 2012)
Human papilloma virus (HPV) adalah virus berukuran kecil sekitar 8000 pasang
basa. Strukturnya berbeda dengan virus lainnya, HPV berbentuk bulat, sekilas
menyerupai bola golf. Untuk beradaptasi dengan tubuh host, HPV memerlukan sel
yang aktif membelah dan berdiferensiasi. Oleh karena itu, sel yang telah
terdiferensiasi sempurna pada permukaan kulit tidak digunakan oleh virus ini. HPV
memerlukan akses menuju sel pada tahap sel yang sedang berkembang, yaitu saat
berada di lapisan basal (Dunleavay, 2009).
Genom HPV hanya mengkode 8 jenis protein (Dunleavey, 2009). Protein ini
terbagi menjadi “early” (E) dan “late” (L). Early protein diekspresikan selama tahap
awal infeksi virus, dan late protein diekspresikan pada tahap selanjutnya. Hipotesis
terbaru mengatakan bahwa HPV memasuki tubuh melalui area epidermis yang rentan
dan tipis, seperti zona transformasi pada serviks atau anus, atau melalui mikro-abrasi
9
pada epitelium yang terjadi selama aktivitas seksual. Ketika virus memasuki sel yang
aktif membelah pada membran basal, virus akan mengambil alih kontrol terhadap sel
untuk mereplikasi materi genetiknya dan mengekspresikan protein HPV. Sementara
itu, virus tidak menganggu pembelahan sel normal lainnya. Tetapi, karena virus
sangat bergantung pada pembelahan sel secara kontinyu untuk multiplikasi dirinya
sendiri, virus mengekspresikan protein tertentu (early protein) yang berperan untuk
menginhibisi diferensiasi seluler dan menstimulasi proliferasi sel secara kontinyu
(Dunleavay, 2009).
2.2 Kanker Serviks
Kanker serviks adalah kanker dengan angka kejadian terbesar kedua di dunia.
Lebih dari 500.000 wanita di seluruh dunia didiagnosa menderita kanker serviks tiap
tahunnya dan hampir setengahnya meninggal karena penyakit ini. Sebelum
ditemukannya prosedur Pap smear pada tahun 1940-an, kanker serviks merupakan
kanker yang paling mematikan pada wanita di Amerika. Sejak skrining preventif
ditemukan, insiden kanker serviks menurun hingga 75 persen. Hingga saat ini, sekitar
10.000 hingga 13.000 wanita Amerika didiagnosa kanker serviks setiap tahunnya,
dan sekitar sepertiganya mengalami kematian (Spencer, 2007).
Serviks adalah bagian bawah, bagian ujung sempit dari uterus yang menuju
vagina. Kanker serviks terjadi ketika sel serviks mulai membelah tak terkontrol. Sel
yang membelah secara abnormal membentuk suatu massa disebut tumor. Sebagai sel
yang terus menerus membelah, sel dapat menginvasi ke jaringan normal di
10
sekelilingnya. Sel dapat memutuskan diri dari tumor primer dan menyebar pada situs
yang jauh di dalam tubuh, proses ini disebut metastasis (Spencer, 2007).
Seperti kanker lainnya, terdapat beberapa faktor risiko yang diasosiasikan
dengan perkembangan kanker serviks. Faktor risiko tersebut diantaranya adalah
merokok, makanan rendah nutrien dan vitamin tertentu, dan riwayat keluarga yang
terkena kanker serviks. Terdapat satu faktor yang berkorelasi kuat dengan kanker
serviks, yaitu infeksi human papillomavirus (HPV). HPV ditransmisikan melalui
hubungan seksual (Spencer, 2007).
Terdapat dua tipe utama dari kanker serviks. Tipe yang umum ditemukan adalah
karsinoma sel squamosa yang melibatkan lini epitel squamosa dari ektoserviks.
Sekitar 20% dari kanker serviks merupakan tipe adenokarsinoma yang melibatkan sel
epitel glandular yang tersebar di sepanjang kanal endoserviks (Dunleavay, 2009).
2.2.1
Gejala dan Tanda Kanker Serviks
Lesi kanker serviks yang sangat dini dikenal sebagai servikal intraepitelial
neoplasia (Cervical Intraepithelial Neoplasia = CIN) yang ditandai dengan adanya
perubahan displatik epitel serviks. Walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam
stroma, kanker serviks masih mungkin tidak menimbulkan gejala, tanda dini kanker
serviks tidak spesifik seperti adanya sekret vagina yang agak banyak dan kadangkadang dengan bercak perdarahan. Pada stadium lanjut ketika tumor telah menyebar
keluar dari serviks dan melibatkan jaringan di rongga pelvis dapat dijumpai tanda lain
seperti nyeri yang menjalar ke pinggul atau kaki (Aziz dkk., 2006).
11
2.2.2
Stadium Kanker Serviks
Penetapan stadium kanker serviks penting dalam memperkirakan penyebaran
penyakit dan merupakan faktor kunci dalam penentuan terapi yang tepat. Pembagian
ini didasarkan atas pemeriksaan klinik (Williams and Wilkins, 2001).
Tabel 2.2.2 Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks Menurut International
Federation of Gynecology and Obstetric (FIGO) (FIGO, 2000).
Stadium
Kriteria
0
Karsinoma in-situ atau karsinoma intraepitel
I
Kanker terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uterus diabaikan)
IA
Kanker invasif hanya didiagnosis secara mikroskopis
IA1
Ukuran invasi stroma kedalamannya < 3 mm dan lebarnya ≤ 7 mm
IA2
Ukuran invasi stroma kedalamannya 3-5 mm dan lebarnya ≤ 7 mm
IB
Lesi klinis mengurung serviks atau lesi preklinis yang melebihi stadium IA
IB1
Ukuran lesi klinis ≤ 4 cm
IB2
Ukuran lesi klinis > 4 cm
II
Kanker menyebar di luar serviks tetapi tidak menyebar ke dinding pelvis
dan 1/3 bagian bawah vagina
IIA
Kanker tanpa invasi parametrium
IIA1
Lesi klinis sebesar 4,0 cm atau kurang dalam dimensi yang lebih besar
IIA2
IIB
III
IIIA
IIIB
IV
IVA
IVB
Ukuran lesi klinis > 4 cm
Kanker jelas menginvasi parametrium
Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina atau menginvasi parametrium
sampai dinding pelvis; atau kanker menimbulkan hidronefrosis atau
insufisiensi ginjal
Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina, tidak terjadi perluasan ke
dinding pelvis
Perluasan ke dinding pelvis atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak
berfungsinya ginjal
Penyebaran kanker melewati pelvis minor atau kanker menginvasi mukosa
buli-buli atau mukosa rektum
Kanker bermetastasis ke organ yang berdekatan
Kanker bermetastasis ke organ jauh
12
2.2.3
Penatalaksanaan Terapi Kanker Serviks
Penanganan kanker serviks dapat dilakukan dengan beberapa metode,
diantaranya adalah pembedahan, radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi dari
metode-metode tersebut. Kemoterapi merupakan penatalaksanaan kanker dengan
pemberian obat-obat sitotoksik. Kemoterapi dapat dilakukan dengan obat tunggal
ataupun kombinasi. Penggunaan kombinasi obat lebih efektif dalam menghasilkan
respon, mencegah klon sel kanker yang resisten terhadap regimen tunggal, dan
memperpanjang harapan hidup dibandingkan dengan obat yang sama secara tunggal
(Skeel and Khleif, 2011).
Adapun penatalaksanaan kanker serviks secara umum adalah:
13
Pasien Kanker Serviks
Stadium
IA1dapat
dilakukan
histerektomi
biasa
1.
-
Stadium IA2
dilakukan
radikal
histerektomi dan
bilateral
limfadenektomi
atau radioterapi
Fist line kombinasi
Cisplatin/ Paclitaxel
Carboplatin/paclitaxel
Cisplatin/topotecan
Cisplatin/gemcitabine
Stadium IBIIA dilakukan
histerektomi
dan terapi
radiasi primer
2. Terapi agent tunggal
- Cisplatin
- Carboplatin
- Paclitaxel
Stadium IIBIVA dilakukan
radioterapi atau
chemoradiothe
rapi
3. Second line
- Bevacizumab
- Docetaxel
- Epirubicin
- 5-FU
- Ifosfamid
- Irinotecan
- Liposomal doxorubicin
- Mitomycin
- Pemetrexed
- Topotecan
- Vinorelbine
Gambar 2.2 Algoritme Terapi Kanker Serviks (NCCN, 2010)
Regimen kemoterapi yang biasa digunakan di RSUP Sanglah adalah weekly
cisplatin, kombinasi paklitaksel cisplatin, kombinasi paklitaksel karboplatin dan
kombinasi bleomisin, Oncovin®, mitomisin dan cisplatin (BOMP); kombinasi
bleomisin, Oncovin®, mitomisin, karboplatin (BOM-Karboplatin) (Komite Medik,
2006). Pemilihan terapi tergantung pada ukuran tumor, stadium klinis, tingkat
penyebaran tumor, gambaran histologis, adanya keterlibatan kelenjar getah bening,
14
faktor risiko dari pembedahan atau terapi radiasi, umur, dan kondisi kesehatan pasien
(Williams and Wilkins, 2001). Menurut Gynecologic Cancer Foundation (GCF),
secara umum tindakan terapi pada kanker serviks, dapat dibagi empat yakni
pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan kemoradioterapi.
Kemoterapi adalah penanganan kanker menggunakan obat antikanker. Obat
antikanker ini seringkali digunakan bersamaan dengan pembedahan ataupun
radioterapi. Proses kemoterapi biasanya jangka panjang. Agen kemoterapi tunggal
atau kombinasi diberikan pada interval siklus atau pulsed doses dan sangat
bergantung pada tipe serta karakteristik tumor. Monitoring pasien sangat diperlukan
dalam kemoterapi sehingga respon tumor terhadap terapi atau progresifitas tumor
dapat dipantau. Dahulu, kemoterapi diberikan sesuai panduan terapi yang ada. Akan
tetapi saat ini telah diketahui bahwa terdapat heterogenitas tumor antarpasien
sehingga perlu dilakukan individualisasi terapi berdasarkan karakteristik tumor dan
pasien (Airley, 2009).
Kemoterapi adalah pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitoktosik.
Kebanyakan obat sitotosik mempunyai efek yang utama pada proses sintesis dan
fungsi molekul makroseluler, yaitu pada proses sintesis DNA, RNA, atau protein atau
mempengaruhi kerja molekul tersebut. Proses ini cukup menimbulkan kematian sel
(Aziz dkk., 2006). Kemoterapi kanker serviks umumnya diberikan secara intravena
dan bersiklus yang diselingi dengan waktu istirahat untuk membatasi kerusakan selsel sehat (GCF, 2005). Kemoterapi sebenarnya bukan pilihan utama terapi pada
15
kanker yang masih terbatas di daerah pelvis, namun merupakan pilihan utama untuk
kanker yang telah menyebar ke luar pelvis (McComick and Giuntoli, 2011).
Pemilihan metode terapi pada kanker serviks sangat dipengaruhi oleh stadium
klinis (Vasilev et al., 2011). Pedoman pemilihan terapi berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO) kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar tertera pada tabel
2.2.3.
Tabel 2.2.3 Pemilihan Terapi Berdasarkan Stadium Penyakit (Komite Medik, 2004)
Stadium
Tindakan Terapi yang Dianjurkan
0
I–IIA
IIB
III
IV
a. Bila masih ingin memiliki anak dilakukan konisasi
b. Bila tidak ingin memiliki anak lagi dilakukan histerektomi sederhana
Radikal histerektomi
a. Jika terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka
ditambahkan radiasi eksternal 5.000–6.000 rad atau sitostatika
b. Jika tidak terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka
dilakukan pengawasan lebih lanjut
Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal)
a. Jika operabel, maka diberikan radikal histerektomi, kemudian
radiasi ekternal 4000–5000 rad
b. Jika non operabel, maka diberikan radiasi ekternal 4000–5000 rad
a. Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal)
b. Radiasi eksternal
Paliatif (radiasi/operasi/sitostatika paliatif dan simptomatis)
Catatan: Jika pasien berisiko tinggi diperlukan adjuvan radioterapi atau
kemoterapi. Dikatakan risiko tinggi jika terdapat sel ganas, tepi tidak bebas
tumor/radioterapi kurang efektif, dan terdapat pendarahan ke uterus.
2.3 Bleomisin, Oncovin®, Mitomisin, dan Karboplatin (BOM-Karboplatin)
Bleomisin,
Oncovin®
(vinkristin),
mitomisin,
dan
karboplatin
(BOM-
karboplatin) merupakan salah satu regimen yang digunakan dalam prosedur
16
kemoterapi untuk kanker serviks di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (Komite
Medik, 2006).
2.3.1 Bleomisin
Bleomisin adalah campuran dari 13 fraksi glycopeptide diproduksi oleh
Streptomyces verticillus. Bleomisin memiliki tingkat steady-state selama pemberian
infus 20 unit/hari berkisar antara 50-200 miliunit/L.Volume distribusi bleomisin
sebesar 0,27 ±0,04 L/kg. Waktu paruh fase α adalah 24 menit, dan fase β adalah 3,1±
1,7 jam. 50%-60% dosis bleomisin yang telah mengalami proses filtrasi oleh ginjal,
68% merupakan bleomisin dalam bentuk bebasnya. Efek antineoplastik yang dimiliki
adalah pemotongan DNA untai tunggal dan ganda, memproduksi eksisi basa timin
yang dimediasi melalui pengikatan ion ferric iron dan berikutnya memproduksi
hidroksil yang sangat reaktif dan radikal superoksida. Dosis bleomisin adalah 10-20
unit/m2 1-2 kali per minggu untuk pemberian intravena. Bleomisin bekerja spesifik
pada fase siklus sel tertentu, dengan aktivitas maksimal pada fase G2 (premitotic)
(Anderson et al., 2002).
Efek samping dari bleomisin adalah muntah (rendah hingga sedang), alopesia,
demam akut, eritema dengan edema, terkadang muncul hiperpigmentasi dan
penebalan kulit. Toksisitas yang paling serius untuk pemakaian jangka panjang
adalah fibrosis pulmonary yang dimanifestasikan oleh batuk kering, dispnea, dan
infiltrasi bilateral. Studi menunjukan adanya hipoksemia dan penurunan kapasitas
difusi CO. Toksisitas pulmonari biasanya tidak muncul pada dosis di bawah 150
17
unit/m2, frekuensi meningkat hingga 55% pada dosis >283 unit/m2 dan 66% pada 360
unit/m2 (Anderson et al., 2002).
Bleomisin sulfat 150 unit dilarutkan didalam Dextrose 5% dengan wadah PVC
mengalami kehilangan sebanyak 54% selama 28 hari pada temperatur ruangan diluar
pengaruh sinar matahari. Jika disimpan didalam wadah kaca dengan konsentrasi 300
units akan kehilangan 10 % dalam waktu 8-10 jam pada suhu 23o C. Bleomisin sulfat
dengan konsentrasi 15 unit didalam semua wadah (wadah PVC, wadah gelas, dan
wadah polyethylene) tidak ada kehilangan jika dilihat dengan spektroskopi UV dalam
24 jam dengan sinar matahari langsung (Trissel, 2009).
2.3.2 Oncovin
Oncovin atau Vinkristin merupakan alkaloid Vinca yang bekerja sebagai agen
antimitotik. Aktivitas sitotoksiknya dihubungkan dengan ikatan spesifik pada
mikrotubulus protein tubulin sehingga menyebabkan disolusi mikrotubulus. Hal ini
akan memblok pembentukan apparatus benang mitotik yang diperlukan dalam
pembelahan sel. Golongan vinca menyebabkan kematian sel pada dosis tinggi
sedangkan pada dosis rendah menyebabkan penghentian pembelahan sel pada tahap
metafase mitosis (Anderson et al., 2002).
Dosis vinkristin adalah 0,4-1,4 mg/m2/minggu (batas dosis tunggal adalah 2,5
mg). Vinkristin mengalami proses metabolisme di CYP3A4 hati. 44% dari total
vinkristin yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan protein plasma.
Vinkristin memiliki volume distribusi 8,4 L/kg. Eksresi melalui urin sebesar 10%
18
dalam 24 jam, dan eksresi fekal mencapai 3% dalam 24 jam. Waktu paruh fase α < 5
menit dan fase β adalah 2,3 jam (Anderson et al., 2002).
Toksisitas utama dari vinkristin adalah neuropati perifer yang dimanifestasikan
oleh konstipasi paresthesias, nyeri rahang, penurunan refleks tendon dalam, dan
terkadang bladder atony atau paralitik ileus. Semua gejala neurologis ini seecara
perlahan teratasi setelah 1 bulan dan memerlukan penurunan dosis jika terjadi saat
administrasi obat (Anderson et al., 2002).
Oncovin dilarutkan dalam Dextrose 5% dengan konsentrasi 16,7 mg didalam
wadah PVC akan stabil dalam 24 jam pada temperatur ruangan. Oncovin dilarutkan
dalam NaCl 0,9% didalam wadah PVC dengan konsentrasi 10, 20, 40, 60, 80, 120 mg
tidak mengalami kehilangan setelah 7 hari pada suhu 4o C diikuti selama hari pada
suhu 23o C (Trissel, 2009).
2.3.3 Mitomisin
Mitomisin (Mitomisin C) adalah antibiotik yang mengandung kuinon, urethane,
dan grup aziridine. Obat ini diaktivasi secara kimia dan metabolik menjadi spesies
pengalkil. Mitomisin dalam regimen kombinasi diberikan 5-10 mg/m2 diulangi dalam
4-6 minggu. Obat ini bekerja non-spesifik pada fase siklus sel, tetapi efikasi
maksimumnya pada fase G1 dan S. Mitomisin digunakan secara primer pada tumor
saluran cerna (intravena) dan kanker kandung kemih (intravesikal). Efek samping dari
obat ini adalah mual, muntah, diare, alopesia, dan terkadang nefrotoksisitas. Obat ini
juga dapat menyebabkan sterilitas, mutagenitas, dan teratogenitas. Toksisitas pada
19
dosis terbatas adalah myelosuppression, trombositopenia dan anemia. Terapi jangka
panjang terkadang menimbulkan sindrom hemolitik-uremik (Anderson et al., 2002).
Komplikasi pada pemaparan jangka pendek yang mungkin terjadi pada
pemberian mitomisin adalah pneumonia interstisial dan gagal ginjal. Pemaparan
jangka panjang menyebabkan supresi pada sumsum tulang dan kerusakan ginjal
pasien.
Secara klinis, nefrotoksisitas yang diinduksi oleh mitomisin-C memiliki
insidensi 2%-10%. Sensitivitas pasien terhadap mitomisin C sangat bervariasi.
Hingga saat ini, uji laboratorium untuk memprediksi kerusakan ginjal akibat
mitomisin C belum tersedia dan progresi kerusakan ginjal bersifat irreversible. Studi
menunjukan bahwa toksisitas renal yang diinduksi oleh mitomisin C bergantung pada
dosis kumulatifnya. Insidensi rendah pada dosis di bawah 50 mg/m2, dan frekuensi
meningkat pada dosis diatas 70 mg/m2 (Hook and Robin, 1993).
Kerusakan ginjal akibat mitomisin dapat disebabkan efek toksik langsung
mitomisin pada sistem endothelium arterial ginjal dan deposisi thrombi fibrin dalam
microvasculature ginjal sehingga menyebabkan vaskulitis pada ginjal (Fayyaz, 2013).
Pada mencit yang diberikan mitomisin, terjadi kerusakan tubulus proksimal dan
kebocoran adenosine triphospaste (ATP). Ketika obat diperfusikan langsung pada
ginjal mencit, timbul kerusakan sel endothelial dan lesi mikroangiopati (Hook and
Robin, 1993).
Setelah pemberian intravena mitomisin sebanyak 15 m/m2, tingkat puncak
serumnya pada konsentrasi 1 mg/L. Obat ini dieliminasi melalui hati sebesar 20% dan
10-30% dalam bentuk bebasnya melalui urin. Nilai klirens mitomisin sebesar 0,3-0,4
20
L/jam/kg. Mitomisin memiliki waktu paruh (t ½ ) pada fase α yaitu 5-10 menit
setelah diinjeksikan dan pada fase β yaitu 46 menit (Anderson et al., 2002).
Mitomisin dilarutkan dalam Dextrose 5% dengan konsentrasi 20 mg dalam
wadah gelas, mitomisin mengalami kehilangan sebanyak 10% dalam waktu 3 jam
pada suhu 25o C. Mitomisin dalam wadah PVC dengan konsentrasi yang sama akan
mengalami kehilangan sebanyak 10% dalam waktu 7 jam pada suhu 25o C (Trissel,
2009).
2.3.4 Karboplatin
Karboplatin merupakan turunan dari cisplatin. Generasi kedua dari platinum ini
merupakan analog yang lebih stabil, tetapi memiliki aktivitas yang ekuivalen pada
beberapa tipe kanker dibandingkan dengan cisplatin. Karboplatin diaktivasi secara
lambat untuk pemaparan pada dua situs pengikatan DNA pada kompleks koordinat
platinum II. Obat ini lebih larut air dan lebih tidak nefrotoksik dibandingkan cisplatin.
Aksi obat ini tidak spesifik pada siklus sel. Pada pasien gangguan ginjal, dosis
karboplatin harus dikurangi. Fraksi bebas dari karboplatin dan hasil hidrolisnya
dieksresikan pada urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Eliminasi lewat
urin mencapai 65% pada pasien dengan kondisi ginjal normal. Efek samping dari
karboplatin diantaranya adalah mual muntah, myelosuppression, trombositopenia,
anemia, diare, nefrotoksiksitas, perubahan elektrolit dan enzim hepatik, neuropati dan
nyeri abdominal. Monitoring terhadap klirens kreatinin perlu dilakukan selama terapi
menggunakan karboplatin (Anderson et al., 2002).
21
Mekanisme biokimia kerusakan ginjal yang disebabkan oleh karboplatin hingga
saat ini belum diketahui secara jelas. Adanya platinum pada karboplatin berikatan
dengan protein ginjal dan akumulasi platinum pada ginjal kemungkinan besar
berperan dalam menginduksi terjadinya nefrotoksisitas akibat adanya kerusakan
glomerular.
Pemberian karboplatin pada mencit menunjukan bahwa karboplatin
menyebabkan hilangnya antioksidan ginjal seperti glutathione, enzim antioksidan,
peningkatan peroksidasi lipid, akumulasi platinum. Hilangnya glutathione pada
jaringan merupakan kejadian penting yang dapat menyebabkan kerusakan pertahanan
seluler dalam melawan spesies oksigen reaktif sehingga dapat menimbulkan
kerusakan peroksidatif. Dapat disimpulkan bahwa karboplatin pada dosis tinggi
menginduksi nefrotoksisitas melalui kerusakan ginjal oksidatif (Husain et al., 2002).
Karboplatin memiliki nilai volume distribusi sebesar 16-20 L. Secara perlahan
karboplatin dihidrolisis secara in vivo untuk berinteraksi dengan dua sis berikatan
DNA. t ½ dari karboplatin pada fase α sebesar 90±50 menit dan pada fase β sebesar
180±50 menit. Nilai klirens total dari karboplatin yaitu 4,4 L/jam (Anderson et al.,
2002).
Setelah karboplatin didistribusikan dalam tubuh, konsentrasi platinum total
ditemukan lebih tinggi pada jaringan dibandingkan konsentrasi plasma. Konsentrasi
tertinggi ditemukan pada jaringan hati, ginjal, kulit, dan tumor. Karboplatin
dieksresikan sebagian besar oleh ginjal terutama melalui filtrasi glomerular (Yarbro
et al., 2011). Klirens tubuh total terhadap ultrafiltrable platinum dan molekul induk
karboplatin secara garis besar ekuivalen dan berkorelasi linier dengan glomerular
22
filtration rate (GFR). Sekitar 65-70% dari dosis platinum total dieliminasi sebagai
karboplatin utuh dalam urin selama 12-16 jam pertama setelah administrasi, dimana
ikatan protein dan bentuk inaktifnya dieliminasi secara lambat pada 5 hari berikutnya
(Albert and Robert, 1998).
Efek karboplatin pada tubuh secara langsung berhubungan dengan jumlah obat
yang mencapai jaringan, yang ditentukan oleh konsentrasi plasma dari karboplatin
tersebut. Karena variabel fisiologis, seperti fungsi ginjal, dapat mempengaruhi
konsentrasi karboplatin dalam proporsinya terhadap klirens total tubuh, AUC menjadi
refleksi yang lebih akurat untuk menggambarkan pemaparan aktual karboplatin pada
jaringan tubuh (terutama tumor) dibandingkan dengan pendosisan menggunakan body
surface area (BSA) (Albert and Robert, 1998).
Untuk perhitungan dosis karboplatin dilakukan dengan menggunakan Calvert
Formula. Formula ini didasarkan pada GFR, karena berdasarkan hasil penelitian
ditemukan korelasi yang tinggi antara GFR dengan klirens renal dari karboplatin,
yang merupakan jalur utama dari eliminasi obat ini. Kontribusi nonrenal terhadap
klirens karboplatin relatif konstan pada 25 mL/menit, dan AUC (Area Under Curve)
dari karboplatin bervariasi tergantung dari klirens renal yang terefleksi dari nilai GFR
yang terukur. Berikut adalah rumus perhitungan dosis dari karboplatin :
Total dose (mg) = target AUC (mg/mL x min) x (GFR [ml//min]
+ 25)
(Albert and Robert, 1998).
23
Nilai 25 mL/menit adalah konstan yang digunakan untuk menggambarkan
klirens non renal dari karboplatin yang berikatan secara irreversible pada jaringan.
Dengan menargetkan AUC karboplatin, dibandingkan dengan menggunakan BSA,
pendosisan dari karboplatin dapat diindividualisasi sesuai target AUC yang
diinginkan, dimana harus berada dalam rentang terapeutik obat. Untuk pasien yang
belum pernah menerima agen tunggal karboplatin, target AUC yang digunakan
adalah 5-7. Sedangkan untuk pasien yang sebelumnya pernah menerima agen
karboplatin atau sedang memperoleh agen myelosuppresive, target AUC yang
digunakan adalah 3-5. Untuk nilai AUC >-7, kemungkinan tidak terjadi peningkatan
efikasi karboplatin, namun terjadi peningkatan trombositopenia dan toksisitas
hematologi lainnya (Albert and Robert, 1998).
Karboplatin dengan konsentrasi 1 gram/L dilarutkan dalam NaCl 0,9% di dalam
wadah gelas secara fisik kompatibel dengan kehilangan 5% dalam 24 jam pada suhu
25o C. Dengan konsentrasi 7 gram/L didalam NaCl 0,9% mengalami kehilangan
sebanyak 8% dalam 2 jam penyimpanan pada suhu 27o C (Trissel, 2009).
2.4 Penanda Tumor Antigen Squamous Cell Carcinoma (SCC)
Antigen Squamous Cell Carcinoma (SCC) adalah glikoprotein yang berukuran
48 kDa. Antigen SCC diisolasi dari kanker skuamosa pada serviks uterus. Lebih dari
90% kanker kepala dan leher serta 80% dari kanker serviks adalah karsinoma sel
skuamosa. Antigen SCC adalah penanda tumor pertama yang digunakan secara
komersil. Level antigen SCC serum meningkat secara signifikan pada pasien dengan
24
kanker serviks, kepala, leher dan paru. Level antigen SCC ini meningkat seiring
dengan peningkatan stadium penyakit. Spesifisitas antigen SCC terbukti baik untuk
kanker skuamosa, dan tidak terjadi peningkatan konsentrasi SCC secara abnormal
pada pasien adenokarsinoma (Wild, 2013).
Penanda tumor membantu pengelolaan diagnosa pada kanker serviks. Untuk sel
skuamosa serviks, SCC adalah penanda yang sering dipilih. Antigen SCC merupakan
penanda paling spesifik untuk kanker serviks sel skuamosa, dimana terajdi
peningkatan nilai antigen SCC pada 64,2% pasien kanker serviks (Chen et al., 2008).
Konsentrasi serum SCC telah ditemukan berkolerasi dengan stadium tumor, ukuran
tumor, sisa-sisa tumor setelah pengobatan, kekambuhan penyakit, dan kelangsungan
hidup pada pasien dengan kanker serviks sel skuamosa (Sturgeon and Diamandis,
2010). The National Academy of Clinical Biochemistry (NACB) merekomendasikan
bahwa antigen SCC dapat digunakan untuk memprediksi prognosis dan respon
pengobatan pada kasus kanker serviks sel skuamosa (Gaarenstroom and Bonfrer,
2005). Kadar Squamous Cell Carcinoma antigen meningkat pada pasien kanker
serviks, tumor epithelial jinak, dan tumor kulit jinak (Aziz dkk., 2006).
SCC merupakan kerabat dari serin protease inhibitor. Kloning molekular dari
genom SCC mengungkapkan adanya dua gen yaitu SCC1 dan SCC2. SCC1
merupakan kode untuk isoform netral, dan SCC2 merupakan kode untuk isoform
asam. Isoform netral terdeteksi di sel epitel normal dan jaringan ganas, sedangkan
isoform asam hanya ditemukan dalam sel- sel tumor, isoform asam juga ditemukan
25
pada serum pasien kanker. Pada wanita sehat SCC ditemukan pada konsentrasi 1,9
ng/L atau antara 2,0 – 2,5 ng/L (Sturgeon and Diamandis, 2010).
2.4.1 Metode Pemeriksaan Antigen Squamous Cell Carcinoma (SCC)
Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan antigen SCC adalah
CMIA (Chemiluminescent Microparticle Immunoassay). ARCHITECT SCC assay
merupakan suatu alat yang berprinsip CMIA untuk penentuan kuantitatif antigen SCC
pada serum dan plasma yang digunakan dalam membantu manajemen diagnosa
pasien dengan karsinoma sel skuamosa (Abbott Laboratories, 2009).
Pada tahap pertama penentuan kadar antigen SCC dengan ARCHITECT SCC
assay, sampel dicampurkan dengan mikropartikel yang dilapisi antibodi SCC dimana
dalam hal ini mikropartikel tersebut berfungsi sebagai fase immobile. Antigen SCC
yang terkandung dalam sampel akan berikatan dengan antibodi SCC. Kemudian
dilakukan washing dengan larutan phosphate buffered saline dan diinkubasi. Pada
tahap kedua, konjugat antibodi berlabel akridinium yang merupakan antibodi
sekunder ditambahkan ke campuran sampel dan antibodi primer. Selanjutnya
dilakukan siklus washing yang kedua. Kemudian dilakukan penambahan larutan pretrigger yaitu hidrogen peroksida 1,32% (b/v) yang bertujuan untuk mencegah
pelepasan energi atau emisi cahaya lebih awal dan mencegah menggumpalnya
mikropartikel serta penambahan larutan trigger yaitu larutan natrium hidroksida 0,35
N yang bertujuan untuk membentuk reaksi oksidatif yang akan menghasilkan Nmethyl-acridone dan pelepasan energi atau emisi cahaya (chemiluminescent). Hasil
reaksi chemiluminescent yang terbentuk diukur sebagai relative light units (RLUs)
26
yang akan diidentifikasi dengan sistem optik pada alat ARCHITECT SCC untuk
memperoleh kadar antigen SCC (Abbott Laboratories, 2009).
2.5 Parameter Efek Samping pada Ginjal
Penilaian terhadap fungsi ginjal didasari oleh prinsip bahwa ginjal
membersihkan suatu substansi dari plasma darah. Ketika substansi tersebut
dieksresikan pada urin, sejumlah tertentu dari volume plasma bebas atau dibersihkan
dari substansi tersebut. Klirens ginjal terhadap suatu substansi dapat didefinisikan
sebagai volume plasma dimana substansi berada yang secara komplit dibersihkan per
unit waktu (Rhoades and David, 2009).
Untuk penilaian fungsi ginjal secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai GFR.
GFR menunjukan laju plasma yang difilitrasi oleh glomerulus ginjal. Nilai GFR
berkaitan dengan usia, jenis kelamin, ukuran tubuh. Pada pria dewasa, nilai normal
GFR adalah sekitar 130 mL/menit/1,73 m2. Pada wanita dewasa, nilai GFR normal
adalah sekitar 120 mL/menit/1,73m2. Pengukuran kuantitatif GFR memerlukan
penetapan klirens ginjal terhadap marker eksogen yang secara bebas difiltrasi oleh
ginjal tanpa mengalami metabolisme, sekresi tubular, reabsorpsi, serta secara cepat
hanya dieksresikan dalam urine hanya melalui filtrasi glomerular. Substansi ideal
eksogen yang digunakan untuk mengukur GFR adalah inulin. Namun, semua syarat
tersebut tidak dapat dipenuhi pada praktik klinis rutin. Komponen berlabel dapat
digunakan sebagai marker filtrasi alternatif, termasuk iothalamat, EDTA, iohexol,
27
dan diethylene triamine penta-aetic acid (DTPA). Pengukuran klirens dengan marker
eksogen memerlukan prosedur yang kompleks, mahal, dan sulit dilakukan secara
rutin dalam praktik klinis. Oleh karena itu, digunakan marker endogen yang
memerlukan prosedur pemeriksaan yang lebih sederhana (Rhoades and David, 2009).
Marker endogen yang ideal dikarakterisasi dengan laju produksi yang stabil,
level sirkulasi stabil, ikatan protein rendah, difiltrasi secara bebas pada glomerulus,
serta sekresi atau reabsorpsinya rendah. Marker endogen yang mendekati persyaratan
tersebut adalah kreatinin. Selain kreatinin, marker endogen lain yang dapat
menggambarkan fungsi ginjal adalah blood urea nitrogen (BUN) (Rhoades and
David, 2009).
2.5.1
Serum Kreatinin
Kreatinin merupakan hasil akhir dari metabolisme otot, merupakan turunan dari
kreatin phospat otot. Kreatinin diproduksi secara kontinyu dalam tubuh dan
dieksresikan dalam urin. Konsentrasi kreatinin dalam darah secara normal adalah
stabil. Penilaian GFR dengan menggunakan serum kreatinin lebih sering dilakukan
dibandingkan kreatinin urin. Hal ini dikarenakan pengukuran kreatinin urin
memerlukan urin tampung 24 jam, sehingga memerlukan prosedur pemeriksaan yang
lebih lama (Rhoades and David, 2009).
Serum kreatinin dan GFR memiliki hubungan resiprokal seperti terlihat pada
grafik dibawah ini:
28
Gambar 2.3 Grafik Hubungan Antara Serum Kreatinin dan GFR (Rhoades and
David, 2009)
Dari gambar diatas terlihat bahwa tingginya tingkat kreatinin serum menunjukkan
menurunnya laju filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan ginjal
mengekskresikan produk limbah tubuh (Rhoades and David, 2009).
Nilai normal kreatinin adalah 0,6-1,3 mg/dL. Pada kondisi fungsi ginjal normal,
kreatinin dalam darah ada dalam jumlah konstan. Nilainya akan meningkat pada
penurunan fungsi ginjal. Serum kreatinin berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi
oleh diet, atau aktivitas dan diekskresi seluruhnya melalui glomerulus (Kemenkes RI,
2011).
29
Tabel 2.5.1 Kategori Gangguan Ginjal Berdasarkan Serum Kreatinin Menurut
Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) Version 4.0 (U.S.
Departemen of Health and Human Services, 2009)
Kategori
Gangguan Ginjal
Deskripsi
Grade 1
1,5-2 kali kadar kreatinin awal
Grade 2
Peningkatan kreatinin 2-3 kali kadar awal
Grade 3
Peningkatan kreatinin >3 kali dari kadar awal atau >4,0
mg/dL
Grade 4
Terjadi dialysis
Grade 5
Kematian
Menurut prosedur Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah, metode yang digunakan pada pemeriksaan serum kreatinin adalah
kolorimetri enzimatik. Metode enzimatik didasarkan pada penetapan hidrogen
peroksida setelah konversi kreatinin dengan bantuan kreatininase, kreatinase, dan
sarkosin oksidase. Hidrogen peroksida yang dibebaskan bereaksi dengan 4aminophenazone dan HTIB untuk membentuk quinone imine chromogen. Intensitas
warna quinone imine chromogen yang terbentuk proporsional terhadap konsentrasi
kreatinin. Konsentrasi kreatinin diukur absorbansinya pada 552 nm.
2.5.2
Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea adalah produk akhir dari metabolisme protein. Urea dieksresikan secara
primer oleh ginjal melalui filtrasi glomerular. Kadar urea dalam darah diukur sebagai
Blood Urea Nitrogen (BUN). Nilai BUN akan meningkat pada penurunan fungsi
ginjal, penurunan volume cairan, dan peningkatan katabolisme serta intake protein.
Ketika terjadi perubahan pada fungsi ginjal, nilai BUN berubah lebih cepat
30
dibandingkan nilai kreatinin. Namun, nilai BUN lebih tidak spesifik dibandingkan
kreatinin dalam menilai fungsi ginjal karena adanya reabsorpsi ureum pada ginjal.
Pengukuran nilai BUN dan kreatinin dilakukan bersamaan dalam praktik klinis. Rasio
antara BUN dan kreatinin normal adalah 10-20:1, rasio lebih besar menunukan
perubahan akut pada GFR. Rasio kurang dari 10 menunjukan kerusakan nefron
(Copstead and Jacqueline, 2014).
Nilai normal BUN adalah 2,1 − 7,9 mmol/L atau 6 − 20 mg/dL. Salah satu fungsi
ginjal adalah untuk menghilangkan BUN karena berpotensi beracun di tubuh. Kadar
BUN akan meningkat pada penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu, mengukur BUN
dapat memberikan indikasi mengenai fungsi ginjal. Katabolisme protein yang cepat
dan gangguan fungsi ginjal akan menghasilkan tingkat BUN yang tinggi (Duong and
Yew-Loh, 2006).
Kadar BUN tidak hanya ditentukan oleh fungsi ginjal. Nilainya juga dapat
dipengaruhi oleh keadaan yang tidak terkait fungsi ginjal, seperti peningkatan atau
penurunan asupan protein, atau keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan
pemecahan protein seperti cedera otot atau nekrosis jaringan. BUN merupakan
indikator non-spesifik pada penyakit ginjal. Meskipun demikian mengukur BUN
dapat memberikan indikasi mengenai fungsi ginjal. Katabolisme protein yang cepat
dan gangguan fungsi ginjal akan menghasilkan tingkat BUN yang tinggi (Duong and
Yew-Loh, 2006).
Menurut prosedur Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah, metode yang digunakan dalam pemeriksaan BUN adalah urease GLDH
31
(glutamate dehydrogenase). Pada reaksi pertama dalam prinsip pemeriksaan dengan
metode ini, urea dihidrolisis oleh urease untuk membentuk ammonium dan karbonat.
Pada reaksi kedua, 2-oxoglutarate yang bereaksi dengan ammonium akan
menghasilkan L-Glutamat dengan adanya glutamate dehydrogenase (GLDH) dan
koenzim NADH. Dalam reaksi ini 2 mol NADH yang teroksidasi menjadi NAD
untuk masing-masing urea dihidrolisis. Laju penurunan konsentrasi NADH secara
proporsional terhadap konsentrasi urea dalam spesimen. Absorbansi diukur pada 340
nm.
Download