7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Serviks 2.1.1 Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Serviks
2.1.1 Pengertian Kanker Serviks
Kanker serviks adalah penyakit yang ditandai dengan pergeseran mekanisme
kontrol yang mengatur kelangsungan hidup, proliferasi, dan diferensiasi sel
(Katzung, 2010). Serviks memiliki panjang 3 cm dengan diameter 2,5 cm. Bagian
bawah dari serviks (outer cerviks atau ectocervix) yang terletak di dalam vagina
dan dapat dilihat dengan menggunakan speculum, sedangkan 2/3 bagian atas
serviks (inner cervix atau endocervix) terletak diatas vagina (WHO, 2006). Ecto
dan Endocervix memiliki tipe sel epitel yang berbeda. Endocervix memiliki
bentuk sel columnar glandular epithelium dan ectocervix memiliki bentuk sel
squamous epithelium. Squamous dan glandular epithelium dihubungkan oleh
Squamocolumnar junction (SCJ) (Dunleavey, 2009). Bagian organ reproduksi
wanita ditunjukan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Bagian Organ Reproduksi Wanita ( WHO, 2006).
7
8
Pada usia remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel skuamosa.
Infeksi virus seperti HPV pada kanker serviks dapat menyebabkan perubahan sel
sel yang baru dengan adanya partikel virus yang masuk ke dalam DNA sel. Jika
virus tersebut tetap ada, dapat menyebabkan prakanker dan kemudian perubah
menjadi kanker dengan mengganggu kontrol normal pertumbuhan sel yang
normal (WHO, 2006). Lesi prakanker serviks ditunjukan pada Gambar 2.2.
Lesi prakanker serviks atau CIN (Cervical Intraepiyhelial Neoplasia) dibagi
menjadi 3 kategori level yang berbeda yaitu:
1. CIN 1 merupakan dysplasia ringan dimana sel sel abnormal hanya menempati
setengah basal epitel.
2. CIN 2 merupakan dysplasia sedang dimana sel abnormal menepati 2/3 bagian
dari sel epitel.
3. CIN 3 merupakan dysplasia berat dengan keterlibatan sel sel abnormal yang
hampir penuh, dan hanya menyisakan mantel tipis di bagian permukaan.
(Dunleavey, 2009).
Gambar 2.2. Level lesi prakanker serviks (Manuaba, 2001).
9
Kanker serviks adalah pertumbuhan abnormal jaringan yang terdapat di
serviks uterus (leher rahim). Dalam situasi normal, sel akan bertambah tua dan
memproduksi sel baru. Tetapi pada kanker, sel membelah secara tidak terkendali
dan tidak menjadi tua. Apabila sel membelah secara tidak terkendali, terbentuklah
tumor atau satu massa (Yatim, 2009). Metastatis terjadi ketika sel sel tersebut
menjadi terpisah dari massa tumor, dan dibawa ke tempat yang jauh melalui darah
dan pembuluh getah bening, dan mulai tumbuh pada tempat yang diinginkan
(WHO, 2006).
2.1.2 Etiologi Kanker Serviks
Terdapat bukti kuat kejadian kanker serviks berhubungan dengan sejumlah
faktor ekstrinsik, yaitu jarang ditemukan pada perawan, insidensi lebih tinggi pada
pasien yang telah kawin daripada yang belum kawin, insidensi meningkat dengan
tingginya paritas, pasien dari golongan sosial ekonomi rendah (hygiene seksual
yang buruk, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan), jarang
dijumpai pada penderita yang suaminya disunat, sering ditemukan pada wanita
yang mengalami infeksi Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 atau tipe 18, dan
kebiasaan merokok (Wiknjosastro dkk., 2007).
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus
(HPV). Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus
HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran
virus ini terutama melalui hubungan seksual. Virus HPV termasuk famili
papovavirus yang merupakan suatu virus DNA. Virus ini menginfeksi membran
basalis pada daerah metaplasia dan zona transformasi serviks. Setelah
10
menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya untuk berkembang biak, virus ini
akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang (Aziz dkk., 2006).
2.1.3 Stadium Kanker Serviks
Penentuan stadium klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit
dan merupakan faktor kunci dalam penentuan terapi yang tepat. Pembagian ini
didasarkan atas pemeriksaan klinik (Williams and Wilkins, 2001). Klasifikasi
Stadium Klinis Kanker Serviks menurut FIGO ditunjukan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks Menurut International
Federation of Gynecology and Obstetric (FIGO, 2000) (Williams and
Wilkins, 2001; Disaia and Creasman, 2007; HOGI, 2011)
Stadium
0
I
IA
IA1
IA2
IB
IB1
IB2
II
IIA
IIA1
IIA2
IIB
III
IIIA
IIIB
IV
IVA
IVB
Kriteria
Karsinoma in-situ atau karsinoma intraepitel
Kanker terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uterus diabaikan)
Kanker invasif hanya didiagnosis secara mikroskopis
Ukuran invasi stroma kedalamannya < 3 mm dan lebarnya ≤ 7 mm
Ukuran invasi stroma kedalamannya 3-5 mm dan lebarnya ≤ 7 mm
Lesi klinis mengurung serviks atau lesi preklinis yang melebihi stadium
IA
Ukuran lesi klinis ≤ 4 cm
Ukuran lesi klinis > 4 cm
Kanker menyebar di luar serviks tetapi tidak menyebar ke dinding
pelvis dan 1/3 bagian bawah vagina
Kanker tanpa invasi parametrium
Lesi klinis sebesar 4,0 cm atau kurang dalam dimensi yang lebih besar
Ukuran lesi klinis > 4 cm
Kanker jelas menginvasi parametrium
Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina atau menginvasi
parametrium sampai dinding pelvis; atau kanker menimbulkan
hidronefrosis atau insufisiensi ginjal
Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina, tidak terjadi perluasan ke
dinding pelvis
Perluasan ke dinding pelvis atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak
berfungsinya ginjal
Penyebaran kanker melewati pelvis minor atau kanker menginvasi
mukosa buli-buli atau mukosa rektum
Kanker bermetastasis ke organ yang berdekatan
Kanker bermetastasis ke organ jauh
11
2.1.4 Jenis Kanker Serviks
Ada dua jenis utama kanker serviks, yaitu:
1.
Sel skuamosa (epidermoid) yaitu berasal dari luar bagian leher rahim yang
menjorok ke dalam vagina. Sekitar 80-90 % dari kanker serviks adalah
karsinoma sel skuamosa.
2.
Adenokarsinoma yaitu berasal dari sel-sel yang membentuk kelenjar di leher
rahim. Dimulai pada bagian serviks lebih dalam, dari jenis yang sama dengan
sel-sel yang melapisi rahim. Sekitar 10% dari kanker serviks adalah
adenokarsinoma.
(Saonere, 2010)
2.1.5 Penanganan Kanker Serviks
Kanker serviks dapat ditangani dengan beberapa metode, antara lain
pembedahan, radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi dari metode-metode
tersebut (Komite Medik, 2004). Pemilihan terapi tergantung pada ukuran tumor,
stadium klinis, tingkat penyebaran tumor, gambaran histologis, adanya
keterlibatan kelenjar getah bening, faktor risiko dari pembedahan atau terapi
radiasi, umur, dan kondisi kesehatan pasien (Williams and Wilkins, 2001).
Salah satu terapi yang dilakukan adalah kemoterapi yaitu pengobatan kanker
dengan menggunakan obat sitoktosik. Kebanyakan obat sitotosik mempunyai efek
yang utama pada proses sintesis dan fungsi molekul makroseluler, yaitu pada
proses sintesis DNA, RNA, atau protein atau mempengaruhi kerja molekul
tersebut. Proses ini cukup menimbulkan kematian sel. Sel yang mati pada setiap
pemberian kemoterapi hanya proporsional, oleh karena itu kemoterapi harus
12
diberikan berulang kali secara terus menerus untuk mengurangi populasi sel (Aziz
dkk., 2006). Kemoterapi kanker serviks umumnya diberikan secara intravena dan
bersiklus yang diselingi dengan waktu istirahat untuk membatasi kerusakan sel-sel
sehat (GCF, 2005). Salah satu ciri kemoterapi adalah sering terjadi efek samping
yang berat walaupun pada dosis terapeutik. Algoritme terapi pada pasien kanker
serviks secara umum adalah sebagai berikut:
Pasien Kanker Serviks
Stadium IA1
dapat
dilakukan
histerektomi
biasa
1.
-
Fist line kombinasi
Cisplatin/ Paclitaxel
Carboplatin/paclitaxel
Cisplatin/topotecan
Cisplatin/gemcitabine
Stadium IA2
dilakukan
radikal
histerektomi dan
bilateral
limfadenektomi
atau radioterapi
Stadium IBIIA
dilakukan
histerektomi
dan terapi
radiasi
primer
2. Terapi agent tunggal
- Cisplatin
- Carboplatin
- Paclitaxel
Stadium IIBIVA
dilakukan
radioterapi
atau
chemoradiot
herapi
3. Second line
- Bevacizumab
- Docetaxel
- Epirubicin
- 5-FU
- Ifosfamid
- Irinotecan
- Liposomal doxorubicin
- Mitomycin
- Pemetrexed
- Topotecan
- Vinorelbine
Gambar 2.3. Algoritme Terapi Kanker Serviks (NCCN, 2010).
13
Pemilihan metode terapi pada kanker serviks sangat dipengaruhi oleh stadium
klinis (Vasilev et al., 2011). Pedoman pemilihan terapi berdasarkan Standar
Prosedur Operasional (SPO) kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar tertera
pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.2 Pemilihan Terapi Berdasarkan Stadium Penyakit (Komite Medik, 2004)
Stadium Tindakan Terapi yang Dianjurkan
0
I–IIA
IIB
III
IV
a. Bila masih ingin memiliki anak dilakukan konisasi
b. Bila tidak ingin memiliki anak lagi dilakukan histerektomi sederhana
Radikal histerektomi
Jika terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka ditambahkan
radiasi eksternal 5.000–6.000 rad atau sitostatika
Jika tidak terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka
dilakukan pengawasan lebih lanjut
Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal)
Jika operabel, maka diberikan radikal histerektomi, kemudian radiasi
ekternal 4000–5000 rad
Jika non operabel, maka diberikan radiasi ekternal 4000–5000 rad
Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal)
Radiasi eksternal
Paliatif (radiasi/operasi/sitostatika paliatif dan simptomatis)
Catatan: Jika pasien berisiko tinggi diperlukan adjuvan radioterapi atau
kemoterapi. Dikatakan risiko tinggi jika terdapat sel ganas, tepi tidak bebas
tumor/radioterapi kurang efektif, dan terdapat pendarahan ke uterus.
Regimen kemoterapi yang biasa digunakan di RSUP Sanglah adalah
kombinasi paclitaxel sisplatin, kombinasi paclitaxel karboplatin dan kombinasi
bleomisin, Oncovin®, mitomisin dan sisplatin (BOMP), dan kombinasi bleomisin,
Oncovin®, mitomisin, dan Karboplatin (BOM-Karboplatin) (Komite Medik,
2004).
14
2.2 Bleomisin, Oncovin®, Mitomisin, dan Karboplatin
Bleomisin, Oncovin® (vinkristin), mitomisin, dan karboplatin merupakan
salah satu regimen yang digunakan dalam prosedur kemoterapi untuk kanker
serviks di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (Komite Medik, 2004).
2.2.1 Bleomisin
Bleomisin adalah campuran dari 13 fraksi glycopeptide diproduksi oleh
Streptomyces verticillus. Efek antineoplastik yang dimiliki adalah pemotongan
DNA untai tunggal dan ganda, memproduksi eksisi basa timin yang dimediasi
melalui pengikatan ion ferric iron dan berikutnya memproduksi hidroksil yang
sangat reaktif dan radikal superoksida. Bleomisin bekerja spesifik pada fase siklus
sel tertentu, dengan aktivitas maksimal pada fase G2 (premitotic) (Anderson et al.,
2002). Bleomisin memiliki tingkat steady-state selama pemberian infus 20
unit/hari berkisar antara 50-200 miliunit/L, dan nilai t ½ sebesar 2 jam. Kecepatan
klirens dari bleomisin yaitu 35 mL/menit. 50%-60% dosis bleomisin yang telah
mengalami proses filtrasi oleh ginjal, 68% merupakan bleomisin dalam bentuk
bebasnya (Anderson et al., 2002). Bleomisin sulfat dengan konsentrasi 15 unit
didalam semua wadah (wadah PVC, wadah gelas, dan wadah polyethylene) tidak
mengalami kehilangan jika dilihat dengan spektroskopi UV dalam 24 jam dengan
sinar matahari langsung (Trissel, 2009).
Efek samping dari bleomisin adalah muntah (rendah hingga sedang), alopesia,
demam akut, eritema dengan edema, terkadang muncul hiperpigmentasi dan
penebalan kulit. Toksisitas yang paling serius untuk pemakaian jangka panjang
adalah fibrosis pulmonary yang dimanifestasikan oleh batuk kering, dyspnea, dan
15
infiltrasi bilateral. Studi menunjukan adanya hipoksemia dan penurunan kapasitas
difusi CO (Anderson et al., 2002). Pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal
dan gangguan fungsi paru yang menerima terapi bleomisin harus diperhatikan
secara seksama setelah terapi yang diberikan. Toksisitas paru terjadi pada 10%
pasien yang menerima terapi tersebut. Sekitar 1% dapat menyebabkan
pneumonitis oleh bleomisin yang dapat berkembang menjadi fibrosis paru, dan
kematian ( Debnath, 2010).
2.2.2 Oncovin®
Oncovin atau Vincristine merupakan alkaloid Vinca yang bekerja sebagai
agen antimitotik. Aktivitas sitotoksiknya dihubungkan dengan ikatan spesifik
pada mikrotubulus protein tubulin sehingga menyebabkan disolusi mikrotubulus.
Hal ini akan memblok pembentukan apparatus benang mitotic yang diperlukan
dalam pembelahan sel. Golongan vinca menyebabkan kematian sel pada dosis
tinggi sedangkan pada dosis rendah menyebabkan penghentian pembelahan sel
pada tahap metaphase mitosis. Vinkristin mengalami proses metabolisme di
CYP3A4 hati, dengan nilai t ½ yaitu 10,5-15,5 jam. 44% dari total vinkristin yang
masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan protein plasma. Kecepatan klirens
vinkristin sebesar 146 mL/menit dengan volume distribusi vinkristin yaitu 8,4
L/kg. Vinkristin dapat dieliminasi melalui urin maupun feses, dengan masingmasing presentasenya 10-20% dan 33-80%. (Anderson et al., 2002).
Toksisitas
utama
dari
Vincristine
adalah
neuropati
perifer
yang
dimanifestasikan oleh konstipasi paresthesias, nyeri rahang, penurunan reflex
tendon dalam, dan terkadang bladder atony atau paralitik ileus. Semua gejala
16
neurologis ini secara perlahan teratasi setelah 1 bulan dan memerlukan penurunan
dosis jika terjadi saat administrasi obat (Anderson et al., 2002).
2.2.3 Mitomisin
Mitomisin (Mitomisin C) adalah antibiotik yang mengandung kuinon,
urethane, dan grup aziridine. Obat ini diaktivasi secara kimia dan metabolik
menjadi spesies pengalkil. Obat ini bekerja non-spesifik pada fase siklus sel, tetapi
efikasi maksimumnya pada fase G1 dan S. Obat ini dieliminasi terutama melalui
hati sebesar 20% dan 10-30% dalam bentuk bebasnya melalui urin.Mitomisin
memiliki waktu paruh (t ½ ) pada fase α yaitu 5-10 menit setelah diinjeksikan dan
pada fase β yaitu 46 menit (Anderson et al., 2002).
Efek samping dari mitomisin adalah mual, muntah, diare, alopesia, dan
terkadang nefrotoksisitas.
mutagenitas,
dan
Obat ini juga
teratogenitas.
Toksisitas
dapat menyebabkan sterilitas,
pada
dosis
terbatas
adalah
myelosuppression, trombositopenia dan anemia. Terapi jangka panjang terkadang
menimbulkan sindrom hemolitik-uremik (Anderson et al., 2002). Penggunaan
mitomisin pada pasien akan menyebabkan toksisitas yang tinggi pada hematologi.
Dari 134 pasien yang menerima mitomisin, efek toksik umum pada pasien adalah
anemia sehingga dilakukan transfusi darah (32, 1%),
(31,6%),
penurunan
kadar
platelet
(94,8%),
dan
penurunan kadar WBC
neutropenia
(91,8%)
(Votanopoulos et al., 2013).
2.2.4 Karboplatin
Karboplatin merupakan turunan dari sisplatin. Generasi kedua dari platinum
ini merupakan analog yang lebih stabil, tetapi memiliki aktivitas yang ekuivalen
17
pada beberapa tipe kanker dibandingkan dengan sisplatin. Karboplatin diaktivasi
secara lambat untuk pemaparan pada dua situs pengikatan DNA pada kompleks
koordinat platinum II. Obat ini lebih larut air dan lebih tidak nefrotoksik
dibandingkan sisplatin. Aksi obat ini tidak spesifik pada siklus sel. Pada pasien
gangguan ginjal, dosis carboplatin harus dikurangi. Fraksi bebas dari karboplatin
dan hasil hidrolisnya dieksresikan pada urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi
tubular. Eliminasi lewat urin mencapai 65% pada pasien dengan kondisi ginjal
normal (Anderson et al., 2002). Obat ini merupakan alkilating agent yang
berikatan secara kovalen dengan DNA, dapat juga melalui cross-link dan
mempengaruhi fungsi DNA. Karboplatin diekskresikan 60-90 % melalui urin
setelah 24 jam, serta menimbulkan peningkatan pada nilai kreatinin dan BUN
(Lacy et al., 2004).
Karboplatin bekerja pada siklus sel fase nonspesifik. Fraksi bebas dari
karboplatin dan hasil dari proses hidrolisis diekskresikan melalui filtrasi
glomerulus dan sekresi tubular. t ½ dari karboplatin pada fase α sebesar 90±50
menit dan pada fase β sebesar 180±50 menit. Nilai klirens dari karboplatin yaitu
4,4 L/jam. (Anderson et al., 2002). Karboplatin dengan konsentrasi 1gram/L
dilarutkan dalam NaCl 0,9% didalam wadah gelas secara fisik kompatibel dengan
kehilangan 5% dalam 24 jam pada suhu 250C. Dengan konsentrasi 7 gram/L
didalam NaCl 0,9% mengalami kehilangan sebanyak 8% dalam 2 jam
penyimpanan pada suhu 270C (Trissel, 2009).
Efek samping yang umum dijumpai dari pemberian karboplatin diantaranya
adalah mual muntah, myelosuppression, trombositopenia, anemia, diare,
18
nefrotoksiksitas, perubahan elektrolit dan enzim hepatik, neuropati dan nyeri
abdominal. Monitoring terhadap klirens kreatinin perlu dilakukan selama terapi
menggunakan karboplatin (Anderson et al., 2002). Efek samping dari penggunaan
karboplatin secara umum antara lain mual (10-18 %), muntah (65-80 %),
gangguan elektrolit, depresi sumsum tulang. Sedangkan efek samping serius yang
dapat terjadi adalah depresi sumsum tulang (trombositopenia 60-70 %),
neutropenia (95%), anemia (88%), hipokalsemia, hipomagnesemia (30-60 %),
hiponatremia (10-50 %), hipokalemia (10-50 %), neurotoksisitas (hanya terjadi
setelah pemberian cisplatin sebelumnya), nefrotoksisitas, ototoksisitas, gagal
jantung, hepatitis, serta pendarahan (Ehrenpreis and Eli, 2001).
2.3 Infiltrasi Parametrium
Infiltrasi Parametrium pada kanker serviks terlihat pada stadium IIB-IIIB
Williams and Wilkins, 2001). Gambar 2.3 menunjukkan stadium pada kanker
serviks
Gambar 2.4. Penentuan Stadium Kanker Serviks (tumor utama dan metastasisnya)
( Dunleavey, 2009)
19
Indikator yang menunjukan efektivitas pengobatan pada pasein kanker
serviks adalah adanya penurunan perluasan tumor yang mencapai parametrium.
Adanya ruang yang bebas dari tumor antara serviks dan dinding pelvis
menunjukan bahwa sel tumor yang menginvasi pada serviks telah mengalami
penurunan infiltrasi parametrium (Chul Cho et al., 2013). Menurut prosedur tetap
RSUP Sanglah Denpasar, ada atau tdaknya ruang bebas tumor (Cancer Free
Space) berupa presentase keterlibatan tumor/kanker pada parametrium kanan dan
kiri. Semakin besar nilai presentase (%) CFS maka keterlibatan tumor/kanker ke
parametrium akan semakin menurun.
Tabel 2.3 Presentase CFS (Cancer Free Space) pada pasien kanker serviks
No
1
2
3
4
5
% range CFS (Cancer Free
Space)
Parametrium
Parametrium
Kanan
Kiri
0%
0%
25%
25%
50%
50%
75%
75%
100 %
100%
Untuk menghindari adanya bias penelitian maka akan dilakukan oleh Dokter
Spesialis kebidanan yang sama pasa saat sebelum kemoterapi I dan sesudah
kemoterapi III (Komite Medik, 2004).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa wanita yang memilki
diameter besar tumor maksimum 2 cm dengan kedalaman infiltrasi kurang dari 10
mm memiliki resiko yang rendah mengalami infiltrasi tumor hingga mencapai
parametrium (SIGN, 2008). Infiltrasi parametrium dapat dinilai secara tidak
langsung berdasarkan batas serviks yang irregular dan tidak tegas, parametrial
20
stranding yang prominen, adanya masa jaringan yang lunak parametrial.
Parametrial stranding merupakan gambaran yang paling sering terlihat bila
terdapat invasi tumor ke parametrium, tetapi dapat juga terlihat bila terdapat
inflamasi parametrium (Vick et al., 2004).
Salah satu metode untuk mengetahui adanya infiltrasi ke dinding pelvis atau
parametrium adalah dengan metode Colok Dubur/ Rectal toucher/ Digital Rectal
Examination (DRE). DRE merupakan salah satu metode sederhana untuk
mengetahui adanya keganasan pada tumor/kanker. Menurut American College of
Obstetricians and Gynecologis, metode rectal examination
dapat dilakukan
kepada semua wanita untuk dapat mengetahui adanya perkembangan tumor pada
kanker serviks. Efek potensial yang muncul adalah timbulnya rasa malu dan tidak
nyaman yang dirasakan pasien pada saat pemeriksaan (Woolf et al., 1996).
DRE merupakan komponen penting yang digunakan untuk pemeriksaan fisik
yang berguna mengetahui adanya penyakit radang panggul pada wanita (Wong et
al., 2012). Diantara alat – alat diagnostik yang tersedia, metode ini adalah metode
yang tercepat, termurah, dan paling mudah dilakukan untuk pasien. Selain
memiliki keuntungan, pemeriksaan dengan metode ini juga memilki keterbatasan,
yaitu sensitivitas tergantung pada keahlian dokter pemeriksa (Furlan et al., 2008).
2.4 Parameter Toksisitas
2.4.1 Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein pengangkut oksigen yang mengandung besi
dalam sel merah dalam darah mamalia. Molekul hemoglobin terdiri dari globin,
21
apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi.
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya
gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di
dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini, maka oksigen dibawa dari
paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Sebagian peneliti menentukan
derajat anemia akibat kemoterapi dengan menggunakan sistem penilaian gradasi
toksisitas, seperti derajat toksisitas yang dipakai oleh The Gynecologic Oncology
Group (GOG) atau The Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG. WHO
telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis
kelamin. Kadar hemoglobin dalam wanita normal 12-16 g/dL (Kemenkes, 2011).
Kategori anemia menurut CTCAE ditunjukan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.4. Kategori Anemia Berdasarkan penurunan kadar Hb Menurut Common
Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) Version 4.0 (U.S. Departemen
of Health and Human Services, 2009)
Kategori Anemia
Deskripsi (range)
Grade 1
Hb <LLN - 10 g/dL, Hb<LLN- 6,2 mmol/L, Hb< LLN100 g/L
Grade 2
Hb < 10-8 g/dL, Hb< 6,2 – 4,9 mmol/L, Hb< 100-80 g/L
Grade 3
Hb < 8 g/dL, Hb< 4,9 mmol/L, Hb< 80 g/L (Transfusi)
Grade 4
Dapat mengancam jiwa, dan diperlukan intervensi
Grade 5
Kematian
Menurut Depkes RI adapun kegunaan hemoglobin antara lain :
1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringanjaringan tubuh.
22
2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringanjaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil
metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah
seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan
pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal
berarti kekurangan darah yang disebut anemia.
(Widayanti, 2008)
2.4.2 Trombosit
Trombosit adalah sel darah tak berinti yang berasal dari sitoplasma
megakariosit. Sel ini memegang peranan penting pada hemostasis karena
trombosit membentuk sumbat hemostatik untuk menutup luka. Pembentukan
sumbat hemostatik terjadi melalui beberapa tahap yaitu adhesi trombosit,
agregrasi trombosit dan reaksi pelepasan. Jumlah trombosit normal adalah sekitar
140-440 x 103/µL (Effendi, 2003).
Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respons
hemostasis normal terhadap cedera vaskular. Tanpa trombosit, dapat terjadi
kebocoran darah spontan melalui pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit berupa
adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat penting
untuk fungsinya (Effendi, 2003).
2.4.3 Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih.
Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 4,1- 11 x 103/µL
23
bila jumlahnya lebih dari 11 x 103/µL, keadaan ini disebut leukositosis, bila
kurang dari 4,1 x 103/µL disebut leukopenia. (Effendi, 2003).
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral
organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid
dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan
menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung.
(Effendi, 2003).
Download