BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Serviks 2.1.1 Pengertian Kanker Serviks Kanker serviks adalah penyakit yang ditandai dengan pergeseran mekanisme kontrol yang mengatur kelangsungan hidup, proliferasi, dan diferensiasi sel (Katzung, 2010). Serviks memiliki panjang 3 cm dengan diameter 2,5 cm. Bagian bawah dari serviks (outer cerviks atau ectocervix) yang terletak di dalam vagina dan dapat dilihat dengan menggunakan speculum, sedangkan 2/3 bagian atas serviks (inner cervix atau endocervix) terletak diatas vagina (WHO, 2006). Ecto dan Endocervix memiliki tipe sel epitel yang berbeda. Endocervix memiliki bentuk sel columnar glandular epithelium dan ectocervix memiliki bentuk sel squamous epithelium. Squamous dan glandular epithelium dihubungkan oleh Squamocolumnar junction (SCJ) (Dunleavey, 2009). Bagian organ reproduksi wanita ditunjukan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Bagian Organ Reproduksi Wanita ( WHO, 2006). 7 8 Pada usia remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia sel skuamosa. Infeksi virus seperti HPV pada kanker serviks dapat menyebabkan perubahan sel sel yang baru dengan adanya partikel virus yang masuk ke dalam DNA sel. Jika virus tersebut tetap ada, dapat menyebabkan prakanker dan kemudian perubah menjadi kanker dengan mengganggu kontrol normal pertumbuhan sel yang normal (WHO, 2006). Lesi prakanker serviks ditunjukan pada Gambar 2.2. Lesi prakanker serviks atau CIN (Cervical Intraepiyhelial Neoplasia) dibagi menjadi 3 kategori level yang berbeda yaitu: 1. CIN 1 merupakan dysplasia ringan dimana sel sel abnormal hanya menempati setengah basal epitel. 2. CIN 2 merupakan dysplasia sedang dimana sel abnormal menepati 2/3 bagian dari sel epitel. 3. CIN 3 merupakan dysplasia berat dengan keterlibatan sel sel abnormal yang hampir penuh, dan hanya menyisakan mantel tipis di bagian permukaan. (Dunleavey, 2009). Gambar 2.2. Level lesi prakanker serviks (Manuaba, 2001). 9 Kanker serviks adalah pertumbuhan abnormal jaringan yang terdapat di serviks uterus (leher rahim). Dalam situasi normal, sel akan bertambah tua dan memproduksi sel baru. Tetapi pada kanker, sel membelah secara tidak terkendali dan tidak menjadi tua. Apabila sel membelah secara tidak terkendali, terbentuklah tumor atau satu massa (Yatim, 2009). Metastatis terjadi ketika sel sel tersebut menjadi terpisah dari massa tumor, dan dibawa ke tempat yang jauh melalui darah dan pembuluh getah bening, dan mulai tumbuh pada tempat yang diinginkan (WHO, 2006). 2.1.2 Etiologi Kanker Serviks Terdapat bukti kuat kejadian kanker serviks berhubungan dengan sejumlah faktor ekstrinsik, yaitu jarang ditemukan pada perawan, insidensi lebih tinggi pada pasien yang telah kawin daripada yang belum kawin, insidensi meningkat dengan tingginya paritas, pasien dari golongan sosial ekonomi rendah (hygiene seksual yang buruk, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan), jarang dijumpai pada penderita yang suaminya disunat, sering ditemukan pada wanita yang mengalami infeksi Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 atau tipe 18, dan kebiasaan merokok (Wiknjosastro dkk., 2007). Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual. Virus HPV termasuk famili papovavirus yang merupakan suatu virus DNA. Virus ini menginfeksi membran basalis pada daerah metaplasia dan zona transformasi serviks. Setelah 10 menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya untuk berkembang biak, virus ini akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang (Aziz dkk., 2006). 2.1.3 Stadium Kanker Serviks Penentuan stadium klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit dan merupakan faktor kunci dalam penentuan terapi yang tepat. Pembagian ini didasarkan atas pemeriksaan klinik (Williams and Wilkins, 2001). Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks menurut FIGO ditunjukan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium Klinis Kanker Serviks Menurut International Federation of Gynecology and Obstetric (FIGO, 2000) (Williams and Wilkins, 2001; Disaia and Creasman, 2007; HOGI, 2011) Stadium 0 I IA IA1 IA2 IB IB1 IB2 II IIA IIA1 IIA2 IIB III IIIA IIIB IV IVA IVB Kriteria Karsinoma in-situ atau karsinoma intraepitel Kanker terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uterus diabaikan) Kanker invasif hanya didiagnosis secara mikroskopis Ukuran invasi stroma kedalamannya < 3 mm dan lebarnya ≤ 7 mm Ukuran invasi stroma kedalamannya 3-5 mm dan lebarnya ≤ 7 mm Lesi klinis mengurung serviks atau lesi preklinis yang melebihi stadium IA Ukuran lesi klinis ≤ 4 cm Ukuran lesi klinis > 4 cm Kanker menyebar di luar serviks tetapi tidak menyebar ke dinding pelvis dan 1/3 bagian bawah vagina Kanker tanpa invasi parametrium Lesi klinis sebesar 4,0 cm atau kurang dalam dimensi yang lebih besar Ukuran lesi klinis > 4 cm Kanker jelas menginvasi parametrium Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina atau menginvasi parametrium sampai dinding pelvis; atau kanker menimbulkan hidronefrosis atau insufisiensi ginjal Kanker menginvasi 1/3 bagian bawah vagina, tidak terjadi perluasan ke dinding pelvis Perluasan ke dinding pelvis atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal Penyebaran kanker melewati pelvis minor atau kanker menginvasi mukosa buli-buli atau mukosa rektum Kanker bermetastasis ke organ yang berdekatan Kanker bermetastasis ke organ jauh 11 2.1.4 Jenis Kanker Serviks Ada dua jenis utama kanker serviks, yaitu: 1. Sel skuamosa (epidermoid) yaitu berasal dari luar bagian leher rahim yang menjorok ke dalam vagina. Sekitar 80-90 % dari kanker serviks adalah karsinoma sel skuamosa. 2. Adenokarsinoma yaitu berasal dari sel-sel yang membentuk kelenjar di leher rahim. Dimulai pada bagian serviks lebih dalam, dari jenis yang sama dengan sel-sel yang melapisi rahim. Sekitar 10% dari kanker serviks adalah adenokarsinoma. (Saonere, 2010) 2.1.5 Penanganan Kanker Serviks Kanker serviks dapat ditangani dengan beberapa metode, antara lain pembedahan, radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi dari metode-metode tersebut (Komite Medik, 2004). Pemilihan terapi tergantung pada ukuran tumor, stadium klinis, tingkat penyebaran tumor, gambaran histologis, adanya keterlibatan kelenjar getah bening, faktor risiko dari pembedahan atau terapi radiasi, umur, dan kondisi kesehatan pasien (Williams and Wilkins, 2001). Salah satu terapi yang dilakukan adalah kemoterapi yaitu pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitoktosik. Kebanyakan obat sitotosik mempunyai efek yang utama pada proses sintesis dan fungsi molekul makroseluler, yaitu pada proses sintesis DNA, RNA, atau protein atau mempengaruhi kerja molekul tersebut. Proses ini cukup menimbulkan kematian sel. Sel yang mati pada setiap pemberian kemoterapi hanya proporsional, oleh karena itu kemoterapi harus 12 diberikan berulang kali secara terus menerus untuk mengurangi populasi sel (Aziz dkk., 2006). Kemoterapi kanker serviks umumnya diberikan secara intravena dan bersiklus yang diselingi dengan waktu istirahat untuk membatasi kerusakan sel-sel sehat (GCF, 2005). Salah satu ciri kemoterapi adalah sering terjadi efek samping yang berat walaupun pada dosis terapeutik. Algoritme terapi pada pasien kanker serviks secara umum adalah sebagai berikut: Pasien Kanker Serviks Stadium IA1 dapat dilakukan histerektomi biasa 1. - Fist line kombinasi Cisplatin/ Paclitaxel Carboplatin/paclitaxel Cisplatin/topotecan Cisplatin/gemcitabine Stadium IA2 dilakukan radikal histerektomi dan bilateral limfadenektomi atau radioterapi Stadium IBIIA dilakukan histerektomi dan terapi radiasi primer 2. Terapi agent tunggal - Cisplatin - Carboplatin - Paclitaxel Stadium IIBIVA dilakukan radioterapi atau chemoradiot herapi 3. Second line - Bevacizumab - Docetaxel - Epirubicin - 5-FU - Ifosfamid - Irinotecan - Liposomal doxorubicin - Mitomycin - Pemetrexed - Topotecan - Vinorelbine Gambar 2.3. Algoritme Terapi Kanker Serviks (NCCN, 2010). 13 Pemilihan metode terapi pada kanker serviks sangat dipengaruhi oleh stadium klinis (Vasilev et al., 2011). Pedoman pemilihan terapi berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar tertera pada tabel di bawah ini. Tabel 2.2 Pemilihan Terapi Berdasarkan Stadium Penyakit (Komite Medik, 2004) Stadium Tindakan Terapi yang Dianjurkan 0 I–IIA IIB III IV a. Bila masih ingin memiliki anak dilakukan konisasi b. Bila tidak ingin memiliki anak lagi dilakukan histerektomi sederhana Radikal histerektomi Jika terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka ditambahkan radiasi eksternal 5.000–6.000 rad atau sitostatika Jika tidak terdapat sel ganas pada kelenjar limfe/vaskular, maka dilakukan pengawasan lebih lanjut Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal) Jika operabel, maka diberikan radikal histerektomi, kemudian radiasi ekternal 4000–5000 rad Jika non operabel, maka diberikan radiasi ekternal 4000–5000 rad Neoadjuvan (Kemoterapi/ ditambah radiasi internal) Radiasi eksternal Paliatif (radiasi/operasi/sitostatika paliatif dan simptomatis) Catatan: Jika pasien berisiko tinggi diperlukan adjuvan radioterapi atau kemoterapi. Dikatakan risiko tinggi jika terdapat sel ganas, tepi tidak bebas tumor/radioterapi kurang efektif, dan terdapat pendarahan ke uterus. Regimen kemoterapi yang biasa digunakan di RSUP Sanglah adalah kombinasi paclitaxel sisplatin, kombinasi paclitaxel karboplatin dan kombinasi bleomisin, Oncovin®, mitomisin dan sisplatin (BOMP), dan kombinasi bleomisin, Oncovin®, mitomisin, dan Karboplatin (BOM-Karboplatin) (Komite Medik, 2004). 14 2.2 Bleomisin, Oncovin®, Mitomisin, dan Karboplatin Bleomisin, Oncovin® (vinkristin), mitomisin, dan karboplatin merupakan salah satu regimen yang digunakan dalam prosedur kemoterapi untuk kanker serviks di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (Komite Medik, 2004). 2.2.1 Bleomisin Bleomisin adalah campuran dari 13 fraksi glycopeptide diproduksi oleh Streptomyces verticillus. Efek antineoplastik yang dimiliki adalah pemotongan DNA untai tunggal dan ganda, memproduksi eksisi basa timin yang dimediasi melalui pengikatan ion ferric iron dan berikutnya memproduksi hidroksil yang sangat reaktif dan radikal superoksida. Bleomisin bekerja spesifik pada fase siklus sel tertentu, dengan aktivitas maksimal pada fase G2 (premitotic) (Anderson et al., 2002). Bleomisin memiliki tingkat steady-state selama pemberian infus 20 unit/hari berkisar antara 50-200 miliunit/L, dan nilai t ½ sebesar 2 jam. Kecepatan klirens dari bleomisin yaitu 35 mL/menit. 50%-60% dosis bleomisin yang telah mengalami proses filtrasi oleh ginjal, 68% merupakan bleomisin dalam bentuk bebasnya (Anderson et al., 2002). Bleomisin sulfat dengan konsentrasi 15 unit didalam semua wadah (wadah PVC, wadah gelas, dan wadah polyethylene) tidak mengalami kehilangan jika dilihat dengan spektroskopi UV dalam 24 jam dengan sinar matahari langsung (Trissel, 2009). Efek samping dari bleomisin adalah muntah (rendah hingga sedang), alopesia, demam akut, eritema dengan edema, terkadang muncul hiperpigmentasi dan penebalan kulit. Toksisitas yang paling serius untuk pemakaian jangka panjang adalah fibrosis pulmonary yang dimanifestasikan oleh batuk kering, dyspnea, dan 15 infiltrasi bilateral. Studi menunjukan adanya hipoksemia dan penurunan kapasitas difusi CO (Anderson et al., 2002). Pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal dan gangguan fungsi paru yang menerima terapi bleomisin harus diperhatikan secara seksama setelah terapi yang diberikan. Toksisitas paru terjadi pada 10% pasien yang menerima terapi tersebut. Sekitar 1% dapat menyebabkan pneumonitis oleh bleomisin yang dapat berkembang menjadi fibrosis paru, dan kematian ( Debnath, 2010). 2.2.2 Oncovin® Oncovin atau Vincristine merupakan alkaloid Vinca yang bekerja sebagai agen antimitotik. Aktivitas sitotoksiknya dihubungkan dengan ikatan spesifik pada mikrotubulus protein tubulin sehingga menyebabkan disolusi mikrotubulus. Hal ini akan memblok pembentukan apparatus benang mitotic yang diperlukan dalam pembelahan sel. Golongan vinca menyebabkan kematian sel pada dosis tinggi sedangkan pada dosis rendah menyebabkan penghentian pembelahan sel pada tahap metaphase mitosis. Vinkristin mengalami proses metabolisme di CYP3A4 hati, dengan nilai t ½ yaitu 10,5-15,5 jam. 44% dari total vinkristin yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan protein plasma. Kecepatan klirens vinkristin sebesar 146 mL/menit dengan volume distribusi vinkristin yaitu 8,4 L/kg. Vinkristin dapat dieliminasi melalui urin maupun feses, dengan masingmasing presentasenya 10-20% dan 33-80%. (Anderson et al., 2002). Toksisitas utama dari Vincristine adalah neuropati perifer yang dimanifestasikan oleh konstipasi paresthesias, nyeri rahang, penurunan reflex tendon dalam, dan terkadang bladder atony atau paralitik ileus. Semua gejala 16 neurologis ini secara perlahan teratasi setelah 1 bulan dan memerlukan penurunan dosis jika terjadi saat administrasi obat (Anderson et al., 2002). 2.2.3 Mitomisin Mitomisin (Mitomisin C) adalah antibiotik yang mengandung kuinon, urethane, dan grup aziridine. Obat ini diaktivasi secara kimia dan metabolik menjadi spesies pengalkil. Obat ini bekerja non-spesifik pada fase siklus sel, tetapi efikasi maksimumnya pada fase G1 dan S. Obat ini dieliminasi terutama melalui hati sebesar 20% dan 10-30% dalam bentuk bebasnya melalui urin.Mitomisin memiliki waktu paruh (t ½ ) pada fase α yaitu 5-10 menit setelah diinjeksikan dan pada fase β yaitu 46 menit (Anderson et al., 2002). Efek samping dari mitomisin adalah mual, muntah, diare, alopesia, dan terkadang nefrotoksisitas. mutagenitas, dan Obat ini juga teratogenitas. Toksisitas dapat menyebabkan sterilitas, pada dosis terbatas adalah myelosuppression, trombositopenia dan anemia. Terapi jangka panjang terkadang menimbulkan sindrom hemolitik-uremik (Anderson et al., 2002). Penggunaan mitomisin pada pasien akan menyebabkan toksisitas yang tinggi pada hematologi. Dari 134 pasien yang menerima mitomisin, efek toksik umum pada pasien adalah anemia sehingga dilakukan transfusi darah (32, 1%), (31,6%), penurunan kadar platelet (94,8%), dan penurunan kadar WBC neutropenia (91,8%) (Votanopoulos et al., 2013). 2.2.4 Karboplatin Karboplatin merupakan turunan dari sisplatin. Generasi kedua dari platinum ini merupakan analog yang lebih stabil, tetapi memiliki aktivitas yang ekuivalen 17 pada beberapa tipe kanker dibandingkan dengan sisplatin. Karboplatin diaktivasi secara lambat untuk pemaparan pada dua situs pengikatan DNA pada kompleks koordinat platinum II. Obat ini lebih larut air dan lebih tidak nefrotoksik dibandingkan sisplatin. Aksi obat ini tidak spesifik pada siklus sel. Pada pasien gangguan ginjal, dosis carboplatin harus dikurangi. Fraksi bebas dari karboplatin dan hasil hidrolisnya dieksresikan pada urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Eliminasi lewat urin mencapai 65% pada pasien dengan kondisi ginjal normal (Anderson et al., 2002). Obat ini merupakan alkilating agent yang berikatan secara kovalen dengan DNA, dapat juga melalui cross-link dan mempengaruhi fungsi DNA. Karboplatin diekskresikan 60-90 % melalui urin setelah 24 jam, serta menimbulkan peningkatan pada nilai kreatinin dan BUN (Lacy et al., 2004). Karboplatin bekerja pada siklus sel fase nonspesifik. Fraksi bebas dari karboplatin dan hasil dari proses hidrolisis diekskresikan melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubular. t ½ dari karboplatin pada fase α sebesar 90±50 menit dan pada fase β sebesar 180±50 menit. Nilai klirens dari karboplatin yaitu 4,4 L/jam. (Anderson et al., 2002). Karboplatin dengan konsentrasi 1gram/L dilarutkan dalam NaCl 0,9% didalam wadah gelas secara fisik kompatibel dengan kehilangan 5% dalam 24 jam pada suhu 250C. Dengan konsentrasi 7 gram/L didalam NaCl 0,9% mengalami kehilangan sebanyak 8% dalam 2 jam penyimpanan pada suhu 270C (Trissel, 2009). Efek samping yang umum dijumpai dari pemberian karboplatin diantaranya adalah mual muntah, myelosuppression, trombositopenia, anemia, diare, 18 nefrotoksiksitas, perubahan elektrolit dan enzim hepatik, neuropati dan nyeri abdominal. Monitoring terhadap klirens kreatinin perlu dilakukan selama terapi menggunakan karboplatin (Anderson et al., 2002). Efek samping dari penggunaan karboplatin secara umum antara lain mual (10-18 %), muntah (65-80 %), gangguan elektrolit, depresi sumsum tulang. Sedangkan efek samping serius yang dapat terjadi adalah depresi sumsum tulang (trombositopenia 60-70 %), neutropenia (95%), anemia (88%), hipokalsemia, hipomagnesemia (30-60 %), hiponatremia (10-50 %), hipokalemia (10-50 %), neurotoksisitas (hanya terjadi setelah pemberian cisplatin sebelumnya), nefrotoksisitas, ototoksisitas, gagal jantung, hepatitis, serta pendarahan (Ehrenpreis and Eli, 2001). 2.3 Infiltrasi Parametrium Infiltrasi Parametrium pada kanker serviks terlihat pada stadium IIB-IIIB Williams and Wilkins, 2001). Gambar 2.3 menunjukkan stadium pada kanker serviks Gambar 2.4. Penentuan Stadium Kanker Serviks (tumor utama dan metastasisnya) ( Dunleavey, 2009) 19 Indikator yang menunjukan efektivitas pengobatan pada pasein kanker serviks adalah adanya penurunan perluasan tumor yang mencapai parametrium. Adanya ruang yang bebas dari tumor antara serviks dan dinding pelvis menunjukan bahwa sel tumor yang menginvasi pada serviks telah mengalami penurunan infiltrasi parametrium (Chul Cho et al., 2013). Menurut prosedur tetap RSUP Sanglah Denpasar, ada atau tdaknya ruang bebas tumor (Cancer Free Space) berupa presentase keterlibatan tumor/kanker pada parametrium kanan dan kiri. Semakin besar nilai presentase (%) CFS maka keterlibatan tumor/kanker ke parametrium akan semakin menurun. Tabel 2.3 Presentase CFS (Cancer Free Space) pada pasien kanker serviks No 1 2 3 4 5 % range CFS (Cancer Free Space) Parametrium Parametrium Kanan Kiri 0% 0% 25% 25% 50% 50% 75% 75% 100 % 100% Untuk menghindari adanya bias penelitian maka akan dilakukan oleh Dokter Spesialis kebidanan yang sama pasa saat sebelum kemoterapi I dan sesudah kemoterapi III (Komite Medik, 2004). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa wanita yang memilki diameter besar tumor maksimum 2 cm dengan kedalaman infiltrasi kurang dari 10 mm memiliki resiko yang rendah mengalami infiltrasi tumor hingga mencapai parametrium (SIGN, 2008). Infiltrasi parametrium dapat dinilai secara tidak langsung berdasarkan batas serviks yang irregular dan tidak tegas, parametrial 20 stranding yang prominen, adanya masa jaringan yang lunak parametrial. Parametrial stranding merupakan gambaran yang paling sering terlihat bila terdapat invasi tumor ke parametrium, tetapi dapat juga terlihat bila terdapat inflamasi parametrium (Vick et al., 2004). Salah satu metode untuk mengetahui adanya infiltrasi ke dinding pelvis atau parametrium adalah dengan metode Colok Dubur/ Rectal toucher/ Digital Rectal Examination (DRE). DRE merupakan salah satu metode sederhana untuk mengetahui adanya keganasan pada tumor/kanker. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologis, metode rectal examination dapat dilakukan kepada semua wanita untuk dapat mengetahui adanya perkembangan tumor pada kanker serviks. Efek potensial yang muncul adalah timbulnya rasa malu dan tidak nyaman yang dirasakan pasien pada saat pemeriksaan (Woolf et al., 1996). DRE merupakan komponen penting yang digunakan untuk pemeriksaan fisik yang berguna mengetahui adanya penyakit radang panggul pada wanita (Wong et al., 2012). Diantara alat – alat diagnostik yang tersedia, metode ini adalah metode yang tercepat, termurah, dan paling mudah dilakukan untuk pasien. Selain memiliki keuntungan, pemeriksaan dengan metode ini juga memilki keterbatasan, yaitu sensitivitas tergantung pada keahlian dokter pemeriksa (Furlan et al., 2008). 2.4 Parameter Toksisitas 2.4.1 Hemoglobin Hemoglobin adalah protein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel merah dalam darah mamalia. Molekul hemoglobin terdiri dari globin, 21 apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini, maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Sebagian peneliti menentukan derajat anemia akibat kemoterapi dengan menggunakan sistem penilaian gradasi toksisitas, seperti derajat toksisitas yang dipakai oleh The Gynecologic Oncology Group (GOG) atau The Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG. WHO telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin. Kadar hemoglobin dalam wanita normal 12-16 g/dL (Kemenkes, 2011). Kategori anemia menurut CTCAE ditunjukan pada Tabel 2.3. Tabel 2.4. Kategori Anemia Berdasarkan penurunan kadar Hb Menurut Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) Version 4.0 (U.S. Departemen of Health and Human Services, 2009) Kategori Anemia Deskripsi (range) Grade 1 Hb <LLN - 10 g/dL, Hb<LLN- 6,2 mmol/L, Hb< LLN100 g/L Grade 2 Hb < 10-8 g/dL, Hb< 6,2 – 4,9 mmol/L, Hb< 100-80 g/L Grade 3 Hb < 8 g/dL, Hb< 4,9 mmol/L, Hb< 80 g/L (Transfusi) Grade 4 Dapat mengancam jiwa, dan diperlukan intervensi Grade 5 Kematian Menurut Depkes RI adapun kegunaan hemoglobin antara lain : 1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringanjaringan tubuh. 22 2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringanjaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar. 3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut anemia. (Widayanti, 2008) 2.4.2 Trombosit Trombosit adalah sel darah tak berinti yang berasal dari sitoplasma megakariosit. Sel ini memegang peranan penting pada hemostasis karena trombosit membentuk sumbat hemostatik untuk menutup luka. Pembentukan sumbat hemostatik terjadi melalui beberapa tahap yaitu adhesi trombosit, agregrasi trombosit dan reaksi pelepasan. Jumlah trombosit normal adalah sekitar 140-440 x 103/µL (Effendi, 2003). Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respons hemostasis normal terhadap cedera vaskular. Tanpa trombosit, dapat terjadi kebocoran darah spontan melalui pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat penting untuk fungsinya (Effendi, 2003). 2.4.3 Leukosit Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 4,1- 11 x 103/µL 23 bila jumlahnya lebih dari 11 x 103/µL, keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari 4,1 x 103/µL disebut leukopenia. (Effendi, 2003). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. (Effendi, 2003).