M6-Healthnews-Mal Feb-Mar V1.indd

advertisement
TIS
GRA
Februari/Maret 2013
HealthNews
Kisah inspiratif dan informative untuk para pasien
MCI (P) 040/01/2013
Mengejar kemenangan
D
i sebuah pagi yang nyaman terjadi hiruk pikuk
besar di Esplanade. Hiruk pikuk yang dimaksud
disini sebenarnya adalah sebuah perhelatan olahraga
tahunan yang telah populer dimana 15.000 wanita dari segala
usia turut berkumpul bersama di titik start pada acara Great
Eastern Women’s Run.
Salah satu di antara mereka adalah My
Kisah
Linh, (16) dan seorang siswi Singapore
Chinese Girls’ School (SCGS), dengan tentang
tongkat penopang kaki (kruk), mereka HARAPAN
terlihat menonjol dari peserta lainnya. Ini
adalah sebuah perlombaan lari 5 km – namun guru-guru My
Linh, orang tua dan teman-temannya begitu menyemangatinya.
“Kamu tidak harus lari,” saran gurunya pada saat sebelum
pendaftaran. “Sesuaikan dengan kemampuanmu saja.”
“Cepat atau lambat, kamu pasti akan mencapai garis
finish,” ujar ayahnya, mengangkat kedua jempol tangannya
-- tanda menyemangati sang anak.
“Kami selalu bersamamu,” teman-temannya turut
menguatkan.
My Linh tidak sempat berkonsultasi dengan ahli
onkologinya, Dr Ang Peng Tiam, begitu juga dengan Dr
Khong Kok Sun, ahli bedah ortopedi yang menangani kakinya.
“Tapi saya tahu bagaimana respon mereka (jika mendengar
saya mengikuti perlombaan ini). Mereka pasti akan berkata
‘Pergilah!’” kata My Linh tersenyum.
Dan begitulah yang dilakukannya. Akhirnya, pada 11
November 2012, dia berhasil menyelesaikan perlombaan
GE Run dalam waktu satu jam 24 menit.
“Saya merasa sangat puas. Ini adalah perlombaan
pertamaku! Di akhir lomba, saya tidak merasa lelah sama
sekali. Saya hanya menganggap ini seperti jalan biasa. Dan
ternyata masih banyak yang finish di belakang saya!”
Apakah dia melakukan sesuatu yang luar biasa untuk
mempersiapkan dirinya untuk Lomba ini? My Linh pun
tertawa meminta maaf. “Pada saat kami diundang untuk ikut
serta di bulan September, saya sudah membuat sebuah resolusi
untuk lebih aktif, lebih menantang diri saya sendiri. Tapi saya
tidak mempersiapkan sesuatu yang spesial, kok, saya hanya
berenang di rumah, dan berjalan kaki selama pelajaran olahraga
di sekolah.”
Kanker di kaki
kanannya tidak
menghentikan
My Linh dari
perlombaan
hidupnya
My Linh dengan
orang tuanya, berdiri
dengan bangga
setelah dia berhasil
menyelesaikan
lomba Great Eastern
Women’s Run.
EDISI BULAN INI: Pekerjaan penuh makna | PCC terus berkarya dan memberikan yang terbaik
Kisah tentang Harapan
Lanjutan halaman muka
Tersambunglah
bersama kami di
www.facebook.com/
parkwaycancercentre
Tim Editorial
Pauline Loh
Vincent Tan
Xavier Tan
Penerbit
Preston
Communications
Percetakan
Impress Printing
Dilarang mengutip,
memperbanyak, atau
memperjualbalikan
kembali sebagian atau
seluruh isi majalah ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit. Informasi
yang tersaji di majalah
ini tidak dimaksudkan
untuk menggantikan
saran dari praktisi
kesehatan Anda.
My Linh menarik perhatian di harian Strait Times, tanggal
10 November 2012. Bukan saja karena pelajar yang gaya
bicaranya lembut ini menggunakan tongkat penopang. Tapi
juga karena dia seorang pejuang kanker – sebuah inspirasi
bagi semua orang.
Dia didiagnosa dengan osteosarcoma, atau kanker tulang di
tulang paha kanannya pada usia sembilan tahun. Di Vietnam,
solusi atas penyakit kanker tulangnya tersebut hanyalah
amputasi. Namun vonis tersebut bagi orang tua My Linh tidak
mereka terima begitu saja. Mereka mencari kesana kemari
dan bahkan mempersiapkan kemungkinan jika memang harus
berobat sampai ke Amerika Serikat (AS) untuk penyembuhan
anaknya, namun ternyata mereka mendapatkan alternatif yang
bagus di Singapura.
“Saat saya datang ke Singapura, pertanyaan pertama
kepada Dr Ang adalah apakah kaki anak saya harus dipotong,
dan saya pun sangat bahagia saat Dr Ang mengatakan bahwa
anak saya ternyata bisa tetap memiliki kakinya,” ibunda My
Linh mengisahkan. Hal itu seperti sebuah tanda bagi keluarga
tersebut bahwa mereka bisa menaruh kepercayaan kepada
Parkway Cancer Centre.
My Linh pun mulai menjalani tujuh tahap kemoterapi pada
November 2006. Sementara itu, tim medis berjuang untuk
mendapatkan tulang yang cocok untuk transplantasi baginya.
Dr Ang menjelaskan prosesnya, “Alih-alih operasi, kami
menawarkan pasien untuk kemoterapi lebih dahulu. Dengan
melakukan ini, pertama, kami dapat memastikan apakah
kanker ini responsif terhadap kemoterapi atau tidak. Apabila
tumor tersebut bersifat responsif, maka kami tidak hanya
akan mengendalikan kanker di tulangnya, namun juga akan
mengontrol metastasisnya secara mikro, yang mana hal seperti
ini tidak dapat terdeteksi dengan scanning.”
“Kedua, kami berlomba dengan waktu – untuk
mempersiapkan tulang transplant (prosthesis) yang sesuai,
sehingga saat kami akhirnya harus melakukan operasi, kami
dapat menggantikan area yang diambil dimana tumor tersebut
diangkat.”
Tumor yang diangkat dari kaki My Linh kemudian dikirim
ke ahli patologi dan kabar baiknya adalah bahwa kemoterapi
yang dilakukannya efektif. Sebuah tulang cangkokan pun
dipasang.
My Linh dengan riang mengungkapkan bahwa dia
telah menjalani tujuh operasi sejauh ini. Dan masih ada
kemungkinan operasi lanjutan di kemudian hari.
“Anastesi umum? Nyeri setelah operasi?” ujarnya
sambil mengangkat bahu, mengingat dua hal tersebut
yang telah membuat banyak orang dewasa pun menjadi
pucat pasi karena ketakutan. “Mungkin karena saya
memulainya (operasi) di usia muda, jadi saya tidak
begitu takut akan hal itu.”
Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa My
Linh dapat mempertahankan kakinya. Sedangkan
tongkat penopang (kruk) adalah untuk bantuan
tambahan saja. Dalam aspek lainnya, My Linh seperti
gadis 16 tahun pada umumnya. Selain itu, dia adalah
seorang peraih beasiswa di salah satu sekolah khusus
wanita unggulan di Singapura. Dia menyukai CCA,
Girls’ Brigade, dan bercerita dengan penuh semangat
tentang perolehan lencana atas jasanya memasak untuk
orang-orang tua dan membantu pekerjaan di rumah.
Apakah dia pernah menyalahkan penyakit
kankernya yang telah begitu menyakitkannya dan
bahkan nyaris merenggut nyawanya?
“Tidak. Justru berkat kanker-lah, saya mendapatkan
kesempatan untuk datang ke Singapura. Ayah dan
saudara laki-laki saya tinggal disini sedangkan ibu
saya bolak-balik Vietnam karena beliau memiliki
bisnis disana, jadi saya tinggal bersama dengan ayah
dan saudara laki-laki saya disini. SCGS adalah sekolah
yang bagus menurut saya.”
Setelah menceritakan semua ceritanya, My Linh
menyimpulkannya dengan sebuah senyum merekah,
“Semuanya sudah baik-baik saja.”
Satu lagi hikmah yang bisa dia ambil dari
pengalaman sakitnya adalah kini dia telah menentukan
sebuah cita-cita yang jelas bagi masa depannya kelak.
“Saya sangat mengagumi dokter-dokter saya. Tapi,
sebagai dokter, mereka harus baik dan sabar terhadap
para pasien. Tadinya saya bercita-cita menjadi dokter
tapi saya tidak memiliki kesabaran seperti mereka, jadi
saya menyerah saja pada cita-cita saya itu. Jadi sekarang
saya fokus belajar untuk menjadi seorang ahli farmasi!”
Melayani Anda
Di usianya yang keen
berkarya dan membe
Dr Ang
Peng Tiam,
Direktur
Medis
Parkway
Cancer
Centre,
berbicara
tentang
rencana
PCC untuk
mengembangkan
model
perawatan
pasiennya
ke negaranegara
sekitar dan
ke seantero
dunia
D
i usianya yang keenam tahun, Parkway Cancer
Centre (PCC) bersiap untuk memasuki tahap
baru dengan meresmikan klinik baru di
Rumah Sakit Mount Elizabeth, Novena.
Klinik di Novena ini memiliki 10 ruang konsultasi
ekspres, sebuah ruang konsultasi privat, dan dua
tempat tidur pasien. Diresmikan pada tanggal 6
Agustus 2012, tim di klinik Novena dipimpin oleh
dua orang ahli onkologi, Dr Patricia Kho and Dr Foo
Kian Fong.
Dr Ang Peng Tiam, Direktur Medis Parkway
Cancer Centre, menjelaskan bahwa klinik Novena
memungkinkan PCC untuk terus berkembang dan
memberikan pelayanan yang terbaik dengan akses
yang lebih mudah.
“Fasilitas kami di Mount Elizabeth dan Gleneagles
sudah mencapai kapasitas maksimal. Dengan adanya
klinik Mount Elizabeth Novena, penambahan jumlah
pasien dapat diatasi dengan bertambahnya juga jumlah
dokter dan fasilitas,” demikian ia menjelaskan.
Beberapa pasien juga bisa memilih untuk
melakukan perawatan di klinik Novena karena klinik
tersebut adalah satu-satunya di Asia yang memiliki
fasilitas alat periksa PET/MR.
Dr Ang Peng Tiam kemudian menambahkan,
“Dengan memiliki dokter dan fasilitas lengkap di satu
lokasi, kami dapat memberikan pelayanan terintegrasi
yang nyaman bagi pasien penderita kanker.”
Pengembangan fasilitas di Singapura hanyalah
salah satu aspek dari rencana pengembangan PCC di
masa depan. PCC juga sedang mempertimbangkan
untuk menawarkan sahamnya kepada publik agar
memungkinkan pengembangan layanan yang lebih
luas ke negara-negara sekitar, demikian penjelasan Dr
Ang, yang merupakan salah satu pendiri awal PCC.
Dengan adanya klinik PCC yang tersebar di
beberapa negara sekitar, berarti pasien tidak lagi
perlu untuk datang langsung ke Singapura untuk
mendapatkan perawatan. Salah satunya yang sudah
berjalan adalah klinik berlisensi PCC untuk merawat
pasien di Yangon, Myanmar.
Diakui bahwa saat ini budget airlines
memungkinkan biaya perjalanan yang lebih murah
untuk pasien berobat ke Singapura. Namun jika PCC
jadi memutuskan untuk go public, maka rencananya
sebelum akhir triwulan pertama tahun depan, PCC
akan mengambil langkah efektif untuk mengakuisisi
salah satu perusahaan publik yang sudah beroperasi
di Singapura.
Menengok perjalanan PCC selama 6 tahun
terakhir, Dr Ang mengatakan bahwa hal yang paling
membanggakan baginya adalah kualitas pelayanan
PCC, yang ditunjukkan dengan kecepatan waktu
pelayanan dalam merespon kondisi pasien yang
mendesak.
Saat ini pasien memiliki pilihan yang luas dengan
adanya berbagai fasilitas perawatan yang kompetitif.
Staf klinik baru PCC di Rumah Sakit Mount Elizabe
“Lebih dari 50 persen pa
perawatan kami, datang
dari teman atau keluarg
bahwa apa yang kami la
yang benar.”
Namun Dr Ang percaya akan posisi PCC yang
strategis, yang didukung oleh tim ahli onkologi yang
handal dan terpercaya.
Hal lain yang menjadi keistimewaan PCC adalah
dukungan sosial dan psikologis yang belum tentu
diberikan oleh klinik privat lainnya.
“Lebih dari 50 persen pasien yang memilih
perawatan kami, datang karena rekomendasi dari
teman atau keluarga,” ia menambahkan. “Ini
Melayani Anda
nam, PCC terus
erikan yang terbaik
Perjalanan Sukses PCC:
Interview dengan Dr Ang
Perubahan apa saja yang
sudah terjadi pada PCC sejak
berdiri tahun 2006?
eth, Novena, yang diresmikan bulan Agustus lalu.
asien yang memilih
g karena rekomendasi
ga. Ini menunjukkan
akukan adalah sesuatu
Dr Ang
menunjukkan bahwa apa yang kami lakukan
adalah sesuatu yang benar. Rekomendasi dari orang
lain yang dipercaya merupakan hal yang sangat
menentukan kemana seorang pasien akan pergi untuk
mendapatkan perawatan bagi dirinya sendiri.”
“Sangat mudah bagi seseorang untuk berkata ‘Klinik sayalah yang terbaik kualitasnya’- namun
penilaian dan rekomendasi orang lainlah yang
menjadi bukti.”
Sejarah PCC sebenarnya sudah dimulai sebelum
tahun 2006. Dr Freddy Teo dan saya memutuskan
untuk membuka klinik privat pada tahun 1997, saat
baru sedikit ahli onkologi yang bergerak di sektor
privat. Persepsi umum pada saat itu adalah bahwa
kanker masih merupakan penyakit yang belum bisa
disembuhkan. Banyak pasien kanker yang meninggal
hanya dalam waktu beberapa bulan atau beberapa
tahun setelah diagnosa kanker ditetapkan. Hanya
sebagian kecil dari jumlah pasien kanker yang
bertahan hidup dan meneruskan perawatan.
Banyak perubahan yang terjadi sejak 10-15 tahun
terakhir. Berbagai terobosan baru ditemukan untuk
mengobati kanker. Kami berdua mulai menjadi
partner sejak tahun 1997. Pada tahun 2005, dua orang
lagi bergabung. Mereka adalah Dr Khoo Kei Siong,
saat itu kepala tim onkologi National Cancer Centre,
dan Dr Lim Hong Liang, yang saat itu menjabat
sebagai kepala tim onkologi National University
Hospital.
Tahun 2006, kami berhasil meyakinkan Parkway
untuk membentuk kerjasama mewujudkan sebuah
klinik khusus pengobatan kanker. Setelah itu,
semuapun bergulir dengan lancar. Dibandingkan
dengan kondisi awal, jumlah pasien yang kami
tangani saat ini sudah mencapai dua kali lipatnya.
Begitu pula dengan pendapatan dan jumlah dokter
yang kami sediakan. Selain empat dokter yang
merupakan pendiri PCC, saat ini kami sudah memiliki
empat orang dokter lainnya. Kami juga memiliki
seorang ahli pengobatan paliatif.
Tenaga medis PCC juga diperkuat dengan tim
onkologi radiasi. Kami juga memiliki spesialis
onkologi pediatrik untuk menangani pasien anakanak. Dengan tim yang lengkap dan terintegrasi,
kami menawarkan pilihan perawatan yang lebih luas
kepada pasien.
Salah satu impian saya adalah menyediakan
banyak informasi yang edukatif, seperti newsletter,
untuk memberikan semangat pada pasien dalam
menjalani proses pengobatan mereka. Hal ini tidak
mungkin dilakukan oleh saya sendiri. Tetapi dengan
kerjasama tim yang saling mendukung di PCC, kami
bisa mewujudkan hal ini.
Saat seorang pasien sudah tidak dapat
menggantungkan harapan lebih jauh lagi pada
Bersambung ke halaman berikutnya
Dr Ang
menjawab
beberapa
pertanyaan
tentang
perjalanan
Parkway
Cancer
Centre
Melayani Anda
Fasilitas di klinik baru PCC di Rumah Sakit
Mount Elizabeth, Novena, termasuk 10 ruang
konsultasi ekspres, sebuah ruang konsultasi
privat, dan dua tempat tidur pasien.
Dari halaman sebelumnya
pengobatan medis, dan kunjungan ke rumah sakit
menjadi terlalu berat, saya percaya akan pentingnya
memastikan perawatan yang menyeluruh di rumah.
Pemikiran ini mendasari dibentuknya tim perawatan
rumah, yang dipimpin langsung oleh ahli pengobatan
paliatif kami.
Semua yang saya sampaikan tadi hanya mungkin
terjadi dengan adanya kerjasama tim yang kompak.
Apa yang paling
membanggakan dari
pencapaian PCC selama 6
tahun ini?
Banyak hal telah berhasil kami wujudkan. Banyak
pula dokter yang ingin bergabung dengan kami.
Tim dokter kami saat ini berjumlah delapan orang,
dan mulai Januari 2013 tim kami akan bertambah
dengan satu orang dokter lagi. Beberapa dokter
menyampaikan bahwa mereka tertarik bergabung
dengan kami karena mereka menilai cara kami
merespon kondisi pasien kanker adalah tepat.
Hal yang paling membanggakan bagi saya
adalah apa yang kami tawarkan pada pasien, yaitu
diagnosis yang sangat cepat dan akurat. Umumnya
dalam waktu 24 sampai 48 jam, kami sudah dapat
menentukan jaringan organ yang terkena kanker,
menentukan luasnya penyebaran kanker dan
kemudian merekomendasikan jenis perawatan yang
diperlukan oleh pasien.
Respon yang efisien tersebut dimungkinkan
karena kami melakukan diagnosis yang menyeluruh,
dimana ahli radiologi, ahli radioterapi, dan dokter
bedah terlibat dan bekerjasama lintas disiplin. Dulu
dokter bedah mempunyai pertimbangan bahwa jika
pasien penderita kanker tidak dioperasi secepatnya,
dan sebaliknya malah disarankan untuk mendapat
perawatan lainnya dahulu, maka kondisi kanker
tersebut akan memburuk dengan cepat. Namun,
dengan memperlihatkan hasil kemoterapi yang
dapat mengurangi ukuran tumor sebelum tindakan
operasi, para dokter bedah dapat diyakinkan bawhwa
kemoterapi sebagai perawatan awal adalah tindakan
yang tepat untuk pasien penderita tumor yang
berukuran besar.
Contoh serupa lainnya, pada beberapa kasus
dimana kami cenderung menganggap kondisi pasien
sudah tidak memungkinkan untuk dioperasi, tim
kami malah merekomendasikan hal yang sebaliknya.
Ini karena dokter bedah kami bekerja sama dengan
ahli-ahli lain dalam tim yang terintegrasi, sehingga
memungkinkan kami untuk melihat secara lebih
komprehensif bahwa tindakan pembedahan malah
dapat meningkatkan harapan, walaupun kondisi
penyebaran kanker mungkin sudah meluas.
Hal ketiga yang membuat saya bangga adalah
dukungan psikologis dan sosial yang didapatkan
oleh pasien kami dari para perawat, tim pengobatan
paliatif, dan konselor CanHOPE.
Bahkan belum lama ini, seorang pasien
bercerita pada saya bahwa satu-satunya alasan ia
mempercayakan perawatan kankernya di Parkway
Cancer Centre adalah karena ia mendapatkan
informasi bagaimana kami mendukung dan
menyemangati pasien untuk berjuang melawan
kanker dan mengatasi efek samping dari perawatan
yang sedang dilakukan.
Saat ini iklim kompetitif lebih
terasa dibandingkan dengan
tahun 2006. Apa yang menjadi
pertimbangan pasien untuk
memilih Parkway Cancer
Centre daripada klinik onkologi
lainnya?
Apa yang menjadi keistimewaan kami? Yang pertama
pastinya karena reputasi para dokter kami. Tim inti
Parkway Cancer Centre terdiri dari para ahli onkologi
yang sangat berpengalaman. Fakta ini adalah penentu
utama posisi kami di bidang ini.
Yang kedua, kami merekrut para ahli onkologi
terbaik dari generasi kedua dan ketiga untuk
memperkuat tim kami.
Selain itu, kami juga berusaha untuk merekrut
tenaga perawat yang terbaik. Kami mempunyai
tim dukungan yang disebut CanHOPE, yang
tidak ditemui pada klinik onkologi privat lainnya.
CanHOPE tidak hanya ada di Singapura, namun
juga pada kantor-kantor kami di Bangladesh,
Kamboja, Indonesia, Vietnam, Filipina, Rusia, Sri
Lanka dan Myanmar. Para pasien dapat merasakan
bahwa kami berusaha untuk memahami mereka dan
membuat mereka merasa lebih nyaman. Walaupun
mereka mendapatkan perawatan di Singapura, saat
mereka kembali ke negara asalnya, mereka dapat
tetap berkonsultasi dalam bahasa dan budaya mereka
sendiri, dengan konselor CanHOPE yang dapat
memahami masalah mereka.
Melayani Anda
B
enson Soh muda begitu gembira dan bangga dengan
ijazahnya yang bernilai A saat dia mulai berpikir tentang
jurusan apa yang akan dipilihnya di universitas nanti.
Ilmu politik? Bisnis? Ekonomi? Semua subjek tersebut
baginya seperti “terlalu membosankan bagi saya”.
Namun ada satu disiplin ilmu yang menarik perhatiannya
– Ilmu Sosial dan Sosiologi di universitas yang di sekarang
bernama University of Singapore. “Saya penasaran, bertanyatanya tentang apakah ilmu tersebut. Pilihan lainnya terasa kurang
menarik bagi saya.”
Saat Mr Soh mengetahui bahwa dia akan belajar tentang
individu, tentang bagaimana setiap orang masuk ke dalam
masyarakat, dan tentang bagaimana untuk membantu mereka
yang kurang beruntung, dia semakin yakin. “Saya menginginkan
sebuah pekerjaan yang bermakna, tidak hanya yang bisa
menghasilkan uang saja. Tetapi sesuatu yang bisa memberikan
arti untuk hal-hal yang saya lakukan,” Mr Soh berkisah, saat ini
usianya 54 tahun.
Namun yang justru tidak begitu yakin dengan pilihannya
adalah orang tuanya. “ Mereka pikir saya gila, memilih profesi
yang paling tidak menghasilkan (uang),” kata Mr Soh. “Ayah saya
berkata kepada saya: ‘Sekarang bukan zamannya kita melakukan
pekerjaan amal.’”
Ayahnya bermimpi anaknya bekerja di bank dan
menginginkan dirinya bisa punya uang banyak. Namun Mr Soh
tetap teguh pada pendiriannya, dan akhirnya orang tuanya pun
mengalah pada pilihan sang anak.
Dan Mr Soh pun tidak pernah menyesali pilihan karirnya
dan masih tetap setia pada karir yang dipilihnya tersebut
sejak lebih dari 32 tahun silam. Karirnya di dunia sosial telah
membawanya bertemu dengan remaja-remaja bermasalah di
Singapore Children’s Society, para pelaku percobaan bunuh
diri di Samaritans of Singapore (SOS) dan pasien-pasien sakit
parah di Parkway Group. Mr Soh memulai karirnya dengan
bekerja sebagai pegawai di instansi yang kemudian disebut
Kementerian Sosial, namun hanya bertahan tiga bulan karena
dia tidak menyukai penelitian dan pekerjaan di belakang meja.
Dari kantor pemerintahan yang nyaman, Mr Soh justru
merasakan tempat yang cocok di “pembuangan sampah”,
sebagaimana digambarkan olehnya, menenggelamkan dirinya
di daerah pedalaman untuk menjangkau remaja-remaja yang
bermasalah. Lantai dasar dan taman bermain pun menjadi
“kantor”nya.
Dia memulai dedikasinya, menginginkan untuk dapat
“membantu kaum papa dan menyelamatkan dunia”. Namun
Mr Soh segera menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu
di tempat dimana dia mencurahkan dirinya untuk kerja sosial
ketimbang hanya berada di zona nyamannya.
“Saya tidak bisa mengerti kenapa para korban kekerasan
masih mau tinggal bersama para pelaku dan bahkan menjalin
hubungan dengan mereka,” ujar Mr Soh. “Tapi saya sadar bahwa
bagi sebagian mereka (wanita korban kekerasan), adalah lebih
menakutkan bagi mereka untuk keluar dari lingkungan yang
mereka sudah terbiasa dengannya.”
Dia menambahkan: “Pada awalnya saya tidak mengerti
akan hal ini.”
Terkuaknya hal tersebut membuatnya lebih bisa memahami
mereka. “Pengetahuan akan hal itu membuat saya mengubah
pola pikir dan cara pendekatan saya terhadap pekerjaan yang
saya geluti.
Pekerjaan penuh ‘makna’
Orang tua Benson Soh mengira anaknya gila karena memilih
untuk bekerja di bidang sosial dan ilmu sosiologi. Namun Mr Soh
tidak pernah menyesalinya
Saya benar-benar belajar tentang bagaimana bisa
menempatkan diri di posisi orang lain dan berempati kepada
mereka ketimbang membiarkan pikiran saya mengganggu saya
tentang bagaimana membantu mereka.”
Mr Soh bergabung dengan Parkway Pantai pada tahun
1996. Dimana dia terlibat dalam bimbingan rohani bagi pasienpasien yang sakit parah dan keluarganya. Dia bergabung dengan
Pekerjaan penuh
‘makna’
Orang tua
Benson Soh
mengira
anaknya gila
karena memilih
untuk bekerja
di bidang
sosial dan
ilmu sosiologi.
Namun Mr Soh
tidak pernah
menyesalinya
Parkway Cancer Center di April 2012 dan juga merupakan
anggota dari CanHOPE, sebuah pelayanan nirlaba konseling dan
pemberian dukungan yang disediakan oleh PCC.
Aktivitas Mr Soh sehari-hari adalah berjumpa dengan tiga
atau empat orang pasien atau anggota keluarga mereka dan
melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit yang berada di bawah
naungan Parkway. Dia juga menyediakan jasa evaluasi psikososial
terhadap para pasien dan keluarga mereka, mengadakan
bimbingan konseling baik bagi individu maupun kelompok,
memberikan fasilitas kelompok-kelompok pendukung, seperti
acara bincang santai, pelatihan dan workshop edukasi untuk
mereka yang terkena kanker. Dia mendeskripsikan waktu
bekerjanya dengan para pasien penyakit parah sebagai “jauh lebih
intens” ketimbang bekerja dengan para pemuda dan para pelaku
percobaan bunuh diri. “Disini, saya harus mendalami apa yang
dialami oleh seorang pasien dengan beberpa sesi sehingga saya
mengikuti dengan baik setiap tahap yang terjadi pada mereka,”
kata Mr Soh. Tidak pernah ada yang disebut kasus mudah dalam
sebuah proses konseling. “Manusia sangat unik dan dinamis.
Tidak peduli seberapa sederhana permasalahan seseorang
yang terlihat di permukaan, Anda tidak boleh menganggapnya
sebagai sebuah angin lalu belaka bahwa masalah tersebut pasti
akan berlalu.” Bagian yang paling menantang dari pekerjaannya
adalah “resep” yang dia berikan ternyata sesuatu yang tidak dapat
mereka terima, seperti halnya obat.
“Saya seperti seorang pemandu atau seorang penggembala,
yang harus membimbing mereka atau orang-orang yang mereka
cintai untuk dapat melalui masa-masa sulit sehingga mereka
dapat mengambil hikmah dari sakitnya mereka,” ujarnya. Mr Soh
mengatakan dia tidak membiarkan pekerjaan yang dijalaninya
membuatnya lemah. “Pada dasarnya, saya adalah seorang yang
sangat positif dan ceria, jadi ini sangat membantu. Saya dan istri
juga saling mendukung baik secara psikis maupun emosional.
Saya selalu menantikan saat-saat pulang bekerja.” Untuk tetap
aktif dan positif, dia banyak berolahraga. Dia pernah lari hingga
30 km, namun menghentikan kegiatan tersebut setelah mengalami
sebuah cedera. Sekarang Mr Soh lebih memilih berenang dan
taichi. Ia tidak pernah menyesali keputusannya tiga dekade
lebih yang lalu. Terlebih lagi, dia bertemu dengan sang istri di
Singapore Children’s Society, dimana istrinya adalah pekerja
sosial juga disana. “Saya tidak pernah menyesal sama sekali. Ini
adalah pekerjaan yang benar-benar saya cintai.”
“Ayah
pernah
menasihati
saya:
Sekarang
bukan
zamannya
bekerja
untuk
amal.”
Mr Soh
The Doctor Is In
“S
aya butuh segera empat kantong darah, satu liter
plasma beku yang masih segar dan satu unit
mesin pemisah sel trombosit,” pinta saya sehalus
Lebih dari
lima jam
lamanya,
seorang
dokter
berada
di sisi
pasiennya
di ruang
operasi
Sejauh
yang saya
jalani
selama ini,
saya semakin
yakin bahwa
tempat saya
sesungguhnya
adalah di
klinik.
mungkin.
“Tolong!” teriak saya lagi, kali ini sedikit panik, karena saat
itu di hadapan saya seorang pasien sedang mengalami perdarahan
yang banyak. Layar monitor mengindikasikan tekanan darah
40/20mmHg dan hemoglobinnya 2.9g/dl (tekanan darah normal
adalah 12.5 g/dl).
Saya benar-benar tidak
pernah menginginkan berada
di ruang operasi. Selama lebih
dari 10 tahun, saya berhasil
menghindari panggilan tersebut
(operasi-pen), dengan bercanda
saya katakan bahwa saya bisa
pingsan jika melihat darah.
Karena faktanya hanya
sedikit yang dilakukan seorang
dokter ahli kanker di ruang
operasi, karena ahli bedahlah
yang mengambil alih instruksi
disana. Namun sayangnya
pasien ini dan keluarganya
tidak menerima jawaban
“tidak”.
“Kami mohon, Dr
Ang. Anda adalah seperti
malaikat pelindungnya dan
kami membutuhkan Anda
di ruang operasi untuk bisa
bersamanya,” ujar keluarga
tersebut memohon.
“Baiklah! Saya akan
kesana 10 menit saja. Dan selebihnya saya akan menyerahkan
dia kepada ahli bedah,” jawab saya, akhirnya menyerah.
Dia adalah Eddy (40), seorang laki-laki berkebangsaan Cina,
yang didiagnosis pertama kali pada Maret 2008 dengan metastatic
gastrointestinal stromal tumour (GIST) yaitu penyakit kanker
yang terjadi pada saluran cerna yang berawal dari sel stroma.
Pada awalnya, dia langsung merespon vonis penyakitnya itu
dengan mengonsumsi obat yang bernama Gleevec.
Meski dengan program pengobatan paling andal sekalipun,
di masa lalu, semua pasien dengan GIST yang telah bermetastasis
umumnya akan bernasib akhir sama: sebagian besar meninggal
dalam waktu satu tahun sejak mereka terdiagnosis.
Di bulan Mei 2001, Gleevec disetujui sebagai obat yang dapat
digunakan untuk mengobati GIST. Dengan meminum empat
tablet per hari, tumor akan mencair dalam waktu beberapa bulan.
Pasien dengan GIST termetastasis diharuskan melakukan
pengobatan jangka panjang. Pemutusan minum obat di tengah
periode pengobatan bukanlah sebuah pilihan bijak sama sekali
karena dapat membuat tumor kembali lagi bahkan menjadi
lebih buruk.
Bahkan, pada sebagian pasien, tumor dapat menjadi resisten
atau kebal terhadap obat tersebut.
Eddy kemudian datang kepada saya saat tumornya terus
tumbuh meski sudah mengonsumsi Gleevec. Dia dirawat di
rumah sakit dengan kondisi sakit di perut yang akut yang
disebabkan oleh pecahnya usus secara tiba-tiba di dalam perutnya.
Pada saat itu, perutnya sangat buncit seperti wanita yang tengah
hamil tua.
Untuk meredakan sesak napasnya, sebuah selang dimasukkan
ke perutnya untuk menyedot cairan. Setiap harinya cairan
bercampur darah yang mencapai beberapa liter berhasil
dikeluarkan dari perutnya. Dia menderita infeksi parah karena isi
ususnya dikosongkan ke rongga perut. Meskipun telah meminum
antibiotik, infeksi tersebut tetap menjadi lebih buruk dan bakteri
akan melubangi dinding perutnya.
Kami merawatnya selama hampir sebulan di ICU.
Dengan dibantu alat pernapasan dan program pencucian darah
berkelanjutan, akhirnya dia bisa diselamatkan dari ambang
kematian menuju keadaan yang cukup baik untuk dapat dilakukan
operasi.
“Kita punya banyak peluang untuk melanjutkan proses ini
dan membereskan kekurangan-kekurangan yang ada,” jelas saya
pada keluarganya.
Tujuan dari operasi tersebut sudah jelas, yaitu memperbaiki
usus yang berlubang, menghentikan perdarahan dan mengangkat
sebanyak mungkin tumor yang ada.
Dr Richard Chew, seorang ahli bedah umum senior, dipilih
untuk memimpin tim yang
terdiri dari tiga orang tersebut.
Selama setengah jam
dalam ruang operasi, saya
mengintip dari balik para
ahli bedah tersebut dan saya
menyaksikan perut yang
sedang dibedah disana. Dan
separuh dari isi perutnya jelas
dipenuhi oleh jaringan yang
telah terkena kanker.
Sedangkan di perut bagian
bawahnya, usus kecilnya telah
pecah dan terbalik. Dan darah
terlihat dimana-mana! Saya
terus menyimak peristiwa
tersebut dan berusaha menahan
diri untuk tidak menggigit
kuku saya karena melihat
mereka (para ahli bedah-pen)
dengan tenangnya menjepit
lalu mengikat pembuluh darah
demi pembuluh darah yang
mengalami perdarahan.
“Kasa. Handuk. Penyedot.
Artery forceps. Jahitan.” Tim
dokter serta perawat bekerja dengan hanya sedikit kata-kata dan
sangat efektif layaknya sebuah pertunjukan tari yang terlatih.
Sebagai satu-satunya penonton dari ‘pertunjukan’ operasi
tersebut, saya menyaksikan dengan penuh kagum saat para ahli
bedah sedang menjalankan tugas mereka. Di sisi pasien, berdiri
seorang ahli anastesi yang terlihat bekerja keras mengendalikan
tekanan darah pasien. Ia dan seorang perawat di sebelahnya
berusaha bersama memposisikan dengan tepat dan kemudian
menyuntikkan darah ke pembuluh pasien tersebut.
Saya berusaha membantu mereka dengan berusaha
menghadirkan darah yang dibutuhkan oleh pasien yang sedang
dioperasi saat itu. Saya menghubungi National Blood Centre
dengan perasaan panik yang terus bertambah. Sekarang yang
saya lakukan bukan lagi sepuluh menit di ruang operasi, namun
berubah menjadi lima setengah jam yang menegangkan.
Selama masa tersebut, kami telah memberikan 12 liter darah
kepada pasien tersebut. Ini belum termasuk cairan lainnya yang
juga disuntikkan kepadanya untuk membantu mengendalikan
tekanan darahnya.
Pada saat saya melakukan panggilan telepon, dokter bedah
berhasil mengangkat bagian perut yang rusak, memperbaiki
kebocoran di usus kecil Eddy, mengikat bagian perutnya yang
telah diserang oleh kanker, menghentikan perdarahan, dan
memotong lebih dari 80 persen dari tumor yang dideritanya.
Berkat karunia-Nya, Eddy dan saya berhasil melewati
operasi tersebut.
Sebagai dokter yang hadir saat itu, saya sangat bersyukur
dan berterima kasih atas upaya luar biasa dari seluruh tim –
mulai dari ahli bedah di rumah sakit hingga petugas yang saat itu
berjaga di bank darah, mulai dari perawat ICU sampai petugas
di ruang operasi.
Sejauh yang saya jalani selama ini, saya merasa semakin
yakin bahwa tempat saya yang sesungguhnya adalah di klinik,
yaitu berada di sisi sofa pemeriksaan (berinteraksi dengan para
pasien dan keluarganya-pen), ketimbang harus berada di ruang
operasi.
Operation
Radical
Dr Ang Peng Tiam
Download