TIS GRA Februari/Maret 2013 HealthNews Kisah inspiratif dan informative untuk para pasien MCI (P) 040/01/2013 Mengejar kemenangan D i sebuah pagi yang nyaman terjadi hiruk pikuk besar di Esplanade. Hiruk pikuk yang dimaksud disini sebenarnya adalah sebuah perhelatan olahraga tahunan yang telah populer dimana 15.000 wanita dari segala usia turut berkumpul bersama di titik start pada acara Great Eastern Women’s Run. Salah satu di antara mereka adalah My Kisah Linh, (16) dan seorang siswi Singapore Chinese Girls’ School (SCGS), dengan tentang tongkat penopang kaki (kruk), mereka HARAPAN terlihat menonjol dari peserta lainnya. Ini adalah sebuah perlombaan lari 5 km – namun guru-guru My Linh, orang tua dan teman-temannya begitu menyemangatinya. “Kamu tidak harus lari,” saran gurunya pada saat sebelum pendaftaran. “Sesuaikan dengan kemampuanmu saja.” “Cepat atau lambat, kamu pasti akan mencapai garis finish,” ujar ayahnya, mengangkat kedua jempol tangannya -- tanda menyemangati sang anak. “Kami selalu bersamamu,” teman-temannya turut menguatkan. My Linh tidak sempat berkonsultasi dengan ahli onkologinya, Dr Ang Peng Tiam, begitu juga dengan Dr Khong Kok Sun, ahli bedah ortopedi yang menangani kakinya. “Tapi saya tahu bagaimana respon mereka (jika mendengar saya mengikuti perlombaan ini). Mereka pasti akan berkata ‘Pergilah!’” kata My Linh tersenyum. Dan begitulah yang dilakukannya. Akhirnya, pada 11 November 2012, dia berhasil menyelesaikan perlombaan GE Run dalam waktu satu jam 24 menit. “Saya merasa sangat puas. Ini adalah perlombaan pertamaku! Di akhir lomba, saya tidak merasa lelah sama sekali. Saya hanya menganggap ini seperti jalan biasa. Dan ternyata masih banyak yang finish di belakang saya!” Apakah dia melakukan sesuatu yang luar biasa untuk mempersiapkan dirinya untuk Lomba ini? My Linh pun tertawa meminta maaf. “Pada saat kami diundang untuk ikut serta di bulan September, saya sudah membuat sebuah resolusi untuk lebih aktif, lebih menantang diri saya sendiri. Tapi saya tidak mempersiapkan sesuatu yang spesial, kok, saya hanya berenang di rumah, dan berjalan kaki selama pelajaran olahraga di sekolah.” Kanker di kaki kanannya tidak menghentikan My Linh dari perlombaan hidupnya My Linh dengan orang tuanya, berdiri dengan bangga setelah dia berhasil menyelesaikan lomba Great Eastern Women’s Run. EDISI BULAN INI: Pekerjaan penuh makna | PCC terus berkarya dan memberikan yang terbaik Kisah tentang Harapan Lanjutan halaman muka Tersambunglah bersama kami di www.facebook.com/ parkwaycancercentre Tim Editorial Pauline Loh Vincent Tan Xavier Tan Penerbit Preston Communications Percetakan Impress Printing Dilarang mengutip, memperbanyak, atau memperjualbalikan kembali sebagian atau seluruh isi majalah ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Informasi yang tersaji di majalah ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan saran dari praktisi kesehatan Anda. My Linh menarik perhatian di harian Strait Times, tanggal 10 November 2012. Bukan saja karena pelajar yang gaya bicaranya lembut ini menggunakan tongkat penopang. Tapi juga karena dia seorang pejuang kanker – sebuah inspirasi bagi semua orang. Dia didiagnosa dengan osteosarcoma, atau kanker tulang di tulang paha kanannya pada usia sembilan tahun. Di Vietnam, solusi atas penyakit kanker tulangnya tersebut hanyalah amputasi. Namun vonis tersebut bagi orang tua My Linh tidak mereka terima begitu saja. Mereka mencari kesana kemari dan bahkan mempersiapkan kemungkinan jika memang harus berobat sampai ke Amerika Serikat (AS) untuk penyembuhan anaknya, namun ternyata mereka mendapatkan alternatif yang bagus di Singapura. “Saat saya datang ke Singapura, pertanyaan pertama kepada Dr Ang adalah apakah kaki anak saya harus dipotong, dan saya pun sangat bahagia saat Dr Ang mengatakan bahwa anak saya ternyata bisa tetap memiliki kakinya,” ibunda My Linh mengisahkan. Hal itu seperti sebuah tanda bagi keluarga tersebut bahwa mereka bisa menaruh kepercayaan kepada Parkway Cancer Centre. My Linh pun mulai menjalani tujuh tahap kemoterapi pada November 2006. Sementara itu, tim medis berjuang untuk mendapatkan tulang yang cocok untuk transplantasi baginya. Dr Ang menjelaskan prosesnya, “Alih-alih operasi, kami menawarkan pasien untuk kemoterapi lebih dahulu. Dengan melakukan ini, pertama, kami dapat memastikan apakah kanker ini responsif terhadap kemoterapi atau tidak. Apabila tumor tersebut bersifat responsif, maka kami tidak hanya akan mengendalikan kanker di tulangnya, namun juga akan mengontrol metastasisnya secara mikro, yang mana hal seperti ini tidak dapat terdeteksi dengan scanning.” “Kedua, kami berlomba dengan waktu – untuk mempersiapkan tulang transplant (prosthesis) yang sesuai, sehingga saat kami akhirnya harus melakukan operasi, kami dapat menggantikan area yang diambil dimana tumor tersebut diangkat.” Tumor yang diangkat dari kaki My Linh kemudian dikirim ke ahli patologi dan kabar baiknya adalah bahwa kemoterapi yang dilakukannya efektif. Sebuah tulang cangkokan pun dipasang. My Linh dengan riang mengungkapkan bahwa dia telah menjalani tujuh operasi sejauh ini. Dan masih ada kemungkinan operasi lanjutan di kemudian hari. “Anastesi umum? Nyeri setelah operasi?” ujarnya sambil mengangkat bahu, mengingat dua hal tersebut yang telah membuat banyak orang dewasa pun menjadi pucat pasi karena ketakutan. “Mungkin karena saya memulainya (operasi) di usia muda, jadi saya tidak begitu takut akan hal itu.” Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa My Linh dapat mempertahankan kakinya. Sedangkan tongkat penopang (kruk) adalah untuk bantuan tambahan saja. Dalam aspek lainnya, My Linh seperti gadis 16 tahun pada umumnya. Selain itu, dia adalah seorang peraih beasiswa di salah satu sekolah khusus wanita unggulan di Singapura. Dia menyukai CCA, Girls’ Brigade, dan bercerita dengan penuh semangat tentang perolehan lencana atas jasanya memasak untuk orang-orang tua dan membantu pekerjaan di rumah. Apakah dia pernah menyalahkan penyakit kankernya yang telah begitu menyakitkannya dan bahkan nyaris merenggut nyawanya? “Tidak. Justru berkat kanker-lah, saya mendapatkan kesempatan untuk datang ke Singapura. Ayah dan saudara laki-laki saya tinggal disini sedangkan ibu saya bolak-balik Vietnam karena beliau memiliki bisnis disana, jadi saya tinggal bersama dengan ayah dan saudara laki-laki saya disini. SCGS adalah sekolah yang bagus menurut saya.” Setelah menceritakan semua ceritanya, My Linh menyimpulkannya dengan sebuah senyum merekah, “Semuanya sudah baik-baik saja.” Satu lagi hikmah yang bisa dia ambil dari pengalaman sakitnya adalah kini dia telah menentukan sebuah cita-cita yang jelas bagi masa depannya kelak. “Saya sangat mengagumi dokter-dokter saya. Tapi, sebagai dokter, mereka harus baik dan sabar terhadap para pasien. Tadinya saya bercita-cita menjadi dokter tapi saya tidak memiliki kesabaran seperti mereka, jadi saya menyerah saja pada cita-cita saya itu. Jadi sekarang saya fokus belajar untuk menjadi seorang ahli farmasi!” Melayani Anda Di usianya yang keen berkarya dan membe Dr Ang Peng Tiam, Direktur Medis Parkway Cancer Centre, berbicara tentang rencana PCC untuk mengembangkan model perawatan pasiennya ke negaranegara sekitar dan ke seantero dunia D i usianya yang keenam tahun, Parkway Cancer Centre (PCC) bersiap untuk memasuki tahap baru dengan meresmikan klinik baru di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Novena. Klinik di Novena ini memiliki 10 ruang konsultasi ekspres, sebuah ruang konsultasi privat, dan dua tempat tidur pasien. Diresmikan pada tanggal 6 Agustus 2012, tim di klinik Novena dipimpin oleh dua orang ahli onkologi, Dr Patricia Kho and Dr Foo Kian Fong. Dr Ang Peng Tiam, Direktur Medis Parkway Cancer Centre, menjelaskan bahwa klinik Novena memungkinkan PCC untuk terus berkembang dan memberikan pelayanan yang terbaik dengan akses yang lebih mudah. “Fasilitas kami di Mount Elizabeth dan Gleneagles sudah mencapai kapasitas maksimal. Dengan adanya klinik Mount Elizabeth Novena, penambahan jumlah pasien dapat diatasi dengan bertambahnya juga jumlah dokter dan fasilitas,” demikian ia menjelaskan. Beberapa pasien juga bisa memilih untuk melakukan perawatan di klinik Novena karena klinik tersebut adalah satu-satunya di Asia yang memiliki fasilitas alat periksa PET/MR. Dr Ang Peng Tiam kemudian menambahkan, “Dengan memiliki dokter dan fasilitas lengkap di satu lokasi, kami dapat memberikan pelayanan terintegrasi yang nyaman bagi pasien penderita kanker.” Pengembangan fasilitas di Singapura hanyalah salah satu aspek dari rencana pengembangan PCC di masa depan. PCC juga sedang mempertimbangkan untuk menawarkan sahamnya kepada publik agar memungkinkan pengembangan layanan yang lebih luas ke negara-negara sekitar, demikian penjelasan Dr Ang, yang merupakan salah satu pendiri awal PCC. Dengan adanya klinik PCC yang tersebar di beberapa negara sekitar, berarti pasien tidak lagi perlu untuk datang langsung ke Singapura untuk mendapatkan perawatan. Salah satunya yang sudah berjalan adalah klinik berlisensi PCC untuk merawat pasien di Yangon, Myanmar. Diakui bahwa saat ini budget airlines memungkinkan biaya perjalanan yang lebih murah untuk pasien berobat ke Singapura. Namun jika PCC jadi memutuskan untuk go public, maka rencananya sebelum akhir triwulan pertama tahun depan, PCC akan mengambil langkah efektif untuk mengakuisisi salah satu perusahaan publik yang sudah beroperasi di Singapura. Menengok perjalanan PCC selama 6 tahun terakhir, Dr Ang mengatakan bahwa hal yang paling membanggakan baginya adalah kualitas pelayanan PCC, yang ditunjukkan dengan kecepatan waktu pelayanan dalam merespon kondisi pasien yang mendesak. Saat ini pasien memiliki pilihan yang luas dengan adanya berbagai fasilitas perawatan yang kompetitif. Staf klinik baru PCC di Rumah Sakit Mount Elizabe “Lebih dari 50 persen pa perawatan kami, datang dari teman atau keluarg bahwa apa yang kami la yang benar.” Namun Dr Ang percaya akan posisi PCC yang strategis, yang didukung oleh tim ahli onkologi yang handal dan terpercaya. Hal lain yang menjadi keistimewaan PCC adalah dukungan sosial dan psikologis yang belum tentu diberikan oleh klinik privat lainnya. “Lebih dari 50 persen pasien yang memilih perawatan kami, datang karena rekomendasi dari teman atau keluarga,” ia menambahkan. “Ini Melayani Anda nam, PCC terus erikan yang terbaik Perjalanan Sukses PCC: Interview dengan Dr Ang Perubahan apa saja yang sudah terjadi pada PCC sejak berdiri tahun 2006? eth, Novena, yang diresmikan bulan Agustus lalu. asien yang memilih g karena rekomendasi ga. Ini menunjukkan akukan adalah sesuatu Dr Ang menunjukkan bahwa apa yang kami lakukan adalah sesuatu yang benar. Rekomendasi dari orang lain yang dipercaya merupakan hal yang sangat menentukan kemana seorang pasien akan pergi untuk mendapatkan perawatan bagi dirinya sendiri.” “Sangat mudah bagi seseorang untuk berkata ‘Klinik sayalah yang terbaik kualitasnya’- namun penilaian dan rekomendasi orang lainlah yang menjadi bukti.” Sejarah PCC sebenarnya sudah dimulai sebelum tahun 2006. Dr Freddy Teo dan saya memutuskan untuk membuka klinik privat pada tahun 1997, saat baru sedikit ahli onkologi yang bergerak di sektor privat. Persepsi umum pada saat itu adalah bahwa kanker masih merupakan penyakit yang belum bisa disembuhkan. Banyak pasien kanker yang meninggal hanya dalam waktu beberapa bulan atau beberapa tahun setelah diagnosa kanker ditetapkan. Hanya sebagian kecil dari jumlah pasien kanker yang bertahan hidup dan meneruskan perawatan. Banyak perubahan yang terjadi sejak 10-15 tahun terakhir. Berbagai terobosan baru ditemukan untuk mengobati kanker. Kami berdua mulai menjadi partner sejak tahun 1997. Pada tahun 2005, dua orang lagi bergabung. Mereka adalah Dr Khoo Kei Siong, saat itu kepala tim onkologi National Cancer Centre, dan Dr Lim Hong Liang, yang saat itu menjabat sebagai kepala tim onkologi National University Hospital. Tahun 2006, kami berhasil meyakinkan Parkway untuk membentuk kerjasama mewujudkan sebuah klinik khusus pengobatan kanker. Setelah itu, semuapun bergulir dengan lancar. Dibandingkan dengan kondisi awal, jumlah pasien yang kami tangani saat ini sudah mencapai dua kali lipatnya. Begitu pula dengan pendapatan dan jumlah dokter yang kami sediakan. Selain empat dokter yang merupakan pendiri PCC, saat ini kami sudah memiliki empat orang dokter lainnya. Kami juga memiliki seorang ahli pengobatan paliatif. Tenaga medis PCC juga diperkuat dengan tim onkologi radiasi. Kami juga memiliki spesialis onkologi pediatrik untuk menangani pasien anakanak. Dengan tim yang lengkap dan terintegrasi, kami menawarkan pilihan perawatan yang lebih luas kepada pasien. Salah satu impian saya adalah menyediakan banyak informasi yang edukatif, seperti newsletter, untuk memberikan semangat pada pasien dalam menjalani proses pengobatan mereka. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh saya sendiri. Tetapi dengan kerjasama tim yang saling mendukung di PCC, kami bisa mewujudkan hal ini. Saat seorang pasien sudah tidak dapat menggantungkan harapan lebih jauh lagi pada Bersambung ke halaman berikutnya Dr Ang menjawab beberapa pertanyaan tentang perjalanan Parkway Cancer Centre Melayani Anda Fasilitas di klinik baru PCC di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Novena, termasuk 10 ruang konsultasi ekspres, sebuah ruang konsultasi privat, dan dua tempat tidur pasien. Dari halaman sebelumnya pengobatan medis, dan kunjungan ke rumah sakit menjadi terlalu berat, saya percaya akan pentingnya memastikan perawatan yang menyeluruh di rumah. Pemikiran ini mendasari dibentuknya tim perawatan rumah, yang dipimpin langsung oleh ahli pengobatan paliatif kami. Semua yang saya sampaikan tadi hanya mungkin terjadi dengan adanya kerjasama tim yang kompak. Apa yang paling membanggakan dari pencapaian PCC selama 6 tahun ini? Banyak hal telah berhasil kami wujudkan. Banyak pula dokter yang ingin bergabung dengan kami. Tim dokter kami saat ini berjumlah delapan orang, dan mulai Januari 2013 tim kami akan bertambah dengan satu orang dokter lagi. Beberapa dokter menyampaikan bahwa mereka tertarik bergabung dengan kami karena mereka menilai cara kami merespon kondisi pasien kanker adalah tepat. Hal yang paling membanggakan bagi saya adalah apa yang kami tawarkan pada pasien, yaitu diagnosis yang sangat cepat dan akurat. Umumnya dalam waktu 24 sampai 48 jam, kami sudah dapat menentukan jaringan organ yang terkena kanker, menentukan luasnya penyebaran kanker dan kemudian merekomendasikan jenis perawatan yang diperlukan oleh pasien. Respon yang efisien tersebut dimungkinkan karena kami melakukan diagnosis yang menyeluruh, dimana ahli radiologi, ahli radioterapi, dan dokter bedah terlibat dan bekerjasama lintas disiplin. Dulu dokter bedah mempunyai pertimbangan bahwa jika pasien penderita kanker tidak dioperasi secepatnya, dan sebaliknya malah disarankan untuk mendapat perawatan lainnya dahulu, maka kondisi kanker tersebut akan memburuk dengan cepat. Namun, dengan memperlihatkan hasil kemoterapi yang dapat mengurangi ukuran tumor sebelum tindakan operasi, para dokter bedah dapat diyakinkan bawhwa kemoterapi sebagai perawatan awal adalah tindakan yang tepat untuk pasien penderita tumor yang berukuran besar. Contoh serupa lainnya, pada beberapa kasus dimana kami cenderung menganggap kondisi pasien sudah tidak memungkinkan untuk dioperasi, tim kami malah merekomendasikan hal yang sebaliknya. Ini karena dokter bedah kami bekerja sama dengan ahli-ahli lain dalam tim yang terintegrasi, sehingga memungkinkan kami untuk melihat secara lebih komprehensif bahwa tindakan pembedahan malah dapat meningkatkan harapan, walaupun kondisi penyebaran kanker mungkin sudah meluas. Hal ketiga yang membuat saya bangga adalah dukungan psikologis dan sosial yang didapatkan oleh pasien kami dari para perawat, tim pengobatan paliatif, dan konselor CanHOPE. Bahkan belum lama ini, seorang pasien bercerita pada saya bahwa satu-satunya alasan ia mempercayakan perawatan kankernya di Parkway Cancer Centre adalah karena ia mendapatkan informasi bagaimana kami mendukung dan menyemangati pasien untuk berjuang melawan kanker dan mengatasi efek samping dari perawatan yang sedang dilakukan. Saat ini iklim kompetitif lebih terasa dibandingkan dengan tahun 2006. Apa yang menjadi pertimbangan pasien untuk memilih Parkway Cancer Centre daripada klinik onkologi lainnya? Apa yang menjadi keistimewaan kami? Yang pertama pastinya karena reputasi para dokter kami. Tim inti Parkway Cancer Centre terdiri dari para ahli onkologi yang sangat berpengalaman. Fakta ini adalah penentu utama posisi kami di bidang ini. Yang kedua, kami merekrut para ahli onkologi terbaik dari generasi kedua dan ketiga untuk memperkuat tim kami. Selain itu, kami juga berusaha untuk merekrut tenaga perawat yang terbaik. Kami mempunyai tim dukungan yang disebut CanHOPE, yang tidak ditemui pada klinik onkologi privat lainnya. CanHOPE tidak hanya ada di Singapura, namun juga pada kantor-kantor kami di Bangladesh, Kamboja, Indonesia, Vietnam, Filipina, Rusia, Sri Lanka dan Myanmar. Para pasien dapat merasakan bahwa kami berusaha untuk memahami mereka dan membuat mereka merasa lebih nyaman. Walaupun mereka mendapatkan perawatan di Singapura, saat mereka kembali ke negara asalnya, mereka dapat tetap berkonsultasi dalam bahasa dan budaya mereka sendiri, dengan konselor CanHOPE yang dapat memahami masalah mereka. Melayani Anda B enson Soh muda begitu gembira dan bangga dengan ijazahnya yang bernilai A saat dia mulai berpikir tentang jurusan apa yang akan dipilihnya di universitas nanti. Ilmu politik? Bisnis? Ekonomi? Semua subjek tersebut baginya seperti “terlalu membosankan bagi saya”. Namun ada satu disiplin ilmu yang menarik perhatiannya – Ilmu Sosial dan Sosiologi di universitas yang di sekarang bernama University of Singapore. “Saya penasaran, bertanyatanya tentang apakah ilmu tersebut. Pilihan lainnya terasa kurang menarik bagi saya.” Saat Mr Soh mengetahui bahwa dia akan belajar tentang individu, tentang bagaimana setiap orang masuk ke dalam masyarakat, dan tentang bagaimana untuk membantu mereka yang kurang beruntung, dia semakin yakin. “Saya menginginkan sebuah pekerjaan yang bermakna, tidak hanya yang bisa menghasilkan uang saja. Tetapi sesuatu yang bisa memberikan arti untuk hal-hal yang saya lakukan,” Mr Soh berkisah, saat ini usianya 54 tahun. Namun yang justru tidak begitu yakin dengan pilihannya adalah orang tuanya. “ Mereka pikir saya gila, memilih profesi yang paling tidak menghasilkan (uang),” kata Mr Soh. “Ayah saya berkata kepada saya: ‘Sekarang bukan zamannya kita melakukan pekerjaan amal.’” Ayahnya bermimpi anaknya bekerja di bank dan menginginkan dirinya bisa punya uang banyak. Namun Mr Soh tetap teguh pada pendiriannya, dan akhirnya orang tuanya pun mengalah pada pilihan sang anak. Dan Mr Soh pun tidak pernah menyesali pilihan karirnya dan masih tetap setia pada karir yang dipilihnya tersebut sejak lebih dari 32 tahun silam. Karirnya di dunia sosial telah membawanya bertemu dengan remaja-remaja bermasalah di Singapore Children’s Society, para pelaku percobaan bunuh diri di Samaritans of Singapore (SOS) dan pasien-pasien sakit parah di Parkway Group. Mr Soh memulai karirnya dengan bekerja sebagai pegawai di instansi yang kemudian disebut Kementerian Sosial, namun hanya bertahan tiga bulan karena dia tidak menyukai penelitian dan pekerjaan di belakang meja. Dari kantor pemerintahan yang nyaman, Mr Soh justru merasakan tempat yang cocok di “pembuangan sampah”, sebagaimana digambarkan olehnya, menenggelamkan dirinya di daerah pedalaman untuk menjangkau remaja-remaja yang bermasalah. Lantai dasar dan taman bermain pun menjadi “kantor”nya. Dia memulai dedikasinya, menginginkan untuk dapat “membantu kaum papa dan menyelamatkan dunia”. Namun Mr Soh segera menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu di tempat dimana dia mencurahkan dirinya untuk kerja sosial ketimbang hanya berada di zona nyamannya. “Saya tidak bisa mengerti kenapa para korban kekerasan masih mau tinggal bersama para pelaku dan bahkan menjalin hubungan dengan mereka,” ujar Mr Soh. “Tapi saya sadar bahwa bagi sebagian mereka (wanita korban kekerasan), adalah lebih menakutkan bagi mereka untuk keluar dari lingkungan yang mereka sudah terbiasa dengannya.” Dia menambahkan: “Pada awalnya saya tidak mengerti akan hal ini.” Terkuaknya hal tersebut membuatnya lebih bisa memahami mereka. “Pengetahuan akan hal itu membuat saya mengubah pola pikir dan cara pendekatan saya terhadap pekerjaan yang saya geluti. Pekerjaan penuh ‘makna’ Orang tua Benson Soh mengira anaknya gila karena memilih untuk bekerja di bidang sosial dan ilmu sosiologi. Namun Mr Soh tidak pernah menyesalinya Saya benar-benar belajar tentang bagaimana bisa menempatkan diri di posisi orang lain dan berempati kepada mereka ketimbang membiarkan pikiran saya mengganggu saya tentang bagaimana membantu mereka.” Mr Soh bergabung dengan Parkway Pantai pada tahun 1996. Dimana dia terlibat dalam bimbingan rohani bagi pasienpasien yang sakit parah dan keluarganya. Dia bergabung dengan Pekerjaan penuh ‘makna’ Orang tua Benson Soh mengira anaknya gila karena memilih untuk bekerja di bidang sosial dan ilmu sosiologi. Namun Mr Soh tidak pernah menyesalinya Parkway Cancer Center di April 2012 dan juga merupakan anggota dari CanHOPE, sebuah pelayanan nirlaba konseling dan pemberian dukungan yang disediakan oleh PCC. Aktivitas Mr Soh sehari-hari adalah berjumpa dengan tiga atau empat orang pasien atau anggota keluarga mereka dan melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit yang berada di bawah naungan Parkway. Dia juga menyediakan jasa evaluasi psikososial terhadap para pasien dan keluarga mereka, mengadakan bimbingan konseling baik bagi individu maupun kelompok, memberikan fasilitas kelompok-kelompok pendukung, seperti acara bincang santai, pelatihan dan workshop edukasi untuk mereka yang terkena kanker. Dia mendeskripsikan waktu bekerjanya dengan para pasien penyakit parah sebagai “jauh lebih intens” ketimbang bekerja dengan para pemuda dan para pelaku percobaan bunuh diri. “Disini, saya harus mendalami apa yang dialami oleh seorang pasien dengan beberpa sesi sehingga saya mengikuti dengan baik setiap tahap yang terjadi pada mereka,” kata Mr Soh. Tidak pernah ada yang disebut kasus mudah dalam sebuah proses konseling. “Manusia sangat unik dan dinamis. Tidak peduli seberapa sederhana permasalahan seseorang yang terlihat di permukaan, Anda tidak boleh menganggapnya sebagai sebuah angin lalu belaka bahwa masalah tersebut pasti akan berlalu.” Bagian yang paling menantang dari pekerjaannya adalah “resep” yang dia berikan ternyata sesuatu yang tidak dapat mereka terima, seperti halnya obat. “Saya seperti seorang pemandu atau seorang penggembala, yang harus membimbing mereka atau orang-orang yang mereka cintai untuk dapat melalui masa-masa sulit sehingga mereka dapat mengambil hikmah dari sakitnya mereka,” ujarnya. Mr Soh mengatakan dia tidak membiarkan pekerjaan yang dijalaninya membuatnya lemah. “Pada dasarnya, saya adalah seorang yang sangat positif dan ceria, jadi ini sangat membantu. Saya dan istri juga saling mendukung baik secara psikis maupun emosional. Saya selalu menantikan saat-saat pulang bekerja.” Untuk tetap aktif dan positif, dia banyak berolahraga. Dia pernah lari hingga 30 km, namun menghentikan kegiatan tersebut setelah mengalami sebuah cedera. Sekarang Mr Soh lebih memilih berenang dan taichi. Ia tidak pernah menyesali keputusannya tiga dekade lebih yang lalu. Terlebih lagi, dia bertemu dengan sang istri di Singapore Children’s Society, dimana istrinya adalah pekerja sosial juga disana. “Saya tidak pernah menyesal sama sekali. Ini adalah pekerjaan yang benar-benar saya cintai.” “Ayah pernah menasihati saya: Sekarang bukan zamannya bekerja untuk amal.” Mr Soh The Doctor Is In “S aya butuh segera empat kantong darah, satu liter plasma beku yang masih segar dan satu unit mesin pemisah sel trombosit,” pinta saya sehalus Lebih dari lima jam lamanya, seorang dokter berada di sisi pasiennya di ruang operasi Sejauh yang saya jalani selama ini, saya semakin yakin bahwa tempat saya sesungguhnya adalah di klinik. mungkin. “Tolong!” teriak saya lagi, kali ini sedikit panik, karena saat itu di hadapan saya seorang pasien sedang mengalami perdarahan yang banyak. Layar monitor mengindikasikan tekanan darah 40/20mmHg dan hemoglobinnya 2.9g/dl (tekanan darah normal adalah 12.5 g/dl). Saya benar-benar tidak pernah menginginkan berada di ruang operasi. Selama lebih dari 10 tahun, saya berhasil menghindari panggilan tersebut (operasi-pen), dengan bercanda saya katakan bahwa saya bisa pingsan jika melihat darah. Karena faktanya hanya sedikit yang dilakukan seorang dokter ahli kanker di ruang operasi, karena ahli bedahlah yang mengambil alih instruksi disana. Namun sayangnya pasien ini dan keluarganya tidak menerima jawaban “tidak”. “Kami mohon, Dr Ang. Anda adalah seperti malaikat pelindungnya dan kami membutuhkan Anda di ruang operasi untuk bisa bersamanya,” ujar keluarga tersebut memohon. “Baiklah! Saya akan kesana 10 menit saja. Dan selebihnya saya akan menyerahkan dia kepada ahli bedah,” jawab saya, akhirnya menyerah. Dia adalah Eddy (40), seorang laki-laki berkebangsaan Cina, yang didiagnosis pertama kali pada Maret 2008 dengan metastatic gastrointestinal stromal tumour (GIST) yaitu penyakit kanker yang terjadi pada saluran cerna yang berawal dari sel stroma. Pada awalnya, dia langsung merespon vonis penyakitnya itu dengan mengonsumsi obat yang bernama Gleevec. Meski dengan program pengobatan paling andal sekalipun, di masa lalu, semua pasien dengan GIST yang telah bermetastasis umumnya akan bernasib akhir sama: sebagian besar meninggal dalam waktu satu tahun sejak mereka terdiagnosis. Di bulan Mei 2001, Gleevec disetujui sebagai obat yang dapat digunakan untuk mengobati GIST. Dengan meminum empat tablet per hari, tumor akan mencair dalam waktu beberapa bulan. Pasien dengan GIST termetastasis diharuskan melakukan pengobatan jangka panjang. Pemutusan minum obat di tengah periode pengobatan bukanlah sebuah pilihan bijak sama sekali karena dapat membuat tumor kembali lagi bahkan menjadi lebih buruk. Bahkan, pada sebagian pasien, tumor dapat menjadi resisten atau kebal terhadap obat tersebut. Eddy kemudian datang kepada saya saat tumornya terus tumbuh meski sudah mengonsumsi Gleevec. Dia dirawat di rumah sakit dengan kondisi sakit di perut yang akut yang disebabkan oleh pecahnya usus secara tiba-tiba di dalam perutnya. Pada saat itu, perutnya sangat buncit seperti wanita yang tengah hamil tua. Untuk meredakan sesak napasnya, sebuah selang dimasukkan ke perutnya untuk menyedot cairan. Setiap harinya cairan bercampur darah yang mencapai beberapa liter berhasil dikeluarkan dari perutnya. Dia menderita infeksi parah karena isi ususnya dikosongkan ke rongga perut. Meskipun telah meminum antibiotik, infeksi tersebut tetap menjadi lebih buruk dan bakteri akan melubangi dinding perutnya. Kami merawatnya selama hampir sebulan di ICU. Dengan dibantu alat pernapasan dan program pencucian darah berkelanjutan, akhirnya dia bisa diselamatkan dari ambang kematian menuju keadaan yang cukup baik untuk dapat dilakukan operasi. “Kita punya banyak peluang untuk melanjutkan proses ini dan membereskan kekurangan-kekurangan yang ada,” jelas saya pada keluarganya. Tujuan dari operasi tersebut sudah jelas, yaitu memperbaiki usus yang berlubang, menghentikan perdarahan dan mengangkat sebanyak mungkin tumor yang ada. Dr Richard Chew, seorang ahli bedah umum senior, dipilih untuk memimpin tim yang terdiri dari tiga orang tersebut. Selama setengah jam dalam ruang operasi, saya mengintip dari balik para ahli bedah tersebut dan saya menyaksikan perut yang sedang dibedah disana. Dan separuh dari isi perutnya jelas dipenuhi oleh jaringan yang telah terkena kanker. Sedangkan di perut bagian bawahnya, usus kecilnya telah pecah dan terbalik. Dan darah terlihat dimana-mana! Saya terus menyimak peristiwa tersebut dan berusaha menahan diri untuk tidak menggigit kuku saya karena melihat mereka (para ahli bedah-pen) dengan tenangnya menjepit lalu mengikat pembuluh darah demi pembuluh darah yang mengalami perdarahan. “Kasa. Handuk. Penyedot. Artery forceps. Jahitan.” Tim dokter serta perawat bekerja dengan hanya sedikit kata-kata dan sangat efektif layaknya sebuah pertunjukan tari yang terlatih. Sebagai satu-satunya penonton dari ‘pertunjukan’ operasi tersebut, saya menyaksikan dengan penuh kagum saat para ahli bedah sedang menjalankan tugas mereka. Di sisi pasien, berdiri seorang ahli anastesi yang terlihat bekerja keras mengendalikan tekanan darah pasien. Ia dan seorang perawat di sebelahnya berusaha bersama memposisikan dengan tepat dan kemudian menyuntikkan darah ke pembuluh pasien tersebut. Saya berusaha membantu mereka dengan berusaha menghadirkan darah yang dibutuhkan oleh pasien yang sedang dioperasi saat itu. Saya menghubungi National Blood Centre dengan perasaan panik yang terus bertambah. Sekarang yang saya lakukan bukan lagi sepuluh menit di ruang operasi, namun berubah menjadi lima setengah jam yang menegangkan. Selama masa tersebut, kami telah memberikan 12 liter darah kepada pasien tersebut. Ini belum termasuk cairan lainnya yang juga disuntikkan kepadanya untuk membantu mengendalikan tekanan darahnya. Pada saat saya melakukan panggilan telepon, dokter bedah berhasil mengangkat bagian perut yang rusak, memperbaiki kebocoran di usus kecil Eddy, mengikat bagian perutnya yang telah diserang oleh kanker, menghentikan perdarahan, dan memotong lebih dari 80 persen dari tumor yang dideritanya. Berkat karunia-Nya, Eddy dan saya berhasil melewati operasi tersebut. Sebagai dokter yang hadir saat itu, saya sangat bersyukur dan berterima kasih atas upaya luar biasa dari seluruh tim – mulai dari ahli bedah di rumah sakit hingga petugas yang saat itu berjaga di bank darah, mulai dari perawat ICU sampai petugas di ruang operasi. Sejauh yang saya jalani selama ini, saya merasa semakin yakin bahwa tempat saya yang sesungguhnya adalah di klinik, yaitu berada di sisi sofa pemeriksaan (berinteraksi dengan para pasien dan keluarganya-pen), ketimbang harus berada di ruang operasi. Operation Radical Dr Ang Peng Tiam