November 2014 Laporan Nusantara VOLUME 9 NOMOR 4 |1 Halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Nusantara Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Daerah 7 Bagian II Perekonomian Kawasan Timur Indonesia 13 II.1. Perekonomian Sulawesi, Maluku, dan Papua 15 II.2. Perekonomian Kalimantan 28 II.3. Perekonomian Bali-Nusa Tenggara 39 Perekonomian Jawa 49 III.1. Perekonomian Jawa Bagian Timur 51 III.2. Perekonomian Jawa Bagian Tengah 63 III.3. Perekonomian Jawa Bagian Barat 72 III.4. Perekonomian Jakarta 85 Perekonomian Sumatera 99 IV.1. Perekonomian Sumatera Bagian Selatan 101 IV.2. Perekonomian Sumatera Bagian Tengah 113 IV.3. Perekonomian Sumatera Bagian Utara 125 Isu Khusus Daerah 139 Isu Khusus 1: Dinamika Perdagangan Global dan Daya Saing Jawa Isu Khusus 2: Meningkatkan Produktivitas Pertanian Padi untuk Mendukung Ketahanan Pangan 139 144 Bagian III Bagian IV Bagian V 147 150 Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553 Laporan Nusantara Halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Nusantara|2 Dalam proses perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia mempertimbangkan seluruh aspek perekonomian termasuk berbagai dinamika dan isu terkini yang berkembang di daerah. Pembahasan menyeluruh tentang perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia dari seluruh Indonesia. Hasil pembahasan tersebut menjadi bagian penting yang melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko yang berkembang. Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2014 kembali tumbuh melambat sebesar 5,01% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II 2014 yang sebesar 5,12% (yoy). Hal ini dipengaruhi terutama oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Sumatera karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan Jakarta karena menurunnya kinerja sektor konstruksi. Meski demikian, terdapat tanda-tanda awal pemulihan ekonomi nasional sebagaimana tercermin pada perekonomian Jawa yang tumbuh relatif stabil dan perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang tumbuh lebih baik dari perkiraan semula. Stabilnya pertumbuhan ekonomi Jawa ditopang oleh membaiknya perekonomian Jawa Tengah dan Jawa Timur yang didukung oleh meningkatnya kinerja industri manufaktur. Sementara meningkatnya pertumbuhan ekonomi KTI didorong oleh membaiknya kinerja sektor pertambangan di Kalimantan dan Papua serta meningkatnya kinerja sektor pertanian di Sulawesi. Memasuki triwulan triwulan IV 2014 berbagai indikator ekonomi daerah secara agregat mengindikasikan perekonomian nasional berpotensi untuk kembali membaik, meski juga disertai berbagai risiko baik yang bersumber dari domestik maupun terkait perkembangan ekonomi global. Perekonomian KTI diprakirakan kembali tumbuh meningkat didorong oleh berlanjutnya perbaikan kinerja di sektor pertambangan seiring dengan mulai normalnya operasional sejumlah perusahaan tambang utama. Sementara itu, perekonomian Jakarta diprakirakan tumbuh lebih baik didorong oleh perbaikan kinerja sektor konstruksi, demikian pula di Sumatera yang didorong oleh perbaikan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan. Adapun perekonomian Jawa diprakirakan relatif stabil ditopang terutama oleh masih meningkatnya kinerja industri manufaktur. Pertumbuhan ekonomi daerah utk keseluruhan tahun 2014 secara agregat diprakirakan mendekati batas bawah kisaran 5,1%-5,5% (yoy) jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2013 sebagai dampak penurunan kinerja sektor pertambangan KTI pasca implementasi UU Mineral di awal tahun. Dinamika perekonomian global yang diwarnai dengan perlambatan perekonomian negara maju dan tren penurunan harga komoditas mempengaruhi kinerja subsektor perkebunan di Sumatera dan industri manufaktur di Jawa secara keseluruhan. Laju penurunan pertumbuhan ekonomi nasional lebih lanjut tertahan oleh kuatnya perekonomian Jakarta yang mampu tumbuh di kisaran 6% sepanjang tahun 2014. Di sisi inflasi, perkembangan inflasi di daerah selama triwulan III cenderung menurun karena cukup terjaganya pasokan. Namun, memasuki triwulan IV 2014 kembali menunjukkan kecenderungan yang meningkat walau masih dengan intensitas yang masih rendah. Kembali meningkatnya tekanan inflasi lebih dipengaruhi oleh implementasi kebijakan administered price seperti penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) rumah tangga dan kenaikan harga LPG 12 kg. Masuknya masa tanam di tengah kondisi kekeringan yang semakin meningkat menambah tekanan inflasi dari komponen volatile food. Tekanan inflasi volatile food yang lebih besar menyebabkan beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara mencatat tingkat inflasi yang cukup tinggi di kisaran 6% - 7% (yoy). Dalam hal ini peran aktif Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu ditingkatkan dan difokuskan pada upaya-upaya untuk mengamankan pasokan pangan dan energi di daerah. Laporan Nusantara|3 Hingga akhir akhir tahun 2014, inflasi daerah secara agregat diprakirakan masih dapat terkendali di dalam kisaran sasaran inflasi nasional yang sebesar 4,5%±1%. Implementasi kebijakan terkait administered price seperti penyesuaian TTL, kenaikan harga LPG 12 kg dan penyesuaian batas atas tarif angkutan udara mempengaruhi peningkatan tekanan inflasi di berbagai daerah. Pasokan pangan yang menurun karena masuknya masa tanam berpotensi menurun lebih dalam karena terpapar risiko kekeringan yang melanda sejumlah daerah sentra produksi, khususnya di Jawa dan Sumatera. Bank Indonesia terus mencermati dampak dari rencana kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap perkembangan inflasi di daerah. Secara khusus, koordinasi dengan TPID akan terus diperkuat dengan menyiapkan langkah-langkah mitigasi kemungkinan lonjakan inflasi pasca kebijakan kenaikan BBM bersubsidi, khususnya melalui pengendalian kenaikan tarif angkutan dalam batasan yang wajar dan memastikan langkah pengamanan pasokan pangan dan energi Ke depan, perekonomian daerah pada tahun 2015 diperkirakan meningkat seiring dengan menguatnya indikasi perbaikan di sektor pertambangan KTI dan prospek perbaikan ekonomi global yang dapat mempengaruhi peningkatan kinerja industri pengolahan di Jawa dan Sumatera. Sementara inflasi diproyeksikan masih akan berada di lintasan yang konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Meskipun demikian, sejumlah risiko yang membayangi di tahun 2015 masih bersumber dari rencana implementasi kebijakan energi oleh pemerintah. Bank Indonesia memandang upaya untuk mendorong reformasi struktural semakin penting dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan struktural yang dapat menghambat perekonomian daerah ke depan. Langkah reformasi struktural perlu ditempuh dan difokuskan pada upaya peningkatan daya saing ekspor manufaktur dan diversifikasi perekonomian daerah melalui penguatan lingkungan pendukung (enabling environment), termasuk logistik dan konektivitas, kemudahan berusaha, dan akses pembiayaan jangka panjang. Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat isu khusus terkait dengan implikasi dinamika global terhadap daya saing daerah dan isu mengenai aspek pencapaian kedaulatan pangan dalam transformasi struktural. Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan para analis ekonomi dari seluruh Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu bentuk kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah. Jakarta, 17 November 2014 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung Direktur Eksekutif Laporan Nusantara|4 PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 5,1% (y.o.y) pada triwulan II-2014 menjadi 5,0% pada triwulan III-2014, pengamatan terhadap kinerja ekonomi daerah menunjukkan adanya tanda-tanda awal pemulihan kinerja ekonomi nasional. Hal ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi Jawa (di luar Jakarta) yang mulai stabil dan pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang terus membaik (Grafik I.1). Kinerja ekonomi Jawa (di luar Jakarta) ditopang antara lain oleh perbaikan di sektor pertanian dan masih cukup kuatnya industri manufaktur seiring meningkatnya permintaan ekspor produk manufaktur, khususnya dari Amerika Serikat. Untuk wilayah KTI, perbaikan kinerja ekonomi didorong antara lain oleh membaiknya produksi pertanian di beberapa daerah sentra di Sulawesi dan kembali meningkatnya aktivitas di sektor tambang pasca rilis izin ekspor mineral bagi beberapa penambang besar. Sementara itu, perlambatan ekonomi nasional pada triwulan III-2014 lebih disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi kawasan Sumatera dan Jakarta. Perlambatan ekonomi Sumatera terutama akibat melemahnya kinerja sektor pertanian dan agroindustri sebagai imbas dari menurunnya harga komoditas ekspor perkebunan. Selain itu, berkurangnya produksi migas di beberapa daerah di Sumatera, seperti Riau dan Aceh, turut memberikan tekanan bagi perekonomian Sumatera. Dalam periode yang sama, ekonomi Jakarta mengalami sedikit perlambatan akibat melemahnya kegiatan di sektor konstruksi. Kendati demikian, berbagai indikator menunjukkan bahwa ekonomi Jakarta diperkirakan sudah melewati titik terendahnya. Sumber: BPS, diolah Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2014 Inflasi di hampir seluruh daerah pada triwulan III 2014 cenderung menurun terutama didukung oleh cukup melimpahnya pasokan pangan (volatile food). Masuknya masa panen sejumlah komoditas strategis, seperti padi di Kalimantan dan hortikultura di Jawa, berkontribusi positif pada terjaganya pasokan pangan. Sebagian besar daerah di KTI mengalami penurunan tekanan inflasi pangan yang lebih dalam akibat melimpahnya hasil tangkapan ikan. Beberapa daerah di KTI, seperti Sulawesi Tenggara dan Maluku, bahkan berhasil mencatat laju inflasi yang sangat rendah masing-masing sebesar 1,8% dan 2,8% pada akhir triwulan III 2014. Laporan Nusantara|5 Setelah mengalami penurunan pada triwulan III 2014, laju inflasi di berbagai daerah mengalami kenaikan pada Oktober 2014 meski masih pada tingkat yang terkendali. Peningkatan terutama didorong oleh kelompok administered price sebagai dampak penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) serta kenaikan harga LPG 12 kg dan dampak rambatannya terhadap kenaikan harga LPG 3 kg. Hal ini diduga terkait dengan beralihnya permintaan masyarakat ke LPG 3 kg pasca kenaikan harga LPG 12 kg. Sementara itu, tekanan inflasi pangan (volatile food) mulai kembali meningkat dipicu terutama oleh kenaikan harga beberapa komoditas aneka bumbu akibat kekeringan yang melanda beberapa daerah sentra produksi. Di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, kenaikan harga beberapa komoditas pangan mendorong inflasi lebih tinggi daripada daerah-daerah lain (Gambar I.2). Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Oktober 2014 Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang masih melambat, pembiayaan ekonomi melalui perbankan di berbagai daerah pada triwulan III 2014 juga tumbuh melambat. Penyaluran kredit di Sumatera dan KTI pada akhir triwulan III 2014 masing-masing tumbuh 10,5% dan 9,1%, lebih rendah daripada pertumbuhan kredit di Jawa (13,7%). Meski demikian, kualitas kredit yang disalurkan masih terjaga pada level yang aman. Indikasi kenaikan risiko kredit terkonsentrasi pada beberapa daerah yang merupakan basis produksi tambang, seperti di Sulawesi dan Kalimantan, walaupun belum menyentuh tingkat yang mengkhawatirkan. Kecenderungan harga komoditas di pasar global yang masih cenderung turun menjadi sumber kerentanan kredit di daerahdaerah yang mengandalkan pendapatannya pada ekspor sumber daya alam (SDA). Melambatnya perekonomian tercermin juga pada transaksi keuangan melalui sistem pembayaran. Sepanjang triwulan III 2014, transaksi pembayaran yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) secara rata-rata tercatat sebesar Rp28,4 ribu triliun per bulan, lebih rendah daripada rata-rata triwulan sebelumnya sebesar Rp30,0 ribu triliun per bulan. Melambatnya aktivitas transaksi keuangan ini diperkirakan tidak terlepas dari berakhirnya pelaksanaan Pemilu dan masih cenderung melambatnya perekonomian di daerah-daerah luar Jawa. PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN Prospek Ekonomi Daerah Tahun 2014 dan 2015 Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi di daerah secara agregat mengindikasikan adanya potensi perbaikan kinerja perekonomian nasional (Tabel I.1). Potensi perbaikan tersebut diperkirakan akan terjadi di Sumatera dan KTI sedangkan ekonomi Jawa diperkirakan relatif stabil. Kinerja ekonomi Jawa yang Laporan Nusantara|6 stabil ditopang oleh ekspor manufaktur yang masih akan meningkat seiring dengan prospek perbaikan ekonomi di AS serta konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh kuat. Sementara itu, perbaikan ekonomi Sumatera dipengaruhi antara lain oleh pembangunan beberapa proyek infrastruktur dan berlanjutnya replanting perkebunan. Peningkatan kinerja ekonomi KTI terutama didorong oleh aktivitas tambang pasca keluarnya izin ekspor mineral. Namun, prospek perbaikan ekspor KTI dihadapkan pada risiko terkait diberlakukannya kebijakan pengaturan izin ekspor batubara pada awal Oktober 2014, dampak perlambatan ekonomi Tiongkok, dan masih rendahnya harga tambang dunia. Selain itu, potensi pemulihan ekonomi nasional pada triwulan IV 2014 juga masih dihadapkan pada risiko yang berasal dari kemungkinan rendahnya realisasi pengeluaran pemerintah sejalan dengan kebijakan penghematan untuk mengamankan pencapaian target defisit APBN. Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan IV 2014* Sumatera Bag. Utara Bag. Tengah Bag. Selatan Tendensi Kawasan KTI Jawa Asesmen Jakarta Jawa Bag. Jawa Bag. Jawa Bag. Tendensi Barat Tengah Timur Kawasan Kaliman tan Asesmen BaliNustra Sulampua Tendensi Kawasan Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Konsumsi RT Terjaganya ekspektasi dan belanja konsumsi masyarakat akhir tahun Terjaganya ekspektasi dan belanja konsumsi masyarakat akhir tahun Terjaganya ekspektasi dan belanja konsumsi masyarakat akhir tahun Konsumsi Pemerintah Realisasi belanja pemerintah terbatas Puncak realisasi anggaran Pemda di triwulan terakhir. Puncak realisasi anggaran Pemda di triwulan terakhir. Investasi (PMTB) Konstruksi proyek infrastruktur dan replanting perkebunan berlanjut Konstruksi proyek infrastruktur Progress pembangunan proyek infrastruktur melambat Ekspor LN Harga komoditas perkebunan yang masih rendah Membaiknya permintaan ekspor manufaktur dari AS Ekspor batubara menurun Impor LN Melambatnya impor bahan baku Meningkatnya kebutuhan bahan baku Melambatnya impor bahan baku * Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Walaupun terdapat potensi perbaikan pada triwulan IV, proyeksi pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah secara agregat mengindikasikan perekonomian nasional untuk keseluruhan tahun 2014 akan tumbuh pada batas bawah dari kisaran 5,1% - 5,5%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya (5,8%). Perlambatan ekonomi yang lebih dalam dialami oleh Sumatera dan KTI terkait dengan harga komoditas ekspor utama yang masih cenderung rendah sepanjang tahun 2014. Selain itu, perlambatan juga dipengaruhi oleh proses konsolidasi di sektor tambang terkait kebijakan pengaturan ekspor mineral yang diterapkan pada awal tahun 2014. Melambatnya aktivitas ekonomi di KTI dan Sumatera turut berimplikasi terhadap kinerja ekonomi Jawa, khususnya karena melemahnya aktivitas perdagangan antarpulau. Perlambatan ekonomi Jawa selama 2014 juga bersumber dari melemahnya kinerja investasi dan ekspor sejalan dengan dinamika global yang masih diwarnai ketidakpastian, serta tendensi investor yang cenderung menunda investasinya sampai kondisi ekonomi dipandang kembali kondusif. Pada tahun 2015, prospek pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah secara agregat mengindikasikan perekonomian nasional dapat tumbuh di kisaran 5,4% - 5,8%, lebih tinggi daripada tahun 2014. Prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik ini didorong oleh perbaikan kinerja ekonomi di seluruh daerah. Prospek pemulihan ekonomi di AS diperkirakan akan berdampak positif terhadap ekspor manufaktur, terutama dari Jawa. Namun, perlambatan ekonomi Tiongkok yang cenderung bersifat struktural berpotensi menahan kenaikan pertumbuhan ekonomi Jawa lebih lanjut. Selain itu, imbas dari melambatnya ekonomi Laporan Nusantara|7 Tiongkok diperkirakan turut menekan harga komoditas di pasar global sehingga berdampak pada masih terbatasnya peningkatan ekonomi di KTI dan Sumatera. Secara keseluruhan, permintaan domestik diperkirakan masih tetap kuat di berbagai daerah sehingga dapat memberikan cushion bagi perekonomian. Dari sisi inflasi, walaupun cenderung meningkat, tekanan inflasi hingga akhir tahun 2014 di berbagai daerah diperkirakan masih terkendali dan sejalan dengan pencapaian sasaran inflasi nasional sebesar 4,5%±1%. Terkendalinya inflasi didukung oleh permintaan yang moderat, ekspektasi inflasi yang terjaga, dan harga komoditas global yang masih menurun. Inflasi berbagai komoditas pangan secara umum juga diperkirakan relatif rendah dengan dukungan pasokan pangan yang terjaga. Meski demikian, sejumlah risiko yang semakin mengemuka di awal triwulan IV 2014 berpotensi memberikan tekanan kenaikan inflasi yang lebih tinggi. Beberapa risiko yang perlu dicermati terutama adalah dampak penyesuaian batas atas tarif angkutan udara pada November dan kemungkinan kenaikan harga BBM bersubsidi. Pengalaman di tahun 2013 menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi yang diikuti kenaikan tarif angkutan dalam kota di berbagai daerah menyumbang pada kenaikan inflasi yang cukup besar. Selain itu, perlu dicermati perkiraan berlanjutnya kondisi kekeringan akibat El-Nino yang dapat semakin mengeskalasi tekanan inflasi. Sehubungan dengan hal tersebut, peran koordinasi di daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu terus diperkuat, khususnya dalam menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan untuk meredam potensi lonjakan inflasi. Salah satu prioritas perhatian adalah pada upaya pengendalian kenaikan tarif angkutan pascakenaikan harga BBM bersubsidi. Di samping itu, TPID perlu terus mendorong dilakukannya langkah-langkah strategis guna menjamin ketersediaan pasokan pangan dan energi di daerah. Untuk tahun 2015, laju inflasi di berbagai daerah secara agregat diperkirakan masih sejalan dengan kisaran sasaran nasional sebesar 4%±1%. Hal ini didukung oleh prakiraan masih terbatasnya peningkatan harga komoditas sejalan dengan laju pemulihan perekonomian dunia yang berlangsung secara gradual, serta permintaan domestik yang masih akan tumbuh secara moderat. Selain itu, ekspektasi inflasi diperkirakan masih tetap terjaga seiring dengan dukungan kebijakan dan koordinasi yang semakin kuat antara Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Meski demikian, risiko kenaikan inflasi tetap ada, terutama yang bersumber dari kenaikan administered price terkait dengan rencana implementasi sejumlah kebijakan energi oleh Pemerintah. Risiko dan Tantangan Ke Depan Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, terdapat beberapa risiko yang dapat memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah, yakni: (i) risiko yang bersumber dari dinamika global terutama terkait normalisasi kebijakan yang ditempuh oleh bank sentral Amerika Serikat dan indikasi berlanjutnya perlambatan ekonomi Tiongkok; (ii) risiko dari harga komoditas yang masih cenderung rendah sehingga menekan pendapatan ekspor daerah; (iii) risiko dari masih terbatasnya peran stimulus fiskal di daerah untuk pembiayaan pembangunan ekonomi; serta (iv) risiko inflasi terutama bersumber dari rencana kebijakan energi (penyesuaian tarif dan subsidi) dan kecenderungan produksi pangan yang menurun. Menghadapi berbagai risiko tersebut dan untuk memperkuat daya tahan ekonomi daerah terhadap berbagai kejutan yang mungkin terjadi, diperlukan strategi kebijakan yang terintegrasi, terutama yang ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan struktural di daerah. Hal ini mengingat bahwa upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, selain membutuhkan dukungan stabilitas makro dan sistem keuangan yang terjaga serta kondisi lingkungan alam yang terpelihara, juga memerlukan struktur ekonomi yang mandiri dan berdaya saing tinggi serta basis pembiayaan pembangunan yang kuat (Gambar I.3). Masih besarnya tantangan struktural menyebabkan upaya untuk mendorong ekspor manufaktur dari Indonesia, khususnya dari daerah-daerah yang merupakan basis produksi manufaktur nasional seperti di Jawa, ke pasar utama di dunia menjadi tidak mudah ditengah dinamika global yang diwarnai tingginya Laporan Nusantara|8 1 ketidakpastian . Selain itu, persoalan masih rendahnya produktivitas pangan dan tingginya ketergantungan 2 produksi pangan perlu menjadi hal penting yang perlu segera diatasi . Hal ini mengingat bahwa ketahanan pangan merupakan aspek penting di dalam proses transformasi ekonomi Indonesia. *) mencakup infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi, dan institusi Grafik I.3. Pilar Pertumbuhan Ekonomi yang Berkesinambungan Untuk mewujudkan struktur ekonomi yang mandiri dan berdaya saing serta basis pembiayaan yang kuat, Bank Indonesia memandang bahwa perlu dilakukan reformasi struktural pada dua sisi, yakni reformasi di sektor riil dan reformasi di sektor keuangan. Di sektor riil, reformasi diarahkan pada upaya perbaikan menyeluruh terhadap modal dasar pembangunan yang meliputi penyediaan infrastruktur, penguatan kualitas sumber daya manusia dan regulasi ketenagakerjaan, peningkatan kemampuan adaptasi dan inovasi teknologi, dan pembenahan institusi. Selain itu, reformasi di sektor riil juga perlu diarahkan pada upaya mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan energi. Di sektor keuangan, reformasi difokuskan pada pendalaman pasar keuangan sebagai dasar untuk memperkuat basis sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Di samping itu, reformasi di sektor keuangan juga mencakup upaya untuk memodernisasi sistem pembayaran dan inklusi keuangan, antara lain melalui peningkatan penetrasi pemanfaatan layanan keuangan digital (LKD). Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan KepalaKepala Perwakilan Bank Indonesia tingkat Wilayah di seluruh Indonesia pada 11 November 2014 di Bandung. Pertemuan dilakukan setiap triwulannya untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan moneter di Bank Indonesia. 1 Lihat Isu Khusus 1. Dinamika Global dan Daya Saing Manufaktur Jawa 2 Lihat Isu Khusus 2. Meningkatkan Produktivitas Padi untuk Mendukung Ketahanan Pangan Laporan Nusantara|9 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a | 10 Pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan III 2014 meningkat menjadi 5,1% (y.o.y) dibandingkan 4,9% pada triwulan II 2014. Angka ini juga lebih tinggi daripada prakiraan sebelumnya. Kenaikan pertumbuhan ini didukung oleh peningkatan kinerja ekonomi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, serta provinsi Kalimantan Timur dan Bali. Salah satu faktor pendorong utama adalah ekspor yang kembali meningkat pasca rilis izin ekspor kepada beberapa pelaku usaha tambang besar di beberapa daerah di Papua dan Kalimantan. Namun, Nusa Tenggara Barat tercatat mengalami kontraksi pertumbuhan terkait dengan tertundanya rilis izin ekspor mineral. Laju inflasi di KTI selama triwulan III 2014 menunjukkan kecenderungan yang menurun. Hal ini didukung oleh pasokan pangan yang memadai karena panen di beberapa daerah sentra produksi disertai koreksi harga komoditas pangan, terutama aneka bumbu dan ikan segar. Di samping itu, menurunnya tekanan inflasi juga dipengaruhi oleh meredanya faktor base effect dari kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi di tahun 2013. Meski demikian, pada akhir triwulan III 2014 tekanan inflasi mulai kembali mengalami sedikit peningkatan yang bersumber dari kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) tahap kedua serta kebijakan pemerintah yang menaikkan harga LPG 12 kg. Pembiayaan ekonomi melalui perbankan di KTI selama triwulan III 2014 masih melanjutkan kecenderungan melambat. Pada akhir triwulan III 2014, kredit tercatat tumbuh 9,1% (yoy), lebih rendah daripada triwulan II 2014 (12,0%). Perlambatan terjadi pada semua sektor utama dan secara spasial terutama terjadi di Kalimantan Timur. Secara sektoral, kredit pertambangan masih terkontraksi dipicu berkurangnya aktivitas pertambangan skala kecil menengah. Kredit sektor industri pengolahan pun melambat, seiring tertahannya ekspansi korporasi karena faktor harga jual yang masih cenderung rendah dan wait and 1 see transisi ke pemerintahan baru. Dalam kondisi tersebut, meskipun concentration risk secara umum membaik, perlu dicermati peningkatan NPL pada kredit di dua sektor tersebut, meskipun sejauh ini masih belum menyentuh tingkat yang mengkhawatirkan. Perkembangan NPL di KTI perlu terus dicermati mengingat masih tertahannya produksi pertambangan bauksit dan batubara skala kecil di tengah berlanjutnya koreksi harga di pasar dunia. Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator mengindikasikan kinerja ekonomi KTI masih akan terus membaik. Terbitnya izin ekspor mineral bagi pelaku usaha tambang besar akan terus mendorong peningkatan aktivitas di sektor tersebut. Mulai beroperasinya smelter di beberapa daerah di Kalimantan, seperti Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, serta meningkatnya produksi ferronikel di Sulawesi Tenggara diperkirakan akan mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan dan mendorong peningkatan kinerja ekonomi KTI. Di samping itu, belanja pemerintah daerah yang biasanya, sesuai siklus normal, meningkat pada triwulan IV diperkirakan akan turut menopang perekonomian KTI, meski dalam besaran yang masih terbatas. Meskipun ada potensi membaik pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan akan melambat menjadi sekitar 5,0%, dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 5,8%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi KTI bersumber dari melemahnya kinerja ekspor dan sektor pertambangan. Kondisi ini tidak terlepas dari dampak penyesuaian yang dilakukan oleh para pelaku usaha di sektor tambang terkait mulai diterapkannya kebijakan pengaturan ekspor mineral pada awal tahun 2014. Selain itu, dinamika ekonomi global khususnya di negara-negara yang menjadi mitra dagang utama untuk produk ekspor tambang, seperti Tiongkok dan Jepang, yang cenderung melemah sepanjang tahun 2014 berimplikasi pada rendahnya permintaan dan harga komoditas tambang. 1 Concentration risk adalah risiko yang timbul akibat pemberian kredit yang terkonsentrasi pada segmen usaha tertentu berdasarkan aspek geografis dan atau industri Laporan Nusantara| 11 Dari sisi inflasi, memasuki triwulan IV 2014 tekanan inflasi mulai kembali meningkat. Pada Oktober 2014, beberapa provinsi seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara bahkan mencatat inflasi yang cukup tinggi, yaitu masing-masing sebesar 7,3% dan 6,4% (y.o.y). Kenaikan tekanan inflasi tersebut terutama bersumber dari dampak kenaikan bahan bakar rumah tangga serta tarif tenaga listrik. Selain itu, tekanan pada kelompok administered price juga terjadi akibat kenaikan harga LPG 12 kg dan 3 kg, serta kenaikan tarif angkutan udara, terutama di beberapa daerah di Kalimantan. Walaupun cenderung meningkat pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 laju inflasi di KTI diperkirakan tetap terkendali seiring dengan masih terjaganya pasokan. Kendati demikian, terdapat beberapa beberapa risiko yang dapat mendorong kenaikan inflasi yang lebih tinggi, terutama risiko kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, mulai berlakunya kenaikan tarif batas atas angkutan udara pada November 2014 diperkirakan akan memberikan tekanan inflasi yang lebih tinggi di daerah-daerah yang cenderung lebih sensitif terhadap kenaikan tarif angkutan udara seperti Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Tengah, dan Papua. Ada pun indikasi berlanjutnya kekeringan yang melanda sejumlah daerah sentra produksi pangan turut memberikan risiko bagi inflasi pangan di KTI. Menghadapi berbagai risiko tersebut, koordinasi kebijakan melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu terus diperkuat dalam menyiapkan langkah-langkah antisipasi yang diperlukan untuk menjamin ketersediaan pasokan kebutuhan masyarakat dan mengendalikan ekspektasi masyarakat terhadap harga-harga barang. Pada tahun 2015, prospek pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2014. Perekonomian KTI tahun 2015 diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,6% - 6,1%. Prospek yang membaik ini didorong terutama oleh meningkatnya kinerja ekonomi Provinsi Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta beberapa provinsi di wilayah Kalimantan. Peningkatan tersebut diperkirakan terjadi seiring dengan membaiknya kinerja di sektor pertambangan dan industri pengolahan. Produsen-produsen utama tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat diperkirakan akan berproduksi secara normal. Faktor-faktor pendukung lain adalah akan beroperasinya beberapa smelter di Kalimantan, peningkatan produktivitas kelapa sawit di Kalimantan, dan pengoptimalisasian produksi pabrik CPO di Sulampua. Dari sisi permintaan, kinerja ekspor diperkirakan kembali membaik seiring peningkatan ekspor komoditas pertambangan pasca dikeluarkannya izin ekspor mineral di tahun 2014. Namun beberapa faktor risiko masih membayangi pertumbuhan ekonomi ke depan. Perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang serta berlanjutnya penurunan harga komoditas dunia masih akan menjadi sumber risiko dari sisi eksternal. Dari sisi internal, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang berpotensi menekan konsumsi, realisasi belanja pemerintah yang belum optimal, serta masih tingginya biaya pendanaan/investasi berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi 2015. Sementara itu, tekanan inflasi tahun 2015 diperkirakan lebih rendah daripada tahun 2014. Inflasi KTI tahun 2015 diperkirakan berada pada kisaran 4,7% - 5,2% (yoy). Melandainya tekanan inflasi diperkirakan terjadi di provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, serta seluruh provinsi di Sulawesi. Relatif terjaganya pasokan bahan pangan serta semakin baiknya koordinasi dan efektivitas program kerja TPID diperkirakan mampu menjaga tekanan inflasi di tahun 2015. Namun perlu dicermati risiko dari kelompok administered price terutama kepastian rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan dampak lanjutannya, yang dapat berpotensi mendorong prakiraan inflasi menjadi bias ke atas di tahun 2015. Laporan Nusantara| 12 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) pada triwulan III 2014 tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Akselerasi pertumbuhan di beberapa provinsi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Maluku Utara secara agregat mendorong pertumbuhan ekonomi Sulampua dari 6,9% (yoy) menjadi 7,1% (yoy). Meningkatnya produktivitas padi di daerah sentra, diperolehnya izin ekspor konsentrat tembaga, serta masih berlangsungnya ekspansi di beberapa subsektor industri pengolahan menjadi pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi Sulampua. Perbaikan di sektor tradable tersebut kemudian turut mendorong akselerasi pada komponen ekspor serta menjadi stimulus kegiatan konsumsi yang tercatat tumbuh lebih baik dari triwulan sebelumnya. Memasuki periode triwulan IV 2014, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Sulampua akan kembali terus membaik. Hal ini terutama dipengaruhi oleh faktor musiman yang mendorong kinerja konsumsi, khususnya konsumsi pemerintah, serta investasi, seiring penyelesaian target proyek infrastruktur maupun sektor riil di akhir tahun. Dari sisi sektoral, perbaikan pada sektor pertambangan terus berlanjut dan kinerja industri pengolahan akan menguat sejalan dengan sisi permintaan yang meningkat. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Sulampua untuk keseluruhan 2014 tetap melambat dibandingkan dengan 2013 (8,7%, yoy) karena menurunnya produksi dan ekspor mineral. Penurunan tersebut terkait dengan implementasi UU Minerba pada Januari 2014 silam. Pada 2015, dengan mempertimbangkan pulihnya kegiatan ekspor konsentrat tembaga yang didukung oleh masih kuatnya konsumsi serta investasi, perekonomian Sulampua diperkirakan tumbuh pada kisaran 8,0% - 8,5% (yoy). Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Pada triwulan III 2014, konsumsi rumah tangga (termasuk konsumsi nirlaba) tumbuh sebesar 8,4% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (7,6%, yoy). Percepatan pertumbuhan tersebut didorong oleh kinerja seluruh sektor utama daerah yang membaik sehingga pendapatan masyarakat turut meningkat. Di samping itu, terdapat stimulus konsumsi yang lain yaitu perayaan Lebaran, pemilu, dan penyelenggaraan berbagai event besar seperti Sail Raja Ampat, Darwin-Ambon Yacht Race, HUT Emas Provinsi Sulawesi Utara, Tomohon International Flower Festival, dan Toraja International Festival. Akselerasi kegiatan konsumsi ini tercermin juga pada kegiatan perdagangan melalui volume bongkar muat barang di pelabuhan utama Sulampua (Makassar) yang tumbuh lebih tinggi pada triwulan III 2014 (Grafik II.1.1). Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh relatif stabil pada triwulan IV 2014. Terjaganya pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan didukung oleh masih banyaknya kegiatan masyarakat terkait perayaan Idul Adha, Natal, Tahun Baru, penyelenggaraan berbagai event nasional dan internasional (Gorontalo, Ambon, Makassar, Manado, Luwu), serta liburan akhir tahun. Secara historis, penjualan eceran juga akan meningkat pada akhir tahun seperti yang mulai diindikasikan oleh indeks penjualan eceran (IPER) di Manado (Grafik II.1.2). Sementara itu, meski tidak merata di seluruh daerah, keyakinan konsumen (IKK) memiliki tendensi bergerak ke arah yang lebih optimis. Untuk keseluruhan 2014, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya (6,8%, yoy). Hal ini terutama didorong oleh penguatan daya beli masyarakat seiring pertumbuhan UMP Sulampua pada 2014 (rata-rata tertimbang) yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2013, terutama di Sulawesi. Konsumsi Pemerintah Laporan Nusantara| 13 Pertumbuhan konsumsi pemerintah di berbagai daerah di Sulampua secara agregat mengalami peningkatan pada triwulan III 2014. Komponen ini tumbuh sebesar 11,3% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya mencatat pertumbuhan sebesar 7,9% (yoy). Faktor utama yang mendorong peningkatan konsumsi pemerintah terutama berasal dari realiasi belanja pegawai karena pembayaran gaji ke-13 bagi PNS, TNI, polri, pejabat negara, dan penerima pensiun/tunjangan. Sementara itu, berlanjutnya kegiatan seleksi CPNS, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota turut berdampak positif bagi peningkatan kinerja konsumsi pemerintah. Indikator giro pemerintah daerah juga tercatat mengalami pertumbuhan yang melambat yang mengkonfirmasi penyerapan dana pemerintah yang lebih tinggi pada triwulan III 2014 (Grafik II.1.3). Pada triwulan IV 2014, kinerja konsumsi pemerintah diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan yang lebih tinggi tersebut diperkirakan didorong oleh upaya menggenjot realisasi belanja yang masih belum optimal sampai dengan triwulan III 2014, terutama pada sisi belanja barang dan belanja modal. Berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah serta masih intensifnya kegiatan belanja rutin terkait operasional harian maupun event khusus di akhir tahun akan menjadi motor penggerak konsumsi pemerintah. Sementara itu, untuk keseluruhan 2014, konsumsi pemerintah Sulampua diprakirakan mengalami akselerasi dibandingkan dengan 2013 (6,6%, yoy). Hal tersebut diindikasikan oleh pertumbuhan agregat anggaran belanja dalam APBD provinsi (tanpa DATI II) di Sulampua yang tumbuh menguat, utamanya di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, Gorontalo, dan Papua Barat. Barang yang Dibongkar Barang yang Dimuat gVolume - Skala Kanan Ribu Ton IKK Palu IKK Manokwari Indeks %, yoy 3,500 30 3,000 20 2,500 10 2,000 0 1,500 (10) 1,000 500 (20) 0 (30) I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan Grafik II.1.1. Volume Bongkar dan Muat Barang IKK Gorontalo IPER Manado - Skala Kanan Indeks 400 175 165 155 145 135 125 115 105 95 350 300 250 200 150 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III IV 2014 Sumber: Survei dari Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia Grafik II.1.2. Indeks Indikator Konsumsi Investasi Investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) mengalami sedikit perlambatan pertumbuhan pada triwulan III 2014 yaitu dari 11,0% (yoy) menjadi 10,8% (yoy). Perlambatan sisi investasi dinilai bersumber dari belum optimalnya realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang meliputi jalan dan jembatan, pembangkit listrik, sarana irigasi, pelabuhan, hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus. Hal ini terkonfirmasi dari penyaluran kredit investasi yang tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik II.1.3). Di sisi lain, investasi swasta menjadi penahan perlambatan lebih lanjut yang sejalan dengan pertumbuhan penanaman modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) yang mengalami percepatan (Grafik II.1.4) untuk mendukung kegiatan produksi sektor ekonomi utama melalui investasi barang modal. Pertumbuhan investasi diprakirakan meningkat pada triwulan IV 2014 karena upaya mengejar target proyek di akhir tahun serta dimulainya proyek baru di Sulampua. Proyek yang berlanjut antara lain adalah pembangunan smelter dan pembangkit listrik di beberapa daerah, pabrik semen (Manokwari), pembangunan jalan lingkar pulau-pulau (Maluku dan Maluku Utara), pusat perbelanjaan (Manado), hotel, serta proyek-proyek MP3EI. Beberapa proyek baru yang direncanakan akan dimulai di triwulan terakhir ini antara lain adalah jalan tol Manado-Bitung, KEK Palu, PLTU Takalar (Sulawesi Selatan), serta perbaikan infrastruktur bandara di Papua. Secara keseluruhan, investasi pada 2014 diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari 2013 (11,0%, yoy). Akselerasi ini Laporan Nusantara| 14 terutama didorong oleh investasi terkait hilirisasi baik pembangunan smelter dan penambahan kapasitas produksi oleh pabrik pemurnian mineral yang sudah ada. Giro Pemda gGiro Pemda - Skala Kanan Kredit Investasi gKredit Investasi - Skala Kanan Rp Triliun %, yoy 40 35 30 25 20 15 10 5 0 50 40 30 20 10 0 (10) (20) I II III IV I II 2012 III IV I 2013 II PMA (Unit: US$ Juta) gPMA - Skala Kanan Unit PMDN (Unit: Rp Miliar) gPMDN - Skala Kanan %, yoy 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 400 300 200 100 0 (100) (200) III I II 2014 III IV I II 2012 III IV I 2013 II III 2014 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Grafik II.1.3. Perkembangan Giro Pemerintah Daerah dan Penyaluran Kredit Investasi Grafik II.1.4. Realisasi Investasi Asing dan Dalam Negeri Perdagangan Luar Negeri Ekspor Ekspor luar negeri nonmigas Sulampua kembali mengalami perbaikan pada triwulan III 2014. Nilai ekspor luar negeri nonmigas Sulampua tercatat sebesar US$1,75 miliar atau tumbuh sebesar 2,4% (yoy) setelah turun hingga -36,9% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perbaikan kinerja ekspor luar negeri didorong oleh ekspor konsentrat tembaga yang kembali dapat dilakukan sejak Agustus 2014 pasca penerbitan izin bagi eksportir di Papua. Selain dari ekspor pertambangan, peningkatan juga disumbangkan oleh komoditas industri (Grafik II.1.5), khususnya industri hasil tambang (feronikel) yang didukung oleh meningkatnya permintaan dari negara mitra dagang. Hal ini sejalan dengan hasil liaison kepada beberapa kontak pelaku usaha di Sulampua yang bergerak pada sektor industri pengolahan yang menyatakan bahwa ekspor masih menunjukkan peningkatan karena permintaan yang meningkat dan pasokan bahan baku yang terjaga. US$ Juta Total Nilai Ekspor - Skala Kiri gEkspor Pertanian gEkspor Industri gEkspor Pertambangan 3,000 %, yoy 80 60 40 20 0 (20) (40) (60) (80) (100) (120) 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik II.1.5. Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas US$ Juta Total Nilai Impor - Skala Kiri gImpor Barang Modal gImpor Barang Antara gImpor Barang Konsumsi %, yoy 700 350 300 250 200 150 100 50 0 (50) (100) (150) 600 500 400 300 200 100 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik II.1.6. Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang Pada triwulan IV 2014, kinerja ekspor luar negeri Sulampua diprakirakan cenderung tumbuh lebih lambat dari triwulan III 2014. Hingga saat ini, satu-satunya eksportir mineral terdaftar yang memiliki rekomendasi untuk melakukan ekspor hanya eksportir konsentrat tembaga di Papua. Hal ini akan menyebabkan kinerja ekspor pertambangan akan mengalami penurunan sehubungan dengan tingginya ekspor mineral, meliputi tembaga dan nikel mentah karena faktor base effect pada triwulan IV 2013 (sebelum pemberlakuan UU Minerba). Di samping itu, kinerja sektor pertanian yang cenderung tumbuh melambat di akhir tahun akan memengaruhi kinerja ekspor nontambang dan menambah tekanan penurunan pada ekspor luar negeri secara keseluruhan. Laporan Nusantara| 15 Untuk keseluruhan 2014, ekspor luar negeri Sulampua tidak akan tumbuh melebihi capaian tahun sebelumnya karena penurunan ekspor mineral sebagai imbas penerapan UU Minerba. Apalagi, pada 2013, pelaku usaha tambang memacu produksi dan ekspor mereka sebelum penerapan UU tersebut. Impor Impor luar negeri nonmigas pada triwulan III 2014 juga tumbuh lebih cepat dari triwulan II 2014. Impor luar negeri nonmigas tercatat sebesar US$521,25 juta atau bertumbuh sebesar 38,81 (yoy) setelah kinerjanya turun hingga -31,5% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Peningkatan impor luar negeri terutama didorong oleh meningkatnya impor gandum sebagai bahan baku industri pengolahan tepung terigu yang permintaannya meningkat di masa puasa dan Lebaran. Selain itu, impor mesin industri dan alat transportasi juga meningkat untuk mendukung kegiatan produksi sektor utama serta ekspor. Hal ini mendorong peningkatan impor bahan baku dan barang modal di triwulan laporan (Grafik II.1.6). Kinerja impor luar negeri pada triwulan IV 2014 diprakirakan lebih lambat dari triwulan III 2014. Perlambatan aktivitas impor dipengaruhi oleh perlambatan ekspor karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan kontraksi yang masih terjadi pada sektor tambang sehingga kebutuhan akan bahan baku impor untuk produksi diperkirakan masih terbatas. Adapun kegiatan investasi yang masih meningkat akan menopang impor luar negeri, terutama impor barang modal. Dengan perkembangan tersebut, impor luar negeri secara total di 2014 akan tumbuh relatif stabil. Meski terdapat tekanan dari sisi impor bahan baku, percepatan investasi dan konsumsi pada 2014 akan mendorong impor barang modal dan barang konsumsi sehingga menopang impor secara keseluruhan. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian Sulampua tetap mengalami kontraksi, namun tidak sedalam triwulan sebelumnya, yaitu dari tumbuh negatif sebesar 8,5% (yoy) menjadi terkontraksi 3,8% (yoy). Izin penjualan mineral mentah ke luar negeri tanpa pemurnian yang telah diperoleh eksportir di Papua mampu mendorong produksi tembaga dan emas sehingga penurunannya menjadi lebih tipis. Sementara itu, kinerja produksi bijih nikel juga mengalami akselerasi karena adanya peningkatan kebutuhan pasokan nikel mentah sebagai bahan baku pembuatan nikel olahan di Sulawesi Tenggara. Kegiatan penggalian di Sulawesi Tengah juga diyakini menopang perbaikan sektor tambang sehingga kinerjanya tidak lebih buruk dari triwulan II 2014. %, yoy 250 gKonsentrat Tembaga (Papua) gBijih Nikel (Sulawesi Tenggara) gEmas (Papua) gNikel Matte (Sulawesi Selatan) 200 150 100 50 0 (50) (100) I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 IVp gProduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara) %, yoy gProduksi Semen (Sulampua) 50 40 30 20 10 0 (10) (20) (30) (40) gProduksi Terigu (Sulawesi Selatan) I II III 2011 IV I II 2012 Sumber: Produsen, diolah Sumber: Produsen, diolah p Proyeksi Bank Indonesia p Proyeksi Bank Indonesia Grafik II.1.7. Pertumbuhan Produksi Mineral III IV I II III 2013 IV I II III IVp 2014 Grafik II.1.8. Pertumbuhan Produksi Manufaktur Pada triwulan IV 2014, produksi sektor pertambangan di Sulampua diprakirakan masih mengalami perbaikan. Upaya produsen tambang di Papua untuk mencapai target 2014 akan mendorong produksi konsentrat tembaga dan emas di akhir tahun (Grafik II.1.7). Hal yang sama akan dilakukan oleh produsen nikel matte di Laporan Nusantara| 16 Sulawesi Selatan seiring selesainya renegosiasi sehingga kendala operasional menjadi minimal. Sementara itu, masih tingginya kebutuhan industri olahan nikel akan menjaga tingkat pertumbuhan produksi bijih nikel di Sulawesi Tenggara. Adapun untuk keseluruhan 2014, produksi tambang mengalami penurunan dibandingkan dengan 2013 pasca penyesuaian yang dilakukan para pelaku usaha yang mengurangi kapasitas bahkan menghentikan produksi. Penyesuaian tersebut dilakukan sebagai respons dari pemberlakuan UU Minerba pada Januari 2014. Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan III 2014, sektor industri pengolahan mengalami percepatan pertumbuhan sebesar 10,0% (yoy) setelah sebelumnya tercatat tumbuh 8,7% (yoy). Peningkatan laju pertumbuhan salah satunya didorong oleh akselerasi industri feronikel di Sulawesi Tenggara seiring dengan naiknya permintaan dari negara tujuan ekspor (Belanda). Lebih lanjut, naiknya permintaan barang industri makanan, pakaian, serta barang konsumsi lainnya terkait dengan perayaan Lebaran dinilai turut memberikan kontribusi positif terhadap kinerja sektor ini. Faktor pendorong lain adalah meningkatnya kinerja industri minyak nabati seiring kehadiran pabrik pengolahan crude palm oil (CPO) baru di Sulawesi Barat. Pada triwulan IV 2014, sektor industri pengolahan diprakirakan kembali tumbuh lebih baik dari triwulan sebelumnya. Hal tersebut diindikasikan oleh kinerja beberapa subsektor industri yang meningkat (Grafik II.1.8), terutama lanjutan akselerasi industri olahan nikel di Sulawesi Tenggara. Kemudian, kinerja industri semen di Sulampua secara umum akan mengalami akselerasi untuk mendukung prospek investasi yang masih tumbuh tinggi. Industri makanan olahan dengan bahan baku terigu juga diyakini akan tumbuh menguat seiring momen perayaan akhir tahun yang dapat meningkatkan permintaan. Berdasarkan survei kepada para pelaku usaha, harga jual sektor industri pengolahan akan terus meningkat hingga akhir tahun sehingga menjadi faktor insentif produksi. Untuk keseluruhan 2014, sektor ini tumbuh relatif stabil dibandingkan 2013. Tidak terjadinya akselerasi disebabkan oleh kinerja industri feronikel yang menurun tajam pada awal tahun di tengah perkembangan industri semen dan terigu yang masih cukup baik pada tahun ini. Sektor Pertanian Laju pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami percepatan sebesar 8,0% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 7,6% (yoy). Dari subsektor tanaman bahan makanan, upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan produksi padi membuahkan hasil melalui program peningkatan luas tanam (Sulawesi Tenggara) dan optimasi lahan baru (Sulawesi Tengah). Di Sulawesi Selatan, musim yang sangat mendukung kegiatan produksi pasca berakhirnya puncak panen raya berhasil meningkatkan produktivitas (luas panen) padi. Dari subsektor perikanan, hasil tangkapan ikan meningkat signifikan karena dukungan cuaca. Selain itu, produksi ikan budidaya (udang), juga meningkat seiring permintaan yang masih 2 tinggi dari konsumen luar negeri dan kurangnya kompetitor sejenis. Pada triwulan IV 2014, nilai tambah sektor pertanian diprakirakan tumbuh melambat. Beberapa daerah masih berada dalam periode masa tanam sehingga menjadi salah satu faktor penyebab perlambatan. Hal ini tercermin dari nilai tukar petani yang mulai turun pada awal triwulan (Grafik II.1.9). Selain itu, komoditas kakao telah melewati musim panennya pada pertengahan tahun. Apalagi, musim hujan yang datang di akhir tahun akan menghambat kegiatan pengolahan kebun kakao. Dari sisi eksternal, kecenderungan melemahnya pertumbuhan harga internasional kakao juga dinilai dapat menambah tekanan pada sisi produksi. Kendala cuaca diprediksi akan memengaruhi produksi ikan yang mulai tumbuh melambat (Grafik II.1.10). Untuk akumulasi sepanjang 2014, sektor pertanian mampu tumbuh lebih tinggi dari tahun lalu. Hal ini didorong oleh 2 Informasi hasil liaison kepada eksportir udang olahan di Sulawesi Selatan dan Maluku Laporan Nusantara| 17 produksi padi dan jagung yang tumbuh lebih tinggi berdasarkan ARAM I dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan produksi tahun sebelumnya. Indeks NTP Sulawesi Utara NTP Maluku Utara NTP Sulawesi Tengah NTP Sulawesi Barat Ribu Ton 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 106 104 102 100 98 96 94 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 I II III IV I 2012 II III IV I 2013 II III PPS Bitung PPS Kendari PPN Ambon gProduksi - Skala Kanan 400 350 300 250 200 150 100 50 0 (50) (100) (150) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 IV I 2014 II III 2012 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah %, yoy IV I II III IV 2013 I II III IV 2014 Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah Grafik II.1.9. Nilai Tukar Petani Grafik II.1.10. Produksi Ikan Tangkap PERKEMBANGAN INFLASI Sepanjang triwulan III 2014, laju inflasi Sulampua tercatat sebesar 3,84% (yoy) atau menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (6,68%, yoy). Dilihat dari komponen disagregasinya, inflasi volatile food tercatat menurun cukup drastis pada triwulan laporan. Faktor utama penyebab penurunan tersebut adalah koreksi harga beberapa komoditas pangan seperti beras, telur, aneka daging, ikan segar, sayur, bumbu, serta buah. Adanya musim panen raya dan cuaca yang kondusif pada triwulan laporan diyakini telah mengamankan persediaan komoditas pangan utama. Di Sulawesi Tenggara dan Maluku, inflasi volatile food bahkan mengalami deflasi bulanan yang cukup dalam karena pasokan pangan yang memadai. Penurunan inflasi juga dipengaruhi oleh komponen administered price yang disebabkan oleh faktor base-effect seiring tingginya IHK pada triwulan III 2013 terkait kenaikan harga BBM. Tekanan inflasi inti juga sedikit berkurang karena menurunnya inflasi tahunan kelompok sandang lainnya seiring penurunan harga emas perhiasan (Grafik II.1.11). %, yoy 50 40 30 20 10 0 (10) (20) (30) (40) (50) Emas Perhiasan Bahan Bakar Rumah Tangga Layang Cabe Merah - Skala Kanan 120 100 80 60 40 20 0 (20) (40) (60) (80) Inflasi di atas 100% (yoy) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2012 %, yoy 2013 2014 Grafik II.1.11. Perubahan Harga Beberapa Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia di Makassar Indeks Ekspektasi Harga Konsumen Makassar Inflasi Sulampua (mtm) Kumulatif 3 Bulan - Skala Kanan % 200 8 190 6 4 180 2 170 0 160 (2) 150 (4) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 2012 2013 2014 Grafik II.1.12. Ekspektasi Harga Jangka Pendek Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia di Makassar Memasuki Triwulan IV 2014, perkembangan inflasi di Sulampua secara agregat kembali meningkat pada Oktober 2014 menjadi 5,06% (yoy). Salah satunya pendorong naiknya inflasi adalah komponen volatile food karena berakhirnya musim panen di beberapa daerah. Di samping itu, masalah pasokan solar bagi nelayan di Sulawesi Tengah (kelangkaan) dan Sulawesi Selatan (pengurangan kuota) membuat frekuensi melaut berkurang sehingga produksi ikan tidak sebanyak biasanya. Untuk komponen administered price, peningkatan inflasi disebabkan oleh dampak lanjutan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) dan harga liquefied petroleum gas (LPG) 12 kg. Tren peningkatan inflasi diprakirakan terus berlanjut hingga akhir 2014 Laporan Nusantara| 18 dan terjadi hampir di seluruh provinsi. Meski masih ada panen komoditas pangan, produksi relatif tidak akan setinggi triwulan sebelumnya. Curah hujan dan gelombang laut yang tinggi akan menurunkan produksi ikan dan menghambat distribusi ke daerah pelosok. Penyesuaian TTL tahap terakhir juga berpotensi meningkatkan inflasi dan ditransmisikan ke harga jual (cost-push). Kenaikan permintaan masyarakat (Natal dan Tahun Baru) juga akan meningkatkan inflasi inti sebagaimana ekspektasi konsumen yang cenderung meningkat di triwulan IV 2014 (Grafik II.1.12). Selain itu, apabila kenaikan harga BBM bersubsidi direalisasikan sebelum 2015 maka inflasi akan tercatat lebih tinggi lagi. Sebaliknya, apabila kebijakan tersebut tidak diambil pemerintah, inflasi pada 2014 akan tercatat lebih rendah dari 2013 terutama karena ekspektasi yang terjaga dan faktor base-effect dari dampak kenaikan BBM bersubsidi pada 2013. Koordinasi Pengendalian Inflasi Kelembagaan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Sulampua terus menunjukkan perkembangan yang impresif untuk mendukung pemantauan dan pengendalian inflasi di daerah. Selama periode Agustus hingga Oktober 2014, telah bertambah TPID kabupaten/kota antara lain TPID Luwu dan Gowa di Sulawesi Selatan; TPID Minahasa Tenggara, Bitung, Kotamobagu, Bolaang Mongondow Utara, Tomohon, dan Talaud di Sulawesi Utara; TPID Majene, Mamasa, Mamuju Utara, dan Mamuju Tengah di Sulawesi Barat; serta TPID Kolaka Utara, Kolaka Timur, Kolaka, dan Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Total TPID kabupaten/kota yang telah terbentuk adalah sebanyak 63 TPID. Mengantisipasi berbagai risiko inflasi yang utamanya berasal dari sisi kebijakan pemerintah, TPID terus melakukan pertemuan di tingkat teknis maupun high level meeting secara intensif. Kegiatan koordinasi dengan TPID pusat dan antardaerah juga telah dilakukan selama triwulan III 2014. Hal tersebut bertujuan untuk menyatukan visi serta arah kebijakan/program kerja TPID ke depan serta membuka peluang bagi penguatan kerjasama antardaerah terutama dalam hal perbaikan konektivitas. Menindaklanjuti hal tersebut, TPID di Sulampua berencana untuk meningkatkan koordinasi dalam rangka memperbaiki kondisi pasokan komoditas pangan yang masih berstatus defisit. Adapun hal yang patut diapresiasi adalah pencapaian inflasi pada masa puasa dan Lebaran yang relatif lebih terkendali jika dibandingkan dengan pola historis yang ada. Hal ini diyakini merupakan sebuah capaian dari program kerja TPID di Sulampua yang secara preventif berupaya mengurangi dampak ekspektasi kenaikan harga serta memastikan ketersediaan bahan pangan di tengah kebijakan pemerintah yang menaikkan TTL secara bertahap. Berbagai program koordinasi dengan pihak ketiga serta penguatan kelembagaan TPID kabupaten/kota dilakukan sepanjang triwulan laporan. Aksi langsung yang dilakukan antara lain adalah perbaikan infrastruktur pasar, optimasi cold storage, persiapan stok pangan sejak tiga bulan sebelum Lebaran, serta pembentukan posko ketersediaan pangan. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Pertumbuhan kredit produktif kepada sektor utama di Sulampua menunjukkan tendensi melambat. Hingga September 2014, pertumbuhan kredit pada sektor perdagangan dan pertanian masih melambat sedangkan pada sektor industri terjadi kontraksi yang lebih dalam (Grafik II.1.13). Di sisi lain, kredit bagi sektor tambang kembali tumbuh lebih tinggi sehubungan dengan aktivitas tambang di Papua yang membaik. Dari aspek kualitas kredit, terjadi peningkatan nonperforming loan (NPL) untuk total kredit produktif hingga mendekati batas aman 5%, khususnya pada penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan industri pengolahan (Grafik II.1.14). Hal ini dikarenakan pelaku usaha tambang dan industri pendukungnya, khususnya yang berskala kecil dan menengah, tidak dapat beroperasi secara optimal pasca penerapan UU Minerba sehingga pendapatannya berkurang. Laporan Nusantara| 19 %, yoy Pertanian %, yoy Industri 100 140 120 100 80 60 40 20 0 (20) (40) Perdagangan 80 Pertambangan - Skala Kanan 60 40 20 0 (20) (40) I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik II.1.13. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama % Total Produktif Pertanian 12 Industri Perdagangan % 10 Pertambangan - Skala Kanan 25 20 8 15 6 10 4 5 2 0 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik II.1.14. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama Ketahanan Sektor Rumah Tangga 3 Penyaluran kredit rumah tangga di Sulampua tumbuh melambat pada triwulan III 2014. Perlambatan tersebut terutama didorong oleh KKB serta KPR (Grafik II.1.15). Secara umum, perlambatan disebabkan oleh suku bunga yang cenderung meningkat sejak akhir 2013, yang berdampak pada meningkatnya kewajiban nasabah sehingga permintaan kredit melambat. Naiknya suku bunga juga menimbulkan kendala bagi nasabah yang tadinya belum memperhitungkan potensi kenaikan suku bunga. Kondisi tersebut tercermin dari NPL kredit rumah tangga yang meningkat (Grafik II.1.16). Meski demikian, ketahanan sektor rumah tangga masih cukup baik karena rasio NPL seluruh jenis kredit rumah tangga masih berada di bawah batas aman (5%). Kenaikan NPL direspons perbankan dengan meningkatkan kewaspadaan dan lebih selektif dalam memilih nasabah yang pada gilirannya berdampak ke perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit. Adapun dari total kredit rumah tangga sebesar Rp69,3 triliun, kredit multiguna masih memiliki pangsa terbesar yaitu 53,8% sedangkan KPR dan KKB masing-masing mengambil pangsa 34,7% dan 6,9%. Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Laju pertumbuhan kredit kepada UMKM yang tercatat sebesar Rp64,5 triliun di Sulampua berada dalam tren melambat hingga triwulan III 2014. Kondisi ini dinilai merupakan dampak dari meningkatnya NPL kredit UMKM hingga mencapai 5,5% sehingga perbankan cenderung mengerem laju kredit UMKM dengan lebih selektif memilih debiturnya (Grafik II.1.15 dan Grafik II.1.16). Sementara itu, suku bunga kredit UMKM cenderung meningkat pada September 2014 yang tentunya memengaruhi kinerja debitur untuk mengembalikan pinjamannya. Upaya terintegrasi antara para pemangku kepentingan harus digalakan untuk menekan angka NPL melalui pendampingan yang menyentuh baik aspek pengetahuan (manajemen) maupun teknis (kapabilitas). Secara umum, upaya pengembangan klaster juga terus dilakukan oleh Bank Indonesia seSulampua agar UMKM mampu memperoleh akses kepada sumber pembiayaan. Beberapa program peningkatan dan pengembangan klaster yang berlangsung sepanjang 2014 antara lain adalah klaster padi (Sulawesi Selatan, Maluku), cabe (Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara), sapi (Gorontalo, Sulawesi Selatan), mina padi (Sulawesi Tengah), hortikultura (Maluku), kakao (Sulawesi Tenggara), dan bawang merah (Maluku Utara). 3 Terdiri dari kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB), kredit multiguna, kredit perlengkapan rumah tangga, serta kredit rumah tangga lainnya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain. Laporan Nusantara| 20 %, yoy KPR 80 70 60 50 40 30 20 10 0 (10) I II KKB III IV I 2011 UMKM II III %, yoy % 500 6 400 5 300 4 200 3 100 2 0 1 (100) 0 Multiguna - Skala Kanan IV I 2012 II III IV 2013 I II Total Rumah Tangga III I II 2014 III IV I KPR II 2011 Grafik II.1.15. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga dan Kredit UMKM III Multiguna IV I II 2012 KKB III IV UMKM I II 2013 III 2014 Grafik II.1.16. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga dan NPL UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Kegiatan sistem pembayaran Sulampua menunjukkan peningkatan pada triwulan III 2014, dilihat dari indikator transaksi melalui Real Time Gross Settlement (RTGS). Demikian pula transaksi kliring masih tumbuh relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik II.1.17 dan Grafik II.1.18). Hampir 90% transaksi sistem pembayaran masih menggunakan RTGS karena efisiensi waktu sehubungan dengan proses settlement yang lebih cepat. Meningkatnya transaksi keuangan didorong oleh perbaikan kondisi ekonomi secara umum. Sesuai dengan karakteristiknya, kebutuhan transaksi masyarakat akan meningkat pada periode Lebaran. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan transaksi RTGS dan kliring secara triwulanan yaitu masing-masing sebesar 10,1% (qtq) dan 3,0% (qtq). Adapun pertumbuhan konsumsi pemerintah yang meningkat diyakini juga berkontribusi pada akselerasi transaksi keuangan seiring penyerapan anggaran belanja milik pemerintah daerah yang lebih baik di triwulan laporan. Rp Triliun Total Transaksi RTGS %, yoy gTotal Transaksi - Skala Kanan 80 70 60 50 40 30 20 10 0 70 60 50 40 30 20 10 0 (10) (20) (30) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik II.1.17. Perkembangan Total Transaksi RTGS Rp Triliun Total Kliring Debet %, yoy gTotal Kliring Debet - Skala Kanan 7 6 5 4 3 2 1 0 30 20 10 0 (10) (20) (30) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik II.1.18. Perkembangan Total Transaksi Kliring Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Pengedaran uang kartal di Sulampua mencatat peningkatan pada sisi outflow maupun inflow selama triwulan III 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini terjadi sebagai dampak peningkatan aktivitas masyarakat terkait Lebaran sehingga kebutuhan uang ikut meningkat yang kemudian disetorkan kembali pasca perayaan Lebaran (Grafik II.1.19). Selanjutnya, pada Oktober 2014, kegiatan penarikan uang masih tercatat lebih besar dibandingkan penyetoran uang sehingga terjadi kondisi net outflow sebesar Rp0,5 triliun. Kondisi ini diperkirakan akan berlanjut seiring kebutuhan uang kartal yang meningkat di akhir tahun. Sementara itu, temuan uang palsu sepanjang triwulan III 2014 lebih sedikit dari triwulan II 2014 yaitu dari 963 lembar menjadi 515 lembar (Grafik II.1.20). Untuk mengantisipasi peredaran uang palsu, kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah akan terus digencarkan oleh Bank Indonesia. Adapun untuk memastikan pengedaran uang layak edar di Sulampua, selain melalui layanan penukaran uang, Bank Indonesia melakukan kegiatan kas keliling. Pada periode triwulan laporan, kegiatan kas keliling ke daerah pelosok telah dilakukan antara lain di Laporan Nusantara| 21 Kepulauan Maluku dan Maluku Utara (Bula, Piru, Dobo, Tual, Namlea, Banda, Sula) dan beberapa daerah lainnya seperti di Papua Barat, Papua, dan Pangkajene Kepulauan di Sulawesi Selatan. Rp Triliun 10 8 6 4 2 0 2 4 6 8 10 12 Outflow (Penarikan Nasabah) Inflow (Penyetoran Nasabah) 1,200 1,000 800 1.60% Nasional (408,837 lembar) Temuan Uang Palsu di Sulampua 600 400 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 I Total 2011-2014 Sulampua (6,668 lembar) Lembar II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik II.1.19. Perkembangan Aliran Uang III IV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik II.1.20. Perkembangan Temuan Uang Palsu PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Untuk tahun 2015, perekonomian Sulampua diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan 2014, yaitu pada kisaran 8,0% - 8,5% (yoy). Perkembangan yang lebih baik tersebut didorong oleh masih kuatnya konsumsi rumah tangga dan akselerasi ekspor. Kegiatan konsumsi rumah tangga akan ditopang oleh daya beli masyarakat yang cukup baik seiring kinerja sektor pertambangan dan industri pengolahan yang mengalami perbaikan. Normalnya kegiatan produksi konsentrat tembaga pada 2015 akan mendorong prospek pertumbuhan sektor pertambangan. Sementara itu, potensi beroperasinya smelter di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara pada paruh kedua 2015 akan mendukung arah proyeksi sektor industri pengolahan. Hal ini masih diperkuat dengan prospek industri migas (LNG) di Papua Barat seiring kenaikan harga jual dan di Sulawesi Tengah dengan perkiraan beroperasinya pabrik LNG baru sebelum akhir 2015. Dengan melihat kondisi di atas, beberapa faktor risiko eksternal maupun internal masih mengemuka. Pada sisi eksternal, risiko terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan Jepang yang dapat memiliki dampak lanjutan pada kinerja ekspor (sektor tradable) Sulampua. Kemudian, apabila tren melambatnya pertumbuhan harga komoditas tembaga dan CPO di pasar global lebih dalam dari proyeksi yang ada maka dapat menjadi faktor disinsentif produksi. Pada sisi internal, terdapat risiko terkait produktivitas dan hilirisasi sumber daya alam. Produktivitas kakao masih belum menunjukkan tandatanda pemulihan sehingga dapat berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor pertanian. Masalah kepastian hukum (regulasi) dalam kegiatan investasi juga perlu mendapat perhatian rencana realisasi smelter tidak mengalami kemunduran. Prospek Inflasi Pada tahun 2015, laju inflasi Sulampua diperkirakan relatif menurun dibandingkan tahun 2014. Inflasi diprakirakan berada pada kisaran 4,7% - 5,2% (yoy). Namun, terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai baik berupa risiko berupa faktor musiman terkait cuaca dan momen hari raya, maupun faktor risiko nonmusiman. Risiko terutama dinilai datang dari sisi kebijakan pemerintah yang meliputi antara lain TTL, harga LPG, dan terutama harga BBM bersubsidi. Apabila terjadi penyesuaian harga yang berlebihan, inflasi dapat tercatat jauh di atas perkiraan. Kenaikan harga dari sisi kebijakan pemerintah berpotensi juga meningkatkan inflasi komponen inti maupun volatile food baik melalui jalur ekspektasi maupun jalur costpush. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama antara pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain dalam menjangkar ekspektasi inflasi ke tingkat yang normal. Hal ini salah satunya akan ditempuh dengan melakukan Laporan Nusantara| 22 komunikasi yang intensif dengan masyarakat. Adapun program kerja TPID yang terkoordinasi dinilai dapat mendukung kegiatan produksi dan distribusi pangan ke depan sehingga kenaikan harga pangan lebih terkendali dan dapat diantisipasi sebelumnya. Apalagi, target produksi pangan diprakirakan kembali meningkat pada tahun yang akan datang. Kegiatan Dunia Usaha Sulampua - Skala Kanan Kondisi Ekonomi Palu Kondisi Ekonomi Jayapura Kondisi Ekonomi Makassar Indeks 170 Saldo Bersih Tertimbang 30 25 20 15 10 5 0 150 130 110 90 Perkiraan 70 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 I II III IV I 2013 II III IV 2014 Indeks Ekspektasi Konsumen 202 200 198 196 194 192 190 188 186 Ekspektasi Pedagang - Skala Kanan Indeks 100.15 100.10 100.05 100.00 99.95 99.90 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 I I II 2015 III IV I II 2013 Grafik II.1.21. Ekspektasi Kondisi Ekonomi dan Perkiraan Kegiatan Dunia Usaha, Survei dari Bank Indonesia III IV I 2014 2015 Grafik II.1.22. Ekspektasi Harga Jangka Panjang, Survei dari Bank Indonesia TabeI II.1.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sulampua Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%, yoy) 2012 2013 2014 2015 II 5.9 III 9.1 IV 10.4 Total 8.7 I* 5.5 II* 6.9 III* 7.1 IVp Totalp Ip Totalp 8.1 I 9.4 7.3 6.7 8,1 - 8,6 8,0 - 8,5 8,6 - 9,1 Sisi Permintaan Konsumsi 7.2 6.7 6.4 6.7 7.3 6.8 7.3 7.7 9.1 9.2 8.3 8,0 - 8,5 Konsumsi swasta 7.0 6.9 6.8 6.8 6.8 6.8 7.3 7.6 8.4 8.3 7.9 7,5 - 8,0 7,9 - 8,4 Konsumsi Pemerintah 7.9 6.0 5.0 6.3 8.9 6.6 7.4 7.9 11.3 11.7 9.7 9,7 - 10,2 10,8 - 11,3 12,1 - 12,6 10,3 - 10,8 Pembentukan Modal Tetap Bruto 13.5 11.1 11.6 11.3 10.3 11.0 11.7 11.0 10.8 12.9 11.6 Ekspor 1.9 17.0 4.6 16.3 21.8 15.0 (2.5) (0.0) 11.0 1.2 2.5 7,9 - 8,4 10,5 - 11,0 Impor 5.7 4.9 4.3 0.5 4.8 3.6 12.6 9.6 19.0 10.8 12.9 9,7 - 10,2 18,5 - 19,0 6.9 7.6 Sisi Produksi Sektor pertanian 5.2 3.4 2.4 4.5 8.5 4.7 Sektor pertambangan & penggalian 0.1 27.7 (1.5) 24.7 22.6 18.3 Industri pengolahan 12.7 9.6 5.5 7.2 11.4 8.4 3.5 Listrik, gas & air bersih 11.6 8.1 10.9 10.4 10.3 9.9 Bangunan 12.7 8.4 9.5 8.3 6.7 8.2 Perdagangan, hotel & restoran 10.2 10.2 10.0 9.1 10.2 Pengangkutan & komunikasi 10.8 8.0 8.8 8.6 15.1 13.1 13.9 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 11.9 7.1 Jasa-jasa Inflasi IHK (%, yoy) 4.98 8.0 6.2 7.2 4,9 - 5,4 4,6 - 5,1 (3.8) (1.2) (7.3) 9,6 - 10,1 8,2 - 8,7 8.7 10.0 10.5 8.2 10,9 - 11,4 11,2 - 11,7 9.4 9.6 9.6 9.6 9.6 9,6 - 10,1 9,8 - 10,3 9.9 9.5 9.4 9.4 9.5 9,3 - 9,8 8,8 - 9,3 9.9 10.1 9.6 9.8 9.7 9.8 9,2 - 9,7 9,3 - 9,8 7.4 8.2 8.9 6.8 6.9 7.4 7.5 7,1 - 7,6 7,5 - 8,0 13.0 13.7 11.6 8.2 4.9 7.6 8.0 8,2 - 8,7 10,2 - 10,7 (17.4) (8.5) 7.5 6.1 7.8 7.5 7.2 9.0 8.2 7.9 9.1 8.6 8,9 - 9,4 8,2 - 8,7 5.06 4.29 7.59 7.02 7.02 6.64 6.68 3.84 5.26 5.26 5,0 - 5,5 4,7 - 5,2 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah * a ngka s ementa ra p proyeks i Ba nk Indones i a Laporan Nusantara| 23 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Wilayah Kalimantan tumbuh meningkat dari 3,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 3,9% (yoy) pada triwulan III 2014. Peningkatan tersebut didorong oleh meningkatnya kinerja sektor pertambangan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR). Peningkatan kinerja sektor pertambangan terutama didorong oleh perbaikan produksi batubara dan lifting migas, perbaikan kinerja ekspor batubara khususnya ke pasar India, serta mulai beroperasinya smelter mineral alumina di Kalimantan Barat dan smelter bijih besi di Kalimantan Selatan. Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi di Wilayah Kalimantan mengindikasikan arah pertumbuhan ekonomi kembali tumbuh melambat. Hal ini terutama dipengaruhi oleh konsolidasi di sektor 4 tambang terkait kebijakan ekspor dan produksi batubara yang mulai berlaku pada awal Oktober 2014 . Namun, membaiknya kinerja produksi sawit seiring dengan masuknya panen sawit dan mulai berproduksinya lahan baru dapat menahan perlambatan ekonomi Kalimantan lebih lanjut. Untuk keseluruhan tahun, perekonomian Kalimantan diperkirakan tumbuh sebesar 3,6% (yoy) sedikit lebih tinggi dibandingkan periode tahun 2013 yang sebesar 3,5%. Perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan diperkirakan berlanjut di tahun 2015 sehingga dapat tumbuh di kisaran 3,5% - 3,9%. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga di Kalimantan (termasuk konsumsi lembaga swasta nirlaba) tumbuh meningkat di triwulan III 2014 sebesar 6,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya (6,1%, yoy). Meningkatnya kinerja konsumsi rumah tangga didukung oleh adanya perbaikan penghasilan masyarakat sebagaimana terindikasi dari Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik II.2.1) dan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang membaik (Grafik II.2.2). Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari adanya perbaikan aktivitas di sektor pertambangan dan perkebunan yang memiliki peran besar dalam perekonomian Kalimantan. Di samping itu, meningkatnya konsumsi dipengaruhi oleh pola musiman terkait Ramadhan yang jatuh pada awal triwulan III 2014. Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan mengalami perlambatan. Hal ini terutama disebabkan oleh perlambatan ekonomi sektor pertambangan di Kalimantan Timur. Selain itu, terbatasnya kegiatan investasi turut memengaruhi ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga berimplikasi pada terbatasnya ruang peningkatan pendapatan masyarakat. Secara keseluruhan, masih belum stabilnya kinerja sektor utama memengaruhi penghasilan masyarakat dan memberikan tekanan pada konsumsi sepanjang tahun 2014. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan konsumsi rumah tangga untuk tahun 2014 diperkirakan tumbuh sebesar 6,4% 4 Kebijakan persyaratan ekspor mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 49/M-DAG/PER/8/2014 tentang Ketentuan Ekspor Batubara dan Produk Batubara dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Dirjen Minerba No. 714.K/30/DJB/2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Eksportir Terdaftar Batubara. Untuk mendapatkan Rekomendasi Eksportir Terdaftar, perusahaan harus memenuhi persyaratan Clean and Clear (CNC), persetujuan rencana kerja, pelunasan pembayaran kewajiban pajak dan kesediaan membayar iuran produksi. Laporan Nusantara| 24 Banjarmasin Samarinda Kalimantan (weighted) 170 indeks 160 Pontianak Palangkaraya 110 NTP 105 150 100 140 130 95 120 90 110 85 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2013 2 3 4 5 6 7 8 9 10f 11f 12f 2014 Grafik II.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 Kalimantan (Weighted) KalBar 2014 KalTeng KalSel KalTim Grafik II.2.2. Perkembangan Nilai Tukar Petani Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh membaik, didorong oleh realisasi program pemerintah seiring dengan pencairan dana transfer APBN yang baru dilakukan pada triwulan sebelumnya. Selain itu, tingginya penyerapan anggaran pemerintah pusat di daerah terkait pelaksanaan Pemilu juga mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah di daerah. Meski demikian, kenaikan konsumsi pemerintah tertahan oleh masih minimnya realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai dampak dari belum finalnya penghitungan DBH untuk pertambangan batubara. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya rencana kenaikan royalti dan perkembangan harga komoditas batubara yang masih menunjukan tren penurunan. Memasuki triwulan IV 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan kembali mengalami perlambatan. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya penundaan beberapa realisasi beberapa proyek infrastruktur. Selain itu, dengan adanya perubahan nomenklatur kementerian terdapat penyelarasan program pemerintah pusat sehingga diperkirakan turut menunda realisasi belanja operasional di daerah. Meskipun demikian, pemerintah daerah diperkirakan tidak akan dapat memenuhi target dalam APBD. Dengan perkembangan tersebut, untuk tahun 2014 pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan akan mengalami perlambatan. Rendahnya harga batubara, terbatasnya pemasukan Pemda dari DBH, dan pengetatan anggaran menjadi faktor utama perlambatan konsumsi pemerintah tahun 2014. Investasi Investasi berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan III 2014 tumbuh melambat dibanding triwulan sebelumnya dari 12,7% (yoy) menjadi 7,6% (yoy). Melambatnya investasi diperkirakan terkait dengan relatif, masih rendahnya harga batubara sehingga perusahaan pertambangan maupun pengangkutan batubara lebih memilih untuk mengoptimalkan barang modal yang telah dimiliki. Selain itu, beberapa proyek pembangunan infrastruktur pemerintah maupun proyek swasta telah memasuki tahap akhir dan bahkan ada yang telah selesai pembangunannya, seperti pembangunan Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan, pembangunan smelter alumina di Kalimantan Barat, pembangunan smelter bijih besi di Kalimantan Selatan, pabrik pupuk di Kalimantan Timur. Memasuki triwulan IV 2014, kegiatan investasi masih berada dalam tren yang melambat. Kondisi yang terjadi pada triwulan sebelumnya masih dirasakan sampai dengan akhir tahun. Selain itu, melambatnya investasi dipengaruhi oleh tertundanya beberapa proyek infrastruktur pemerintah seperti pembangunan rel kereta api di Kalimantan Tengah, perluasan bandara di Kalimantan Selatan, peningkatan kualitas jalan dan jembatan di Kalimantan Timur. Terhambatnya realisasi belanja modal tersebut terjadi karena terdapat masalah pembebasan lahan dan proses lelang yang lebih ketat. Untuk keseluruhan tahun 2014, kinerja investasi tumbuh melambat khususnya pada investasi PMDN dan realisasi belanja modal pemerintah. Laporan Nusantara| 25 Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan pada triwulan III 2014 menunjukkan adanya perbaikan meski masih relatif terbatas. Perbaikan ekspor terutama ditopang oleh permintaan batubara dari pasar India. Namun, di sisi lain terdapat penurunan permintaan ekspor dari Tiongkok seiring dengan masih melemahnya kinerja perekonomian di Tiongkok. Selain itu, kebijakan pemerintah Tiongkok untuk mengurangi impor sampai dengan 50 juta ton pada tahun 2014 memberikan berdampak pada menurunnya ekspor batubara Kalimantan. Penurunan ekspor juga merupakan dampak dari peningkatan pajak impor batubara oleh Korea Selatan. Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan yang masih tertahan, diproyeksikan masih akan berlanjut pada triwulan IV 2014. Mulai berlakunya kebijakan Eksportir Terdaftar (ET) untuk komoditas batubara pada awal triwulan IV 2014 diperkirakan turut memengaruhi kinerja ekspor batubara. Pada awal triwulan IV 2014, terdapat sebanyak 145 perusahaan yang mendapatkan rekomendasi ET dan 160 perusahaan yang akan mengajukan pendaftaran sebagai ET. Sementara itu, ekspor mineral olahan juga masih terbatas karena sampai dengan akhir tahun diperkirakan jumlah smelter yang beroperasi belum akan bertambah. Impor Impor luar negeri Kalimantan pada triwulan III 2014 tercatat mengalami penurunan terutama untuk impor barang modal. Hal ini sejalan dengan melambatnya kegiatan investasi baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh respons perusahaan di bidang pertambangan dan pengangkutan batubara yang cenderung menahan untuk pembelian barang modal baru karena faktor harga komoditas yang masih cenderung rendah. Untuk triwulan IV 2014, impor luar negeri diperkirakan masih akan tumbuh cenderung stabil seiring dengan masih relatif terbatasnya aktivitas investasi. Penurunan produksi akan berdampak langsung pada turunnya impor barang modal dan penolong untuk sektor ekonomi terbesar di Kalimantan. Meski demikian, seiring dengan membaiknya prospek perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, maka impor pupuk diperkirakan dapat meningkat. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan Pada triwulan III 2014 sektor pertambangan di Kalimantan mengalami perbaikan yang didorong oleh kinerja produksi batubara dan lifting migas. Perusahaan pertambangan batubara meningkatkan produksinya untuk mengejar target produksi setelah melakukan renegosiasi kontrak dengan pemerintah (Grafik II.2.3). Meskipun permintaan Tiongkok terhadap batubara relatif menurun, namun meningkatnya permintaan dari India relatif dapat menopang kinerja pertambangan batubara Kalimantan. Beberapa perusahaan pertambangan besar sudah mengikat kontrak dengan pembeli pada akhir tahun 2013 dengan harga tetap. Selain itu, terdapat perusahaan yang telah menyelesaikan hauling road antar lokasi tambang sehingga dapat meningkatkan produksi batubaranya. Sementara itu, berdasarkan hasil liaison, terdapat tujuh perusahaan tambang bauksit besar di Kalimantan Barat dan enam perusahaan sejenis di Kalimantan Tengah yang belum dapat berproduksi. Perusahaan-perusahaan tersebut menghentikan produksi karena tidak dapat melakukan ekspor hasil tambang terkait kebijakan pengaturan ekspor mineral dan tidak adanya permintaan di pasar domestik. Laporan Nusantara| 26 80 Produksi batubara PKP2B g. Produksi batubara (Skala kanan) (juta ton) (% yoy) 70 60 50 40 30 20 10 0 I II III IV I II 2012 III IV I II 2013 III 35 30 25 20 15 10 5 0 -5 -10 -15 25 g. Eskpor Batubara (% yoy) 400 (% yoy) g. Ekspor Mineral (Skala kanan) 350 20 300 15 250 200 10 150 5 100 50 0 I IV* II III IV I II III IV I II III IV* 0 (5) 2012 2014 2013 (50) 2014 (10) Sumber : Kementerian ESDM, diolah (100) Sumber: KPPBC, diolah Grafik II.2.3 Produksi Batubara Kalimantan Grafik II.2.4 Ekspor Tambang Non Migas Kalimantan Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diproyeksi masih relatif terbatas karena mulai diberlakukannya kewajiban Ekspor Terdaftar (ET) pada komoditas batubara. Masih relatif terbatasnya perusahaan yang memiliki ET menyebabkan perusahaan (skala kecil dan menengah) akan menahan produksi batubaranya. Untuk keseluruhan tahun, perbaikan kinerja sektor pertambangan pada tahun 2014 diperkirakan masih relatif terbatas. Sektor Industri Pengolahan (Non Migas) Perkembangan industri pengolahan nonmigas Kalimantan pada triwulan III 2014 cenderung tumbuh melambat yang disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan kelapa sawit (CPO). Hasil produksi CPO di Kalimantan tercatat tumbuh melambat menjadi 20,1% (yoy) terutama karena melemahnya permintaan Tiongkok. Perlambatan pertumbuhan juga merupakan dampak dari kembali menurunnya harga komoditas CPO internasional. Pada triwulan III 2014, harga CPO tercatat pada level 691,1 USD/ ton atau menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat pada level 796,6 USD/ ton. Di sisi lain, penurunan permintaan sedikit tertahan oleh permintaan dari pasar India dan Amerika Serikat, serta semakin menguatnya permintaan domestik. Peningkatan permintaan domestik merupakan dampak langsung dari program mandatori pemakaian biodiesel yang ditetapkan oleh pemerintah. Produksi CPO Kalimantan gProduksi CPO (skala kanan) Produksi CPO Kalimantan gProduksi CPO (skala kanan) 40 600 500 30 500 30 400 20 400 20 300 10 300 10 200 0 200 0 100 (10) 100 (10) (20) - 600 %,yoy ribu ton I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III IV f 2014 Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi di Kalimantan, diolah Grafik II.2.5. Produksi CPO Kalimantan %,yoy ribu ton 40 (20) I II III IV I II 2011 III 2012 IV I II III 2013 IV I II III IV f 2014 Sumber: KPPBC, diolah Grafik II.2.6. Ekspor CPO Kalimantan Pada triwulan IV 2014, perkembangan industri diperkirakan sedikit meningkat, terutama didorong oleh industri CPO (Grafik II.2.5). Peningkatan produksi CPO tersebut diperkirakan berada dalam kisaran 20% - 25% dibandingkan periode sebelumnya. Meskipun demikian perbaikan ekspor CPO lebih lanjut tertahan oleh faktor masih rendahnya insentif harga di pasar global (Grafik II.2.6). Kinerja produksi CPO lebih ditopang oleh masih relatif kuatnya permintaan domestik, khususnya untuk biodiesel. Pemerintah menargetkan penyerapan biodiesel pada tahun 2014 sebesar 4 juta kiloliter, atau meningkat dibandingkan tahun 2012 dan 2013 yang masing-masing sebesar 669 ribu kiloliter dan 1,1 juta kiloliter. Pengembangan industri CPO juga didorong oleh Laporan Nusantara| 27 upaya hilirisasi produk CPO di Kalimantan Timur, yaitu kawasan industri pengolahan minyak sawit terpadu di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Maloy, dan investasi pabrik-pabrik pengolahan CPO baru di Kalimantan Barat. Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian Kalimantan pada triwulan III 2014 tumbuh melambat, terutama karena produksi padi yang cenderung menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca kering yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman padi khususnya di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Beberapa daerah, mengalami gagal panen akibat tidak tersedianya sumber air yang memadai di tengah cuaca panas yang berkepanjangan. Selain itu, cuaca panas yang terjadi juga meningkatkan populasi hama belalang di Ketapang yang menyebabkan gagal panen di daerah tersebut. Selain itu, kinerja subsektor perkebunan terutama kelapa sawit juga menunjukkan adanya perlambatan. Kondisi cuaca yang kurang mendukung pada periode enam bulan sebelumnya mempengaruhi produksi pada triwulan III 2014. Perkembangan terkini di sektor pertanian Kalimantan mengindikasikan pada triwulan IV 2014 diperkirakan dapat kembali tumbuh meningkat didorong oleh produksi kelapa sawit. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca yang mendukung pada periode enam bulan sebelumnya dan mulai berproduksinya lahan-lahan sawit baru. Meskipun demikian, harga CPO yang masih rendah dan berlimpahnya komoditas bahan baku minyak nabati di pasar internasional menyebabkan insentif untuk peningkatan kinerja produksi sawit cenderung terbatas. Sementara itu, untuk produksi tabama padi diperkirakan akan kembali menurun, karena kondisi cuaca yang kering sehingga tidak mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi. PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Kalimantan pada triwulan III 2014 menunjukkan tren yang menurun setelah pada periode sebelumnya mengalami tekanan yang tinggi. Penurunan tekanan inflasi terutama terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang masing-masing mengalami inflasi sebesar 4,58% (yoy) dan 4,81% (yoy). Hal tersebut dipengaruhi oleh terjaganya harga pada komoditas daging-dagingan dan bumbu-bumbuan seiring dengan terjaganya pasokan dari sentra produksi. Penurunan tekanan inflasi tersebut dipengaruhi oleh koreksi harga pada subkelompok transpor, dimana puncak permintaan telah terjadi pada akhir triwulan II 2014. Di sisi lain, tekanan inflasi pada kelompok administered prices bersumber dari peningkatan bertahap Tarif Tenaga Listrik (TTL) tahap kedua (per 1 September 2014) serta kebijakan pemerintah yang menaikkan harga LPG 12 kg sebesar Rp1.500 per kg mulai tanggal 10 September 2014. 12 18 %, yoy 11 16 10 14 9 12 8 10 7 8 6 6 5 4 4 2 3 %, yoy 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011*12* 2012 Kalimantan Kalsel 2013 Kaltim 2014 Kalbar Kalteng Sumber: BPS, diolah Grafik II.2.7. Perkembangan Inflasi di Kalimantan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011*12* 2012 Kalimantan Volatile Food 2013 Core Inflation 2014 Administered Prince Sumber: BPS, diolah Grafik II.2.8. Disagregasi Inflasi di Kalimantan Mencermati perkembangan terkini sampai dengan Oktober 2014, tekanan inflasi pada triwulan IV 20114 diperkirakan cenderung kembali meningkat meski masih dalam intensitas yang terkendali (Grafik II.2.7). Pada bulan Oktober 2014, sumber tekanan berasal peningkatan tarif angkutan udara dan dari kenaikan harga LPG 3 Kg. Sementara itu, pada kelompok bahan makanan, tekanan inflasi berasal dari kenaikan harga beras lokal dan Laporan Nusantara| 28 ikan segar. Musim kemarau yang lebih panjang menyebabkan gagal panen di beberapa sentra padi Kalimantan dan menyebabkan harga beras lokal relatif meningkat. Pada akhir tahun 2014 sumber tekanan inflasi diperkirakan akan semakin tinggi dipengaruhi oleh kenaikan harga tarif angkutan udara terutama menjelang liburan natal dan akhir tahun. Selain itu maraknya pembakaran lahan gambut di berbagai daerah di Kalimantan dan mundurnya awal musim hujan 2014/2015 dapat berpotensi menurunkan produksi komoditas pangan strategis. Dari sisi administered price, risiko inflasi diperkirakan bersumber dari kenaikan tarif tenaga listrik dan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Secara keseluruhan, inflasi Kalimantan pada akhir 2014 diperkirakan berada pada kisaran 5,5% (yoy). Koordinasi Pengendalian Inflasi Sampai dengan Oktober 2014, telah terbentuk 44 Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Wilayah Kalimantan. TPID tersebut terdiri dari 4 TPID provinsi, 9 TPID kota (merupakan kota perhitungan inflasi) dan 31 TPID kota/kabupaten (bukan merupakan daerah perhitungan inflasi). Masih terkendalinya inflasi di berbagai daerah di Kalimantan, salah satunya merupakan hasil dari koordinasi yang dilakukan oleh TPID secara lintas pemerintah, instansi, pelaku usaha dan Bank Indonesia. Koordinasi yang dilakukan terutama terkait dengan pengendalian inflasi pada event musiman, khususnya pelaksanaan bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri. Berbagai upaya koordinasi dilakukan untuk meredam tekanan harga, antara lain melalui pelaksanaan operasi pasar/pasar murah, sosialisasi belanja bijak, pemberian prioritas sandar kapal di pelabuhan yang mengangkut pasokan bahan makanan strategis dan BBM. Selain itu, di tengah kekhawatiran masyarakat terhadap rencana kenaikan tarif LPG 12 kg, dan pengurangan pasokan BBM bersubsidi karena mulai habisnya kuota BBM bersubsidi pada periode laporan, TPID di berbagai daerah di Kalimantan melakukan berbagai antisipasi untuk meredam dampak dari kebijakan tersebut. Beberapa kegiatan TPID yang dilakukan dalam rangka menyikapi beberapa kebijakan harga yaitu dengan mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatur kuotasi dan frekuensi pengisian BBM bersubsidi, pengaturan waktu antrian pengisian solar bersubsidi, mengajukan penambahan kuota BBM besubsidi khususnya solar kepada BPH migas, dan memberikan prioritas pengisian BBM bersubsidi bagi kendaraan angkut (Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah). Selain itu, TPID juga merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk LPG 3 kg, sekaligus melakukan pengawasan distribusi dan konsumsi LPG 3 kg tersebut. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Sampai dengan triwulan III 2014, ketahanan sektor korporasi di berbagai daerah di Kalimantan masih relatif terjaga meski terdapat indikasi menurunnya kualitas kredit yang disalurkan. Penyaluran kredit korporasi di wilayah ini masih menunjukkan pertumbuhan yang melambat dan pada akhir triwulan tumbuh hanya sebesar 6,6% (yoy) (Grafik II.2.9). Penyaluran kredit ke sektor pertambangan, konstruksi dan jasa dunia usaha bahkan terkontraksi seiring dengan melambatnya investasi dan kondisi finansial perusahaan batubara skala kecilmenengah yang belum pulih. Meski demikian, penyaluran kredit ke sektor PHR dan sektor pertanian yang memiliki pangsa masing-masing sebesar 35,9% dan 19,9% masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Di akhir triwulan III 2014, pertumbuhan kredit sektor PHR mencapai 13,0% (yoy) dan kredit sektor pertanian mencapai 8,3% (yoy). Dari sisi kualitas kredit, nonperforming loan (NPL) sektor korporasi di Wilayah Kalimantan meningkat dari 2,4% pada triwulan II 2014 menjadi 2,6% pada akhir triwulan III 2014. Secara sektoral hampir semua sektor masih memiliki nonperforming loan (NPL) dibawah 5%, kecuali di sektor konstruksi dan pengangkutan (Grafik II.2.10). Laporan Nusantara| 29 120,0 16% %,yoy 14% 100,0 12% 80,0 10% 60,0 8% 6% 40,0 4% 20,0 2% 0% 0,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 -20,0 2012 gPertanian 2013 gTambang gIndustri 2014 gPHR gKonstruksi Grafik II.2.9 Pertumbuhan Kredit Kalimantan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 Pertanian 2013 Tambang Industri 2014 Konstruksi PHR Grafik II.2.10 NPL Kredit Perbankan Kalimantan Ketahanan Sektor Rumah Tangga Penyaluran kredit rumah tangga (konsumsi) di Kalimantan triwulan III 2014 tumbuh melambat dari 12,7% (yoy) menjadi 9,0% (yoy). Perlambatan tersebut terutama terjadi pada kredit perumahan terutama pada tipe 70 ke bawah. Meskipun demikian, terjadi peningkatan pada volume kredit dari sebesar Rp53,6 triliun di triwulan II 2014 menjadi Rp54,6 triliun. Secara umum risiko kredit masih berada dalam batas aman dengan NPL sebesar 1,82%. Risiko kredit diperkirakan akan meningkat seiring dengan perlambatan konsumsi di triwulan mendatang terutama karena penghasilan yang menurun. Penurunan penghasilan yang disertai terjadinya peningkatan risiko inflasi dari kenaikan Tarif Tegangan Listrik (TTL), kenaikan harga LPG 3 kg dan rencana kenaikan BBM dapat megurangi kemampuan rumah tangga dalam melakukan pembayaran kreditnya. Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada triwulan III 2014 juga menunjukkan adanya perlambatan yaitu dari 17,3% (yoy) di triwulan II 2014 menjadi 11,2% (yoy). Secara sektoral, penurunan kinerja penyaluran kredit UMKM terutama ditopang oleh menurunnya realisasi kredit UMKM pada sektor perdagangan hotel restoran (PHR) yang tumbuh sebesar 12,1% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yaitu sebesar 13,6% (yoy). Melambatnya penyaluran kredit UMKM menjadi perhatian Bank Indonesia yang secara aktif turut serta melakukan kegiatan pemberdayaan UMKM melalui pengembangan klaster di Kalimantan. Pada triwulan III 2014, Bank Indonesia berbagai program yang meliputi pengembangan klaster rumput laut, cabai merah, sarung tenun di Kalimantan Timur, sapi pedaging, padi unggul dan bawang merah di Kalimantan Selatan, kerajinan bidai dan anyaman rotan di Kalimantan Barat, dan klaster bawang merah, cabai merah, padi unggul di Kalimantan Tengah. Selain itu dilakukan juga penandatanganan MoU antara Kabupaten Barito Kuala (Kalimantan Selatan) dengan Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan) dalam rangka kerjasama klaster sapi dan klaster padi. KPw BI Wilayah II (Kalimantan) juga secara khusus mempersiapkan UMKM di Kalimantan Selatan untuk menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) 2015 terutama dalam rangka meningkatkan kompetensi SDM. Berbagai kegiatan di sektor UMKM tersebut, diharapkan dapat memberikan aksesibilitas UMKM pada lembaga pembiayaan. Kinerja Sistem Pembayaran Perkembangan kliring di Wilayah Kalimantan pada triwulan III 2014 secara umum mengalami peningkatan. Volume transaksi kliring pada triwulan III 2014 tercatat mencapai Rp22,8 triliun atau meningkat 4,08% apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp21,8 triliun. Hal tersebut disebabkan oleh dampak dari aktivitas konsumsi pada bulan Ramadhan dan Hari Besar Keagamaan (Idul Fitri 1435 H) yang semakin meningkat. Sejalan dengan kegiatan kliring, transaksi non tunai melalui BI-Real Time Gross Settlement (RTGS) di Wilayah Kalimantan pada triwulan III 2014 juga meningkat. Pada triwulan tersebut total transaksi RTGS Wilayah Kalimantan tercatat sebesar Rp89,2 miliar dengan komposisi RTGS dari Kalimantan ke luar Wilayah Kalimantan sebesar Rp43,7 miliar dan transaksi yang masuk dari luar Wilayah Kalimantan sebesar Laporan Nusantara| 30 Rp33,03 miliar. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekspor yang membaik terutama untuk komoditas batubara dan CPO. Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Pengelolaan uang tunai di Kalimantan pada triwulan III 2014 masih mengalami Net Outflow apabila dibandingkan triwulan II 2014. Kegiatan pengelolaan uang tunai Bank Indonesia di Wilayah Kalimantan pada triwulan III 2014 mencatat inflow sebesar Rp8,5 triliun, atau meningkat sebesar 67% jika dibandingkan triwulan II 2014. Namun, disisi outflow juga terjadi kenaikan signifikan dari Rp8,2 trilliun menjadi Rp12,1 triliun. Peningkatan di kedua sisi outflow dan inflow di Wilayah Kalimantan menyebabkan terjadinya net flow negatif (net-outflow) sebesar Rp3,5 triliun pada triwulan III 2014. Sementara itu, temuan uang kertas palsu mengalami penurunan yang sangat signifikan yaitu sebanyak 365 lembar pada triwulan III 2014, dari sebanyak 1.178 lembar jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan provinsi, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat menerima temuan uang palsu terbanyak pada triwulan laporan yaitu masing-masing 218 lembar dan 162 lembar. Penurunan jumlah uang palsu ini menggambarkan cukup efektifnya kegiatan sosialisasi ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah Bank Indonesia di Wilayah Kalimantan dan didukung oleh penignkatan kinerja kepolisian dalam memberantas tren uang palsu yang beredar. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Secara umum, kinerja perekonomian Kalimantan di tahun 2015 diprakirakan kembali meningkat dan tumbuh pada kisaran 3,5% - 3,9% (yoy). Peningkatan terutama terjadi di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Faktor yang mendorong peningkatan terutama berasal dari peningkatan di sektor pertanian terutama subsektor perkebunan kelapa sawit, perbaikan sektor pertambangan, peningkatan investasi dan membaiknya ekspor. Peningkatan kinerja perkebunan kelapa sawit terutama didorong oleh mulai berproduksinya lahan-lahan yang dibuka 3 – 5 tahun sebelumnya. Sementara itu, smelter alumina di Kalimantan Barat yang diperkirakan beroperasi penuh di tahun 2015 meningkatkan kinerja pertambangaan mineral. Di sisi lain, pertambangan batubara diperkirakan masih mengalami konsolidasi berkaitan dengan pergeseran ekspor batubara ke Tiongkok menjadi ekspor ke India. Konsolidasi pasar batubara juga terjadi antara peningkatan penggunaan batubara domestik dan mengurangi ketergantungan ekspor batubara. Pada sisi investasi, kegiatan pembangunan proyek-proyek yang terkait dengan kemaritiman dan hilirisasi diperkirakan akan semakin besar terutama dalam pembangunan pelabuhan dan industri produk turunan CPO. Meski demikian, terdapat faktor risiko yang berpotensi menekan laju pertumbuhan tahun 2015. Kondisi kemarau yang lebih lama di akhir tahun 2014 dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Di sisi lain, terdapat beberapa kebijakan negara-negara mitra dagang terkait dengan lingkungan dapat menyebabkan penurunan permintaan batubara dari Kalimantan. Prospek Inflasi Secara keseluruhan, tingkat inflasi tahunan di Wilayah Kalimantan pada tahun 2015 diperkirakan tetap terkendali pada kisaran 4,6% - 5,0% (yoy). Terkendalinya inflasi didukung oleh perkiraan terjaganya pasokan pangan disertai minimalnya shock distribusi. Pemanfaatan lahan-lahan yang tidak terpakai untuk ditanami dengan komoditas hortikultura strategis seperti bawang merah dan cabai merah diperkirakan mengurangi kertergantungan Kalimantan terhadap pasokan dari Jawa. Koordinasi yang sudah dibangun antara TPID Provinsi dengan TPID Kabupaten/Kota di tahun 2014 diperkirakan akan meninimalkan defisit pangan di suatu daerah. Namun pada sisi lain, faktor risiko yang berpotensi memicu inflasi 2015 menjadi lebih tinggi dari perkiraan terutama bersumber dari wacana kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi yang masih belum jelas (uncertainty timing). Pergeseran musim tanam dan cuaca yang lebih kering dapat menyebabkan berkurangnya produksi pertanian dan dapat menambah tekanan inflasi dari sisi volatile food. Laporan Nusantara| 31 Tabel II.2.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Kalimantan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2012 2013 2014 2015 II* III* IVP TotalP IP TotalP 3.5 I* 3.8 3.3 3.9 3.3 3.6 3.3 - 3,7 3,5 - 3,9 I II III IV Total 4.8 2.9 3.5 3.8 3.8 Sisi Permintaan Konsumsi 7.0 7.1 6.7 6.5 6.7 6.7 6.4 7.6 8.0 7.7 7.5 6,1 - 6,5 6,7 - 7,1 Konsumsi swasta 7.1 7.3 6.7 5.7 6.0 6.4 6.6 6.1 6.6 6.2 6.4 5,7 - 6,1 6,4 - 6,8 Konsumsi Pemerintah 6.5 6.6 6.5 9.2 8.8 7.8 5.9 12.7 12.9 12.2 11.1 7,4 - 7,8 7,6 - 8,0 9.8 7.9 6.4 5.7 5.9 6.5 5.4 12.7 7.6 7.1 8.2 Ekspor 3.0 4.7 3.9 7.1 4.3 5.0 (2.1) (4.8) (3.3) (3.8) (3.5) 8,6 - 9,0 7,0 - 7,4 (3,8) - (3,4) (2,6) - (2,2) Impor 8.7 8.7 7.4 13.0 8.7 9.4 (0.7) 0.2 (3.2) (3.2) (1.7) (4,9) - (4,5) (4,2) - (3,8) Sektor pertanian 4.4 2.6 5.7 3.9 6.4 4.6 5.0 3.0 2.0 2.9 3.2 3,5 - 3,9 Sektor pertambangan & penggalian 4.8 0.7 1.4 0.2 0.1 0.6 0.4 (0.6) 2.0 0.3 0.5 Industri pengolahan (3.5) (3.1) (3.5) 0.9 (1.0) (1.7) 0.3 1.5 0.4 (0.2) 0.5 0,4 - 0,8 (0,1) - 0,3 Listrik, gas & air bersih 7.3 5.9 5.4 4.7 4.8 5.2 4.4 4.7 5.1 4.5 4.7 5,4 - 5,8 6,2 - 6,6 Bangunan 11.6 10.6 8.2 6.7 7.4 8.1 7.5 8.3 8.1 7.0 7.7 6,7 - 7,1 6,8 - 7,2 Perdagangan, hotel & restoran 8.2 5.2 6.6 7.2 6.8 6.5 6.6 5.9 6.2 5.8 6.1 6,0 - 6,4 7,2 - 7,6 Pengangkutan & komunikasi 9.2 7.4 7.4 8.2 8.2 7.8 7.8 7.7 8.0 7.4 7.7 6,5 - 6,9 6,6 - 7,0 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 12.6 13.1 12.1 10.0 9.2 11.0 9.4 9.2 8.9 9.1 9.2 8,6 - 9,0 9,0 - 9,4 Jasa-jasa 8.5 7.6 6.6 8.9 8.4 7.9 7.8 6.4 8.4 6.9 7.4 7,5 - 7,9 7,0 - 7,4 5.83 5.98 6.34 8.43 8.56 8.56 7.31 7.57 5.00 5.49 5.49 5,7 - 6,1 4,6 - 5,0 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Inflasi IHK (%,yoy) 4,0 - 4,4 (0,1) - 0,3 0,0 - 0,4 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah * a ngka s ementa ra p proyeks i Ba nk Indones i a Laporan Nusantara| 32 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian berbagai daerah di wilayah Bali dan Nusa Tenggara (Bali-Nustra) pada triwulan III 2014 secara agregat masih tumbuh melambat dari 5,0% menjadi 3,4% (yoy). Melambatnya kinerja perekonomian wilayah ini terutama disebabkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mengalami kontraksi pertumbuhan cukup dalam. Di sisi lain, ekonomi Nusa Tenggara Timur (NTT) tumbuh relatif stabil dan Bali mengalami peningkatan. Kondisi ini dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga disertai pertumbuhan konsumsi pemerintah yang melambat cukup dalam. Pendapatan masyarakat yang cenderung melemah terkait dengan menurunnya aktivitas di sektor pertambangan dan pertanian, serta di sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang berdampak pada melambatnya kinerja konsumsi rumah tangga secara keseluruhan. Sementara itu, penyerapan anggaran belanja daerah yang cenderung masih rendah menyebabkan perannya yang terbatas dalam menstimulus perekonomian. Di sisi lain, kinerja ekspor yang masih cukup kuat diperkirakan lebih ditopang oleh perdagangan antar daerah ditengah masih menurunnya ekspor luar negeri sebagai dampak dari penyesuaian pelaku usaha terhadap kebijakan pengaturan ekspor mineral. Memasuki triwulan IV 2014, perekonomian wilayah Bali-Nustra terindikasi mulai menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan beberapa triwulan sebelumnya dan berpotensi dapat tumbuh sebesar 5,3% (yoy). Hal ini didukung oleh perkiraan membaiknya kembali kinerja ekspor luar negeri seiring dengan telah mulai dapat dilakukannya ekspor mineral oleh penambang besar di Nusa Tenggara Barat. Konsumsi diperkirakan juga meningkat dengan masuknya musim liburan akhir tahun serta perayaan beberapa hari besar keagamaan seperti Hari Raya Galungan dan Natal. Demikian halnya dengan konsumsi pemerintah yang akan meningkat sebagaimana siklusnya penyerapan anggaran di akhir tahun. Untuk keseluruhan tahun 2014, perekonomian Bali-Nustra diperkirakan tumbuh melambat dari 5,8% menjadi 4,7% (yoy). Melemahnya kinerja sektor pertambangan dan bangunan menjadi sumber utama melambatnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Penyesuaian yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap kebijakan ekspor mineral berpengaruh besar pada melambatnya kinerja ekspor wilayah ini disepanjang tahun 2014. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap realisasi investasi investasi yang tumbuh melambat di tahun 2014. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga triwulan III 2014 kembali tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat dari 4,9% menjadi 4,3% (yoy). Melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan terkait dengan melemahnya aktivitas di sektor pertambangan dan di sektor pertanian. Kondisi ini juga tercermin dari penurunan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Bali-Nustra dari 112,2 menjadi 111,0 (Grafik II.3.1). Meski demikian, pertumbuhan kredit konsumsi masih relatif terjaga sebesar 15,5% (yoy), dengan nominal kredit sebesar Rp 47,2 triliun (Grafik II.3.2). Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh sebesar 5,3% (yoy). Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) akhir tahun seiring masuknya musim liburan akhir tahun diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Selain itu, masuknya beberapa hari raya keagamaan seperti Hari Raya Galungan dan Natal diperkirakan juga akan mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat di wilayah Bali-Nustra. Mulai kembali meningkatnya aktivitas Laporan Nusantara| 33 di sektor pertambangan seiring dengan dapat kembali dilakukannya ekspor mineral diperkirakan dapat mendorong perbaikan konsumsi rumah tangal lebih lanjut. Indeks ITK Bali-Nustra 120 Bali NTB NTT 112.18 111.02 116 112 108 104 100 96 I II III IV 2011 I II III IV I 2012 II III 2013 IV I II Rp Triliun 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 I III II III IV I II 2011 III IV I 2012 II III 2013 IV I II III %, yoy 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2014 2014 Kredit Konsumsi g Kredit Konsumsi (skala kanan) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik II.3.1. Indeks Tendensi Konsumen Grafik II.3.2. Penyaluran Kredit Konsumsi Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah di berbagai daerah di wilayah Bali-Nustra triwulan III 2014 secara agregat tumbuh melambat dari 3,7% menjadi 2,3% (yoy). Perlambatan yang cukup dalam dari konsumsi pemerintah terkait dengan belum optimalnya penyerapan anggaran hingga triwulan III 2014 jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Tabel II.3.1). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa realisasi belanja daerah termasuk belanja modal di dalamnya masih relatif rendah. Masih rendahnya realisasi belanja modal menunjukkan bahwa realisasi anggaran untuk mendorong kegiatan pembangunan masih relatif terbatas hingga triwulan III 2014. Mencermati perkembangan tersebut, untuk triwulan berjalan, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan meningkat sebesar 6,6% (yoy). Peningkatan diperkirakan terjadi di hampir seluruh provinsi di wilayah Bali-Nustra. Masih terbatasnya realisasi anggaran hingga triwulan III 2014 diperkirakan akan mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah di akhir tahun. Tabel II.3.1. Realisasi APBD Bali-Nustra Triwulan II Item Realisasi Provinsi Bali Tw III (%) 2013 Realisasi Provinsi NTB Tw III (%) 2014 2013 2014 Realisasi Provinsi NTT Tw III (%) 2013 2014 Pendapatan Daerah 85.1 83.9 70.0 68.6 79.4 75.5 Pendapatan Pajak Daerah 93.5 87.2 74.7 64.7 68.9 60.7 Belanja Daerah 49.2 55.9 61.0 55.4 63.6 57.0 Belanja Modal 31.6 25.4 47.0 33.6 35.3 29.3 Sumber: Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Bali, NTB, NTT, diolah Investasi Di tengah melambatnya aktivitas di sektor utama, perkembangan investasi kembali dapat menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik yakni sebesar 7,6% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 0,8% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tersebut terjadi di seluruh provinsi di wilayah BaliNustra terutama didorong oleh investasi bangunan sebagaimana tercermin dari kinerja sektor konstruksi yang meningkat. Di Bali, penyelesaian terminal penumpang domestik Bandara Ngurah Rai pada September 2014, pembangunan PLTP Bedugul (10MW) dan beberapa PLTU di daerah lain, penambahan dermaga di Gilimanuk, serta perbaikan jalan menjelang Lebaran mendorong pertumbuhan investasi triwulan III 2014. Sementara di NTB, pengembangan Kawasan Wisata Mandalika di Lombok Tengah, pengerjaan bypass BIL dan Bendungan Rababakka, serta penyelesaian Bendungan Pandan Duri diperkirakan ikut mendorong pertumbuhan investasi triwulan III 2014. Peningkatan investasi tersebut ditunjukkan oleh peningkatan impor barang modal khususnya Laporan Nusantara| 34 pada bulan Juli dan September 2014 (Grafik II.3.3). Berdasarkan data PMA dari BKPM, investasi di wilayah BaliNustra cenderung didominasi oleh investor asal Australia, Perancis, dan Jepang (Grafik II.3.4). Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan investasi diperkirakan cenderung kembali tumbuh melambat. Investasi Bali-Nustra triwulan IV 2014 diperkirakan tumbuh sebesar 2,9% (yoy). Perlambatan tersebut diperkirakan terjadi di Bali, NTB, maupun di NTT. Di NTT, pertumbuhan investasi cenderung justru masih masih tertahan. Selain itu, melambatnya pertumbuhan investasi provinsi NTB, lebih disebabkan oleh faktor base effect terkait tingginya realisasi investasi non-bangunan pada triwulan yang sama tahun sebelumnya dalam rangka mengakselerasi produksi tambang. Pertumbuhan investasi di provinsi Bali diperkirakan juga tumbuh melambat seiring telah rampungnya beberapa proyek-proyek infrastruktur berskala besar pada triwulan sebelumnya. Perkiraan melambanya kinerja investasi juga terindikasi dari pertumbuhan kredit investasi serta penjualan semen Bali-Nustra yang cenderung menunjukkan perlambatan. Juta USD %, yoy Capital Goods 70 g Capital Goods (skala kanan) 1,400 60 1,200 50 1,000 800 40 600 30 Kanada 2% Lainnya 17% Australia 20% Swiss 4% Rusia Perancis 12% 3% 400 20 200 10 0 0 Spanyol 2% 1 3 5 7 2012 9 11 1 3 5 7 9 2013 11 1 3 5 7 9 -200 2014 US 6% Belanda 3% Hong Kong 4% Korsel 4% Jepang 8% UK 4% Jerman 5% Singapura 6% Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah Grafik II.3.3. Perkembangan Impor Barang Modal Grafik II.3.4. Sumber PMA Triwulan III 2014 Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Bali-Nustra triwulan III 2014 secara total masih tercatat mengalami kontraksi sebesar 31,6% (yoy), meski sedikit lebih baik dibandingkan kontraksi yang terjadi di triwulan sebelumnya yang sebesar 44,9% (yoy). (Grafik II.3.5). Masih turunnya kinerja ekspor terutama dipengaruhi oleh penyesuaian pelaku usaha tambang terkait penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral. Namun, pada akhir triwulan laporan ekspor komoditas mineral kembali dapat dilakukan setelah dicapainya kesepakatan antara pelaku usaha dengan pemerintah. Jumlah realisasi ekspor tembaga pada September 2014 tercatat mencapai 34 ribu ton (Grafik II.3.6). Memasuki triwulan IV 2014, kinerja ekspor Bali-Nustra diperkirakan terus akan kembali meningkat. Hal ini terutama didiukung oleh perkiraan ekspor tembaga yang semakin meningkat pada bulan Oktober – Desember 2014 seiring dengan telah diperolehnya izin ekspor sejak akhir triwulan III 2014. Selain itu, ekspor pakaian jadi yang memiliki pangsa terbesar dalam total ekspor Bali-Nustra diharapkan berangsur-angsur mulai menunjukkan perbaikan, seiring dengan proyeksi membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang merupakan negara tujuan ekspor pakaian jadi dari Bali-Nustra. Namun terkait ekspor komoditas perikanan, potensi gangguan cuaca di akhir tahun diperkirakan menjadi faktor risiko yang berpotensi menahan perbaikan kinerja ekspor Bali-Nustra lebih lanjut. Laporan Nusantara| 35 %, yoy Juta USD Nilai Ekspor Bali-Nustra 700 growth Ekspor (skala kanan) 40 30 20 10 0 (10) (20) (30) (40) (50) (60) 600 500 400 300 200 100 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II Domestik Ekspor Nilai Barang (skala kanan) 70,000 120,000,000 60,000 100,000,000 50,000 80,000,000 40,000 60,000,000 30,000 40,000,000 20,000 20,000,000 10,000 III - - (20,000,000) 1 2014 3 5 7 9 11 1 3 5 2012 Grafik II.3.5. Perkembangan Nilai Ekspor 8 10 12 2 2013 4 6 8 2014 Grafik II.3.6. Ekspor Konsentrat Tembaga Impor Sejalan dengan perkembangan investasi yang kembali membaik, impor Bali-Nustra triwulan III 2014 juga tumbuh menigkat (Grafik II.3.7). Berdasarkan pangsanya, sepanjang tahun 2014, impor Bali-Nustra didominasi oleh impor barang modal (capital goods) dan bahan mentah (raw material), yang masing-masing memiliki pangsa sebesar 64% dan 29% terhadap total impor Bali-Nustra. Peningkatan impor tersebut terutama didorong oleh peningkatan impor barang modal pada bulan Juli dan September 2014 (Grafik II.3.8). Impor yang menunjukkan peningkatan sejalan dengan realisasi pertumbuhan investasi dan sektor bangunan yang juga meningkat pada triwulan tersebut seiring dengan meningkatnya pembangunan dan penyelesaian proyek pada triwulan III 2014. Untuk triwulan IV 2014, pertumbuhan impor luar negeri diperkirakan mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perlambatan tersebut juga sejalan dengan pertumbuhan investasi yang diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan berjalan. Impor yang tumbuh melambat diperkirakan terjadi khususnya di provinsi NTT. Progress MP3EI yang cenderung stagnan/melambat diantaranya pembangunan industri garam di Teluk Kupang diperkirakan mendorong perlambatan pertumbuhan investasi triwulan IV 2014, khususnya pada impor bahan mentah maupun impor barang modal. Juta USD %, yoy Nilai Impor Bali-Nustra g nilai impor (skala kanan) g consumption 800 g raw material g capital goods 700 600 500 400 300 200 100 0 -100 -200 Grafik II.3.7. Perkembangan Nilai Impor 1 3 5 7 2012 9 11 1 3 5 7 2013 9 11 1 3 5 7 9 2014 Grafik II.3.8. Impor menurut Penggunaan Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) Pertumbuhan sektor PHR triwulan III 2014 menunjukkan sedikit peningkatan dari 7,9% menjadi 8,0% (yoy) pada triwulan III 2014. Peningkatan pertumbuhan sektor PHR terjadi di provinsi NTB dan NTT, sedangkan pertumbuhan sektor PHR di provinsi Bali cenderung melambat. Kunjungan wisatawan ke NTB hingga September 2014 masih menunjukkan adanya peningkatan yang ditunjukkan oleh tingkat penghunian kamar maupun jumlah kunjungan wisman. Berdasarkan hasil liaison, sebagian besar hotel di Senggigi menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah kunjungan wisman asal Australia seiring dibukanya rute penerbangan langsung Laporan Nusantara| 36 Perth – Lombok. Dari sisi perdagangan, berdasarkan hasil liaison, penjualan kendaraan bermotor juga masih menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) wilayah BaliNustra juga menunjukkan adanya peningkatan kegiatan usaha di sektor PHR pada triwulan III 2014 (Grafik II.3.9). Di sisi lain, pertumbuhan sektor PHR di provinsi Bali menunjukkan perlambatan sehingga menahan peningkatan kinerja pertumbuhan sektor PHR di wilayah Bali-Nustra lebih lanjut (Grafik II.3.10). SBT (%) 1,200 25 40.00 1,000 20 30.00 800 15 600 10 400 5 200 0 Ribu orang 50.00 20.00 10.00 0.00 -10.00 I II III IV 2011 I II III 2012 IV I II III IV I 2013 II 2014 III 0 (5) I -20.00 II III IV I 2011 -30.00 II III 2012 Jumlah wisman -40.00 % yoy Pada triwulan IV 2014, sektor PHR diperkirakan tumbuh melambat sebesar 6,5% (yoy). Sesuai dengan polanya, pertumbuhan sektor PHR cenderung mengalami perlambatan pada akhir tahun. Kinerja subsektor perdagangan diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan IV 2014. Berdasarkan hasil Survei Penjualan Eceran (SPE), SPE provinsi NTT pada Oktober 2014, menunjukkan adanya penurunan omzet penjualan pada hampir semua kelompok barang. Namun penurunan total penjualan tersebut diperkirakan akan kembali meningkat menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Selain itu, data bongkar muat dan kapal sandar Pelabuhan Tenau juga menunjukkan adanya penurunan aktivitas pada Oktober 2014. IV I II III 2013 IV I II III 2014 g Jumlah Wisman (skala kanan) Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, diolah Grafik II.3.9. Hasil SKDU – Sektor PHR Grafik II.3.10. Jumlah Kunjungan Wisman ke Bali Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian triwulan III 2014 kembali menunjukkan perlambatan dari 1,8% menjadi 1,5% (yoy). Perlambatan tersebut terjadi di NTB dan NTT, sedangkan pertumbuhan sektor pertanian provinsi Bali masih mengalami peningkatan. Kekeringan lahan seluas ratusan hektar di NTB berdampak pada penurunan produksi pertanian. Selain itu, kekeringan yang terjadi di daerah-daerah sentra produksi padi di NTT seperti Manggarai Barat, Manggarai, Nagekeo, Malaka, Betun, serta Belu menyebabkan gagal panen di beberapa daerah tersebut. Subsektor perkebunan di NTT pun tumbuh melambat dikarenakan perkebunan jambu mete dan kopi yang mayoritas berada di Pulau Flores dan Pulau Sumba mayoritas sudah selesai panen. Memasuki triwulan IV 2014, pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan kembali membaik sebesar 2,6% (yoy). Di NTB, telah dilakukannya pengisian dan peresmian waduk pandan duri pada pertengahan Oktober 2014 diperkirakan akan mendorong perbaikan kinerja produksi pertanian. Waduk pandan duri tersebut dapat menampung air hingga 27 juta meter kubik dan mampu mengairi lahan hingga mencapai 5.200 hektar lahan. Selain itu, produksi sapi diperkirakan juga akan mengalami peningkatan, meski terkendala dengan pembatasan penjualan sapi antar pulau yang hampir memenuhi kuota tahun ini sebanyak 60 ribu ekor per tahun. Selain itu, faktor risiko seperti kondisi cuaca yang kurang kondusif mungkin memberikan pengaruh di akhir tahun sehingga berpotensi mengganggu kinerja sektor pertanian, baik subsektor tabama maupun perikanan. Sektor Pertambangan dan Penggalian Pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian masih mengalami kontraksi pada triwulan III 2014. Kontraksi pertumbuhan sektor pertambangan semakin dalam dari kontraksi 8,2% menjadi kontraksi sebesar 46,4% (yoy). Kontraksi yang semakin dalam tersebut dipicu oleh kegiatan pertambangan yang belum pulih serta belum adanya kegiatan produksi pada triwulan III 2014. Pengiriman ekspor yang dilakukan pada Laporan Nusantara| 37 September 2014 sebagian besar menggunakan stok yang masih tersisa dari beberapa periode sebelumnya. Harga konsentrat tembaga juga cenderung mengalami penurunan pada bulan September 2014. Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diperkirakan mulai menunjukkan perbaikan. Hal ini terkait dengan mulai kembali normalnya aktivitas produksi tambang tembaga pasca diterbitkannya izin ekspor mineral. Seluruh karyawan dipanggil untuk bekerja kembali sejak bulan September dan akan mulai efektif berjalan normal kembali pada Oktober 2014. Pada Oktober 2014, produsen utama tembaga NTB juga telah melakukan produksi konsentrat tembaga dengan hasil produksi sebesar 1.000 – 1.500 ton per hektar lahan galian. Diharapkan pada bulan November produsen utama tembaga NTB sudah dapat kembali beroperasi dalam kondisi normal. PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi wilayah Bali-Nustra pada triwulan III 2014 melandai dibandingkan dengan triwulan II 2014. Penurunan tekanan inflasi terjadi di seluruh provinsi di wilayah Bali-Nustra yang terutama bersumber dari kelompok administered price seiring dengan hilangnya dampak kenaikan BBM bersubsidi (faktor base effect). Di samping itu, trend penurunan tekanan inflasi kelompok core inflation masih terus berlanjut seiring dengan melambatnya perekonomian Bali-Nustra. Di sisi lain, tekanan inflasi pangan di akhir triwulan laporan cenderung kembali meningkat terkait dengan produksi di sektor pertanian yang cenderung menurun akibat gagal panen di sejumlah daerah sentra produksi. Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi diperkirakan cenderung kembali meningkat meski masih dalam intensitas yang terkendali. Hal ini terindikasi dari realisasi inflasi Oktober 2014 yang menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat. Tekanan inflasi Bali-Nustra pada Oktober 2014 tercatat sebesar 5,02% (yoy). Kenaikan tekanan inflasi terutama bersumber dari dampak kenaikan bahan bakar rumah tangga serta tarif tenaga listrik, serta kenaikan tarif angkutan udara. Meski demikan, beberapa faktor risiko masih perlu dicermati karena potensinya yang cukup besar memengaruhi keseluruhan inflasi berbagai daerah di BaliNustra. Potensi risiko terutama bersumber dari kenaikan harga energi (tarif tenaga listrik) dan terkait rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi diperkirakan akan meningkatkan ekspektasi masyarakat yang berpengaruh pada kenaikan harga barang dan jasa di triwulan IV 2014. Meskipun diperkirakan melandai dibandingkan tahun sebelumnya, risiko tekanan inflasi komponen volatile foods masih cukup tinggi. Dari sisi supply, anomali cuaca masih menjadi faktor risiko terganggunya produksi dan distribusi bahan makanan. Dari sisi demand, diperkirakan akan terjadi kenaikan permintaan komoditas volatile food seiring dengan perayaan Hari Raya Keagamaan. Sementara itu, upward risk komponen administered price diperkirakan terutama bersumber dari rencana kenaikan harga BBM bersubsidi serta peningkatan harga tiket angkutan udara. Bali-Nustra Bali NTB 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 NTT 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 I 2.00 II III 2011 0.00 I II III IV 2009 I II III IV 2010 I II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV 2013 I IV I II III 2012 IV I II III IV I 2013 II III Okt 2014 II III IVP 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik II.3.11. Perkembangan Inflasi Bali-Nustra UMUM core inflation administered price volatile food Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik II.3.12. Disagregasi Inflasi Bali-Nustra Laporan Nusantara| 38 Koordinasi Pengendalian Inflasi Sebagai wadah dan sarana untuk mengendalikan inflasi, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di wilayah Bali-Nustra secara konsisten terus melakukan peningkatan upaya nyata dalam menjaga stabilitas harga barang dan jasa di daerah. Upaya penguatan koordinasi dilakukan melalui Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) di provinsi NTB. Rakorwil merumuskan kesepakatan langkah-langkah kolaboratif pengendalian inflasi berdasarkan lima pilar TPID (Produksi & Distribusi, Kelembagaan, Regulasi, Edukasi, serta Kajian). Selain itu, target inflasi di masing-masing provinsi juga dirumuskan sehingga dapat mendukung pencapaian inflasi nasional. Dalam rangka mengantisipasi besarnya tekanan inflasi pada triwulan III 2014, TPID Bali-Nustra secara berkesinambungan melaksanakan langkah 4K (Ketersediaan pasokan, Keterjangkauan harga, Kelancaran distribusi, dan Komunikasi). Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan diantaranya inspeksi mendadak ke berbagai pasar modern dan tradisional, gudang distributor dan gudang BULOG; peningkatan infrastruktur perhubungan; pasar murah serta kegiatan komunikasi dengan masyarakat melalui media massa dalam rangka menjaga ekspektasi masyarakat. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Seiring dengan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2014, kinerja pembiayaan perbankan di wilayah Bali-Nustra juga turut mengalami perlambatan. Kecenderungan perlambatan penyaluran kredit BaliNustra terjadi di seluruh provinsi baik Bali, NTB, maupun NTT (Grafik II.3.13). Hasil liaison kepada pelaku usaha, penurunan kebutuhan kredit terjadi karena beberapa ketentuan usaha dianggap menghambat ekspansi usaha, seperti permasalahan perizinan dan pengenaan pajak sebesar 1% dari omzet bagi UMKM. Perlambatan penyaluran kredit pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 15,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 17,0% (yoy). Namun adanya perlambatan tersebut memberikan ruang bagi perbankan untuk memperbaiki kinerja kreditnya sehingga rasio nonperforming loan (NPL) turun dari sebesar 1,7% menjadi 1,3%. Bali-Nustra Bali (skala kanan) NTB (skala kanan) NTT (skala kanan) %, yoy 90 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 35 70 30 60 25 50 20 40 15 30 10 20 5 10 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV Konsumsi Perumahan Kendaraan 80 I II III 2014 Grafik II.3.13. Penyaluran Kredit Bali-Nustra (10) (20) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Grafik II.3.14. Kredit Sektor Rumah Tangga Ketahanan Sektor Rumah Tangga Pertumbuhan pembiayaan ke sektor rumah tangga juga memiliki kecenderungan yang melambat dari 14,6% di akhir triwulan II 2014 menjadi 12,9% pada akhir triwulan III 2014. Perlambatan tersebut terjadi pada kredit perumahan maupun kendaraan (Grafik II.3.14). Dari kualitasnya, kualitas penyaluran kredit pada sektor rumah tangga atau kredit konsumsi cenderung menurun meski masih berada dalam level yang belum mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari rasio NPL yang tercatat sedikit meningkat dari 0,70% pada triwulan sebelumnya, menjadi 0,72% pada triwulan III 2014. Peningkatan NPL tersebut terutama terjadi pada kredit yang disalurkan untuk tujuan multiguna. Hal tersebut diperkirakan terjadi akibat peningkatan suku bunga kredit retail, dimana pola yang serupa terjadi pada kredit konsumsi. Laporan Nusantara| 39 Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Pertumbuhan kredit UMKM juga tercatat mengalami perlambatan dari 20,6% menjadi 19,8% (yoy). Perlambatan pada kredit UMKM terutama terjadi pada kredit mikro dan menengah, sementara pertumbuhan kredit untuk golongan debitur kecil cenderung meningkat (Grafik II.3.15). Namun perlambatan pertumbuhan kredit UMKM tersebut tidak diikuti dengan perbaikan kualitas kredit sektor ini. Perkembangan NPL kredit UMKM tercatat meningkat dari 1,7% menjadi 2,0%. Peningkatan risiko kredit UMKM terutama terjadi pada kredit kelompok menengah yang tercatat meningkat dari sebesar 1,5% menjadi 2,1% (Grafik II.3.16). Peningkatan risiko kredit pada kelompok debitur menengah meskipun masih belum mengkhawatirkan tetap perlu dicermati lebih lanjut. %, yoy 140 UMKM Mikro Kecil Menengah % 4.5 UMKM Mikro Kecil Menengah 4 120 3.5 100 3 80 2.5 2 60 1.5 40 1 20 0.5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Grafik II.3.15. Perkembangan Kredit UMKM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Grafik II.3.16. Perkembangan NPL Kredit UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi wilayah Bali dan Nusa Tenggara pada triwulan III 2014, volume transaksi ekonomi di wilayah yang direpresentasikan oleh RTGS juga tercatat mengalami sedikit penurunan. Volume transaksi RTGS triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp 142,3 triliun (Grafik II.3.17). Penurunan volume transaksi RTGS terjadi pada jenis transaksi RTGS keluar. Dilihat berdasarkan provinsinya, penurunan volume transaksi RTGS terjadi di provinsi Bali dan NTB, sedangkan transaksi RTGS di NTT tercatat meningkat. Grafik II.3.17. Perkembangan RTGS Grafik II.3.18. Perkembangan Net Inflow-Outflow Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Terkait kinerja pengelolaan uang tunai, sesuai dengan polanya, perkembangan peredaran uang pada triwulan III 2014 didominasi oleh aliran outflow. Jumlah net outflow yang tercatat pada triwulan III 2014 mencapai Rp 1,9 triliun, lebih besar dibandingkan net outflow sebelumnya yang sebesar Rp 680 miliar atau meningkat sebesar 173,7% (yoy) (Grafik II.3.18). Peningkatan transaksi outflow didorong oleh aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat seiring tahun ajaran baru sekolah dan perayaan Hari Raya Idul FItri sehingga mendorong peningkatan kebutuhan uang kartal di masyarakat. Sementara itu, guna terus menekan peredaran uang palsu Laporan Nusantara| 40 Bank Indonesia secara konsisten melakukan edukasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah yang dilakukan antara lain melalui layanan penukaran uang dan kegiatan kas keliling. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Bali-Nustra pada tahun 2015, diperkirakan menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan berada pada kisaran 6,3% - 6,8% (yoy). Pertumbuhan tersebut diperkirakan didorong oleh kinerja sektor pertambangan yang mulai menunjukkan perbaikan seiring dengan diperolehnya izin ekspor produsen utama tembaga NTB hingga pertengahan tahun 2015. Sejalan dengan hal tersebut, pertumbuhan ekspor diperkirakan juga akan mengalami peningkatan. Dimulainya era pemerintahan baru, diperkirakan akan mendorong pertumbuhan investasi di tahun 2015. Namun peningkatan pertumbuhan tersebut masih dibayangi oleh beberapa tantangan dan risiko. Masih tingginya sumber pembiayaan investasi diperkirakan masih akan menjadi faktor penghambat investasi di tahun 2015. Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi juga berpotensi menahan konsumsi masyarakat untuk golongan tertentu. Selain itu, kondisi cuaca yang kurang baik juga dapat menahan laju pertumbuhan tahun 2015, khususnya untuk pertumbuhan sektor pertanian. Prospek Inflasi Sampai dengan akhir tahun 2015, prospek inflasi wilayah Bali-Nustra diperkirakan masih berada pada rentang yang terjaga pada kisaran 4.98% - 5,48% (yoy). Adapun risiko pendorong inflasi yang masih sangat mungkin terjadi apabila tidak diterapkan di tahun 2014 adalah risiko kenaikan harga BBM bersubsidi. Faktor risiko tersebut berpotensi mendorong inflasi tahun 2015 lebih tinggi dari yang diprakirakan. Selain itu, kenaikan administered prices lain seperti kenaikan TTL, harga LPG, maupun tarif angkutan udara masih membayangi potensi kenaikan inflasi di sepanjang tahun 2015. Menghadapi risiko tersebut, koordinasi kebijakan di daerah perlu terus diperkuat dan diarahkan untuk memitigasi potensi gejolak inflasi yang dapat terjadi. Langkah kebijakan di daerah difokuskan pada upaya untuk menjaga kesinambungan pasokan, kelancaran distribusi barang, dan pengelolaan ekspektasi masyarakat terhadap harga-harga. Tabel II.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Bali-Nustra Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2012 2013 2014 2015 2015 P I II III IV Total I* II* III* IVp Totalp Ip 4.2 6.0 5.6 5.9 5.8 5.8 5.4 5.0 3.4 5.3 4.7 5,2 - 5,7 6,3 - 6,8 7,2 - 7,7 Sisi Permintaan Konsumsi 4.2 5.1 6.3 7.5 7.7 6.7 6.8 4.9 4.0 5.5 5.3 5,2 - 5,7 Konsumsi swasta 4.3 4.6 5.6 5.6 6.4 5.5 6.4 4.9 4.3 5.3 5.2 5,2 - 5,7 6,2 - 6,7 Konsumsi Pemerintah 3.9 8.1 9.3 16.6 13.5 12.1 9.0 4.8 2.3 6.6 5.5 5,4 - 5,9 11,7 - 12,2 4,3 - 4,8 4,0 - 4,5 Pembentukan Modal Tetap Bruto 15.0 14.1 11.9 4.7 1.6 7.9 (2.8) (0.8) 7.6 2.9 1.7 Ekspor 2.5 3.0 6.2 12.3 10.1 8.0 11.1 6.7 7.5 17.9 10.9 12,4 - 12,9 13,6 - 14,1 Impor 5.9 9.6 12.1 15.0 13.4 12.7 14.4 8.8 10.1 8.0 10.2 12,1 - 12,6 13,6 - 14,1 1.5 2.6 Sisi Produksi 4.2 2.3 2.7 2.7 1.6 2.3 2.8 1.8 (23.7) 6.3 (1.3) 5.4 16.8 6.8 0.7 (8.2) Industri pengolahan 5.6 6.7 6.0 5.0 6.2 5.9 6.3 6.3 5.8 Listrik, gas & air bersih 8.5 9.5 9.3 8.2 7.6 8.6 4.7 7.4 5.8 Bangunan 10.3 12.7 8.5 2.2 (0.1) 5.5 2.5 3.6 Perdagangan, hotel & restoran 6.6 6.6 7.0 6.6 6.1 6.5 6.4 Pengangkutan & komunikasi 6.9 5.3 5.6 6.3 6.9 6.0 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.8 8.6 8.2 7.0 7.8 6.1 7.1 7.8 11.0 9.0 4.59 6.16 5.43 8.06 8.28 8.28 Sektor pertanian Sektor pertambangan & penggalian Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) 2.2 1,9 - 2,4 2,1 - 2,6 (13.5) 0,4 - 0,9 32,5 - 33,0 9.7 7.0 6,4 - 6,9 5,7 - 6,2 5.0 5.7 5,2 - 5,7 5,0 - 5,5 8.8 2.1 4.2 4,0 - 4,5 3,7 - 4,2 7.9 8.0 6.5 7.2 6,7 - 7,2 6.9 5.7 6.9 5.2 6.2 4,9 - 5,4 6,7 - 7,2 4,5 - 5,0 7.9 7.5 8.2 8.3 4.8 7.2 6,6 - 7,1 6,6 - 7,1 8.7 8.0 6.62 7.1 6.78 6.9 4.60 8.8 5.01 7.7 8,5 - 9,0 7,0 - 7,5 5.01 4,7 - 5,2 5,0 - 5,5 (46.4) (1.1) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah * a ngka s ementa ra p proyeks i Ba nk Indones i a Laporan Nusantara| 41 Halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Nusantara| 42 Pertumbuhan ekonomi Kawasan Jawa pada triwulan III 2014 relatif stabil pada level 5,8% (yoy). Kondisi ini terutama ditopang oleh kinerja ekonomi Jawa Tengah yang membaik dan Jawa Timur yang stabil. Cukup stabilnya perekonomian Jawa didukung oleh membaiknya kinerja ekspor manufaktur dan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat. Kondisi ini mendorong perbaikan sektor industri pengolahan di kawasan Jawa. Selain itu, pergeseran masa panen ke triwulan III 2014 di beberapa daerah sentra produksi berdampak positif pada kinerja sektor pertanian yang memiliki peran cukup besar dalam perekonomian Jawa. Berbeda dengan daerah-daerah lain di Jawa, ekonomi Jakarta justru mengalami sedikit perlambatan pada triwulan III 2014 karena pelemahan kinerja konstruksi. Laju inflasi di berbagai daerah di Jawa selama triwulan III 2014 menunjukkan kecenderungan melambat. Pada akhir triwulan III 2014, inflasi di Kawasan Jawa secara agregat turun menjadi 4,17% (y.o.y). Hal ini terutama dipengaruhi oleh cukup terjaganya pasokan pangan disertai adanya koreksi harga pada beberapa komoditas pangan terutama aneka bumbu. Selain itu, menghilangnya faktor base effect dari kenaikan harga BBM pada tahun lalu turut memengaruhi lebih rendahnya angka inflasi pada periode ini. Meski demikian, provinsi Banten mencatat tingkat inflasi yang cukup tinggi, yakni mencapai 6,12%, yang dipicu oleh kenaikan harga LPG. Pembiayaan ekonomi yang bersumber dari kredit perbankan di Kawasan Jawa cenderung tumbuh melambat dari 18,2% di akhir triwulan II 2014 menjadi 13,7% di akhir triwulan III 2014. Perlambatan kredit terjadi baik kepada sektor rumah tangga maupun sektor korporasi. Di sektor rumah tangga, perlambatan terutama pada penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), diikuti oleh Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kepemilikan Apartemen (KPA). Meskipun demikian, kualitas kredit ke sektor rumah tangga masih terjaga stabil seperti tercermin pada angka NPL yang masih rendah. Sementara itu, melambatnya pertumbuhan kredit kepada sektor korporasi diperkirakan terkait dengan penundaan investasi yang dilakukan oleh para investor di sektor riil. Ada pun penyaluran kredit ke sektor pertambangan, konstruksi dan angkutan terindikasi mulai mengalami kenaikan NPL tetapi masih pada level yang belum mengkhawatirkan. Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi mengindikasikan bahwa kinerja ekonomi Jawa relatif stabil dengan tingkat optimisme yang lebih besar. Optimisme ini terutama didukung oleh potensi peningkatan ekspor manufaktur di seluruh wilayah di Jawa seiring dengan membaiknya ekonomi negara mitra dagang utama (Amerika Serikat dan Kawasan ASEAN). Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kawasan Jawa juga didukung oleh meningkatnya investasi, khususnya investasi bangunan, dalam merespons akselerasi proyek infrastruktur pemerintah di akhir tahun. Perbaikan iklim investasi melalui upaya perbaikan proses perijinan dan pembayaran pajak akan turut mendukung peningkatan investasi di akhir 2014. Terjaganya konsumsi di Kawasan Jawa dan optimisme perbaikan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) akan mendorong perbaikan kinerja sektor PHR pada subsektor perdagangan besar (antar daerah). Selain itu, kinerja sektor industri pengolahan juga diperkirakan tumbuh lebih tinggi sejalan dengan perbaikan ekspor. Walaupun terdapat potensi membaik pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 perekonomian Kawasan Jawa diperkirakan tumbuh lebih lambat daripada tahun sebelumnya. Kondisi ini terutama disebabkan oleh melemahnya kinerja investasi dan ekspor. Perlambatan kinerja investasi dan ekspor tidak terlepas dari dinamika global yang masih diliputi ketidakpastian yang turut memengaruhi aktivitas industri di Jawa. Aktivitas perdagangan antar pulau juga cenderung melemah sepanjang tahun 2014, khususnya dengan KTI yang melambat kinerja perekonomiannya. Proses transisi pemerintahan yang berlangsung pada tahun 2014 turut memengaruhi tendensi Laporan Nusantara| 43 investor dalam menentukan waktu untuk merealisasikan investasinya. Pelambatan kinerja investasi juga terkait dengan menurunnya daya saing industri manufaktur Kawasan Jawa yang terbebani oleh peningkatan biaya produksi. Kenaikan biaya energi, logistik, upah buruh, serta bahan baku impor menjadi faktor utama penurunan daya saing investasi di sektor industri. . Ada pun menurunnya kinerja produksi pertanian, sebagaimana tercermin pada relatif rendahnya angka prakiraan produksi tanaman bahan makanan, turut memengaruhi capaian ekonomi Jawa secara keseluruhan di 2014. Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi di Jawa cenderung meningkat tetapi masih pada level yang terkendali. Inflasi pada Oktober 2014 tercatat sebesar 4,66% dengan kenaikan inflasi tertinggi masih tercatat di Banten (6,71%). Kenaikan tekanan inflasi terutama bersumber dari dampak kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan bahan bakar rumah tangga. Selain itu, tekanan inflasi terindikasi juga bersumber dari kelompok core inflation seiring meningkatnya ekspektasi menjelang keputusan kenaikan BBM di akhir tahun. Meskipun demikian, hingga akhir tahun 2014 tekanan inflasi diperkirakan terjaga, kendati dibayangi berbagai risiko yang cukup besar. Risiko kenaikan inflasi diperkirakan masih bersumber dari kelompok administered prices seiring dilakukannya penyesuaian TTL ke-3, tarif transportasi dan harga rokok di akhir tahun. Selain itu, kemungkinan diterapkannya pengurangan subsidi BBM dalam waktu dekat berpotensi memicu kenaikan inflasi yang lebih besar. Hal tersebut ditambah lagi dengan risiko baru dimulainya musim tanam pada awal November dapat mendorong kenaikan harga pada kelompok volatile foods. Pada tahun 2015 ekonomi Jawa diprakirakan meningkat di kisaran 5,8% - 6,2% (yoy). Optimisme perbaikan ekonomi hampir terjadi di seluruh provinsi, khususnya Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kondisi ini didukung oleh potensi perbaikan kinerja ekspor dan meningkatnya transaksi perdagangan antar pulau seiring dengan prospek ekonomi KTI yang terus membaik. Di samping itu, prioritas pembangunan infrastruktur dan upaya perbaikan fasilitasi investasi, seperti pelayanan terpadu satu pintu (one stop service) akan dapat mendorong pemulihan kinerja investasi pada sektor-sektor utama di Jawa. Secara sektoral, prospek perbaikan ekonomi 2015 diprediksi terjadi pada sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan sektor PHR. Masih berlanjutnya pembangunan smelter dan meningkatnya minat investasi di daerah berpotensi mendorong perbaikan kinerja sektor riil. Namun, beberapa faktor risiko masih membayangi pertumbuhan ekonomi ke depan, diantaranya perlambatan ekonomi negara emerging market, potensi kenaikan UMK dan pengurangan subsidi energi, serta tingginya ketergantungan sektor pertanian Kawasan Jawa pada faktor cuaca. Tantangan pada sektor pertanian juga terkait dengan perbaikan institusi yang dapat mendukung optimalisasi teknologi dalam rangka mencapai kedaulatan pangan. Tekanan inflasi pada tahun 2015 diperkirakan berada pada level 4,5% - 4,9% (yoy) dengan kecenderungan bias ke atas. Hal tersebut sejalan dengan berbagai risiko yang kemungkinan termaterialisasi, khususnya terkait kenaikan harga BBM bersubsidi dan dampak lanjutannya pada tarif angkutan umum dan transportasi, serta potensi kenaikan upah minimum (UMP/UMK). Namun, berbagai risiko tersebut diharapkan dapat dikelola dengan baik seiring optimisme perbaikan kinerja pertanian yang didukung oleh rencana pemerintah meningkatkan infrastruktur irigasi dan penguatan kerjasama antar daerah melalui TPID untuk pemenuhan pasokan barang pada kelompok energi dan volatile food. Laporan Nusantara| 44 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian wilayah Jawa Bagian Timur (Jabagtim) tumbuh stabil pada triwulan III 2014 pada level 5,9% (yoy), lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Kinerja perekonomian Jabagtim yang cenderung lebih rendah dari polanya, merupakan akibat dari melambatnya konsumsi rumah tangga. Lebih lemahnya konsumsi pada periode dimana terdapat puasa dan Lebaran 2014 ini tercermin pula dari menurunnya perdagangan antar daerah. Hal ini berpengaruh pada pertumbuhan yang lebih lambat pada sektor PHR dan industri pengolahan. Di sisi ekspor, juga terjadi perlambatan yang cukup dalam pada triwulan laporan. Di sisi lain, perbaikan kinerja investasi, belanja pemerintah dan lembaga swasta mendukung stabilnya perekonomian Jabagtim. Kenaikan belanja investasi periode ini didominasi oleh kelompok bangunan, khususnya dengan adanya pembangunan 3 proyek smelter di Jawa Timur. Dari sisi sektoral, dampak UU Minerba masih berlanjut pada triwulan III 2014 dan memengaruhi kinerja sektor industri pengolahan. Indikasi dari hal tersebut adalah terbatasnya peningkatan produksi industri pengolahan logam di Jabagtim. Penurunan jumlah pemudik serta kenaikan biaya operasional turut mempengaruhi kinerja sektor pengangkutan. Selain itu, penurunan marjin usaha turut dirasakan sektor telekomunikasi. Namun demikian, terdapat indikasi peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi, dan jasa. Meningkatnya produksi tanaman padi dan hortikultura mendukung kinerja sektor pertanian pada triwulan laporan. Pertumbuhan ekonomi Jabagtim diprakirakan tumbuh sedikit melambat menjadi 5,8% (yoy) pada triwulan IV 2014. Proyeksi pelemahan ekonomi tersebut sejalan dengan masih belum stabilnya kinerja sektor riil di Jabagtim. Di sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diprediksi masih akan lebih rendah daripada triwulan III 2014. Hal ini sebagai pengaruh dari menurunnya pendapatan dari sektor pertanian dan dampak dari pengurangan tenaga kerja sektor industri, dengan adanya strategi otomatisasi. Di sisi lain, investasi khususnya dari bangunan dan belanja pemerintah relatif masih kuat dalam menahan perlambatan ekonomi Jabagtim. Kinerja ekspor diprediksi juga mengalami perbaikan, seiring dengan meningkatnya permintaan barang konsumsi untuk perayaan Natal dan Tahun Baru. Meningkatnya perdagangan antar daerah juga turut mendorong kinerja ekspor domestik. Dari sisi sektoral, melambatnya pertumbuhan ekonomi Jabagtim dipengaruhi oleh menurunnya kinerja sektor pertanian dan konstruksi yang cukup dalam. Di tengah lesunya aktivitas perekonomian, kinerja sektor PHR diprediksi masih terjaga dengan dukungan perdagangan antar daerah. Secara keseluruhan, ekonomi Jabagtim tahun 2014 diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,7% - 6,1% (yoy). Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga yang memiliki pangsa terbesar dalam perekonomian Jabagtim, tumbuh melambat sebesar 1 8,1% (yoy) pada triwulan III 2014. Perlambatan kinerja sektor riil, khususnya pada aktivitas di perdagangan, pariwisata dan industri, sangat mempengaruhi daya beli masyarakat Jabagtim. Berkurangnya penduduk bekerja di Agustus 2014 sebanyak 247.000 orang dibandingkan periode yang sama di 2013, ditengarai turut menjadi faktor 1 Angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga dikoreksi lebih tinggi dibandingkan pencatatan pada triwulan sebelumnya sebesar 8,5% (yoy). Laporan Nusantara| 45 2 perlambatan konsumsi rumah tangga. Berdasarkan survei penjualan eceran, perlambatan ini terutama terjadi pada kelompok makanan dan nonmakanan. Survei konsumen dan kredit konsumsi turut mengonfirmasi melambatnya kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan. Melambatnya kredit konsumsi dipengaruhi pula oleh pembatasan kredit konsumtif oleh perbankan (Grafik III.1.3). Belanja rumah tangga di Jabagtim masih cukup kuat meski diperkirakan akan tumbuh melambat pada triwulan IV 2014, seiring dengan belum pulihnya kinerja perekonomian. Sesuai polanya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat setelah mencapai puncaknya pada periode puasa dan Lebaran. Sejalan dengan kenaikan suku bunga simpanan, masyarakat juga cenderung meningkatkan simpanan di perbankan daripada meningkatkan konsumsi. Hal tersebut terindikasi dari kenaikan dana tabungan pihak ketiga di perbankan. Meski demikian, perlambatan belanja rumah tangga akan sedikit tertahan oleh momentum perayaan Natal dan Tahun Baru serta adanya event promosi belanja akhir tahun oleh sejumlah perusahaan ritel. Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada akhir triwulan III 2014 terlihat masih berada di atas level optimis yang mengindikasikan masih relatif kuatnya kinerja konsumsi rumah tangga. Konsumsi Pemerintah Konsumsi Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota di wilayah Jabagtim mengalami perbaikan pada triwulan III 2014. Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar -5,9% (yoy), membaik dari -10,6% (yoy) pada triwulan II 2014. Peningkatan belanja pemerintah turut didorong oleh penyaluran dana Tunjangan Hari Raya (THR) Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta cairnya dana hibah atau bantuan sosial ke daerah kab/kota. Hal ini turut didorong pula dengan penyelesaian sejumlah proyek infrastruktur pemerintah, diantaranya tol Mojokerto-Kertosono. Meski progress pembebasan lahan infrastuktur terus berlanjut, namun masih terdapat kendala terkait tingginya harga yang ditawarkan pemilik lahan yang akan dibebaskan. Pelaku usaha mengharapkan implementasi UU Agraria dapat segera dilakukan untuk mendorong akselerasi pembangunan infrastruktur dan ekspansi lahan usaha di daerah. Indeks Omset Riil Bahan Bakar Perlengkapan Rumah Tangga (rhs) (INDEKS) 250 Suku Cadang Alat Tulis Konstruksi (INDEKS) 700 600 200 500 150 400 100 300 50 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III IV 2013 Grafik III.1.1. Indeks Omset Riil I II 2014 III 140 120 100 80 60 200 40 100 20 - Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) 160 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik III.1.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 2 Tingkat pengangguran terbuka Jawa Timur di Agustus 2014 juga mengalami peningkatan sebesar 0,17% dibandingkan Februari 2014. Laporan Nusantara| 46 100,000,000 Konsumsi (Juta Rp) gKonsumsi-Skala Kanan (%, yoy) 30 25 80,000,000 20 60,000,000 15 40,000,000 10 20,000,000 5 - 0 I II III IV I II III IV I II III 80% 2013-II 2014-II 76% (%) 69% 70% 61% 58% 60% 2013-III 2014-III* 58% 52% 50% 36% 40% 29% 39% 31% 25% 30% 28% 20% 10% 0% 2012 2013 2014 Belanja Daerah Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung Sumber: BPKAD Prov. Jawa Timur Grafik III.1.3. Kinerja Kredit Konsumsi Grafik III.1.4. Realisasi Belanja Tw. III 2014 Pada triwulan IV 2014, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan membaik dan kembali tumbuh di level positif sebesar 0,8% (yoy). Di tengah proyeksi masih melambatnya perekonomian Jabagtim secara umum, konsumsi pemerintah menjadi salah satu faktor kunci dalam menopang pertumbuhan ekonomi pada akhir triwulan 2014. Sesuai polanya, akselerasi belanja pemerintah guna mengejar target penyerapan anggaran, umumnya terjadi pada periode triwulan akhir setiap tahunnya. Hal ini mengasumsikan adanya komitmen dan kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan seluruh program yang telah dicanangkan. Investasi Kinerja investasi mengalami peningkatan dari 6,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 6,7% (yoy) pada triwulan III 2014. Hal ini utamanya didorong oleh meningkatnya investasi pembangunan pabrik smelter di Jabagtim. Saat ini, tercatat pembangunan 3 smelter di Jawa Timur (Gresik, Tuban dan Lumajang) dengan target realisasi investasi mencapai Rp1,5 triliun yang sebagian besar dalam bentuk konstruksi fisik. Peningkatan investasi bersumber dari sumber Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan pertumbuhan mencapai 5,3%, sedangkan dari Penanaman Modal Asing (PMA) tercatat melambat sebesar -10,8% (Grafik 1.15). Berdasarkan hasil liaison dan survei, kenaikan komponen biaya produksi meliputi upah tenaga kerja, tarif energi dan pajak turut memberikan sentimen negatif terhadap minat investor asing maupun dalam negeri untuk berinvestasi di Jabagtim. Ditambah dengan masih tingginya hambatan perijinan investasi di tingkat kab/kota terutama di bidang ijin lingkungan serta kesulitan upaya pembebasan lahan. Sejumlah kontak liaison juga cenderung masih mencermati perkembangan kondisi politik nasional dan arah kebijakan pemerintahan baru. Nilai ProyekPMA (USD Juta) g PMA (%)-Skala Kanan 10050 Capital Goods Consumption Goods g_Intermediate Goods (rhs) Nilai Proyek PMDN (Rp Miliar) g PMDN (%)-Skala Kanan USD (Juta) Rp Miliar 270 220 8050 170 6050 120 Intermediate Goods g_Capital Goods (rhs) g_Consumption Goods (rhs) 6,000,000,000 USD % , yoy 120 100 80 60 40 20 0 -20 -40 -60 5,000,000,000 4,000,000,000 3,000,000,000 70 4050 2,000,000,000 20 2050 -30 50 -80 I II III IV I 2011 II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 III 1,000,000,000 - Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III IV IV IV 2011 2012 2013 2014 Sumber: BPKM, diolah Grafik III.1.5. Realisasi Investasi Jabagtim Grafik III.1.6. Perkembangan Impor Barang Modal Laporan Nusantara| 47 Pada triwulan IV 2014, investasi diperkirakan tumbuh membaik pada level 6,7% (yoy) dengan adanya ekspektasi positif dari sektor riil, stabilitas politik dan ekonomi makro. Berdasarkan hasil quick survey, pelaku usaha berencana mulai melakukan investasi di akhir tahun 2014. Sebagian besar investasi masih pada investasi bangunan, yang didominasi oleh industri semen, bahan kimia dan industri pengolahan logam dasar. Di sisi lain, investasi dalam jenis barang modal yang didominasi kelompok mesin industri dan suku cadang relatif terbatas. Meskipun kinerja sektor pertambangan KTI terindikasi tumbuh membaik, namun prospek penjualan kendaraan berat pendukung kegiatan pertambangan dari Jawa Jabagtim masih belum akan pulih. Menjelang akhir tahun, tantangan kenaikan upah minimum (UMK) juga semakin mengemuka dan menjadi hambatan dari pertumbuhan investasi di beberapa kawasan industri. Terbukanya kawasan industri baru pun masih terkendala oleh keterbatasan tenaga kerja siap pakai. Hal tersebut merupakan tantangan bagi investasi di Jabagtim depan, dalam menyikap beralihnya rencana investasi ke daerah lain (Jabagteng) maupun negara pesaing di regional Asia yang memiliki daya saing manufaktur cukup baik. Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Jabagtim kembali tumbuh melemah sebesar -9,0% (yoy) pada triwulan III 2014, dipicu oleh menurunnya volume ekspor produk manufaktur hasil olahan logam (dampak UU Minerba) dan produk industri makanan minuman (Grafik III.1.7). Meskipun upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor telah membuahkan hasil, namun pola permintaan dari pasar ekspor baru tersebut masih belum stabil. Hal ini menyebabkan belum dapat diimbanginya proporsi ekspor ke negara mitra dagang utama (Jepang dan AS). Lebih dalamnya penurunan ekspor dibandingkan impor menyebabkan masih tingginya defisit neraca perdagangan di Jabagtim yang mencapai sebesar USD9,9 juta (Grafik III.1.8), jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai sekitar Rp8,4 triliun. Pada triwulan IV 2014, ekspor luar negeri Jabagtim diperkirakan tumbuh lebih baik, seiring dengan meningkatnya permintaan untuk memenuhi kebutuhan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Peningkatan komoditas ekspor yang diperdagangkan, umumnya adalah produk hasil olahan industri makanan dan minuman, perhiasan, tekstil, alas kaki dan furniture. Untuk jenis komoditas ekspor tersebut, daya saing ekspor produk Jabagtim cenderung masih baik, meski terdapat potensi kenaikan biaya produksi baik dari bahan baku maupun upah buruh. Namun, bagi industri yang memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor, potensi adanya tekanan nilai tukar akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing. Impor Kinerja impor Jabagtim pada triwulan III 2014 masih dalam tren melambat, sebagaimana ditunjukkan pada Grafik III.1.8. Impor Jabagtim sebagian besar didominasi oleh bahan baku dan barang modal untuk keperluan proses produksi industri. Berdasarkan klasifikasi HS 2 Digit, pangsa impor terbesar di Jabagtim pada triwulan III 2014 adalah komoditas mesin industri (17,2% dari total impor) serta bahan kimia (7,2% dari total impor). Perlambatan impor lebih disebabkan oleh menurunnya impor barang modal dan bahan baku, sejalan dengan penurunan kinerja sektor industri pengolahan. Sementara itu, impor barang konsumsi masih tumbuh meningkat, meski konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan. Pada Triwulan IV 2014, impor Jabagtim diperkirakan tumbuh meningkat dengan adanya perbaikan kinerja pada sektor industri pengolahan. Pertumbuhan impor Jabagtim yang didominasi kelompok impor bahan baku diprakirakan meningkat menjadi sebesar 2,2% (yoy). Impor barang konsumsi juga diprediksi mengalami peningkatan pada periode Natal dan Tahun Baru, termasuk kelompok barang tahan lama (durable goods). Secara Laporan Nusantara| 48 keseluruhan 2014, kinerja impor Jatim tumbuh melambat di tahun 2014 dengan perlambatan terbesar pada impor barang modal dan konsumsi. 20 (Rp. T) Net ekspor Net Ekspor Antar Daerah Net Ekspor LN 15 2.5 (Rp. T) Net Ekspor LN 2 (%, yoy) 20 gEkspor LN (rhs) gImpor LN (rhs) 15 1.5 10 1 10 0.5 -0.5 I -1 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II II III IV I II 2011 III IV I 2012 II III IV I 2013 II III 2014 2011 2012 2013 2014 48 - Paper and paperboard 29 - Organic chemicals 15 - Animal or vegt. fats and oils 3,000 (Juta USD) 2,500 1,500 3500 279.69 404.35 329.52 80% 40% 2000 20% 0% 1500 -20% 414.18 1000 440.18 500 -40% 875.01 199.29 20.93 0 I II III 2011 IV I II III IV 2012 I II III 2013 IV I II 2014 Grafik III.1.9. Negara Utama Tujuan Ekspor 100% 60% 224.49 243.91 289.94 868.00 500 (% yoy) 2500 358.52 556.62 Vol Barang g Jml Barang (rhs) (Ribu Ton) 3000 251.01 257.87 1,000 -15 Grafik III.1.8. Neraca Perdagangan Ekspor LN 44 - Wood and articles of wood 74 - Copper and articles thereof 71 - Pearls,precious and semi prec.stone 262.20 189.85 -5 -10 -2.5 Grafik III.1.7. Kinerja Perdagangan LN dan DN 0 -1.5 III -2 -5 2,000 5 0 5 III -60% 0 -80% I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Grafik III.1.10. Bongkar Muat Ekspor DN (Tj. Perak) Perdagangan Antar Daerah Di tengah melambatnya ekspor Jabagtim ke daerah lain, kondisi neraca perdagangan antar daerah masih mampu mencatatkan angka net ekspor (surplus) sebesar Rp9,9 triliun. Ekspor antar daerah Jabagtim tumbuh melambat dari 14,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 13,6% pada triwulan III 2014. Perlambatan performa ekspor perdagangan antardaerah Jabagtim terutama didorong dari menurunnya permintaan kendaraan alat berat dan alat industri terkait dengan belum pulihnya kinerja sektor pertambangan pasca pemberlakuan UU Minerba. Sementara itu, impor dari daerah lain relatif tumbuh stabil sekitar 10% (yoy), seiring dengan stabilnya kinerja sektor industri pengolahan di Jabagtim. Impor Jabagtim dari daerah lain pada triwulan laporan masih didominasi oleh kelompok bahan baku industri, diantaranya komoditas aneka kayu dan makanan laut. Sementara itu, impor bahan antara industri logam masih tumbuh lemah pasca pemberlakuan UU Minerba di awal tahun 2014. Transaksi perdagangan antar daerah yang lebih rendah juga terkonfirmasi dari data volume pengangkutan barang domestik melalui pelabuhan Tanjung Perak (Grafik III.1.10). Pada triwulan IV 2014, kinerja perdagangan antar daerah diperkirakan membaik, seiring dengan tren peningkatan permintaan khususnya di KTI dengan adanya perayaan Natal dan Tahun Baru. Ekspor Jabagtim yang diperkirakan meningkat adalah kelompok bahan makanan, produk olahan industri makanan minuman, tekstil dan alas kaki. Transaksi impor dari daerah lain diperkirakan juga mengalami peningkatan untuk mendukung kenaikan kapasitas produksi industri pengolahan. Laporan Nusantara| 49 Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) Pada triwulan III 2014, sektor PHR mengalami perlambatan yang cukup signifikan. Pertumbuhan sektor PHR tercatat menurun dari 7,4% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 6,4% (yoy) pada triwulan III 2014. Selain dipengaruhi oleh melambatnya konsumsi rumah tangga, turunnya aktivitas perdagangan antar daerah juga merupakan faktor penurunan kinerja di subsektor perdagangan. Sebagai sentra perdagangan untuk KTI, perekonomian Jabagtim khususnya dari subsektor perdagangan tergantung pula pada kinerja perekonomian KTI. Akibat dari lesunya permintaan baik dari KTI, subsektor perdagangan tumbuh menurun dari 7,0% (yoy) menjadi 6,2% (yoy). Meski demikian, telah terdapat upaya oleh pelaku usaha dan Pemerintah Daerah untuk memperkuat kinerja pasar domestik. Kinerja perdagangan antar daerah tercatat sebesar Rp22,1 triliun dengan adanya momen Lebaran. Subsektor jasa perhotelan dan restoran yang dipengaruhi oleh faktor kunjungan pariwisata, juga dalam tren melambat. Kinerja jasa perhotelan tumbuh sebesar 6,8% (yoy) pada triwulan III 2014, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang mencapai 7,2% (yoy). Tingginya biaya operasional sektor perhotelan (listrik, BBM, upah pegawai) serta meningkatnya persaingan dari hotel baru yang tumbuh pesat (sekitar 40%), telah menekan keuntungan jasa subsektor perhotelan. Meski demikian, pertumbuhan wisatawan masih dalam tren meningkat dengan tumbuh rata-rata mencapai sekitar 8%. Adapun penurunan terdalam dari sektor PHR terjadi pada subsektor jasa restoran. Salah satu penyebab penurunan kinerja jasa restoran adalah kenaikan LPG 12 kg yang meningkatkan biaya operasional secara signifikan. Terkait dengan kompetisi dan terbatasnya daya beli, sebagian pengusaha jasa restoran memilih untuk tidak merespon dengan meningkatkan harga jual. Marjin keuntungan jasa restoran cenderung menurun di kisaran 10% - 20%. Menurunnya kinerja jasa perhotelan dan restoran juga terindikasi dari data konsumsi listrik golongan bisnis yang mengalami penurunan pada triwulan III 2014. Kinerja sektor PHR membaik pada triwulan IV 2014 dengan tumbuh meningkat sebesar 6,7% (yoy). Selain sebagai pengaruh dari perayaan Natal dan libur Tahun Baru, terdapat sejumlah event nasional dan internasional yang dapat mendukung perbaikan kinerja sektor PHR. Namun, kinerja sektor PHR secara keseluruhan tahun 2014, mengalami perlambatan dengan melemahnya konsumsi domestik di Jabagtim serta perdagangan antar daerah. Grafik III.1.11. Konsumsi Listrik Bisnis Grafik III.1.12. Indikator Subsektor Hotel Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 5,5% (yoy) pada triwulan III 2014, lebih rendah 1,3% jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Puncak dari kapasitas produksi terjadi pada triwulan II 2014 dalam merespon Laporan Nusantara| 50 kenaikan permintaan domestik menjelang Lebaran. Sesuai polanya, kinerja produksi menurun pasca Lebaran, khususnya dengan adanya libur yang relatif panjang. Indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) mengindikasikan rendahnya tingkat kapasitas produksi sektor industri juga dipengaruhi oleh rendahnya nilai transaksi ekspor luar negeri dan rencana pelaku usaha untuk melakukan otomatisasi pada proses produksi. Indikator realisasi kegiatan usaha dari SKDU juga mengalami penurunan sebesar 0,8 poin. Penurunan terbesar disumbang oleh subsektor industri logam dasar besi dan baja yang merupakan dampak dari pemberlakukan UU Minerba. Selanjutnya, penurunan kinerja pada subsektor tekstil terkait dengan pemberhentian tenaga kerja sekurangnya 20,000 pegawai, dan pada subsektor makanan minuman dan tembakau yang disebabkan oleh beralihnya preferensi konsumen dari Sigaret Kretek Tangan ke rokok filter/mesin. Keseluruhan fenomena tersebut turut berpengaruh pada peningkatan pengangguran di Jawa Timur. Selain itu, rencana kenaikan BBM pada triwulan IV 2014 mendorong ekspektasi pelaku usaha untuk meningkatkan harga jual barang sebesar 2,5 poin atau sekitar 6,2% bila dikonversikan ke harga nominal. Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor industri pengolahan mengalami perbaikan menuju 5,7% sebagai pengaruh permintaan pasar luar negeri yang meningkat menjelang akhir tahun. Hal ini terkonfirmasi dari perspektif pelaku usaha atas membaiknya permintaan global khususnya hasil olahan industri makanan minuman, tekstil, alas kaki dan furniture. Selain itu, kapasitas produksi meningkat seiring dengan semi otomatisasi di beberapa industri pengolahan. Pada akhir tahun 2014, pertumbuhan industri pengolahan diproyeksikan berada di level 6,2%, meningkat 0,2% dari tahun sebelumnya. Perbaikan kinerja industri pengolahan ke depan juga diharapkan bersumber dari pembangunan smelter di Jawa Timur untuk pengolahan pada industri mineral logam. Adapun tantangan dalam peningkatan kinerja sektor industri adalah peningkatan beban biaya produksi, baik dari kenaikan biaya energi, logistik, upah buruh, serta bahan baku impor yang pada akhirnya menurunkan daya saing di tengah kompetisi global. Grafik III.1.13. Indeks Produksi dan Kapasitas Industri Grafik III.1.14. Konsumsi Listrik Industri Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian di triwulan III 2014 mengalami peningkatan signifikan dengan dorongan dari kenaikan produksi tanaman bahan makanan (tabama). Pertumbuhan sektor pertanian tercatat tumbuh positif 5,66% (yoy), setelah terkontraksi pada triwulan II 2014 dengan tumbuh sebesar -1,6% (yoy). Perbaikan kinerja terutama pada subsektor peternakan yang tumbuh dari -3,0% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 1,4% (yoy) pada triwulan III 2014. Meningkatnya permintaan daging sapi, daging ayam, dan telur ayam menjelang Idul Adha juga turut mendukung kinerja subsektor peternakan. Peningkatan ini juga sejalan dengan hasil SKDU yang mengindikasikan perbaikan kinerja subsektor peternakan dan perikanan terkait dengan perbaikan sistem logistik dan distribusi (cold storage) hasil olahan ternak dan ikan. Sementara itu, perbaikan di subsektor tabama dipengaruhi oleh Laporan Nusantara| 51 meningkatnya produksi (panen padi dan hortikultura), shifting lahan untuk komoditas palawija yang sesuai dengan kondisi cuaca di musim kemarau, serta penggunaan teknologi pertanian (mesin irigrasi) yang membaik. Grafik 1.15. Perkembangan Kinerja Pertanian Grafik 1.16. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertanian diprediksi melambat, seiring masuknya musim pancaroba yang menyebabkan ketidakpastian produksi pada subsektor tabama. Indikator luas tanam padi juga menunjukan penurunan yang signifikan sehingga total produksi pertanian pada akhir tahun 2014 diperkirakan akan terbatas. Menimbang fungsi strategis Jabagtim sebagai backbone pertanian nusantara, kinerja pertanian Jawa Timur yang menurun juga dapat berdampak pada gejolak harga komoditas pangan pada triwulan IV 2014. Faktor musiman perayaan Natal dan Tahun Baru juga diperkirakan dapat meningkatkan harga jual produk pertanian menjelang akhir tahun 2014. Selain itu, rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM juga menciptakan ruang ekspektasi bagi pelaku usaha untuk meningkatkan harga jual produk pertanian. Kenaikan harga BBM juga dikuatirkan akan meningkatkan harga distribusi produk pertanian. PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Jabagtim pada Oktober 2014 mencapai 4,57% (yoy) lebih rendah dibandingkan inflasi nasional (4,83%). Berdasarkan disagregasinya, inflasi tertinggi terjadi pada kelompok administered price (7,13%) disusul oleh core inflation (4,18%) dan volatile food (3,32%). Inflasi administered prices kembali pada pola normalnya, seiring dengan berakhirnya base effect dari kenaikan BBM pada Juli 2013. Peningkatan inflasi pada kelompok ini didorong oleh adanya kenaikan harga bahan bakar rumah tangga khususnya gas LPG 12 kg (21,86%) dan tarif listrik (16,22%). Sementara itu, inflasi inti (core inflation) menunjukan tren penurunan disebabkan penurunan inflasi core tradeable dari 5,14% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,69% (yoy) pada Oktober 2014. Hal ini disebabkan oleh koreksi harga emas perhiasan serta pergerakan harga komoditas pangan global yang terus menurun. Sebaliknya, inflasi core nontradable kembali ke pola normalnya, khususnya terkait dengan selesainya masa penerimaan siswa tahun ajaran baru. Sementara itu, rendahnya inflasi kelompok volatile food disebabkan oleh kembali normalnya permintaan masyarakat pasca Lebaran dan berkecukupannya pasokan pangan khususnya komoditas hortikultura. Optimalnya mekanisme tanam serta kelancaran distribusi turut mendukung terjaganya inflasi kelompok volatile food yang secara kumulatif s.d. Oktober 2014 masih mencatatkan kontraksi untuk beberapa komoditas, diantaranya daging ayam ras (-0,32%), gula pasir (-9,83%), bawang merah (-31,47%), cabai merah (-21,42%) dan cabai rawit (-50,69%). Adanya kerjasama antar daerah juga bermanfaat terutama pada saat terjadinya bencana alam yang menyebabkan pasokan pangan terganggu. Laporan Nusantara| 52 Grafik 1.17 Perkembangan Inflasi Grafik 1.16. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi Pada triwulan IV 2014 inflasi Jabagtim berpotensi meningkat namun diproyeksikan masih berada dalam target sasaran inflasi nasional 4,5%+1%. Tekanan inflasi diperkirakan berasal dari kelompok core inflation dan administered price. Potensi tekanan pada kelompok core inflation didorong oleh kenaikan permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru, serta ekspektasi inflasi terkait rencana kenaikan harga BBM. Sedangkan pada kelompok administered price, kenaikan tarif listrik tahap ketiga pada November 2014 dan berlanjutnya penyesuaian harga komoditas rokok serta tarif transportasi menjadi faktor utama peningkatan inflasi. Sementara itu, mundurnya musim tanam ke awal November 2014 diperkirakan akan memberikan tekanan pada inflasi kelompok volatile food dalam level yang moderat. Namun, ketahanan pangan Jabagtim diyakini terjaga dengan kecukupan stok beras BULOG yang mampu memenuhi kebutuhan hingga 10 bulan ke depan. Koordinasi Pengendalian Inflasi Selain fokus pada aspek produksi dan distribusi, TPID di Jabagtim juga mulai mengoptimalkan potensi kerjasama antar daerah, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Pada periode ini, telah dilakukan pertemuan dan koordinasi antar TPID daerah penghasil utama beras di Jawa Timur (a.l. Jember dan Banyuwangi) dengan kesepakatan berupa : 1) Perlunya penguatan konektivitas dan kerjasama antar daerah, 2) Perlunya penguatan reformasi struktural khususnya di sektor pertanian, dan 3) Perlunya peningkatan daya saing, produktivitas dan perluasan pasar. Dengan adanya kesepakatan tersebut diharapkan kerjasama antar daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan pangan strategis dan ketahanan pangan Jabagtim dapat semakin kuat. Selain peningkatan kerjasama antar daerah, TPID Jawa Timur juga telah melakukan koordinasi untuk mengantisipasi potensi penyesuaian harga BBM. Beberapa hal yang menjadi perhatian untuk ditindaklanjuti adalah : 1) 2) 3) 4) 5) Penetapan batas atas tarif angkutan, Pemenuhan pasokan energi dan pangan di seluruh wilayah Jabagtim, Pengawasan intensif untuk meminimalkan penyalahgunaan BBM, Program komunikasi yang efektif untuk meminimalkan ekspektasi inflasi masyarakat, dan Program pemerintah untuk mempertahankan daya beli masyarakat. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Perkembangan kinerja bank umum di Jabagtim dari sisi penyaluran kredit hingga akhir triwulan III 2014 menunjukkan perlambatan. Perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit bank umum dijumpai baik pada kredit berdasarkan lokasi bank pelapor maupun lokasi proyek. Jumlah kredit berdasarkan lokasi bank pelapor mencapai Laporan Nusantara| 53 Rp327,1 triliun di Jabagtim atau tumbuh 14.4% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir triwulan II 2014 (19,4%). Kredit berdasarkan lokasi proyek yang disalurkan bank umum di Jabagtim mencapai Rp379,7 triliun atau tumbuh 17,0%, melambat dibandingkan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 19,5% (yoy). Kondisi likuiditas yang mengetat dan peningkatan nonperforming loan (NPL) di beberapa sektor juga menjadi salah satu alasan bank untuk menahan laju penyaluran kredit. Sementara itu, total aset bank umum di Jabagtim pada akhir triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp 465,1 triliun atau tumbuh 14,3% (yoy). Kondisi ini menunjukkan perlambatan pertumbuhan aset bank umum bila dibandingkan dengan triwulan II 2014 yang tercatat sebesar 16,6% (yoy). Sementara itu, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp371,5 triliun pada akhir triwulan III 2014, tumbuh meningkat sebesar 17,0% (yoy) atau sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 16,7% (yoy). Rasio penyaluran kredit perbankan terhadap DPK berada pada level 88.1% (berdasarkan lokasi bank) dan 102,2% (berdasarkan lokasi proyek). Rasio ini berada di level yang lebih rendah daripada triwulan sebelumnya yakni 90,8% (berdasar lokasi bank) dan 102,2% (berdasar lokasi proyek). Perlambatan ini disebabkan oleh melambatnya kredit yang disalurkan oleh perbankan. Risiko kredit yang tercermin dari rasio NPL relatif stabil pada akhir triwulan III 2014, yakni berada pada level 2,1%. Grafik 1.19. Penyaluran Kredit Grafik 1.20. Penyaluran Kredit Sektor Utama Secara sektoral, penyaluran kredit masih mendominasi dua sektor ekonomi utama penopang perekonomian Jabagtim, yaitu sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan besar dan eceran. Kredit di sektor industri pengolahan yang memiliki porsi terbesar (28,8%) tercatat sebesar Rp94,1 triliun, yang diikuti oleh kredit di sektor perdagangan hotel dan restoran dengan porsi sebesar 26,0% dan penyalurannya mencapai Rp84,8 triliun. Sementara itu, penyaluran kredit pada sektor pertanian, yang juga merupakan salah satu sektor utama di Jabagtim, relatif masih rendah. Kredit untuk sektor pertanian pada akhir triwulan III hanya mencapai Rp9,5 triliun atau memiliki porsi sebesar 2,9%. Rendahnya porsi pembiayaan ke sektor pertanian disebabkan oleh masih tingginya risiko kredit yang mencapai 4,9% pada akhir triwulan III 2014, sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,8%. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Tren perlambatan ekonomi global dan nasional mendorong perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit sektor rumah tangga, khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). KPR yang disalurkan Bank Umum di Jawa Timur hingga akhir triwulan III 2014 mencapai Rp31,2 triliun, atau tumbuh sebesar 16,8% (yoy) dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan akhir triwulan II 2014 yang tercatat sebesar 22,5% (yoy). Penyaluran KPA melambat cukup signifikan dari 16,2% (yoy) di akhir triwulan II 2014 menjadi 7,0% (yoy) dengan nominal Rp1,4 triliun pada akhir Laporan Nusantara| 54 triwulan III 2014. Demikian pula dengan KKB mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar -4,4% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 2,4% (yoy). Selain disebabkan oleh perlambatan ekonomi, melambatnya penyaluran kredit sektor rumah tangga juga terkait dengan tren kenaikan suku bunga kredit. Tercatat suku bunga KPR meningkat dari rata-rata 11,4% di triwulan II 2014 menjadi 11,6% pada triwulan III 2014. Demikian pula dengan suku bunga KPA meningkat hingga mencapai 10,7% pada triwulan III 2014, sementara pada triwulan II 2014 masih sekitar 10,3%. Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Searah dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan penyaluran kredit secara umum, jumlah kredit UMKM yang disalurkan hingga triwulan III 2014 mencapai Rp91,1 triliun atau tumbuh 13,4% (yoy) dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan di triwulan II 2014 yang tercatat sebesar 15,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit UMKM disertai dengan peningkatan NPL dari 4,2% pada triwulan II 2014 menjadi 4,3% pada triwulan III 2014. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat posisi NPL yang semakin mendekati ambang batas risiko 5%. Grafik 1.21 Penyaluran Kredit Grafik 1.23.Penyaluran Kredit UMKM Grafik 1.22. Penyaluran Kredit Kepemilikan Rumah Grafik 1.24. NPL Kredit UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Pada triwulan III 2014, transaksi keuangan non tunai dengan menggunakan sistem RTGS dan kliring di Jabagtim tumbuh melambat dibandingkan periode sebelumnya. Tercatat transaksi kliring secara nominal mencapai Rp47,1 triliun dengan jumlah warkat kliring sebanyak 1,1 juta lembar. Jumlah tersebut lebih rendah 8,9% (yoy) dibandingkan triwulan III 2013 yang tercatat mencapai Rp51,73 triliun. Demikian pula dengan nominal transaksi RTGS yang mencapai Rp453,2 triliun pada triwulan III 2014 (turun sebesar 12,62% dibandingkan tw III 2013) dengan volume sebanyak 382.144 transaksi. Laporan Nusantara| 55 Grafik 1.25. Transaksi RTGS Grafik 1.26. Transaksi Kliring Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Selama triwulan III 2014, jumlah aliran uang kartal dari dan ke Bank Indonesia di wilayah Jabagtim kembali menunjukkan posisi net inflow sebesar Rp1,7 triliun, lebih tinggi 138,7% (yoy) dibandingkan selama triwulan II 2014 yang tercatat sebesar Rp1,4 triliun. Tingginya net inflow yang terjadi pada periode laporan terkait dengan kembali normalnya aktivitas ekonomi masyarakat pasca lebaran dan tahun ajaran baru. Net inflow yang terjadi pada triwulan laporan juga lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (triwulan III 2013) yang tercatat sebesar Rp729,3 miliar. Grafik 1.27. Temuan UPAL Grafik 1.28. Perkembangan Netflow PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Prospek pertumbuhan ekonomi Jabagtim pada tahun 2015 diproyeksikan berada di level 5,7% - 6,1% dengan dukungan terutama dari kenaikan kapasitas produksi industri dan tetap kuatnya daya beli masyarakat. Beberapa potensi pendukung pertumbuhan ekonomi Jabagtim di 2015 adalah sebagai berikut : (i) peningkatan kinerja sektor perdagangan dengan diresmikannya pelabuhan Teluk Lamong dan tol Trans Jawa, (ii) perbaikan kinerja pertanian seiring dengan meningkatnya belanja pemerintah pada infrastruktur pendukung (waduk, irigrasi), (iii) perbaikan investasi dengan kondusifnya situasi politik domestik dan terjaganya stabilitas ekonomi makro, dan (iv) pemulihan kinerja ekonomi global. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang berpotensi menjadi kendala per ekonomian Jabagtim pada tahun 2015, diantaranya adalah kebijakan pemerintah dalam mengurangi subsidi energi (listrik, gas, dan BBM), perlambatan ekonomi Tiongkok dan sejumlah negara emerging market, serta dampak kenaikan upah minimum. Laporan Nusantara| 56 Prospek Inflasi Dengan asumsi bahwa tidak terdapat penyesuaian harga BBM, inflasi Jabagtim di tahun 2015 diproyeksikan berada di kisaran 4,3% - 4,7% dan masih berada pada sasaran inflasi nasional tahun 2015 sebesar 4%+1%. Terkendalinya inflasi Jabagtim tersebut didorong oleh rendahnya tekanan inflasi di kelompok volatile food, sebagai pengaruh dari meningkatnya produksi dan produktivitas pertanian. Namun, terdapat risiko yang lebih besar pada inflasi di kelompok administered price apabila kenaikan harga BBM (asumsi sebesar Rp3.000) direalisasikan pada akhir triwulan IV 2014. Berdasarkan perhitungan apabila hal tersebut dilakukan, inflasi Jabagtim di tahun 2015 diperkirakan akan berada pada kisaran 5,3% - 5,9%. Peningkatan inflasi tersebut selain disebabkan oleh dampak langsung dari kenaikan harga bensin dan solar juga dipengaruhi oleh dampak lanjutan pada penyesuaian tarif angkutan dan transportasi. Risiko inflasi di kelompok administered price lainnya adalah potensi kenaikan harga LPG dan cukai rokok. Sementara itu, di kelompok inflasi inti, ketidakpastian dalam pengambilan keputusan kenaikan harga BBM akan meningkatkan ekspektasi inflasi. Dalam kaitan itu, TPID di wilayah Jabagtim akan berkoordinasi untuk menjaga ekspektasi inflasi dan mengantisipasi potensi dampak kenaikan harga BBM Tabel III.3.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Timur Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2012 2013 2015 P 2014 II 6.9 III 6.5 IV 6.2 Total 6.5 I* 6.3 II* 5.9 III* 5.9 IVp Totalp Ip Totalp 7.3 I 6.7 5.8 6.0 5,4 - 5,8 5,7 - 6,1 Sisi Permintaan Konsumsi 5.6 6.3 6.6 7.1 7.7 6.9 7.9 7.0 6.9 7.3 7.3 7,1 - 7,5 7,4 - 7,8 Konsumsi swasta 6.1 6.8 6.9 7.5 8.2 7.4 8.2 8.7 8.1 8.0 8.2 7,5 - 7,9 7,8 - 8,2 Konsumsi Pemerintah 0.2 0.3 2.8 2.5 2.9 2.3 2.6 0.8 (3.5) 6,5 - 6,9 1,7 - 1,9 5.4 6.1 6.3 6.5 7.7 6.7 7.5 5.1 6.3 6.7 6.4 0,1 - 0,5 6,3 - 6,7 Ekspor 11.6 8.5 6.9 5.5 5.2 6.5 9.3 7.1 3.5 5.1 6.2 4,0 - 4,4 5,5 - 5,9 Impor 9.8 5.6 5.0 4.9 6.0 5.4 5.7 5.1 1.7 2.2 3.6 2,5 - 2,9 4,4 - 4,8 Sektor pertanian 3.5 2.0 1.5 1.8 1.7 1.6 1.8 0.5 5.5 0.3 1.1 1,5 - 1,9 1,6 - 2,0 Sektor pertambangan & penggalian 2.1 2.7 2.6 4.9 3.2 3.3 4.6 2.9 2.0 2.4 2.3 2,2 - 2,6 2,2 - 2,6 Industri pengolahan 6.3 5.2 6.6 5.4 5.3 5.6 6.8 6.8 5.5 4.9 5.0 5,5 - 5,9 5,9 - 6,3 Listrik, gas & air bersih 6.2 5.3 4.6 4.6 4.2 4.7 4.9 7.4 6.6 5.9 6.8 6,1 - 6,5 5,9 - 6,3 Bangunan 7.1 8.3 10.5 8.5 9.0 9.1 9.5 7.9 9.5 6.9 7.9 9,2 - 9,6 8,6 - 9,0 Perdagangan, hotel & restoran 10.1 9.4 8.9 8.5 7.7 8.6 6.8 7.4 6.4 7.3 7.0 6,3 - 6,7 6,7 - 7,1 Pengangkutan & komunikasi 9.7 11.0 10.0 10.7 10.1 10.4 9.5 7.5 5.0 8.0 8.2 5,9 - 6,1 8,4 - 8,8 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.0 8.5 7.8 7.4 6.7 7.7 7.7 7.4 8.0 7.7 7.9 7,7 - 8,1 6,2 - 6,6 5.1 5.7 5.7 5.0 5.0 5.3 7.78 7.59 7.59 6.4 4.84 4,0 - 4,4 5.93 4.9 4.13 6,3 - 6,7 6.75 4.0 6.66 6.8 4.50 8.4 6.58 4.84 4,2 - 4,6 4,3 - 3,7 Pembentukan Modal Tetap Bruto (10.6) (5.9) Sisi Produksi Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah * a ngka s ementa ra p proyeks i Ba nk Indones i a Laporan Nusantara| 57 PERTUMBUHAN EKONOMI Pertumbuhan ekonomi Jawa Bagian Tengah (Jabagteng) pada triwulan III 2014 membaik dibandingkan dengan periode sebelumnya. Perekonomian Jabagteng naik dari 5,1% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 5,4% (yoy). Pertumbuhan tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Nasional 5,0% (yoy). Secara spasial, perekonomian Jawa Tengah tumbuh meningkat, sementara DI Yogyakarta tumbuh melambat. Sumber utama peningkatan ekonomi Jabagteng adalah meningkatnya konsumsi, baik konsumsi rumah tangga maupun pemerintah. Investasi dan ekspor di sisi lain tumbuh melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Secara sektoral, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi pendorong membaiknya perekonomian Jabagteng. Di sisi lain, sektor pertanian yang terkontraksi semakin dalam dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, menahan laju pertumbuhan ekonomi Jabagteng. Perekonomian Jabagteng diprakirakan tumbuh sedikit melambat sebesar 5,3% (yoy) pada triwulan IV 2014. Konsumsi diprediksi tetap dapat tumbuh tinggi, meskipun tidak setinggi periode sebelumnya. Hal ini merupakan akibat dari perlambatan konsumsi swasta nirlaba. Adapun faktor penopang perekonomian Jabagteng terkait dengan potensi perbaikan ekspor manufaktur, seiring dengan membaiknya ekonomi negara mitra dagang utama (Amerika Serikat dan ASEAN). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diperkirakan juga akan didukung oleh perbaikan investasi, khususnya investasi bangunan, sebagai pengaruh dari akselerasi proyek infrastruktur pemerintah di akhir tahun. Secara sektoral, perlambatan ekonomi dipengaruhi oleh terbatasnya kinerja industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR). Perlambatan industri pengolahan terutama dari potensi menurunnya kinerja industri nonmigas, setelah konsisten mengalami kenaikan semenjak awal tahun. Sebaliknya industri migas diperkirakan masih mampu tumbuh meningkat, meskipun dalam level yang terbatas. Sementara itu, sektor pertanian meski masih terkontraksi, walaupun tidak sedalam periode sebelumnya. Untuk keseluruhan tahun 2014, perekonomian Jabagteng diproyeksikan tumbuh sebesar 5,3% (yoy), jauh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 yang mencapai 5,8% (yoy). Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga Jabagteng pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga mencatat pertumbuhan sebesar 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II 2014 sebesar 5,4% (yoy). Secara spasial, tumbuh meningkatnya konsumsi rumah tangga terjadi baik di Jawa Tengah maupun di DI Yogyakarta. Sebagaimana polanya, konsumsi rumah tangga umumnya mengalami peningkatan dan mencapai puncahnya pada periode Lebaran. Peningkatan konsumsi rumah tangga tersebut terkonfirmasi dari indeks penjualan riil eceran yang meningkat tajam pada triwulan laporan (Grafik III.2.1). Di sisi lain, penyaluran kredit konsumsi (Grafik III.2.2) dan impor barang konsumsi (Grafik III.2.3) masih dalam tren melambat. Perkembangan berbagai indikator terkini menunjukkan konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2014 masih mampu tumbuh di level yang cukup tinggi, meskipun diproyeksikan lebih rendah daripada periode sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya konsumsi swasta nirlaba. Adapun momen Hari Raya Natal dan tahun baru akan mendukung kinerja konsumsi masyarakat pada triwulan IV 2014. Sedikit melambatnya konsumsi Laporan Nusantara| 58 rumah tangga juga terindikasi dari proyeksi penjualan eceran berdasarkan hasil survei (Grafik III.2.1). Meski demikian, indeks keyakinan konsumen Jabagteng masih terjaga di atas level optimis, yang ditengarai sebagai pengaruh dari stabilitas ekonomi makro dan ekspektasi terhadap kondisi perekonomian ke depan (Grafik III.2.4). Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mengalami peningkatan cukup besar. Konsumsi pemerintah tumbuh 4,8% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh hanya 1,5% (yoy). Secara spasial, peningkatan konsumsi pemerintah terjadi di Jawa Tengah. Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah terjadi baik pada belanja langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain, konsumsi pemerintah di DI Yogyakarta melambat sangat dalam. Hal ini disebabkan oleh belanja dana keistimewaan yang belum mencapai 10%. Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan IV 2014. Secara spasial kinerja konsumsi pemerintah baik di Jawa Tengah maupun DI Yogyakarta berpotensi meningkat. Akselerasi konsumsi pemerintah ini sejalan dengan siklus belanja pemerintah yang meningkat di akhir tahun. Selain itu, belanja pemerintah di DI Yogyakarta diprediksi mengalami kenaikan tajam dengan terealisasinya dana keistimewaan untuk mendukung pembangunan. Indeks Penjualan Riil Eceran Likert Perdagangan Besar & Eceran-RHS Indeks 200 190 180 170 160 150 140 130 120 110 100 I II III IV I II 2012 III IV Likert Scale 3 3 2 2 1 1 0 -1 -1 -2 -2 I 2013 II III yoy, % 30 Jabagteng Jateng 25 DIY 20 15 10 5 IV* 0 I 2014 II *Tw IV perkiraan penjualan 6 bulan yad Likert tw IV 2014 perkiraan penjualan 1 tahun yad Kons RT qtq qtq, % Impor kons qtq (Skala Kanan) 3.5 200 3 2.5 2 120 100 110 90 0 0 II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2008 2009 2010 2011 2012 2013 -50 2014 III IV I II 2013 III 2014 130 100 0.5 II 140 50 1 2007 I Grafik III.2.2. Perkembangan Kredit Konsumsi 150 1.5 -0.5 IV 2012 Grafik III.2.1. Indeks Penjualan Eceran serta Likert Scale Perdagangan Besar dan Eceran qtq, % III OPTIMIS PESIMIS IKK IEK IKE 80 I II III IV 2012 I II III 2013 IV I II III 2014 * IKK, IKE, IEK Oktober 2014 Sumber : BPS, diolah Grafik III.2.3. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga dan Impor Barang Konsumsi Grafik III.2.4. Indeks Keyakinan dan Ekspektasi Konsumen Investasi Investasi di Jabagteng tumbuh melambat dari 6,0 % (yoy) pada triwulan II menjadi 5,0% (yoy) pada triwulan III 2014. Perlambatan investasi terjadi baik di investasi bangunan maupun nonbangunan, terkait dengan kecenderungan pelaku usaha untuk menahan kegiatan investasi, menunggu stabilnya dinamika politik nasional. Investasi bangunan melambat sejalan dengan menurunnya kinerja di sektor properti, sebagaimana tercermin dari Laporan Nusantara| 59 menurunnya konsumsi semen (Grafik III.2.5). Adapun perlambatan pada investasi nonbangunan terindikasi dari menurunnya pertumbuhan kredit investasi dan impor barang modal (Grafik III.2.6 dan III.2.7). Berdasarkan sumber pembiayaan investasi, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) menunjukkan perlambatan cukup dalam. Begitu pula dengan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang tumbuh melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik III.2.8). Pertumbuhan investasi diperkirakan meningkat pada triwulan IV 2014. Peningkatan investasi terutama terjadi pada investasi bangunan sejalan dengan akselerasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah provinsi Jawa Tengah yang mencanangkan tahun 2014 sebagai tahun infrastruktur. Data konsumsi semen di bulan Oktober 2014 menunjukkan adanya peningkatan, meskipun pada level yang moderat. Salah satu dari proyek pembangunan fisik tersebut adalah revitalisasi bandara di Semarang yang direncanakan dilakukan pada akhir tahun 2014. Selain itu, terindikasi pula adanya investasi pembangunan pabrik TPT dan proyek migas. Di sisi lain, masih ditemui berbagai kendala dalam berinvestasi di Jabagteng yang perlu diperbaiki untuk mendukung peningkatan investasi. Berdasarkan survei pada pelaku usaha, diidentifikasi kendala utama dalam berinvestasi di Jabagteng adalah kurang memadainya infrastruktur khususnya yang mendukung konektivitas, permasalahan pertanahan terkait dengan harga pembebasan yang cukup tinggi, serta banyaknya retribusi dan resistensi dari beberapa golongan masyarakat terhadap sejumlah proyek investasi. yoy, % 40 yoy, % 70 Jateng D. I. Y. 30 Jabagteng Jabagteng 60 Jateng 50 DIY 40 20 30 10 20 10 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 0 I -10 2010 2011 2012 2013 II III IV I 2012 -20 Grafik III.2.5. Pertumbuhan Konsumsi Semen qtq, % Investasi qtq II III IV I II III 2014 Impor Barang Modal qtq -Skala Kanan 2013 2014 Grafik III.2.6. Penyaluran Kredit Investasi qtq, % 8 160 140 6 120 4 100 2 80 60 0 -2 -4 II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 40 20 0 -20 -6 -8 -40 -60 Sumber : BPS, diolah Grafik III.2.7. Pertumbuhan Impor Barang Modal dan PMTB Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Sumber : Badan Penanaman Modal Grafik III.2.8. Realisasi PMA dan PMDN Perdagangan Luar Negeri Ekspor Ekspor luar negeri Jabagteng pada triwulan III 2014 tumbuh melambat. Melambatnya ekspor luar negeri pada triwulan laporan merupakan akibat dari turunnya ekspor ke Tiongkok dan negara Eropa yang cukup dominan. Di Laporan Nusantara| 60 sisi lain, ekspor produk Jabagteng ke Amerika Serikat dan ASEAN meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini sejalan dengan perbaikan ekonomi di Amerika Serikat yang mendorong peningkatan permintaan. Ekspor ke Amerika Serikat pada triwulan III 2014 ekspor tumbuh 6,72% (yoy), meningkat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan II sebesar 5,55% (yoy). Dilihat dari komoditasnya, ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) serta kayu olahan mengalami perlambatan (Grafik III.2.11). Khusus terkait TPT, perlambatan ekspor terjadi pada produk pakaian jadi, sementara ekspor produk kain dan benang masih meningkat. Untuk ekspor kayu olahan, perlambatan ekspor terjadi pada seluruh produk kayu olahan baik produk dari kayu dan gabus (wood and cork manufactures) serta furniture. Pada triwulan IV 2014 kinerja ekspor luar negeri diperkirakan akan membaik. Ekspor ke Amerika Serikat diperkirakan terus meningkat. Optimisme pelaku usaha akan membaiknya ekspor juga terkait dengan masih kompetitifnya ekspor komoditas khususnya produk TPT Jabagteng. Selain itu, masih terdapat potensi diversifikasi pasar tujuan ekspor yang didukung oleh semakin kuatnya kinerja industri pengolahan di Jabagteng. Hasil liaison mengindikasikan adanya potensi kenaikan ekspor ke sejumlah pasar baru, seperi ke Asia Timur, Amerika Latin, Turki dan TimurTengah. Dari sisi penawaran, meningkatnya ekspor produk industri didukung oleh investasi dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi Impor Impor luar negeri Jabagteng pada triwulan III 2014 tumbuh meningkat. Peningkatan pertumbuhan impor terjadi pada komponen bahan baku, sejalan dengan tren kenaikan industri pengolahan khususnya industri TPT. Sementara impor barang modal menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah pada triwulan laporan (Grafik III.2.12). Perlambatan impor barang modal sejalan dengan investasi yang tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Demikian pula halnya dengan impor barang konsumsi yang juga tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Impor luar negeri diperkirakan akan terus meningkat pada triwulan IV 2014. Peningkatan impor terutama terjadi pada impor bahan modal untuk mendukung peningkatan investasi. Impor bahan baku juga diperkirakan akan meneruskan tren pertumbuhan yang meningkat. Sementara itu, impor barang konsumsi, diperkirakan masih akan tumbuh melambat, meski perlambatannya tidak sedalam pada triwulan III 2014. Juta USD yoy, % 800 80 yoy, % Net Ekspor Ekspor 400 Impor 600 200 60 400 0 Ekspor 200 40 Net Ekspor 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 -200 Impor 2012 2013 2014 20 -800 Grafik III.2.9. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor -400 -600 0 -400 -600 -200 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 -800 -20 2012 -40 2013 2014 -1000 -1200 Grafik III.2.10. Pertumbuhan Tahunan Nilai Ekspor dan Impor Laporan Nusantara| 61 yoy, % yoy, % Total Ekspor 25 250 Impor Bahan Baku 200 Impor Barang Modal 150 Impor Barang Konsumsi TPT 20 Kayu Olahan 15 10 100 5 50 0 -5 -10 I II III IV I II III IV I II III 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 (50) 2012 -15 2013 2014 (100) Grafik III.2.11. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Komoditas Unggulan Grafik III.2.12. Pertumbuhan Tahunan Impor berdasar BEC Perdagangan Antar Daerah Ekspor produk Jabagteng ke daerah lain pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meningkatnya sektor industri pengolahan nonmigas terutama pada subsektor makanan minuman dan tembakau yang sebagian besar dikonsumsi domestik. Meski demikian, kinerja perdagangan antardaerah pada triwulan III 2014 sedikit tertahan oleh penurunan kinerja ekspor produk pertanian yang produksinya menurun. Perdagangan antar daerah diperkirakan tumbuh stabil pada triwulan IV 2014. Terjaganya pertumbuhan ekspor Jabagteng ke daerah lain ditopang oleh penguatan pada sektor industri migas setelah konsisten mengalami perlambatan semenjak awal tahun. Adapun lebih dari 90% hasil dari pengolahan migas di Jabagteng digunakan untuk pemenuhan konsumsi domestik. Sejalan dengan prospek membaiknya kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014, terdapat potensi perbaikan ekspor antar daerah. Faktor perayaan Natal dan Tahun Baru diperkirakan juga akan mendorong perdagangan antar daerah, khususnya untuk hasil industri pengolahan makanan dan minuman. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian Jabagteng pada triwulan III 2014 terkontraksi semakin dalam. Setelah terkontraksi 0,4% (yoy) pada triwulan II 2014, sektor pertanian mengalami kontraksi semakin dalam yakni sebesar 2,5% (yoy) pada triwulan III 2014. Secara spasial, kontraksi pertumbuhan di sektor pertanian disebabkan oleh penurunan yang signifikan pada produksi di Jawa Tengah yang mengalami kontraksi hingga mencapai 2,27% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan sektor pertanian di DI Yogyakarta sedikit mengalami perbaikan meskipun masih tercatat kontraksi sebesar 4,56%. Perlambatan pertumbuhan terutama didorong oleh memburuknya kinerja subsektor tanaman bahan makanan (Grafik III.2.13). Kontraksi pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan masih terjadi pada triwulan IV 2014, meski tidak sedalam triwulan sebelumnya. Pertumbuhan produksi di subsektor tanaman bahan makanan masih akan menurun pada triwulan laporan, meskipun hasil survei pada pelaku usaha pertanian mengindikasikan potensi peningkatan kinerja pada triwulan IV 2014 yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di 2013. Pada Angka Ramalan II (ARAM II), BPS merevisi ke atas produksi padi pada kisaran 1,3%. Produktivitas sektor pertanian yang lebih rendah disebabkan oleh faktor cuaca, khususnya sebagai dampak dari terjadinya banjir di awal tahun dan kekeringan yang melanda sejumlah sentra produksi. Selain itu, kontak liaison juga mengungkapkan masih terdapatnya risiko penurunan produksi padi yang berasal dari serangan hama dan berlanjutnya kekeringan di beberapa kabupaten/kota. Laporan Nusantara| 62 Rata-Rata PDRB tani PDRB tabama Prod padi-RHS qtq, % 100 Rata-rata prod padi - RHS PDRB tani qtq, % Ribu Ha 350 2,050 300 80 Ribu Ton 11,600 11,400 2,000 11,200 250 60 200 40 10,800 10,600 150 100 20 50 0 -20 11,000 1,950 I II III IV I II III IV I II III IVp 2012 2013 2014 7 6 5 Produksi - RHS 9,800 1,800 9,600 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber: BPS, diolah Grafik III.2.84. Luas Panen dan Produksi Padi yoy, % 200 Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasilnya Kehutanan Perikanan 8 10,000 -100 Grafik III.2.73. Luas Tanam dan Luas Panen Padi 9 10,200 1,850 Luas Panen Sumber: Dinas Pertanian dan BPS, diolah SBT 10,400 0 -50 -40 1,900 Jabagteng Jateng 150 DIY 100 4 3 50 2 1 0 0 -1 I II III IV I II III IV I II III IVp 2012 2013 2014 Grafik III.2.95. Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertanian II III IV I II III IV I II III IV I II III -50 -2 2011 2012 2013 2014 -100 Grafik III.2.106. Pertumbuhan Tahunan Kredit yang Disalurkan pada Sektor Pertanian Sektor Industri Pengolahan Pertumbuhan industri pengolahan meningkat dari 6,1% (yoy) pada triwulan II menjadi 7,1% (yoy) pada triwulan III 2014. Menguatnya kinerja industri pengolahan utamanya didorong oleh peningkatan industri nonmigas yaitu subsektor industri makanan minuman dan tembakau, serta subsektor industri tekstil. Di sisi lain, subsektor industri kayu olahan sedikit mengalami perlambatan. Industri migas (pengilangan minyak) masih tumbuh, meskipun dalam level yang terbatas. Hal ini terkonfirmasi dari data pertumbuhan impor minyak mentah pada triwulan III 2014 yang sedikit lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (Grafik III.2.18). Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan industri pengolahan tetap berada pada level yang tinggi, meski realisasinya diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III 2014. Peningkatan kinerja industri migas diperkirakan untuk mengejar target produksi di tahun 2014. Berdasarkan pada data impor minyak mentah yang meningkat (leading indicator), maka diperkirakan kinerja industri migas akan membaik. Sementara itu, industri nonmigas diprediksi tetap memiliki kinerja yang baik, khususnya pada industri TPT. Hal ini terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (Grafik III.2.17). Perbaikan kinerja industri TPT merupakan pengaruh dari peningkatan kapasitas produksi di tahun 2013. Lebih lanjut, kontak liaison juga mengindikasikan adanya peningkatan produksi pakaian jadi sebagai akibat dari pengalihan permintaan terkait dengan ketidakpastian politik di Thailand dan semakin tingginya biaya tenaga kerja di Tiongkok. Di sisi lain, pertumbuhan industri makanan minuman dan tembakau, serta industri kayu olahan cenderung melambat (Grafik III.2.17). Laporan Nusantara| 63 qtq, % SBT Industri qtq 3.5 9 Keg Dunia Usaha (Skala Kanan) 3 8 2.5 7 2 6 1.5 1 0.5 3 0 qtq, % qtq, % 6 Industri qtq 5 Impor Minyak qtq - RHS (-1) 140 120 100 4 80 5 3 60 4 2 40 20 1 0 0 -20 2 II -0.5 III IV I II -1 III IV I II 2013 III IVp 1 0 2014 I -1 qtq, % 3.5 Industri qtq Mamin & Tembakau TPT Barang Kayu SBT II III IV I II III IV I II III IV I 2009 2010 2011 2012 2013 2014 %, yoy 200 4 150 3 100 2 50 1 0 0 -50 50 40 30 20 10 1.5 0 1 0.5 -10 1 0 -0.5 -80 %, yoy Impor Serat Tekstil (-10) Impor Benang Tenun & Kain Tekstil (-4) Ekspor Pakaian - RHS 2.5 2 -40 II III Grafik III.2.18. Pertumbuhan Triwulanan Impor Migas vs Pertumbuhan Triwulanan Industri Pengolahan 5 3 II III IV I -60 -2 Grafik III.2.17. Pertumbuhan Triwulanan Industri Pengolahan vs SBT Kegiatan Dunia Usaha II III IV I II III IV I II III IV -1 I II III IVp 3 5 7 2012 -1 Grafik III.2.19. SBT Kegiatan Dunia Usaha Subsektor Industri Pengolahan vs Pertumbuhan Tahunan Industri Pengolahan -100 9 11 1 3 5 7 2013 9 11 1 3 5 7 2014 9 11 -20 -30 -40 Grafik III.2.20. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Benang Tenun dan Kain Tekstil vs Impor Serat Tekstil PERKEMBANGAN INFLASI Laju perkembangan inflasi pada triwulan III hingga Oktober 2014 cenderung menurun. Inflasi Jabagteng pada Oktober 2014 tercatat sebesar 4,93% (yoy). Secara spasial, inflasi di Jawa Tengah tercatat 5,01% (yoy) dan di DI Yogyakarta tercatat 4,40% (yoy). Tekanan inflasi terutama berasal dari kelompok administered prices yang mencapai 7,92% (yoy). Tekanan kelompok administered prices merupakan akibat penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan dampak lanjutan kenaikan LPG 12 kg di bulan September. Di sisi lain, tekanan inflasi tertahan oleh penurunan inflasi di kelompok volatile foods yang tercatat sebesar 3,91% (yoy). Penurunan inflasi pada kelompok volatile foods sejalan dengan terjaganya pasokan bahan pangan. Koreksi harga terjadi pada beberapa komoditas 3 pangan, diantaranya bawang merah, bawang putih, telur ayam ras dan daging ayam ras . Di sisi lain, komoditas beras dan cabe merah pada Oktober 2014 mulai memberikan tekanan inflasi yang cukup besar. Sementara itu inflasi di kelompok inti tetap terjaga di level 4,28% (yoy). Tekanan inflasi hingga akhir tahun diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Tekanan inflasi Jabagteng akhir tahun diperkirakan berada pada kisaran 5,01% - 5,51% (yoy). Tekanan inflasi terbesar masih bersumber dari kelompok administered price seiring dilakukannya dengan penyesuaian TTL tahap ke-3, kenaikan tarif transportasi dan harga rokok di akhir tahun. Tibanya musim tanam pada awal November di tengah masih berlangsungnya musim kemarau, berpotensi menggeser musim tanam dan memberikan risiko kenaikan harga 3 Penurunan harga daging ayam ras dan telur ayam ras terkait berakhirnya aturan pembatasan produksi Days Old Chick (DOC) dari pemerintah pada Agustus 2014. Dalam perkembangannya, jumlah produksi DOC menjadi kesepakatan para pelaku usaha, khususnya terkait jumlah stok yang harus dijaga. Laporan Nusantara| 64 sejumlah kelompok volatile foods. Dari sisi inflasi inti, tekanan bersumber dari meningkatnya ekspektasi masyarakat menjelang penyesuaian harga BBM oleh pemerintah. yoy, % yoy, % Jateng 9 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 DIY 8 Jabagteng 7 Nasional 6 5 4 3 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik III.2.21. Perkembangan Inflasi Okt Core Volatile Foods Adm. Prices I II III IV 2012 I II III 2013 IV I II III Okt 2014 Grafik III.2.22. Disagregasi Inflasi Jawa Bagian Tengah Koordinasi Pengendalian Inflasi Sampai dengan periode laporan, sebagian besar TPID di wilayah Jabagteng telah melakukan koordinasi guna mengantisipasi berbagai risiko inflasi. Terkait dengan risiko inflasi ke depan seperti penyesuaian harga BBM bersubsidi, kekeringan, dan kenaikan UMP, TPID di wilayah Jabagteng telah mengidentifikasi sejumlah langkah antisipasi sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) pemberian bantuan kepada masyarakat, monitoring kondisi pasokan BBM, program pasar murah dan operasi pasar, pengamanan jalur distribusi dan suplai bahan kebutuhan pokok, program subsidi bagi kendaraan angkutan umum, deteksi dini penimbunan BBM bersubsidi dan bahan kebutuhan pokok, dan pemetaan potensi kerawanan. Selain itu, TPID Jawa Tengah juga telah melakukan rapat koordinasi dengan TPID DI Yogyakarta dalam rangka konsolidasi Neraca Bahan Makanan (NBM). Rapat koordinasi tersebut untuk melihat peluang kerja sama antar daerah dalam rangka menjaga ketersediaan pasokan bahan makanan. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) relatif masih terjaga, seiring dengan terjaganya likuiditas perbankan. Hal tersebut ditunjukkan oleh keseimbangan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit. Hingga akhir triwulan III 2014, pertumbuhan DPK dan kredit tercatat masing-masing sekitar 13% (yoy). Keduanya tumbuh melambat dibandingkan akhir triwulan sebelumnya. Sementara itu, kualitas penyaluran kredit yang ditunjukkan oleh gross nonperforming loans (NPL) jauh di bawah level 5% pada akhir triwulan III 2014. Berdasarkan jenisnya, kredit investasi dan kredit konsumsi tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik III.2.24). Kredit investasi melambat sejalan dengan perlambatan investasi pada triwulan III 2014. Di sisi lain, kredit modal kerja meneruskan tren peningkatan hingga akhir tahun 2014. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan serta sektor PHR. Adapun kualitas penyaluran kredit berdasarkan penggunaannya baik kredit investasi, konsumsi maupun modal kerja masih jauh berada di bawah 5% Laporan Nusantara| 65 pada akhir triwulan III 2014. Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan kredit diperkirakan melambat ke kisaran 11%. Kredit konsumsi dan investasi diperkirakan masih tumbuh melambat. Berdasar survei pada pelaku usaha, investasi pada tahun 2014 diyakini tidak sebesar tahun 2013. Kredit Jateng Kredit DIY Kredit DIY yoy (Skala Kanan) Kredit Jateng yoy (Skala Kanan) Miliar Rp 250,000 yoy, % 26 24 200,000 22 150,000 20 100,000 18 50,000 16 0 14 I II III IV I II 2012 III IV I 2013 II yoy, % Modal Kerja Investasi III I II 2014 III IV I II 2012 Grafik III.2.23. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan Konsumsi 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 III IV I 2013 II III 2014 Grafik III.2.24. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan Sementara itu, tingkat ketahanan kredit sektor korporasi masih terjaga, meskipun masih diwarnai peningkatan risiko pada sektor PHR khususnya untuk DI Yogyakarta. Berdasarkan data kredit per sektor ekonomi, pertumbuhan kredit sektor utama Jabagteng, yaitu sektor pertanian serta sektor PHR mengalami perlambatan. Sementara itu, kredit yang disalurkan pada sektor industri pengolahan tumbuh stabil pada level yang cukup tinggi. Adapun risiko penyaluran kredit pada sektor pertanian, sektor industri dan sektor PHR, terindikasi berada pada level yang aman (< 5%) pada akhir triwulan III 2014. PHR Industri Pengolahan Pertanian Industri Pengolahan yoy (Skala Kanan) PHR yoy (Skala Kanan) Pertanian yoy (Skala Kanan) Miliar Rp 140,000 120,000 yoy, % 140 100,000 100 80,000 80 60,000 60 40 40,000 20 20,000 0 0 -20 II III 2012 IV I II III 2013 IV I Pertanian Industri PHR 4 160 120 I yoy, % II 3.5 3 2.5 2 1.5 1 I II III IV I II III IV I II III III 2014 Grafik III.2.25. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi 2012 2013 2014 Grafik III.2.26. NPL Kredit Sektor Utama Perbankan Ketahanan Sektor Rumah Tangga Ketahanan kredit sektor rumah tangga masih terjaga pada level yang stabil, sebagaimana tercermin dari tingkat kualitas penyaluran kredit (NPL) yang berada pada 1,18% pada akhir triwulan III 2014. Penyaluran kredit ke sektor rumah tangga juha tumbuh melambat pada akhir triwulan III 2014. Hanya kredit untuk keperluan multiguna yang tercatat mengalami peningkatan. Risiko kredit di sektor rumah tangga terjaga dengan adanya stabilnya gross NPL pada level di bawah 5% (Grafik III.2.28). Laporan Nusantara| 66 yoy, % % 140 120 Multiguna KKB (Skala Kanan) 3.5 0.8 3 0.7 0.6 2.5 0.5 2 60 1.5 40 1 20 0.5 0 0.4 0.3 0.2 0.1 0 I II III % 0.9 KPR>70 Multiguna 80 KPR>70 KPR <70 KKB 100 -20 KPR <70 4 160 IV 2013 I II III 0 I 2014 Grafik III.2.27. Kinerja Kredit Perbankan ke Rumah Tangga II III 2013 IV I II III 2014 Grafik III.2.28. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kredit UMKM Jabagteng pada akhir triwulan III 2014 masih cukup tinggi meski mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit UMKM tercatat melambat dari 18,21% (yoy) menjadi 16,50% (yoy). Secara spasial, perlambatan kredit UMKM terjadi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Kinerja Sistem Pembayaran Real Time Gross Settlement (RTGS) mengalami penurunan baik secara nilai maupun volume. Pertumbuhan nilai RTGS tercatat sebesar -10,73% (yoy) pada triwulan III 2014, setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh -1,12% (yoy). Di sisi lain, volume RTGS tumbuh -1,41% (yoy) atau tidak sedalam penurunan pertumbuhan periode sebelumnya sebesar -13,88% (yoy). Adapun RTGS dari dan ke Jabagteng, serta antar daerah di Jabagteng tumbuh menurun. Sejalan dengan hal tersebut, transaksi kliring baik nominal maupun warkat juga tumbuh negatif. Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Nilai net inflow pada triwulan III 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini sesuai siklus Lebaran dimana inflow umumnya tercatat lebih tinggi. Namun, jika dibandingkan dengan periode Lebaran di tahun 2013, net inflow pada periode Lebaran 2014 tercatat lebih rendah. Sementara itu, temuan uang palsu pada triwulan III 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Uang lusuh yang ditarik pada triwulan III 2014 juga tercatat meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Namun, proporsi uang lusuh terhadap inflow mengalami penurunan terkait dengan tingginya inflow. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Jabagteng pada tahun 2015 diprakirakan tumbuh meningkat pada kisaran 5,2% - 5,7% (yoy). Optimisme perbaikan ekonomi terjadi baik di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Kondisi ini didukung oleh potensi perbaikan kinerja ekspor luar negeri dan meningkatnya transaksi perdagangan antar pulau. Selain itu, kapasitas industri juga diprediksi meningkat, terkait dengan investasi pada beberapa industri yang direncanakan selesai di akhir 2014. Selain itu, terdapat beberapa investasi untuk peningkatan kapasitas produksi yang masih akan berlanjut hingga tahun 2016. Sejumlah pembangunan proyek infrastruktur jangka panjang juga akan mendorong investasi di tahun 2015. Secara sektoral, prospek perbaikan ekonomi 2015 diprediksi terjadi pada sektor indutri pengolahan, sektor bangunan dan sektor PHR. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang masih membayangi pertumbuhan ekonomi Jabagteng ke depan, diantaranya perlambatan ekonomi Tiongkok dan pengurangan subsidi energi. Selain itu secara khusus dari sisi sektor pertanian, risiko berasal dari alih fungsi lahan yang cukup besar serta masih tingginya ketergantungan pada faktor cuaca. Laporan Nusantara| 67 Prospek Inflasi Tekanan inflasi Jabagteng pada tahun 2015 diperkirakan kembali menurun pada level 5,0% - 5,5% (yoy). Inflasi di Jawa Tengah diprakirakan berada pada kisaran 4,5% - 5,0 % (yoy), sementara inflasi di DI Yogyakarta diprakirakan berada pada kisaran 4,1% - 4,6% (yoy). Risiko inflasi di 2015 diperkirakan masih akan bersumber dari penyesuaian harga energi, yang berdampak pada kenaikan tarif angkutan umum dan harga-harga secara umum. Dampak kenaikan BBM Rp3.000,- pada akhir tahun 2014, akan berdampak pada inflasi Jabagteng dengan proyeksi pada kisaran 5,0% - 5,4% (yoy). Sementara itu, berdasar survei yang dilakukan ke beberapa pelaku usaha, sebagian responden akan menaikkan harga jual dengan rata-rata kenaikan harga sebesar 8%. Risiko inflasi lain juga diperkirakan bersumber dari penyesuaian tarif tenaga listrik. Dari sisi inflasi inti, sumber tekanan bersumber dari ekspektasi inflasi apabila penyesuaian harga BBM tidak diputuskan segera. Sementara itu, tekanan inflasi dari kelompok volatile food diprediksi relatif moderat terkait membaiknya produksi pangan di tahun 2015. Semakin solidnya koordinasi antara Pemerintah dan BI dalam forum TPI/TPID juga diyakini dapat menanggulangi risiko inflasi Jabagteng dari sisi suplai. Tabel II.2.1 Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Tengah Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2012 2013 2014 2015 II 6.2 III 6.0 IV 5.4 Total 5.8 I* 5.3 II* 5.1 III* 5.4 IVp Totalp IP 6.2 I 5.5 5.3 5.3 51 - 5.6 TotalP 5.2 - 5.7 Sisi Permintaan Konsumsi 5.1 4.8 4.8 5.8 5.6 5.2 5.2 4.8 5.5 5.5 5.2 5,2 - 5,7 5,3 - 5,8 Konsumsi swasta 5.2 5.1 5.2 5.4 5.1 5.2 5.2 5.4 5.6 5.4 5.4 5,1 - 5,6 5,2 - 5,7 Konsumsi Pemerintah 4.8 3.1 2.8 8.0 7.7 5.5 5.3 1.5 4.8 5.8 4.4 5,9 - 6,4 5,6 - 6,1 7.9 5.6 7.6 8.1 8.5 7.5 9.2 6.0 5.0 5.7 6.4 5,6 - 6,1 6,6 - 7,1 Ekspor 9.4 4.0 8.7 10.0 10.8 8.4 9.8 7.8 7.1 8.5 8.3 8,7 - 9,2 8,9 - 9,4 Impor 8.4 2.2 7.2 17.3 9.5 9.0 10.1 2.3 3.2 3.9 4.7 5,1 - 5,6 5,5 - 6,0 Sektor pertanian 3.8 0.4 2.8 3.4 1.6 2.0 2.0 0,9 - 1,4 0,03 - 0,5 Sektor pertambangan & penggalian 7.0 5.2 5.7 5.4 8.7 6.2 4.9 8,3 - 8,8 3,5 - 4,0 Industri pengolahan 5.1 4.9 6.8 5.1 7.2 6.0 5.8 6.1 7.1 6.3 6.3 6,3 - 6,8 6,2 - 6,7 Listrik, gas & air bersih 6.5 9.5 7.0 9.0 7.4 8.2 4.9 8.2 5.9 4.2 5.8 6,4 - 6,9 5,9 - 6,4 Bangunan 6.8 6.3 7.5 6.8 6.6 6.8 6.9 5.8 4.4 4.5 5.4 5,2 - 5,7 5,3 - 5,8 Perdagangan, hotel & restoran 8.1 9.0 8.2 6.9 5.4 7.4 5.8 6.7 7.9 7.8 7.1 7,5 - 8,0 7,0 - 7,5 Pengangkutan & komunikasi 7.6 7.7 7.3 7.7 3.5 6.5 4.9 4.8 7.1 5.6 5.6 4,0 - 4,5 5,7 - 6,2 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 9.5 9.3 8.9 9.7 10.3 9.6 10.4 9.5 7.7 7.2 8.7 7,8 - 8,3 8,4 - 8,9 Jasa-jasa 7.3 6.2 3.4 7.4 3.3 5.0 5.3 5.9 6.4 4.5 5.5 2,9 - 3,4 4,8 - 5,3 4.25 6.26 5.47 8.30 7.88 7.88 6.96 7.13 4.94 5.26 5.26 4,3 - 4,8 5,0 - 5,5 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Inflasi IHK (%,yoy) (0.42) (2.46) (0.81) (0.36) 5.1 4.1 5.7 5.5 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah * Angka Sementa ra p proyeks i Ba nk Indones i a Laporan Nusantara| 68 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian wilayah Jawa Bagian Barat (Jabagbar) tumbuh sedikit melambat dari 5,6% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 5,5% (yoy) pada triwulan III 2014. Perlambatan perekonomian disebabkan oleh melemahnya konsumsi rumah tangga dan kinerja dua sektor utama di Jabagbar yakni sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Kinerja sektor pertanian mengalami perlambatan yang cukup dalam karena penurunan produksi tanaman bahan makanan terutama padi. Hal ini sebagai dampak dari kekeringan yang terjadi di beberapa sentra utama produksi padi. Sektor industri pengolahan juga tumbuh melambat yang didorong oleh penurunan kinerja industri makanan, industri peralatan listrik dan industri kimia. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Jabagbar tertahan oleh membaiknya investasi dan ekspor, serta konsumsi pemerintah. Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh peningkatan kinerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa. Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator di wilayah Jabagbar mengindikasikan adanya perbaikan kinerja. Pertumbuhan ekonomi Jabagbar diprakirakan tumbuh meningkat sebesar 5,7% (yoy) pada triwulan IV 2014. Seiring dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat, kinerja ekspor diperkirakan akan meningkat, terutama ekspor produk manufaktur. Akselerasi belanja pemerintah di akhir tahun, turut menopang membaiknya kinerja perekonomian pada triwulan IV 2014. Sementara itu, konsumsi rumah tangga dan investasi diperkirakan tumbuh stabil, meskipun dibayangi oleh rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan tarik ulur penetapan upah minimum. Dari sisi sektoral, perlambatan kinerja sektor pertanian diperkirakan masih akan terjadi mengingat musim tanam mengalami kemunduran. Sementara itu kinerja sektor industri pengolahan dan PHR diprediksi akan mengalami peningkatan. Secara keseluruhan 2014, pertumbuhan ekonomi Jabagbar diprakirakan sebesar 5,5% (yoy), melambat signifikan dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2013 yang mencapai 6,0% (yoy). Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yakni dari 5,4% (yoy) menjadi 5,2% (yoy). Perlambatan konsumsi rumah tangga khususnya terjadi di Jawa Barat, sedangkan di Banten masih tumbuh meningkat. Melemahnya kinerja sektor industri pengolahan dan sektor pertanian pada triwulan ini turut berdampak pada penurunan tingkat konsumsi masyarakat. Hal ini tercermin dari nilai tukar petani (NTP) yang mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Indeks bayar petani meningkat pada triwulan III 2014, seiring dengan kenaikan harga pupuk, bibit, dan benih serta penurunan harga panen produk pertanian. Penurunan kinerja konsumsi rumah tangga juga tercermin dari perlambatan pertumbuhan kredit konsumsi yang merupakan salah satu sumber pembiayaan rumah tangga, serta hasil survei knsumen yang menunjukkan pengeluaran rumah tangga pada triwulan III lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Jumlah pendaftaran kendaraan baru di Jawa Barat pada triwulan III 2014 juga mengalami penurunan. Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator terkini mengindikasikan kinerja konsumsi rumah tangga yang relatif stabil dalam menopang perekonomian Jabagbar. Salah satu indikasi menguatnya konsumsi rumah tangga adalah meningkatnya indeks pengeluaran rumah tangga pada Oktober 2014 . Sebagian besar konsumen memperkirakan Laporan Nusantara| 69 persentase dari pendapatan yang mereka terima untuk konsumsi relatif masih stabil. Hal ini turut dipengaruhi oleh pencanangan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang kesehatan dan pendidikan. Selain itu, masyarakat cenderung menerima kebijakan kenaikan harga BBM, terkait disiapkannya dana kompensasi. Berbagai event kegiatan di akhir tahun diperkirakan turut mendukung kinerja konsumsi rumah tangga. Untuk keseluruhan tahun 2014, kinerja konsumsi rumah tangga Jawa Barat diperkirakan tumbuh sebesar 5,2% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2013 yang hanya sebesar 4,3% (yoy). NTP Jabar Indeks NTP Banten Kredit Konsumsi (KK) Rp Triliun 114 112 110 108 106 104 102 100 98 96 94 Pertumbuhan KK 180 160 140 120 100 80 60 40 20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2012 2013 35 30 16,9 25 16,4 13,1 20 15 10 5 0 II III IV I 2012 Sumber : BPS, diolah II III IV 2013 I II III 2014 Sumber : BPS, diolah Grafik III.1. Nilai Tukar Petani Jumlah Pendaftaran Kendaraan Baru ribu unit 40 I 2014 YoY (%) Grafik III.2. Perkembangan Kredit Konsumsi Pertumbuhan % (yoy) 180 160 140 120 100 80 60 40 20 - 40,00 25 Rp Triliun 2012 TW I TW II 2013 2014 20 30,00 20,00 15 10,00 0,00 -10,00 10 5 -20,00 -30,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 TAHUN 2014 Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat Grafik III.3. Pendaftaran Kendaraan Baru 0 TW III TW IV Jabagbar : (Jawa Barat + Banten) Sumber : Biro Keuangan (Jawa Barat dan Banten), diolah Grafik III.4. Perkembangan Belanja Provinsi Konsumsi Pemerintah Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mulai menunjukkan peningkatan yang terbatas. Hal ini dipengaruhi oleh masih relatif kecilnya realisasi belanja bantuan sosial, belanja hibah, belanja bagi hasil dan belanja bantuan keuangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun berbagai proyek pemerintah sudah mulai berjalan pada triwulan laporan, namun realisasi pembayaran proyek cenderung terbatas hingga akhir tahun (back loading). Hingga triwulan III 2014, realisasi belanja Provinsi Jawa Barat baru mencapai 43,3%, meski realisasi pendapatan telah mencapai 76,6% hingga triwulan III 2014. Sementara itu, realisasi belanja Provinsi Banten jauh lebih rendah lagi, yakni hanya sekitar 21,6%. Berdasarkan polanya, konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2014 diperkirakan akan tumbuh meningkat. Faktor yang mendorong peningkatan konsumsi pemerintah tersebut direalisasikannya transfer dan bantuan keuangan daerah yang mencakup bantuan sosial dan hibah. Selain itu, masih minimnya realisasi belanja modal yang baru mencapai 19,5% hingga triwulan III 2014 akan mendorong upaya akselerasi penyerapan belanja modal Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada akhir tahun 2014. Beberapa proyek yang sebagian dibiayai oleh belanja modal APBD adalah proyek bandara internasional Kertajati dan jalan tol Cisumdawu. Laporan Nusantara| 70 Investasi Kinerja investasi Wilayah Jabagbar meningkat dari 4,7% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 5,5% (yoy) pada triwulan III 2014. Peningkatan investasi terjadi baik di Jawa Barat maupun di Banten yang sebagian besar dalam bentuk investasi bangunan. Hal ini terkait dengan pembangunan atau perbaikan berbagai proyek infrastruktur pemerintah, khususnya infrastruktur jalan raya. Selain itu, peningkatan investasi tercermin dari meningkatnya indeks harga properti pada triwulan III 2014. Peningkatan indeks mengindikasikan permintaan dan investasi terhadap properti yang tetap meningkat. Sementara itu, investasi nonbangunan juga tumbuh meningkat. Berdasarkan hasil liaison, capital expenditure yang dikeluarkan oleh perusahaan manufaktur sebagian besar digunakan untuk investasi rutin tahunan berupa pemeliharaan mesin dan peralatan. Namun, sejumlah industri manufaktur juga melakukan pembelian mesin-mesin produksi baru untuk menambah kapasitas produksi. Peningkatan investasi juga ditandai dengan meningkatnya pembelian lahan untuk ekspansi pabrik meskipun masih terbatas, terkait dengan terbatasnya suplai lahan industri. Berdasarkan sumber pembiayaan, investasi PMDN di Jawa Barat masih tumbuh tinggi, khususnya pada investasi bangunan. Pertumbuhan investasi pada triwulan IV 2014 diperkirakan relatif stabil. Berbagai informasi yang digali dari liaison maupun FGD menyatakan bahwa kegiatan investasi pada triwulan IV 2014 diprioritaskan pada ekspansi usaha dan perbaikan infrastruktur. Sumber pembiayaan investasi hingga akhir tahun diperkirakan masih ditopang oleh belanja pemerintah dan investor dalam negeri. Sedangkan investor asing cenderung memantau langkah kebijakan pemerintah baru dalam menciptakan lingkungan dan iklim investasi yang kondusif. Sementara itu, sebagian investor dalam negeri cenderung mencermati rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan upah minimum di Jabagbar yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. PMDN (Rp Triliun) PMDN Jabar PMA Jabar 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 PMDN Banten PMA Banten PMA (Milyar USD) 2,5 300,00 2,0 250,00 1,5 Kecil Menengah Besar Total 200,00 150,00 1,0 I II III IV 2012 I II III 2013 IV I II 2014 III 100,00 0,5 50,00 0,0 0,00 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III IV* 2014 Sumber : BKPM, diolah Grafik III.5. Realisasi Investasi Jabagbar Grafik III.6. Tren Peningkatan Indeks Properti Perdagangan Luar Negeri Ekspor Ekspor luar negeri Jabagbar meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian negara mitra dagang utama terutama Amerika Serikat (AS). Secara spasial, peningkatan kinerja ekspor terjadi baik di Jawa Barat maupun di Banten. Ekspor Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 8,7% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 7,6% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh ekspor produk manufaktur seperti otomotif, elektro karet dan plastik, kulit, logam dan furniture. Peningkatan ekspor otomotif terkait dengan permintaan dari sejumlah negara tujuan ekspor, diantaranya adalah Kawasan Timur Tengah dan Afrika. Selain ekspor mobil yang Laporan Nusantara| 71 meningkat, ekspor komponen otomotif juga tumbuh cukup tinggi. Di sisi lain, meskipun ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami perlambatan, namun pangsa ekspor TPT masih yang terbesar di Jabagbar pada triwulan laporan. Berbagai perkembangan terakhir mengindikasikan potensi kenaikan ekspor luar negeri Jabagbar pada triwulan IV 2014. Adapun faktor yang mendorong peningkatan ekspor tersebut adalah semakin membaiknya kondisi perekonomian AS yang merupakan salah satu mitra dagang utama Jabagbar. Selain itu, peningkatan ekspor juga didorong meningkatnya permintaan dalam menghadapi perayaan Natal dan Tahun Baru di berbagai negara. Hal ini sesuai dengan laporan liaison yang memerkirakan peningkatan kinerja ekspor Jabagbar terutama dari industri TPT, makanan dan minuman, dan kendaraan bermotor. %, yoy Manufaktur 100 TPT Kimia Makanan Net Ekspor (Sb. Kanan) Pertumbuhan Ekspor Pertumbuhan Impor %, yoy 50 Juta USD 1400 80 1200 40 1000 60 30 800 20 20 600 0 10 40 400 -20 200 0 0 -40 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik III.7. Pertumbuhan Ekspor Manufaktur III -10 -20 I II III IV I II III IV I II III IV I II III -200 -400 2011 2012 2013 2014 -600 Grafik III.8. Perkembangan Ekspor Impor Nonmigas Jabagbar Impor Perkembangan impor luar negeri Jabagbar pada triwulan III 2014 melambat cukup dalam yakni dari 8,7% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,9% (yoy) pada triwulan III 2014. Impor barang konsumsi dan barang modal yang mengalami kontraksi cukup dalam. Sementara itu, impor bahan baku pada triwulan ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini menjadi indikasi akan adanya peningkatan produksi manufaktur pada triwulan IV 2014. Penurunan impor yang sangat dalam dialami oleh subsektor otomotif, terutama impor kendaraan built up, serta subsektor elektronika. Permintaan domestik terhadap barang elektronik (khususnya gadget) ditengarai lebih rendah pada triwulan laporan dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2013. Berbagai indikator menunjukkan bahwa kegiatan impor luar negeri diprakirakan akan meningkat sampai dengan akhir tahun 2014. Kebutuhan impor bahan baku industri manufaktur di Jabagbar terutama pada bahan baku untuk industri TPT, industri makanan minuman, bahan baku industri otomotif, industri elektronika dan industri kimia. Turunnya harga minyak mentah dan berbagai komoditas global diperkirakan akan mendorong peningkatan impor. Salah satunya adalah produk turunan minyak mentah, yakni naphta yang menjadi bahan baku produk ethylene dan polypropylene pada industri TPT. Laporan Nusantara| 72 % (yoy) Bahan baku Konsumsi Modal %, yoy Ribu Unit 80 Ekspor Mobil 25 G.Ekspor (Kanan) 120 100 80 60 40 20 0 -20 -40 60 20 40 15 20 0 10 -20 5 -40 0 1 -60 I II III IV I 2011 II III IV I II 2012 III IV I II 2013 2 3 4 5 III 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2013 3 4 5 6 7 8 9 2014 2014 Sumber: Gaikindo Grafik III.9. Impor Jabagbar Menurut Jenisnya Grafik III.10. Perkembangan Ekspor Mobil Kinerja Sektor Utama Daerah Kinerja dua sektor utama Jabagbar yakni sektor industri pengolahan dan sektor pertanian mengalami pelemahan pada triwulan III 2014. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) mampu tumbuh meningkat, meski konsumsi mengalami perlambatan. Pada sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa, terlihat pula adanya perbaikan kinerja yang mendukung perekonomian Jabagbar pada triwulan laporan. yoy (%) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 Pertanian Industri Pengolahan PHR Jabagbar Padi (ton) ribu ton 2500 % (yoy) 80 Pertumbuhan (kanan) 60 2000 40 20 1500 0 1000 -20 -40 500 -60 0 I II III IV 2012 I II III IV I II 2013 III IV* 2014 Sumber : BPS, diolah Grafik III.11. Pertumbuhan Sektor Utama Jabagbar -80 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat Grafik III.12. Produksi Padi Jawa Barat Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Kinerja sektor PHR Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 7,8% (yoy), meningkat daripada pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 7,4% (yoy). Penjualan di sektor riil meningkat tajam terutama pada kelompok makanan minuman. Dari sisi pembiayaan, kredit ke sektor PHR juga menunjukkan tren peningkatan. Hingga Agustus 2014, pertumbuhan kredit di sektor PHR mencapai 15,5% (yoy). Hasil liaison ke pelaku usaha di sektor perdagangan ritel mengonfirmasi adanya peningkatan omset penjualan pada periode Lebaran di berbagai pusat perbelanjaan maupun department store. Sementara itu, subsektor perhotelan juga tumbuh meningkat, meskipun tidak setinggi subsektor perdagangan. Adanya libur Lebaran mendorong peningkatan jumlah wisatawan domestik ke Jabagbar. Berakhirnya proses Pemilu turut mendorong penyelenggaraan MICE (meeting, incentives, conferences and exhibition) dari korporasi maupun institusi pemerintaha. Kunjungan wisatawan ke beberapa tempat wisata di Jawa Barat selama libur lebaran meningkat cukup signifikan. Hal tersebut terkonfirmasi dari peningkatan jumlah kendaraan yang melalui pintu tol Pasteur (20 sampai 30 kendaraan per menit) dan menyebabkan kemacetan khususnya pada masa liburan. Laporan Nusantara| 73 Indeks 230 210 190 170 150 130 110 90 70 50 %, yoy Indeks Penjualan Riil 80 % 70 Tingkat Penghunian Kamar Hotel Bintang Pertumbuhan Wisman (yoy) 60 Pertumbuhan Penjualan Riil (yoy) 60 40 20 50 40 30 20 0 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9* 10** -20 10 0 -10 -20 2012 2013 2014 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat Grafik III.3.16. Pertumbuhan Sektor Utama Jabagbar Grafik III.3.17. Produksi Padi Jawa Barat Kinerja sektor PHR pada triwulan IV 2014 diperkirakan masih dalam tren peningkatan. Hal ini didorong dengan masih tingginya indeks penjualan riil hingga Oktober 2014. Sejumlah kontak liaison di subsektor pariwisata cukup optimis dalam memperkirakan peningkatan tingkat hunian akomodasi hotel hingga akhir tahun 2014, terkait dengan permintaan yang masih sangat tinggi. Penyelenggaraan Pekan Olahraga Daerah Jawa Barat di Bekasi pada Oktober-November 2014 yang diikuti lebih dari 2000 atlet diperkirakan turut mendorong peningkatan sektor PHR. Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh melambat dari 4,1% (yoy) menjadi 3,7% (yoy). Baik industri di Jawa Barat maupun Banten mengalami penurunan kinerja yang tercermin dari lebih rendahnya indeks produksi industri pada triwulan laporan. Penurunan indkes produksi industri terjadi baik pada produksi industri manufaktur besar, sedang, kecil dan mikro. Industri yang mengalami penurunan produksi terbesar adalah industri makanan minuman, industri furniture, dan industri barang galian bukan logam. Pada industri mikro dan kecil, penurunan produksi terbesar terjadi pada industri komputer dan barang elektronik, industri logam dasar, serta industri pemasangan mesin dan peralatan. Industri kimia di Banten juga menunjukkan adanya penurunan kinerja, hal ini seiring dengan turunnya harga minyak mentah dunia maupun naphta yang mendorong turunnya harga produk kimia seperti ethylene dan polypropylene. Sementara itu, produksi industri TPT masih tumbuh positif dengan meningkatnya permintaan domestik, meskipun permintaan eksternal masih belum membaik. Pada industri otomotif, produksi mobil pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan, terkecuali pada Agustus 2014 dimana peningkatan produksi dilakukan untuk memenuhi indent dari beberapa bulan sebelumnya. Kinerja industri pengolahan pada triwulan IV 2014 diperkirakan membaik. Salah satu indikasi dari perbaikan tersebut adalah meningkatnya impor bahan baku industri pada triwulan laporan. Peningkatan kapasitas industri diperkirakan pada industri makanan minuman, serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya. Sementara utilisasi industri TPT diperkirakan cenderung stabil karena penggunaan mesin-mesin yang sudah optimal di kisaran 80-90%. Apabila dipaksakan peningkatan utilisasinya, kualitas produk TPT yang dihasilkan akan berkurang. Kinerja industri otomotif juga diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasca kegiatan Indonesia International Motor Show (IIMS) pada akhir triwulan III 2014. Sementara itu, Gabungan industri kendaraan bermotor Indonesia (Gaikindo) menyatakan bahwa pasar ekspor mobil Indonesia ke luar negeri masih cukup baik terutama ke Asia dan Afrika. Laporan Nusantara| 74 Produksi Mobil G.Penjualan (Kanan) Ribu Unit 250 Penjualan Mobil G.Ekspor (Kanan) %, yoy 120 100 80 60 40 20 0 -20 -40 200 150 100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2013 3 4 5 6 7 8 9 USD Juta 2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 - Nilai 30 25 20 15 10 5 0 -5 -10 I 2014 yoy (%) Pertumbuhan (Axis Kanan) II III IV 2010 I II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV I 2013 II III 2014 Sumber: Gaikindo, diolah Grafik III.15. Kinerja Industri Otomotif Grafik III.16. Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan cukup dalam dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni dari 3,3% (yoy) menjadi 1,1% (yoy). Hal ini terutama tercermin dari menurunnya produksi padi yang terkontraksi sebesar -2,7% (yoy) pada triwulan III 2014, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan produksi pada triwulan II 2014 yang mencapai 9,6% (yoy). Selain terjadinya kekeringan di berbagai sentra produksi di Jabagbar, kualitas hasil panen juga menurun sebagai akibat serangan hama terutama dari organisme pengganggu tanaman. Selain itu, para petani juga dihadapkan pada kondisi distribusi air yang terhambat karena tidak berfungsinya saluran irigasi dan bendungan. Terbatasnya stok pupuk bersubsidi menyebabkan harga pupuk non subsidi meningkat tiga kali lipat, sehingga sebagian petani tidak optimal dalam menggunakannya. Pada triwulan laporan, kekeringan terjadi terutama di wilayah pantura Jabar yang merupakan lumbung padi. Hal tersebut menyebabkan beberapa petani lebih memilih untuk menanam tanaman selain padi, seperti palawija atau tembakau yang hanya memerlukan pengairan secara minimal. Berdasarkan hasil liaison, utilisasi lahan pertanian masih relatif stabil dengan belum adanya tambahan penggunaan lahan yang cukup signifikan. Cabai Merah ribu ton 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Pertumbuhan (kanan) % (yoy) 200 150 100 ribu ton 25 Bawang Merah Pertumbuhan (kanan) 200 20 150 15 100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar Grafik III.17. Produksi Cabai Merah Jawa Barat % (yoy) 250 50 10 0 -50 5 -100 0 -50 -100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat Grafik III.18. Produksi Bawang Merah Jawa Barat Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014 diperkirakan masih belum akan membaik. Berbagai risiko seperti awal musim hujan yang baru terjadi pada akhir Oktober, menyebabkan periode musim tanam mengalami kemunduran. Panen subsektor tanaman bahan makanan secara besar diperkirakan baru terjadi pada awal tahun 2015. Ketersediaan stok pupuk dan keterjangkauan harga pupuk juga menjadi hal penting dalam mendukung kelancaran proses produksi pada periode tanam akhir tahun 2014. Pada subsektor hortikultura, diperkirakan terjadi penurunan kinerja sebagai dampak dari musim hujan yang memiliki intensitas relatif tinggi. Hal ini kurang mendukung untuk peningkatan produksi hortikultura di Jawa Barat, terkait dengan kerentanan terkena serangan hama dan lebih cepatnya terjadi pembusukan. Beberapa upaya kebijakan dapat dilakukan untuk meningkatkan Laporan Nusantara| 75 kinerja sektor pertanian, diantaranya melalui peningkatan luas areal tanam, pembuatan lahan sawah baru, pemberian bantuan benih pupuk dan peralatan pertanian, serta pendampingan melalui Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Sektor Lainnya Sektor pengangkutan dan komunikasi Jabagbar pada triwulan III 2014 mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, yakni dari 9,5% menjadi 10,8% (yoy). Selain karena faktor Lebaran dan liburan yang mendorong meningkatnya pergerakan barang dan penumpang, peningkatan akses data komunikasi juga menjadi faktor pendorong kinerja sektor tersebut. Berdasarkan data, jumlah penumpang dan barang yang diangkut khususnya melalui jalur udara mengalami peningkatan pada triwulan laporan. Sektor bangunan juga mengalami peningkatan kinerja seiring dengan pembangunan dan perbaikan proyek infrastruktur pemerintah, khususnya infrastruktur jalan. Kinerja sektor keuangan dan jasa perusahaan juga menunjukkan adanya peningkatan, seiring dengan kebijakan penyesuaian batas atas tingkat suku bunga simpanan. Hal ini berimplikasi spread bunga yang melebar dan meningkatnya margin usaha perbankan. PERKEMBANGAN INFLASI Sampai dengan triwulan Oktober 2014, inflasi di wilayah Jabagbar tercatat sebesar 4,65% (yoy), meningkat dibandingkan dengan capaian inflasi pada triwulan III 2014 sebesar 4,38% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi terutama disebabkan oleh meningkatnya tekanan harga pada kelompok administered price, seperti kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) bertahap, kenaikan harga LPG 12 kg, dan peningkatan harga cukai rokok. Selain itu, tekanan inflasi juga berasal kelompok pangan dengan meningkatnya harga cabai merah dan cabai rawit. Secara spasial, tekanan inflasi di Banten pada Oktober 2014 mencapai 6,72% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi di Jawa Barat yang mencapai 4,04% (yoy) Berbagai perkembangan indikator harga menunjukkan adanya risiko tekanan inflasi di wilayah Jabagbar pada triwulan IV 2014. Hal ini antara lain didorong oleh kenaikan TTL tahap terakhir di November 2014, ketersedian pangan dari komoditas pertanian, dan rencana kenaikan BBM bersubsidi. Hasil Survei Konsumen (SK) mengonfirmasi peningkatan ekspektasi konsumen terhadap harga dalam 6 bulan ke depan. Di samping itu, berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) di Jawa Barat, harga jual secara umum diperkirakan mengalami peningkatan pada triwulan IV 2014. Hal tersebut tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) ekspektasi responden terhadap perkiraan harga jual pada triwulan IV 2014 sebesar 29,5%, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 24,7%. JABAGBAR YOY (%) BANTEN JABAR YOY (%) 12 25 10 20 8 IHK Volatile Food Administered Price Core 15 6 10 4 5 2 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 9 10 2012 2013 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik III.19. Perkembangan Inflasi Spasial 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 9 10 2012 2013 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik III.20. Disagregasi Inflasi Jabagbar Laporan Nusantara| 76 Indeks Ekspektasi Harga 3 Bulan YAD Ekspektasi Harga 6 Bulan YAD 225 %, SBT 40 35 200 30 175 25 20 150 15 10 125 100 5 Indeks > 100 = optimis Indeks < 100 = pesimis 0 I 75 II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 2012 2013 2014 2015* Grafik III.21. Ekspektasi Perkiraan Harga Konsumen 2011 2012 2013 2014 Grafik III.22. Ekspektasi Harga Jual Pelaku Usaha Koordinasi Pengendalian Inflasi Berbagai upaya dilakukan untuk meredakan tekanan inflasi di wilayah Jabagbar baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Forum Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah (FKPI) Jawa Barat terus melakukan berbagai upaya untuk mencegah dampak yang lebih luas akibat dari pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Beberapa langkah yang direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait adalah : 1) Menyampaikan evaluasi penerapan kebijakan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi kepada BPH Migas (pembelian tidak dibatasi pada jam tertentu), 2) Menerapkan gerakan hemat BBM antara lain hari bebas kendaraan bermotor pribadi, 3) Memprioritaskan pembangunan stasiun pompa diesel nelayan di sekitar TPI untuk memenuhi kebutuhan nelayan, 4) Menyampaikan surat dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada Organda agar pengangkutan barang khususnya di Jalur Pantura menggunakan kereta api, 5) Penetapan batas atas tarif angkutan non-ekonomi, dan 6) Penambahan pasokan gas LPG ukuran 3 kg. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Perkembangan kinerja sistem keuangan dan sistem pembayaran di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 secara umum masih kondusif. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) melambat menjadi sebesar 13,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 17,2% (yoy). Meskipun demikian, secara nominal DPK perbankan meningkat. Berdasarkan hasil focus group discussion dengan beberapa bank, peningkatan DPK terutama pada bank besar karena adanya strategi peningkatan low cost fund serta kerjasama pelayanan penerimaan pajak bumi bangunan (PBB) dengan pemerintah daerah. Di sisi lain, penyaluran kredit perbankan pada triwulan III 2014 juga mengalami perlambatan dari 18,2% (yoy) menjadi 15,4% (yoy). Dengan kondisi tersebut, Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan di Jabagbar meningkat dari 85,6% pada triwulan II 2014 menjadi 86,1% pada triwulan III 2014. Laporan Nusantara| 77 Nilai DPK Rp Triliun Pertumbuhan DPK 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 YoY (%) 30 25 15,9 17,2 13,2 Pertumbuhan Kredit LDR YoY (%) 350 300 20 250 15 200 10 Nilai Kredit Rp Triliun 400 19,5 150 18,2 15,4 100 I II III IV I II 2012 III IV I 2013 II 5 50 0 0 III I 2014 Kredit Industri % Pertumbuhan (yoy) 35 50 30 40 25 30 20 15 20 10 10 5 - 0 III IV 2012 I II III IV 2013 I II I II III IV I II 2013 Rp Triliun 40 II IV III 2014 Grafik III.24. Perkembangan Kredit dan LDR Jabagbar 60 I III 2012 Grafik III.23. Perkembangan DPK Jabagbar Rp Triliun II 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Kredit PHR % (yoy) Pertumbuhan (kanan) 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 - III 60 50 40 30 20 10 0 I 2014 II III IV 2012 Grafik III.25. Kredit Sektor Industri Jabagbar I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik III.26. Kredit Sektor PHR Ketahanan Sektor Korporasi Ketahanan sektor utama korporasi di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 dihadapkan pada peningkatan risiko kredit. Hal ini tercermin dari peningkatan nonperforming loan (NPL) dari 2,67% pada triwulan II 2014 menjadi 2,80% pada triwulan III 2014. Perhitungan mortality rate (Altman Approach) dengan pendekatan jumlah debitur kota/kabupaten menunjukkan terdapat peningkatan jumlah debitur bermasalah di sektor pertanian dan sektor PHR. Sementara itu, jumlah debitur bermasalah di sektor industri cenderung menurun. Dari sisi kinerja penyaluran kredit, pertumbuhan kredit di sektor industri pengolahan mengalami peningkatan, sementara kredit ke sektor PHR menunjukkan perlambatan. % Tw I - 2014 Tw II - 2014 Tw III - 2014 % 6,0 Tw I - 2014 Tw II - 2014 Tw III - 2014 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 Pertanian Industri PHR Grafik III.27. Mortality Rate Sektor Utama Berdasarkan Nominal Baki Debet Pertanian Industri PHR Grafik III.28. Mortality Rate Sektor Utama Berdasarkan Jumlah Debitur Ketahanan Sektor Rumah Tangga Di sektor rumah tangga, nominal penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kredit multiguna dan kredit kendaraan bermotor di wilayah Jabagbar menunjukkan adanya peningkatan. Meski demikian, risiko kredit-kredit tersebut relatif terjaga. NPL KPR dan kredit kendaraan bermotor tidak mengalami peningkatan dari triwulan sebelumnya, Laporan Nusantara| 78 masing-masing sebesar 3,0% dan 0,8%. Sedangkan NPL kredit multiguna mengalami sedikit peningkatan dari 1,5% menjadi 1,6%. Pangsa terbesar kredit sektor rumah tangga masih pada KPR (58,7%) diikuti oleh pinjaman multiguna (30,5%) dan kredit kendaraan bermotor (10,9%). KPR K.Kend. Bermotor NPL K.Multiguna Triliun Rp K.Multiguna NPL K. Kend.Bermotor NPL KPR NPL (%) 140 80 40 25 3 80 20 60 15 20 40 10 20 5 0 III IV I II 2013 %, yoy NPL - rhs 30 1 0 Pertumbuhan (yoy) - rhs 100 2 60 Kredit UMKM 4 120 100 Rp Triliun 120 - 0 III I II 2014 III IV I II 2012 Grafik III.3.29. Perkembangan Kredit Rumah Tangga III IV I 2013 II III 2014 Grafik III.3.30. Perkembangan Kredit UMKM Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Pada triwulan III 2014, penyaluran kredit perbankan konvensional kepada kategori debitur UMKM di wilayah Jabagbar mencapai Rp96,4 triliun, tumbuh relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni dari 24,65% (yoy) menjadi 24,93% (yoy). Akan tetapi, peningkatan NPL kredit UMKM dari 4,6% menjadi 5,0% menjadi hal yang harus dicermati ke depan. Peningkatan NPL kredit UMKM ini terutama terjadi di usaha mikro sektor perdagangan. Kinerja Sistem Pembayaran Kinerja sistem pembayaran nontunai pada triwulan III 2014 menunjukkan penggunaan fasilitas RTGS yang meningkat cukup signifikan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Sementara itu, transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami sedikit penurunan. Secara nominal, transaksi melalui RTGS mencapai Rp254,65 triliun pada triwulan III 2014, meningkat dari triwulan II 2014 yang hanya mencapai Rp104,56 triliun. Dari sisi volume, transaksi RTGS pada triwulan III 2014 tercatat meningkat menjadi sebesar 275 ribu transaksi dari sebelumnya 126 ribu transaksi. Adapun transaksi RTGS dari Jawa Barat lebih kecil dibandingkan transaksi RTGS yang menuju ke Jawa Barat, mengindikasikan banyaknya aliran dana dari daerah lain yang masuk ke Jawa Barat. Sementara itu, perbaikan pertumbuhan yang signifikan terjadi pada transaksi RTGS dan SKNBI masing-masing sebesar 23,18% (yoy) dan 87,09% (yoy), dibandingkan dengan pertumbuhan negative pada triwulan sebelumnya sebesar masing-masing -51,26% (yoy) dan -42,34% (yoy). Triliun Rp 30 INFLOW OUTFLOW NET (Inflow-Outflow) Triliun Rp 25 350 20 300 RTGS Kliring Pertumbuhan RTGS - kanan Pertumbuhan Kliring - kanan %, yoy 100 80 60 40 20 0 -20 -40 -60 250 15 200 150 10 100 5 50 0 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik III.3.31.Perkembangan Inflow Outflow III I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik III.3.32.Perkembangan Transaksi Non Tunai Laporan Nusantara| 79 Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Perkembangan peredaran uang pada triwulan II 2014 masih didominasi oleh aliran inflow. Jumlah aliran uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia Wilayah VI mencapai Rp23,82 triliun, sedangkan aliran outflow mencapai Rp14,33 triliun. Selain itu, nilai net inflow pada triwulan III 2014 juga mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Dalam rangka pemenuhan uang tunai di masyarakat, Bank Indonesia bekerjasama dengan sejumlah perbankan menyediakan ATM Uang Pecahan Kecil (UPK) di beberapa lokasi. Di samping itu, gerakan nasional non tunai (GNNT) melalui implementasi penggunaan e-money atau instrumen non tunai lainnya sedang dikembangkan di Kawasan Jatinangor dengan melibatkan 3 Perguruan Tinggi (UNPAD, IPDN dan IKOPIN). Ke depan, program GNNT juga akan melibatkan Pemprov, Pemkot, Kadin, Pengelola Perparkiran dan beberapa usaha ritel. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Jabagbar tahun 2015 diperkirakan pada kisaran 5,5% - 5,9% (yoy). Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diperkirakan masih kuat sebagai pengaruh dari peningkatan pendapatan, termasuk sebagai pengaruh dari kenaikan upah minimum yang sangat berpengaruh pada industri manufaktur(UMP/UMK). Investasi di Jabagbar diperkirakan juga masih akan tumbuh positif, meskipun dibayangi oleh sejumlah kendala terkait daya saing, diantaranya adalah kapasitas dan kualitas infrastruktur, tingkat upah dan produktivitas tenaga kerja. Hal tersebut sangat berdampak pula pada kinerja ekspor manufaktur yang dominan di Jabagbar. Pada tahun 2015, masih terdapat optimisme peningkatan kinerja ekspor, seiring dengan perbaikan perekonomian global. Meski demikian, perlu dicermati potensi tekanan pada nilai tukar yang dapat berimbas pada kinerja ekspor manufaktur. Ketergantungan terhadap impor bahan baku dan barang modal oleh industri manufaktur belum akan berkurang di 2015. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), terindikasi adanya perbaikan prospek kegiatan usaha pada sektor ekonomi utama Jabagbar, yakni di sektor industri pengolahan, sektor PHR dan sektor bangunan. Sektor PHR dan sektor industri pengolahan masih akan menjadi penopang utama perekonomian Jabagbar, disamping dukungan dari sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor bangunan. Sementara itu, perbaikan kinerja sektor pertanian sangat tergantung pada upaya-upaya pemerintah dalam produksi dan produktivitas pertanian, antara lain melalui perbaikan irigasi, penyediaan infrastruktur dan sistem logistik yang memadai, serta keterjangkauan alat produksi yang memadai. Penguatan faktor institusi dalam mendukung peningkatan produksi dan produktivitas pangan melalui utilisasi teknologi juga menjadi hal yang krusial ke depan. Prospek Inflasi Inflasi Jabagbar pada tahun 2015 diperkirakan kembali ke pola historisnya dengan proyeksi di kisaran 4,7% - 5,1% (yoy). Risiko inflasi terutama bersumber dari penyesuaian harga energi di kelompok administered price. Adapun risiko inflasi terbesar berasal dari rencana kenaikan harga BBM yang berpotensi menaikkan tingkat inflasi secara signifikan. Dampak dari kenaikan harga BBM di Jabagbar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa. Diperkirakan apabila terjadi kenaikan harga BBM sebesar Rp3.000,- pada akhir tahun 2014, inflasi di Jabagbar di 2015 berpotensi meningkat pada kisaran 6,1% - 6,5% (yoy) yang terutama bersumber dari kenaikan ongkos transportasi. Ekspektasi inflasi masyarakat terhadap rencana kenaikan BBM bersubsidi diperkirakan sudah mulai terbentuk di akhir triwulan IV 2014. Asosiasi pengusaha menyatakan bahwa kenaikan BBM bersubsidi tidak terlalu mengganggu kegiatan usaha. Hal ini dikarenakan sebagian besar usaha (industri manufaktur) di Jabagbar telah menggunakan BBM non subsidi. Hanya saja, kenaikan BBM bersubsidi tersebut akan mengganggu kegiatan usaha untuk usaha mikro dan kecil. Menurut asosiasi pengusaha, timing yang tepat bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi yakni pada Laporan Nusantara| 80 Desember 2014. Waktu tersebut dianggap tepat agar tidak terlalu berpengaruh pada perkembangan inflasi akhir tahun 2014, dan rencana kenaikan upah minimum provinsi/kabupaten/kota pada November 2014. Koordinasi TPID dalam menjaga ketersediaan stok komoditas pangan dan antisipasi terhadap rencana kenaikan BBM bersubsidi menjadi krusial untuk memitigasi peningkatan tekanan inflasi pada tahun 2015. Tabel III.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Barat Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2012 2013 2015 2014 I II III IV Total I* II* III* IVp Totalp Ip Totalp 6.3 6.0 6.1 5.7 6.2 6.0 5.4 5.6 5.5 5.7 5.5 5,3 - 5,7 5,5 - 5,9 Sisi Permintaan Konsumsi 4.4 4.3 3.8 4.7 4.9 4.4 4.9 4.9 5.2 5.7 5.2 4,8 - 5,2 5,1 - 5,5 Konsumsi swasta 4.6 4.4 4.5 4.1 4.1 4.3 5.1 5.4 5.2 5.3 5.2 4,6 - 5,0 4,8 - 5,2 Konsumsi Pemerintah 1.5 2.9 (3.2) 11.2 13.4 6.5 2.8 (0.9) 5.3 9.6 5.0 7,0 - 7,4 8,2 - 8,6 10.1 10.4 9.7 7.6 5.9 8.4 5.8 4.7 5.5 5.4 5.4 5,6 - 6,0 5,2 - 5,6 Ekspor 6.9 9.1 8.7 10.6 12.4 10.2 8.7 7.6 8.7 8.9 8.2 8,0 - 8,4 8,4 - 8,8 Impor 6.7 13.9 10.8 15.7 14.6 13.8 10.9 8.7 4.9 7.3 7.4 9,0 - 9,4 8,9 - 9,3 Sektor pertanian (0.0) 2.7 1.3 4.6 8.6 4.1 0.9 3.3 1.1 1.0 1.5 1,9 - 2,3 2,2 - 2,6 Sektor pertambangan & penggalian (7.0) 4.6 (7.2) (2.0) 2.8 (0.6) (2.9) 2.9 1.3 1.5 0.6 0,6 - 1,0 1,4 - 1,8 Industri pengolahan 3.7 4.8 5.5 4.9 4.7 5.0 3.4 4.1 3.7 4.1 3.8 3,8 - 4,2 4,1 - 4,5 Listrik, gas & air bersih 8.3 5.4 5.7 6.1 7.2 6.1 10.2 8.2 5.2 5.8 7.2 6,4 - 6,8 6,1 - 6,5 Bangunan 13.0 9.9 10.2 7.2 7.3 8.6 10.7 9.1 10.1 7.2 9.2 6,2 - 6,6 7,3 - 7,7 Perdagangan, hotel & restoran 11.7 7.1 9.1 6.9 7.6 7.6 7.4 6.5 7.4 7.8 7.3 7,1 - 7,5 7,4 - 7,8 Pengangkutan & komunikasi 11.5 11.5 10.5 7.8 6.7 9.0 10.8 9.5 10.8 9.9 10.3 10,2 - 10,6 8,7 - 9,1 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 9.7 9.6 8.3 7.8 8.0 8.4 8.1 6.5 8.0 7.5 7.5 7,4 - 7,8 7,3 - 7,7 8.2 7.7 4.0 6.0 5.9 5.9 9.7 8.5 9.2 9.2 9.1 7,6 - 8,0 7,4 - 7,8 4.0 6.0 6.7 9.4 9.3 9.3 8.00 6.63 4.38 4.97 4.97 4,2 - 4,6 4,7 - 5,1 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah * a ngka s ementa ra p proyeks i Ba nk Indones i a Laporan Nusantara| 81 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian wilayah Jakarta tumbuh melambat sebesar 6,0% (yoy) pada triwulan III 2014. Capaian pertumbuhan ini lebih rendah daripada prediksi awal, dimana perekonomian Jakarta diproyeksikan tumbuh stabil 6,1% (yoy). Perlambatan ekonomi wilayah Jakarta terutama bersumber dari melambatnya konsumsi rumah tangga dan menurunnya kinerja investasi. Di sisi lain, kinerja ekspor mengalami peningkatan, sejalan dengan perbaikan ekonomi global. Demikian pula, konsumsi pemerintah masih mampu tumbuh cukup kuat. Secara sektoral, perlambatan ekonomi Jakarta disebabkan oleh menurunnya kinerja sektor konstruksi, perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), jasa kemasyarakatan, serta industri pengolahan. Sementara itu, sektor jasa keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan yang memiliki pangsa terbesar mampu tumbuh meningkat dan menopang perekonomian wilayah Jakarta. Prospek perekonomian wilayah Jakarta diperkirakan lebih baik pada triwulan IV 2014. Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan IV 2014 diprakirakan sebesar 6,1% (yoy) dengan dukungan perbaikan pada seluruh komponen dari sisi permintaan. Perbaikan ekonomi terutama dipengaruhi oleh potensi perbaikan ekspor dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi global serta menguatnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi pemerintah juga diprediksi meningkat sesuai polanya dan menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan akhir 2014. Di sisi sektoral, peningkatan kinerja diproyeksikan pada sektor industri pengolahan dan PHR. Sementara sektor konstruksi dan sektor jasa keuangan, persewaan, serta jasa perusahaan cenderung melemah. Pada keseluruhan 2014, perekonomian Jakarta diprakirakan mampu tumbuh stabil sebesar 6,1% (yoy) dengan dukungan utamanya dari konsumsi rumah tangga kelas menengah. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,8% (yoy) pada triwulan III 2014, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 6,1% (yoy). Selain terkait dengan melemahnya aktivitas perekonomian di Jakarta, konsumsi rumah tangga pada periode Lebaran 2014 juga lebih lemah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2013. Hal tersebut dipengaruhi oleh berdekatannya periode tahun ajaran baru dan Lebaran, yang menyebabkan sebagian belanja konsumen terbagi pemenuhannya. Hasil liaison ke perusahaan waralaba mengonfirmasi penurunan jumlah kunjungan dan rata-rata pembelanjaan konsumen. Survei penjualan eceran pada periode laporan juga menunjukkan adanya kontraksi pertumbuhan penjualan makanan dan minuman serta barang rumah tangga (Grafik III.4.1). Penjualan kendaraan bermotor sebagai barometer konsumsi rumah tangga di 4 Jakarta yang umumnya meningkat menjelang Lebaran, juga mengalami perlambatan pada periode Lebaran 2014. Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh meningkat, sesuai tren musiman peningkatan belanja rumah tangga pada periode akhir tahun Prediksi ini merujuk pada sejumlah indikator terkini, yakni survei konsumen dan kredit konsumsi. Survei konsumen mengindikasikan terjaganya keyakinan dan sentimen masyarakat 4 Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan penjualan mobil periode Januari-September tahun 2014 hanya tumbuh sebesar 2,7% (yoy). Angka pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dari capaian pada tahun 2013 untuk periode yang sama, dimana pertumbuhan penjualan mencapai 12,6%. Laporan Nusantara| 82 terhadap kondisi perekonomian dan dinamika politik pasca terbentuknya pemerintahan baru (Grafik III.4.2). Persepsi positif konsumen juga terefleksikan pada keyakinan atas peningkatan lapangan kerja dan pendapatan dalam 6 bulan ke depan. Secara umum, indeks ekspektasi konsumen relatif stabil di tengah rencana kenaikan harga BBM yang berpotensi memperlemah daya beli masyarakat dan perekonomian dalam jangka pendek. Di sisi pembiayaan rumah tangga selain pendapatan, ketersediaan kredit konsumsi diperkirakan akan turut mendukung perbaikan kinerja konsumsi rumah tangga. % yoy Indeks Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 150 60 Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) 140 40 Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) 130 20 120 0 Optimis 110 -20 100 -40 90 -60 80 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2013 2 3 4 5 6 7 8 9 2014 gKredit Konsumsi gPenjualan Makanan Minuman gPenjualan Barang Rumah Tangga gTotal Penjualan Eceran Grafik III.4.1. Perkembangan Survei Penjualan Eceran Pesimis 70 60 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2010 2011 2012 2013 2014 Grafik III.4.2. Indeks Keyakinan Konsumen Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mengalami pertumbuhan yang signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 3,9% (yoy) yang bersumber dari belanja Pemerintah Pusat (Kementerian/Lembaga). Tumbuh meningkatnya realisasi belanja Pemerintah Pusat didukung terutama oleh belanja barang. Realisasi belanja Pemerintah Pusat mencapai 65,9% dari target APBN-P, lebih baik dibandingkan pencapaian dalam 2 tahun terakhir. Sementara itu, realisasi belanja APBD masih sangat rendah yang mana hingga akhir September 2014 baru mencapai sekitar 27,7% dari total anggaran belanja pada APBD-P. Berdasarkan proporsinya, 50,4% dari belanja APBD merupakan belanja rutin yang didominasi belanja pegawai, sedangkan realisasi belanja modal hanya mencapai 3,45% atau terendah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sejalan dengan pola realisasi belanja pemerintah yang cenderung terakselerasi pada triwulan IV 2014, kinerja konsumsi pemerintah diprakirakan akan meningkat dalam level yang moderat. Restrukturisasi pemerintahan baru dengan adanya pemekaran Kementerian/Lembaga memberikan konsekuensi pada tambahan penganggaran. Selain itu, terdapat potensi peningkatan belanja sosial, sejalan dengan program pemerintah baru untuk meningkatkan pemerataan dan kesejahteraan, khususnya bagi masyarakat miskin yang jumlahnya sekitar 4% dari total penduduk Jakarta. Namun, belanja Pemerintah Pusat diprediksi tidak setinggi beberapa tahun terakhir mengingat adanya rasionalisasi anggaran untuk mengurangi risiko defisit fiskal yang lebih besar. Di sisi APBD, serapan anggaran belanja juga diprakirakan akan lebih rendah dari beberapa tahun terakhir, meskipun terdapat berbagai upaya untuk mendorong penyerapan anggaran, diantaranya implementasi sistem e-catalog dan e-procurement. Investasi Kinerja investasi Jakarta pada triwulan III 2014 mengalami penurunan yang signifikan dengan tumbuh sebesar 2,1% (yoy), jauh lebih lambat daripada pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 4,2% (yoy). Investasi pada periode ini masih bersumber dari investasi bangunan berupa pembangunan infrastruktur baik yang dibiayai oleh pemerintah maupun konsorsium pemerintah dan swasta. Berdasarkan data investasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terdapat peningkatan investasi PMA yang cukup signifikan (Grafik III.4.3). Sementara itu, investasi PMDN relatif terbatas dengan masih adanya tendensi sejumlah pelaku usaha untuk menahan Laporan Nusantara| 83 ekspansi usaha. Di sisi investasi non bangunan, pertumbuhan terindikasi dalam level yang moderat, dalam bentuk perawatan mesin dan alat produksi. Hingga Agustus 2014, kredit investasi juga masih dalam tren melambat (Grafik III.4.4). Prospek investasi di Jakarta pada triwulan IV 2014 masih berpotensi membaik dibandingkan dengan triwulan laporan. Hal ini didorong oleh akselerasi pembangunan beberapa proyek investasi infrastruktur dalam skala besar, yakni proyek terminal peti kemas di Kalibaru (New Tanjung Priok Port) dan mass rapid transit (MRT). Di sisi lain, investasi properti diperkirakan tumbuh moderat dengan masih relatif tingginya tingkat suku bunga dan dinamika perekonomian serta politik dalam negeri. Tren moderasi pertumbuhan properti komersial juga terkait dengan kebijakan loan to value (LTV) dan KPR indent rumah kedua. Namun, sebagian pelaku bisnis properti mendukung upaya mengurangi risiko investasi dengan terjadinya bubble. Diperoleh pula informasi, masih cukup aktifnya investor asing dari Singapura, Jepang dan Korea dalam mencari peluang investasi pada properti komersial. Di tengah suplai properti komersial yang relatif terbatas saat ini, harga properti masih meningkat, meskipun tidak setinggi dan secepat periode sebelumnya. Hal ini menyebabkan tingkat imbal hasil investasi properti komersial relatif terjaga pada level yang prospektif. Pada investasi non bangunan, terdapat indikasi membaiknya kinerja investasi pada perusahaan manufaktur yang berorientasi ekspor, sejalan dengan kebutuhan peningkatan produksi dan efisiensi. Fenomena ini tercermin dari adanya akselerasi impor barang modal pada akhir triwulan III 2014. Dari hasil liaison ke perusahaan PMA yang memproduksi barang elektronik, juga diperoleh informasi rencana relokasi produksi dari negara yang memiliki tingkat upah lebih tinggi dari Indonesia, diantaranya adalah Tiongkok, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Sejumlah produsen otomotif dan komponen dari Asia dan Eropa juga beranggapan meningkatnya daya beli dan permintaan kelas menengah di regional ASEAN, memberikan ruang ekspansi dan investasi yang cukup besar ke depan. 5 Membaiknya investasi non bangunan turut didukung oleh upaya perbaikan regulasi dan sistem perijinan , serta terjaganya stabilitas ekonomi makro dan politik. Kondisi yang berbeda ditengarai terjadi pada industri manufaktur yang sebagian besar produknya untuk pemenuhan pasar domestik. Melemahnya permintaan domestik berdampak pada tertahannya kinerja investasi. 350,000 % Rp Miliar 40 35 300,000 30 250,000 25 200,000 20 150,000 15 100,000 10 50,000 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 Kredit Investasi 2013 2014 g.Kredit Investasi (skala kanan) Sumber: BKPM, diolah Grafik III.4.3. Realisasi Investasi PMDN & PMA Grafik III.4.4. Kredit Investasi 5 Dalam survei Ease of Doing Business 2015 (Bank Dunia) yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya, terlihat adanya perbaikan dalam fasilitasi investasi. Peningkatan peringkat dari posisi 117 di 2013 menjadi posisi 114 di 2014 disebabkan oleh adanya perbaikan perijinan dan sistem perpajakan melalui sistem on-line, serta kemudahan memperoleh listrik. Hal ini juga terkait dengan upaya optimalisasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) baik di level pusat (BKPM) maupun di daerah. Laporan Nusantara| 84 Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Jakarta pada triwulan III 2014 mengalami peningkatan signifikan, sejalan dengan membaiknya perekonomian global. Ekspor produk Jakarta mampu tumbuh 2,8% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 0,8% (yoy) (Grafik III.4.5). Nilai ekspor produk Jakarta pada triwulan III 2014 tercatat sebesar USD 2,965 juta, tumbuh sekitar 14,2% (yoy), jauh lebih tinggi daripada periode yang sama di 2013. Peningkatan ekspor terutama terjadi pada kelompok bahan kimia, barang manufaktur, dan alat transportasi yang bersumber dari kuatnya permintaan dari negara regional Asia (Grafik III.4.6). Peningkatan ekspor produk Jakarta diprakirakan masih berlanjut pada triwulan IV 2014. Perbaikan ekspor terutama didukung oleh pemulihan perekonomian Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu negara mitra dagang utama. Dihentikannya program stimulus moneter pada akhir Oktober 2014 merupakan indikasi kuat pemulihan ekonomi AS yang akan meningkatkan permintaan akan barang-barang konsumsi. Adapun produk ekspor Jakarta ke pasar AS yang memiliki prospek baik ke depan adalah garmen dan perhiasan. Meski demikian, perlu dicermati potensi perlambatan ekonomi Tiongkok secara struktural. Hal ini mengingat Tiongkok merupakan mitra dagang utama Jakarta yang menjadi pasar bagi ekspor produk antara manufaktur. Peningkatan ekspor manufaktur Jakarta tetap bertumpu pada produk kendaraan bermotor dan komponennya yang memiliki pangsa terbesar. Prospek ekspor otomotif ke pasar regional (ASEAN) dan pasar-pasar baru seperti Timur Tengah dan Afrika menjadi andalan dalam mendukung perbaikan ekspor yang permanen di Jakarta. Prospek peningkatan ekspor otomotif terkonfirmasi dari hasil liaison ke perusahaan komponen spare parts. Impor Di tengah tren perbaikan ekspor di Jakarta, nilai dan volume impor pada triwulan III 2014 masih menurun. Namun, kontraksi pertumbuhan impor tidak sedalam triwulan II 2014 (Grafik III.4.7). Kinerja impor yang menurun dipengaruhi oleh terbatasnya permintaan barang konsumsi impor pasca-Lebaran. Selain itu, menurunnya investasi turut menyebabkan lebih rendahnya impor dari sisi barang modal dan bahan baku (Grafik III.4.8). Sempat melonjaknya impor di tengah triwulan III 2014 ditengarai sebagai langkah antisipasi sejumlah pelaku usaha untuk meningkatkan stok terkait dengan rencana kenaikan harga BBM yang akan mendorong biaya impor. Seiring dengan perbaikan ekspor dan investasi, peningkatan kinerja impor Jakarta diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga triwulan IV 2014. Peningkatan impor diprakirakan cukup signifikan yang membawa pertumbuhan kembali ke level positif. Jenis produk impor yang diprediksi meningkat adalah barang modal dalam bentuk mesin dan peralatan industri, serta bahan baku pendukung proses produksi. Selain itu, impor yang diidentifikasi cukup signifikan pada akhir 2014 adalah pengadaan mesin pengeboran tunnel dan alat berat pendukung konstruksi MRT. Di sisi lain, impor barang konsumsi berpotensi tumbuh terbatas dengan terjadinya kembali pelemahan nilai tukar. Laporan Nusantara| 85 80 % %, yoy 100 80 60 60 40 40 20 0 20 -20 0 -40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 -20 2012 g.Nilai Ekspor 2013 -60 2014 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 g.Volume Ekspor Bahan Kimia -40 Grafik III.4.5.Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor 140 2014 % %, yoy 100 80 100 60 80 60 40 40 20 20 0 0 (20) -40 2013 Mesin dan Alat Transportasi Grafik III.4.6. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama 120 -20 2012 Barang Manufaktur 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 2013 2014 (40) (60) 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 -60 -80 2011 g.Nilai Impor g.Volume Impor Grafik III.4.7.Perkembangan Nilai dan Volume Impor gNilai Impor Konsumsi 2012 2013 gNilai Impor Barang Modal 2014 gNilai Impor Bahan Baku Grafik III.4.8.Nilai Impor Berdasarkan Jenis Kinerja Sektor Utama Sektor Jasa Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Kinerja sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang memiliki pangsa PDRB terbesar (26,7%) di Jakarta tumbuh meningkat pada triwulan III 2014, di tengah tren perlambatan kredit. Sektor ini tumbuh sebesar 5,2% (yoy) dengan dukungan kinerja perbankan dan pasar modal. Meski pertumbuhan kredit di Jakarta di bawah target pertumbuhan kredit 2014 sebesar 15%-17%, namun perbankan di Jakarta masih mampu mencatatkan kenaikan nilai tambah. Hal ini disebabkan oleh melebarnya spread antara suku bunga kredit dan simpanan pada periode awal triwulan laporan. Selain itu, pendapatan perbankan dari provisi dan komisi juga masih meningkat. Peningkatan di subsektor jasa perbankan juga didukung oleh kinerja pasar modal dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di atas level psikologis 5000 (Grafik III.4.9). Kenaikan IHSG bulanan bahkan sempat mencapai double digit, didorong oleh kepercayaan investor menyusul stabilnya iklim politik pasca terpilihnya terbentuknya pemerintahan baru. Selain itu, sempat menguatnya nilai tukar hingga ke level Rp11.900 turut memberikan sentiment positif ke pasar modal. Laporan Nusantara| 86 %, yoy Indeks 2500 60 Indeks 6000 50 5000 2000 4000 1500 3000 1000 40 30 20 2000 10 1000 0 -10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 IHSG (skala kanan) 2012 2013 gKredit gIHSG 2014 gKapitalisasi Sumber : CEIC, diolah Grafik III.4.9. Perkembangan Pasar Modal dan Kredit 500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 gEmiten Keuangan gEmiten Perdagangan 2013 2014 gEmiten Properti gEmiten Barang Konsumsi Sumber : CEIC, diolah Grafik III.4.10. Kinerja Emiten Terpilih Pasar Modal Subsektor jasa persewaan masih dalam tren melambat sebagai akibat dari melemahnya aktivitas di bisnis properti pada triwulan III 2014. Kontak liaison mengonfirmasi adanya pelemahan permintaan dan menurunnya suplai di pasar properti komersial baik gedung kantor, ritel dan hunian komersial. Hal ini menyebabkan kinerja jasa penyewaan properti komersial mengalami penurunan. Sementara itu, kinerja jasa perusahaan relatif stabil dengan adanya kenaikan tarif jasa di Jakarta, meskipun aktivitas perekonomian Jakarta yang melemah berpengaruh pada rasionalisasi penggunaan sejumlah jasa untuk menekan pengeluaran baik korporasi maupun rumah tangga. Pertumbuhan pasar keuangan pada triwulan IV 2014 diproyeksikan melambat yang terindikasi dari kinerja pasar modal (Grafik III.4.10). IHSG kembali melemah dengan masih adanya risiko dari defisit neraca perdagangan dan fiskal, serta pelemahan nilai tukar. Selain itu, dari sisi global terdapat potensi capital outflow dari pasar keuangan domestik ke AS, sejalan dengan proses normalisasi kebijakan moneter AS. Pelepasan kepemilikan saham domestik oleh investor asing ditengarai masih berpotensi terjadi. Indikator pasar modal lainnya adalah Price Earning Ratio (PER) dari saham di Bursa Efek Indonesia yang sudah menunjukkan sinyal overbought dengan PER 20 - 21 kali. Hal ini mengindikasikan bahwa IHSG akan tertahan pada level psikologis dalam beberapa waktu ke depan. Adapun hal positif yang dapat berpengaruh pada ekspektasi pasar modal adalah terjaganya stabilitas ekonomi makro dan arah kebijakan pemerintahan baru. Di sisi perbankan, pertumbuhan kredit perbankan masih berpotensi tumbuh lebih lambat dengan masih berlanjutannya risiko pelemahan konsumsi domestik. Kontak liaison mengindikasikan kecenderungan semakin beratnya beban bunga yang harus ditanggung perusahaan dengan tingkat suku bunga saat ini. Hal ini mendorong perusahaan untuk lebih menggunakan sumber pembiayaan internal atau membatasi ekspansi bisnis. Meski demikian, pertumbuhan kredit perbankan diprakirakan masih mampu mencapai double digit dengan potensi perbaikan investasi dan ekspor ke depan. Perbaikan kinerja subsektor jasa real estate dan jasa perusahaan diperkirakan juga masih terbatas di triwulan IV 2014. Sesuai pola musimannya, aktivitas bisnis properti cenderung melemah pada masa libur akhir tahun. Lesunya aktivitas perekonomian dan terbatasnya ekspansi bisnis hingga akhir 2014 juga akan berdampak pada melambatnya pertumbuhan subsektor jasa perusahaan. Ekspansi belanja pemerintah yang diperkirakan terbatas dengan adanya pengetatan anggaran, diperkirakan turut memberikan pengaruh pada menurunnya kinerja jasa perusahaan. Sektor Industri Pengolahan Kinerja sektor industri Jakarta pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 3,0% (yoy), lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya 3,4%. Hal ini dipicu terutama oleh berkurangnya jam kerja produksi pada industri manufaktur, sebagai pengaruh dari libur Lebaran. Melambatnya kinerja industri manufaktur juga terkait dengan indikasi ditahannya produksi otomotif untuk mengantisipasi stok yang besar di tengah menurunnya Laporan Nusantara| 87 permintaan domestik. Rilis data Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menunjukkan volume produksi kendaraan roda empat di Jakarta hanya tumbuh sebesar 4,9%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama di 2013. Kinerja sektor industri pada triwulan IV 2014 diprediksi akan kembali meningkat sejalan dengan perbaikan ekspor. Indikasi tersebut diperoleh dengan melihat pada tren peningkatan indeks produksi industri secara umum serta kenaikan impor barang baku (Grafik III.4.11 dan III.4.12). Peningkatan permintaan atas produk hasil industri di Jakarta diproyeksikan pada produk otomotif, makanan minuman, garmen, dan elektronik. Kinerja produksi di subsektor otomotif (kendaraan bermotor dan komponennya) berpotensi meningkat dengan adanya kebijakan 6 pendukung investasi. Produksi komponen spare part otomotif berpotensi meningkat baik untuk segmen original equipment for manufacturer (OEM) maupun untuk segmen pasar suku cadang pengganti atau replacement market (REM). Kontak liaison produsen komponen kendaraan bermotor memprakirakan pertumbuhan penjualan masih di kisaran 10%-15% pada periode laporan. Selain itu, laporan liaison pada industri kaca kendaraan bermotor juga mengindikasikan prospek peningkatan produksi. Unit Indeks 140,000 130 125 120,000 120 100,000 115 80,000 110 60,000 105 40,000 100 20,000 95 0 90 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 Produksi Kendaraan Bermotor 2013 2014 Indeks Produksi Industri (skala kanan) % 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 I II III 2011 IV I II III IV 2012 I II III IV I 2013 II III 2014 gImpor Bahan Baku gProduksi Manufaktur Besar & Sedang gProduksi Industri Mikro & Kecil Sumber: CEIC, diolah Grafik III.4.11. Perkembangan Ekspor Manufaktur Grafik III.4.12. Impor Bahan Baku dan Pertumbuhan Produksi Manufaktur Sektor Konstruksi Pada triwulan III 2014, sektor konstruksi di Jakarta tumbuh melambat signifikan sebesar 5,1% (yoy). Pertumbuhan tersebut merupakan yang terendah sepanjang 2014. Meskipun terdapat dukungan dari proyek konstruksi infrastruktur skala besar, pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan laporan jauh lebih rendah daripada triwulan sebelumnya (5,7%, yoy). Kinerja sektor konstruksi yang menurun signifikan ini disebabkan oleh perlambatan pembangunan proyek properti komersial dan terhentinya pengerjaan konstruksi pada saat libur Lebaran. Hingga akhir triwulan III 2014, penjualan eceran semen hanya tumbuh sekitar 5% (yoy), jauh lebih rendah daripada pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai sekitar 14% (yoy). Pertumbuhan bahan-bahan bangunan pada triwulan III 2014 juga lebih lambat daripada triwulan sebelumnya dan periode yang sama di 2013. 6 Peraturan Menteri Perindustrian No 80/M-IND/PER/9/2014 dalam rangka pendalaman dan pengembangan industri manufaktur kendaraan bermotor diharapkan dapat mendukung ekspansi investasi pada industri otomotif ke depan. Kebijakan tersebut mengatur tingkat keteruraian kendaraan yang diimpor dalam keadaan terurai sama sekali (completely knocked down/CKD) dan kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap (incompletely knocked down/IKD). Selain itu, juga dilakukan pengaturan ketentuan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) untuk setiap jenis industri manufaktur yang bergerak di sektor otomotif. Laporan Nusantara| 88 Kinerja sektor konstruksi diperkirakan menurun pada triwulan IV 2014. Hal ini merujuk pada data konsumsi semen hingga Oktober 2014 yang masih menunjukkan berlanjutnya tren penurunan konsumsi semen (Grafik III.4.13). Diperoleh pula informasi, terjadinya gagal lelang pada sejumlah proyek pembangunan fisik yang didanai APBD, terkait dengan kendala dalam implementasi sistem online pengadaan. Meski demikian, intensitas pembangunan fisik sejumlah proyek pembangunan infrastruktur skala besar berpotensi meningkat, khususnya pada konstruksi proyek terminal peti kemas Kalibaru yang ditargetkan selesai pada akhir 2014. Demikian pula dengan proyek MRT yang telah masuk pada pengerjaan tunnel bawah tanah. Terbatasnya pertumbuhan sektor konstruksi juga dipengaruhi oleh prospek properti yang belum akan membaik pada triwulan IV 2014. Hal tersebut dikonfirmasi oleh perusahaan pengembang maupun konsultan jasa real estate di Jakarta. Data pertumbuhan harga jual properti residensial yang merupakan proksi tekanan permintaan juga masih menunjukkan kecenderungan melambat (Grafik III.4.14). Kenaikan suku bunga kredit konstruksi dan ketentuan KPR indent rumah kedua juga menjadi kendala bagi sejumlah pengembang/kontraktor untuk memulai pembangunan. 700 Ribu Ton %, yoy 100 % yoy 25 600 80 500 60 400 40 15 300 20 10 200 0 100 -20 20 5 0 0 -40 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 Konsumsi Semen (ribu ton) 2013 2014 g.Konsumsi Semen (skala kanan) Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III* 2011 2012 gHarga Jual Residensial Tipe Kecil 2013 2014 Tipe Menengah Tipe Besar Sumber : CEIC diolah Grafik III.4.13. Konsumsi Semen di Jakarta Grafik III.4.14. Pertumbuhan Harga Properti Residensial di Jakarta PERKEMBANGAN INFLASI Tekanan inflasi di Jakarta pada triwulan III 2014 lebih besar dibandingkan triwulan sebelumnya sebagai pengaruh dari pola musiman Lebaran, dimana terjadi kenaikan permintaan cukup signifikan khususnya ke komoditas pangan dan sandang. Akan tetapi inflasi Jakarta pada periode Lebaran 2014 ini relatif lebih lemah dibandingkan tahun sebelumnya, terkait dengan tren perlambatan konsumsi domestik. Dari kelompok administered price, inflasi dipicu oleh kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) secara bertahap oleh pemerintah sebagai upaya penghematan subsidi energi. Selain itu, kenaikan harga gas LPG 12 kg sebesar Rp1.500/kg di awal September 2014 juga memberikan dampak yang signifikan terhadap inflasi. Di kelompok volatile food, inflasi selama periode laporan dipicu oleh kenaikan harga daging sapi, beras, dan bawang merah pada periode menjelang Lebaran. Tekanan inflasi ini berangsur normal kembali di akhir triwulan III 2014 sejalan dengan stabilnya pasokan. Dari kelompok core inflation, sempat terjadi kenaikan core inflation yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata lima tahunannya. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga emas dan juga harga sewa/kontrak rumah yang dipengaruhi oleh kenaikan TTL. Namun, pada akhir periode laporan, koreksi harga emas membuat komponen core inflation menurun cukup signifikan. Inflasi Jakarta pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 4,84% (yoy). Pada Oktober 2014, inflasi Jakarta tercatat sebesar 5,17% (yoy) dengan sumber tekanan inflasi bersumber dari kelompok administered prices, yaitu penyesuaian tarif listrik, kenaikan harga bahan bakar rumah tangga (LPG), dan tarif angkutan udara. Inflasi Jakarta pada triwulan IV 2014 diprakirakan meningkat dengan pengaruh terbesar Laporan Nusantara| 89 masih dari kebijakan pemerintah (administered prices) dan faktor global. Penyesuaian bertahap TDL yang berakhir pada November 2014 masih akan memberikan dampak terhadap inflasi. Selain itu, juga terdapat risiko kelangkaan dan meningkatnya harga LPG 3 kg sebagai pengaruh kenaikan harga LPG 12 kg. Faktor risiko lain yang sangat signifikan adalah rencana kenaikan harga BBM untuk mengurangi subsidi energi. Hal ini akan mendorong kenaikan tarif angkutan serta harga-harga barang dan jasa. Dari komponen volatile foods, tekanan inflasi bersumber dari lonjakan harga cabai dan potensi kenaikan harga beras terkait dengan kinerja produksi dan dampak dari kekeringan di sejumlah sentra produksi. Sementara itu, tekanan pada komponen core inflation berasal dari depresiasi nilai tukar terkait dengan kondisi neraca perdagangan dan kenaikan ekspektasi inflasi sebagai pengaruh dari potensi kenaikan harga BBM. Di sisi lain, kenaikan harga emas dan harga minyak diperkirakan akan lebih moderat. Harga minyak ke depan diprediksi belum akan meningkat signifikan, sejalan dengan melambatnya perekonomian Tiongkok dan masih lemahnya ekonomi Eropa. Koordinasi Pengendalian Inflasi Perkembangan inflasi Jakarta dalam beberapa triwulan terakhir yang selalu di atas nasional, menjadi perhatian Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi DKI Jakarta. Sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi Jakarta dalam kisaran target sasaran inflasi 4,5%±1%, dilakukan Rapat Tim Kebijakan pada September 2014 yang secara khusus mencermati dinamika tren inflasi Jakarta. Berdasarkan hasil analisis, sejumlah faktor yang menyebabkan lebih tingginya inflasi Jakarta dibandingkan nasional (Grafik III.4.16) adalah sebagai berikut: 1) Meningkatnya intensitas dampak dari banjir pada inflasi Jakarta. Banjir yang melanda Jakarta dalam 3 tahun terakhir selalu menjadi penyebab lonjakan inflasi di awal tahun. Terkait dengan hal tersebut, direkomendasikan adanya upaya pengendalian banjir yang lebih efektif. 2) Kenaikan upah minimum yang cenderung lebih cepat dibandingkan peningkatan produktivitas. Kenaikan upah minimum ini juga memberikan dampak pada peningkatan upah secara keseluruhan di Jakarta. Dalam kaitan tersebut, perlu terdapat upaya untuk meningkatkan produktivitas pekerja dan daya saing. 3) Dampak pelemahan nilai tukar rupiah pada inflasi inti di Jakarta yang memengaruhi sebagian barang impor. %, mtm 3.5 Kenaikan BBM 3.0 2.5 2.0 1.5 Lebaran 1.0 Banjir Lebaran Banjir Lebaran Banjir 0.5 0.0 (0.5) 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 (1.0) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik III.4.15. Perkembangan Inflasi Jakarta 2012 Jakarta 2013 2014 Nasional Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik III.4.16. Inflasi Jakarta dan Nasional STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Pembiayaan keuangan korporasi cukup terjaga di tengah melemahnya kinerja perekonomian dan stance kebijakan moneter ketat. Secara total, penyaluran kredit perbankan tumbuh sebesar 13,1% (yoy) atau melambat signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan II 2014 yang mencapai 18,8% (yoy) (Grafik III.4.17). Berdasarkan jenis kredit, perlambatan terjadi pada kredit konsumsi dan kredit modal kerja (Grafik III.4.18). Dari sisi sektoral, Laporan Nusantara| 90 penyaluran kredit ke perusahaan jasa real estate atau properti mengalami penurunan terdalam, sejalan dengan melambatnya kinerja bisnis properti komersial (Grafik III.4.19). Penyaluran kredit ke perusahaan perdagangan besar dan eceran serta industri pengolahan juga menunjukkan perlambatan. Adapun perlambatan kredit di usaha perdagangan terutama pada kredit modal kerja. Sementara di sektor industri, melambatnya kredit ditengarai sebagai dampak dari terbatasnya ekspansi industri yang sebagian besar produknya berorientasi pada pasar domestik. Sementara itu, korporasi multinasional lebih mengandalkan pembiayaan dari sindikasi lembaga keuangan di luar negeri serta pembiayaan internal untuk ekspansi. Dana pihak ketiga (DPK) tercatat masih mengalami peningkatan dengan tumbuh sebesar 16% (yoy) pada triwulan III 2014. Sementara itu, loan to deposit ratio (LDR) mengalami penurunan menjadi sebesar 88% pada periode laporan. Meskipun terdapat potensi tertahannya ekspansi bisnis dengan melambatnya penyaluran kredit, namun kebijakan menahan pertumbuhan kredit diperlukan dalam mendukung stabilitas sistem keuangan. Hal ini merujuk pada indikasi meningkatnya nonperforming loan (NPL) dan ketatnya kondisi likuiditas semenjak awal 2014. Seiring dengan melambatnya perekonomian, kinerja pendapatan korporasi cenderung melemah dan memengaruhi 7 kondisi keuangan serta kemampuan untuk melakukan pembayaran bunga kredit. Saat ini, korporasi cenderung lebih berhati-hati dalam menggunakan pembiayaan kredit, salah satunya dengan melakukan pencairan kredit di bawah plafon yang telah diberikan. Dalam menyikapi tren peningkatan NPL, perbankan juga cenderung lebih selektif dan berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Triliun Rp 1,400 % yoy 35 50 % yoy 40 1,200 30 1,000 25 800 20 600 15 0 400 10 (10) 200 5 (20) 0 0 30 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 Kredit 2013 g.Kredit 2014 Grafik III.4.17. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan 20 10 (30) 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 gKredit Modal Kerja gKredit Investasi 2013 2014 gKredit Konsumsi Grafik III.4.18. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan Secara umum rasio NPL di Jakarta masih terjaga di bawah ambang batas risiko (5%). Rasio NPL di sektor perdagangan dan industri meskipun dalam tren meningkat, tercatat masing-masing masih sebesar 1,8% dan 2,5% pada akhir triwulan III 2014. Namun, indikator probability of default (POD) menunjukkan tren penurunan baik di sektor perdagangan maupun industri. Pada akhir triwulan III 2014, POD yang relatif tinggi dicatatkan oleh perdagangan eceran dan industri yang memiliki ketergantungan impor cukup tinggi. Depresiasi nilai tukar yang menyebabkan kenaikan biaya produksi diperkirakan memengaruhi kondisi keuangan, terutama pada korporasi yang memiliki keterbatasan dalam melakukan passthrough harga ke konsumen akhir. Sementara itu, rasio NPL terhadap total kredit di sektor real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan tercatat sekitar 1%, lebih rendah dibandingkan dengan akhir 2 triwulan terakhir. Rasio NPL di sektor konstruksi yang terkait dengan subsektor real estate juga cenderung menurun (Grafik III.4.20). Sama halnya dengan POD di sektor perumahan dan konstruksi yang dalam tren penurunan pada akhir triwulan laporan. Hal ini perlu menjadi perhatian ke depan, mengingat tren perlambatan sektor konstruksi belum sepenuhnya tercermin pada pemburukan kualitas kredit. 7 Hasil survei kegiatan dunia usaha juga mengindikasikan sentimen negatif terhadap situasi bisnis, terkait dengan lesunya kegiatan usaha. Laporan Nusantara| 91 % yoy 100 4. INDUSTRI PENGOLAHAN 7. PERDAGANGAN BESAR DAN ECERAN 10. PERANTARA KEUANGAN 11. REAL ESTATE, USAHA PERSEWAAN, DAN JASA PERUSAHAAN 80 5.00 % Rasio NPL Industri Rasio NPL Perdagangan 4.50 Rasio NPL Konstruksi 4.00 Rasio NPL Real Estate & Jasa Perusahaan 3.50 60 3.00 40 2.50 2.00 20 1.50 1.00 0 0.50 (20) 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 2013 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2014 2011 Grafik III.4.19. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi 2012 2013 2014 Grafik III.4.20. Rasio NPL Kredit Sektor Utama Perbankan Ketahanan Sektor Rumah Tangga Di tengah melambatnya kredit sektor rumah tangga, ketahanan sektor rumah tangga relatif masih terjaga pada triwulan III 2014 (Grafik III.4.21). Sejumlah regulasi yang dikeluarkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, diantaranya ketentuan LTV, down payment, dan KPR indent rumah kedua turut berpengaruh pada melambatnya penyaluran kredit perumahan yang memiliki pangsa terbesar. Berdasarkan jenisnya, pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR) baik tipe 22 – 70 m2 maupun di atas tipe 70 m2 tumbuh melambat pada periode laporan, sejalan dengan tren peningkatan suku bunga. Meski relatif stabil, rasio NPL pada sejumlah kredit perumahan masih berada di level yang cukup tinggi (Grafik III.4.23). Salah satu yang perlu dicermati adalah tingginya rasio NPL untuk kredit pemilikan apartemen (KPA) dengan luas di bawah 21 meter persegi (m2). Rasio NPL KPA sampai dengan tipe 21 m2 tercatat sebesar 3,2%. Sedangkan untuk kredit pembelian ruko/rukan dan KPR tipe 22 – 70 m2, rasio NPL mencapai sekitar 2,4%. Sementara itu, kredit kendaraan bermotor relatif tumbuh stabil dan sebaliknya, kredit multiguna tumbuh meningkat. Gambaran yang berbeda terlihat pada kinerja penyaluran pembiayaan oleh lembaga keuangan (LK) non perbankan yang dalam tren melambat(Grafik III.4.22). Perlambatan pembiayaan oleh LK non perbankan yang cukup signifikan adalah pada pembiayaan leasing kendaraan bermotor. Dari sisi risiko kredit, NPL pada kedua jenis kredit tersebut tetap dalam tren meningkat dari semenjak awal 2014. Meski demikian, peningkatan NPL kendaraan bermotor roda dua dan empat relatif kecil dan jauh di bawah ambang batas risiko (Grafik III.4.24) % yoy 170 KPR Tipe 22 s.d. 70 KPR Tipe > 70 90 Roda Empat Multiguna 80 %, yoy 70 120 60 50 70 40 30 20 20 10 (30) 0 -10 (80) 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 2013 2014 Grafik III.4.21. Perkembangan Kredit Perbankan ke Rumah Tangga 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 gTotal Pembiayaan 2013 gLeasing 2014 gPembiayaan Konsumen Grafik III.4.22. Kinerja Penyaluran Kredit LK NonPerbankan Laporan Nusantara| 92 6 % 5 5 4 4 3 3 2 2 1 1 0 0 -1 % 6 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9 2011 2012 2013 Rasio NPL KPR Tipe 22 s.d. 70 Rasio NPL Ruko/ Rukan 2011 2014 2012 2013 Rasio NPL Sepeda Motor Rasio NPL KPA s.d. Tipe 21 2014 Rasio NPL Keperluan Multiguna Rasio NPL Roda Empat Grafik III.4.23. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga Grafik III.4.24. Rasio NPL Kredit Konsumsi Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Pertumbuhan penyaluran kredit di sektor UMKM di Jakarta masih dalam tren yang meningkat pada triwulan III 2014. Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 14,6% (yoy) pada akhir September 2014, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 10,4% (yoy). Relatif terjaganya tingkat suku bunga UMKM yang tercatat sebesar 12,35% pada akhir triwulan III 2014, turut mendukung kinerja penyaluran kredit UMKM di Jakarta. Adanya ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengalokasikan 15% dari total kredit ke UMKM pada tahun 2015, diprediksi akan menjadi faktor utama pendorong penyaluran kredit UMKM ke depan. Namun, perlu dicermati kenaikan NPL UMKM seiring dengan meningkatnya pertumbuhan kredit. Rasio NPL UMKM tercatat sebesar 2,9% pada akhir triwulan III 2014, jauh lebih tinggi daripada rasio NPL pada akhir triwulan II 2014 yang hanya mencapai 2,3%. Kinerja Sistem Pembayaran Perlambatan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta juga tercermin kinerja sistem pembayaran dengan menurunnya nilai transaksi RTGS pada triwulan III 2014. Nilai transaksi RTGS turun dari Rp46,6 triliun pada triwulan II 2014 menjadi Rp44,6 triliun pada triwulan III 2014. Dilihat dari sisi volume transaksi, transaksi RTGS juga mengalami penurunan dari rata-rata 18.189 warkat per hari menjadi 15.399 warkat per hari. Penurunan transaksi dan volume RTGS mengindikasikan pula penurunan kecepatan peredaran uang di Jakarta, sejalan dengan melemahnya aktivitas perekonomian dan investasi. Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Sesuai dengan data pada triwulan III 2014, Jakarta mengalami net outflow sebesar Rp31,7 triliun. Peningkatan outflow yang tercatat lebih besar dibanding dengan inflow terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Pemilu 2014 dan pemenuhan kebutuhan uang pada masa puasa dan Lebaran. Adapun temuan uang palsu di wilayah Jakarta tetap melanjutkan tren penurunan sejalan dengan semakin ketatnya pengawasan. Ribu lembar 1,200,000 1,000,000 60 4,500,000 50 4,000,000 3,500,000 800,000 600,000 30 2,500,000 20 1,500,000 1,000,000 200,000 500,000 - I II III IV 2012 I II III IV 2013 Volume I II 2014 Nominal (skala kanan) Grafik III.4.25. Transaksi Kliring III 40 3,000,000 2,000,000 400,000 Triliun Rp Rp Miliar 5,000,000 10 0 I (10) II III 2010 IV I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 (20) (30) Inflow Outflow Net Outflow (40) Grafik III.4.26. Inflow - Outflow Laporan Nusantara| 93 PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Jakarta diprakirakan tumbuh relatif stabil pada kisaran 5,8% - 6,2% (yoy) di 2015. Meskipun demikian, perekonomian Jakarta masih dihadapkan pada beberapa tantangan yang berpotensi menahan laju pertumbuhan di 2015. Peningkatan upah dan biaya hidup maupun biaya produksi, relokasi industri terkait lahan, dan masih melambatnya sektor properti diprediksi akan menjadi penahan ekonomi Jakarta untuk tumbuh lebih tinggi di 2015. Di sisi lain, resiliensi konsumsi kelas menengah diprediksi masih terjaga, iklim investasi akan semakin membaik dan ekspor akan mengalami peningkatan dengan perbaikan ekonomi global dan sistem logistik, termasuk pengoperasian terminal peti kemas Kalibaru. Stabilitas politik dan ekonomi makro juga akan mendukung stabilnya perekonomian Jakarta ke depan. Di sisi sektoral, peningkatan kinerja diproyeksikan pada sektor industri pengolahan dan sektor jasa keuangan, persewaan, jasa perusahaan. Pemberlakuan pasar tunggal ASEAN 2015 diprediksi belum akan memberikan keuntungan pada perekonomian Jakarta dalam jangka pendek. Peningkatan ekspor jasa Jakarta dalam kerangka kerja sama MEA cenderung masih terhambat oleh kendala infrastruktur dan rendahnya daya saing. Prospek Inflasi Prospek inflasi Jakarta pada 2015 diprakirakan melambat ke kisaran 4,3% - 4,7% (yoy) dengan (skenario baseline). Namun, dengan kenaikan harga BBM sebesar Rp3.000,- di akhir tahun 2014, maka inflasi Jakarta diprediksi akan berada pada kisaran 5,8% - 6,2% (yoy) pada 2015. Hal tersebut terkait dengan peningkatan ekspektasi inflasi dan dampak lanjutan ke tarif angkutan darat. Meningkatnya ekspektasi inflasi tercermin dari hasil survei konsumen semenjak bulan Oktober 2014. Ditengarai sebagian pelaku usaha telah melakukan penyesuaian harga untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM. Dinamika ekonomi makro, khususnya pergerakan nilai tukar juga turut memengaruhi realisasi inflasi Jakarta di 2015. Tekanan nilai tukar yang berpotensi menurun dengan adanya kenaikan harga BBM akan mendukung terjaganya inflasi inti di Jakarta. Selain itu, prospek harga emas dan minyak yang menurun juga menjadi faktor positif bagi inflasi Jakarta, di tengah risiko peningkatan inflasi administered prices, khususnya berupa penyesuaian biaya energi. Laporan Nusantara| 94 Tabel III.4.1.Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jakarta Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2012 2013 2014 2015 II III IVp Totalp Ip Totalp 6.1 I 6.0 6.1 6.0 6.1 6.1 5.8 - 6.2 5.8 - 6.2 I II III IV Total 6.5 6.5 6.3 6.2 5.6 Sisi Permintaan 5.8 5.3 5.6 6.2 5.6 5.7 6.4 5.7 5.7 5.8 5.9 5.0 - 5.4 5.4 - 5.8 Konsumsi swasta 6.3 5.7 5.9 6.0 5.7 5.8 6.1 6.1 5.8 6.0 6.0 5.6 - 6.0 5.6 - 6.0 Konsumsi Pemerintah 1.1 0.4 2.8 9.5 5.2 4.7 10.7 1.0 3.9 4.4 5.7 2.2 - 2.6 3.6 - 4.0 9.0 5.9 5.0 4.7 5.3 5.3 5.8 4.2 2.1 2.5 3.9 2.8 - 3.2 2.9 - 3.3 Ekspor 6.3 5.7 4.7 3.3 0.6 3.5 0.5 0.8 2.8 3.5 2.5 3.4 - 3.8 3.7 - 4.1 Impor 7.0 4.3 3.2 2.2 0.1 2.5 0.1 -1.1 -0.1 0.9 0.7 1.1 - 1.5 1.3 - 1.7 0.7 - 1.1 0.2 - 0.6 Konsumsi Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi 0.8 1.5 0.7 2.7 1.8 1.6 1.5 0.9 (1.2) 0.7 0.9 (0.9) (0.4) (0.7) (1.0) (1.3) (0.8) (1.6) (1.6) (1.6) (0.8) (1.1) Industri pengolahan 2.4 1.9 1.5 2.8 3.3 2.4 3.9 3.4 3.0 3.4 3.5 3.2 - 3.6 3.3 -3.7 Listrik, gas & air bersih 4.5 3.8 2.6 1.7 2.5 2.9 2.1 2.6 2.4 3.1 2.8 1.9 - 2.3 1.5 - 1.9 Bangunan 6.9 6.5 6.3 5.7 6.1 5.7 5.8 5.7 5.1 4.9 5.5 4.6 - 5.0 4.7 - 5.1 Perdagangan, hotel & restoran 7.2 7.2 7.2 6.6 4.8 6.4 5.6 5.8 5.5 5.6 5.7 5.2 - 5.6 5.3 - 5.7 Pengangkutan & komunikasi 11.8 11.4 11.4 10.9 9.8 10.8 10.6 11.5 11.4 11.5 11.2 10.3 - 10.7 10.8 - 11.2 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 5.4 5.7 5.4 5.0 4.6 5.2 4.6 4.6 5.2 5.1 4.6 4.8 - 5.2 4.8 - 5.2 7.6 4.5 7.5 7.4 5.7 7.9 8.4 7.4 8.0 7.5 8.0 7.6 7.8 7.3 7.3 7.5 6.9 - 7.3 7.0 - 7.4 7.8 7.1 4.8 5.3 5.3 4.7 - 5.1 4.3 - 4.7 Sektor pertanian Sektor pertambangan & penggalian Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) 5.7 (1.5) - (1.1) (1.6) - (1.2) Sumber: Badan Pus at Statis tik, diolah p Proyeks i Bank Indones ia Laporan Nusantara| 95 Halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Nusantara| 96 Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan III 2014 mencapai 4,5% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,9%. Perlambatan ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera. Dari sisi permintaan, perlambatan ekonomi dipengaruhi oleh perlambatan investasi dan konsumsi rumah tangga akibat perlambatan dua sektor utama Sumatera, yaitu pertanian dan pertambangan. Perlambatan sektor pertanian dipengaruhi oleh menurunnya kinerja perkebunan karet di sejumlah provinsi seperti Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu akibat kekeringan dan harga yang belum membaik. Sementara itu, perlambatan sektor pertambangan disebabkan oleh penurunan produksi minyak di Provinsi Riau dan gas di Provinsi Aceh. Inflasi Sumatera sepanjang triwulan III 2014 berada dalam tren yang menurun didukung pasokan yang terjaga. Beberapa komoditas pangan bahkan mencatat koreksi harga ke bawah, terutama komoditas daging dan aneka bumbu. Selain itu, berakhirnya base effect kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2013 juga membuat inflasi kembali ke pola normalnya yaitu sekitar 4% - 5% (yoy). Kendati demikian, tekanan inflasi di beberapa daerah, seperti di Sumatera Barat, mulai menunjukkan peningkatan akibat permintaan beras dan cabai merah yang tinggi di tengah keterbatasan pasokan. Pertumbuhan pembiayaan ekonomi melalui perbankan di Sumatera pada triwulan III 2014 menunjukkan perlambatan, seiring dengan perlambatan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut. Kredit korporasi tercatat tumbuh sebesar 10,9% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh sebesar 17,6%. Kondisi ini dipengaruhi oleh relatif lambatnya proses perbaikan ekonomi global yang menyebabkan harga internasional beberapa komoditas ekspor utama masih mengalami penurunan. Pelemahan harga komoditas internasional diperkirakan masih berlanjut hingga akhir tahun 2014. Hal ini perlu dicermati, terutama dampaknya terhadap peningkatan nonperforming loan (NPL) pada kredit sektor perkebunan, meskipun saat ini NPL secara umum masih terjaga pada level 3,3%. Sejalan dengan kredit korporasi, kredit yang disalurkan perbankan ke rumah tangga juga tumbuh melambat, yakni dari 10,3% (yoy) menjadi 9,7%, terutama pada kredit pemilikan rumah, ruko, dan apartemen. Pada triwulan IV 2014, kinerja ekonomi Sumatera diperkirakan akan mengalami perbaikan. Investasi yang membaik dan masih tingginya konsumsi rumah tangga menjadi faktor pendukung perbaikan kinerja ekonomi Sumatera. Perbaikan investasi didukung oleh peningkatan pembangunan proyek pemerintah pada akhir tahun. Sementara itu, masih tingginya konsumsi rumah tangga didorong oleh pola musiman akhir tahun serta membaiknya sektor pertanian. Di sisi lain, impor diprakirakan mengalami perlambatan akibat menurunnya impor pupuk untuk kelapa sawit yang telah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Dari sisi sektoral, perekonomian Kawasan Sumatera akan ditopang oleh perbaikan kinerja sektor pertanian, industri pengolahan, dan konstruksi. Sektor pertanian diperkirakan membaik sejalan dengan meningkatnya kinerja perkebunan kelapa sawit di Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Sementara itu, sektor industri pengolahan diperkirakan meningkat, seiring dengan perbaikan kinerja sektor pertanian, produksi makanan dan minuman di Lampung untuk kebutuhan ekspor dan domestik akhir tahun, serta proyek industri pengolahan besi dan baja di Kepulauan Riau yang akan selesai pada akhir tahun. Seiring dengan peningkatan realisasi proyek pemerintah, sektor konstruksi diprakirakan tumbuh membaik. Namun, beberapa faktor risiko diperkirakan masih membayangi perbaikan kinerja ekonomi Sumatera pada triwulan IV 2014. Perlambatan ekonomi Tiongkok dan harga-harga komoditas yang masih cenderung rendah menjadi faktor penahan perbaikan ekonomi Sumatera. Faktor risiko tersebut memengaruhi ekonomi Sumatera melalui jalur ekspor, terutama crude palm oil (CPO) dan karet. Di samping itu, pemanfaatan teknologi baru di bidang pertambangan minyak masih belum mampu meningkatkan lifting minyak. Teknologi baru tersebut hanya mampu menahan laju penurunan lifting minyak. Bila dilihat secara keseluruhan tahun 2014, perekonomian Sumatera diperkirakan akan mengalami perlambatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari sisi permintaan, perlambatan disebabkan oleh menurunnya konsumsi rumah tangga dan ekspor, seiring dengan menurunnya sektor pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan. Perlambatan tersebut memengaruhi pendapatan masyarakat yang bergantung pada sektor-sektor tersebut. Sektor pertanian melambat terutama pada subsektor perkebunan, khususnya komoditas karet dan kelapa sawit akibat harga komoditas CPO yang terus menurun. Kinerja sektor primer lainnya, yaitu pertambangan, masih mengalami kontraksi hingga akhir tahun 2014, akibat penurunan produksi minyak di Riau, gas di Aceh, dan harga komoditas batubara dan timah yang belum membaik. Perlambatan sektor perkebunan dan pertambangan Sumatera tersebut turut memengaruhi perlambatan sektor industri pengolahan Sumatera yang mayoritas mengolah komoditas perkebunan dan pertambangan. Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi di kawasan Sumatera kembali meningkat. Pada bulan Oktober 2014, inflasi tercatat sebesar 4,65% (y.o.y) terutama bersumber dari administered price. Kenaikan harga LPG 12 kg terindikasi ikut mendorong kenaikan permintaan dan harga LPG 3 kg. Selain itu, kenaikan tarif listrik dan batas atas tarif angkutan udara turut mendorong tekanan inflasi yang lebih tinggi. Atas dasar itu, laju inflasi pada akhir triwulan IV diperkirakan lebih tinggi daripada triwulan III. Seperti di kawasan-kawasan lain, salah satu faktor risiko terhadap inflasi di Sumatera adalah rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Menghadapi berbagai risiko tersebut, koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) semakin diperlukan untuk memperoleh solusi pencegahan dampak lanjutan dari kebijakan administered price yang diambil pemerintah, sehingga tingkat inflasi sepanjang tahun 2014 relatif dapat terjaga. Pada tahun 2015, ekonomi Sumatera diprakirakan tumbuh pada kisaran 4,7% - 5,1%. Ekspor yang membaik, terutama didorong oleh perbaikan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan, menjadi pendukung utama kinerja ekonomi Sumatera. Perbaikan kinerja ekspor tersebut sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia, terutama Eropa dan Amerika Serikat yang menjadi pasar produk perkebunan karet dan industri pengolahan Sumatera. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang diperkirakan masih belum menguat pada tahun 2015 menjadi faktor risiko yang dapat menahan optimisme kinerja ekspor Sumatera, terutama ekspor CPO dan batubara. Selain ekspor, kinerja ekonomi Sumatera tahun 2015 juga akan didorong oleh investasi yang meningkat, terutama investasi bangunan, seperti pembangunan pelabuhan Sungai Lais di Sumatera Selatan dan double track batu bara di lintas Sumatera Selatan-Lampung, serta pembangunan pabrik industri pengolahan semen di Padang dan pabrik ban serta besi-baja di Kepulauan Riau. Inflasi di kawasan Sumatera pada tahun 2015 diprakirakan stabil pada kisaran 4,6% - 5,0% dengan kecenderungan bias ke atas. Beberapa faktor risiko yang diperkirakan akan memengaruhi tekanan inflasi mendatang, antara lain produksi bahan makanan yang tumbuh terbatas akibat pergeseran musim tanam di Sumatera Selatan, Lampung dan Pulau Jawa, berlanjutnya kenaikan TTL rumah tangga kelompok 1500 - 6600 VA dan 450 - 900 VA, serta kenaikan LPG 3 kg. L a p o r a n N u s a n t a r a | 98 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) pada triwulan III 2014 melambat dikontribusi oleh konsumsi rumah tangga dan investasi. Turunnya kinerja konsumsi rumah tangga tidak terlepas dari melemahnya kinerja sektor utama Sumbagsel yaitu pertanian dan industri pengolahan. Sektor pertanian mencatat pertumbuhan yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya, terutama disebabkan oleh perlambatan subsektor perkebunan karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Kondisi subsektor perkebunan karet yang belum kunjung membaik tersebut menyebabkan industri pengolahan hasil perkebunan di Sumbagsel juga turut melambat. Sementara itu, investasi mengalami perlambatan yang cukup dalam, terutama investasi bangunan. Hal ini terkait dengan rendahnya aktivitas di sektor bangunan. Pada triwulan IV 2014, perekonomian Sumbagsel diprakirakan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Sumbagsel diprakirakan bersumber dari konsumsi rumah tangga dan investasi. Masuknya masa panen kelapa sawit, diprakirakan akan berdampak positif bagi petani, terutama dari sisi pendapatan. Hal ini akan menguatkan daya beli dan mendorong aktivitas konsumsi rumah tangga. Selain itu, meningkatnya konsumsi rumah tangga juga dipicu oleh faktor musiman jelang akhir tahun. Aktivitas belanja masyarakat diprakirakan akan meningkat, terkait dengan perayaan Natal dan tahun baru. Selanjutnya, melimpahnya tandan buah segar, hasil panen kelapa sawit, akan memberikan dampak yang positif bagi aktivitas di industri yang mengolah kelapa sawit (CPO). Sementara itu, investasi yang membaik diprakirakan disebabkan oleh membaiknya investasi bangunan, sejalan dengan meningkatnya akitvitas di sektor konstruksi. Berdasarkan perkembangan ekonomi selama triwulan III dan asesmen triwulan IV 2014, pertumbuhan ekonomi Sumbagsel pada tahun 2014 diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Hal tersebut disebabkan oleh belum pulihnya perekonomian global yang berdampak pada harga komoditas internasional yang masih menurun. Kinerja sektor utama Sumbagsel, yang mayoritas mengandalkan produk sumber daya alam, yaitu karet dan CPO, juga terkena imbasnya. Harga komoditas yang belum beranjak membaik menjadi penghambat ekspor Sumbagsel. Selanjutnya, kinerja ekspor yang lebih rendah menahan kegiatan konsumsi rumah tangga dan menurunkan kinerja perekonomian Sumbagsel secara umum. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 melambat dibandingkan dengan triwulan II 2014, yaitu dari 6,1% (yoy) menjadi 5,3% (yoy). Menurunnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut disebabkan oleh perlambatan subsektor perkebunan, yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat Sumbagsel. Kinerja subsektor pertanian yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan menyebabkan nilai tukar petani (NTP), terutama di Sumatera Selatan dan Bengkulu, juga terus menunjukkan pertumbuhan negatif hingga September 2014. Hal tersebut mencerminkan penurunan tingkat kesejahteraan petani. Sejalan dengan hal itu, kredit konsumsi perbankan juga menunjukkan perlambatan dari 10,3% (yoy) menjadi 9,9% (yoy) (Grafik IV.1.1). Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh meningkat. Hasil Survei Konsumen (SK) hingga Oktober 2014 menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik IV.1.2) mengalami peningkatan. Selain itu, beberapa event seperti Pekan Olahraga Mahasiswa Asean dan Festival Film Indonesia L a p o r a n N u s a n t a r a | 99 pada Desember 2014 di Palembang diperkirakan dapat mendorong konsumsi pada triwulan IV 2014. Namun, adanya perlambatan kinerja sektor utama Sumbagsel mengurangi pendapatan masyarakat secara umum, sehingga konsumsi masyarakat tahun 2014 masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2013. Rp Triliun Kredit Konsumsi %yoy gKredit Konsumsi (RHS) 60 60.00 50 50.00 40 40.00 30 30.00 20 20.00 10 10.00 0 0.00 I II III IV I 2011 II III IV I II 2012 III IV 2013 I II IKK 150 IKE IEK 140 130 120 110 100 90 I III II 2014 III IV I II 2011 III IV I II 2012 III IV I II 2013 III IV* 2014 * hingga Oktober 2014 Grafik IV.1.1. Kredit Konsumsi Grafik IV.1.2. Survei Konsumen Konsumsi Pemerintah Konsumsi Pemerintah di wilayah Sumbagsel mengalami peningkatan seiring dengan realisasi gaji ke-13 dan pengadaan barang pemerintah. Konsumsi pemerintah tumbuh dari 5,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 8,8% (yoy) pada triwulan III 2014. Hal tersebut tercermin dari realisasi belanja Pemda di Sumbagsel yang mengalami peningkatan 83,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang mengalami penurunan 6,5% (yoy) (Grafik IV.1.3). Peningkatan belanja pemerintah daerah juga tercermin dari perlambatan giro Pemda di perbankan dari 7,94% (yoy) menjadi 4,92% (yoy) pada triwulan III 2014, (Grafik IV.1.4). Pada triwulan IV 2014, konsumsi Pemerintah diprakirakan melambat setelah tumbuh tinggi pada triwulan III 2014. Kementerian/Lembaga melakukan penghematan anggaran guna mengurangi defisit anggaran. Penghematan dilakukan melalui surat edaran dari pemerintah agar kegiatan pemerintah menggunakan fasilitas negara dikurangi. Meski demikian, konsumsi Pemerintah pada tahun 2014 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2013, sebagai dampak dari besarnya pengeluaran terkait pemilihan umum legislatif dan Presiden yang dilakukan sepanjang tahun 2014. Rp Triliun 12 Pertumbuhan Pendapatan %yoy 160 140 120 100 80 60 40 20 (20) (40) Giro Pemda Pertumbuhan Belanja %yoy 80,00 gGiro Pemda 60,00 10 40,00 8 20,00 6 0,00 4 -20,00 2 I II III 2013 IV I II 2014 Grafik IV.1.3. Pertumbuhan Pendapatan dan Belanja APBD III -40,00 0 -60,00 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III IV 2013 I II III 2014 Grafik IV.1.4. Giro Pemda Investasi Pada triwulan III 2014 investasi menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Realisasi investasi Sumbagteng tercatat tumbuh sebesar 2,2% (yoy), melambat dibandingkan L a p o r a n N u s a n t a r a | 100 dengan triwulan II 2014 sebesar 5,0% (yoy). Turunnya kinerja investasi tersebut disebabkan investasi bangunan yang masih terbatas. Melambatnya kegiatan investasi bangunan juga tercermin dari melambatnya pertumbuhan kredit investasi (Grafik IV.1.5) dan penjualan semen di wilayah Sumbagsel. Pada triwulan IV 2014, investasi diprakirakan meningkat. Data menunjukkan bahwa PMA dan PMDN (Grafik IV.1.6) Sumbagsel masih tumbuh tinggi hingga triwulan III 2014 sehingga diperkirakan investasi pada triwulan mendatang akan mengalami peningkatan. Beberapa pengusaha melakukan investasi seperti replanting perkebunan karet dan pendirian dua pabrik pengolahan karet di Provinsi Lampung, serta ekspansi usaha dengan berdirinya outlet-outlet dealer mobil, cabang perbankan, serta cabang retailer baru di Sumatera Selatan dan Lampung. Bila investasi keseluruhan tahun 2014 dibandingkan dengan tahun 2013, maka pertumbuhan investasi tahun 2014 diprakirakan lebih rendah dari tahun sebelumnya. Hal tersebut terkait dengan perilaku investor yang cenderung menahan realisasi investasi pada tahun 2014. Selain itu, karena kondisi sektor pertanian yang masih belum membaik, para pengusaha menahan investasi di subsektor perkebunan. Rp Triliun Kredit Investasi %yoy gKredit (RHS) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 80 1000 %yoy 800 70 60 50 600 400 PMDN 40 30 20 10 0 I II III 2011 IV I II III IV I 2012 II III 2013 IV I II 2014 Grafik IV.1.5. Penyaluran Kredit Investasi III 200 0 PMA -200 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik IV.1.6. Pertumbuhan Realisasi PMA dan PMDN Perdagangan Luar Negeri Ekspor Pertumbuhan ekspor Sumbagsel pada triwulan III 2014 meningkat signifikan. Lonjakan ekspor tersebut didorong oleh total volume ekspor luar negeri Sumbagsel yang meningkat hingga 26,7% (yoy) dibandingkan dengan volume ekspor luar negeri periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut didorong oleh peningkatan ekspor minyak kelapa sawit, batubara, dan timah yang tumbuh masing-masing hingga 48,9% (yoy), 31,7% (yoy), dan 18,8% (yoy). Peningkatan minyak kelapa sawit disebabkan produksi kelapa sawit yang semakin meningkat menjelang akhir tahun (Grafik IV.1.8). Peningkatan ekspor batubara disebabkan oleh perilaku penambang untuk mengoptimalkan ekspor sebelum diberlakukannya peraturan Eksportir Terdaftar per September 2014. Penjualan timah menunjukkan pertumbuhan 3,3% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, volume ekspor karet masih mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik IV.1.7). Pelemahan rupiah dirasakan dari sisi nilai ekspor yang meningkat tipis 1,5% (yoy) setelah triwulan II 2014 mengalami kontraksi 7,2% (yoy). L a p o r a n N u s a n t a r a | 101 Juta Kg Volume Ekspor CPO Juta kg %yoy 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 -20.00 -40.00 Pertumbuhan Ekspor CPO (RHS) 800 600 400 200 0 I II III IV I II III IV I II III IV I 2011 2012 2013 II III 300 %yoy Volume Ekspor Karet 35.00 Pertumbuhan Ekspor Karet (RHS) 30.00 250 25.00 350 20.00 200 15.00 150 10.00 100 5.00 50 0.00 0 -5.00 I 2014 II III IV I II 2011 Grafik IV.1.7. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit III IV I II 2012 III IV I 2013 II III 2014 Grafik IV.1.8. Perkembangan Ekspor Karet Pada triwulan IV 2014, ekspor Sumbagsel diprakirakan akan mengalami kontraksi. Kabut asap, yang melanda hingga Oktober 2014, diperkirakan cukup mengganggu kinerja ekspor pada triwulan ini. Pekatnya asap tersebut membuat Pelindo melakukan pengaturan jadwal kapal masuk dan keluar, karena jarak pandang yang terbatas dan dikhawatirkan mengakibatkan tabrakan antarkapal. Selain itu, ekspor di Lampung diperkirakan melambat setelah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Di sisi lain, ekspor batubara diperkirakan melambat akibat peraturan pengendalian ekspor batubara terbaru, yaitu Eksportir Terdaftar. Secara keseluruhan tahun 2014, ekspor diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013 akibat harga komoditas yang masih belum membaik. Impor Volume impor Sumbagsel pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 24,5% (yoy), melambat cukup dalam dibandingkan periode sebelumnya sebesar 59,3% (yoy) (Grafik IV.1.9). Namun, dampak depresiasi rupiah dirasakan cukup signifikan sehingga secara nilai, impor Sumbagsel tumbuh 38,8% (yoy). Perlambatan impor yang cukup signifikan terutama terjadi pada barang modal (Grafik IV.1.10) dan bahan baku khususnya mesin, peralatan industri serta pupuk. Volume Ekspor gVolume Ekspor (RHS) Juta kg 7,000 Volume Impor %yoy gVolume Impor (RHS) 200 Juta Ton 150 5,000 100 4,000 3,000 50 %yoy Barang Modal gBarang Modal (Skala Kanan) 70 6,000 350 300 60 250 50 200 40 150 30 100 2,000 0 1,000 50 20 0 10 0 -50 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 -50 0 -100 I II III 2012 Grafik IV.1.9. Perkembangan Ekspor Impor Luar Negeri IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik IV.1.10. Perkembangan Impor Barang modal Impor diperkirakan akan tumbuh melambat pada triwulan IV 2014. Terbatasnya kegiatan ekspor impor di pintu masuk Lampung diperkirakan akan menghambat pertumbuhan impor Sumbagsel. Selain itu, impor pupuk diperkirakan akan melambat karena telah memasuki puncaknya pada triwulan III 2014. Secara keseluruhan tahun, kinerja impor tahun 2014 diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013, seiring dengan perlambatan konsumsi rumah tangga Sumbagsel. L a p o r a n N u s a n t a r a | 102 Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Sektor pertanian pada triwulan III 2014 tumbuh terbatas karena menurunnya kinerja subsektor perkebunan karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Sektor pertanian Sumbagsel tumbuh sebesar 1,0% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan II 2014 sebesar 3,0% (yoy). Lebih rendahnya pertumbuhan tersebut terutama disebabkan oleh perlambatan subsektor perkebunan karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Kondisi perkebunan karet yang belum membaik tersebut ditandai dengan rendahnya harga karet. Kebijakan pemerintah daerah melalui Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan terkait implementasi bokar (bahan olahan karet) bersih Sumatera Selatan, dalam rangka meningkatkan nilai tambah karet, belum diimplementasikan dengan sempurna, akibat belum adanya ketegasan dalam pelaksanaannya. Penurunan kinerja perkebunan karet ini sudah dirasakan di pasar retail dan kegiatan penghimpunan dana di wilayah perkebunan karet. Sementara itu, sektor pertanian tanaman bahan makanan (tabama) Lampung masih tumbuh sehingga dapat menahan perlambatan Sumbagsel lebih dalam lagi. Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014 diperkirakan membaik. Produksi perkebunan kelapa sawit Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Bengkulu diperkirakan mencapai puncaknya pada akhir tahun. Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hingga Oktober 2014 mulai menunjukkan perbaikan atau tumbuh 27,5% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik IV.1.11). Angka produksi tanaman bahan makanan (tabama) di Sumatera Selatan juga menunjukkan peningkatan. Angka proyeksi subround III (September-Desember 2014) tumbuh 9,6% (yoy) atau meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mengalami kontraksi. Data produksi karet hingga Oktober 2014 masih terkontraksi 7,3% (yoy), namun, secara volume masih relatif stabil (Grafik IV.1.12). Sektor pertanian Sumbagsel pada keseluruhan tahun 2014 diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013 karena faktor harga yang masih belum membaik sehingga mengurangi motivasi petani, khususnya karet untuk berproduksi. Prospek karet masih terbatas karena banyaknya permasalahan di lapangan seperti tata niaga yang belum baik, edukasi petani yang tidak menyeluruh, dan tidak diterapkannya peraturan bahan olahan karet (bokar) bersih hingga saat ini. Rp/kg 2,500 Harga TBS % Kenaikan (Sumbu Kanan) %yoy 60.00 50.00 2,000 40.00 30.00 1,500 20.00 10.00 1,000 0.00 -10.00 500 -20.00 0 -30.00 I II III IV I 2012 II III 2013 IV I II III IV* 2014 Ribu Ton 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 - Sumbagsel Pertumbuhan (RHS) %yoy 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 2012 2013 2014 Sumber: Gapkindo Sumatera Selatan Grafik IV.1.11. Harga TBS Kelapa Sawit Grafik IV.1.12. Produksi Karet Sektor Pertambangan Sektor pertambangan Sumbagsel pada triwulan III 2014 mengalami perbaikan seiring dengan peningkatan produksi migas dan timah. Sektor pertambangan mengalami peningkatan dari 1,2% (yoy) menjadi 4,6% (yoy). Realisasi ini cukup tinggi dibandingkan periode-periode sebelumnya. Hal tersebut terutama didorong oleh kinerja pertambangan Sumatera Selatan yang meningkat. Penambang batubara mengejar hasil produksi batubara pada September 2014 sebelum peraturan Eksportir Terdaftar berlaku L a p o r a n N u s a n t a r a | 103 pada 1 Oktober 2014. Peningkatan kinerja sektor pertambangan juga tercrmin dari peningkatan volume ekspor batubara yang menjadi 4,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi. 7 2012 9 11 1 3 5 7 2013 9 11 1 3 5 7 9 17000.0 2014 Sumber: IHS McCloskey (Perkiraan) Grafik IV.1.13. Perkiraan Produksi Batubara 11* 5 9 3 10 1 8 18000.0 -60 7 0 19000.0 -40 6 200 5 400 20000.0 -20 4 600 21000.0 0 Bloomberg 3 800 22000.0 20 1… 1000 40 2 1200 BKDI 12 1400 USD/MT 11 1600 23000.0 10 1800 %yoy 60 8… 24000.0 gProduksi Batubara (RHS) 9 Produksi Batubara kt Sumber: Bursa Komoditas Derivatif Indonesia, Bloomberg Grafik IV.1.14. Harga Timah Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diprakirakan mulai melambat dibandingkan dengan triwulan III 2014, sejalan dengan sudah diberlakukannya peraturan ekspor batubara dan penertiban izin usaha penambangan. Salah satu produksi minyak lepas pantai di Lampung akan berhenti beroperasi pada triwulan ini dan belum adanya penemuan sumur baru, sehingga produksi migas masih akan terbatas. Di sisi lain, harga komoditas timah mulai menunjukkan perbaikan pada November 2014 (Grafik IV.1.14). Kondisi ini diperkirakan akan meningkatkan kinerja pertambangan timah. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan pertambangan Sumbagsel diperkirakan sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2013. Produksi batubara keseluruhan tahun 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu, seiring mulai beroperasinya jalan khusus batubara pada pertengahan tahun 2014. Sektor Industri Pengolahan Pertumbuhan sektor industri pengolahan di Sumbagteng melambat seiring dengan perlambatan subsektor perkebunan. Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 4,6% (yoy), setelah tumbuh tinggi mencapai 7,2% (yoy) pada triwulan II 2014. Kinerja industri pengolahan di Lampung juga tumbuh terbatas, sebagaimana dicerminkan oleh impor bahan baku penolong (mayoritas industri makanan dan minuman) yang melambat. Pada triwulan IV 2014, industri pengolahan diprakirakan mulai tumbuh membaik, seiring dengan perbaikan kinerja subsektor perkebunan. Hal tersebut diindikasi oleh indeks perkiraan kegiatan usaha SKDU sektor industri pengolahan, yang menunjukkan pertumbuhan dari 0,20 menjadi 1,38. Produksi makanan dan minuman di Lampung diperkirakan mencapai puncaknya pada triwulan IV 2014 untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor menjelang akhir tahun. Meski demikian, dengan harga komoditas internasional karet (Grafik IV.1.15) dan CPO (Grafik IV.1.16) yang belum mengalami perbaikan, diperkirakan pertumbuhan tersebut masih akan minimal. Secara keseluruhan tahun 2014, sektor industri pengolahan diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013, sejalan dengan perlambatan di subsektor perkebunan. L a p o r a n N u s a n t a r a | 104 Sumber : Bloomberg Sumber: Bloomberg * sampai pertengahan November 2014 * sampai pertengahan November 2014 Grafik IV.1.15. Harga Karet Internasional Grafik IV.1.16. Harga CPO Internasional PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Sumbagsel sepanjang triwulan III 2014 masih melanjutkan tren penurunan. Inflasi terendah tercatat di Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebesar 3,35% (yoy) dan inflasi tertinggi tercatat di Provinsi Bengkulu sebesar 5,83% (yoy) (Grafik IV.1.18). Tekanan volatile food pada triwulan ini terpantau minimal, terutama karena pasokan yang terjaga. Bahkan inflasi volatile food mengalami deflasi secara tahunan pada bulan Juli-Agustus 2014, terendah dalam lima tahun terakhir. Koreksi harga terutama terjadi pada komoditas daging serta bumbu-bumbuan. Di sisi lain, tekanan inflasi kelompok inti relatif stabil. Fluktuasi harga emas internasional membuat komoditas emas perhiasan mengalami koreksi pada triwulan III 2014 ini. Selain itu, ekspektasi masyarakat relatif terjaga dengan baik, tercermin dari kenaikan inflasi pada perayaan Idul FItri yang tidak setinggi periode sebelumnya. Tekanan administered prices pun berkurang dengan berakhirnya base-effect dari kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan pada tahun 2013. Pada triwulan ini, inflasi Sumbagsel kembali ke pola normalnya yaitu berada pada kisaran 4% - 5%. Laju inflasi Sumbagsel mulai menunjukkan peningkatan pada Oktober 2014. Inflasi Oktober 2014 tercatat 4,15% (yoy). Meningkatnya inflasi, terutama didorong oleh komoditas cabai, dipengaruhi oleh berkurangnya pasokan akibat kekeringan yang melanda sejumlah sentra produksi cabai. Selain cabai, komoditas beras juga berkontribusi pada peningkatan tekan inflasi di Sumbagsel, sejalan dengan masuknya musim tanam di Jawa dan gagal panen di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Dari sisi administered prices, dorongan inflasi disebabkan oleh kenaikan tarif listrik, harga bahan bakar rumah tangga dan tarif angkutan udara. Tekanan inflasi yang cenderung meningkat diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun 2014. Hal ini disebabkan oleh beberapa kebijakan administered prices yang diperkirakan akan meningkatkan tekanan inflasi seperti kenaikan Tarif Tenaga Listrik untuk industri dan beberapa golongan rumah tangga, harga LPG, kenaikan batas atas tarif angkutan udara, serta pembatasan penyaluran BBM bersubsidi. L a p o r a n N u s a n t a r a | 105 %yoy IHK Umum 20.00 Core Volatile Foods Adm. Price %yoy 12.00 15.00 Sumbagsel Nasional Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung 10.00 8.00 10.00 6.00 5.00 4.00 2.00 0.00 1 -5.00 3 7 2012 9 11 1 3 5 7 9 2013 11 1 3 5 2014 7 9 0.00 I II III 2012 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.1.17. Disagregasi Inflasi IV I II III 2013 IV I II III 10 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.1.18. Perkembangan Inflasi Sumbagsel Koordinasi Pengendalian Inflasi Pembentukan TPID di Sumbagsel terus mengalami peningkatan. Hingga September 2014 telah terbentuk sebanyak 20 TPID di wilayah Sumbagsel, dengan TPID di setiap provinsi, 4 TPID kota/kabupaten di Sumatera Selatan, 3 TPID kota/kabupaten di Bangka Belitung, 7 TPID kota/kabupaten di Lampung, serta 2 TPID kota/kabupaten di Bengkulu. TPID yang baru terbentuk pada triwulan III 2014 yaitu TPID Kabupaten Lahat di Sumatera Selatan. Menjelang pengujung akhir tahun, terdapat beberapa kebijakan terutama administered prices yang diperkirakan akan meningkatkan tekanan inflasi seperti produksi bahan pangan yang terbatas serta rencana Pemerintah untuk meningkatkan harga BBM bersubsidi. Guna mengurangi dampak lanjutan dari rencana kenaikan BBM bersubsidi tersebut, TPID melakukan beberapa langkah di antaranya melakukan pemantauan harga secara intensif serta pengendalian tarif angkutan publik. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Perlambatan kredit masih terus berlanjut hingga triwulan III 2014 (Grafik IV.1.19). Perlambatan tersebut sejalan dengan kinerja sektor utama Sumbagsel, yaitu pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan yang menurun. Total kredit tercatat tumbuh 13,6% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 22,9% (yoy). Secara nominal, kredit sektoral tercatat sebesar Rp110,8 triliun, dengan pangsa terbesar berasal dari Sumatera Selatan sebesar 53,5%, selanjutnya disusul Lampung (32,6%), Bangka Belitung (7,8%), dan Bengkulu (6,2%). Rata-rata suku bunga kredit sektoral tercatat sebesar 12,59% pada triwulan III 2014, sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 12,55%. Jika dilihat dari jenis penggunaan kredit, perlambatan kredit terjadi baik pada kredit modal kerja maupun kredit investasi. Sementara itu, jika dilihat dari sektor ekonomi, perlambatan terjadi di seluruh sektor utama (Grafik IV.1.20). Indeks Ekspektasi Usaha dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), menunjukkan bahwa optimisme kegiatan usaha melemah. Dengan demikian penyaluran kredit kepada sektor usaha atau korporasi diperkirakan masih akan terbatas (Grafik IV.1.21). Pertumbuhan kredit yang melambat selama periode laporan juga disertai dengan penurunan kualitas kredit. NPL total kredit mengalami sedikit peningkatan pada triwulan III 2014 yaitu menjadi sebesar 2,62% dibandingkan dengan triwulan II 2014 sebesar 2,25% (Grafik IV.1.22). NPL sektor utama terindikasi meningkat dengan peningkatan tertinggi terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian. Hal tersebut sejalan dengan penertiban Izin Usaha Penambangan (IUP) batubara di provinsi Sumatera Selatan. Sementara itu, kualitas kredit konsumsi masih relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. L a p o r a n N u s a n t a r a | 106 Rp Triliun Kredit Sektoral 120 %yoy %yoy gKredit Sektoral (RHS) 60 90 80 100 50 70 80 40 60 60 30 40 20 20 10 0 I II III IV I II 2012 III IV I 2013 II gPertanian gIndustri Pengolahan gPHR 50 40 30 20 10 0 III I II 2014 III IV I II 2012 Grafik IV.1.19. Penyaluran Kredit Korporasi III IV I II 2013 III 2014 Grafik IV.1.20. Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi Utama 4,50 Ekspektasi Kegiatan Usaha 60 gKredit Lapangan Usaha % Industri Pengolahan PHR 4,00 3,50 40 3,00 20 2,50 Pertanian 2,00 0 1,50 -20 1,00 Pertambangan 0,50 -40 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 2011 2012 2013 2014 0,00 I II III IV I II 2012 Grafik IV.1.21. Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha – Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia III IV I 2013 II III 2014 Grafik IV.1.22. NPL Sektor Utama Sumbagsel Ketahanan Sektor Rumah Tangga Seiring dengan perlambatan konsumsi rumah tangga Sumbagsel, pertumbuhan kredit sektor rumah tangga atau kredit konsumsi pada triwulan III 2014 menunjukkan sedikit perlambatan menjadi 10,3% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 9,9% (yoy). Perlambatan terutama terjadi pada kredit pemilikan rumah untuk seluruh tipe (Grafik IV.1.23). Di sisi lain, kredit kendaraan bermotor (KKB), terutama roda dua, mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dari sisi kualitas kredit, NPL sektor rumah tangga relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu masih berada di level 1,67%. Namun, bila dilihat lebih jauh, beberapa kredit konsumi menunjukkan penurunan kualitas kredit. Peningkatan NPL di antaranya terjadi pada kredit pemilikan rumah dan kredit multiguna, sejalan dengan melemahnya kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sektor perkebunan. Sementara itu, untuk KKB menunjukkan perbaikan kualitas kredit, tercermin dari NPL yang menurun (Grafik IV.1.24). Rp Triliun 14 KPR, KPA, Ruko,/Rukan KKB gKPR, KPA, Ruko/Rukan gKKB % %yoy 140 120 100 80 60 40 20 0 -20 -40 12 10 8 6 4 2 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 KPR, KPA, Rukan KKB Multiguna I II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV 2013 I II III 2014 2014 Grafik IV.1.23. Penyaluran Kredit Tempat Tinggal dan Kendaraan Grafik IV.1.24. NPL Kredit Rumah Tangga L a p o r a n N u s a n t a r a | 107 Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kredit UMKM pada triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp43,8 triliun atau tumbuh 17,9% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 25,4% (Grafik IV.1.25). Perlambatan terjadi di seluruh sektor utama kredit UMKM yaitu sektor pertanian dan PHR. Struktur sektor yang mendominasi kredit UMKM masih sama, yaitu sektor PHR, pertanian, dan transportasi dan komundikasi dengan pangsa ketiga sektor tersebut mencapai 75% (Grafik IV.1.26). Perlambatan total kredit UMKM disalurkan yang juga disertai peningkatan nominal nonperforming loan (NPL) membuat rasio NPL mengalami peningkatan. Pertumbuhan jumlah nasabah UMKM tercatat relatif stabil dari 36,7% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 36,6% (yoy), dengan jumlah rekening mengalami sedikit peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Bank Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah daerah, senantiasa mendukung pengembangan UMKM dengan berbagai program clustering komoditas dan kegiatan pengembangan Wirausaha Baru (WUB). Selain itu, kegiatan edukasi kepada masyarakat guna mendukung perluasan akses keuangan juga terus dilakukan untuk menambah pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengelolaan keuangan. 50 60 Kredit UMKM Pertumbuhan (RHS, %yoy) NPL (RHS,%) Rp Triliun 40 50 Lainnya 16% Transportasi dan Komunikasi 8% 40 30 30 20 Pertanian 19% Konstruksi 5% 20 10 10 0 PHR 48% 0 I II III IV I 2011 II III IV I 2012 II III IV I 2013 II Industri Pengolahan 4% III 2014 Grafik IV.1.25. Penyaluran Kredit UMKM Grafik IV.1.26. Pangsa Kredit UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Kinerja sistem pembayaran nontunai meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan III 2014 transaksi Real Time Gross Settlement (RTGS) mencapai Rp144,7 triliun atau naik signifikan sebesar 23,9% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,1% (yoy) (Grafik IV.1.27). Pertumbuhan ini terjadi pada seluruh RTGS dari wilayah Sumbagsel maupun keluar Sumbagsel yang masing-masing tercatat Rp44,4 triliun dan Rp100,3 triliun. Rp Triliun RTGS gRTGS (RHS) Rp Triliun %yoy 160 45 140 40 120 35 30 100 25 80 20 60 15 40 10 20 5 - I II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV 2013 I II III 2014 Grafik IV.1.27. Perkembangan RTGS Outgoing Kliring gKliring (RHS) %yoy 30 35 30 25 25 20 20 15 15 10 10 5 5 - - -5 I II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV 2013 I II III 2014 Grafik IV.1.28. Perkembangan Perputaran Kliring Sementara itu, transaksi kliring Sumbagsel pada triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp21,5 triliun atau tumbuh 7,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2014 (Grafik IV.1.28). Nilai transaksi yang dilakukan per bilyet mengalami peningkatan, yang ditunjukkan dengan jumlah bilyet yang menurun. Kualitas transaksi juga L a p o r a n N u s a n t a r a | 108 menunjukkan peningkatan yang ditandai oleh penurunan bilyet yang ditolak dari 21,5% (yoy) menjadi 1,75% (yoy) atau sebanyak 11,928 lembar. Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Penurunan kinerja ekonomi Sumbagsel pada triwulan III 2014 tercermin dari perlambatan jumlah transaksi uang tunai Sumbagsel. Jumlah total transaksi tunai Sumbagsel mencapai Rp16,4 triliun atau tumbuh 12,1% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 20,4% (yoy) (Grafik IV.1.29). Kinerja uang tunai di Sumbagsel pada triwulan ini mengalami net outflow sesuai dengan pula musimannya dan terjadi di seluruh provinsi di Sumbagsel kecuali Lampung. Net outflow pada triwulan ini mencapai Rp2,2 triliun rupiah yang disertai peningkatan rasio pemusnahan uang lusuh terhadap uang kartal yang masuk ke kantor Bank Indonesia (Grafik IV.1.30). Dalam pengelolaan uang kartal, Bank Indonesia senantiasa melakukan edukasi kepada masyarakat agar selalu menjaga dan merawat uang rupiah. Inflow Rp Triliun Outflow Rp Triliun %yoy 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 - 50.0 40.0 30.0 I II III 2011 IV I II III IV I II 2012 III 2013 IV I II III 70 Pemusnahan Uang Lusuh thd Inflow (RHS) 60 2,5 50 2,0 20.0 1,5 10.0 1,0 - 0,5 -10.0 0,0 -20.0 % Pemusnahan Uang Lusuh 3,0 40 30 20 10 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 2014 Grafik IV.1.29. Perkembangan Net Flow Grafik IV.1.30. Perkembangan Pemusnahan Uang Lusuh Pada pertengahan November 2014, akan dibuka Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bangka Belitung di kota Pangkalpinang. Kantor Perwakilan tersebut memiliki fungsi moneter dan sistem pembayaran. Pada awal pembukaan, fungsi sistem pembayaran yang akan dilakukan mencakup layanan kas, penukaran uang, serta layanan nontunai kliring. Ke depan, fungsi sistem pembayaran di Kantor Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akan dilengkapi oleh sistem RTGS, perizinan dan pengawasan jasa sistem pembayaran. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Mencermati perkembangan kondisi saat ini, pertumbuhan ekonomi Sumbagsel tahun 2015 diperkirakan membaik, dan tumbuh pada kisaran 5,3% - 5,7%. Perbaikan ekonomi ini diperkirakan akan terjadi di seluruh provinsi di Wilayah Sumbagsel. Pertumbuhan tersebut didasari oleh perbaikan konsumsi rumah tangga dan investasi, seiring dengan perbaikan sektor pertanian dan industri pengolahan. Komoditas kelapa sawit diperkirakan masih akan terus tumbuh, seiring dengan permintaan domestik dan dunia akan CPO yang masih akan terus tinggi. Pemerintah juga diperkirakan akan mendorong pengembangan minyak nabati melalui mandatori biofuel. Selain itu, permintaan karet diperkirakan juga akan terus menguat seiring dengan perbaikan ekonomi di Amerika Serikat. Namun, perbaikan harga komoditas internasional diperkirakan masih terbatas. Di sisi lain, prospek investasi ke depan masih besar. Perbaikan kinerja ekonomi juga akan didukung oleh aktivitas di sektor bangunan. Beberapa proyek infrastruktur yang akan digarap tahun depan antara lain, di Sumatera Selatan, proyek multiyears seperti pembangunan pelabuhan baru, Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api, double track batubara Sumatera L a p o r a n N u s a n t a r a | 109 Selatan – Lampung, dan infrastruktur lainnya. Selain itu beberapa hotel, restoran middle-up level, dan bioskop baru dibuka. Hal itu menunjukkan masih terdapat optimisme aktivitas ekonomi yang membaik di Sumbagsel. Prospek Inflasi Tekanan inflasi Sumbagsel pada tahun 2015 diperkirakan akan cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun 2014. Hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh pergeseran musim tanam akibat terjadinya kekeringan di beberapa sentra produksi, terutama di daerah Sumatera Selatan dan Lampung. Pergeseran musim tanam akan berdampak pada ketersediaan pasokan bahan pangan di beberapa daerah di Sumbagsel. Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah diperkirakan akan berdampak pada tekanan inflasi administered prices seperti kenaikan UMP, penyesuaian kenaikan LPG 12 Kg dan tarif tenaga listrik. Namun, dengan tersedianya informasi harga pangan melalui PIHPS dan koordinasi melalui forum TPID diharapkan gejolak harga yang berlebihan dapat diminimalisir. Tabel IV.1.3. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumatera Bagian Selatan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2012 2013 2015P 2014 II 5.8 III 5.6 IV 6.4 Total 5.9 I 5.9 II 5.3 III 4.8 IVp Totalp IP Totalp 6.2 I 6.0 5.6 5.4 5.4 - 5.8 5.3 - 5.7 Sisi Permintaan Konsumsi 6.5 7.2 7.1 7.5 7.2 7.2 7.1 6.0 5.8 6.4 6.4 6.7 - 7.1 6.4 - 6.8 Konsumsi swasta 6.6 7.6 8.2 7.6 7.7 7.8 7.0 6.1 5.3 6.6 6.2 7.0 - 7.4 6.7 - 7.1 Konsumsi Pemerintah 5.5 3.9 0.4 6.4 4.1 3.7 7.9 5.2 8.8 5.5 6.2 4.9 - 5.3 4.8 - 5.2 11.4 8.4 8.1 6.8 7.2 7.6 7.0 5.0 2.2 4.0 4.3 6.2 - 6.6 6.5 - 6.9 Ekspor 3.5 12.4 10.2 11.0 17.3 12.8 10.0 8.0 13.1 (2.2) 7.0 7.1 - 7.5 3.6 - 4.0 Impor 7.5 10.5 13.4 12.9 28.7 16.7 19.6 14.0 20.8 3.2 13.7 9.6 - 10.0 2.8 - 3.2 Sektor pertanian 5.1 1.8 3.3 3.4 10.6 4.6 5.7 3.0 1.0 2.4 3.0 1.9 - 2.3 3.3 - 3.7 Sektor pertambangan & penggalian 0.8 1.4 2.6 1.0 2.0 1.7 1.5 1.2 4.6 0.5 2.0 1.2 - 1.6 1.6 - 2.0 Industri pengolahan 5.1 8.1 7.0 5.8 5.7 6.6 4.7 7.2 4.6 5.9 5.6 7.4 - 7.8 6.4 - 6.8 Listrik, gas & air bersih 8.7 7.1 8.8 9.5 7.3 8.2 6.1 6.4 6.9 5.8 6.6 7.5 - 7.9 6.9 - 7.3 Bangunan 8.4 10.2 8.7 7.2 4.3 7.5 6.0 5.9 3.9 6.9 5.6 6.8 - 7.2 6.1 - 6.5 Perdagangan, hotel & restoran 7.6 8.7 7.0 7.1 5.0 6.9 7.3 7.4 8.5 9.8 8.2 7.7 - 8.1 7.4 - 7.8 Pengangkutan & komunikasi 11.3 8.7 8.8 7.5 6.9 8.0 8.1 7.9 7.2 7.5 7.5 8.0 - 8.4 7.9 - 8.3 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 10.5 10.8 8.6 9.1 7.0 8.9 8.9 9.1 6.3 9.2 8.4 9.2 - 9.6 8.8 - 9.2 8.4 8.7 7.1 10.2 6.4 8.1 3.69 6.22 4.87 7.63 7.63 7.63 8.4 6.20 6.4 5.29 7.7 4.10 8.3 4.46 7.5 4.46 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) 7.2 - 7.6 6.1 - 6.5 3.66 - 4.06 4.38 - 4.78 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah p proyeksi Bank Indonesia L a p o r a n N u s a n t a r a | 110 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) pada triwulan III 2014 tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Wilayah Sumbagteng tercatat sebesar 4,1% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,5%. Dari sisi penggunaan, lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi Sumbagteng terutama bersumber dari investasi dan ekspor neto yang mengalami kontraksi. Namun, membaiknya kinerja konsumsi, baik swasta maupun pemerintah, menjadi penahan perekonomian Sumatera agar tidak melambat lebih jauh. Secara sektoral, melambatnya pertumbuhan ekonomi Sumbagteng diakibatkan oleh penurunan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan, sejalan dengan perlemahan harga komoditas yang masih berlanjut. Sementara itu, masih terkontraksinya sektor pertambangan dan penggalian, akibat penurunan produksi minyak gas di Riau, turut berkontribusi pada menurunnya kinerja perekonomian Sumbagteng pada triwulan III 2014. Pada triwulan IV 2014, perekonomian Sumatera Bagian Tengah diprakirakan tumbuh membaik. Perbaikan ekonomi terutama bersumber dari meningkatnya kinerja investasi, baik investasi pemerintah maupun investasi swasta, seiring dengan meningkatnya optimisme iklim berusaha, sejalan dengan terbentuknya pemerintahan yang baru. Selain itu, kinerja perekonomian juga akan didukung oleh konsumsi rumah tangga, yang diperkirakan masih tetap tumbuh cukup tinggi, meski sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan III 2014. Aktivitas terkait persiapan Natal dan tahun baru akan mendorong meningkatnya kegiatan belanja masyarakat. Sementara itu, berlanjutnya penurunan harga komoditas CPO dan karet akan berdampak pada kontraksi ekspor. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi. Konsumsi rumah tangga tumbuh meningkat dari 7,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 7,7% (yoy). Aktivitas konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut didorong oleh perayaan hari raya Idul Fitri dan masa liburan sekolah. Selain itu, kegiatan konsumsi rumah tangga tersebut juga didukung oleh perbaikan daya beli masyarakat yang bersumber dari realisasi gaji ke-13 bagi PNS/TNI/Polri dan Tunjangan Hari Raya (THR) pada awal triwulan III 2014. Perkembangan beberapa indikator terkini mengindikasikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga relatif stabil pada triwulan IV 2014, dan masih dalam level pertumbuhan yang cukup tinggi. Aktivitas belanja masyarakat diperkirakan akan tetap tinggi, seiring dengan persiapan menyambut perayaan Natal dan tahun baru. Namun, hasil survey konsumen mengindikasikan adanya penurunan optimisme dari konsumen, sebagaimana terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober 2014 yang menurun (Grafik IV.2.1). Harga komoditas CPO dan karet, yang belum sepenuhnya membaik, diperkirakan memengaruhi ekspektasi konsumen akan kondisi perekonomian pada masa mendatang. Namun, kondisi ini tidak banyak memengaruhi pembiayaan konsumi masyarakat, sebagaimana tercermin dari pertumbuhan kredit konsumsi yang relatif stabil (Grafik IV.2.2). Dengan demikian, bila dilihat secara keseluruhan tahun 2014, konsumsi rumah tangga diprakirakan mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tekanan inflasi tahun 2014, yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013, menyebabkan daya beli masyarakat tahun 2014 lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013. L a p o r a n N u s a n t a r a | 111 Triliun Rp Indeks %, yoy 160 70 140 60 120 50 100 40 25 30 20 80 Indeks Keyakinan Konsumen 60 Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini 40 Indeks Ekspektasi Konsumen 20 Baseline (Batas Positif) Nominal 45 Pertumbuhan-skala kanan 40 35 30 15 20 10 10 5 - I II III IV I II III IV I II III IV I II III 0 I II III 2011 2011 2012 2013 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 2014 Grafik IV.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen Grafik IV.2.2. Penyaluran Kredit Konsumsi Konsumsi Pemerintah Sesuai dengan pola historisnya, konsumsi pemerintah terus meningkat hingga triwulan III 2014, seiring dengan meningkatnya realisasi pengeluaran pemerintah terkait belanja barang dan bantuan sosial, di samping belanja rutin pegawai. Konsumsi pemerintah tumbuh meningkat dari 4,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,6% (yoy) pada triwulan III 2014. Meningkatnya pengeluaran pemerintah juga terkait dengan pemberian gaji ke-13 bagi PNS/TNI/Polri, yang dicairkan pada awal triwulan III 2014. Masih belum optimalnya kinerja beberapa satuan kerja pemerintah daerah, menyebabkan kecenderungan belanja pemerintah daerah tidak merata dan menumpuk dalam jumlah besar pada akhir tahun. Kondisi tersebut terlihat dari simpanan dana milik pemda di perbankan yang masih terus meningkat pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.3). Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2014 diprakirakan mengalami penurunan akibat base effect dari tingginya pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, realisasi belanja pemerintah daerah hingga triwulan III 2014 sudah mencapai di atas 60%. Dengan demikian, realisasi belanja pada triwulan IV 2014 diprakirakan tidak setinggi periode sebelumnya. Investasi Kinerja investasi, yang diprakirakan meningkat pascaPemilu, belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Hal ini terlihat dengan pertumbuhan investasi pada triwulan III 2014 yang tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Investasi tumbuh sebesar 5,3% (yoy) pada triwulan III 2014, lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 5,6% (yoy). Kegiatan investasi pada periode ini masih didominasi oleh aktivitas proyek-proyek pemerintah, terkait pembangunan infrastruktur di Wilayah Sumbagteng. Sementara itu, investasi swasta relatif masih terbatas, sejalan dengan pelemahan ekonomi nasional dan belum solidnya perbaikan ekonomi global. Sejumlah pelaku usaha cenderung menunda ekspansi usaha, menunggu hingga kondisi usaha lebih kondusif. Investasi yang dilakukan terbatas pada perawatan dan peremajaan mesin. Kondisi ini juga terlihat pada penurunan nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta kredit investasi yang melambat pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.3 dan Grafik IV.2.4). Pertumbuhan investasi diprakirakan mulai membaik pada triwulan IV 2014. Terbentuknya pemerintahan baru akan memberikan kepastian bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi. Optimisme tersebut terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang memperkirakan peningkatan investasi terjadi hampir di seluruh sektor ekonomi. Berdasarkan hasil diskusi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) di beberapa daerah diketahui sejumlah perusahaan akan mulai berinvestasi pada triwulan IV 2014, setelah “wait and see” selama periode pemilu. Beberapa investasi swasta di Sumatera Bagian Tengah yang akan dilakukan pada triwulan IV 2014 antara lain perluasan pabrik semen di Sumatera Barat, investasi teknologi injeksi kimia pada industri minyak di Riau, dan berlanjutnya investasi industri besi baja pendukung L a p o r a n N u s a n t a r a | 112 industri migas di Kepulauan Riau. Peningkatan investasi juga ditopang oleh aktivitas pemerintah yang meningkat, sejalan dengan penyelesaian berbagai tender pada akhir tahun. Secara keseluruhan tahun, pelemahan ekonomi nasional dan penurunan harga komoditas yang berlanjut, serta ketidakpastian kondisi usaha jelang Pemilu 2014, menjadi faktor penyebab melambatnya pertumbuhan investasi pada tahun 2014. Jumlah Proyek Juta US$/Miliar Rp PMDN PMDN (Miliar Rp)-skala kanan 300 PMA PMA ( Juta US$)-skala kanan 250 4.500 4.000 Triliun Rp %, yoy 60 Nominal 60 Pertumbuhan-sisi kanan 50 50 3.000 40 40 2.500 30 30 20 20 3.500 200 150 2.000 100 1.500 1.000 50 500 0 0 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 10 10 - 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 2014 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Grafik IV.2.3. Investasi PMA dan PMDN Grafik IV.2.4. Penyaluran Kredit Investasi Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri wilayah Sumbagteng pada triwulan III 2014 menunjukkan perbaikan, meski masih terbatas. Ekspor Sumbagteng tumbuh 1,9% (yoy) pada triwulan III 2014, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 2,1% (yoy). Meningkatnya produksi CPO, sejalan dengan masa panen kelapa sawit, mendorong peningkatan ekspor CPO ke negara tujuan utama. Selain itu, ekspor produk elektronik di Kepulauan Riau juga terpantau meningkat dalam mengantisipasi peningkatan permintaan pada akhir tahun. Di sisi lain, ekspor komoditas karet masih menunjukkan perlambatan, seiring berlanjutnya pelemahan harga yang terjadi. Di sisi lain, penurunan produksi dan rendahnya kualitas batubara di Jambi menahan peningkatan ekspor di Sumbagteng lebih lanjut. Kinerja ekspor diprakirakan kembali melemah pada triwulan IV 2014, seiring berakhirnya masa panen dan harga komoditas utama kelapa sawit dan karet yang belum menunjukkan akan membaik. Selain itu musim kemarau dan gangguan asap yang terjadi di beberapa Wilayah Sumbagteng memengaruhi produktivitas tanaman kelapa sawit dan karet. Penurunan kinerja ekspor lebih dalam akan tertahan oleh kinerja ekspor elektronik dari Kepulauan Riau yang diproyeksikan mengalami peningkatan, dipicu permintaan yang tinggi menjelang akhir tahun. Secara keseluruhan tahun, kinerja ekspor tahun 2014 diprakirakan melambat akibat pelemahan harga komoditas sepanjang tahun dan penurunan permintaan sebagai dampak dari pelemahan ekonomi global dan negara tujuan utama seperti Tiongkok. L a p o r a n N u s a n t a r a | 113 %, yoy 80 Ekspor Non Migas %, yoy 150 Karet Mentah-skala kanan CPO-skala kanan Miliar US$ 4 Barang Konsumsi Bahan Baku g.Brg modal-sisi kanan 120 60 90 40 % yoy 40 Barang Modal g.Brg Konsumsi-sisi kanan g.Bhn Baku-sisi kanan 30 3 20 2 0 10 60 20 30 0 0 (20) (30) (40) (60) I II III IV I 2011 II III IV 2012 I II III IV I 2013 II (10) 1 (20) (30) - (40) III I II III IV 2012 2014 Grafik IV.2.5. Perkembangan Nilai Ekspor Nonmigas dan Komoditas Utama I II III IV 2013 I II III 2014 Grafik IV.2.6. Pertumbuhan Nilai Impor Menurut Kategori Barang Impor Impor Wilayah Sumbagteng pada triwulan III 2014 tumbuh meningkat, seiring dengan meningkatnya kebutuhan konsumsi masyarakat dan kebutuhan industri pengolahan. Pertumbuhan impor Sumatera Bagian Tengah pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 3,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 3,3% (yoy). Pertumbuhan impor yang lebih tinggi, terutama didorong oleh impor pupuk, sejalan dengan besarnya kebutuhan pupuk untuk tanaman kelapa sawit pada saat tingkat curah hujan relatif minim. Selain itu, peningkatan impor juga terjadi untuk barang modal, terutama terkait dengan investasi pemerintah serta investasi industri mesin dan elektronik di Kepulauan Riau. Pertumbuhan impor pada triwulan IV 2014 diprakirakan tumbuh melambat, seiring dengan menurunnya impor pupuk yang telah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Akitivitas impor yang dilakukan pada triwulan IV 2014, terutama dalam bentuk barang modal untuk mendukung kegiatan investasi pemerintah, terkait pembangunan infrastruktur, dan investasi swasta, terkait investasi di industri elektronik. Di samping itu, pelemahan rupiah, yang diperkirakan masih berlanjut, menjadi kendala kegiatan impor. Rp/kg 2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 - Harga TBS Harga CPO Dunia-sisi kanan 35 1.200 30 1.000 25 800 20 250 600 15 200 400 10 200 5 - - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2012 2013 Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg 2014 USD cent/kg ribu Rp/kg USD/MT 1.400 Harga Bokar Harga Karet Dunia - skala kanan 450 400 350 300 150 100 50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2012 2013 2014 Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg Grafik IV.2.7. Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Grafik IV.2.8. Harga Karet Mentah Domestik (Bokar) dan Sawit dan CPO Dunia Karet Mentah Dunia Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2014 melemah, disebabkan oleh rendahnya harga komoditas perkebunan, musim kemarau dan kabut asap yang melanda di sejumlah wilayah Sumbagteng. Sektor pertanian tumbuh sebesar 5,6% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan II 2014, yang tumbuh sebesar 6,4% (yoy). Tren penurunan harga kelapa sawit dan karet, yang merupakan komoditas utama Sumbagteng, L a p o r a n N u s a n t a r a | 114 menjadi penyebab turunnya nilai produksi pertanian di Sumatera Bagian Tengah. Selain itu, produksi perkebunan juga turun, terutama karet, yang disebabkan oleh menurunnya produktivitas sebagai dampak dari musim kemarau dan gangguan kabut asap di beberapa wilayah Sumatera Bagian Tengah. Meski demikian, dari sisi volume, produksi kelapa sawit menunjukkan perbaikan, sejalan dengan masuknya musim panen di beberapa daerah di wilayah Sumbagteng. Perlambatan juga terjadi pada produksi tanaman bahan makanan, terutama beras di Provinsi Sumatera Barat. Hal ini mendorong meningkatnya harga gabah di Sumatera Barat. Meski harga gabah meningkat, hal tersebut tidak mendorong perbaikan Nilai Tukar Petani (NTP) (Grafik IV.2.7 dan Grafik IV.2.8). Mencermati perkembangan terakhir, kinerja sektor pertanian diprakirakan akan sedikit membaik pada triwulan IV 2014, seiring dengan membaiknya produktivitas sektor perkebunan. Meningkatnya curah hujan pada akhir tahun diprediksi mampu meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Namun, pertumbuhan tersebut diperkirakan masih terbatas akibat belum pulihnya harga komoditas CPO. Selain itu, berlanjutnya kabut asap yang melanda Jambi dan Riau berpotensi menahan laju pertumbuhan produksi kelapa sawit hingga akhir tahun 2014. Di sisi lain, membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat, membuka peluang ekspor karet (crumb rubber) ke negara tersebut. Peluang ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi peningkatan produksi karet. Namun, rendahnya harga karet, yang kerap menyurutkan optimisme petani, memerlukan pemikiran lebih lanjut untuk diperoleh jalan keluarnya, agar peluang yang kini ada dapat dimanfaatkan lebih optimal. Indeks 104 Rp/kg NTP Umum NTP Perkebunan NTP Tanaman Pangan 5.500 Rata-rata Harga Gabah GKP Pertumbuhan-skala kanan %, yoy 25 102 5.000 20 98 4.500 15 96 4.000 10 94 3.500 5 92 3.000 0 2.500 -5 100 90 88 2.000 86 -10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.2.7. Indeks Nilai Tukar Petani Umum dan Sektor Perkebunan Sumbagteng 2012 2013 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik Sumbar, diolah Grafik IV.2.8. Harga Gabah di Tingkat Penggilingan Sumbar Sektor Pertambangan dan Penggalian Kontraksi sektor pertambangan dan penggalian masih berlanjut pada triwulan III 2014 akibat penurunan lifting migas yang terus terjadi. Sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng terkontraksi 3,3% (yoy) pada triwulan III 2014, memburuk dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang terkontraksi 2,4% (yoy). Sulitnya menjaga konsistensi produktivitas sumur-sumur minyak tua, minimnya penemuan sumur baru, dan kurang efektifnya penggunaan teknologi yang lebih modern di sumur tua menyebabkan lifting minyak sulit untuk ditingkatkan Grafik IV.2.13). Padahal produksi minyak di Riau, memiliki kontribusi mencapai 88% terhadap sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng. Di sisi lain, melemahnya harga komoditas batubara dan adanya Perda terkait aturan distribusi barang tambang, kian memperlemah kinerja sektor pertambangan dan penggalian Sumbagteng. Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan sedikit membaik, meski masih mengalami kontraksi dengan besaran yang lebih rendah. Menurut informasi dari contact liaison, dalam kondisi normal, penurunan lifting per tahunan mencapai 18%-20%. Namun, dengan menggunakan teknologi berupa injeksi kimia dan aktivitas pengeboran sumur minyak yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun L a p o r a n N u s a n t a r a | 115 sebelumnya, dapat mengurangi penurunan lifting hingga menjadi 5,9% selama tahun 2014 (Grafik IV.2.9). Selain itu, terdapat indikasi sejumlah perusahaan pertambangan melakukan investasi secara ekspansif untuk menahan laju penurunan lifting migas. Hal itu tercermin dari masih tingginya pertumbuhan kredit sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng (Grafik IV.2.10). Meskipun demikian, peningkatan tersebut diprakirakan belum mampu membuat pertumbuhan lifting minyak keseluruhan tahun 2014 mencapai angka positif. % yoy Ribu barel/hari 400 Lifting 10 Pertumbuhan-sisi kanan 350 5 300 250 0 Triliun Rp 4,0 Nominal Sumbagteng Pertumbuhan Riau-skala kanan 3,5 yoy 250% Pertumbuhan-skala kanan 200% 3,0 150% 2,5 2,0 200 -5 150 100 -10 100% 33,5% 1,5 0,5 50 0 -15 2013 17,6% 0,0 2014 0% -50% I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 910* 2012 50% 1,0 II III IV I II 2011 III IV I II 2012 III 2013 IV I II III 2014 Sumber: Kementerian ESDM Grafik IV.2.9. Lifting Minyak Riau Juta US$ 800 Grafik IV.2.10. Penyaluran Kredit Sektor Pertambangan dan Penggalian % yoy 35 Nilai Ekspor Produk Elektronik g.Ekspor Brg. Elektronik-sisi kanan 700 30 25 600 20 500 15 400 10 300 5 0 200 (5) 100 (10) 0 (15) I II III 2011 IV I II III IV 2012 I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik IV.2.11. Nilai Ekspor Produk Elektronik SBT 30% Jasa PHR Ind. Pengolahan Keuangan Bangunan Pertambangan Angkutan&Komunikasi Listrik,Gas&Air Bersih Pertanian 20% 10% 0% -10% -20% -30% -40% Realisasi Perkiraan Triwulan III 2014 Triwulan IV 2014 Grafik IV.2.12. Realisasi dan Perkiraan Kegiatan Usaha Triwulan III 2014 (SKDU) Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan Sumbagteng pada triwulan III 2014 masih mampu tumbuh cukup tinggi, meski sedikit melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor industri pengolahan wilayah Sumbagteng tercatat sebesar 5,7% (yoy), menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar 5,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh belum membaiknya kinerja industri pengolahan karet, yang dipicu oleh rendah harga karet di tingkat petani. Harga yang relatif masih rendah tersebut menurunkan motivasi petani karet dalam memproduksi karet. Di sisi lain, meningkatnya konsumsi pada periode Idul Fitri dan masuknya periode masa panen kelapa sawit di sebagian besar wilayah Sumbagteng, menopang pertumbuhan industri pengolahan Sumbagteng. Selain itu, pertumbuhan sektor industri yang masih cukup tinggi juga didorong oleh meningkatnya aktivitas di sektor industri alat angkut, mesin dan peralatan seperti elektronik di Kepulauan Riau (Grafik IV.2.11). Peningkatan aktivitas tersebut sejalan dengan upaya meningkatkan stok dalam mengantisipasi tingginya permintaan pada akhir tahun. Masih tingginya konsumsi domestik hingga akhir tahun turut mendukung kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan IV 2014. Meningkatnya permintaan akan produk makanan dan minuman pada saat liburan akhir tahun dan tingginya permintaan produk elektronik dari Kepulauan Riau pada triwulan IV 2014 menopang L a p o r a n N u s a n t a r a | 116 pertumbuhan sektor industri pengolahan. Membaiknya kinerja sektor industri pengolahan tersebut tercermin dari pergerakan permintaan CPO beberapa negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat, yang tercatat mulai meningkat pada Oktober 2014. Penguatan sektor industri pengolahan juga terkonfirmasi oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mencatat prakiraan realisasi kegiatan usaha yang lebih tinggi pada triwulan IV 2014 (Grafik IV.2.12). Namun, potensi berlanjutnya tren penurunan harga komoditas berisiko menghambat pertumbuhan industri pengolahan lebih tinggi. Secara keseluruhan tahun, kinerja industri pengolahan melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, didorong oleh pelemahan harga komoditas utama seperti CPO dan karet. PERKEMBANGAN INFLASI Laju inflasi Sumbagteng pada triwulan III 2014 menunjukkan tren perlambatan, seiring meredanya tekanan inflasi akibat peningkatan permintaan pada periode Idul Fitri dan base effect kenaikan BBM bersubsidi pada periode yang sama tahun 2013. Tekanan inflasi dari kelompok volatile food relatif terkendali seiring pasokan yang terjaga. Dari sisi administered prices, tarif angkutan udara yang mereda setelah meningkat tinggi pada periode Idul Fitri turut mendorong penurunan inflasi pad triwulan III 2014. Sumatera Barat menjadi provinsi dengan tingkat inflasi tertinggi di Sumbagteng, yaitu sebesar 6,00% (yoy) (Grafik IV.2.13). Setelah mengalami perlambatan, perkembangan inflasi terkini hingga Oktober 2014 menujukkan tren peningkatan. Inflasi Sumbagteng hingga Oktober tahun 2014 tercatat sebesar 5,14% (yoy). Peningkatan inflasi Sumbagteng disebabkan berkurangnya pasokan beberapa komoditas volatile food seperti cabai merah dan beras, seiring berlangsungnya musim kemarau di Pulau Jawa dan Sumatera. Selain itu, berlanjutnya kenaikan TTL pada 1 September 2014 dan imbas kenaikan harga LPG 12 kg, terutama dampaknya pada permintaan LPG 3kg, turut menyumbang kenaikan inflasi dari sisi administered prices (Grafik IV.2.14). Hingga akhir tahun 2014, tekanan inflasi Sumbagteng diprakirakan terus meningkat. Faktor musiman menjelang akhir tahun, terkait dengan perayaan Natal dan Tahun Baru, akan mendorong belanja masyarakat, yang dapat memicu kenaikan harga-harga. Dari sisi administered prices, rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan penyesuaian tarif batas atas angkutan udara menjadi faktor risiko meningkatnya tekanan inflasi pada akhir tahun 2014, yang patut diwaspadai. Sementara itu, inflasi inti diprakirakan relatif stabil didukung oleh ekspektasi inflasi yang masih terkendali. %, yoy 20 %, yoy 12 Sumbagteng Nasional Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Umum Jambi 10 Volatile Foods Adm. Price Core 15 8 10 6 5 4 0 2 -5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2012 2013 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.2.13. Perkembangan Inflasi Sumbagteng dan Nasional 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2012 2013 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.2.14. Disagregasi Inflasi Sumbagteng Koordinasi Pengendalian Inflasi Dalam rangka pengendalian inflasi pada triwulan IV 2014, khususnya terkait dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, TPID, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Sumbagteng telah melakukan L a p o r a n N u s a n t a r a | 117 berbagai langkah antisipasi pengendalian inflasi. Langkah strategis yang dilakukan oleh TPID antara lain penguatan koordinasi antar-SKPD terkait dan pihak produsen dan distributor BBM, dalam rangka menjaga ketersediaan suplai BBM baik subsidi maupun nonsubsidi di wilayah Sumbagteng. Dengan upaya tersebut diharapkan kenaikan harga BBM tidak menggangu kelancaran distribusi BBM. Langkah lainnya adalah bekerja sama dengan aparat keamanan untuk menetralisir dampak negatif dari kenaikan harga BBM bersubsidi dengan menjaga keamanan jalur-jalur distribusi pasokan BBM dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) hingga ke Stasiun Penyaluran Bahan bakar Umum (SPBU) serta menciptakan opini yang kondusif di masyarakat untuk meminimalisir dampak negatif ke kelompok-kelompok masyarakat potensial. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Pembiayaan ekonomi melalui perbankan di Sumbagteng pada triwulan III 2014 masih melanjutkan kecenderungan melambat. Kredit korporasi tercatat tumbuh sebesar 8,7% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya tercatat tumbuh sebesar 15,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut terjadi pada semua sektor utama. Secara sektoral, kredit kepada sektor perdagangan, yang memiliki pangsa tertinggi sebesar 27,5%, mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 1,6% (yoy). Di sisi lain, meski pertumbuhannya masih cukup tinggi, kredit sektor pertambangan, sektor pertanian, dan sektor industri pengolahan, sebagai salah satu sektor utama di Sumbagteng, terindikasi melambat pada triwulan III 2014. Kredit masing-masing sektor tersebut tumbuh sebesar 33,5%, 24,5%, dan 22,1 (yoy) (Grafik IV.2.15). Indikasi sejumlah perusahaan akan mulai berinvestasi, setelah bersikap “wait and see” selama masa pemilu, belum terlihat pada perkembangan kredit industri pengolahan. Sementara itu, masuknya masa tanam kelapa sawit, yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi, terutama dalam pengadaan pupuk, tidak juga mendorong peningkatan kredit di sektor pertanian. Melambatnya pertumbuhan kredit di sektor pertambangan dan perdagangan di Sumbagteng, diikuti oleh menurunnya kualitas kredit di sektor tersebut. Nonperforming loan (NPL) kedua setor tersebut tercatat cukup tinggi, berada di atas ambang batas level yang dianggap aman (5%) (Grafik IV.2.16). Perlemahan harga komoditas internasional diperkirakan masih berlanjut hingga akhir tahun 2014, terutama komoditas perkebungan dan barang tambang. Hal tersebut berpotensi meningkatnya risiko usaha di sektor perkebunan dan pertambangan. Hal ini perlu terus dicermati, terutama terkait dengan risiko semakin memburuknya kualitas kredit di kedua sektor tersebut. Pertanian Ind. Pengolahan % yoy 220% 200% 180% 160% 140% 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% -20% -40% g. Pertanian g. Pertambangan g. Ind Pengolahan g. Perdagangan 33,5% 24,5% 22,1% -1,6% I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik IV.2.15. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 Pertambangan-sisi kanan Perdagangan 10,3 5,4 2,1 0,5 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik IV.2.16. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama L a p o r a n N u s a n t a r a | 118 Ketahanan Sektor Rumah Tangga Penyaluran kredit rumah tangga (konsumsi) di Sumbagteng belum menunjukkan pertumbuhan yang membaik pada triwulan III 2014. Pertumbuhan kredit rumah tangga tercatat sebesar 10,6% (yoy), relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 10,7% (yoy). Penurunan yang cukup dalam terjadi pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yaitu dari 20,7% (yoy) menjadi 8,1% (yoy). Di sisi lain, Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) terus tumbuh positif dan meningkat dari 10,5% (yoy) menjadi 16,4% (yoy) pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.17). Penurunan KPR sejalan dengan hasil liaison yang menyebutkan beberapa pengembang di Kepulauan Riau lebih berfokus pada akuisisi lahan dan menunda pembangunan properti, menunggu seberapa besar peluang yang akan muncul, terkait implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015. Penurunan harga komoditas karet dan kelapa sawit dikhawatirkan akan menggerus daya beli, yang selanjutnya meningkatkan risiko kredit kepada rumah tangga. Sementara itu, kebutuhan akan alat transportasi pada saat hari raya idul Fitri berdampak pada meningkatnya pembelian kendaraan bermotor. Dari sisi kualitas kredit, NPL penyaluran kredit kepada rumah tangga dalam bentuk KPR relatif masih terjaga. Meskipun demikian, kualitas kredit KPR perlu terus dipantau, mengingat NPL KPR mengalami peningkatan, yaitu dari 3,5% pada triwulan II 2014 menjadi 3,7% pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.18). Di sisi lain, peningkatan kredit KKB diiringi dengan membaiknya kualitas kredit, sebagaimana tercermin dari NPL yang menurun dari 1,3% menjadi 1,1% pada triwulan laporan. yoy 5 yoy 60 g. Kredit Rumah Tangga 50 g. KPR g.KKB NPL Kredit Rumah Tangga NPL KPR NPL KKB 4 40 30 16,4 20 3,7 3 8,1 10 10,6 0 -10 1,7 2 1 1,1 -20 -30 0 I II III IV I II 2012 III IV I 2013 II III I IV I II III IV I II 2013 III 2014 Grafik IV.2.18. Perkembangan NPL Kredit RT % g.UMKM III 2012 Grafik IV.2.17. Pertumbuhan Kredit RT %,yoy 60 II 2014 6,0 NPL-sisi kanan 50 5,0 5,1 40 4,0 30 3,0 Triliun Rp %, yoy 300 Total Transaksi RTGS 50 Pertumbuhan - skala kanan 40 250 30 200 20 150 10 20 13,6 2,0 100 10 1,0 50 0 0,0 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 0 (10) (20) I III 2012 2014 Grafik IV.2.19. Pertumbuhan Kredit UMKM dan NPL UMKM II IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik IV.2.20. Perkembangan Transaksi RTGS Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Sejalan dengan penyaluran kredit perbankan secara keseluruhan yang tumbuh melambat, pertumbuhan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Sumbagteng juga menurun pada triwulan III 2014. Kredit UMKM tercatat sebesar Rp54,0 triliun, atau tumbuh 13,6% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 16,0% (yoy) (Grafik IV.2.19). Pangsa kredit UMKM terhadap total penyaluran L a p o r a n N u s a n t a r a | 119 kredit di Sumbagteng tercatat cukup tinggi, yaitu sebesar 30%. Kredit UMKM sebagian besar tersalur kepada sektor perdagangan dan sektor pertanian, dengan porsi masing-masing sebesar 43,7% dan 22,3% dari total kredit UMKM. Menurunnya kredit UMKM ini ditengarai akibat biaya kredit dirasa cukup tinggi, di tengah perlambatan ekonomi yang terjadi. Sejalan dengan penurunan kredit UMKM tersebut, kualitas kredit UMKM juga menunjukkan penurunan, dengan tingkat NPL mencapai level 5,1%, berada di atas standar yang berlaku secara umum. Adapun NPL tertinggi terjadi di Sumatera Barat mencapai 5,9%, sementara NPL terendah tercatat di Kepulauan Riau sebesar 3,7%. Kinerja Sistem Pembayaran Sejalan dengan perlambatan perekonomian Sumatera Bagian Tengah, transaksi kliring juga tumbuh melambat, yaitu dari 5,3% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 4,6% (yoy) dengan nilai transaksi sebesar Rp19,2 triliun pada triwulan III 2014 (Grafik 2.20). Penurunan kegiatan transaksi masyarakat setelah masa Idul Fitri dan pascaPemilu menjadi penyebab menurunnya transaksi nontunai, baik nominal maupun volume. Di sisi lain, transaksi melalui RTGS pada triwulan III 2014 sebesar 8,5% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan lalu sebesar 3,7% (yoy), (Grafik IV.2.21). Secara umum, pertumbuhan transaksi nontunai di tahun 2014 relatif membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Triliun Rp %, yoy 25 Total Transaksi Kliring 20 Pertumbuhan - skala kanan Triliun Rp 8 6 20 15 15 10 4 2 0 -2 10 5 5 0 -4 -6 -8 -10 0 (5) I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III 2014 Grafik IV.2.21. Perkembangan Transaksi SKNBI Outflow Inflow Net Inflow/(Outflow) -12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Grafik IV.2.22. Perkembangan Pengedaran Uang Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Aliran uang tunai di Sumbagteng mengalami net outflow dengan besaran yang menurun sesuai dengan karakteristiknya pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.22). Penurunan outflow tersebut terindikasi akibat meredanya akitivitas ekonomi masyarakat terkait Pemilu, masa libur sekolah, periode Ramadhan pada triwulan II 2014 yang menyebabkan kebutuhan uang masyarakat meningkat. Dalam mendukung program Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) Bank Indonesia, Kantor Perwakilan di bawah koordinasi KPw BI Wilayah VIII terus berupaya mengurangi penggunaan transaksi tunai melalui berbagai kegiatan seperti Launching Penerapan Kawasan Non Tunai (Less Cash Society) di Universitas Andalas, Padang, serta program kerjasama dengan Pertamina dalam pembayaran pengisian bahan bakar menggunakan kartu (fuel card) di Batam, Kepulauan Riau. Selain itu, dalam upaya meningkatkan layanan kebutuhan uang masyarakat, sejalan dengan clean money policy, Bank Indonesia di wilayah Sumbagteng terus melakukan berbagai upaya seperti berbagai jenis kegiatan penukaran uang tunai, kas keliling ke daerah-daerah terpencil, kerjasama dengan perbankan, dan upaya lainnya dalam mendukung keterjangkauan distribusi uang di masyarakat. L a p o r a n N u s a n t a r a | 120 PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Sumbagteng pada tahun 2015 diprakirakan relatif stabil cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun 2014, yakni pada kisaran 4,4% - 4,8% (yoy) (Tabel IV.2.1). Dari sisi penggunaan, konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, dengan total pangsa sebesar 56%, masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Sumbagteng. Ekspor diprakirakan sedikit membaik, ditopang oleh peningkatan permintaan, seiring perbaikan ekonomi global beberapa negara tujuan ekspor utama. Sementara itu, kepastian usaha yang membaik diperkirakan dapat mendorong rencana investasi para pelaku usaha. Dari sisi sektoral, perekonomian Sumbagteng masih ditopang oleh kinerja sektor pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan, hotel, dan restoran yang masih menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Menguatnya konsumsi rumah tangga turut berdampak pada meningkatnya aktivitas di sektor industri pengolahan dan PHR. Meskipun demikian, beberapa faktor risiko dapat menahan laju pertumbuhan tahun 2015. Risiko tersebut antara lain, potensi penurunan harga komoditas utama seperti CPO, karet, dan batubara, serta belum pulihnya perekonomian Tiongkok dapat menghambat kinerja ekspor. Selain itu, berlanjutnya kontraksi sektor pertambangan sebagai sektor terbesar di Sumbagteng berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Prospek Inflasi Dari sisi harga, tingkat inflasi di wilayah Sumbagteng pada tahun 2015 diprakirakan tetap akan terjaga. Inflasi Sumbagteng diprakirkan berada pada kisaran 4,6% - 5,0% (yoy). Proyeksi inflasi tersebut mengasumsikan tidak adanya kebijakan kenaikan harga energi strategis yang signifikan pada tahun 2015. Namun demikian, perlu diwaspadai beberapa risiko yang berpotensi memicu inflasi tahun 2015 menjadi lebih tinggi yaitu antara lain: 1) berlanjutnya kenaikan TTL rumah tangga, 2) kenaikan TTL industri, 3) penyesuaian tarif LPG hingga menuju harga keekonomiannya, dan 4) kenaikan UMP 2015. Sehubungan tersebut, meningkatnya komitmen pemda melalui TPID pada upaya peningkatan produksi pangan, kelancaran distribusi, dan menjaga ekspektasi masyarakat, serta kerjasama antardaerah diharapkan dapat mendukung kestabilan harga. Program kerja TPID yang terkoordinasi diharapkan dapat mendukung kegiatan produksi dan distribusi pangan ke depan sehingga kenaikan harga pangan lebih terkendali dan dapat diantisipasi sebelumnya. L a p o r a n N u s a n t a r a | 121 Tabel IV.2.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumbagteng Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2012 2013 2014 2015 4,1 IVp 4,4 Totalp 4,6 Ip 4,0 - 4,4 Totalp 4,4 - 4,8 I II III IV Total I II III 5,2 4,7 4,5 4,2 5,0 4,6 5,4 4,5 Sisi Permintaan Konsumsi 6,2 6,8 6,1 5,3 6,3 6,1 5,5 6,8 7,3 6,7 6,6 6,4 - 6,8 5,9 - 6,3 Konsumsi swasta 6,3 7,4 6,8 5,9 5,7 6,4 6,1 7,3 7,7 7,6 7,2 6,3 - 6,7 5,9 - 6,3 Konsumsi Pemerintah 5,3 3,3 2,2 2,1 9,7 4,5 1,9 4,2 4,6 2,1 3,2 7,6 - 8,0 6,0 - 6,4 8,1 8,4 7,9 7,8 7,3 7,8 5,9 5,6 5,3 6,0 5,6 6,7 - 7,1 6,0 - 6,4 Ekspor 3,1 0,4 (0,2) 0,1 6,8 1,8 4,4 (2,1) 1,9 (2,6) 0,2 0,9 - 1,3 1,9 - 2,3 Impor 5,5 3,2 1,4 1,6 1,5 1,9 2,1 (3,3) 3,0 2,7 0,9 1,8 - 2,2 2,6 - 3,0 4,6 - 5 5,5 - 5,9 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Sektor pertanian 3,9 4,1 3,4 4,5 6,3 4,6 6,7 6,4 5,6 5,7 6,1 Sektor pertambangan & penggalian (0,4) (4,1) (1,6) 0,4 1,2 (1,0) 1,8 (2,4) (3,3) (2,3) (1,6) (2,0) - (1,6) (2,4) - (2,0) Industri pengolahan 4,9 7,4 6,0 5,3 5,2 5,9 5,2 5,9 5,7 6,2 5,7 5,6 - 6,0 5,7 - 6,1 Listrik, gas & air bersih 5,1 6,0 5,8 3,3 4,8 4,9 4,4 4,8 6,3 4,9 5,1 5,3 - 5,7 5,1 - 5,5 Bangunan 11,9 11,5 9,2 8,4 9,4 9,6 9,1 7,4 6,4 7,0 7,4 7,7 - 8,1 7,7 - 8,1 Perdagangan, hotel & restoran 11,3 11,2 8,5 4,9 5,9 7,5 8,0 9,1 10,1 8,9 9,0 7,4 - 7,8 8,1 - 8,5 Pengangkutan & komunikasi 9,0 8,8 8,5 6,2 7,2 7,7 7,2 7,8 7,3 6,8 7,3 6,4 - 6,8 7,3 - 7,7 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8,5 9,5 7,2 5,7 4,9 6,7 4,5 3,9 3,1 4,1 3,9 4,6 - 5,0 6,0 - 6,4 Jasa-jasa 7,6 6,9 7,3 6,1 6,7 6,8 5,3 4,7 3,7 3,8 4,4 4,6 - 5,0 5,1 - 5,5 3,18 4,99 5,52 8,18 9,11 9,11 7,89 6,26 4,86 5,17 5,17 4,9 - 5,3 4,6 - 5,0 Inflasi IHK (%,yoy) Sumber: Ba da n Pus a t Statis tik, diola h p proyeks i Ba nk Indones ia L a p o r a n N u s a n t a r a | 122 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) pada triwulan III 2014 tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal tersebut bersumber dari perlambatan ekspor dan konsumsi pemerintah yang belum optimal. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan ekonomi Sumbagut tercatat sebesar 4,7% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,1% (yoy). Pelemahan konsumsi turut dipengaruhi oleh kinerja subsektor perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit yang tumbuh terbatas. Memasuki triwulan IV 2014, perekonomian Sumbagut diprakirakan mulai membaik seiring dengan perbaikan konsumsi rumah tangga. Daya beli masyarakat diprakirakan meningkat karena perbaikan kinerja sektor perkebunan. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi tahun 2014 diprakirakan tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Hal tersebut terutama bersumber dari investasi, penurunan harga komoditas, dan faktor iklim yang menekan pertumbuhan sektor pertanian. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 masih menjadi sumber pertumbuhan utama perekonomian utama wilayah Sumbagut. Peningkatan belanja masyarakat mejelang Hari Raya Idul Fitri dan tahun ajaran baru mendorong perbaikan konsumsi. Peningkatan pertumbuhan tersebut juga tercermin dari masih optimisnya masyarakat terkait keyakinan dan ekpektasi terhadap kondisi ekonomi (Grafik IV.3.1). Pada triwulan mendatang, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh stabil. Tingkat optimisme tersebut terutama didorong oleh rencana pembelian barang-barang tahan lama, rekreasi, dan aktivitas menjelang Natal dan Tahun Baru. Hal ini terindikasi dari optimism masyarakat sebagaimana tercermin dari Indeks Tendensi Konsumen dan Indeks Penjualan Eceran. Hal lain yang mendorong peningkatan pertumbuhan hingga akhir tahun 2014 adalah maraknya big sale (cuci gudang) tiap akhir tahun yang akan memacu peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif walaupun tidak setinggi tahun lalu. Sumber: BPS Provinsi Sumut dan Aceh, diolah Grafik IV.3.1. Perkembangan Kondisi, Keyakinan dan Ekpektasi Konsumen terhadap Perekonomian Grafik IV.3.2. Indeks Tendeksi Konsumen dan Indeks Penjualan Eceran L a p o r a n N u s a n t a r a | 123 Konsumsi Pemerintah Konsumsi Pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh melambat. Hal itu tercermin dari tingkat realisasi APBD di 1 Provinsi Aceh sampai dengan akhir triwulan laporan tercatat sebesar 53,9% dari APBD 2014 . Senada dengan 2 hal itu, realisasi APBD Provinsi Sumatera Utara hingga akhir triwulan III 2014 juga baru mencapai 52,02% . Idealnya, hingga triwulan III realisasi belanja pemerintah telah mencapai 70%. Lambatnya realisasi konsumsi pemerintah tersebut juga terkonfirmasi dari nilai outstanding rekening giro pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara di perbankan yang relatif masih cukup besar. Pertumbuhan konsumsi pemerintah diprakirakan akan kembali meningkat pada triwulan IV 2014. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya realisasi anggaran pemerintah hingga akhir tahun sesuai dengan pola realisasinya. Peningkatan penyerapan konsumsi Pemerintah tersebut diperkirakan akan ikut mendorong peningkatan konsumsi Wilayah Sumbagut hingga akhir tahun 2014. Kendati demikian, secara keseluruhan tahun, realisasi konsumsi pemerintah masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Investasi Kinerja investasi di wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 4,6% (yoy) menjadi 4,9% (yoy). Hal yang mendorong peningkatan investasi diantaranya adalah selesainya pemilu presiden yang meningkatkan kestabilan situasi politik sehingga memacu kepercayaan pelaku usaha. Meningkatnya kinerja investasi, selain didorong oleh sektor swasta, juga didorong oleh realisasi investasi pemerintah seiring dengan realisasi belanja modal yang terus meningkat sejak awal triwulan III 2014. Tingginya pertumbuhan investasi di Provinsi Aceh (dari 5,6% menjadi 6,9%, yoy) turut menjadi pendorong meningkatnya kegiatan investasi di wilayah Sumbagut. Pada triwulan mendatang, kinerja investasi diprakirakan akan tumbuh melambat. Hal tersebut terindikasi dari prompt indicator seperti penjualan semen yang mulai tumbuh melambat (Grafik IV.3.3). Selain itu, pembiayaan dari perbankan berupa kredit investasi juga masih cenderung mengalami perlambatan pertumbuhan (Grafik IV.3.4). Realisasi proyek-proyek pemerintah yang biasanya meningkat pada akhir tahun diprakirakan masih belum dapat mendorong akselerasi pertumbuhan investasi secara keseluruhan tahun, sehingga pertumbuhannya masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Sumber: Asosiasi Semen Indonesia Grafik IV.3.3. Penjualan Semen di Sumbagut 1 2 Grafik IV.3.4. Penyaluran Kredit Investasi Sumbagut Hasil FGD dengan Dirjen Perbendaharaan Kantor Wilayah Aceh Hasil FGD dengan Biro Keuangan Provinsi Sumatera Utara L a p o r a n N u s a n t a r a | 124 Perdagangan Luar Negeri Ekspor Realisasi kegiatan ekspor luar negeri pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, walaupun secara volume masih mengalami peningkatan (Grafik IV.3.5). Penurunan kegiatan ekspor dipengaruhi oleh belum pulihnya harga CPO di pasar internasional serta masih relatif rendahnya pemulihan harga karet (berkisar 160 sen USD pada akhir Oktober 2014) di pasar internasional. Harga karet di pasar internasional pada akhir triwulan III 2014 turun hingga 25% (yoy), sedangkan harga CPO di pasar internasional turun 11% (yoy). Selain itu, penurunan signifikan produksi gas di Provinsi Aceh, yang menyumbang 90% dari total ekspor, turut memperdalam tekanan pertumbuhan ekspor pada triwulan ini. Kinerja ekspor pada triwulan mendatang diprakirakan akan kembali membaik. Perbaikan kinerja ekspor tersebut diduga akan didorong oleh peningkatan ekspor komoditas utama seperti karet. Hal ini terutama dipengaruhi kebijakan pengenaan kontrak harga minimum penjualan karet oleh beberapa perusahaan karet Indonesia yang diharapkan dapat menahan pelemahan harga karet semakin dalam. Membaiknya kinerja industri pengolahan negara tujuan ekspor diprediksi akan memengaruhi peningkatan kinerja ekspor di wilayah Sumbagut (Grafik IV.3.6). Secara keseluruhan tahun, ekspor Sumbagut diprakirakan masih akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan dengan tahun lalu. Sumber: Bloomberg Grafik IV.3.5. Perkembangan Ekspor Sumbagut Grafik IV.3.6. Purchasing Managers Index (PMI) Negara Tujuan Ekspor Utama Sumbagut Impor Realisasi impor luar negeri Sumbagut hingga triwulan III 2014 tumbuh melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya, baik secara volume maupun nilai (Grafik IV.3.7). Penurunan impor tersebut seiring dengan kecenderungan menurunnya bongkar muatan di pelabuhan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Hal ini misalnya terjadi di Kota Krueng Guekeuh, Provinsi Aceh. Dari kegiatan liason diperoleh informasi bahwa sedikitnya kapal yang menuju pelabuhan ekspor-impor dipengaruhi pertimbangan pelaku usaha terkait keuntungan yang akan didapat dan biaya yang akan ditanggung. Kapal yang mengangkut barang impor ke wilayah Sumbagut seringkali kembali dalam keadaan tanpa muatan karena tidak membawa ekspor dari Sumbagut sehingga menyebabkan ongkos logistik yang relatif tinggi. Penurunan impor pada triwulan laporan terutama terjadi untuk kelompok barang modal. Kinerja impor luar negeri pada triwulan IV 2014 diprakirakan akan kembali tumbuh meningkat. Peningkatan tersebut diperkirakan didorong oleh pemenuhan kebutuhan bahan pokok menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Selain itu, peningkatan ini juga didorong oleh kembali meningkatnya kebutuhan barang modal dalam rangka memenuhi kebutuhan realisasi proyek-proyek pemerintah. Pertumbuhan impor untuk tahun L a p o r a n N u s a n t a r a | 125 2014 secara keseluruhan diprakirakan masih akan tumbuh positif, meskipun tidak akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013. Grafik IV.3.7. Perkembangan Impor Sumbagut Grafik IV.3.8. Indeks Penjualan Eceran Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) Pertumbuhan sektor PHR pada triwulan III 2014 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan lalu. Peningkatan kinerja sektor ini terutama didorong oleh meningkatnya aktivitas perdagangan besar dan eceran selama bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, serta masa tahun ajaran baru. Selain itu, banyaknya event berskala nasional seperti Festival Danau Toba (FDT) serta kegiatan Apresiasi Film Indonesia (AFI) turut mendorong peningkatan sektor ini. Peningkatan kinerja sektor PHR diprakirakan masih akan berlanjut pada triwulan mendatang. Optimisme tumbuhnya sektor ini didorong oleh peningkatan aktivitas perdagangan menjelang Natal dan tahun baru. Hal ini salah satunya tercermin dari Indeks Penjualan Eceran yang masih tumbuh dengan baik (Grafik IV.3.8). Tingkat hunian kamar (occupancy rate) yang masih meningkat juga mendorong pertumbuhan subsektor perhotelan kedepan. Hal tersebut didukung oleh penyaluran kredit perbankan ke sektor PHR secara umum hingga triwulan laporan masih tumbuh sebesar 13,08% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Perbaikan kinerja sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sepanjang tahun 2014 mendorong pertumbuhan sektor ini lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Sektor Pertanian Sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan. Penurunan kinerja sektor pertanian ini terutama didorong oleh kekeringan yang terjadi di Provinsi Aceh, puso akibat tingginya curah hujan di Sumatera Utara, erupsi Gunung Sinabung, serta masuknya musim tanam padi. Kekeringan yang terjadi di Aceh masih menyisakan dampak pada hasil panen dan diperparah dengan tidak optimalnya irigasi. Hal ini menyebabkan realisasi tanam padi pada hanya mencapai 65% dari rencana awal. Kinerja sektor pertanian Sumbagut pada triwulan IV 2014 diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi dari periode sebelumnya. Hal tersebut didorong oleh peningkatan produksi padi seiring datangnya masa panen pada akhir tahun 2014. Survei Kegiatan Dunia Usaha juga menyatakan optimisme pelaku usaha di sektor pertanian yang masih terjaga hingga triwulan mendatang (Grafik IV.3.9). Hal tersebut juga didukung dengan penyaluran kredit kepada sektor ini, terutama untuk komoditas utama seperti CPO dan karet yang masih tumbuh positif (Grafik IV.3.10). Sektor ini secara keseluruhan tahun masih akan tumbuh positif meskipun diperkirakan tidak akan setinggi tahun sebelumnya. L a p o r a n N u s a n t a r a | 126 Grafik IV.3.9. Perkiraan Kegiatan Usaha Sektor Pertanian Grafik IV.3.10. Penyaluran Kredit ke CPO dan Karet Sektor Industri Pengolahan Seiring dengan perlambatan sektor pertanian, kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan III 2014 juga tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penurunan sektor ini didorong oleh tertahannya kinerja perusahaan pengolahan karet dan CPO karena melemahnya harga komoditas dunia. Harga CPO internasional hingga bulan September 2014 masih mengalami penurunan sebesar 11,5% (yoy), sedangkan harga karet internasional bahkan turun lebih dalam yaitu hingga 25% (yoy). Masih rendahnya kedua harga komoditas tersebut berdampak pada menurunnya kegiatan produksi perusahaan industri pengolahan, yang tercermin dari masih negatifnya pertumbuhan tahunan ekspor olahan karet dan semakin dalamnya penurunan pertumbuhan tahunan ekspor CPO. (Grafik IV.3.11) Perlambatan sektor Industri Pengolahan diprakirakan akan terus berlanjut pada triwulan IV 2014. Perkiraan tersebut didukung oleh kecenderungan masih tertahannya pertumbuhan ekonomi negara tujuan utama ekspor seperti Tiongkok, masih terus melemahnya harga komoditas CPO dan karet, serta masih melambatnya pertumbuhan penyaluran kredit di sektor industri pengolahan (Grafik IV.3.12). Persistensi perlambatan pertumbuhan sektor ini dari triwulan ke triwulan sepanjang tahun 2014 mencatatkan pertumbuhan keseluruhan tahun yang melambat dibandingkan dengan tahun 2013. Grafik IV.3.11. Ekspor Manufaktur Grafik IV.3.12. Penyaluran Kredit Perbankan Ke Sektor Pengolahan Sumbagut PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 4,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan lalu yang mencapai 6,1% (yoy). Penurunan inflasi tersebut terjadi baik di Provinsi Aceh maupun Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan kota penyumbang inflasi, inflasi tertinggi di wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 terjadi di Kota Meulaboh (7,52%) sementara inflasi terendah terjadi di Kota L a p o r a n N u s a n t a r a | 127 Padangsidempuan (3,8%; yoy). Sedangkan berdasarkan disagregasi, inflasi volatile foods dan administered prices mulai mengalami kenaikan, sementara inflasi inti masih cukup stabil dengan kecenderungan meningkat. (Grafik IV.3.14). Peningkatan inflasi tersebut terutama didorong oleh komoditas cabe merah (keriting segar dan merah besar) yang mengalami kenaikan harga sebagai dampak dari turunnya produksi akibat pergeseran 3 pola masa tanam dan panen pada kelompok sayuran di tengah masih tingginya permintaan. Hingga Oktober 2014, inflasi Sumbagut tercatat sebesar 4,5% (yoy), melanjutkan tren peningkatan sejak Agustus 2014. Tekanan inflasi diduga tetap akan mengalami peningkatan hingga akhir tahun 2014. Kelompok volatile foods diperkirakan masih menjadi penyumbang terbesar kenaikan tekanan inflasi di Sumbagut, seperti cabe merah, tomat buah, tomat sayur, dan bawang merah, terutama karena semakin tingginya permintaan komoditas tersebut menjelang Natal dan Tahun Baru di tengah terbatasnya pasokan akibat kembali terjadinya erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Potensi tekanan tersebut juga diperkuat dengan peningkatan risiko pada kelompok administered prices. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TTL) tahap tiga dan implementasi kenaikan tiket pesawat sekitar 10% untuk tiket ekonomi pada November serta rencana kenaikan BBM diduga semakin meningkatkan tekanan inflasi hingga akhir tahun ini. Sumber: BPS, diolah Grafik IV.3.15. Inflasi Aceh, Sumut, Sumbagut, dan Nasional Sumber: BPS, diolah Grafik IV.3.16. Disagregasi inflasi Sumbagut Koordinasi Pengendalian Inflasi Dalam memperkuat peranan TPID dalam menghadapi kendala, permasalahan, dan tantangan tekanan inflasi terutama pada kelompok volatile food, TPID se-Sumbagut membuat program-program sebagai berikut: 1) Meningkatkan kerjasama perdagangan antardaerah di bidang ketahanan pangan dalam bentuk komitmen bersama antar-SKPD se-Sumbagut. 2) Meningkatkan ketersediaan dan kualitas data atau informasi terkait dengan surplus defisit pangan di setiap daerah oleh TPID yang akan dijadikan acuan dalam melakukan kerjasama perdagangan antardaerah. Sementara itu, hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengendalian inflasi terutama pada triwulan IV 2014 adalah sebagai berikut: 1) Antisipasi terhadap tekanan inflasi pada subkelompok makanan jadi dan sandang terkait dengan perayaan Natal dan Tahun Baru. 3 Hal ini juga terkonfirmasi melalui Survei Pemantauan Harga yang dilakukan oleh KPw Wilayah IX. Survey tersebut menunjukkan cabe merah (keriting segar dan merah besar) mengalami tren peningkatan harga sejak Agustus 2014. L a p o r a n N u s a n t a r a | 128 2) Kemungkinan tekanan dari kelompok administered price terutama terkait dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif tenaga listrik, BBM bersubsidi dan tarif angkutan udara. 3) Adanya perlambatan angin di Selat Karimata hingga Laut Seram yang mengakibatkan kelembaban udara cukup tinggi di sebagian wilayah Sumatera bagian Utara. Kondisi tersebut mendukung pertumbuhan awan-awan hujan di sebagian wilayah Sumatera yang berpotensi menimbulkan hujan lebat di Aceh bagian Selatan dan Sumatera Utara bagian Tengah. Hal ini diduga akan berdampak pada berkurangnya 4 hasil panen komoditas pertanian . STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Pembiayaan sektor Korporasi oleh perbankan pada triwulan III 2014 masih menunjukkan pertumbuhan yang relatif baik walaupun sedikit melambat. Jika meninjau tiga sektor utama Sumbagut, peningkatan pertumbuhan kredit terjadi pada sektor Perdagangan Hotel, dan Restoran (PHR) dan pertumbuhan yang stabil pada sektor pertanian, meskipun dibayang-bayangi adanya tekanan pertumbuhan pada sektor industri pengolahan (Grafik IV.3.15). Pertumbuhan tersebut didukung dengan kualitas yang masih terjaga di level yang cukup baik, tercermin dari indikator nonperforming loan (NPL) yang masih di bawah level critical point (5%). Meskipun demikian, perlu diwaspadai adanya kecenderungan naiknya NPL, baik secara total korporasi maupun ketiga sektor utama Sumbagut (Grafik IV.3.16). Kenaikan NPL tersebut diduga dipengaruhi oleh perlambatan kinerja perekonomian terutama di sektor pertanian dan industri pengolahan, di tengah masih melemahnya harga komoditas. Grafik IV.3.15. Perkembangan Kredit Korporasi dan Kredit ke 3 Sektor Utama Sumbagut Grafik IV.3.16. Perkembangan NPL Kredit Korporasi dan Kredit ke 3 Sektor Utama SUmbagut Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor rumah tangga di Sumbagut pada triwulan laporan masih tumbuh positif, walaupun mengalami tekanan terutama untuk Kredit Perumahan Rakyat (KPR) (Grafik IV.3.17). Pertumbuhan tersebut didukung dengan kualitas kredit yang masih cukup baik, tercermin dari NPL yang terjaga di bawah 5% (Grafik IV.3.18). Namun, perlu diwaspadai terutama untuk NPL KPR yang menunjukkan kecenderungan meningkat sejak awal tahun 2014. Peningkatan tersebut terutama terjadi pada tipe rumah 22-70 dan di atas 70 serta apartemen tipe di atas 70. Kondisi ini diduga sebagai dampak dari 4 Informasi anekdotal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) L a p o r a n N u s a n t a r a | 129 kenaikan suku bunga kredit, terutama suku bunga kredit apartemen tipe di atas 70 yang naik cukup tinggi, yaitu dari 10,7% di triwulan II 2014 menjadi 11,22% pada triwulan laporan. Kenaikan NPL tersebut sejalan dengan tren kenaikan NPL KPR untuk semua tipe bangunan (tipe 21, 22-70, di atas 70, dan tipe ruko & rukan) pasca diterapkannya kebijakan Loan to Value (LTV). Grafik IV.3.17. Pertumbuhan Tahunan Kredit Rumah Tangga Sumbagut Grafik IV.3.18. Perkembangan NPL Kredit KPR dan KKB Sumbagut Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Porsi kredit UMKM di wilayah Sumbagut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga pada triwulan III 2014 telah mencapai 28,23% dari total kredit. Secara sektoral, pangsa kredit UMKM masih didominasi oleh sektor PHR dengan pangsa pada triwulan laporan sebesar 54,68%, disusul oleh sektor pertanian (16,63%) dan sektor industri pengolahan (7,07%). Sementara itu, dari jenis penyalurannya, nominal kredit UMKM sebagian besar masih disalurkan untuk usaha menengah (Grafik IV.3.19). Namun, porsi penyaluran kepada usaha mikro telah mengalami peningkatan sejak lima tahun terakhir. Penyaluran kredit UMKM sendiri masih tumbuh cukup baik walaupun sedikit melambat, yakni dari 21,62% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 19,32% (yoy) pada triwulan laporan (Grafik IV.3.20). Meski begitu, angka tersebut masih di atas rata-rata pertumbuhan tahunan selama empat tahun terakhir sebesar 17,63% Grafik IV.3.19. Perkembangan Proporsi Kredit UMKM Sumbagut Grafik IV.3.20. Pertumbuhan Kredit UMKM Sumbagut Kinerja Sistem Pembayaran Transaksi perbankan di wilayah Sumbagut melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (RTGS) pada triwulan III 2014 mengalami penurunan baik secara nominal maupun volume. Secara nominal, transaksi RTGS pada triwulan laporan turun sebesar 18,6% (qtq) menjadi Rp300,31 triliun, sementara secara volume transaksi juga mengalami penurunan sebesar 16,43% (qtq) menjadi sebesar 239.150 transaksi (Grafik IV.3.21). Berbeda dengan hal itu, kliring perbankan di wilayah Sumbagut justru mengalami peningkatan baik secara nominal L a p o r a n N u s a n t a r a | 130 maupun volume. Secara nominal, kliring di Sumbagut mengalami peningkatan sebesar 14,97% (qtq) menjadi sebesar Rp40 triliun sementara secara volume, transaksi warkat kliring juga meningkat sebesar 6,66% (qtq) menjadi 1.157.313 lembar warkat (Grafik IV.3.22). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pada bulan Ramadhan, musim Lebaran, dan masa tahun ajaran baru, selama triwulan laporan justru semakin banyak masyarakat yang melakukan transaksi transfer dana bernominal kecil (di bawah Rp100 juta). Grafik IV.3.21. Perkembangan Transaksi RTGS Grafik IV.3.22. Perkembangan Perputaran Kliring Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Perkembangan uang kartal di wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 mengalami net inflow sebesar Rp1 triliun, sejalan dengan kondisi beberapa triwulan sebelumnya pada tahun ini (Grafik IV.3.23). Namun, posisi net inflow pada triwulan ini tidak setinggi triwulan sebelumnya karena kondisi tersebut hanya terjadi pada wilayah kerja Medan, sementara wilayah kerja lain seperti Banda Aceh, Lhoksumawe, Pematang Siantar, dan Sibolga mengalami kondisi net outflow. Hal ini mengindikasikan banyaknya transaksi yang terjadi di Kota Medan baik dari aktivitas penduduknya sendiri maupun dari pendatang dari daerah sekitarnya yang membelanjakan uangnya di kota ini. Kondisi tersebut didorong oleh meningkatnya aktivitas masyarakat pada bulan Ramadhan, Lebaran, serta masuknya masa tahun ajaran baru. Sementara itu, temuan uang palsu terus mengalami penurunan sejak awal tahun 2014 hingga triwulan ini (Grafik IV.3.24). Penurunan temuan uang palsu tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya antisipasi Bank Indonesia mencegah peredaran uang palsu, antara lain dengan meningkatkan security features uang yang dicetak dan melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah. Grafik IV.3.23. Perkembangan Aliran Uang Kartal Sumbagut Grafik IV.3.24. Perkembangan Uang Palsu di Sumbagut L a p o r a n N u s a n t a r a | 131 PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Kinerja perekonomian wilayah Sumabagut pada tahun 2015 diperkirakan akan membaik dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu berada pada kisaran 4,8%-5,1%. Dari sisi penggunaan, pertumbuhan tersebut masih akan didorong oleh peningkatan kinerja konsumsi dan kembali membaiknya kinerja investasi dan ekspor-impor, seiring dengan membaiknya perekonomian global, terutama perekonomian negara tujuan ekspor utama. Sementara itu, dari sisi sektoral, perekonomian Sumbagut masih akan digerakkan oleh tiga sektor utamanya. Peningkatan kinerja sektor Pertanian serta Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) akan mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik, di tengah prakiraan masih tertekannya pertumbuhan sektor industri pengolahan. Beberapa faktor risiko pada tahun 2015 adalah masih melemahnya harga komoditas utama seperti karet dan CPO, belum pulihnya perekonomian Tiongkok sebagai salah satu negara tujuan ekspor utama, serta risiko iklim seperti anomali cuaca yang berpotensi membayangi kinerja perekonomian Sumbagut. Prospek Inflasi Inflasi daerah Sumbagut pada akhir tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dari inflasi tahun 2014, sejalan dengan terjaganya pasokan, terutama bahan pangan, yang lebih baik. Namun, beberapa potensi risiko inflasi yang harus diwaspadai pada tahun 2015 diantaranya adalah masih akan dilakukannya penyesuaian TTL, kemungkinan akan dinaikkan kembali UMP 2015, serta dampak lanjutan (pass-through effect) kenaikan BBM kepada kenaikan biaya transportasi dan harga-harga bahan makanan. Selain itu, potensi anomali cuaca dan bencana alam seperti Gunung Sinabung menjadi risiko pendorong tekanan inflasi di wilayah Sumbagut. Sehubungan berbagai risiko tekanan inflasi mendatang, koordinasi dalam forum TPID perlu semakin dikuatkan. Dalam forum TPID, keterlibatan aparat keamanan diperlukan, terutama dalam mengantisipasi gejolak sosial yang ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM. Koordinasi juga perlu dilakukan dengan melibatkan organisasi angkutan publik di daerah, untuk meminimalkan dampak penyesuaian harga BBM terhadap tarif angkutan kota dan angkutan antarkota-antar provinsi (AKAP). Koordinasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kesiapan penanggulangan bencana juga perlu dilakukan sejak dini, terutama terkait dengan kecukupan pasokan pangan dan keamanan jalur distribusi. Berbagai upaya tersebut dimaksudkan untuk mencegah gejolak harga yang berlebihan. L a p o r a n N u s a n t a r a | 132 Tabel IV.3.4. Realisasi dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumbagut Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2012 PDRB (%, yoy) 2013 2015 II 5.6 III 5.5 IV 5.4 Total I 5.6 5.1 II 5.1 III 4.7 IVp Totalp Ip Totalp 6.0 I 5.9 4.8 4.9 4.7-5.1 4.8-5.1 Sisi Permintaan Konsumsi 5.6 7.0 6.7 6.7 5.7 6.5 6.1 6.4 5.9 6.1 6.1 6.6-7.0 5.9-6.3 Konsumsi swasta 5.9 7.5 6.7 6.6 5.5 6.6 6.0 6.3 6.4 6.4 6.5 5.8-6.2 6.1-6.5 Konsumsi Pemerintah 4.5 4.8 4.1 4.4 3.9 4.3 4.1 4.3 3.9 4.8 4.3 10.1-10.5 4.6-5.0 6.8 8.6 8.2 7.0 5.0 7.2 4.4 4.6 4.9 4.7 4.7 5.3-5.7 4.9-5.3 Ekspor 2.8 1.2 3.6 4.0 5.7 3.6 4.5 3.7 3.1 3.5 3.7 4.1-4.5 3.9-4.3 Impor 4.9 6.7 7.3 7.9 6.4 7.1 5.3 4.3 3.6 4.8 4.6 5.4-5.8 5.7-6.1 Sektor pertanian 4.9 5.5 3.5 3.1 3.2 3.8 3.1 3.4 3.1 3.4 3.2 3.1-3.5 3.6-4.0 Sektor pertambangan & penggalian 0.2 1.0 2.1 1.8 0.2 1.3 0.8 0.9 (3.6) (3.6) (1.3) (4.2)-(4.6) (2.6)-(3.0) Industri pengolahan 3.4 2.4 3.3 2.8 4.3 3.2 4.4 4.2 2.3 2.0 3.2 2.1-2.5 2.8-3.2 Listrik, gas & air bersih 3.9 5.5 4.7 3.5 3.0 4.1 3.9 5.4 5.9 5.5 5.2 4.8-5.2 4.8-5.2 Bangunan 6.8 7.1 7.9 6.8 6.4 7.0 6.3 5.6 7.5 7.3 6.7 7.0-7.4 6.9-7.3 Perdagangan, hotel & restoran 7.2 7.7 7.8 7.8 7.2 7.6 5.1 6.6 7.4 7.8 6.8 7.6-8.0 6.8-7.2 Pengangkutan & komunikasi 8.3 8.1 7.8 7.2 5.4 7.1 5.2 3.9 4.2 4.3 4.5 4.2-4.6 5.2-5.6 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 10.9 8.1 8.2 10.0 6.6 8.2 10.2 6.1 4.1 4.5 6.1 4.1-4.5 5.8-6.2 6.7 6.4 6.1 7.2 8.2 7.0 7.6 4.75 7.7-8.1 4.27-4.67 5.8-6.2 4.3-4.7 Pembentukan Modal Tetap Bruto* Sisi Produksi Jasa-jasa Inflasi IHK (%, yoy) 7.5 8.1 7.6 7.4 3.52 5.49 6.33 8.99 9.92 9.92 7.40 6.07 4.45 4.75 Sumber: BPS dan Proyeksi (p) KPw BI Wil. IX L a p o r a n N u s a n t a r a | 133 Halaman ini sengaja dikosongkan L a p o r a n N u s a n t a r a | 134 Dampak lanjutan krisis ekonomi dan keuangan global 2008/2009 masih membebani dinamika pemulihan ekonomi dunia. Pola pemulihan ekonomi dunia cenderung mix dengan (1) perekonomian AS tumbuh lebih kuat dibanding negara maju lainnya, dan (2) perekonomian Tiongkok dan negara berkembang melambat, belum pernah terjadi sebelumnya dalam konstelasi geo-ekonomi. Tantangan dari dinamika “two speed recovery” dalam perekonomian global tentunya akan memiliki implikasi pada kinerja perekonomian daerah, khususnya daerah-daerah yang memiliki exposure perdagangan luar negeri yang cukup besar dalam perekonomiannya. “Two speed recovery” dalam perekonomian dunia memberi tantangan yang tidak ringan pada Jawa sebagai production hub industri manufaktur di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, Jawa perlu terus meningkatkan daya tariknya sebagai lokasi produksi industri manufaktur berorientasi ekspor. Dalam dua tahun belakangan ini, perekonomian domestik mengalami tantangan eksternal yang tidak ringan. Dampak lanjutan krisis ekonomi dan keuangan global 2008/2009 masih membebani dinamika pemulihan ekonomi dunia. Meskipun Amerika Serikat (AS) sebagai motor ekonomi dunia mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang lebih konsisten, pemulihan tersebut mengarah pada apa yang oleh banyak kalangan disebut sebagai “a new normal growth”, yaitu tren pertumbuhan jangka menengah panjang yang lebih rendah dari rata-rata sebelumnya. Sementara itu, pemulihan ekonomi di kawasan Eropa secara keseluruhan dan di Jepang masih terbilang rapuh. Sebagai konsekuensinya, pemulihan pertumbuhan ekonomi di negara maju secara keseluruhan masih terbatas dan sarat ketidakpastian. Grafik V.1.1. Komparasi Pangsa Ekspor ke Tiongkok Antar Negara Grafik V.1.2. Dampak Shock Permintaan Domestik 1 Tiongkok Di tengah ekonomi negara maju yang masih mencari keseimbangan barunya, Tiongkok sebagai salah satu penopang ekonomi global menunjukkan arah kecenderungan pertumbuhan yang melambat. Konstelasi global ini menandakan bahwa ekonomi dunia masih ditopang hanya oleh satu mesin pertumbuhan yakni ekonomi AS yang kekuatannya pun sedang menurun. Pola ekspansi yang masih sarat ketidakpastian ini menyebabkan laju pertumbuhan aktivitas perdagangan dunia pun melambat, sehingga intensitas persaingan negara-negara dalam memperebutkan pangsa ekspor di pasar global meningkat. 1 Diolah menggunakan tabel input output dunia 2011. Angka pada legenda adalah dampak total (direct dan indirect) shock permintaan domestik di Tiongkok sebesar 1% pada PDB negara terdampak (Staf BI). L a p o r a n N u s a n t a r a | 135 Perlambatan ekonomi Tiongkok yang merupakan “global factory” perlu diwaspadai. Penurunan ekspor Tiongkok, sebagai salah satu production hub besar di dunia dapat memengaruhi negara-negara berkembang lainnya melalui jalur perdagangan (Grafik V.1.1). Melemahnya pertumbuhan pendapatan di Tiongkok juga berpotensi memberi dampak ke seluruh dunia, terutama ke Asia dan Eropa. Analisa dengan menggunakan World Input-Output Table (WIOT) 2011 menunjukkan bahwa shock permintaan domestik di Tiongkok, akan lebih terasa dampaknya di Asia dan Eropa, dibanding di AS (Grafik V.1.2). Pola pemulihan ekonomi dunia cenderung mix dengan (1) perekonomian AS tumbuh lebih kuat dibanding negara maju lainnya, dan (2) perekonomian Tiongkok dan negara berkembang melambat, belum pernah terjadi sebelumnya dalam konstelasi geo-ekonomi. Dinamika “two speed global recovery” ini tentunya akan memiliki implikasi pada kinerja perekonomian daerah, khususnya daerah-daerah yang memiliki exposure perdagangan luar negeri yang cukup besar dalam perekonomiannya. Selain itu, perlambatan perekonomian Tiongkok layak mendapat perhatian lebih, terutama karena potensi dampaknya terhadap ekspor industri manufaktur Indonesia. Tabel V.1.1. Peta Persaingan Ekspor ke Pasar Tiongkok Berdasarkan Jenis Produk Sumber: UNCTAD, diolah Ket: Keterangan: a) Muatan teknologi diukur berdasarkan UNIDO (2004), sementara kompleksitas berdasarkan Lall (2005); b) Angka dalam highlight biru adalah RCA yang dihitung dengan menggunakan Balassa Index (Indonesia tidak ditampilkan bila tidak masuk dalam lima besar); dan C) Highlight pangsa ekspor provinsi terhadap total ekspor Indonesia untuk setiap kategori produk adalah sebagai berikut: >80% >30% s.d 80% >0% s.d 30% L a p o r a n N u s a n t a r a | 136 Tabel V.1.2. Peta Persaingan Ekspor ke PasarAmerika Serikat (AS) Berdasarkan Jenis Produk Sumber: UNCTAD, diolah Ket: lihat Tabel V.2.1 Analisa sederhana “back of the envelope” terhadap implikasi dari dinamika global tersebut, menunjukkan bahwa dalam konstelasi persaingan dengan pemasok lainnya di pasar Tiongkok, Indonesia secara umum 2 memiliki daya saing yang relatif baik pada setiap klasifikasi produk sebagaimana yang dirangkum di Tabel 1 . Pada klasifikasi produk dengan muatan teknologi rendah, Indonesia cukup kompetitif tidak hanya pada produk-produk dengan kompleksitas yang lebih sederhana seperti sandang wanita, karet dan furnitur, tapi juga pada produk-produk dengan kompleksitas yang lebih rumit seperti alat-alat kantor. Demikian halnya, pada klasifikasi produk dengan muatan teknologi tinggi, Indonesia cukup bersaing di pasar Tiongkok tidak hanya pada produk dengan kompleksitas sederhana seperti lampu dan bangunan prefabrikasi, tapi juga yang berkompleksitas lebih tinggi seperti transmisi kendaraan bermotor dan produk kimia (Tabel V.1.1). Ekspor industri manufaktur ke Tiongkok dominan ditopang oleh ekspor perusahaan-perusahaan manufaktur di Jawa, baik Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah maupun Banten, sebagai sentra-sentra industri manufaktur di Indonesia. Dalam memasok ke pasar Tiongkok, provinsi-provinsi tersebut bersaing dengan sentra-sentra manufaktur di negara lain, terutama di ASEAN (Vietnam, Thailand, Malaysia dan Filipina), namun ada pula pesaing non-ASEAN (Mexico, Brazil, Argentina, dan India, sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator revealed comparative advantage (RCA), di Tabel V.1.1. Pemetaan yang sama untuk ekspor Indonesia ke pasar AS menunjukkan profil yang berbeda dibandingkan pasar Tiongkok (Tabel V.1.2). Secara umum, daerah-daerah yang menjadi sentra industri manufaktur di Jawa banyak mengekspor ke AS pada semua klasifikasi produk. Akan tetapi, angka RCA negara pesaing yang jauh lebih tinggi mengindikasikan posisi Indonesia (Jawa) masih belum merupakan pemasok penting bagi pasar AS. Hal ini menyiratkan bahwa untuk memperoleh posisi pasar yang lebih besar di AS, persaingan Jawa dengan 2 Metode pemetaan di Tabel 1 merujuk ke Lall, S., John Weiss, dan Jinkang Shang (2005), “The ‘Sophistication’ of Exports: A New Measure of Product Characteristics”, ADB Institute Discussion Paper No. 23. Tabel ini mengelompokkan produk industri manufaktur, SITC 3, berdasarkan muatan teknologi dan kompleksitas produk. Muatan teknologi diukur berdasarkan UNIDO (2004): Inserting Local Industries in Global Value Chain and Global Production Networks – Opportunities and Challenges for Upgrading with a Focus on Asia (Annex A), sementara kompleksitas berdasarkan metode dalam Lall et al (2005). L a p o r a n N u s a n t a r a | 137 berbagai sentra produksi lainnya di dunia sangatlah tidak ringan. Untuk bersaing di pasar AS, ekspor manufaktur dari Jawa harus bersaing ketat dengan ekspor manufaktur dari Tiongkok, disamping negaranegara Asia lain seperti India, Srilanka, Thailand, Filipina, Bangladesh dan Pakistan. Selain itu, persaingan juga muncul dari negara-negara di luar kawasan Asia seperti Mexico, Brazil, Afrika Selatan, Turkey, Hungaria, Costa Rica dan Dominican Republic. Terlihat pula bahwa di pasar AS, pesaing-pesaing industri manufaktur di Jawa kebanyakan adalah dari sentra-sentra industri di luar ASEAN. Dari pemetaan diatas dapat ditarik kesimpulan umum bahwa “a two speed recovery” memberi tantangan yang tidak ringan pada Jawa sebagai production hub industri manufaktur di Indonesia. Perekonomian Tiongkok yang melambat dapat meningkatkan intensitas persaingan dengan production hub lain di ASEAN dalam memperebutkan pangsa pasar ekspor di Tiongkok. Sementara itu, pasar AS yang mulai pulih konsisten dapat berdampak positif ke ekspor Jawa, namun, intensitas persaingan dengan production hub lain di seluruh dunia, termasuk dengan Tiongkok, sangat kuat. Oleh karenanya, untuk memperkuat daya saing dan kinerja pertumbuhan ekonominya dalam jangka menengah panjang, Jawa perlu meningkatkan daya tarik sebagai lokasi produksi yang efisien dan menguntungkan bagi manufaktur berorientasi ekspor, terutama manufaktur pemasok barang-barang bernilai tambah tinggi yang banyak diminati dipasar dunia. Untuk itu, kecepatan membangun lingkungan pendukung (enabling environment) bagi aktivitas manufaktur oleh PMA dan PMDN yang memasok pasar global, menjadi kunci. Terkait ini terdapat beberapa simpul-simpul kebijakan reformasi struktural yang dapat menjadi prioritas, yaitu: 1) Penurunan dwelling time dan peningkatan kapasitas container yard pada pelabuhan-pelabuhan bongkar muat di Jawa agar sebanding dengan pelabuhan di pesaing utama di ASEAN, 2) Penguatan ketersediaan konektivitas intermoda alat transportasi berbasis rel dan pelabuhan, untuk mendukung efisiensi pergerakan barang (movement goods) dan penurunan biaya logistik, 3) Penguatan kualitas konektivitas digital dan penyebarannya, 4) Penguatan kepastian pasokan energi baik untuk pemenuhan kebutuhan industri maupun rumah tangga, 5) Peningkatan efisiensi proses perizinan dan registrasi usaha yang terintegrasi serta penciptaan iklim usaha yang kondusif sehingga mampu mendukung target pencapaian nilai Ease of Doing Business di Jawa yang menyamai peer pesaing terkuat di ASEAN, 6) Ketersediaan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang jelas membagi antara zona industri dan nonindustri, serta penyediaan lahan untuk industrial and export processing zones oleh Pemerintah, 7) Memperkuat dan memperluas proteksi sosial universal dibidang kesehatan dan pendidikan untuk mendukung produktivitas kelas pekerja dan rumah tangga Daftar Pustaka Lall, S., John Weiss, dan Jinkang Shang (2005), “The ‘Sophistication’ of Exports: A New Measure of Product Characteristics”, ADB Institute Discussion Paper No. 23. UNIDO (2004). Inserting Local Industries in Global Value Chain and Global Production Networks – Opportunities and Challenges for Upgrading with a Focus on Asia. Working Paper. L a p o r a n N u s a n t a r a | 138 Perwujudan kedaulatan dan swasembada pangan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kemampuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian padi, karena komoditas beras masih menjadi preferensi pangan pokok masyarakat. Peningkatan produktivitas pertanian padi tersebut sangat bergantung pada ketersediaan soft dan hard infrastructures. Terkait penyediaan soft infrastructure, simpul kebijakan perlu diarahkan pada peningkatan kapasitas modal manusia pertanian, modernisasi kegiatan penyuluhan, formalisasi kelembagaan petani, penguatan peran perguruan tinggi dalam intermediasi inovasi dan teknologi, serta peningkatan komitmen pemerintah dalam mendorong produktivitas pertanian padi berbasis inovasi dan teknologi. Beras masih menjadi komoditas yang menjadi preferensi utama penduduk Indonesia ketika berbicara mengenai bahan pangan pokok, atau staple food (Grafik V.2.1). Perwujudan kedaulatan pangan di Indonesia kemudian dihadapkan pada dua isu besar utama yaitu pertumbuhan penduduk dan peningkatan populasi masyarakat kelas ekonomi menengah. Pada tahun 2020, penduduk Indonesia diperkirakan akan mendekati 274 juta orang dan pada 2030 dapat mencapai 300 juta (Grafik V.2.2). Dalam satu setengah dekade kedepan, McKinsey Global Institute (2012) memperkirakan bahwa 71% penduduk Indonesia akan hidup di daerah perkotaan (urban) dan memproduksi 86% dari PDB. Lebih dari pada itu, sekitar 135 juta penduduk Indonesia 3 akan menjadi kelas konsumen (consuming class) . Dengan mengasumsikan tidak ada perubahan preferensi penduduk Indonesia terhadap komoditas pangan utama, semua hal tersebut menunjuk pada pentingnya untuk segera memperkuat kemampuan domestik dalam memasok beras secara cukup dan dengan kualitas yang pantas, terutama melalui peningkatan produktivitas pertanian padi di daerah perdesaan. Konsumsi Padi-Padian dan UmbiUmbian Per Kapita Lainnya Tepung Ketela Pohon(Tapioka) Tepung Gaplek (Tiwul) Gaplek Kentang Talas Sagu Ketela Rambat Ketela Pohon Lainnya Tepung Terigu Tepung Jagung (Maizena) Tepung Beras Beras Jagung Jagung Basah dengan Kulit Beras Ketan Beras 2,35 3,49 97,4 0 20 40 60 80 100 kg/kapita/tahun Sumber: Badan Pusat Statistik diolah Pusdatin (Statistik Pertanian 2013, Kementan) Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035 (Bappenas, BPS, dan UNFPA, 2013) Grafik V.2.1. Pola Konsumsi Pangan Pokok Indonesia Grafik V.2.2. Proyeksi Populasi Indonesia (2010-2035) Langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitas pertanian padi di perdesaan menjadi semakin mendesak mengingat Indonesia saat ini masih belum sepenuhnya mampu secara konsisten berswasembada beras. Untuk memenuhi kebutuhan permintaan beras masyarakat yang semakin meningkat, terkadang masih perlu untuk membuka keran impor. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi perwujudan kedaulatan pangan, yang hakekatnya adalah swasembada pangan. Tentang konsep kedaulatan pangan Presiden Joko Widodo menjelaskan sebagai berikut: 3 McKinsey Global Institute (2012): The Archipelago Economy – Unleashing Indonesia’s Potential, September. L a p o r a n N u s a n t a r a | 139 “Ketahanan pangan itu beda dengan kedaulatan pangan, ketahanan pangan itu ‘hanya’ sekedar bahan pangan itu ‘ada’ di gudang-gudang logistik dan di pasar-pasar. Tapi bahan pangan itu darimana tidak jadi soal, dari impor atau lokal tak dipikirkan, yang penting ada. Kalau ‘kedaulatan pangan’ itu bahan pangan ada, kita produksi sendiri dan kita kuat dalam pemasaran, bahkan pangan yang kita hasilkan dari pertanian kita bisa menguasai pasarpasar di luar negeri. Kita berdaulat atas sumber pangan kita, bila terjadi kekacauan di luar negeri, cadangan logistik kita masih kuat karena hasil pangan kita lebih dari cukup memenuhi kebutuhan rakyat”4 Sementara itu, pencapaian swasembada pangan, termasuk beras, tidak dapat dilepaskan pula dari proses transformasi struktural perekonomian Indonesia. Salah satu tujuan penting dari proses pembangunan ekonomi adalah mempercepat migrasi dari negara terbelakang yang berpendapatan rendah (low income country) menjadi negara maju berpendapatan tinggi (high income country). Untuk negara berkembang yang umumnya berkarakteristik ekonomi dualistik, proses migrasi tersebut membutuhkan transformasi pada 5 struktur perekonomian . Sumber: Dipinjam dengan penyesuaian dari Timmer, C. Peter (2007) Grafik V.2.3. Proses Transformasi Struktural Pengalaman negara-negara menunjukkan bahwa proses transformasi struktural tersebut berupa, pertama, menurunnya pangsa output dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dalam perekonomian yang diikuti dengan meningkatnya produktivitas di sektor pertanian di perdesaan; dan kedua menguatnya laju industrialisasi dan penyerapan tenaga kerja formal di perkotaan. Grafik V.2.3 mengilustrasikan proses 6 transformasi tersebut secara konseptual dan empiris. Pengalaman negara-negara juga menunjukkan bahwa dua arus transformasi struktural diatas perlu berjalan simultan dan saling mendukung untuk mengeluarkan penduduk dari poverty trap, mengatasi persoalan under-employment di daerah perdesaan, dan bermigrasi dengan cepat ke negara berpendapatan tinggi via industrialisasi. Dalam konteks kebijakan pembangunan, pengalaman empiris sebagaimana diulas diatas, menunjukkan pentingnya bagi suatu negara yang sedang bermigrasi ke negara maju untuk (a) mengupayakan peningkatan 4 Dikutip dari artikel berjudul “Ketahanan Pangan versus Kedaulatan Pangan Menurut Jokowi”, 2 November 2014, di http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal-15/3674/ketahanan-pangan-versus-kedaulatan-pangan-menurut-jokowi#.VGH_SEnLIU (diakses pada 11/11/2014). 5 Terkait perekonomian dualistik (dual economy) lihat Lewis, W.A. (1954) 'Economic development with unlimited supply of labour', The Manchester School, dan Ranis, G. (2004),”Labor Surplus Economies”, Economic Growth Center, Discussion Paper #900, Yale University. 6 Lihat Timmer, C. Peter,”The Structural Transformation and Changing Role of Agriculture in Economic Development: Empiric and Implications,” 2007. L a p o r a n N u s a n t a r a | 140 produktivitas di sektor pertanian dan membangun kekuatan dalam memasok bahan pangan yang cukup guna menopang industrialisasi, dan (b) mendorong industrialisasi yang lebih kuat dan cepat di perkotaan dalam rangka mempercepat peningkatan produkivitas di sektor pertanian dan perbaikan tingkat kesejahteraan di daerah perdesaan. Peningkatan produktivitas pertanian padi selain dapat membantu mempercepat proses transformasi struktural tersebut, juga menjadi salah satu pintu masuk menuju kedaulatan pangan. Melalui langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitas pertanian padi, tekanan involusi pertanian di daerah perdesaan dapat melonggar, dan surplus tenaga kerja di sektor pertanian dapat bertahap beralih ke sektor industri di 7 perkotaan . Peningkatan produktivitas pertanian padi selanjutnya dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat desa dan menjadikan daerah perdesaan sebagai pemasok yang dapat diandalkan untuk komoditas pangan pokok yang merupakan ‘input’ penting dalam proses produksi dan industrialisasi di daerah perkotaan. Tabel V.2.1. Pertumbuhan Produksi Padi Versus Pertumbuhan Luas Panen dan Pertumbuhan Tingkat Produktivitas Kawasan Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sulawesi Selatan Sumatera Utara Sumatera Selatan Lampung Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Nasional LP 3,11% 4,48% 4,43% 2,82% -1,79% 3,08% 3,54% 4,77% 0,00% -3,86% 2,87% 2010 P 0,30% -0,79% 0,86% -1,44% 3,40% 1,58% 1,41% 0,23% -5,14% -2,08% 0,32% Q 3,42% 3,66% 5,32% 1,35% 1,54% 4,71% 5,01% 5,01% -5,15% -5,87% 3,22% LP -1,89% -3,59% -4,28% 0,32% 0,38% 1,99% 2,77% 0,26% 11,70% 3,81% -0,38% 2011 P -7,42% 2,81% -2,96% 2,63% 0,32% 1,41% 1,91% 2,81% 4,30% 6,57% -0,70% Q -9,17% -0,88% -7,11% 2,95% 0,70% 3,43% 4,74% 3,09% 16,49% 10,65% -1,07% LP 2,54% -2,32% 2,86% 10,36% 1,00% -1,92% 5,75% 3,19% 1,77% 1,42% 1,83% 2012 P 12,48% -0,81% 5,93% 0,47% 1,97% -0,74% -0,27% 0,69% 0,49% 0,91% 3,13% Q 15,34% -3,11% 8,95% 10,89% 3,00% -2,64% 5,46% 3,89% 2,28% 2,35% 5,02% LP 1,25% -0,48% 1,00% 4,50% -0,14% 1,05% 4,02% 2,74% 4,49% 0,46% 1,44% Rata-rata 2010-2012 P Q 1,79% 3,20% 0,40% -0,11% 1,28% 2,39% 0,56% 5,06% 1,90% 1,75% 0,75% 1,83% 1,02% 5,07% 1,24% 4,00% -0,12% 4,54% 1,80% 2,38% 0,92% 2,39% Sumber: Statistik Pertanian 2013 Kementan, diolah Ket.: LP = Pertumbuhan Luas Panen Padi (yoy); P = Pertumbuhan Produktivitas Padi (yoy); Q = Pertumbuhan Produksi Padi (yoy) Terkait produktivitas pertanian padi, sampai saat ini masih ditengarai adanya permasalahan-permasalahan yang bersifat struktural, terutama di sentra-sentra produsen padi di Indonesia. Masalah-masalah tersebut mulai dari lahan pertanian yang semakin menyusut karena tergerus oleh urbanisasi, kecilnya luas lahan per petani, menurunnya kualitas tanah, semakin berkurangnya dukungan dari infrastruktur pertanian (misalnya infrastruktur irigasi teknis), kurangnya elektrifikasi di perdesaan, sampai dengan permasalahan terkait adopsi inovasi dan teknologi pertanian hasil penelitian dan pengembangan (R&D) di sektor pertanian padi. Permasalahan-permasalahan ini menyebabkan pelannya penurunan “labor intensity” di pertanian padi dan lambatnya peningkatan output padi per kapita (Tabel V.2.1). 7 Terkait involusi pertanian di Indonesia, lihat Geertz C. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia. University of California Press, 1963. L a p o r a n N u s a n t a r a | 141 Gambar V.2.1. Lima Aspek Reformasi Untuk Memperkuat Infrastruktur Lunak Pendukung Produktivitas Pertanian Padi Hasil studi untuk mengkaji tentang dukungan aspek inovasi dan teknologi pada produktivitas di pertanian padi, menyimpulkan bahwa peningkatan produktivitas pertanian padi akan sangat bergantung pada intermediasi hasil inovasi dan teknologi pertanian padi yang telah diakumulasi dalam bentuk adopsi oleh petani padi terhadap inovasi dan teknologi hasil penelitian dan pengembangan (R&D) di bidang pertanian padi. Kesimpulan ini berarti bahwa intermediasi dan adopsi inovasi dan teknologi merupakan simpul kebijakan yang perlu lebih diprioritaskan vis a vis akumulasi inovasi dan teknologi di bidang pertanian padi. Hasil studi juga menyimpulkan bahwa untuk memperkuat tingkat adopsi inovasi dan teknologi pertanian padi oleh petani padi tersebut sangat diperlukan adanya langkah-langkah untuk memperkuat dukungan infrastruktur lunak (soft infrastructure) berupa penguatan pada lima aspek berikut yaitu: (a) kapasitas internal (modal manusia) petani, (b) kelembagaan petani, (c) lembaga penyuluhan, (d) peran perguruan tinggi, dan (e) komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah (Gambar V.2.1). Langkah-langkah penguatan pada aspek-aspek terkait soft infrastructure ini seyogyanya merupakan pelengkap dari langkah-langkah penguatan pada hard infrastructure seperti penyediaan sarana dan prasarana irigasi, jalan desa, elektrifikasi dan digitalisasi perdesaan. Selanjutnya, pada setiap area penguatan terkait soft infrastructure tersebut, dapat direkomendasikan beberapa langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh, sebagaimana dirangkum di Tabel V.2.2. Tabel V.2.2. Rekomendasi Kebijakan Penguatan Soft Infrastructure dalam rangka Peningkatan Produktivitas Berbasis Inovasi dan Teknologi pada Pertanian Padi No 1 2 3 Meningkatkan Kapasitas Internal Petani Memperkuat Kelembagaan Petani Modernisasi Lembaga Penyuluhan Rekomendasi Kebijakan • Memperbaiki tingkat pendidikan petani masa depan dengan memasukkan materi wirausaha pertanian ke kurikulum sekolah dasar dan menengah. • Memperkuat efektivitas sekolah lapang. • Menciptakan petani contoh untuk inspirasi ke petani lain melalui pemberian award dan kesempatan bagi petani sukses. • Mendorong formalisasi kelompok tani padi dan komersialisasinya untuk penguatan skala ekonomi, dengan secara bertahap bertransformasi menjadi badan usaha milik petani, mis. koperasi, firma, atau perseroan terbatas milik kelompok tani. • Mendorong transformasi lembaga penyuluhan menjadi Lembaga Konsultasi Perdesaan (Rural Advisory Services), yang menyediakan extension services di sepanjang rantai nilai pertanian padi. • Memperkuat materi penyuluhan pertanian padi dan diseminasinya secara digital (digital extension services) dari provinsi sampai ke tingkat desa, termasuk L a p o r a n N u s a n t a r a | 142 • 4 Memperkuat Peran Perguruan Tinggi • • • 5 Memperkuat Komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah • • • membangun information clearing house bagi penyuluh dan penyediaan extension brief secara digital. Menggali potensi, kearifan dan pengetahuan lokal di bidang pertanian padi yang menjadi penciri suatu daerah otonom untuk dikembangkan menjadi programa dan modul penyuluhan. Meningkatkan porsi pengabdian masyarakat dalam tri-darma perguruan tinggi, khususnya pagu minimal 20% porsi pengabdian masyarakat bagi civitas academica di bidang pertanian padi untuk pemberdayaan petani padi melalui diseminasi inovasi dan teknologi hasil R&D. Integrasi R&D oleh perguruan tinggi dengan program penyuluhan dan pendampingan. Mengembangkan proses looping dari hasil R&D dan pendampingan masyarakat ke kurikulum pendidikan. Menetapkan persentase anggaran R&D pertanian setidaknya 1% dari PDB sektor pertanian. Memberdayakan BALITBANGDA melalui sinergi dengan perguruan tinggi dan BPTP, serta peningkatan kualitas penelitinya. Mendorong penyelesaian RTRW yang jelas membedakan antara lahan pertanian dan lahan industri, dan memastikan ketersediaan RTRW yang eksplisit melindungi lahan sawah produktif beririgasi teknis. L a p o r a n N u s a n t a r a | 143 Editor Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Kontributor Kantor Perwakilan Wilayah I Sulawesi, Maluku & Papua Kantor Perwakilan Wilayah II Kalimantan Kantor Perwakilan Wilayah III Bali & Nusa Tenggara Kantor Perwakilan Wilayah IV Jawa Bagian Timur Kantor Perwakilan Wilayah V Jawa Bagian Tengah Kantor Perwakilan Wilayah VI Jawa Bagian Barat Kantor Perwakilan Wilayah VII Sumatera Bagian Selatan Kantor Perwakilan Wilayah VIII Sumatera Bagian Tengah Kantor Perwakilan Wilayah IX Sumatera Bagian Utara : Andree Breitner : Daniel Agus Prasetyo : Ikhsan Utama : : Komalia Rahmayani Tommy Aditya Adela Putri Rizkia Putri Almainda Kamila Rifki Ismail Risma Irnisari Septine Wulandini : Reza Hidayat : Ragil Misas Grup Riset Ekonomi : Reza Anglingkusumo Grup Asesmen Ekonomi : Kiki Nindya Asih M. Cahyaningtyas Handri Adiwilaga Darius Tirtosuharto Soraefi Oktafihani Puput Kurniati Nurul Pratiwi Andi Parenrengi : : L a p o r a n N u s a n t a r a | 144 L a p o r a n N u s a n t a r a | 145