November 2014 - Bank Indonesia

advertisement
November 2014
Laporan Nusantara
VOLUME 9 NOMOR 4
|1
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Daftar Isi
3
Kata Pengantar
5
Bagian I
Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Daerah
7
Bagian II
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
13
II.1. Perekonomian Sulawesi, Maluku, dan Papua
15
II.2. Perekonomian Kalimantan
28
II.3. Perekonomian Bali-Nusa Tenggara
39
Perekonomian Jawa
49
III.1. Perekonomian Jawa Bagian Timur
51
III.2. Perekonomian Jawa Bagian Tengah
63
III.3. Perekonomian Jawa Bagian Barat
72
III.4. Perekonomian Jakarta
85
Perekonomian Sumatera
99
IV.1. Perekonomian Sumatera Bagian Selatan
101
IV.2. Perekonomian Sumatera Bagian Tengah
113
IV.3. Perekonomian Sumatera Bagian Utara
125
Isu Khusus Daerah
139
Isu Khusus 1: Dinamika Perdagangan Global dan Daya Saing Jawa
Isu Khusus 2: Meningkatkan Produktivitas Pertanian Padi untuk
Mendukung Ketahanan Pangan
139
144
Bagian III
Bagian IV
Bagian V
147
150
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Bank Indonesia
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Grup Asesmen Ekonomi
Divisi Asesmen Ekonomi Regional
Ph. 021-29818119, 29818868
Fax. 021-3452489, 2310553
Laporan Nusantara
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara|2
Dalam proses perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia mempertimbangkan seluruh aspek
perekonomian termasuk berbagai dinamika dan isu terkini yang berkembang di daerah. Pembahasan
menyeluruh tentang perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di
daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Kantor Perwakilan Bank
Indonesia dari seluruh Indonesia. Hasil pembahasan tersebut menjadi bagian penting yang melengkapi
pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko yang berkembang.
Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2014 kembali tumbuh melambat sebesar 5,01% (yoy), lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan II 2014 yang sebesar 5,12% (yoy). Hal ini dipengaruhi terutama oleh
melambatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan Sumatera karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan
Jakarta karena menurunnya kinerja sektor konstruksi. Meski demikian, terdapat tanda-tanda awal pemulihan
ekonomi nasional sebagaimana tercermin pada perekonomian Jawa yang tumbuh relatif stabil dan
perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang tumbuh lebih baik dari perkiraan semula. Stabilnya
pertumbuhan ekonomi Jawa ditopang oleh membaiknya perekonomian Jawa Tengah dan Jawa Timur yang
didukung oleh meningkatnya kinerja industri manufaktur. Sementara meningkatnya pertumbuhan ekonomi KTI
didorong oleh membaiknya kinerja sektor pertambangan di Kalimantan dan Papua serta meningkatnya kinerja
sektor pertanian di Sulawesi.
Memasuki triwulan triwulan IV 2014 berbagai indikator ekonomi daerah secara agregat mengindikasikan
perekonomian nasional berpotensi untuk kembali membaik, meski juga disertai berbagai risiko baik yang
bersumber dari domestik maupun terkait perkembangan ekonomi global. Perekonomian KTI diprakirakan
kembali tumbuh meningkat didorong oleh berlanjutnya perbaikan kinerja di sektor pertambangan seiring
dengan mulai normalnya operasional sejumlah perusahaan tambang utama. Sementara itu, perekonomian
Jakarta diprakirakan tumbuh lebih baik didorong oleh perbaikan kinerja sektor konstruksi, demikian pula di
Sumatera yang didorong oleh perbaikan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan. Adapun
perekonomian Jawa diprakirakan relatif stabil ditopang terutama oleh masih meningkatnya kinerja industri
manufaktur. Pertumbuhan ekonomi daerah utk keseluruhan tahun 2014 secara agregat diprakirakan
mendekati batas bawah kisaran 5,1%-5,5% (yoy) jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2013 sebagai dampak
penurunan kinerja sektor pertambangan KTI pasca implementasi UU Mineral di awal tahun. Dinamika
perekonomian global yang diwarnai dengan perlambatan perekonomian negara maju dan tren penurunan
harga komoditas mempengaruhi kinerja subsektor perkebunan di Sumatera dan industri manufaktur di Jawa
secara keseluruhan. Laju penurunan pertumbuhan ekonomi nasional lebih lanjut tertahan oleh kuatnya
perekonomian Jakarta yang mampu tumbuh di kisaran 6% sepanjang tahun 2014.
Di sisi inflasi, perkembangan inflasi di daerah selama triwulan III cenderung menurun karena cukup terjaganya
pasokan. Namun, memasuki triwulan IV 2014 kembali menunjukkan kecenderungan yang meningkat walau
masih dengan intensitas yang masih rendah. Kembali meningkatnya tekanan inflasi lebih dipengaruhi oleh
implementasi kebijakan administered price seperti penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) rumah tangga dan
kenaikan harga LPG 12 kg. Masuknya masa tanam di tengah kondisi kekeringan yang semakin meningkat
menambah tekanan inflasi dari komponen volatile food. Tekanan inflasi volatile food yang lebih besar
menyebabkan beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara
mencatat tingkat inflasi yang cukup tinggi di kisaran 6% - 7% (yoy). Dalam hal ini peran aktif Tim Pengendalian
Inflasi Daerah (TPID) perlu ditingkatkan dan difokuskan pada upaya-upaya untuk mengamankan pasokan
pangan dan energi di daerah.
Laporan Nusantara|3
Hingga akhir akhir tahun 2014, inflasi daerah secara agregat diprakirakan masih dapat terkendali di dalam
kisaran sasaran inflasi nasional yang sebesar 4,5%±1%. Implementasi kebijakan terkait administered price
seperti penyesuaian TTL, kenaikan harga LPG 12 kg dan penyesuaian batas atas tarif angkutan udara
mempengaruhi peningkatan tekanan inflasi di berbagai daerah. Pasokan pangan yang menurun karena
masuknya masa tanam berpotensi menurun lebih dalam karena terpapar risiko kekeringan yang melanda
sejumlah daerah sentra produksi, khususnya di Jawa dan Sumatera. Bank Indonesia terus mencermati dampak
dari rencana kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap perkembangan inflasi di daerah. Secara khusus,
koordinasi dengan TPID akan terus diperkuat dengan menyiapkan langkah-langkah mitigasi kemungkinan
lonjakan inflasi pasca kebijakan kenaikan BBM bersubsidi, khususnya melalui pengendalian kenaikan tarif
angkutan dalam batasan yang wajar dan memastikan langkah pengamanan pasokan pangan dan energi
Ke depan, perekonomian daerah pada tahun 2015 diperkirakan meningkat seiring dengan menguatnya indikasi
perbaikan di sektor pertambangan KTI dan prospek perbaikan ekonomi global yang dapat mempengaruhi
peningkatan kinerja industri pengolahan di Jawa dan Sumatera. Sementara inflasi diproyeksikan masih akan
berada di lintasan yang konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Meskipun
demikian, sejumlah risiko yang membayangi di tahun 2015 masih bersumber dari rencana implementasi
kebijakan energi oleh pemerintah. Bank Indonesia memandang upaya untuk mendorong reformasi struktural
semakin penting dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan struktural yang dapat menghambat
perekonomian daerah ke depan. Langkah reformasi struktural perlu ditempuh dan difokuskan pada upaya
peningkatan daya saing ekspor manufaktur dan diversifikasi perekonomian daerah melalui penguatan
lingkungan pendukung (enabling environment), termasuk logistik dan konektivitas, kemudahan berusaha, dan
akses pembiayaan jangka panjang.
Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam
buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat isu khusus terkait dengan
implikasi dinamika global terhadap daya saing daerah dan isu mengenai aspek pencapaian kedaulatan pangan
dalam transformasi struktural. Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh Departemen
Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan para analis ekonomi dari seluruh
Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia.
Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan
dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu bentuk kontribusi Bank Indonesia dalam
pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 17 November 2014
Departemen Kebijakan Ekonomi
dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
Laporan Nusantara|4
PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH
Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 5,1% (y.o.y) pada triwulan II-2014 menjadi 5,0%
pada triwulan III-2014, pengamatan terhadap kinerja ekonomi daerah menunjukkan adanya tanda-tanda awal
pemulihan kinerja ekonomi nasional. Hal ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi Jawa (di luar Jakarta) yang
mulai stabil dan pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang terus membaik (Grafik I.1). Kinerja
ekonomi Jawa (di luar Jakarta) ditopang antara lain oleh perbaikan di sektor pertanian dan masih cukup
kuatnya industri manufaktur seiring meningkatnya permintaan ekspor produk manufaktur, khususnya dari
Amerika Serikat. Untuk wilayah KTI, perbaikan kinerja ekonomi didorong antara lain oleh membaiknya
produksi pertanian di beberapa daerah sentra di Sulawesi dan kembali meningkatnya aktivitas di sektor
tambang pasca rilis izin ekspor mineral bagi beberapa penambang besar.
Sementara itu, perlambatan ekonomi nasional pada triwulan III-2014 lebih disebabkan oleh melambatnya
pertumbuhan ekonomi kawasan Sumatera dan Jakarta. Perlambatan ekonomi Sumatera terutama akibat
melemahnya kinerja sektor pertanian dan agroindustri sebagai imbas dari menurunnya harga komoditas
ekspor perkebunan. Selain itu, berkurangnya produksi migas di beberapa daerah di Sumatera, seperti Riau dan
Aceh, turut memberikan tekanan bagi perekonomian Sumatera. Dalam periode yang sama, ekonomi Jakarta
mengalami sedikit perlambatan akibat melemahnya kegiatan di sektor konstruksi. Kendati demikian, berbagai
indikator menunjukkan bahwa ekonomi Jakarta diperkirakan sudah melewati titik terendahnya.
Sumber: BPS, diolah
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan III 2014
Inflasi di hampir seluruh daerah pada triwulan III 2014 cenderung menurun terutama didukung oleh cukup
melimpahnya pasokan pangan (volatile food). Masuknya masa panen sejumlah komoditas strategis, seperti
padi di Kalimantan dan hortikultura di Jawa, berkontribusi positif pada terjaganya pasokan pangan. Sebagian
besar daerah di KTI mengalami penurunan tekanan inflasi pangan yang lebih dalam akibat melimpahnya hasil
tangkapan ikan. Beberapa daerah di KTI, seperti Sulawesi Tenggara dan Maluku, bahkan berhasil mencatat laju
inflasi yang sangat rendah masing-masing sebesar 1,8% dan 2,8% pada akhir triwulan III 2014.
Laporan Nusantara|5
Setelah mengalami penurunan pada triwulan III 2014, laju inflasi di berbagai daerah mengalami kenaikan pada
Oktober 2014 meski masih pada tingkat yang terkendali. Peningkatan terutama didorong oleh kelompok
administered price sebagai dampak penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) serta kenaikan harga LPG 12 kg dan
dampak rambatannya terhadap kenaikan harga LPG 3 kg. Hal ini diduga terkait dengan beralihnya permintaan
masyarakat ke LPG 3 kg pasca kenaikan harga LPG 12 kg. Sementara itu, tekanan inflasi pangan (volatile food)
mulai kembali meningkat dipicu terutama oleh kenaikan harga beberapa komoditas aneka bumbu akibat
kekeringan yang melanda beberapa daerah sentra produksi. Di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat,
Banten, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, kenaikan harga beberapa komoditas pangan mendorong inflasi
lebih tinggi daripada daerah-daerah lain (Gambar I.2).
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Oktober 2014
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang masih melambat, pembiayaan ekonomi melalui perbankan di
berbagai daerah pada triwulan III 2014 juga tumbuh melambat. Penyaluran kredit di Sumatera dan KTI pada
akhir triwulan III 2014 masing-masing tumbuh 10,5% dan 9,1%, lebih rendah daripada pertumbuhan kredit di
Jawa (13,7%). Meski demikian, kualitas kredit yang disalurkan masih terjaga pada level yang aman. Indikasi
kenaikan risiko kredit terkonsentrasi pada beberapa daerah yang merupakan basis produksi tambang, seperti
di Sulawesi dan Kalimantan, walaupun belum menyentuh tingkat yang mengkhawatirkan. Kecenderungan
harga komoditas di pasar global yang masih cenderung turun menjadi sumber kerentanan kredit di daerahdaerah yang mengandalkan pendapatannya pada ekspor sumber daya alam (SDA).
Melambatnya perekonomian tercermin juga pada transaksi keuangan melalui sistem pembayaran. Sepanjang
triwulan III 2014, transaksi pembayaran yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross Settlement (RTGS)
secara rata-rata tercatat sebesar Rp28,4 ribu triliun per bulan, lebih rendah daripada rata-rata triwulan
sebelumnya sebesar Rp30,0 ribu triliun per bulan. Melambatnya aktivitas transaksi keuangan ini diperkirakan
tidak terlepas dari berakhirnya pelaksanaan Pemilu dan masih cenderung melambatnya perekonomian di
daerah-daerah luar Jawa.
PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN
Prospek Ekonomi Daerah Tahun 2014 dan 2015
Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi di daerah secara agregat mengindikasikan adanya
potensi perbaikan kinerja perekonomian nasional (Tabel I.1). Potensi perbaikan tersebut diperkirakan akan
terjadi di Sumatera dan KTI sedangkan ekonomi Jawa diperkirakan relatif stabil. Kinerja ekonomi Jawa yang
Laporan Nusantara|6
stabil ditopang oleh ekspor manufaktur yang masih akan meningkat seiring dengan prospek perbaikan
ekonomi di AS serta konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh kuat. Sementara itu, perbaikan ekonomi
Sumatera dipengaruhi antara lain oleh pembangunan beberapa proyek infrastruktur dan berlanjutnya
replanting perkebunan. Peningkatan kinerja ekonomi KTI terutama didorong oleh aktivitas tambang pasca
keluarnya izin ekspor mineral. Namun, prospek perbaikan ekspor KTI dihadapkan pada risiko terkait
diberlakukannya kebijakan pengaturan izin ekspor batubara pada awal Oktober 2014, dampak perlambatan
ekonomi Tiongkok, dan masih rendahnya harga tambang dunia. Selain itu, potensi pemulihan ekonomi
nasional pada triwulan IV 2014 juga masih dihadapkan pada risiko yang berasal dari kemungkinan rendahnya
realisasi pengeluaran pemerintah sejalan dengan kebijakan penghematan untuk mengamankan pencapaian
target defisit APBN.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan IV 2014*
Sumatera
Bag.
Utara
Bag.
Tengah
Bag.
Selatan
Tendensi
Kawasan
KTI
Jawa
Asesmen
Jakarta
Jawa Bag. Jawa Bag. Jawa Bag. Tendensi
Barat
Tengah
Timur Kawasan
Kaliman
tan
Asesmen
BaliNustra
Sulampua
Tendensi
Kawasan
Asesmen
Pertumbuhan
Ekonomi
Konsumsi RT
Terjaganya
ekspektasi dan
belanja konsumsi
masyarakat akhir
tahun
Terjaganya
ekspektasi dan
belanja konsumsi
masyarakat akhir
tahun
Terjaganya ekspektasi
dan belanja konsumsi
masyarakat akhir
tahun
Konsumsi
Pemerintah
Realisasi belanja
pemerintah terbatas
Puncak realisasi
anggaran Pemda di
triwulan terakhir.
Puncak realisasi
anggaran Pemda di
triwulan terakhir.
Investasi (PMTB)
Konstruksi proyek
infrastruktur dan
replanting
perkebunan
berlanjut
Konstruksi proyek
infrastruktur
Progress
pembangunan proyek
infrastruktur
melambat
Ekspor LN
Harga komoditas
perkebunan yang
masih rendah
Membaiknya
permintaan ekspor
manufaktur dari AS
Ekspor batubara
menurun
Impor LN
Melambatnya impor
bahan baku
Meningkatnya
kebutuhan bahan
baku
Melambatnya impor
bahan baku
* Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Walaupun terdapat potensi perbaikan pada triwulan IV, proyeksi pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah
secara agregat mengindikasikan perekonomian nasional untuk keseluruhan tahun 2014 akan tumbuh pada
batas bawah dari kisaran 5,1% - 5,5%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya (5,8%). Perlambatan
ekonomi yang lebih dalam dialami oleh Sumatera dan KTI terkait dengan harga komoditas ekspor utama yang
masih cenderung rendah sepanjang tahun 2014. Selain itu, perlambatan juga dipengaruhi oleh proses
konsolidasi di sektor tambang terkait kebijakan pengaturan ekspor mineral yang diterapkan pada awal tahun
2014. Melambatnya aktivitas ekonomi di KTI dan Sumatera turut berimplikasi terhadap kinerja ekonomi Jawa,
khususnya karena melemahnya aktivitas perdagangan antarpulau. Perlambatan ekonomi Jawa selama 2014
juga bersumber dari melemahnya kinerja investasi dan ekspor sejalan dengan dinamika global yang masih
diwarnai ketidakpastian, serta tendensi investor yang cenderung menunda investasinya sampai kondisi
ekonomi dipandang kembali kondusif.
Pada tahun 2015, prospek pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah secara agregat mengindikasikan
perekonomian nasional dapat tumbuh di kisaran 5,4% - 5,8%, lebih tinggi daripada tahun 2014. Prospek
pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik ini didorong oleh perbaikan kinerja ekonomi di seluruh daerah.
Prospek pemulihan ekonomi di AS diperkirakan akan berdampak positif terhadap ekspor manufaktur,
terutama dari Jawa. Namun, perlambatan ekonomi Tiongkok yang cenderung bersifat struktural berpotensi
menahan kenaikan pertumbuhan ekonomi Jawa lebih lanjut. Selain itu, imbas dari melambatnya ekonomi
Laporan Nusantara|7
Tiongkok diperkirakan turut menekan harga komoditas di pasar global sehingga berdampak pada masih
terbatasnya peningkatan ekonomi di KTI dan Sumatera. Secara keseluruhan, permintaan domestik
diperkirakan masih tetap kuat di berbagai daerah sehingga dapat memberikan cushion bagi perekonomian.
Dari sisi inflasi, walaupun cenderung meningkat, tekanan inflasi hingga akhir tahun 2014 di berbagai daerah
diperkirakan masih terkendali dan sejalan dengan pencapaian sasaran inflasi nasional sebesar 4,5%±1%.
Terkendalinya inflasi didukung oleh permintaan yang moderat, ekspektasi inflasi yang terjaga, dan harga
komoditas global yang masih menurun. Inflasi berbagai komoditas pangan secara umum juga diperkirakan
relatif rendah dengan dukungan pasokan pangan yang terjaga. Meski demikian, sejumlah risiko yang semakin
mengemuka di awal triwulan IV 2014 berpotensi memberikan tekanan kenaikan inflasi yang lebih tinggi.
Beberapa risiko yang perlu dicermati terutama adalah dampak penyesuaian batas atas tarif angkutan udara
pada November dan kemungkinan kenaikan harga BBM bersubsidi. Pengalaman di tahun 2013 menunjukkan
bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi yang diikuti kenaikan tarif angkutan dalam kota di berbagai daerah
menyumbang pada kenaikan inflasi yang cukup besar. Selain itu, perlu dicermati perkiraan berlanjutnya
kondisi kekeringan akibat El-Nino yang dapat semakin mengeskalasi tekanan inflasi. Sehubungan dengan hal
tersebut, peran koordinasi di daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu terus diperkuat,
khususnya dalam menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan untuk meredam potensi lonjakan
inflasi. Salah satu prioritas perhatian adalah pada upaya pengendalian kenaikan tarif angkutan pascakenaikan
harga BBM bersubsidi. Di samping itu, TPID perlu terus mendorong dilakukannya langkah-langkah strategis
guna menjamin ketersediaan pasokan pangan dan energi di daerah.
Untuk tahun 2015, laju inflasi di berbagai daerah secara agregat diperkirakan masih sejalan dengan kisaran
sasaran nasional sebesar 4%±1%. Hal ini didukung oleh prakiraan masih terbatasnya peningkatan harga
komoditas sejalan dengan laju pemulihan perekonomian dunia yang berlangsung secara gradual, serta
permintaan domestik yang masih akan tumbuh secara moderat. Selain itu, ekspektasi inflasi diperkirakan
masih tetap terjaga seiring dengan dukungan kebijakan dan koordinasi yang semakin kuat antara Bank
Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Meski demikian, risiko kenaikan inflasi tetap
ada, terutama yang bersumber dari kenaikan administered price terkait dengan rencana implementasi
sejumlah kebijakan energi oleh Pemerintah.
Risiko dan Tantangan Ke Depan
Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, terdapat beberapa risiko yang dapat memengaruhi
prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah, yakni: (i) risiko yang bersumber dari dinamika global
terutama terkait normalisasi kebijakan yang ditempuh oleh bank sentral Amerika Serikat dan indikasi
berlanjutnya perlambatan ekonomi Tiongkok; (ii) risiko dari harga komoditas yang masih cenderung rendah
sehingga menekan pendapatan ekspor daerah; (iii) risiko dari masih terbatasnya peran stimulus fiskal di
daerah untuk pembiayaan pembangunan ekonomi; serta (iv) risiko inflasi terutama bersumber dari rencana
kebijakan energi (penyesuaian tarif dan subsidi) dan kecenderungan produksi pangan yang menurun.
Menghadapi berbagai risiko tersebut dan untuk memperkuat daya tahan ekonomi daerah terhadap berbagai
kejutan yang mungkin terjadi, diperlukan strategi kebijakan yang terintegrasi, terutama yang ditujukan untuk
mengatasi berbagai permasalahan struktural di daerah. Hal ini mengingat bahwa upaya pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, selain membutuhkan dukungan stabilitas makro dan sistem
keuangan yang terjaga serta kondisi lingkungan alam yang terpelihara, juga memerlukan struktur ekonomi
yang mandiri dan berdaya saing tinggi serta basis pembiayaan pembangunan yang kuat (Gambar I.3).
Masih besarnya tantangan struktural menyebabkan upaya untuk mendorong ekspor manufaktur dari
Indonesia, khususnya dari daerah-daerah yang merupakan basis produksi manufaktur nasional seperti di Jawa,
ke pasar utama di dunia menjadi tidak mudah ditengah dinamika global yang diwarnai tingginya
Laporan Nusantara|8
1
ketidakpastian . Selain itu, persoalan masih rendahnya produktivitas pangan dan tingginya ketergantungan
2
produksi pangan perlu menjadi hal penting yang perlu segera diatasi . Hal ini mengingat bahwa ketahanan
pangan merupakan aspek penting di dalam proses transformasi ekonomi Indonesia.
*) mencakup infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi, dan institusi
Grafik I.3. Pilar Pertumbuhan Ekonomi yang Berkesinambungan
Untuk mewujudkan struktur ekonomi yang mandiri dan berdaya saing serta basis pembiayaan yang kuat, Bank
Indonesia memandang bahwa perlu dilakukan reformasi struktural pada dua sisi, yakni reformasi di sektor riil
dan reformasi di sektor keuangan. Di sektor riil, reformasi diarahkan pada upaya perbaikan menyeluruh
terhadap modal dasar pembangunan yang meliputi penyediaan infrastruktur, penguatan kualitas sumber daya
manusia dan regulasi ketenagakerjaan, peningkatan kemampuan adaptasi dan inovasi teknologi, dan
pembenahan institusi. Selain itu, reformasi di sektor riil juga perlu diarahkan pada upaya mewujudkan
kedaulatan pangan dan ketahanan energi. Di sektor keuangan, reformasi difokuskan pada pendalaman pasar
keuangan sebagai dasar untuk memperkuat basis sumber pembiayaan pembangunan ekonomi. Di samping itu,
reformasi di sektor keuangan juga mencakup upaya untuk memodernisasi sistem pembayaran dan inklusi
keuangan, antara lain melalui peningkatan penetrasi pemanfaatan layanan keuangan digital (LKD).
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan KepalaKepala Perwakilan Bank Indonesia tingkat Wilayah di seluruh Indonesia pada 11 November 2014 di
Bandung. Pertemuan dilakukan setiap triwulannya untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu
strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan
kebijakan moneter di Bank Indonesia.
1
Lihat Isu Khusus 1. Dinamika Global dan Daya Saing Manufaktur Jawa
2
Lihat Isu Khusus 2. Meningkatkan Produktivitas Padi untuk Mendukung Ketahanan Pangan
Laporan Nusantara|9
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 10
Pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan III 2014 meningkat menjadi 5,1% (y.o.y)
dibandingkan 4,9% pada triwulan II 2014. Angka ini juga lebih tinggi daripada prakiraan sebelumnya. Kenaikan
pertumbuhan ini didukung oleh peningkatan kinerja ekonomi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi
Tenggara, serta provinsi Kalimantan Timur dan Bali. Salah satu faktor pendorong utama adalah ekspor yang
kembali meningkat pasca rilis izin ekspor kepada beberapa pelaku usaha tambang besar di beberapa daerah di
Papua dan Kalimantan. Namun, Nusa Tenggara Barat tercatat mengalami kontraksi pertumbuhan terkait
dengan tertundanya rilis izin ekspor mineral.
Laju inflasi di KTI selama triwulan III 2014 menunjukkan kecenderungan yang menurun. Hal ini didukung oleh
pasokan pangan yang memadai karena panen di beberapa daerah sentra produksi disertai koreksi harga
komoditas pangan, terutama aneka bumbu dan ikan segar. Di samping itu, menurunnya tekanan inflasi juga
dipengaruhi oleh meredanya faktor base effect dari kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi di tahun
2013. Meski demikian, pada akhir triwulan III 2014 tekanan inflasi mulai kembali mengalami sedikit
peningkatan yang bersumber dari kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) tahap kedua serta kebijakan pemerintah
yang menaikkan harga LPG 12 kg. Pembiayaan ekonomi melalui perbankan di KTI selama triwulan III 2014
masih melanjutkan kecenderungan melambat. Pada akhir triwulan III 2014, kredit tercatat tumbuh 9,1% (yoy),
lebih rendah daripada triwulan II 2014 (12,0%). Perlambatan terjadi pada semua sektor utama dan secara
spasial terutama terjadi di Kalimantan Timur. Secara sektoral, kredit pertambangan masih terkontraksi dipicu
berkurangnya aktivitas pertambangan skala kecil menengah. Kredit sektor industri pengolahan pun melambat,
seiring tertahannya ekspansi korporasi karena faktor harga jual yang masih cenderung rendah dan wait and
1
see transisi ke pemerintahan baru. Dalam kondisi tersebut, meskipun concentration risk secara umum
membaik, perlu dicermati peningkatan NPL pada kredit di dua sektor tersebut, meskipun sejauh ini masih
belum menyentuh tingkat yang mengkhawatirkan. Perkembangan NPL di KTI perlu terus dicermati mengingat
masih tertahannya produksi pertambangan bauksit dan batubara skala kecil di tengah berlanjutnya koreksi
harga di pasar dunia.
Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator mengindikasikan kinerja ekonomi KTI masih akan terus membaik.
Terbitnya izin ekspor mineral bagi pelaku usaha tambang besar akan terus mendorong peningkatan aktivitas di
sektor tersebut. Mulai beroperasinya smelter di beberapa daerah di Kalimantan, seperti Kalimantan Barat dan
Kalimantan Selatan, serta meningkatnya produksi ferronikel di Sulawesi Tenggara diperkirakan akan
mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan dan mendorong peningkatan kinerja ekonomi KTI. Di
samping itu, belanja pemerintah daerah yang biasanya, sesuai siklus normal, meningkat pada triwulan IV
diperkirakan akan turut menopang perekonomian KTI, meski dalam besaran yang masih terbatas.
Meskipun ada potensi membaik pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 pertumbuhan ekonomi KTI
diperkirakan akan melambat menjadi sekitar 5,0%, dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 5,8%.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi KTI bersumber dari melemahnya kinerja ekspor dan sektor
pertambangan. Kondisi ini tidak terlepas dari dampak penyesuaian yang dilakukan oleh para pelaku usaha di
sektor tambang terkait mulai diterapkannya kebijakan pengaturan ekspor mineral pada awal tahun 2014.
Selain itu, dinamika ekonomi global khususnya di negara-negara yang menjadi mitra dagang utama untuk
produk ekspor tambang, seperti Tiongkok dan Jepang, yang cenderung melemah sepanjang tahun 2014
berimplikasi pada rendahnya permintaan dan harga komoditas tambang.
1
Concentration risk adalah risiko yang timbul akibat pemberian kredit yang terkonsentrasi pada segmen usaha tertentu
berdasarkan aspek geografis dan atau industri
Laporan Nusantara| 11
Dari sisi inflasi, memasuki triwulan IV 2014 tekanan inflasi mulai kembali meningkat. Pada Oktober 2014,
beberapa provinsi seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara bahkan mencatat inflasi yang cukup tinggi,
yaitu masing-masing sebesar 7,3% dan 6,4% (y.o.y). Kenaikan tekanan inflasi tersebut terutama bersumber
dari dampak kenaikan bahan bakar rumah tangga serta tarif tenaga listrik. Selain itu, tekanan pada kelompok
administered price juga terjadi akibat kenaikan harga LPG 12 kg dan 3 kg, serta kenaikan tarif angkutan udara,
terutama di beberapa daerah di Kalimantan.
Walaupun cenderung meningkat pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 laju inflasi di KTI
diperkirakan tetap terkendali seiring dengan masih terjaganya pasokan. Kendati demikian, terdapat beberapa
beberapa risiko yang dapat mendorong kenaikan inflasi yang lebih tinggi, terutama risiko kenaikan harga BBM
bersubsidi. Selain itu, mulai berlakunya kenaikan tarif batas atas angkutan udara pada November 2014
diperkirakan akan memberikan tekanan inflasi yang lebih tinggi di daerah-daerah yang cenderung lebih sensitif
terhadap kenaikan tarif angkutan udara seperti Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Tengah, dan Papua. Ada
pun indikasi berlanjutnya kekeringan yang melanda sejumlah daerah sentra produksi pangan turut
memberikan risiko bagi inflasi pangan di KTI. Menghadapi berbagai risiko tersebut, koordinasi kebijakan
melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu terus diperkuat dalam menyiapkan langkah-langkah
antisipasi yang diperlukan untuk menjamin ketersediaan pasokan kebutuhan masyarakat dan mengendalikan
ekspektasi masyarakat terhadap harga-harga barang.
Pada tahun 2015, prospek pertumbuhan ekonomi KTI diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2014.
Perekonomian KTI tahun 2015 diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,6% - 6,1%. Prospek yang membaik ini
didorong terutama oleh meningkatnya kinerja ekonomi Provinsi Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta beberapa provinsi di wilayah Kalimantan. Peningkatan
tersebut diperkirakan terjadi seiring dengan membaiknya kinerja di sektor pertambangan dan industri
pengolahan. Produsen-produsen utama tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat diperkirakan akan
berproduksi secara normal. Faktor-faktor pendukung lain adalah akan beroperasinya beberapa smelter di
Kalimantan, peningkatan produktivitas kelapa sawit di Kalimantan, dan pengoptimalisasian produksi pabrik
CPO di Sulampua. Dari sisi permintaan, kinerja ekspor diperkirakan kembali membaik seiring peningkatan
ekspor komoditas pertambangan pasca dikeluarkannya izin ekspor mineral di tahun 2014. Namun beberapa
faktor risiko masih membayangi pertumbuhan ekonomi ke depan. Perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang
serta berlanjutnya penurunan harga komoditas dunia masih akan menjadi sumber risiko dari sisi eksternal.
Dari sisi internal, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang berpotensi menekan konsumsi, realisasi
belanja pemerintah yang belum optimal, serta masih tingginya biaya pendanaan/investasi berpotensi
menahan laju pertumbuhan ekonomi 2015.
Sementara itu, tekanan inflasi tahun 2015 diperkirakan lebih rendah daripada tahun 2014. Inflasi KTI tahun
2015 diperkirakan berada pada kisaran 4,7% - 5,2% (yoy). Melandainya tekanan inflasi diperkirakan terjadi di
provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, serta seluruh provinsi di Sulawesi.
Relatif terjaganya pasokan bahan pangan serta semakin baiknya koordinasi dan efektivitas program kerja TPID
diperkirakan mampu menjaga tekanan inflasi di tahun 2015. Namun perlu dicermati risiko dari kelompok
administered price terutama kepastian rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan dampak lanjutannya, yang
dapat berpotensi mendorong prakiraan inflasi menjadi bias ke atas di tahun 2015.
Laporan Nusantara| 12
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) pada triwulan III 2014 tumbuh lebih tinggi
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Akselerasi pertumbuhan di beberapa provinsi seperti Sulawesi
Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Maluku Utara secara agregat
mendorong pertumbuhan ekonomi Sulampua dari 6,9% (yoy) menjadi 7,1% (yoy). Meningkatnya produktivitas
padi di daerah sentra, diperolehnya izin ekspor konsentrat tembaga, serta masih berlangsungnya ekspansi di
beberapa subsektor industri pengolahan menjadi pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi Sulampua.
Perbaikan di sektor tradable tersebut kemudian turut mendorong akselerasi pada komponen ekspor serta
menjadi stimulus kegiatan konsumsi yang tercatat tumbuh lebih baik dari triwulan sebelumnya.
Memasuki periode triwulan IV 2014, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah
mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Sulampua akan kembali terus membaik. Hal ini terutama dipengaruhi
oleh faktor musiman yang mendorong kinerja konsumsi, khususnya konsumsi pemerintah, serta investasi,
seiring penyelesaian target proyek infrastruktur maupun sektor riil di akhir tahun. Dari sisi sektoral, perbaikan
pada sektor pertambangan terus berlanjut dan kinerja industri pengolahan akan menguat sejalan dengan sisi
permintaan yang meningkat. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Sulampua untuk keseluruhan 2014 tetap
melambat dibandingkan dengan 2013 (8,7%, yoy) karena menurunnya produksi dan ekspor mineral.
Penurunan tersebut terkait dengan implementasi UU Minerba pada Januari 2014 silam. Pada 2015, dengan
mempertimbangkan pulihnya kegiatan ekspor konsentrat tembaga yang didukung oleh masih kuatnya
konsumsi serta investasi, perekonomian Sulampua diperkirakan tumbuh pada kisaran 8,0% - 8,5% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Pada triwulan III 2014, konsumsi rumah tangga (termasuk konsumsi nirlaba) tumbuh sebesar 8,4% (yoy), lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya (7,6%, yoy). Percepatan pertumbuhan tersebut didorong oleh kinerja seluruh
sektor utama daerah yang membaik sehingga pendapatan masyarakat turut meningkat. Di samping itu,
terdapat stimulus konsumsi yang lain yaitu perayaan Lebaran, pemilu, dan penyelenggaraan berbagai event
besar seperti Sail Raja Ampat, Darwin-Ambon Yacht Race, HUT Emas Provinsi Sulawesi Utara, Tomohon
International Flower Festival, dan Toraja International Festival. Akselerasi kegiatan konsumsi ini tercermin juga
pada kegiatan perdagangan melalui volume bongkar muat barang di pelabuhan utama Sulampua (Makassar)
yang tumbuh lebih tinggi pada triwulan III 2014 (Grafik II.1.1).
Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh relatif stabil
pada triwulan IV 2014. Terjaganya pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan didukung oleh masih
banyaknya kegiatan masyarakat terkait perayaan Idul Adha, Natal, Tahun Baru, penyelenggaraan berbagai
event nasional dan internasional (Gorontalo, Ambon, Makassar, Manado, Luwu), serta liburan akhir tahun.
Secara historis, penjualan eceran juga akan meningkat pada akhir tahun seperti yang mulai diindikasikan oleh
indeks penjualan eceran (IPER) di Manado (Grafik II.1.2). Sementara itu, meski tidak merata di seluruh daerah,
keyakinan konsumen (IKK) memiliki tendensi bergerak ke arah yang lebih optimis. Untuk keseluruhan 2014,
konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya (6,8%, yoy). Hal ini terutama
didorong oleh penguatan daya beli masyarakat seiring pertumbuhan UMP Sulampua pada 2014 (rata-rata
tertimbang) yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2013, terutama di Sulawesi.
Konsumsi Pemerintah
Laporan Nusantara| 13
Pertumbuhan konsumsi pemerintah di berbagai daerah di Sulampua secara agregat mengalami peningkatan
pada triwulan III 2014. Komponen ini tumbuh sebesar 11,3% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya
mencatat pertumbuhan sebesar 7,9% (yoy). Faktor utama yang mendorong peningkatan konsumsi pemerintah
terutama berasal dari realiasi belanja pegawai karena pembayaran gaji ke-13 bagi PNS, TNI, polri, pejabat
negara, dan penerima pensiun/tunjangan. Sementara itu, berlanjutnya kegiatan seleksi CPNS, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota turut berdampak positif bagi peningkatan kinerja konsumsi pemerintah.
Indikator giro pemerintah daerah juga tercatat mengalami pertumbuhan yang melambat yang
mengkonfirmasi penyerapan dana pemerintah yang lebih tinggi pada triwulan III 2014 (Grafik II.1.3).
Pada triwulan IV 2014, kinerja konsumsi pemerintah diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan yang lebih tinggi tersebut diperkirakan didorong oleh upaya menggenjot realisasi
belanja yang masih belum optimal sampai dengan triwulan III 2014, terutama pada sisi belanja barang dan
belanja modal. Berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah serta masih intensifnya kegiatan belanja rutin
terkait operasional harian maupun event khusus di akhir tahun akan menjadi motor penggerak konsumsi
pemerintah. Sementara itu, untuk keseluruhan 2014, konsumsi pemerintah Sulampua diprakirakan mengalami
akselerasi dibandingkan dengan 2013 (6,6%, yoy). Hal tersebut diindikasikan oleh pertumbuhan agregat
anggaran belanja dalam APBD provinsi (tanpa DATI II) di Sulampua yang tumbuh menguat, utamanya di
Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, Gorontalo, dan Papua Barat.
Barang yang Dibongkar
Barang yang Dimuat
gVolume - Skala Kanan
Ribu Ton
IKK Palu
IKK Manokwari
Indeks
%, yoy
3,500
30
3,000
20
2,500
10
2,000
0
1,500
(10)
1,000
500
(20)
0
(30)
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan
Grafik II.1.1. Volume Bongkar dan Muat Barang
IKK Gorontalo
IPER Manado - Skala Kanan
Indeks
400
175
165
155
145
135
125
115
105
95
350
300
250
200
150
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
IV
2014
Sumber: Survei dari Badan Pusat Statistik dan Bank
Indonesia
Grafik II.1.2. Indeks Indikator Konsumsi
Investasi
Investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) mengalami sedikit perlambatan pertumbuhan pada
triwulan III 2014 yaitu dari 11,0% (yoy) menjadi 10,8% (yoy). Perlambatan sisi investasi dinilai bersumber dari
belum optimalnya realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang meliputi jalan dan jembatan, pembangkit
listrik, sarana irigasi, pelabuhan, hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus. Hal ini terkonfirmasi dari
penyaluran kredit investasi yang tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya (Grafik II.1.3). Di sisi lain,
investasi swasta menjadi penahan perlambatan lebih lanjut yang sejalan dengan pertumbuhan penanaman
modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) yang mengalami percepatan (Grafik II.1.4) untuk
mendukung kegiatan produksi sektor ekonomi utama melalui investasi barang modal.
Pertumbuhan investasi diprakirakan meningkat pada triwulan IV 2014 karena upaya mengejar target proyek di
akhir tahun serta dimulainya proyek baru di Sulampua. Proyek yang berlanjut antara lain adalah pembangunan
smelter dan pembangkit listrik di beberapa daerah, pabrik semen (Manokwari), pembangunan jalan lingkar
pulau-pulau (Maluku dan Maluku Utara), pusat perbelanjaan (Manado), hotel, serta proyek-proyek MP3EI.
Beberapa proyek baru yang direncanakan akan dimulai di triwulan terakhir ini antara lain adalah jalan tol
Manado-Bitung, KEK Palu, PLTU Takalar (Sulawesi Selatan), serta perbaikan infrastruktur bandara di Papua.
Secara keseluruhan, investasi pada 2014 diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari 2013 (11,0%, yoy). Akselerasi ini
Laporan Nusantara| 14
terutama didorong oleh investasi terkait hilirisasi baik pembangunan smelter dan penambahan kapasitas
produksi oleh pabrik pemurnian mineral yang sudah ada.
Giro Pemda
gGiro Pemda - Skala Kanan
Kredit Investasi
gKredit Investasi - Skala Kanan
Rp Triliun
%, yoy
40
35
30
25
20
15
10
5
0
50
40
30
20
10
0
(10)
(20)
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
PMA (Unit: US$ Juta)
gPMA - Skala Kanan
Unit
PMDN (Unit: Rp Miliar)
gPMDN - Skala Kanan
%, yoy
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0
400
300
200
100
0
(100)
(200)
III
I
II
2014
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
III
2014
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal
Grafik II.1.3. Perkembangan Giro Pemerintah
Daerah dan Penyaluran Kredit Investasi
Grafik II.1.4. Realisasi Investasi Asing dan Dalam
Negeri
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor luar negeri nonmigas Sulampua kembali mengalami perbaikan pada triwulan III 2014. Nilai ekspor luar
negeri nonmigas Sulampua tercatat sebesar US$1,75 miliar atau tumbuh sebesar 2,4% (yoy) setelah turun
hingga -36,9% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perbaikan kinerja ekspor luar negeri didorong oleh ekspor
konsentrat tembaga yang kembali dapat dilakukan sejak Agustus 2014 pasca penerbitan izin bagi eksportir di
Papua. Selain dari ekspor pertambangan, peningkatan juga disumbangkan oleh komoditas industri (Grafik
II.1.5), khususnya industri hasil tambang (feronikel) yang didukung oleh meningkatnya permintaan dari negara
mitra dagang. Hal ini sejalan dengan hasil liaison kepada beberapa kontak pelaku usaha di Sulampua yang
bergerak pada sektor industri pengolahan yang menyatakan bahwa ekspor masih menunjukkan peningkatan
karena permintaan yang meningkat dan pasokan bahan baku yang terjaga.
US$ Juta
Total Nilai Ekspor - Skala Kiri
gEkspor Pertanian
gEkspor Industri
gEkspor Pertambangan
3,000
%, yoy
80
60
40
20
0
(20)
(40)
(60)
(80)
(100)
(120)
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik II.1.5. Ekspor Luar Negeri Menurut
Komoditas
US$ Juta
Total Nilai Impor - Skala Kiri
gImpor Barang Modal
gImpor Barang Antara
gImpor Barang Konsumsi
%, yoy
700
350
300
250
200
150
100
50
0
(50)
(100)
(150)
600
500
400
300
200
100
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik II.1.6. Impor Luar Negeri Menurut Kategori
Barang
Pada triwulan IV 2014, kinerja ekspor luar negeri Sulampua diprakirakan cenderung tumbuh lebih lambat dari
triwulan III 2014. Hingga saat ini, satu-satunya eksportir mineral terdaftar yang memiliki rekomendasi untuk
melakukan ekspor hanya eksportir konsentrat tembaga di Papua. Hal ini akan menyebabkan kinerja ekspor
pertambangan akan mengalami penurunan sehubungan dengan tingginya ekspor mineral, meliputi tembaga
dan nikel mentah karena faktor base effect pada triwulan IV 2013 (sebelum pemberlakuan UU Minerba). Di
samping itu, kinerja sektor pertanian yang cenderung tumbuh melambat di akhir tahun akan memengaruhi
kinerja ekspor nontambang dan menambah tekanan penurunan pada ekspor luar negeri secara keseluruhan.
Laporan Nusantara| 15
Untuk keseluruhan 2014, ekspor luar negeri Sulampua tidak akan tumbuh melebihi capaian tahun sebelumnya
karena penurunan ekspor mineral sebagai imbas penerapan UU Minerba. Apalagi, pada 2013, pelaku usaha
tambang memacu produksi dan ekspor mereka sebelum penerapan UU tersebut.
Impor
Impor luar negeri nonmigas pada triwulan III 2014 juga tumbuh lebih cepat dari triwulan II 2014. Impor luar
negeri nonmigas tercatat sebesar US$521,25 juta atau bertumbuh sebesar 38,81 (yoy) setelah kinerjanya
turun hingga -31,5% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Peningkatan impor luar negeri terutama didorong oleh
meningkatnya impor gandum sebagai bahan baku industri pengolahan tepung terigu yang permintaannya
meningkat di masa puasa dan Lebaran. Selain itu, impor mesin industri dan alat transportasi juga meningkat
untuk mendukung kegiatan produksi sektor utama serta ekspor. Hal ini mendorong peningkatan impor bahan
baku dan barang modal di triwulan laporan (Grafik II.1.6).
Kinerja impor luar negeri pada triwulan IV 2014 diprakirakan lebih lambat dari triwulan III 2014. Perlambatan
aktivitas impor dipengaruhi oleh perlambatan ekspor karena melemahnya kinerja sektor pertanian dan
kontraksi yang masih terjadi pada sektor tambang sehingga kebutuhan akan bahan baku impor untuk produksi
diperkirakan masih terbatas. Adapun kegiatan investasi yang masih meningkat akan menopang impor luar
negeri, terutama impor barang modal. Dengan perkembangan tersebut, impor luar negeri secara total di 2014
akan tumbuh relatif stabil. Meski terdapat tekanan dari sisi impor bahan baku, percepatan investasi dan
konsumsi pada 2014 akan mendorong impor barang modal dan barang konsumsi sehingga menopang impor
secara keseluruhan.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan dan penggalian Sulampua tetap mengalami kontraksi, namun tidak sedalam triwulan
sebelumnya, yaitu dari tumbuh negatif sebesar 8,5% (yoy) menjadi terkontraksi 3,8% (yoy). Izin penjualan
mineral mentah ke luar negeri tanpa pemurnian yang telah diperoleh eksportir di Papua mampu mendorong
produksi tembaga dan emas sehingga penurunannya menjadi lebih tipis. Sementara itu, kinerja produksi bijih
nikel juga mengalami akselerasi karena adanya peningkatan kebutuhan pasokan nikel mentah sebagai bahan
baku pembuatan nikel olahan di Sulawesi Tenggara. Kegiatan penggalian di Sulawesi Tengah juga diyakini
menopang perbaikan sektor tambang sehingga kinerjanya tidak lebih buruk dari triwulan II 2014.
%, yoy
250
gKonsentrat Tembaga (Papua)
gBijih Nikel (Sulawesi Tenggara)
gEmas (Papua)
gNikel Matte (Sulawesi Selatan)
200
150
100
50
0
(50)
(100)
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
IVp
gProduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara)
%, yoy
gProduksi Semen (Sulampua)
50
40
30
20
10
0
(10)
(20)
(30)
(40)
gProduksi Terigu (Sulawesi Selatan)
I
II
III
2011
IV
I
II
2012
Sumber: Produsen, diolah
Sumber: Produsen, diolah
p Proyeksi Bank Indonesia
p Proyeksi Bank Indonesia
Grafik II.1.7. Pertumbuhan Produksi Mineral
III
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
IVp
2014
Grafik II.1.8. Pertumbuhan Produksi Manufaktur
Pada triwulan IV 2014, produksi sektor pertambangan di Sulampua diprakirakan masih mengalami perbaikan.
Upaya produsen tambang di Papua untuk mencapai target 2014 akan mendorong produksi konsentrat
tembaga dan emas di akhir tahun (Grafik II.1.7). Hal yang sama akan dilakukan oleh produsen nikel matte di
Laporan Nusantara| 16
Sulawesi Selatan seiring selesainya renegosiasi sehingga kendala operasional menjadi minimal. Sementara itu,
masih tingginya kebutuhan industri olahan nikel akan menjaga tingkat pertumbuhan produksi bijih nikel di
Sulawesi Tenggara. Adapun untuk keseluruhan 2014, produksi tambang mengalami penurunan dibandingkan
dengan 2013 pasca penyesuaian yang dilakukan para pelaku usaha yang mengurangi kapasitas bahkan
menghentikan produksi. Penyesuaian tersebut dilakukan sebagai respons dari pemberlakuan UU Minerba
pada Januari 2014.
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan III 2014, sektor industri pengolahan mengalami percepatan pertumbuhan sebesar 10,0% (yoy)
setelah sebelumnya tercatat tumbuh 8,7% (yoy). Peningkatan laju pertumbuhan salah satunya didorong oleh
akselerasi industri feronikel di Sulawesi Tenggara seiring dengan naiknya permintaan dari negara tujuan
ekspor (Belanda). Lebih lanjut, naiknya permintaan barang industri makanan, pakaian, serta barang konsumsi
lainnya terkait dengan perayaan Lebaran dinilai turut memberikan kontribusi positif terhadap kinerja sektor
ini. Faktor pendorong lain adalah meningkatnya kinerja industri minyak nabati seiring kehadiran pabrik
pengolahan crude palm oil (CPO) baru di Sulawesi Barat.
Pada triwulan IV 2014, sektor industri pengolahan diprakirakan kembali tumbuh lebih baik dari triwulan
sebelumnya. Hal tersebut diindikasikan oleh kinerja beberapa subsektor industri yang meningkat (Grafik
II.1.8), terutama lanjutan akselerasi industri olahan nikel di Sulawesi Tenggara. Kemudian, kinerja industri
semen di Sulampua secara umum akan mengalami akselerasi untuk mendukung prospek investasi yang masih
tumbuh tinggi. Industri makanan olahan dengan bahan baku terigu juga diyakini akan tumbuh menguat seiring
momen perayaan akhir tahun yang dapat meningkatkan permintaan. Berdasarkan survei kepada para pelaku
usaha, harga jual sektor industri pengolahan akan terus meningkat hingga akhir tahun sehingga menjadi faktor
insentif produksi. Untuk keseluruhan 2014, sektor ini tumbuh relatif stabil dibandingkan 2013. Tidak terjadinya
akselerasi disebabkan oleh kinerja industri feronikel yang menurun tajam pada awal tahun di tengah
perkembangan industri semen dan terigu yang masih cukup baik pada tahun ini.
Sektor Pertanian
Laju pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami percepatan sebesar 8,0% (yoy)
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 7,6% (yoy). Dari subsektor tanaman bahan makanan,
upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan produksi padi membuahkan hasil melalui program peningkatan
luas tanam (Sulawesi Tenggara) dan optimasi lahan baru (Sulawesi Tengah). Di Sulawesi Selatan, musim yang
sangat mendukung kegiatan produksi pasca berakhirnya puncak panen raya berhasil meningkatkan
produktivitas (luas panen) padi. Dari subsektor perikanan, hasil tangkapan ikan meningkat signifikan karena
dukungan cuaca. Selain itu, produksi ikan budidaya (udang), juga meningkat seiring permintaan yang masih
2
tinggi dari konsumen luar negeri dan kurangnya kompetitor sejenis.
Pada triwulan IV 2014, nilai tambah sektor pertanian diprakirakan tumbuh melambat. Beberapa daerah masih
berada dalam periode masa tanam sehingga menjadi salah satu faktor penyebab perlambatan. Hal ini
tercermin dari nilai tukar petani yang mulai turun pada awal triwulan (Grafik II.1.9). Selain itu, komoditas
kakao telah melewati musim panennya pada pertengahan tahun. Apalagi, musim hujan yang datang di akhir
tahun akan menghambat kegiatan pengolahan kebun kakao. Dari sisi eksternal, kecenderungan melemahnya
pertumbuhan harga internasional kakao juga dinilai dapat menambah tekanan pada sisi produksi. Kendala
cuaca diprediksi akan memengaruhi produksi ikan yang mulai tumbuh melambat (Grafik II.1.10). Untuk
akumulasi sepanjang 2014, sektor pertanian mampu tumbuh lebih tinggi dari tahun lalu. Hal ini didorong oleh
2
Informasi hasil liaison kepada eksportir udang olahan di Sulawesi Selatan dan Maluku
Laporan Nusantara| 17
produksi padi dan jagung yang tumbuh lebih tinggi berdasarkan ARAM I dibandingkan dengan realisasi
pertumbuhan produksi tahun sebelumnya.
Indeks
NTP Sulawesi Utara
NTP Maluku Utara
NTP Sulawesi Tengah
NTP Sulawesi Barat
Ribu Ton
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
106
104
102
100
98
96
94
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
I
II
III
IV
I
2012
II
III
IV
I
2013
II
III
PPS Bitung
PPS Kendari
PPN Ambon
gProduksi - Skala Kanan
400
350
300
250
200
150
100
50
0
(50)
(100)
(150)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
IV
I
2014
II
III
2012
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
%, yoy
IV
I
II
III
IV
2013
I
II
III
IV
2014
Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah
Grafik II.1.9. Nilai Tukar Petani
Grafik II.1.10. Produksi Ikan Tangkap
PERKEMBANGAN INFLASI
Sepanjang triwulan III 2014, laju inflasi Sulampua tercatat sebesar 3,84% (yoy) atau menurun dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya (6,68%, yoy). Dilihat dari komponen disagregasinya, inflasi volatile food tercatat
menurun cukup drastis pada triwulan laporan. Faktor utama penyebab penurunan tersebut adalah koreksi
harga beberapa komoditas pangan seperti beras, telur, aneka daging, ikan segar, sayur, bumbu, serta buah.
Adanya musim panen raya dan cuaca yang kondusif pada triwulan laporan diyakini telah mengamankan
persediaan komoditas pangan utama. Di Sulawesi Tenggara dan Maluku, inflasi volatile food bahkan
mengalami deflasi bulanan yang cukup dalam karena pasokan pangan yang memadai. Penurunan inflasi juga
dipengaruhi oleh komponen administered price yang disebabkan oleh faktor base-effect seiring tingginya IHK
pada triwulan III 2013 terkait kenaikan harga BBM. Tekanan inflasi inti juga sedikit berkurang karena
menurunnya inflasi tahunan kelompok sandang lainnya seiring penurunan harga emas perhiasan (Grafik
II.1.11).
%, yoy
50
40
30
20
10
0
(10)
(20)
(30)
(40)
(50)
Emas Perhiasan
Bahan Bakar Rumah Tangga
Layang
Cabe Merah - Skala Kanan
120
100
80
60
40
20
0
(20)
(40)
(60)
(80)
Inflasi di atas 100% (yoy)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2012
%, yoy
2013
2014
Grafik II.1.11. Perubahan Harga Beberapa
Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank
Indonesia di Makassar
Indeks
Ekspektasi Harga Konsumen Makassar
Inflasi Sulampua (mtm) Kumulatif 3 Bulan - Skala Kanan
%
200
8
190
6
4
180
2
170
0
160
(2)
150
(4)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012
2013
2014
Grafik II.1.12. Ekspektasi Harga Jangka Pendek
Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia di
Makassar
Memasuki Triwulan IV 2014, perkembangan inflasi di Sulampua secara agregat kembali meningkat pada
Oktober 2014 menjadi 5,06% (yoy). Salah satunya pendorong naiknya inflasi adalah komponen volatile food
karena berakhirnya musim panen di beberapa daerah. Di samping itu, masalah pasokan solar bagi nelayan di
Sulawesi Tengah (kelangkaan) dan Sulawesi Selatan (pengurangan kuota) membuat frekuensi melaut
berkurang sehingga produksi ikan tidak sebanyak biasanya. Untuk komponen administered price,
peningkatan inflasi disebabkan oleh dampak lanjutan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) dan harga
liquefied petroleum gas (LPG) 12 kg. Tren peningkatan inflasi diprakirakan terus berlanjut hingga akhir 2014
Laporan Nusantara| 18
dan terjadi hampir di seluruh provinsi. Meski masih ada panen komoditas pangan, produksi relatif tidak akan
setinggi triwulan sebelumnya. Curah hujan dan gelombang laut yang tinggi akan menurunkan produksi ikan
dan menghambat distribusi ke daerah pelosok. Penyesuaian TTL tahap terakhir juga berpotensi
meningkatkan inflasi dan ditransmisikan ke harga jual (cost-push). Kenaikan permintaan masyarakat (Natal
dan Tahun Baru) juga akan meningkatkan inflasi inti sebagaimana ekspektasi konsumen yang cenderung
meningkat di triwulan IV 2014 (Grafik II.1.12). Selain itu, apabila kenaikan harga BBM bersubsidi
direalisasikan sebelum 2015 maka inflasi akan tercatat lebih tinggi lagi. Sebaliknya, apabila kebijakan
tersebut tidak diambil pemerintah, inflasi pada 2014 akan tercatat lebih rendah dari 2013 terutama karena
ekspektasi yang terjaga dan faktor base-effect dari dampak kenaikan BBM bersubsidi pada 2013.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Kelembagaan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Sulampua terus menunjukkan perkembangan yang
impresif untuk mendukung pemantauan dan pengendalian inflasi di daerah. Selama periode Agustus hingga
Oktober 2014, telah bertambah TPID kabupaten/kota antara lain TPID Luwu dan Gowa di Sulawesi Selatan;
TPID Minahasa Tenggara, Bitung, Kotamobagu, Bolaang Mongondow Utara, Tomohon, dan Talaud di Sulawesi
Utara; TPID Majene, Mamasa, Mamuju Utara, dan Mamuju Tengah di Sulawesi Barat; serta TPID Kolaka Utara,
Kolaka Timur, Kolaka, dan Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Total TPID kabupaten/kota yang telah terbentuk
adalah sebanyak 63 TPID.
Mengantisipasi berbagai risiko inflasi yang utamanya berasal dari sisi kebijakan pemerintah, TPID terus
melakukan pertemuan di tingkat teknis maupun high level meeting secara intensif. Kegiatan koordinasi dengan
TPID pusat dan antardaerah juga telah dilakukan selama triwulan III 2014. Hal tersebut bertujuan untuk
menyatukan visi serta arah kebijakan/program kerja TPID ke depan serta membuka peluang bagi penguatan
kerjasama antardaerah terutama dalam hal perbaikan konektivitas. Menindaklanjuti hal tersebut, TPID di
Sulampua berencana untuk meningkatkan koordinasi dalam rangka memperbaiki kondisi pasokan komoditas
pangan yang masih berstatus defisit.
Adapun hal yang patut diapresiasi adalah pencapaian inflasi pada masa puasa dan Lebaran yang relatif lebih
terkendali jika dibandingkan dengan pola historis yang ada. Hal ini diyakini merupakan sebuah capaian dari
program kerja TPID di Sulampua yang secara preventif berupaya mengurangi dampak ekspektasi kenaikan
harga serta memastikan ketersediaan bahan pangan di tengah kebijakan pemerintah yang menaikkan TTL
secara bertahap. Berbagai program koordinasi dengan pihak ketiga serta penguatan kelembagaan TPID
kabupaten/kota dilakukan sepanjang triwulan laporan. Aksi langsung yang dilakukan antara lain adalah
perbaikan infrastruktur pasar, optimasi cold storage, persiapan stok pangan sejak tiga bulan sebelum Lebaran,
serta pembentukan posko ketersediaan pangan.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pertumbuhan kredit produktif kepada sektor utama di Sulampua menunjukkan tendensi melambat. Hingga
September 2014, pertumbuhan kredit pada sektor perdagangan dan pertanian masih melambat sedangkan
pada sektor industri terjadi kontraksi yang lebih dalam (Grafik II.1.13). Di sisi lain, kredit bagi sektor tambang
kembali tumbuh lebih tinggi sehubungan dengan aktivitas tambang di Papua yang membaik. Dari aspek
kualitas kredit, terjadi peningkatan nonperforming loan (NPL) untuk total kredit produktif hingga mendekati
batas aman 5%, khususnya pada penyaluran kredit ke sektor pertambangan dan industri pengolahan (Grafik
II.1.14). Hal ini dikarenakan pelaku usaha tambang dan industri pendukungnya, khususnya yang berskala kecil
dan menengah, tidak dapat beroperasi secara optimal pasca penerapan UU Minerba sehingga pendapatannya
berkurang.
Laporan Nusantara| 19
%, yoy
Pertanian
%, yoy
Industri
100
140
120
100
80
60
40
20
0
(20)
(40)
Perdagangan
80
Pertambangan - Skala Kanan
60
40
20
0
(20)
(40)
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik II.1.13. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama
%
Total Produktif
Pertanian
12
Industri
Perdagangan
%
10
Pertambangan - Skala Kanan
25
20
8
15
6
10
4
5
2
0
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik II.1.14. Perkembangan NPL Kredit Sektor
Utama
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
3
Penyaluran kredit rumah tangga di Sulampua tumbuh melambat pada triwulan III 2014. Perlambatan tersebut
terutama didorong oleh KKB serta KPR (Grafik II.1.15). Secara umum, perlambatan disebabkan oleh suku
bunga yang cenderung meningkat sejak akhir 2013, yang berdampak pada meningkatnya kewajiban nasabah
sehingga permintaan kredit melambat. Naiknya suku bunga juga menimbulkan kendala bagi nasabah yang
tadinya belum memperhitungkan potensi kenaikan suku bunga. Kondisi tersebut tercermin dari NPL kredit
rumah tangga yang meningkat (Grafik II.1.16). Meski demikian, ketahanan sektor rumah tangga masih cukup
baik karena rasio NPL seluruh jenis kredit rumah tangga masih berada di bawah batas aman (5%). Kenaikan
NPL direspons perbankan dengan meningkatkan kewaspadaan dan lebih selektif dalam memilih nasabah yang
pada gilirannya berdampak ke perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit. Adapun dari total kredit rumah
tangga sebesar Rp69,3 triliun, kredit multiguna masih memiliki pangsa terbesar yaitu 53,8% sedangkan KPR
dan KKB masing-masing mengambil pangsa 34,7% dan 6,9%.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Laju pertumbuhan kredit kepada UMKM yang tercatat sebesar Rp64,5 triliun di Sulampua berada dalam tren
melambat hingga triwulan III 2014. Kondisi ini dinilai merupakan dampak dari meningkatnya NPL kredit UMKM
hingga mencapai 5,5% sehingga perbankan cenderung mengerem laju kredit UMKM dengan lebih selektif
memilih debiturnya (Grafik II.1.15 dan Grafik II.1.16). Sementara itu, suku bunga kredit UMKM cenderung
meningkat pada September 2014 yang tentunya memengaruhi kinerja debitur untuk mengembalikan
pinjamannya. Upaya terintegrasi antara para pemangku kepentingan harus digalakan untuk menekan angka
NPL melalui pendampingan yang menyentuh baik aspek pengetahuan (manajemen) maupun teknis
(kapabilitas). Secara umum, upaya pengembangan klaster juga terus dilakukan oleh Bank Indonesia seSulampua agar UMKM mampu memperoleh akses kepada sumber pembiayaan. Beberapa program
peningkatan dan pengembangan klaster yang berlangsung sepanjang 2014 antara lain adalah klaster padi
(Sulawesi Selatan, Maluku), cabe (Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara), sapi (Gorontalo, Sulawesi Selatan), mina
padi (Sulawesi Tengah), hortikultura (Maluku), kakao (Sulawesi Tenggara), dan bawang merah (Maluku Utara).
3
Terdiri dari kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor (KKB), kredit multiguna, kredit perlengkapan rumah
tangga, serta kredit rumah tangga lainnya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain.
Laporan Nusantara| 20
%, yoy
KPR
80
70
60
50
40
30
20
10
0
(10)
I
II
KKB
III
IV
I
2011
UMKM
II
III
%, yoy
%
500
6
400
5
300
4
200
3
100
2
0
1
(100)
0
Multiguna - Skala Kanan
IV
I
2012
II
III
IV
2013
I
II
Total Rumah Tangga
III
I
II
2014
III
IV
I
KPR
II
2011
Grafik II.1.15. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
dan Kredit UMKM
III
Multiguna
IV
I
II
2012
KKB
III
IV
UMKM
I
II
2013
III
2014
Grafik II.1.16. Perkembangan NPL Kredit Rumah
Tangga dan NPL UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Kegiatan sistem pembayaran Sulampua menunjukkan peningkatan pada triwulan III 2014, dilihat dari indikator
transaksi melalui Real Time Gross Settlement (RTGS). Demikian pula transaksi kliring masih tumbuh relatif
stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik II.1.17 dan Grafik II.1.18). Hampir 90% transaksi
sistem pembayaran masih menggunakan RTGS karena efisiensi waktu sehubungan dengan proses settlement
yang lebih cepat. Meningkatnya transaksi keuangan didorong oleh perbaikan kondisi ekonomi secara umum.
Sesuai dengan karakteristiknya, kebutuhan transaksi masyarakat akan meningkat pada periode Lebaran. Hal
tersebut ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan transaksi RTGS dan kliring secara triwulanan yaitu
masing-masing sebesar 10,1% (qtq) dan 3,0% (qtq). Adapun pertumbuhan konsumsi pemerintah yang
meningkat diyakini juga berkontribusi pada akselerasi transaksi keuangan seiring penyerapan anggaran
belanja milik pemerintah daerah yang lebih baik di triwulan laporan.
Rp Triliun
Total Transaksi RTGS
%, yoy
gTotal Transaksi - Skala Kanan
80
70
60
50
40
30
20
10
0
70
60
50
40
30
20
10
0
(10)
(20)
(30)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik II.1.17. Perkembangan Total Transaksi
RTGS
Rp Triliun
Total Kliring Debet
%, yoy
gTotal Kliring Debet - Skala Kanan
7
6
5
4
3
2
1
0
30
20
10
0
(10)
(20)
(30)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik II.1.18. Perkembangan Total Transaksi
Kliring
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pengedaran uang kartal di Sulampua mencatat peningkatan pada sisi outflow maupun inflow selama triwulan
III 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini terjadi sebagai dampak peningkatan aktivitas
masyarakat terkait Lebaran sehingga kebutuhan uang ikut meningkat yang kemudian disetorkan kembali pasca
perayaan Lebaran (Grafik II.1.19). Selanjutnya, pada Oktober 2014, kegiatan penarikan uang masih tercatat
lebih besar dibandingkan penyetoran uang sehingga terjadi kondisi net outflow sebesar Rp0,5 triliun. Kondisi
ini diperkirakan akan berlanjut seiring kebutuhan uang kartal yang meningkat di akhir tahun. Sementara itu,
temuan uang palsu sepanjang triwulan III 2014 lebih sedikit dari triwulan II 2014 yaitu dari 963 lembar menjadi
515 lembar (Grafik II.1.20). Untuk mengantisipasi peredaran uang palsu, kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian
uang rupiah akan terus digencarkan oleh Bank Indonesia. Adapun untuk memastikan pengedaran uang layak
edar di Sulampua, selain melalui layanan penukaran uang, Bank Indonesia melakukan kegiatan kas keliling.
Pada periode triwulan laporan, kegiatan kas keliling ke daerah pelosok telah dilakukan antara lain di
Laporan Nusantara| 21
Kepulauan Maluku dan Maluku Utara (Bula, Piru, Dobo, Tual, Namlea, Banda, Sula) dan beberapa daerah
lainnya seperti di Papua Barat, Papua, dan Pangkajene Kepulauan di Sulawesi Selatan.
Rp Triliun
10
8
6
4
2
0
2
4
6
8
10
12
Outflow (Penarikan Nasabah)
Inflow (Penyetoran Nasabah)
1,200
1,000
800
1.60%
Nasional (408,837 lembar)
Temuan Uang Palsu
di Sulampua
600
400
200
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
I
Total 2011-2014
Sulampua (6,668 lembar)
Lembar
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Grafik II.1.19. Perkembangan Aliran Uang
III
IV
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik II.1.20. Perkembangan Temuan Uang Palsu
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Untuk tahun 2015, perekonomian Sulampua diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan 2014,
yaitu pada kisaran 8,0% - 8,5% (yoy). Perkembangan yang lebih baik tersebut didorong oleh masih kuatnya
konsumsi rumah tangga dan akselerasi ekspor. Kegiatan konsumsi rumah tangga akan ditopang oleh daya beli
masyarakat yang cukup baik seiring kinerja sektor pertambangan dan industri pengolahan yang mengalami
perbaikan. Normalnya kegiatan produksi konsentrat tembaga pada 2015 akan mendorong prospek
pertumbuhan sektor pertambangan. Sementara itu, potensi beroperasinya smelter di Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Tenggara pada paruh kedua 2015 akan mendukung arah proyeksi sektor industri pengolahan. Hal ini
masih diperkuat dengan prospek industri migas (LNG) di Papua Barat seiring kenaikan harga jual dan di
Sulawesi Tengah dengan perkiraan beroperasinya pabrik LNG baru sebelum akhir 2015.
Dengan melihat kondisi di atas, beberapa faktor risiko eksternal maupun internal masih mengemuka. Pada sisi
eksternal, risiko terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi
Tiongkok dan Jepang yang dapat memiliki dampak lanjutan pada kinerja ekspor (sektor tradable) Sulampua.
Kemudian, apabila tren melambatnya pertumbuhan harga komoditas tembaga dan CPO di pasar global lebih
dalam dari proyeksi yang ada maka dapat menjadi faktor disinsentif produksi. Pada sisi internal, terdapat risiko
terkait produktivitas dan hilirisasi sumber daya alam. Produktivitas kakao masih belum menunjukkan tandatanda pemulihan sehingga dapat berpotensi menahan laju pertumbuhan sektor pertanian. Masalah kepastian
hukum (regulasi) dalam kegiatan investasi juga perlu mendapat perhatian rencana realisasi smelter tidak
mengalami kemunduran.
Prospek Inflasi
Pada tahun 2015, laju inflasi Sulampua diperkirakan relatif menurun dibandingkan tahun 2014. Inflasi
diprakirakan berada pada kisaran 4,7% - 5,2% (yoy). Namun, terdapat beberapa risiko yang perlu diwaspadai
baik berupa risiko berupa faktor musiman terkait cuaca dan momen hari raya, maupun faktor risiko
nonmusiman. Risiko terutama dinilai datang dari sisi kebijakan pemerintah yang meliputi antara lain TTL,
harga LPG, dan terutama harga BBM bersubsidi. Apabila terjadi penyesuaian harga yang berlebihan, inflasi
dapat tercatat jauh di atas perkiraan. Kenaikan harga dari sisi kebijakan pemerintah berpotensi juga
meningkatkan inflasi komponen inti maupun volatile food baik melalui jalur ekspektasi maupun jalur costpush.
Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama antara pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain dalam
menjangkar ekspektasi inflasi ke tingkat yang normal. Hal ini salah satunya akan ditempuh dengan melakukan
Laporan Nusantara| 22
komunikasi yang intensif dengan masyarakat. Adapun program kerja TPID yang terkoordinasi dinilai dapat
mendukung kegiatan produksi dan distribusi pangan ke depan sehingga kenaikan harga pangan lebih
terkendali dan dapat diantisipasi sebelumnya. Apalagi, target produksi pangan diprakirakan kembali
meningkat pada tahun yang akan datang.
Kegiatan Dunia Usaha Sulampua - Skala Kanan
Kondisi Ekonomi Palu
Kondisi Ekonomi Jayapura
Kondisi Ekonomi Makassar
Indeks
170
Saldo Bersih
Tertimbang
30
25
20
15
10
5
0
150
130
110
90
Perkiraan
70
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
I
II
III
IV
I
2013
II
III
IV
2014
Indeks
Ekspektasi Konsumen
202
200
198
196
194
192
190
188
186
Ekspektasi Pedagang - Skala Kanan
Indeks
100.15
100.10
100.05
100.00
99.95
99.90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
I
I
II
2015
III
IV
I
II
2013
Grafik II.1.21. Ekspektasi Kondisi Ekonomi dan
Perkiraan Kegiatan Dunia Usaha, Survei dari Bank
Indonesia
III
IV
I
2014
2015
Grafik II.1.22. Ekspektasi Harga Jangka
Panjang, Survei dari Bank Indonesia
TabeI II.1.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sulampua
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
PDRB (%, yoy)
2012
2013
2014
2015
II
5.9
III
9.1
IV
10.4
Total
8.7
I*
5.5
II*
6.9
III*
7.1
IVp
Totalp
Ip
Totalp
8.1
I
9.4
7.3
6.7
8,1 - 8,6
8,0 - 8,5
8,6 - 9,1
Sisi Permintaan
Konsumsi
7.2
6.7
6.4
6.7
7.3
6.8
7.3
7.7
9.1
9.2
8.3
8,0 - 8,5
Konsumsi swasta
7.0
6.9
6.8
6.8
6.8
6.8
7.3
7.6
8.4
8.3
7.9
7,5 - 8,0
7,9 - 8,4
Konsumsi Pemerintah
7.9
6.0
5.0
6.3
8.9
6.6
7.4
7.9
11.3
11.7
9.7
9,7 - 10,2
10,8 - 11,3
12,1 - 12,6 10,3 - 10,8
Pembentukan Modal Tetap Bruto
13.5
11.1
11.6
11.3
10.3
11.0
11.7
11.0
10.8
12.9
11.6
Ekspor
1.9
17.0
4.6
16.3
21.8
15.0
(2.5)
(0.0)
11.0
1.2
2.5
7,9 - 8,4
10,5 - 11,0
Impor
5.7
4.9
4.3
0.5
4.8
3.6
12.6
9.6
19.0
10.8
12.9
9,7 - 10,2
18,5 - 19,0
6.9
7.6
Sisi Produksi
Sektor pertanian
5.2
3.4
2.4
4.5
8.5
4.7
Sektor pertambangan & penggalian
0.1
27.7
(1.5)
24.7
22.6
18.3
Industri pengolahan
12.7
9.6
5.5
7.2
11.4
8.4
3.5
Listrik, gas & air bersih
11.6
8.1
10.9
10.4
10.3
9.9
Bangunan
12.7
8.4
9.5
8.3
6.7
8.2
Perdagangan, hotel & restoran
10.2
10.2
10.0
9.1
10.2
Pengangkutan & komunikasi
10.8
8.0
8.8
8.6
15.1
13.1
13.9
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 11.9
7.1
Jasa-jasa
Inflasi IHK (%, yoy)
4.98
8.0
6.2
7.2
4,9 - 5,4
4,6 - 5,1
(3.8)
(1.2)
(7.3)
9,6 - 10,1
8,2 - 8,7
8.7
10.0
10.5
8.2
10,9 - 11,4 11,2 - 11,7
9.4
9.6
9.6
9.6
9.6
9,6 - 10,1
9,8 - 10,3
9.9
9.5
9.4
9.4
9.5
9,3 - 9,8
8,8 - 9,3
9.9
10.1
9.6
9.8
9.7
9.8
9,2 - 9,7
9,3 - 9,8
7.4
8.2
8.9
6.8
6.9
7.4
7.5
7,1 - 7,6
7,5 - 8,0
13.0
13.7
11.6
8.2
4.9
7.6
8.0
8,2 - 8,7
10,2 - 10,7
(17.4) (8.5)
7.5
6.1
7.8
7.5
7.2
9.0
8.2
7.9
9.1
8.6
8,9 - 9,4
8,2 - 8,7
5.06
4.29
7.59
7.02
7.02
6.64
6.68
3.84
5.26
5.26
5,0 - 5,5
4,7 - 5,2
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
* a ngka s ementa ra
p
proyeks i Ba nk Indones i a
Laporan Nusantara| 23
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Wilayah Kalimantan tumbuh meningkat dari 3,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 3,9%
(yoy) pada triwulan III 2014. Peningkatan tersebut didorong oleh meningkatnya kinerja sektor pertambangan
dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR). Peningkatan kinerja sektor pertambangan terutama
didorong oleh perbaikan produksi batubara dan lifting migas, perbaikan kinerja ekspor batubara khususnya ke
pasar India, serta mulai beroperasinya smelter mineral alumina di Kalimantan Barat dan smelter bijih besi di
Kalimantan Selatan.
Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi di Wilayah Kalimantan mengindikasikan arah
pertumbuhan ekonomi kembali tumbuh melambat. Hal ini terutama dipengaruhi oleh konsolidasi di sektor
4
tambang terkait kebijakan ekspor dan produksi batubara yang mulai berlaku pada awal Oktober 2014 .
Namun, membaiknya kinerja produksi sawit seiring dengan masuknya panen sawit dan mulai berproduksinya
lahan baru dapat menahan perlambatan ekonomi Kalimantan lebih lanjut. Untuk keseluruhan tahun,
perekonomian Kalimantan diperkirakan tumbuh sebesar 3,6% (yoy) sedikit lebih tinggi dibandingkan periode
tahun 2013 yang sebesar 3,5%. Perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan diperkirakan berlanjut di tahun 2015
sehingga dapat tumbuh di kisaran 3,5% - 3,9%.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga di Kalimantan (termasuk konsumsi lembaga swasta nirlaba) tumbuh meningkat di
triwulan III 2014 sebesar 6,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya (6,1%, yoy). Meningkatnya
kinerja konsumsi rumah tangga didukung oleh adanya perbaikan penghasilan masyarakat sebagaimana
terindikasi dari Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik II.2.1) dan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang membaik
(Grafik II.2.2). Kondisi ini diperkirakan tidak terlepas dari adanya perbaikan aktivitas di sektor pertambangan
dan perkebunan yang memiliki peran besar dalam perekonomian Kalimantan. Di samping itu, meningkatnya
konsumsi dipengaruhi oleh pola musiman terkait Ramadhan yang jatuh pada awal triwulan III 2014.
Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan mengalami perlambatan. Hal ini terutama
disebabkan oleh perlambatan ekonomi sektor pertambangan di Kalimantan Timur. Selain itu, terbatasnya
kegiatan investasi turut memengaruhi ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga berimplikasi pada
terbatasnya ruang peningkatan pendapatan masyarakat. Secara keseluruhan, masih belum stabilnya kinerja
sektor utama memengaruhi penghasilan masyarakat dan memberikan tekanan pada konsumsi sepanjang
tahun 2014. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan konsumsi rumah tangga untuk tahun 2014
diperkirakan tumbuh sebesar 6,4%
4
Kebijakan persyaratan ekspor mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 49/M-DAG/PER/8/2014 tentang
Ketentuan Ekspor Batubara dan Produk Batubara dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Dirjen Minerba No.
714.K/30/DJB/2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Eksportir Terdaftar Batubara. Untuk
mendapatkan Rekomendasi Eksportir Terdaftar, perusahaan harus memenuhi persyaratan Clean and Clear (CNC),
persetujuan rencana kerja, pelunasan pembayaran kewajiban pajak dan kesediaan membayar iuran produksi.
Laporan Nusantara| 24
Banjarmasin
Samarinda
Kalimantan (weighted)
170
indeks
160
Pontianak
Palangkaraya
110
NTP
105
150
100
140
130
95
120
90
110
85
100
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 1
2013
2
3
4
5
6
7
8
9 10f 11f 12f
2014
Grafik II.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
Kalimantan (Weighted)
KalBar
2014
KalTeng
KalSel
KalTim
Grafik II.2.2. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh membaik, didorong oleh realisasi program pemerintah
seiring dengan pencairan dana transfer APBN yang baru dilakukan pada triwulan sebelumnya. Selain itu,
tingginya penyerapan anggaran pemerintah pusat di daerah terkait pelaksanaan Pemilu juga mendorong
pertumbuhan konsumsi pemerintah di daerah. Meski demikian, kenaikan konsumsi pemerintah tertahan oleh
masih minimnya realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai dampak dari belum finalnya penghitungan DBH untuk
pertambangan batubara. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya rencana kenaikan royalti dan
perkembangan harga komoditas batubara yang masih menunjukan tren penurunan.
Memasuki triwulan IV 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan kembali mengalami perlambatan. Kondisi ini
tidak terlepas dari adanya penundaan beberapa realisasi beberapa proyek infrastruktur. Selain itu, dengan
adanya perubahan nomenklatur kementerian terdapat penyelarasan program pemerintah pusat sehingga
diperkirakan turut menunda realisasi belanja operasional di daerah. Meskipun demikian, pemerintah daerah
diperkirakan tidak akan dapat memenuhi target dalam APBD. Dengan perkembangan tersebut, untuk tahun
2014 pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan akan mengalami perlambatan. Rendahnya harga
batubara, terbatasnya pemasukan Pemda dari DBH, dan pengetatan anggaran menjadi faktor utama
perlambatan konsumsi pemerintah tahun 2014.
Investasi
Investasi berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan III 2014 tumbuh melambat dibanding triwulan
sebelumnya dari 12,7% (yoy) menjadi 7,6% (yoy). Melambatnya investasi diperkirakan terkait dengan relatif,
masih rendahnya harga batubara sehingga perusahaan pertambangan maupun pengangkutan batubara lebih
memilih untuk mengoptimalkan barang modal yang telah dimiliki. Selain itu, beberapa proyek pembangunan
infrastruktur pemerintah maupun proyek swasta telah memasuki tahap akhir dan bahkan ada yang telah
selesai pembangunannya, seperti pembangunan Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan, pembangunan
smelter alumina di Kalimantan Barat, pembangunan smelter bijih besi di Kalimantan Selatan, pabrik pupuk di
Kalimantan Timur.
Memasuki triwulan IV 2014, kegiatan investasi masih berada dalam tren yang melambat. Kondisi yang terjadi
pada triwulan sebelumnya masih dirasakan sampai dengan akhir tahun. Selain itu, melambatnya investasi
dipengaruhi oleh tertundanya beberapa proyek infrastruktur pemerintah seperti pembangunan rel kereta api
di Kalimantan Tengah, perluasan bandara di Kalimantan Selatan, peningkatan kualitas jalan dan jembatan di
Kalimantan Timur. Terhambatnya realisasi belanja modal tersebut terjadi karena terdapat masalah
pembebasan lahan dan proses lelang yang lebih ketat. Untuk keseluruhan tahun 2014, kinerja investasi
tumbuh melambat khususnya pada investasi PMDN dan realisasi belanja modal pemerintah.
Laporan Nusantara| 25
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan pada triwulan III 2014 menunjukkan adanya perbaikan meski masih
relatif terbatas. Perbaikan ekspor terutama ditopang oleh permintaan batubara dari pasar India. Namun, di sisi
lain terdapat penurunan permintaan ekspor dari Tiongkok seiring dengan masih melemahnya kinerja
perekonomian di Tiongkok. Selain itu, kebijakan pemerintah Tiongkok untuk mengurangi impor sampai dengan
50 juta ton pada tahun 2014 memberikan berdampak pada menurunnya ekspor batubara Kalimantan.
Penurunan ekspor juga merupakan dampak dari peningkatan pajak impor batubara oleh Korea Selatan.
Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan yang masih tertahan, diproyeksikan masih akan berlanjut pada triwulan
IV 2014. Mulai berlakunya kebijakan Eksportir Terdaftar (ET) untuk komoditas batubara pada awal triwulan IV
2014 diperkirakan turut memengaruhi kinerja ekspor batubara. Pada awal triwulan IV 2014, terdapat sebanyak
145 perusahaan yang mendapatkan rekomendasi ET dan 160 perusahaan yang akan mengajukan pendaftaran
sebagai ET. Sementara itu, ekspor mineral olahan juga masih terbatas karena sampai dengan akhir tahun
diperkirakan jumlah smelter yang beroperasi belum akan bertambah.
Impor
Impor luar negeri Kalimantan pada triwulan III 2014 tercatat mengalami penurunan terutama untuk impor
barang modal. Hal ini sejalan dengan melambatnya kegiatan investasi baik dari sektor swasta maupun
pemerintah. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh respons perusahaan di bidang pertambangan dan pengangkutan
batubara yang cenderung menahan untuk pembelian barang modal baru karena faktor harga komoditas yang
masih cenderung rendah.
Untuk triwulan IV 2014, impor luar negeri diperkirakan masih akan tumbuh cenderung stabil seiring dengan
masih relatif terbatasnya aktivitas investasi. Penurunan produksi akan berdampak langsung pada turunnya
impor barang modal dan penolong untuk sektor ekonomi terbesar di Kalimantan. Meski demikian, seiring
dengan membaiknya prospek perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, maka impor pupuk diperkirakan dapat
meningkat.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan
Pada triwulan III 2014 sektor pertambangan di Kalimantan mengalami perbaikan yang didorong oleh kinerja
produksi batubara dan lifting migas. Perusahaan pertambangan batubara meningkatkan produksinya untuk
mengejar target produksi setelah melakukan renegosiasi kontrak dengan pemerintah (Grafik II.2.3). Meskipun
permintaan Tiongkok terhadap batubara relatif menurun, namun meningkatnya permintaan dari India relatif
dapat menopang kinerja pertambangan batubara Kalimantan. Beberapa perusahaan pertambangan besar
sudah mengikat kontrak dengan pembeli pada akhir tahun 2013 dengan harga tetap. Selain itu, terdapat
perusahaan yang telah menyelesaikan hauling road antar lokasi tambang sehingga dapat meningkatkan
produksi batubaranya. Sementara itu, berdasarkan hasil liaison, terdapat tujuh perusahaan tambang bauksit
besar di Kalimantan Barat dan enam perusahaan sejenis di Kalimantan Tengah yang belum dapat berproduksi.
Perusahaan-perusahaan tersebut menghentikan produksi karena tidak dapat melakukan ekspor hasil tambang
terkait kebijakan pengaturan ekspor mineral dan tidak adanya permintaan di pasar domestik.
Laporan Nusantara| 26
80
Produksi batubara PKP2B
g. Produksi batubara (Skala kanan)
(juta ton)
(% yoy)
70
60
50
40
30
20
10
0
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
II
2013
III
35
30
25
20
15
10
5
0
-5
-10
-15
25
g. Eskpor Batubara
(% yoy)
400
(% yoy)
g. Ekspor Mineral (Skala kanan)
350
20
300
15
250
200
10
150
5
100
50
0
I
IV*
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV*
0
(5)
2012
2014
2013
(50)
2014
(10)
Sumber : Kementerian ESDM, diolah
(100)
Sumber: KPPBC, diolah
Grafik II.2.3 Produksi Batubara Kalimantan
Grafik II.2.4 Ekspor Tambang Non Migas Kalimantan
Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diproyeksi masih relatif terbatas karena mulai
diberlakukannya kewajiban Ekspor Terdaftar (ET) pada komoditas batubara. Masih relatif terbatasnya
perusahaan yang memiliki ET menyebabkan perusahaan (skala kecil dan menengah) akan menahan produksi
batubaranya. Untuk keseluruhan tahun, perbaikan kinerja sektor pertambangan pada tahun 2014 diperkirakan
masih relatif terbatas.
Sektor Industri Pengolahan (Non Migas)
Perkembangan industri pengolahan nonmigas Kalimantan pada triwulan III 2014 cenderung tumbuh melambat
yang disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan kelapa sawit (CPO). Hasil produksi CPO di
Kalimantan tercatat tumbuh melambat menjadi 20,1% (yoy) terutama karena melemahnya permintaan
Tiongkok. Perlambatan pertumbuhan juga merupakan dampak dari kembali menurunnya harga komoditas CPO
internasional. Pada triwulan III 2014, harga CPO tercatat pada level 691,1 USD/ ton atau menurun
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat pada level 796,6 USD/ ton. Di sisi lain, penurunan permintaan
sedikit tertahan oleh permintaan dari pasar India dan Amerika Serikat, serta semakin menguatnya permintaan
domestik. Peningkatan permintaan domestik merupakan dampak langsung dari program mandatori pemakaian
biodiesel yang ditetapkan oleh pemerintah.
Produksi CPO Kalimantan
gProduksi CPO (skala kanan)
Produksi CPO Kalimantan
gProduksi CPO (skala kanan)
40
600
500
30
500
30
400
20
400
20
300
10
300
10
200
0
200
0
100
(10)
100
(10)
(20)
-
600
%,yoy
ribu ton
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III IV f
2014
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi di Kalimantan,
diolah
Grafik II.2.5. Produksi CPO Kalimantan
%,yoy
ribu ton
40
(20)
I
II
III
IV
I
II
2011
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III IV f
2014
Sumber: KPPBC, diolah
Grafik II.2.6. Ekspor CPO Kalimantan
Pada triwulan IV 2014, perkembangan industri diperkirakan sedikit meningkat, terutama didorong oleh
industri CPO (Grafik II.2.5). Peningkatan produksi CPO tersebut diperkirakan berada dalam kisaran 20% - 25%
dibandingkan periode sebelumnya. Meskipun demikian perbaikan ekspor CPO lebih lanjut tertahan oleh faktor
masih rendahnya insentif harga di pasar global (Grafik II.2.6). Kinerja produksi CPO lebih ditopang oleh masih
relatif kuatnya permintaan domestik, khususnya untuk biodiesel. Pemerintah menargetkan penyerapan
biodiesel pada tahun 2014 sebesar 4 juta kiloliter, atau meningkat dibandingkan tahun 2012 dan 2013 yang
masing-masing sebesar 669 ribu kiloliter dan 1,1 juta kiloliter. Pengembangan industri CPO juga didorong oleh
Laporan Nusantara| 27
upaya hilirisasi produk CPO di Kalimantan Timur, yaitu kawasan industri pengolahan minyak sawit terpadu di
Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Maloy, dan investasi pabrik-pabrik pengolahan CPO baru di
Kalimantan Barat.
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian Kalimantan pada triwulan III 2014 tumbuh melambat, terutama karena produksi padi
yang cenderung menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca kering yang tidak mendukung
pertumbuhan tanaman padi khususnya di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Beberapa daerah,
mengalami gagal panen akibat tidak tersedianya sumber air yang memadai di tengah cuaca panas yang
berkepanjangan. Selain itu, cuaca panas yang terjadi juga meningkatkan populasi hama belalang di Ketapang
yang menyebabkan gagal panen di daerah tersebut. Selain itu, kinerja subsektor perkebunan terutama kelapa
sawit juga menunjukkan adanya perlambatan. Kondisi cuaca yang kurang mendukung pada periode enam
bulan sebelumnya mempengaruhi produksi pada triwulan III 2014.
Perkembangan terkini di sektor pertanian Kalimantan mengindikasikan pada triwulan IV 2014 diperkirakan
dapat kembali tumbuh meningkat didorong oleh produksi kelapa sawit. Hal ini dipengaruhi oleh cuaca yang
mendukung pada periode enam bulan sebelumnya dan mulai berproduksinya lahan-lahan sawit baru.
Meskipun demikian, harga CPO yang masih rendah dan berlimpahnya komoditas bahan baku minyak nabati di
pasar internasional menyebabkan insentif untuk peningkatan kinerja produksi sawit cenderung terbatas.
Sementara itu, untuk produksi tabama padi diperkirakan akan kembali menurun, karena kondisi cuaca yang
kering sehingga tidak mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi.
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Kalimantan pada triwulan III 2014 menunjukkan tren yang menurun setelah pada periode sebelumnya
mengalami tekanan yang tinggi. Penurunan tekanan inflasi terutama terjadi di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan yang masing-masing mengalami inflasi sebesar 4,58% (yoy) dan 4,81% (yoy). Hal tersebut
dipengaruhi oleh terjaganya harga pada komoditas daging-dagingan dan bumbu-bumbuan seiring dengan
terjaganya pasokan dari sentra produksi. Penurunan tekanan inflasi tersebut dipengaruhi oleh koreksi harga
pada subkelompok transpor, dimana puncak permintaan telah terjadi pada akhir triwulan II 2014. Di sisi lain,
tekanan inflasi pada kelompok administered prices bersumber dari peningkatan bertahap Tarif Tenaga Listrik
(TTL) tahap kedua (per 1 September 2014) serta kebijakan pemerintah yang menaikkan harga LPG 12 kg
sebesar Rp1.500 per kg mulai tanggal 10 September 2014.
12
18
%, yoy
11
16
10
14
9
12
8
10
7
8
6
6
5
4
4
2
3
%, yoy
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011*12*
2012
Kalimantan
Kalsel
2013
Kaltim
2014
Kalbar
Kalteng
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.2.7. Perkembangan Inflasi di Kalimantan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011*12*
2012
Kalimantan
Volatile Food
2013
Core Inflation
2014
Administered Prince
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.2.8. Disagregasi Inflasi di Kalimantan
Mencermati perkembangan terkini sampai dengan Oktober 2014, tekanan inflasi pada triwulan IV 20114
diperkirakan cenderung kembali meningkat meski masih dalam intensitas yang terkendali (Grafik II.2.7). Pada
bulan Oktober 2014, sumber tekanan berasal peningkatan tarif angkutan udara dan dari kenaikan harga LPG 3
Kg. Sementara itu, pada kelompok bahan makanan, tekanan inflasi berasal dari kenaikan harga beras lokal dan
Laporan Nusantara| 28
ikan segar. Musim kemarau yang lebih panjang menyebabkan gagal panen di beberapa sentra padi Kalimantan
dan menyebabkan harga beras lokal relatif meningkat. Pada akhir tahun 2014 sumber tekanan inflasi
diperkirakan akan semakin tinggi dipengaruhi oleh kenaikan harga tarif angkutan udara terutama menjelang
liburan natal dan akhir tahun. Selain itu maraknya pembakaran lahan gambut di berbagai daerah di
Kalimantan dan mundurnya awal musim hujan 2014/2015 dapat berpotensi menurunkan produksi komoditas
pangan strategis. Dari sisi administered price, risiko inflasi diperkirakan bersumber dari kenaikan tarif tenaga
listrik dan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Secara keseluruhan, inflasi Kalimantan pada akhir 2014
diperkirakan berada pada kisaran 5,5% (yoy).
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Sampai dengan Oktober 2014, telah terbentuk 44 Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Wilayah
Kalimantan. TPID tersebut terdiri dari 4 TPID provinsi, 9 TPID kota (merupakan kota perhitungan inflasi) dan 31
TPID kota/kabupaten (bukan merupakan daerah perhitungan inflasi). Masih terkendalinya inflasi di berbagai
daerah di Kalimantan, salah satunya merupakan hasil dari koordinasi yang dilakukan oleh TPID secara lintas
pemerintah, instansi, pelaku usaha dan Bank Indonesia. Koordinasi yang dilakukan terutama terkait dengan
pengendalian inflasi pada event musiman, khususnya pelaksanaan bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri.
Berbagai upaya koordinasi dilakukan untuk meredam tekanan harga, antara lain melalui pelaksanaan operasi
pasar/pasar murah, sosialisasi belanja bijak, pemberian prioritas sandar kapal di pelabuhan yang mengangkut
pasokan bahan makanan strategis dan BBM. Selain itu, di tengah kekhawatiran masyarakat terhadap rencana
kenaikan tarif LPG 12 kg, dan pengurangan pasokan BBM bersubsidi karena mulai habisnya kuota BBM
bersubsidi pada periode laporan, TPID di berbagai daerah di Kalimantan melakukan berbagai antisipasi untuk
meredam dampak dari kebijakan tersebut. Beberapa kegiatan TPID yang dilakukan dalam rangka menyikapi
beberapa kebijakan harga yaitu dengan mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatur kuotasi dan
frekuensi pengisian BBM bersubsidi, pengaturan waktu antrian pengisian solar bersubsidi, mengajukan
penambahan kuota BBM besubsidi khususnya solar kepada BPH migas, dan memberikan prioritas pengisian
BBM bersubsidi bagi kendaraan angkut (Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah). Selain itu, TPID juga
merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk LPG 3
kg, sekaligus melakukan pengawasan distribusi dan konsumsi LPG 3 kg tersebut.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Sampai dengan triwulan III 2014, ketahanan sektor korporasi di berbagai daerah di Kalimantan masih relatif
terjaga meski terdapat indikasi menurunnya kualitas kredit yang disalurkan. Penyaluran kredit korporasi di
wilayah ini masih menunjukkan pertumbuhan yang melambat dan pada akhir triwulan tumbuh hanya sebesar
6,6% (yoy) (Grafik II.2.9). Penyaluran kredit ke sektor pertambangan, konstruksi dan jasa dunia usaha bahkan
terkontraksi seiring dengan melambatnya investasi dan kondisi finansial perusahaan batubara skala kecilmenengah yang belum pulih. Meski demikian, penyaluran kredit ke sektor PHR dan sektor pertanian yang
memiliki pangsa masing-masing sebesar 35,9% dan 19,9% masih menunjukkan pertumbuhan yang positif. Di
akhir triwulan III 2014, pertumbuhan kredit sektor PHR mencapai 13,0% (yoy) dan kredit sektor pertanian
mencapai 8,3% (yoy). Dari sisi kualitas kredit, nonperforming loan (NPL) sektor korporasi di Wilayah
Kalimantan meningkat dari 2,4% pada triwulan II 2014 menjadi 2,6% pada akhir triwulan III 2014. Secara
sektoral hampir semua sektor masih memiliki nonperforming loan (NPL) dibawah 5%, kecuali di sektor
konstruksi dan pengangkutan (Grafik II.2.10).
Laporan Nusantara| 29
120,0
16%
%,yoy
14%
100,0
12%
80,0
10%
60,0
8%
6%
40,0
4%
20,0
2%
0%
0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
-20,0
2012
gPertanian
2013
gTambang
gIndustri
2014
gPHR
gKonstruksi
Grafik II.2.9 Pertumbuhan Kredit Kalimantan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
Pertanian
2013
Tambang
Industri
2014
Konstruksi
PHR
Grafik II.2.10 NPL Kredit Perbankan Kalimantan
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Penyaluran kredit rumah tangga (konsumsi) di Kalimantan triwulan III 2014 tumbuh melambat dari 12,7% (yoy)
menjadi 9,0% (yoy). Perlambatan tersebut terutama terjadi pada kredit perumahan terutama pada tipe 70 ke
bawah. Meskipun demikian, terjadi peningkatan pada volume kredit dari sebesar Rp53,6 triliun di triwulan II
2014 menjadi Rp54,6 triliun. Secara umum risiko kredit masih berada dalam batas aman dengan NPL sebesar
1,82%. Risiko kredit diperkirakan akan meningkat seiring dengan perlambatan konsumsi di triwulan mendatang
terutama karena penghasilan yang menurun. Penurunan penghasilan yang disertai terjadinya peningkatan
risiko inflasi dari kenaikan Tarif Tegangan Listrik (TTL), kenaikan harga LPG 3 kg dan rencana kenaikan BBM
dapat megurangi kemampuan rumah tangga dalam melakukan pembayaran kreditnya.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada triwulan III 2014 juga menunjukkan adanya
perlambatan yaitu dari 17,3% (yoy) di triwulan II 2014 menjadi 11,2% (yoy). Secara sektoral, penurunan
kinerja penyaluran kredit UMKM terutama ditopang oleh menurunnya realisasi kredit UMKM pada sektor
perdagangan hotel restoran (PHR) yang tumbuh sebesar 12,1% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya
yaitu sebesar 13,6% (yoy). Melambatnya penyaluran kredit UMKM menjadi perhatian Bank Indonesia yang
secara aktif turut serta melakukan kegiatan pemberdayaan UMKM melalui pengembangan klaster di
Kalimantan. Pada triwulan III 2014, Bank Indonesia berbagai program yang meliputi pengembangan klaster
rumput laut, cabai merah, sarung tenun di Kalimantan Timur, sapi pedaging, padi unggul dan bawang merah di
Kalimantan Selatan, kerajinan bidai dan anyaman rotan di Kalimantan Barat, dan klaster bawang merah, cabai
merah, padi unggul di Kalimantan Tengah. Selain itu dilakukan juga penandatanganan MoU antara Kabupaten
Barito Kuala (Kalimantan Selatan) dengan Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan) dalam rangka kerjasama
klaster sapi dan klaster padi. KPw BI Wilayah II (Kalimantan) juga secara khusus mempersiapkan UMKM di
Kalimantan Selatan untuk menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) 2015 terutama dalam rangka
meningkatkan kompetensi SDM. Berbagai kegiatan di sektor UMKM tersebut, diharapkan dapat memberikan
aksesibilitas UMKM pada lembaga pembiayaan.
Kinerja Sistem Pembayaran
Perkembangan kliring di Wilayah Kalimantan pada triwulan III 2014 secara umum mengalami peningkatan.
Volume transaksi kliring pada triwulan III 2014 tercatat mencapai Rp22,8 triliun atau meningkat 4,08% apabila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp21,8 triliun. Hal tersebut disebabkan oleh
dampak dari aktivitas konsumsi pada bulan Ramadhan dan Hari Besar Keagamaan (Idul Fitri 1435 H) yang
semakin meningkat. Sejalan dengan kegiatan kliring, transaksi non tunai melalui BI-Real Time Gross Settlement
(RTGS) di Wilayah Kalimantan pada triwulan III 2014 juga meningkat. Pada triwulan tersebut total transaksi
RTGS Wilayah Kalimantan tercatat sebesar Rp89,2 miliar dengan komposisi RTGS dari Kalimantan ke luar
Wilayah Kalimantan sebesar Rp43,7 miliar dan transaksi yang masuk dari luar Wilayah Kalimantan sebesar
Laporan Nusantara| 30
Rp33,03 miliar. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekspor yang membaik terutama untuk komoditas
batubara dan CPO.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Pengelolaan uang tunai di Kalimantan pada triwulan III 2014 masih mengalami Net Outflow apabila
dibandingkan triwulan II 2014. Kegiatan pengelolaan uang tunai Bank Indonesia di Wilayah Kalimantan pada
triwulan III 2014 mencatat inflow sebesar Rp8,5 triliun, atau meningkat sebesar 67% jika dibandingkan triwulan
II 2014. Namun, disisi outflow juga terjadi kenaikan signifikan dari Rp8,2 trilliun menjadi Rp12,1 triliun.
Peningkatan di kedua sisi outflow dan inflow di Wilayah Kalimantan menyebabkan terjadinya net flow negatif
(net-outflow) sebesar Rp3,5 triliun pada triwulan III 2014. Sementara itu, temuan uang kertas palsu mengalami
penurunan yang sangat signifikan yaitu sebanyak 365 lembar pada triwulan III 2014, dari sebanyak 1.178
lembar jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Berdasarkan provinsi, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat
menerima temuan uang palsu terbanyak pada triwulan laporan yaitu masing-masing 218 lembar dan 162
lembar. Penurunan jumlah uang palsu ini menggambarkan cukup efektifnya kegiatan sosialisasi ciri-ciri
Keaslian Uang Rupiah Bank Indonesia di Wilayah Kalimantan dan didukung oleh penignkatan kinerja kepolisian
dalam memberantas tren uang palsu yang beredar.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, kinerja perekonomian Kalimantan di tahun 2015 diprakirakan kembali meningkat dan tumbuh
pada kisaran 3,5% - 3,9% (yoy). Peningkatan terutama terjadi di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah. Faktor yang mendorong peningkatan terutama berasal dari peningkatan di sektor
pertanian terutama subsektor perkebunan kelapa sawit, perbaikan sektor pertambangan, peningkatan
investasi dan membaiknya ekspor. Peningkatan kinerja perkebunan kelapa sawit terutama didorong oleh mulai
berproduksinya lahan-lahan yang dibuka 3 – 5 tahun sebelumnya. Sementara itu, smelter alumina di
Kalimantan Barat yang diperkirakan beroperasi penuh di tahun 2015 meningkatkan kinerja pertambangaan
mineral. Di sisi lain, pertambangan batubara diperkirakan masih mengalami konsolidasi berkaitan dengan
pergeseran ekspor batubara ke Tiongkok menjadi ekspor ke India. Konsolidasi pasar batubara juga terjadi
antara peningkatan penggunaan batubara domestik dan mengurangi ketergantungan ekspor batubara. Pada
sisi investasi, kegiatan pembangunan proyek-proyek yang terkait dengan kemaritiman dan hilirisasi
diperkirakan akan semakin besar terutama dalam pembangunan pelabuhan dan industri produk turunan CPO.
Meski demikian, terdapat faktor risiko yang berpotensi menekan laju pertumbuhan tahun 2015. Kondisi
kemarau yang lebih lama di akhir tahun 2014 dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Di sisi lain,
terdapat beberapa kebijakan negara-negara mitra dagang terkait dengan lingkungan dapat menyebabkan
penurunan permintaan batubara dari Kalimantan.
Prospek Inflasi
Secara keseluruhan, tingkat inflasi tahunan di Wilayah Kalimantan pada tahun 2015 diperkirakan tetap
terkendali pada kisaran 4,6% - 5,0% (yoy). Terkendalinya inflasi didukung oleh perkiraan terjaganya pasokan
pangan disertai minimalnya shock distribusi. Pemanfaatan lahan-lahan yang tidak terpakai untuk ditanami
dengan komoditas hortikultura strategis seperti bawang merah dan cabai merah diperkirakan mengurangi
kertergantungan Kalimantan terhadap pasokan dari Jawa. Koordinasi yang sudah dibangun antara TPID
Provinsi dengan TPID Kabupaten/Kota di tahun 2014 diperkirakan akan meninimalkan defisit pangan di suatu
daerah. Namun pada sisi lain, faktor risiko yang berpotensi memicu inflasi 2015 menjadi lebih tinggi dari
perkiraan terutama bersumber dari wacana kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi yang masih belum
jelas (uncertainty timing). Pergeseran musim tanam dan cuaca yang lebih kering dapat menyebabkan
berkurangnya produksi pertanian dan dapat menambah tekanan inflasi dari sisi volatile food.
Laporan Nusantara| 31
Tabel II.2.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Kalimantan
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
PDRB (%,yoy)
2012
2013
2014
2015
II*
III*
IVP
TotalP
IP
TotalP
3.5
I*
3.8
3.3
3.9
3.3
3.6
3.3 - 3,7
3,5 - 3,9
I
II
III
IV
Total
4.8
2.9
3.5
3.8
3.8
Sisi Permintaan
Konsumsi
7.0
7.1
6.7
6.5
6.7
6.7
6.4
7.6
8.0
7.7
7.5
6,1 - 6,5
6,7 - 7,1
Konsumsi swasta
7.1
7.3
6.7
5.7
6.0
6.4
6.6
6.1
6.6
6.2
6.4
5,7 - 6,1
6,4 - 6,8
Konsumsi Pemerintah
6.5
6.6
6.5
9.2
8.8
7.8
5.9
12.7
12.9
12.2
11.1
7,4 - 7,8
7,6 - 8,0
9.8
7.9
6.4
5.7
5.9
6.5
5.4
12.7
7.6
7.1
8.2
Ekspor
3.0
4.7
3.9
7.1
4.3
5.0
(2.1)
(4.8)
(3.3)
(3.8)
(3.5)
8,6 - 9,0
7,0 - 7,4
(3,8) - (3,4) (2,6) - (2,2)
Impor
8.7
8.7
7.4
13.0
8.7
9.4
(0.7)
0.2
(3.2)
(3.2)
(1.7)
(4,9) - (4,5) (4,2) - (3,8)
Sektor pertanian
4.4
2.6
5.7
3.9
6.4
4.6
5.0
3.0
2.0
2.9
3.2
3,5 - 3,9
Sektor pertambangan & penggalian
4.8
0.7
1.4
0.2
0.1
0.6
0.4
(0.6)
2.0
0.3
0.5
Industri pengolahan
(3.5)
(3.1)
(3.5)
0.9
(1.0)
(1.7)
0.3
1.5
0.4
(0.2)
0.5
0,4 - 0,8
(0,1) - 0,3
Listrik, gas & air bersih
7.3
5.9
5.4
4.7
4.8
5.2
4.4
4.7
5.1
4.5
4.7
5,4 - 5,8
6,2 - 6,6
Bangunan
11.6
10.6
8.2
6.7
7.4
8.1
7.5
8.3
8.1
7.0
7.7
6,7 - 7,1
6,8 - 7,2
Perdagangan, hotel & restoran
8.2
5.2
6.6
7.2
6.8
6.5
6.6
5.9
6.2
5.8
6.1
6,0 - 6,4
7,2 - 7,6
Pengangkutan & komunikasi
9.2
7.4
7.4
8.2
8.2
7.8
7.8
7.7
8.0
7.4
7.7
6,5 - 6,9
6,6 - 7,0
Keuangan, persewaan dan jasa perush.
12.6
13.1
12.1
10.0
9.2
11.0
9.4
9.2
8.9
9.1
9.2
8,6 - 9,0
9,0 - 9,4
Jasa-jasa
8.5
7.6
6.6
8.9
8.4
7.9
7.8
6.4
8.4
6.9
7.4
7,5 - 7,9
7,0 - 7,4
5.83
5.98
6.34
8.43
8.56
8.56
7.31
7.57
5.00
5.49
5.49
5,7 - 6,1
4,6 - 5,0
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Sisi Produksi
Inflasi IHK (%,yoy)
4,0 - 4,4
(0,1) - 0,3
0,0 - 0,4
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
* a ngka s ementa ra
p
proyeks i Ba nk Indones i a
Laporan Nusantara| 32
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian berbagai daerah di wilayah Bali dan Nusa Tenggara (Bali-Nustra) pada triwulan III 2014 secara
agregat masih tumbuh melambat dari 5,0% menjadi 3,4% (yoy). Melambatnya kinerja perekonomian wilayah
ini terutama disebabkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mengalami kontraksi pertumbuhan
cukup dalam. Di sisi lain, ekonomi Nusa Tenggara Timur (NTT) tumbuh relatif stabil dan Bali mengalami
peningkatan. Kondisi ini dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga disertai pertumbuhan
konsumsi pemerintah yang melambat cukup dalam. Pendapatan masyarakat yang cenderung melemah terkait
dengan menurunnya aktivitas di sektor pertambangan dan pertanian, serta di sektor perdagangan, hotel, dan
restoran yang berdampak pada melambatnya kinerja konsumsi rumah tangga secara keseluruhan. Sementara
itu, penyerapan anggaran belanja daerah yang cenderung masih rendah menyebabkan perannya yang
terbatas dalam menstimulus perekonomian. Di sisi lain, kinerja ekspor yang masih cukup kuat diperkirakan
lebih ditopang oleh perdagangan antar daerah ditengah masih menurunnya ekspor luar negeri sebagai
dampak dari penyesuaian pelaku usaha terhadap kebijakan pengaturan ekspor mineral.
Memasuki triwulan IV 2014, perekonomian wilayah Bali-Nustra terindikasi mulai menunjukkan perbaikan
dibandingkan dengan beberapa triwulan sebelumnya dan berpotensi dapat tumbuh sebesar 5,3% (yoy). Hal ini
didukung oleh perkiraan membaiknya kembali kinerja ekspor luar negeri seiring dengan telah mulai dapat
dilakukannya ekspor mineral oleh penambang besar di Nusa Tenggara Barat. Konsumsi diperkirakan juga
meningkat dengan masuknya musim liburan akhir tahun serta perayaan beberapa hari besar keagamaan
seperti Hari Raya Galungan dan Natal. Demikian halnya dengan konsumsi pemerintah yang akan meningkat
sebagaimana siklusnya penyerapan anggaran di akhir tahun. Untuk keseluruhan tahun 2014, perekonomian
Bali-Nustra diperkirakan tumbuh melambat dari 5,8% menjadi 4,7% (yoy). Melemahnya kinerja sektor
pertambangan dan bangunan menjadi sumber utama melambatnya pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan. Penyesuaian yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap kebijakan ekspor mineral berpengaruh
besar pada melambatnya kinerja ekspor wilayah ini disepanjang tahun 2014. Kondisi ini juga berpengaruh
terhadap realisasi investasi investasi yang tumbuh melambat di tahun 2014.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga triwulan III 2014 kembali tumbuh melambat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat dari 4,9% menjadi 4,3% (yoy). Melambatnya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga diperkirakan terkait dengan melemahnya aktivitas di sektor pertambangan dan di
sektor pertanian. Kondisi ini juga tercermin dari penurunan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Bali-Nustra dari
112,2 menjadi 111,0 (Grafik II.3.1). Meski demikian, pertumbuhan kredit konsumsi masih relatif terjaga
sebesar 15,5% (yoy), dengan nominal kredit sebesar Rp 47,2 triliun (Grafik II.3.2).
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh sebesar 5,3% (yoy).
Pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) akhir tahun seiring masuknya musim
liburan akhir tahun diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Selain itu,
masuknya beberapa hari raya keagamaan seperti Hari Raya Galungan dan Natal diperkirakan juga akan
mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat di wilayah Bali-Nustra. Mulai kembali meningkatnya aktivitas
Laporan Nusantara| 33
di sektor pertambangan seiring dengan dapat kembali dilakukannya ekspor mineral diperkirakan dapat
mendorong perbaikan konsumsi rumah tangal lebih lanjut.
Indeks
ITK Bali-Nustra
120
Bali
NTB
NTT
112.18
111.02
116
112
108
104
100
96
I
II
III
IV
2011
I
II
III
IV
I
2012
II
III
2013
IV
I
II
Rp Triliun
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
I
III
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
2012
II
III
2013
IV
I
II
III
%, yoy
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2014
2014
Kredit Konsumsi
g Kredit Konsumsi (skala kanan)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik II.3.1. Indeks Tendensi Konsumen
Grafik II.3.2. Penyaluran Kredit Konsumsi
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah di berbagai daerah di wilayah Bali-Nustra triwulan III 2014 secara agregat tumbuh
melambat dari 3,7% menjadi 2,3% (yoy). Perlambatan yang cukup dalam dari konsumsi pemerintah terkait
dengan belum optimalnya penyerapan anggaran hingga triwulan III 2014 jika dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya (Tabel II.3.1). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa realisasi belanja daerah termasuk
belanja modal di dalamnya masih relatif rendah. Masih rendahnya realisasi belanja modal menunjukkan
bahwa realisasi anggaran untuk mendorong kegiatan pembangunan masih relatif terbatas hingga triwulan III
2014.
Mencermati perkembangan tersebut, untuk triwulan berjalan, pertumbuhan konsumsi pemerintah
diperkirakan meningkat sebesar 6,6% (yoy). Peningkatan diperkirakan terjadi di hampir seluruh provinsi di
wilayah Bali-Nustra. Masih terbatasnya realisasi anggaran hingga triwulan III 2014 diperkirakan akan
mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah di akhir tahun.
Tabel II.3.1. Realisasi APBD Bali-Nustra Triwulan II
Item
Realisasi Provinsi Bali Tw III (%)
2013
Realisasi Provinsi NTB Tw III (%)
2014
2013
2014
Realisasi Provinsi NTT Tw III (%)
2013
2014
Pendapatan Daerah
85.1
83.9
70.0
68.6
79.4
75.5
Pendapatan Pajak Daerah
93.5
87.2
74.7
64.7
68.9
60.7
Belanja Daerah
49.2
55.9
61.0
55.4
63.6
57.0
Belanja Modal
31.6
25.4
47.0
33.6
35.3
29.3
Sumber: Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Bali, NTB, NTT, diolah
Investasi
Di tengah melambatnya aktivitas di sektor utama, perkembangan investasi kembali dapat menunjukkan
pertumbuhan yang lebih baik yakni sebesar 7,6% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya mengalami
kontraksi sebesar 0,8% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tersebut terjadi di seluruh provinsi di wilayah BaliNustra terutama didorong oleh investasi bangunan sebagaimana tercermin dari kinerja sektor konstruksi yang
meningkat. Di Bali, penyelesaian terminal penumpang domestik Bandara Ngurah Rai pada September 2014,
pembangunan PLTP Bedugul (10MW) dan beberapa PLTU di daerah lain, penambahan dermaga di Gilimanuk,
serta perbaikan jalan menjelang Lebaran mendorong pertumbuhan investasi triwulan III 2014. Sementara di
NTB, pengembangan Kawasan Wisata Mandalika di Lombok Tengah, pengerjaan bypass BIL dan Bendungan
Rababakka, serta penyelesaian Bendungan Pandan Duri diperkirakan ikut mendorong pertumbuhan investasi
triwulan III 2014. Peningkatan investasi tersebut ditunjukkan oleh peningkatan impor barang modal khususnya
Laporan Nusantara| 34
pada bulan Juli dan September 2014 (Grafik II.3.3). Berdasarkan data PMA dari BKPM, investasi di wilayah BaliNustra cenderung didominasi oleh investor asal Australia, Perancis, dan Jepang (Grafik II.3.4).
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan investasi diperkirakan cenderung kembali tumbuh melambat. Investasi
Bali-Nustra triwulan IV 2014 diperkirakan tumbuh sebesar 2,9% (yoy). Perlambatan tersebut diperkirakan
terjadi di Bali, NTB, maupun di NTT. Di NTT, pertumbuhan investasi cenderung justru masih masih tertahan.
Selain itu, melambatnya pertumbuhan investasi provinsi NTB, lebih disebabkan oleh faktor base effect terkait
tingginya realisasi investasi non-bangunan pada triwulan yang sama tahun sebelumnya dalam rangka
mengakselerasi produksi tambang. Pertumbuhan investasi di provinsi Bali diperkirakan juga tumbuh melambat
seiring telah rampungnya beberapa proyek-proyek infrastruktur berskala besar pada triwulan sebelumnya.
Perkiraan melambanya kinerja investasi juga terindikasi dari pertumbuhan kredit investasi serta penjualan
semen Bali-Nustra yang cenderung menunjukkan perlambatan.
Juta USD
%, yoy
Capital Goods
70
g Capital Goods (skala kanan)
1,400
60
1,200
50
1,000
800
40
600
30
Kanada
2%
Lainnya
17%
Australia
20%
Swiss
4% Rusia
Perancis
12%
3%
400
20
200
10
0
0
Spanyol
2%
1
3
5
7
2012
9
11
1
3
5
7
9
2013
11
1
3
5
7
9
-200
2014
US
6%
Belanda
3%
Hong Kong
4% Korsel
4%
Jepang
8%
UK
4% Jerman
5%
Singapura
6%
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah
Grafik II.3.3. Perkembangan Impor Barang Modal
Grafik II.3.4. Sumber PMA Triwulan III 2014
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Bali-Nustra triwulan III 2014 secara total masih tercatat mengalami kontraksi
sebesar 31,6% (yoy), meski sedikit lebih baik dibandingkan kontraksi yang terjadi di triwulan sebelumnya yang
sebesar 44,9% (yoy). (Grafik II.3.5). Masih turunnya kinerja ekspor terutama dipengaruhi oleh penyesuaian
pelaku usaha tambang terkait penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral. Namun, pada akhir triwulan
laporan ekspor komoditas mineral kembali dapat dilakukan setelah dicapainya kesepakatan antara pelaku
usaha dengan pemerintah. Jumlah realisasi ekspor tembaga pada September 2014 tercatat mencapai 34 ribu
ton (Grafik II.3.6).
Memasuki triwulan IV 2014, kinerja ekspor Bali-Nustra diperkirakan terus akan kembali meningkat. Hal ini
terutama didiukung oleh perkiraan ekspor tembaga yang semakin meningkat pada bulan Oktober – Desember
2014 seiring dengan telah diperolehnya izin ekspor sejak akhir triwulan III 2014. Selain itu, ekspor pakaian jadi
yang memiliki pangsa terbesar dalam total ekspor Bali-Nustra diharapkan berangsur-angsur mulai
menunjukkan perbaikan, seiring dengan proyeksi membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang
merupakan negara tujuan ekspor pakaian jadi dari Bali-Nustra. Namun terkait ekspor komoditas perikanan,
potensi gangguan cuaca di akhir tahun diperkirakan menjadi faktor risiko yang berpotensi menahan perbaikan
kinerja ekspor Bali-Nustra lebih lanjut.
Laporan Nusantara| 35
%, yoy
Juta USD
Nilai Ekspor Bali-Nustra
700
growth Ekspor (skala kanan)
40
30
20
10
0
(10)
(20)
(30)
(40)
(50)
(60)
600
500
400
300
200
100
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
Domestik
Ekspor
Nilai Barang (skala kanan)
70,000
120,000,000
60,000
100,000,000
50,000
80,000,000
40,000
60,000,000
30,000
40,000,000
20,000
20,000,000
10,000
III
-
-
(20,000,000)
1
2014
3
5
7
9 11 1
3
5
2012
Grafik II.3.5. Perkembangan Nilai Ekspor
8 10 12 2
2013
4
6
8
2014
Grafik II.3.6. Ekspor Konsentrat Tembaga
Impor
Sejalan dengan perkembangan investasi yang kembali membaik, impor Bali-Nustra triwulan III 2014 juga
tumbuh menigkat (Grafik II.3.7). Berdasarkan pangsanya, sepanjang tahun 2014, impor Bali-Nustra didominasi
oleh impor barang modal (capital goods) dan bahan mentah (raw material), yang masing-masing memiliki
pangsa sebesar 64% dan 29% terhadap total impor Bali-Nustra. Peningkatan impor tersebut terutama
didorong oleh peningkatan impor barang modal pada bulan Juli dan September 2014 (Grafik II.3.8). Impor
yang menunjukkan peningkatan sejalan dengan realisasi pertumbuhan investasi dan sektor bangunan yang
juga meningkat pada triwulan tersebut seiring dengan meningkatnya pembangunan dan penyelesaian proyek
pada triwulan III 2014.
Untuk triwulan IV 2014, pertumbuhan impor luar negeri diperkirakan mengalami perlambatan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Perlambatan tersebut juga sejalan dengan pertumbuhan investasi yang
diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan berjalan. Impor yang tumbuh melambat diperkirakan
terjadi khususnya di provinsi NTT. Progress MP3EI yang cenderung stagnan/melambat diantaranya
pembangunan industri garam di Teluk Kupang diperkirakan mendorong perlambatan pertumbuhan investasi
triwulan IV 2014, khususnya pada impor bahan mentah maupun impor barang modal.
Juta USD
%, yoy
Nilai Impor Bali-Nustra
g nilai impor (skala kanan)
g consumption
800
g raw material
g capital goods
700
600
500
400
300
200
100
0
-100
-200
Grafik II.3.7. Perkembangan Nilai Impor
1
3
5
7
2012
9
11
1
3
5
7
2013
9
11
1
3
5
7
9
2014
Grafik II.3.8. Impor menurut Penggunaan
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR)
Pertumbuhan sektor PHR triwulan III 2014 menunjukkan sedikit peningkatan dari 7,9% menjadi 8,0% (yoy)
pada triwulan III 2014. Peningkatan pertumbuhan sektor PHR terjadi di provinsi NTB dan NTT, sedangkan
pertumbuhan sektor PHR di provinsi Bali cenderung melambat. Kunjungan wisatawan ke NTB hingga
September 2014 masih menunjukkan adanya peningkatan yang ditunjukkan oleh tingkat penghunian kamar
maupun jumlah kunjungan wisman. Berdasarkan hasil liaison, sebagian besar hotel di Senggigi menunjukkan
terjadinya peningkatan jumlah kunjungan wisman asal Australia seiring dibukanya rute penerbangan langsung
Laporan Nusantara| 36
Perth – Lombok. Dari sisi perdagangan, berdasarkan hasil liaison, penjualan kendaraan bermotor juga masih
menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) wilayah BaliNustra juga menunjukkan adanya peningkatan kegiatan usaha di sektor PHR pada triwulan III 2014 (Grafik
II.3.9). Di sisi lain, pertumbuhan sektor PHR di provinsi Bali menunjukkan perlambatan sehingga menahan
peningkatan kinerja pertumbuhan sektor PHR di wilayah Bali-Nustra lebih lanjut (Grafik II.3.10).
SBT (%)
1,200
25
40.00
1,000
20
30.00
800
15
600
10
400
5
200
0
Ribu orang
50.00
20.00
10.00
0.00
-10.00
I
II
III
IV
2011
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
I
2013
II
2014
III
0
(5)
I
-20.00
II
III
IV
I
2011
-30.00
II
III
2012
Jumlah wisman
-40.00
% yoy
Pada triwulan IV 2014, sektor PHR diperkirakan tumbuh melambat sebesar 6,5% (yoy). Sesuai dengan polanya,
pertumbuhan sektor PHR cenderung mengalami perlambatan pada akhir tahun. Kinerja subsektor
perdagangan diperkirakan mengalami perlambatan pada triwulan IV 2014. Berdasarkan hasil Survei Penjualan
Eceran (SPE), SPE provinsi NTT pada Oktober 2014, menunjukkan adanya penurunan omzet penjualan pada
hampir semua kelompok barang. Namun penurunan total penjualan tersebut diperkirakan akan kembali
meningkat menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Selain itu, data bongkar muat dan kapal sandar
Pelabuhan Tenau juga menunjukkan adanya penurunan aktivitas pada Oktober 2014.
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
g Jumlah Wisman (skala kanan)
Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, diolah
Grafik II.3.9. Hasil SKDU – Sektor PHR
Grafik II.3.10. Jumlah Kunjungan Wisman ke Bali
Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian triwulan III 2014 kembali menunjukkan perlambatan dari 1,8% menjadi 1,5%
(yoy). Perlambatan tersebut terjadi di NTB dan NTT, sedangkan pertumbuhan sektor pertanian provinsi Bali
masih mengalami peningkatan. Kekeringan lahan seluas ratusan hektar di NTB berdampak pada penurunan
produksi pertanian. Selain itu, kekeringan yang terjadi di daerah-daerah sentra produksi padi di NTT seperti
Manggarai Barat, Manggarai, Nagekeo, Malaka, Betun, serta Belu menyebabkan gagal panen di beberapa
daerah tersebut. Subsektor perkebunan di NTT pun tumbuh melambat dikarenakan perkebunan jambu mete
dan kopi yang mayoritas berada di Pulau Flores dan Pulau Sumba mayoritas sudah selesai panen.
Memasuki triwulan IV 2014, pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan kembali membaik sebesar 2,6%
(yoy). Di NTB, telah dilakukannya pengisian dan peresmian waduk pandan duri pada pertengahan Oktober
2014 diperkirakan akan mendorong perbaikan kinerja produksi pertanian. Waduk pandan duri tersebut dapat
menampung air hingga 27 juta meter kubik dan mampu mengairi lahan hingga mencapai 5.200 hektar lahan.
Selain itu, produksi sapi diperkirakan juga akan mengalami peningkatan, meski terkendala dengan pembatasan
penjualan sapi antar pulau yang hampir memenuhi kuota tahun ini sebanyak 60 ribu ekor per tahun. Selain itu,
faktor risiko seperti kondisi cuaca yang kurang kondusif mungkin memberikan pengaruh di akhir tahun
sehingga berpotensi mengganggu kinerja sektor pertanian, baik subsektor tabama maupun perikanan.
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian masih mengalami kontraksi pada triwulan III 2014.
Kontraksi pertumbuhan sektor pertambangan semakin dalam dari kontraksi 8,2% menjadi kontraksi sebesar
46,4% (yoy). Kontraksi yang semakin dalam tersebut dipicu oleh kegiatan pertambangan yang belum pulih
serta belum adanya kegiatan produksi pada triwulan III 2014. Pengiriman ekspor yang dilakukan pada
Laporan Nusantara| 37
September 2014 sebagian besar menggunakan stok yang masih tersisa dari beberapa periode sebelumnya.
Harga konsentrat tembaga juga cenderung mengalami penurunan pada bulan September 2014.
Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diperkirakan mulai menunjukkan perbaikan. Hal ini terkait
dengan mulai kembali normalnya aktivitas produksi tambang tembaga pasca diterbitkannya izin ekspor
mineral. Seluruh karyawan dipanggil untuk bekerja kembali sejak bulan September dan akan mulai efektif
berjalan normal kembali pada Oktober 2014. Pada Oktober 2014, produsen utama tembaga NTB juga telah
melakukan produksi konsentrat tembaga dengan hasil produksi sebesar 1.000 – 1.500 ton per hektar lahan
galian. Diharapkan pada bulan November produsen utama tembaga NTB sudah dapat kembali beroperasi
dalam kondisi normal.
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi wilayah Bali-Nustra pada triwulan III 2014 melandai dibandingkan dengan triwulan II 2014. Penurunan
tekanan inflasi terjadi di seluruh provinsi di wilayah Bali-Nustra yang terutama bersumber dari kelompok
administered price seiring dengan hilangnya dampak kenaikan BBM bersubsidi (faktor base effect). Di samping
itu, trend penurunan tekanan inflasi kelompok core inflation masih terus berlanjut seiring dengan
melambatnya perekonomian Bali-Nustra. Di sisi lain, tekanan inflasi pangan di akhir triwulan laporan
cenderung kembali meningkat terkait dengan produksi di sektor pertanian yang cenderung menurun akibat
gagal panen di sejumlah daerah sentra produksi.
Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi diperkirakan cenderung kembali meningkat meski masih dalam
intensitas yang terkendali. Hal ini terindikasi dari realisasi inflasi Oktober 2014 yang menunjukkan adanya
kecenderungan yang meningkat. Tekanan inflasi Bali-Nustra pada Oktober 2014 tercatat sebesar 5,02% (yoy).
Kenaikan tekanan inflasi terutama bersumber dari dampak kenaikan bahan bakar rumah tangga serta tarif
tenaga listrik, serta kenaikan tarif angkutan udara. Meski demikan, beberapa faktor risiko masih perlu
dicermati karena potensinya yang cukup besar memengaruhi keseluruhan inflasi berbagai daerah di BaliNustra. Potensi risiko terutama bersumber dari kenaikan harga energi (tarif tenaga listrik) dan terkait rencana
kenaikan harga BBM bersubsidi. Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi diperkirakan akan meningkatkan
ekspektasi masyarakat yang berpengaruh pada kenaikan harga barang dan jasa di triwulan IV 2014. Meskipun
diperkirakan melandai dibandingkan tahun sebelumnya, risiko tekanan inflasi komponen volatile foods masih
cukup tinggi. Dari sisi supply, anomali cuaca masih menjadi faktor risiko terganggunya produksi dan distribusi
bahan makanan. Dari sisi demand, diperkirakan akan terjadi kenaikan permintaan komoditas volatile food
seiring dengan perayaan Hari Raya Keagamaan. Sementara itu, upward risk komponen administered price
diperkirakan terutama bersumber dari rencana kenaikan harga BBM bersubsidi serta peningkatan harga tiket
angkutan udara.
Bali-Nustra
Bali
NTB
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
NTT
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
I
2.00
II
III
2011
0.00
I
II III IV
2009
I
II III IV
2010
I
II III IV
2011
I
II III IV
2012
I
II III IV
2013
I
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
I
2013
II
III Okt
2014
II III IVP
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik II.3.11. Perkembangan Inflasi Bali-Nustra
UMUM
core inflation
administered price
volatile food
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik II.3.12. Disagregasi Inflasi Bali-Nustra
Laporan Nusantara| 38
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Sebagai wadah dan sarana untuk mengendalikan inflasi, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di wilayah
Bali-Nustra secara konsisten terus melakukan peningkatan upaya nyata dalam menjaga stabilitas harga barang
dan jasa di daerah. Upaya penguatan koordinasi dilakukan melalui Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) di
provinsi NTB. Rakorwil merumuskan kesepakatan langkah-langkah kolaboratif pengendalian inflasi
berdasarkan lima pilar TPID (Produksi & Distribusi, Kelembagaan, Regulasi, Edukasi, serta Kajian). Selain itu,
target inflasi di masing-masing provinsi juga dirumuskan sehingga dapat mendukung pencapaian inflasi
nasional. Dalam rangka mengantisipasi besarnya tekanan inflasi pada triwulan III 2014, TPID Bali-Nustra secara
berkesinambungan melaksanakan langkah 4K (Ketersediaan pasokan, Keterjangkauan harga, Kelancaran
distribusi, dan Komunikasi). Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan diantaranya inspeksi mendadak ke
berbagai pasar modern dan tradisional, gudang distributor dan gudang BULOG; peningkatan infrastruktur
perhubungan; pasar murah serta kegiatan komunikasi dengan masyarakat melalui media massa dalam rangka
menjaga ekspektasi masyarakat.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Seiring dengan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2014, kinerja pembiayaan perbankan
di wilayah Bali-Nustra juga turut mengalami perlambatan. Kecenderungan perlambatan penyaluran kredit BaliNustra terjadi di seluruh provinsi baik Bali, NTB, maupun NTT (Grafik II.3.13). Hasil liaison kepada pelaku
usaha, penurunan kebutuhan kredit terjadi karena beberapa ketentuan usaha dianggap menghambat ekspansi
usaha, seperti permasalahan perizinan dan pengenaan pajak sebesar 1% dari omzet bagi UMKM. Perlambatan
penyaluran kredit pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 15,7% (yoy), lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 17,0% (yoy). Namun adanya perlambatan tersebut memberikan
ruang bagi perbankan untuk memperbaiki kinerja kreditnya sehingga rasio nonperforming loan (NPL) turun
dari sebesar 1,7% menjadi 1,3%.
Bali-Nustra
Bali (skala kanan)
NTB (skala kanan)
NTT (skala kanan)
%, yoy
90
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
35
70
30
60
25
50
20
40
15
30
10
20
5
10
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
Konsumsi
Perumahan
Kendaraan
80
I
II
III
2014
Grafik II.3.13. Penyaluran Kredit Bali-Nustra
(10)
(20)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Grafik II.3.14. Kredit Sektor Rumah Tangga
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Pertumbuhan pembiayaan ke sektor rumah tangga juga memiliki kecenderungan yang melambat dari 14,6% di
akhir triwulan II 2014 menjadi 12,9% pada akhir triwulan III 2014. Perlambatan tersebut terjadi pada kredit
perumahan maupun kendaraan (Grafik II.3.14). Dari kualitasnya, kualitas penyaluran kredit pada sektor rumah
tangga atau kredit konsumsi cenderung menurun meski masih berada dalam level yang belum
mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari rasio NPL yang tercatat sedikit meningkat dari 0,70% pada triwulan
sebelumnya, menjadi 0,72% pada triwulan III 2014. Peningkatan NPL tersebut terutama terjadi pada kredit
yang disalurkan untuk tujuan multiguna. Hal tersebut diperkirakan terjadi akibat peningkatan suku bunga
kredit retail, dimana pola yang serupa terjadi pada kredit konsumsi.
Laporan Nusantara| 39
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pertumbuhan kredit UMKM juga tercatat mengalami perlambatan dari 20,6% menjadi 19,8% (yoy).
Perlambatan pada kredit UMKM terutama terjadi pada kredit mikro dan menengah, sementara pertumbuhan
kredit untuk golongan debitur kecil cenderung meningkat (Grafik II.3.15). Namun perlambatan pertumbuhan
kredit UMKM tersebut tidak diikuti dengan perbaikan kualitas kredit sektor ini. Perkembangan NPL kredit
UMKM tercatat meningkat dari 1,7% menjadi 2,0%. Peningkatan risiko kredit UMKM terutama terjadi pada
kredit kelompok menengah yang tercatat meningkat dari sebesar 1,5% menjadi 2,1% (Grafik II.3.16).
Peningkatan risiko kredit pada kelompok debitur menengah meskipun masih belum mengkhawatirkan tetap
perlu dicermati lebih lanjut.
%, yoy
140
UMKM
Mikro
Kecil
Menengah
%
4.5
UMKM
Mikro
Kecil
Menengah
4
120
3.5
100
3
80
2.5
2
60
1.5
40
1
20
0.5
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Grafik II.3.15. Perkembangan Kredit UMKM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Grafik II.3.16. Perkembangan NPL Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi wilayah Bali dan Nusa Tenggara pada triwulan III 2014,
volume transaksi ekonomi di wilayah yang direpresentasikan oleh RTGS juga tercatat mengalami sedikit
penurunan. Volume transaksi RTGS triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp 142,3 triliun (Grafik II.3.17).
Penurunan volume transaksi RTGS terjadi pada jenis transaksi RTGS keluar. Dilihat berdasarkan provinsinya,
penurunan volume transaksi RTGS terjadi di provinsi Bali dan NTB, sedangkan transaksi RTGS di NTT tercatat
meningkat.
Grafik II.3.17. Perkembangan RTGS
Grafik II.3.18. Perkembangan Net Inflow-Outflow
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Terkait kinerja pengelolaan uang tunai, sesuai dengan polanya, perkembangan peredaran uang pada triwulan
III 2014 didominasi oleh aliran outflow. Jumlah net outflow yang tercatat pada triwulan III 2014 mencapai Rp
1,9 triliun, lebih besar dibandingkan net outflow sebelumnya yang sebesar Rp 680 miliar atau meningkat
sebesar 173,7% (yoy) (Grafik II.3.18). Peningkatan transaksi outflow didorong oleh aktivitas ekonomi yang
dilakukan masyarakat seiring tahun ajaran baru sekolah dan perayaan Hari Raya Idul FItri sehingga mendorong
peningkatan kebutuhan uang kartal di masyarakat. Sementara itu, guna terus menekan peredaran uang palsu
Laporan Nusantara| 40
Bank Indonesia secara konsisten melakukan edukasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah yang dilakukan
antara lain melalui layanan penukaran uang dan kegiatan kas keliling.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Bali-Nustra pada tahun 2015, diperkirakan menunjukkan peningkatan dibandingkan
dengan tahun sebelumnya dan berada pada kisaran 6,3% - 6,8% (yoy). Pertumbuhan tersebut diperkirakan
didorong oleh kinerja sektor pertambangan yang mulai menunjukkan perbaikan seiring dengan diperolehnya
izin ekspor produsen utama tembaga NTB hingga pertengahan tahun 2015. Sejalan dengan hal tersebut,
pertumbuhan ekspor diperkirakan juga akan mengalami peningkatan. Dimulainya era pemerintahan baru,
diperkirakan akan mendorong pertumbuhan investasi di tahun 2015. Namun peningkatan pertumbuhan
tersebut masih dibayangi oleh beberapa tantangan dan risiko. Masih tingginya sumber pembiayaan investasi
diperkirakan masih akan menjadi faktor penghambat investasi di tahun 2015. Rencana kenaikan harga BBM
bersubsidi juga berpotensi menahan konsumsi masyarakat untuk golongan tertentu. Selain itu, kondisi cuaca
yang kurang baik juga dapat menahan laju pertumbuhan tahun 2015, khususnya untuk pertumbuhan sektor
pertanian.
Prospek Inflasi
Sampai dengan akhir tahun 2015, prospek inflasi wilayah Bali-Nustra diperkirakan masih berada pada rentang
yang terjaga pada kisaran 4.98% - 5,48% (yoy). Adapun risiko pendorong inflasi yang masih sangat mungkin
terjadi apabila tidak diterapkan di tahun 2014 adalah risiko kenaikan harga BBM bersubsidi. Faktor risiko
tersebut berpotensi mendorong inflasi tahun 2015 lebih tinggi dari yang diprakirakan. Selain itu, kenaikan
administered prices lain seperti kenaikan TTL, harga LPG, maupun tarif angkutan udara masih membayangi
potensi kenaikan inflasi di sepanjang tahun 2015. Menghadapi risiko tersebut, koordinasi kebijakan di daerah
perlu terus diperkuat dan diarahkan untuk memitigasi potensi gejolak inflasi yang dapat terjadi. Langkah
kebijakan di daerah difokuskan pada upaya untuk menjaga kesinambungan pasokan, kelancaran distribusi
barang, dan pengelolaan ekspektasi masyarakat terhadap harga-harga.
Tabel II.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Bali-Nustra
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
PDRB (%,yoy)
2012
2013
2014
2015
2015 P
I
II
III
IV
Total
I*
II*
III*
IVp
Totalp
Ip
4.2
6.0
5.6
5.9
5.8
5.8
5.4
5.0
3.4
5.3
4.7
5,2 - 5,7
6,3 - 6,8
7,2 - 7,7
Sisi Permintaan
Konsumsi
4.2
5.1
6.3
7.5
7.7
6.7
6.8
4.9
4.0
5.5
5.3
5,2 - 5,7
Konsumsi swasta
4.3
4.6
5.6
5.6
6.4
5.5
6.4
4.9
4.3
5.3
5.2
5,2 - 5,7
6,2 - 6,7
Konsumsi Pemerintah
3.9
8.1
9.3
16.6
13.5
12.1
9.0
4.8
2.3
6.6
5.5
5,4 - 5,9
11,7 - 12,2
4,3 - 4,8
4,0 - 4,5
Pembentukan Modal Tetap Bruto
15.0
14.1
11.9
4.7
1.6
7.9
(2.8)
(0.8)
7.6
2.9
1.7
Ekspor
2.5
3.0
6.2
12.3
10.1
8.0
11.1
6.7
7.5
17.9
10.9
12,4 - 12,9 13,6 - 14,1
Impor
5.9
9.6
12.1
15.0
13.4
12.7
14.4
8.8
10.1
8.0
10.2
12,1 - 12,6 13,6 - 14,1
1.5
2.6
Sisi Produksi
4.2
2.3
2.7
2.7
1.6
2.3
2.8
1.8
(23.7)
6.3
(1.3)
5.4
16.8
6.8
0.7
(8.2)
Industri pengolahan
5.6
6.7
6.0
5.0
6.2
5.9
6.3
6.3
5.8
Listrik, gas & air bersih
8.5
9.5
9.3
8.2
7.6
8.6
4.7
7.4
5.8
Bangunan
10.3
12.7
8.5
2.2
(0.1)
5.5
2.5
3.6
Perdagangan, hotel & restoran
6.6
6.6
7.0
6.6
6.1
6.5
6.4
Pengangkutan & komunikasi
6.9
5.3
5.6
6.3
6.9
6.0
Keuangan, persewaan dan jasa perush.
8.8
8.6
8.2
7.0
7.8
6.1
7.1
7.8
11.0
9.0
4.59
6.16
5.43
8.06
8.28
8.28
Sektor pertanian
Sektor pertambangan & penggalian
Jasa-jasa
Inflasi IHK (%,yoy)
2.2
1,9 - 2,4
2,1 - 2,6
(13.5)
0,4 - 0,9
32,5 - 33,0
9.7
7.0
6,4 - 6,9
5,7 - 6,2
5.0
5.7
5,2 - 5,7
5,0 - 5,5
8.8
2.1
4.2
4,0 - 4,5
3,7 - 4,2
7.9
8.0
6.5
7.2
6,7 - 7,2
6.9
5.7
6.9
5.2
6.2
4,9 - 5,4
6,7 - 7,2
4,5 - 5,0
7.9
7.5
8.2
8.3
4.8
7.2
6,6 - 7,1
6,6 - 7,1
8.7
8.0
6.62
7.1
6.78
6.9
4.60
8.8
5.01
7.7
8,5 - 9,0
7,0 - 7,5
5.01
4,7 - 5,2
5,0 - 5,5
(46.4) (1.1)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
* a ngka s ementa ra
p
proyeks i Ba nk Indones i a
Laporan Nusantara| 41
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara| 42
Pertumbuhan ekonomi Kawasan Jawa pada triwulan III 2014 relatif stabil pada level 5,8% (yoy). Kondisi ini
terutama ditopang oleh kinerja ekonomi Jawa Tengah yang membaik dan Jawa Timur yang stabil. Cukup stabilnya
perekonomian Jawa didukung oleh membaiknya kinerja ekspor manufaktur dan konsumsi rumah tangga yang
tetap kuat. Kondisi ini mendorong perbaikan sektor industri pengolahan di kawasan Jawa. Selain itu, pergeseran
masa panen ke triwulan III 2014 di beberapa daerah sentra produksi berdampak positif pada kinerja sektor
pertanian yang memiliki peran cukup besar dalam perekonomian Jawa. Berbeda dengan daerah-daerah lain di
Jawa, ekonomi Jakarta justru mengalami sedikit perlambatan pada triwulan III 2014 karena pelemahan kinerja
konstruksi.
Laju inflasi di berbagai daerah di Jawa selama triwulan III 2014 menunjukkan kecenderungan melambat. Pada
akhir triwulan III 2014, inflasi di Kawasan Jawa secara agregat turun menjadi 4,17% (y.o.y). Hal ini terutama
dipengaruhi oleh cukup terjaganya pasokan pangan disertai adanya koreksi harga pada beberapa komoditas
pangan terutama aneka bumbu. Selain itu, menghilangnya faktor base effect dari kenaikan harga BBM pada tahun
lalu turut memengaruhi lebih rendahnya angka inflasi pada periode ini. Meski demikian, provinsi Banten mencatat
tingkat inflasi yang cukup tinggi, yakni mencapai 6,12%, yang dipicu oleh kenaikan harga LPG.
Pembiayaan ekonomi yang bersumber dari kredit perbankan di Kawasan Jawa cenderung tumbuh melambat dari
18,2% di akhir triwulan II 2014 menjadi 13,7% di akhir triwulan III 2014. Perlambatan kredit terjadi baik kepada
sektor rumah tangga maupun sektor korporasi. Di sektor rumah tangga, perlambatan terutama pada penyaluran
Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), diikuti oleh Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kepemilikan Apartemen
(KPA). Meskipun demikian, kualitas kredit ke sektor rumah tangga masih terjaga stabil seperti tercermin pada
angka NPL yang masih rendah. Sementara itu, melambatnya pertumbuhan kredit kepada sektor korporasi
diperkirakan terkait dengan penundaan investasi yang dilakukan oleh para investor di sektor riil. Ada pun
penyaluran kredit ke sektor pertambangan, konstruksi dan angkutan terindikasi mulai mengalami kenaikan NPL
tetapi masih pada level yang belum mengkhawatirkan.
Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator ekonomi mengindikasikan bahwa kinerja ekonomi Jawa relatif stabil
dengan tingkat optimisme yang lebih besar. Optimisme ini terutama didukung oleh potensi peningkatan ekspor
manufaktur di seluruh wilayah di Jawa seiring dengan membaiknya ekonomi negara mitra dagang utama (Amerika
Serikat dan Kawasan ASEAN). Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kawasan Jawa juga didukung oleh
meningkatnya investasi, khususnya investasi bangunan, dalam merespons akselerasi proyek infrastruktur
pemerintah di akhir tahun. Perbaikan iklim investasi melalui upaya perbaikan proses perijinan dan pembayaran
pajak akan turut mendukung peningkatan investasi di akhir 2014. Terjaganya konsumsi di Kawasan Jawa dan
optimisme perbaikan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) akan mendorong perbaikan kinerja sektor PHR pada
subsektor perdagangan besar (antar daerah). Selain itu, kinerja sektor industri pengolahan juga diperkirakan
tumbuh lebih tinggi sejalan dengan perbaikan ekspor.
Walaupun terdapat potensi membaik pada triwulan IV, untuk keseluruhan tahun 2014 perekonomian Kawasan
Jawa diperkirakan tumbuh lebih lambat daripada tahun sebelumnya. Kondisi ini terutama disebabkan oleh
melemahnya kinerja investasi dan ekspor. Perlambatan kinerja investasi dan ekspor tidak terlepas dari dinamika
global yang masih diliputi ketidakpastian yang turut memengaruhi aktivitas industri di Jawa. Aktivitas perdagangan
antar pulau juga cenderung melemah sepanjang tahun 2014, khususnya dengan KTI yang melambat kinerja
perekonomiannya. Proses transisi pemerintahan yang berlangsung pada tahun 2014 turut memengaruhi tendensi
Laporan Nusantara| 43
investor dalam menentukan waktu untuk merealisasikan investasinya. Pelambatan kinerja investasi juga terkait
dengan menurunnya daya saing industri manufaktur Kawasan Jawa yang terbebani oleh peningkatan biaya
produksi. Kenaikan biaya energi, logistik, upah buruh, serta bahan baku impor menjadi faktor utama penurunan
daya saing investasi di sektor industri. . Ada pun menurunnya kinerja produksi pertanian, sebagaimana tercermin
pada relatif rendahnya angka prakiraan produksi tanaman bahan makanan, turut memengaruhi capaian ekonomi
Jawa secara keseluruhan di 2014.
Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi di Jawa cenderung meningkat tetapi masih pada level yang terkendali.
Inflasi pada Oktober 2014 tercatat sebesar 4,66% dengan kenaikan inflasi tertinggi masih tercatat di Banten
(6,71%). Kenaikan tekanan inflasi terutama bersumber dari dampak kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan bahan
bakar rumah tangga. Selain itu, tekanan inflasi terindikasi juga bersumber dari kelompok core inflation seiring
meningkatnya ekspektasi menjelang keputusan kenaikan BBM di akhir tahun. Meskipun demikian, hingga akhir
tahun 2014 tekanan inflasi diperkirakan terjaga, kendati dibayangi berbagai risiko yang cukup besar. Risiko
kenaikan inflasi diperkirakan masih bersumber dari kelompok administered prices seiring dilakukannya
penyesuaian TTL ke-3, tarif transportasi dan harga rokok di akhir tahun. Selain itu, kemungkinan diterapkannya
pengurangan subsidi BBM dalam waktu dekat berpotensi memicu kenaikan inflasi yang lebih besar. Hal tersebut
ditambah lagi dengan risiko baru dimulainya musim tanam pada awal November dapat mendorong kenaikan harga
pada kelompok volatile foods.
Pada tahun 2015 ekonomi Jawa diprakirakan meningkat di kisaran 5,8% - 6,2% (yoy). Optimisme perbaikan
ekonomi hampir terjadi di seluruh provinsi, khususnya Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kondisi ini didukung oleh
potensi perbaikan kinerja ekspor dan meningkatnya transaksi perdagangan antar pulau seiring dengan prospek
ekonomi KTI yang terus membaik. Di samping itu, prioritas pembangunan infrastruktur dan upaya perbaikan
fasilitasi investasi, seperti pelayanan terpadu satu pintu (one stop service) akan dapat mendorong pemulihan
kinerja investasi pada sektor-sektor utama di Jawa. Secara sektoral, prospek perbaikan ekonomi 2015 diprediksi
terjadi pada sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan sektor PHR. Masih berlanjutnya pembangunan
smelter dan meningkatnya minat investasi di daerah berpotensi mendorong perbaikan kinerja sektor riil. Namun,
beberapa faktor risiko masih membayangi pertumbuhan ekonomi ke depan, diantaranya perlambatan ekonomi
negara emerging market, potensi kenaikan UMK dan pengurangan subsidi energi, serta tingginya ketergantungan
sektor pertanian Kawasan Jawa pada faktor cuaca. Tantangan pada sektor pertanian juga terkait dengan perbaikan
institusi yang dapat mendukung optimalisasi teknologi dalam rangka mencapai kedaulatan pangan.
Tekanan inflasi pada tahun 2015 diperkirakan berada pada level 4,5% - 4,9% (yoy) dengan kecenderungan bias ke
atas. Hal tersebut sejalan dengan berbagai risiko yang kemungkinan termaterialisasi, khususnya terkait kenaikan
harga BBM bersubsidi dan dampak lanjutannya pada tarif angkutan umum dan transportasi, serta potensi
kenaikan upah minimum (UMP/UMK). Namun, berbagai risiko tersebut diharapkan dapat dikelola dengan baik
seiring optimisme perbaikan kinerja pertanian yang didukung oleh rencana pemerintah meningkatkan
infrastruktur irigasi dan penguatan kerjasama antar daerah melalui TPID untuk pemenuhan pasokan barang pada
kelompok energi dan volatile food.
Laporan Nusantara| 44
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jawa Bagian Timur (Jabagtim) tumbuh stabil pada triwulan III 2014 pada level 5,9% (yoy),
lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Kinerja perekonomian Jabagtim yang cenderung lebih rendah dari
polanya, merupakan akibat dari melambatnya konsumsi rumah tangga. Lebih lemahnya konsumsi pada periode
dimana terdapat puasa dan Lebaran 2014 ini tercermin pula dari menurunnya perdagangan antar daerah. Hal ini
berpengaruh pada pertumbuhan yang lebih lambat pada sektor PHR dan industri pengolahan. Di sisi ekspor, juga
terjadi perlambatan yang cukup dalam pada triwulan laporan. Di sisi lain, perbaikan kinerja investasi, belanja
pemerintah dan lembaga swasta mendukung stabilnya perekonomian Jabagtim. Kenaikan belanja investasi
periode ini didominasi oleh kelompok bangunan, khususnya dengan adanya pembangunan 3 proyek smelter di
Jawa Timur.
Dari sisi sektoral, dampak UU Minerba masih berlanjut pada triwulan III 2014 dan memengaruhi kinerja sektor
industri pengolahan. Indikasi dari hal tersebut adalah terbatasnya peningkatan produksi industri pengolahan
logam di Jabagtim. Penurunan jumlah pemudik serta kenaikan biaya operasional turut mempengaruhi kinerja
sektor pengangkutan. Selain itu, penurunan marjin usaha turut dirasakan sektor telekomunikasi. Namun demikian,
terdapat indikasi peningkatan kinerja sektor pertanian, konstruksi, dan jasa. Meningkatnya produksi tanaman padi
dan hortikultura mendukung kinerja sektor pertanian pada triwulan laporan.
Pertumbuhan ekonomi Jabagtim diprakirakan tumbuh sedikit melambat menjadi 5,8% (yoy) pada triwulan IV
2014. Proyeksi pelemahan ekonomi tersebut sejalan dengan masih belum stabilnya kinerja sektor riil di Jabagtim.
Di sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diprediksi masih akan lebih rendah daripada triwulan III 2014. Hal ini
sebagai pengaruh dari menurunnya pendapatan dari sektor pertanian dan dampak dari pengurangan tenaga kerja
sektor industri, dengan adanya strategi otomatisasi. Di sisi lain, investasi khususnya dari bangunan dan belanja
pemerintah relatif masih kuat dalam menahan perlambatan ekonomi Jabagtim. Kinerja ekspor diprediksi juga
mengalami perbaikan, seiring dengan meningkatnya permintaan barang konsumsi untuk perayaan Natal dan
Tahun Baru. Meningkatnya perdagangan antar daerah juga turut mendorong kinerja ekspor domestik. Dari sisi
sektoral, melambatnya pertumbuhan ekonomi Jabagtim dipengaruhi oleh menurunnya kinerja sektor pertanian
dan konstruksi yang cukup dalam. Di tengah lesunya aktivitas perekonomian, kinerja sektor PHR diprediksi masih
terjaga dengan dukungan perdagangan antar daerah. Secara keseluruhan, ekonomi Jabagtim tahun 2014
diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,7% - 6,1% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga yang memiliki pangsa terbesar dalam perekonomian Jabagtim, tumbuh melambat sebesar
1
8,1% (yoy) pada triwulan III 2014. Perlambatan kinerja sektor riil, khususnya pada aktivitas di perdagangan,
pariwisata dan industri, sangat mempengaruhi daya beli masyarakat Jabagtim. Berkurangnya penduduk bekerja di
Agustus 2014 sebanyak 247.000 orang dibandingkan periode yang sama di 2013, ditengarai turut menjadi faktor
1
Angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga dikoreksi lebih tinggi dibandingkan pencatatan pada triwulan sebelumnya
sebesar 8,5% (yoy).
Laporan Nusantara| 45
2
perlambatan konsumsi rumah tangga. Berdasarkan survei penjualan eceran, perlambatan ini terutama terjadi
pada kelompok makanan dan nonmakanan. Survei konsumen dan kredit konsumsi turut mengonfirmasi
melambatnya kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan. Melambatnya kredit konsumsi dipengaruhi
pula oleh pembatasan kredit konsumtif oleh perbankan (Grafik III.1.3).
Belanja rumah tangga di Jabagtim masih cukup kuat meski diperkirakan akan tumbuh melambat pada triwulan IV
2014, seiring dengan belum pulihnya kinerja perekonomian. Sesuai polanya, pertumbuhan konsumsi rumah
tangga melambat setelah mencapai puncaknya pada periode puasa dan Lebaran. Sejalan dengan kenaikan suku
bunga simpanan, masyarakat juga cenderung meningkatkan simpanan di perbankan daripada meningkatkan
konsumsi. Hal tersebut terindikasi dari kenaikan dana tabungan pihak ketiga di perbankan. Meski demikian,
perlambatan belanja rumah tangga akan sedikit tertahan oleh momentum perayaan Natal dan Tahun Baru serta
adanya event promosi belanja akhir tahun oleh sejumlah perusahaan ritel. Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada
akhir triwulan III 2014 terlihat masih berada di atas level optimis yang mengindikasikan masih relatif kuatnya
kinerja konsumsi rumah tangga.
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota di wilayah Jabagtim mengalami perbaikan pada triwulan
III 2014. Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar -5,9% (yoy), membaik dari -10,6% (yoy) pada
triwulan II 2014. Peningkatan belanja pemerintah turut didorong oleh penyaluran dana Tunjangan Hari Raya (THR)
Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta cairnya dana hibah atau bantuan sosial ke daerah kab/kota. Hal ini turut didorong
pula dengan penyelesaian sejumlah proyek infrastruktur pemerintah, diantaranya tol Mojokerto-Kertosono. Meski
progress pembebasan lahan infrastuktur terus berlanjut, namun masih terdapat kendala terkait tingginya harga
yang ditawarkan pemilik lahan yang akan dibebaskan. Pelaku usaha mengharapkan implementasi UU Agraria
dapat segera dilakukan untuk mendorong akselerasi pembangunan infrastruktur dan ekspansi lahan usaha di
daerah.
Indeks Omset Riil
Bahan Bakar
Perlengkapan Rumah Tangga (rhs)
(INDEKS)
250
Suku Cadang
Alat Tulis
Konstruksi
(INDEKS)
700
600
200
500
150
400
100
300
50
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
Grafik III.1.1. Indeks Omset Riil
I
II
2014
III
140
120
100
80
60
200
40
100
20
-
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)
160
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik III.1.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
2
Tingkat pengangguran terbuka Jawa Timur di Agustus 2014 juga mengalami peningkatan sebesar 0,17% dibandingkan Februari
2014.
Laporan Nusantara| 46
100,000,000
Konsumsi
(Juta Rp)
gKonsumsi-Skala Kanan
(%, yoy) 30
25
80,000,000
20
60,000,000
15
40,000,000
10
20,000,000
5
-
0
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
80%
2013-II
2014-II
76%
(%)
69%
70%
61%
58%
60%
2013-III
2014-III*
58%
52%
50%
36%
40%
29%
39%
31%
25%
30%
28%
20%
10%
0%
2012
2013
2014
Belanja Daerah
Belanja Tidak Langsung
Belanja Langsung
Sumber: BPKAD Prov. Jawa Timur
Grafik III.1.3. Kinerja Kredit Konsumsi
Grafik III.1.4. Realisasi Belanja Tw. III 2014
Pada triwulan IV 2014, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan membaik dan kembali tumbuh di level positif
sebesar 0,8% (yoy). Di tengah proyeksi masih melambatnya perekonomian Jabagtim secara umum, konsumsi
pemerintah menjadi salah satu faktor kunci dalam menopang pertumbuhan ekonomi pada akhir triwulan 2014.
Sesuai polanya, akselerasi belanja pemerintah guna mengejar target penyerapan anggaran, umumnya terjadi pada
periode triwulan akhir setiap tahunnya. Hal ini mengasumsikan adanya komitmen dan kemampuan pemerintah
dalam menyelesaikan seluruh program yang telah dicanangkan.
Investasi
Kinerja investasi mengalami peningkatan dari 6,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 6,7% (yoy) pada triwulan III
2014. Hal ini utamanya didorong oleh meningkatnya investasi pembangunan pabrik smelter di Jabagtim. Saat ini,
tercatat pembangunan 3 smelter di Jawa Timur (Gresik, Tuban dan Lumajang) dengan target realisasi investasi
mencapai Rp1,5 triliun yang sebagian besar dalam bentuk konstruksi fisik.
Peningkatan investasi bersumber dari sumber Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan pertumbuhan
mencapai 5,3%, sedangkan dari Penanaman Modal Asing (PMA) tercatat melambat sebesar -10,8% (Grafik 1.15).
Berdasarkan hasil liaison dan survei, kenaikan komponen biaya produksi meliputi upah tenaga kerja, tarif energi
dan pajak turut memberikan sentimen negatif terhadap minat investor asing maupun dalam negeri untuk
berinvestasi di Jabagtim. Ditambah dengan masih tingginya hambatan perijinan investasi di tingkat kab/kota
terutama di bidang ijin lingkungan serta kesulitan upaya pembebasan lahan. Sejumlah kontak liaison juga
cenderung masih mencermati perkembangan kondisi politik nasional dan arah kebijakan pemerintahan baru.
Nilai ProyekPMA (USD Juta)
g PMA (%)-Skala Kanan
10050
Capital Goods
Consumption Goods
g_Intermediate Goods (rhs)
Nilai Proyek PMDN (Rp Miliar)
g PMDN (%)-Skala Kanan
USD (Juta)
Rp Miliar
270
220
8050
170
6050
120
Intermediate Goods
g_Capital Goods (rhs)
g_Consumption Goods (rhs)
6,000,000,000 USD
% , yoy 120
100
80
60
40
20
0
-20
-40
-60
5,000,000,000
4,000,000,000
3,000,000,000
70
4050
2,000,000,000
20
2050
-30
50
-80
I
II
III
IV
I
2011
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
III
1,000,000,000
-
Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III Tw Tw I Tw II Tw III
IV
IV
IV
2011
2012
2013
2014
Sumber: BPKM, diolah
Grafik III.1.5. Realisasi Investasi Jabagtim
Grafik III.1.6. Perkembangan Impor Barang Modal
Laporan Nusantara| 47
Pada triwulan IV 2014, investasi diperkirakan tumbuh membaik pada level 6,7% (yoy) dengan adanya ekspektasi
positif dari sektor riil, stabilitas politik dan ekonomi makro. Berdasarkan hasil quick survey, pelaku usaha
berencana mulai melakukan investasi di akhir tahun 2014. Sebagian besar investasi masih pada investasi
bangunan, yang didominasi oleh industri semen, bahan kimia dan industri pengolahan logam dasar. Di sisi lain,
investasi dalam jenis barang modal yang didominasi kelompok mesin industri dan suku cadang relatif terbatas.
Meskipun kinerja sektor pertambangan KTI terindikasi tumbuh membaik, namun prospek penjualan kendaraan
berat pendukung kegiatan pertambangan dari Jawa Jabagtim masih belum akan pulih. Menjelang akhir tahun,
tantangan kenaikan upah minimum (UMK) juga semakin mengemuka dan menjadi hambatan dari pertumbuhan
investasi di beberapa kawasan industri. Terbukanya kawasan industri baru pun masih terkendala oleh
keterbatasan tenaga kerja siap pakai. Hal tersebut merupakan tantangan bagi investasi di Jabagtim depan, dalam
menyikap beralihnya rencana investasi ke daerah lain (Jabagteng) maupun negara pesaing di regional Asia yang
memiliki daya saing manufaktur cukup baik.
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Jabagtim kembali tumbuh melemah sebesar -9,0% (yoy) pada triwulan III 2014, dipicu
oleh menurunnya volume ekspor produk manufaktur hasil olahan logam (dampak UU Minerba) dan produk
industri makanan minuman (Grafik III.1.7). Meskipun upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor telah membuahkan
hasil, namun pola permintaan dari pasar ekspor baru tersebut masih belum stabil. Hal ini menyebabkan belum
dapat diimbanginya proporsi ekspor ke negara mitra dagang utama (Jepang dan AS). Lebih dalamnya penurunan
ekspor dibandingkan impor menyebabkan masih tingginya defisit neraca perdagangan di Jabagtim yang mencapai
sebesar USD9,9 juta (Grafik III.1.8), jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai sekitar
Rp8,4 triliun.
Pada triwulan IV 2014, ekspor luar negeri Jabagtim diperkirakan tumbuh lebih baik, seiring dengan meningkatnya
permintaan untuk memenuhi kebutuhan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Peningkatan komoditas
ekspor yang diperdagangkan, umumnya adalah produk hasil olahan industri makanan dan minuman, perhiasan,
tekstil, alas kaki dan furniture. Untuk jenis komoditas ekspor tersebut, daya saing ekspor produk Jabagtim
cenderung masih baik, meski terdapat potensi kenaikan biaya produksi baik dari bahan baku maupun upah buruh.
Namun, bagi industri yang memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor, potensi adanya tekanan nilai
tukar akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing.
Impor
Kinerja impor Jabagtim pada triwulan III 2014 masih dalam tren melambat, sebagaimana ditunjukkan pada Grafik
III.1.8. Impor Jabagtim sebagian besar didominasi oleh bahan baku dan barang modal untuk keperluan proses
produksi industri. Berdasarkan klasifikasi HS 2 Digit, pangsa impor terbesar di Jabagtim pada triwulan III 2014
adalah komoditas mesin industri (17,2% dari total impor) serta bahan kimia (7,2% dari total impor). Perlambatan
impor lebih disebabkan oleh menurunnya impor barang modal dan bahan baku, sejalan dengan penurunan kinerja
sektor industri pengolahan. Sementara itu, impor barang konsumsi masih tumbuh meningkat, meski konsumsi
rumah tangga mengalami perlambatan.
Pada Triwulan IV 2014, impor Jabagtim diperkirakan tumbuh meningkat dengan adanya perbaikan kinerja pada
sektor industri pengolahan. Pertumbuhan impor Jabagtim yang didominasi kelompok impor bahan baku
diprakirakan meningkat menjadi sebesar 2,2% (yoy). Impor barang konsumsi juga diprediksi mengalami
peningkatan pada periode Natal dan Tahun Baru, termasuk kelompok barang tahan lama (durable goods). Secara
Laporan Nusantara| 48
keseluruhan 2014, kinerja impor Jatim tumbuh melambat di tahun 2014 dengan perlambatan terbesar pada impor
barang modal dan konsumsi.
20 (Rp. T)
Net ekspor
Net Ekspor Antar Daerah
Net Ekspor LN
15
2.5
(Rp. T)
Net Ekspor LN
2
(%, yoy) 20
gEkspor LN (rhs)
gImpor LN (rhs)
15
1.5
10
1
10
0.5
-0.5
I
-1
0
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
2012
II
III
IV
I
2013
II
III
2014
2011
2012
2013
2014
48 - Paper and paperboard
29 - Organic chemicals
15 - Animal or vegt. fats and oils
3,000 (Juta USD)
2,500
1,500
3500
279.69
404.35
329.52
80%
40%
2000
20%
0%
1500
-20%
414.18
1000
440.18
500
-40%
875.01
199.29
20.93
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
IV
2012
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Grafik III.1.9. Negara Utama Tujuan Ekspor
100%
60%
224.49
243.91
289.94
868.00
500
(% yoy)
2500
358.52
556.62
Vol Barang
g Jml Barang (rhs)
(Ribu Ton)
3000
251.01
257.87
1,000
-15
Grafik III.1.8. Neraca Perdagangan Ekspor LN
44 - Wood and articles of wood
74 - Copper and articles thereof
71 - Pearls,precious and semi prec.stone
262.20
189.85
-5
-10
-2.5
Grafik III.1.7. Kinerja Perdagangan LN dan DN
0
-1.5
III
-2
-5
2,000
5
0
5
III
-60%
0
-80%
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Grafik III.1.10. Bongkar Muat Ekspor DN (Tj. Perak)
Perdagangan Antar Daerah
Di tengah melambatnya ekspor Jabagtim ke daerah lain, kondisi neraca perdagangan antar daerah masih mampu
mencatatkan angka net ekspor (surplus) sebesar Rp9,9 triliun. Ekspor antar daerah Jabagtim tumbuh melambat
dari 14,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 13,6% pada triwulan III 2014. Perlambatan performa ekspor
perdagangan antardaerah Jabagtim terutama didorong dari menurunnya permintaan kendaraan alat berat dan
alat industri terkait dengan belum pulihnya kinerja sektor pertambangan pasca pemberlakuan UU Minerba.
Sementara itu, impor dari daerah lain relatif tumbuh stabil sekitar 10% (yoy), seiring dengan stabilnya kinerja
sektor industri pengolahan di Jabagtim. Impor Jabagtim dari daerah lain pada triwulan laporan masih didominasi
oleh kelompok bahan baku industri, diantaranya komoditas aneka kayu dan makanan laut. Sementara itu, impor
bahan antara industri logam masih tumbuh lemah pasca pemberlakuan UU Minerba di awal tahun 2014. Transaksi
perdagangan antar daerah yang lebih rendah juga terkonfirmasi dari data volume pengangkutan barang domestik
melalui pelabuhan Tanjung Perak (Grafik III.1.10).
Pada triwulan IV 2014, kinerja perdagangan antar daerah diperkirakan membaik, seiring dengan tren peningkatan
permintaan khususnya di KTI dengan adanya perayaan Natal dan Tahun Baru. Ekspor Jabagtim yang diperkirakan
meningkat adalah kelompok bahan makanan, produk olahan industri makanan minuman, tekstil dan alas kaki.
Transaksi impor dari daerah lain diperkirakan juga mengalami peningkatan untuk mendukung kenaikan kapasitas
produksi industri pengolahan.
Laporan Nusantara| 49
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Pada triwulan III 2014, sektor PHR mengalami perlambatan yang cukup signifikan. Pertumbuhan sektor PHR
tercatat menurun dari 7,4% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 6,4% (yoy) pada triwulan III 2014. Selain
dipengaruhi oleh melambatnya konsumsi rumah tangga, turunnya aktivitas perdagangan antar daerah juga
merupakan faktor penurunan kinerja di subsektor perdagangan. Sebagai sentra perdagangan untuk KTI,
perekonomian Jabagtim khususnya dari subsektor perdagangan tergantung pula pada kinerja perekonomian KTI.
Akibat dari lesunya permintaan baik dari KTI, subsektor perdagangan tumbuh menurun dari 7,0% (yoy) menjadi
6,2% (yoy). Meski demikian, telah terdapat upaya oleh pelaku usaha dan Pemerintah Daerah untuk memperkuat
kinerja pasar domestik. Kinerja perdagangan antar daerah tercatat sebesar Rp22,1 triliun dengan adanya momen
Lebaran.
Subsektor jasa perhotelan dan restoran yang dipengaruhi oleh faktor kunjungan pariwisata, juga dalam tren
melambat. Kinerja jasa perhotelan tumbuh sebesar 6,8% (yoy) pada triwulan III 2014, melambat dibandingkan
dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang mencapai 7,2% (yoy). Tingginya biaya operasional sektor
perhotelan (listrik, BBM, upah pegawai) serta meningkatnya persaingan dari hotel baru yang tumbuh pesat
(sekitar 40%), telah menekan keuntungan jasa subsektor perhotelan. Meski demikian, pertumbuhan wisatawan
masih dalam tren meningkat dengan tumbuh rata-rata mencapai sekitar 8%. Adapun penurunan terdalam dari
sektor PHR terjadi pada subsektor jasa restoran. Salah satu penyebab penurunan kinerja jasa restoran adalah
kenaikan LPG 12 kg yang meningkatkan biaya operasional secara signifikan. Terkait dengan kompetisi dan
terbatasnya daya beli, sebagian pengusaha jasa restoran memilih untuk tidak merespon dengan meningkatkan
harga jual. Marjin keuntungan jasa restoran cenderung menurun di kisaran 10% - 20%. Menurunnya kinerja jasa
perhotelan dan restoran juga terindikasi dari data konsumsi listrik golongan bisnis yang mengalami penurunan
pada triwulan III 2014.
Kinerja sektor PHR membaik pada triwulan IV 2014 dengan tumbuh meningkat sebesar 6,7% (yoy). Selain sebagai
pengaruh dari perayaan Natal dan libur Tahun Baru, terdapat sejumlah event nasional dan internasional yang
dapat mendukung perbaikan kinerja sektor PHR. Namun, kinerja sektor PHR secara keseluruhan tahun 2014,
mengalami perlambatan dengan melemahnya konsumsi domestik di Jabagtim serta perdagangan antar daerah.
Grafik III.1.11. Konsumsi Listrik Bisnis
Grafik III.1.12. Indikator Subsektor Hotel
Sektor Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 5,5% (yoy) pada triwulan III 2014, lebih rendah 1,3% jika dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Puncak dari kapasitas produksi terjadi pada triwulan II 2014 dalam merespon
Laporan Nusantara| 50
kenaikan permintaan domestik menjelang Lebaran. Sesuai polanya, kinerja produksi menurun pasca Lebaran,
khususnya dengan adanya libur yang relatif panjang. Indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)
mengindikasikan rendahnya tingkat kapasitas produksi sektor industri juga dipengaruhi oleh rendahnya nilai
transaksi ekspor luar negeri dan rencana pelaku usaha untuk melakukan otomatisasi pada proses produksi.
Indikator realisasi kegiatan usaha dari SKDU juga mengalami penurunan sebesar 0,8 poin. Penurunan terbesar
disumbang oleh subsektor industri logam dasar besi dan baja yang merupakan dampak dari pemberlakukan UU
Minerba. Selanjutnya, penurunan kinerja pada subsektor tekstil terkait dengan pemberhentian tenaga kerja
sekurangnya 20,000 pegawai, dan pada subsektor makanan minuman dan tembakau yang disebabkan oleh
beralihnya preferensi konsumen dari Sigaret Kretek Tangan ke rokok filter/mesin. Keseluruhan fenomena tersebut
turut berpengaruh pada peningkatan pengangguran di Jawa Timur. Selain itu, rencana kenaikan BBM pada
triwulan IV 2014 mendorong ekspektasi pelaku usaha untuk meningkatkan harga jual barang sebesar 2,5 poin atau
sekitar 6,2% bila dikonversikan ke harga nominal.
Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor industri pengolahan mengalami perbaikan menuju 5,7% sebagai pengaruh
permintaan pasar luar negeri yang meningkat menjelang akhir tahun. Hal ini terkonfirmasi dari perspektif pelaku
usaha atas membaiknya permintaan global khususnya hasil olahan industri makanan minuman, tekstil, alas kaki
dan furniture. Selain itu, kapasitas produksi meningkat seiring dengan semi otomatisasi di beberapa industri
pengolahan. Pada akhir tahun 2014, pertumbuhan industri pengolahan diproyeksikan berada di level 6,2%,
meningkat 0,2% dari tahun sebelumnya. Perbaikan kinerja industri pengolahan ke depan juga diharapkan
bersumber dari pembangunan smelter di Jawa Timur untuk pengolahan pada industri mineral logam. Adapun
tantangan dalam peningkatan kinerja sektor industri adalah peningkatan beban biaya produksi, baik dari kenaikan
biaya energi, logistik, upah buruh, serta bahan baku impor yang pada akhirnya menurunkan daya saing di tengah
kompetisi global.
Grafik III.1.13. Indeks Produksi dan Kapasitas Industri
Grafik III.1.14. Konsumsi Listrik Industri
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian di triwulan III 2014 mengalami peningkatan signifikan dengan dorongan dari kenaikan
produksi tanaman bahan makanan (tabama). Pertumbuhan sektor pertanian tercatat tumbuh positif 5,66% (yoy),
setelah terkontraksi pada triwulan II 2014 dengan tumbuh sebesar -1,6% (yoy). Perbaikan kinerja terutama pada
subsektor peternakan yang tumbuh dari -3,0% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 1,4% (yoy) pada triwulan III
2014. Meningkatnya permintaan daging sapi, daging ayam, dan telur ayam menjelang Idul Adha juga turut
mendukung kinerja subsektor peternakan. Peningkatan ini juga sejalan dengan hasil SKDU yang mengindikasikan
perbaikan kinerja subsektor peternakan dan perikanan terkait dengan perbaikan sistem logistik dan distribusi (cold
storage) hasil olahan ternak dan ikan. Sementara itu, perbaikan di subsektor tabama dipengaruhi oleh
Laporan Nusantara| 51
meningkatnya produksi (panen padi dan hortikultura), shifting lahan untuk komoditas palawija yang sesuai dengan
kondisi cuaca di musim kemarau, serta penggunaan teknologi pertanian (mesin irigrasi) yang membaik.
Grafik 1.15. Perkembangan Kinerja Pertanian
Grafik 1.16. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi
Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertanian diprediksi melambat, seiring masuknya musim pancaroba yang
menyebabkan ketidakpastian produksi pada subsektor tabama. Indikator luas tanam padi juga menunjukan
penurunan yang signifikan sehingga total produksi pertanian pada akhir tahun 2014 diperkirakan akan terbatas.
Menimbang fungsi strategis Jabagtim sebagai backbone pertanian nusantara, kinerja pertanian Jawa Timur yang
menurun juga dapat berdampak pada gejolak harga komoditas pangan pada triwulan IV 2014. Faktor musiman
perayaan Natal dan Tahun Baru juga diperkirakan dapat meningkatkan harga jual produk pertanian menjelang
akhir tahun 2014. Selain itu, rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM juga menciptakan ruang ekspektasi
bagi pelaku usaha untuk meningkatkan harga jual produk pertanian. Kenaikan harga BBM juga dikuatirkan akan
meningkatkan harga distribusi produk pertanian.
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Jabagtim pada Oktober 2014 mencapai 4,57% (yoy) lebih rendah dibandingkan inflasi nasional (4,83%).
Berdasarkan disagregasinya, inflasi tertinggi terjadi pada kelompok administered price (7,13%) disusul oleh core
inflation (4,18%) dan volatile food (3,32%). Inflasi administered prices kembali pada pola normalnya, seiring
dengan berakhirnya base effect dari kenaikan BBM pada Juli 2013. Peningkatan inflasi pada kelompok ini didorong
oleh adanya kenaikan harga bahan bakar rumah tangga khususnya gas LPG 12 kg (21,86%) dan tarif listrik
(16,22%). Sementara itu, inflasi inti (core inflation) menunjukan tren penurunan disebabkan penurunan inflasi core
tradeable dari 5,14% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,69% (yoy) pada Oktober 2014. Hal ini disebabkan oleh
koreksi harga emas perhiasan serta pergerakan harga komoditas pangan global yang terus menurun. Sebaliknya,
inflasi core nontradable kembali ke pola normalnya, khususnya terkait dengan selesainya masa penerimaan siswa
tahun ajaran baru. Sementara itu, rendahnya inflasi kelompok volatile food disebabkan oleh kembali normalnya
permintaan masyarakat pasca Lebaran dan berkecukupannya pasokan pangan khususnya komoditas hortikultura.
Optimalnya mekanisme tanam serta kelancaran distribusi turut mendukung terjaganya inflasi kelompok volatile
food yang secara kumulatif s.d. Oktober 2014 masih mencatatkan kontraksi untuk beberapa komoditas,
diantaranya daging ayam ras (-0,32%), gula pasir (-9,83%), bawang merah (-31,47%), cabai merah (-21,42%) dan
cabai rawit (-50,69%). Adanya kerjasama antar daerah juga bermanfaat terutama pada saat terjadinya bencana
alam yang menyebabkan pasokan pangan terganggu.
Laporan Nusantara| 52
Grafik 1.17 Perkembangan Inflasi
Grafik 1.16. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi
Pada triwulan IV 2014 inflasi Jabagtim berpotensi meningkat namun diproyeksikan masih berada dalam target
sasaran inflasi nasional 4,5%+1%. Tekanan inflasi diperkirakan berasal dari kelompok core inflation dan
administered price. Potensi tekanan pada kelompok core inflation didorong oleh kenaikan permintaan menjelang
Natal dan Tahun Baru, serta ekspektasi inflasi terkait rencana kenaikan harga BBM. Sedangkan pada kelompok
administered price, kenaikan tarif listrik tahap ketiga pada November 2014 dan berlanjutnya penyesuaian harga
komoditas rokok serta tarif transportasi menjadi faktor utama peningkatan inflasi. Sementara itu, mundurnya
musim tanam ke awal November 2014 diperkirakan akan memberikan tekanan pada inflasi kelompok volatile food
dalam level yang moderat. Namun, ketahanan pangan Jabagtim diyakini terjaga dengan kecukupan stok beras
BULOG yang mampu memenuhi kebutuhan hingga 10 bulan ke depan.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Selain fokus pada aspek produksi dan distribusi, TPID di Jabagtim juga mulai mengoptimalkan potensi kerjasama
antar daerah, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Pada periode ini, telah dilakukan pertemuan
dan koordinasi antar TPID daerah penghasil utama beras di Jawa Timur (a.l. Jember dan Banyuwangi) dengan
kesepakatan berupa :
1) Perlunya penguatan konektivitas dan kerjasama antar daerah,
2) Perlunya penguatan reformasi struktural khususnya di sektor pertanian, dan
3) Perlunya peningkatan daya saing, produktivitas dan perluasan pasar.
Dengan adanya kesepakatan tersebut diharapkan kerjasama antar daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan
bahan pangan strategis dan ketahanan pangan Jabagtim dapat semakin kuat. Selain peningkatan kerjasama antar
daerah, TPID Jawa Timur juga telah melakukan koordinasi untuk mengantisipasi potensi penyesuaian harga BBM.
Beberapa hal yang menjadi perhatian untuk ditindaklanjuti adalah :
1)
2)
3)
4)
5)
Penetapan batas atas tarif angkutan,
Pemenuhan pasokan energi dan pangan di seluruh wilayah Jabagtim,
Pengawasan intensif untuk meminimalkan penyalahgunaan BBM,
Program komunikasi yang efektif untuk meminimalkan ekspektasi inflasi masyarakat, dan
Program pemerintah untuk mempertahankan daya beli masyarakat.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Perkembangan kinerja bank umum di Jabagtim dari sisi penyaluran kredit hingga akhir triwulan III 2014
menunjukkan perlambatan. Perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit bank umum dijumpai baik pada kredit
berdasarkan lokasi bank pelapor maupun lokasi proyek. Jumlah kredit berdasarkan lokasi bank pelapor mencapai
Laporan Nusantara| 53
Rp327,1 triliun di Jabagtim atau tumbuh 14.4% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan akhir triwulan II 2014
(19,4%). Kredit berdasarkan lokasi proyek yang disalurkan bank umum di Jabagtim mencapai Rp379,7 triliun atau
tumbuh 17,0%, melambat dibandingkan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 19,5% (yoy). Kondisi
likuiditas yang mengetat dan peningkatan nonperforming loan (NPL) di beberapa sektor juga menjadi salah satu
alasan bank untuk menahan laju penyaluran kredit.
Sementara itu, total aset bank umum di Jabagtim pada akhir triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp 465,1 triliun atau
tumbuh 14,3% (yoy). Kondisi ini menunjukkan perlambatan pertumbuhan aset bank umum bila dibandingkan
dengan triwulan II 2014 yang tercatat sebesar 16,6% (yoy). Sementara itu, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK)
mencapai Rp371,5 triliun pada akhir triwulan III 2014, tumbuh meningkat sebesar 17,0% (yoy) atau sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 16,7% (yoy).
Rasio penyaluran kredit perbankan terhadap DPK berada pada level 88.1% (berdasarkan lokasi bank) dan 102,2%
(berdasarkan lokasi proyek). Rasio ini berada di level yang lebih rendah daripada triwulan sebelumnya yakni 90,8%
(berdasar lokasi bank) dan 102,2% (berdasar lokasi proyek). Perlambatan ini disebabkan oleh melambatnya kredit
yang disalurkan oleh perbankan. Risiko kredit yang tercermin dari rasio NPL relatif stabil pada akhir triwulan III
2014, yakni berada pada level 2,1%.
Grafik 1.19. Penyaluran Kredit
Grafik 1.20. Penyaluran Kredit Sektor Utama
Secara sektoral, penyaluran kredit masih mendominasi dua sektor ekonomi utama penopang perekonomian
Jabagtim, yaitu sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan besar dan eceran. Kredit di sektor industri
pengolahan yang memiliki porsi terbesar (28,8%) tercatat sebesar Rp94,1 triliun, yang diikuti oleh kredit di sektor
perdagangan hotel dan restoran dengan porsi sebesar 26,0% dan penyalurannya mencapai Rp84,8 triliun.
Sementara itu, penyaluran kredit pada sektor pertanian, yang juga merupakan salah satu sektor utama di
Jabagtim, relatif masih rendah. Kredit untuk sektor pertanian pada akhir triwulan III hanya mencapai Rp9,5 triliun
atau memiliki porsi sebesar 2,9%. Rendahnya porsi pembiayaan ke sektor pertanian disebabkan oleh masih
tingginya risiko kredit yang mencapai 4,9% pada akhir triwulan III 2014, sedikit lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar 4,8%.
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Tren perlambatan ekonomi global dan nasional mendorong perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit sektor
rumah tangga, khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dan Kredit Kendaraan
Bermotor (KKB). KPR yang disalurkan Bank Umum di Jawa Timur hingga akhir triwulan III 2014 mencapai Rp31,2
triliun, atau tumbuh sebesar 16,8% (yoy) dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan tersebut jauh lebih
rendah dibandingkan akhir triwulan II 2014 yang tercatat sebesar 22,5% (yoy). Penyaluran KPA melambat cukup
signifikan dari 16,2% (yoy) di akhir triwulan II 2014 menjadi 7,0% (yoy) dengan nominal Rp1,4 triliun pada akhir
Laporan Nusantara| 54
triwulan III 2014. Demikian pula dengan KKB mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar -4,4% (yoy), jauh lebih
rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 2,4% (yoy). Selain disebabkan oleh
perlambatan ekonomi, melambatnya penyaluran kredit sektor rumah tangga juga terkait dengan tren kenaikan
suku bunga kredit. Tercatat suku bunga KPR meningkat dari rata-rata 11,4% di triwulan II 2014 menjadi 11,6%
pada triwulan III 2014. Demikian pula dengan suku bunga KPA meningkat hingga mencapai 10,7% pada triwulan III
2014, sementara pada triwulan II 2014 masih sekitar 10,3%.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Searah dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan penyaluran kredit secara umum, jumlah kredit UMKM
yang disalurkan hingga triwulan III 2014 mencapai Rp91,1 triliun atau tumbuh 13,4% (yoy) dibandingkan periode
sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan di triwulan II 2014 yang
tercatat sebesar 15,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit UMKM disertai dengan peningkatan NPL dari 4,2%
pada triwulan II 2014 menjadi 4,3% pada triwulan III 2014. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat posisi NPL
yang semakin mendekati ambang batas risiko 5%.
Grafik 1.21 Penyaluran Kredit
Grafik 1.23.Penyaluran Kredit UMKM
Grafik 1.22. Penyaluran Kredit Kepemilikan Rumah
Grafik 1.24. NPL Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Pada triwulan III 2014, transaksi keuangan non tunai dengan menggunakan sistem RTGS dan kliring di Jabagtim
tumbuh melambat dibandingkan periode sebelumnya. Tercatat transaksi kliring secara nominal mencapai Rp47,1
triliun dengan jumlah warkat kliring sebanyak 1,1 juta lembar. Jumlah tersebut lebih rendah 8,9% (yoy)
dibandingkan triwulan III 2013 yang tercatat mencapai Rp51,73 triliun. Demikian pula dengan nominal transaksi
RTGS yang mencapai Rp453,2 triliun pada triwulan III 2014 (turun sebesar 12,62% dibandingkan tw III 2013)
dengan volume sebanyak 382.144 transaksi.
Laporan Nusantara| 55
Grafik 1.25. Transaksi RTGS
Grafik 1.26. Transaksi Kliring
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Selama triwulan III 2014, jumlah aliran uang kartal dari dan ke Bank Indonesia di wilayah Jabagtim kembali
menunjukkan posisi net inflow sebesar Rp1,7 triliun, lebih tinggi 138,7% (yoy) dibandingkan selama triwulan II 2014
yang tercatat sebesar Rp1,4 triliun. Tingginya net inflow yang terjadi pada periode laporan terkait dengan kembali
normalnya aktivitas ekonomi masyarakat pasca lebaran dan tahun ajaran baru. Net inflow yang terjadi pada
triwulan laporan juga lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (triwulan III 2013) yang
tercatat sebesar Rp729,3 miliar.
Grafik 1.27. Temuan UPAL
Grafik 1.28. Perkembangan Netflow
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Prospek pertumbuhan ekonomi Jabagtim pada tahun 2015 diproyeksikan berada di level 5,7% - 6,1% dengan
dukungan terutama dari kenaikan kapasitas produksi industri dan tetap kuatnya daya beli masyarakat. Beberapa
potensi pendukung pertumbuhan ekonomi Jabagtim di 2015 adalah sebagai berikut : (i) peningkatan kinerja sektor
perdagangan dengan diresmikannya pelabuhan Teluk Lamong dan tol Trans Jawa, (ii) perbaikan kinerja pertanian
seiring dengan meningkatnya belanja pemerintah pada infrastruktur pendukung (waduk, irigrasi), (iii) perbaikan
investasi dengan kondusifnya situasi politik domestik dan terjaganya stabilitas ekonomi makro, dan (iv) pemulihan
kinerja ekonomi global. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang berpotensi menjadi kendala per
ekonomian Jabagtim pada tahun 2015, diantaranya adalah kebijakan pemerintah dalam mengurangi subsidi energi
(listrik, gas, dan BBM), perlambatan ekonomi Tiongkok dan sejumlah negara emerging market, serta dampak
kenaikan upah minimum.
Laporan Nusantara| 56
Prospek Inflasi
Dengan asumsi bahwa tidak terdapat penyesuaian harga BBM, inflasi Jabagtim di tahun 2015 diproyeksikan berada
di kisaran 4,3% - 4,7% dan masih berada pada sasaran inflasi nasional tahun 2015 sebesar 4%+1%. Terkendalinya
inflasi Jabagtim tersebut didorong oleh rendahnya tekanan inflasi di kelompok volatile food, sebagai pengaruh dari
meningkatnya produksi dan produktivitas pertanian. Namun, terdapat risiko yang lebih besar pada inflasi di
kelompok administered price apabila kenaikan harga BBM (asumsi sebesar Rp3.000) direalisasikan pada akhir
triwulan IV 2014. Berdasarkan perhitungan apabila hal tersebut dilakukan, inflasi Jabagtim di tahun 2015
diperkirakan akan berada pada kisaran 5,3% - 5,9%. Peningkatan inflasi tersebut selain disebabkan oleh dampak
langsung dari kenaikan harga bensin dan solar juga dipengaruhi oleh dampak lanjutan pada penyesuaian tarif
angkutan dan transportasi. Risiko inflasi di kelompok administered price lainnya adalah potensi kenaikan harga LPG
dan cukai rokok. Sementara itu, di kelompok inflasi inti, ketidakpastian dalam pengambilan keputusan kenaikan
harga BBM akan meningkatkan ekspektasi inflasi. Dalam kaitan itu, TPID di wilayah Jabagtim akan berkoordinasi
untuk menjaga ekspektasi inflasi dan mengantisipasi potensi dampak kenaikan harga BBM
Tabel III.3.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Timur
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
PDRB (%,yoy)
2012
2013
2015 P
2014
II
6.9
III
6.5
IV
6.2
Total
6.5
I*
6.3
II*
5.9
III*
5.9
IVp
Totalp
Ip
Totalp
7.3
I
6.7
5.8
6.0
5,4 - 5,8
5,7 - 6,1
Sisi Permintaan
Konsumsi
5.6
6.3
6.6
7.1
7.7
6.9
7.9
7.0
6.9
7.3
7.3
7,1 - 7,5
7,4 - 7,8
Konsumsi swasta
6.1
6.8
6.9
7.5
8.2
7.4
8.2
8.7
8.1
8.0
8.2
7,5 - 7,9
7,8 - 8,2
Konsumsi Pemerintah
0.2
0.3
2.8
2.5
2.9
2.3
2.6
0.8
(3.5)
6,5 - 6,9
1,7 - 1,9
5.4
6.1
6.3
6.5
7.7
6.7
7.5
5.1
6.3
6.7
6.4
0,1 - 0,5
6,3 - 6,7
Ekspor
11.6
8.5
6.9
5.5
5.2
6.5
9.3
7.1
3.5
5.1
6.2
4,0 - 4,4
5,5 - 5,9
Impor
9.8
5.6
5.0
4.9
6.0
5.4
5.7
5.1
1.7
2.2
3.6
2,5 - 2,9
4,4 - 4,8
Sektor pertanian
3.5
2.0
1.5
1.8
1.7
1.6
1.8
0.5
5.5
0.3
1.1
1,5 - 1,9
1,6 - 2,0
Sektor pertambangan & penggalian
2.1
2.7
2.6
4.9
3.2
3.3
4.6
2.9
2.0
2.4
2.3
2,2 - 2,6
2,2 - 2,6
Industri pengolahan
6.3
5.2
6.6
5.4
5.3
5.6
6.8
6.8
5.5
4.9
5.0
5,5 - 5,9
5,9 - 6,3
Listrik, gas & air bersih
6.2
5.3
4.6
4.6
4.2
4.7
4.9
7.4
6.6
5.9
6.8
6,1 - 6,5
5,9 - 6,3
Bangunan
7.1
8.3
10.5
8.5
9.0
9.1
9.5
7.9
9.5
6.9
7.9
9,2 - 9,6
8,6 - 9,0
Perdagangan, hotel & restoran
10.1
9.4
8.9
8.5
7.7
8.6
6.8
7.4
6.4
7.3
7.0
6,3 - 6,7
6,7 - 7,1
Pengangkutan & komunikasi
9.7
11.0
10.0
10.7
10.1
10.4
9.5
7.5
5.0
8.0
8.2
5,9 - 6,1
8,4 - 8,8
Keuangan, persewaan dan jasa perush.
8.0
8.5
7.8
7.4
6.7
7.7
7.7
7.4
8.0
7.7
7.9
7,7 - 8,1
6,2 - 6,6
5.1
5.7
5.7
5.0
5.0
5.3
7.78
7.59
7.59
6.4
4.84
4,0 - 4,4
5.93
4.9
4.13
6,3 - 6,7
6.75
4.0
6.66
6.8
4.50
8.4
6.58
4.84
4,2 - 4,6
4,3 - 3,7
Pembentukan Modal Tetap Bruto
(10.6) (5.9)
Sisi Produksi
Jasa-jasa
Inflasi IHK (%,yoy)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
* a ngka s ementa ra
p
proyeks i Ba nk Indones i a
Laporan Nusantara| 57
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi Jawa Bagian Tengah (Jabagteng) pada triwulan III 2014 membaik dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Perekonomian Jabagteng naik dari 5,1% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 5,4% (yoy).
Pertumbuhan tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Nasional 5,0% (yoy). Secara spasial,
perekonomian Jawa Tengah tumbuh meningkat, sementara DI Yogyakarta tumbuh melambat. Sumber utama
peningkatan ekonomi Jabagteng adalah meningkatnya konsumsi, baik konsumsi rumah tangga maupun
pemerintah. Investasi dan ekspor di sisi lain tumbuh melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Secara
sektoral, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi pendorong membaiknya
perekonomian Jabagteng. Di sisi lain, sektor pertanian yang terkontraksi semakin dalam dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya, menahan laju pertumbuhan ekonomi Jabagteng.
Perekonomian Jabagteng diprakirakan tumbuh sedikit melambat sebesar 5,3% (yoy) pada triwulan IV 2014.
Konsumsi diprediksi tetap dapat tumbuh tinggi, meskipun tidak setinggi periode sebelumnya. Hal ini merupakan
akibat dari perlambatan konsumsi swasta nirlaba. Adapun faktor penopang perekonomian Jabagteng terkait
dengan potensi perbaikan ekspor manufaktur, seiring dengan membaiknya ekonomi negara mitra dagang utama
(Amerika Serikat dan ASEAN). Meningkatnya pertumbuhan ekonomi diperkirakan juga akan didukung oleh
perbaikan investasi, khususnya investasi bangunan, sebagai pengaruh dari akselerasi proyek infrastruktur
pemerintah di akhir tahun. Secara sektoral, perlambatan ekonomi dipengaruhi oleh terbatasnya kinerja industri
pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR). Perlambatan industri pengolahan terutama dari
potensi menurunnya kinerja industri nonmigas, setelah konsisten mengalami kenaikan semenjak awal tahun.
Sebaliknya industri migas diperkirakan masih mampu tumbuh meningkat, meskipun dalam level yang terbatas.
Sementara itu, sektor pertanian meski masih terkontraksi, walaupun tidak sedalam periode sebelumnya. Untuk
keseluruhan tahun 2014, perekonomian Jabagteng diproyeksikan tumbuh sebesar 5,3% (yoy), jauh lebih lambat
dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 yang mencapai 5,8% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga Jabagteng pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Konsumsi rumah tangga mencatat pertumbuhan sebesar 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II
2014 sebesar 5,4% (yoy). Secara spasial, tumbuh meningkatnya konsumsi rumah tangga terjadi baik di Jawa
Tengah maupun di DI Yogyakarta. Sebagaimana polanya, konsumsi rumah tangga umumnya mengalami
peningkatan dan mencapai puncahnya pada periode Lebaran. Peningkatan konsumsi rumah tangga tersebut
terkonfirmasi dari indeks penjualan riil eceran yang meningkat tajam pada triwulan laporan (Grafik III.2.1). Di sisi
lain, penyaluran kredit konsumsi (Grafik III.2.2) dan impor barang konsumsi (Grafik III.2.3) masih dalam tren
melambat.
Perkembangan berbagai indikator terkini menunjukkan konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2014 masih
mampu tumbuh di level yang cukup tinggi, meskipun diproyeksikan lebih rendah daripada periode sebelumnya.
Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya konsumsi swasta nirlaba. Adapun momen Hari Raya Natal dan
tahun baru akan mendukung kinerja konsumsi masyarakat pada triwulan IV 2014. Sedikit melambatnya konsumsi
Laporan Nusantara| 58
rumah tangga juga terindikasi dari proyeksi penjualan eceran berdasarkan hasil survei (Grafik III.2.1). Meski
demikian, indeks keyakinan konsumen Jabagteng masih terjaga di atas level optimis, yang ditengarai sebagai
pengaruh dari stabilitas ekonomi makro dan ekspektasi terhadap kondisi perekonomian ke depan (Grafik III.2.4).
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mengalami peningkatan cukup besar. Konsumsi pemerintah tumbuh
4,8% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh hanya 1,5% (yoy). Secara spasial, peningkatan konsumsi
pemerintah terjadi di Jawa Tengah. Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah terjadi baik pada belanja
langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain, konsumsi pemerintah di DI Yogyakarta melambat sangat dalam. Hal
ini disebabkan oleh belanja dana keistimewaan yang belum mencapai 10%.
Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan IV 2014. Secara
spasial kinerja konsumsi pemerintah baik di Jawa Tengah maupun DI Yogyakarta berpotensi meningkat. Akselerasi
konsumsi pemerintah ini sejalan dengan siklus belanja pemerintah yang meningkat di akhir tahun. Selain itu,
belanja pemerintah di DI Yogyakarta diprediksi mengalami kenaikan tajam dengan terealisasinya dana
keistimewaan untuk mendukung pembangunan.
Indeks Penjualan Riil Eceran
Likert Perdagangan Besar & Eceran-RHS
Indeks
200
190
180
170
160
150
140
130
120
110
100
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
Likert Scale
3
3
2
2
1
1
0
-1
-1
-2
-2
I
2013
II
III
yoy, %
30
Jabagteng
Jateng
25
DIY
20
15
10
5
IV*
0
I
2014
II
*Tw IV perkiraan penjualan 6 bulan yad
Likert tw IV 2014 perkiraan penjualan 1 tahun yad
Kons RT qtq
qtq, %
Impor kons qtq (Skala Kanan)
3.5
200
3
2.5
2
120
100
110
90
0
0
II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2008
2009
2010
2011
2012
2013
-50
2014
III
IV
I
II
2013
III
2014
130
100
0.5
II
140
50
1
2007
I
Grafik III.2.2. Perkembangan Kredit Konsumsi
150
1.5
-0.5
IV
2012
Grafik III.2.1. Indeks Penjualan Eceran serta Likert
Scale Perdagangan Besar dan Eceran
qtq, %
III
OPTIMIS
PESIMIS
IKK
IEK
IKE
80
I
II
III
IV
2012
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
* IKK, IKE, IEK Oktober 2014
Sumber : BPS, diolah
Grafik III.2.3. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga
dan Impor Barang Konsumsi
Grafik III.2.4. Indeks Keyakinan dan Ekspektasi
Konsumen
Investasi
Investasi di Jabagteng tumbuh melambat dari 6,0 % (yoy) pada triwulan II menjadi 5,0% (yoy) pada triwulan III
2014. Perlambatan investasi terjadi baik di investasi bangunan maupun nonbangunan, terkait dengan
kecenderungan pelaku usaha untuk menahan kegiatan investasi, menunggu stabilnya dinamika politik nasional.
Investasi bangunan melambat sejalan dengan menurunnya kinerja di sektor properti, sebagaimana tercermin dari
Laporan Nusantara| 59
menurunnya konsumsi semen (Grafik III.2.5). Adapun perlambatan pada investasi nonbangunan terindikasi dari
menurunnya pertumbuhan kredit investasi dan impor barang modal (Grafik III.2.6 dan III.2.7). Berdasarkan sumber
pembiayaan investasi, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) menunjukkan perlambatan cukup dalam. Begitu
pula dengan realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang tumbuh melambat dibandingkan dengan
periode sebelumnya (Grafik III.2.8).
Pertumbuhan investasi diperkirakan meningkat pada triwulan IV 2014. Peningkatan investasi terutama terjadi
pada investasi bangunan sejalan dengan akselerasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah. Hal ini sejalan
dengan rencana pemerintah provinsi Jawa Tengah yang mencanangkan tahun 2014 sebagai tahun infrastruktur.
Data konsumsi semen di bulan Oktober 2014 menunjukkan adanya peningkatan, meskipun pada level yang
moderat. Salah satu dari proyek pembangunan fisik tersebut adalah revitalisasi bandara di Semarang yang
direncanakan dilakukan pada akhir tahun 2014. Selain itu, terindikasi pula adanya investasi pembangunan pabrik
TPT dan proyek migas. Di sisi lain, masih ditemui berbagai kendala dalam berinvestasi di Jabagteng yang perlu
diperbaiki untuk mendukung peningkatan investasi. Berdasarkan survei pada pelaku usaha, diidentifikasi kendala
utama dalam berinvestasi di Jabagteng adalah kurang memadainya infrastruktur khususnya yang mendukung
konektivitas, permasalahan pertanahan terkait dengan harga pembebasan yang cukup tinggi, serta banyaknya
retribusi dan resistensi dari beberapa golongan masyarakat terhadap sejumlah proyek investasi.
yoy, %
40
yoy, %
70
Jateng
D. I. Y.
30
Jabagteng
Jabagteng
60
Jateng
50
DIY
40
20
30
10
20
10
0
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
0
I
-10
2010
2011
2012
2013
II
III
IV
I
2012
-20
Grafik III.2.5. Pertumbuhan Konsumsi Semen
qtq, %
Investasi qtq
II
III
IV
I
II
III
2014
Impor Barang Modal qtq -Skala Kanan
2013
2014
Grafik III.2.6. Penyaluran Kredit Investasi
qtq, %
8
160
140
6
120
4
100
2
80
60
0
-2
-4
II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
40
20
0
-20
-6
-8
-40
-60
Sumber : BPS, diolah
Grafik III.2.7. Pertumbuhan Impor Barang Modal dan
PMTB
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah
Sumber : Badan Penanaman Modal
Grafik III.2.8. Realisasi PMA dan PMDN
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor luar negeri Jabagteng pada triwulan III 2014 tumbuh melambat. Melambatnya ekspor luar negeri pada
triwulan laporan merupakan akibat dari turunnya ekspor ke Tiongkok dan negara Eropa yang cukup dominan. Di
Laporan Nusantara| 60
sisi lain, ekspor produk Jabagteng ke Amerika Serikat dan ASEAN meningkat dibandingkan periode sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan perbaikan ekonomi di Amerika Serikat yang mendorong peningkatan permintaan. Ekspor ke
Amerika Serikat pada triwulan III 2014 ekspor tumbuh 6,72% (yoy), meningkat dibandingkan pertumbuhan pada
triwulan II sebesar 5,55% (yoy). Dilihat dari komoditasnya, ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) serta kayu
olahan mengalami perlambatan (Grafik III.2.11). Khusus terkait TPT, perlambatan ekspor terjadi pada produk
pakaian jadi, sementara ekspor produk kain dan benang masih meningkat. Untuk ekspor kayu olahan,
perlambatan ekspor terjadi pada seluruh produk kayu olahan baik produk dari kayu dan gabus (wood and cork
manufactures) serta furniture.
Pada triwulan IV 2014 kinerja ekspor luar negeri diperkirakan akan membaik. Ekspor ke Amerika Serikat
diperkirakan terus meningkat. Optimisme pelaku usaha akan membaiknya ekspor juga terkait dengan masih
kompetitifnya ekspor komoditas khususnya produk TPT Jabagteng. Selain itu, masih terdapat potensi diversifikasi
pasar tujuan ekspor yang didukung oleh semakin kuatnya kinerja industri pengolahan di Jabagteng. Hasil liaison
mengindikasikan adanya potensi kenaikan ekspor ke sejumlah pasar baru, seperi ke Asia Timur, Amerika Latin,
Turki dan TimurTengah. Dari sisi penawaran, meningkatnya ekspor produk industri didukung oleh investasi dalam
rangka meningkatkan kapasitas produksi
Impor
Impor luar negeri Jabagteng pada triwulan III 2014 tumbuh meningkat. Peningkatan pertumbuhan impor terjadi
pada komponen bahan baku, sejalan dengan tren kenaikan industri pengolahan khususnya industri TPT.
Sementara impor barang modal menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah pada triwulan laporan (Grafik
III.2.12). Perlambatan impor barang modal sejalan dengan investasi yang tumbuh lebih rendah dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Demikian pula halnya dengan impor barang konsumsi yang juga tumbuh melambat
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Impor luar negeri diperkirakan akan terus meningkat pada triwulan IV 2014. Peningkatan impor terutama terjadi
pada impor bahan modal untuk mendukung peningkatan investasi. Impor bahan baku juga diperkirakan akan
meneruskan tren pertumbuhan yang meningkat. Sementara itu, impor barang konsumsi, diperkirakan masih akan
tumbuh melambat, meski perlambatannya tidak sedalam pada triwulan III 2014.
Juta USD
yoy, %
800
80
yoy, %
Net Ekspor
Ekspor
400
Impor
600
200
60
400
0
Ekspor
200
40
Net Ekspor
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
-200
Impor
2012
2013
2014
20
-800
Grafik III.2.9. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor
-400
-600
0
-400
-600
-200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 -800
-20
2012
-40
2013
2014
-1000
-1200
Grafik III.2.10. Pertumbuhan Tahunan Nilai Ekspor
dan Impor
Laporan Nusantara| 61
yoy, %
yoy, %
Total Ekspor
25
250
Impor Bahan Baku
200
Impor Barang Modal
150
Impor Barang Konsumsi
TPT
20
Kayu Olahan
15
10
100
5
50
0
-5
-10
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
(50)
2012
-15
2013
2014
(100)
Grafik III.2.11. Pertumbuhan Tahunan Ekspor
Komoditas Unggulan
Grafik III.2.12. Pertumbuhan Tahunan Impor
berdasar BEC
Perdagangan Antar Daerah
Ekspor produk Jabagteng ke daerah lain pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Meningkatnya sektor industri pengolahan nonmigas terutama pada subsektor makanan minuman
dan tembakau yang sebagian besar dikonsumsi domestik. Meski demikian, kinerja perdagangan antardaerah pada
triwulan III 2014 sedikit tertahan oleh penurunan kinerja ekspor produk pertanian yang produksinya menurun.
Perdagangan antar daerah diperkirakan tumbuh stabil pada triwulan IV 2014. Terjaganya pertumbuhan ekspor
Jabagteng ke daerah lain ditopang oleh penguatan pada sektor industri migas setelah konsisten mengalami
perlambatan semenjak awal tahun. Adapun lebih dari 90% hasil dari pengolahan migas di Jabagteng digunakan
untuk pemenuhan konsumsi domestik. Sejalan dengan prospek membaiknya kinerja sektor pertanian pada
triwulan IV 2014, terdapat potensi perbaikan ekspor antar daerah. Faktor perayaan Natal dan Tahun Baru
diperkirakan juga akan mendorong perdagangan antar daerah, khususnya untuk hasil industri pengolahan
makanan dan minuman.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian Jabagteng pada triwulan III 2014 terkontraksi semakin dalam. Setelah terkontraksi
0,4% (yoy) pada triwulan II 2014, sektor pertanian mengalami kontraksi semakin dalam yakni sebesar 2,5% (yoy)
pada triwulan III 2014. Secara spasial, kontraksi pertumbuhan di sektor pertanian disebabkan oleh penurunan
yang signifikan pada produksi di Jawa Tengah yang mengalami kontraksi hingga mencapai 2,27% (yoy). Sementara
itu, pertumbuhan sektor pertanian di DI Yogyakarta sedikit mengalami perbaikan meskipun masih tercatat
kontraksi sebesar 4,56%. Perlambatan pertumbuhan terutama didorong oleh memburuknya kinerja subsektor
tanaman bahan makanan (Grafik III.2.13).
Kontraksi pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan masih terjadi pada triwulan IV 2014, meski tidak sedalam
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan produksi di subsektor tanaman bahan makanan masih akan menurun pada
triwulan laporan, meskipun hasil survei pada pelaku usaha pertanian mengindikasikan potensi peningkatan kinerja
pada triwulan IV 2014 yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di 2013. Pada Angka Ramalan II
(ARAM II), BPS merevisi ke atas produksi padi pada kisaran 1,3%. Produktivitas sektor pertanian yang lebih rendah
disebabkan oleh faktor cuaca, khususnya sebagai dampak dari terjadinya banjir di awal tahun dan kekeringan yang
melanda sejumlah sentra produksi. Selain itu, kontak liaison juga mengungkapkan masih terdapatnya risiko
penurunan produksi padi yang berasal dari serangan hama dan berlanjutnya kekeringan di beberapa
kabupaten/kota.
Laporan Nusantara| 62
Rata-Rata PDRB tani
PDRB tabama
Prod padi-RHS
qtq, %
100
Rata-rata prod padi - RHS
PDRB tani
qtq, %
Ribu Ha
350
2,050
300
80
Ribu Ton
11,600
11,400
2,000
11,200
250
60
200
40
10,800
10,600
150
100
20
50
0
-20
11,000
1,950
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IVp
2012
2013
2014
7
6
5
Produksi - RHS
9,800
1,800
9,600
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber: BPS, diolah
Grafik III.2.84. Luas Panen dan Produksi Padi
yoy, %
200
Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
Tanaman Pangan
Tanaman Perkebunan
Peternakan dan Hasilnya
Kehutanan
Perikanan
8
10,000
-100
Grafik III.2.73. Luas Tanam dan Luas Panen Padi
9
10,200
1,850
Luas Panen
Sumber: Dinas Pertanian dan BPS, diolah
SBT
10,400
0
-50
-40
1,900
Jabagteng
Jateng
150
DIY
100
4
3
50
2
1
0
0
-1
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IVp
2012
2013
2014
Grafik III.2.95. Kegiatan Dunia Usaha Sektor
Pertanian
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
-50
-2
2011
2012
2013
2014
-100
Grafik III.2.106. Pertumbuhan Tahunan Kredit yang
Disalurkan pada Sektor Pertanian
Sektor Industri Pengolahan
Pertumbuhan industri pengolahan meningkat dari 6,1% (yoy) pada triwulan II menjadi 7,1% (yoy) pada triwulan III
2014. Menguatnya kinerja industri pengolahan utamanya didorong oleh peningkatan industri nonmigas yaitu
subsektor industri makanan minuman dan tembakau, serta subsektor industri tekstil. Di sisi lain, subsektor industri
kayu olahan sedikit mengalami perlambatan. Industri migas (pengilangan minyak) masih tumbuh, meskipun dalam
level yang terbatas. Hal ini terkonfirmasi dari data pertumbuhan impor minyak mentah pada triwulan III 2014 yang
sedikit lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (Grafik III.2.18).
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan industri pengolahan tetap berada pada level yang tinggi, meski realisasinya
diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan triwulan III 2014. Peningkatan kinerja industri migas diperkirakan
untuk mengejar target produksi di tahun 2014. Berdasarkan pada data impor minyak mentah yang meningkat
(leading indicator), maka diperkirakan kinerja industri migas akan membaik. Sementara itu, industri nonmigas
diprediksi tetap memiliki kinerja yang baik, khususnya pada industri TPT. Hal ini terkonfirmasi dari hasil Survei
Kegiatan Dunia Usaha (Grafik III.2.17). Perbaikan kinerja industri TPT merupakan pengaruh dari peningkatan
kapasitas produksi di tahun 2013. Lebih lanjut, kontak liaison juga mengindikasikan adanya peningkatan produksi
pakaian jadi sebagai akibat dari pengalihan permintaan terkait dengan ketidakpastian politik di Thailand dan
semakin tingginya biaya tenaga kerja di Tiongkok. Di sisi lain, pertumbuhan industri makanan minuman dan
tembakau, serta industri kayu olahan cenderung melambat (Grafik III.2.17).
Laporan Nusantara| 63
qtq, %
SBT
Industri qtq
3.5
9
Keg Dunia Usaha (Skala Kanan)
3
8
2.5
7
2
6
1.5
1
0.5
3
0
qtq, %
qtq, %
6
Industri qtq
5
Impor Minyak qtq - RHS (-1)
140
120
100
4
80
5
3
60
4
2
40
20
1
0
0
-20
2
II
-0.5
III
IV
I
II
-1
III
IV
I
II
2013
III
IVp
1
0
2014
I
-1
qtq, %
3.5
Industri qtq
Mamin & Tembakau
TPT
Barang Kayu
SBT
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2009
2010
2011
2012
2013
2014
%, yoy
200
4
150
3
100
2
50
1
0
0
-50
50
40
30
20
10
1.5
0
1
0.5
-10
1
0
-0.5
-80
%, yoy
Impor Serat Tekstil (-10)
Impor Benang Tenun & Kain Tekstil (-4)
Ekspor Pakaian - RHS
2.5
2
-40
II III
Grafik III.2.18. Pertumbuhan Triwulanan Impor
Migas vs Pertumbuhan Triwulanan Industri
Pengolahan
5
3
II III IV I
-60
-2
Grafik III.2.17. Pertumbuhan Triwulanan Industri
Pengolahan vs SBT Kegiatan Dunia Usaha
II III IV I
II
III
IV
I
II
III
IV
-1
I
II
III
IVp
3
5
7
2012
-1
Grafik III.2.19. SBT Kegiatan Dunia Usaha Subsektor
Industri Pengolahan vs Pertumbuhan Tahunan
Industri Pengolahan
-100
9
11 1
3
5
7
2013
9
11 1
3
5
7
2014
9
11
-20
-30
-40
Grafik III.2.20. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Benang
Tenun dan Kain Tekstil vs Impor Serat Tekstil
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju perkembangan inflasi pada triwulan III hingga Oktober 2014 cenderung menurun. Inflasi Jabagteng pada
Oktober 2014 tercatat sebesar 4,93% (yoy). Secara spasial, inflasi di Jawa Tengah tercatat 5,01% (yoy) dan di DI
Yogyakarta tercatat 4,40% (yoy). Tekanan inflasi terutama berasal dari kelompok administered prices yang
mencapai 7,92% (yoy). Tekanan kelompok administered prices merupakan akibat penyesuaian Tarif Tenaga Listrik
(TTL) dan dampak lanjutan kenaikan LPG 12 kg di bulan September. Di sisi lain, tekanan inflasi tertahan oleh
penurunan inflasi di kelompok volatile foods yang tercatat sebesar 3,91% (yoy). Penurunan inflasi pada kelompok
volatile foods sejalan dengan terjaganya pasokan bahan pangan. Koreksi harga terjadi pada beberapa komoditas
3
pangan, diantaranya bawang merah, bawang putih, telur ayam ras dan daging ayam ras . Di sisi lain, komoditas
beras dan cabe merah pada Oktober 2014 mulai memberikan tekanan inflasi yang cukup besar. Sementara itu
inflasi di kelompok inti tetap terjaga di level 4,28% (yoy).
Tekanan inflasi hingga akhir tahun diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Tekanan inflasi
Jabagteng akhir tahun diperkirakan berada pada kisaran 5,01% - 5,51% (yoy). Tekanan inflasi terbesar masih
bersumber dari kelompok administered price seiring dilakukannya dengan penyesuaian TTL tahap ke-3, kenaikan
tarif transportasi dan harga rokok di akhir tahun. Tibanya musim tanam pada awal November di tengah masih
berlangsungnya musim kemarau, berpotensi menggeser musim tanam dan memberikan risiko kenaikan harga
3
Penurunan harga daging ayam ras dan telur ayam ras terkait berakhirnya aturan pembatasan produksi Days Old Chick (DOC)
dari pemerintah pada Agustus 2014. Dalam perkembangannya, jumlah produksi DOC menjadi kesepakatan para pelaku usaha,
khususnya terkait jumlah stok yang harus dijaga.
Laporan Nusantara| 64
sejumlah kelompok volatile foods. Dari sisi inflasi inti, tekanan bersumber dari meningkatnya ekspektasi
masyarakat menjelang penyesuaian harga BBM oleh pemerintah.
yoy, %
yoy, %
Jateng
9
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
DIY
8
Jabagteng
7
Nasional
6
5
4
3
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik III.2.21. Perkembangan Inflasi
Okt
Core
Volatile Foods
Adm. Prices
I
II
III
IV
2012
I
II
III
2013
IV
I
II
III
Okt
2014
Grafik III.2.22. Disagregasi Inflasi Jawa Bagian Tengah
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Sampai dengan periode laporan, sebagian besar TPID di wilayah Jabagteng telah melakukan koordinasi guna
mengantisipasi berbagai risiko inflasi. Terkait dengan risiko inflasi ke depan seperti penyesuaian harga BBM
bersubsidi, kekeringan, dan kenaikan UMP, TPID di wilayah Jabagteng telah mengidentifikasi sejumlah langkah
antisipasi sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
pemberian bantuan kepada masyarakat,
monitoring kondisi pasokan BBM,
program pasar murah dan operasi pasar,
pengamanan jalur distribusi dan suplai bahan kebutuhan pokok,
program subsidi bagi kendaraan angkutan umum,
deteksi dini penimbunan BBM bersubsidi dan bahan kebutuhan pokok, dan
pemetaan potensi kerawanan.
Selain itu, TPID Jawa Tengah juga telah melakukan rapat koordinasi dengan TPID DI Yogyakarta dalam rangka
konsolidasi Neraca Bahan Makanan (NBM). Rapat koordinasi tersebut untuk melihat peluang kerja sama antar
daerah dalam rangka menjaga ketersediaan pasokan bahan makanan.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) relatif masih terjaga, seiring dengan terjaganya likuiditas perbankan. Hal tersebut
ditunjukkan oleh keseimbangan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit. Hingga akhir
triwulan III 2014, pertumbuhan DPK dan kredit tercatat masing-masing sekitar 13% (yoy). Keduanya tumbuh
melambat dibandingkan akhir triwulan sebelumnya. Sementara itu, kualitas penyaluran kredit yang ditunjukkan
oleh gross nonperforming loans (NPL) jauh di bawah level 5% pada akhir triwulan III 2014.
Berdasarkan jenisnya, kredit investasi dan kredit konsumsi tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya (Grafik III.2.24). Kredit investasi melambat sejalan dengan perlambatan investasi pada triwulan III
2014. Di sisi lain, kredit modal kerja meneruskan tren peningkatan hingga akhir tahun 2014. Hal ini dipengaruhi
oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan serta sektor PHR. Adapun kualitas penyaluran kredit
berdasarkan penggunaannya baik kredit investasi, konsumsi maupun modal kerja masih jauh berada di bawah 5%
Laporan Nusantara| 65
pada akhir triwulan III 2014. Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan kredit diperkirakan melambat ke kisaran 11%.
Kredit konsumsi dan investasi diperkirakan masih tumbuh melambat. Berdasar survei pada pelaku usaha, investasi
pada tahun 2014 diyakini tidak sebesar tahun 2013.
Kredit Jateng
Kredit DIY
Kredit DIY yoy (Skala Kanan)
Kredit Jateng yoy (Skala Kanan)
Miliar Rp
250,000
yoy, %
26
24
200,000
22
150,000
20
100,000
18
50,000
16
0
14
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
yoy, %
Modal Kerja
Investasi
III
I
II
2014
III
IV
I
II
2012
Grafik III.2.23. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan
Konsumsi
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
III
IV
I
2013
II
III
2014
Grafik III.2.24. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan
Sementara itu, tingkat ketahanan kredit sektor korporasi masih terjaga, meskipun masih diwarnai peningkatan
risiko pada sektor PHR khususnya untuk DI Yogyakarta. Berdasarkan data kredit per sektor ekonomi, pertumbuhan
kredit sektor utama Jabagteng, yaitu sektor pertanian serta sektor PHR mengalami perlambatan. Sementara itu,
kredit yang disalurkan pada sektor industri pengolahan tumbuh stabil pada level yang cukup tinggi. Adapun risiko
penyaluran kredit pada sektor pertanian, sektor industri dan sektor PHR, terindikasi berada pada level yang aman
(< 5%) pada akhir triwulan III 2014.
PHR
Industri Pengolahan
Pertanian
Industri Pengolahan yoy (Skala Kanan)
PHR yoy (Skala Kanan)
Pertanian yoy (Skala Kanan)
Miliar Rp
140,000
120,000
yoy, %
140
100,000
100
80,000
80
60,000
60
40
40,000
20
20,000
0
0
-20
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
Pertanian
Industri
PHR
4
160
120
I
yoy, %
II
3.5
3
2.5
2
1.5
1
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
III
2014
Grafik III.2.25. Kredit Bank berdasarkan Sektor
Ekonomi
2012
2013
2014
Grafik III.2.26. NPL Kredit Sektor Utama Perbankan
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Ketahanan kredit sektor rumah tangga masih terjaga pada level yang stabil, sebagaimana tercermin dari tingkat
kualitas penyaluran kredit (NPL) yang berada pada 1,18% pada akhir triwulan III 2014. Penyaluran kredit ke sektor
rumah tangga juha tumbuh melambat pada akhir triwulan III 2014. Hanya kredit untuk keperluan multiguna yang
tercatat mengalami peningkatan. Risiko kredit di sektor rumah tangga terjaga dengan adanya stabilnya gross NPL
pada level di bawah 5% (Grafik III.2.28).
Laporan Nusantara| 66
yoy, %
%
140
120
Multiguna
KKB (Skala Kanan)
3.5
0.8
3
0.7
0.6
2.5
0.5
2
60
1.5
40
1
20
0.5
0
0.4
0.3
0.2
0.1
0
I
II
III
%
0.9
KPR>70
Multiguna
80
KPR>70
KPR <70
KKB
100
-20
KPR <70
4
160
IV
2013
I
II
III
0
I
2014
Grafik III.2.27. Kinerja Kredit Perbankan ke Rumah
Tangga
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik III.2.28. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit UMKM Jabagteng pada akhir triwulan III 2014 masih cukup tinggi meski mengalami perlambatan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit UMKM tercatat melambat dari 18,21% (yoy) menjadi 16,50%
(yoy). Secara spasial, perlambatan kredit UMKM terjadi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Kinerja Sistem Pembayaran
Real Time Gross Settlement (RTGS) mengalami penurunan baik secara nilai maupun volume. Pertumbuhan nilai
RTGS tercatat sebesar -10,73% (yoy) pada triwulan III 2014, setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh -1,12%
(yoy). Di sisi lain, volume RTGS tumbuh -1,41% (yoy) atau tidak sedalam penurunan pertumbuhan periode
sebelumnya sebesar -13,88% (yoy). Adapun RTGS dari dan ke Jabagteng, serta antar daerah di Jabagteng tumbuh
menurun. Sejalan dengan hal tersebut, transaksi kliring baik nominal maupun warkat juga tumbuh negatif.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Nilai net inflow pada triwulan III 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini sesuai siklus
Lebaran dimana inflow umumnya tercatat lebih tinggi. Namun, jika dibandingkan dengan periode Lebaran di tahun
2013, net inflow pada periode Lebaran 2014 tercatat lebih rendah. Sementara itu, temuan uang palsu pada
triwulan III 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Uang lusuh yang ditarik pada triwulan III
2014 juga tercatat meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Namun, proporsi uang lusuh terhadap
inflow mengalami penurunan terkait dengan tingginya inflow.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Jabagteng pada tahun 2015 diprakirakan tumbuh meningkat pada kisaran 5,2% - 5,7% (yoy).
Optimisme perbaikan ekonomi terjadi baik di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Kondisi ini didukung oleh potensi
perbaikan kinerja ekspor luar negeri dan meningkatnya transaksi perdagangan antar pulau. Selain itu, kapasitas
industri juga diprediksi meningkat, terkait dengan investasi pada beberapa industri yang direncanakan selesai di
akhir 2014. Selain itu, terdapat beberapa investasi untuk peningkatan kapasitas produksi yang masih akan
berlanjut hingga tahun 2016. Sejumlah pembangunan proyek infrastruktur jangka panjang juga akan mendorong
investasi di tahun 2015. Secara sektoral, prospek perbaikan ekonomi 2015 diprediksi terjadi pada sektor indutri
pengolahan, sektor bangunan dan sektor PHR. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang masih membayangi
pertumbuhan ekonomi Jabagteng ke depan, diantaranya perlambatan ekonomi Tiongkok dan pengurangan subsidi
energi. Selain itu secara khusus dari sisi sektor pertanian, risiko berasal dari alih fungsi lahan yang cukup besar
serta masih tingginya ketergantungan pada faktor cuaca.
Laporan Nusantara| 67
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi Jabagteng pada tahun 2015 diperkirakan kembali menurun pada level 5,0% - 5,5% (yoy). Inflasi di
Jawa Tengah diprakirakan berada pada kisaran 4,5% - 5,0 % (yoy), sementara inflasi di DI Yogyakarta diprakirakan
berada pada kisaran 4,1% - 4,6% (yoy). Risiko inflasi di 2015 diperkirakan masih akan bersumber dari penyesuaian
harga energi, yang berdampak pada kenaikan tarif angkutan umum dan harga-harga secara umum. Dampak
kenaikan BBM Rp3.000,- pada akhir tahun 2014, akan berdampak pada inflasi Jabagteng dengan proyeksi pada
kisaran 5,0% - 5,4% (yoy). Sementara itu, berdasar survei yang dilakukan ke beberapa pelaku usaha, sebagian
responden akan menaikkan harga jual dengan rata-rata kenaikan harga sebesar 8%. Risiko inflasi lain juga
diperkirakan bersumber dari penyesuaian tarif tenaga listrik. Dari sisi inflasi inti, sumber tekanan bersumber dari
ekspektasi inflasi apabila penyesuaian harga BBM tidak diputuskan segera. Sementara itu, tekanan inflasi dari
kelompok volatile food diprediksi relatif moderat terkait membaiknya produksi pangan di tahun 2015. Semakin
solidnya koordinasi antara Pemerintah dan BI dalam forum TPI/TPID juga diyakini dapat menanggulangi risiko
inflasi Jabagteng dari sisi suplai.
Tabel II.2.1 Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Tengah
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
PDRB (%,yoy)
2012
2013
2014
2015
II
6.2
III
6.0
IV
5.4
Total
5.8
I*
5.3
II*
5.1
III*
5.4
IVp
Totalp
IP
6.2
I
5.5
5.3
5.3
51 - 5.6
TotalP
5.2 - 5.7
Sisi Permintaan
Konsumsi
5.1
4.8
4.8
5.8
5.6
5.2
5.2
4.8
5.5
5.5
5.2
5,2 - 5,7
5,3 - 5,8
Konsumsi swasta
5.2
5.1
5.2
5.4
5.1
5.2
5.2
5.4
5.6
5.4
5.4
5,1 - 5,6
5,2 - 5,7
Konsumsi Pemerintah
4.8
3.1
2.8
8.0
7.7
5.5
5.3
1.5
4.8
5.8
4.4
5,9 - 6,4
5,6 - 6,1
7.9
5.6
7.6
8.1
8.5
7.5
9.2
6.0
5.0
5.7
6.4
5,6 - 6,1
6,6 - 7,1
Ekspor
9.4
4.0
8.7
10.0
10.8
8.4
9.8
7.8
7.1
8.5
8.3
8,7 - 9,2
8,9 - 9,4
Impor
8.4
2.2
7.2
17.3
9.5
9.0
10.1
2.3
3.2
3.9
4.7
5,1 - 5,6
5,5 - 6,0
Sektor pertanian
3.8
0.4
2.8
3.4
1.6
2.0
2.0
0,9 - 1,4
0,03 - 0,5
Sektor pertambangan & penggalian
7.0
5.2
5.7
5.4
8.7
6.2
4.9
8,3 - 8,8
3,5 - 4,0
Industri pengolahan
5.1
4.9
6.8
5.1
7.2
6.0
5.8
6.1
7.1
6.3
6.3
6,3 - 6,8
6,2 - 6,7
Listrik, gas & air bersih
6.5
9.5
7.0
9.0
7.4
8.2
4.9
8.2
5.9
4.2
5.8
6,4 - 6,9
5,9 - 6,4
Bangunan
6.8
6.3
7.5
6.8
6.6
6.8
6.9
5.8
4.4
4.5
5.4
5,2 - 5,7
5,3 - 5,8
Perdagangan, hotel & restoran
8.1
9.0
8.2
6.9
5.4
7.4
5.8
6.7
7.9
7.8
7.1
7,5 - 8,0
7,0 - 7,5
Pengangkutan & komunikasi
7.6
7.7
7.3
7.7
3.5
6.5
4.9
4.8
7.1
5.6
5.6
4,0 - 4,5
5,7 - 6,2
Keuangan, persewaan dan jasa perush.
9.5
9.3
8.9
9.7
10.3
9.6
10.4
9.5
7.7
7.2
8.7
7,8 - 8,3
8,4 - 8,9
Jasa-jasa
7.3
6.2
3.4
7.4
3.3
5.0
5.3
5.9
6.4
4.5
5.5
2,9 - 3,4
4,8 - 5,3
4.25
6.26
5.47
8.30
7.88
7.88
6.96
7.13
4.94
5.26
5.26
4,3 - 4,8
5,0 - 5,5
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Sisi Produksi
Inflasi IHK (%,yoy)
(0.42) (2.46) (0.81) (0.36)
5.1
4.1
5.7
5.5
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
* Angka Sementa ra
p
proyeks i Ba nk Indones i a
Laporan Nusantara| 68
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jawa Bagian Barat (Jabagbar) tumbuh sedikit melambat dari 5,6% (yoy) pada triwulan II
2014 menjadi 5,5% (yoy) pada triwulan III 2014. Perlambatan perekonomian disebabkan oleh melemahnya
konsumsi rumah tangga dan kinerja dua sektor utama di Jabagbar yakni sektor pertanian dan sektor industri
pengolahan. Kinerja sektor pertanian mengalami perlambatan yang cukup dalam karena penurunan produksi
tanaman bahan makanan terutama padi. Hal ini sebagai dampak dari kekeringan yang terjadi di beberapa sentra
utama produksi padi. Sektor industri pengolahan juga tumbuh melambat yang didorong oleh penurunan kinerja
industri makanan, industri peralatan listrik dan industri kimia. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Jabagbar
tertahan oleh membaiknya investasi dan ekspor, serta konsumsi pemerintah. Secara sektoral, pertumbuhan
ekonomi masih ditopang oleh peningkatan kinerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), sektor
bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa.
Memasuki triwulan IV 2014, berbagai indikator di wilayah Jabagbar mengindikasikan adanya perbaikan kinerja.
Pertumbuhan ekonomi Jabagbar diprakirakan tumbuh meningkat sebesar 5,7% (yoy) pada triwulan IV 2014. Seiring
dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat, kinerja ekspor diperkirakan akan meningkat, terutama ekspor
produk manufaktur. Akselerasi belanja pemerintah di akhir tahun, turut menopang membaiknya kinerja
perekonomian pada triwulan IV 2014. Sementara itu, konsumsi rumah tangga dan investasi diperkirakan tumbuh
stabil, meskipun dibayangi oleh rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan tarik ulur penetapan upah minimum.
Dari sisi sektoral, perlambatan kinerja sektor pertanian diperkirakan masih akan terjadi mengingat musim tanam
mengalami kemunduran. Sementara itu kinerja sektor industri pengolahan dan PHR diprediksi akan mengalami
peningkatan. Secara keseluruhan 2014, pertumbuhan ekonomi Jabagbar diprakirakan sebesar 5,5% (yoy),
melambat signifikan dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2013 yang mencapai 6,0% (yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yakni dari 5,4% (yoy) menjadi 5,2% (yoy). Perlambatan konsumsi rumah tangga khususnya
terjadi di Jawa Barat, sedangkan di Banten masih tumbuh meningkat. Melemahnya kinerja sektor industri
pengolahan dan sektor pertanian pada triwulan ini turut berdampak pada penurunan tingkat konsumsi
masyarakat. Hal ini tercermin dari nilai tukar petani (NTP) yang mengalami penurunan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Indeks bayar petani meningkat pada triwulan III 2014, seiring dengan kenaikan harga pupuk, bibit,
dan benih serta penurunan harga panen produk pertanian. Penurunan kinerja konsumsi rumah tangga juga
tercermin dari perlambatan pertumbuhan kredit konsumsi yang merupakan salah satu sumber pembiayaan rumah
tangga, serta hasil survei knsumen yang menunjukkan pengeluaran rumah tangga pada triwulan III lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya. Jumlah pendaftaran kendaraan baru di Jawa Barat pada triwulan III 2014 juga
mengalami penurunan.
Pada triwulan IV 2014, berbagai indikator terkini mengindikasikan kinerja konsumsi rumah tangga yang relatif
stabil dalam menopang perekonomian Jabagbar. Salah satu indikasi menguatnya konsumsi rumah tangga adalah
meningkatnya indeks pengeluaran rumah tangga pada Oktober 2014 . Sebagian besar konsumen memperkirakan
Laporan Nusantara| 69
persentase dari pendapatan yang mereka terima untuk konsumsi relatif masih stabil. Hal ini turut dipengaruhi oleh
pencanangan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di bidang kesehatan dan pendidikan.
Selain itu, masyarakat cenderung menerima kebijakan kenaikan harga BBM, terkait disiapkannya dana kompensasi.
Berbagai event kegiatan di akhir tahun diperkirakan turut mendukung kinerja konsumsi rumah tangga. Untuk
keseluruhan tahun 2014, kinerja konsumsi rumah tangga Jawa Barat diperkirakan tumbuh sebesar 5,2% (yoy), lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2013 yang hanya sebesar 4,3% (yoy).
NTP Jabar
Indeks
NTP Banten
Kredit Konsumsi (KK)
Rp Triliun
114
112
110
108
106
104
102
100
98
96
94
Pertumbuhan KK
180
160
140
120
100
80
60
40
20
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2012
2013
35
30
16,9
25
16,4
13,1
20
15
10
5
0
II
III
IV
I
2012
Sumber : BPS, diolah
II
III
IV
2013
I
II
III
2014
Sumber : BPS, diolah
Grafik III.1. Nilai Tukar Petani
Jumlah Pendaftaran Kendaraan Baru
ribu unit
40
I
2014
YoY (%)
Grafik III.2. Perkembangan Kredit Konsumsi
Pertumbuhan % (yoy)
180
160
140
120
100
80
60
40
20
-
40,00
25
Rp Triliun
2012
TW I
TW II
2013
2014
20
30,00
20,00
15
10,00
0,00
-10,00
10
5
-20,00
-30,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
TAHUN 2014
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Jawa Barat
Grafik III.3. Pendaftaran Kendaraan Baru
0
TW III
TW IV
Jabagbar : (Jawa Barat + Banten)
Sumber : Biro Keuangan (Jawa Barat dan Banten), diolah
Grafik III.4. Perkembangan Belanja Provinsi
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mulai menunjukkan peningkatan yang terbatas. Hal ini
dipengaruhi oleh masih relatif kecilnya realisasi belanja bantuan sosial, belanja hibah, belanja bagi hasil dan
belanja bantuan keuangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun berbagai proyek pemerintah sudah
mulai berjalan pada triwulan laporan, namun realisasi pembayaran proyek cenderung terbatas hingga akhir tahun
(back loading). Hingga triwulan III 2014, realisasi belanja Provinsi Jawa Barat baru mencapai 43,3%, meski realisasi
pendapatan telah mencapai 76,6% hingga triwulan III 2014. Sementara itu, realisasi belanja Provinsi Banten jauh
lebih rendah lagi, yakni hanya sekitar 21,6%.
Berdasarkan polanya, konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2014 diperkirakan akan tumbuh meningkat. Faktor
yang mendorong peningkatan konsumsi pemerintah tersebut direalisasikannya transfer dan bantuan keuangan
daerah yang mencakup bantuan sosial dan hibah. Selain itu, masih minimnya realisasi belanja modal yang baru
mencapai 19,5% hingga triwulan III 2014 akan mendorong upaya akselerasi penyerapan belanja modal Pemerintah
Provinsi Jawa Barat pada akhir tahun 2014. Beberapa proyek yang sebagian dibiayai oleh belanja modal APBD
adalah proyek bandara internasional Kertajati dan jalan tol Cisumdawu.
Laporan Nusantara| 70
Investasi
Kinerja investasi Wilayah Jabagbar meningkat dari 4,7% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 5,5% (yoy) pada
triwulan III 2014. Peningkatan investasi terjadi baik di Jawa Barat maupun di Banten yang sebagian besar dalam
bentuk investasi bangunan. Hal ini terkait dengan pembangunan atau perbaikan berbagai proyek infrastruktur
pemerintah, khususnya infrastruktur jalan raya. Selain itu, peningkatan investasi tercermin dari meningkatnya
indeks harga properti pada triwulan III 2014. Peningkatan indeks mengindikasikan permintaan dan investasi
terhadap properti yang tetap meningkat.
Sementara itu, investasi nonbangunan juga tumbuh meningkat. Berdasarkan hasil liaison, capital expenditure yang
dikeluarkan oleh perusahaan manufaktur sebagian besar digunakan untuk investasi rutin tahunan berupa
pemeliharaan mesin dan peralatan. Namun, sejumlah industri manufaktur juga melakukan pembelian mesin-mesin
produksi baru untuk menambah kapasitas produksi. Peningkatan investasi juga ditandai dengan meningkatnya
pembelian lahan untuk ekspansi pabrik meskipun masih terbatas, terkait dengan terbatasnya suplai lahan industri.
Berdasarkan sumber pembiayaan, investasi PMDN di Jawa Barat masih tumbuh tinggi, khususnya pada investasi
bangunan.
Pertumbuhan investasi pada triwulan IV 2014 diperkirakan relatif stabil. Berbagai informasi yang digali dari liaison
maupun FGD menyatakan bahwa kegiatan investasi pada triwulan IV 2014 diprioritaskan pada ekspansi usaha dan
perbaikan infrastruktur. Sumber pembiayaan investasi hingga akhir tahun diperkirakan masih ditopang oleh
belanja pemerintah dan investor dalam negeri. Sedangkan investor asing cenderung memantau langkah kebijakan
pemerintah baru dalam menciptakan lingkungan dan iklim investasi yang kondusif. Sementara itu, sebagian
investor dalam negeri cenderung mencermati rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dan upah minimum di
Jabagbar yang relatif lebih tinggi dibandingkan wilayah lain.
PMDN
(Rp Triliun)
PMDN Jabar
PMA Jabar
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
PMDN Banten
PMA Banten
PMA
(Milyar USD)
2,5
300,00
2,0
250,00
1,5
Kecil
Menengah
Besar
Total
200,00
150,00
1,0
I
II
III
IV
2012
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
III
100,00
0,5
50,00
0,0
0,00
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III IV*
2014
Sumber : BKPM, diolah
Grafik III.5. Realisasi Investasi Jabagbar
Grafik III.6. Tren Peningkatan Indeks Properti
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Ekspor luar negeri Jabagbar meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian negara mitra dagang utama
terutama Amerika Serikat (AS). Secara spasial, peningkatan kinerja ekspor terjadi baik di Jawa Barat maupun di
Banten. Ekspor Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 8,7% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar 7,6% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh ekspor produk manufaktur seperti otomotif,
elektro karet dan plastik, kulit, logam dan furniture. Peningkatan ekspor otomotif terkait dengan permintaan dari
sejumlah negara tujuan ekspor, diantaranya adalah Kawasan Timur Tengah dan Afrika. Selain ekspor mobil yang
Laporan Nusantara| 71
meningkat, ekspor komponen otomotif juga tumbuh cukup tinggi. Di sisi lain, meskipun ekspor tekstil dan produk
tekstil (TPT) mengalami perlambatan, namun pangsa ekspor TPT masih yang terbesar di Jabagbar pada triwulan
laporan.
Berbagai perkembangan terakhir mengindikasikan potensi kenaikan ekspor luar negeri Jabagbar pada triwulan IV
2014. Adapun faktor yang mendorong peningkatan ekspor tersebut adalah semakin membaiknya kondisi
perekonomian AS yang merupakan salah satu mitra dagang utama Jabagbar. Selain itu, peningkatan ekspor juga
didorong meningkatnya permintaan dalam menghadapi perayaan Natal dan Tahun Baru di berbagai negara. Hal ini
sesuai dengan laporan liaison yang memerkirakan peningkatan kinerja ekspor Jabagbar terutama dari industri TPT,
makanan dan minuman, dan kendaraan bermotor.
%, yoy
Manufaktur
100
TPT
Kimia
Makanan
Net Ekspor (Sb. Kanan)
Pertumbuhan Ekspor
Pertumbuhan Impor
%, yoy
50
Juta USD
1400
80
1200
40
1000
60
30
800
20
20
600
0
10
40
400
-20
200
0
0
-40
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Grafik III.7. Pertumbuhan Ekspor Manufaktur
III
-10
-20
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
-200
-400
2011
2012
2013
2014
-600
Grafik III.8. Perkembangan Ekspor Impor Nonmigas
Jabagbar
Impor
Perkembangan impor luar negeri Jabagbar pada triwulan III 2014 melambat cukup dalam yakni dari 8,7% (yoy)
pada triwulan II 2014 menjadi 4,9% (yoy) pada triwulan III 2014. Impor barang konsumsi dan barang modal yang
mengalami kontraksi cukup dalam. Sementara itu, impor bahan baku pada triwulan ini menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan. Hal ini menjadi indikasi akan adanya peningkatan produksi manufaktur pada triwulan IV
2014. Penurunan impor yang sangat dalam dialami oleh subsektor otomotif, terutama impor kendaraan built up,
serta subsektor elektronika. Permintaan domestik terhadap barang elektronik (khususnya gadget) ditengarai lebih
rendah pada triwulan laporan dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2013.
Berbagai indikator menunjukkan bahwa kegiatan impor luar negeri diprakirakan akan meningkat sampai dengan
akhir tahun 2014. Kebutuhan impor bahan baku industri manufaktur di Jabagbar terutama pada bahan baku untuk
industri TPT, industri makanan minuman, bahan baku industri otomotif, industri elektronika dan industri kimia.
Turunnya harga minyak mentah dan berbagai komoditas global diperkirakan akan mendorong peningkatan impor.
Salah satunya adalah produk turunan minyak mentah, yakni naphta yang menjadi bahan baku produk ethylene dan
polypropylene pada industri TPT.
Laporan Nusantara| 72
% (yoy)
Bahan baku
Konsumsi
Modal
%, yoy
Ribu Unit
80
Ekspor Mobil
25
G.Ekspor (Kanan)
120
100
80
60
40
20
0
-20
-40
60
20
40
15
20
0
10
-20
5
-40
0
1
-60
I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
II
2013
2
3 4
5
III
6
7 8 9 10 11 12 1 2
2013
3 4
5 6 7 8
9
2014
2014
Sumber: Gaikindo
Grafik III.9. Impor Jabagbar Menurut Jenisnya
Grafik III.10. Perkembangan Ekspor Mobil
Kinerja Sektor Utama Daerah
Kinerja dua sektor utama Jabagbar yakni sektor industri pengolahan dan sektor pertanian mengalami pelemahan
pada triwulan III 2014. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) mampu tumbuh meningkat,
meski konsumsi mengalami perlambatan. Pada sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta
sektor jasa-jasa, terlihat pula adanya perbaikan kinerja yang mendukung perekonomian Jabagbar pada triwulan
laporan.
yoy (%)
16
14
12
10
8
6
4
2
0
-2
-4
-6
-8
Pertanian
Industri Pengolahan
PHR
Jabagbar
Padi (ton)
ribu ton
2500
% (yoy)
80
Pertumbuhan (kanan)
60
2000
40
20
1500
0
1000
-20
-40
500
-60
0
I
II
III
IV
2012
I
II
III
IV
I
II
2013
III
IV*
2014
Sumber : BPS, diolah
Grafik III.11. Pertumbuhan Sektor Utama Jabagbar
-80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Grafik III.12. Produksi Padi Jawa Barat
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Kinerja sektor PHR Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 7,8% (yoy), meningkat daripada pertumbuhan
pada triwulan sebelumnya sebesar 7,4% (yoy). Penjualan di sektor riil meningkat tajam terutama pada kelompok
makanan minuman. Dari sisi pembiayaan, kredit ke sektor PHR juga menunjukkan tren peningkatan. Hingga
Agustus 2014, pertumbuhan kredit di sektor PHR mencapai 15,5% (yoy). Hasil liaison ke pelaku usaha di sektor
perdagangan ritel mengonfirmasi adanya peningkatan omset penjualan pada periode Lebaran di berbagai pusat
perbelanjaan maupun department store. Sementara itu, subsektor perhotelan juga tumbuh meningkat, meskipun
tidak setinggi subsektor perdagangan. Adanya libur Lebaran mendorong peningkatan jumlah wisatawan domestik
ke Jabagbar. Berakhirnya proses Pemilu turut mendorong penyelenggaraan MICE (meeting, incentives, conferences
and exhibition) dari korporasi maupun institusi pemerintaha. Kunjungan wisatawan ke beberapa tempat wisata di
Jawa Barat selama libur lebaran meningkat cukup signifikan. Hal tersebut terkonfirmasi dari peningkatan jumlah
kendaraan yang melalui pintu tol Pasteur (20 sampai 30 kendaraan per menit) dan menyebabkan kemacetan
khususnya pada masa liburan.
Laporan Nusantara| 73
Indeks
230
210
190
170
150
130
110
90
70
50
%, yoy
Indeks Penjualan Riil
80
%
70
Tingkat Penghunian Kamar Hotel Bintang
Pertumbuhan Wisman (yoy)
60
Pertumbuhan Penjualan Riil (yoy)
60
40
20
50
40
30
20
0
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9*
10**
-20
10
0
-10
-20
2012
2013
2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Grafik III.3.16. Pertumbuhan Sektor Utama Jabagbar
Grafik III.3.17. Produksi Padi Jawa Barat
Kinerja sektor PHR pada triwulan IV 2014 diperkirakan masih dalam tren peningkatan. Hal ini didorong dengan
masih tingginya indeks penjualan riil hingga Oktober 2014. Sejumlah kontak liaison di subsektor pariwisata cukup
optimis dalam memperkirakan peningkatan tingkat hunian akomodasi hotel hingga akhir tahun 2014, terkait
dengan permintaan yang masih sangat tinggi. Penyelenggaraan Pekan Olahraga Daerah Jawa Barat di Bekasi pada
Oktober-November 2014 yang diikuti lebih dari 2000 atlet diperkirakan turut mendorong peningkatan sektor PHR.
Sektor Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 tumbuh melambat dari 4,1% (yoy) menjadi
3,7% (yoy). Baik industri di Jawa Barat maupun Banten mengalami penurunan kinerja yang tercermin dari lebih
rendahnya indeks produksi industri pada triwulan laporan. Penurunan indkes produksi industri terjadi baik pada
produksi industri manufaktur besar, sedang, kecil dan mikro. Industri yang mengalami penurunan produksi
terbesar adalah industri makanan minuman, industri furniture, dan industri barang galian bukan logam. Pada
industri mikro dan kecil, penurunan produksi terbesar terjadi pada industri komputer dan barang elektronik,
industri logam dasar, serta industri pemasangan mesin dan peralatan. Industri kimia di Banten juga menunjukkan
adanya penurunan kinerja, hal ini seiring dengan turunnya harga minyak mentah dunia maupun naphta yang
mendorong turunnya harga produk kimia seperti ethylene dan polypropylene. Sementara itu, produksi industri TPT
masih tumbuh positif dengan meningkatnya permintaan domestik, meskipun permintaan eksternal masih belum
membaik. Pada industri otomotif, produksi mobil pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan, terkecuali pada
Agustus 2014 dimana peningkatan produksi dilakukan untuk memenuhi indent dari beberapa bulan sebelumnya.
Kinerja industri pengolahan pada triwulan IV 2014 diperkirakan membaik. Salah satu indikasi dari perbaikan
tersebut adalah meningkatnya impor bahan baku industri pada triwulan laporan. Peningkatan kapasitas industri
diperkirakan pada industri makanan minuman, serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya. Sementara
utilisasi industri TPT diperkirakan cenderung stabil karena penggunaan mesin-mesin yang sudah optimal di kisaran
80-90%. Apabila dipaksakan peningkatan utilisasinya, kualitas produk TPT yang dihasilkan akan berkurang. Kinerja
industri otomotif juga diperkirakan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasca kegiatan Indonesia
International Motor Show (IIMS) pada akhir triwulan III 2014. Sementara itu, Gabungan industri kendaraan
bermotor Indonesia (Gaikindo) menyatakan bahwa pasar ekspor mobil Indonesia ke luar negeri masih cukup baik
terutama ke Asia dan Afrika.
Laporan Nusantara| 74
Produksi Mobil
G.Penjualan (Kanan)
Ribu Unit
250
Penjualan Mobil
G.Ekspor (Kanan)
%, yoy
120
100
80
60
40
20
0
-20
-40
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 1 2
2013
3 4
5 6 7 8
9
USD Juta
2.000
1.800
1.600
1.400
1.200
1.000
800
600
400
200
-
Nilai
30
25
20
15
10
5
0
-5
-10
I
2014
yoy (%)
Pertumbuhan (Axis Kanan)
II III IV
2010
I
II III IV
2011
I
II III IV
2012
I
II III IV
I
2013
II III
2014
Sumber: Gaikindo, diolah
Grafik III.15. Kinerja Industri Otomotif
Grafik III.16. Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan cukup dalam dibandingkan triwulan
sebelumnya, yakni dari 3,3% (yoy) menjadi 1,1% (yoy). Hal ini terutama tercermin dari menurunnya produksi padi
yang terkontraksi sebesar -2,7% (yoy) pada triwulan III 2014, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
produksi pada triwulan II 2014 yang mencapai 9,6% (yoy). Selain terjadinya kekeringan di berbagai sentra produksi
di Jabagbar, kualitas hasil panen juga menurun sebagai akibat serangan hama terutama dari organisme
pengganggu tanaman. Selain itu, para petani juga dihadapkan pada kondisi distribusi air yang terhambat karena
tidak berfungsinya saluran irigasi dan bendungan. Terbatasnya stok pupuk bersubsidi menyebabkan harga pupuk
non subsidi meningkat tiga kali lipat, sehingga sebagian petani tidak optimal dalam menggunakannya. Pada
triwulan laporan, kekeringan terjadi terutama di wilayah pantura Jabar yang merupakan lumbung padi. Hal
tersebut menyebabkan beberapa petani lebih memilih untuk menanam tanaman selain padi, seperti palawija atau
tembakau yang hanya memerlukan pengairan secara minimal. Berdasarkan hasil liaison, utilisasi lahan pertanian
masih relatif stabil dengan belum adanya tambahan penggunaan lahan yang cukup signifikan.
Cabai Merah
ribu ton
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Pertumbuhan (kanan)
% (yoy)
200
150
100
ribu ton
25
Bawang Merah
Pertumbuhan (kanan)
200
20
150
15
100
50
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jabar
Grafik III.17. Produksi Cabai Merah Jawa Barat
% (yoy)
250
50
10
0
-50
5
-100
0
-50
-100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat
Grafik III.18. Produksi Bawang Merah Jawa Barat
Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014 diperkirakan masih belum akan membaik. Berbagai risiko seperti
awal musim hujan yang baru terjadi pada akhir Oktober, menyebabkan periode musim tanam mengalami
kemunduran. Panen subsektor tanaman bahan makanan secara besar diperkirakan baru terjadi pada awal tahun
2015. Ketersediaan stok pupuk dan keterjangkauan harga pupuk juga menjadi hal penting dalam mendukung
kelancaran proses produksi pada periode tanam akhir tahun 2014. Pada subsektor hortikultura, diperkirakan
terjadi penurunan kinerja sebagai dampak dari musim hujan yang memiliki intensitas relatif tinggi. Hal ini kurang
mendukung untuk peningkatan produksi hortikultura di Jawa Barat, terkait dengan kerentanan terkena serangan
hama dan lebih cepatnya terjadi pembusukan. Beberapa upaya kebijakan dapat dilakukan untuk meningkatkan
Laporan Nusantara| 75
kinerja sektor pertanian, diantaranya melalui peningkatan luas areal tanam, pembuatan lahan sawah baru,
pemberian bantuan benih pupuk dan peralatan pertanian, serta pendampingan melalui Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu.
Sektor Lainnya
Sektor pengangkutan dan komunikasi Jabagbar pada triwulan III 2014 mengalami pertumbuhan yang cukup
signifikan, yakni dari 9,5% menjadi 10,8% (yoy). Selain karena faktor Lebaran dan liburan yang mendorong
meningkatnya pergerakan barang dan penumpang, peningkatan akses data komunikasi juga menjadi faktor
pendorong kinerja sektor tersebut. Berdasarkan data, jumlah penumpang dan barang yang diangkut khususnya
melalui jalur udara mengalami peningkatan pada triwulan laporan. Sektor bangunan juga mengalami peningkatan
kinerja seiring dengan pembangunan dan perbaikan proyek infrastruktur pemerintah, khususnya infrastruktur
jalan. Kinerja sektor keuangan dan jasa perusahaan juga menunjukkan adanya peningkatan, seiring dengan
kebijakan penyesuaian batas atas tingkat suku bunga simpanan. Hal ini berimplikasi spread bunga yang melebar
dan meningkatnya margin usaha perbankan.
PERKEMBANGAN INFLASI
Sampai dengan triwulan Oktober 2014, inflasi di wilayah Jabagbar tercatat sebesar 4,65% (yoy), meningkat
dibandingkan dengan capaian inflasi pada triwulan III 2014 sebesar 4,38% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi
terutama disebabkan oleh meningkatnya tekanan harga pada kelompok administered price, seperti kenaikan tarif
tenaga listrik (TTL) bertahap, kenaikan harga LPG 12 kg, dan peningkatan harga cukai rokok. Selain itu, tekanan
inflasi juga berasal kelompok pangan dengan meningkatnya harga cabai merah dan cabai rawit. Secara spasial,
tekanan inflasi di Banten pada Oktober 2014 mencapai 6,72% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi di
Jawa Barat yang mencapai 4,04% (yoy)
Berbagai perkembangan indikator harga menunjukkan adanya risiko tekanan inflasi di wilayah Jabagbar pada
triwulan IV 2014. Hal ini antara lain didorong oleh kenaikan TTL tahap terakhir di November 2014, ketersedian
pangan dari komoditas pertanian, dan rencana kenaikan BBM bersubsidi. Hasil Survei Konsumen (SK)
mengonfirmasi peningkatan ekspektasi konsumen terhadap harga dalam 6 bulan ke depan. Di samping itu,
berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) di Jawa Barat, harga jual secara umum diperkirakan
mengalami peningkatan pada triwulan IV 2014. Hal tersebut tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT)
ekspektasi responden terhadap perkiraan harga jual pada triwulan IV 2014 sebesar 29,5%, lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 24,7%.
JABAGBAR
YOY (%)
BANTEN
JABAR
YOY (%)
12
25
10
20
8
IHK
Volatile Food
Administered Price
Core
15
6
10
4
5
2
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 9 10
2012
2013
2014
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.19. Perkembangan Inflasi Spasial
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 9 10
2012
2013
2014
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.20. Disagregasi Inflasi Jabagbar
Laporan Nusantara| 76
Indeks
Ekspektasi Harga 3 Bulan YAD
Ekspektasi Harga 6 Bulan YAD
225
%, SBT
40
35
200
30
175
25
20
150
15
10
125
100
5
Indeks > 100 = optimis
Indeks < 100 = pesimis
0
I
75
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
2012
2013
2014
2015*
Grafik III.21. Ekspektasi Perkiraan Harga Konsumen
2011
2012
2013
2014
Grafik III.22. Ekspektasi Harga Jual Pelaku Usaha
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Berbagai upaya dilakukan untuk meredakan tekanan inflasi di wilayah Jabagbar baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Forum Koordinasi
Pengendalian Inflasi Daerah (FKPI) Jawa Barat terus melakukan berbagai upaya untuk mencegah dampak yang
lebih luas akibat dari pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.
Beberapa langkah yang direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait adalah :
1) Menyampaikan evaluasi penerapan kebijakan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi kepada BPH
Migas (pembelian tidak dibatasi pada jam tertentu),
2) Menerapkan gerakan hemat BBM antara lain hari bebas kendaraan bermotor pribadi,
3) Memprioritaskan pembangunan stasiun pompa diesel nelayan di sekitar TPI untuk memenuhi kebutuhan
nelayan,
4) Menyampaikan surat dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada Organda agar pengangkutan barang
khususnya di Jalur Pantura menggunakan kereta api,
5) Penetapan batas atas tarif angkutan non-ekonomi, dan
6) Penambahan pasokan gas LPG ukuran 3 kg.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Perkembangan kinerja sistem keuangan dan sistem pembayaran di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 secara
umum masih kondusif. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) melambat menjadi sebesar
13,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 17,2% (yoy). Meskipun demikian, secara
nominal DPK perbankan meningkat. Berdasarkan hasil focus group discussion dengan beberapa bank, peningkatan
DPK terutama pada bank besar karena adanya strategi peningkatan low cost fund serta kerjasama pelayanan
penerimaan pajak bumi bangunan (PBB) dengan pemerintah daerah. Di sisi lain, penyaluran kredit perbankan pada
triwulan III 2014 juga mengalami perlambatan dari 18,2% (yoy) menjadi 15,4% (yoy). Dengan kondisi tersebut,
Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan di Jabagbar meningkat dari 85,6% pada triwulan II 2014 menjadi 86,1%
pada triwulan III 2014.
Laporan Nusantara| 77
Nilai DPK
Rp Triliun
Pertumbuhan DPK
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
YoY (%)
30
25
15,9
17,2
13,2
Pertumbuhan Kredit
LDR
YoY (%)
350
300
20
250
15
200
10
Nilai Kredit
Rp Triliun
400
19,5
150
18,2 15,4
100
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
5
50
0
0
III
I
2014
Kredit Industri
%
Pertumbuhan (yoy)
35
50
30
40
25
30
20
15
20
10
10
5
-
0
III
IV
2012
I
II
III
IV
2013
I
II
I
II
III
IV
I
II
2013
Rp Triliun
40
II
IV
III
2014
Grafik III.24. Perkembangan Kredit dan LDR Jabagbar
60
I
III
2012
Grafik III.23. Perkembangan DPK Jabagbar
Rp Triliun
II
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Kredit PHR
% (yoy)
Pertumbuhan (kanan)
90,0
80,0
70,0
60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
-
III
60
50
40
30
20
10
0
I
2014
II
III
IV
2012
Grafik III.25. Kredit Sektor Industri Jabagbar
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik III.26. Kredit Sektor PHR
Ketahanan Sektor Korporasi
Ketahanan sektor utama korporasi di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 dihadapkan pada peningkatan risiko
kredit. Hal ini tercermin dari peningkatan nonperforming loan (NPL) dari 2,67% pada triwulan II 2014 menjadi
2,80% pada triwulan III 2014. Perhitungan mortality rate (Altman Approach) dengan pendekatan jumlah debitur
kota/kabupaten menunjukkan terdapat peningkatan jumlah debitur bermasalah di sektor pertanian dan sektor
PHR. Sementara itu, jumlah debitur bermasalah di sektor industri cenderung menurun. Dari sisi kinerja penyaluran
kredit, pertumbuhan kredit di sektor industri pengolahan mengalami peningkatan, sementara kredit ke sektor PHR
menunjukkan perlambatan.
%
Tw I - 2014
Tw II - 2014
Tw III - 2014
%
6,0
Tw I - 2014
Tw II - 2014
Tw III - 2014
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
0,0
Pertanian
Industri
PHR
Grafik III.27. Mortality Rate Sektor Utama
Berdasarkan Nominal Baki Debet
Pertanian
Industri
PHR
Grafik III.28. Mortality Rate Sektor Utama
Berdasarkan Jumlah Debitur
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Di sektor rumah tangga, nominal penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kredit multiguna dan kredit kendaraan
bermotor di wilayah Jabagbar menunjukkan adanya peningkatan. Meski demikian, risiko kredit-kredit tersebut
relatif terjaga. NPL KPR dan kredit kendaraan bermotor tidak mengalami peningkatan dari triwulan sebelumnya,
Laporan Nusantara| 78
masing-masing sebesar 3,0% dan 0,8%. Sedangkan NPL kredit multiguna mengalami sedikit peningkatan dari 1,5%
menjadi 1,6%. Pangsa terbesar kredit sektor rumah tangga masih pada KPR (58,7%) diikuti oleh pinjaman
multiguna (30,5%) dan kredit kendaraan bermotor (10,9%).
KPR
K.Kend. Bermotor
NPL K.Multiguna
Triliun Rp
K.Multiguna
NPL K. Kend.Bermotor
NPL KPR
NPL (%)
140
80
40
25
3
80
20
60
15
20
40
10
20
5
0
III
IV
I
II
2013
%, yoy
NPL - rhs
30
1
0
Pertumbuhan (yoy) - rhs
100
2
60
Kredit UMKM
4
120
100
Rp Triliun
120
-
0
III
I
II
2014
III
IV
I
II
2012
Grafik III.3.29. Perkembangan Kredit Rumah Tangga
III
IV
I
2013
II
III
2014
Grafik III.3.30. Perkembangan Kredit UMKM
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pada triwulan III 2014, penyaluran kredit perbankan konvensional kepada kategori debitur UMKM di wilayah
Jabagbar mencapai Rp96,4 triliun, tumbuh relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni dari 24,65% (yoy)
menjadi 24,93% (yoy). Akan tetapi, peningkatan NPL kredit UMKM dari 4,6% menjadi 5,0% menjadi hal yang harus
dicermati ke depan. Peningkatan NPL kredit UMKM ini terutama terjadi di usaha mikro sektor perdagangan.
Kinerja Sistem Pembayaran
Kinerja sistem pembayaran nontunai pada triwulan III 2014 menunjukkan penggunaan fasilitas RTGS yang
meningkat cukup signifikan baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Sementara itu, transaksi Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami sedikit penurunan. Secara nominal, transaksi melalui RTGS mencapai
Rp254,65 triliun pada triwulan III 2014, meningkat dari triwulan II 2014 yang hanya mencapai Rp104,56 triliun. Dari
sisi volume, transaksi RTGS pada triwulan III 2014 tercatat meningkat menjadi sebesar 275 ribu transaksi dari
sebelumnya 126 ribu transaksi. Adapun transaksi RTGS dari Jawa Barat lebih kecil dibandingkan transaksi RTGS
yang menuju ke Jawa Barat, mengindikasikan banyaknya aliran dana dari daerah lain yang masuk ke Jawa Barat.
Sementara itu, perbaikan pertumbuhan yang signifikan terjadi pada transaksi RTGS dan SKNBI masing-masing
sebesar 23,18% (yoy) dan 87,09% (yoy), dibandingkan dengan pertumbuhan negative pada triwulan sebelumnya
sebesar masing-masing -51,26% (yoy) dan -42,34% (yoy).
Triliun Rp
30
INFLOW
OUTFLOW
NET (Inflow-Outflow)
Triliun Rp
25
350
20
300
RTGS
Kliring
Pertumbuhan RTGS - kanan
Pertumbuhan Kliring - kanan
%, yoy
100
80
60
40
20
0
-20
-40
-60
250
15
200
150
10
100
5
50
0
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Grafik III.3.31.Perkembangan Inflow Outflow
III
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik III.3.32.Perkembangan Transaksi Non Tunai
Laporan Nusantara| 79
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Perkembangan peredaran uang pada triwulan II 2014 masih didominasi oleh aliran inflow. Jumlah aliran uang
kartal yang masuk ke Bank Indonesia Wilayah VI mencapai Rp23,82 triliun, sedangkan aliran outflow mencapai
Rp14,33 triliun. Selain itu, nilai net inflow pada triwulan III 2014 juga mengalami peningkatan dibandingkan
triwulan sebelumnya. Dalam rangka pemenuhan uang tunai di masyarakat, Bank Indonesia bekerjasama dengan
sejumlah perbankan menyediakan ATM Uang Pecahan Kecil (UPK) di beberapa lokasi. Di samping itu, gerakan
nasional non tunai (GNNT) melalui implementasi penggunaan e-money atau instrumen non tunai lainnya sedang
dikembangkan di Kawasan Jatinangor dengan melibatkan 3 Perguruan Tinggi (UNPAD, IPDN dan IKOPIN). Ke depan,
program GNNT juga akan melibatkan Pemprov, Pemkot, Kadin, Pengelola Perparkiran dan beberapa usaha ritel.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Jabagbar tahun 2015 diperkirakan pada kisaran 5,5% - 5,9% (yoy). Dari sisi permintaan,
konsumsi rumah tangga diperkirakan masih kuat sebagai pengaruh dari peningkatan pendapatan, termasuk
sebagai pengaruh dari kenaikan upah minimum yang sangat berpengaruh pada industri manufaktur(UMP/UMK).
Investasi di Jabagbar diperkirakan juga masih akan tumbuh positif, meskipun dibayangi oleh sejumlah kendala
terkait daya saing, diantaranya adalah kapasitas dan kualitas infrastruktur, tingkat upah dan produktivitas tenaga
kerja. Hal tersebut sangat berdampak pula pada kinerja ekspor manufaktur yang dominan di Jabagbar. Pada tahun
2015, masih terdapat optimisme peningkatan kinerja ekspor, seiring dengan perbaikan perekonomian global.
Meski demikian, perlu dicermati potensi tekanan pada nilai tukar yang dapat berimbas pada kinerja ekspor
manufaktur. Ketergantungan terhadap impor bahan baku dan barang modal oleh industri manufaktur belum akan
berkurang di 2015. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), terindikasi adanya perbaikan prospek
kegiatan usaha pada sektor ekonomi utama Jabagbar, yakni di sektor industri pengolahan, sektor PHR dan sektor
bangunan. Sektor PHR dan sektor industri pengolahan masih akan menjadi penopang utama perekonomian
Jabagbar, disamping dukungan dari sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor bangunan. Sementara itu,
perbaikan kinerja sektor pertanian sangat tergantung pada upaya-upaya pemerintah dalam produksi dan
produktivitas pertanian, antara lain melalui perbaikan irigasi, penyediaan infrastruktur dan sistem logistik yang
memadai, serta keterjangkauan alat produksi yang memadai. Penguatan faktor institusi dalam mendukung
peningkatan produksi dan produktivitas pangan melalui utilisasi teknologi juga menjadi hal yang krusial ke depan.
Prospek Inflasi
Inflasi Jabagbar pada tahun 2015 diperkirakan kembali ke pola historisnya dengan proyeksi di kisaran 4,7% - 5,1%
(yoy). Risiko inflasi terutama bersumber dari penyesuaian harga energi di kelompok administered price. Adapun
risiko inflasi terbesar berasal dari rencana kenaikan harga BBM yang berpotensi menaikkan tingkat inflasi secara
signifikan. Dampak dari kenaikan harga BBM di Jabagbar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di
Jawa. Diperkirakan apabila terjadi kenaikan harga BBM sebesar Rp3.000,- pada akhir tahun 2014, inflasi di
Jabagbar di 2015 berpotensi meningkat pada kisaran 6,1% - 6,5% (yoy) yang terutama bersumber dari kenaikan
ongkos transportasi. Ekspektasi inflasi masyarakat terhadap rencana kenaikan BBM bersubsidi diperkirakan sudah
mulai terbentuk di akhir triwulan IV 2014.
Asosiasi pengusaha menyatakan bahwa kenaikan BBM bersubsidi tidak terlalu mengganggu kegiatan usaha. Hal ini
dikarenakan sebagian besar usaha (industri manufaktur) di Jabagbar telah menggunakan BBM non subsidi. Hanya
saja, kenaikan BBM bersubsidi tersebut akan mengganggu kegiatan usaha untuk usaha mikro dan kecil. Menurut
asosiasi pengusaha, timing yang tepat bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi yakni pada
Laporan Nusantara| 80
Desember 2014. Waktu tersebut dianggap tepat agar tidak terlalu berpengaruh pada perkembangan inflasi akhir
tahun 2014, dan rencana kenaikan upah minimum provinsi/kabupaten/kota pada November 2014. Koordinasi TPID
dalam menjaga ketersediaan stok komoditas pangan dan antisipasi terhadap rencana kenaikan BBM bersubsidi
menjadi krusial untuk memitigasi peningkatan tekanan inflasi pada tahun 2015.
Tabel III.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Barat
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
PDRB (%,yoy)
2012
2013
2015
2014
I
II
III
IV
Total
I*
II*
III*
IVp
Totalp
Ip
Totalp
6.3
6.0
6.1
5.7
6.2
6.0
5.4
5.6
5.5
5.7
5.5
5,3 - 5,7
5,5 - 5,9
Sisi Permintaan
Konsumsi
4.4
4.3
3.8
4.7
4.9
4.4
4.9
4.9
5.2
5.7
5.2
4,8 - 5,2
5,1 - 5,5
Konsumsi swasta
4.6
4.4
4.5
4.1
4.1
4.3
5.1
5.4
5.2
5.3
5.2
4,6 - 5,0
4,8 - 5,2
Konsumsi Pemerintah
1.5
2.9
(3.2)
11.2
13.4
6.5
2.8
(0.9)
5.3
9.6
5.0
7,0 - 7,4
8,2 - 8,6
10.1
10.4
9.7
7.6
5.9
8.4
5.8
4.7
5.5
5.4
5.4
5,6 - 6,0
5,2 - 5,6
Ekspor
6.9
9.1
8.7
10.6
12.4
10.2
8.7
7.6
8.7
8.9
8.2
8,0 - 8,4
8,4 - 8,8
Impor
6.7
13.9
10.8
15.7
14.6
13.8
10.9
8.7
4.9
7.3
7.4
9,0 - 9,4
8,9 - 9,3
Sektor pertanian
(0.0)
2.7
1.3
4.6
8.6
4.1
0.9
3.3
1.1
1.0
1.5
1,9 - 2,3
2,2 - 2,6
Sektor pertambangan & penggalian
(7.0)
4.6
(7.2)
(2.0)
2.8
(0.6)
(2.9)
2.9
1.3
1.5
0.6
0,6 - 1,0
1,4 - 1,8
Industri pengolahan
3.7
4.8
5.5
4.9
4.7
5.0
3.4
4.1
3.7
4.1
3.8
3,8 - 4,2
4,1 - 4,5
Listrik, gas & air bersih
8.3
5.4
5.7
6.1
7.2
6.1
10.2
8.2
5.2
5.8
7.2
6,4 - 6,8
6,1 - 6,5
Bangunan
13.0
9.9
10.2
7.2
7.3
8.6
10.7
9.1
10.1
7.2
9.2
6,2 - 6,6
7,3 - 7,7
Perdagangan, hotel & restoran
11.7
7.1
9.1
6.9
7.6
7.6
7.4
6.5
7.4
7.8
7.3
7,1 - 7,5
7,4 - 7,8
Pengangkutan & komunikasi
11.5
11.5
10.5
7.8
6.7
9.0
10.8
9.5
10.8
9.9
10.3
10,2 - 10,6
8,7 - 9,1
Keuangan, persewaan dan jasa perush. 9.7
9.6
8.3
7.8
8.0
8.4
8.1
6.5
8.0
7.5
7.5
7,4 - 7,8
7,3 - 7,7
8.2
7.7
4.0
6.0
5.9
5.9
9.7
8.5
9.2
9.2
9.1
7,6 - 8,0
7,4 - 7,8
4.0
6.0
6.7
9.4
9.3
9.3
8.00
6.63
4.38
4.97
4.97
4,2 - 4,6
4,7 - 5,1
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Sisi Produksi
Jasa-jasa
Inflasi IHK (%,yoy)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
* a ngka s ementa ra
p
proyeks i Ba nk Indones i a
Laporan Nusantara| 81
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian wilayah Jakarta tumbuh melambat sebesar 6,0% (yoy) pada triwulan III 2014. Capaian pertumbuhan
ini lebih rendah daripada prediksi awal, dimana perekonomian Jakarta diproyeksikan tumbuh stabil 6,1% (yoy).
Perlambatan ekonomi wilayah Jakarta terutama bersumber dari melambatnya konsumsi rumah tangga dan
menurunnya kinerja investasi. Di sisi lain, kinerja ekspor mengalami peningkatan, sejalan dengan perbaikan
ekonomi global. Demikian pula, konsumsi pemerintah masih mampu tumbuh cukup kuat. Secara sektoral,
perlambatan ekonomi Jakarta disebabkan oleh menurunnya kinerja sektor konstruksi, perdagangan, hotel, dan
restoran (PHR), jasa kemasyarakatan, serta industri pengolahan. Sementara itu, sektor jasa keuangan, persewaan,
dan jasa perusahaan yang memiliki pangsa terbesar mampu tumbuh meningkat dan menopang perekonomian
wilayah Jakarta.
Prospek perekonomian wilayah Jakarta diperkirakan lebih baik pada triwulan IV 2014. Pertumbuhan ekonomi
Jakarta pada triwulan IV 2014 diprakirakan sebesar 6,1% (yoy) dengan dukungan perbaikan pada seluruh
komponen dari sisi permintaan. Perbaikan ekonomi terutama dipengaruhi oleh potensi perbaikan ekspor dengan
berlanjutnya pemulihan ekonomi global serta menguatnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi pemerintah juga
diprediksi meningkat sesuai polanya dan menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan
akhir 2014. Di sisi sektoral, peningkatan kinerja diproyeksikan pada sektor industri pengolahan dan PHR.
Sementara sektor konstruksi dan sektor jasa keuangan, persewaan, serta jasa perusahaan cenderung melemah.
Pada keseluruhan 2014, perekonomian Jakarta diprakirakan mampu tumbuh stabil sebesar 6,1% (yoy) dengan
dukungan utamanya dari konsumsi rumah tangga kelas menengah.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,8% (yoy) pada triwulan III 2014, melambat dibandingkan dengan
pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 6,1% (yoy). Selain terkait dengan melemahnya aktivitas perekonomian
di Jakarta, konsumsi rumah tangga pada periode Lebaran 2014 juga lebih lemah dibandingkan dengan periode
yang sama pada tahun 2013. Hal tersebut dipengaruhi oleh berdekatannya periode tahun ajaran baru dan Lebaran,
yang menyebabkan sebagian belanja konsumen terbagi pemenuhannya. Hasil liaison ke perusahaan waralaba
mengonfirmasi penurunan jumlah kunjungan dan rata-rata pembelanjaan konsumen. Survei penjualan eceran
pada periode laporan juga menunjukkan adanya kontraksi pertumbuhan penjualan makanan dan minuman serta
barang rumah tangga (Grafik III.4.1). Penjualan kendaraan bermotor sebagai barometer konsumsi rumah tangga di
4
Jakarta yang umumnya meningkat menjelang Lebaran, juga mengalami perlambatan pada periode Lebaran 2014.
Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh meningkat, sesuai tren musiman peningkatan
belanja rumah tangga pada periode akhir tahun Prediksi ini merujuk pada sejumlah indikator terkini, yakni survei
konsumen dan kredit konsumsi. Survei konsumen mengindikasikan terjaganya keyakinan dan sentimen masyarakat
4
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan penjualan mobil periode Januari-September
tahun 2014 hanya tumbuh sebesar 2,7% (yoy). Angka pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dari capaian pada tahun 2013
untuk periode yang sama, dimana pertumbuhan penjualan mencapai 12,6%.
Laporan Nusantara| 82
terhadap kondisi perekonomian dan dinamika politik pasca terbentuknya pemerintahan baru (Grafik III.4.2).
Persepsi positif konsumen juga terefleksikan pada keyakinan atas peningkatan lapangan kerja dan pendapatan
dalam 6 bulan ke depan. Secara umum, indeks ekspektasi konsumen relatif stabil di tengah rencana kenaikan
harga BBM yang berpotensi memperlemah daya beli masyarakat dan perekonomian dalam jangka pendek. Di sisi
pembiayaan rumah tangga selain pendapatan, ketersediaan kredit konsumsi diperkirakan akan turut mendukung
perbaikan kinerja konsumsi rumah tangga.
% yoy
Indeks
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
150
60
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
140
40
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)
130
20
120
0
Optimis
110
-20
100
-40
90
-60
80
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 1
2013
2
3
4
5
6
7
8
9
2014
gKredit Konsumsi
gPenjualan Makanan Minuman
gPenjualan Barang Rumah Tangga
gTotal Penjualan Eceran
Grafik III.4.1. Perkembangan Survei Penjualan Eceran
Pesimis
70
60
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2010
2011
2012
2013
2014
Grafik III.4.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 mengalami pertumbuhan yang signifikan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 3,9% (yoy) yang bersumber dari belanja Pemerintah
Pusat (Kementerian/Lembaga). Tumbuh meningkatnya realisasi belanja Pemerintah Pusat didukung terutama oleh
belanja barang. Realisasi belanja Pemerintah Pusat mencapai 65,9% dari target APBN-P, lebih baik dibandingkan
pencapaian dalam 2 tahun terakhir. Sementara itu, realisasi belanja APBD masih sangat rendah yang mana hingga
akhir September 2014 baru mencapai sekitar 27,7% dari total anggaran belanja pada APBD-P. Berdasarkan
proporsinya, 50,4% dari belanja APBD merupakan belanja rutin yang didominasi belanja pegawai, sedangkan
realisasi belanja modal hanya mencapai 3,45% atau terendah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Sejalan dengan pola realisasi belanja pemerintah yang cenderung terakselerasi pada triwulan IV 2014, kinerja
konsumsi pemerintah diprakirakan akan meningkat dalam level yang moderat. Restrukturisasi pemerintahan baru
dengan adanya pemekaran Kementerian/Lembaga memberikan konsekuensi pada tambahan penganggaran. Selain
itu, terdapat potensi peningkatan belanja sosial, sejalan dengan program pemerintah baru untuk meningkatkan
pemerataan dan kesejahteraan, khususnya bagi masyarakat miskin yang jumlahnya sekitar 4% dari total penduduk
Jakarta. Namun, belanja Pemerintah Pusat diprediksi tidak setinggi beberapa tahun terakhir mengingat adanya
rasionalisasi anggaran untuk mengurangi risiko defisit fiskal yang lebih besar. Di sisi APBD, serapan anggaran
belanja juga diprakirakan akan lebih rendah dari beberapa tahun terakhir, meskipun terdapat berbagai upaya
untuk mendorong penyerapan anggaran, diantaranya implementasi sistem e-catalog dan e-procurement.
Investasi
Kinerja investasi Jakarta pada triwulan III 2014 mengalami penurunan yang signifikan dengan tumbuh sebesar 2,1%
(yoy), jauh lebih lambat daripada pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 4,2% (yoy). Investasi pada
periode ini masih bersumber dari investasi bangunan berupa pembangunan infrastruktur baik yang dibiayai oleh
pemerintah maupun konsorsium pemerintah dan swasta. Berdasarkan data investasi di Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), terdapat peningkatan investasi PMA yang cukup signifikan (Grafik III.4.3). Sementara
itu, investasi PMDN relatif terbatas dengan masih adanya tendensi sejumlah pelaku usaha untuk menahan
Laporan Nusantara| 83
ekspansi usaha. Di sisi investasi non bangunan, pertumbuhan terindikasi dalam level yang moderat, dalam bentuk
perawatan mesin dan alat produksi. Hingga Agustus 2014, kredit investasi juga masih dalam tren melambat (Grafik
III.4.4).
Prospek investasi di Jakarta pada triwulan IV 2014 masih berpotensi membaik dibandingkan dengan triwulan
laporan. Hal ini didorong oleh akselerasi pembangunan beberapa proyek investasi infrastruktur dalam skala besar,
yakni proyek terminal peti kemas di Kalibaru (New Tanjung Priok Port) dan mass rapid transit (MRT). Di sisi lain,
investasi properti diperkirakan tumbuh moderat dengan masih relatif tingginya tingkat suku bunga dan dinamika
perekonomian serta politik dalam negeri. Tren moderasi pertumbuhan properti komersial juga terkait dengan
kebijakan loan to value (LTV) dan KPR indent rumah kedua. Namun, sebagian pelaku bisnis properti mendukung
upaya mengurangi risiko investasi dengan terjadinya bubble. Diperoleh pula informasi, masih cukup aktifnya
investor asing dari Singapura, Jepang dan Korea dalam mencari peluang investasi pada properti komersial. Di
tengah suplai properti komersial yang relatif terbatas saat ini, harga properti masih meningkat, meskipun tidak
setinggi dan secepat periode sebelumnya. Hal ini menyebabkan tingkat imbal hasil investasi properti komersial
relatif terjaga pada level yang prospektif.
Pada investasi non bangunan, terdapat indikasi membaiknya kinerja investasi pada perusahaan manufaktur yang
berorientasi ekspor, sejalan dengan kebutuhan peningkatan produksi dan efisiensi. Fenomena ini tercermin dari
adanya akselerasi impor barang modal pada akhir triwulan III 2014. Dari hasil liaison ke perusahaan PMA yang
memproduksi barang elektronik, juga diperoleh informasi rencana relokasi produksi dari negara yang memiliki
tingkat upah lebih tinggi dari Indonesia, diantaranya adalah Tiongkok, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Sejumlah
produsen otomotif dan komponen dari Asia dan Eropa juga beranggapan meningkatnya daya beli dan permintaan
kelas menengah di regional ASEAN, memberikan ruang ekspansi dan investasi yang cukup besar ke depan.
5
Membaiknya investasi non bangunan turut didukung oleh upaya perbaikan regulasi dan sistem perijinan , serta
terjaganya stabilitas ekonomi makro dan politik. Kondisi yang berbeda ditengarai terjadi pada industri manufaktur
yang sebagian besar produknya untuk pemenuhan pasar domestik. Melemahnya permintaan domestik berdampak
pada tertahannya kinerja investasi.
350,000
%
Rp Miliar
40
35
300,000
30
250,000
25
200,000
20
150,000
15
100,000
10
50,000
5
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
Kredit Investasi
2013
2014
g.Kredit Investasi (skala kanan)
Sumber: BKPM, diolah
Grafik III.4.3. Realisasi Investasi PMDN & PMA
Grafik III.4.4. Kredit Investasi
5
Dalam survei Ease of Doing Business 2015 (Bank Dunia) yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya, terlihat adanya perbaikan
dalam fasilitasi investasi. Peningkatan peringkat dari posisi 117 di 2013 menjadi posisi 114 di 2014 disebabkan oleh adanya
perbaikan perijinan dan sistem perpajakan melalui sistem on-line, serta kemudahan memperoleh listrik. Hal ini juga terkait
dengan upaya optimalisasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) baik di level pusat (BKPM) maupun di daerah.
Laporan Nusantara| 84
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Jakarta pada triwulan III 2014 mengalami peningkatan signifikan, sejalan dengan
membaiknya perekonomian global. Ekspor produk Jakarta mampu tumbuh 2,8% (yoy), jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 0,8% (yoy) (Grafik III.4.5). Nilai ekspor
produk Jakarta pada triwulan III 2014 tercatat sebesar USD 2,965 juta, tumbuh sekitar 14,2% (yoy), jauh lebih tinggi
daripada periode yang sama di 2013. Peningkatan ekspor terutama terjadi pada kelompok bahan kimia, barang
manufaktur, dan alat transportasi yang bersumber dari kuatnya permintaan dari negara regional Asia (Grafik
III.4.6).
Peningkatan ekspor produk Jakarta diprakirakan masih berlanjut pada triwulan IV 2014. Perbaikan ekspor
terutama didukung oleh pemulihan perekonomian Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu negara mitra
dagang utama. Dihentikannya program stimulus moneter pada akhir Oktober 2014 merupakan indikasi kuat
pemulihan ekonomi AS yang akan meningkatkan permintaan akan barang-barang konsumsi. Adapun produk
ekspor Jakarta ke pasar AS yang memiliki prospek baik ke depan adalah garmen dan perhiasan. Meski demikian,
perlu dicermati potensi perlambatan ekonomi Tiongkok secara struktural. Hal ini mengingat Tiongkok merupakan
mitra dagang utama Jakarta yang menjadi pasar bagi ekspor produk antara manufaktur. Peningkatan ekspor
manufaktur Jakarta tetap bertumpu pada produk kendaraan bermotor dan komponennya yang memiliki pangsa
terbesar. Prospek ekspor otomotif ke pasar regional (ASEAN) dan pasar-pasar baru seperti Timur Tengah dan Afrika
menjadi andalan dalam mendukung perbaikan ekspor yang permanen di Jakarta. Prospek peningkatan ekspor
otomotif terkonfirmasi dari hasil liaison ke perusahaan komponen spare parts.
Impor
Di tengah tren perbaikan ekspor di Jakarta, nilai dan volume impor pada triwulan III 2014 masih menurun. Namun,
kontraksi pertumbuhan impor tidak sedalam triwulan II 2014 (Grafik III.4.7). Kinerja impor yang menurun
dipengaruhi oleh terbatasnya permintaan barang konsumsi impor pasca-Lebaran. Selain itu, menurunnya investasi
turut menyebabkan lebih rendahnya impor dari sisi barang modal dan bahan baku (Grafik III.4.8). Sempat
melonjaknya impor di tengah triwulan III 2014 ditengarai sebagai langkah antisipasi sejumlah pelaku usaha untuk
meningkatkan stok terkait dengan rencana kenaikan harga BBM yang akan mendorong biaya impor.
Seiring dengan perbaikan ekspor dan investasi, peningkatan kinerja impor Jakarta diperkirakan masih akan terus
berlanjut hingga triwulan IV 2014. Peningkatan impor diprakirakan cukup signifikan yang membawa pertumbuhan
kembali ke level positif. Jenis produk impor yang diprediksi meningkat adalah barang modal dalam bentuk mesin
dan peralatan industri, serta bahan baku pendukung proses produksi. Selain itu, impor yang diidentifikasi cukup
signifikan pada akhir 2014 adalah pengadaan mesin pengeboran tunnel dan alat berat pendukung konstruksi MRT.
Di sisi lain, impor barang konsumsi berpotensi tumbuh terbatas dengan terjadinya kembali pelemahan nilai tukar.
Laporan Nusantara| 85
80
%
%, yoy
100
80
60
60
40
40
20
0
20
-20
0
-40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
-20
2012
g.Nilai Ekspor
2013
-60
2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
g.Volume Ekspor
Bahan Kimia
-40
Grafik III.4.5.Perkembangan Nilai dan Volume
Ekspor
140
2014
%
%, yoy
100
80
100
60
80
60
40
40
20
20
0
0
(20)
-40
2013
Mesin dan Alat Transportasi
Grafik III.4.6. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas
Utama
120
-20
2012
Barang Manufaktur
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
2013
2014
(40)
(60)
1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
-60
-80
2011
g.Nilai Impor
g.Volume Impor
Grafik III.4.7.Perkembangan Nilai dan Volume
Impor
gNilai Impor Konsumsi
2012
2013
gNilai Impor Barang Modal
2014
gNilai Impor Bahan Baku
Grafik III.4.8.Nilai Impor Berdasarkan Jenis
Kinerja Sektor Utama
Sektor Jasa Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan
Kinerja sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang memiliki pangsa PDRB terbesar (26,7%) di
Jakarta tumbuh meningkat pada triwulan III 2014, di tengah tren perlambatan kredit. Sektor ini tumbuh sebesar
5,2% (yoy) dengan dukungan kinerja perbankan dan pasar modal. Meski pertumbuhan kredit di Jakarta di bawah
target pertumbuhan kredit 2014 sebesar 15%-17%, namun perbankan di Jakarta masih mampu mencatatkan
kenaikan nilai tambah. Hal ini disebabkan oleh melebarnya spread antara suku bunga kredit dan simpanan pada
periode awal triwulan laporan. Selain itu, pendapatan perbankan dari provisi dan komisi juga masih meningkat.
Peningkatan di subsektor jasa perbankan juga didukung oleh kinerja pasar modal dengan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) berada di atas level psikologis 5000 (Grafik III.4.9). Kenaikan IHSG bulanan bahkan sempat
mencapai double digit, didorong oleh kepercayaan investor menyusul stabilnya iklim politik pasca terpilihnya
terbentuknya pemerintahan baru. Selain itu, sempat menguatnya nilai tukar hingga ke level Rp11.900 turut
memberikan sentiment positif ke pasar modal.
Laporan Nusantara| 86
%, yoy
Indeks
2500
60
Indeks
6000
50
5000
2000
4000
1500
3000
1000
40
30
20
2000
10
1000
0
-10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
IHSG (skala kanan)
2012
2013
gKredit
gIHSG
2014
gKapitalisasi
Sumber : CEIC, diolah
Grafik III.4.9. Perkembangan Pasar Modal dan Kredit
500
0
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
gEmiten Keuangan
gEmiten Perdagangan
2013
2014
gEmiten Properti
gEmiten Barang Konsumsi
Sumber : CEIC, diolah
Grafik III.4.10. Kinerja Emiten Terpilih Pasar Modal
Subsektor jasa persewaan masih dalam tren melambat sebagai akibat dari melemahnya aktivitas di bisnis
properti pada triwulan III 2014. Kontak liaison mengonfirmasi adanya pelemahan permintaan dan menurunnya
suplai di pasar properti komersial baik gedung kantor, ritel dan hunian komersial. Hal ini menyebabkan kinerja
jasa penyewaan properti komersial mengalami penurunan. Sementara itu, kinerja jasa perusahaan relatif stabil
dengan adanya kenaikan tarif jasa di Jakarta, meskipun aktivitas perekonomian Jakarta yang melemah
berpengaruh pada rasionalisasi penggunaan sejumlah jasa untuk menekan pengeluaran baik korporasi maupun
rumah tangga.
Pertumbuhan pasar keuangan pada triwulan IV 2014 diproyeksikan melambat yang terindikasi dari kinerja pasar
modal (Grafik III.4.10). IHSG kembali melemah dengan masih adanya risiko dari defisit neraca perdagangan dan
fiskal, serta pelemahan nilai tukar. Selain itu, dari sisi global terdapat potensi capital outflow dari pasar keuangan
domestik ke AS, sejalan dengan proses normalisasi kebijakan moneter AS. Pelepasan kepemilikan saham domestik
oleh investor asing ditengarai masih berpotensi terjadi. Indikator pasar modal lainnya adalah Price Earning Ratio
(PER) dari saham di Bursa Efek Indonesia yang sudah menunjukkan sinyal overbought dengan PER 20 - 21 kali. Hal
ini mengindikasikan bahwa IHSG akan tertahan pada level psikologis dalam beberapa waktu ke depan. Adapun hal
positif yang dapat berpengaruh pada ekspektasi pasar modal adalah terjaganya stabilitas ekonomi makro dan arah
kebijakan pemerintahan baru. Di sisi perbankan, pertumbuhan kredit perbankan masih berpotensi tumbuh lebih
lambat dengan masih berlanjutannya risiko pelemahan konsumsi domestik. Kontak liaison mengindikasikan
kecenderungan semakin beratnya beban bunga yang harus ditanggung perusahaan dengan tingkat suku bunga
saat ini. Hal ini mendorong perusahaan untuk lebih menggunakan sumber pembiayaan internal atau membatasi
ekspansi bisnis. Meski demikian, pertumbuhan kredit perbankan diprakirakan masih mampu mencapai double digit
dengan potensi perbaikan investasi dan ekspor ke depan.
Perbaikan kinerja subsektor jasa real estate dan jasa perusahaan diperkirakan juga masih terbatas di triwulan IV
2014. Sesuai pola musimannya, aktivitas bisnis properti cenderung melemah pada masa libur akhir tahun. Lesunya
aktivitas perekonomian dan terbatasnya ekspansi bisnis hingga akhir 2014 juga akan berdampak pada
melambatnya pertumbuhan subsektor jasa perusahaan. Ekspansi belanja pemerintah yang diperkirakan terbatas
dengan adanya pengetatan anggaran, diperkirakan turut memberikan pengaruh pada menurunnya kinerja jasa
perusahaan.
Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri Jakarta pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 3,0% (yoy), lebih lambat dibandingkan
pertumbuhan pada triwulan sebelumnya 3,4%. Hal ini dipicu terutama oleh berkurangnya jam kerja produksi pada
industri manufaktur, sebagai pengaruh dari libur Lebaran. Melambatnya kinerja industri manufaktur juga terkait
dengan indikasi ditahannya produksi otomotif untuk mengantisipasi stok yang besar di tengah menurunnya
Laporan Nusantara| 87
permintaan domestik. Rilis data Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menunjukkan
volume produksi kendaraan roda empat di Jakarta hanya tumbuh sebesar 4,9%, lebih rendah dibandingkan
periode yang sama di 2013.
Kinerja sektor industri pada triwulan IV 2014 diprediksi akan kembali meningkat sejalan dengan perbaikan ekspor.
Indikasi tersebut diperoleh dengan melihat pada tren peningkatan indeks produksi industri secara umum serta
kenaikan impor barang baku (Grafik III.4.11 dan III.4.12). Peningkatan permintaan atas produk hasil industri di
Jakarta diproyeksikan pada produk otomotif, makanan minuman, garmen, dan elektronik. Kinerja produksi di
subsektor otomotif (kendaraan bermotor dan komponennya) berpotensi meningkat dengan adanya kebijakan
6
pendukung investasi. Produksi komponen spare part otomotif berpotensi meningkat baik untuk segmen original
equipment for manufacturer (OEM) maupun untuk segmen pasar suku cadang pengganti atau replacement market
(REM). Kontak liaison produsen komponen kendaraan bermotor memprakirakan pertumbuhan penjualan masih di
kisaran 10%-15% pada periode laporan. Selain itu, laporan liaison pada industri kaca kendaraan bermotor juga
mengindikasikan prospek peningkatan produksi.
Unit
Indeks
140,000
130
125
120,000
120
100,000
115
80,000
110
60,000
105
40,000
100
20,000
95
0
90
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
Produksi Kendaraan Bermotor
2013
2014
Indeks Produksi Industri (skala kanan)
%
60
50
40
30
20
10
0
-10
-20
-30
-40
I
II
III
2011
IV
I
II
III
IV
2012
I
II
III
IV
I
2013
II
III
2014
gImpor Bahan Baku
gProduksi Manufaktur Besar & Sedang
gProduksi Industri Mikro & Kecil
Sumber: CEIC, diolah
Grafik III.4.11. Perkembangan Ekspor Manufaktur
Grafik III.4.12. Impor Bahan Baku dan
Pertumbuhan Produksi Manufaktur
Sektor Konstruksi
Pada triwulan III 2014, sektor konstruksi di Jakarta tumbuh melambat signifikan sebesar 5,1% (yoy). Pertumbuhan
tersebut merupakan yang terendah sepanjang 2014. Meskipun terdapat dukungan dari proyek konstruksi
infrastruktur skala besar, pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan laporan jauh lebih rendah daripada
triwulan sebelumnya (5,7%, yoy). Kinerja sektor konstruksi yang menurun signifikan ini disebabkan oleh
perlambatan pembangunan proyek properti komersial dan terhentinya pengerjaan konstruksi pada saat libur
Lebaran. Hingga akhir triwulan III 2014, penjualan eceran semen hanya tumbuh sekitar 5% (yoy), jauh lebih rendah
daripada pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai sekitar 14% (yoy). Pertumbuhan bahan-bahan
bangunan pada triwulan III 2014 juga lebih lambat daripada triwulan sebelumnya dan periode yang sama di 2013.
6
Peraturan Menteri Perindustrian No 80/M-IND/PER/9/2014 dalam rangka pendalaman dan pengembangan industri
manufaktur kendaraan bermotor diharapkan dapat mendukung ekspansi investasi pada industri otomotif ke depan. Kebijakan
tersebut mengatur tingkat keteruraian kendaraan yang diimpor dalam keadaan terurai sama sekali (completely knocked
down/CKD) dan kendaraan bermotor dalam keadaan terurai tidak lengkap (incompletely knocked down/IKD). Selain itu, juga
dilakukan pengaturan ketentuan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) untuk setiap jenis industri manufaktur yang
bergerak di sektor otomotif.
Laporan Nusantara| 88
Kinerja sektor konstruksi diperkirakan menurun pada triwulan IV 2014. Hal ini merujuk pada data konsumsi semen
hingga Oktober 2014 yang masih menunjukkan berlanjutnya tren penurunan konsumsi semen (Grafik III.4.13).
Diperoleh pula informasi, terjadinya gagal lelang pada sejumlah proyek pembangunan fisik yang didanai APBD,
terkait dengan kendala dalam implementasi sistem online pengadaan. Meski demikian, intensitas pembangunan
fisik sejumlah proyek pembangunan infrastruktur skala besar berpotensi meningkat, khususnya pada konstruksi
proyek terminal peti kemas Kalibaru yang ditargetkan selesai pada akhir 2014. Demikian pula dengan proyek MRT
yang telah masuk pada pengerjaan tunnel bawah tanah.
Terbatasnya pertumbuhan sektor konstruksi juga dipengaruhi oleh prospek properti yang belum akan membaik
pada triwulan IV 2014. Hal tersebut dikonfirmasi oleh perusahaan pengembang maupun konsultan jasa real estate
di Jakarta. Data pertumbuhan harga jual properti residensial yang merupakan proksi tekanan permintaan juga
masih menunjukkan kecenderungan melambat (Grafik III.4.14). Kenaikan suku bunga kredit konstruksi dan
ketentuan KPR indent rumah kedua juga menjadi kendala bagi sejumlah pengembang/kontraktor untuk memulai
pembangunan.
700
Ribu Ton
%, yoy
100
% yoy
25
600
80
500
60
400
40
15
300
20
10
200
0
100
-20
20
5
0
0
-40
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
Konsumsi Semen (ribu ton)
2013
2014
g.Konsumsi Semen (skala kanan)
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III*
2011
2012
gHarga Jual Residensial
Tipe Kecil
2013
2014
Tipe Menengah
Tipe Besar
Sumber : CEIC diolah
Grafik III.4.13. Konsumsi Semen di Jakarta
Grafik III.4.14. Pertumbuhan Harga Properti
Residensial di Jakarta
PERKEMBANGAN INFLASI
Tekanan inflasi di Jakarta pada triwulan III 2014 lebih besar dibandingkan triwulan sebelumnya sebagai pengaruh
dari pola musiman Lebaran, dimana terjadi kenaikan permintaan cukup signifikan khususnya ke komoditas pangan
dan sandang. Akan tetapi inflasi Jakarta pada periode Lebaran 2014 ini relatif lebih lemah dibandingkan tahun
sebelumnya, terkait dengan tren perlambatan konsumsi domestik. Dari kelompok administered price, inflasi dipicu
oleh kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) secara bertahap oleh pemerintah sebagai upaya penghematan subsidi
energi. Selain itu, kenaikan harga gas LPG 12 kg sebesar Rp1.500/kg di awal September 2014 juga memberikan
dampak yang signifikan terhadap inflasi. Di kelompok volatile food, inflasi selama periode laporan dipicu oleh
kenaikan harga daging sapi, beras, dan bawang merah pada periode menjelang Lebaran. Tekanan inflasi ini
berangsur normal kembali di akhir triwulan III 2014 sejalan dengan stabilnya pasokan. Dari kelompok core
inflation, sempat terjadi kenaikan core inflation yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata lima tahunannya. Hal ini
disebabkan oleh kenaikan harga emas dan juga harga sewa/kontrak rumah yang dipengaruhi oleh kenaikan TTL.
Namun, pada akhir periode laporan, koreksi harga emas membuat komponen core inflation menurun cukup
signifikan. Inflasi Jakarta pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 4,84% (yoy).
Pada Oktober 2014, inflasi Jakarta tercatat sebesar 5,17% (yoy) dengan sumber tekanan inflasi bersumber dari
kelompok administered prices, yaitu penyesuaian tarif listrik, kenaikan harga bahan bakar rumah tangga (LPG), dan
tarif angkutan udara. Inflasi Jakarta pada triwulan IV 2014 diprakirakan meningkat dengan pengaruh terbesar
Laporan Nusantara| 89
masih dari kebijakan pemerintah (administered prices) dan faktor global. Penyesuaian bertahap TDL yang berakhir
pada November 2014 masih akan memberikan dampak terhadap inflasi. Selain itu, juga terdapat risiko kelangkaan
dan meningkatnya harga LPG 3 kg sebagai pengaruh kenaikan harga LPG 12 kg. Faktor risiko lain yang sangat
signifikan adalah rencana kenaikan harga BBM untuk mengurangi subsidi energi. Hal ini akan mendorong kenaikan
tarif angkutan serta harga-harga barang dan jasa. Dari komponen volatile foods, tekanan inflasi bersumber dari
lonjakan harga cabai dan potensi kenaikan harga beras terkait dengan kinerja produksi dan dampak dari
kekeringan di sejumlah sentra produksi. Sementara itu, tekanan pada komponen core inflation berasal dari
depresiasi nilai tukar terkait dengan kondisi neraca perdagangan dan kenaikan ekspektasi inflasi sebagai pengaruh
dari potensi kenaikan harga BBM. Di sisi lain, kenaikan harga emas dan harga minyak diperkirakan akan lebih
moderat. Harga minyak ke depan diprediksi belum akan meningkat signifikan, sejalan dengan melambatnya
perekonomian Tiongkok dan masih lemahnya ekonomi Eropa.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Perkembangan inflasi Jakarta dalam beberapa triwulan terakhir yang selalu di atas nasional, menjadi perhatian Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi DKI Jakarta. Sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi Jakarta dalam
kisaran target sasaran inflasi 4,5%±1%, dilakukan Rapat Tim Kebijakan pada September 2014 yang secara khusus
mencermati dinamika tren inflasi Jakarta. Berdasarkan hasil analisis, sejumlah faktor yang menyebabkan lebih
tingginya inflasi Jakarta dibandingkan nasional (Grafik III.4.16) adalah sebagai berikut:
1) Meningkatnya intensitas dampak dari banjir pada inflasi Jakarta. Banjir yang melanda Jakarta dalam 3 tahun
terakhir selalu menjadi penyebab lonjakan inflasi di awal tahun. Terkait dengan hal tersebut,
direkomendasikan adanya upaya pengendalian banjir yang lebih efektif.
2) Kenaikan upah minimum yang cenderung lebih cepat dibandingkan peningkatan produktivitas. Kenaikan
upah minimum ini juga memberikan dampak pada peningkatan upah secara keseluruhan di Jakarta. Dalam
kaitan tersebut, perlu terdapat upaya untuk meningkatkan produktivitas pekerja dan daya saing.
3) Dampak pelemahan nilai tukar rupiah pada inflasi inti di Jakarta yang memengaruhi sebagian barang impor.
%, mtm
3.5
Kenaikan
BBM
3.0
2.5
2.0
1.5
Lebaran
1.0
Banjir
Lebaran
Banjir
Lebaran Banjir
0.5
0.0
(0.5)
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
(1.0)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.4.15. Perkembangan Inflasi Jakarta
2012
Jakarta
2013
2014
Nasional
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.4.16. Inflasi Jakarta dan Nasional
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pembiayaan keuangan korporasi cukup terjaga di tengah melemahnya kinerja perekonomian dan stance kebijakan
moneter ketat. Secara total, penyaluran kredit perbankan tumbuh sebesar 13,1% (yoy) atau melambat signifikan
dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan II 2014 yang mencapai 18,8% (yoy) (Grafik III.4.17). Berdasarkan
jenis kredit, perlambatan terjadi pada kredit konsumsi dan kredit modal kerja (Grafik III.4.18). Dari sisi sektoral,
Laporan Nusantara| 90
penyaluran kredit ke perusahaan jasa real estate atau properti mengalami penurunan terdalam, sejalan dengan
melambatnya kinerja bisnis properti komersial (Grafik III.4.19). Penyaluran kredit ke perusahaan perdagangan
besar dan eceran serta industri pengolahan juga menunjukkan perlambatan. Adapun perlambatan kredit di usaha
perdagangan terutama pada kredit modal kerja. Sementara di sektor industri, melambatnya kredit ditengarai
sebagai dampak dari terbatasnya ekspansi industri yang sebagian besar produknya berorientasi pada pasar
domestik. Sementara itu, korporasi multinasional lebih mengandalkan pembiayaan dari sindikasi lembaga
keuangan di luar negeri serta pembiayaan internal untuk ekspansi.
Dana pihak ketiga (DPK) tercatat masih mengalami peningkatan dengan tumbuh sebesar 16% (yoy) pada triwulan
III 2014. Sementara itu, loan to deposit ratio (LDR) mengalami penurunan menjadi sebesar 88% pada periode
laporan. Meskipun terdapat potensi tertahannya ekspansi bisnis dengan melambatnya penyaluran kredit, namun
kebijakan menahan pertumbuhan kredit diperlukan dalam mendukung stabilitas sistem keuangan. Hal ini merujuk
pada indikasi meningkatnya nonperforming loan (NPL) dan ketatnya kondisi likuiditas semenjak awal 2014. Seiring
dengan melambatnya perekonomian, kinerja pendapatan korporasi cenderung melemah dan memengaruhi
7
kondisi keuangan serta kemampuan untuk melakukan pembayaran bunga kredit. Saat ini, korporasi cenderung
lebih berhati-hati dalam menggunakan pembiayaan kredit, salah satunya dengan melakukan pencairan kredit di
bawah plafon yang telah diberikan. Dalam menyikapi tren peningkatan NPL, perbankan juga cenderung lebih
selektif dan berhati-hati dalam menyalurkan kredit.
Triliun Rp
1,400
% yoy
35
50
% yoy
40
1,200
30
1,000
25
800
20
600
15
0
400
10
(10)
200
5
(20)
0
0
30
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
Kredit
2013
g.Kredit
2014
Grafik III.4.17. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan
20
10
(30)
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
gKredit Modal Kerja
gKredit Investasi
2013
2014
gKredit Konsumsi
Grafik III.4.18. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan
Secara umum rasio NPL di Jakarta masih terjaga di bawah ambang batas risiko (5%). Rasio NPL di sektor
perdagangan dan industri meskipun dalam tren meningkat, tercatat masing-masing masih sebesar 1,8% dan 2,5%
pada akhir triwulan III 2014. Namun, indikator probability of default (POD) menunjukkan tren penurunan baik di
sektor perdagangan maupun industri. Pada akhir triwulan III 2014, POD yang relatif tinggi dicatatkan oleh
perdagangan eceran dan industri yang memiliki ketergantungan impor cukup tinggi. Depresiasi nilai tukar yang
menyebabkan kenaikan biaya produksi diperkirakan memengaruhi kondisi keuangan, terutama pada korporasi
yang memiliki keterbatasan dalam melakukan passthrough harga ke konsumen akhir. Sementara itu, rasio NPL
terhadap total kredit di sektor real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan tercatat sekitar 1%, lebih rendah
dibandingkan dengan akhir 2 triwulan terakhir. Rasio NPL di sektor konstruksi yang terkait dengan subsektor real
estate juga cenderung menurun (Grafik III.4.20). Sama halnya dengan POD di sektor perumahan dan konstruksi
yang dalam tren penurunan pada akhir triwulan laporan. Hal ini perlu menjadi perhatian ke depan, mengingat tren
perlambatan sektor konstruksi belum sepenuhnya tercermin pada pemburukan kualitas kredit.
7
Hasil survei kegiatan dunia usaha juga mengindikasikan sentimen negatif terhadap situasi bisnis, terkait dengan lesunya
kegiatan usaha.
Laporan Nusantara| 91
% yoy
100
4. INDUSTRI PENGOLAHAN
7. PERDAGANGAN BESAR DAN ECERAN
10. PERANTARA KEUANGAN
11. REAL ESTATE, USAHA PERSEWAAN, DAN JASA PERUSAHAAN
80
5.00
%
Rasio NPL Industri
Rasio NPL Perdagangan
4.50
Rasio NPL Konstruksi
4.00
Rasio NPL Real Estate & Jasa Perusahaan
3.50
60
3.00
40
2.50
2.00
20
1.50
1.00
0
0.50
(20)
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
2013
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2014
2011
Grafik III.4.19. Kredit Bank berdasarkan Sektor
Ekonomi
2012
2013
2014
Grafik III.4.20. Rasio NPL Kredit Sektor Utama
Perbankan
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Di tengah melambatnya kredit sektor rumah tangga, ketahanan sektor rumah tangga relatif masih terjaga pada
triwulan III 2014 (Grafik III.4.21). Sejumlah regulasi yang dikeluarkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan,
diantaranya ketentuan LTV, down payment, dan KPR indent rumah kedua turut berpengaruh pada melambatnya
penyaluran kredit perumahan yang memiliki pangsa terbesar. Berdasarkan jenisnya, pembiayaan kredit pemilikan
rumah (KPR) baik tipe 22 – 70 m2 maupun di atas tipe 70 m2 tumbuh melambat pada periode laporan, sejalan
dengan tren peningkatan suku bunga. Meski relatif stabil, rasio NPL pada sejumlah kredit perumahan masih berada
di level yang cukup tinggi (Grafik III.4.23). Salah satu yang perlu dicermati adalah tingginya rasio NPL untuk kredit
pemilikan apartemen (KPA) dengan luas di bawah 21 meter persegi (m2). Rasio NPL KPA sampai dengan tipe 21 m2
tercatat sebesar 3,2%. Sedangkan untuk kredit pembelian ruko/rukan dan KPR tipe 22 – 70 m2, rasio NPL mencapai
sekitar 2,4%.
Sementara itu, kredit kendaraan bermotor relatif tumbuh stabil dan sebaliknya, kredit multiguna tumbuh
meningkat. Gambaran yang berbeda terlihat pada kinerja penyaluran pembiayaan oleh lembaga keuangan (LK) non
perbankan yang dalam tren melambat(Grafik III.4.22). Perlambatan pembiayaan oleh LK non perbankan yang
cukup signifikan adalah pada pembiayaan leasing kendaraan bermotor. Dari sisi risiko kredit, NPL pada kedua jenis
kredit tersebut tetap dalam tren meningkat dari semenjak awal 2014. Meski demikian, peningkatan NPL kendaraan
bermotor roda dua dan empat relatif kecil dan jauh di bawah ambang batas risiko (Grafik III.4.24)
% yoy
170
KPR Tipe 22 s.d. 70
KPR Tipe > 70
90
Roda Empat
Multiguna
80
%, yoy
70
120
60
50
70
40
30
20
20
10
(30)
0
-10
(80)
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
2013
2014
Grafik III.4.21. Perkembangan Kredit Perbankan ke
Rumah Tangga
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
gTotal Pembiayaan
2013
gLeasing
2014
gPembiayaan Konsumen
Grafik III.4.22. Kinerja Penyaluran Kredit LK
NonPerbankan
Laporan Nusantara| 92
6
%
5
5
4
4
3
3
2
2
1
1
0
0
-1
%
6
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2011
2012
2013
Rasio NPL KPR Tipe 22 s.d. 70
Rasio NPL Ruko/ Rukan
2011
2014
2012
2013
Rasio NPL Sepeda Motor
Rasio NPL KPA s.d. Tipe 21
2014
Rasio NPL Keperluan Multiguna
Rasio NPL Roda Empat
Grafik III.4.23. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga
Grafik III.4.24. Rasio NPL Kredit Konsumsi
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pertumbuhan penyaluran kredit di sektor UMKM di Jakarta masih dalam tren yang meningkat pada triwulan III
2014. Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 14,6% (yoy) pada akhir September 2014, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan II 2014 sebesar 10,4% (yoy). Relatif terjaganya tingkat
suku bunga UMKM yang tercatat sebesar 12,35% pada akhir triwulan III 2014, turut mendukung kinerja penyaluran
kredit UMKM di Jakarta. Adanya ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengalokasikan 15% dari total
kredit ke UMKM pada tahun 2015, diprediksi akan menjadi faktor utama pendorong penyaluran kredit UMKM ke
depan. Namun, perlu dicermati kenaikan NPL UMKM seiring dengan meningkatnya pertumbuhan kredit. Rasio NPL
UMKM tercatat sebesar 2,9% pada akhir triwulan III 2014, jauh lebih tinggi daripada rasio NPL pada akhir triwulan
II 2014 yang hanya mencapai 2,3%.
Kinerja Sistem Pembayaran
Perlambatan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta juga tercermin kinerja sistem pembayaran dengan menurunnya
nilai transaksi RTGS pada triwulan III 2014. Nilai transaksi RTGS turun dari Rp46,6 triliun pada triwulan II 2014
menjadi Rp44,6 triliun pada triwulan III 2014. Dilihat dari sisi volume transaksi, transaksi RTGS juga mengalami
penurunan dari rata-rata 18.189 warkat per hari menjadi 15.399 warkat per hari. Penurunan transaksi dan volume
RTGS mengindikasikan pula penurunan kecepatan peredaran uang di Jakarta, sejalan dengan melemahnya aktivitas
perekonomian dan investasi.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Sesuai dengan data pada triwulan III 2014, Jakarta mengalami net outflow sebesar Rp31,7 triliun. Peningkatan
outflow yang tercatat lebih besar dibanding dengan inflow terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Pemilu 2014
dan pemenuhan kebutuhan uang pada masa puasa dan Lebaran. Adapun temuan uang palsu di wilayah Jakarta
tetap melanjutkan tren penurunan sejalan dengan semakin ketatnya pengawasan.
Ribu lembar
1,200,000
1,000,000
60
4,500,000
50
4,000,000
3,500,000
800,000
600,000
30
2,500,000
20
1,500,000
1,000,000
200,000
500,000
-
I
II
III
IV
2012
I
II
III
IV
2013
Volume
I
II
2014
Nominal (skala kanan)
Grafik III.4.25. Transaksi Kliring
III
40
3,000,000
2,000,000
400,000
Triliun Rp
Rp Miliar
5,000,000
10
0
I
(10)
II
III
2010
IV
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
(20)
(30)
Inflow
Outflow
Net Outflow
(40)
Grafik III.4.26. Inflow - Outflow
Laporan Nusantara| 93
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Jakarta diprakirakan tumbuh relatif stabil pada kisaran 5,8% - 6,2% (yoy) di 2015. Meskipun
demikian, perekonomian Jakarta masih dihadapkan pada beberapa tantangan yang berpotensi menahan laju
pertumbuhan di 2015. Peningkatan upah dan biaya hidup maupun biaya produksi, relokasi industri terkait lahan,
dan masih melambatnya sektor properti diprediksi akan menjadi penahan ekonomi Jakarta untuk tumbuh lebih
tinggi di 2015. Di sisi lain, resiliensi konsumsi kelas menengah diprediksi masih terjaga, iklim investasi akan semakin
membaik dan ekspor akan mengalami peningkatan dengan perbaikan ekonomi global dan sistem logistik, termasuk
pengoperasian terminal peti kemas Kalibaru. Stabilitas politik dan ekonomi makro juga akan mendukung stabilnya
perekonomian Jakarta ke depan. Di sisi sektoral, peningkatan kinerja diproyeksikan pada sektor industri
pengolahan dan sektor jasa keuangan, persewaan, jasa perusahaan. Pemberlakuan pasar tunggal ASEAN 2015
diprediksi belum akan memberikan keuntungan pada perekonomian Jakarta dalam jangka pendek. Peningkatan
ekspor jasa Jakarta dalam kerangka kerja sama MEA cenderung masih terhambat oleh kendala infrastruktur dan
rendahnya daya saing.
Prospek Inflasi
Prospek inflasi Jakarta pada 2015 diprakirakan melambat ke kisaran 4,3% - 4,7% (yoy) dengan (skenario baseline).
Namun, dengan kenaikan harga BBM sebesar Rp3.000,- di akhir tahun 2014, maka inflasi Jakarta diprediksi akan
berada pada kisaran 5,8% - 6,2% (yoy) pada 2015. Hal tersebut terkait dengan peningkatan ekspektasi inflasi dan
dampak lanjutan ke tarif angkutan darat. Meningkatnya ekspektasi inflasi tercermin dari hasil survei konsumen
semenjak bulan Oktober 2014. Ditengarai sebagian pelaku usaha telah melakukan penyesuaian harga untuk
mengantisipasi kenaikan harga BBM. Dinamika ekonomi makro, khususnya pergerakan nilai tukar juga turut
memengaruhi realisasi inflasi Jakarta di 2015. Tekanan nilai tukar yang berpotensi menurun dengan adanya
kenaikan harga BBM akan mendukung terjaganya inflasi inti di Jakarta. Selain itu, prospek harga emas dan minyak
yang menurun juga menjadi faktor positif bagi inflasi Jakarta, di tengah risiko peningkatan inflasi administered
prices, khususnya berupa penyesuaian biaya energi.
Laporan Nusantara| 94
Tabel III.4.1.Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jakarta
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
PDRB (%,yoy)
2012
2013
2014
2015
II
III
IVp
Totalp
Ip
Totalp
6.1
I
6.0
6.1
6.0
6.1
6.1
5.8 - 6.2
5.8 - 6.2
I
II
III
IV
Total
6.5
6.5
6.3
6.2
5.6
Sisi Permintaan
5.8
5.3
5.6
6.2
5.6
5.7
6.4
5.7
5.7
5.8
5.9
5.0 - 5.4
5.4 - 5.8
Konsumsi swasta
6.3
5.7
5.9
6.0
5.7
5.8
6.1
6.1
5.8
6.0
6.0
5.6 - 6.0
5.6 - 6.0
Konsumsi Pemerintah
1.1
0.4
2.8
9.5
5.2
4.7
10.7
1.0
3.9
4.4
5.7
2.2 - 2.6
3.6 - 4.0
9.0
5.9
5.0
4.7
5.3
5.3
5.8
4.2
2.1
2.5
3.9
2.8 - 3.2
2.9 - 3.3
Ekspor
6.3
5.7
4.7
3.3
0.6
3.5
0.5
0.8
2.8
3.5
2.5
3.4 - 3.8
3.7 - 4.1
Impor
7.0
4.3
3.2
2.2
0.1
2.5
0.1
-1.1
-0.1
0.9
0.7
1.1 - 1.5
1.3 - 1.7
0.7 - 1.1
0.2 - 0.6
Konsumsi
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Sisi Produksi
0.8
1.5
0.7
2.7
1.8
1.6
1.5
0.9
(1.2)
0.7
0.9
(0.9)
(0.4)
(0.7)
(1.0)
(1.3)
(0.8)
(1.6)
(1.6)
(1.6)
(0.8)
(1.1)
Industri pengolahan
2.4
1.9
1.5
2.8
3.3
2.4
3.9
3.4
3.0
3.4
3.5
3.2 - 3.6
3.3 -3.7
Listrik, gas & air bersih
4.5
3.8
2.6
1.7
2.5
2.9
2.1
2.6
2.4
3.1
2.8
1.9 - 2.3
1.5 - 1.9
Bangunan
6.9
6.5
6.3
5.7
6.1
5.7
5.8
5.7
5.1
4.9
5.5
4.6 - 5.0
4.7 - 5.1
Perdagangan, hotel & restoran
7.2
7.2
7.2
6.6
4.8
6.4
5.6
5.8
5.5
5.6
5.7
5.2 - 5.6
5.3 - 5.7
Pengangkutan & komunikasi
11.8
11.4
11.4
10.9
9.8
10.8
10.6
11.5
11.4
11.5
11.2
10.3 - 10.7
10.8 - 11.2
Keuangan, persewaan dan jasa perush.
5.4
5.7
5.4
5.0
4.6
5.2
4.6
4.6
5.2
5.1
4.6
4.8 - 5.2
4.8 - 5.2
7.6
4.5
7.5
7.4
5.7
7.9
8.4
7.4
8.0
7.5
8.0
7.6
7.8
7.3
7.3
7.5
6.9 - 7.3
7.0 - 7.4
7.8
7.1
4.8
5.3
5.3
4.7 - 5.1
4.3 - 4.7
Sektor pertanian
Sektor pertambangan & penggalian
Jasa-jasa
Inflasi IHK (%,yoy)
5.7
(1.5) - (1.1) (1.6) - (1.2)
Sumber: Badan Pus at Statis tik, diolah
p
Proyeks i Bank Indones ia
Laporan Nusantara| 95
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara| 96
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan III 2014 mencapai 4,5% (yoy), melambat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang mencapai 4,9%. Perlambatan ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera. Dari
sisi permintaan, perlambatan ekonomi dipengaruhi oleh perlambatan investasi dan konsumsi rumah tangga
akibat perlambatan dua sektor utama Sumatera, yaitu pertanian dan pertambangan. Perlambatan sektor
pertanian dipengaruhi oleh menurunnya kinerja perkebunan karet di sejumlah provinsi seperti Sumatera
Selatan, Jambi, dan Bengkulu akibat kekeringan dan harga yang belum membaik. Sementara itu, perlambatan
sektor pertambangan disebabkan oleh penurunan produksi minyak di Provinsi Riau dan gas di Provinsi Aceh.
Inflasi Sumatera sepanjang triwulan III 2014 berada dalam tren yang menurun didukung pasokan yang terjaga.
Beberapa komoditas pangan bahkan mencatat koreksi harga ke bawah, terutama komoditas daging dan aneka
bumbu. Selain itu, berakhirnya base effect kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2013 juga membuat
inflasi kembali ke pola normalnya yaitu sekitar 4% - 5% (yoy). Kendati demikian, tekanan inflasi di beberapa
daerah, seperti di Sumatera Barat, mulai menunjukkan peningkatan akibat permintaan beras dan cabai merah
yang tinggi di tengah keterbatasan pasokan.
Pertumbuhan pembiayaan ekonomi melalui perbankan di Sumatera pada triwulan III 2014 menunjukkan
perlambatan, seiring dengan perlambatan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut. Kredit korporasi tercatat
tumbuh sebesar 10,9% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh sebesar 17,6%. Kondisi ini
dipengaruhi oleh relatif lambatnya proses perbaikan ekonomi global yang menyebabkan harga internasional
beberapa komoditas ekspor utama masih mengalami penurunan. Pelemahan harga komoditas internasional
diperkirakan masih berlanjut hingga akhir tahun 2014. Hal ini perlu dicermati, terutama dampaknya terhadap
peningkatan nonperforming loan (NPL) pada kredit sektor perkebunan, meskipun saat ini NPL secara umum
masih terjaga pada level 3,3%. Sejalan dengan kredit korporasi, kredit yang disalurkan perbankan ke rumah
tangga juga tumbuh melambat, yakni dari 10,3% (yoy) menjadi 9,7%, terutama pada kredit pemilikan rumah,
ruko, dan apartemen.
Pada triwulan IV 2014, kinerja ekonomi Sumatera diperkirakan akan mengalami perbaikan. Investasi yang
membaik dan masih tingginya konsumsi rumah tangga menjadi faktor pendukung perbaikan kinerja ekonomi
Sumatera. Perbaikan investasi didukung oleh peningkatan pembangunan proyek pemerintah pada akhir
tahun. Sementara itu, masih tingginya konsumsi rumah tangga didorong oleh pola musiman akhir tahun serta
membaiknya sektor pertanian. Di sisi lain, impor diprakirakan mengalami perlambatan akibat menurunnya
impor pupuk untuk kelapa sawit yang telah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Dari sisi sektoral,
perekonomian Kawasan Sumatera akan ditopang oleh perbaikan kinerja sektor pertanian, industri
pengolahan, dan konstruksi. Sektor pertanian diperkirakan membaik sejalan dengan meningkatnya kinerja
perkebunan kelapa sawit di Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Sementara itu, sektor industri
pengolahan diperkirakan meningkat, seiring dengan perbaikan kinerja sektor pertanian, produksi makanan
dan minuman di Lampung untuk kebutuhan ekspor dan domestik akhir tahun, serta proyek industri
pengolahan besi dan baja di Kepulauan Riau yang akan selesai pada akhir tahun. Seiring dengan peningkatan
realisasi proyek pemerintah, sektor konstruksi diprakirakan tumbuh membaik. Namun, beberapa faktor risiko
diperkirakan masih membayangi perbaikan kinerja ekonomi Sumatera pada triwulan IV 2014. Perlambatan
ekonomi Tiongkok dan harga-harga komoditas yang masih cenderung rendah menjadi faktor penahan
perbaikan ekonomi Sumatera. Faktor risiko tersebut memengaruhi ekonomi Sumatera melalui jalur ekspor,
terutama crude palm oil (CPO) dan karet. Di samping itu, pemanfaatan teknologi baru di bidang pertambangan
minyak masih belum mampu meningkatkan lifting minyak. Teknologi baru tersebut hanya mampu menahan
laju penurunan lifting minyak.
Bila dilihat secara keseluruhan tahun 2014, perekonomian Sumatera diperkirakan akan mengalami
perlambatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari sisi permintaan, perlambatan disebabkan oleh
menurunnya konsumsi rumah tangga dan ekspor, seiring dengan menurunnya sektor pertanian,
pertambangan, dan industri pengolahan. Perlambatan tersebut memengaruhi pendapatan masyarakat yang
bergantung pada sektor-sektor tersebut. Sektor pertanian melambat terutama pada subsektor perkebunan,
khususnya komoditas karet dan kelapa sawit akibat harga komoditas CPO yang terus menurun. Kinerja sektor
primer lainnya, yaitu pertambangan, masih mengalami kontraksi hingga akhir tahun 2014, akibat penurunan
produksi minyak di Riau, gas di Aceh, dan harga komoditas batubara dan timah yang belum membaik.
Perlambatan sektor perkebunan dan pertambangan Sumatera tersebut turut memengaruhi perlambatan
sektor industri pengolahan Sumatera yang mayoritas mengolah komoditas perkebunan dan pertambangan.
Memasuki triwulan IV 2014, tekanan inflasi di kawasan Sumatera kembali meningkat. Pada bulan Oktober
2014, inflasi tercatat sebesar 4,65% (y.o.y) terutama bersumber dari administered price. Kenaikan harga LPG
12 kg terindikasi ikut mendorong kenaikan permintaan dan harga LPG 3 kg. Selain itu, kenaikan tarif listrik dan
batas atas tarif angkutan udara turut mendorong tekanan inflasi yang lebih tinggi. Atas dasar itu, laju inflasi
pada akhir triwulan IV diperkirakan lebih tinggi daripada triwulan III. Seperti di kawasan-kawasan lain, salah
satu faktor risiko terhadap inflasi di Sumatera adalah rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi. Menghadapi berbagai risiko tersebut, koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) semakin
diperlukan untuk memperoleh solusi pencegahan dampak lanjutan dari kebijakan administered price yang
diambil pemerintah, sehingga tingkat inflasi sepanjang tahun 2014 relatif dapat terjaga.
Pada tahun 2015, ekonomi Sumatera diprakirakan tumbuh pada kisaran 4,7% - 5,1%. Ekspor yang membaik,
terutama didorong oleh perbaikan kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan, menjadi pendukung
utama kinerja ekonomi Sumatera. Perbaikan kinerja ekspor tersebut sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia,
terutama Eropa dan Amerika Serikat yang menjadi pasar produk perkebunan karet dan industri pengolahan
Sumatera. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang diperkirakan masih belum menguat pada
tahun 2015 menjadi faktor risiko yang dapat menahan optimisme kinerja ekspor Sumatera, terutama ekspor
CPO dan batubara. Selain ekspor, kinerja ekonomi Sumatera tahun 2015 juga akan didorong oleh investasi
yang meningkat, terutama investasi bangunan, seperti pembangunan pelabuhan Sungai Lais di Sumatera
Selatan dan double track batu bara di lintas Sumatera Selatan-Lampung, serta pembangunan pabrik industri
pengolahan semen di Padang dan pabrik ban serta besi-baja di Kepulauan Riau.
Inflasi di kawasan Sumatera pada tahun 2015 diprakirakan stabil pada kisaran 4,6% - 5,0% dengan
kecenderungan bias ke atas. Beberapa faktor risiko yang diperkirakan akan memengaruhi tekanan inflasi
mendatang, antara lain produksi bahan makanan yang tumbuh terbatas akibat pergeseran musim tanam di
Sumatera Selatan, Lampung dan Pulau Jawa, berlanjutnya kenaikan TTL rumah tangga kelompok 1500 - 6600
VA dan 450 - 900 VA, serta kenaikan LPG 3 kg.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 98
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) pada triwulan III 2014 melambat dikontribusi oleh
konsumsi rumah tangga dan investasi. Turunnya kinerja konsumsi rumah tangga tidak terlepas dari
melemahnya kinerja sektor utama Sumbagsel yaitu pertanian dan industri pengolahan. Sektor pertanian
mencatat pertumbuhan yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya, terutama disebabkan oleh perlambatan
subsektor perkebunan karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Kondisi subsektor perkebunan karet yang
belum kunjung membaik tersebut menyebabkan industri pengolahan hasil perkebunan di Sumbagsel juga
turut melambat. Sementara itu, investasi mengalami perlambatan yang cukup dalam, terutama investasi
bangunan. Hal ini terkait dengan rendahnya aktivitas di sektor bangunan.
Pada triwulan IV 2014, perekonomian Sumbagsel diprakirakan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Sumbagsel diprakirakan bersumber dari konsumsi rumah tangga
dan investasi. Masuknya masa panen kelapa sawit, diprakirakan akan berdampak positif bagi petani, terutama
dari sisi pendapatan. Hal ini akan menguatkan daya beli dan mendorong aktivitas konsumsi rumah tangga.
Selain itu, meningkatnya konsumsi rumah tangga juga dipicu oleh faktor musiman jelang akhir tahun. Aktivitas
belanja masyarakat diprakirakan akan meningkat, terkait dengan perayaan Natal dan tahun baru. Selanjutnya,
melimpahnya tandan buah segar, hasil panen kelapa sawit, akan memberikan dampak yang positif bagi
aktivitas di industri yang mengolah kelapa sawit (CPO). Sementara itu, investasi yang membaik diprakirakan
disebabkan oleh membaiknya investasi bangunan, sejalan dengan meningkatnya akitvitas di sektor konstruksi.
Berdasarkan perkembangan ekonomi selama triwulan III dan asesmen triwulan IV 2014, pertumbuhan
ekonomi Sumbagsel pada tahun 2014 diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Hal
tersebut disebabkan oleh belum pulihnya perekonomian global yang berdampak pada harga komoditas
internasional yang masih menurun. Kinerja sektor utama Sumbagsel, yang mayoritas mengandalkan produk
sumber daya alam, yaitu karet dan CPO, juga terkena imbasnya. Harga komoditas yang belum beranjak
membaik menjadi penghambat ekspor Sumbagsel. Selanjutnya, kinerja ekspor yang lebih rendah menahan
kegiatan konsumsi rumah tangga dan menurunkan kinerja perekonomian Sumbagsel secara umum.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 melambat dibandingkan dengan triwulan II 2014, yaitu dari
6,1% (yoy) menjadi 5,3% (yoy). Menurunnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut disebabkan oleh
perlambatan subsektor perkebunan, yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat Sumbagsel.
Kinerja subsektor pertanian yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan menyebabkan nilai tukar petani
(NTP), terutama di Sumatera Selatan dan Bengkulu, juga terus menunjukkan pertumbuhan negatif hingga
September 2014. Hal tersebut mencerminkan penurunan tingkat kesejahteraan petani. Sejalan dengan hal
itu, kredit konsumsi perbankan juga menunjukkan perlambatan dari 10,3% (yoy) menjadi 9,9% (yoy) (Grafik
IV.1.1).
Pada triwulan IV 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh meningkat. Hasil Survei Konsumen (SK)
hingga Oktober 2014 menunjukkan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik IV.1.2) mengalami
peningkatan. Selain itu, beberapa event seperti Pekan Olahraga Mahasiswa Asean dan Festival Film Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 99
pada Desember 2014 di Palembang diperkirakan dapat mendorong konsumsi pada triwulan IV 2014. Namun,
adanya perlambatan kinerja sektor utama Sumbagsel mengurangi pendapatan masyarakat secara umum,
sehingga konsumsi masyarakat tahun 2014 masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi pada
tahun 2013.
Rp Triliun
Kredit Konsumsi
%yoy
gKredit Konsumsi (RHS)
60
60.00
50
50.00
40
40.00
30
30.00
20
20.00
10
10.00
0
0.00
I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
2013
I
II
IKK
150
IKE
IEK
140
130
120
110
100
90
I
III
II
2014
III IV
I
II
2011
III IV
I
II
2012
III IV
I
II
2013
III IV*
2014
* hingga Oktober 2014
Grafik IV.1.1. Kredit Konsumsi
Grafik IV.1.2. Survei Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah di wilayah Sumbagsel mengalami peningkatan seiring dengan realisasi gaji ke-13 dan
pengadaan barang pemerintah. Konsumsi pemerintah tumbuh dari 5,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi
8,8% (yoy) pada triwulan III 2014. Hal tersebut tercermin dari realisasi belanja Pemda di Sumbagsel yang
mengalami peningkatan 83,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang mengalami penurunan 6,5% (yoy) (Grafik
IV.1.3). Peningkatan belanja pemerintah daerah juga tercermin dari perlambatan giro Pemda di perbankan
dari 7,94% (yoy) menjadi 4,92% (yoy) pada triwulan III 2014, (Grafik IV.1.4).
Pada triwulan IV 2014, konsumsi Pemerintah diprakirakan melambat setelah tumbuh tinggi pada triwulan III
2014. Kementerian/Lembaga melakukan penghematan anggaran guna mengurangi defisit anggaran.
Penghematan dilakukan melalui surat edaran dari pemerintah agar kegiatan pemerintah menggunakan
fasilitas negara dikurangi. Meski demikian, konsumsi Pemerintah pada tahun 2014 mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tahun 2013, sebagai dampak dari besarnya pengeluaran terkait pemilihan umum
legislatif dan Presiden yang dilakukan sepanjang tahun 2014.
Rp Triliun
12
Pertumbuhan Pendapatan
%yoy
160
140
120
100
80
60
40
20
(20)
(40)
Giro Pemda
Pertumbuhan Belanja
%yoy
80,00
gGiro Pemda
60,00
10
40,00
8
20,00
6
0,00
4
-20,00
2
I
II
III
2013
IV
I
II
2014
Grafik IV.1.3. Pertumbuhan Pendapatan dan
Belanja APBD
III
-40,00
0
-60,00
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
IV
2013
I
II
III
2014
Grafik IV.1.4. Giro Pemda
Investasi
Pada triwulan III 2014 investasi menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Realisasi investasi Sumbagteng tercatat tumbuh sebesar 2,2% (yoy), melambat dibandingkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 100
dengan triwulan II 2014 sebesar 5,0% (yoy). Turunnya kinerja investasi tersebut disebabkan investasi
bangunan yang masih terbatas. Melambatnya kegiatan investasi bangunan juga tercermin dari melambatnya
pertumbuhan kredit investasi (Grafik IV.1.5) dan penjualan semen di wilayah Sumbagsel.
Pada triwulan IV 2014, investasi diprakirakan meningkat. Data menunjukkan bahwa PMA dan PMDN (Grafik
IV.1.6) Sumbagsel masih tumbuh tinggi hingga triwulan III 2014 sehingga diperkirakan investasi pada triwulan
mendatang akan mengalami peningkatan. Beberapa pengusaha melakukan investasi seperti replanting
perkebunan karet dan pendirian dua pabrik pengolahan karet di Provinsi Lampung, serta ekspansi usaha
dengan berdirinya outlet-outlet dealer mobil, cabang perbankan, serta cabang retailer baru di Sumatera
Selatan dan Lampung. Bila investasi keseluruhan tahun 2014 dibandingkan dengan tahun 2013, maka
pertumbuhan investasi tahun 2014 diprakirakan lebih rendah dari tahun sebelumnya. Hal tersebut terkait
dengan perilaku investor yang cenderung menahan realisasi investasi pada tahun 2014. Selain itu, karena
kondisi sektor pertanian yang masih belum membaik, para pengusaha menahan investasi di subsektor
perkebunan.
Rp Triliun
Kredit Investasi
%yoy
gKredit (RHS)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
80
1000
%yoy
800
70
60
50
600
400
PMDN
40
30
20
10
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
IV
I
2012
II
III
2013
IV
I
II
2014
Grafik IV.1.5. Penyaluran Kredit Investasi
III
200
0
PMA
-200
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik IV.1.6. Pertumbuhan Realisasi PMA dan
PMDN
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Pertumbuhan ekspor Sumbagsel pada triwulan III 2014 meningkat signifikan. Lonjakan ekspor tersebut
didorong oleh total volume ekspor luar negeri Sumbagsel yang meningkat hingga 26,7% (yoy) dibandingkan
dengan volume ekspor luar negeri periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut didorong oleh
peningkatan ekspor minyak kelapa sawit, batubara, dan timah yang tumbuh masing-masing hingga 48,9%
(yoy), 31,7% (yoy), dan 18,8% (yoy). Peningkatan minyak kelapa sawit disebabkan produksi kelapa sawit yang
semakin meningkat menjelang akhir tahun (Grafik IV.1.8). Peningkatan ekspor batubara disebabkan oleh
perilaku penambang untuk mengoptimalkan ekspor sebelum diberlakukannya peraturan Eksportir Terdaftar
per September 2014. Penjualan timah menunjukkan pertumbuhan 3,3% (yoy), meningkat dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, volume ekspor karet masih mengalami kontraksi lebih dalam
dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik IV.1.7). Pelemahan rupiah dirasakan dari sisi nilai ekspor
yang meningkat tipis 1,5% (yoy) setelah triwulan II 2014 mengalami kontraksi 7,2% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 101
Juta Kg
Volume Ekspor CPO
Juta kg
%yoy
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
-20.00
-40.00
Pertumbuhan Ekspor CPO (RHS)
800
600
400
200
0
I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
2011
2012
2013
II III
300
%yoy
Volume Ekspor Karet
35.00
Pertumbuhan Ekspor Karet (RHS) 30.00
250
25.00
350
20.00
200
15.00
150
10.00
100
5.00
50
0.00
0
-5.00
I
2014
II
III
IV
I
II
2011
Grafik IV.1.7. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
III
2014
Grafik IV.1.8. Perkembangan Ekspor Karet
Pada triwulan IV 2014, ekspor Sumbagsel diprakirakan akan mengalami kontraksi. Kabut asap, yang melanda
hingga Oktober 2014, diperkirakan cukup mengganggu kinerja ekspor pada triwulan ini. Pekatnya asap
tersebut membuat Pelindo melakukan pengaturan jadwal kapal masuk dan keluar, karena jarak pandang yang
terbatas dan dikhawatirkan mengakibatkan tabrakan antarkapal. Selain itu, ekspor di Lampung diperkirakan
melambat setelah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Di sisi lain, ekspor batubara diperkirakan
melambat akibat peraturan pengendalian ekspor batubara terbaru, yaitu Eksportir Terdaftar. Secara
keseluruhan tahun 2014, ekspor diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013 akibat harga
komoditas yang masih belum membaik.
Impor
Volume impor Sumbagsel pada triwulan III 2014 tumbuh sebesar 24,5% (yoy), melambat cukup dalam
dibandingkan periode sebelumnya sebesar 59,3% (yoy) (Grafik IV.1.9). Namun, dampak depresiasi rupiah
dirasakan cukup signifikan sehingga secara nilai, impor Sumbagsel tumbuh 38,8% (yoy). Perlambatan impor
yang cukup signifikan terutama terjadi pada barang modal (Grafik IV.1.10) dan bahan baku khususnya mesin,
peralatan industri serta pupuk.
Volume Ekspor
gVolume Ekspor (RHS)
Juta kg
7,000
Volume Impor
%yoy
gVolume Impor (RHS) 200
Juta Ton
150
5,000
100
4,000
3,000
50
%yoy
Barang Modal
gBarang Modal (Skala Kanan)
70
6,000
350
300
60
250
50
200
40
150
30
100
2,000
0
1,000
50
20
0
10
0
-50
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
-50
0
-100
I
II
III
2012
Grafik IV.1.9. Perkembangan Ekspor Impor Luar
Negeri
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik IV.1.10. Perkembangan Impor Barang
modal
Impor diperkirakan akan tumbuh melambat pada triwulan IV 2014. Terbatasnya kegiatan ekspor impor di
pintu masuk Lampung diperkirakan akan menghambat pertumbuhan impor Sumbagsel. Selain itu, impor
pupuk diperkirakan akan melambat karena telah memasuki puncaknya pada triwulan III 2014. Secara
keseluruhan tahun, kinerja impor tahun 2014 diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013,
seiring dengan perlambatan konsumsi rumah tangga Sumbagsel.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 102
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Sektor pertanian pada triwulan III 2014 tumbuh terbatas karena menurunnya kinerja subsektor perkebunan
karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Sektor pertanian Sumbagsel tumbuh sebesar 1,0% (yoy), melambat
dibandingkan dengan triwulan II 2014 sebesar 3,0% (yoy). Lebih rendahnya pertumbuhan tersebut terutama
disebabkan oleh perlambatan subsektor perkebunan karet di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Kondisi
perkebunan karet yang belum membaik tersebut ditandai dengan rendahnya harga karet. Kebijakan
pemerintah daerah melalui Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan terkait implementasi bokar (bahan
olahan karet) bersih Sumatera Selatan, dalam rangka meningkatkan nilai tambah karet, belum
diimplementasikan dengan sempurna, akibat belum adanya ketegasan dalam pelaksanaannya. Penurunan
kinerja perkebunan karet ini sudah dirasakan di pasar retail dan kegiatan penghimpunan dana di wilayah
perkebunan karet. Sementara itu, sektor pertanian tanaman bahan makanan (tabama) Lampung masih
tumbuh sehingga dapat menahan perlambatan Sumbagsel lebih dalam lagi.
Kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014 diperkirakan membaik. Produksi perkebunan kelapa sawit
Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Bengkulu diperkirakan mencapai puncaknya pada akhir tahun. Harga
tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hingga Oktober 2014 mulai menunjukkan perbaikan atau tumbuh 27,5%
(yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik IV.1.11). Angka produksi tanaman bahan
makanan (tabama) di Sumatera Selatan juga menunjukkan peningkatan. Angka proyeksi subround III
(September-Desember 2014) tumbuh 9,6% (yoy) atau meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya
yang mengalami kontraksi. Data produksi karet hingga Oktober 2014 masih terkontraksi 7,3% (yoy), namun,
secara volume masih relatif stabil (Grafik IV.1.12). Sektor pertanian Sumbagsel pada keseluruhan tahun 2014
diperkirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2013 karena faktor harga yang masih belum membaik
sehingga mengurangi motivasi petani, khususnya karet untuk berproduksi. Prospek karet masih terbatas
karena banyaknya permasalahan di lapangan seperti tata niaga yang belum baik, edukasi petani yang tidak
menyeluruh, dan tidak diterapkannya peraturan bahan olahan karet (bokar) bersih hingga saat ini.
Rp/kg
2,500
Harga TBS
% Kenaikan (Sumbu Kanan)
%yoy
60.00
50.00
2,000
40.00
30.00
1,500
20.00
10.00
1,000
0.00
-10.00
500
-20.00
0
-30.00
I
II
III
IV
I
2012
II
III
2013
IV
I
II
III
IV*
2014
Ribu Ton
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
-
Sumbagsel
Pertumbuhan (RHS)
%yoy
40
30
20
10
0
-10
-20
-30
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9
2012
2013
2014
Sumber: Gapkindo Sumatera Selatan
Grafik IV.1.11. Harga TBS Kelapa Sawit
Grafik IV.1.12. Produksi Karet
Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan Sumbagsel pada triwulan III 2014 mengalami perbaikan seiring dengan
peningkatan produksi migas dan timah. Sektor pertambangan mengalami peningkatan dari 1,2% (yoy)
menjadi 4,6% (yoy). Realisasi ini cukup tinggi dibandingkan periode-periode sebelumnya. Hal tersebut
terutama didorong oleh kinerja pertambangan Sumatera Selatan yang meningkat. Penambang batubara
mengejar hasil produksi batubara pada September 2014 sebelum peraturan Eksportir Terdaftar berlaku
L a p o r a n N u s a n t a r a | 103
pada 1 Oktober 2014. Peningkatan kinerja sektor pertambangan juga tercrmin dari peningkatan volume
ekspor batubara yang menjadi 4,3% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi.
7
2012
9
11
1
3
5
7
2013
9
11
1
3
5
7
9
17000.0
2014
Sumber: IHS McCloskey (Perkiraan)
Grafik IV.1.13. Perkiraan Produksi Batubara
11*
5
9
3
10
1
8
18000.0
-60
7
0
19000.0
-40
6
200
5
400
20000.0
-20
4
600
21000.0
0
Bloomberg
3
800
22000.0
20
1…
1000
40
2
1200
BKDI
12
1400
USD/MT
11
1600
23000.0
10
1800
%yoy
60
8…
24000.0
gProduksi Batubara (RHS)
9
Produksi Batubara
kt
Sumber: Bursa Komoditas Derivatif Indonesia, Bloomberg
Grafik IV.1.14. Harga Timah
Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan diprakirakan mulai melambat dibandingkan dengan
triwulan III 2014, sejalan dengan sudah diberlakukannya peraturan ekspor batubara dan penertiban izin
usaha penambangan. Salah satu produksi minyak lepas pantai di Lampung akan berhenti beroperasi pada
triwulan ini dan belum adanya penemuan sumur baru, sehingga produksi migas masih akan terbatas. Di sisi
lain, harga komoditas timah mulai menunjukkan perbaikan pada November 2014 (Grafik IV.1.14). Kondisi ini
diperkirakan akan meningkatkan kinerja pertambangan timah. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan
pertambangan Sumbagsel diperkirakan sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2013. Produksi
batubara keseluruhan tahun 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu, seiring mulai beroperasinya
jalan khusus batubara pada pertengahan tahun 2014.
Sektor Industri Pengolahan
Pertumbuhan sektor industri pengolahan di Sumbagteng melambat seiring dengan perlambatan subsektor
perkebunan. Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 4,6% (yoy), setelah tumbuh tinggi mencapai 7,2%
(yoy) pada triwulan II 2014. Kinerja industri pengolahan di Lampung juga tumbuh terbatas, sebagaimana
dicerminkan oleh impor bahan baku penolong (mayoritas industri makanan dan minuman) yang melambat.
Pada triwulan IV 2014, industri pengolahan diprakirakan mulai tumbuh membaik, seiring dengan perbaikan
kinerja subsektor perkebunan. Hal tersebut diindikasi oleh indeks perkiraan kegiatan usaha SKDU sektor
industri pengolahan, yang menunjukkan pertumbuhan dari 0,20 menjadi 1,38. Produksi makanan dan
minuman di Lampung diperkirakan mencapai puncaknya pada triwulan IV 2014 untuk memenuhi kebutuhan
domestik dan ekspor menjelang akhir tahun. Meski demikian, dengan harga komoditas internasional karet
(Grafik IV.1.15) dan CPO (Grafik IV.1.16) yang belum mengalami perbaikan, diperkirakan pertumbuhan
tersebut masih akan minimal. Secara keseluruhan tahun 2014, sektor industri pengolahan diperkirakan
melambat dibandingkan dengan tahun 2013, sejalan dengan perlambatan di subsektor perkebunan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 104
Sumber : Bloomberg
Sumber: Bloomberg
* sampai pertengahan November 2014
* sampai pertengahan November 2014
Grafik IV.1.15. Harga Karet Internasional
Grafik IV.1.16. Harga CPO Internasional
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Sumbagsel sepanjang triwulan III 2014 masih melanjutkan tren penurunan. Inflasi terendah tercatat di
Provinsi Sumatera Selatan yaitu sebesar 3,35% (yoy) dan inflasi tertinggi tercatat di Provinsi Bengkulu sebesar
5,83% (yoy) (Grafik IV.1.18). Tekanan volatile food pada triwulan ini terpantau minimal, terutama karena
pasokan yang terjaga. Bahkan inflasi volatile food mengalami deflasi secara tahunan pada bulan Juli-Agustus
2014, terendah dalam lima tahun terakhir. Koreksi harga terutama terjadi pada komoditas daging serta
bumbu-bumbuan. Di sisi lain, tekanan inflasi kelompok inti relatif stabil. Fluktuasi harga emas internasional
membuat komoditas emas perhiasan mengalami koreksi pada triwulan III 2014 ini. Selain itu, ekspektasi
masyarakat relatif terjaga dengan baik, tercermin dari kenaikan inflasi pada perayaan Idul FItri yang tidak
setinggi periode sebelumnya. Tekanan administered prices pun berkurang dengan berakhirnya base-effect dari
kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan pada tahun 2013. Pada triwulan ini, inflasi Sumbagsel kembali
ke pola normalnya yaitu berada pada kisaran 4% - 5%.
Laju inflasi Sumbagsel mulai menunjukkan peningkatan pada Oktober 2014. Inflasi Oktober 2014 tercatat
4,15% (yoy). Meningkatnya inflasi, terutama didorong oleh komoditas cabai, dipengaruhi oleh berkurangnya
pasokan akibat kekeringan yang melanda sejumlah sentra produksi cabai. Selain cabai, komoditas beras juga
berkontribusi pada peningkatan tekan inflasi di Sumbagsel, sejalan dengan masuknya musim tanam di Jawa
dan gagal panen di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Dari sisi administered prices, dorongan inflasi
disebabkan oleh kenaikan tarif listrik, harga bahan bakar rumah tangga dan tarif angkutan udara.
Tekanan inflasi yang cenderung meningkat diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun 2014. Hal ini disebabkan
oleh beberapa kebijakan administered prices yang diperkirakan akan meningkatkan tekanan inflasi seperti
kenaikan Tarif Tenaga Listrik untuk industri dan beberapa golongan rumah tangga, harga LPG, kenaikan batas
atas tarif angkutan udara, serta pembatasan penyaluran BBM bersubsidi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 105
%yoy
IHK Umum
20.00
Core
Volatile Foods
Adm. Price
%yoy
12.00
15.00
Sumbagsel
Nasional
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
10.00
8.00
10.00
6.00
5.00
4.00
2.00
0.00
1
-5.00
3
7
2012
9
11
1
3
5
7
9
2013
11
1
3
5
2014
7
9
0.00
I
II
III
2012
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.1.17. Disagregasi Inflasi
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
10
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.1.18. Perkembangan Inflasi Sumbagsel
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Pembentukan TPID di Sumbagsel terus mengalami peningkatan. Hingga September 2014 telah terbentuk
sebanyak 20 TPID di wilayah Sumbagsel, dengan TPID di setiap provinsi, 4 TPID kota/kabupaten di Sumatera
Selatan, 3 TPID kota/kabupaten di Bangka Belitung, 7 TPID kota/kabupaten di Lampung, serta 2 TPID
kota/kabupaten di Bengkulu. TPID yang baru terbentuk pada triwulan III 2014 yaitu TPID Kabupaten Lahat di
Sumatera Selatan.
Menjelang pengujung akhir tahun, terdapat beberapa kebijakan terutama administered prices yang
diperkirakan akan meningkatkan tekanan inflasi seperti produksi bahan pangan yang terbatas serta rencana
Pemerintah untuk meningkatkan harga BBM bersubsidi. Guna mengurangi dampak lanjutan dari rencana
kenaikan BBM bersubsidi tersebut, TPID melakukan beberapa langkah di antaranya melakukan pemantauan
harga secara intensif serta pengendalian tarif angkutan publik.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Perlambatan kredit masih terus berlanjut hingga triwulan III 2014 (Grafik IV.1.19). Perlambatan tersebut
sejalan dengan kinerja sektor utama Sumbagsel, yaitu pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan yang
menurun. Total kredit tercatat tumbuh 13,6% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
sebesar 22,9% (yoy). Secara nominal, kredit sektoral tercatat sebesar Rp110,8 triliun, dengan pangsa terbesar
berasal dari Sumatera Selatan sebesar 53,5%, selanjutnya disusul Lampung (32,6%), Bangka Belitung (7,8%),
dan Bengkulu (6,2%). Rata-rata suku bunga kredit sektoral tercatat sebesar 12,59% pada triwulan III 2014,
sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 12,55%. Jika dilihat dari jenis
penggunaan kredit, perlambatan kredit terjadi baik pada kredit modal kerja maupun kredit investasi.
Sementara itu, jika dilihat dari sektor ekonomi, perlambatan terjadi di seluruh sektor utama (Grafik IV.1.20).
Indeks Ekspektasi Usaha dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), menunjukkan bahwa optimisme kegiatan
usaha melemah. Dengan demikian penyaluran kredit kepada sektor usaha atau korporasi diperkirakan masih
akan terbatas (Grafik IV.1.21).
Pertumbuhan kredit yang melambat selama periode laporan juga disertai dengan penurunan kualitas kredit.
NPL total kredit mengalami sedikit peningkatan pada triwulan III 2014 yaitu menjadi sebesar 2,62%
dibandingkan dengan triwulan II 2014 sebesar 2,25% (Grafik IV.1.22). NPL sektor utama terindikasi meningkat
dengan peningkatan tertinggi terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian. Hal tersebut sejalan dengan
penertiban Izin Usaha Penambangan (IUP) batubara di provinsi Sumatera Selatan. Sementara itu, kualitas
kredit konsumsi masih relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 106
Rp Triliun
Kredit Sektoral
120
%yoy
%yoy
gKredit Sektoral (RHS)
60
90
80
100
50
70
80
40
60
60
30
40
20
20
10
0
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
gPertanian
gIndustri Pengolahan
gPHR
50
40
30
20
10
0
III
I
II
2014
III
IV
I
II
2012
Grafik IV.1.19. Penyaluran Kredit Korporasi
III
IV
I
II
2013
III
2014
Grafik IV.1.20. Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi
Utama
4,50
Ekspektasi Kegiatan Usaha
60
gKredit Lapangan Usaha
%
Industri Pengolahan
PHR
4,00
3,50
40
3,00
20
2,50
Pertanian
2,00
0
1,50
-20
1,00
Pertambangan
0,50
-40
I
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV
2011
2012
2013
2014
0,00
I
II
III
IV
I
II
2012
Grafik IV.1.21. Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha –
Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
III
IV
I
2013
II
III
2014
Grafik IV.1.22. NPL Sektor Utama Sumbagsel
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Seiring dengan perlambatan konsumsi rumah tangga Sumbagsel, pertumbuhan kredit sektor rumah tangga
atau kredit konsumsi pada triwulan III 2014 menunjukkan sedikit perlambatan menjadi 10,3% (yoy) atau lebih
rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 9,9% (yoy). Perlambatan terutama terjadi pada
kredit pemilikan rumah untuk seluruh tipe (Grafik IV.1.23). Di sisi lain, kredit kendaraan bermotor (KKB),
terutama roda dua, mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Dari sisi kualitas kredit, NPL sektor rumah tangga relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu
masih berada di level 1,67%. Namun, bila dilihat lebih jauh, beberapa kredit konsumi menunjukkan penurunan
kualitas kredit. Peningkatan NPL di antaranya terjadi pada kredit pemilikan rumah dan kredit multiguna,
sejalan dengan melemahnya kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sektor perkebunan. Sementara
itu, untuk KKB menunjukkan perbaikan kualitas kredit, tercermin dari NPL yang menurun (Grafik IV.1.24).
Rp Triliun
14
KPR, KPA, Ruko,/Rukan
KKB
gKPR, KPA, Ruko/Rukan
gKKB
%
%yoy
140
120
100
80
60
40
20
0
-20
-40
12
10
8
6
4
2
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
KPR, KPA, Rukan
KKB
Multiguna
I
II
III IV
2011
I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III
2014
2014
Grafik IV.1.23. Penyaluran Kredit Tempat Tinggal dan
Kendaraan
Grafik IV.1.24. NPL Kredit Rumah Tangga
L a p o r a n N u s a n t a r a | 107
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit UMKM pada triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp43,8 triliun atau tumbuh 17,9% (yoy), melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 25,4% (Grafik IV.1.25). Perlambatan terjadi
di seluruh sektor utama kredit UMKM yaitu sektor pertanian dan PHR. Struktur sektor yang mendominasi
kredit UMKM masih sama, yaitu sektor PHR, pertanian, dan transportasi dan komundikasi dengan pangsa
ketiga sektor tersebut mencapai 75% (Grafik IV.1.26). Perlambatan total kredit UMKM disalurkan yang juga
disertai peningkatan nominal nonperforming loan (NPL) membuat rasio NPL mengalami peningkatan.
Pertumbuhan jumlah nasabah UMKM tercatat relatif stabil dari 36,7% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi
36,6% (yoy), dengan jumlah rekening mengalami sedikit peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Bank
Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah daerah, senantiasa mendukung pengembangan UMKM dengan
berbagai program clustering komoditas dan kegiatan pengembangan Wirausaha Baru (WUB). Selain itu,
kegiatan edukasi kepada masyarakat guna mendukung perluasan akses keuangan juga terus dilakukan untuk
menambah pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengelolaan keuangan.
50
60
Kredit UMKM
Pertumbuhan (RHS, %yoy)
NPL (RHS,%)
Rp Triliun
40
50
Lainnya
16%
Transportasi dan
Komunikasi
8%
40
30
30
20
Pertanian
19%
Konstruksi
5%
20
10
10
0
PHR
48%
0
I
II
III IV
I
2011
II
III IV
I
2012
II
III IV
I
2013
II
Industri
Pengolahan
4%
III
2014
Grafik IV.1.25. Penyaluran Kredit UMKM
Grafik IV.1.26. Pangsa Kredit UMKM
Kinerja Sistem Pembayaran
Kinerja sistem pembayaran nontunai meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pada triwulan III
2014 transaksi Real Time Gross Settlement (RTGS) mencapai Rp144,7 triliun atau naik signifikan sebesar 23,9%
(yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,1% (yoy) (Grafik IV.1.27). Pertumbuhan ini terjadi
pada seluruh RTGS dari wilayah Sumbagsel maupun keluar Sumbagsel yang masing-masing tercatat Rp44,4
triliun dan Rp100,3 triliun.
Rp Triliun
RTGS
gRTGS (RHS)
Rp Triliun
%yoy
160
45
140
40
120
35
30
100
25
80
20
60
15
40
10
20
5
-
I
II
III IV
2011
I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III
2014
Grafik IV.1.27. Perkembangan RTGS Outgoing
Kliring
gKliring (RHS)
%yoy
30
35
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
-
-
-5
I
II
III IV
2011
I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
I
II
III
2014
Grafik IV.1.28. Perkembangan Perputaran Kliring
Sementara itu, transaksi kliring Sumbagsel pada triwulan III 2014 tercatat sebesar Rp21,5 triliun atau tumbuh
7,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2014 (Grafik IV.1.28). Nilai transaksi yang dilakukan per bilyet
mengalami peningkatan, yang ditunjukkan dengan jumlah bilyet yang menurun. Kualitas transaksi juga
L a p o r a n N u s a n t a r a | 108
menunjukkan peningkatan yang ditandai oleh penurunan bilyet yang ditolak dari 21,5% (yoy) menjadi 1,75%
(yoy) atau sebanyak 11,928 lembar.
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Penurunan kinerja ekonomi Sumbagsel pada triwulan III 2014 tercermin dari perlambatan jumlah transaksi
uang tunai Sumbagsel. Jumlah total transaksi tunai Sumbagsel mencapai Rp16,4 triliun atau tumbuh 12,1%
(yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 20,4% (yoy) (Grafik IV.1.29). Kinerja
uang tunai di Sumbagsel pada triwulan ini mengalami net outflow sesuai dengan pula musimannya dan terjadi
di seluruh provinsi di Sumbagsel kecuali Lampung. Net outflow pada triwulan ini mencapai Rp2,2 triliun rupiah
yang disertai peningkatan rasio pemusnahan uang lusuh terhadap uang kartal yang masuk ke kantor Bank
Indonesia (Grafik IV.1.30). Dalam pengelolaan uang kartal, Bank Indonesia senantiasa melakukan edukasi
kepada masyarakat agar selalu menjaga dan merawat uang rupiah.
Inflow
Rp Triliun
Outflow
Rp Triliun
%yoy
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
-
50.0
40.0
30.0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
IV
I
II
2012
III
2013
IV
I
II
III
70
Pemusnahan Uang Lusuh thd Inflow (RHS)
60
2,5
50
2,0
20.0
1,5
10.0
1,0
-
0,5
-10.0
0,0
-20.0
%
Pemusnahan Uang Lusuh
3,0
40
30
20
10
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
2014
Grafik IV.1.29. Perkembangan Net Flow
Grafik IV.1.30. Perkembangan Pemusnahan Uang
Lusuh
Pada pertengahan November 2014, akan dibuka Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bangka Belitung di
kota Pangkalpinang. Kantor Perwakilan tersebut memiliki fungsi moneter dan sistem pembayaran. Pada awal
pembukaan, fungsi sistem pembayaran yang akan dilakukan mencakup layanan kas, penukaran uang, serta
layanan nontunai kliring. Ke depan, fungsi sistem pembayaran di Kantor Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung akan dilengkapi oleh sistem RTGS, perizinan dan pengawasan jasa sistem pembayaran.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Mencermati perkembangan kondisi saat ini, pertumbuhan ekonomi Sumbagsel tahun 2015 diperkirakan
membaik, dan tumbuh pada kisaran 5,3% - 5,7%. Perbaikan ekonomi ini diperkirakan akan terjadi di seluruh
provinsi di Wilayah Sumbagsel. Pertumbuhan tersebut didasari oleh perbaikan konsumsi rumah tangga dan
investasi, seiring dengan perbaikan sektor pertanian dan industri pengolahan. Komoditas kelapa sawit
diperkirakan masih akan terus tumbuh, seiring dengan permintaan domestik dan dunia akan CPO yang masih
akan terus tinggi. Pemerintah juga diperkirakan akan mendorong pengembangan minyak nabati melalui
mandatori biofuel. Selain itu, permintaan karet diperkirakan juga akan terus menguat seiring dengan
perbaikan ekonomi di Amerika Serikat. Namun, perbaikan harga komoditas internasional diperkirakan masih
terbatas. Di sisi lain, prospek investasi ke depan masih besar.
Perbaikan kinerja ekonomi juga akan didukung oleh aktivitas di sektor bangunan. Beberapa proyek
infrastruktur yang akan digarap tahun depan antara lain, di Sumatera Selatan, proyek multiyears seperti
pembangunan pelabuhan baru, Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api, double track batubara Sumatera
L a p o r a n N u s a n t a r a | 109
Selatan – Lampung, dan infrastruktur lainnya. Selain itu beberapa hotel, restoran middle-up level, dan bioskop
baru dibuka. Hal itu menunjukkan masih terdapat optimisme aktivitas ekonomi yang membaik di Sumbagsel.
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi Sumbagsel pada tahun 2015 diperkirakan akan cenderung meningkat dibandingkan dengan
tahun 2014. Hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh pergeseran musim tanam akibat terjadinya kekeringan
di beberapa sentra produksi, terutama di daerah Sumatera Selatan dan Lampung. Pergeseran musim tanam
akan berdampak pada ketersediaan pasokan bahan pangan di beberapa daerah di Sumbagsel. Selain itu,
beberapa kebijakan pemerintah diperkirakan akan berdampak pada tekanan inflasi administered prices seperti
kenaikan UMP, penyesuaian kenaikan LPG 12 Kg dan tarif tenaga listrik. Namun, dengan tersedianya informasi
harga pangan melalui PIHPS dan koordinasi melalui forum TPID diharapkan gejolak harga yang berlebihan
dapat diminimalisir.
Tabel IV.1.3. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumatera Bagian Selatan
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah
PDRB (%,yoy)
2012
2013
2015P
2014
II
5.8
III
5.6
IV
6.4
Total
5.9
I
5.9
II
5.3
III
4.8
IVp
Totalp
IP
Totalp
6.2
I
6.0
5.6
5.4
5.4 - 5.8
5.3 - 5.7
Sisi Permintaan
Konsumsi
6.5
7.2
7.1
7.5
7.2
7.2
7.1
6.0
5.8
6.4
6.4
6.7 - 7.1
6.4 - 6.8
Konsumsi swasta
6.6
7.6
8.2
7.6
7.7
7.8
7.0
6.1
5.3
6.6
6.2
7.0 - 7.4
6.7 - 7.1
Konsumsi Pemerintah
5.5
3.9
0.4
6.4
4.1
3.7
7.9
5.2
8.8
5.5
6.2
4.9 - 5.3
4.8 - 5.2
11.4
8.4
8.1
6.8
7.2
7.6
7.0
5.0
2.2
4.0
4.3
6.2 - 6.6
6.5 - 6.9
Ekspor
3.5
12.4
10.2
11.0
17.3
12.8
10.0
8.0
13.1
(2.2)
7.0
7.1 - 7.5
3.6 - 4.0
Impor
7.5
10.5
13.4
12.9
28.7
16.7
19.6
14.0
20.8
3.2
13.7
9.6 - 10.0
2.8 - 3.2
Sektor pertanian
5.1
1.8
3.3
3.4
10.6
4.6
5.7
3.0
1.0
2.4
3.0
1.9 - 2.3
3.3 - 3.7
Sektor pertambangan & penggalian
0.8
1.4
2.6
1.0
2.0
1.7
1.5
1.2
4.6
0.5
2.0
1.2 - 1.6
1.6 - 2.0
Industri pengolahan
5.1
8.1
7.0
5.8
5.7
6.6
4.7
7.2
4.6
5.9
5.6
7.4 - 7.8
6.4 - 6.8
Listrik, gas & air bersih
8.7
7.1
8.8
9.5
7.3
8.2
6.1
6.4
6.9
5.8
6.6
7.5 - 7.9
6.9 - 7.3
Bangunan
8.4
10.2
8.7
7.2
4.3
7.5
6.0
5.9
3.9
6.9
5.6
6.8 - 7.2
6.1 - 6.5
Perdagangan, hotel & restoran
7.6
8.7
7.0
7.1
5.0
6.9
7.3
7.4
8.5
9.8
8.2
7.7 - 8.1
7.4 - 7.8
Pengangkutan & komunikasi
11.3
8.7
8.8
7.5
6.9
8.0
8.1
7.9
7.2
7.5
7.5
8.0 - 8.4
7.9 - 8.3
Keuangan, persewaan dan jasa perush.
10.5
10.8
8.6
9.1
7.0
8.9
8.9
9.1
6.3
9.2
8.4
9.2 - 9.6
8.8 - 9.2
8.4
8.7
7.1
10.2
6.4
8.1
3.69
6.22
4.87
7.63
7.63
7.63
8.4
6.20
6.4
5.29
7.7
4.10
8.3
4.46
7.5
4.46
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Sisi Produksi
Jasa-jasa
Inflasi IHK (%,yoy)
7.2 - 7.6 6.1 - 6.5
3.66 - 4.06 4.38 - 4.78
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
p proyeksi Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 110
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) pada triwulan III 2014 tumbuh melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Wilayah Sumbagteng tercatat sebesar
4,1% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 4,5%. Dari sisi penggunaan, lebih
rendahnya pertumbuhan ekonomi Sumbagteng terutama bersumber dari investasi dan ekspor neto yang
mengalami kontraksi. Namun, membaiknya kinerja konsumsi, baik swasta maupun pemerintah, menjadi
penahan perekonomian Sumatera agar tidak melambat lebih jauh. Secara sektoral, melambatnya
pertumbuhan ekonomi Sumbagteng diakibatkan oleh penurunan kinerja sektor pertanian dan industri
pengolahan, sejalan dengan perlemahan harga komoditas yang masih berlanjut. Sementara itu, masih
terkontraksinya sektor pertambangan dan penggalian, akibat penurunan produksi minyak gas di Riau, turut
berkontribusi pada menurunnya kinerja perekonomian Sumbagteng pada triwulan III 2014.
Pada triwulan IV 2014, perekonomian Sumatera Bagian Tengah diprakirakan tumbuh membaik. Perbaikan
ekonomi terutama bersumber dari meningkatnya kinerja investasi, baik investasi pemerintah maupun
investasi swasta, seiring dengan meningkatnya optimisme iklim berusaha, sejalan dengan terbentuknya
pemerintahan yang baru. Selain itu, kinerja perekonomian juga akan didukung oleh konsumsi rumah tangga,
yang diperkirakan masih tetap tumbuh cukup tinggi, meski sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan III
2014. Aktivitas terkait persiapan Natal dan tahun baru akan mendorong meningkatnya kegiatan belanja
masyarakat. Sementara itu, berlanjutnya penurunan harga komoditas CPO dan karet akan berdampak pada
kontraksi ekspor.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi. Konsumsi rumah
tangga tumbuh meningkat dari 7,3% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 7,7% (yoy). Aktivitas konsumsi rumah
tangga yang tinggi tersebut didorong oleh perayaan hari raya Idul Fitri dan masa liburan sekolah. Selain itu,
kegiatan konsumsi rumah tangga tersebut juga didukung oleh perbaikan daya beli masyarakat yang bersumber
dari realisasi gaji ke-13 bagi PNS/TNI/Polri dan Tunjangan Hari Raya (THR) pada awal triwulan III 2014.
Perkembangan beberapa indikator terkini mengindikasikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga relatif stabil
pada triwulan IV 2014, dan masih dalam level pertumbuhan yang cukup tinggi. Aktivitas belanja masyarakat
diperkirakan akan tetap tinggi, seiring dengan persiapan menyambut perayaan Natal dan tahun baru. Namun,
hasil survey konsumen mengindikasikan adanya penurunan optimisme dari konsumen, sebagaimana terlihat
dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober 2014 yang menurun (Grafik IV.2.1). Harga komoditas
CPO dan karet, yang belum sepenuhnya membaik, diperkirakan memengaruhi ekspektasi konsumen akan
kondisi perekonomian pada masa mendatang. Namun, kondisi ini tidak banyak memengaruhi pembiayaan
konsumi masyarakat, sebagaimana tercermin dari pertumbuhan kredit konsumsi yang relatif stabil (Grafik
IV.2.2). Dengan demikian, bila dilihat secara keseluruhan tahun 2014, konsumsi rumah tangga diprakirakan
mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tekanan inflasi tahun 2014,
yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013, menyebabkan daya beli masyarakat tahun 2014
lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 111
Triliun Rp
Indeks
%, yoy
160
70
140
60
120
50
100
40
25
30
20
80
Indeks Keyakinan Konsumen
60
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
40
Indeks Ekspektasi Konsumen
20
Baseline (Batas Positif)
Nominal
45
Pertumbuhan-skala kanan
40
35
30
15
20
10
10
5
-
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
0
I
II
III
2011
2011
2012
2013
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
2014
Grafik IV.2.1. Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik IV.2.2. Penyaluran Kredit Konsumsi
Konsumsi Pemerintah
Sesuai dengan pola historisnya, konsumsi pemerintah terus meningkat hingga triwulan III 2014, seiring dengan
meningkatnya realisasi pengeluaran pemerintah terkait belanja barang dan bantuan sosial, di samping belanja
rutin pegawai. Konsumsi pemerintah tumbuh meningkat dari 4,2% (yoy) pada triwulan II 2014 menjadi 4,6%
(yoy) pada triwulan III 2014. Meningkatnya pengeluaran pemerintah juga terkait dengan pemberian gaji ke-13
bagi PNS/TNI/Polri, yang dicairkan pada awal triwulan III 2014. Masih belum optimalnya kinerja beberapa
satuan kerja pemerintah daerah, menyebabkan kecenderungan belanja pemerintah daerah tidak merata dan
menumpuk dalam jumlah besar pada akhir tahun. Kondisi tersebut terlihat dari simpanan dana milik pemda di
perbankan yang masih terus meningkat pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.3).
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2014 diprakirakan mengalami penurunan akibat base
effect dari tingginya pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Selain itu, realisasi belanja
pemerintah daerah hingga triwulan III 2014 sudah mencapai di atas 60%. Dengan demikian, realisasi belanja
pada triwulan IV 2014 diprakirakan tidak setinggi periode sebelumnya.
Investasi
Kinerja investasi, yang diprakirakan meningkat pascaPemilu, belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Hal
ini terlihat dengan pertumbuhan investasi pada triwulan III 2014 yang tumbuh lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Investasi tumbuh sebesar 5,3% (yoy) pada triwulan III 2014, lebih
rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 5,6% (yoy). Kegiatan investasi pada periode ini masih didominasi
oleh aktivitas proyek-proyek pemerintah, terkait pembangunan infrastruktur di Wilayah Sumbagteng.
Sementara itu, investasi swasta relatif masih terbatas, sejalan dengan pelemahan ekonomi nasional dan belum
solidnya perbaikan ekonomi global. Sejumlah pelaku usaha cenderung menunda ekspansi usaha, menunggu
hingga kondisi usaha lebih kondusif. Investasi yang dilakukan terbatas pada perawatan dan peremajaan mesin.
Kondisi ini juga terlihat pada penurunan nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) serta kredit investasi yang melambat pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.3 dan Grafik IV.2.4).
Pertumbuhan investasi diprakirakan mulai membaik pada triwulan IV 2014. Terbentuknya pemerintahan baru
akan memberikan kepastian bagi pelaku usaha untuk melakukan investasi. Optimisme tersebut terkonfirmasi
dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang memperkirakan peningkatan investasi terjadi hampir di
seluruh sektor ekonomi. Berdasarkan hasil diskusi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah
(BKPMD) di beberapa daerah diketahui sejumlah perusahaan akan mulai berinvestasi pada triwulan IV 2014,
setelah “wait and see” selama periode pemilu. Beberapa investasi swasta di Sumatera Bagian Tengah yang
akan dilakukan pada triwulan IV 2014 antara lain perluasan pabrik semen di Sumatera Barat, investasi
teknologi injeksi kimia pada industri minyak di Riau, dan berlanjutnya investasi industri besi baja pendukung
L a p o r a n N u s a n t a r a | 112
industri migas di Kepulauan Riau. Peningkatan investasi juga ditopang oleh aktivitas pemerintah yang
meningkat, sejalan dengan penyelesaian berbagai tender pada akhir tahun. Secara keseluruhan tahun,
pelemahan ekonomi nasional dan penurunan harga komoditas yang berlanjut, serta ketidakpastian kondisi
usaha jelang Pemilu 2014, menjadi faktor penyebab melambatnya pertumbuhan investasi pada tahun 2014.
Jumlah Proyek
Juta US$/Miliar Rp
PMDN
PMDN (Miliar Rp)-skala kanan
300
PMA
PMA ( Juta US$)-skala kanan
250
4.500
4.000
Triliun Rp
%, yoy
60
Nominal
60
Pertumbuhan-sisi kanan
50
50
3.000
40
40
2.500
30
30
20
20
3.500
200
150
2.000
100
1.500
1.000
50
500
0
0
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
10
10
-
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
2014
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal
Grafik IV.2.3. Investasi PMA dan PMDN
Grafik IV.2.4. Penyaluran Kredit Investasi
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri wilayah Sumbagteng pada triwulan III 2014 menunjukkan perbaikan, meski masih
terbatas. Ekspor Sumbagteng tumbuh 1,9% (yoy) pada triwulan III 2014, meningkat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 2,1% (yoy). Meningkatnya produksi CPO, sejalan
dengan masa panen kelapa sawit, mendorong peningkatan ekspor CPO ke negara tujuan utama. Selain itu,
ekspor produk elektronik di Kepulauan Riau juga terpantau meningkat dalam mengantisipasi peningkatan
permintaan pada akhir tahun. Di sisi lain, ekspor komoditas karet masih menunjukkan perlambatan, seiring
berlanjutnya pelemahan harga yang terjadi. Di sisi lain, penurunan produksi dan rendahnya kualitas batubara
di Jambi menahan peningkatan ekspor di Sumbagteng lebih lanjut.
Kinerja ekspor diprakirakan kembali melemah pada triwulan IV 2014, seiring berakhirnya masa panen dan
harga komoditas utama kelapa sawit dan karet yang belum menunjukkan akan membaik. Selain itu musim
kemarau dan gangguan asap yang terjadi di beberapa Wilayah Sumbagteng memengaruhi produktivitas
tanaman kelapa sawit dan karet. Penurunan kinerja ekspor lebih dalam akan tertahan oleh kinerja ekspor
elektronik dari Kepulauan Riau yang diproyeksikan mengalami peningkatan, dipicu permintaan yang tinggi
menjelang akhir tahun. Secara keseluruhan tahun, kinerja ekspor tahun 2014 diprakirakan melambat akibat
pelemahan harga komoditas sepanjang tahun dan penurunan permintaan sebagai dampak dari pelemahan
ekonomi global dan negara tujuan utama seperti Tiongkok.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 113
%, yoy
80
Ekspor Non Migas
%, yoy
150
Karet Mentah-skala kanan
CPO-skala kanan
Miliar US$
4
Barang Konsumsi
Bahan Baku
g.Brg modal-sisi kanan
120
60
90
40
% yoy
40
Barang Modal
g.Brg Konsumsi-sisi kanan
g.Bhn Baku-sisi kanan
30
3
20
2
0
10
60
20
30
0
0
(20)
(30)
(40)
(60)
I
II
III
IV
I
2011
II
III
IV
2012
I
II
III
IV
I
2013
II
(10)
1
(20)
(30)
-
(40)
III
I
II
III
IV
2012
2014
Grafik IV.2.5. Perkembangan Nilai Ekspor Nonmigas
dan Komoditas Utama
I
II
III
IV
2013
I
II
III
2014
Grafik IV.2.6. Pertumbuhan Nilai Impor Menurut
Kategori Barang
Impor
Impor Wilayah Sumbagteng pada triwulan III 2014 tumbuh meningkat, seiring dengan meningkatnya
kebutuhan konsumsi masyarakat dan kebutuhan industri pengolahan. Pertumbuhan impor Sumatera Bagian
Tengah pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 3,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 3,3% (yoy). Pertumbuhan impor yang lebih tinggi, terutama
didorong oleh impor pupuk, sejalan dengan besarnya kebutuhan pupuk untuk tanaman kelapa sawit pada saat
tingkat curah hujan relatif minim. Selain itu, peningkatan impor juga terjadi untuk barang modal, terutama
terkait dengan investasi pemerintah serta investasi industri mesin dan elektronik di Kepulauan Riau.
Pertumbuhan impor pada triwulan IV 2014 diprakirakan tumbuh melambat, seiring dengan menurunnya
impor pupuk yang telah mencapai puncaknya pada triwulan III 2014. Akitivitas impor yang dilakukan pada
triwulan IV 2014, terutama dalam bentuk barang modal untuk mendukung kegiatan investasi pemerintah,
terkait pembangunan infrastruktur, dan investasi swasta, terkait investasi di industri elektronik. Di samping
itu, pelemahan rupiah, yang diperkirakan masih berlanjut, menjadi kendala kegiatan impor.
Rp/kg
2.000
1.800
1.600
1.400
1.200
1.000
800
600
400
200
-
Harga TBS
Harga CPO Dunia-sisi kanan
35
1.200
30
1.000
25
800
20
250
600
15
200
400
10
200
5
-
-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2012
2013
Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg
2014
USD cent/kg
ribu Rp/kg
USD/MT
1.400
Harga Bokar
Harga Karet Dunia - skala kanan
450
400
350
300
150
100
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2012
2013
2014
Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg
Grafik IV.2.7. Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Grafik IV.2.8. Harga Karet Mentah Domestik (Bokar) dan
Sawit dan CPO Dunia
Karet Mentah Dunia
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2014 melemah, disebabkan oleh rendahnya harga komoditas
perkebunan, musim kemarau dan kabut asap yang melanda di sejumlah wilayah Sumbagteng. Sektor
pertanian tumbuh sebesar 5,6% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan II 2014, yang tumbuh sebesar
6,4% (yoy). Tren penurunan harga kelapa sawit dan karet, yang merupakan komoditas utama Sumbagteng,
L a p o r a n N u s a n t a r a | 114
menjadi penyebab turunnya nilai produksi pertanian di Sumatera Bagian Tengah. Selain itu, produksi
perkebunan juga turun, terutama karet, yang disebabkan oleh menurunnya produktivitas sebagai dampak dari
musim kemarau dan gangguan kabut asap di beberapa wilayah Sumatera Bagian Tengah. Meski demikian, dari
sisi volume, produksi kelapa sawit menunjukkan perbaikan, sejalan dengan masuknya musim panen di
beberapa daerah di wilayah Sumbagteng. Perlambatan juga terjadi pada produksi tanaman bahan makanan,
terutama beras di Provinsi Sumatera Barat. Hal ini mendorong meningkatnya harga gabah di Sumatera Barat.
Meski harga gabah meningkat, hal tersebut tidak mendorong perbaikan Nilai Tukar Petani (NTP) (Grafik IV.2.7
dan Grafik IV.2.8).
Mencermati perkembangan terakhir, kinerja sektor pertanian diprakirakan akan sedikit membaik pada
triwulan IV 2014, seiring dengan membaiknya produktivitas sektor perkebunan. Meningkatnya curah hujan
pada akhir tahun diprediksi mampu meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Namun, pertumbuhan tersebut
diperkirakan masih terbatas akibat belum pulihnya harga komoditas CPO. Selain itu, berlanjutnya kabut asap
yang melanda Jambi dan Riau berpotensi menahan laju pertumbuhan produksi kelapa sawit hingga akhir
tahun 2014. Di sisi lain, membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat, membuka peluang ekspor karet
(crumb rubber) ke negara tersebut. Peluang ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi peningkatan produksi
karet. Namun, rendahnya harga karet, yang kerap menyurutkan optimisme petani, memerlukan pemikiran
lebih lanjut untuk diperoleh jalan keluarnya, agar peluang yang kini ada dapat dimanfaatkan lebih optimal.
Indeks
104
Rp/kg
NTP Umum
NTP Perkebunan
NTP Tanaman Pangan
5.500
Rata-rata Harga Gabah GKP
Pertumbuhan-skala kanan
%, yoy
25
102
5.000
20
98
4.500
15
96
4.000
10
94
3.500
5
92
3.000
0
2.500
-5
100
90
88
2.000
86
-10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.7. Indeks Nilai Tukar Petani Umum dan
Sektor Perkebunan Sumbagteng
2012
2013
2014
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumbar, diolah
Grafik IV.2.8. Harga Gabah di Tingkat Penggilingan
Sumbar
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Kontraksi sektor pertambangan dan penggalian masih berlanjut pada triwulan III 2014 akibat penurunan lifting
migas yang terus terjadi. Sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng terkontraksi 3,3% (yoy) pada
triwulan III 2014, memburuk dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang terkontraksi 2,4% (yoy). Sulitnya
menjaga konsistensi produktivitas sumur-sumur minyak tua, minimnya penemuan sumur baru, dan kurang
efektifnya penggunaan teknologi yang lebih modern di sumur tua menyebabkan lifting minyak sulit untuk
ditingkatkan Grafik IV.2.13). Padahal produksi minyak di Riau, memiliki kontribusi mencapai 88% terhadap
sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng. Di sisi lain, melemahnya harga komoditas batubara dan
adanya Perda terkait aturan distribusi barang tambang, kian memperlemah kinerja sektor pertambangan dan
penggalian Sumbagteng.
Pada triwulan IV 2014, kinerja sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan sedikit membaik, meski
masih mengalami kontraksi dengan besaran yang lebih rendah. Menurut informasi dari contact liaison, dalam
kondisi normal, penurunan lifting per tahunan mencapai 18%-20%. Namun, dengan menggunakan teknologi
berupa injeksi kimia dan aktivitas pengeboran sumur minyak yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun
L a p o r a n N u s a n t a r a | 115
sebelumnya, dapat mengurangi penurunan lifting hingga menjadi 5,9% selama tahun 2014 (Grafik IV.2.9).
Selain itu, terdapat indikasi sejumlah perusahaan pertambangan melakukan investasi secara ekspansif untuk
menahan laju penurunan lifting migas. Hal itu tercermin dari masih tingginya pertumbuhan kredit sektor
pertambangan dan penggalian di Sumbagteng (Grafik IV.2.10). Meskipun demikian, peningkatan tersebut
diprakirakan belum mampu membuat pertumbuhan lifting minyak keseluruhan tahun 2014 mencapai angka
positif.
% yoy
Ribu barel/hari
400
Lifting
10
Pertumbuhan-sisi kanan
350
5
300
250
0
Triliun Rp
4,0
Nominal Sumbagteng
Pertumbuhan Riau-skala kanan
3,5
yoy
250%
Pertumbuhan-skala kanan
200%
3,0
150%
2,5
2,0
200
-5
150
100
-10
100%
33,5%
1,5
0,5
50
0
-15
2013
17,6%
0,0
2014
0%
-50%
I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 910*
2012
50%
1,0
II
III
IV
I
II
2011
III
IV
I
II
2012
III
2013
IV
I
II
III
2014
Sumber: Kementerian ESDM
Grafik IV.2.9. Lifting Minyak Riau
Juta US$
800
Grafik IV.2.10. Penyaluran Kredit Sektor Pertambangan
dan Penggalian
% yoy
35
Nilai Ekspor Produk Elektronik
g.Ekspor Brg. Elektronik-sisi kanan
700
30
25
600
20
500
15
400
10
300
5
0
200
(5)
100
(10)
0
(15)
I
II
III
2011
IV
I
II
III
IV
2012
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik IV.2.11. Nilai Ekspor Produk Elektronik
SBT
30%
Jasa
PHR
Ind. Pengolahan
Keuangan
Bangunan
Pertambangan
Angkutan&Komunikasi
Listrik,Gas&Air Bersih
Pertanian
20%
10%
0%
-10%
-20%
-30%
-40%
Realisasi
Perkiraan
Triwulan III 2014
Triwulan IV 2014
Grafik IV.2.12. Realisasi dan Perkiraan Kegiatan Usaha
Triwulan III 2014 (SKDU)
Sektor Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan Sumbagteng pada triwulan III 2014 masih mampu tumbuh cukup tinggi, meski
sedikit melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor industri pengolahan
wilayah Sumbagteng tercatat sebesar 5,7% (yoy), menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar
5,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh belum membaiknya kinerja industri
pengolahan karet, yang dipicu oleh rendah harga karet di tingkat petani. Harga yang relatif masih rendah
tersebut menurunkan motivasi petani karet dalam memproduksi karet. Di sisi lain, meningkatnya konsumsi
pada periode Idul Fitri dan masuknya periode masa panen kelapa sawit di sebagian besar wilayah
Sumbagteng, menopang pertumbuhan industri pengolahan Sumbagteng. Selain itu, pertumbuhan sektor
industri yang masih cukup tinggi juga didorong oleh meningkatnya aktivitas di sektor industri alat angkut,
mesin dan peralatan seperti elektronik di Kepulauan Riau (Grafik IV.2.11). Peningkatan aktivitas tersebut
sejalan dengan upaya meningkatkan stok dalam mengantisipasi tingginya permintaan pada akhir tahun.
Masih tingginya konsumsi domestik hingga akhir tahun turut mendukung kinerja sektor industri pengolahan
pada triwulan IV 2014. Meningkatnya permintaan akan produk makanan dan minuman pada saat liburan akhir
tahun dan tingginya permintaan produk elektronik dari Kepulauan Riau pada triwulan IV 2014 menopang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 116
pertumbuhan sektor industri pengolahan. Membaiknya kinerja sektor industri pengolahan tersebut tercermin
dari pergerakan permintaan CPO beberapa negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat, yang tercatat mulai
meningkat pada Oktober 2014. Penguatan sektor industri pengolahan juga terkonfirmasi oleh hasil Survei
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang mencatat prakiraan realisasi kegiatan usaha yang lebih tinggi pada triwulan
IV 2014 (Grafik IV.2.12). Namun, potensi berlanjutnya tren penurunan harga komoditas berisiko menghambat
pertumbuhan industri pengolahan lebih tinggi. Secara keseluruhan tahun, kinerja industri pengolahan
melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, didorong oleh pelemahan harga komoditas utama seperti
CPO dan karet.
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju inflasi Sumbagteng pada triwulan III 2014 menunjukkan tren perlambatan, seiring meredanya tekanan
inflasi akibat peningkatan permintaan pada periode Idul Fitri dan base effect kenaikan BBM bersubsidi pada
periode yang sama tahun 2013. Tekanan inflasi dari kelompok volatile food relatif terkendali seiring pasokan
yang terjaga. Dari sisi administered prices, tarif angkutan udara yang mereda setelah meningkat tinggi pada
periode Idul Fitri turut mendorong penurunan inflasi pad triwulan III 2014. Sumatera Barat menjadi provinsi
dengan tingkat inflasi tertinggi di Sumbagteng, yaitu sebesar 6,00% (yoy) (Grafik IV.2.13).
Setelah mengalami perlambatan, perkembangan inflasi terkini hingga Oktober 2014 menujukkan tren
peningkatan. Inflasi Sumbagteng hingga Oktober tahun 2014 tercatat sebesar 5,14% (yoy). Peningkatan inflasi
Sumbagteng disebabkan berkurangnya pasokan beberapa komoditas volatile food seperti cabai merah dan
beras, seiring berlangsungnya musim kemarau di Pulau Jawa dan Sumatera. Selain itu, berlanjutnya kenaikan
TTL pada 1 September 2014 dan imbas kenaikan harga LPG 12 kg, terutama dampaknya pada permintaan LPG
3kg, turut menyumbang kenaikan inflasi dari sisi administered prices (Grafik IV.2.14). Hingga akhir tahun 2014,
tekanan inflasi Sumbagteng diprakirakan terus meningkat. Faktor musiman menjelang akhir tahun, terkait
dengan perayaan Natal dan Tahun Baru, akan mendorong belanja masyarakat, yang dapat memicu kenaikan
harga-harga. Dari sisi administered prices, rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi dan penyesuaian tarif batas atas angkutan udara menjadi faktor risiko meningkatnya tekanan inflasi
pada akhir tahun 2014, yang patut diwaspadai. Sementara itu, inflasi inti diprakirakan relatif stabil didukung
oleh ekspektasi inflasi yang masih terkendali.
%, yoy
20
%, yoy
12
Sumbagteng
Nasional
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Umum
Jambi
10
Volatile Foods
Adm. Price
Core
15
8
10
6
5
4
0
2
-5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2012
2013
2014
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.13. Perkembangan Inflasi Sumbagteng dan
Nasional
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2012
2013
2014
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.2.14. Disagregasi Inflasi Sumbagteng
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Dalam rangka pengendalian inflasi pada triwulan IV 2014, khususnya terkait dengan rencana kenaikan harga
BBM bersubsidi, TPID, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Sumbagteng telah melakukan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 117
berbagai langkah antisipasi pengendalian inflasi. Langkah strategis yang dilakukan oleh TPID antara lain
penguatan koordinasi antar-SKPD terkait dan pihak produsen dan distributor BBM, dalam rangka menjaga
ketersediaan suplai BBM baik subsidi maupun nonsubsidi di wilayah Sumbagteng. Dengan upaya tersebut
diharapkan kenaikan harga BBM tidak menggangu kelancaran distribusi BBM. Langkah lainnya adalah bekerja
sama dengan aparat keamanan untuk menetralisir dampak negatif dari kenaikan harga BBM bersubsidi
dengan menjaga keamanan jalur-jalur distribusi pasokan BBM dari Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM)
hingga ke Stasiun Penyaluran Bahan bakar Umum (SPBU) serta menciptakan opini yang kondusif di masyarakat
untuk meminimalisir dampak negatif ke kelompok-kelompok masyarakat potensial.
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pembiayaan ekonomi melalui perbankan di Sumbagteng pada triwulan III 2014 masih melanjutkan
kecenderungan melambat. Kredit korporasi tercatat tumbuh sebesar 8,7% (yoy), setelah pada triwulan
sebelumnya tercatat tumbuh sebesar 15,9% (yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut terjadi pada
semua sektor utama. Secara sektoral, kredit kepada sektor perdagangan, yang memiliki pangsa tertinggi
sebesar 27,5%, mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 1,6% (yoy). Di sisi lain, meski pertumbuhannya
masih cukup tinggi, kredit sektor pertambangan, sektor pertanian, dan sektor industri pengolahan, sebagai
salah satu sektor utama di Sumbagteng, terindikasi melambat pada triwulan III 2014. Kredit masing-masing
sektor tersebut tumbuh sebesar 33,5%, 24,5%, dan 22,1 (yoy) (Grafik IV.2.15). Indikasi sejumlah perusahaan
akan mulai berinvestasi, setelah bersikap “wait and see” selama masa pemilu, belum terlihat pada
perkembangan kredit industri pengolahan. Sementara itu, masuknya masa tanam kelapa sawit, yang
membutuhkan biaya yang cukup tinggi, terutama dalam pengadaan pupuk, tidak juga mendorong peningkatan
kredit di sektor pertanian.
Melambatnya pertumbuhan kredit di sektor pertambangan dan perdagangan di Sumbagteng, diikuti oleh
menurunnya kualitas kredit di sektor tersebut. Nonperforming loan (NPL) kedua setor tersebut tercatat cukup
tinggi, berada di atas ambang batas level yang dianggap aman (5%) (Grafik IV.2.16). Perlemahan harga
komoditas internasional diperkirakan masih berlanjut hingga akhir tahun 2014, terutama komoditas
perkebungan dan barang tambang. Hal tersebut berpotensi meningkatnya risiko usaha di sektor perkebunan
dan pertambangan. Hal ini perlu terus dicermati, terutama terkait dengan risiko semakin memburuknya
kualitas kredit di kedua sektor tersebut.
Pertanian
Ind. Pengolahan
%
yoy
220%
200%
180%
160%
140%
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
-20%
-40%
g. Pertanian
g. Pertambangan
g. Ind Pengolahan
g. Perdagangan
33,5%
24,5%
22,1%
-1,6%
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik IV.2.15. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
-2
Pertambangan-sisi kanan
Perdagangan
10,3
5,4
2,1
0,5
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik IV.2.16. Perkembangan NPL Kredit Sektor
Utama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 118
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Penyaluran kredit rumah tangga (konsumsi) di Sumbagteng belum menunjukkan pertumbuhan yang membaik
pada triwulan III 2014. Pertumbuhan kredit rumah tangga tercatat sebesar 10,6% (yoy), relatif stabil
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 10,7% (yoy). Penurunan yang cukup dalam terjadi pada
Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yaitu dari 20,7% (yoy) menjadi 8,1% (yoy). Di sisi lain, Kredit Kendaraan
Bermotor (KKB) terus tumbuh positif dan meningkat dari 10,5% (yoy) menjadi 16,4% (yoy) pada triwulan III
2014 (Grafik IV.2.17). Penurunan KPR sejalan dengan hasil liaison yang menyebutkan beberapa pengembang di
Kepulauan Riau lebih berfokus pada akuisisi lahan dan menunda pembangunan properti, menunggu seberapa
besar peluang yang akan muncul, terkait implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada tahun 2015.
Penurunan harga komoditas karet dan kelapa sawit dikhawatirkan akan menggerus daya beli, yang selanjutnya
meningkatkan risiko kredit kepada rumah tangga. Sementara itu, kebutuhan akan alat transportasi pada saat
hari raya idul Fitri berdampak pada meningkatnya pembelian kendaraan bermotor.
Dari sisi kualitas kredit, NPL penyaluran kredit kepada rumah tangga dalam bentuk KPR relatif masih terjaga.
Meskipun demikian, kualitas kredit KPR perlu terus dipantau, mengingat NPL KPR mengalami peningkatan,
yaitu dari 3,5% pada triwulan II 2014 menjadi 3,7% pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.18). Di sisi lain,
peningkatan kredit KKB diiringi dengan membaiknya kualitas kredit, sebagaimana tercermin dari NPL yang
menurun dari 1,3% menjadi 1,1% pada triwulan laporan.
yoy
5
yoy
60
g. Kredit Rumah Tangga
50
g. KPR
g.KKB
NPL Kredit Rumah Tangga
NPL KPR
NPL KKB
4
40
30
16,4
20
3,7
3
8,1
10
10,6
0
-10
1,7
2
1
1,1
-20
-30
0
I
II
III
IV
I
II
2012
III
IV
I
2013
II
III
I
IV
I
II
III
IV
I
II
2013
III
2014
Grafik IV.2.18. Perkembangan NPL Kredit RT
%
g.UMKM
III
2012
Grafik IV.2.17. Pertumbuhan Kredit RT
%,yoy
60
II
2014
6,0
NPL-sisi kanan
50
5,0
5,1
40
4,0
30
3,0
Triliun Rp
%, yoy
300
Total Transaksi RTGS
50
Pertumbuhan - skala kanan
40
250
30
200
20
150
10
20
13,6
2,0
100
10
1,0
50
0
0,0
0
I
II
III
2011
IV
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
0
(10)
(20)
I
III
2012
2014
Grafik IV.2.19. Pertumbuhan Kredit UMKM dan NPL
UMKM
II
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik IV.2.20. Perkembangan Transaksi RTGS
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Sejalan dengan penyaluran kredit perbankan secara keseluruhan yang tumbuh melambat, pertumbuhan kredit
kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Sumbagteng juga menurun pada triwulan III 2014.
Kredit UMKM tercatat sebesar Rp54,0 triliun, atau tumbuh 13,6% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya sebesar 16,0% (yoy) (Grafik IV.2.19). Pangsa kredit UMKM terhadap total penyaluran
L a p o r a n N u s a n t a r a | 119
kredit di Sumbagteng tercatat cukup tinggi, yaitu sebesar 30%. Kredit UMKM sebagian besar tersalur kepada
sektor perdagangan dan sektor pertanian, dengan porsi masing-masing sebesar 43,7% dan 22,3% dari total
kredit UMKM. Menurunnya kredit UMKM ini ditengarai akibat biaya kredit dirasa cukup tinggi, di tengah
perlambatan ekonomi yang terjadi. Sejalan dengan penurunan kredit UMKM tersebut, kualitas kredit UMKM
juga menunjukkan penurunan, dengan tingkat NPL mencapai level 5,1%, berada di atas standar yang berlaku
secara umum. Adapun NPL tertinggi terjadi di Sumatera Barat mencapai 5,9%, sementara NPL terendah
tercatat di Kepulauan Riau sebesar 3,7%.
Kinerja Sistem Pembayaran
Sejalan dengan perlambatan perekonomian Sumatera Bagian Tengah, transaksi kliring juga tumbuh melambat,
yaitu dari 5,3% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 4,6% (yoy) dengan nilai transaksi sebesar Rp19,2 triliun pada
triwulan III 2014 (Grafik 2.20). Penurunan kegiatan transaksi masyarakat setelah masa Idul Fitri dan pascaPemilu menjadi penyebab menurunnya transaksi nontunai, baik nominal maupun volume. Di sisi lain, transaksi
melalui RTGS pada triwulan III 2014 sebesar 8,5% (yoy) meningkat dibandingkan dengan triwulan lalu sebesar
3,7% (yoy), (Grafik IV.2.21). Secara umum, pertumbuhan transaksi nontunai di tahun 2014 relatif membaik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Triliun Rp
%, yoy
25
Total Transaksi Kliring
20
Pertumbuhan - skala kanan
Triliun Rp
8
6
20
15
15
10
4
2
0
-2
10
5
5
0
-4
-6
-8
-10
0
(5)
I
II
III
2012
IV
I
II
III
2013
IV
I
II
III
2014
Grafik IV.2.21. Perkembangan Transaksi SKNBI
Outflow
Inflow
Net Inflow/(Outflow)
-12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2012
2013
2014
Grafik IV.2.22. Perkembangan Pengedaran Uang
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Aliran uang tunai di Sumbagteng mengalami net outflow dengan besaran yang menurun sesuai dengan
karakteristiknya pada triwulan III 2014 (Grafik IV.2.22). Penurunan outflow tersebut terindikasi akibat
meredanya akitivitas ekonomi masyarakat terkait Pemilu, masa libur sekolah, periode Ramadhan pada
triwulan II 2014 yang menyebabkan kebutuhan uang masyarakat meningkat. Dalam mendukung program
Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) Bank Indonesia, Kantor Perwakilan di bawah koordinasi KPw BI Wilayah
VIII terus berupaya mengurangi penggunaan transaksi tunai melalui berbagai kegiatan seperti Launching
Penerapan Kawasan Non Tunai (Less Cash Society) di Universitas Andalas, Padang, serta program kerjasama
dengan Pertamina dalam pembayaran pengisian bahan bakar menggunakan kartu (fuel card) di Batam,
Kepulauan Riau. Selain itu, dalam upaya meningkatkan layanan kebutuhan uang masyarakat, sejalan dengan
clean money policy, Bank Indonesia di wilayah Sumbagteng terus melakukan berbagai upaya seperti berbagai
jenis kegiatan penukaran uang tunai, kas keliling ke daerah-daerah terpencil, kerjasama dengan perbankan,
dan upaya lainnya dalam mendukung keterjangkauan distribusi uang di masyarakat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 120
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Sumbagteng pada tahun 2015 diprakirakan relatif stabil cenderung meningkat
dibandingkan dengan tahun 2014, yakni pada kisaran 4,4% - 4,8% (yoy) (Tabel IV.2.1). Dari sisi penggunaan,
konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, dengan total pangsa sebesar 56%, masih menjadi
penopang pertumbuhan ekonomi Sumbagteng. Ekspor diprakirakan sedikit membaik, ditopang oleh
peningkatan permintaan, seiring perbaikan ekonomi global beberapa negara tujuan ekspor utama. Sementara
itu, kepastian usaha yang membaik diperkirakan dapat mendorong rencana investasi para pelaku usaha. Dari
sisi sektoral, perekonomian Sumbagteng masih ditopang oleh kinerja sektor pertanian, industri pengolahan,
dan perdagangan, hotel, dan restoran yang masih menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi. Menguatnya
konsumsi rumah tangga turut berdampak pada meningkatnya aktivitas di sektor industri pengolahan dan PHR.
Meskipun demikian, beberapa faktor risiko dapat menahan laju pertumbuhan tahun 2015. Risiko tersebut
antara lain, potensi penurunan harga komoditas utama seperti CPO, karet, dan batubara, serta belum pulihnya
perekonomian Tiongkok dapat menghambat kinerja ekspor. Selain itu, berlanjutnya kontraksi sektor
pertambangan sebagai sektor terbesar di Sumbagteng berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih
tinggi.
Prospek Inflasi
Dari sisi harga, tingkat inflasi di wilayah Sumbagteng pada tahun 2015 diprakirakan tetap akan terjaga. Inflasi
Sumbagteng diprakirkan berada pada kisaran 4,6% - 5,0% (yoy). Proyeksi inflasi tersebut mengasumsikan tidak
adanya kebijakan kenaikan harga energi strategis yang signifikan pada tahun 2015. Namun demikian, perlu
diwaspadai beberapa risiko yang berpotensi memicu inflasi tahun 2015 menjadi lebih tinggi yaitu antara lain:
1) berlanjutnya kenaikan TTL rumah tangga, 2) kenaikan TTL industri, 3) penyesuaian tarif LPG hingga menuju
harga keekonomiannya, dan 4) kenaikan UMP 2015. Sehubungan tersebut, meningkatnya komitmen pemda
melalui TPID pada upaya peningkatan produksi pangan, kelancaran distribusi, dan menjaga ekspektasi
masyarakat, serta kerjasama antardaerah diharapkan dapat mendukung kestabilan harga. Program kerja TPID
yang terkoordinasi diharapkan dapat mendukung kegiatan produksi dan distribusi pangan ke depan sehingga
kenaikan harga pangan lebih terkendali dan dapat diantisipasi sebelumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 121
Tabel IV.2.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumbagteng
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Wilayah
PDRB (%,yoy)
2012
2013
2014
2015
4,1
IVp
4,4
Totalp
4,6
Ip
4,0 - 4,4
Totalp
4,4 - 4,8
I
II
III
IV
Total
I
II
III
5,2
4,7
4,5
4,2
5,0
4,6
5,4
4,5
Sisi Permintaan
Konsumsi
6,2
6,8
6,1
5,3
6,3
6,1
5,5
6,8
7,3
6,7
6,6
6,4 - 6,8
5,9 - 6,3
Konsumsi swasta
6,3
7,4
6,8
5,9
5,7
6,4
6,1
7,3
7,7
7,6
7,2
6,3 - 6,7
5,9 - 6,3
Konsumsi Pemerintah
5,3
3,3
2,2
2,1
9,7
4,5
1,9
4,2
4,6
2,1
3,2
7,6 - 8,0
6,0 - 6,4
8,1
8,4
7,9
7,8
7,3
7,8
5,9
5,6
5,3
6,0
5,6
6,7 - 7,1
6,0 - 6,4
Ekspor
3,1
0,4
(0,2)
0,1
6,8
1,8
4,4
(2,1)
1,9
(2,6)
0,2
0,9 - 1,3
1,9 - 2,3
Impor
5,5
3,2
1,4
1,6
1,5
1,9
2,1
(3,3)
3,0
2,7
0,9
1,8 - 2,2
2,6 - 3,0
4,6 - 5
5,5 - 5,9
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Sisi Produksi
Sektor pertanian
3,9
4,1
3,4
4,5
6,3
4,6
6,7
6,4
5,6
5,7
6,1
Sektor pertambangan & penggalian
(0,4)
(4,1)
(1,6)
0,4
1,2
(1,0)
1,8
(2,4)
(3,3)
(2,3)
(1,6) (2,0) - (1,6) (2,4) - (2,0)
Industri pengolahan
4,9
7,4
6,0
5,3
5,2
5,9
5,2
5,9
5,7
6,2
5,7
5,6 - 6,0
5,7 - 6,1
Listrik, gas & air bersih
5,1
6,0
5,8
3,3
4,8
4,9
4,4
4,8
6,3
4,9
5,1
5,3 - 5,7
5,1 - 5,5
Bangunan
11,9
11,5
9,2
8,4
9,4
9,6
9,1
7,4
6,4
7,0
7,4
7,7 - 8,1
7,7 - 8,1
Perdagangan, hotel & restoran
11,3
11,2
8,5
4,9
5,9
7,5
8,0
9,1
10,1
8,9
9,0
7,4 - 7,8
8,1 - 8,5
Pengangkutan & komunikasi
9,0
8,8
8,5
6,2
7,2
7,7
7,2
7,8
7,3
6,8
7,3
6,4 - 6,8
7,3 - 7,7
Keuangan, persewaan dan jasa perush.
8,5
9,5
7,2
5,7
4,9
6,7
4,5
3,9
3,1
4,1
3,9
4,6 - 5,0
6,0 - 6,4
Jasa-jasa
7,6
6,9
7,3
6,1
6,7
6,8
5,3
4,7
3,7
3,8
4,4
4,6 - 5,0
5,1 - 5,5
3,18
4,99
5,52
8,18
9,11
9,11
7,89
6,26
4,86
5,17
5,17
4,9 - 5,3
4,6 - 5,0
Inflasi IHK (%,yoy)
Sumber: Ba da n Pus a t Statis tik, diola h
p
proyeks i Ba nk Indones ia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 122
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian Wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) pada triwulan III 2014 tumbuh melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal tersebut bersumber dari perlambatan ekspor dan konsumsi
pemerintah yang belum optimal. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan ekonomi Sumbagut tercatat sebesar
4,7% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,1% (yoy). Pelemahan konsumsi
turut dipengaruhi oleh kinerja subsektor perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit yang tumbuh
terbatas.
Memasuki triwulan IV 2014, perekonomian Sumbagut diprakirakan mulai membaik seiring dengan perbaikan
konsumsi rumah tangga. Daya beli masyarakat diprakirakan meningkat karena perbaikan kinerja sektor
perkebunan. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi tahun 2014 diprakirakan tumbuh lebih rendah
dibandingkan dengan tahun 2013. Hal tersebut terutama bersumber dari investasi, penurunan harga
komoditas, dan faktor iklim yang menekan pertumbuhan sektor pertanian.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 masih menjadi sumber pertumbuhan utama
perekonomian utama wilayah Sumbagut. Peningkatan belanja masyarakat mejelang Hari Raya Idul Fitri dan
tahun ajaran baru mendorong perbaikan konsumsi. Peningkatan pertumbuhan tersebut juga tercermin dari
masih optimisnya masyarakat terkait keyakinan dan ekpektasi terhadap kondisi ekonomi (Grafik IV.3.1).
Pada triwulan mendatang, konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh stabil. Tingkat optimisme tersebut
terutama didorong oleh rencana pembelian barang-barang tahan lama, rekreasi, dan aktivitas menjelang Natal
dan Tahun Baru. Hal ini terindikasi dari optimism masyarakat sebagaimana tercermin dari Indeks Tendensi
Konsumen dan Indeks Penjualan Eceran. Hal lain yang mendorong peningkatan pertumbuhan hingga akhir
tahun 2014 adalah maraknya big sale (cuci gudang) tiap akhir tahun yang akan memacu peningkatan
pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga
masih tumbuh positif walaupun tidak setinggi tahun lalu.
Sumber: BPS Provinsi Sumut dan Aceh, diolah
Grafik IV.3.1. Perkembangan Kondisi, Keyakinan dan
Ekpektasi Konsumen terhadap Perekonomian
Grafik IV.3.2. Indeks Tendeksi Konsumen dan Indeks
Penjualan Eceran
L a p o r a n N u s a n t a r a | 123
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah pada triwulan III 2014 tumbuh melambat. Hal itu tercermin dari tingkat realisasi APBD di
1
Provinsi Aceh sampai dengan akhir triwulan laporan tercatat sebesar 53,9% dari APBD 2014 . Senada dengan
2
hal itu, realisasi APBD Provinsi Sumatera Utara hingga akhir triwulan III 2014 juga baru mencapai 52,02% .
Idealnya, hingga triwulan III realisasi belanja pemerintah telah mencapai 70%. Lambatnya realisasi konsumsi
pemerintah tersebut juga terkonfirmasi dari nilai outstanding rekening giro pemerintah daerah Provinsi
Sumatera Utara di perbankan yang relatif masih cukup besar.
Pertumbuhan konsumsi pemerintah diprakirakan akan kembali meningkat pada triwulan IV 2014. Hal ini
sejalan dengan semakin meningkatnya realisasi anggaran pemerintah hingga akhir tahun sesuai dengan pola
realisasinya. Peningkatan penyerapan konsumsi Pemerintah tersebut diperkirakan akan ikut mendorong
peningkatan konsumsi Wilayah Sumbagut hingga akhir tahun 2014. Kendati demikian, secara keseluruhan
tahun, realisasi konsumsi pemerintah masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu.
Investasi
Kinerja investasi di wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yaitu dari 4,6% (yoy) menjadi 4,9% (yoy). Hal yang mendorong peningkatan investasi diantaranya
adalah selesainya pemilu presiden yang meningkatkan kestabilan situasi politik sehingga memacu kepercayaan
pelaku usaha. Meningkatnya kinerja investasi, selain didorong oleh sektor swasta, juga didorong oleh realisasi
investasi pemerintah seiring dengan realisasi belanja modal yang terus meningkat sejak awal triwulan III 2014.
Tingginya pertumbuhan investasi di Provinsi Aceh (dari 5,6% menjadi 6,9%, yoy) turut menjadi pendorong
meningkatnya kegiatan investasi di wilayah Sumbagut.
Pada triwulan mendatang, kinerja investasi diprakirakan akan tumbuh melambat. Hal tersebut terindikasi dari
prompt indicator seperti penjualan semen yang mulai tumbuh melambat (Grafik IV.3.3). Selain itu,
pembiayaan dari perbankan berupa kredit investasi juga masih cenderung mengalami perlambatan
pertumbuhan (Grafik IV.3.4). Realisasi proyek-proyek pemerintah yang biasanya meningkat pada akhir tahun
diprakirakan masih belum dapat mendorong akselerasi pertumbuhan investasi secara keseluruhan tahun,
sehingga pertumbuhannya masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013.
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Grafik IV.3.3. Penjualan Semen di Sumbagut
1
2
Grafik IV.3.4. Penyaluran Kredit Investasi Sumbagut
Hasil FGD dengan Dirjen Perbendaharaan Kantor Wilayah Aceh
Hasil FGD dengan Biro Keuangan Provinsi Sumatera Utara
L a p o r a n N u s a n t a r a | 124
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Realisasi kegiatan ekspor luar negeri pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya, walaupun secara volume masih mengalami peningkatan (Grafik IV.3.5). Penurunan
kegiatan ekspor dipengaruhi oleh belum pulihnya harga CPO di pasar internasional serta masih relatif
rendahnya pemulihan harga karet (berkisar 160 sen USD pada akhir Oktober 2014) di pasar internasional.
Harga karet di pasar internasional pada akhir triwulan III 2014 turun hingga 25% (yoy), sedangkan harga CPO di
pasar internasional turun 11% (yoy). Selain itu, penurunan signifikan produksi gas di Provinsi Aceh, yang
menyumbang 90% dari total ekspor, turut memperdalam tekanan pertumbuhan ekspor pada triwulan ini.
Kinerja ekspor pada triwulan mendatang diprakirakan akan kembali membaik. Perbaikan kinerja ekspor tersebut
diduga akan didorong oleh peningkatan ekspor komoditas utama seperti karet. Hal ini terutama dipengaruhi
kebijakan pengenaan kontrak harga minimum penjualan karet oleh beberapa perusahaan karet Indonesia yang
diharapkan dapat menahan pelemahan harga karet semakin dalam. Membaiknya kinerja industri pengolahan
negara tujuan ekspor diprediksi akan memengaruhi peningkatan kinerja ekspor di wilayah Sumbagut (Grafik
IV.3.6). Secara keseluruhan tahun, ekspor Sumbagut diprakirakan masih akan tumbuh lebih tinggi
dibandingkan dengan dengan tahun lalu.
Sumber: Bloomberg
Grafik IV.3.5. Perkembangan Ekspor Sumbagut
Grafik IV.3.6. Purchasing Managers Index (PMI)
Negara Tujuan Ekspor Utama Sumbagut
Impor
Realisasi impor luar negeri Sumbagut hingga triwulan III 2014 tumbuh melambat dibandingkan dengan
periode sebelumnya, baik secara volume maupun nilai (Grafik IV.3.7). Penurunan impor tersebut seiring
dengan kecenderungan menurunnya bongkar muatan di pelabuhan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Hal ini
misalnya terjadi di Kota Krueng Guekeuh, Provinsi Aceh. Dari kegiatan liason diperoleh informasi bahwa
sedikitnya kapal yang menuju pelabuhan ekspor-impor dipengaruhi pertimbangan pelaku usaha terkait
keuntungan yang akan didapat dan biaya yang akan ditanggung. Kapal yang mengangkut barang impor ke
wilayah Sumbagut seringkali kembali dalam keadaan tanpa muatan karena tidak membawa ekspor dari
Sumbagut sehingga menyebabkan ongkos logistik yang relatif tinggi. Penurunan impor pada triwulan laporan
terutama terjadi untuk kelompok barang modal.
Kinerja impor luar negeri pada triwulan IV 2014 diprakirakan akan kembali tumbuh meningkat. Peningkatan
tersebut diperkirakan didorong oleh pemenuhan kebutuhan bahan pokok menjelang perayaan Natal dan
Tahun Baru. Selain itu, peningkatan ini juga didorong oleh kembali meningkatnya kebutuhan barang modal
dalam rangka memenuhi kebutuhan realisasi proyek-proyek pemerintah. Pertumbuhan impor untuk tahun
L a p o r a n N u s a n t a r a | 125
2014 secara keseluruhan diprakirakan masih akan tumbuh positif, meskipun tidak akan lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2013.
Grafik IV.3.7. Perkembangan Impor Sumbagut
Grafik IV.3.8. Indeks Penjualan Eceran
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Pertumbuhan sektor PHR pada triwulan III 2014 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan lalu.
Peningkatan kinerja sektor ini terutama didorong oleh meningkatnya aktivitas perdagangan besar dan eceran
selama bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, serta masa tahun ajaran baru. Selain itu, banyaknya event
berskala nasional seperti Festival Danau Toba (FDT) serta kegiatan Apresiasi Film Indonesia (AFI) turut
mendorong peningkatan sektor ini.
Peningkatan kinerja sektor PHR diprakirakan masih akan berlanjut pada triwulan mendatang. Optimisme
tumbuhnya sektor ini didorong oleh peningkatan aktivitas perdagangan menjelang Natal dan tahun baru. Hal
ini salah satunya tercermin dari Indeks Penjualan Eceran yang masih tumbuh dengan baik (Grafik IV.3.8).
Tingkat hunian kamar (occupancy rate) yang masih meningkat juga mendorong pertumbuhan subsektor
perhotelan kedepan. Hal tersebut didukung oleh penyaluran kredit perbankan ke sektor PHR secara umum
hingga triwulan laporan masih tumbuh sebesar 13,08% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Perbaikan
kinerja sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sepanjang tahun 2014 mendorong pertumbuhan sektor ini
lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.
Sektor Pertanian
Sektor pertanian pada triwulan III 2014 mengalami perlambatan. Penurunan kinerja sektor pertanian ini
terutama didorong oleh kekeringan yang terjadi di Provinsi Aceh, puso akibat tingginya curah hujan di
Sumatera Utara, erupsi Gunung Sinabung, serta masuknya musim tanam padi. Kekeringan yang terjadi di Aceh
masih menyisakan dampak pada hasil panen dan diperparah dengan tidak optimalnya irigasi. Hal ini
menyebabkan realisasi tanam padi pada hanya mencapai 65% dari rencana awal.
Kinerja sektor pertanian Sumbagut pada triwulan IV 2014 diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi dari periode
sebelumnya. Hal tersebut didorong oleh peningkatan produksi padi seiring datangnya masa panen pada akhir
tahun 2014. Survei Kegiatan Dunia Usaha juga menyatakan optimisme pelaku usaha di sektor pertanian yang
masih terjaga hingga triwulan mendatang (Grafik IV.3.9). Hal tersebut juga didukung dengan penyaluran kredit
kepada sektor ini, terutama untuk komoditas utama seperti CPO dan karet yang masih tumbuh positif (Grafik
IV.3.10). Sektor ini secara keseluruhan tahun masih akan tumbuh positif meskipun diperkirakan tidak akan
setinggi tahun sebelumnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 126
Grafik IV.3.9. Perkiraan Kegiatan Usaha Sektor
Pertanian
Grafik IV.3.10. Penyaluran Kredit ke CPO dan Karet
Sektor Industri Pengolahan
Seiring dengan perlambatan sektor pertanian, kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan III 2014 juga
tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penurunan sektor ini didorong oleh
tertahannya kinerja perusahaan pengolahan karet dan CPO karena melemahnya harga komoditas dunia. Harga
CPO internasional hingga bulan September 2014 masih mengalami penurunan sebesar 11,5% (yoy), sedangkan
harga karet internasional bahkan turun lebih dalam yaitu hingga 25% (yoy). Masih rendahnya kedua harga
komoditas tersebut berdampak pada menurunnya kegiatan produksi perusahaan industri pengolahan, yang
tercermin dari masih negatifnya pertumbuhan tahunan ekspor olahan karet dan semakin dalamnya
penurunan pertumbuhan tahunan ekspor CPO. (Grafik IV.3.11)
Perlambatan sektor Industri Pengolahan diprakirakan akan terus berlanjut pada triwulan IV 2014. Perkiraan
tersebut didukung oleh kecenderungan masih tertahannya pertumbuhan ekonomi negara tujuan utama
ekspor seperti Tiongkok, masih terus melemahnya harga komoditas CPO dan karet, serta masih melambatnya
pertumbuhan penyaluran kredit di sektor industri pengolahan (Grafik IV.3.12). Persistensi perlambatan
pertumbuhan sektor ini dari triwulan ke triwulan sepanjang tahun 2014 mencatatkan pertumbuhan
keseluruhan tahun yang melambat dibandingkan dengan tahun 2013.
Grafik IV.3.11. Ekspor Manufaktur
Grafik IV.3.12. Penyaluran Kredit Perbankan Ke Sektor
Pengolahan Sumbagut
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 tercatat sebesar 4,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan
dengan triwulan lalu yang mencapai 6,1% (yoy). Penurunan inflasi tersebut terjadi baik di Provinsi Aceh
maupun Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan kota penyumbang inflasi, inflasi tertinggi di wilayah Sumbagut
pada triwulan III 2014 terjadi di Kota Meulaboh (7,52%) sementara inflasi terendah terjadi di Kota
L a p o r a n N u s a n t a r a | 127
Padangsidempuan (3,8%; yoy). Sedangkan berdasarkan disagregasi, inflasi volatile foods dan administered
prices mulai mengalami kenaikan, sementara inflasi inti masih cukup stabil dengan kecenderungan meningkat.
(Grafik IV.3.14). Peningkatan inflasi tersebut terutama didorong oleh komoditas cabe merah (keriting segar
dan merah besar) yang mengalami kenaikan harga sebagai dampak dari turunnya produksi akibat pergeseran
3
pola masa tanam dan panen pada kelompok sayuran di tengah masih tingginya permintaan.
Hingga Oktober 2014, inflasi Sumbagut tercatat sebesar 4,5% (yoy), melanjutkan tren peningkatan sejak
Agustus 2014. Tekanan inflasi diduga tetap akan mengalami peningkatan hingga akhir tahun 2014. Kelompok
volatile foods diperkirakan masih menjadi penyumbang terbesar kenaikan tekanan inflasi di Sumbagut, seperti
cabe merah, tomat buah, tomat sayur, dan bawang merah, terutama karena semakin tingginya permintaan
komoditas tersebut menjelang Natal dan Tahun Baru di tengah terbatasnya pasokan akibat kembali terjadinya
erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo. Potensi tekanan tersebut juga diperkuat dengan peningkatan
risiko pada kelompok administered prices. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TTL) tahap tiga dan
implementasi kenaikan tiket pesawat sekitar 10% untuk tiket ekonomi pada November serta rencana kenaikan
BBM diduga semakin meningkatkan tekanan inflasi hingga akhir tahun ini.
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.3.15. Inflasi Aceh, Sumut, Sumbagut, dan
Nasional
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.3.16. Disagregasi inflasi Sumbagut
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Dalam memperkuat peranan TPID dalam menghadapi kendala, permasalahan, dan tantangan tekanan inflasi
terutama pada kelompok volatile food, TPID se-Sumbagut membuat program-program sebagai berikut:
1) Meningkatkan kerjasama perdagangan antardaerah di bidang ketahanan pangan dalam bentuk
komitmen bersama antar-SKPD se-Sumbagut.
2) Meningkatkan ketersediaan dan kualitas data atau informasi terkait dengan surplus defisit pangan di
setiap daerah oleh TPID yang akan dijadikan acuan dalam melakukan kerjasama perdagangan
antardaerah.
Sementara itu, hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengendalian inflasi terutama pada triwulan IV
2014 adalah sebagai berikut:
1) Antisipasi terhadap tekanan inflasi pada subkelompok makanan jadi dan sandang terkait dengan
perayaan Natal dan Tahun Baru.
3
Hal ini juga terkonfirmasi melalui Survei Pemantauan Harga yang dilakukan oleh KPw Wilayah IX. Survey tersebut
menunjukkan cabe merah (keriting segar dan merah besar) mengalami tren peningkatan harga sejak Agustus 2014.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 128
2) Kemungkinan tekanan dari kelompok administered price terutama terkait dengan kebijakan pemerintah
untuk menaikkan tarif tenaga listrik, BBM bersubsidi dan tarif angkutan udara.
3) Adanya perlambatan angin di Selat Karimata hingga Laut Seram yang mengakibatkan kelembaban udara
cukup tinggi di sebagian wilayah Sumatera bagian Utara. Kondisi tersebut mendukung pertumbuhan
awan-awan hujan di sebagian wilayah Sumatera yang berpotensi menimbulkan hujan lebat di Aceh
bagian Selatan dan Sumatera Utara bagian Tengah. Hal ini diduga akan berdampak pada berkurangnya
4
hasil panen komoditas pertanian .
STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pembiayaan sektor Korporasi oleh perbankan pada triwulan III 2014 masih menunjukkan pertumbuhan yang
relatif baik walaupun sedikit melambat. Jika meninjau tiga sektor utama Sumbagut, peningkatan pertumbuhan
kredit terjadi pada sektor Perdagangan Hotel, dan Restoran (PHR) dan pertumbuhan yang stabil pada sektor
pertanian, meskipun dibayang-bayangi adanya tekanan pertumbuhan pada sektor industri pengolahan (Grafik
IV.3.15). Pertumbuhan tersebut didukung dengan kualitas yang masih terjaga di level yang cukup baik,
tercermin dari indikator nonperforming loan (NPL) yang masih di bawah level critical point (5%). Meskipun
demikian, perlu diwaspadai adanya kecenderungan naiknya NPL, baik secara total korporasi maupun ketiga
sektor utama Sumbagut (Grafik IV.3.16). Kenaikan NPL tersebut diduga dipengaruhi oleh perlambatan kinerja
perekonomian terutama di sektor pertanian dan industri pengolahan, di tengah masih melemahnya harga
komoditas.
Grafik IV.3.15. Perkembangan Kredit Korporasi dan
Kredit ke 3 Sektor Utama Sumbagut
Grafik IV.3.16. Perkembangan NPL Kredit Korporasi
dan Kredit ke 3 Sektor Utama SUmbagut
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor rumah tangga di Sumbagut pada triwulan
laporan masih tumbuh positif, walaupun mengalami tekanan terutama untuk Kredit Perumahan Rakyat (KPR)
(Grafik IV.3.17). Pertumbuhan tersebut didukung dengan kualitas kredit yang masih cukup baik, tercermin dari
NPL yang terjaga di bawah 5% (Grafik IV.3.18). Namun, perlu diwaspadai terutama untuk NPL KPR yang
menunjukkan kecenderungan meningkat sejak awal tahun 2014. Peningkatan tersebut terutama terjadi pada
tipe rumah 22-70 dan di atas 70 serta apartemen tipe di atas 70. Kondisi ini diduga sebagai dampak dari
4
Informasi anekdotal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 129
kenaikan suku bunga kredit, terutama suku bunga kredit apartemen tipe di atas 70 yang naik cukup tinggi,
yaitu dari 10,7% di triwulan II 2014 menjadi 11,22% pada triwulan laporan. Kenaikan NPL tersebut sejalan
dengan tren kenaikan NPL KPR untuk semua tipe bangunan (tipe 21, 22-70, di atas 70, dan tipe ruko & rukan)
pasca diterapkannya kebijakan Loan to Value (LTV).
Grafik IV.3.17. Pertumbuhan Tahunan Kredit
Rumah Tangga Sumbagut
Grafik IV.3.18. Perkembangan NPL Kredit KPR dan
KKB Sumbagut
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Porsi kredit UMKM di wilayah Sumbagut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga pada triwulan III
2014 telah mencapai 28,23% dari total kredit. Secara sektoral, pangsa kredit UMKM masih didominasi oleh
sektor PHR dengan pangsa pada triwulan laporan sebesar 54,68%, disusul oleh sektor pertanian (16,63%) dan
sektor industri pengolahan (7,07%). Sementara itu, dari jenis penyalurannya, nominal kredit UMKM sebagian
besar masih disalurkan untuk usaha menengah (Grafik IV.3.19). Namun, porsi penyaluran kepada usaha mikro
telah mengalami peningkatan sejak lima tahun terakhir. Penyaluran kredit UMKM sendiri masih tumbuh cukup
baik walaupun sedikit melambat, yakni dari 21,62% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 19,32% (yoy) pada
triwulan laporan (Grafik IV.3.20). Meski begitu, angka tersebut masih di atas rata-rata pertumbuhan tahunan
selama empat tahun terakhir sebesar 17,63%
Grafik IV.3.19. Perkembangan Proporsi Kredit
UMKM Sumbagut
Grafik IV.3.20. Pertumbuhan Kredit UMKM
Sumbagut
Kinerja Sistem Pembayaran
Transaksi perbankan di wilayah Sumbagut melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (RTGS) pada
triwulan III 2014 mengalami penurunan baik secara nominal maupun volume. Secara nominal, transaksi RTGS
pada triwulan laporan turun sebesar 18,6% (qtq) menjadi Rp300,31 triliun, sementara secara volume transaksi
juga mengalami penurunan sebesar 16,43% (qtq) menjadi sebesar 239.150 transaksi (Grafik IV.3.21). Berbeda
dengan hal itu, kliring perbankan di wilayah Sumbagut justru mengalami peningkatan baik secara nominal
L a p o r a n N u s a n t a r a | 130
maupun volume. Secara nominal, kliring di Sumbagut mengalami peningkatan sebesar 14,97% (qtq) menjadi
sebesar Rp40 triliun sementara secara volume, transaksi warkat kliring juga meningkat sebesar 6,66% (qtq)
menjadi 1.157.313 lembar warkat (Grafik IV.3.22). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pada bulan
Ramadhan, musim Lebaran, dan masa tahun ajaran baru, selama triwulan laporan justru semakin banyak
masyarakat yang melakukan transaksi transfer dana bernominal kecil (di bawah Rp100 juta).
Grafik IV.3.21. Perkembangan Transaksi RTGS
Grafik IV.3.22. Perkembangan Perputaran Kliring
Kinerja Pengelolaan Uang Tunai
Perkembangan uang kartal di wilayah Sumbagut pada triwulan III 2014 mengalami net inflow sebesar Rp1
triliun, sejalan dengan kondisi beberapa triwulan sebelumnya pada tahun ini (Grafik IV.3.23). Namun, posisi
net inflow pada triwulan ini tidak setinggi triwulan sebelumnya karena kondisi tersebut hanya terjadi pada
wilayah kerja Medan, sementara wilayah kerja lain seperti Banda Aceh, Lhoksumawe, Pematang Siantar, dan
Sibolga mengalami kondisi net outflow. Hal ini mengindikasikan banyaknya transaksi yang terjadi di Kota
Medan baik dari aktivitas penduduknya sendiri maupun dari pendatang dari daerah sekitarnya yang
membelanjakan uangnya di kota ini. Kondisi tersebut didorong oleh meningkatnya aktivitas masyarakat pada
bulan Ramadhan, Lebaran, serta masuknya masa tahun ajaran baru. Sementara itu, temuan uang palsu terus
mengalami penurunan sejak awal tahun 2014 hingga triwulan ini (Grafik IV.3.24). Penurunan temuan uang
palsu tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya antisipasi Bank Indonesia mencegah peredaran uang
palsu, antara lain dengan meningkatkan security features uang yang dicetak dan melakukan sosialisasi ciri-ciri
keaslian uang Rupiah.
Grafik IV.3.23. Perkembangan Aliran Uang Kartal
Sumbagut
Grafik IV.3.24. Perkembangan Uang Palsu di
Sumbagut
L a p o r a n N u s a n t a r a | 131
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Kinerja perekonomian wilayah Sumabagut pada tahun 2015 diperkirakan akan membaik dibandingkan dengan
tahun 2014, yaitu berada pada kisaran 4,8%-5,1%. Dari sisi penggunaan, pertumbuhan tersebut masih akan
didorong oleh peningkatan kinerja konsumsi dan kembali membaiknya kinerja investasi dan ekspor-impor,
seiring dengan membaiknya perekonomian global, terutama perekonomian negara tujuan ekspor utama.
Sementara itu, dari sisi sektoral, perekonomian Sumbagut masih akan digerakkan oleh tiga sektor utamanya.
Peningkatan kinerja sektor Pertanian serta Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) akan mendorong
perekonomian ke arah yang lebih baik, di tengah prakiraan masih tertekannya pertumbuhan sektor industri
pengolahan. Beberapa faktor risiko pada tahun 2015 adalah masih melemahnya harga komoditas utama
seperti karet dan CPO, belum pulihnya perekonomian Tiongkok sebagai salah satu negara tujuan ekspor
utama, serta risiko iklim seperti anomali cuaca yang berpotensi membayangi kinerja perekonomian Sumbagut.
Prospek Inflasi
Inflasi daerah Sumbagut pada akhir tahun 2015 diprakirakan lebih rendah dari inflasi tahun 2014, sejalan
dengan terjaganya pasokan, terutama bahan pangan, yang lebih baik. Namun, beberapa potensi risiko inflasi
yang harus diwaspadai pada tahun 2015 diantaranya adalah masih akan dilakukannya penyesuaian TTL,
kemungkinan akan dinaikkan kembali UMP 2015, serta dampak lanjutan (pass-through effect) kenaikan BBM
kepada kenaikan biaya transportasi dan harga-harga bahan makanan. Selain itu, potensi anomali cuaca dan
bencana alam seperti Gunung Sinabung menjadi risiko pendorong tekanan inflasi di wilayah Sumbagut.
Sehubungan berbagai risiko tekanan inflasi mendatang, koordinasi dalam forum TPID perlu semakin dikuatkan.
Dalam forum TPID, keterlibatan aparat keamanan diperlukan, terutama dalam mengantisipasi gejolak sosial
yang ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM. Koordinasi juga perlu dilakukan dengan melibatkan
organisasi angkutan publik di daerah, untuk meminimalkan dampak penyesuaian harga BBM terhadap tarif
angkutan kota dan angkutan antarkota-antar provinsi (AKAP). Koordinasi dengan berbagai pihak untuk
meningkatkan kesiapan penanggulangan bencana juga perlu dilakukan sejak dini, terutama terkait dengan
kecukupan pasokan pangan dan keamanan jalur distribusi. Berbagai upaya tersebut dimaksudkan untuk
mencegah gejolak harga yang berlebihan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 132
Tabel IV.3.4. Realisasi dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumbagut
Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2012
PDRB (%, yoy)
2013
2015
II
5.6
III
5.5
IV
5.4
Total
I
5.6 5.1
II
5.1
III
4.7
IVp
Totalp
Ip
Totalp
6.0
I
5.9
4.8
4.9
4.7-5.1
4.8-5.1
Sisi Permintaan
Konsumsi
5.6
7.0
6.7
6.7
5.7
6.5
6.1
6.4
5.9
6.1
6.1
6.6-7.0
5.9-6.3
Konsumsi swasta
5.9
7.5
6.7
6.6
5.5
6.6
6.0
6.3
6.4
6.4
6.5
5.8-6.2
6.1-6.5
Konsumsi Pemerintah
4.5
4.8
4.1
4.4
3.9
4.3
4.1
4.3
3.9
4.8
4.3
10.1-10.5
4.6-5.0
6.8
8.6
8.2
7.0
5.0
7.2
4.4
4.6
4.9
4.7
4.7
5.3-5.7
4.9-5.3
Ekspor
2.8
1.2
3.6
4.0
5.7
3.6
4.5
3.7
3.1
3.5
3.7
4.1-4.5
3.9-4.3
Impor
4.9
6.7
7.3
7.9
6.4
7.1
5.3
4.3
3.6
4.8
4.6
5.4-5.8
5.7-6.1
Sektor pertanian
4.9
5.5
3.5
3.1
3.2
3.8
3.1
3.4
3.1
3.4
3.2
3.1-3.5
3.6-4.0
Sektor pertambangan & penggalian
0.2
1.0
2.1
1.8
0.2
1.3
0.8
0.9
(3.6) (3.6)
(1.3) (4.2)-(4.6) (2.6)-(3.0)
Industri pengolahan
3.4
2.4
3.3
2.8
4.3
3.2
4.4
4.2
2.3
2.0
3.2
2.1-2.5
2.8-3.2
Listrik, gas & air bersih
3.9
5.5
4.7
3.5
3.0
4.1
3.9
5.4
5.9
5.5
5.2
4.8-5.2
4.8-5.2
Bangunan
6.8
7.1
7.9
6.8
6.4
7.0
6.3
5.6
7.5
7.3
6.7
7.0-7.4
6.9-7.3
Perdagangan, hotel & restoran
7.2
7.7
7.8
7.8
7.2
7.6
5.1
6.6
7.4
7.8
6.8
7.6-8.0
6.8-7.2
Pengangkutan & komunikasi
8.3
8.1
7.8
7.2
5.4
7.1
5.2
3.9
4.2
4.3
4.5
4.2-4.6
5.2-5.6
Keuangan, persewaan dan jasa perush.
10.9
8.1
8.2
10.0
6.6
8.2
10.2
6.1
4.1
4.5
6.1
4.1-4.5
5.8-6.2
6.7
6.4
6.1
7.2
8.2
7.0
7.6
4.75
7.7-8.1
4.27-4.67
5.8-6.2
4.3-4.7
Pembentukan Modal Tetap Bruto*
Sisi Produksi
Jasa-jasa
Inflasi IHK (%, yoy)
7.5 8.1 7.6 7.4
3.52 5.49 6.33 8.99 9.92 9.92 7.40 6.07 4.45 4.75
Sumber: BPS dan Proyeksi (p) KPw BI Wil. IX
L a p o r a n N u s a n t a r a | 133
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 134
Dampak lanjutan krisis ekonomi dan keuangan global 2008/2009 masih membebani dinamika pemulihan
ekonomi dunia. Pola pemulihan ekonomi dunia cenderung mix dengan (1) perekonomian AS tumbuh lebih kuat
dibanding negara maju lainnya, dan (2) perekonomian Tiongkok dan negara berkembang melambat, belum
pernah terjadi sebelumnya dalam konstelasi geo-ekonomi. Tantangan dari dinamika “two speed recovery”
dalam perekonomian global tentunya akan memiliki implikasi pada kinerja perekonomian daerah, khususnya
daerah-daerah yang memiliki exposure perdagangan luar negeri yang cukup besar dalam perekonomiannya.
“Two speed recovery” dalam perekonomian dunia memberi tantangan yang tidak ringan pada Jawa sebagai
production hub industri manufaktur di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, Jawa perlu terus meningkatkan
daya tariknya sebagai lokasi produksi industri manufaktur berorientasi ekspor.
Dalam dua tahun belakangan ini, perekonomian domestik mengalami tantangan eksternal yang tidak ringan.
Dampak lanjutan krisis ekonomi dan keuangan global 2008/2009 masih membebani dinamika pemulihan
ekonomi dunia. Meskipun Amerika Serikat (AS) sebagai motor ekonomi dunia mulai menunjukkan tanda-tanda
pemulihan yang lebih konsisten, pemulihan tersebut mengarah pada apa yang oleh banyak kalangan disebut
sebagai “a new normal growth”, yaitu tren pertumbuhan jangka menengah panjang yang lebih rendah dari
rata-rata sebelumnya. Sementara itu, pemulihan ekonomi di kawasan Eropa secara keseluruhan dan di Jepang
masih terbilang rapuh. Sebagai konsekuensinya, pemulihan pertumbuhan ekonomi di negara maju secara
keseluruhan masih terbatas dan sarat ketidakpastian.
Grafik V.1.1. Komparasi Pangsa Ekspor ke Tiongkok
Antar Negara
Grafik V.1.2. Dampak Shock Permintaan Domestik
1
Tiongkok
Di tengah ekonomi negara maju yang masih mencari keseimbangan barunya, Tiongkok sebagai salah satu
penopang ekonomi global menunjukkan arah kecenderungan pertumbuhan yang melambat. Konstelasi global
ini menandakan bahwa ekonomi dunia masih ditopang hanya oleh satu mesin pertumbuhan yakni ekonomi AS
yang kekuatannya pun sedang menurun. Pola ekspansi yang masih sarat ketidakpastian ini menyebabkan laju
pertumbuhan aktivitas perdagangan dunia pun melambat, sehingga intensitas persaingan negara-negara
dalam memperebutkan pangsa ekspor di pasar global meningkat.
1
Diolah menggunakan tabel input output dunia 2011. Angka pada legenda adalah dampak total (direct dan indirect) shock
permintaan domestik di Tiongkok sebesar 1% pada PDB negara terdampak (Staf BI).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 135
Perlambatan ekonomi Tiongkok yang merupakan “global factory” perlu diwaspadai. Penurunan ekspor
Tiongkok, sebagai salah satu production hub besar di dunia dapat memengaruhi negara-negara
berkembang lainnya melalui jalur perdagangan (Grafik V.1.1). Melemahnya pertumbuhan pendapatan di
Tiongkok juga berpotensi memberi dampak ke seluruh dunia, terutama ke Asia dan Eropa. Analisa
dengan menggunakan World Input-Output Table (WIOT) 2011 menunjukkan bahwa shock permintaan
domestik di Tiongkok, akan lebih terasa dampaknya di Asia dan Eropa, dibanding di AS (Grafik V.1.2).
Pola pemulihan ekonomi dunia cenderung mix dengan (1) perekonomian AS tumbuh lebih kuat
dibanding negara maju lainnya, dan (2) perekonomian Tiongkok dan negara berkembang melambat,
belum pernah terjadi sebelumnya dalam konstelasi geo-ekonomi. Dinamika “two speed global recovery”
ini tentunya akan memiliki implikasi pada kinerja perekonomian daerah, khususnya daerah-daerah yang
memiliki exposure perdagangan luar negeri yang cukup besar dalam perekonomiannya. Selain itu,
perlambatan perekonomian Tiongkok layak mendapat perhatian lebih, terutama karena potensi
dampaknya terhadap ekspor industri manufaktur Indonesia.
Tabel V.1.1. Peta Persaingan Ekspor ke Pasar Tiongkok Berdasarkan Jenis Produk
Sumber: UNCTAD, diolah
Ket: Keterangan: a) Muatan teknologi diukur berdasarkan UNIDO (2004), sementara kompleksitas
berdasarkan Lall (2005); b) Angka dalam highlight biru adalah RCA yang dihitung dengan menggunakan
Balassa Index (Indonesia tidak ditampilkan bila tidak masuk dalam lima besar); dan C) Highlight pangsa
ekspor provinsi terhadap total ekspor Indonesia untuk setiap kategori produk adalah sebagai berikut:
>80%
>30% s.d 80%
>0% s.d 30%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 136
Tabel V.1.2. Peta Persaingan Ekspor ke PasarAmerika Serikat (AS) Berdasarkan Jenis Produk
Sumber: UNCTAD, diolah
Ket: lihat Tabel V.2.1
Analisa sederhana “back of the envelope” terhadap implikasi dari dinamika global tersebut, menunjukkan
bahwa dalam konstelasi persaingan dengan pemasok lainnya di pasar Tiongkok, Indonesia secara umum
2
memiliki daya saing yang relatif baik pada setiap klasifikasi produk sebagaimana yang dirangkum di Tabel 1 .
Pada klasifikasi produk dengan muatan teknologi rendah, Indonesia cukup kompetitif tidak hanya pada
produk-produk dengan kompleksitas yang lebih sederhana seperti sandang wanita, karet dan furnitur, tapi
juga pada produk-produk dengan kompleksitas yang lebih rumit seperti alat-alat kantor. Demikian halnya,
pada klasifikasi produk dengan muatan teknologi tinggi, Indonesia cukup bersaing di pasar Tiongkok tidak
hanya pada produk dengan kompleksitas sederhana seperti lampu dan bangunan prefabrikasi, tapi juga yang
berkompleksitas lebih tinggi seperti transmisi kendaraan bermotor dan produk kimia (Tabel V.1.1).
Ekspor industri manufaktur ke Tiongkok dominan ditopang oleh ekspor perusahaan-perusahaan manufaktur di
Jawa, baik Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah maupun Banten, sebagai sentra-sentra industri manufaktur di
Indonesia. Dalam memasok ke pasar Tiongkok, provinsi-provinsi tersebut bersaing dengan sentra-sentra
manufaktur di negara lain, terutama di ASEAN (Vietnam, Thailand, Malaysia dan Filipina), namun ada pula
pesaing non-ASEAN (Mexico, Brazil, Argentina, dan India, sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator
revealed comparative advantage (RCA), di Tabel V.1.1.
Pemetaan yang sama untuk ekspor Indonesia ke pasar AS menunjukkan profil yang berbeda dibandingkan
pasar Tiongkok (Tabel V.1.2). Secara umum, daerah-daerah yang menjadi sentra industri manufaktur di Jawa
banyak mengekspor ke AS pada semua klasifikasi produk. Akan tetapi, angka RCA negara pesaing yang jauh
lebih tinggi mengindikasikan posisi Indonesia (Jawa) masih belum merupakan pemasok penting bagi pasar AS.
Hal ini menyiratkan bahwa untuk memperoleh posisi pasar yang lebih besar di AS, persaingan Jawa dengan
2
Metode pemetaan di Tabel 1 merujuk ke Lall, S., John Weiss, dan Jinkang Shang (2005), “The ‘Sophistication’ of Exports: A
New Measure of Product Characteristics”, ADB Institute Discussion Paper No. 23. Tabel ini mengelompokkan produk
industri manufaktur, SITC 3, berdasarkan muatan teknologi dan kompleksitas produk. Muatan teknologi diukur
berdasarkan UNIDO (2004): Inserting Local Industries in Global Value Chain and Global Production Networks –
Opportunities and Challenges for Upgrading with a Focus on Asia (Annex A), sementara kompleksitas berdasarkan metode
dalam Lall et al (2005).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 137
berbagai sentra produksi lainnya di dunia sangatlah tidak ringan. Untuk bersaing di pasar AS, ekspor
manufaktur dari Jawa harus bersaing ketat dengan ekspor manufaktur dari Tiongkok, disamping negaranegara Asia lain seperti India, Srilanka, Thailand, Filipina, Bangladesh dan Pakistan. Selain itu, persaingan juga
muncul dari negara-negara di luar kawasan Asia seperti Mexico, Brazil, Afrika Selatan, Turkey, Hungaria, Costa
Rica dan Dominican Republic. Terlihat pula bahwa di pasar AS, pesaing-pesaing industri manufaktur di Jawa
kebanyakan adalah dari sentra-sentra industri di luar ASEAN.
Dari pemetaan diatas dapat ditarik kesimpulan umum bahwa “a two speed recovery” memberi tantangan yang
tidak ringan pada Jawa sebagai production hub industri manufaktur di Indonesia. Perekonomian Tiongkok
yang melambat dapat meningkatkan intensitas persaingan dengan production hub lain di ASEAN dalam
memperebutkan pangsa pasar ekspor di Tiongkok. Sementara itu, pasar AS yang mulai pulih konsisten dapat
berdampak positif ke ekspor Jawa, namun, intensitas persaingan dengan production hub lain di seluruh dunia,
termasuk dengan Tiongkok, sangat kuat.
Oleh karenanya, untuk memperkuat daya saing dan kinerja pertumbuhan ekonominya dalam jangka
menengah panjang, Jawa perlu meningkatkan daya tarik sebagai lokasi produksi yang efisien dan
menguntungkan bagi manufaktur berorientasi ekspor, terutama manufaktur pemasok barang-barang bernilai
tambah tinggi yang banyak diminati dipasar dunia. Untuk itu, kecepatan membangun lingkungan pendukung
(enabling environment) bagi aktivitas manufaktur oleh PMA dan PMDN yang memasok pasar global, menjadi
kunci. Terkait ini terdapat beberapa simpul-simpul kebijakan reformasi struktural yang dapat menjadi
prioritas, yaitu:
1) Penurunan dwelling time dan peningkatan kapasitas container yard pada pelabuhan-pelabuhan bongkar
muat di Jawa agar sebanding dengan pelabuhan di pesaing utama di ASEAN,
2) Penguatan ketersediaan konektivitas intermoda alat transportasi berbasis rel dan pelabuhan, untuk
mendukung efisiensi pergerakan barang (movement goods) dan penurunan biaya logistik,
3) Penguatan kualitas konektivitas digital dan penyebarannya,
4) Penguatan kepastian pasokan energi baik untuk pemenuhan kebutuhan industri maupun rumah tangga,
5) Peningkatan efisiensi proses perizinan dan registrasi usaha yang terintegrasi serta penciptaan iklim usaha
yang kondusif sehingga mampu mendukung target pencapaian nilai Ease of Doing Business di Jawa yang
menyamai peer pesaing terkuat di ASEAN,
6) Ketersediaan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang jelas membagi antara zona industri dan nonindustri, serta penyediaan lahan untuk industrial and export processing zones oleh Pemerintah,
7) Memperkuat dan memperluas proteksi sosial universal dibidang kesehatan dan pendidikan untuk
mendukung produktivitas kelas pekerja dan rumah tangga
Daftar Pustaka
Lall, S., John Weiss, dan Jinkang Shang (2005), “The ‘Sophistication’ of Exports: A New Measure of Product
Characteristics”, ADB Institute Discussion Paper No. 23.
UNIDO (2004). Inserting Local Industries in Global Value Chain and Global Production Networks –
Opportunities and Challenges for Upgrading with a Focus on Asia.
Working Paper.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 138
Perwujudan kedaulatan dan swasembada pangan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kemampuan untuk
meningkatkan produktivitas pertanian padi, karena komoditas beras masih menjadi preferensi pangan pokok
masyarakat. Peningkatan produktivitas pertanian padi tersebut sangat bergantung pada ketersediaan soft
dan hard infrastructures. Terkait penyediaan soft infrastructure, simpul kebijakan perlu diarahkan pada
peningkatan kapasitas modal manusia pertanian, modernisasi kegiatan penyuluhan, formalisasi kelembagaan
petani, penguatan peran perguruan tinggi dalam intermediasi inovasi dan teknologi, serta peningkatan
komitmen pemerintah dalam mendorong produktivitas pertanian padi berbasis inovasi dan teknologi.
Beras masih menjadi komoditas yang menjadi preferensi utama penduduk Indonesia ketika berbicara
mengenai bahan pangan pokok, atau staple food (Grafik V.2.1). Perwujudan kedaulatan pangan di Indonesia
kemudian dihadapkan pada dua isu besar utama yaitu pertumbuhan penduduk dan peningkatan populasi
masyarakat kelas ekonomi menengah. Pada tahun 2020, penduduk Indonesia diperkirakan akan mendekati
274 juta orang dan pada 2030 dapat mencapai 300 juta (Grafik V.2.2). Dalam satu setengah dekade kedepan,
McKinsey Global Institute (2012) memperkirakan bahwa 71% penduduk Indonesia akan hidup di daerah
perkotaan (urban) dan memproduksi 86% dari PDB. Lebih dari pada itu, sekitar 135 juta penduduk Indonesia
3
akan menjadi kelas konsumen (consuming class) . Dengan mengasumsikan tidak ada perubahan preferensi
penduduk Indonesia terhadap komoditas pangan utama, semua hal tersebut menunjuk pada pentingnya
untuk segera memperkuat kemampuan domestik dalam memasok beras secara cukup dan dengan kualitas
yang pantas, terutama melalui peningkatan produktivitas pertanian padi di daerah perdesaan.
Konsumsi Padi-Padian dan UmbiUmbian Per Kapita
Lainnya
Tepung Ketela Pohon(Tapioka)
Tepung Gaplek (Tiwul)
Gaplek
Kentang
Talas
Sagu
Ketela Rambat
Ketela Pohon
Lainnya
Tepung Terigu
Tepung Jagung (Maizena)
Tepung Beras
Beras Jagung
Jagung Basah dengan Kulit
Beras Ketan
Beras
2,35
3,49
97,4
0
20
40
60
80
100
kg/kapita/tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik diolah Pusdatin (Statistik
Pertanian 2013, Kementan)
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035
(Bappenas, BPS, dan UNFPA, 2013)
Grafik V.2.1. Pola Konsumsi Pangan Pokok Indonesia Grafik V.2.2. Proyeksi Populasi Indonesia (2010-2035)
Langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitas pertanian padi di perdesaan menjadi semakin mendesak
mengingat Indonesia saat ini masih belum sepenuhnya mampu secara konsisten berswasembada beras. Untuk
memenuhi kebutuhan permintaan beras masyarakat yang semakin meningkat, terkadang masih perlu untuk
membuka keran impor. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi perwujudan kedaulatan pangan, yang
hakekatnya adalah swasembada pangan. Tentang konsep kedaulatan pangan Presiden Joko Widodo
menjelaskan sebagai berikut:
3
McKinsey Global Institute (2012): The Archipelago Economy – Unleashing Indonesia’s Potential, September.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 139
“Ketahanan pangan itu beda dengan kedaulatan pangan, ketahanan pangan itu ‘hanya’
sekedar bahan pangan itu ‘ada’ di gudang-gudang logistik dan di pasar-pasar. Tapi bahan
pangan itu darimana tidak jadi soal, dari impor atau lokal tak dipikirkan, yang penting ada.
Kalau ‘kedaulatan pangan’ itu bahan pangan ada, kita produksi sendiri dan kita kuat dalam
pemasaran, bahkan pangan yang kita hasilkan dari pertanian kita bisa menguasai pasarpasar di luar negeri. Kita berdaulat atas sumber pangan kita, bila terjadi kekacauan di luar
negeri, cadangan logistik kita masih kuat karena hasil pangan kita lebih dari cukup
memenuhi kebutuhan rakyat”4
Sementara itu, pencapaian swasembada pangan, termasuk beras, tidak dapat dilepaskan pula dari proses
transformasi struktural perekonomian Indonesia. Salah satu tujuan penting dari proses pembangunan
ekonomi adalah mempercepat migrasi dari negara terbelakang yang berpendapatan rendah (low income
country) menjadi negara maju berpendapatan tinggi (high income country). Untuk negara berkembang yang
umumnya berkarakteristik ekonomi dualistik, proses migrasi tersebut membutuhkan transformasi pada
5
struktur perekonomian .
Sumber: Dipinjam dengan penyesuaian dari Timmer, C. Peter (2007)
Grafik V.2.3. Proses Transformasi Struktural
Pengalaman negara-negara menunjukkan bahwa proses transformasi struktural tersebut berupa, pertama,
menurunnya pangsa output dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dalam perekonomian yang diikuti
dengan meningkatnya produktivitas di sektor pertanian di perdesaan; dan kedua menguatnya laju
industrialisasi dan penyerapan tenaga kerja formal di perkotaan. Grafik V.2.3 mengilustrasikan proses
6
transformasi tersebut secara konseptual dan empiris. Pengalaman negara-negara juga menunjukkan bahwa
dua arus transformasi struktural diatas perlu berjalan simultan dan saling mendukung untuk mengeluarkan
penduduk dari poverty trap, mengatasi persoalan under-employment di daerah perdesaan, dan bermigrasi
dengan cepat ke negara berpendapatan tinggi via industrialisasi.
Dalam konteks kebijakan pembangunan, pengalaman empiris sebagaimana diulas diatas, menunjukkan
pentingnya bagi suatu negara yang sedang bermigrasi ke negara maju untuk (a) mengupayakan peningkatan
4
Dikutip dari artikel berjudul “Ketahanan Pangan versus Kedaulatan Pangan Menurut Jokowi”, 2 November 2014, di
http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal-15/3674/ketahanan-pangan-versus-kedaulatan-pangan-menurut-jokowi#.VGH_SEnLIU (diakses pada 11/11/2014).
5
Terkait perekonomian dualistik (dual economy) lihat Lewis, W.A. (1954) 'Economic development with unlimited supply of
labour', The Manchester School, dan Ranis, G. (2004),”Labor Surplus Economies”, Economic Growth Center, Discussion
Paper #900, Yale University.
6
Lihat Timmer, C. Peter,”The Structural Transformation and Changing Role of Agriculture in Economic Development:
Empiric and Implications,” 2007.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 140
produktivitas di sektor pertanian dan membangun kekuatan dalam memasok bahan pangan yang cukup guna
menopang industrialisasi, dan (b) mendorong industrialisasi yang lebih kuat dan cepat di perkotaan dalam
rangka mempercepat peningkatan produkivitas di sektor pertanian dan perbaikan tingkat kesejahteraan di
daerah perdesaan.
Peningkatan produktivitas pertanian padi selain dapat membantu mempercepat proses transformasi
struktural tersebut, juga menjadi salah satu pintu masuk menuju kedaulatan pangan. Melalui langkah-langkah
untuk meningkatkan produktivitas pertanian padi, tekanan involusi pertanian di daerah perdesaan dapat
melonggar, dan surplus tenaga kerja di sektor pertanian dapat bertahap beralih ke sektor industri di
7
perkotaan . Peningkatan produktivitas pertanian padi selanjutnya dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat
desa dan menjadikan daerah perdesaan sebagai pemasok yang dapat diandalkan untuk komoditas pangan
pokok yang merupakan ‘input’ penting dalam proses produksi dan industrialisasi di daerah perkotaan.
Tabel V.2.1. Pertumbuhan Produksi Padi Versus Pertumbuhan Luas Panen dan Pertumbuhan Tingkat
Produktivitas
Kawasan
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Sulawesi Selatan
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Lampung
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Selatan
Nasional
LP
3,11%
4,48%
4,43%
2,82%
-1,79%
3,08%
3,54%
4,77%
0,00%
-3,86%
2,87%
2010
P
0,30%
-0,79%
0,86%
-1,44%
3,40%
1,58%
1,41%
0,23%
-5,14%
-2,08%
0,32%
Q
3,42%
3,66%
5,32%
1,35%
1,54%
4,71%
5,01%
5,01%
-5,15%
-5,87%
3,22%
LP
-1,89%
-3,59%
-4,28%
0,32%
0,38%
1,99%
2,77%
0,26%
11,70%
3,81%
-0,38%
2011
P
-7,42%
2,81%
-2,96%
2,63%
0,32%
1,41%
1,91%
2,81%
4,30%
6,57%
-0,70%
Q
-9,17%
-0,88%
-7,11%
2,95%
0,70%
3,43%
4,74%
3,09%
16,49%
10,65%
-1,07%
LP
2,54%
-2,32%
2,86%
10,36%
1,00%
-1,92%
5,75%
3,19%
1,77%
1,42%
1,83%
2012
P
12,48%
-0,81%
5,93%
0,47%
1,97%
-0,74%
-0,27%
0,69%
0,49%
0,91%
3,13%
Q
15,34%
-3,11%
8,95%
10,89%
3,00%
-2,64%
5,46%
3,89%
2,28%
2,35%
5,02%
LP
1,25%
-0,48%
1,00%
4,50%
-0,14%
1,05%
4,02%
2,74%
4,49%
0,46%
1,44%
Rata-rata 2010-2012
P
Q
1,79%
3,20%
0,40%
-0,11%
1,28%
2,39%
0,56%
5,06%
1,90%
1,75%
0,75%
1,83%
1,02%
5,07%
1,24%
4,00%
-0,12%
4,54%
1,80%
2,38%
0,92%
2,39%
Sumber: Statistik Pertanian 2013 Kementan, diolah
Ket.: LP = Pertumbuhan Luas Panen Padi (yoy); P = Pertumbuhan Produktivitas Padi (yoy); Q = Pertumbuhan Produksi
Padi (yoy)
Terkait produktivitas pertanian padi, sampai saat ini masih ditengarai adanya permasalahan-permasalahan
yang bersifat struktural, terutama di sentra-sentra produsen padi di Indonesia. Masalah-masalah tersebut
mulai dari lahan pertanian yang semakin menyusut karena tergerus oleh urbanisasi, kecilnya luas lahan per
petani, menurunnya kualitas tanah, semakin berkurangnya dukungan dari infrastruktur pertanian (misalnya
infrastruktur irigasi teknis), kurangnya elektrifikasi di perdesaan, sampai dengan permasalahan terkait adopsi
inovasi dan teknologi pertanian hasil penelitian dan pengembangan (R&D) di sektor pertanian padi.
Permasalahan-permasalahan ini menyebabkan pelannya penurunan “labor intensity” di pertanian padi dan
lambatnya peningkatan output padi per kapita (Tabel V.2.1).
7
Terkait involusi pertanian di Indonesia, lihat Geertz C. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in
Indonesia. University of California Press, 1963.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 141
Gambar V.2.1. Lima Aspek Reformasi Untuk Memperkuat Infrastruktur Lunak
Pendukung Produktivitas Pertanian Padi
Hasil studi untuk mengkaji tentang dukungan aspek inovasi dan teknologi pada produktivitas di pertanian padi,
menyimpulkan bahwa peningkatan produktivitas pertanian padi akan sangat bergantung pada intermediasi
hasil inovasi dan teknologi pertanian padi yang telah diakumulasi dalam bentuk adopsi oleh petani padi
terhadap inovasi dan teknologi hasil penelitian dan pengembangan (R&D) di bidang pertanian padi.
Kesimpulan ini berarti bahwa intermediasi dan adopsi inovasi dan teknologi merupakan simpul kebijakan yang
perlu lebih diprioritaskan vis a vis akumulasi inovasi dan teknologi di bidang pertanian padi.
Hasil studi juga menyimpulkan bahwa untuk memperkuat tingkat adopsi inovasi dan teknologi pertanian padi
oleh petani padi tersebut sangat diperlukan adanya langkah-langkah untuk memperkuat dukungan
infrastruktur lunak (soft infrastructure) berupa penguatan pada lima aspek berikut yaitu: (a) kapasitas internal
(modal manusia) petani, (b) kelembagaan petani, (c) lembaga penyuluhan, (d) peran perguruan tinggi, dan (e)
komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah (Gambar V.2.1). Langkah-langkah penguatan pada aspek-aspek
terkait soft infrastructure ini seyogyanya merupakan pelengkap dari langkah-langkah penguatan pada hard
infrastructure seperti penyediaan sarana dan prasarana irigasi, jalan desa, elektrifikasi dan digitalisasi
perdesaan. Selanjutnya, pada setiap area penguatan terkait soft infrastructure tersebut, dapat
direkomendasikan beberapa langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh, sebagaimana dirangkum di
Tabel V.2.2.
Tabel V.2.2. Rekomendasi Kebijakan Penguatan Soft Infrastructure dalam rangka Peningkatan Produktivitas
Berbasis Inovasi dan Teknologi pada Pertanian Padi
No
1
2
3
Meningkatkan
Kapasitas
Internal Petani
Memperkuat
Kelembagaan
Petani
Modernisasi
Lembaga
Penyuluhan
Rekomendasi Kebijakan
• Memperbaiki tingkat pendidikan petani masa depan dengan memasukkan materi
wirausaha pertanian ke kurikulum sekolah dasar dan menengah.
• Memperkuat efektivitas sekolah lapang.
• Menciptakan petani contoh untuk inspirasi ke petani lain melalui pemberian
award dan kesempatan bagi petani sukses.
• Mendorong formalisasi kelompok tani padi dan komersialisasinya untuk penguatan
skala ekonomi, dengan secara bertahap bertransformasi menjadi badan usaha
milik petani, mis. koperasi, firma, atau perseroan terbatas milik kelompok tani.
• Mendorong transformasi lembaga penyuluhan menjadi Lembaga Konsultasi
Perdesaan (Rural Advisory Services), yang menyediakan extension services di
sepanjang rantai nilai pertanian padi.
• Memperkuat materi penyuluhan pertanian padi dan diseminasinya secara digital
(digital extension services) dari provinsi sampai ke tingkat desa, termasuk
L a p o r a n N u s a n t a r a | 142
•
4
Memperkuat
Peran
Perguruan
Tinggi
•
•
•
5
Memperkuat
Komitmen
Pemerintah
Pusat dan
Daerah
•
•
•
membangun information clearing house bagi penyuluh dan penyediaan extension
brief secara digital.
Menggali potensi, kearifan dan pengetahuan lokal di bidang pertanian padi yang
menjadi penciri suatu daerah otonom untuk dikembangkan menjadi programa dan
modul penyuluhan.
Meningkatkan porsi pengabdian masyarakat dalam tri-darma perguruan tinggi,
khususnya pagu minimal 20% porsi pengabdian masyarakat bagi civitas academica
di bidang pertanian padi untuk pemberdayaan petani padi melalui diseminasi
inovasi dan teknologi hasil R&D.
Integrasi R&D oleh perguruan tinggi dengan program penyuluhan dan
pendampingan.
Mengembangkan proses looping dari hasil R&D dan pendampingan masyarakat ke
kurikulum pendidikan.
Menetapkan persentase anggaran R&D pertanian setidaknya 1% dari PDB sektor
pertanian.
Memberdayakan BALITBANGDA melalui sinergi dengan perguruan tinggi dan BPTP,
serta peningkatan kualitas penelitinya.
Mendorong penyelesaian RTRW yang jelas membedakan antara lahan pertanian
dan lahan industri, dan memastikan ketersediaan RTRW yang eksplisit melindungi
lahan sawah produktif beririgasi teknis.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 143
Editor
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Kontributor
Kantor Perwakilan Wilayah I
Sulawesi, Maluku & Papua
Kantor Perwakilan Wilayah II
Kalimantan
Kantor Perwakilan Wilayah III
Bali & Nusa Tenggara
Kantor Perwakilan Wilayah IV
Jawa Bagian Timur
Kantor Perwakilan Wilayah V
Jawa Bagian Tengah
Kantor Perwakilan Wilayah VI
Jawa Bagian Barat
Kantor Perwakilan Wilayah VII
Sumatera Bagian Selatan
Kantor Perwakilan Wilayah VIII
Sumatera Bagian Tengah
Kantor Perwakilan Wilayah IX
Sumatera Bagian Utara
:
Andree Breitner
:
Daniel Agus Prasetyo
:
Ikhsan Utama
:
:
Komalia Rahmayani
Tommy Aditya
Adela Putri Rizkia
Putri Almainda Kamila
Rifki Ismail
Risma Irnisari
Septine Wulandini
:
Reza Hidayat
:
Ragil Misas
Grup Riset Ekonomi
:
Reza Anglingkusumo
Grup Asesmen Ekonomi
:
Kiki Nindya Asih
M. Cahyaningtyas
Handri Adiwilaga
Darius Tirtosuharto
Soraefi Oktafihani
Puput Kurniati
Nurul Pratiwi Andi Parenrengi
:
:
L a p o r a n N u s a n t a r a | 144
L a p o r a n N u s a n t a r a | 145
Download