LAPORAN KASUS Perbandingan Efektivitas Salin Hipertonik dan Manitol pada Anak dengan Edema Serebri Ivena Susanti, RA Setyo Handryastuti Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Manitol dapat menurunkan tekanan intrakranial (TIK) namun memiliki efek diuresis osmotik yang menyebabkan reduksi volume intravaskular sehingga menurunkan tekanan perfusi serebral. Salin hipertonik efektif menurunkan TIK, mempertahankan tekanan perfusi serebral, dapat digunakan sebagai resusitasi cairan, dan jarang menyebabkan efek samping. Rekomendasi mengenai osmolaritas, dosis, dan cara pemberian salin hipertonik yang tepat masih belum disepakati. Dilaporkan anak lelaki berusia 4 tahun dengan ensefalopati sepsis. Diagnosis berdasarkan manifestasi klinis. CT-scan kepala menunjukkan perdarahan subdural regio frontotemporoparietal sinistra, kontusio serebri lobus frontalis sinister dan herniasi subfalcine, serta fraktur os frontal sinistra, terdapat riwayat jatuh 1 bulan sebelumnya. Pasien mendapat NaCl 3% untuk mengatasi edema serebri dengan dosis 3 mL/kg tiap 8 jam, dengan kecepatan infus 0,1-1 mL/kg/jam. Pasien mengalami perbaikan kesadaran dalam waktu 5 hari, tidak terdapat defisit neurologis, dan tidak terdapat efek samping pada pemberian NaCl 3%. Salin hipertonik efektif dan aman sebagai pengganti manitol dalam mengatasi edema serebri pada anak. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan konsentrasi dan osmolaritas salin hipertonik yang paling aman dan efektif dalam menurunkan TIK pada anak, dosis dan cara pemberian yang tepat. Kata kunci: salin hipertonik, manitol, edema serebri, anak ABSTRACT Mannitol can reduce intracranial pressure, but it has osmotic diuretic effect that may leads to decrease cerebral perfusion pressure. On the contrary, hypertonic saline can effectively reduce intracranial pressure, maintain cerebral perfusion pressure, give benefit in fluid rescucitation, with less side effects. Unfortunately, the osmolarity, dose, and administration route of hypertonic saline have not been determined. We reported a 4 years old boy with cerebral edema due to septic encephalopathy. Diagnosis was made based on clinical manifestations. Head CT-scan showed subdural hemorrhage at left frontotemporoparietal region, cerebral contusion at left frontal lobe, subfalcine hernia, and left frontal bone fracture (patient had fallen from approximately 1 meter height 1 month ago). Three percents saline was given to reduce cerebral edema with dose of 3 mL/kg per 8 hours and infusion rate at 0.1-1 mL/kg/hour. Consciousness was improved within 5 days and the hemodynamic was stable. We found no neurological deficit or adverse effects of hypertonic saline were detected. We conclude that hypertonic saline is effective and safe as alternative therapy for mannitol in reducing cerebral edema in children. Further studies are required to determine the most effective and the safest concentration of hypertonic saline to reduce intracranial pressure, dose, and administration in children. Ivena Susanti, RA Setyo Handryastuti. Comparison between Hypertonic Saline and Mannitol for Cerebral Edema in Children. Key words: hypertonic saline, mannitol, cerebral edema, children PENDAHULUAN Edema serebri merupakan kegawatan yang harus segera diatasi karena menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sehingga mengakibatkan kerusakan otak lebih lanjut. Edema serebri dapat terjadi akibat cedera kepala traumatik dan non-traumatik, misalnya pada kasus infeksi, ketidakseimbangan metabolik, dan tumor. 1-3 Tata laksana peningkatan TIK meliputi terapi non-invasif sampai tindakan operatif, yaitu elevasi kepala, pemberian agen sedatif, tata Alamat korespondensi 32 laksana demam dan nyeri, ventilasi, pemberian barbiturat, agen hiperosmotik, dan kraniotomi dekompresif. Agen hiperosmotik yang dapat digunakan adalah urea, sorbitol, gliserol, manitol, dan salin hipertonik. Manitol dan salin hipertonik merupakan pilihan terapi yang sering digunakan. Salin hipertonik sering dijadikan alternatif pilihan karena mampu menurunkan TIK tanpa efek hipotensif sehingga memperbaiki tekanan perfusi serebral.1-3 Salin hipertonik dapat menjadi pilihan agen hiperosmotik dalam tata laksana cedera kepala traumatik3 maupun edema serebri pada ketoasidosis diabetikum.4 Uji klinis yang membandingkan efektivitas dan keamanan penggunaannya sebagai pengganti manitol pada anak masih terbatas. Pemilihan konsentrasi, dosis, cara pemberian, dan rute pemberian salin hipertonik juga masih perlu disepakati. Sajian kasus berbasis bukti ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas dan keamanan salin hipertonik dan manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial pada anak dengan edema serebri. KASUS Anak lelaki berusia 4 tahun 9 bulan dengan email: [email protected] CDK-200/ vol. 40 no. 1, th. 2013 LAPORAN KASUS nomor rekam medis 3704685, datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IGD RSCM) dengan keluhan sesak sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Enam hari SMRS, pasien mengalami demam tinggi disertai batuk pilek, terdapat bisul pada pipi kiri pasien, bisul membesar, kemerahan dan pecah. Dua hari SMRS, demam makin tinggi, pasien mengigau, dan lebih banyak tidur. Sejak 12 jam SMRS, pasien tampak sesak, demam menetap, tidak terdapat muntah dan kejang. Pasien dibawa ke RS C diberi infus, oksigen, dan obat-obatan yang disuntikkan. Keluhan sesak tidak membaik dan pada foto toraks didapatkan gambaran pneumotoraks sehingga pasien dirujuk ke RSCM. Pada saat dirawat di IGD RSCM, kesadaran pasien menurun, tampak sesak, terdapat kejang umum tonik-klonik selama 1 menit, pasien muntah darah segar, terdapat perdarahan dari selang nasogastrik dan buang air besar berwarna hitam. Dari riwayat penyakit dahulu tidak didapatkan riwayat demam lama, batuk lama, kejang dengan atau tanpa demam, dan tidak ada riwayat sakit berat sebelumnya, terdapat riwayat trauma kepala 1 bulan SMRS (jatuh dari tempat tidur ketinggian ±1 meter, namun tidak ada perdarahan dan pingsan). Pada riwayat penyakit keluarga, tidak ada penyakit serupa dan tidak terdapat kontak tuberkulosis. frontotemporoparietal sinistra dan kontusio serebri lobus frontalis sisitra dan herniasi subfalcine, serta fraktur os frontal sinistra. Dalam observasi, kesadaran pasien menurun (GCS E3M3V2), pasien mengalami syok hipovolemik berulang karena hematemesis melena, pasien diintubasi kemudian dipindahkan ke unit perawatan intensif (ICU) anak. Saat di IGD, pasien apatis dengan Skala Koma Glasgow (GCS) E4M5V3, terdapat demam, tekanan darah normal, terdapat tanda rangsang meningeal yaitu kaku kuduk, Kernig, dan Brudzinski 1. Pupil bulat isokor, tidak terdapat edema papil optik, paresis nervus kranialis, hemiparesis, klonus maupun refleks patologis, namun refleks fisiologis meningkat. Status gizi secara klinis dan antropometris baik. Pada pemeriksaan kepala didapatkan normosefal, tidak terdapat deformitas. Pada pemeriksaan paru suara napas hemitoraks sinistra melemah dengan gerakan yang tertinggal. Pada foto toraks tampak pneumotoraks sinistra lobus superior dan inferior sehingga dilakukan pemasangan water shield drainage (WSD). Hasil laboratorium menunjukkan anemia mikrositik hipokrom, hiponatremia dan asidosis metabolik terkompensasi. Pasien didiagnosis sebagai meningitis bakterialis dengan diagnosis banding ensefalopati sepsis, hematemesis melena akibat sepsis, pneumotoraks sinistra, dan gizi kurang. Pungsi lumbal gagal kemudian dilakukan CT scan kepala. Hasil CT scan menunjukkan perdarahan subdural regio MASALAH KLINIS Edema serebri merupakan kegawatan yang harus segera diatasi karena mengakibatkan kerusakan otak lebih lanjut, herniasi, dan dapat berakhir dengan kematian. Penurunan TIK dapat diperoleh dengan berbagai cara, yang terbanyak digunakan adalah agen hiperosmotik. Salin hipertonik saat ini sering digunakan dibandingkan manitol karena dianggap lebih efektif.1-3 Hal di atas menimbulkan pertanyaan klinis sebagai berikut: pada anak yang mengalami edema serebri, apakah terapi salin hipertonik dibandingkan manitol memberi luaran yang lebih baik dalam hal efektivitas dan keamanan? CDK-200/ vol. 40 no. 1, th. 2013 Selama perawatan di ICU, pasien menggunakan ventilator, antibiotik diberikan dosis sepsis, terdapat perburukan pneumonia dan hidropneumotoraks dekstra sehingga dipasang WSD untuk hemitoraks dekstra. Hasil analisis cairan pleura hemitoraks bilateral menunjukkan eksudat. Pasien mendapatkan infus NaCl 3% untuk mengatasi edema serebri, melalui akses vena dalam dengan dosis 3 ml/kg tiap 8 jam dan kecepatan infus 0,1-1 mL/kg/jam. Elektrolit sebelum pemberian NaCl 3%, Na 131 mEq/L dan Cl 102 mEq/L. Pasien mengalami perbaikan kesadaran menjadi kompos mentis (GCS 15) dalam waktu 5 hari. Hasil elektrolit pascapenghentian infus NaCl 3%, Na 129 mEq/L, K 4,5 mEq/L, Cl 95,8 mEq/L, sehingga NaCl 3% diteruskan untuk mengoreksi hiponatremia. Pasien kemudian dipindahkan ke ruang rawat infeksi, kondisi sepsis perbaikan, kesadaran kompos mentis, tidak terdapat defisit neurologis, tidak terdapat ekstravasasi NaCl 3%. METODE PENELUSURAN Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah di atas adalah dengan menelusuri pustaka secara online dengan menggunakan instrumen pencari Pubmed, Highwire, dan Google. Kata kunci yang digunakan adalah ”hypertonic saline”, ”mannitol”, dan “cerebral edema”. Batasan yang digunakan adalah studi yang dilakukan pada manusia, publikasi bahasa Inggris, dan anak usia 0-18 tahun. Melalui metode tersebut didapatkan 35 artikel yang memenuhi kriteria. Setelah penelusuran judul dan abstrak, didapatkan 6 artikel yang relevan dengan masalah, terdiri dari 3 uji klinis acak tidak tersamar, 1 studi retrospektif, dan 2 serial kasus. Dua uji klinis mempunyai subjek campuran anak dan dewasa. Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi Oxford Centre for Evidence-based Medicine.5 HASIL PENELUSURAN LITERATUR Upadhyay, dkk6 (2010) melakukan uji klinis acak untuk membandingkan efektivitas dan efek samping NaCl 3% dan manitol dalam tata laksana peningkatan TIK pada 200 anak berusia 2-18 tahun. Peningkatan tekanan intrakranial ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan radiologis, sebagian besar akibat meningoensefalitis, ensefalopati anoksik, dan cedera kepala. Subjek dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok A mendapat terapi manitol (n=98), kelompok B mendapat NaCl 3% (n=100), dan kelompok C yaitu subjek pada kelompok A dengan osmolaritas serum >320 mOsm/kg yang kemudian mendapatkan NaCl 3%. Dosis inisial manitol dan NaCl 3% 5 mL/kg dilanjutkan rumatan 2 mL/kg tiap 6 jam selama 2 hari (osmolaritas manitol 1100 mOsm/L dan NaCl 3% 1098 mOsm/L). Tekanan rerata arteri yang diukur setiap 6 jam selama 48 jam menggambarkan secara tidak langsung tekanan intrakranial. Penurunan TIK pada kelompok NaCl 3% lebih efektif dibanding manitol pada 12 jam pertama dan setelahnya lebih baik atau setara dengan manitol. Durasi koma lebih singkat pada kelompok B (77,5±13,05 jam) dibanding kelompok A (98,6±21,25 jam) (p<0,001). Efek samping mielinolisis sentral pontin, gagal ginjal, gagal jantung, edema paru, hipokalemia, dan flebitis tidak didapatkan pada subjek. (Level of evidence 1b) Yildizdas, dkk7 secara retrospektif mempelajari efektivitas dan efek samping penggunaan NaCl 3% dan manitol pada 67 anak yang mengalami edema serebri dengan etiologi meningoensefalitis, meningitis, ensefalopati hipoksik iskemik, ensefalopati metabolik, dan perdarahan intrakanial. Subjek dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 1 (n=22) mendapat manitol dosis 0,5 g/kg/kg (untuk 2 dosis pertama) selanjutnya 0,25 g/kg/kali, kelompok II (n=25) hanya mendapat NaCl 3% dengan kecepatan infus 0,5-2 mL/kg/jam dan setiap tambahan bolus sebesar 1 mL/ 33 LAPORAN KASUS kg selama 15 menit untuk mempertahankan kadar Na serum 155-165 mEq/L, kelompok III (n=20) mendapat manitol dan NaCl 3%, apabila osmolaritas serum >325 mosmol/L maka manitol dihentikan dan hanya diberi NaCl 3% (kelompok IIIB). Apabila GCS subjek ≥8 maka terapi edema serebri dapat dihentikan. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan osmolaritas dan kadar natrium serum antara ketiga kelompok. Durasi koma dan mortalitas lebih rendah secara signifikan pada kelompok II (88,6±42,5 jam) dan kelompok III (87,5±26,1 jam) dibandingkan kelompok I (123±48,2 jam) (p=0,004). Tidak terdapat perbedaan durasi koma dan mortalitas pada pasien dengan kadar natrium serum 150-160 mEq/L dan 160170 mEq/L. Asidosis hiperkloremik didapatkan pada 4 pasien dari kelompok II dan III yang mengalami perbaikan dengan terapi. Tidak didapatkan mielinolisis sentral pontin, gagal ginjal, gagal jantung, edema paru, dan gangguan koagulasi. (Level of evidence 2a) Sakellaridis, dkk8 melakukan uji klinis acak tersamar desain menyilang terhadap 199 kejadian peningkatan TIK pada 29 pasien cedera kepala berat (GCS ≤8), dengan rentang usia 14-82 tahun. Tidak disebutkan jumlah subjek yang tergolong usia anak. Tujuan penelitian adalah membandingkan efektivitas manitol 20% dan NaCl 15% dengan beban osmotik yang sama. Manitol 20% 2 mL/kg yang diberikan per infus selama 20 menit atau NaCl 15% 0,42 mL/kg secara bolus melalui vena sentral, diberikan secara acak bergantian pada tiap peningkatan TIK >20 mmHg. Intervensi dihentikan apabila TIK turun <20 mmHg atau osmolaritas serum mencapai 320 mOsm/L. Rerata penurunan TIK dengan manitol 7,96 mmHg dan NaCl 15% 8,43 mmHg, tidak berbeda bermakna (p=0,586). Rerata durasi efek manitol 3 jam 33 menit dan 4 jam 17 menit pada NaCl 15% (p=0,4). Berdasarkan analisis post-hoc, untuk mendapatkan power penelitian 80% dibutuhkan 680 pasang kejadian. Pada tiap kelompok terdapat 1 pasien yang mengalami efek samping hiperosmolaritas dan gangguan elektrolit setelah pemberian manitol dan NaCl 15%. (Level of evidence 1b) Battison, dkk9 melakukan uji klinis acak terkontrol desain menyilang untuk menilai efek manitol 20% dan NaCl 7,5%/dekstran 6% dalam menurunkan TIK setelah cedera otak. Sembilan pasien berusia ≥16 tahun dengan 34 TIK >20 mmHg dipilih secara acak untuk mendapatkan manitol 20% 200 mL atau NaCl 7,5%/dekstran 6% 100 mL (250 mOsm/L). Kelompok yang mendapat manitol mengalami penurunan TIK dengan median 7,5 mmHg (IK95%: 5,8-11,8), sementara kelompok NaCl 7,5%/dekstran 6% mengalami penurunan TIK 13 mmHg (IK95%: 11,5-17,3), keduanya berbeda secara signifikan (p=0,044). Larutan NaCl 7,5%/dekstran 6% juga mempunyai durasi efek yang lebih panjang dibandingkan manitol (p=0,044). Perbedaan tekanan perfusi serebral minimal setelah diberikan manitol dengan NaCl 7,5%/dekstran 6% berbeda bermakna, manitol lebih besar menurunkan tekanan perfusi serebral minimal (median 5 mmHg; IK95%: 1,3-12,5). (Level of evidence 1b) Berger, dkk10 melaporkan serial kasus dua anak dengan trauma kepala berat yang mendapat manitol 20% 100 mL selama 30 menit dan NaCl 20% 30 mL selama 30 menit untuk menurunkan TIK dan mempertahankan tekanan perfusi serebral. Serial kasus ini menunjukkan bahwa manitol dapat menurunkan TIK namun juga menurunkan tekanan perfusi serebral, sementara dengan pemberian NaCl 20% TIK menurun dan tekanan perfusi serebral membaik. (Level of evidence 4) Edema serebri juga dapat menjadi komplikasi ketoasidosis diabetikum. Salin hipertonik direkomendasikan sebagai alternatif penggunaan manitol. Curtis, dkk11 melaporkan seorang anak berusia 13 tahun dengan ketoasidosis diabetikum dan edema serebri berdasarkan CT-scan. Pasien mendapatkan manitol 20% dengan dosis 0,7 g/kg namun GCS tidak mengalami perbaikan. Pasien kemudian mendapat NaCl 3% secara bolus dengan dosis 5 ml/kg dan GCS segera mengalami perbaikan dari 7 menjadi 15. (Level of evidence 4) PEMBAHASAN Edema serebri dibedakan menjadi edema sitotoksik, vasogenik, dan interstisial. Pada edema sitotoksik, cedera sel akibat akumulasi cairan yang terjadi karena kegagalan pompa ion Na-K terkait ATP atau kondisi hiponatremia, misalnya pada hipoksemia dan iskemia akibat traumatik. Edema vasogenik terjadi akibat cedera vaskular yang berakibat peningkatan filtrasi plasma memasuki ruang interstisial parenkim serebri. Edema interstisial adalah saat cairan serebrospinal berdifusi menembus ventrikel menuju substansia alba periventrikular, misalnya pada hidrosefalus. Pada kondisi edema serebri TIK akan meningkat. Hukum Monroe-Kellie tentang homeostasis TIK menyatakan bahwa kompartemen intrakranial mengisi ruang yang tetap, peningkatan salah satu kompartemen akan menggeser kompartemen lainnya. Kompartemen intrakranial meliputi jaringan otak, darah dan vaskular, serta cairan serebrospinal. Mekanisme autoregulasi vaskular otak yaitu vasokonstriksi bertujuan mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan metabolik dan suplai darah sehingga substrat esensial tetap adekuat ke otak namun tidak terjadi kelebihan aliran darah.1,2 Tata laksana peningkatan TIK bertujuan mengurangi volume intrakranial dengan tetap menjaga tekanan perfusi serebral atau tekanan arteri rerata sehingga aliran darah ke otak adekuat. Tekanan intrakranial dapat dihitung dengan mengurangi tekanan arteri rerata dengan tekanan perfusi serebral. Tekanan intrakranial normal <10 mmHg pada dewasa dan <7 mmHg pada anak.1,2 Tekanan intrakranial patologis yaitu ≥20 mmHg merupakan ambang batas untuk mulai menurunkan TIK.12 Baku emas pengukuran TIK adalah menggunakan drain ventrikel eksternal. Pada anak dengan cedera kepala berat, direkomendasikan tekanan perfusi serebral dipertahankan >4065 mmHg. Untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral, dibutuhkan kondisi euvolemia dengan memberikan resusitasi cairan dan obat inotropik sehingga tekanan rerata arteri adekuat.1,13 Tata laksana peningkatan TIK meliputi elevasi kepala, mempertahankan suhu tubuh normotermia, tata laksana nyeri, sedasi, ventilasi mekanik, blokade neuromuskular, hiperventilasi terkontrol, terapi hiperosmolar, kraniektomi, dan pemasangan drain ventrikel eksternal.1-3 Prinsip terapi hiperosmolar berasal dari Weed dan McKibben, pada tahun 1919 mendemonstrasikan penurunan TIK dengan memberikan agen hiperosmolar seperti urea, sorbitol, gliserol, salin hipertonik, natrium bikarbonat, dan larutan glukosa. Cairan hiperosmotik menyebabkan ekspansi plasma yang berakibat penurunan hematokrit dan viskositas darah, mengurangi volume darah ke otak, dan menciptakan gradien osmotik sehingga menarik cairan dari jaringan otak yang mengalami edema ke sirkulasi. Larutan hiperosmolar yang sekarang lebih CDK-200/ vol. 40 no. 1, th. 2013 LAPORAN KASUS sering digunakan adalah manitol dan salin hipertonik.1-3,13 Pada volume yang sama, manitol 25% memberikan beban osmotik (1375 mOsm/L), lebih besar dibandingkan salin hipertonik 3% (1026 mOsm/L). Manitol merupakan diuretik osmotik dengan rentang dosis 0,25-1 gram/kg berat badan, diberikan secara bolus intermiten. Manitol menurunkan tekanan intrakranial melalui efek reologik, yaitu menurunkan hematokrit dan viskositas darah, meningkatkan aliran darah ke otak sehingga menurunkan diameter vaskular otak sebagai hasil dari autoregulasi. Efek reologi paling baik dicapai dengan pemberian bolus cepat dibandingkan infus kontinu. Efek puncak terjadi dalam 90 menit hingga 6 jam tergantung kondisi klinis. Oleh karena efek diuretikum yang kuat, reduksi volume intravaskular seringkali terjadi. Efek samping pemberian manitol termasuk nekrosis tubular akut, gagal ginjal, dan edema serebri berulang (rebound). Risiko meningkat pada osmolalitas >320 mOsm/L. Pada anak, manitol dapat diberikan apabila kondisi pasien euvolemia dan osmolaritas serum <320 mOsm/L. Efek samping manitol juga meningkat apabila diberikan dalam periode yang lama, misalnya infus kontinu atau dosis berulang yang berlebihan. Rekomendasi pemberian manitol adalah dengan bolus intermiten dengan selang beberapa jam dan disertai penggantian cairan untuk mempertahankan kondisi euvolemia.1,2 Salin hipertonik memberikan tekanan osmotik yang membawa air dari ruang interstisial memasuki kompartemen intravaskular sehingga menurunkan tekanan intrakranial.1-3 Arginin-vasopresin (AVP) yang disekresi sistem hipotalamus-neurohipofisis, mempengaruhi sel glia dengan meregulasi keseimbangan air melalui permeabilitas astrositik dan berperan dalam terjadinya edema serebri. Salin hipertonik menurunkan sekresi AVP dalam mekanisme yang belum diketahui.14,15 Koefisien salin hipertonik terhadap sawar darah-otak lebih tinggi (1,0) dibandingkan manitol (0,9), yang artinya manitol tetap dapat menembus sawar darah-otak yang intak.16 Pada studi Battison, didapatkan penurunan TIK yang bermakna pada kelompok yang mendapatkan salin hipertonik, sama halnya pada studi Sakellaridis meskipun perbedaannya tidak signifikan.8,9 Salin hipertonik meningkatkan CDK-200/ vol. 40 no. 1, th. 2013 volume intravaskular dan performa kardiovaskular sehingga tekanan rerata arteri dan perfusi serebral meningkat.1,2 Pada penelitian 9 Battison , perbedaan tekanan perfusi serebral minimal lebih tinggi pada pemberian manitol dibanding NaCl 7,5%/dekstran 6% (p=0,03), manitol menurunkan tekanan perfusi serebral minimal dan meningkatkan tekanan perfusi serebral maksimal. Gwer, dkk17 melakukan telaah sistematik untuk mempelajari peran berbagai agen osmotik pada anak yang mengalami ensefalopati akut. Salin hipertonik menurunkan TIK lebih baik dibandingkan salin nomal atau larutan ringer laktat. Apabila dibandingkan dengan manitol, salin hipertonik dapat mempertahankan atau meningkatkan tekanan perfusi serebral, yang merupakan penentu penting luaran neurologis. Kamat, dkk18 melaporkan penggunaan NaCl 3% 5-10 mL/kg pada 4 anak dengan ketoasidosis diabetikum, yang segera mengalami perbaikan kesadaran. Pemberian salin hipertonik 3% 5-10 mL/kg dijadikan alternatif pengganti manitol pada anak dengan ketoasidosis diabetikum disertai edema serebri.4,18 Salin hipertonik juga dapat digunakan dalam resusitasi cairan. Studi retrospektif Luu, dkk19 mengenai pemberian NaCl 3% secara infus kontinu dan bolus 5,3 mL/kg selama transport pada 101 anak usia 2 bulan hingga 17 tahun dengan kondisi kritis, mayoritas (95%) melalui jalur infus perifer. Tidak dilaporkan ekstravasasi dan mielinolisis sentral pontin. Larutan hipertonik memberi manfaat resusitasi cairan dengan meningkatkan tekanan darah, luaran kardiak, dan oksigenasi jaringan selama syok hemoragik.19 Durasi penurunan kesadaran lebih singkat pada salin hipertonik dibandingkan manitol. Pada studi Upadhyay6, durasi koma pada kelompok yang mendapat NaCl 3% lebih singkat daripada kelompok manitol (p <0,001), hasil yang sama juga didapatkan pada studi Yildizdas7. Pada laporan kasus oleh Curtis11, pasien menjadi kompos mentis setelah bolus NaCl 3%. Durasi efek NaCl 7,5%/dekstran 6% lebih lama (148 menit) dibanding manitol (89,5 menit) (p=0,0044).9 Hal serupa disampaikan Qureshi, dkk20, yaitu pemberian infus cepat NaCl 3% memberikan durasi efek yang lebih lama, yaitu 120 menit dibandingkan manitol dan NaCl 23,4% dalam dosis isoosmolar. Dosis efektif dan cara pemberian salin hipertonik masih menjadi perdebatan. Yildizdas7 merekomendasikan pemberian NaCl 3% dengan kecepatan infus 0,5-2 mL/kg/jam, dapat ditambahkan bolus 1 mL/kg selama 15 menit untuk mencapai target natrium 150-160 mEq/L. Pada studi Upadhyay6, Sakellaridis8, dan Battison9, salin hipertonik diberikan secara bolus dan dianggap lebih efektif. Dalam pedoman tata laksana cedera kepala akut pada anak, Adelson12 merekomendasikan dosis NaCl 3% 0,1-1 mL/kg/jam yang diberikan secara infus kontinu. Salin hipertonik tersedia dalam konsentrasi mulai dari 3% hingga 23,4%. Dengan meningkatnya konsentrasi salin hipertonik, beban osmotik yang diberikan makin besar, namun belum ada bukti konsentrasi dan osmolaritas yang efektif dan aman dalam menurunkan TIK. Peterson, dkk21 dalam studi retrospektif menyatakan bahwa pasien dengan konsentrasi natrium serum 150-170 mEq/L dan osmolaritas serum 300-340 mOsm/L menghasilkan luaran yang lebih baik. Pada konsentrasi NaCl lebih dari 2%, disarankan pemberiannya melalui jalur vena sentral karena dapat mengiritasi vaskular lokal dan menyebabkan kerusakan jaringan jika terjadi ekstravasasi.1-3 Dalam penelitian Upadhyay6 terdapat peningkatan osmolaritas dan kadar natrium dan klorida serum yang bermakna namun masih dalam rentang normal. Yildizdas7 menyatakan bahwa perbedaan konsentrasi natrium serum tidak mempengaruhi mortalitas dan durasi koma. Sementara dalam studi Battison9, kelompok dengan salin hipertonik/dekstran mengalami peningkatan kadar natrium serum, sebaliknya pada kelompok yang mendapat manitol. Efek samping salin hipertonik meliputi peningkatan kembali TIK (rebound), mielinolisis sentral pontin, hipokalemia, asidosis hiperkloremik, dan abnormalitas hematologi. Peningkatan kembali TIK dapat terjadi apabila natrium terakumulasi di ruang ekstraseluler menyebabkan gradien osmotik yang berkebalikan. Mielinolisis sentral pontin yaitu destruksi mielin pada pons, bermanifestasi sebagai letargis dan kuadriparesis. Risiko terjadinya sindrom demielinisasi berkaitan dengan koreksi cepat hiponatremia dengan larutan hipertonik, yaitu apabila natrium serum meningkat sebesar 35-40 mEq/L per hari. Satu kasus demielinisasi osmotik dilaporkan pada pasien cedera kepala dengan kondisi hiponatremia yang mendapat 1250 mL salin hipertonik 7,5%/hydroxyethyl starch 7,2% 35 LAPORAN KASUS selama 6-7 jam.1,2,22 Waktu protrombin dan tromboplastin parsial dapat memanjang dan hambatan agregasi trombosit dapat terjadi pada pemberian infus kontinu atau pemberian salin hipertonik dalam jumlah besar. Satu kasus hypernatraemic haemorrhagic encephalopathy (HHE) dilaporkan tahun 1979, pada anak berusia 12 tahun dengan ketoasidosis diabetikum yang diberikan salin hipertonik 5%, kadar sodium serum meningkat dari 135 menjadi 172 mmol/L.23 Hipokalemia dapat terjadi akibat reabsorpsi natrium pada tubulus distal ditukar dengan ion kalium sehingga sejumlah besar kalium diekskresi lewat urin. Asidosis hiperkloremik merupakan kondisi klinis terjadinya peningkatan klorida serum menyebabkan pergeseran buffer bikarbonat menyebabkan asidosis. Pemberian buffer asetat dapat mencegah asidosis metabolik.1,24 Asidosis hiperkloremik dilaporkan pada studi Yildizdas.7 Pada studi lainnya tidak didapatkan efek samping. Pada kasus ini, pasien mengalami penurunan kesadaran akibat ensefalopati sepsis. Pemasangan ventilator dan pemberian sedasi merupakan bagian dari tata laksana peningkatan TIK. Agen hiperosmotik yang dipilih adalah NaCl 3% karena terdapat hiponatremia ringan pada pasien dan hemodinamik pasien yang tidak stabil dengan adanya syok berulang. Pasien mendapatkan NaCl 3% melalui akses vena dengan dosis 3 mL/kg/kali setiap 8 jam dan kecepatan 0,1 mL/kg/jam. Dosis yang diberikan sedikit lebih tinggi dari penelitian Upadhyay6, kecepatan infus sesuai dengan rentang yang disarankan pada penelitian Yildizdas7. Target natrium yang ingin dicapai pada pasien adalah 145 mEq/L, lebih rendah dari target natrium serum yang direkomendasikan Yildizdas.7 Tidak dilakukan pengukuran TIK, namun pemantauan tanda vital tidak menunjukkan perubahan selama pemberian NaCl 3%. Pasien mengalami perbaikan kesadaran setelah 5 hari pemberian NaCl 3%, kadar natrium dan klorida serum tidak mengalami peningkatan, dan tidak didapatkan efek samping salin hipertonik pada pasien. SIMPULAN Salin hipertonik lebih efektif dalam menurunkan TIK dan memperbaiki tekanan perfusi serebral dibandingkan manitol. Efek samping lokal dan sistemik akibat pemberian salin hipertonik jarang dilaporkan. Salin hipertonik konsentrasi 3% lebih sering digunakan, aman, dan mudah ketersediaannya. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan konsentrasi dan osmolaritas salin hipertonik yang paling aman dan efektif dalam menurunkan TIK pada anak, dosis yang tepat, dan cara pemberian yang terbaik. DAFTAR PUSTAKA 1. Knapp JM. Hyperosmolar therapy in the treatment of severe head injury in children: Mannitol and hypertonic saline. AACN Clin Issues. 2005;16(2):199-211. 2. Himmelseher S. Hypertonic saline solutions for treatment of intracranial hypertension. Curr Opin Anaesthesiol. 2007;20(5):414-26. 3. Mortimer DS, Jancik J. Administering hypertonic saline to patients with severe traumatic brain injury. J Neuro Nurs. 2006;38(3):142-6. 4. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. ISPAD clinical practice consensus guidelines 2009 compendium: Diabetic ketoacidosis in children and adolescents with 5. Oxford Centre of Evidence-based Medicine. Oxford Centre of Evidence-based Medicine Levels of Evidence [Internet]. [Cited 2012 Jul 20]. Available from: http://www.cebm.net/index. diabetes. Pediatr Diabetes. 2009;10(Suppl.12):118-33. aspx?o=1025 2009. Pada tanggal 20 Juli 2012. 6. Upadhyay P, Tripathi N, Singh RP, Sachan D. Role of hypertonic saline and mannitol in the management of raised intracranial pressure in children: A randomized comparative study. J Pediatr Neurosci. 2010;5(1):18-21. 7. Yildizdas D, Altunbasak S, Celik U, Herguner O. Hypertonic saline treatment in children with cerebral edema. Indian Pediatr. 2006;43(9):771-9. 8. Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, Chroni D, Vlachos K, Chatzopoulos K, et al. Comparison of mannitol and hypertonic saline in the treatment of severe brain injuries. J Neurosurg. 9. Battison C, Andrews PJ, Graham C, Petty T. Randomized, controlled trial on the effect of a 20% mannitol solution and a 7,5% saline/6% dextran solution on increased intracranial pressure 2011;114(2):545-8. after brain injury. Crit Care Med. 2005;33(1):196-202. 10. Berger S, Schwarz M, Huth R. Hypertonic saline solution and decompressive craniectomy for treatment of intracranial hypertension in pediatric severe traumatic brain injury. J Trauma. 2002;53(3):558-63. 11. Curtis JR, Bohn D, Daneman D. Use of hypertonic saline in the treatment of cerebral edema in diabetic ketoacidosis (DKA). Pediatr Diabetes. 2001;2(4):191-4. 12. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, Chesnut RM, du Coudray HE, Goldstein B, et al. Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents. Pediatr Crit Care Med. 2003;4(Suppl.3):1-29. 13. White H, Venkatesh B. Cerebral perfusion pressure in neurotrauma: A review. Anesth Analg. 2008;107(3):979-88. 14. Chang Y, Chen TY, Chen CH, Crain BJ, Toung TJ, Bhardwa JA. Plasma arginine-vasopressin following experimental stroke: effect of osmotherapy. J Appl Physiol. 2006;100(5):1445-51. 15. Chodobski A. Possible new mechanism underlying hypertonic saline therapy for cerebral edema. J Appl Physiol. 2006;100(5):1437-8. 16. Lescot T, Degos V, Zouaoui A, Preteux F, Coriat P, Puybasset I. Opposed effects of hypertonic saline on contusions and noncontused brain tissue in patients with severe traumatic brain injury. Crit Care Med. 2006;34(12):3029-33. 17. Gwer S, Gatakaa H, Mwai L, Idro R, Newton CR. The role for osmotic agents in children with acute encephalopathies: A systematic review. BMC Pediatr. 2010;10:23-31. 18. Kamat P, Vats A, Gross M, Checchia PA. Use of hypertonic saline for the treatment of altered mental status associated with diabetic ketoacidosis. Pediatr Crit Care Med. 2003;4(2):239-42. 19. Luu JL, Wendtland CL, Gross MF, Mirza F, Zouros A, Zimmerman GJ, et al. Three-percent saline administration during pediatric critical care transport. Pediatr Emer Care. 2011;27(12):1113-7. 20. Qureshi AI, Wilson DA, Traystman RJ. Treatment of elevated intracranial pressure in experimental intracerebral hemorrhage: Comparison between mannitol and hypertonic saline. Neurosurgery. 1999;44(5):1055-63. 21. Peterson B, Khanna S, Fisher B, Marshall L. Prolonged hypernatremia controls elevated intracranial pressure in head-injured pediatric patients. Crit Care Med. 2000;28(4):1136-43. 22. Schimetta W, Schochl H, Kroll W, Polz W, Polz G, Mauritz W. Safety of hypertonic hyperoncotic solutions: A survey from Austria. Wien Klin Wochenschr. 2002;114(3):89-95. 23. Young RS, Truax BT. Hypernatremic hemorrhagic encephalopathy. Ann Neurol. 1979;5(6):588-91. 24. Suarez JI. Hypertonic saline for cerebral edema and elevated intracranial pressure. Clev Clin J Med. 2004;71(Supl.1):S9-13. 36 CDK-200/ vol. 40 no. 1, th. 2013