perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Hukum Perdagangan Internasional a. Pengertian Perdagangan Internasional Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang dan jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan. Perdagangan internasional dilakukan oleh subjek hukum perdagangan internasional suatu negara (negara, organisasi internasional pemerintah, organisasi internasional non-pemerintah, perusahaan miltinasional, individu, bank) dengan subjek hukum perdagangan internasional negara lain atas dasar kesepakatan bersama (Gunawan Widjaja, 2003: 9). Perdagangan internasional terjadi akibat adanya dorongan perbedaan sumber daya alam, memenuhi kebutuhan nasional, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, adanya kelebihan produksi, perbedaan pendapatan negara, perbedaan selera, dan adanya sarana transportasi. Dorongan-dorongan tersebut muncul akibat tujuan dari perdagangan internasional itu sendiri, yaitu gain for trade (mendapatkan keuntungan dari perdagangan). Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai perdagangan antar atau lintas negara, yang mencakup ekspor dan impor (Tulus Tambunan, 2000: 1). Hal ini senada dengan yang diungkapkan Purwito yakni perdagangan internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa melintasi batas-batas suatu negara atau teritorial suatu negara ke teritorial negara lainnya (Muhammad Ali Purwito, 2010: 4). the dan selanjutnya , intinya mengandung pengertian pertukaran seluruh barang dan jasa antara semua bangsa atau negara (Sumantoro, 1998: 29). Perdagangan internasional dibagi menjadi dua kategori, yakni perdagangan barang dan perdagangan jasa (Tulus Tambunan , 2000: 1). Kegiatan perdagangan ini merupakan sumber penyumbang yang berarti bagi Gross Domestic Product commit to user 14 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan sangat berarti bagi perekonomian, sosial, politik suatu negara. Filosofi dan konsep yang terkandung dalam perdagangan internasional adalah interdependensi atau sifat ketergantungan antara negara satu dengan negara lainnya. Sifat ini melahirkan hubungan-hubungan dagang antar negara yang diatur dengan undangundang nasional masing-masing negara atau kesepakatan bilateral/regional/ multilateral (Muhammad Ali Purwito, 2010: 4). Perdagangan internasional memiliki hubungan erat dengan perdagangan bebas, dimana dalam Law Dictionary disebutkan bahwa (Bryan A Garner, 2011: 328): the open and unrestricted import and export of goods without barriers, such as quotas or tariffs, other rhan those charged only as a revenue source, as opposed to those designed to protect domestic businesses. Munir Fuady dalam bukunya berpendapat bahwa, perdagangan bebas (free trade) adalah suatu perdagangan antar negara, baik yang berkenaan dengan impor maupun ekspor yang tidak dibatas-batasi atau di intervensi dengan pengenaan tarif, kuota, subsidi, kontrol nilai tukar dan lain-lain batasan dan intervensi yang merupakan proteksi dan menghambat arus perdagangan (Munir Fuady , 2004: 3). b. Perkembangan Perdagangan Internasional Perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah perkembangan dunia. Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam perdagangan internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina masa lalu tidak terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal dengan nama atau jalan suteranya. Silk Route tidak lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di dunia (Huala Adolf, 2011: 2). Esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah dasar filosofinya. Telah (fundamental freedom). Dengan kebebasan ini siapa saja harus memiliki commit to user 15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kebebasan untuk berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum. Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of EconomicRights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. ) (Huala Adolf, 2011: 6). Pada akhir abad ke-19, sistem perdagangan internasional didasari atas sistem perekonomian merkantilisme. Tujuan ekonomi kaum merkantilis adalah dengan memakmurkan negara dengan memasukkan sebanyak mungkin pendapatan ke dalam kas negara. Aktor utama dalam sistem perekonomian menurut kaum merkantilis adalah negara di mana merkantilisme sangat populer bagi pemerintah yang sedang melakukan pembinaan kekuatan negara, karena tujuannya yang lebih fokus pada pencapaian kepentingan nasional negara secara maksimal. Namun sistem perdagangan ini hancur seiring dengan pecahnya Perang Dunia I yang berdampak negara-negara menjadi proteksionis terhadap komoditas atau barangbarang dari luar serta tidak stabilnya sistem mata uang selama perang terjadi. Dilatarbelakangi oleh semangat liberalisme, ide tersebut didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris, yang bertujuan untuk meningkatkan transaksi ekonomi yang berdasarkan atas kondisi akses yang sama terhadap pasar dan semangat liberalisme tersebut mendorong diselenggarakannya konferensi di Bretton Woods pada tahun 1944. Terdapat dua tujuan utama konferensi Bretton Woods, yaitu (Huala Adolf, 2011: 10): 1) mendorong pengurangan tarif dan hambatan lain dalam perdagangan internasional dan; 2) menciptakan kerangka ekonomi global untuk meminimalisir konflik ekonomi yang terjadi di antara negara-negara, yang salah satu bagiannya adalah mencegah terjadinya Perang Dunia II. Sistem Bretton Woods (1944-1976) ( Bretton Woods System) adalah sebuah sistem perekonomian dunia yang dihasilkan dari konferensi yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire pada tahun 1944. Konferensi ini merupakan produk kerjasama antara Amerika Serikat dan Inggris yang memiliki beberapa fitur kunci yang melahirkan tiga institusi keuangan dunia yaitu Dana Moneter commit to user 16 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Internasional, Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia. Sistem Bretton Woods dibentuk dalam rangka menyelesaikan pertarungan yang terjadi antara otonomi yang dimiliki oleh domestik dan stabilitas internasional, namun dasar yang terdapat dalam sistem-otonomi kebijakan nasional, nilai tukar tetap, dan kemampuan untuk mengubah mata uang-satu sama lain saling bertolak belakang (Huala Adolf, 2011: 11). Perdagangan bebas (free trade) atau dalam lingkup yang lebih luas dalam bentuk ekonomi pasar (free fight liberalism) sangat didukung oleh organisasiorganisasi internasional untuk menegakkan hukum perdagangan internasional. Organisasi internasional yang sampai saat in menjadi wadah dalam pelaksanaan perdagangan internasional adalah World Trade Organization (WTO). Latar belakang berdirinya WTO tidak terlepas dari sejarah GATT. Kesepakatan perdagangan multilateral pertama yang diakui dunia adalah Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade GATT). Dasar pemikiran penyusunan GATT adalah suatu kesepakatan yang memuat hasil-hasil negosiasi tarif dan klausul-klausul perlindungan (protektif) guna mengatur komitmen tarif. Sejak berdiri (1947) hingga dileburkan dengan WTO, GATT telah menyelenggarakan 8 (delapan) putaran perundingan untuk membahas isu hukum perdagangan. Putaran terakhir, Uruguay Round berlangsung dari 1986-1994 yang dimulai di kota Jenewa, Swiss, sebagai berikut (H.S. Kartadjoemena, 1996: 159-171): 1) Perundingan di Jenewa (April Oktober 1947) Putaran perundingan ini diikuti oleh 23 negara untuk menentukan bea masuk dengan melaksanakan perundingan demi produk. Perundangan ini telah berhasil diadakan konsensus penurunan tarif sebanyak 45.000 produk. 2) Perundingan di Uruguay (1949) Putaran perundingan ini menambah negara peserta dari 23 menjadi 33 negara dan menambah penurunan bea masuk yang disepakati. 3) Perundingan di Targuay (1950-1951) Negara peserta menjadi 34 negara. Perundingan ini dilakukan upaya penurunan tarif dilakukan dengan merundingkan konsesi penurunan produk demi produk. commit to user 17 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4) Perundingan di Jenewa (1955-1956) Hambatan tarif masih merupakan masalah yang dirundingkan oleh 26 negara peserta perundingan. 5) Perundingan Dillon Round (1960-1961) Putaran perundingan ini dilatarbelakangi oleh pembentukan MEE pada tahun 1957. Pada tahun 1960 sampai dengan 1961 sejumlah 26 negara telah mengadakan negosiasi di bidang tarif yang cakupannya cukup luas. Maksud negosiasi tarif tersebut adalah agar pembentukan atau Free Trade Area seperti MEE di atas berdasarkan pada ketentuan GATT dalam arti tidak boleh menimbulkan hambatan-hambatan perdagangan bagi pihak ketiga. Perundingan Dillon telah menghasilkan 4.400 konsensi tarif. 6) Perundingan Kennedy Round Putaran ini diikuti 62 negara dan pada saat itu telah ditetapkan suatu metode baru di bidang negosiasi tarif, yaitu untuk produk-produk industri. Dengan metode tersebut, putaran ini telah berhasil memenuhi tingkat tarif rata-rata 35% untuk produk industri selama lima tahun. Dalam Kennedy Round ini juga disepakati suatu GATT Anti Dumping Agreement yang baru. 7) Perundingan Tokyo Round (1972-1979) Tokyo Round yang diikuti oleh 102 negara telah menyelesaikan pengurangan atau penurunan tarif terhadap ribuan produk industri dan pertanian yang berkaitan dengan tarif dan non-tarif. Tokyo Round juga menghasilkan persetujuan-persetujuan yang disebut Tokyo Round Codes, yaitu sebagai berikut: a) The Agreement on technical Barries to Trade (Standard Code) Perjanjian ini mengikat negara yang menandatanganinya sehingga apabila suatu pemerintahan atau instansi menentukan peraturan teknis atau standar teknis, peraturan, standar, dan testing, serta sertifikasinya tidak menimbulkan rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional. b) Subsidies and Countervailing Measures Negara yang menandatangani kode ini member komitmen bahwa subsidi yang commit to user 18 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id diberikan kepada industri domestik tidak menunggu kepentingan perdagangan negara lain. c) Import Licensing Procedure Negara anggota kode ini mengambil komitmen untuk menerapkan sistem lisensi impor yang sederhana dan mengadministrasikannya secara netral dan adil. d) Government Procurement Kode ini antara lain menentukan peraturan dengan cara mengundang, mengajukan, dan memberikan tender. Perjanjian ini dibuat agar undangundang, peraturan, prosedur dan praktik mengenai pembelian negara menjadi lebih transparan dan lebih menjamin agar sistem pembelian tersebut tidak mendiskriminasikan produk dan pemasok luar negeri. e) Custom Valuation Perjanjian ini menentukan sistem yang adil, uniform, dan netral serta menentukan valuasi barang-barang untuk keperluan pabean yang sesuai dengan pernyataan praktik dunia perdagangan dan melarang cara penentuan valuasi yang arbiter dan fiktif. f) Revesed GATT Anti Dumping Code Kode ini merupakan penyesuaian atas perjanjian-perjanjian sebelumnya, yaitu GATT Anti-Dumping Code, yang dirundingkan pada waktu Kennedy Round (1964-1967). Perjanjian baru ini memperjelas Article VI dan teks General Agreement yang menentukan syarat mengenai bagaimana suatu anti-dumping duty dapat dikenakan terhadap barang impor yang masuk dengan harga dumping. g) International Dairy Arragement Perjanjian ini bertujuan untuk mengadakan liberalisasi dan mengembangkan perdagangan di bidang hasil ternak di luar daging atau dairy product, termasuk susu, susu bubuk, keju, lemak susu kambing. h) Arrangement Regarding Bavine Meat Perjanjian ini bertujuan untuk mengembangkan ekspansi, liberisasi dalam perdagangan internasional di bidang daging sapi, serta menerapkan perbaikan kerja sama internasional di bidang ini. commit to user 19 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id i) Perdagangan di Bidang Pesawat terbang Sipil Dalam perjanjian ini telah disepakati perjanjian untuk menghapuskan semua tarif dan berbagai pengertian serupa untuk pesawat terbang sipil, suku cadang, dan reparasi. Penghapusan ini berlaku binding atau mengikat dalam GATT. 8) Perundingan Uruguay Round (1984-1994) Perjanjian hasil perundingan Uruguay Round yang di tandatangani di Marrakesh terdiri dari sebagai berikut: a) Dibentuknya satu organisasi penerus GATT, yaitu WTO (World Trade organization) yang mempunyai wewenang yang lebih luas daripada GATT dan yang merupakan organisasi internasional secara penuh. b) Negara anggota bersedia untuk memenuhi tingkat bea masuk sebesar rata-rata 33% dari tingkat semula, khususnya di bidang manufaktur. c) Untuk sektor tradisional yang di dalam aturan peranannya masih banyak unsur sepihak dan penuh dengan distorsi yang bentuknya non-tarif, yaitu tekstil dan pertanian, Perjanjian Uruguay Round ini telah membuka kesempatan secara bertahap menempatkan aturan permainan dalam sector itu di bawah naungan aturan GATT yang diawasi oleh WTO. d) Perjanjian umum di bidang jasa-jasa (trade in services). Telah disepakati sebagai kerangka umum atau framework agreement untuk menentukan aturan permainan yang berlaku untuk perdagangan jasa. e) Diberikannya perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual atau Agreement on Intellectual Property Right. f) Telah disempurnakan serangkaian aturan main GATT yang sifatnya sangat teknis untuk menunjang kelancaran guna yang lebih terbuka. Tujuan WTO tertuang dalam Annex 1a, yaitu meningkatkan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas, memperluas produksi dan perdagangan, serta memanfaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia.Tujuan WTO ini pada dassarnya juga merupakan tujuan GATT. Organisasi ini memiliki fungsi untuk memastikan perdagangan antar negara berjalan lancar, terkendali, adil, dan sebebas mungkin. Untuk memastikan agar perdagangan internasional bisa berjalan seperti yang diharapkan, WTO melakukan beberapa langkah, sebagai berikut (http://www.wto.org): commit to user 20 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1) Mengatur kesepakatan perdagangan. 2) Bertindak sebagai forum negosiasi perdagangan. 3) Menyelesaikan sengketa perdagangan. 4) Meninjau kebijakan perdagangan nasional. 5) Membantu negara berkembang dalam masalah kebijakan perdagangan melalui bantuan teknis maupun program pelatihan, dan 6) Bekerjasama dengan organisasi internasional yang lain. Negara-negara yang meratifikasi hukum internasional sudah seharusnya mengimplementasikan aturan hukum internasional ke dalam hukum nasional sebagai bentuk hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Dua teori utama yang dikenal adalah monisme dan dualisme. Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya; menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda, hukum internasional mempunyai suatu karakter yang berbeda secara intrinsik (intrinsically) dari hukum nasional. Karena melibatkan sejumlah besar sistem hukum domestik, teori dualisme kadang-kadang dinamak ungkan (J.G. Starke, 2006: 26). J.G. Stark emengutip pendapat Triepel bahwa, terdapat dua perbedaan fundamental di antara hukum nasional dan hukum internasional, yaitu (J.G. Starke, 2006: 26-27): 1) Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyeksubyek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya negara-negara. 2) Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak negara itu sendiri, sumber hukum nasional kehendak bersama (gemeinwille). Namun, pendapat Triepel poin 1 dan 2 dinilai sudah tidak sesuai. Subyek hukum internasional tidak hanya mencakup negara saja melainkan juga kesatuan lain yang bukan negara, seperti individu, organisasi internasional, tahta suci vatikan, palang merah internasional, belligerent, badan hukum (perusahaan commit to user 21 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id internasional), sedangkan pendapat mengenai gemeinwille diatas sedikit menyesatkan, hal ini membawa pada persoalan mengenai apakah gemeinwille yang dikemukakan itu merupakan sumber hukum internasional. Yang benar adalah bahwa di atas gemeinwille itu terdapat prinsip-prinsip fundamental hukum internasional, yang lebih tinggi darinya dan yang mengatur pelaksanaan atau pernyataannya. Menurut Anzilotti sistem hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati, sedangkan hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda, yaitu perjanjian antar negara-negara harus dijunjung tinggi, perjanjian mengikat bagi tiap-tiap negara yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Sistem hukum nasional dan hukum internasional sama sekali terpisah sehingga tidak mungkin ada pertentangan antar keduanya, yang mungkin adalah penunjukan-penunjukan (renvois) dari sistem satu ke sistem lainnya. Terdapat sanggahan terhadap teori ini dimana tidak benar bahwa pacta sunt servanda harus dianggap sebagai norma yang melandasi hukum internasional, prinsip ini hanya merupakan sebagaian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum internasional (J.G. Starke, 2006: 97). Berbeda dengan para penulis dualisme, pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai suatu kesatuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat negara, individu, atau kesatuan lain bukan negara. Sistem hukum nasional dan sistem hukum nasional merupakan bagian yang saling berkaitan di dalam suatu sistem hukum (J.G. Starke, 2006: 98). Terdapat dua pendapat mengenai primat hukum antara hukum nasional dan hukum internasional, yaitu monism primat hukum nasional dan monisme primat hukum internasional. Monisme primat hukum nasional beranggapan bahwa hukum nasional adalah hukum yang utama daripada hukum internasional, hukum internasional bersumber kepada hukum nasional yang merupakan kelanjutan hukum nasional untuk urusan-urusan luar negeri. Monisme primat hukum internasional beranggapan bahwa hukum internasional adalah hukum yang lebih tinggi dari hukum nasional, hukum nasional tunduk kepada hukum internasional dan daya pengikatnya berasal dari suatu pendelegasian wewenang dari hukum commit to user 22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id internasional. Namun, hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional pada akhirnya diserahkan pada praktek masing-masing negara, tiap negara memiliki hak untuk menentukan bagaimana hubungan hukum internasional dan hukum nasional di negaranya. c. Pengertian Hukum Perdagangan Internasional Sistem perdagangan internasional memiliki aturan dalam pelaksanaannya yaitu, Hukum Perdagangan Internasional. Hukum perdagangan internasional menurut definisi Michelle Sanson conduct of parties involved in the exchange of goods, services and technology Meskipun ia memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public international trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private international trade law) (M. Sanson, 2002: 3-4). Hercules Booysens sebagaimana dikutip dalam Muhammad Sood mengemukakan definisi hukum perdagangan internasional dalam tiga unsur sebagai berikut (Muhammad Sood, 2011: 21): 1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional (international trade law may also be regarded as a specialized branch of international law). 2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa, dan perlindungan ha katas kekayaan intelektual (International trade law can be described as those rules of onternational law ehich are apllicable to trade and goods, services, and protection of intellectual property). Bentuk-bentuk hukum perdagangan internasional seperti ini sebagaimana diatur dalam aturan WTO, misalnya perjanjian multilateral mengenai perdagangan barang, perdagangan jasa, dan aspek ha katas kekayaan intelektual/HKI (TRIPS). 3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum yang memiliki pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturan hukum nasional ini, aturan-aturan tersebut merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. commit to user 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup hukum perdagangan internasional sangatlah luas. Ruang lingkup hukum perdagangan internasional dapat dikaji dari aspek hukum publik internasional (Public International Law) dan hukum privat internasional (Private International Law). Hal ini sejalan dengan yang sebagaimana dinyatakan oleh Ray August bahwa (Ray August, 2004: 1): Public international law is the division of international law that deals primarily with the right and duties of states and intergovernmental organizations in their international affair; and Private international law, is the division of international law that deals primarily with the right and duties of individuals and nongovernmental in their international affairs. d. Prinsip-Prinsip Hukum Perdagangan Internasional Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam mengatur perdagangan internasional, WTO menerapkan prinsip yang dimuat dalam GATT, yaitu (Akbar Kurnia Putra, 2012: 1-2): 1) Prinsip Most Favoured Nation (MFN) MFN merupakan prinsip Non-Diskriminasi terhadap produk sesama negaranegara anggota WTO. Article 1 section (1) GATT 1947 mengharuskan perlakuan MFN atas semua konsesi tarif yang telah diperjanjikan oleh para pesertanya dengan memutuskan bahwa: With respect to custom, duties and charges and any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed or the international transfer of payment for imports and exports, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation; and with respect to all matters referred to in paragraph 2 and 4 of Article III, any adventage, favour, privilege, or immunity granted by contracting, party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately commit to user 24 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id and unconditionaly to like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties. 2) Prinsip National Treatment (NT) Prinsip NT merupakan prinsip yang menyatakan bahwa produk impor harus diperlakukan sama dengan produk domestik. Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1947. Menurut Mosler dalam Mahmur Siregar, bahwa unsur-unsur penting yang terkandung dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut (Mahmur Siregar, 2005: 67-68): a) Adanya kepentingan lebih dari satu negara. b) Kepentingan tersebut terletak di wilayah yurisdiksi suatu negara. c) Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan negara lain yang berada di wilayah negaranya. d) Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi negara tuan rumah sendiri dan merugikan kepentingan negara lain. 3) Prinsip Resiprositas (Reciprocity Principle) Prinsip resiprositas diatur dalam Article II GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu negara, dalam kebijakan perdagangan insternasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi (Muhammad Sood, 2011: 45). 4) Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif (Prohibition of Quantitative Restriction) Prinsip ini telah diatur dalam Article IX GATT 1947, mengendaki transparansi dan penghapusan hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional. Hambatan kuantitatif dalam persetujuan GATT/WTO adalah hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam kategori hambatan ini adalah kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restrains) (Muhammad Sood, 2011: 46). commit to user 25 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Ada beberapa pengecualian dari prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, yaitu sebagai berikut (Muhammad Sood, 2011: 46): a) Negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran diizinkan untuk membatasi impor dengan cara kuota (Article XII-XIV GATT 1947). b) Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara itu boleh tidak tunduk pada prinsip ini (Article XIX GATT 1947). c) Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, negara tersebut diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban tunduk pada prinsip ini (Article XX dan XXI GATT 1947). 5) Prinsip Perdagangan yang Adil (Fairness Principle) Prinsip fairness dalam hukum perdagangan internasional yang melarang dumping (Article VI GATT) dan Subsidi (Article XVI GATT), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Dalam perdagangan internasional, prinsip fairness ini diarahkan untuk menghilangkan praktik-praktik persaingan curang dalam kegiatan ekonomi yang disebut dengan praktek dumping dan subsidi dalam perdagangan internasional (Muhammad Sood, 2011: 47). 6) Prinsip Tarif Mengikat (Binding Tariff Principle) Prinsip ini diatur dalam Article II section (2) GATT-WTO 1995, bahwa setiap negara anggota WTO harus mematuhi berapapun besarnya tarif yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tarif mengikat. Penerapan tarif impor (bea masuk) mempunyai fungsi sebagai berikut (Munir Fuady, 2004): a) Tarif sebagai pajak, adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan oleh negara untuk dijadikan kas negara. b) Tarif untuk melindungi produk domestik dari praktik dumping yang dilakukan oleh negara pengekspor. c) Tarif untuk memberikan balasan terhadap negara pengekspor yang melakukan prokteksi produk melalui praktik subsidi terhadap produk ekspor. Dalam kaitannya dengan proteksi industri dalam negeri, GATT tidak melarang proteksi industri dalam negeri. Namun demikian sebagai salah satu prinsip GATT commit to user 26 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id jika proteksi ini dilakukan maka harus melalui tarif. Salah satu tujuan pengaturan demikian adalah agar supaya ruang lingkup proteksi tadi menjadi transparan dan untuk mengurangi distorsi perdagangan yang ditimbulkannya. Disamping tarif suatu negara seringkali mengambil kebijakan-kebijakan perdagangan dalam bentuk pengenaan hambatan non-tarif. Hambatan non-tarif bentuknya sangat beragam. Hambatan non-tarif yang dilarang oleh dokumen GATT 1947 dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Menurut Article III, pajak dalam negeri dan pungutan-pungutan lainnya, demikian juga peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi perdagangan dalam negeri serta produksi tidak boleh diterapkan terhadap barang-barang impor atau produk dalam negeri dengan maksud untuk memberikan proteksi terhadap produk dalam negeri. 2) Pengaturan kuota (quantitative regulation) atas film (exposed cinematograph films) dalam keadaan-keadaan tertentu diperkenankan menurut Article III: 10 dan IV). 3) Article IV mengharuskan adanya kebebasan transit melalui jalur yang paling menguntungkan transit internasional, tanpa penundaan yang tidak perlu dan tanpa membedakan kewarganegaraan sarana transportasi atau barang yang diangkut. Suatu hambatan terhadap pengangkutan merupakan hambatan terhadap perdagangan. 4) Dalam keadaan-keadaan tertentu tindakan anti-dumping dan bea masuk imbalan diperkenankan oleh Article VI. 5) Hambatan administratif terhadap perdagangan sejauh mungkin harus dibatasi menurut Article VII, VIII, dan IX. 6) Menurut Article X, negara-negara peserta berkewajiban untuk mempublikasikan peraturan-peraturan hukum nasionalnya, demikian juga putusan pengadilan dan administratif yang berlaku umum dalam kaitannya dengan sesuatu produk tertentu. Ketiadaan informasi merupakan suatu hambatan non-tarif, karena mencegah persaingan adil. 7) Kuota atas impor maupun ekspor umumnya dilarang Article XI. Namun demikian pembatasan-pembatasan atas produk pertanian, pembatasan untuk melindungi neraca pembayaran, dan untuk melindungi industri baru di negara- commit to user 27 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id negara berkembang di izinkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu menurut Article XI sampai dengan XV dan XVIII. 8) Dalam keadaan-keadaan khusus subsidi diperkenankan sesuatu dengan ketentuan Article XVI. 9) Adanya perusahaan dagang negara dapat juga menjadi hambatan non-tarif nsmun, dalam keadaan tertentu diperbolehkan sesuai Article XVII. 2. Tinjauan tentang Agreement on Agriculture Agreement on Agriculture (AoA) adalah perjanjian pertanian yang merupakan bagian dari World Trade Organization (WTO) yang mulai resmi berlaku sejak 1 Januari 1995. Tujuannya, agar setiap negara mau menghapus tarif pertanian dan subsidi pertaniannya guna menerapkan perdagangan bebas produk-produk pertanian dan sistem pertanian yang liberalistik. Hal-hal yang diatur dalam AoA anatara lain (Xiaozen Li, 2008: 4): a. Perluasan akses pasar (market access) seringkali juga disebut penurunan tarif. Karena perluasan pasar melalui ekspor ke negara lain dicapai melalui penurunan hambatan tarif di negara tujuan. Akses pasar juga diperluas melalui dihilangkannya hambatan non-tarif secara bertahap menjadi hambatan tarif atau disebut tarifikasi (Article 4 AoA). b. Pemotongan dukungan domestik atau subsidi dalam negeri. Tujuannya juga meningkatkan akses pasar. Karena dengan menurunkan subsidi domestik maka produk pertanian dalam negeri menjadi lebih mahal harganya sehingga produk-produk pertanian impor dapat di ekspansi ke pasar negara lain, dalam perjanjian pertanian WTO membedakan antara program dukungan yang mempengaruhi produksi secara langsung dan yang dianggap tidak mempunyai pengaruh secara langsung. c. Pemotongan subsidi ekspor, seperti misalnya kredit pasar. Tujuannya sama untuk meningkatkan akses pasar di negara anggota lainnya. Jadi pada dasarnya negosiasi AoA ditujukan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia atas produk pertanian dengan mengurangi bahkan menghilangkan segala hal yang menjadi penghalang (barrier) di negara-negara anggota lainnya. Dalam kaitannya dengan peraturan di bidang pertanian, berdasarkan data Departemen Keuangan Republik Indonesia, yang dimaksud commit to user 28 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan produk pertanian adalah produk hewani, produk nabati, minyak dan lemak hewani atau nabati, lemak olahan yang dapat dimakan, malam hewani atau malam nabati, bahan makanan olahan, minuman, minuman keras dan tembakau. List of Product/Chapter 24 (dua puluh empat) bab, meliputi Bab 1 (satu) sampai Bab 24 (dua puluh empat). Komoditas beras yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini tercatat dalam pos tarif 10.06 dari kelompok produk pangan nabati (http://www.tarif.depkeu.go.id/Tarif/HS10Description). Isi kesepakatan dalam AoA dirancang agar dukungan domestik diubah sedemikian rupa sehingga dapat dihilangkan, atau kalaupun ada maka pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan dan produksi pertanian kecil sekali (Ridha Amaliyah, 2009: 231). Untuk mengakomodasi kepentingan negara berkembang, tidak semua subsidi perlu dipotong. Mereka dapat diklasifikasikan dalam kategori khusus. Kategori tersebut dapat digolongkan dalam Green Box, Blue Box, dan Amber Box. Bantuan Domestik yang bersifat menghambat perdagangan (trade distorting support) dikategorikan sebagai Kotak Jingga (Amber Box/AB). Kotak Biru adalah merupakan KJ yang bersifat mengurangi distorsi perdagangan. Subsidi yang pada kondisi normal ditempatkan dalam KJ akan berada pada KB jika subsidi yang diberikan bertujuan untuk membatasi jumlah produksi yang dihasilkan oleh petani. Bentuk bantuan langsung (direct payments) seperti ini juga dapat memperoleh pengecualian dalam komitmen penurunan tarif. Kriteria bantuan langsung yang diberikan harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Erna M. Lokollo, 2007: 308): a. Diperuntukkan bagi petani yang membatasi luas lahan dan tingkat produksi dari komoditas yang diusahakan (usahatani yang diusahakan pada luas lahan dan tingkat produksi yang tetap); b. Bantuan yang diberikan kurang lebih sebesar 85 persen dari nilai tingkat produksi yang tetap atau; c. Bantuan yang didasarkan pada jumlah kepemilikan hewan ternak pada jumlah yang terbatas. Seperti diuraikan sebelumnya, bantuan langsung dalam kategori KB tidak akan diberikan kepada petani atau peternak yang memiliki tujuan untuk commit to user 29 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id meningkatkan jumlah produksi komoditas yang diusahakan. Definisi bantuan domestik KB merupakan penjelasan umum dari Pasal 6.5 Perjanjian Putaran Uruguay untuk Pertanian yang digunakan di dalam perundingan perdagangan dalam forum Organisasi Perdagangan Dunia (OPD). Awal lahirnya Bantuan Domestik (BD) yang termasuk dalam kategori KB ditujukan untuk memecah kebuntuan negosiasi di bidang pertanian dalam perundingan Uruguay. Pada waktu itu AS dan negara-negara Eropa mengingkari kesepakatan Blair House Accord yang disusun pada tahun 1992. Kesepakatan itu menyebutkan bahwa pengecualian terhadap pengurangan BD dapat dilakukan untuk produk-produk yang terkait dengan program pembatasan jumlah produksi. Dengan kata lain untuk produk pertanian yang diusahakan pada luasan lahan dan tingkat produksi yang tetap, atau untuk jumlah ternak yang tetap bantuan domestik masih boleh diberikan. Disisi lain, untuk berbagai bentuk program yang sifatnya ditujukan untuk peningkatan produksi, BD tidak dapat diberikan (prohibited). Di dalam Perjanjian Pertanian di WTO, yang termasuk dalam klasifikasi Kotak Hijau (KH) atau Green Box adalah jenis bantuan yang tidak berpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap gangguan perdagangan, sehingga bantuan jenis ini tidak perlu dikurangi. Bentuk-bentuk Bantuan Domestik atau Domestic Support yang masuk dalam KH adalah (Erna M. Lokollo, 2007: 311): a. Pelayanan Umum (General Services) seperti research, pest and disease control, extension and marketing services, dan infrastructure; b. Stock penyangga pangan (stockholding for food security); c. Bantuan pangan dalam negeri untuk masyarakat yang memerlukan (domestic food-aid for the needy); d. Pembayaran langsung terhadap produsen (direct payment to producers that ); e. Asuransi pendapatan dan program jaring pengaman sosial (income insurance and safety net programmes); f. Bantuan darurat (disaster relief); g. Program penyesuaian structural (structural adjustment programmes); commit to user 30 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id h. Program bantuan lingkungan hidup dan bantuan daerah (environmental and regional assistance programmes). Menurut kesepakatan Perundingan Pertanian, Kotak Hijau adalah subsidi yang tidak berpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap perdagangan. Subsidi tersebut harus dibiayai dari anggaran pemerintah (tidak dengan membebani konsumen dengan harga yang lebih tinggi) dan harus tidak melibatkan subsidi harga (Annex 2 AoA). Di dalam Annex 2 diatur dasar-dasar pengecualian dari komitmen pengurangan. Disebutkan bahwa kebijakan-kebijakan Subsidi Domestik yang dikecualikan dari komitmen pengurangan harus memenuhi kriteria pokok, yaitu kebijakan tersebut tidak memiliki atau paling tidak dalam tingkatan minimal, mendistorsi perdagangan atau memiliki dampak minimal terhadap produksi. Dengan demikian, semua kebijakan yang diajukan untuk mendapatkan pengecualian harus memenuhi kriteria pokok berikut (Erna M. Lokollo, 2007: 312): a. Subsidi disalurkan melalui program pemerintah dengan menggunakan dana publik yang tidak melibatkan transfer dari konsumen; b. Subsidi tidak mempunyai dampak pada pemberian bantuan harga kepada produsen. 3. Tinjauan tentang The Agreement on Import Licensing Procedures a. Pengertian dan Tujuan The Agreement on Import Licensing Procedures Import Licensing merupakan prosedur administratif yang digunakan sebagai persyaratan didalam pengajuan permohonan atau dokumentasi tertentu kepada badan administrasi yang berwenang dan harus dipenuhi sebelum proses impor barang (Sulistyo Widayanto, 2011: 10). Persetujuan Import Licensing Agreement (ILA) adalah bagian dari Single Undertaking Putaran Uruguay dan terdapat di Annex A GATT 1994. Definisi import licensing WTO menyebutkan sebagai berikut: Import licensing can be defined as administrative procedures requiring submission of an application or other documentation (other than those required for customs purposes) to the relevant administrative body as prior condition for importation of goods commit to user 31 perpustakaan.uns.ac.id Tujuan dari digilib.uns.ac.id Import Licensing Agreement/ILA antara lain adalah mempermudah dan menjamin transparansi terhadap prosedur kebijakan impor, sistem administrasi yang adil dan transparan dan mencegah terjadinya efek restriktif dan distortif di dalam peraturan impor. b. Dasar Hukum The Agreement on Import Licensing Procedures Setiap anggota WTO wajib untuk menyampaikan notifikasi kebijakan impor setiap satu tahun 1 (satu) kali setiap akhir bulan September. Notifikasi ini akan dikaji oleh Committee on Import Licensing setiap dua tahun satu kali. Setiap anggota WTO yang merasa dirugikan akses pasarnya oleh kebijakan impor negara menekan anggota WTO yang dituju dan terlebih lagi bagi anggota yang belum melakukan kewajiban notifikasi mereka. Terdapat tiga ketentuan yang menjadi dasar hukum dari notifikasi ketentuan tata niaga impor yaitu sebagai berikut: 1) GATT Article VIII mengenai bea dan formalitas terkait dengan importasi dan eksportasi. Segala prosedur pemberian ijin impor yang tidak bersifat spesifik terkait dalam Article VIII GATT ini. Paragraf 1(c) menetapkan aturan umum yang mewajibkan setiap Anggota untuk membuat prosedur dan penetapan formalitas perijinan impor atau ekspor harus sesederhana dan seminimal mungkin dalam pengurusan persyaratan dokumentasi yang harus dipenuhi. Menurut paragraf 2 (dua), tiap negara wajib meninjau kembali segala peraturan dan regulasinya atas permintaan Anggota WTO lainnya. Sementara itu paragraf 3 (tiga) menyebutkan larangan bagi anggota WTO untuk mengenakan sanksi penolakan hanya karena kekurangan kecil dalam pemenuhan persyaratan. 2) GATT Article X tentang Publikasi dan Tertib Administrasi Regulasi Perdagangan. Dalam hal ini Undang-undang, regulasi, keputusan yang berketetapan hukum, dan segala ketentuan umum yang wajib dipatuhi yang dikeluarkan Pemerintah, mempunyai kaitan dengan klasifikasi atau perhitungan nilai produk untuk kepentingan kepabeanan, atau untuk tingkat pabean, pajak atau pungutan lainnya, atau sebagai prasyarat, restriksi atau larangan impor atau ekspor atau atas transfer untuk pembayaran sesuatu, atau yang dapat membawa pengaruh terhadap penjualan, distribusi, transportasi, commit to user 32 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id asuransi, inspeksi pergudangan, pameran, pemrosesan, atau campuran atau penggunaan lain, harus dipublikasikan sesegera mungkin sedemikian rupa sehingga pemerintah dan para pedagang dapat segera memahami hal-hal tersebut di atas. Suatu persetujuan yang mempunyai dampak terhadap kebijakan perdagangan internasional yang berlaku antar Pemerintah atau dengan suatu badan Pemerintah Negara Anggota WTO lainnya atau antar Pemerintah atau dengan badan Pemerintah Negara bukan anggota WTO juga harus dinotifikasikan. Ketentuan dalam paragraf ini tidak mengharuskan pemerintah untuk mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia tidak ada satupun Anggota WTO diperbolehkan untuk memberlakukan terlebih dahulu suatu ketentuan mengenai tingkat bea masuk atau pungutan lain atas impor yang dilaksanakan secara serempak atau memberlakukan keharusan yang menimbulkan beban, resktriksi atau larangan impor, atau transfer yang terkait dengan pembayaran sebelum diumumkan secara resmi. Setiap Anggota harus mengatur sedemikian rupa secara seragam, adil, dan masuk akal atas setiap undang-undang, regulasi, keputusan dan pengaturan atas hal-hal yang dicantumkan di dalam paragraf 1 Article X GATT 1994. Setiap Anggota harus segera membentuk atau melembagakan badan penyelesaian sengketa atau pertimbangan hukum atau suatu prosedur praktis dengan tujuan antara lain, untuk dapat segera mengadakan pertimbangan dan koreksi tindakan keadministrasian terkait dengan hal-hal yang menyangkut kepabeanan. 3) Pasal-Pasal Notifikasi Import Licensing Procedures WTO. Pasal-pasal yang mewajibkan notifikasi kebijakan tata niaga impor sangat kompleks dan akan dibahas secara tersendiri di dalam bagian II. Pasal-pasal notifikasi tersebut adalah Article 1.4(a)13, Article 7.3, Article 8.2(b)14, Article 5.1-5.4, Article 5.5, dan Footnote 5 to Article 2.2. Apabila negara anggota WTO tidak melakukan notifikasi, negara tersebut tidak serta merta bisa dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap ILA. Meskipun demikian, anggota yang tidak memenuhi kewajiban notifikasi tersebut suatu saat akan dipaksa untuk memenuhinya. Salah satu bentuk paksaannya adalah dengan mengirimkan daftar pertanyaan mengenai kebijakan impor yang tidak dinotifikasikan ke WTO. Suatu anggota WTO yang mengajukan pertanyaan commit to user 33 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terhadap notifikasi anggota WTO lainnya dapat dianggap sebagai indikasi bahwa anggota yang harus menjawab pertanyaan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi terhadap anggota penanya. Anggota yang melakukan notifikasi tidak dapat dipersengketakan karena notifikasi yang disampaikan ke WTO. Sengketa mengenai Kebijakan Impor Licensing dapat terjadi apabila aplikasi atau penerapan import licensing nullification impairment anggota WTO lainnya. 4. Tinjauan tentang Agreement on Safeguard a. Pengertian dan Dasar Hukum Safeguard Berdasarkan Article XIX Agreement on Safeguard on GATT 1994, Tindakan Pengamanan/Safeguard adalah tindakan yang diambil oleh pemerintah negara pengimpor untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaingan. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-dag/Per/9/2008, bahwa: safeguard) adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan Safeguard diperlukan mengingat akibat terbukanya pasar domestik sebagai konsekuensi dari konsesi-konsesi perdagangan sebagai komitmen terhadap liberalisasi seringkali membawa dampak melonjaknya impor secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang tidak wajar. Hal ini merugikan atau berpotensi merugikan industri lokal, meskipun harus diakui bahwa tidak ada unsur-unsur kecurangan atau ketidakjujuran dalam praktek perdagangan eksportir asing. Remedi perdagangan, dalam hal ini tindakan safeguard baik berupa pengenaan bea masuk tambahan dan/atau pembatasan impor diperlukan untuk memberi kesempatan masa remedi, industri lokal akan memiliki kesempatan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi persaingan baru, baik dengan cara commit to user 34 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menambah permodalan atau pembelian mesin-mesin baru, sehingga di akhir masa remedi industri lokal bisa bersaing dengan eksportir asing (Nandang Sutrisno, 2007: 4). Persetujuan di bidang safeguard yang berakhir di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat sistem perdagangan internasional berdasarkan ketentuan GATT 1994 dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) Memperjelas dan memperkuat tata tertib GATT 1994 dan khususnya Article GATT (Tindakan Darurat atas Impor Produk tertentu), untuk menegakkan kembali pengendalian multilateral tentang tindakan pengamanan dan menghilangkan yang lolos dari pengendalian tersebut. 2) Pentingnya penyesuaian struktural dan kebutuhan untuk meningkatkan dan bukan membatasi persaingan dalam pasar internasional. 3) Pertimbangan lebih lanjut bahwa untuk tujuan ini, persetujuan menyeluruh yang dapat diterapkan oleh semua anggota berdasarkan prinsip-prinsip dasar GATT 1994. Pengecualian terhadap negara berkembang dalam Agreement on Safeguard ditentukan bahwa Tindakan Pengamanan tidak boleh diterapkan terhadap suatu produk yang berasal dari suatu negara berkembang yang menjadi anggota dari perjanjian ini jika pangsa impor dari produk tersebut tindak lebih dari 3%. Namun, larangan Tindakan Pengamanan terhadap negara berkembang yang menjadi anggota perjanjian yang pangsa impornya kurang 9% dari keseluruhan impor produk tersebut. Selain itu, negara berkembang mendapatkan hak untuk memperpanjang jangka waktu penerapan suatu Tindakan Pengamanan yang dilakukan untuk suatu jangka waktu dua tahun atau lebih diluar batas normal. Negara tersebut juga dapat menerapkan kembali suatu tindakan pengamanan terhadap produk yang pernah menjadi subjek tindakan pengamanan semacam itu atau tidak kurang dari dua tahun. Dengan adanya Agreement on Safeguard maka setiap negara anggota WTO dapat menerapkan Tindakan Pengamanan atas produk dalam negeri apabila industri dalam negeri tidak mampu bersaing dengan negara anggota lainnya sehingga mengakibatkan kerugian serius sebagai akibat dari banyaknya produk commit to user 35 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id impor yang masuk ke dalam negeri. Pengaturan safeguard selain mengacu pada Article XIX GATT (Emergency Action on Imports of Particular Products) sebagaimana disempurnakan dengan Agreement on Safeguard 1994 juga mengacu pada peraturan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabean dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 tentang Surat Keterangan Asal (Certicate of Origin) Terhadap Barang Impor yang dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguard). b. Pelaksanaan Agreement on Safeguard Penerapan tindakan pengamanan (safeguard) dimaksudkan untuk melindungi produk industri dalam negeri dari banyaknya produk impor merugikan atau mengancam kerugian industri domestik. Syarat-syarat penerapan safeguardsebagaimana diatur dalam Article 2 Agreement on Safeguard adalah sebagai berikut: 1) Anggota dapat memohon tindakan pengamanan atas suatu produk jika produk yang di impor ke dalam wilayah dalam jumlah sedemikian rupa, merugikan produk sejenis dalam negeri, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri dalam negeri yang memproduksi produk sejenis atau produk yang langsung. 2) Tindakan Safeguard akan diterapkan pada produk yang di impor tanpa di lihat dari sumbernya. Kebijakan penerapan tindakan pengamanan (safeguard) oleh negara pengimpor dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain melakukan: a) Penyidikan dan Pembuktian Setiap negara anggota dapat menerapkan tindakan pengamanan setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan prosedur dan diumumkan sesuai dengan Article X GATT 1994. Penyelidikan ini harus mencakup pemberitahuan kepada semua pihak yang berkepentingan sehingga para importir, eksportir, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan bukti dan pandangan mereka, apakah tindakan pengamanan melindungi commit to user 36 perpustakaan.uns.ac.id kepentingan digilib.uns.ac.id umum. Para pejabat yang berwenang selanjutnya akan menyampaikan laporan penyidikan mereka dan memberikan kesimpulan mengenai semua fakta dan hukum yang berlaku. Pelaksanaan penyidikan terhadap adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat meningkatnya impor dilakukan oleh sebuah Komite, yang di Indonesia disebut Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI).Untuk itu kepada pihak berkepentingan yang secara langsung terkena dampaknya dapat mengajukan permohonan penyelidikan atas pengamanan kepada Komite. Menurut Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 85/MPP/Kep/2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan atas Pengamanan Industri dari Akibat Lonjakan Impor, adapun pihak berkepentingan yang terkena langsung dampak peningkatan produk impor adalah sebagai berikut: (1) Produsen dalam negeri Indonesia yang menghasilkan barang sejenis barang terselidik dan/atau barang yang secara langsung bersaing. (2) Asosiasi produsen barang sejenis barang terselidik dan/atau barang yang secara langsung bersaing. (3) Organisasi buruh yang mewakili kepentingan para pekerja industri dalam negeri. Penerapan mekanisme Safeguard juga harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut (Nandang Sutrisno, 2007: 8): (1) Lonjakan impor, baik secara absolut maupun relatif. (2) Lonjakan impor tersebut merupakan akibat dariperkembangan yang tidak terduga dan merupakan dampak dari pemenuhan kewajiban berdasarkan perjanjian WTO. (3) Kerugian serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang menghasilkan barang yang serupa atau barang yang langsung tersaingi. (4) Hubungan kausalitas yang menunjukkan bahwa kerugian atau ancaman kerugian tersebut benar-benar disebabkan adanya lonjakan impor. Tindakan Safeguards hanya dapat dilakukan setelah dilakukan investigasi oleh otoritas yang kompeten berdasarkan prosedur yang telah ada sebelumnya. Namun commit to user 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id apabila dipandang perlu dalam rangka perlindungan industri dalam negeri, bahkan pemerintah dapat mengajukan penyelidikan kepada Komite. Selanjutnya Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) atas prakarsa sendiri dapat melakukan penyelidikan atas lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius dan/atau mengnancam kerugian serius industri dalam negeri. Menurut Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, untuk mempermudah proses penyidikan, pemohon harus melengkapi data sekurang-kurangnya memuat sebagai berikut: 1) Indentifikasi pemohon. 2) Uraian lengkap barang terselidik. 3) Uraian lengkap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaingan. 4) Nama eksportir dan negara pengekspor dan/atau negara asal barang. 5) Industri dalam negeri yang dirugikan. 6) Informasi mengenai kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius. 7) Informasi data impor barang terselidik. Dalam melakukan proses pembuktian, Komite harus memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan buktibukti kepada Komite. Kemudian Komite melakukan verifikasi atas data dan informasi yang diperoleh dari para pihak. Selanjutnya dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pengajuan permohonan tindakan pengamanan tersebut diterima lengkap oleh Komite, berdasarkan hasil penelitian serta bukti awal yang lengkap sebagaimana yang diajukan pemohon tersebut, berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Keppres Nomor 84 tahun 2002 Komite memberikan keputusan berupa: 1) Menolak permohonan dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan; atau 2) Menerima permohonan dan memulai penyelidikan dalam hal permohonan memenuhi persyaratan. b) Penentuan Adanya Kerugian atau Ancaman Kerugian Penentuan adanya kerugian atau ancaman kerugian dimaksud, diatur dalam Article 4 Agreement on Safeguard sebagai berikut: (1) Untuk kepentingan perjanjian ini karena: commit to user 38 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (a) perkembangan atau keberadaan industri dalam negeri. (b) erugian berat yang jelas akan terjadi, sebagaimana kerugian berat yang jelas akan terjadi, sebagaimana dimaksud dalam ayat 2. Penentuan adanya ancaman kerugian serius harus didasarkan pada fakta dan bukan pada tuduhan, dugaan atau kemungkinan yang tersamar lainnya. (c) Dalam menentukan kerugian a i merupakan produsen secara keseluruhan yang memproduksi produk sejenis atau yang langsung bersaing yang beroperasi di dalam wilayah suatu negara anggota, atau hasil produksi atas produk sejenis yang secara langsung bersaing merupakan bagian terbesar dari total produksi dalam negeri dari produk tersebut. (2) Untuk kepentingan penyelidikan (investigation) Dalam menentukan adanya kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius selain diatur dalam Article 4 Agreement on Safeguard, juga telah diatur dalam Pasal 12 Kepres No. 84 Tahun 2002 yang menyatakan sebagai berikut : (a) Penentuan kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat lonjakan impor barang terselidik harus didasarkan kepada hasil analisis dari seluruh faktor-faktor terkait secara objektif dan terukur dari industri dimaksud, adalah sebagai berikut : (i) Tingkat dan besarnya lonjakan impor barang terselidik, baik secara absolut ataupun relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing. (ii) Pangsa pasar dalam negeri yang diambil akibat lonjakan impor barang sejenis. (iii) Kapasitas ekspor riil dan potensial dari negara atau Perubahan tingkat penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas, keuntungan dan kerugian serta kesempatan kerja. (b) Untuk menentukan lonjakan impor yang mengakibatkan terjadinya ancaman kerugian serius, Komite dapat menganalisis faktor-faktor lainnya sebagai tambahan selain faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), seperti : commit to user 39 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (i) Negara-negara produsen barang asal. (ii) Persediaan barang terselidik di Indonesia dan di negara pengekspor. (c) Dalam hal kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang timbul pada saat bersamaan dengan lonjakan impor, tetapi disebabkan oleh faktor-faktor lain diluar faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), maka kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius tidak dapat dinyatakan sebagai akibat lonjakan impor. c) Pengenaan Tindakan Pengamanan Untuk menerapkan tindakan pengamanan perdagangan internasional, dalam Agreement on Safeguard, tindakan pengamanan meliputi dua bentuk: (1) Tindakan Pengamanan (Safeguard) Sementara Dalam Article 5 Agreement on Safeguard, bahwa tindakan pengamanan sementara dapat dilakukan oleh negara pengimpor anggota WTO jika terjadi keadaan darurat dan apabila ditunda akan menyebabkan terjadinya kerusakan yang sulit diperbaiki. Tindakan pengamanan sementara tidak boleh melebihi 200 hari, tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan penentuan sementara yang membuktikan secara nyata bahwa impor yang meningkat telah menyebabkan atau mengancam kerugian berat terhadap industri domestik.Tindakan pengamanan sementara harus diumumkan dalam Berita Negara dan media cetak dan secara resmi diberitahukan kepada pihak yang berkepentingan. (2) Tindakan Pengamanan (Safeguard) Tetap Menurut Christhophorus Barutu, tindakan safeguard tetap dapat ditetapkan dalam tiga bentuk meliputi peningkatan bea masuk, penetapan kuota impor, dan kombinasi dari kedua bentuk tersebut. Jika tindakan safeguard ditetapkan dalam bentuk kuota maka kuotanya tidak boleh lebih kecil dari impor rata-rata dalam tiga tahun terakhir (Christhophorus Barutu, 2007: 119). Berdasarkan Pasal 20 ayat (1-3) Kepres Nomor 84 Tahun 2002 bahwa Komite dapat menetapkan rekomendasi tindakan pengamanan tetap setelah seluruh prosedur penyelidikan tindakan pengamanan dilaksanakan, dan terdapat fakta-fakta serta bukti kuat yang menyatakan bahwa lonjakan impor barang terselidik secara nyata dan terbukti telah mengakibatkan kerugian serius dan/atau commit to user 40 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Rekomendasi tersebut harus disampaikan kepada pihak berkepentingan selambat-lambatnya dalam waktu 10 hari setelah keputusan tersebut diambil dan diumumkan dalam Berita Negara dan/atau media cetak juga disampaikan oleh Komite kepada Menteri Perindustrian dan perdagangan. Kemudian Pasal 21 Kepres Nomor 84 Tahun 2002 menjelaskan bahwa tindakan pengamanan tetap dapat ditetapkan dalam bentuk bea masuk oleh Menteri Keuangan dan/atau kuota oleh Menteri perindustrian dan Perdagangan. Tindakan pengamanan dalam bentuk kuota ditetapkan tidak boleh kurang dari volume impor yang dihitung secara rata-rata dalam jangka waktu 3 tahun terakhir, kecuali terdapat alasan yang jelas bahwa kuota dalam jumlah atau volume impor lebih kecil diperlukan untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius. Menurut Pasal 25 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, tindakan pengamanan tetap tidak akan diberlakukan ulang kepada barang impor yang sudah pernah terkena tindakan pengamanan. Kecuali tindakan pengamanan tetap dengan masa berlaku paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari. Dapat dikenakan terhadap barang impor apabila: (a) Paling sedikit 1 (satu) tahun telah berlaku sejak tanggal diberlakukannya suatu tindakan pengamanan atas barang impor yang bersangkutan; dan (b) Tindakan pengamanan tetap tersebut belum pernah diberlakukan terhadap barang impor yang sama lebih dari 2 (dua) kali dalam masa lima tahun segera sesudah tanggal berlakunya tindakan pengamanan tetap tersebut. (3) Jangka Waktu dan Peninjauan Tindakan Pengamanan Batas waktu tindakan pengamanan (safeguard) ditentukan sebagai berikut (Muhammad Sood, 2012: 244): (a) Secara umum jangka waktu berlangsungnya suatu tindakan safeguard tidak boleh melebihi 4 (empat) tahun walaupun dapat diperpanjang. (b) Perpanjang diberikan sampai maksimum 8 (delapan) tahun, namun harus diberikan konfirmasi mengenai keperluan perpanjangan oleh pihak otoritas nasional yang berwenang. commit to user 41 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (c) Setiap tindakan safeguard yang dilakukan untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun harus diliberalisasikan secara progresif sepanjang masa berlakunya. (d) Dalam Agreement on Safeguard ditentukan bahwa pengenaan tindakan safeguard tidak diperbolehkan kepada suatu produk yang pernah menjadi sasaran tindakan serupa untuk jangka waktu yang sama dengan suatu tindakan safeguard sebelumnya atau paling sedikit 2 (dua) tahun. (e) Suatu tindakan safeguard dengan jangka waktu selama 180 (seratus delapan puluh) hari atau kurang hanya dapat dikenakan kembali terhadap impor suatu produk jika : (i) Telah lewat waktu paling sedikit 1 (satu) tahun sejak tanggal dimulainya tindakan safeguard terhadap produk tersebut. (ii) Dan jika tindakan seperti itu tidak pernah dikenakan terhadap produk yang sama lebih dari 2 (dua) kali dalam kurun waktu 5 (lima) tahun segera sebelum tanggal diberlakukannya tindakan tersebut. 5. Tinjauan tentang ASEAN Economic Community a. Sejarah Pembentukan ASEAN Sebelum ASEAN terbentuk pada tahun 1967, negara-negara Asia Tenggara telah melakukan berbagai upaya untuk menggalang kerjasama regional baik yang berdifat intra maupun ekstra kawasan seperti Association of Southeast Asia (ASA), Malaya, Philipina, Indonesia (MAPHILINDO), South East Asian Ministers of Education Organizatiom (SEAMEO), South East Asia Treaty Organization (SEATO) dan Asia and Pacific Council (ASPAC). Namun organisasi-organisasi tersebut dianggap kurang memadai untuk meningkatkan integrasi kawasan (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2013: 1) Untuk mengatasi perseteruan yang sering terjadi di antara negara-negara Asia Tenggara dan membentuk kerjasama regional yang lebih kokoh, maka lima Menteri Luar Negeri yang berasal Indonesia, Malaysia, Filipina, SIngapura dan Thailang mengadakan pertemuan di Bangkok pada bulan Agustus 1967 yang menghasilkan rancangan Joint Declaration, yang pada intinya mengatur tentang kerjasama regional di kawasan tersebut. Sebagai puncak dari pertemuan tersebut, commit to user 42 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id maka pada tanggal 8 Agustus 1967 ditandatangani Deklarasi ASEAN atau dikenal sebagai Deklarasi Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand. Brunei Darussalam kemudian bergabung tanggal 8 Januari 1984, Vietnam pada tanggal 28 Juli 1995, Lao PDR dan Myanmar pada tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja pada tanggal 30 April 1999 (http://www.aseansec.org/about_ASEAN.html,). Deklarasi Bangkok kemudian menjadi dasar berdirinya Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara (Association of South East Asian Nations/ASEAN). Dalam Deklarasi Bangkok tercantum tujuan dibentuknya ASEAN, yaitu: 1) Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan social serta pengembangan kebudayaan di kawasan in melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsabangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai; 2) Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara negara-negara di kawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan BangsaBangsa; 3) Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling membantu dalam masalahmasalah yang menjadi kepentingan bersama di bidang-bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi; 4) Saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana pelatihan dan penelitian dalam bidang-bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi; 5) Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industry mereka, memperluas perdagangan dan pengkajian masalahmasalah komoditi internasional, memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta meningkatkan taraf hidup rakyat mereka; 6) Memajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara;dan 7) Memelihara kerjsama yang erat dan berguna dengan berbagai organisasi internasional dan regional yang mempunyai tujuan serupa, dan untuk menjajaki segala kemunkinan untuk saling bekerjasama secara erat di antara mereka sendiri. commit to user 43 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Di samping itu, terdapat enam prinsip utama dalam kerjasama ASEAN seperti yang tercantum dalam Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC) pada tahun 1967: (i) saling menghormati; (ii) kedaulatan dan kebebasan domestik tanpa adanya campur tangan dari luar; (iii) non interfence; (iv) penyelesaian perbedaan atau sengketa dengan cara damai; (v) menghindari ancaman dan penggunaan kekuatan/senjata dan (vi) kerjasama efektif antara anggota. b. Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN Sejak awal pembentukannya, ASEAN secara intensif menyepakati berbagai kesepakatan dalam bidang ekonomi. Diawali dengan kesepakatan Preferential Tariff Arrangement (PTA) pada tahun 1977. Kesepakatan yang cukup menonjol dan menjadi cikal bakal visi pembentukan AEC pada tahun 2015 adalah disepakatinya Common Effective Preferential Tariff - ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) pada tahun 1992 dengan target implementasi semula tahun 2008. Kemudian dipercepat menjadi tahun 2003 dan 2002 untuk ASEAN-6. Pada tahun 1995, ASEAN mulai memasukkan bidang jasa dalam kesepakatan kerjasamanya yang ditandai dengan ditandatanganinya ASEAN Framework Agreementon Services (AFAS). Selanjutnya pada tahun 1988 disepakati pula kerjasama dalam bidang investasi ASEAN Investment Area (AIA) (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009: 3-4). Pada tahun 1997, para Kepala Negara ASEAN menyepakati ASEAN Vision 2020 yaitu mewujudkan kawasan yang stabil, makmur dan berdaya-saing tinggu dengan pembangunan ekonomi yang merata yang ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi (ASEAN Summit, Kuala Lumpur, Desember 1997). Kemudian pada tahun 2003, kembali pada pertemuan Kepala Negara ASEAN disepakati 3 (tiga) pilar untuk mewujudkan ASEAN Vision 2020 yang dipercepat menjadi 2015 yaitu: (1) ASEAN Economic Community, (2) ASEAN Political-Security Community, (3) ASEAN Socio-Cultural Community (ASEAN Summit, Bali, Oktober 2003). Pada bulan Januari 2007, para Kepala Negara sepakat mempercepat pencapaian AEC dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Pada tahun yang sama ditandatangani ASEAN Charter and AEC Blueprint. Selanjutnya pada tahun 2008, AEC Blueprint mulai diimplementasikan dan ASEAN Charter mulai berlaku 16 commit to user 44 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Desember 2008. Pada tahun 2009 ditandatangani pula ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009: 4). c. Perkembangan ASEAN Menuju AEC 1) ASEAN Vision 2020 ASEAN Vision 2020 disahkan oleh para pemimpin ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-2 ASEAN tanggal 15 Desember 1997di Kuala Lumpur, Malaysia. Tujuan dari ASEAN Vision 2020 antara lain adalah: a) Menciptakan Kawasan Ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki daya saing tinggi yang ditandai dengan arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas, arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas, arus lalu lintas modal yang lebih bebasm pembangunan ekonomi yang merata serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. b) Mempercepat liberalisasi perdagangan di bidang jasa. c) Meningkatkan pergerakan tenaga professional dan jasa lainnya secara bebas di kawasan. 2) Hanoi Plan of Action Sebagai langkah awal untuk merealisasikan ASEAN Vision 2020, pada KTT ke-6 ASEAN tanggal 16 Desember 1998 di Ha noi Vietnam, para pemimpin ASEAN mengesahkan Rencana Aksi Hanoi (Hanoi Plan of Action/HPA) yang memiliki batasan waktu dari tahun 1999 sampai dengan 2004. Pada KTT tersebut dikeluarkan pula Statement on Bold Measures guna mengembalikan kepercayaan pelaku usaha dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. 3) Roadmap for Integration of ASEAN (RIA) Pada KTT ke-7 ASEAN tanggal 5 November 2001 di Bandar Seri Begawan Brunei Darussalam disepakati perlunya dibentuk Roadmap for Integration of ASEAN (RIA) guna memetakan tonggak penting yang harus dicapai berikut langkah-langkah spesifik dan jadwal pencapaiannya (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009: 6). Menindaklanjuti kesepakatan KTT ke-7 tersebut, para Menteri Ekonomi ASEAN dalam pertemuannya yang ke-34 tanggal 12 September 2002 di Bandar Seri Begawan Brunei Darussalam mengesahkan RIA dimaksud. Di bidang commit to user 45 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id perdagangan jasa sejumlah rencana aksi telah dipetakan, antara lain (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009: 6): a) Mengembangkan dan menggunakan pendekatan alternatif untuk liberalisasi; b) Mengupayakan penerapan kerangka regulasi yang sesuai; c) Menghapuskan semua halangan yang menghambat pergerakan bebas perdagangan jasa di kawasan ASEAN; d) Menyelesaikan Kesepakatan Pengakuan Timbal Balik (MRA) untuk bidang jasa profesional. 4) Bali Concord II Krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada periode 1997-1998 memicu kesadaran negara-negara ASEAN mengenai pentingnya peningkatan dan penguatan kerjasama intra kawasan. ASEAN Economic Community merupakan konsep yang mulai digunakan dalam Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II), di Bali, bulan Oktober 2003 (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009 : 6). Kemudian, ASEAN baru mengadopsi Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yag menyetujui pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community). Pembentukan Komunitas ASEAN ini merupakan bagian dari upaya ASEAN untuk lebih mempererat integrasi ASEAN. Selain itu, juga merupakan upaya ASEAN untuk menyesuaikan cara pandang agar dapat lebih terbuka dalam membahas permasalahan domestik yang berdampak kepada kawasan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip utama ASEAN yaitu saling menghormati (mutual respect), tidak mencampuri urusan dalam negeri (noninterference), konsensus, dialog dan konsultasi (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009: 6-7). Pada saat berlangsungnya KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Laos, tahun 2004, konsep Komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya Vientiane Action Program (VAP) 2004-2010 yang merupakan strategi dan program kerja untuk mewujudkan ASEAN Vision. Berdasarkan program tersebut, High Level Task Force (HLTF) diberikan kewenangan untuk melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi dalam mewujudkan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, yang merupakan program pelaksanaan untuk 6 tahun kedepan commit to user 46 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sekaligus merupakan kelanjutan dari HPA guna merealisasikan tujuan akhir dari Visi ASEAN 2020 dan Deklarasi Bali Concord II (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009: 7). Pencapaian ASEAN Community semakin kuat dengan ditandatanganinya Community by 2015 -12 ASEAN di Cebu, Filipina, tanggal 13 Januari 2007. Para pemimpin ASEAN juga menyepakati percepatan pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) dari tahun 2020 menjadi tahun 2015 (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009: 7). Keputusan untuk mempercepat pembentukan AEC menjadi 2015 ditetapkan dalam rangka memperkuat daya saing ASEAN dalam menghadapi kompetisi global seperti dengan India dan Cina. Selain itu beberapa pertimbangan yang mendasari hal tersebut adalah: (i) potensi penurunan biaya produksi di ASEAN sebesar 10-20 persen untuk barang konsumsi sebagai dampak integrasi ekonomi; (ii) meningkatkan kemampuan kawasan dengan implementasi standar dan praktik internasional, HAKI dan adanya persaingan (Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009: 7). 5) ASEAN Charter (Piagam ASEAN) Piagam ASEAN sebagai perjanjian internasional lahir dari rangkaian proses panjang negosiasi. Menyelaraskan dan kemudian menyepakati kepentingan kepentingan dari sepuluh negara ASEAN (Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Myanmar, Thailand dan Vietnam) dalam satu wadah bersama yang mengikat secara hukum hanyalah satu dari sekian banyak usaha diplomasi yang harus dilakukan demi lahirnya Piagam ASEAN. Perdamaian, stabilitas, kemajuan dan kesejahteraaan bersama kawasan antara lain menjadi kepentingan dasar yang pada akhirnya dapat menyatukan negara-negara Asia Tenggara dalam sebuah wadah ASEAN (Eddy Pratomo, 2009: 61). Rangkaian proses panjang negosiasi dapat dilihat, antara lain, dari pembentukan Deklarasi Kuala Lumpur tentang Pembentukan PiagamASEAN pada tanggal 12 Desember 2005, Eminent Persons Group on the ASEAN Charter commit to user 47 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id atau EPG dan High Level Task Force on the Drafting of ASEAN Charter atau HLTF. Proses panjang negoisasi juga membuahkan Travaux Preparatoirs atau dokumen-dokumen persiapan dari Piagam ASEAN mencakup dan tidak terbatas pada Catatan Kesimpulan atau Summary Records dari EPG, HLTF, Kesepakatan II Bali, Deklarasi Kuala Lumpur tentang Pembentukan Piagam ASEAN dan Deklarasi Cebu tentang Cetak Biru Piagam ASEAN (Eddy Pratomo, 2009: 6162). Setelah proses negosiasi di tingkat regional dapat dilewati yang menghasilkan penandatangananPiagam ASEAN, proses berikutnya adalah ratifikasidari setiap negara anggota ASEAN. Proses internal ratifikasi pun bukanlah hal yang mudah. Tercatat setidaknya ada tiga negara anggota ASEAN yang menyerahkan instrumen ratifikasi pada waktu yang relatif dekat dengan batas waktu rencana awal tanggal keberlakuan Piagam ASEAN yaitu pada Pertemuan Ke-14 Kepala Negara ASEAN, 14 Desember 2008 di Thailand. Di Indonesia, proses ratifikasi melalui Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (Komisi I DPR) mempunyai arti tersendiri. Peran pro-aktif dan kritis dari anggota Komisi I DPR dalam membedah Piagam ASEAN sedikit banyak memberikan masukan bagi pihak Pemerintah untuk lebih jauh mempersiapkan tindak lanjut dari Piagam ASEAN. Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang, pada tanggal 6 November 2008 Piagam ASEAN menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) (Eddy Pratomo, 2009: 62-63). Piagam ASEAN yang ditandatangani pada tanggal 20 November 2007 dan diratifikasi oleh seluruh negara anggota ASEAN telah secara de jure mengubah ASEAN dari organisasi kawasan yang longgar menjadi sebuah organisasi yang berdasarkan aturan atau rules-based organisation. Keberadaan Piagam ASEAN memberikan kerangka hukum dan institusional bagi ASEAN untuk berkembang ke arah sebuah komunitas bersama yang mengedepankan antara lain perdamaian, keamanan, stabilitas, pertumbuhan ekonomi berlanjut, kesejahteraan dan kemajuan sosial (Eddy Pratomo, 2009: 63). 6) ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint commit to user 48 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sepakat untuk mengembangkan ASEAN Economic Community Blueprint yang merupakan panduan untuk terwujudnya AEC. Declaration on ASEAN Economic Community Blueprint, ditandatangani pada tanggal 20 November 2007, memuat jadwal strategis untuk masing-masing pilar yang desepakati dengan target waktu yang terbagi dalam empat fase yaitu tahun 2008-2009, 2010-2011 dan 2014-2015. Penandatanganan AEC Blueprint dilakukan bersamaan dengan penandatanganan Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Jadwal stategis pencapaian masing-masing pilar terdapat pada lampiran 2. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mencapai AEC 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk melaksanakan komitmen dalam blueprint tersebut. AEC Blueprint memuat empat kerangka utama, yaitu: a) ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; b) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerse; c) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. 7) Roadmap for an ASEAN Community (2009-2015) Pada KTT ke-14 ASEAN tanggal 1 Maret 3009 di Hua Hin Tahiland, para pemimpin ASEAN menandatangani Roadmap for an ASEAN Community (20092015) atau Peta-jalan Menuju ASEAN Community (2009-2015), sebuah gagasan baru untuk mengimplementasikan secara tepat waktu tiga Blueprint (Cetak biru) ASEAN Economic Community yaitu (1) ASEAN Political-Security Community Blueprint (Cetak Biru Komunitas Politik-Keamanan ASEAN), (2) ASEAN Economic Community Blueprint (Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN), dan commit to user 49 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (3) ASEAN Socio-Culture Blueprint (Cetak Biru Komunitas Sosial-Budaya ASEAN) serta Initiative for ASEAN Integration (IAI) Strategic Framework dan IAI Work Plan 2 (2009-2015). Peta-Jalan tersebut menggantikan Program Aksi Vientiane (Viantiane Action Program/VAP), dan diimplementasikan serta dimonitor oleh Badan Kementrian Sektoral ASEAN dan Sekretaris Jendral ASEAN, dengan didukung oleh Komite Perwakilan Tetap. Perkembangan terkait dengan implementasi ketiga peta-jalan tersebut disampaikan secra reguler kepada para Pemimpin ASEAN melalui Dewan Komunitas ASEAN (ASEAN Community Council/ACC)-nya masingmasing. 6. Tinjauan tentang Kebijakan Impor di Indonesia Dasar hukum yang dipakai sebagai acuan pembuatan kebijakan impor adalah Keputusan Presiden Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 229/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54/MDAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor. Keputusan lain yang menjadi dasar hukum kebijakan impor adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 mengenai Barang yang diatur tata niaga impornya, keputusan menteri ini berisi tentang perusahaanperusahaan yang ditunjuk menjadi importer dalam berbagai macam produk seperti produk makanan, minuman, limbah, serta mencakup pula izin usaha importir dan larangan impor limbah beracun. Pasal 2 Permendag Nomor 54/M-DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan perdagangan produk-produk tertentu yang dinilai perlu diatur atau dilindungi. Salah satunya adalah kebijakan impor dan ekspor beras dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M- DAG/PER/4/2008 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Beras, sebagai bentuk commit to user 50 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengaturan dan perlindungan beras sebagai komoditas strategis sektor pertanian Indonesia. Menteri perdagangan mengeluarkan kebijakan ini juga didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri, dimana Menteri Perdagangan menetapkan kebijaksanaan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) dan mengatur serta mengawasi pelaksanaannya berdasarkan kebijaksanaan umum Pemerintah yang telah ditetapkan serta memperhatikan wewenang, tugas dan tanggung jawab Menteri/Departemen dan instansi-instansi lainnya berdasarkan peraturan-peraturang yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 260 Tahun 1967). Lebih lanjut dalam Pasal 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tugas dan wewenang Menteri Perdagangan dalam bidang impor adalah: (1) menetapkan daftar barang-barang yang dapat di impor ke Indonesia; (2) membina dan membimbing aparat-aparat perdagangan impor sektor negara dan swasta kearah fungsinya yang positif dalam usaha membantu berhasilnya program pemerintah. Aturan yang menjadi landasan kebijakan impor komoditas pangan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Definisi pangan telah dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Pangan yaitu, segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuh bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minum. Undang-Undang Pangan berisi aturan tentang penyelenggaraan pangan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan produksi pangan mandiri, ketersediaan pangan yang cukup, mempermudah dan meningkatkan akses pangan, meningkatkan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri maupun luar negeri, meningkatkan kesejahteraan petani, serta melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012). Impor pangan diatur dalam Pasal 36-40 Undang-Undang Pangan. Inti dari pengaturan impor pangan dalam Undang-Undang Pangan adalah impor pangan commit to user 51 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id hanya dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu seperti produksi pangan dalam negeri yang tidak mencukupi dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi, namun terdapat persyaratan yang wajib dipenuhi oleh negara pengekspor seperti batas kadaluarsa dan kualitas pangan. Undang-undang tentang Pangan ini menyesuaikan perkembangan eksternal dan internal mengenai pangan di Indonesia, seperti demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan kondisi aktual masyarakat Indonesia. B. Kerangka Pemikiran commit to user 52 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Keterangan: Berdasarkan bagan di atas, dijelaskan bahwa secara garis besar, Indonesia dalam perdagangan bebas menjadi bagian dalam WTO yang merupakan organisasi perdagangan internasional dan ASEAN yang merupakan organisasi perdagangan regional antar negara-negara Asia Tenggara. Dalam rangka liberalisasi perdagangan barang di sektor pertanian, khususnya komoditas beras, WTO menerapkan aturan-aturan yang tercantum dalam perjanjian internasional GATT, AoA, dan ILA. Sedangkan di tingkah ASEAN telah disepakati AEC yang menggunakan ATIGA sebagai perdoman pengaturan perdagangan barang. Setiap perjanjian di atas pada dasarnya memuat kesepakatan yang serupa yaitu kewajiban negara anggota untuk menghilangkan hambatan non tarif. Indonesia sebagai anggota WTO dalam mengeluarkan kebijakan perdagangannya tidak boleh melanggar aturan WTO dan tidak boleh merugikan negara anggota lain. Namun berdasarkan pengecualian yang ada dalam Safeguard demi kepentingan nasional Indonesia mengeluarkan kebijakan larangan impor beras pada saat musim panen (pertama keluar Tahun 2004, mengalami beberapa kali perubahan, terakhir diatur dalam Permendag Nomor 06/M-DAG/PER/2/2012) guna melindungi produk beras domestik akibat banyaknya beras impor yang masuk karena kesepakatan liberalisasi perdagangan WTO pada umumnya dan perwujudan AEC pada khususnya. Sebagai pemilik 60% pasar ASEAN, penting bagi Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang dapat melindungi dan mengembangkan akses pasar sektor-sektor perdagangan strategis yang ada di Indonesia, termasuk dalam hal ini sektor pertanian khususnya komoditas beras. Thailand dalam sidang ILA, 30 April 2009 mengajukan keberatan atas kebijakan ini dan meminta penjelasan tertulis kepada Indonesia. Thailand beranggapan bahwa kebijakan ini menyalahi aturan WTO mengenai hambatan non-tarif. Dari sini dikaji apakah larangan impor beras pada saat musim panen dalam kebijakan impor dan ekspor beras Indonesia melanggar aturan WTO dan bagaimana alternatif penyelesaian keberatan Tahiland atas larangan impor beras saat musim panen di Indonesia. Serta bagaimana dampak aturan impor dan ekspor beras Indonesia terhadap akses pasar perdagangan beras Indonesia di ASEAN dalam rangka mewujudkan AEC. commit to user 53