25 BAB II LANDASAN TEORI A. Spiritual Parenting 1. Definisi

advertisement
25
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Spiritual Parenting
1. Definisi Spiritual
Spiritualitas
menurut Schreurs (2002) merupakan hubungan personal
seseorang terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu,
idealisme, sikap, pemikiran, perasaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak.
Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya
dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Elkins (1988) merujuk spiritualitas sebagai cara individu memahami
keberadaan maupun pengalaman yang terjadi pada dirinya. Bagaimana individu
memahami keberadaan maupun pengalamannya dimulai dari kesadarannya
mengenai adanya realitas transenden (berupa kepercayaan kepada Tuhan atau
apapun yang dipersepsikan individu sebagai sosok transenden) dalam kehidupan
dan dicirikan oleh pandangan atau nilai-nilai yang dipegangnya berkaitan dengan
diri sendiri, orang lain secara universal, alam, hidup, dan apapun yang
dipersepsikannya sebagai Yang Mutlak.
Spiritualitas sering dikaitkan dengan agama, namun agama dan
spiritualitas memiliki perbedaan. Agama menurut Miller & Thoresen (dalam
Paloutzian & Park, 2005) seringnya dikarakteristikkan sebagai sebuah institusi,
kepercayaan individu dan praktek, sementara spiritualitas sering diasosiasikan
dengan keterhubungan atau perasaan di dalam hati dengan Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
26
Menurut Doe (1998) spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya
kekuatan nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri, suatu kesadaran yang
menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan, atau apapun yang dinamakan
sebagai keberadaan manusia. Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri,
nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Spiritualitas lebih merupakan sebentuk
pengalaman psikis yang meninggalkan kesan dan makna yang mendalam.
Sementara pada anak hakikat spiritual tercermin dalam kreativitas tak terbatas,
imajinasi luas, serta pendekatan terhadap kehidupan yang terbuka dan gembira.
Maslow mendefinisikan spiritualitas sebagai sebuah tahapan aktualisasi
diri seseorang, di mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan,
sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendah-hatian, serta memiliki tujuan
hidup yang jelas. Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi
yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya
sebagai makhluk spiritual. Pengalaman spiritual merupakan kebutuhan tertinggi
manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati
hierarki kebutuhan manusia.
Berdasarkan berbagai defenisi
dari penjelasan
di atas,
peneliti
berkesimpulan bahwa spiritualitas adalah kesadaran manusia akan adanya
keterhubungan antara manusia dengan Tuhan atau sesuatu yang dipersepsikan
sebagai sosok transenden. Spiritualitas mancakup inner life individu, idealisme,
sikap, pemikiran, perasaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak.
Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya
dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Universitas Sumatera Utara
27
2. Aspek-aspek Spiritualitas
Schreurs (2002) menjabarkan spiritualitas sebagai proses perubahan yang
terjadi pada diri seseorang. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu aspek
eksistensial, aspek kognitif dan aspek relasional.
1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian
dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktifitas yang dilakukan
seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (“True
Self”) pada tahap eksistensial.
2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif
terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah
literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu,
melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola
pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat
mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan
refleksi atas pengalaman tersebut. Disebut aspek kognitif karena aktivitas
yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan
spiritual.
3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa
bersatu dengan Tuhan (dan/atau bersatu dengan cinta-Nya). Pada aspek ini
seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan
personalnya dengan Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
28
3. Defenisi Parenting
Menurut Darling (1999) pola asuh (parenting) adalah suatu aktifitas yang
kompleks yang meliputi beberapa tingkah laku spesifik yang bekerja secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mempengaruhi anak. Pengertian
parenting menurut Gunarsa (1995) adalah cara orang tua bertindak sebagai orang
tua terhadap anak-anaknya dimana mereka melakukan serangkaian usaha aktif.
Parenting adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan,
memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari (Meichati,
1978). Menurut Gunarsa (1989) keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang
dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya anak belajar didalam
kehidupan keluarga.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh
adalah serangkaian usaha aktif yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi
dengan anak-anaknya, meliputi cara mendidik, memberikan perlindungan,
perhatian, aturan-aturan, hadiah atau hukuman, serta tanggapan terhadap anaknya
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Dimensi Parenting
Hetherington & Parke (1999) membagi dua dimensi pola asuh yaitu
emosionalitas dan kontrol.
1.
Emosionalitas
Kehangatan yang diberikan orangtua sangat penting dalam proses sosialisasi.
Ketika orangtua mengasihi dan hangat terhadap anak, anak akan cenderung
mempertahankan kedekatannya dengan orangtua dan akan merasa stress
Universitas Sumatera Utara
29
apabila kehilangan kasih sayang dari mereka. Sebaliknya orangtua yang
melakukan penolakan terhadap anaknya, cenderung membuat anak menarik
diri dari sosialisasinya. Crockenberg dan Litman mengemukakan bahwa
kehangatan yang diberikan orangtua juga berhubungan dengan respon
orangtua terhadap kebutuhan anak, sehingga anak akan merasa aman,
nyaman, dan percaya diri.
2.
Kontrol
Orangtua mempunyai kontrol yang lebih besar dalam interaksinya dengan
anak. Orangtua yang konsisten dalam memberikan kontrol akan membuat
anak menginternalisasikan standar yang diberikan oleh orangtua.
5. Defenisi Spiritual Parenting
Nashori (2006) menyatakan dalam khazanah pemikiran psikologi
kontemporer, gagasan tentang peran orangtua dalam meningkatkan spiritualitas
termasuk konsep Tuhan pada diri anak diwadahi oleh konsep spiritual parenting.
Pamugari (dalam Irianto, 2002) mendefenisikan spiritual parenting sebagai sistem
pengasuhan anak dengan paradigma menanamkan keimanan dan kesadaran
rohani. Metode ini tergolong baru karena menggunakan paradigma holistik dalam
memandang manusia. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang ditujukan untuk
membangun seluruh dimensi manusia, yaitu untuk membangun dimensi sosial,
emosi, motorik, akademik, spiritual, kognitif, sehingga membentuk insan yang
seutuhnya.
Proses terbentuknya konsep Tuhan pada anak umumnya dipahami sebagai
proses transformasi (pengalihan) gagasan dari orang dewasa (orangtua dan guru)
Universitas Sumatera Utara
30
kepada anak-anak. Adanya anggapan bahwa proses terbentuknya konsep Tuhan
pada anak hanya terjadi karena proses transformasi gagasan semata seringkali
membuat orangtua dan guru memahami bahwa pendidikan agama itu
dilangsungkan dengan mentransfer sebanyak mungkin pengetahuan agama dan
Tuhan pada anak. Pengajaran agama akhirnya cenderung ditekankan pada aspek
kognitif. Pengaruhnya mungkin tidak terasa, namun sosok Tuhan yang diberikan
dengan lebih menitikberatkan pada aspek kognitif, jelas akan kesulitan untuk
dihadirkan sebagai teman dialog. Anak dapat menjelaskan keberadaan Tuhan
dengan panjang lebar namun jelas tidak secara langsung membuat anak
merasakan kehadiran Tuhan. Proses inilah yang menyebabkan pendidikan agama
gagal menumbuhkan kearifan, kesadaran dan pengalaman ketuhanan (Artanto,
2006).
Sementara menjadi orang tua dengan menerapkan spiritual parenting
berarti memprioritaskan kehidupan diri kita sendiri, dimana Tuhan berada pada
urutan tertinggi, sehingga jiwa orangtua dan jiwa anak menjadi sangat penting.
Spiritual parenting mengimplikasikan bahwasanya orang tua tidak hanya hadir
untuk anak mereka, namun juga untuk diri mereka sendiri (Hart, 2004). Seseorang
yang lebih dulu mengakui diri sendiri sebagai makhluk spiritual, maka seseorang
itu dapat mendidik anak-anak dengan menyadari bahwa anak-anak adalah
individu yang benar-benar berketuhanan (Doe,1998)
Diantara prinsip pendidikan anak secara spiritual (spiritual parenting)
adalah memperlakukan anak-anak sebagai sosok individu yang utuh, menawarkan
spiritualitas sehari-hari yang dapat memupuk jiwa anak. Spiritualitas ada dalam
Universitas Sumatera Utara
31
kehidupan rutin para orang tua bersama anak-anak, peristiwa sehari-hari,
percakapan saat makan malam, menciptakan ritual yang nyaman, melaksanakan
tugas rumah sehari-hari, yang berpotensi untuk menjadi momen-momen suci
(Doe, 1998).
Hidayat (dalam Irianto, 2002) menambahkan bahwa prinsip spiritual
parenting bisa diterapkan misalnya dengan mengajak anak untuk mengapresiasi
Tuhan melalui ciptaannya, bisa melalui keindahan alam, sinar matahari, ataupun
warna-warni bunga, anak diajak mengagumi dan menghayati karya Tuhan. Doe
(dalam Irianto, 2002) lewat bukunya juga mengutarakan cara mengimplementasi
prinsip spiritual parenting, inti penerapannya tidak jauh berbeda dengan
pendidikan agama yang diterapkan selama ini. Bedanya, metode baru ini tidak
mencekoki anak dengan doktrin-doktrin ketuhanan. Ia merangsang anak untuk
berpikir tentang Tuhan, memberikan pencitraan Tuhan yang mencintai, bukan
Tuhan yang menunggu dengan rotan untuk memukul.
Inti dari spiritual parenting adalah usaha yang dapat ditempuh orang tua
dalam kehidupan sehari-hari untuk menguatkan spiritualitas anak. Gagasan
umumnya adalah mengakrabkan konsep Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini
(Nashori, 2006).
Berdasarkan uraian di atas maka pengertian spiritual parenting adalah
pola asuh menempatkan Tuhan pada urutan tertinggi, dalam sikap dan perilaku,
yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak, meliputi cara
orang tua memberikan aturan-aturan, atau hukuman, dan cara orangtua
memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.
Universitas Sumatera Utara
32
B. Pertimbangan Moral
1. Defenisi Moral
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti
kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Menurut Martin & Colbert (1997), moralitas
adalah satu perangkat prinsip yang membantu individu untuk membedakan mana
yang benar dan yang salah, dan bertindak berdasarkan perbedaan tersebut. Berns
(1997) juga mengemukakan bahwa moralitas mencakup mematuhi aturan sosial
dalam kehidupan sehari-hari dan conscience atau aturan personal seseorang untuk
berinteraksi dengan orang lain.
Moralitas mencakup tiga komponen dasar (Sigelman & Rider, 2003),
antara lain :
1. Komponen Afektif atau disebut juga emosional, yaitu kebutuhan emosional
anak untuk menginternalisasi standar moral orang tua, mencakup empati dan
rasa bersalah. Terdiri dari perasaan, seperti perasaan bersalah, memberikan
perhatian pada perasaan orang lain, dan perasaan yang berkaitan dengan
perilaku benar dan salah yang dilakukan, dimana hal tersebut memotivasi
untuk pemikiran kognitif dan tindakan, misalnya perasaan apa yang
berkembang pada saat seorang anak mencontek, apakah ia merasa malu,
bersalah, cemas atau takut.
2. Komponen kedua adalah kognitif, berpusat dari bagaimana seseorang
mengkonseptualisasikan benar atau salah dan membuat keputusan bagaimana
akan berperilaku. Komponen ini termasuk kemampuan-kemampuan sosial
kognitif, seperti pengambilan peran, mempelajari nilai moral dari suatu
Universitas Sumatera Utara
33
komunitas. Nilai moral sendiri merupakan penilaian terhadap tindakan yang
umumnya diyakini oleh para anggota suatu masyarakat tertentu sebagai ‘yang
salah’ dan ‘yang benar’ (Berkowitz, dalam Kohlberg, 1995). Misalnya ketika
seorang anak diajak untuk sharing terhadap permasalahan-permasalahan yang
dialami oleh orang lain, disini anak akan berusaha mengambil perspektif
orang lain untuk kemudian menilai dan memberikan alasan penalarannya
apakah sesuatu itu baik atau buruk.
3. Komponen ketiga yaitu perilaku, merefleksikan bagaimana kita sebenarnya
berperilaku pada berbagai kondisi yang menuntut adanya penilaian moral,
misalnya ketika seseorang anak dihadapkan pada kesempatan untuk mencuri
atau menolong orang yang membutuhkan, apa yang kemudian ia lakukan
dalam bentuk perilaku.
2. Defenisi Pertimbangan Moral
Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilahistilah seperti moral-reasoning, moral-thinking, dan moral-judgment, sebagai
istilah-istilah yang mempunyai pengertian sama dan digunakan secara bergantian.
Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi pertimbangan moral (setiono, 1982,
Pratidarmanastiti, 1991).
Pertimbangan moral dipandang sebagai suatu struktur bukan isi.
Pertimbangan moral bukanlah pada apa yang baik atau yang buruk, tetapi pada
bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik
atau buruk (Kohlberg, 1995). Jika pertimbangan moral dilihat sebagai isi, maka
Universitas Sumatera Utara
34
sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial
budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika pertimbangan
moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan
pertimbangan moral seorang anak dengan orang dewasa, dan hal ini dapat
diidentifikasi tingkat perkembangan moralnya.
Pertimbangan moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau
tahap kematangan moral. Memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan
salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku
seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska
dan Whelan, 1975).
Rest (dalam Kaplan, 2006) menyatakan bahwa moralitas tidak sematamata didasarkan pada psikis seseorang, tetapi timbul dari kondisi sosial karena
individu hidup dalam group. Pertimbangan moral merefleksikan kemampuan
seseorang untuk berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kohlberg (dalam Glover, 1997),
pertimbangan moral didefinisikan sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan
juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan
suatu tindakan.
Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pertimbangan moral adalah penilaian berupa apa yang diketahui dan dipikirkan
seseorang mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks, alasan mengapa suatu
tindakan dilakukan dalam menilai suatu tingkah laku, sehingga dapat dinilai
apakah tindakan tersebut baik atau buruk, benar atau salah.
Universitas Sumatera Utara
35
3. Tahapan-tahapan Perkembangan Pertimbangan Moral
Tahapan perkembangan pertimbangan moral dari Kolhlberg (1995)
dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan yang masing-masingnya terdiri dari dua
tahap: prakonvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikut i
persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori Perkembangan Kognitif,
adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun
demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang
waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan, setiap tahap
memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam,
dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
1. Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapanungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini
ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman,
keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Atau dari segi kekuatan fisik mereka yang
memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Pada umunya dimulai usia 4
sampai 10 tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini :
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa
menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya
semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan
tanpa mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang bernilai dalam
Universitas Sumatera Utara
36
dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral
yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2 : Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat
untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga
kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti
hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat
resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik
dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal “Jika engkau
menggaruk
punggungku,
nanti
aku
juga
akan
menggaruk
punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau
keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau
bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa
mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas
terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya
dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata
tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat.
Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap :
Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “Anak Manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang
lain serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas
Universitas Sumatera Utara
37
terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau
“alamiah”. Perilaku sering dinilai dari niatnya, ungkapan “dia
bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang
mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan
tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial
yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3. Tingkat Pasca-Konvensional, Otonom atau yang Berlandaskan Prinsip
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai
dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari
otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas
pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Tahap ini sudah
dimulai dari masa remaja awal sampai seterusnya. Namun banyak orang yang
tidak mencapai tingkat ini, bahkan sampai seseorang dewasa. Ada dua tahap pada
tingkat ini :
Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial legalistis
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan
yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran
individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh
seluruh
masyarakat. Terdapat
kesadaran
yang
jelas
mengenai
relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat
Universitas Sumatera Utara
38
suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan.
Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan
demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya
adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan
pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan
rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan
bebas dan kontrak merupakan unsur perangkat kewajiban.
Tahap 6 : Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsipprinsip
etis
yang
dipilih
sendiri
dan
yang
mengacu
pada
komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip
ini bersifat abstrak dan konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat
abstrak dan etis, dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret
dari agama. Pada hakikatnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan,
resiprositas, dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat
terhadap manusia sebagai pribadi individual.
4. Komponen Pertimbangan Moral
Rest membagi komponen pertimbangan moral menjadi empat hal (dalam
Kurtines & Gerwitz, 1992). Adapun empat komponen utama pertimbangan moral
yang dikemukakan oleh Rest, antara lain :
1. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral
(mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan
Universitas Sumatera Utara
39
bagaimana masing-masing pelaku dalam situasi terpengaruh oleh berbagai
tindakan tersebut).
2. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, merumuskan
suatu rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau
suatu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran & keadilan, pertimbangan
moral, penerapan nilai moral sosial).
3. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan
bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral atau bertentangan
dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan
seseorang (mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi
nilai, dan perilaku mempertahankan diri).
4. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang
berbobot moral (mencakup ego-strength dan proses pengaturan diri).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertimbangan Moral
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan moral seseorang,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan kognitif. Menurut Kohlberg ada hubungan paralel antara tahap
perkembangan kognitif dengan tahap perkembangan moral. Namun bukan
berarti seseorang yang memiliki perkembangan kognitif tinggi akan memiliki
tahap perkembangan pertimbangan moral yang tinggi pula. Perkembangan
kognitif berhubungan erat dengan intelegensi
seseorang. Seseorang yang
memiliki tingkat perkembangan kognitif yang tinggi cenderung memiliki
intelegensi yang tinggi pula, dengan demikian akan mempengaruhi tingginya
Universitas Sumatera Utara
40
tahap perkembangan moral orang tersebut. Menurut Bandura (1991, dalam
Berns, 1997) dan Hoffman (1970), intelegensi adalah faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat perkembangan moral seseorang.
2. Pendidikan. Pendidikan adalah prediktor yang kuat dari perkembangan
penalaran
moral,
karena
lingkungan
pendidikan
yang
lebih
tinggi
menyediakan kesempatan, tantangan dan lingkungan yang lebih luas yang
dapat merangsang perkembangan pertimbangan moral yang lebih tinggi (Rest,
1994).
3. Kemampuan alih peran. Kemampuan alih peran adalah kemampuan seseorang
untuk menempatkan diri pada peran orang lain atau mengambil sikap dari
sudut pandang orang lain, sadar akan pikiran dan perasaan orang lain.
Stimulasi sosial yang mendasar untuk perkembangan pertimbangan moral
adalah kesempatan alih peran melalui interaksi dan komunikasi dalam
kelompok, seperti keluarga, teman sebaya, sekolah, dan masyarakat. Suasana
dalam keluarga yang dapat memungkinkan terjadinya dialog dan diskusi
tersebut yang nantinya akan memungkinkan kesempatan alih peran. Karena
dalam pola asuh seperti ini orang tua mendorong untuk adanya proses dialogis
dan memberi alasan dibalik peraturan-peraturan mereka kepada anak.
Sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan
mempertimbangkan juga pendapat orang tua (Lickona, dalam Berns, 1977).
4. Timbulnya konflik moral-kognitif. Pengalaman akan konflik moral kognitif
dapat merangsang perkembangan moral. Hal ini dapat diusahakan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
41
menampilkan situasi pengambilan keputusan yang melibatkan konflik moral
(Lickona, 1976).
5. Pola Asuh. Menurut Holstein (dalam Hurlock 1990), anak-anak yang terlahir
di tengah-tengah keluarga yang demokrat sangat membantu anak mencapai
tahap perkembangan moral yang tinggi. Hal tersebut dapat dimengerti karena
salah satu ciri dari pola asuh demokratis yaitu adanya kesempatan untuk
terjadinya proses dialog antara orangtua dan anak serta adanya kebebasan bagi
anak untuk mengungkapkan atau mengekspresikan ide dan keinginan mereka.
6. Kepribadian.
Kontrol
diri
dan
temperamen
dapat
mempengaruhi
perkembangan moral seseorang. Penelitian Mischel, Shoda & Peake (1988
dalam Berns, 1977) menunjukkan bahwa anak yang memiliki kontrol diri
dapat menahan keinginan untuk berbincang-bincang selama eksperimen.
Anak-anak yang memiliki kontrol diri ini dinilai sebagai anak yang lebih
kompeten dan memiliki tanggung jawab secara sosial sepuluh tahun kemudian
pada masa remajanya.
Menurut
Yusuf
(2004)
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
perkembangan moral, antara lain :
1. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang
atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak
2. Sikap orangtua dalam keluarga
Universitas Sumatera Utara
42
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu
atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu
melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter)
cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap acuh
tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang
bertanggung jawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap
yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih saying, keterbukaan,
musyawarah (dialogis), dan konsisten.
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan
dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang
religius, dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai
agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang
baik
4. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak meghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur,
maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak
jujur.
C. Pertimbangan Moral pada Anak dengan Pola Asuh Spiritrual Parenting
Dampak buruk perkembangan media massa dan teknologi sekarang ini
ternyata bukan hanya terjadi pada kalangan remaja, tetapi juga sudah menyentuh
anak-anak usia sekolah dasar. Di satu sisi kemajuan jaman ini memberikan
Universitas Sumatera Utara
43
banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak memperoleh fasilitas yang
serba canggih. Namun di sisi lain kemajuan tersebut juga membawa dampak
negatif seperti tersedianya informasi negatif yang sulit untuk dihindari, misalnya
kekerasan, pornografi, konsumerisme dan lain-lain melalui berbagai media
informasi tersebut. Indikator lain yang juga mengkhawatirkan pada sikap anak
adalah semakin kurangnya rasa hormat terhadap orangtua, guru, dan sosok-sosok
lainnya. Menurut Borba (2008) hal ini dapat disebabkan karena para orangtua
melewatkan satu bagian yang sangat penting yaitu sisi moral dalam kehidupan
anak.
Moralitas sendiri merupakan suatu perangkat prinsip yang membantu
individu untuk membedakan mana yang benar atau yang salah, dan bertindak
berdasarkan perbedaan tersebut (Martin & Colbert, 1997). Berns (1997) juga
mengemukakan bahwa moralitas mencakup kepatuhan akan aturan sosial dalam
kehidupan sehari-hari atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan
orang lain.
Perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari dua aspek
yaitu perilaku moral dan pertimbangan moral. Perilaku moral adalah perilaku
yang dilandasi atau dipikirkan sebelumnya oleh pelakunya, berupa alasan dan
motivasi yang bernilai moral (Kurtines & Gerwitz, 1992). Sedangkan
pertimbangan moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan
dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah.
Pertimbangan moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang
baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan
Universitas Sumatera Utara
44
bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan
buruk.
Kematangan pertimbangan moral dapat dijadikan prediktor yang baik
terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral.
Memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi
penjelasan dari pada memperhatikan tindakan seseorang atau bahkan mendengar
pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975). Oleh sebab
itulah peneliti lebih tertarik untuk meneliti pertimbangan moral daripada perilaku
moral.
Pertimbangan moral sendiri memiliki beberapa tingkatan, menurut
Kohlberg (1995) dibagi menjadi tiga tingkatan yang masing-masingnya terdiri
dari dua tahap. Tingkat pertama adalah prakonvensional, dimulai usia 4 sampai
10 tahun. Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan
ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan
tetapi hal ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan
(hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik
mereka yang memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Tingkat kedua
adalah konvensional, berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Pada tingkat ini anak
hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang sebagai
hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera
dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata
tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan,
mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan
Universitas Sumatera Utara
45
diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat terakhir adalah pascakonvensional, dimulai dari masa remaja awal sampai seterusnya. Banyak orang
yang tidak mencapai tingkat ini, bahkan sampai seseorang dewasa. Pada tahap
terakhir ini seseorang melihat konflik berdasarkan standar-standar moral yang
bersifat universal, dimana penilaian universal ini dapat berasal dari keadilan,
kejujuran, kesamaan hak asasi manusia, penghormatan kepada martabat manusia
maupun nilai-nilai spiritualitas, untuk kemudian memberikan penilaian mereka
sendiri berdasarkan prinsip-prinsip tersebut.
Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori
Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapantahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam
tahapan tertinggi sepanjang waktu, juga tidak dimungkinkan untuk melompati
suatu tahapan, setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan
lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Namun meskipun perkembangan kognitif anak melewati tahapan yang tetap, usia
anak dalam mencapai tahapan perkembangan moral tertentu dapat berbeda-beda.
Faktor-faktor penentu utama mengapa sejumlah orang mencapai tahap
perkembangan pertimbangan moral yang berbeda antara lain banyaknya
pengalaman dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk
mengambil sejumlah peran dan berjumpa dengan sudut pandang orang lain.
Faktor-faktor penentu lainnya mengapa sejumlah orang mencapai tahap
perkembangan pertimbangan moral yang berbeda antara lain : perkembangan
kognitif, pendidikan, kemampuan alih peran, pola asuh serta kepribadian.
Universitas Sumatera Utara
46
Freud (dalam Sigelman & Rider, 2003) berasumsi bahwasanya anak pada
umumnya memiliki tingkat moralitas yang masih rendah, dimana anak kurang
memiliki superego, dan pada dasarnya dipenuhi oleh id, maka dari itu mereka
bertindak sesuai dengan kebutuhan diri mereka, terkecuali orangtua dapat
mengontrol mereka. Orangtua berkontribusi sangat besar dalam perkembangan
moral anak, dimana anak menginternalisir standar moral orangtua jika mereka
ingin berperilaku sesuai moral, bahkan ketika tidak ada figur otoritas yang hadir
untuk mendeteksi dan menghukum mereka.
Selain faktor keluarga, dalam hal ini pola asuh orang tua, hal lain yang
juga mempengaruhi perkembangan moral adalah agama. Kohlberg (1995)
menyatakan bahwasanya perkembangan moral itu merupakan produk, pertamatama dari keluarga dan yang kedua dari agama. Secara formal agama sering
dihubungkan atau bahkan dianggap sama dengan spiritualitas, disebutkan bahwa
agama adalah perwujudan dari spiritualitas manusia (Bustomi, 2007). Spiritualitas
sendiri adalah kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar
daripada kekuatan diri, suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung
dengan Tuhan. Spiritualitas sebagai dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai,
moral dan rasa memiliki serta memberi arah dan arti pada kehidupan (Doe, 1998).
Melihat peran orang tua dan agama yang cukup besar, maka orang tua
memiliki tanggung jawab untuk memilih metode pengasuhan yang dapat
menjawab tantangan keluarga masa kini, yang kemudian memunculkan alternatif
pilihan pola asuh, diantaranya yaitu pola pengasuhan spiritual, pola asuh yang
memprioritaskan Tuhan dan ajaran Ilahiyah dalam kehidupan keluarga yang
Universitas Sumatera Utara
47
disebut spiritual parenting. Nashori (2006) juga menyatakan bahwasanya gagasan
tentang peran orangtua dalam meningkatkan spiritualitas termasuk konsep Tuhan
pada diri anak diwadahi oleh konsep spiritual parenting. Gagasan umumnya
adalah mengakrabkan konsep Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini.
Pengasuhan dengan cara spiritual parenting mengajarkan bahwasanya
setiap kejadian bisa dijadikan momentum yang baik untuk mendidik, dengan cara
melibatkan anak berdiskusi dan berpikir dalam mempelajari segala kejadian. Hal
ini akan mendorong anak untuk merefleksikan apa yang telah dikatakan atau
diperbuatnya. Dengan terbiasa melibatkan anak berdiskusi, akan membantu anak
untuk bisa berpikir pada tahapan yang lebih tinggi.
Manfaat spiritual parenting menurut Rachman (2002) antara lain bisa
mengasah kepekaan dan keterhubungan manusia dengan Tuhan dalam pengertian
universal. Manfaat lain adalah mendidik kepekaan kepada transendensi, nilainilai, moral, dan akhlak mulia. Dengan pola pengasuhan seperti ini diharapkan
penurunan kualitas moral yang kerap terjadi pada anak zaman ini dapat dihindari.
Anak diharapkan memiliki pertimbangan moral yang baik untuk dapat memilih
mana yang benar dan salah, baik dan buruk.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pertimbangan moral
pada anak dengan pola asuh spiritual parenting adalah merupakan apa yang
diketahui dan dipikirkan seorang anak mengenai baik dan buruk atau benar dan
salah, pada anak yang dididik dengan pola asuh spiritual parenting, yaitu pola
asuh yang menempatkan Tuhan pada urutan tertinggi, dalam sikap dan perilaku,
yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak, meliputi cara
Universitas Sumatera Utara
48
orang tua memberikan perhatian serta tanggapan atau aturan-aturan dan hukuman
terhadap anaknya.
Universitas Sumatera Utara
Download