Gairah Spiritualisme

advertisement
Gairah Spiritualisme
EMHA FAIQ
Sejak Kaisar Romawi, Konstanti Yang Agung (280-337 M), melegalisasi Kristen
sebagai agama resmi di wilayah imperiumnya, Kristen menyebar hampir diseluruh
belahan Eropa. Pada abad pertengahan, warna Kristiani mewarnai hampir seluruh
kehidupan masyarakat Barat dalam aspek teologi, politik, sosial dan budaya
(Juhaya S. Praja, 1987:93). Namun pada akhir pertengahan dan menjelang masa
modern, keberadaan agama mulai dipertanyakan dan di gugat kembali.
Kewibawaan Gereja mulai mengalami krisis dan muncul kewibawaan ilmu
(science) (Nafi’a dkk, 1999). Titik puncaknya adalah saat Friderich Wilhelm
Nietzsche menyatakan: “God is dead”.
Era maraknya kewibawaan ilmu tersebut kemudian dikenal dengan istilah
modernisme. Warna yang paling menonjol pada masa modern adalah supremasi
terhadap ilmu pengetahuan seiring melemahnya pengaruh gereja. Dalam arti
sebagai anti tesis dan Skolastikisme, Modernisme mencuat pasca adanya gerakan
renaissance di Perancis pada abad ke-14 M. Bergulirnya rasionalitas sains yang
hegemonik terus mendobrak kungkungan dogma-dogma agama yang absolut dan
terlembaga. Liberalisme modern lebih menghargai individu untuk melakukan
aktivitas perdagangan dan industri dari pada spiritual.
Namun belakangan, tradisi perdagangan dan industri atau modernisme mendapat
tentangan dari aliran dekonstruksisme. Karena modernisme tidak lebih hanya
melahirkan individualisme dan matrialisme akibat dari “pendewaan” terhadap
rasionalitas yang berlebihan. Lebih jauh, modernisme telah menjadikan kehidupan
menjadi demikian keras dan tidak bersahabat lagi bagi kehidupan manusia.
Manusia serba rasional dan mekanistik.
Orientasi kehidupan manusia hanya bermuara pada kepuasan lahiriyah-duniawi
yang tidak terbatas, baik demi kepentingan individu, maupun kelompok. Dampak
yang paling nyata adalah teralienasinya sosial tertentu. Paling tidak alienasi
tersebut dapat kita bedakan menjadi tiga. Pertama, mereka yang teralienasi dari
Tuhannya, yang disebabkan terutama oleh prestasi sains dan teknologi, sehingga
menjadi positivis. Kedua, mereka yang teralienasi dari lingkungan sosialnya, yang
diistilahkan oleh Alfin Toffler sebagai ‘future shock’. Ketiga, mereka yang
teralienasi dari Tuhannya dan sekaligus dari lingkungan sosialnya (Komaruddin
Hidayat, 1998:228). Disinilah Dekonstruksionisme mengambil peran untuk
membongkar kemapanan rasionalitas filsafat yang berlandaskan faktor empiris
semata dan menafikan fitrah manusia sebagai makhluk spiritual.
Dekonstruksionisme telah melahirkan kembali kemungkinan baru bagi manusia
untuk mencari sandaran baru yang lebih mampu memenuhi kebutuhannya.
Selain itu, rasionalitas gagal dalam menjelaskan realitas-realitas meta-empiris.
Bila kita amati lebih jauh mengenai kondisi psikologis masyarakat modern, maka
akan kita temukan berbagai indikasi kuatnya keyakinan dan kebutuhan akan aspek
spiritual. Rasionalitas bisa saja menjelaskan mengapa apel jatuh kebumi, tetapi
teori ini tidak akan sanggup menjelaskan ‘why there is something rather than
nothing’ (Hidayat, 1998).
Spiritualisme yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai spiritual yang terlepas dari
agama formal dan bertumpu pada kesadaran manusia yang lebih tinggi (higher
consciusness) untuk mewujudkan keharmonisan universal (universal harmony)
(Nafi’a dkk, 1999). Mengapa masyarakat postmodem lebih menekankan pada
aspek spiritualitas dan bukan agama, bukankah di dalam agama juga terdapat
paket spiritualitas? Dengan logika paling sederhana, pertanyaan ini bisa dijawab,
bahwa ada semacam simple projection bahkan trauma terhadap fenomena agama
di masa lalu. Dimana agama telah mengalami pergeseran makna dan terlembaga
sehingga kesakralan agama mengalami erosi. Bahkan bagi mereka agama telah
menjadi titik api bagi terciptanya konflik dan perpecahan antar sesama akibat
adanya klaim kebenaran (truth claim) antar pemeluknya. Agama tidak lagi
memberikan keselamatan dan kasih sayang, melainkan persaingan.
Hal ini didukung juga oleh paparan John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990)
dalam bukunya Megatrend 2000 yang menyebutkan bahwa pada tahun 1997
terdapat kecenderungan tokoh-tokoh agama mulai meninggalkan ajaran
agamanya. 5.557 biarawati meninggalkan ajaran agamanya. Bahkan seorang
sosiolog Amerika, William d’Antonio menambahkan, pada tahun yang sama 94%
warga Amerika mempercayai adanya Tuhan, tetapi mereka tidak memiliki agama
dan gereja yang jelas.
Mereka tidak tertarik pada agama, tetapi merindukan kehadiran Tuhan. Bila
spiritualitas tidak semata menjadi bahan kajian, melainkan penghayatan atau “the
way of being “, maka seseorang senantiasa akan merasakan kehadiran Tuhan di
mana pun dan kapan pun. Orang meyakini dan merasakan betul hubungan intim
antara dirinya dan Dzat Yang Agung dan sekaligus Pengasih, maka tidak ada lain
kecuali kestabilan dan ketenangan yang akan dirasakan. Posisi demikian ini tidak
berarti melemahkan fungsi rasio dan nafsu, melainkan berbagai instrumen yang
ada ini akan lebih terarah dan tidak pernah merasakan kekeringan energi dari ilahi
(Hidayat, 1998).
Adalah Komaruddin Hidayat, Direktur Pelaksana Yayasan Paramadina,
menjelaskan, bahwa setelah seseorang berusaha mendapatkan pengetahuan
tentang agama dan tentang Tuhan, yang tidak kalah pentingnya adalah ‘how to
experience the God, means to experience our ferfection, to feel peace, happy and
close to God’. Secara teoritis, Islam amat kaya dengan dimensi mistik
(spiritualitas) ini dan barangkali merupakan paket yang bisa disumbangkan
kepada masyarakat modern untuk menjawab kegelisahan yang menjeratnya.
Dan memang, kini spiritualitas Islam reputasinya sedang memuncak. Selain
karena spiritual Islam selalu bertumpu pada usaha untuk senantiasa menemukan
kembali ajaran-ajaran murninya yang bersumber pada tauhid (tawhid). Ajaran
Islam juga telah membuktikan “tesis-tesis” nya dalam membentuk masyarakat
yang beradab, stabil, harmonis dan dinamis yang belakangan terkenal dengan
tema masyarakat madani. Islam yang sebagian besar variabelnya adalah dimensi
mistik (spiritualitas) telah mampu menciptakan masyarakat madani pada masa
Nabi Muhammad yang kemudian diteruskan oleh keempat khalifah (khulafaur
rasyidin)-nya. Jadi keraguan terhadap Islam hendaknya dikikis dengan bertolak
pada kenyataan sejarah tersebut. Dan sekali lagi Islam bisa dijadikan alternatif
terbaik bagi upaya penyejukan rohani dan nurani masyarakat modern yang telah
lama mendambakan atmosfer madaniyah.
Penulis adalah Mantan Ketua Umum PC. IRM Paciran-Lamongan dan kini
sedang studi S1 Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.
SM-02-2003
Download