Kolom/ 4,695 characters Spiritualitas (di) Hollywood Oleh Ahmad Najib Burhani Terdapat sederet nama bintang Hollywood yang sekarang menggandrungi spiritualitas. Beberapa tahun yang lewat Richard Gere “membaptis” dirinya menjadi “pendeta” dan murid setia Dalai Lama. Ia lupakan istana mewahnya di California dan Connecticut, ia ceraikan Cindy Crawford, ia tinggalkan selama beberapa waktu dunia glamour Hollywood, untuk kemudian memilih beribadah di perguruan Buddha Dharamsala, India. Madonna, Laura Dern dan ibunya Diane Ladd, penyanyi rock Courtney Love, Sandra Bernhard, bintang film kawakan Elizabeth Taylor, Roseanne Barr (artis film Domestic Goddess), dan Jeff Goldblum (aktor film Jurrasic Park), secara mengejutkan beramairamai mengikuti jalan mistik agama Yahudi, Kabbalah. Bahkan sutradara kondang Arnold Schwartzman, peraih piala Oscar untuk film Genocide, menjadi pemimpin cabang Kabbalah Bafta di Los Angeles. Deepak Chopra, seorang dokter dari India, yang mendirikan the Chopra Center for Well Being di La Jolla, California, merupakan guru spiritual dari aktris Demi Moore, penyanyi Naomi Judd, George Harrison, Michael Jackson, Gillian Anderson (bintang The X-Files), designer Donna Karan, dan mantan raja junk-bond Michael Milken. Orang-orang top lain dari pusat hiburan termegah di dunia itu yang telah menghamburkan diri pada dunia spiritual adalah Harrison Ford, Issac Tigret (pendiri Hard Rock cafe) dan Goldie Hawn. Masih segar pula diingatan ketika pada tahun 60-an bintang pop seperti John Lennon dan kawan-kawannya begitu akrab dengan Maharishi Mahesh Yogi, pendiri TranscendentalMeditation di Boston. Nama-nama di atas hanya beberapa gelintir bintang Hollywood yang menjadi "mistikus. Tentu masih banyak lagi selebritis dari kiblat perfilman dunia itu yang gandrung kepada “kehangatan” spiritual dan rajin menghadiri berbagai “pengajian” mistik. Sebetulnya, informasi ini sudah sering diungkapkan. Karena itu ia bukanlah berita baru bagi para peminat masalah spiritualitas. Pertanyaan “mengapa” mereka berminat terhadap mistik juga sudah ramai diungkapkan. Satu jawaban dari para peneliti --yang hampir seperti koor atau paduan suara saja-- yaitu adanya kehausan spiritual karena kehidupan yang dipenuhi oleh cara pandang materialistis, mereka ingin mencari makna hidup yang selama ini tidak didapatkan dari kemewahan, harta kekayaan, dan ketenaran. Dalam konteks ini yang menarik adalah pertanyaan tentang bagaimana corak dan model spiritualitas yang digandrungi dan digeluti komunitas Hollywood itu? Apakah mereka mengacu kepada spiritualitas yang menjadi bagian dari agama mapan (organized religion)? Atau menganggap spiritualitas sebagai sesuatu yang terpisah dari agama? Apakah memasuki dunia mistik harus pula terlibat dengan agama, atau mistik merupakan satu kegiatan yang bisa berdiri sendiri tanpa memiliki kaitan apapun dengan agama? Perjalanan panjang masyarakat Barat menuju dunia modern telah melahirkan citra buruk terhadap apa yang disebut Tuhan dan agama. Agama lebih sering dianggap sebagai pengganggu, candu, bahkan racun bagi masyarakat. Wajah agama sering identik dengan penyebab pertumpahan darah, institusi yang banyak melahirkan janda dan anak yatim karena adanya beragam perang demi berkibarnya bendera Tuhan. Agama merupakan penghambat kemajuan, membuai manusia dengan mimpi-mimpi surga di akhirat kelak, dan pembunuh gerak kreativitas dan sifat kritis manusia dengan setumpuk hukum halal dan haram. Penampilan Tuhan pun digambarkan sebagai sosok yang galak, keras, bengis dan senantiasa mengancam hamba-hambanya. Ini semua menyebabkan tidak sedikit anak cucu Adam yang lari dan bahkan membenci agama. Sejak zaman renaissance orang lantas mencoba membangun dunia tanpa campur tangan Tuhan, tanpa mempedulikan agama. Terciptalah sebuah dunia yang hampir sepenuhnya “sekular”. Stereotype terhadap agama itu masih belum terhapus dari cakrawala berpikir masyarakat Barat, termasuk para bintang Hollywood. Hingga saat ini mereka tetap traumatik terhadap agama. Kondisi ini menjadi persoalan dilematis ketika, pada satu sisi, kebencian kepada agama masih membayangi pikiran, namun pada sisi lain, mereka tak mampu menahan kehausan dan kerinduan spiritual, tak kuat menolak hasrat untuk mereguk anggur mistik. Inilah yang menyebabkan mereka berdaya upaya mencari “kehangatan” spiritual minus Tuhan, atau mendapat “kesegaran” ruhani dengan tanpa mempedulikan agama. Secara filosofis Danah Zohar dan Ian Marshall dalam buku terbarunya, SQ: Spiritual Intelligence (Bloomsbury, 2000), menuliskan ungkapan yang meneguhkan fenomena ini bahwa untuk mencapai kecerdasan spiritual tak perlu harus berhubungan dengan agama. “Many humanists and atheists have very high SQ (Spiritual Intelligence); many actively and vociferously religious people have very low SQ” jelas Zohar-Marshall. Karena logika “spiritualitas minus Tuhan” atau “mistik tanpa peduli agama” itu, wajar bila spiritualitas New Age menjadi primadona bagi kaum Hollywood. Andaikan terpaksa tak bisa menolak berhubungan dengan agama, harus dicari agama yang paling sedikit berbicara tentang Tuhan. Inilah satu jawaban mengapa agama Buddha menjadi paling diminati dibanding agama-agama lain. Pilihan lain, seandainya benar-benar tertarik pada spiritualitas pada agama yang cukup concern dengan persoalan non-spiritual, maka harus membatasi diri untuk secara tegas memisahkan urusan mistik dengan urusan non-mistik. --oo0oo--