Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Remaja adalah masa dimana seseorang mengalami transisi dari anak-anak menuju dewasa. Batasan usia remaja menurut Santrock (2012) berawal dari usia 10-13 tahun sampai dengan 20 tahun dan masa remaja dibagi menjadi dua periode yaitu masa remaja awal antara 10-13 tahun dan masa remaja akhir usia 18-22 tahun. Berbagai peristiwa yang sebelumnya tidak dialami oleh individu terjadi di tahap perkembangan remaja salah satunya adalah pubertas. Pubertas mengakibatkan perubahan fisik dan emosi pada remaja. Pubertas juga sebagai penanda individu memasuki masa remaja (Santrock, 2008). Kondisi emosi remaja diibaratkan seperti petasan yang dapat meledak kapan pun dimana pun tanpa diketahui sebelumnya. Tingkatan emosional remaja juga berubah dengan cepat (Rosenblum & Lewis dalam Santrock, 2012). Salah satu permasalahan yang sering dialami remaja adalah masalah tidak percaya diri karena menilai dirinya kurang dan merasa tidak memiliki kelebihan yang bisa dipakai sebagai modal dalam bergaul. Perasaan ini kemudian meluas ke hal-hal yang lain, seperti malu berhubungan dengan orang lain atau malas bergaul, tidak percaya diri tampil di muka umum, menarik diri, pendiam atau bahkan menjadi seorang yang pemarah (Guntoro, dalam Rahayu 2006). Perasaan muncul karena adanya respon dari situasi yang dirasakan atau diinteprestasikan oleh remaja. Perasaan merupakan respon dari proses emosi yang dirasakan atau terjadi pada diri seseorang (Lewis, 2010). Emosi menurut orang awam sering disalah artikan sebagai perasaan. Emosi adalah bagaimana cara seseorang dalam merespon situasi dalam berbagai cara (William James dalam Lewis, 2008). Regulasi emosi merupakan salah satu aspek penting bagi perkembangan individu. Regulasi emosi adalah proses dimana kita mempengaruhi emosi yang kita miliki, ketika kita memiliki emosi, dan bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi (Gross, 2002). Regulasi emosi mengacu pada proses biologis, sosial, perilaku dan proses kognitif sadar dan tidak sadar. Dalam pendekatan perilaku, emosi diregulasi dari respon perilaku, seperti menggigit lidah ketika marah, menggigit jari ketika 1 2 cemas, dan sebagainya. Dalam masa remaja, individu belajar meregulasi emosi dari konsekuensinya terhadap orang lain (Jabeen, 2015). Kemampuan regulasi-emosi atau keterampilan mengelola emosi menjadi penting bagi individu untuk dapat efektif dalam melakukan coping terhadap berbagai masalah yang mendorongnya mengalami kecemasan dan depresi. Individu yang mampu mengelola emosiemosinya sebagai efektif, akan lebih memiliki daya tahan untuk tidak terkena kecemasan dan depresi. Terutama jika individu mampu mengelola emosi-emosi negatif yang dialaminya seperti perasaan sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi. (Thompson & Goleman dalam Safaria, 2007). Dalam meregulasi emosi terdapat dua strategi yang di gunakan oleh individu, yaitu cognitive reappraisal dan suppression. Cognitive Reapraisal yaitu sebuah bentuk perubahan pemikiran mengenai situasi untuk mengurangi dampak emosional (Gross, 2002). Cognitive reappraisal merupakan strategi regulasi emosi paling efektif. Dampak dari strategi cognitive reappraisal membuat perasaan negative berkurang dan meningkatkan perasaan positif. Lalu yang kedua strategi regulasi emosi yang digunakan oleh individu adalah Suppression. Suppression adalah strategi regulasi emosi untuk menghambat perilaku emotion-expressive (ekspresi atau reaksi pada saat terjadinya respon dari emosi) yang sedang berlangsung (Gross, 2002). Bentuk dari suppression terjadi melalui reaksi fisiologis seperti menggigit jari, relaksasi melalui pernapasan, berteriak, dan lain sebagainya, hal tersebut dilakukan untuk menekan emosi yang sedang berlangsung. Dampak dari suppression adalah dapat mengurangi perasaan negative namun juga mengurangi perasaan positif (Sheppes & Gross, 2012) Orang tua dapat membentuk kemampuan dan bentuk regulasi emosi pada anak-anak dari interaksi dan hubungan antara orang tua dan anak (Parke, Cassidy, Burks, Carson, & Boyum dalam Jabeen, 2015).Orang tua merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi remaja. Hal ini dikarenakan sejak lahir orang tua adalah sosok yang paling sering berinteraksi dan memiliki peran dalam kehidupan remaja. Orang tua memiliki kecenderungan untuk membentuk karakteristik tertentu dalam proses sosialisasi, yang kemudian membentuk suatu pola yang disebut pola asuh orang tua (Kastutik & Setyowati, 2014). Dalam karakteristik yang terbentuk ada empat jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, yaitu authoritarian parenting, authoritative parenting, neglectful parenting, 3 indulgent parenting, Baumrind (dalam Santrock, 2009). Pengaruh orang tua terhadap remaja baik secara langsung maupun tidak langsung terjadi melalui pola asuh orang tua tersebut. Dalam membentuk regulasi emosi pada remaja, remaja belajar dari konsekuensinya atas perilakunya dari orang tua melalui operant conditioning dan modelling. Operant conditioning adalah pembentukan perilaku atau sikap dari efek menyenangkan yang dapat menguatkan hubungan stimulus antara respon (Skinner, dalam Santrock 2009). Sedangkan modeling proses belajar dengan mengamati tingkah laku atau perilaku dari orang sekitar kita termasuk orang tua. Modeling yang artinya meniru, dengan kata lain juga merupakan proses pembelajaran dengan melihat dan memperhatikan perilaku orang lain kemudian mencontohnya (Bandura, dalam Santrock 2008) . Hasil dari modeling atau peniruan tersebut cenderung menyerupai bahkan sama perilakunya dengan perilaku orang yang ditiru tersebut. Mengaplikasikan regulasi emosi dalam kehidupan dapat berdampak baik dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademik, kemudahan dalam membina hubungan dengan orang lain dan meningkatkan resiliensi Gottman (dalam Widuri, 2007). Regulasi emosi tidak hanya melibatkan pengalamanan afektif, tetapi juga melibatkan proses kognitif, perilaku, dan fisiologis. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa regulasi emosi merupakan faktor penting pada kemampuan anak dan remaja untuk mendorong perilaku prososial dan pro-akademik, Pekrun (dalam Kurniasih, 2013). Untuk mencegah perilaku yang bermasalah pada remaja dapat dilakukan melalui pengasuhan dan regulasi emosi (Jabeen, 2015). Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang, “Hubungan antara Persepsi Pola Asuh Orang Tua dengan Strategi Regulasi Emosi pada Remaja”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari fenomena yang telah dijelaskan pada latar belakang. Permasalahan yang akan berusaha dijawab dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara persepsi pola asuh orang tua dengan strategi regulasi emosi pada remaja ?” 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi pola asuh orang tua dengan strategi regulasi emosi pada remaja. 4 1.3.1 Tujuan Praktis Penelitian ini bertujuan untuk menambah ilmu dan pengetahuan yang akan berguna untuk proses konseling, pendidikan, atau terapi mengenai masalah pada remaja dan keluarga. 1.3.2 Tujuan Ilmiah Peneliti berharap penelitian ini dapat berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti atau pembaca khususnya pengetahuan dalam dunia sosial dan pengasuhan anak-remaja.