Esuriun orang Bati

advertisement
Bab Enam
Pengelompokan Sosial di Tana
(Tanah) Bati
Teritorial Genealogis atau Wilayah Roina Kakal Sebagai
Media Interaksi Sosial
Sistem pengelompokan sosial di Tana (Tanah) Bati yang berada
dalam teritorial genealogis atau wilayah roina kakal merupakan proses
menyatunya Alifuru Bati atau Orang Bati yang terdiri dari kelompok
sosial Patasiwa dan Patalima sebagai struktur sosial dasar melalui adat
Esuriun Orang Bati. Begitu pentingnya Esuriun Orang Bati sehingga
kebenaran menyatunya kelompok sosial yang berbeda karena mereka
menyadari eksistensinya sebagai orang satu asal. Dalam hidup keseharian Orang Bati yang mendiami etar dalam watas nakuasa
senantiasa membangun relasi sosial berdasarkan ikatan roina kakal.
Untuk itu etar merupakan tali pengikat di mana interaksi sosial
yang berlangsung diantara Orang Bati yang berbeda etar, tetapi senantiasa wilayah ini memiliki makna sebagai teritorial genealogis atau
teritorial roina kakal yang muncul sebagai kesadaran bersama untuk
saling menjaga, melindungi agar dapat bertahan hidup (survive). Dalam
konteks ini, maka semangat tolong-menolong (bobaiti) antar warga,
keluarga dan kerabat, komunitas ada pada ha-kikat teritorial genealogis
karena memiliki pertalian darah yang sangat kuat sejak awal pembentukan kelompok sosial maupun perkembangan sampai saat ini.
Sistem pengelompokan dikalangan Orang Bati pada awalnya
berbeda karena masing-masing kelompok (Patasiwa dan Patalima)
mendiami teritorial sendiri-sendiri. Setelah dilakukan Esuriun Orang
Bati terjadi pembagian (tabago) tanggung jawab untuk masing-masing
marga sehingga diantara kelompok Patasiwa maupun Patalima dapat
183
Esuriun Orang Bati
menempati teritorial atau wilayah milik marga (etar) sesuai adat.
Mengenai sistem pengelompokan sosial di kalangan Orang Bati dapat
dikemukakan sebagai berikut:
Kehidupan AwaL Kelompok Sosial di Samos
Pada awalnya, wilayah Nusa Ina (Pulau Ibu) adalah satu, dan
manusia mendiami suatu tempat. Sistem pengelompokan sosial yang
terdapat dalam kehidupan Orang Alifuru saat itu di Bumi Nusa Ina atau
saat ini dinamakan Bumi Pulau Seram pada wilayah (teritorial) masingmasing. Tetapi perkembangan Orang Alifuru terus bertambah banyak
karena kelahiran, kemudian secara evolusioner pola pengelompokan
sosial mulai berubah. Ciri khas pengelompokan dari Alifuru terdiri dari
kelompok Patasiwa dan Kelompok Patalima. Dua sistem pengelompokan tersebut merupakan dasar pembentukan struktur sosial
di kalangan Alifuru Seram.
Pada lingkungan Orang Bati kedua kelompok sosial Pata Siwa
dan Pata Lima menyatu setelah dilakukan Esuriun Orang Bati. Hal ini
berarti bahwa melalui Esuriun Orang Bati terbangun relasi sosial yang
kuat antar roina kakal di Tana (Tanah) Bati yang di-pahami oleh Orang
Bati sebagai orang satu asal. Peristiwa kehidupan yang berlangsung di
Samos telah meberikan pencerahan pada ke-turunan Alifuru Seram
atau Alifuru Bati atau Orang Bati membentuk ikatan-ikatan sosial yang
kuat sebagai roina kakal.
Interaksi Kelompok Patasiwa dan Patalima Sebagai Orang Satu Asal
Proses interaksi sosial yang berlangsung secara intensip telah
menghasilkan kehidupan baru pada keturunan Alifuru Seram atau
Orang Bati sejak berada di Samos. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Orang Bati bahwa:
Kita mancia Baita lahir fua Batu lua, baru siwida lua walaa kamu
wida kamian. Asli Batu oi ka mancia Baita. Artinya, manusia
Bati ini lahir dengan evolusi daratan Seram. Jadi kami ini
manusia gunung. Dalam perkembangan baru ada yang mendiami
184
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
daerah pantai, tetapi ada yang tetap tinggal di gunung. Asli
Orang Bati adalah Orang Gunung 1).
Pada awal kehidupan di Samos-Gunung Bati, sudah terdapat dua
kelompok sosial yang dinamakan kelompok Patasiwa (Sembilan Bagian) dan kelompok Patalima (Lima Bagian). Pada awalnya kelompok
Patasiwa (Sembilan Bagian) dan kelompok Patalima (Lima Bagian)
menempati teritorial (wilayah) mereka masing-masing.
Interaksi antar Kelompok Patasiwa dan Patasima Melalui Etar Sebagai
Teritorial Genealogis atau Wilayah Roina Kakal
Etar merupakan teritorial genealogis atau wilayah berdasarkan
pertalian darah, dan memiliki hakikat pada sebutan roina kakal.
Sebutan orang dalam proses interaksi sosial di kalangan Orang Bati
memiliki makna yang identik dengan manusia. Dalam bahasa Minakesi
yang digunakan Orang Bati untuk berkomunikasi, konsep orang atau
manusia dinamakan mancia. Dalam interaksi sosial dan pergaulan
hidup di Tana (Tanah Bati) kelompok sosial terdiri dari mereka yang
menyebut diri sebagai Orang Gunung (Mancia Atayesu) dan kelompok
yang menyebut diri sebagai Orang Pantai (Mancia Layena). Sapaan ini
tidak membatasi pada kelompok Patasiwa dan Patalima menjalani
interaksi sosial. Artinya kedudukan mereka adalah sama yaitu sebagai
Orang Bati yang mendiami wilayah perkampungan atau dusun
(wanuya) di pegunungan dan lereng bukit maupun mereka yang mendiami perkampungan daerah pantai adalah roina kakal. Sapaan ini
digunakan untuk kepentingan interaksi, tetapi bukan sebagai pembeda.
Sebutan Orang Gunung dan Orang Pantai dalam interaksi sosial
hakikatnya adalah sama karena mereka semua adalah Orang Bati.
Penggunaan sapaan seperti ini sesungguhnya merupakan bagian
dari proses-proses sosial, tetapi dalam tradisi, adat-istiadat, dan budaya
yaitu mereka semua adalah Anak Esuriun. Interaksi sebagai kunci
kehidupan yang sangat penting perlu dipahami dan dijelaskan, ter1)Wawancara dengan bapak SeSa (Tokoh Adat) di Kampung atau Dusun Rumbou (Bati
Tengah) pada tangga 7 Desember 2009.
185
Esuriun Orang Bati
utama berkaitan dengan penyebutan diri bagi seseorang atau kelompok
orang dengan daerah asalnya. Sebutan yang ditujukan pada Orang Bati
sebagai Orang Gunung dan Orang Pantai sebenarnya ada keterikatan
emosional yang sangat kuat. Sebagai Orang Bati di Pulau Seram Bagian
Timur telah menjalani kehidupan bermasyarakat sejak berabad-abad
yang silam, namun sampai saat ini sebutan Orang Bati dalam interaksi
sosial masih sangat fenomenal. Orang Bati yang mendiami wilayah kediaman mereka di Tana (Tanah Bati) atau Atamae Batu. Hal ini berarti
bahwa Orang Bati yang mendiami setiap lokasi kediaman di kampung
atau dusun (wanuya) memiliki bahasa lokal2) yang sama untuk seluruh
wilayah Tana (Tanah) Bati.
Dusun-dusun di Tana (Tanah) Bati yang terletak di pesisir pantai,
lereng-lereng bukit, maupun pegunungan dikonsepkan oleh mereka
sebagai wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Sebenarnya
wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati di Pulau Seram Bagian
Timur cukup luas karena mencakup wilayah adat Weuartafela di Kian
Darat, Kelbarin yang berpusat di Waru, dan Kwairumaratu yang
berpusat di Kelimuri. Dalam perspektif Orang Bati, yang dimaksud
Tana (Tanah) Bati adalah wilayah kekuasaan yang terbentang dari
Kampung atau Dusun Madak sampai Kampung atau Dusun Uta atau
Utafa, dan Kampung atau Dusun Kileser sampai Kampung atau Dusun
Bati Kilusi (Bati Awal) adalah wilayah bernyawa, dimaksudkan untuk
membatasi orang luar untuk berinteraksi dengan Orang Bati secara
intensif.
Maknanya yaitu, nyawa seseorang tidak dapat dimiliki oleh
orang lain. Nyawa seseorang tidak dapat digantikan dengan nyawa
orang lain, apalagi dibeli. Hal ini memiliki nilai sangat mendasar dan
sudah berada sejak dahulu kala ketika leluhur mereka mendiami
kawasan ini. Untuk itu Orang Bati sangat percaya sampai sekarang
bahwa “Manusia Bati” yang lahir dengan evolusi daratan Seram yaitu
tidak pernah mati. Leluhur Orang Bati yaitu Tata Nusu Si selalu berada
dengan mereka sebagai anak cucu pada setiap lingkungan. Lingkungan
2)Orang Bati yang mendiami lokasi kediaman di Gunung, Lereng Bukit, dan Pesisir
Pantai menggunakan bahasa lokal yang sama yaitu bahasa Minakesi.
186
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
bermukim Orang Bati maupun orang luar dianggap sebagai wilayah
yang sakral. Relasi antara Orang Bati dengan lingkungan sosial di Tana
(Tanah) Bati senantiasa berada dalam mata-rantai kehidupan yang
selalu menyatukan tana (tanah) dan kosmos yang berada di dalamnya
saling terkait. Hal ini sesungguhnya dapat dipahami dan dijelaskan
menurut cara pandang Orang Bati yang dikonsepkan dalam falsafah
membangun yaitu Gum Mae Tawotu Tana Wanuwea (kumpul bersama
membangun kampung) yang bersumber pada kosmologi Orang Bati
tentang manusia, gunung, tanah, hutan dan segala isinya sebagai
kesatuan kosmos yang saling berkaitan.
Untuk itu dalam perspektif interaksi sosial maka usaha pembangunan yang berbasis manusia dan tana (tanah) beserta lingkungan
sekitarnya dianggap sangat penting untuk menghubungkan jati diri
Orang Bati sebagai Manusia Gunung (Mancia Atayesu). Melalui cara
membangun diri dan komunitas dipercaya mampu merubah kehidupan
Orang Bati atau ke arah lebih baik dan maju. Tetapi sebaliknya, Orang
Bati percaya apabila pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, dipastikan dapat menimbulkan pertentangan
serta bencana pada diri manusia sendiri. Sebab pembangunan memiliki
dampak positif seperti kemajuan pada manusia dan masyarakat, tetapi
pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif bagi kelangsungan
hidup manusia dan masyarakat. Untuk itu pembangunan yang dilakukan sesuai dengan nilai-nilai sosial-budaya, yang dianut Orang Bati
dipercaya bisa menghindari resiko kerusakan pada lingkungan fisik,
sosial, budaya, dan lainnya.
Orang Bati yang berada dalam wilayah administrasi Pemerintah
Kecamatan Tutuktolo yaitu mereka yang termasuk kelompok Bati
Dalam dan ada juga kelompok Bati Pantai. Orang Bati yang termasuk
kelompok Bati Dalam yaitu mereka yang menempati Kampung atau
Dusun Sayei, Tokonakat, dan Aerweur. Kelompok ini berada dalam
wilayah Pemerintahan Desa Kilimoi. Kelompok Orang Bati Pantai
mendiami Kampung atau Dusun Kilga, Kilaba, Watu-Watu, Angar,
Kian, Gah, Sesar Darat, Teun Lu, Kaididia, Lamdutu, Garigit, Mabak,
Kufarbolowin, dan Madak. Orang Bati Pantai yang mendiami wilayah
187
Esuriun Orang Bati
pegunungan antara lain di Kampung atau Dusun Rumoga, dan Uta.
Orang Bati Pantai yang mendiami lereng bukit antara lain Kampung
atau Dusun Kelsaur. Orang Bati Awal yang mendiami wilayah pegunungan yaitu di Kampung atau Dusun Bati Kilusi. Orang Bati
Tengah mendiami wilayah pegunungan yaitu di Kampung atau Dusun
Rumbou. Semua lokasi kediaman Orang Bati berada dalam wilayah
adat Weurartafela di Negeri Kian Darat. Wilayah adat Weurartafela
termasuk cukup luas sehingga pada masa Pemerintahan Raja Kian
Darat yang keempat, kelompok Orang Bati Dalam diberikan kesempatan untuk mengurus pemerintahannya sendiri. Secara adat kampung
atau dusun yang ditempati oleh Orang Bati Dalam berada dalam
Pemerintahan Desa Kilimoi. Informasi yang disampaikan oleh Raja
Kian Darat Bahwa:
Fabom oi tana adat Weurartafela najaga supaya Weurartafela ni
tana oi dua nai mancia won bok (Pada masa lampau, untuk
memudahkan pengawasan dalam wilayah adat Weurartafela,
maka Raja Kian Darat pada saat itu adalah Usman Weurartafela
memperbolehkan untuk menyelenggarakan pemerintahan oleh
Orang Kay). Dalam perkembangan kemudian baru menjadi Desa
Kilimoi. Tetapi secara adat, hak-hak atas tanah dan wilayah
yang mereka tempati, tetap berada dalam kekuasaan Negeri Kian
Darat atau secara adat wilayah ini tetap berada dalam kekuasaan
Raja Kian Darat. Sebab wilayah adat yaitu dikuasai oleh Kian
Darat, Waru, dan Kelimuri 3).
Wilayah adat Kian Darat yang terbentang dari barat ke timur dan
utara ke selatan, tampak bahwa kedudukan Desa Kilimoi berada di
tengah dari wilayah utara ke selatan, dan wilayah bagian utara dan
selatan ini dikuasai oleh Kian Darat. Artinya, kelompok Bati Dalam
yang terdiri dari Kampung atau Dusun Sayei, Tokonakat, dan Aerweur
ini dapat mengatur diri mereka sendiri di bawah Pemerintahan Desa
Kilimoi, sedangkan secara adat mereka berada dalam kesatuan adat
Negeri Kian Darat. Prinsip menentukan batas wilayah adat saat itu oleh
Orang Bati yaitu ditempatkan manusia. Jadi mereka yang berbicara
dengan menggunakan bahasa yang sama (bahasa minakyesu atau
Wawancara dengan bapak Awe (56 Tahun) Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian
Darat, di rumah kediamannya di Pulau Geser pada tanggal 27 Oktober 2010.
3)
188
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
minakesi) berarti mereka memiliki pertalian darah (genealogis). Orang
Bati yang berbicara dengan menggunakan bahasa yang sama berarti itu
adalah batas wilayahnya.
Proses penyebaran Orang Bati melalui Esuriun Orang Bati dipahami sebagai mata-rantai yang mengikat Orang Bati sebagai penduduk asli Pulau Seram Bagian Timur karena mereka merupakan anak
cucu keturunan Manusia Awal atau Alifuru. Sejak dilakukannya
Esuriun Orang Bati maka lokasi kediaman yang menjadi bagian dari
Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur telah ditempati, dan Orang
Bati tidak berpindah tempat tinggal. Dapat dikatakan bahwa wilayah
ini sebelum berlangsungnya pemekaran Kabupaten Seram Bagian
Timur (SBT) dari Kabupaten induk yaitu Kabupaten Maluku Tengah
termasuk wilayah yang mengalami isolasi geografi.
Lokasi kediaman Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur masuk
dalam wilayah administrasi Pemerintahan Kecamatan Seram Timur
dengan ibukota kecamatan yaitu Geser yang terdapat di Pulau Geser.
Kedudukan wilayah Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur atau
Tana (Tanah) Besar dengan Pulau Geser sangat jauh, dan berada pada
pulau yang ter-pisah oleh Selat Geser dan Selat Kevin. Kondisi alam
sekitar wilayah ini seringkali tidak ramah karena terjadi gelombang
laut yang besar sehingga menjadi penyebab isolasi geografi. Orang Bati
yang mendiami lokasi kediaman yang berada pada kondisi alam yang
tidak ramah menyebabkan Orang Bati kurang memiliki akses, hambatan interaksi dengan orang luar, dan lainnya sehingga kehidupan
mereka belum banyak mengalami perubahan.
Setelah pemekaran Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) lokasi
kediaman Orang Bati masuk dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten
Seram Bagian Timur (SBT). Wilayah Orang Bati berada dalam
Pemerintahan Kecamatan Seram Timur dan Kecamatan Tutuktolo.
Orang Bati mendiami lokasi kediaman mereka pada dusun-dusun yang
terletak sekitar pesisir pantai yaitu dinamakan Orang Bati Pantai.
Orang Bati yang mendiami lokasi pemukiman mereka sekitar lerenglereng bukit dan wilayah pegunungan yaitu Orang Bati Dalam, Orang
Bati Tengah, dan Orang Bati Awal. Pada saat berlangsungnya pe189
Esuriun Orang Bati
nelitian ini Orang Bati masih menempati lokasi bermukim mereka
dalam kawasan hutan pedalaman menurut sistem pengelompokan
sosial setelah Esuriun Orang Bati.
Untuk mencapai lokasi bermukim Orang Bati ditempuh dengan
jalan kaki melalui jalan setapak yang dibuat oleh Orang Bati. Apabila
dilihat dari lokasi bermukim Orang Bati dapat dikategorikan sebagai
daerah terpencil dan terisolasi, tetapi kehidupan Orang Bati tidak
termasuk masyarakat terasing. Sebab interaksi sosial antara Orang Bati
dengan orang luar telah berlangsng cukup lama. Pendapat yang
dikemukakan Orang Bati yaitu:
Bomai Tata Nusu Si hidup tama Mancia Batu dangguan sinabu
tua Mancia Woun, tapi selama eya Mancia Woun oi daluk kamu
te, biar kamu kasobal, wala Ambon, Masohi, Bula, Wahai,
Sosrong, Fak-Fak, Kesui, Saparua, tua si woun-woun (Sejak
zaman leluhur mereka masih hidup, Orang Bati sudah menjalin
interaksi sosial dengan orang luar sejak dahulu. Tetapi selama ini
orang luar tidak mengetahui tentang kami Orang Bati. Sebagian
dari Orang Bati pernah datang di Ambon, Masohi, Bula, Wahai,
Sorong, Fak-Fak, Kesui, Saparua, dan lainnya). Bahkan ada
Orang Bati yang datang ke Jawa maupun Kalimantan. Dalam
sejarah penyebaran, ada juga Orang Bati yang sampai di Bau-Bau
(Sulawesi Tenggara) pada tempat yang bernama Tidar. 4)
Realitas yang dijalani oleh Orang Bati seperti ini dapat dikatakan
bahwa, keberadaan mereka tidak termasuk dalam kategori kelompok
masyarakat terasing, sebab kontak dan interaksi sosial antara Orang
Bati dengan orang luar senantiasa berlangsung. Walaupun intensitas
interaksi sangat terbatas karena pengaruh kondisi geografis yang sering
mengalami isolasi akibat kondisi alam tidak ramah. Lokasi kediaman
Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur atau di Tana (Tanah) Besar
yaitu sekitar daerah pedalaman masih tertutup dengan pepohonan, dan
terdapat hutan yang lebat.
Kondisi tersebut mengakibatkan lingkungan hidup Orang Bati di
Tana (Tanah) Bati menjadi kawasan yang tidak mudah untuk didatangi
4)Wawancara dengan bapak SeSia (74 Tahun) Kepala Adat Dusun Rumbou (Bati
Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 10 Juli 2010. Makna dari “Tidar” yaitu
tetesan darah terakhir.
190
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
oleh orang luar. Pada umumnya orang luar beranggapan bahwa lokasi
kediaman dan lingkungan hidup Orang Bati merupakan daerah yang
sakral sehingga orang luar dilarang masuk ke wilayah ini tanpa izin
dari Orang Bati. Kehidupan nyata Orang Bati yang menyatu dengan
alam hutan dan lingkungan membuat Dunia Orang Bati sampai saat ini
merupakan dunia yang tertutup bagi orang luar. Lokasi penyebaran
Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur yang dipersepsikan sebagai
wilayah bernyawa dapat dilihat melalui bagan 2 berikut ini:
Bagan 3
Lokasi Penyebaran Orang Bati Dalam Wilayah Bernyawa
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian
Makna yang terdapat pada bagan tersebut di atas adalah lokasi
penyebaran Orang Bati mulai dari pesisir pantai sampai dengan
wilayah pegunungan dikelilingi oleh kampung atau dusun (wanuya)
yang dihuni oleh Orang Bati. Lokasi kediaman Orang Bati tersebut
dipercaya sebagai wilayah bernyawa karena leluhur (Tata Nusu Si) atau
191
Esuriun Orang Bati
Manusia Batti yang sangat dihormati, dijunjung tinggi, dan ditakuti
karena senantiasa ia berada dan memandang Orang Bati sebagai anak
cucu. Merusak wilayah hutan (esu) yang berada di Tana (Tanah) Bati
berarti sama saja dengan merusak tubuh manusia. Lokasi bermukim
dan menghuni yang terdapat dalam etar (wilayah kekuasaan milik
marga) merupakan konteks budaya Orang Bati di Pulau Seram Bagian
Timur yang berada dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang
Bati. Wilayah ini harus dijaga dan dilindungi (mabangatnai tua
malindung). Selain itu juga wilayah Orang Bati harus diawasi, dikelola,
dipelihara, dan dilestarikan karena leluhur Orang Bati senantiasa memandang mereka dari Gunung Bati. Untuk itu konsep Tana (Tanah)
Bati yang dimaksudkan oleh Orang Bati yaitu dari Madak sampai Uta,
dan Kileser sampai Kilusi adalah wilayah bernyawa karena merupakan
tempat asal-usul Manusia Batti yang sakral, dan bersifat kesemestaan.
Makna wilayah bernyawa dalam perspektif Orang Bati yaitu
Tana (Tanah) Bati itu adalah wilayah yang hidup. Setiap yang hidup
dipersepsikan sebagai ”bernyawa”. Konsep bernyawa yang dipersepsikan Orang Bati merupakan strategi untuk membatasi ruang gerak dari
orang luar agar tidak dapat masuk secara leluasa atau sesuka hatinya di
wilayah Orang Bati. Kedatangan orang luar pada umumnya untuk
eksploitasi sumber daya. Kondisi demikian menjadi hambatan dalam
proses interaksi antara Orang Bati dengan orang luar karena makna
dari wilayah bernyawa menyebabkan orang luar sulit untuk masuk.
Artinya persepsi seperti di atas memiliki nilai positif bagi Orang Bati,
tetapi ada juga yang bersifat negatif, karena konsep nyawa senantiasa
berkaitan dengan diri seseorang yang tidak dapat dimiliki oleh orang
lain. Sebab kehidupan manusia dan tanah di mana ia berada adalah
senyawa atau menyatu, sebagaimana dikemukakan Orang Bati bahwa:
Mancia, tena, esu, tua ni sisiya oi gavin oi bomai Tata Nusu Si
nai wanueya (Manusia, tanah, hutan, dan segala isinya memiliki
nilai mendasar dan ini sudah dimiliki sejak dahulu kala ketika
leluhur mereka mendiami kawasan ini). Orang Bati sangat
percaya sampai sekarang bahwa “Manusia Batti” yang mendiami
“Tana (Tanah) Bati” itu tidak pernah mati. Ia selalu ada dengan
mereka sebagai anak cucu yang mendiami kampung atau dusundusun di Tana (Tanah) Bati, baik dusun yang terletak di pesisir
pantai, lereng-lereng bukit, maupun pegunungan adalah
192
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati yang memiliki
nyawa. Sebenarnya watas nakuasa yang meliputi keturunan
Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur cukup luas karena
mencakup wilayah adat Weuartafela di Kian Darat, Kelbarin di
Waru, dan Kuwairumaratu di Kelimuri. Saat ini wilayah adat
tersebut masuk dalam wilayah administrasi Pemerintahan
Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Orang Bati mendiami
wilayah administrasi Pemerintahan Kecamatan Seram Timur
dan Kecamatan Tutuktolo. Jumlah Orang Bati terbanyak berada
dalam wilayah adat Weuartafela di Kian Darat, Kecamatan
Seram Timur. Untuk itu yang dimaksud dengan “Tana (Tanah)
Bati” adalah wilayah kekuasaan Orang Bati yang terbentang dari
Madak sampai Uta atau Utafa, dan Kileser sampai Kilusi adalah
Atamae Batu 5).
Dinamika Interaksi Dalam Teritorial Genealogis atau
Wilayah Roina Kakal
Pola permukiman Orang Bati yang berada di pegunungan,
lereng-lereng bukit, dan pesisir pantai dibangun oleh Orang Bati yang
menempati lokasi kediaman masing-masing. Wilayah kediaman Orang
Bati yang berada di pegunungan, lereng-lereng bukit, dan pesisir pantai
dihuni sesuai dengan sistem pembagian (tabagu) atas tanah miliki
marga yang dinamakan etar yang terdapat dalam wilayah kekuasaan
(watas nakuasa) Orang Bati. Etar yang berada dalam watas nakuasa
dipahaminya sebagai wilayah orang basudara (roina kakal) atau teritorial genealogis sebagai mata-rantai yang mengikat Orang Bati sebagai
orang satu asal, atau orang yang berasal dari Gunung Bati.
Pengelompokan sosial di Tana (Tanah) Bati seperti ini mengikuti
garis keturunan bapak (patrilinial) untuk menempati teritorial milik
marga atau etar masing-masing yang awalnya terdiri dari wilayah
hutan. Untuk itu hubungan sosial diantara mereka dapat dikategorikan
sebagai hubungan berdasarkan teritorial genealogis atau berada dalam
wilayah roina kakal karena memiliki pertalian darah yang sangat kuat
sebagai orang satu asal. Pemindahan lokasi ber-mukim berarti mereka
5)Wawancara dengan AKil (68 Tahun) Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal), Negeri
Kian Darat, pada tanggal 20 Desember 2009.
193
Esuriun Orang Bati
dipaksa untuk menguasai wilayah kekuasaan (watas nakuasa) atau etar
milik orang lain.
Kehidupan Orang Bati dalam teritorial genealogis atau wilayah
roina kakal telah dijalani Orang Bati sejak leluhur mereka melakukan
tradisi Esuriun Orang Bati pada masa lampau. Sebab melalui Esuriun
Orang Bati maka anak cucu keturunan Orang Bati menempati wilayah
etar yang merupakan hak milik masing-masing, dan mereka tidak
pernah berpindah-pindah tempat. Untuk itu yang dimaksud dengan
cara bermukim dikalangan Orang Bati yaitu sesuai dengan wilayah
kekuasaan milik marga atau etar sehingga di dalam melakukan aktivitas
berladang maupun bertani menetap yaitu masing-masing marga
melakukannya di etar masing-masing. Lokasi bermukim Orang Bati
dapat dilihat pada beberapa tempat sebagai berikut :
Teritorial Genealogis atau Wilayah Roina Kakal di Pegunungan
Orang Bati yang mendiami wilayah bermukim di sekitar pegunungan menempati rumah mereka yang terbuat dari kayu, berdinding
papan, maupun pelepah sagu (kuata), dan beratap rumbia (balema).
Tetapi ada juga Orang Bati yang mendiami lereng bukit dengan
menempati rumah yang bertiang kayu, berdinding kapur, dan beratap
sengk. Pada saat berlangsungnya penelitian ini, Orang Bati masih
menempati rumah kediaman mereka seperti dikemukakan di atas,
namun kebanyakan warga yang mendiami lereng bukit menempati
rumah panggung yang bertiang kayu, berdinding papan, gaba-gaba,
dan beratap rumbia. Rumah kediaman Orang Bati di pegunungan dapat
dilihat pada gambar 9 berikut ini:
194
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
Gambar 9
Rumah Orang Bati di Kampung atau Dusun (Wanuya) Rumbou (Bati Tengah)
Lokasi Bermukim di Pegunungan
Teritorial Genealogis
Lereng Bukit
atau Wilayah Roina Kakal yang Terdapat di
Rumah kediaman Orang Bati yang berada di sekitar lereng bukit
terbuat dari kayu, berdinding papan, maupun pelepah sagu (gabagaba), dan beratap rumbia (daun sagu). Tetapi ada juga Orang Bati yang
mendiami lereng bukit dengan menempati rumah yang bertiang kayu,
berdinding kapur, dan beratap sengk.
Pada saat berlangsungnya penelitian ini, Orang Bati masih
menempati rumah kediaman mereka seperti dikemukakan di atas,
namun kebanyakan warga yang mendiami lereng bukit menempati
rumah panggung yang bertiang kayu, berdinding papan, gaba-gaba,
dan beratap rumbia. Rumah Orang Bati yang berada di lereng bukit
dapat dilihat pada gambar 10, 11, 12, 13, dan 14 berikut ini:
Gambar 10
Lokasi Kampung/Dusun
Rumbou (Bati Tengah)
yang Terdapat di
Pegunungan
195
Esuriun Orang Bati
Gambar 11
Rumah Orang Bati di
Kampung atau Dusun
Aerweur (Bati Dalam)
Ini Terdapat di
Pegunungan
Gambar 12
Kondisi Rumah Kediaman Orang Bati atau Masyarakat di Kampung atau
Dusun Rumoga (Bati Pantai) Lokasi Bermukim yang Terdapat
di Lereng Bukit
196
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
Gambar 13
Kondisi Rumah Kediaman Orang Bati di Kampung atau Dusun Kelsaur (Bati
Pantai) Lokasi Bermukim yang Terdapat di Lereng Bukit
Gambar 14
Kondisi Rumah Kediaman Orang Bati di Kampung atau Dusun Bati Kilusi
(Bati Awal) Lokasi Bermukim yang Terdapat di Pegunungan
Wilayah bermukim Orang Bati di Pula Seram Bagian Timur yang
terdapat di pegunungan, lereng bukit, maupun pesisir pantai merupakan wilayah adat yang secara turun-temurun dipahami sebagai
197
Esuriun Orang Bati
tampa putus pusa (tempat kelahiran). Orang Bati tersebar dalam tiga
wilayah adat yaitu Werartafela di Kian Darat, Kelbarin di Waru, dan
Kuwarmaratu di Kelimuri berada dalam mata-rantai genealogis sebagai
orang satu asal. Namun berdasarkan adat Esuriun Orang Bati bahwa
keturunan Gunung Bati yang boleh menggunakan nama Bati yaitu
mereka yang turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua
ukara) mengikuti rute perjalanan Manusia Batti, dan sampai di Bati
Kilusi (Bati Garuda) yang saat ini merupakan lokasi kediaman dari
Orang Bati Kilusi (Bati Awal).
Teritorial Genealogis atau Wilayah Roina Kakal di Pesisir Pantai
Lokasi bermukim Orang Bati di sekitar wilayah pesisir pantai
memiliki hubungan genealogis dengan wilayah yang terdapat di
pegunungan maupun lereng bukit. Rumah Orang Bati di sekitar pesisir
pantai adalah terdiri dari tiang-tiang kayu, berdinding kapur, papan,
dan pelepah sagu (kuata). Umumnya rumah yang ditempati oleh Orang
Bati adalah rumah yang beratap rumbia (daun sagu), tetapi ada juga
rumah Orang Bati Pantai yang sudah beratap sengk. Rumah kediaman
dari Orang Bati di pesisir pantai dapat dilihat pada gambar 15 berikut
ini:
198
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
Gambar 15
Kondisi Orang Bati di Kampung atau Dusun Watu-Watu (Bati Pantai)
Lokasi Bermukim Pesisir Pantai
Tanggalasu Sebagai Arena Interaksi Sosial antar Orang Bati Dalam
Teritorial Genealogis atau Wilayah Roina Kakal
Tanggalasu (tempat menyimpan makanan) secara alami yang terdapat dalam kawasan hutan (esu) Orang Bati secara adat-istiadat memiliki makna teritorial genealogis atau wilayah roina kakal telah
berperan menyediakan berbagai keperluan hidup agar anak cucu Bati
bisa bertahan hidup (survive). Melalui studi tiga musim diketahui
bahwa proses interaksi sosial yang berlangsung di kalangan Orang Bati
pada musim kemarau (musim barat), musim penghujan (musim timor),
dan musim peralihan atau musim pancaroba dalam wilayah tanggalasu
benar-benar intensif. Sebab pada musim tenang wilayah ini jarang,
bahkan tidak disentuh karena dibiarkan agar pulih. Kearifan Orang
Bati untuk mengelola kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan hidup
setiap saat, dan interaksi sosial di kalangan mereka sebagai orang satu
asal dalam kawasan tanggalasu memiliki makna genealogis untuk
bertahan hidup (survive).
199
Esuriun Orang Bati
Dalam satu tahun Orang Bati mengalami musim yang selalu bergantian yaitu dari musim kemarau (musim barat) ke musim penghujan
(musim timor) dan setiap pergantian musim diselingi dengan musim
pancaroba atau musim peralihan. Kondisi lingkungan fisik yang memiliki pengaruh sangat kuat terhadap aktivitas kehidupan Orang Bati
membuat wilayah tanggalasu sebagai teritorial genealogis atau wilayah
roina kakal menjadi tempat ketergantungan hidup yang utama seperti
diungkapan Orang Bati bahwa:
Kamu cuma kakofanga yang bomai memamam siki roina Tata
Nusu Si, artinya kami hanya mengkonsumsi apa yang kami
miliki dari leluhur kami sampai sekarang. Di kala tiba musim
susah, karena mamu tinanai tua mamu sinobala terbatas, oi yang
be kamu kafatanak boit dait tifua) artinya, mereka terbatas
sarana transportasi darat maupun laut, dan biaya pemasaran juga
besar. Sebenarnya yang nyata yaitu, mamu hasil usaha tana
cukup wian tapi kamu katanak daite bomai cara pelayanan ni
sa’te), artinya, hasil usaha pertanian/ladang cukup banyak tetapi
tidak dapat dijual karena jauh dari jangkauan dan pelayanan.
Pada saat musim susah (musim paceklik) mamo kesempatan nai
kawei mamo pasaran/tompat fatanak, oi yang de kamu kafatanak
daite) artinya, Akses/kesempatan kami sama sekali tidak ada
untuk mencapai pasar.Kami sama sekali tidak memiliki
kesempatan untuk itu bapak 6).
Artinya dalam satu tahun berlangsung musim kemarau (musim
barat), musim penghujan (musim timur), dan musim pancaroba (peralihan), Orang Bati atau Masyarakat Bati hanya menghadapi musim di
mana kodisi wilayah mereka untuk berakses selama tiga bulan pada
bulan September, Oktober, dan November. Waktu selama sembilan
bulan adalah waktu yang sulit dan dipersepsikan oleh mereka sebagai
musim susah atau musim paceklik yang sangat panjang sehingga membuat mereka ilang (hilang) 7) dalam berinteraksi dengan orang lain. Jadi
persepsi Orang Maluku tentang Orang Bati sebagai orang ilang-ilang
(hilang-hilang) yang berkembang dalam interaksi sosial karena sama
Wawancara dengan bapak AKil (68 tahun) Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal),
Negeri Kian Darat, pada tanggal 23 desember 2009.
7)Menurut pendapat penulis, kondisi ini perlu dibedakan dengan cara seseorang bisa
“menghilangkan” dirinya ketika menghadapi situasi sulit, karena hal ini merupakan
bentuk kearifan yang dimiliki seseorang sebagai bentuk pewarisan nilai secara turuntemurun, atau mempelajari kearifan dimaksud pada orang lain.
6)
200
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
sekali orang luar tidak memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai
Orang Bati. Perspektif yang dijumpai dalam studi tiga musim
memberikan sejumlah pengalaman hidup yang sangat berharga ketika
mereka berusaha agar dapat bertahan hidup (survive). Ketika fenomena
ini diinterpertasikan masuk ke dalam alam nyata, yang tampak yaitu
kearifan masing-masing orang maupun kelompok yang menguasai
wilayah milik marga (etar) berusaha mengelola lingkungan fisik menurut cara tradisional.
Lingkungan fisik untuk bertahan hidup (servive) di kalangan
Orang Bati sebagai penyangga dikala masyarakat tengah menghadapi
musim paceklik atau musim susah (pinakut danggu) artinya tanggalasu
merupakan arena interaksi sosial antar warga secara harmoni. Wilayah
ini dipahami sebagai tempat bertahan hidup (survive) karena terdapat
hutan sagu (yesu kiya) dan bahan makan yang dapat dikumpulkan dari
hutan (esu) seperti ubi-ubian, sayur-sayuran, dan lainnya, serta hewan
buruan yang dapat ditangkap dengan cara memburu atau menggunakan jerat agar bisa dikonsumsi oleh Orang Bati. Kawasan ini
merupakan mata-rantai interaksi sosial di mana strategi kelangsungan
hidup bagi generasi pewaris tradisi Bati dapat memelihara wilayah
roina kakal secara baik.
Wilayah ini sudah disediakan sejak leluhur Orang Bati mendiami
kawasan Pulau Seram Bagian Timur pada masa lampau. Sumber bahan
makanan dalam wilayah tanggalasu baru dimanfaatkan oleh Orang Bati
atau masyarakat Bati ketika mereka memasuki masa paceklik atau tiba
musim susah. Maksud dari musim susah yaitu wilayah kediaman Orang
Bati di Seram Timur berada pada kondisi musim di mana terdapat
hujan lebat yang turun terus-menerus, angin bertiup sangat kencang
dari semua arah (utara, selatan, timur, dan barat), laut berombak
(ombak laut yang besar sehingga pesisir pantai timur Pulau Seram tidak
dapat di darati oleh kapal, motor tempel, perahu layar, dan lainnya).
Tanggalasu mengalami masa pemulihan selama tiga bulan pada setiap
tahun yang berlangsung dari bulan September sampai dengan bulan
November bukan berarti proses interaksi sosial terhenti, tetapi proses
tersebut terus berlangsung wilayah milik marga (etar) yang memiliki
201
Esuriun Orang Bati
makna sebagai teritorial genealogis. Artinya dalam tenggang waktu tiga
bulan ini wilayah tanggalasu tidak boleh diambil hasil. Strategi bertahan hidup (survive) pada Orang Bati dalam wilayah tanggalasu telah
meng-hasilkan interaksi yang di dasarkan pada norma sosial, adatistiadat, budaya, dan lainnya.
Jalan Sebagai Arena Interaksi pada Lingkungan Orang Bati
Jalan yang baru dibangun untuk menghubungkan lokasi bermukim Orang Bati dan memberikan akses untuk berinteraksi. Sarana
jalan yang baru dibangun dari arah pantai menuju pegunungan telah
menghubungkan Kampung atau Dusun Rumbou, Rumoga, Uta, dan
Bati Kilusi merupakan media untuk interaksi sosia secara kontinu.
Jalan yang menghubungan lokasi bermukim dari Orang Bati Pantai dan
Orang Bati di pegunungan dan lereng bukit dapat dilihat pada gambar
16 berikut ini:
Gambar 16
Jalan yang Baru Dibangun di Tana (Tanah) Bati Bernama Jalan Esuriun
202
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
Proses Interaksi Sosial antar Kelompok Patasiwa dan Patalima Setelah
Esuriun Orang Bati
Sistem pengelompokan sosial tersebut menjadi struktur sosial
dasar di mana jaringan interaksi sosial antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok berlangsung dalam sistem sosial. Marga-marga kelompok Patasiwa dan
kelompok Patalima yang menyatu dalam etar setelah Esuriun Orang
Bati dapat dilihat pada data tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2
Nama Marga-Marga Pata Siwa dan Pata Lima di Tana (Tanah) Bati
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
-
Marga Pata Siwa
Siasaun
Sukunwatan
Kilkusa
Kelikafan
Rumabitut
Rumbati
Rumain
Rumalean
Samos
Rumaketekete
Rumauw
-
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Marga Pata Lima
Walima
Rumbou
Rumaruta
Batirarat
Rumayal
Tiseul
Rumoga
Rumbara
Weurartafela
Rumwokas
Rumfaran
Rumasukun
Boufakar
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian.
Marga-marga Pata Siwa (Sembilan Bagian) berjumlah 11 marga
dan Pata Lima (Lima Bagian) berjumlah 13 marga di Tana (Tanah) Bati
memiliki fungsi dan peran sebagai pagar (sirerun) yang memiliki kewajiban untuk menjaga, melindungi marga-marga lainnya atau dinamakan pele orang. Marga-marga lainnya yang terdapat di Tana
(Tanah) Bati seperti, marga Kela, Rumeri, Kelrey, Kelsaba, Keluan, dan
Rumadaul. Setelah menjalani kehidupan bersama dari masing-masing
kelompok, berkembangnya proses-proses sosial untuk menyatukan
mereka sebagai suatu kelompok sosial yang menamakan diri sebagai
Mancia Atayesu (Orang Gunung). Proses integrasi sosial antara
Kelompok sosial Patasiwa (Sembilan Bagian) dan Patalima (Lima
203
Esuriun Orang Bati
Bagian) yang berbeda tersebut berada dalam kesatuan melalui Esuriun
Orang Bati.
Esuriun Orang Bati merupakan mekanisme sosial yang dilakukan
Orang Bati kemudian dikukuhkan melalui adat. Untuk itu terintegrasinya kelompok sosial Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan Pata Lima (Lima
Bagian) di Tana (Tanah) Bati adalah final. Tipe integrasi kultural yang
dicapai Orang Bati setelah mereka melakukan Esuriun Orang Bati,
untuk menempati lokasi masing-masing sesuai dengan pembagian
(tabagu) telah mendorong pada proses integrasi yang dicapai oleh
Orang Bati melalui adat esiriun adalah khas. Dalam kenyataanya, kehidupan dari kelompok sosial Pataliwa (Sembilan Bagian) dan Patalima
(Lima Bagian) di berbagai tempat hidup dengan wilayah (teri-torial),
adat, dan lainnya secara sendiri-sendiri. Tetapi di Tanah (Tanah) Bati
kelompok sosial Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan Pata Lima (Lima
Bagian) terintegrasi, dan menjalani hidup dalam teritorial genealogis
atau wilayah roina kakal secara bersama.
Sebagai contoh, di Dusun Rumbou (Bati Tengah) terdapat margamarga Pata Siwa (Sembilan Bagian) seperti marga Siasaun, Rumbati,
Boufakar, dan lainnya mendiami tempat yang sama dengan marga
Patalima (Lima Bagian) seperti marga Walima, Rumbou, Rumayal, dan
lainnya. Kedua kelompok sosial yang awalnya berbeda tetapi melalui
Esuriun Orang Bati, ternyata mereka semua yang berasal dari Samos
telah mendiami lokasi kediaman yang sama, dan memiliki wilayah kekuasaan milik marga (etar) yang berdekatan. Kehidupan sosial dari
kedua kelompok sosial yang saling berdampingan menunjukkan bahwa
integrasi kultural yang dicapai Orang Bati berdasarkan relasi roina
kakal karena mereka menyadari bahwa asal-usul keturunan Alifuru
(Manusia Awal) sehingga usaha saling menjaga dan melindungi
(mabangatnai tua malindung) manusia dan tanah me-rupakan bagian
dari kehidupan yang sangat penting untuk masa depan.
204
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
Dinamika Kelompok Setelah Esuriun Orang Bati
Peristiwa Esuriun Orang Bati yang mampu menyatukan
kehidupan sosial dari kedua kelompok sosial Patasiwa (Sembilan
Bagian) dan Patalima (Lima Bagian) menjadi kesatuan yang saling
berdampingan menunjukkan bahwa integrasi kultural adalah final
karena dilakukan melalui adat. Pengelompoka sosial tersebut menjadi
dasar di mana Orang Bati melakukan interaksi sosial melalui sistem
pengelompokan sosial ke dalam empat tipe kelompok yaitu :
Penamaan Kelompok Bati Awal
Kelompok Bati Awal adalah Orang Bati dari marga-marga yang
terdapat dalam kelompok Pata Siwa (Sembilan Bagian) dan kelompok
Pata Lima (Lima Bagian) yang mendiami Dusun Bati Kilusi atau Bati
Awal karena setelah melakukan Esuriun Orang Bati, maka mereka semua yang turun dari Samos di Gunung Bati dengan moyang atau leluhur bernama Kilusi (Garuda). Semua Orang Bati mengakui bahwa,
Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) merupakan tempat awal ketika leluhur
mereka turun dari Gunung Bati melalui esuriun. Untuk itu dalam menata kehidupan sosial di Tana (Tanah) Bati, tampak bahwa ikatan teritorial genealogis atau wilayah roina kakal menjadi dasar pembentukan
hubungan sosial dikalangan mereka sebagai orang satu asal, atau roina
kakal sehingga interaksi sosial yang berlangsung dalam masyarakat
senantiasa berada dalam relasi saling mengenal.
Dalam mempererat hubungan sosial tersebut terdapat kewajiban
secara moral pada setiap Orang Bati yang senantiasa teraktualisasi melalui tata krama dalam pergaulan, saling menghormati, menghargai,
dan saling menjaga dan melindungi satu terhadap yang lain, dan saling
memberi diantara mereka sesama roina kakal:
Kamu ka kuasai tata nusu si abus-abus yang damian nai tana
awal so tua so atau roina kakal nai Samos. Dan bomaioi kamu
kajaga, kabangat esuriun tua ni tana, ni mancia, bomai tata nusu
si.Kami memiliki asal-usu leluhur yang sama, mendiami lokasi
kediaman awal yang sama di Samos. Melalui esuriun kami
berusaha menjaga, memelihara seluruh hak milik seperti
manusia, tanah, dan lainnya”.
205
Esuriun Orang Bati
Penamaan Kelompok Sosial Bati Tengah
Kelompok Bati Tengah adalah Orang Bati dari marga-marga yang
terdapat dalam kelompok Patasiwa (Sembilan Bagian) dan kelompok
Patasima (Lima Bagian) yang mendiami Dusun Rumbou. Letak dari
Dusun Rumbou yaitu di pegunungan dengan lokasi bermukim dari
Orang Bati di lereng-lereng bukit, dan termasuk wilayah kediaman
Orang Bati yang berada di wilayah pedalaman.
Penamaan Kelompok Sosial Bati Dalam
Kelompok sosial Orang Bati Dalam yaitu mereka yang mendiami
Dusun Sayei, Tokonakat, dan Aerweur. Seluruh kelompok sosial yang
mendiami Dusun Bati Dalam yaitu berada pada wilayah pegunungan,
dan lokasi bermukim dari mereka di lereng-lereng bukit hanya dapat
dicapai melalui jalan kaki pada jalan setapak yang terdapat pada lerenglereng bukit dan lembah.
Penamaan Kelompok Sosial Bati Pantai
Kelompok sosial dari Orang Bati Pantai adalah mereka yang
mendiami perkampungan daerah pantai seperti Kian, Aertafela, Angar,
Watu-Watu, Kilaba, Kileser, dan lainnya. Terdapat kelompok sosial
dari Orang Bati Pantai yang mendiami pegunungan dengan lokasi
kediaman di lereng bukit yaitu mereka yang mendiami Dusun Rumoga
dan Dusun Uta, sedangkan Dusun Kelsaur berada di sekitar dataran
rendah pada wilayah pedalaman. Pengelompokan sosial di kalangan
Orang Bati mengacu pada penguasaan teritori sosial budaya, karena
marga-marga penghuni hutan dan wilayah pantai ini memiliki wilayah
kekuasaan (etar) yang telah dilakukan pembagian oleh leluhur mereka
pada masa lampau.
Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, ternyata Orang Bati
menyebut Tana (Tanah) Bati sebagai tempat asal adalah wilayah yang
206
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
sakral8). Sampai saat ini tidak terdapat informasi dan pengetahuan yang
lengkap tentang perihal kehidupan masyarakat yang mendiami
kawasan ini. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal bahwa,
kehidupan manusia dan masyarakat tidak ada yang permanen, kecuali
perubahan. Sejak awalnya, orang Bati cenderung menjalani kehidupan
yang tidak diketahui oleh orang lain. Kehidupan yang benar-benar
penuh dengan rahasia (secret), namun sebagai suatu masyarakat, Orang
Bati senantiasa berada dalam suatu dinamika atau perkembangan.
Pada masa lampau Orang Bati memiliki keterbatas untuk melakukan interaksi dengan orang lain di luar kelompok mereka, namun
pada saat ini Orang Bati sudah dapat berinteraksi dengan orang lain,
walaupun orang luar tidak pernah mengetahui keberadaan mereka
secara benar. Dahulu Orang Batik belum beragama, tetapi pada saat ini
mereka sudah menjalani kehidupan beragama. Masih banyak contoh
lain yang dapat dikemukakan, namun berdasarkan contoh tersebut di
atas dapat dikemukakan bahwa, di dalam menjalani hidup bermasyarakat ada segi-segi kehidupan dari orang Bati yang telah berubah,
namun ada juga yang belum mengalami perubahan seperti cara memperoleh makanan, cara mengolah makanan, cara makan, cara berobat
apabila sakit, tradisi, adat-istiadat, nilai, budaya, interaksi sosial, dan
lainnya. Hal ini menunjukan bahwa ada suatu dinamika yang berlangsung dalam kehidupan orang Bati. Mereka tidak berada dalam
kondisi yang statis. Sebagai manusia dan juga anggota masyarakat,
lambat atau cepat kehidupan ini akan terus mengalami perkembangan.
Dalam interaksi sosial, Masyarakat Maluku memaknai sakral sebagai hal yang
dikeramatkan. Artinya suatu kehidupan pada lingkungan tertentu yang belum, bahkan
tidak diketahui secara benar oleh orang lain.
8)
207
Esuriun Orang Bati
Proses-Proses Sosial
Proses-proses sosial yang berlangsung dikalangan Orang Bati
dapat dikemukakan lebih lanjut:
Interaksi Sosial Antar Sesama Orang Bati
Orang Bati memiliki jaringan interaksi sosial dengan sesama
orang Bati sangat baik, maupun dengan orang luar (masyarakat desadesa pesisir). Namun selama ini masyarakat di desa-desa pesisir saja
yang enggan untuk bertemu dengan orang Bati, apalagi untuk datang
ke Tanah Bati. Menurut persepsi mereka bahwa, untuk datang ke
Tanah Bati membutuhkan kesungguhan hati. Apabila tidak memiliki
kesungguhan hati akan sulit menemukan Tanah Bati. Menurut persepsi
Orang Bati bahwa, untuk datang ke Tana (Tanah) Bati (tatango rei
Bati) banyak sekali rintangan, atau ada rintangan yang membuat orang
tidak akan sampai ke Tana (Tanah) Bati jika orang tersebut ingin
datang dengan tujuan yang berbeda-beda. Tana (Tanah) Bati tidak
mudah untuk didatangi oleh orang lain yang memiliki niat berbedabeda. Pandangan umum dari masyarakat bahwa, apabila datang ke
Tana (Tanah) Bati (natagi rau moale bisa natahan) tidak disertai dengan
niat yang tulus dan sungguh-sungguh, dapat menghadapi berbagai
hambatan.
Dalam situasi seperti saya sebagai orang luar yang ingin mengetahui tentang kehidupan dari orang Bati, perlu melakukan adaptasi dan
dibantu oleh penterjemah yang turut mendampingi saya pada saat
survai. Pada awalnya kondisi seperti ini terasa sulit, namun proses
adaptasi terhadap lingkungan adalah kebutuhan yang harus dipenuhi
oleh orang luar ketika datang pertama kali di Tana (Tanah Bati).
Berikut ini adalah gambaran tentang suasana pertemuan dengan orang
Bati di Dusun Bati Kilusi (Suasana Diskusi Bersama Tokoh Masyarakat
di Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) pada gambar 17 a dan 17 b berikut ini:
208
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
Gambar 17.a
Suasana
setelah
Pertemuan
Adat di
Kampung
atau Dusun
Bati Kilusi
(Bati Awal)
Gambar 17.b.
Suasana Diskusi di Rumah Kediaman dari Imam Bati Kilusi (Bati Awal)
209
Esuriun Orang Bati
Interaksi Sosial Antar Orang Bati Dengan Orang Luar
Orang Bati seringkali melakukan interaksi sosial dengan orang
luar, terutama hal ini berlangsung di desa mereka sendiri. Jadi orang
Bati sangat leluasa untuk datang ke desa-desa tetangga dan bertemu
dengan penduduk, namun penduduk desa-desa tetangga yang terdapat
sekitar pesisir pesisir pantai ini tidak memiliki keberanian untuk
bertemu dengan orang Bati. Sebab dalam alam pikiran mereka sebagai
penduduk desa pesisir bahwa, orang Bati adalah orang hilang-hilang.
Orang Bati sangat kuat memegang janji. Untuk itu mereka merasa
enggan untuk berurusan dengan orang Bati, karena banyak kejadian
aneh seperti ada warga dari desa tertentu yang secara tidak sengaja
bertemu dengan orang Bati tiba-tiba ia mengalami sakit keras. Ada
warga yang kehilangan barang, tiba-tiba barang tersebut dapat kembali
pada tempatnya yang semula, walaupun pemiliknya tidak mecari
barang tersebut.
Contoh lain yaitu, ada anak perempuan dari desa tertentu yang
dipinang oleh orang Bati. Apabila orang tua atau keluarga tidak merestuinya, kemudian anak tersebut bisa mengalami sakit. Bahkan ada
warga yang mengalami sakit sangat parah dan bisa menyebabkan orang
tersebut meninggal dunia. Kondisi yang seringkali dialami oleh
penduduk yang berada di sekitar wilayah pesisir pantai seperti ini yang
menyebabkan mereka enggan untuk bertemu dengan orang Bati.
Bahkan ada di antara penduduk pesisir pantai yang melihat orang Bati
sedang berjalan, mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat, sambil mengintip di balik pintu atau jendela.
Proses inetraksi yang telah berlangsung dengan orang Bati di Tanah
Bati dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Dalam realitasnya, orang Bati memiliki sikap keterbukaan.
Interaksi sosial akan lebih lancar apabila telah terjadi hubungan saling
mengenal. Walaupun dalam kenyataannya, orang Bati tidak mudah
menaruh kepercayaan yang penuh kepada orang yang baru mereka
kenal. Namun pada hakikatnya orang Bati akan leluasa melakukan
interaksi apabila mereka telah mengetahui dan memahami maksud dan
tujuan dari seseorang yang ingin bertemu dengan mereka. Pada gambar
210
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
berikut ini nampak suasana pertemuan dengan para tokoh di Tanah
Bati untuk membicarakan rencana pembangunan Masjid. Interaksi
berlangsung sangat lancar karena orang Bati telah mengetahui dan
memahami maksud kedatangan dari pihak luar.
Bahasa Sebagai Alat Berkomunikasi
Dalam melakukan interaksi sosial diantara mereka sesama orang
Bati, maka bahasa yang digunakan yaitu bahasa Bati. Penggunaan
bahasa lokal dikalangan orang sangat berbeda dengan bahasa dari
sukubangsa lainnya yang mendiami Nusa Ina. Dalam berbagai studi
yang dilakukan oleh para ahli Antropologi seperti Subiyakto dalam
Koentjaraningrat (1988) menyebutkan bahwa, di Pulau Seram atau
Nusa Ina terdapat dua kelompok sukubangsa yaitu sukubangsa Alune
atau Halune, dan sukubangsa Wemale atau Memale.
Masing-masing sukubangsa tersebut di atas menggunakan bahasa
lokal yang berbeda antara satu dengan lainnya, baik dalam ucapan
maupun makna. Setelah melakukan identifikasi terhadap bahasa yang
digunakan oleh sukubangsa di atas, kemudian dibandingkan dengan
bahasa yang digunakan oleh orang Bati, dapat dikemukakan sebagai
contoh dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:
Tabel 3
Identifikasi Bahasa yang Digunakan oleh Orang-Orang Nusa Ina
No
Bahasa Indonesia
1
2
3
4
Sagu
Kamu siapa
Golok/Parang
Kamu hendak ke
mana
Kamu ada makan apa
5
Bahasa Orang
Alune di
Negeri Ririn
Pia
Ale be fia
Sari
Akeu e tia
Bahasa Orang
Wemale di Negeri
Honitetu
Liki
Yale seina
Tulie
Aloika
Akane saisa
Aane sahee
Bahasa
Orang Bati di
Tanah Bati
Suat
I Sei
Peda
Kadanggu
nanggi
Ka ngofanga
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian.
211
Esuriun Orang Bati
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa di dalam
interaksi sosial, orang Bati hanya menggunakan bahasa lokal yang
disebut bahasa Bati. Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang
bahasa Indonesia. Untuk itu dalam melakukan pertemuan dengan
Orang Bati, maka bahasa Bati dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam
komunikasi.
Keluarga Sebagai Basis Interaksi Sosial
Pada dasarnya struktur sosial pada lingkungan masyarakat di
Tanah Bati yang terdapat di Nusa Ina bersumber dari keluarga sebagai
struktur dasar. Jadi upaya memahami tentang keluarga di Tana (Tanah)
Bati dapat membantu dalam usaha memamahi tentang jaringan
(interaksi sosial) antar warga dalam ikatan kekerabatan. Berikut ini
akan dikemukakan aspek penting yang berkaitan dengan proses
pembentukan struktur sosial di Tana (Tanah) Bati.
Kondisi Keluarga di Tana (Tanah) Bati
Keluarga adalah struktur dasar di mana terdapat ikatakan darah
(genealogis) yangerperan sebagai unit terkecil dalam struktur sosial
masyarakat di Tana (Tanah) Bati yaitu bersifat mandiri. Namun mereka
memiliki hubungan keluarga luas (extended family) yang sangat kuat.
Keluarga inti terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak sesuai dengan
pertalian menurut garis keturunan bapak atau patrilineal. Keluarga luas
terdiri dari relasi kerabat yang terbangun berdasarkan garis keturunan
bapak di mana terda-pat bapak (baba), ibu (nina), anak, kakek, nenek,
ipar (saudara laki-laki dan perempuan) yang tinggal bersama, maupun
tidak tinggal bersama dalam satu rumah. Berdasarkan kondisi tersebut
di atas dapat dikemukakan bahwa, sistem sosial yang berkembang
dalam lingkungan masyarakat di Tana (Tanah) Bati telah menentukan
peran, kedudukan, fungsi, hak, dan kewajiban dari masing-masing
orang di dalam keluarga pada setiap rumah. Rumah ini merupakan
tempat tinggagal peneliti selama melakukan aktivitas penelitian di
Tana (Tanah) Bati mellaui gambar 18 berikut ini:
212
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
Gambar 18
Rumah Orang Bati di Kampung atau Dusun Rumbou (Bati Tengah) adalah
Salah Satu Rumah yang Ditempati Peneliti Ketika Melakukan Penelitian di
Tana (Tanah Bati)
Mereka mendiami tempat tinggal yang berdekatan menurut
pertalian marga dan kerabat yang terdapat dalam teritorial Dusun Bati
Rumbou di Tanah Bati. Jumlah marga pada setiap dusun tidak sama.
Sebagai contoh, marga-marga yang terdapat di Dusun Rumbou atau
Bati Tengah antara lain marga Rumbou, Walima, Rumoga, Rumaluta,
Sukunwatan, Kilsaur, Kilsaba, dan Rumayal. Orang Bati yang mendiami Dusun Rumoga atau Bati Pantai yaitu marga Rumoga, Rumain,
Rumaleu, Rumian, Mafui, dan Rumaketekete. Marga-marga Orang Bati
yang mendiami Dusun Uta atau Bati Pantai yaitu marga Rumoga,
Kilyanan, Kelwarani, dan Rumain. Marga-marga yang mendiami
Dusun Bati Kilusi atau Bati Awal yaitu marga Siasaun dan Kilkusa, dan
Rumain.
Pertalian Keluarga dalam Ikatan Kekerabatan Berdasarkan Totem
Keluarga di Tana (Tanah) Bati sebagaimana dikemukakan di atas,
walaupan bersifat mandiri, namun mereka memiliki hubungan ke213
Esuriun Orang Bati
kerabatan yang sangat kuat. Semua keluarga yang mendiami kampung
atau dusun di Tana (Tanah) Bati sangat menyadari bahwa, mereka
memiliki hubungan darah (genealogis) maupun kekeluargaan yang
sangat kuat karena pemahaman mereka mengenai relasi saling menjaga, melindungi untuk bertahan hidup (survive) sehingga Esuriun
Orang Bati dilakukan secara bersama.
Kisah Esuriun Orang Bati yang dipimpin oleh Kilusi sebagai
Kapitan Esuriun yang membawa turun Alifuru dari Samos sampai di
Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) sekarang, kemudian ia
berubah wujud menjadi burung raksasa, kemudian burung tersebut
terbang kembali di balik bukit dan menuju lokasi kediaman awal di
Samos. Orang Bati menamakan burung tersebut adalah Lusi atau
Garuda. Sampai saat ini Orang Bati percaya bahwa ”Kilusi” tidak
pernah meninggal dunia, dan ia selalu berada dengan mereka sebagai
anak cucu. Kilusi (Garuda) menjadi totem bagi Orang Bati Awal, Bati
Tengah, Bati Dalam, maupun Bati Pantai. Untuk itu pada lingkungan
Orang Bati, burung Garuda dianggap sakral sehingga dilarang keras
untuk menyakiti jenis burung tersebut. Pada lingkungan mata-rumah
tertentu biawak dan buaya dilarang keras untuk disakiti atau dibunuh.
Untuk itu di kalangan Orang Bati apabila berlangsung perkawinan sedarah (misalnya satu marga) menurut adat adalah syah,
karena falsafah mereka yaitu saling menjaga dan melindungi. Untuk itu
eksistensi seorang perempuan (nina) menjadi penting. Hal ini diakui
oleh adat karena tidak mempermalukan martabat keluarganya. Selain
itu juga di antara mempelai sudah saling mengenal secara dekat, mengetahui kekuarangan di antara mereka. Untuk itu perkawinan sedarah
dilakukan Orang Bati adalah syah menurut adat, dan hal ini dilakukan
juga untuk menghindari pembayaran harta kawin berupa hutan sagu
(yesu kiya). Dalam tradisi, adat-istiadat, dan budaya di Tana (Tanah)
Bati pada masa lampau apabila dilaksanakan perkawinan, maka mahar
(harta kawin) yang harus dibayar oleh pihak keluarga laki-laki kepada
pihak perempuan adalah hutan sagu (yesu kiya). Apabila perkawinan
berlangsung di luar saudara dekat dapat menyebabkan hutan sagu (yesu
kiya) menjadi habis. Dewasa ini hutan sagu (yesu kiya) tidak digunakan
214
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
lagi sebagai mahar (harta kawin) karena Orang Bati sudah mengenal
uang sebagai alat tukar yang syah dengan syarat jumlah uang yaitu
bernila Siwa (Sembilan) atau Lima (Lima) sesuai kesepakatan bersama
dari pihak laki maupun perempuan.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa dalam rumah dari bapak
DahSi di Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) sangat dipercaya
oleh Orang Bati karena leluhur mereka ketika turun dari hutan dan
gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) menempati wilayah
Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal). Rumah ini merupakan
kelompok marga Pata Siwa yang terdapat di Kampung atau Dusun Bati
Kilusi (Bati Awal) hidup menyatu dengan marga Patalima yang
mendiami lokasi kediaman yang sama. Hal ini berarti Orang Patasiwa
dan Orang Patalima di Tana (Tanah) Bati hidup dalam teritorial, karena
mereka telah terintegrasi sejak awal dilakukannya Esuriun Orang Bati.
Rumah ini merupakan salah satu rumah yang dijadikan sebagai tempat
berlindung oleh peneliti ketika melakukan penelitian di Tana (Tanah)
Bati dapat dilihat pada gambar 19 a dan 19 b berikut ini:
Gambar 19.a
Kondisi Rumah Orang Bati di Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal)
Lokasi Pemukiman Pegunungan
215
Esuriun Orang Bati
Gambar 19.b
Kondisi Rumah Orang Bati di Kampung atau Dusun Aerweul (Bati Dalam)
Lokasi Pemukiman Pegunungan
Diskusi bersama dengan Orang Bati yang mendiami Dusun Bati
Rumbou (Bati Tengah), Bati Rumoga (Bati Pantai), dan Bati Uta (Bati
Pantai), mereka mengemukakan bahwa Kampung atau Dusun Bati
Kilusi (Bati Awal) merupakan wilayah yang sakral bagi Orang Bati.
Wilayah ini tidak boleh didatangi oleh orang luar secara sembarangan,
kecuali telah memperoleh persetujuan dari kelompok Bati Pantai, Bati
Tengah, dan Bati Dalam. Adat ini masih dipegang kuat oleh Orang Bati
sampai saat ini.
Lembaga Pendidikan Formal Sebagai Media Interaksi
Dewasa ini Orang Bati sudah dapat mengikuti pendidikan dasar
dengan fasilitas Sekolah Dasar (SD) yang terdapat di Kampung atau
Dusun Rumoga. Sekolah Dasar ini menampung 75 orang murid yang
berasal dari Kampung atau Dusun Rumoga, Rumbou, dan Uta. Sekolah
Dasar ini terdiri dari tiga kelas, sednagkan kelas empat sampai dengan
kelas enam, maka anak-anak harus melanjutkannya di pesisir pantai.
Sekolah Dasar (SD) Swasta pada lingkungan Orang Bati yang mendiami
216
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
wilayah pegunungan dan lereng bukit baru beroperasi tahun 2008.
berikut gambar 20 a tentang gedung Sekolah Dasar (SD) dan gambar 20
b mengenai keadaan murid sebagai berikut:
Gambar 20.a
Keadaan Lingkungan Sekolah Dasar (SD) di Dusun Rumoga (Bati Pantai)
Lokasi ini Terdapat di Lereng Bukit
217
Esuriun Orang Bati
Gambar 20.b
Keadaan Murid Sekolah Dasar (SD) di Kampung atau Dusun Rumoga
(Bati Pantai)
Untuk itu pendidikan formal sangat diperlukan oleh Orang Bati
sehingga mereka (anak-anak) dapat belajar secara baik. Lembaga pendidikan merupakan media interaksi sosial yang baik sehingga perlu
mendapat perhatian dari pemerintah untuk memajukan anak-anak usia
sekolah di Tana (Tanah) Bati. Siapa lagi yang diharapkan untuk membangun Tana (Tanah) Bati, kecuali anak-anak yang berasal dari Tana
(Tanah) Bati sendiri. Anak-anak usia sekolah di Tana (Tanah) Bati
cukup banyak, dan mereka memiliki motivasi cukup kuat untuk belajar. Namun keluarga Orang Bati berada dalam kondisi yang terbatas
dan serba kekurangan.
Orang tua memiliki kesadaran untuk memajukan anak-anak
mereka dalam bidang pendidikan, tetapi kondisi sosial-ekonomi yang
terbatas menyebabkan anak-anak tidak dapat meneruskan pendidikan
secara layak bagi kemanusiaan. Berdasarkan data lapangan tersebut
dapat dikemukakan bahwa sistem pengelompokan sosial di Tana
(Tanah) Bati yang tampak nyata yaitu terintegrasinya kelompok sosial
Patasiwa (Sembilan Bagian) dan kelompok sosial Patalima (Lima
Bagian) melalui Esuriun Orang Bati untuk saling menjaga, melindungi
di antara mereka sebagai roina kakal.
218
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
Pada awalnya kedua kelompok ini hidup dengan teritorial
sendiri-sendiri. Setelah Orang Bati menjalani kehidupan bersama di
Samos yang terdapat di sekitar Gunung Bati, kemudian berlangsungnya
interaksi sosial di antara mereka. Kehidupan sosial yang dijalani
bersama antara kelompok sosial yang berbeda tadi kemudian bersepakat (mafakat sinabu) untuk menjalani hidup bersama agar mereka
saling menjaga dan melindungi (mabangatnai tua malindong) terhadap
hak milik antara lain manusia, hutan, gunung, identitas, adat, budaya,
dan lainnya.
Proses sosial terus berlangsung maka kedua kelompok yang berbeda tadi, kemudian dengan kelompok sosial yang mendiami Soabareta
(tanjung kering pertama yang dijumpai) secara bersama-sama dan bersepakat (mafakat sinabu) untuk saling menjaga, melindungi sehingga
mereka terintegrasi sebagai Orang Gunung. Proses terintegrasi yang
dicapai oleh berbagai kelompok yang berbeda kemudian dikukuhkan
melalui adat Esuriun Orang Bati sehingga orang-orang penghuni Samos
di Gunung Bati dapat turun dari hutan dan gunung (madudu atamae
yeisa tua ukara) untuk menempati etar dalam watas nakuasa untuk
saling menjaga dan melindungi terhadap hak milik yang berharga dari
serbuan orang luar. Tipe integrasi sosial yang dicapai Orang Bati
memiliki basis kultural yang sangat kuat sehingga dikatakan bahwa
Esuriun Orang Bati adalah proses integrasi kultural karena hal ini
dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati. Hakikatnya integrasi
kultural adalah final karena dilakukan melalui adat. Tipe integrasi
kultural yang dicapai kelompok sosial yang berbeda di Tana (Tanah)
Bati melalui Esuriun Orang Bati belum dijumpai pada suku-suku
lainnya di Pulau Seram maupun di Kepulauan Maluku.
Realitas pada suku-suku lain umumnya kelompok sosial yang
berbeda seperti Patasiwa dan Patalima hidup dengan adat-istiadat,
budaya, teritorial, dan lainnya secara sendiri-sendiri. Tetapi pada
lingkungan Orang Bati, kelompok sosial Patasiwa dan Patalima dapat
hidup secara bersama dalam satu teritorial, menganut adat-istiadat,
bahasa, budaya, dan lainnya sebagai roina kakal. Sampai saat ini
persoalan yang tergolong krusial dari sistem pengelompokan sosial
219
Esuriun Orang Bati
yaitu di bidang pendidikan dan kesehatan. Anak-anak usia sekolah di
Tana (Tanah) Bati memiliki animo cukup besar untuk bersekolah,
namaun kondisi sekolah negeri tidak ada. Kalau ada sekolah negeri,
tetapi letaknya di pesisir pantai dan jauh dari lingkungan tempat
tinggal. Sekolah yang baru dibangun ini berstatus sekolah swasta.
Orang Bati yang mendiami lokasi bermukim di lereng bukit dan
pegunungan sulit untuk menjangkau tempat berobat seperti
Puskesmas. Dapat dikemukakan bahwa selama ini pelayanan pendidikan dan kesehatan pada semua kelompok sosial di Tana (Tanah)
Bati sangat terabaikan. Untuk itu perlu mendapat perhatian serius
untuk mengembangkan sumber daya Orang Bati agar lebih maju sama
seperti masyarakat lainnya di Maluku.
Hubungan-hubungan sosial yang berlangsung di kalangan Orang
Bati berdasarkan sistem kekerabatan (perkawinan sedarah) atau satu
marga adalah syah menurut adat. Walaupun hal ini berbeda dengan
masyarakat lainnya, tetapi dalam pandangan Orang Bati yaitu supaya
mereka saling menjaga, melindungi. Eksistensi seorang perempuan
(nina) menjadi penting dalam mata-rantai merupakan hubungan roina
kalal karena ia merupakan penerus keturunan dari mata rumah lakilaki. Hal ini diakui oleh seluruh masyarakat dan syah menurut adat
karena tidak mempermalukan martabat keluarga dari pihak perempuan
ketika ia melahirkan seorang anak yang memiliki seorang bapak. Justru
anak yang lahir tidak memiliki seorang bapak sangat bertentangan
dengan adat, maupun nilai-nilai yang dianut oleh Orang Bati.
Untuk itu bagi calon mempelai yang sudah saling mengenal
secara dekat (dalam arti berasal dari satu marga) berarti mereka sudah
saling mengenal, maupun mengetahui secara benar segala kekuarangan
terdapat pada diri maupun keluarga mereka masing-masing. Perkawinan sedarah yang dilakukan Orang Bati adalah syah menurut adat,
dan hal ini dilakukan juga untuk menghindari pembayaran harta
kawin berupa hutan sagu (yesu kiya). Berdasarkan tradisi, adat-istiadat,
dan budaya di Tana (Tanah) Bati pada masa lampau apabila dilaksanakan perkawinan, maka mahar (harta kawin) yang harus dibayar
oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak perempuan adalah hutan
220
Pengelompokan Sosial di Tana (Tanah) Bati
sagu (yesu kiya). Perkawinan yang berlangsung di luar orang basaudara
(roina kakal) yang memiliki hubungan dekat dapat menyebabkan
hutan sagu (yesu kiya) menjadi habis karena pembayaran harta kawin.
Agar keutuhan hutan sagu (yesu kiya) masih tetap terjaga, terlindungi
sampai saat ini maka harta perkawinan tidak menggunakan pembayaran mahar (harta kawin) berupa hutan sagu (yesu kiya) tetapi
sudah menggunakan uang. Orang Bati sudah mengenal uang sebagai
alat tukar yang syah cukup lama.
Untuk kepentingan pembayaran harta kawin dapat dilakukan
dengan syarat jumlah uang yaitu bernila Siwa (Sembilan) atau Lima
(Lima) sesuai dengan kesepakatan adat yang telah ditetapkan oleh
lembaga adat. Selain itu juga penentuan harta kawin dapat dirundingkan secara bersama antara pihak mempelai laki-laki dan pihak
mempelai perempuan. Sesuai dengan adat-istiadat di Tana (Tanah)
Bati, dalam pelaksanaan acara upacara perkawinan, biasanya mempelai
perempuan tidak dihadirkan secara bersama. Orang yang hadir pada
saat acara upacara perkawinan adalah orang tua laki-laki dari pihak
mempelai perempuan, atau saudara dekat laki-laki dari pihak mempelai perempuan. Setelah acara upacara pernikahan selesai baru orang
tua laki-laki bersama pihak keluarga dan kerabat dari pihak mempelai
perempuan mengantarkan mempelai laki-laki ke rumah mempelai
perempuan untuk dijemput karena mempelai perempuan sudah syah
menjadi isteri dari mempelai laka-laki. Acara perkawinan dapat dilanjutkan dengan makan secara oleh pihak mempelai laki-laki dan
pihak mempelai perempuan. Selain itu juga untuk merayakan perkawinan dapat dilanjutkan dengan pesta yang dilakukan secara bersama oleh pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan.
Mengapa dalam tradisi, adat-istiadat yang berlaku di Tana
(Tanah) Bati dilakukan demikian? Informasi yang diperoleh dari
lapangan mengapa sampai mempelai perempuan tidak dihadirkan
dalam acara upcara adat perkawinan, dikemukakan Orang Bati yaitu;
(1) Orang perempuan memiliki tempat khusus sebagai penghormatan
kepada seorang ibu (nina) sehingga memperoleh perlakuan khusus
sesuai adat yang berlaku secara turun-temurun; (2) Dalam hal adat,
221
Esuriun Orang Bati
baik rapat-rapat adat, sidang adat, perkawinan adat, maupun lainnya
posisi yang berkaitan dengan adat ternyata posisi orang perempuan
sama sekali tidak memiliki hak dalam adat. Orang laki-laki memiliki
fungsi dan peran dalam adat sesuai dengan adat Esuriun Orang Bati,
dan dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan tentan Tata
Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati.
222
Download