BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur dan Sifat

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur dan Sifat - Sifat Vitamin C
Vitamin C (http://en.wikipedia.org/wiki/Vitamin_C)
Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus
molekul C 6 H 8 O 6 . Dalam bentuk kristal tidak berwarna, titik cair 190-192°C. Bersifat
larut dalam air sedikit larut dalam aseton atau alkohol yang mempunyai berat molekul
rendah. Vitamin C sukar larut dalam kloroform, eter dan benzen. Dengan logam
membentuk garam. Sifat asam ditentukan dengan ionisasi enol grup pada atom C
nomor tiga.
Pada pH rendah vitamin C lebih stabil daripada pH tinggi. Vitamin C mudah
teroksidasi, lebih-lebih apabila terdapat katalisator Fe, Cu, enzim Askorbat oksidase,
sinar, temperatur yang tinggi. Larutan encer vitamin C pada pH kurang dari 7,5 masih
stabil apabila tidak ada katalisator seperti di atas. Oksidasi vitamin C akan terbentuk
asam dihidroaskorbat. Vitamin C dengan iodin akan membentuk ikatan dengan atom C
normor 2 dan 3 sehingga ikatan rangkap hilang (Sudarmadji, 1989).
Vitamin C merupakan senyawa turunan gula yang sangat penting. Banyak
dijumpai dalam berbagai tanaman seperti sitrus, Hungarian Paprika, Green Wallnuts
serta beberapa jaringan hewan. Vitamin C diperlukan di dalam diet (diet essensial)
untuk mencegah penyakit scurvy sehingga biasa juga disebut vitamin anti skorbut.
Universitas Sumatera Utara
Struktur asam askorbat pertama sekali dikemukakan oleh Haworth. Asam
askorbat disintesa secara komersial dengan bantuan bakteri berlangsung sebagai
berikut :
red
oks
Acetobacter
red
D-glukosa
oks
D-sorbitol
L-sorbosa
Vitamin C
Acetobacter
Vitamin C merupakan asam kuat dengan nilai pKa 4,21 dalam bentuk kristal,
cukup stabil tetapi sangat mudah teroksidasi bila dalam bentuk larutan dan di udara
terbuka. Tes iodin dan 2,6-dichlorophenolindophenol adalah merupakan tes kuantitatif
yang spesifik untuk menentukan konsentrasi asam askorbat (West, 1966).
Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu zat organik yang merupakan ko-enzim
atau ko-faktor pada berbagai reaksi biokimia di dalam tubuh. Salah satu peran utama
asam askorbat adalah proses hidroksilasi prolin dan lisin pada pembentukan kolagen.
Kolagen adalah komponen penting jaringan ikat, oleh sebab itu vitamin C
penting untuk kelangsungan hidup jaringan ikat. Dengan demikian vitamin C berperan
penting pada proses penyembuhan luka, adaptasi tubuh terhadap trauma dan infeksi.
Vitamin C ini harus tersedia secara kontinu dalam makanan sehari-hari agar tidak
sampai timbul gejala defisiensi. Khususnya pada manusia (juga pada binatang jenis
primata lainnya, dan pada marmut), vitamin C ini tidak dapat dibuat sendiri di dalam
Universitas Sumatera Utara
tubuh. Defisiensi vitamin C ini disebut sebagai skorbut. Kebutuhan yang dianjurkan
untuk orang dewasa di Indonesia adalah 30 mg/hari. Vitamin C adalah sebuah reduktor,
di mana sangat berperan pada proses respirasi jaringan.
Vitamin C akan diekskresikan bila berlebihan, tetapi apabila hal ini berjalan terus,
khususnya pada pemberian vitamin C dosis tinggi secara intravena dapat meningkatkan
kadar keasaman darah. Ekskresi vitamin C melalui urine yang berlebihan akan
meningkatkan kadar keasaman urine, ini mungkin tidak mengganggu, tetapi dalam
keadaan tertentu, penurunan pH darah, tidak diharapkan.
Pada binatang tertentu, vitamin C ini dapat langsung diubah menjadi CO 2 dan
H 2 O, sehingga kelebihan vitamin C ini tidak akan menimbulkan masalah. Dilihat dari
sudut gizi, pemasukan vitamin C itu harus disesuaikan dengan pemasukan zat-zat gizi
lainnya (baik dalam jumlah maupun proporsinya) agar kesehatan dapat terbina
(Tjokronegoro, 1985).
Telah diketahui bahwa manusia dan marmut tak mempunyai enzim gulonalakton
oksidase, yang mengoksidasi 1-gulonalakton menjadi 2-keto-1-gulonalakton. Evolusi
ini terjadi 25 sampai 60 juta tahun yang menyebabkan hilangnya kemampuan manusia
dan kelompok hewan tersebut di atas untuk mensintesis vitamin C sendiri. Apakah
rekayasa genetika dapat memperbaiki ketidakmampuan tersebut di masa mendatang
sehingga
dapat
memasukkan
kembali
enzim
tersebut
dalam
sel
manusia
(Goodman,1996).
Sudah sejak dahulu kala orang telah mengenal penyakit skorbut (Scurvy).
Gejala-gejala penyakit yang kemudian dikenal sebagai gejala defisiensi vitamin C
(asam askorbat) ini, sudah dilaporkan sejak zaman Mesir kuno, Yunani kuno dan
zaman Romawi. Gejala-gejala penyakit tadi terutama timbul pada mereka yang sedang
melakukan pelayaran jarak jauh, atau mereka yang sedang melakukan ekspedisiekspedisi militer yang lama.
Universitas Sumatera Utara
Pengobatan dan pencegahan penyakit ini baru tampak setelah James Lind,
seorang tabib Inggris pada pertengahan abad 18, memberikan jeruk segar pada
penderita-penderita penyakit skorbut ini.
Kini vitamin C sudah sangat dikenal masyarakat luas, sebagai vitamin populer
yang selalu dikaitkan dengan faktor-faktor kesehatan, dan kesegaran jasmani seseorang.
Umumnya pada binatang, gejala defisiensi vitamin C ini sukar sekali terjadi,
karena vitamin C ini dapat disintesa sendiri di dalam tubuh mereka. Tetapi pada
manusia, marmut, primata, jenis kelelawar dan jenis burung tertentu tidak dapat
membuat vitamin C sendiri. Oleh karena itu manusia harus mendapat vitamin C dalam
makanan sehari-hari.
Jumlah masukan vitamin C yang diperlukan pada orang dewasa agar jangan
sampai terjadi gejala defisiensi adalah 10 mg/hari. Sedangkan di Indonesia, kebutuhan
yang dianjurkan adalah 30 mg/hari.
Apabila dosis vitamin C yang diberikan berlebihan, maka vitamin C yang
berlebih ini akan diekskresikan melalui urine. Sebagian dari vitamin C tadi akan
diubah menjadi garam-garam oksalat, dan pada keadaan fisiologis, kira-kira 40-50 mg
garam oksalat yang diekskresikan berasal dari vitamin C, yakni kira-kira setengah dari
seluruh ekskresi oksalat.
Apabila dosis vitamin terus ditinggikan maka proporsi vitamin C yang diubah
menjadi oksalat ternyata akan menurun. Tetapi apabila orang tersebut memang
menderita gangguan metabolisme oksalat, hal ini dapat menimbulkan masalah.
Kelebihan vitamin C juga dapat menaikkan kadar keasaman darah khususnya
yang mendapat vitamin C dosis tinggi secara intravena. Pada keadaan tertentu,
penurunan pH darah tidak diharapkan. Kelebihan vitamin C akan meningkatkan
keasaman urine. Pada keadaan tertentu (gangguan metabolisme urat dan/atau oksalat
dan lain-lain) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya batu saluran kemih.
Defisiensi vitamin C menimbulkan penyakit skorbut. Gejala-gejala klinik antara
lain : nyeri pada tungkai, pseudoparalysis, pembengkakan pada tungkai, fraktur pada
Universitas Sumatera Utara
daerah epiphisis, pendarahan dan pembengkakan gusi dan lain-lain. Penderita dengan
gejala-gejala skorbut yang jelas kini sudah jarang dijumpai. Apabila pengobatan
terlambat dilakukan, skorbut ini dapat menimbulkan kematian.
Sumber vitamin C dapat kita jumpai pada sayuran dan buah-buahan segar. Atau
dapat pula dengan tablet-tablet vitamin C yang sekarang banyak dipasarkan. Perubahan
primer yang terjadi pada skorbut disebabkan karena fungsi vitamin C ialah dalam hal
pembentukan dan mempertahankan bahan interseluler dan kolagen.
Pada defisiensi vitamin C kolagen menghilang, pendarahan timbul karena
kerusakan bahan semen dan kapiler. Gejala utama penyakit skorbut timbul akibat
kelainan tulang dan pembuluh darah. Terjadi pendarahan subperiosteal, resorpsi dentin
dan degenerasi odon-toblast.
Fragilitas dinding kapiler meningkat dan terjadi pendarahan pada trauma,
misalnya pada kulit, otot tulang, gusi. Gejala ini sulit dikenal bila defisiensi hanya
marginal, sehingga perlu diketahui tanda-tandanya, sehingga dapat diambil tindakan
yang efisien. Tanda marginal defisiensi nutrien dibagi beberapa tahap, yaitu :
1. Tahap permulaan : penurunan cadangan nutrien dalam jaringan karena
penurunan masukan, penyerapan dan metabolisme yang abnormal. Juga terjadi
penurunan ekskresi nutrien tersebut.
2. Tahap biokimia : penurunan aktivitas enzim, perubahan metabolisme dan tak
terlihat ekskresi urin.
3. Tahap fisiologik : kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, tak dapat
tidur, mudah marah. Metabolisme obat terganggu.
4. Tahap klinik : terlihat tanda-tanda klinik defisiensi.
5. Tahap morfologik : perubahan bentuk jaringan yang dapat menimbulkan
kematian, kecuali diobati dengan nutrien tersebut.
Koreksi pada tahap dini tentu lebih menguntungkan dibanding pengobatan pada tahap
yang sudah lanjut (Tjokronegoro, 1985).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Sorbitol, Struktur dan Sifat-Sifatnya
Glukosa mempunyai 6 jumlah rantai atom C, 4 diantaranya merupakan atom C
asimetris sehingga banyak isomer yang dapat digambarkan dari molekul glukosa
tersebut. Salah satu isomer yang penting adalah isomer D-sorbitol karena merupakan
prekursor di dalam fermentasi vitamin C oleh Acetobacter xylinum.
Konversi struktur D-sorbitol ke dalam bentuk L-sorbosa sangatlah penting
karena L-sorbosa merupakan prekursor dari sintetis L-asam askorbat dengan
menggunakan larutan sorbitol 15% setelah difermentasi selama 24 jam oleh bakteri
Acetobacter suboxydans akan dihasilkan 93% L-sorbosa melalui reaksi di bawah ini :
CH 2 OH
H – C – OH
CH 2 OH
oksigen
HO – C – H
H - C - OH
H - C - OH
H – C – OH
HO – C – H
dehidrogenase
- H2O
CH 2 OH
D-sorbitol
H – C – OH
C=O
CH 2 OH
L-sorbosa
Pada tahap awal fermentasi, senyawa D-sorbitol akan berubah menjadi bentuk Lsorbosa dengan adanya enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Perubahan bentuk Dsorbitol menjadi bentuk L-sorbosa dapat diuji dengan alat polarimeter yaitu dari
putaran sudut polarisasi dari kanan [D(+)] ke kiri [L(-)].
Gugus alkohol dari senyawa-senyawa gula dapat dioksidasi menjadi bentuk
ketosa oleh beberapa jenis bakteri dengan adanya oksigen. Sebagai contoh, D-sorbitol
dioksidasi oleh bakteri Acetobacter suboxydans sebagai berikut :
D-sorbitol + O 2 → L-sorbosa + H 2 O
L-sorbosa difermentasi lebih lanjut menjadi asam askorbat (West, 1966).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Sorbosa
L-sorbosa adalah zat antara dalam produksi industri vitamin C dan L-sorbosa oleh
enzim invertase yang dihasilkan oleh mikroba maka terjadi inversi D-sorbitol menjadi
L-sorbosa yang merupakan prekursor di dalam biosintesis vitamin C. Sejak ditemukan
reaksi inversi ini maka industri pembentukan L-sorbosa (prekursor dalam biosintesis
vitamin C) berkembang pesat guna memenuhi bahan baku industri vitamin C. Produksi
sorbosa ditunjukkan dengan menggunakan inhibisi substrat dan produk secara
bersamaan. Angka oksidasi menurun secara drastis dengan penambahan konsentrasi
awal sorbitol dalam bioreaktor batch (Giridhar, 2000).
2.4 Fermentasi Vitamin C
Metode untuk mendapatkan vitamin C secara sintesis dengan urutan langkah yang
diperlukan dengan bantuan mikroba. Perkembangan vitamin C dianggap penting sekali.
Isolasi kristalin asam askorbat pada tahun 1928 dilakukan oleh Szent-Gyorgyi yang
dilanjutkan dengan identifikasi vitamin C oleh Waugh dan King serta Svirbely dan
Szent-Gyorgyi pada tahun 1932.
Vitamin C pertama kali diperoleh secara sintetis. Berbagai jenis sintetis vitamin
C diklasifikasikan menjadi empat metoda yang terpenting.
Metoda pertama dimana secara industri meliputi konversi D-glukosa menjadi
asam askorbat atau vitamin C. Langkah dari metoda tersebut meliputi oksidasi
mikrobiologi dari gugus hidroksil kedua 2,3,4,6-diisopropylidene derivative menjadi
gugus karbonil L-ascorbic acid (Vitamin C). Konfigurasi lanjutan yang penting adalah
L-sorbose, suatu senyawa gula yang jarang ditemukan. L-Sorbose dihasilkan dalam
skala besar dari D-glucitol (sorbitol) dengan pertumbuhan Acetobacter suboxydans.
Penggunaan 15% larutan sorbitol, dihasilkan L-sorbose sebesar 93% setelah
difermentasi selama 24 jam dari waktu inokulasi yang ditemukan oleh Wells, Stubbs,
Lockwood, dan Roe.
Universitas Sumatera Utara
Sorbitol ditemukan secara umum dalam skala besar dengan cara hidrogenasi
katalitik dari D-glukosa. Laporan pertama tentang oksidasi D-sorbitol menjadi Lsorbosa oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang ditemukan Bertrand pada tahun
1896. Bakteri tersebut diidentifikasi dengan bakteri Acetobacter xylinum.
D-glucose
D-glucitol (D-sorbitol)
L-sorbose
2,3,4,6-diisopropylidene derivative
2,3,4,6-diisopropylidene-2-keto-L-gulonic acid
L-ascorbic acid (Vitamin C)
Untuk menyelesaikan sintetis tersebut, L-sorbosa diubah menjadi derivat 2,3,4,6diisopropilidena. Gugus hidroksil pertama derivat tersebut dioksidasi oleh ion
permanganat dalam larutan alkali menghasilkan asam 2,3,4,6-diisopropilidena-2-ketoL-gulonat berdasarkan Reichstein dan Grussner. Asam 2-keto-L-gulonat atau derivat
diisopropilidena diubah menjadi asam L-askorbat dengan bermacam teknik untuk
mendapatkan hasil sempurna (Robinson, 1976).
Pada tahun 1953 dibuat beberapa studi dimana proses fermentasi vitamin C
dengan bantuan mikroorganisme hanya terjadi dalam 2 langkah. Hori dan Nakatani
mengubah glukosa oleh Acetobacter suboxydans menjadi asam 5-keto-D-glukonat,
yang selanjutnya oleh bantuan katalis enzim dirubah menjadi asam L-idonat.
Fermentasi dengan Pseudomonas, Acetobacter, atau Aerobacter inversi senyawa akhir
menjadi asam 2-keto-L-gulonat, yaitu suatu senyawa antara (intermediat) yang lazim
dikenal menjadi asam L-askorbat (Hori, 1953).
Pada tahun 1990, Boudrant menyatakan bahwa dengan menggunakan metode
Reichstein dan glukosa sebagai substrat, pembentukan asam askorbat dengan metode
Universitas Sumatera Utara
fermentasi hanya berlangsung dengan 5 tahap reaksi sebagai berikut : reduksi glukosa
menjadi sorbitol dengan menggunakan katalis nikel; oksidasi L-sorbitol menjadi Lsorbosa; hasil diaseton sorbosa atau 2,3:4,6-diisopropilidena-L-xylo-2-heksofuranosa
setelah perlakuan dengan aseton dan asam sulfat; oksidasi 2,3,4,6-diisopropilidena-Lxylo-2-heksofuranosa menjadi asam 2-keto-L-gulonat dengan menggunakan katalis
platinium; enolisasi dan laktonisasi internal asam 2-keto-L-gulonat menjadi asam Laskorbat.
Asam L-askorbat seperti jalur di bawah ini :
(Boudrant, 1990).
Universitas Sumatera Utara
Pada zaman sekarang, ditemukan ada enam proses fermentasi bakteri untuk
menghasilkan vitamin C. Semua proses tersebut memperlihatkan prekursor langsung
dari asam L-askorbat, asam 2-keto-L-gulonat, dimana dinamakan asam 2-keto-Lidonat. Perbedaan keenam jalur ini ditandai dari senyawa intermediat yang terbentuk
selama proses fermentasi.
Keenam jalur tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
1. Jalur Sorbitol
2. Jalur asam L-idonat
3. Jalur asam L-gulonat
4. Jalur asam 2-keto-D-glukonat
5. Jalur asam 2,5-diketo-D-glukonat
6. Jalur asam 2-keto-L-gulonat
Universitas Sumatera Utara
Diagram jalur biosintesis vitamin C oleh berbagai jenis mikroorganisme :
(Boudrant, 1990).
1. Jalur Sorbitol
Biosintesis ini dinyatakan pertama kali oleh Motizuki. Sorbitol ditransformasikan
dengan cara fermentasi menjadi asam 2-keto-L-gulonat. Transformasi diperoleh dari
beberapa genus Pseudomonas dan Acetobacter, tetapi jenis metabolisme ini belum
dikenal secara umum.
Hasil transformasi dari sorbitol menjadi asam 2-keto-gulonat tidak melampaui
10%, walaupun hasil 70% dicatat dari Acetobacter cerenusote. Selain asam 2-keto-Lgulonat, produk lain juga terbentuk. Okazaki menyarankan jalur biosintesis sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
Sorbitol
L-sorbose
L-idose
L-idonic acid
2-keto-L-gulonic acid
2. Jalur asam L-idonat
Biosintesis menggunakan asam L-idonat sebagai zat antara adalah transformasi
multistep. Metabolisme multistep dikenal adalah asam D-glukonat, asam 5-keto-Dglukonat, asam L-idonat, dan asam 2-keto-L-idonat.
Oksidasi pertama, transformasi D-glukosa menjadi asam D-glukonat, tidak
dijelaskan secara terperinci.
3. Jalur asam L-gulonat
Jalur asam L-gulonat terdapat pada jalur L-idonat yang meliputi dua langkah
(oksidasi asam D-glukonat dan reduksi asam 5-keto-D-glukonat). Tetapi reaksi ini
berkembang menjadi asam L-gulonat, prekursor asam 2-keto-D-idonat. Oksidasi asam
L-gulonat disampaikan oleh Kita. Menurut Kita, transformasi asam 5-keto-D-glukonat
dapat dihasilkan dengan menggunakan Xanthomonas transluscens, dengan hasil 90%
dan konsentrasi 100 g L-1, atau Xanthomonas trifolii (Erwinia lahyri).
Universitas Sumatera Utara
4. Jalur asam 2-keto-D-glukonat
Ada tiga langkah pada jalur ini :
1. Oksidasi asam D-glukonat
Kebanyakan akan mentransformasi D-glukosa menjadi asam D-glukonat dengan
menggunakan jalur ini. Transformasi D-glukosa menjadi asam 2,5-diketogulonat yang diidentifikasikan oleh Katznelson dalam Acetobacter melanogenum
dan Pseudomonas albosesamae.
Dikenal bahwa Acetobacter suboxydans, untuk sintesis asam 5-keto-D-glukonat
dari asam D-glukonat, dapat mensintesis asam 2-keto-D-glukonat.
Pada tahun 1982, Sonoyama menjelaskan kemampuan pertama kali Erwinia spp,
untuk akumulasi asam D-glukonat dan asam 2-keto-D-glukonat.
2. Oksidasi asam 2-keto-D-glukonat
Oksidasi ini diselesaikan oleh Bacterium hoshigaki dan Bacterium glucunicum
dengan
produk
asam
2,5-D-diketo-D-glukonat.
Juga
dibiosintesis
oleh
Acetobacter spp khususnya Acetobacter melanogenum. Ilustrasi biokonversi
glukosa dengan asam D-glukonat dan asam 2-keto-D-glukonat sebagai zat antara.
Proses transformasi langsung D-glukosa menjadi asam 2,5-diketo-D-glukonat
menggunakan Acetobacter fragum atau Acetomonas albosesamae yang
diumumkan secara luas.
3. Reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat
Pada tahun 1975, Sonoyama menjelaskan proses yang menghasilkan asam 2keto-D-gulonat dari asam 2,5-diketo-D-glukonat, dapat dilakukan oleh genus
Brevibacterium, Arthrobacter, Micrococcus, Staphylococcus, Pseudomonas, dan
Bacillus. Dengan Brevibacterium ketosporum, hasilnya mencapai 15% ketika
konsentrasi substrat 50 g L-1. Dengan mikroorganisme lain, hasilnya tidak lebih
dari 1%. Penggunaan Corynebacterium sejak tahun 1976, pertama kali
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan hasil produk asam 2-keto-L-gulonat sekitar 10%. Pada masa kini,
diperoleh hasil mendekati 80%. Proses lain juga dijelaskan dengan menggunakan
Citrobacter. Dapat dikatalisis hanya dengan transformasi asam 2,5-diketo-Dgulonat, dan permulaan digunakan Acetobacter cerenus. Dengan beberapa
mikroorganisme, hasilnya sekitar 30%, dengan konsentrasi substrat 100 g L-1.
5. Jalur asam 2.5-diketo-D-glukonat
Proses produksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada langkah utama. Genus
Erwinia dijelaskan pada transformasi ini. Dijelaskan bahwa konsentrasi glukosa 200 g
L-1 dan waktu fermentasi 20 jam yang memberikan hasil sekitar 75%.
Proses fermentasi dengan menggunakan Acetobacter cerenus memberikan hasil
sekitar 90%.
6. Jalur asam 2-keto-L-gulonat
Jalur ini rupanya terjadi secara langsung, dan menghasilkan asam 2-keto-Lgulonat, prekursor langsung asam L-askorbat dari glukosa. Jalur ini kemungkinan
terjadi dengan pengembangan yang baru.
Beberapa diantaranya :
1. Kultur tingkat kedua atau campuran
2. Seleksi mutan
3. Isolasi reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada Corynebacterium
4. Transfer gen reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada Corynebacterium dan
Erwinia (Boudrant, 1990).
Hancock menyatakan bahwa dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae
dan substrat L-galaktosa, L-galaktono-1,4-lakton dan L-gulono-1,4-lakton akan
dihasilkan asam askorbat sedangkan bila menggunakan substrat D-glukosa, Dgalaktosa atau D-manosa akan dihasilkan asam D-erithroaskorbat (Hancock, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Running menyatakan bahwa fermentasi aerobik dan pemilihan strain yang tepat
akan dihasilkan asam askorbat ekstraseluler sebesar 76 mg/L. Dengan mutagen klasik
dan metoda seleksi, kami menciptakan mutan Prototheca moriformis ATCC 75669
yang menghasilkan kuantitas asam askorbat terbesar daripada strain tipe alamiah (78,4
vs 21,9 mg AA/g sel) (Running, 2002).
Rewatkar menyatakan bahwa dengan menggunakan 5 gram sorbitol; 0,5 gram
ekstrak yeast dan 2 gram agar yang dilarutkan dalam 100 mL H 2 O setelah difermentasi
selama 7 hari oleh Acetobacter suboxydans akan diperoleh sebanyak 4,997 mg/L
(6,2213%) asam askorbat. Dengan cara yang sama tetapi menggunakan bakteri
Pseudomonas aeruginosa akan dihasilkan 3,217 mg/L (4,0213%). Sedangkan bila
digunakan Saccharomyces cerevisiae akan dihasilkan 1,882 mg/L (2,3525%) asam
askorbat (Rewatkar, 2010).
Salah satu aspek yang penting dari proses-proses fermentasi adalah cara
pemanenan dan memurnikan hasil produk fermentasi atau bioproduk. Proses ini
dikenal dengan proses hilir (Kroner, 1984).
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kinetika Pertumbuhan Mikroba
Mikroba dapat tumbuh lebih baik pada media yang memenuhi persyaratan untuk
pertumbuhannya. Apabila suatu sel mikroba (misalnya bakteri) ditumbuhkan pada
suatu medium yang memenuhi syarat untuk tumbuh, maka mikroba tersebut akan
mengadakan multiplikasi secara aseksual dengan pembelahan sel menjadi dua sel
vegetatif yang serupa dan selanjutnya proses tersebut berlangsung terus-menerus
selama nutrisi, energi, dan persyaratan lingkungan lain masih memenuhi syarat tumbuh.
Waktu antara yang ditentukan sel untuk membelah disebut waktu generasi(g).
Waktu generasi masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies
dan kondisi lingkungan. Namun demikian, sebagian besar bakteri mempunyai waktu
generasi antara 10-60 menit.
Kurva pertumbuhan mikroba dalam kultur :
Kurva Pertumbuhan Mikroba (Nurwantoro, 1997).
Universitas Sumatera Utara
1. Fase Adaptasi
Jika mikroba ditumbuhkan pada suatu media, pada awalnya akan mengalami
fase adaptasi (fase lag), yaitu fase untuk menyesuaikan dengan substrat dan
kondisi lingkungan sekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel
karena beberapa enzim mungkin belum disintesis. Jumlah sel pada fase ini
mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Lamanya fase adaptasi setiap
jenis mikroba sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain media dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum.
a. Media dan lingkungan pertumbuhan
Mikroba yang ditumbuhkan pada media dan lingkungan pertumbuhan yang
berbeda dengan media dan lingkungan pertumbuhan sebelumnya akan
melakukan adaptasi selama beberapa waktu. Akan tetapi, perlu diketahui
bahwa selama adaptasi ini mikroba juga mensintesis enzim-enzim yang
dibutuhkan dalam metabolisme. Kecuali jika media dan lingkungannya sama
seperti media dan lingkungan sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu
adaptasi. Kalaupun memerlukan waktu, ini tidak akan berlangsung lama
melainkan sangat singkat.
b. Jumlah inokulum
Jumlah sel (mikroba) awal yang semakin tinggi akan memperlambat waktu fase
adaptasi.
2. Fase Pertumbuhan Awal
Setelah penyesuaian diri, maka sel mikroba mulai membelah dengan kecepatan
rendah.
3. Fase Pertumbuhan Logaritmik
Universitas Sumatera Utara
Pada fase ini pertumbuhan mencapai kecepatan maksimum. Selama fase
pertumbuhan logaritmik, tumbuh sel-sel muda yang mendominasi sebagian
besar fase ini, dimana pertambahan jumlah sel-sel muda ini mengikuti kurva
logaritmik. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh media (sering kali
disebut medium) tempat tumbuhnya, seperti pH dan kandungan nutrisi, juga
kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara relatif. Pada fase ini
sel membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan fase lainnya, tetapi pada
fase ini justru sel-selnya sangat sensitif terhadap keadaan lingkungan.
4. Fase Pertumbuhan Lambat
Pada fase ini pertumbuhan populasi mikroba diperlambat, karena nutrisi di
dalam media mulai berkurang dan adanya hasil-hasil metabolisme yang
barangkali beracun atau dapat menghambat pertumbuhan mikroba itu sendiri.
Pada fase ini pertumbuhan sel tidak stabil, tetapi populasi mikroba tetap naik
karena jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak daripada sel yang mati.
5. Fase Pertumbuhan Tetap (Statis)
Pada fase ini jumlah sel yang mati seimbang dengan sel yang tumbuh. Hal ini
disebabkan komposisi media tidak memenuhi syarat pertumbuhan dan
kemungkinan adanya racun yang diproduksi oleh mikroba itu sendiri. Ukuran
sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun
kekurangan nutrisi.
6. Fase Menuju Kematian dan Fase Kematian
Pada fase ini sebagian populasi mikroba mulai mengalami kematian yang
disebabkan karena tiadanya nutrisi di dalam media dan habisnya energi
cadangan di dalam sel. Jumlah sel yang mati kian banyak sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
umurnya. Kecepatan kematian ini dipengaruhi oleh kondisi nutrisi, lingkungan,
dan jenis mikroba (Nurwantoro, 1997).
Setiap bahan pangan (biasa disebut pangan) selalu mengandung mikroba yang
jumlah dan jenisnya berbeda. Beberapa jenis mikroba yang banyak terdapat dalam
bahan pangan adalah bakteri, kapang, dan khamir.Pertumbuhan mikroba sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : faktor fisika, kimia dan biologis.
Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Faktor intrinsik, merupakan sifat-sifat fisika, kimia, dan struktur yang dimiliki
oleh bahan pangan itu sendiri. Faktor intrinsik dalam bahan pangan berupa
kandungan nutrisi, pH pangan, aktivitas air(aw) pangan, potensial reduksi
oksidasi, senyawa antimikroba alamiah dalam pangan, dan struktur biologi;
2. Faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan pada penanganan dan penyimpanan
bahan pangan, seperti suhu kelembaban, susunan gas di atmosfer. Faktor-faktor
ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kehidupan mikroba, antara lain suhu,
kelembaban, dan susunan gas di atmosfer;
3. Faktor implisit, yang merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba itu sendiri.
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh susunan biotik mikroba dalam bahan pangan.
Faktor-faktor implisit yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba adalah
sinergisme dan antagonisme;
4. Faktor pengolahan, karena perubahan mikroba awal sebagai akibat pengolahan
bahan pangan (misalnya pemanasan, pendinginan, irradiasi, penambahan bahan
pengawet). Mikroba spesifik yang terdapat di dalam bahan-bahan pangan dapat
dikurangi jumlahnya oleh berbagai jenis metode pengolahan atau pengawetan
pangan. Jenis-jenis pengolahan/pengawetan pangan yang berpengaruh terhadap
kehidupan mikroba antara lain suhu tinggi, suhu rendah, penambahan bahan
pengawet, dan irradiasi (pengaruh berbagai metoda pengolahan/pengawetan
pangan terhadap kehidupan mikroba) (Sudarmadji, 1989).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kinetika Pembentukan Produk
Sangat jarang dijumpai bioproses yang menghasilkan produk tunggal. Setiap
pertumbuhan mikroba selalu diikuti dengan pembentukan produksi satu atau beberapa
metabolit maka reaksi secara keseluruhan selalu stoikiometri serta mengikuti hukum
kekekalan massa. Selain pemantauan biomassa secara serentak juga dilakukan
pengukuran produk metabolit serta berkurangnya substrat persatuan waktu. Hubungan
ini umumnya disajikan dalam bentuk kurva. Hubungan kinetika pertumbuhan dan
pembentukan produk metabolit tergantung pada peranan produk di dalam metabolisme
sel.
Ada tiga pola yang dikenal dalam hubungan tersebut
a. Pola pertumbuhan yang berasosiasi dengan pembentukan produk
Pada umumnya dijumpai pada proses yang produknya merupakan hasil langsung
pada suatu jalur katabolik, misalnya pada fermentasi gula menjadi etanol
b. Pola pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan
Pada pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan
umumnya terjadi pada fermentasi yang menghasilkan metabolit sekunder
misalnya pada fermentasi antibiotik dimana pembentukan produk terjadi pada
akhir fermentasi
c. Pola campuran pertumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi
Pada beberapa fermentasi pertumbuhan dan pembentukan produk mempunyai
hubungan sebagian misalnya pada fermentasi asam laktat, pululan dan xanthan.
Pola ini disebut campuran pertumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi, dan laju
pembentukan produk berbanding lurus baik dengan konsentrasi sel maupun laju
pertumbuhan. Model ini dikemukakan oleh Leudeking dan Piret (1959) sehingga
disebut dengan model kinetika Leudeking Piret (Bailey, 1986).
2.7 Pemilihan Bioreaktor
Universitas Sumatera Utara
Bioreaktor adalah suatu unit alat yang digunakan untuk tempat berlangsungnya suatu
proses biokimia dari bahan mentah menjadi bahan jadi atau zat tertentu yang
dikehendaki, dikatalisis oleh suatu enzim yang terdapat pada mikroorganisme hidup
atau enzim-enzim terisolasi. Suatu bioreaktor harus dapat memberikan kondisi
optimum kepada mikroba penghasil enzim ataupun enzim terisolasi agar produksi
bahan yang dikehendaki memperoleh hasil maksimum. Untuk itu umumnya suatu
bioreaktor memerlukan pengatur-pengatur suhu, pH dan oksigen terlarut. Di samping
itu diperlukan bahan baku, bahan nutrisi yang cukup dan serasi dengan sifat enzimnya
(Muljono, 1992).
Reaktor biokimia atau bioreaktor diklasifikasikan menjadi dua kategori utama :
1) Fermenter mikrobial
2) Reaktor enzim (Rao,2005).
Dalam kegiatan bioproses terdapat 2 komponen penting yaitu biokatalis enzim
atau sel hayati penghasil enzim dan kondisi lingkungan. Kedua komponen tersebut
sangat penting dan berguna agar katalis dapat bekerja secara optimal. Lingkungan
optimal ini dapat dicapai dengan menempatkan biokatalis dalam wahana yang disebut
bioreaktor atau biofermentor.
Oleh karena itu bioreaktor dan seluruh sistem dalam bioreaktor harus dirancang
sebaik mungkin agar proses yang dilakukan oleh biokatalis dapat berlangsung
seoptimal mungkin. Selama proses suasana reaksi harus dapat dipantau dan
dikendalikan.
Bioreaktor harus memberikan lingkungan fisik sehingga biokatalis dapat
melakukan interaksi dengan lingkungan dan bahan nutrisi yang dimasukkan ke
dalamnya. Dalam praktek dikenal 2 sistem bioreaktor yakni bioreaktor monoseptik
misalnya dalam pembuatan ragi roti (yeast) dimana pembuang limbah (sisa fermentasi)
dari dalam bioreaktor dapat dilakukan tanpa sterilisasi tapi cukup dicuci saja.
Bioreaktor aseptis misalnya dalam pembuatan antibiotik asam-asam amino,
protein sel tunggal (PST) dimana setelah pembuang limbah alat harus disterilisasi pada
Universitas Sumatera Utara
autoklaf. Optimasi pertumbuhan biokatalis dan pembentukan produk dalam bioreaktor
harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini
1. PH
2. Suhu
3. Media/Sumber Energi
4. Inhibitor
5. Inokulum yang baik
6. Kondisi fisiko kimiawi yang baik yang optimal
Bioreaktor sebagai wahana proses memegang peran penting dalam industri yang
mendayagunakan reaksi-reaksi biokimia yang dilakukan oleh sel (mikroba, tanaman
atau hewan) sebagai penghasil enzim (Aiba, 1973). Alat atau perlengkapan yang
memberi kondisi untuk berlangsungnya bioreaksi dinamakan pula fermentor. Alat ini
dapat dibuat dalam berbagai tipe. Menurut Denbigh dan Turner, jenis fermentor dapat
digolongkan dalam tipe berikut :
1. Fermentor Batch (FB)
2. Fermentor Teraduk Kontinu (FTK)
3. Fermentor Tubular (FT)
4. Fermentor Bed Cair (FBC)
Perkembangan terciptanya tipe-tipe tersebut sebagian besar dipengaruhi sifatsifat dasar mikroorganisme yang sangat bervariasi. Salah satu sifat mikroorganisme
yang menguntungkan adalah pada umumnya kadar airnya cukup tinggi sekitar
60-95% sehingga kerapatannya hanya berbeda sedikit dari air. Jadi untuk menjaga
suspensi bakteri hanya diperlukan gerakan hidrodinamik yang kecil, antara lain dapat
dilakukan dengan menggerakkan perlahan-lahan cairan sekitarnya dengan alat
pengaduk atau mekanik mengalirkan udara melalui media atau mengoncangnya.
Fermentor tipe batch (FB) adalah jenis yang asli yang mempunyai kelemahan
terutama dalam kecepatan produksi. Kondisi bahan maupun mikroorganisme dalam
fermentor batch secara menyeluruh mengalami perubahan seiring dengan waktu
Universitas Sumatera Utara
sampai pada tingkat tertentu saat pemanenan harus dilakukan untuk proses lebih lanjut,
seperti pemurnian dan lain sebagainya.
Pada fermentor teraduk kontinu terdiri dari deretan bejana silindrik yang
dilengkapi masing-masing dengan alat pengaduk. Pemasukan bahan diberikan ke
dalam bejana secara periodik. Bahan terfermentasi sebagian dipindahkan ke bejana
selanjutnya dalam periode yang sama dalam pemberian pertama. Setelah melalui
bejana, bahan terfermentasi dipanen untuk diproses lebih lanjut. Fermentor demikian
mudah mengontrol pH dan suhunya.
Fermentor tubular terdri dari suatu tabung yang biasanya agak memanjang untuk
menjamin berlangsungnya fermentasi secukupnya selama proses dalam tabung untuk
dipanen pada terminal terakhir. Fermentor demikian umumnya lebih sulit untuk
dilengkapi dengan sarana kontrol kondisi dan penyiapan alatnya sedemikian rupa
sehingga menjamin homogenitas untuk seluruh ruangan dan mengurangi pengaruh
perubahan fisik terhadap waktu proses (Muljono, 1992).
Sistem bioreaktor bagi pertumbuhan mikroorganisme dapat diklasifikasikan
sebagai sistem tertutup atau terbuka. Suatu sistem dipandang tertutup bila bagian
esensial sistem tersebut tidak dapat memasuki atau meninggalkan sistem tersebut. Jadi,
dalam sistem batch tradisional atau sistem fermentasi tertutup, semua komponen
nutrien ditambahkan pada awal proses fermentasi dan sebagai hasilnya, laju
pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya akhirnya akan berkurang hingga
mencapai jumlah nol karena penurunan jumlah nutrien atau pemupukan limbah yang
beracun.
Karena alasan inilah, metabolisme organisme dalam proses batch tertutup selalu
berada dalam keadaan berubah-ubah. Akan tetapi, sebagian besar sistem bioteknologi
yang mutakhir akan bekerja sebagai proses batch dengan kondisi yang dibuat optimal
untuk menghasilkan pembentukan maksimal produk yang dikehendaki, misalnya
dalam proses pembuatan bir, antibiotik dan enzim.
Universitas Sumatera Utara
Ukuran bioreaktor produksi dalam industri berkisar antara 10.000 hingga 20.000
liter walaupun sebuah bioreaktor raksasa yang berukuran 4 juta liter baru-baru ini
diizinkan pembangunannya. Bioreaktor yang berukuran kecil terutama digunakan
untuk menghasilkan produk dengan volume rendah dan harga tinggi, seperti enzim
serta zat-zat kimia tertentu, sementara bioreaktor yang berukuran besar digunakan
secara luas untuk menghasilkan antibiotik, asam-asam organik, dan lain-lain.
Modifikasi pada proses batch tersebut adalah sistem fed-batch dan dalam sistem
ini dapat ditambahkan sejumlah nutrien selama proses fermentasi untuk mengatasi
deplesi nutrien, atau ditambahkan sejumlah senyawa yang baru sebagai aktivator
selektif, misalnya dalam proses membuat ragi untuk industri pembuatan roti. Namun
demikian, sistem tersebut tetap tertutup karena tidak ada aliran keluar yang kontinu.
Berbeda dengan sistem di atas, suatu sistem fermentasi dianggap terbuka bila
semua komponen pada sistem tersebut (seperti organisme dan nutrien) dapat terusmenerus memasuki dan meninggalkan bioreaktor. Jadi, sistem bioreaktor terbuka atau
aliran kontinu mempunyai masukan media nutrien yang baru dan keluaran biomassa
serta produk lainnya secara kontinu (Smith, 1995).
Dari penelitian yang dilakukan, digunakan alat pengaduk pada proses fermentasi
untuk memutuskan proses terbentuknya asam asetat dengan bantuan bakteri
Acetobacter xylinum sehingga diperoleh hasil vitamin C. Peneliti juga mengatur pH 44,5 pada suhu kamar dengan menjaga kondisi optimal bakteri dalam proses biosintesis
vitamin C.
2.8 Acetobacter Xylinum
Acetobacter mempunyai sel-sel yang terbentuk elips atau tongkat yang melengkung.
Acetobacter merupakan bakteri aerob, yang memerlukan respirasi dalam metabolisme.
Acetobacter dapat mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, juga dapat mengoksidasi
asetat dan laktat menjadi CO 2 dan H 2 O. Berbagai spesies Acetobacter dapat ditemukan
Universitas Sumatera Utara
pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Bakteri inilah yang menyebabkan pengasaman
jus buah-buahan dan minuman beralkohol (bir dan anggur) (Banwart,1981).
Spesies Acetobacter yang telah dikenal antara lain : A.aceti, A.orleanensis,
A.liquefasiensis, dan A.xylinum. Meskipun ciri-ciri yang dimiliki hampir sama dengan
spesies lainnya. A.xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lainnya karena
sifatnya yang unik.
Bila A.xylinum ditumbuhkan pada medium yang mengandung gula, bakteri itu
dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang
dikenal dengan selulosa ekstraseluler. Selain itu mempunyai aktivitas oksidasi lanjutan
atau “over oxydizer” yaitu mampu mengoksidasi lebih lanjut asam asetat menjadi CO 2
dan H 2 O.
Sifat inilah yang umumnya mempunyai sifat “under oxydizer” yaitu hanya
mengubah alkohol menjadi asam asetat. Dalam medium cair Acetobacter xylinum
mampu membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter.
Bakteri
terperangkap
dalam
massa
benang-benang
yang
dibuatnya.
Untuk
menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih dan tembus pandang perlu
diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium.
Menurut Warisno, biakan murni Acetobacter xylinum digunakan sebagai starter
yang bisa mensintesa air kelapa hingga menjadi nata de coco. Biakan murni ini bisa
diperbanyak menjadi bibit atau starter. Bibit atau starter berisi mikroba dengan jumlah
dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasi ke dalam media fermentasi (Daulay,2003).
2.9 Enzim
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan metabolisme di atas, terjadi reaksi enzimatis dimana substrat glukosa
dapat diubah menjadi D-sorbitol melalui proses hidrogenasi dengan pengaturan
tekanan pada 80-125 atm, suhu 140°C - 150°C dan penggunaan katalis Ni. Selanjutnya
D-sorbitol diubah menjadi L-asam askorbat dengan bantuan enzim yang dihasilkan
oleh bakteri. Adapun enzim-enzim yang dihasilkan oleh bakteri dalam proses
biosintesis vitamin C sebagai berikut :
1. Enzim D-sorbitol dehydrogenase pada proses perubahan D-sorbitol menjadi Lsorbose
Universitas Sumatera Utara
2. Enzim L-sorbose dehydrogenase pada proses perubahan L-sorbose menjadi Lsorbosone
3. Enzim L-sorbosone dehydrogenase pada proses perubahan L-sorbosone menjadi
2-keto-L-gulonic acid
Selanjutnya melalui proses esterifikasi/laktonisasi, 2-keto-L-gulonic acid dapat diubah
menjadi L-asam askorbat (Hancock, 2002).
2.10 Metoda Hitungan Cawan
Metoda hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup
akan berkembang menjadi suatu koloni. Jumlah koloni yang muncul pada cawan
merupakan suatu indeks jumlah mikroba yang hidup terkandung dalam sampel. Hal
yang perlu dikuasai dalam hal ini adalah teknik pengenceran. Setelah inkubasi, jumlah
koloni masing-masing cawan diamati. Untuk memenuhi persyaratan statistik, cawan
yang dipilih untuk dihitung mengandung 30-300 koloni. Untuk memenuhi persyaratan
tersebut harus melakukan sederetan pengenceran dan pencawanan. Jumlah mikroba
dalam sampel ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni dengan faktor pengenceran
pada cawan yang bersangkutan.
Prinsip dari metoda hitungan cawan adalah bila sel mikroba yang masih hidup
ditumbuhkan pada medium, maka mikroba tersebut akan berkembang biak dan
membentuk koloni yang dapat dilihat langsung, dan kemudian dihitung tanpa
menggunakan mikroskop. Metoda ini merupakan cara yang paling sensitif untuk
menentukan jumlah jasad renik, dengan alasan :
- Hanya sel mikroba yang hidup yang dapat dihitung
- Beberapa jasad renik dapat dihitung sekaligus
- Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba, karena koloni yang
terbentuk mungkin berasal dari mikroba yang mempunyai penampakan spesifik
Selain keuntungan-keuntungan tersebut di atas, metoda hitungan cawan juga memiliki
kelemahan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
- Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya, karena
beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk koloni
- Medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan jumlah yang
berbeda pula
- Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan
membentuk koloni yang kompak, jelas, tidak menyebar
- Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan
koloni dapat dihitung
Dalam metoda hitungan cawan, bahan yang diperkirakan mengandung lebih dari
300 sel mikroba per ml atau per gram atau per cm (jika pengambilan sampel dilakukan
pada permukaan), memerlukan perlakuan pengenceran sebelumnya ditumbuhkan pada
medium agar di dalam cawan petri. Setelah inkubasi, akan terbentuk koloni pada
cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, di mana jumlah yang terbaik adalah
di antara 30 sampai 300 koloni. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal, yaitu
1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat
berupa larutan buffer fosfat, 0,85% NaCl atau larutan Ringer. Metoda hitungan cawan
dibedakan atas dua cara, yakni metoda tuang (pour plate) dan metoda permukaan
(surface/spread plate) (Waluyo,L.,2010).
2.11 Metoda Analisa Vitamin C
Metoda analisa vitamin C dalam bahan pangan dapat dikelompakkan menjadi beberapa
metoda.
1. Metoda fisika
a. Metoda spektroskopi
Metoda ini berdasarkan pada kemampuan vitamin C yang terlarut dalam air untuk
menyerap sinar ultraviolet, dengan panjang gelombang maksimum 265 nm. Karena
vitamin C dalam larutan mudah sekali mengalami kerusakan, maka pengukuran
Universitas Sumatera Utara
dengan cara ini harus dilakukan secepat mungkin. Untuk memperbaiki hasil
pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa pereduksi yang lebih kuat dari vitamin C.
Hasil terbaik diperoleh dengan menambahkan sejumlah ekuimolar (kira-kira) larutan
KCN (sebagai stabilizer) ke dalam larutan vitamin.
b. Metoda polarografik
Metoda ini berdasarkan pada potensial oksidasi asam askorbat dalam larutan asam atau
bahan pangan yang bersifat asam, misalnya ekstrak buah-buahan dan sayuran.
2. Metoda Kimia
Metoda kimia merupakan cara pengukuran vitamin C paling banyak macamnya dan
paling sering digunakan. Sebagian besar metode kimia didasarkan pada kemampuan
vitamin C karena senyawa dehidro asam askorbat (memiliki aktivitas vitamin C
sebesar 80%) tidak bersifat pereduksi, maka untuk mengukur vitamin C dalam bahan
pangan terlebih dahulu harus dilakukan perlakuan pendahuluan menggunakan senyawa
pereduksi seperti H 2 S untuk mengubah dehidro asam askorbat menjadi asam askorbat.
Di samping itu, terdapat sejumlah vitamin C yang terikat dengan komponen protein
dan bersifat non pereduksi. Bentuk terikat ini harus dibebaskan lebih dahulu dalam
penentuan kandungan vitamin C dalam suatu bahan.
3. Metoda Biokimia (Metoda asam askorbat oksidase)
Metoda ini berdasarkan kemampuan enzim asam askorbat oksidase untuk
mengoksidasi asam askorbat. Reaksi oksidasi ini ternyata tidak bersifat spesifik untuk
menghasilkan hasil yang memuaskan karena enzim tersebut dapat juga mengoksidasi
komponen-komponen organik lain yang terdapat dalam ekstrak jaringan hewan,
terutama senyawa organik yang dapat mereduksi biru metilen (methyken blue). Lebih
lanjut dibuktikan bahwa enzim asam askorbat yang diisolasi dari labu tidak bereaksi
dengan vitamin C dalam urine manusia, cairan sumsum tulang belakang dan susu sapi.
Universitas Sumatera Utara
4. Metoda Biologi
Walaupun banyak diganti dengan metoda fisika dan kimia untuk menentukan vitamin
C, metoda biologi tetap merupakan metoda penentuan vitamin C yang paling realistis
dan paling mendekati kebenaran
(http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/metode-analisa-vitamin/).
5. Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basis akan berwarna
biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6-diklorofenol
indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila
semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6-diklorofenol indofenol maka kelebihan
larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat dengan terjadinya
pewarnaan. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan dengan
vitamin C standar (Sudarmadji, 1989).
Dalam metoda biologi untuk mengukur vitamin C, hewan percobaan yang
digunakan hanya marmot (guinea pigs). Jika mereka diberi ransum tanpa vitamin C,
dalam waktu 2-3 minggu akan menderita Scurvy.
Terdapat 3 cara pengukuran biologis dengan menggunakan guinea pigs yaitu:
a. Metoda preventif, untuk mengukur jumlah terkecil vitamin C yang dapat mencegah
timbulnya tanda-tanda Scurvy secara makro, misalnya penurunan berat badan.
b. Metoda kuratif, untuk mengukur jumlah vitamin C terkecil untuk menyembuh
guinea pigs yang menderita Scurvy
c. Metoda histology, memeriksa gigi guinea pigs, lapisan odontoblas tidak teratur,
terjadi pengapuran predentive dan terbentuk lapisan tulang yang tidak beraturan di
antara odontoblast dan predentive
(http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/metode-analisa-vitamin/).
Universitas Sumatera Utara
2.12 Penentuan Vitamin C secara Metoda Spektroskopi Ultraviolet-Sinar
Tampak
Prinsip spektroskopi didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi elektromagnetik
dengan zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi, dikembangkan teknikteknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat-sifat dari interaksi tersebut. Hasil
interaksi tersebut bisa menimbulkan satu atau lebih peristiwa seperti : pemanasan,
pembiasan, interferensi, difraksi, penyerapan (absorpsi), fluoresensi, fosforiensi dan
ionisasi. Dalam analisis kimia, peristiwa absorpsi merupakan dasar dari cara
spektroskopi karena proses absorpsi tersebut bersifat unik/spesifik untuk setiap zat
kimia atau segolongan zat kimia (aplikasi kualitatif). Di samping itu adalah kenyataan
bahwa banyaknya absorpsi berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia (aplikasi
kuantitatif) (Sudarmadji, 1989).
Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik,
molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau atom yang mengandung
elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi
elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya absorban
radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi dan
dapat digunakan untuk analisa kuantitatif. Frekuensi radiasi ultraviolet dan sinar
tampak, terletak antara 1,5x108 Hz sampai 4,28x107 Hz, dengan panjang gelombang
antara 200 nm sampai 700 nm, serta energi yang besarnya antara 9,939x10-26 joule
sampai 2,836x10-26 joule, sesuai dengan energi yang diperlukan oleh molekul organik
aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau molekul
heterosiklik mengandung atom dengan elektron-n, untuk meningkatkan elektron dalam
orbit molekul terluarnya ke tingkat tereksitasi. Kegunaan spektrofotometri ultraviolet
dan sinar tampak dalam analisis kualitatif sangat terbatas, karena rentang daerah
radiasi yang relatif sempit (500 nm) hanya dapat mengakomodasi sedikit sekali puncak
absorpsi maksimum dan minimum, karena itu identifikasi senyawa yang tidak
diketahui, tidak memungkinkan.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan utama spektroskopi ultraviolet-sinar tampak adalah dalam analisis
kuantitatif. Apabila dalam alur radiasi spektrofotometer terdapat senyawa yang
mengabsorpsi radiasi, akan terjadi pengurangan kekuatan radiasi yang mencapai
detektor. Parameter kekuatan energi radiasi khas yang diabsorpsi oleh molekul adalah
absorban (A) yang dalam batas konsentrasi rendah nilainya sebanding dengan
banyaknya molekul yang mengabsorpsi radiasi dan merupakan dasar analisis
kuantitatif. Kurva absorpsi di daerah ultraviolet pada umumnya lebih sempit daripada
kurva absorpsi di daerah sinar tampak. Penentuan kadar dilakukan dengan mengukur
absorban pada panjang gelombang absorban maksimum (puncak kurva), agar dapat
memberikan absorban tertinggi untuk setiap konsentrasi. Bila suatu senyawa
mempunyai lebih dari satu puncak absorpsi maksimum, lebih diutamakan panjang
gelombang absorpsi maksimum yang absorptivitasnya terbesar dan memberikan kurva
kalibrasi linier dalam rentang konsentrasi yang relatif lebar. Pada penentuan analit
yang terdapat dalam suatu matriks diperlukan pengukuran dari blanko matriks untuk
meralat kesalahan yang disebabkan oleh matriks. Bila komponen matriks untuk blanko
tidak dapat diperoleh, standar dua sampai lima kali yang ditambahkan dengan
konsentrasi yang meningkat secara teratur (Satiadarma, 2004).
Suatu spektrum ultra ungu diperoleh secara langsung dari suatu alat yang secara
sederhana memetakan panjang gelombang dari suatu serapan terhadap intensitas
serapan (absorbans atau transmitans). Datanya seringkali diubah menjadi suatu grafik
dari panjang gelombang terhadap serapan molar (ε maks atau log ε maks ). Intensitas dari
serapan dapat dinyatakan sebagai transmitans (T) didefinisikan sebagai :
T = I/I o
dimana I o adalah intensitas dari energi pancaran yang mengenai cuplikan, dan I adalah
intensitas pancaran yang keluar dari cuplikan. Rumusan yang tepat dari intensitas
serapan adalah yang diturunkan dari hukum Lambert-Beer
yang memantapkan
hubungan antara transmitans dengan tebalnya cuplikan, dan konsentrasi dari bahan
yang menyerap. Hubungan ini dinyatakan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
log 10 (Io /I) = kcb = A
dimana :
k = suatu tetapan khas dari bahan larutan
c = konsentrasi dari larutan
b = panjang jalur
A = absorbans (kerapatan optik. serapan)
Bila c dinyatakan dalam mol per liter, dan panjang jalur (b) dinyatakan dalam
sentimeter, persamaan menjadi :
A = εcb
Istilah ε diketahui sebagai absorptivitas molar, dahulu dikenal sebagai koefisien
ekstingsi molar (molar extinction coefficient). Di dalam konsentrasi (c) dari larutan
yang didefinisikan sebagai g/liter, persamaan menjadi :
A = abc
dimana a adalah absortifitas (absorptivity), jadi berhubungan dengan absorptifitas
molar melalui
ε = aM
dimana M adalah berat molekul dari larutan (Silverstein, 1986).
2.13 Penentuan Vitamin C secara Metoda Polarimeter
Satu properti cahaya yang penting dan berguna adalah kenyataan bahwa ia bisa
dipolarisasi. Untuk memahami apa maksudnya, mari kita meneliti gelombang yang
berjalan pada tali. Tali dapat digetarkan pada bidang vertikal atau pada bidang
horizontal. Pada kedua kasus, gelombang dikatakan terpolarisasi bidang yaitu osilasi
terjadi pada bidang. Jika sekarang kita letakkan penghalang berupa celah vertikal pada
lintasan gelombang. Gelombang terpolarisasi vertikal akan lewat, tetapi yang
terpolarisasi horizontal tidak. Jika digunakan celah horizontal, gelombang terpolarisasi
vertikal akan terhenti. Jika kedua jenis celah digunakan, kedua jenis gelombang akan
terhenti. Perhatikan bahwa polarisasi hanya dapat terjadi untuk gelombang transversal,
Universitas Sumatera Utara
dan tidak untuk gelombang longitudinal seperti bunyi. Bunyi bergetar hanya sepanjang
arah gerak, dan baik orientasi maupun celah tidak akan menghentikannya. Teori
Maxwell mengenai cahaya sebagai gelombang elektromagnetik (EM) meramalkan
bahwa cahaya dapat terpolarisasi karena gelombang EM merupakan gelombang
transversal. Arah polarisasi pada gelombang EM yang terpolarisasi bidang diambil
sebagai arah vektor medan listrik. Cahaya tidak harus terpolarisasi. Ia dapat tidak
terpolarisasi, yang berarti bahwa sumber memiliki getaran di banyak tempat sekaligus.
Bola lampu pijar biasa memancarkan cahaya yang tidak terpolarisasi, sebagaimana
Matahari.
Cahaya yang terpolarisasi bidang bisa didapat dari cahaya yang tidak
terpolarisasi dengan menggunakan kristal-kristal tertentu seperti turmalin (bahanbahan listrik yang digunakan sebagai perhiasan). Atau, lebih umum saat ini, kita dapat
menggunakan lembar Polaroid (Materi Polaroid ditemukan pada tahun 1929 oleh
Edwin Land). Lembar Polaroid terdiri dari molekul panjang yang rumit yang tersusun
paralel satu sama lain. Polaroid seperti ini berfungsi seperti serangkaian celah paralel
untuk memungkinkan satu orientasi polarisasi untuk lewat hampir tanpa berkurang
(arah ini disebut sumbu Polaroid), sementara polarisasi tegak lurus hampir terserap
sempurna. Jika satu berkas cahaya terpolarisasi bidang jatuh pada Polaroid yang
sumbunya membentuk sudut θ terhadap arah polarisasi datang, berkas akan
terpolarisasi bidang yang paralel dengan sumbu Polaroid dan amplitudonya akan
diperkecil sebesar cos θ. Dengan demikian, Polaroid hanya melewatkan komponen
polarisasi (vektor medan listrik, E) yang paralel dengan sumbunya. Karena intensitas
berkas cahaya sebanding dengan kuadrat amplitudo, kita lihat bahwa intensitas berkas
terpolarisasi bidang yang ditransmisikan oleh alat polarisasi adalah
I = I o cos2θ
dimana θ adalah sudut antara sumbu alat polarisasi dan bidang polarisasi gelombang
datang, dan I o adalah intensitas datang.
Universitas Sumatera Utara
Cahaya yang tidak terpolarisasi terdiri dari cahaya dengan arah polarisasi (vektor
medan listrik) yang acak. Masing-masing arah polarisasi ini dapat diuraikan menjadi
komponen sepanjang dua arah yang saling tegak lurus. Dengan demikian, berkas yang
tidak terpolarisasi dapat dianggap sebagai dua berkas terpolarisasi bidang dengan besar
yang sama dan tegak lurus satu sama lain. Ketika cahaya yang tidak terpolarisasi
melewati alat polarisasi, satu dari komponen-komponennya dihilangkan. Jadi intensitas
cahaya yang lewat akan diperkecil setengahnya karena setengah dari cahaya tersebut
dihilangkan, I = ½I o (Giancoli,2001).
Apabila radiasi garis-D natrium yang terpolarisasi linier memasuki larutan yang
mengandung molekul senyawa kiral, antaraksi radiasi dengan molekul menyebabkan
vibrasi radiasi terpolarisasi tersebut mengalami rotasi searah atau berlawanan arah
dengan putaran jarum jam dan rotasi spesifik yang dihitung dapat digunakan untuk
karakterisasi identitas dan kemurnian senyawa kiral tersebut. Polarimetri adalah
pengukuran rotasi arah vibrasi radiasi terpolarisasi linier (bidang) pada waktu
berantaraksi dengan molekul senyawa yang aktif optik. Aktivitas optik suatu senyawa
bersumber pada struktur molekulnya yang tidak mempunyai bidang atau pusat simetrik.
Ketidaksimetrikan itu mungkin merupakan struktur molekul bawaan yang disebut kiral,
mungkin juga merupakan keistimewaan dari bentuk kristal yang tidak diberikan oleh
fase larutan atau gasnya atau terdapat juga pada sebagian kecil dari konformasi
molekul tertentu, seperti heliks polipeptida.
Rotasi optik yang diakibatkan oleh senyawa kiral tergantung kepada tebal alur
dan konsentrasi larutan yang dilewati radiasi terpolarisasi linier, panjang gelombang,
jenis pelarut, pH, dan temperatur larutannya. Pengukuran rotasi optik pada umumnya
distandarkan, menggunakan garis hijau raksa, 5461 A atau doblet kuning natrium,
5890 dan 5896 A, pada temperatur 20°C. Rotasi spesifik, [α], dihitung dari rotasi optik
yang diamati,α, dengan rumus :
Universitas Sumatera Utara
b = tebal alur larutan dalam cm
C = konsentrasi dalam g/L
Polarimetri dengan radiasi sinar tampak dapat diamati dengan mata, tetapi jika
menggunakan radiasi ultraviolet atau inframerah diperlukan fotodetektor. Pelarut yang
digunakan untuk polarimetri pada umumnya air, tetapi dapat juga digunakan pelarut
lain, seperti etanol, dioksan atau kloroform. Pelarut harus dapat melarutkan analit
dengan baik, mempunyai kerapatan optik pada panjang gelombang pengukuran cukup
kecil, hingga radiasi dapat mencapai detektor dengan cukup intensitas. Temperatur
berpengaruh pada rotasi optik, karena mengubah konsentrasi dan kekuatan rotasi
(rotatory power) dari molekul. Perubahan konsentrasi yang disebabkan oleh ekspansi
termal, cukup berarti. Ketergantungan kepada temperatur dapat besar sekali, sehingga
menyebabkan perubahan pada rotasi spesifik. Pada sebagian besar molekul senyawa,
perubahan rotasi optik oleh temperatur disebabkan oleh perubahan kesetimbangan
konformasi, hingga rotasi optik dapat digunakan untuk analisis konformasi molekul
senyawa yang aktif optik (Satiadarma, 2004).
2.14 Penentuan Vitamin C secara Metoda Iodometri
Iodin dalam medium yang alkalis dapat terkonversi dengan cepat menjadi hipoiodida.
Hipoiodida dapat mengoksida aldosa,sedangkan untuk ketosa hanya sedikit yang
mengalami oksidasi. Sampel yang telah dalam bentuk larutan ditambah iodin encer dan
NaOH kemudian dicampur secepatnya (karena iodium dapat berubah menjadi iodat
dan tidak reaktif terhadap gula dalam larutan alkalis). Setelah itu diasamkan dengan
asam klorida atau asam sulfat dan dibiarkan beberapa menit. Kemudian kelebihan
iodin dititrasi dengan larutan tiosulfat standar.
Dalam keadaan optimal dan kondisi terkontrol hanya 1% dari ketosa yang ada
dalam sampel teroksidasi sehingga tidak mempengaruhi dalam penentuan aldosa.
Untuk memperbesar ketelitian penentuan cara ini maka adanya zat yang dapat
mempengaruhi harus dihilangkan misalnya etanol, aseton, manitol, gliserin, Na laktat,
Universitas Sumatera Utara
Na format dan Urea. Zat-zat tersebut dapat bereaksi dengan iodin. Apabila dalam
larutan yang ditera juga mengandung ketosa misalnya fruktosa, maka jumlahnya dapat
ditentukan dengan cara-cara yang lazim digunakan misalnya dengan cara oksidasi
dengan kupri setelah dilakukan penentuan gula dengan iodometri.
Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basis akan
berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak
berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6-diklorofenol indofenol
maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat
dengan terjadinya pewarnaan. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi
larutan dengan vitamin C standar (Sudarmadji, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Download