BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur dan Sifat - Sifat Vitamin C Vitamin C (http://en.wikipedia.org/wiki/Vitamin_C) Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus molekul C 6 H 8 O 6 . Dalam bentuk kristal tidak berwarna, titik cair 190-192°C. Bersifat larut dalam air sedikit larut dalam aseton atau alkohol yang mempunyai berat molekul rendah. Vitamin C sukar larut dalam kloroform, eter dan benzen. Dengan logam membentuk garam. Sifat asam ditentukan dengan ionisasi enol grup pada atom C nomor tiga. Pada pH rendah vitamin C lebih stabil daripada pH tinggi. Vitamin C mudah teroksidasi, lebih-lebih apabila terdapat katalisator Fe, Cu, enzim Askorbat oksidase, sinar, temperatur yang tinggi. Larutan encer vitamin C pada pH kurang dari 7,5 masih stabil apabila tidak ada katalisator seperti di atas. Oksidasi vitamin C akan terbentuk asam dihidroaskorbat. Vitamin C dengan iodin akan membentuk ikatan dengan atom C normor 2 dan 3 sehingga ikatan rangkap hilang (Sudarmadji, 1989). Vitamin C merupakan senyawa turunan gula yang sangat penting. Banyak dijumpai dalam berbagai tanaman seperti sitrus, Hungarian Paprika, Green Wallnuts serta beberapa jaringan hewan. Vitamin C diperlukan di dalam diet (diet essensial) untuk mencegah penyakit scurvy sehingga biasa juga disebut vitamin anti skorbut. Universitas Sumatera Utara Struktur asam askorbat pertama sekali dikemukakan oleh Haworth. Asam askorbat disintesa secara komersial dengan bantuan bakteri berlangsung sebagai berikut : red oks Acetobacter red D-glukosa oks D-sorbitol L-sorbosa Vitamin C Acetobacter Vitamin C merupakan asam kuat dengan nilai pKa 4,21 dalam bentuk kristal, cukup stabil tetapi sangat mudah teroksidasi bila dalam bentuk larutan dan di udara terbuka. Tes iodin dan 2,6-dichlorophenolindophenol adalah merupakan tes kuantitatif yang spesifik untuk menentukan konsentrasi asam askorbat (West, 1966). Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu zat organik yang merupakan ko-enzim atau ko-faktor pada berbagai reaksi biokimia di dalam tubuh. Salah satu peran utama asam askorbat adalah proses hidroksilasi prolin dan lisin pada pembentukan kolagen. Kolagen adalah komponen penting jaringan ikat, oleh sebab itu vitamin C penting untuk kelangsungan hidup jaringan ikat. Dengan demikian vitamin C berperan penting pada proses penyembuhan luka, adaptasi tubuh terhadap trauma dan infeksi. Vitamin C ini harus tersedia secara kontinu dalam makanan sehari-hari agar tidak sampai timbul gejala defisiensi. Khususnya pada manusia (juga pada binatang jenis primata lainnya, dan pada marmut), vitamin C ini tidak dapat dibuat sendiri di dalam Universitas Sumatera Utara tubuh. Defisiensi vitamin C ini disebut sebagai skorbut. Kebutuhan yang dianjurkan untuk orang dewasa di Indonesia adalah 30 mg/hari. Vitamin C adalah sebuah reduktor, di mana sangat berperan pada proses respirasi jaringan. Vitamin C akan diekskresikan bila berlebihan, tetapi apabila hal ini berjalan terus, khususnya pada pemberian vitamin C dosis tinggi secara intravena dapat meningkatkan kadar keasaman darah. Ekskresi vitamin C melalui urine yang berlebihan akan meningkatkan kadar keasaman urine, ini mungkin tidak mengganggu, tetapi dalam keadaan tertentu, penurunan pH darah, tidak diharapkan. Pada binatang tertentu, vitamin C ini dapat langsung diubah menjadi CO 2 dan H 2 O, sehingga kelebihan vitamin C ini tidak akan menimbulkan masalah. Dilihat dari sudut gizi, pemasukan vitamin C itu harus disesuaikan dengan pemasukan zat-zat gizi lainnya (baik dalam jumlah maupun proporsinya) agar kesehatan dapat terbina (Tjokronegoro, 1985). Telah diketahui bahwa manusia dan marmut tak mempunyai enzim gulonalakton oksidase, yang mengoksidasi 1-gulonalakton menjadi 2-keto-1-gulonalakton. Evolusi ini terjadi 25 sampai 60 juta tahun yang menyebabkan hilangnya kemampuan manusia dan kelompok hewan tersebut di atas untuk mensintesis vitamin C sendiri. Apakah rekayasa genetika dapat memperbaiki ketidakmampuan tersebut di masa mendatang sehingga dapat memasukkan kembali enzim tersebut dalam sel manusia (Goodman,1996). Sudah sejak dahulu kala orang telah mengenal penyakit skorbut (Scurvy). Gejala-gejala penyakit yang kemudian dikenal sebagai gejala defisiensi vitamin C (asam askorbat) ini, sudah dilaporkan sejak zaman Mesir kuno, Yunani kuno dan zaman Romawi. Gejala-gejala penyakit tadi terutama timbul pada mereka yang sedang melakukan pelayaran jarak jauh, atau mereka yang sedang melakukan ekspedisiekspedisi militer yang lama. Universitas Sumatera Utara Pengobatan dan pencegahan penyakit ini baru tampak setelah James Lind, seorang tabib Inggris pada pertengahan abad 18, memberikan jeruk segar pada penderita-penderita penyakit skorbut ini. Kini vitamin C sudah sangat dikenal masyarakat luas, sebagai vitamin populer yang selalu dikaitkan dengan faktor-faktor kesehatan, dan kesegaran jasmani seseorang. Umumnya pada binatang, gejala defisiensi vitamin C ini sukar sekali terjadi, karena vitamin C ini dapat disintesa sendiri di dalam tubuh mereka. Tetapi pada manusia, marmut, primata, jenis kelelawar dan jenis burung tertentu tidak dapat membuat vitamin C sendiri. Oleh karena itu manusia harus mendapat vitamin C dalam makanan sehari-hari. Jumlah masukan vitamin C yang diperlukan pada orang dewasa agar jangan sampai terjadi gejala defisiensi adalah 10 mg/hari. Sedangkan di Indonesia, kebutuhan yang dianjurkan adalah 30 mg/hari. Apabila dosis vitamin C yang diberikan berlebihan, maka vitamin C yang berlebih ini akan diekskresikan melalui urine. Sebagian dari vitamin C tadi akan diubah menjadi garam-garam oksalat, dan pada keadaan fisiologis, kira-kira 40-50 mg garam oksalat yang diekskresikan berasal dari vitamin C, yakni kira-kira setengah dari seluruh ekskresi oksalat. Apabila dosis vitamin terus ditinggikan maka proporsi vitamin C yang diubah menjadi oksalat ternyata akan menurun. Tetapi apabila orang tersebut memang menderita gangguan metabolisme oksalat, hal ini dapat menimbulkan masalah. Kelebihan vitamin C juga dapat menaikkan kadar keasaman darah khususnya yang mendapat vitamin C dosis tinggi secara intravena. Pada keadaan tertentu, penurunan pH darah tidak diharapkan. Kelebihan vitamin C akan meningkatkan keasaman urine. Pada keadaan tertentu (gangguan metabolisme urat dan/atau oksalat dan lain-lain) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya batu saluran kemih. Defisiensi vitamin C menimbulkan penyakit skorbut. Gejala-gejala klinik antara lain : nyeri pada tungkai, pseudoparalysis, pembengkakan pada tungkai, fraktur pada Universitas Sumatera Utara daerah epiphisis, pendarahan dan pembengkakan gusi dan lain-lain. Penderita dengan gejala-gejala skorbut yang jelas kini sudah jarang dijumpai. Apabila pengobatan terlambat dilakukan, skorbut ini dapat menimbulkan kematian. Sumber vitamin C dapat kita jumpai pada sayuran dan buah-buahan segar. Atau dapat pula dengan tablet-tablet vitamin C yang sekarang banyak dipasarkan. Perubahan primer yang terjadi pada skorbut disebabkan karena fungsi vitamin C ialah dalam hal pembentukan dan mempertahankan bahan interseluler dan kolagen. Pada defisiensi vitamin C kolagen menghilang, pendarahan timbul karena kerusakan bahan semen dan kapiler. Gejala utama penyakit skorbut timbul akibat kelainan tulang dan pembuluh darah. Terjadi pendarahan subperiosteal, resorpsi dentin dan degenerasi odon-toblast. Fragilitas dinding kapiler meningkat dan terjadi pendarahan pada trauma, misalnya pada kulit, otot tulang, gusi. Gejala ini sulit dikenal bila defisiensi hanya marginal, sehingga perlu diketahui tanda-tandanya, sehingga dapat diambil tindakan yang efisien. Tanda marginal defisiensi nutrien dibagi beberapa tahap, yaitu : 1. Tahap permulaan : penurunan cadangan nutrien dalam jaringan karena penurunan masukan, penyerapan dan metabolisme yang abnormal. Juga terjadi penurunan ekskresi nutrien tersebut. 2. Tahap biokimia : penurunan aktivitas enzim, perubahan metabolisme dan tak terlihat ekskresi urin. 3. Tahap fisiologik : kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, tak dapat tidur, mudah marah. Metabolisme obat terganggu. 4. Tahap klinik : terlihat tanda-tanda klinik defisiensi. 5. Tahap morfologik : perubahan bentuk jaringan yang dapat menimbulkan kematian, kecuali diobati dengan nutrien tersebut. Koreksi pada tahap dini tentu lebih menguntungkan dibanding pengobatan pada tahap yang sudah lanjut (Tjokronegoro, 1985). Universitas Sumatera Utara 2.2 Sorbitol, Struktur dan Sifat-Sifatnya Glukosa mempunyai 6 jumlah rantai atom C, 4 diantaranya merupakan atom C asimetris sehingga banyak isomer yang dapat digambarkan dari molekul glukosa tersebut. Salah satu isomer yang penting adalah isomer D-sorbitol karena merupakan prekursor di dalam fermentasi vitamin C oleh Acetobacter xylinum. Konversi struktur D-sorbitol ke dalam bentuk L-sorbosa sangatlah penting karena L-sorbosa merupakan prekursor dari sintetis L-asam askorbat dengan menggunakan larutan sorbitol 15% setelah difermentasi selama 24 jam oleh bakteri Acetobacter suboxydans akan dihasilkan 93% L-sorbosa melalui reaksi di bawah ini : CH 2 OH H – C – OH CH 2 OH oksigen HO – C – H H - C - OH H - C - OH H – C – OH HO – C – H dehidrogenase - H2O CH 2 OH D-sorbitol H – C – OH C=O CH 2 OH L-sorbosa Pada tahap awal fermentasi, senyawa D-sorbitol akan berubah menjadi bentuk Lsorbosa dengan adanya enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Perubahan bentuk Dsorbitol menjadi bentuk L-sorbosa dapat diuji dengan alat polarimeter yaitu dari putaran sudut polarisasi dari kanan [D(+)] ke kiri [L(-)]. Gugus alkohol dari senyawa-senyawa gula dapat dioksidasi menjadi bentuk ketosa oleh beberapa jenis bakteri dengan adanya oksigen. Sebagai contoh, D-sorbitol dioksidasi oleh bakteri Acetobacter suboxydans sebagai berikut : D-sorbitol + O 2 → L-sorbosa + H 2 O L-sorbosa difermentasi lebih lanjut menjadi asam askorbat (West, 1966). Universitas Sumatera Utara 2.3 Sorbosa L-sorbosa adalah zat antara dalam produksi industri vitamin C dan L-sorbosa oleh enzim invertase yang dihasilkan oleh mikroba maka terjadi inversi D-sorbitol menjadi L-sorbosa yang merupakan prekursor di dalam biosintesis vitamin C. Sejak ditemukan reaksi inversi ini maka industri pembentukan L-sorbosa (prekursor dalam biosintesis vitamin C) berkembang pesat guna memenuhi bahan baku industri vitamin C. Produksi sorbosa ditunjukkan dengan menggunakan inhibisi substrat dan produk secara bersamaan. Angka oksidasi menurun secara drastis dengan penambahan konsentrasi awal sorbitol dalam bioreaktor batch (Giridhar, 2000). 2.4 Fermentasi Vitamin C Metode untuk mendapatkan vitamin C secara sintesis dengan urutan langkah yang diperlukan dengan bantuan mikroba. Perkembangan vitamin C dianggap penting sekali. Isolasi kristalin asam askorbat pada tahun 1928 dilakukan oleh Szent-Gyorgyi yang dilanjutkan dengan identifikasi vitamin C oleh Waugh dan King serta Svirbely dan Szent-Gyorgyi pada tahun 1932. Vitamin C pertama kali diperoleh secara sintetis. Berbagai jenis sintetis vitamin C diklasifikasikan menjadi empat metoda yang terpenting. Metoda pertama dimana secara industri meliputi konversi D-glukosa menjadi asam askorbat atau vitamin C. Langkah dari metoda tersebut meliputi oksidasi mikrobiologi dari gugus hidroksil kedua 2,3,4,6-diisopropylidene derivative menjadi gugus karbonil L-ascorbic acid (Vitamin C). Konfigurasi lanjutan yang penting adalah L-sorbose, suatu senyawa gula yang jarang ditemukan. L-Sorbose dihasilkan dalam skala besar dari D-glucitol (sorbitol) dengan pertumbuhan Acetobacter suboxydans. Penggunaan 15% larutan sorbitol, dihasilkan L-sorbose sebesar 93% setelah difermentasi selama 24 jam dari waktu inokulasi yang ditemukan oleh Wells, Stubbs, Lockwood, dan Roe. Universitas Sumatera Utara Sorbitol ditemukan secara umum dalam skala besar dengan cara hidrogenasi katalitik dari D-glukosa. Laporan pertama tentang oksidasi D-sorbitol menjadi Lsorbosa oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang ditemukan Bertrand pada tahun 1896. Bakteri tersebut diidentifikasi dengan bakteri Acetobacter xylinum. D-glucose D-glucitol (D-sorbitol) L-sorbose 2,3,4,6-diisopropylidene derivative 2,3,4,6-diisopropylidene-2-keto-L-gulonic acid L-ascorbic acid (Vitamin C) Untuk menyelesaikan sintetis tersebut, L-sorbosa diubah menjadi derivat 2,3,4,6diisopropilidena. Gugus hidroksil pertama derivat tersebut dioksidasi oleh ion permanganat dalam larutan alkali menghasilkan asam 2,3,4,6-diisopropilidena-2-ketoL-gulonat berdasarkan Reichstein dan Grussner. Asam 2-keto-L-gulonat atau derivat diisopropilidena diubah menjadi asam L-askorbat dengan bermacam teknik untuk mendapatkan hasil sempurna (Robinson, 1976). Pada tahun 1953 dibuat beberapa studi dimana proses fermentasi vitamin C dengan bantuan mikroorganisme hanya terjadi dalam 2 langkah. Hori dan Nakatani mengubah glukosa oleh Acetobacter suboxydans menjadi asam 5-keto-D-glukonat, yang selanjutnya oleh bantuan katalis enzim dirubah menjadi asam L-idonat. Fermentasi dengan Pseudomonas, Acetobacter, atau Aerobacter inversi senyawa akhir menjadi asam 2-keto-L-gulonat, yaitu suatu senyawa antara (intermediat) yang lazim dikenal menjadi asam L-askorbat (Hori, 1953). Pada tahun 1990, Boudrant menyatakan bahwa dengan menggunakan metode Reichstein dan glukosa sebagai substrat, pembentukan asam askorbat dengan metode Universitas Sumatera Utara fermentasi hanya berlangsung dengan 5 tahap reaksi sebagai berikut : reduksi glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan katalis nikel; oksidasi L-sorbitol menjadi Lsorbosa; hasil diaseton sorbosa atau 2,3:4,6-diisopropilidena-L-xylo-2-heksofuranosa setelah perlakuan dengan aseton dan asam sulfat; oksidasi 2,3,4,6-diisopropilidena-Lxylo-2-heksofuranosa menjadi asam 2-keto-L-gulonat dengan menggunakan katalis platinium; enolisasi dan laktonisasi internal asam 2-keto-L-gulonat menjadi asam Laskorbat. Asam L-askorbat seperti jalur di bawah ini : (Boudrant, 1990). Universitas Sumatera Utara Pada zaman sekarang, ditemukan ada enam proses fermentasi bakteri untuk menghasilkan vitamin C. Semua proses tersebut memperlihatkan prekursor langsung dari asam L-askorbat, asam 2-keto-L-gulonat, dimana dinamakan asam 2-keto-Lidonat. Perbedaan keenam jalur ini ditandai dari senyawa intermediat yang terbentuk selama proses fermentasi. Keenam jalur tersebut dapat dilihat sebagai berikut : 1. Jalur Sorbitol 2. Jalur asam L-idonat 3. Jalur asam L-gulonat 4. Jalur asam 2-keto-D-glukonat 5. Jalur asam 2,5-diketo-D-glukonat 6. Jalur asam 2-keto-L-gulonat Universitas Sumatera Utara Diagram jalur biosintesis vitamin C oleh berbagai jenis mikroorganisme : (Boudrant, 1990). 1. Jalur Sorbitol Biosintesis ini dinyatakan pertama kali oleh Motizuki. Sorbitol ditransformasikan dengan cara fermentasi menjadi asam 2-keto-L-gulonat. Transformasi diperoleh dari beberapa genus Pseudomonas dan Acetobacter, tetapi jenis metabolisme ini belum dikenal secara umum. Hasil transformasi dari sorbitol menjadi asam 2-keto-gulonat tidak melampaui 10%, walaupun hasil 70% dicatat dari Acetobacter cerenusote. Selain asam 2-keto-Lgulonat, produk lain juga terbentuk. Okazaki menyarankan jalur biosintesis sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Sorbitol L-sorbose L-idose L-idonic acid 2-keto-L-gulonic acid 2. Jalur asam L-idonat Biosintesis menggunakan asam L-idonat sebagai zat antara adalah transformasi multistep. Metabolisme multistep dikenal adalah asam D-glukonat, asam 5-keto-Dglukonat, asam L-idonat, dan asam 2-keto-L-idonat. Oksidasi pertama, transformasi D-glukosa menjadi asam D-glukonat, tidak dijelaskan secara terperinci. 3. Jalur asam L-gulonat Jalur asam L-gulonat terdapat pada jalur L-idonat yang meliputi dua langkah (oksidasi asam D-glukonat dan reduksi asam 5-keto-D-glukonat). Tetapi reaksi ini berkembang menjadi asam L-gulonat, prekursor asam 2-keto-D-idonat. Oksidasi asam L-gulonat disampaikan oleh Kita. Menurut Kita, transformasi asam 5-keto-D-glukonat dapat dihasilkan dengan menggunakan Xanthomonas transluscens, dengan hasil 90% dan konsentrasi 100 g L-1, atau Xanthomonas trifolii (Erwinia lahyri). Universitas Sumatera Utara 4. Jalur asam 2-keto-D-glukonat Ada tiga langkah pada jalur ini : 1. Oksidasi asam D-glukonat Kebanyakan akan mentransformasi D-glukosa menjadi asam D-glukonat dengan menggunakan jalur ini. Transformasi D-glukosa menjadi asam 2,5-diketogulonat yang diidentifikasikan oleh Katznelson dalam Acetobacter melanogenum dan Pseudomonas albosesamae. Dikenal bahwa Acetobacter suboxydans, untuk sintesis asam 5-keto-D-glukonat dari asam D-glukonat, dapat mensintesis asam 2-keto-D-glukonat. Pada tahun 1982, Sonoyama menjelaskan kemampuan pertama kali Erwinia spp, untuk akumulasi asam D-glukonat dan asam 2-keto-D-glukonat. 2. Oksidasi asam 2-keto-D-glukonat Oksidasi ini diselesaikan oleh Bacterium hoshigaki dan Bacterium glucunicum dengan produk asam 2,5-D-diketo-D-glukonat. Juga dibiosintesis oleh Acetobacter spp khususnya Acetobacter melanogenum. Ilustrasi biokonversi glukosa dengan asam D-glukonat dan asam 2-keto-D-glukonat sebagai zat antara. Proses transformasi langsung D-glukosa menjadi asam 2,5-diketo-D-glukonat menggunakan Acetobacter fragum atau Acetomonas albosesamae yang diumumkan secara luas. 3. Reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat Pada tahun 1975, Sonoyama menjelaskan proses yang menghasilkan asam 2keto-D-gulonat dari asam 2,5-diketo-D-glukonat, dapat dilakukan oleh genus Brevibacterium, Arthrobacter, Micrococcus, Staphylococcus, Pseudomonas, dan Bacillus. Dengan Brevibacterium ketosporum, hasilnya mencapai 15% ketika konsentrasi substrat 50 g L-1. Dengan mikroorganisme lain, hasilnya tidak lebih dari 1%. Penggunaan Corynebacterium sejak tahun 1976, pertama kali Universitas Sumatera Utara menghasilkan hasil produk asam 2-keto-L-gulonat sekitar 10%. Pada masa kini, diperoleh hasil mendekati 80%. Proses lain juga dijelaskan dengan menggunakan Citrobacter. Dapat dikatalisis hanya dengan transformasi asam 2,5-diketo-Dgulonat, dan permulaan digunakan Acetobacter cerenus. Dengan beberapa mikroorganisme, hasilnya sekitar 30%, dengan konsentrasi substrat 100 g L-1. 5. Jalur asam 2.5-diketo-D-glukonat Proses produksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada langkah utama. Genus Erwinia dijelaskan pada transformasi ini. Dijelaskan bahwa konsentrasi glukosa 200 g L-1 dan waktu fermentasi 20 jam yang memberikan hasil sekitar 75%. Proses fermentasi dengan menggunakan Acetobacter cerenus memberikan hasil sekitar 90%. 6. Jalur asam 2-keto-L-gulonat Jalur ini rupanya terjadi secara langsung, dan menghasilkan asam 2-keto-Lgulonat, prekursor langsung asam L-askorbat dari glukosa. Jalur ini kemungkinan terjadi dengan pengembangan yang baru. Beberapa diantaranya : 1. Kultur tingkat kedua atau campuran 2. Seleksi mutan 3. Isolasi reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada Corynebacterium 4. Transfer gen reduksi asam 2,5-diketo-D-glukonat pada Corynebacterium dan Erwinia (Boudrant, 1990). Hancock menyatakan bahwa dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan substrat L-galaktosa, L-galaktono-1,4-lakton dan L-gulono-1,4-lakton akan dihasilkan asam askorbat sedangkan bila menggunakan substrat D-glukosa, Dgalaktosa atau D-manosa akan dihasilkan asam D-erithroaskorbat (Hancock, 2000). Universitas Sumatera Utara Running menyatakan bahwa fermentasi aerobik dan pemilihan strain yang tepat akan dihasilkan asam askorbat ekstraseluler sebesar 76 mg/L. Dengan mutagen klasik dan metoda seleksi, kami menciptakan mutan Prototheca moriformis ATCC 75669 yang menghasilkan kuantitas asam askorbat terbesar daripada strain tipe alamiah (78,4 vs 21,9 mg AA/g sel) (Running, 2002). Rewatkar menyatakan bahwa dengan menggunakan 5 gram sorbitol; 0,5 gram ekstrak yeast dan 2 gram agar yang dilarutkan dalam 100 mL H 2 O setelah difermentasi selama 7 hari oleh Acetobacter suboxydans akan diperoleh sebanyak 4,997 mg/L (6,2213%) asam askorbat. Dengan cara yang sama tetapi menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa akan dihasilkan 3,217 mg/L (4,0213%). Sedangkan bila digunakan Saccharomyces cerevisiae akan dihasilkan 1,882 mg/L (2,3525%) asam askorbat (Rewatkar, 2010). Salah satu aspek yang penting dari proses-proses fermentasi adalah cara pemanenan dan memurnikan hasil produk fermentasi atau bioproduk. Proses ini dikenal dengan proses hilir (Kroner, 1984). Universitas Sumatera Utara 2.5 Kinetika Pertumbuhan Mikroba Mikroba dapat tumbuh lebih baik pada media yang memenuhi persyaratan untuk pertumbuhannya. Apabila suatu sel mikroba (misalnya bakteri) ditumbuhkan pada suatu medium yang memenuhi syarat untuk tumbuh, maka mikroba tersebut akan mengadakan multiplikasi secara aseksual dengan pembelahan sel menjadi dua sel vegetatif yang serupa dan selanjutnya proses tersebut berlangsung terus-menerus selama nutrisi, energi, dan persyaratan lingkungan lain masih memenuhi syarat tumbuh. Waktu antara yang ditentukan sel untuk membelah disebut waktu generasi(g). Waktu generasi masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies dan kondisi lingkungan. Namun demikian, sebagian besar bakteri mempunyai waktu generasi antara 10-60 menit. Kurva pertumbuhan mikroba dalam kultur : Kurva Pertumbuhan Mikroba (Nurwantoro, 1997). Universitas Sumatera Utara 1. Fase Adaptasi Jika mikroba ditumbuhkan pada suatu media, pada awalnya akan mengalami fase adaptasi (fase lag), yaitu fase untuk menyesuaikan dengan substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim mungkin belum disintesis. Jumlah sel pada fase ini mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Lamanya fase adaptasi setiap jenis mikroba sangat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media dan lingkungan pertumbuhan serta jumlah inokulum. a. Media dan lingkungan pertumbuhan Mikroba yang ditumbuhkan pada media dan lingkungan pertumbuhan yang berbeda dengan media dan lingkungan pertumbuhan sebelumnya akan melakukan adaptasi selama beberapa waktu. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa selama adaptasi ini mikroba juga mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan dalam metabolisme. Kecuali jika media dan lingkungannya sama seperti media dan lingkungan sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu adaptasi. Kalaupun memerlukan waktu, ini tidak akan berlangsung lama melainkan sangat singkat. b. Jumlah inokulum Jumlah sel (mikroba) awal yang semakin tinggi akan memperlambat waktu fase adaptasi. 2. Fase Pertumbuhan Awal Setelah penyesuaian diri, maka sel mikroba mulai membelah dengan kecepatan rendah. 3. Fase Pertumbuhan Logaritmik Universitas Sumatera Utara Pada fase ini pertumbuhan mencapai kecepatan maksimum. Selama fase pertumbuhan logaritmik, tumbuh sel-sel muda yang mendominasi sebagian besar fase ini, dimana pertambahan jumlah sel-sel muda ini mengikuti kurva logaritmik. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh media (sering kali disebut medium) tempat tumbuhnya, seperti pH dan kandungan nutrisi, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara relatif. Pada fase ini sel membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan fase lainnya, tetapi pada fase ini justru sel-selnya sangat sensitif terhadap keadaan lingkungan. 4. Fase Pertumbuhan Lambat Pada fase ini pertumbuhan populasi mikroba diperlambat, karena nutrisi di dalam media mulai berkurang dan adanya hasil-hasil metabolisme yang barangkali beracun atau dapat menghambat pertumbuhan mikroba itu sendiri. Pada fase ini pertumbuhan sel tidak stabil, tetapi populasi mikroba tetap naik karena jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak daripada sel yang mati. 5. Fase Pertumbuhan Tetap (Statis) Pada fase ini jumlah sel yang mati seimbang dengan sel yang tumbuh. Hal ini disebabkan komposisi media tidak memenuhi syarat pertumbuhan dan kemungkinan adanya racun yang diproduksi oleh mikroba itu sendiri. Ukuran sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun kekurangan nutrisi. 6. Fase Menuju Kematian dan Fase Kematian Pada fase ini sebagian populasi mikroba mulai mengalami kematian yang disebabkan karena tiadanya nutrisi di dalam media dan habisnya energi cadangan di dalam sel. Jumlah sel yang mati kian banyak sesuai dengan Universitas Sumatera Utara umurnya. Kecepatan kematian ini dipengaruhi oleh kondisi nutrisi, lingkungan, dan jenis mikroba (Nurwantoro, 1997). Setiap bahan pangan (biasa disebut pangan) selalu mengandung mikroba yang jumlah dan jenisnya berbeda. Beberapa jenis mikroba yang banyak terdapat dalam bahan pangan adalah bakteri, kapang, dan khamir.Pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : faktor fisika, kimia dan biologis. Faktor-faktor tersebut meliputi: 1. Faktor intrinsik, merupakan sifat-sifat fisika, kimia, dan struktur yang dimiliki oleh bahan pangan itu sendiri. Faktor intrinsik dalam bahan pangan berupa kandungan nutrisi, pH pangan, aktivitas air(aw) pangan, potensial reduksi oksidasi, senyawa antimikroba alamiah dalam pangan, dan struktur biologi; 2. Faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan pada penanganan dan penyimpanan bahan pangan, seperti suhu kelembaban, susunan gas di atmosfer. Faktor-faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kehidupan mikroba, antara lain suhu, kelembaban, dan susunan gas di atmosfer; 3. Faktor implisit, yang merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba itu sendiri. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh susunan biotik mikroba dalam bahan pangan. Faktor-faktor implisit yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba adalah sinergisme dan antagonisme; 4. Faktor pengolahan, karena perubahan mikroba awal sebagai akibat pengolahan bahan pangan (misalnya pemanasan, pendinginan, irradiasi, penambahan bahan pengawet). Mikroba spesifik yang terdapat di dalam bahan-bahan pangan dapat dikurangi jumlahnya oleh berbagai jenis metode pengolahan atau pengawetan pangan. Jenis-jenis pengolahan/pengawetan pangan yang berpengaruh terhadap kehidupan mikroba antara lain suhu tinggi, suhu rendah, penambahan bahan pengawet, dan irradiasi (pengaruh berbagai metoda pengolahan/pengawetan pangan terhadap kehidupan mikroba) (Sudarmadji, 1989). Universitas Sumatera Utara 2.6 Kinetika Pembentukan Produk Sangat jarang dijumpai bioproses yang menghasilkan produk tunggal. Setiap pertumbuhan mikroba selalu diikuti dengan pembentukan produksi satu atau beberapa metabolit maka reaksi secara keseluruhan selalu stoikiometri serta mengikuti hukum kekekalan massa. Selain pemantauan biomassa secara serentak juga dilakukan pengukuran produk metabolit serta berkurangnya substrat persatuan waktu. Hubungan ini umumnya disajikan dalam bentuk kurva. Hubungan kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit tergantung pada peranan produk di dalam metabolisme sel. Ada tiga pola yang dikenal dalam hubungan tersebut a. Pola pertumbuhan yang berasosiasi dengan pembentukan produk Pada umumnya dijumpai pada proses yang produknya merupakan hasil langsung pada suatu jalur katabolik, misalnya pada fermentasi gula menjadi etanol b. Pola pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan Pada pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan umumnya terjadi pada fermentasi yang menghasilkan metabolit sekunder misalnya pada fermentasi antibiotik dimana pembentukan produk terjadi pada akhir fermentasi c. Pola campuran pertumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi Pada beberapa fermentasi pertumbuhan dan pembentukan produk mempunyai hubungan sebagian misalnya pada fermentasi asam laktat, pululan dan xanthan. Pola ini disebut campuran pertumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi, dan laju pembentukan produk berbanding lurus baik dengan konsentrasi sel maupun laju pertumbuhan. Model ini dikemukakan oleh Leudeking dan Piret (1959) sehingga disebut dengan model kinetika Leudeking Piret (Bailey, 1986). 2.7 Pemilihan Bioreaktor Universitas Sumatera Utara Bioreaktor adalah suatu unit alat yang digunakan untuk tempat berlangsungnya suatu proses biokimia dari bahan mentah menjadi bahan jadi atau zat tertentu yang dikehendaki, dikatalisis oleh suatu enzim yang terdapat pada mikroorganisme hidup atau enzim-enzim terisolasi. Suatu bioreaktor harus dapat memberikan kondisi optimum kepada mikroba penghasil enzim ataupun enzim terisolasi agar produksi bahan yang dikehendaki memperoleh hasil maksimum. Untuk itu umumnya suatu bioreaktor memerlukan pengatur-pengatur suhu, pH dan oksigen terlarut. Di samping itu diperlukan bahan baku, bahan nutrisi yang cukup dan serasi dengan sifat enzimnya (Muljono, 1992). Reaktor biokimia atau bioreaktor diklasifikasikan menjadi dua kategori utama : 1) Fermenter mikrobial 2) Reaktor enzim (Rao,2005). Dalam kegiatan bioproses terdapat 2 komponen penting yaitu biokatalis enzim atau sel hayati penghasil enzim dan kondisi lingkungan. Kedua komponen tersebut sangat penting dan berguna agar katalis dapat bekerja secara optimal. Lingkungan optimal ini dapat dicapai dengan menempatkan biokatalis dalam wahana yang disebut bioreaktor atau biofermentor. Oleh karena itu bioreaktor dan seluruh sistem dalam bioreaktor harus dirancang sebaik mungkin agar proses yang dilakukan oleh biokatalis dapat berlangsung seoptimal mungkin. Selama proses suasana reaksi harus dapat dipantau dan dikendalikan. Bioreaktor harus memberikan lingkungan fisik sehingga biokatalis dapat melakukan interaksi dengan lingkungan dan bahan nutrisi yang dimasukkan ke dalamnya. Dalam praktek dikenal 2 sistem bioreaktor yakni bioreaktor monoseptik misalnya dalam pembuatan ragi roti (yeast) dimana pembuang limbah (sisa fermentasi) dari dalam bioreaktor dapat dilakukan tanpa sterilisasi tapi cukup dicuci saja. Bioreaktor aseptis misalnya dalam pembuatan antibiotik asam-asam amino, protein sel tunggal (PST) dimana setelah pembuang limbah alat harus disterilisasi pada Universitas Sumatera Utara autoklaf. Optimasi pertumbuhan biokatalis dan pembentukan produk dalam bioreaktor harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini 1. PH 2. Suhu 3. Media/Sumber Energi 4. Inhibitor 5. Inokulum yang baik 6. Kondisi fisiko kimiawi yang baik yang optimal Bioreaktor sebagai wahana proses memegang peran penting dalam industri yang mendayagunakan reaksi-reaksi biokimia yang dilakukan oleh sel (mikroba, tanaman atau hewan) sebagai penghasil enzim (Aiba, 1973). Alat atau perlengkapan yang memberi kondisi untuk berlangsungnya bioreaksi dinamakan pula fermentor. Alat ini dapat dibuat dalam berbagai tipe. Menurut Denbigh dan Turner, jenis fermentor dapat digolongkan dalam tipe berikut : 1. Fermentor Batch (FB) 2. Fermentor Teraduk Kontinu (FTK) 3. Fermentor Tubular (FT) 4. Fermentor Bed Cair (FBC) Perkembangan terciptanya tipe-tipe tersebut sebagian besar dipengaruhi sifatsifat dasar mikroorganisme yang sangat bervariasi. Salah satu sifat mikroorganisme yang menguntungkan adalah pada umumnya kadar airnya cukup tinggi sekitar 60-95% sehingga kerapatannya hanya berbeda sedikit dari air. Jadi untuk menjaga suspensi bakteri hanya diperlukan gerakan hidrodinamik yang kecil, antara lain dapat dilakukan dengan menggerakkan perlahan-lahan cairan sekitarnya dengan alat pengaduk atau mekanik mengalirkan udara melalui media atau mengoncangnya. Fermentor tipe batch (FB) adalah jenis yang asli yang mempunyai kelemahan terutama dalam kecepatan produksi. Kondisi bahan maupun mikroorganisme dalam fermentor batch secara menyeluruh mengalami perubahan seiring dengan waktu Universitas Sumatera Utara sampai pada tingkat tertentu saat pemanenan harus dilakukan untuk proses lebih lanjut, seperti pemurnian dan lain sebagainya. Pada fermentor teraduk kontinu terdiri dari deretan bejana silindrik yang dilengkapi masing-masing dengan alat pengaduk. Pemasukan bahan diberikan ke dalam bejana secara periodik. Bahan terfermentasi sebagian dipindahkan ke bejana selanjutnya dalam periode yang sama dalam pemberian pertama. Setelah melalui bejana, bahan terfermentasi dipanen untuk diproses lebih lanjut. Fermentor demikian mudah mengontrol pH dan suhunya. Fermentor tubular terdri dari suatu tabung yang biasanya agak memanjang untuk menjamin berlangsungnya fermentasi secukupnya selama proses dalam tabung untuk dipanen pada terminal terakhir. Fermentor demikian umumnya lebih sulit untuk dilengkapi dengan sarana kontrol kondisi dan penyiapan alatnya sedemikian rupa sehingga menjamin homogenitas untuk seluruh ruangan dan mengurangi pengaruh perubahan fisik terhadap waktu proses (Muljono, 1992). Sistem bioreaktor bagi pertumbuhan mikroorganisme dapat diklasifikasikan sebagai sistem tertutup atau terbuka. Suatu sistem dipandang tertutup bila bagian esensial sistem tersebut tidak dapat memasuki atau meninggalkan sistem tersebut. Jadi, dalam sistem batch tradisional atau sistem fermentasi tertutup, semua komponen nutrien ditambahkan pada awal proses fermentasi dan sebagai hasilnya, laju pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya akhirnya akan berkurang hingga mencapai jumlah nol karena penurunan jumlah nutrien atau pemupukan limbah yang beracun. Karena alasan inilah, metabolisme organisme dalam proses batch tertutup selalu berada dalam keadaan berubah-ubah. Akan tetapi, sebagian besar sistem bioteknologi yang mutakhir akan bekerja sebagai proses batch dengan kondisi yang dibuat optimal untuk menghasilkan pembentukan maksimal produk yang dikehendaki, misalnya dalam proses pembuatan bir, antibiotik dan enzim. Universitas Sumatera Utara Ukuran bioreaktor produksi dalam industri berkisar antara 10.000 hingga 20.000 liter walaupun sebuah bioreaktor raksasa yang berukuran 4 juta liter baru-baru ini diizinkan pembangunannya. Bioreaktor yang berukuran kecil terutama digunakan untuk menghasilkan produk dengan volume rendah dan harga tinggi, seperti enzim serta zat-zat kimia tertentu, sementara bioreaktor yang berukuran besar digunakan secara luas untuk menghasilkan antibiotik, asam-asam organik, dan lain-lain. Modifikasi pada proses batch tersebut adalah sistem fed-batch dan dalam sistem ini dapat ditambahkan sejumlah nutrien selama proses fermentasi untuk mengatasi deplesi nutrien, atau ditambahkan sejumlah senyawa yang baru sebagai aktivator selektif, misalnya dalam proses membuat ragi untuk industri pembuatan roti. Namun demikian, sistem tersebut tetap tertutup karena tidak ada aliran keluar yang kontinu. Berbeda dengan sistem di atas, suatu sistem fermentasi dianggap terbuka bila semua komponen pada sistem tersebut (seperti organisme dan nutrien) dapat terusmenerus memasuki dan meninggalkan bioreaktor. Jadi, sistem bioreaktor terbuka atau aliran kontinu mempunyai masukan media nutrien yang baru dan keluaran biomassa serta produk lainnya secara kontinu (Smith, 1995). Dari penelitian yang dilakukan, digunakan alat pengaduk pada proses fermentasi untuk memutuskan proses terbentuknya asam asetat dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum sehingga diperoleh hasil vitamin C. Peneliti juga mengatur pH 44,5 pada suhu kamar dengan menjaga kondisi optimal bakteri dalam proses biosintesis vitamin C. 2.8 Acetobacter Xylinum Acetobacter mempunyai sel-sel yang terbentuk elips atau tongkat yang melengkung. Acetobacter merupakan bakteri aerob, yang memerlukan respirasi dalam metabolisme. Acetobacter dapat mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, juga dapat mengoksidasi asetat dan laktat menjadi CO 2 dan H 2 O. Berbagai spesies Acetobacter dapat ditemukan Universitas Sumatera Utara pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Bakteri inilah yang menyebabkan pengasaman jus buah-buahan dan minuman beralkohol (bir dan anggur) (Banwart,1981). Spesies Acetobacter yang telah dikenal antara lain : A.aceti, A.orleanensis, A.liquefasiensis, dan A.xylinum. Meskipun ciri-ciri yang dimiliki hampir sama dengan spesies lainnya. A.xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lainnya karena sifatnya yang unik. Bila A.xylinum ditumbuhkan pada medium yang mengandung gula, bakteri itu dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler. Selain itu mempunyai aktivitas oksidasi lanjutan atau “over oxydizer” yaitu mampu mengoksidasi lebih lanjut asam asetat menjadi CO 2 dan H 2 O. Sifat inilah yang umumnya mempunyai sifat “under oxydizer” yaitu hanya mengubah alkohol menjadi asam asetat. Dalam medium cair Acetobacter xylinum mampu membentuk suatu lapisan yang dapat mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap dalam massa benang-benang yang dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium. Menurut Warisno, biakan murni Acetobacter xylinum digunakan sebagai starter yang bisa mensintesa air kelapa hingga menjadi nata de coco. Biakan murni ini bisa diperbanyak menjadi bibit atau starter. Bibit atau starter berisi mikroba dengan jumlah dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasi ke dalam media fermentasi (Daulay,2003). 2.9 Enzim Universitas Sumatera Utara Berdasarkan metabolisme di atas, terjadi reaksi enzimatis dimana substrat glukosa dapat diubah menjadi D-sorbitol melalui proses hidrogenasi dengan pengaturan tekanan pada 80-125 atm, suhu 140°C - 150°C dan penggunaan katalis Ni. Selanjutnya D-sorbitol diubah menjadi L-asam askorbat dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Adapun enzim-enzim yang dihasilkan oleh bakteri dalam proses biosintesis vitamin C sebagai berikut : 1. Enzim D-sorbitol dehydrogenase pada proses perubahan D-sorbitol menjadi Lsorbose Universitas Sumatera Utara 2. Enzim L-sorbose dehydrogenase pada proses perubahan L-sorbose menjadi Lsorbosone 3. Enzim L-sorbosone dehydrogenase pada proses perubahan L-sorbosone menjadi 2-keto-L-gulonic acid Selanjutnya melalui proses esterifikasi/laktonisasi, 2-keto-L-gulonic acid dapat diubah menjadi L-asam askorbat (Hancock, 2002). 2.10 Metoda Hitungan Cawan Metoda hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi suatu koloni. Jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks jumlah mikroba yang hidup terkandung dalam sampel. Hal yang perlu dikuasai dalam hal ini adalah teknik pengenceran. Setelah inkubasi, jumlah koloni masing-masing cawan diamati. Untuk memenuhi persyaratan statistik, cawan yang dipilih untuk dihitung mengandung 30-300 koloni. Untuk memenuhi persyaratan tersebut harus melakukan sederetan pengenceran dan pencawanan. Jumlah mikroba dalam sampel ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni dengan faktor pengenceran pada cawan yang bersangkutan. Prinsip dari metoda hitungan cawan adalah bila sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium, maka mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung, dan kemudian dihitung tanpa menggunakan mikroskop. Metoda ini merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan jumlah jasad renik, dengan alasan : - Hanya sel mikroba yang hidup yang dapat dihitung - Beberapa jasad renik dapat dihitung sekaligus - Dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba, karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari mikroba yang mempunyai penampakan spesifik Selain keuntungan-keuntungan tersebut di atas, metoda hitungan cawan juga memiliki kelemahan sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara - Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk koloni - Medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan jumlah yang berbeda pula - Mikroba yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni yang kompak, jelas, tidak menyebar - Memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan koloni dapat dihitung Dalam metoda hitungan cawan, bahan yang diperkirakan mengandung lebih dari 300 sel mikroba per ml atau per gram atau per cm (jika pengambilan sampel dilakukan pada permukaan), memerlukan perlakuan pengenceran sebelumnya ditumbuhkan pada medium agar di dalam cawan petri. Setelah inkubasi, akan terbentuk koloni pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung, di mana jumlah yang terbaik adalah di antara 30 sampai 300 koloni. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal, yaitu 1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat, 0,85% NaCl atau larutan Ringer. Metoda hitungan cawan dibedakan atas dua cara, yakni metoda tuang (pour plate) dan metoda permukaan (surface/spread plate) (Waluyo,L.,2010). 2.11 Metoda Analisa Vitamin C Metoda analisa vitamin C dalam bahan pangan dapat dikelompakkan menjadi beberapa metoda. 1. Metoda fisika a. Metoda spektroskopi Metoda ini berdasarkan pada kemampuan vitamin C yang terlarut dalam air untuk menyerap sinar ultraviolet, dengan panjang gelombang maksimum 265 nm. Karena vitamin C dalam larutan mudah sekali mengalami kerusakan, maka pengukuran Universitas Sumatera Utara dengan cara ini harus dilakukan secepat mungkin. Untuk memperbaiki hasil pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa pereduksi yang lebih kuat dari vitamin C. Hasil terbaik diperoleh dengan menambahkan sejumlah ekuimolar (kira-kira) larutan KCN (sebagai stabilizer) ke dalam larutan vitamin. b. Metoda polarografik Metoda ini berdasarkan pada potensial oksidasi asam askorbat dalam larutan asam atau bahan pangan yang bersifat asam, misalnya ekstrak buah-buahan dan sayuran. 2. Metoda Kimia Metoda kimia merupakan cara pengukuran vitamin C paling banyak macamnya dan paling sering digunakan. Sebagian besar metode kimia didasarkan pada kemampuan vitamin C karena senyawa dehidro asam askorbat (memiliki aktivitas vitamin C sebesar 80%) tidak bersifat pereduksi, maka untuk mengukur vitamin C dalam bahan pangan terlebih dahulu harus dilakukan perlakuan pendahuluan menggunakan senyawa pereduksi seperti H 2 S untuk mengubah dehidro asam askorbat menjadi asam askorbat. Di samping itu, terdapat sejumlah vitamin C yang terikat dengan komponen protein dan bersifat non pereduksi. Bentuk terikat ini harus dibebaskan lebih dahulu dalam penentuan kandungan vitamin C dalam suatu bahan. 3. Metoda Biokimia (Metoda asam askorbat oksidase) Metoda ini berdasarkan kemampuan enzim asam askorbat oksidase untuk mengoksidasi asam askorbat. Reaksi oksidasi ini ternyata tidak bersifat spesifik untuk menghasilkan hasil yang memuaskan karena enzim tersebut dapat juga mengoksidasi komponen-komponen organik lain yang terdapat dalam ekstrak jaringan hewan, terutama senyawa organik yang dapat mereduksi biru metilen (methyken blue). Lebih lanjut dibuktikan bahwa enzim asam askorbat yang diisolasi dari labu tidak bereaksi dengan vitamin C dalam urine manusia, cairan sumsum tulang belakang dan susu sapi. Universitas Sumatera Utara 4. Metoda Biologi Walaupun banyak diganti dengan metoda fisika dan kimia untuk menentukan vitamin C, metoda biologi tetap merupakan metoda penentuan vitamin C yang paling realistis dan paling mendekati kebenaran (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/metode-analisa-vitamin/). 5. Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basis akan berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6-diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6-diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat dengan terjadinya pewarnaan. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan dengan vitamin C standar (Sudarmadji, 1989). Dalam metoda biologi untuk mengukur vitamin C, hewan percobaan yang digunakan hanya marmot (guinea pigs). Jika mereka diberi ransum tanpa vitamin C, dalam waktu 2-3 minggu akan menderita Scurvy. Terdapat 3 cara pengukuran biologis dengan menggunakan guinea pigs yaitu: a. Metoda preventif, untuk mengukur jumlah terkecil vitamin C yang dapat mencegah timbulnya tanda-tanda Scurvy secara makro, misalnya penurunan berat badan. b. Metoda kuratif, untuk mengukur jumlah vitamin C terkecil untuk menyembuh guinea pigs yang menderita Scurvy c. Metoda histology, memeriksa gigi guinea pigs, lapisan odontoblas tidak teratur, terjadi pengapuran predentive dan terbentuk lapisan tulang yang tidak beraturan di antara odontoblast dan predentive (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/metode-analisa-vitamin/). Universitas Sumatera Utara 2.12 Penentuan Vitamin C secara Metoda Spektroskopi Ultraviolet-Sinar Tampak Prinsip spektroskopi didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi elektromagnetik dengan zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi, dikembangkan teknikteknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat-sifat dari interaksi tersebut. Hasil interaksi tersebut bisa menimbulkan satu atau lebih peristiwa seperti : pemanasan, pembiasan, interferensi, difraksi, penyerapan (absorpsi), fluoresensi, fosforiensi dan ionisasi. Dalam analisis kimia, peristiwa absorpsi merupakan dasar dari cara spektroskopi karena proses absorpsi tersebut bersifat unik/spesifik untuk setiap zat kimia atau segolongan zat kimia (aplikasi kualitatif). Di samping itu adalah kenyataan bahwa banyaknya absorpsi berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia (aplikasi kuantitatif) (Sudarmadji, 1989). Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau atom yang mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya absorban radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi dan dapat digunakan untuk analisa kuantitatif. Frekuensi radiasi ultraviolet dan sinar tampak, terletak antara 1,5x108 Hz sampai 4,28x107 Hz, dengan panjang gelombang antara 200 nm sampai 700 nm, serta energi yang besarnya antara 9,939x10-26 joule sampai 2,836x10-26 joule, sesuai dengan energi yang diperlukan oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau molekul heterosiklik mengandung atom dengan elektron-n, untuk meningkatkan elektron dalam orbit molekul terluarnya ke tingkat tereksitasi. Kegunaan spektrofotometri ultraviolet dan sinar tampak dalam analisis kualitatif sangat terbatas, karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit (500 nm) hanya dapat mengakomodasi sedikit sekali puncak absorpsi maksimum dan minimum, karena itu identifikasi senyawa yang tidak diketahui, tidak memungkinkan. Universitas Sumatera Utara Penggunaan utama spektroskopi ultraviolet-sinar tampak adalah dalam analisis kuantitatif. Apabila dalam alur radiasi spektrofotometer terdapat senyawa yang mengabsorpsi radiasi, akan terjadi pengurangan kekuatan radiasi yang mencapai detektor. Parameter kekuatan energi radiasi khas yang diabsorpsi oleh molekul adalah absorban (A) yang dalam batas konsentrasi rendah nilainya sebanding dengan banyaknya molekul yang mengabsorpsi radiasi dan merupakan dasar analisis kuantitatif. Kurva absorpsi di daerah ultraviolet pada umumnya lebih sempit daripada kurva absorpsi di daerah sinar tampak. Penentuan kadar dilakukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang absorban maksimum (puncak kurva), agar dapat memberikan absorban tertinggi untuk setiap konsentrasi. Bila suatu senyawa mempunyai lebih dari satu puncak absorpsi maksimum, lebih diutamakan panjang gelombang absorpsi maksimum yang absorptivitasnya terbesar dan memberikan kurva kalibrasi linier dalam rentang konsentrasi yang relatif lebar. Pada penentuan analit yang terdapat dalam suatu matriks diperlukan pengukuran dari blanko matriks untuk meralat kesalahan yang disebabkan oleh matriks. Bila komponen matriks untuk blanko tidak dapat diperoleh, standar dua sampai lima kali yang ditambahkan dengan konsentrasi yang meningkat secara teratur (Satiadarma, 2004). Suatu spektrum ultra ungu diperoleh secara langsung dari suatu alat yang secara sederhana memetakan panjang gelombang dari suatu serapan terhadap intensitas serapan (absorbans atau transmitans). Datanya seringkali diubah menjadi suatu grafik dari panjang gelombang terhadap serapan molar (ε maks atau log ε maks ). Intensitas dari serapan dapat dinyatakan sebagai transmitans (T) didefinisikan sebagai : T = I/I o dimana I o adalah intensitas dari energi pancaran yang mengenai cuplikan, dan I adalah intensitas pancaran yang keluar dari cuplikan. Rumusan yang tepat dari intensitas serapan adalah yang diturunkan dari hukum Lambert-Beer yang memantapkan hubungan antara transmitans dengan tebalnya cuplikan, dan konsentrasi dari bahan yang menyerap. Hubungan ini dinyatakan sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara log 10 (Io /I) = kcb = A dimana : k = suatu tetapan khas dari bahan larutan c = konsentrasi dari larutan b = panjang jalur A = absorbans (kerapatan optik. serapan) Bila c dinyatakan dalam mol per liter, dan panjang jalur (b) dinyatakan dalam sentimeter, persamaan menjadi : A = εcb Istilah ε diketahui sebagai absorptivitas molar, dahulu dikenal sebagai koefisien ekstingsi molar (molar extinction coefficient). Di dalam konsentrasi (c) dari larutan yang didefinisikan sebagai g/liter, persamaan menjadi : A = abc dimana a adalah absortifitas (absorptivity), jadi berhubungan dengan absorptifitas molar melalui ε = aM dimana M adalah berat molekul dari larutan (Silverstein, 1986). 2.13 Penentuan Vitamin C secara Metoda Polarimeter Satu properti cahaya yang penting dan berguna adalah kenyataan bahwa ia bisa dipolarisasi. Untuk memahami apa maksudnya, mari kita meneliti gelombang yang berjalan pada tali. Tali dapat digetarkan pada bidang vertikal atau pada bidang horizontal. Pada kedua kasus, gelombang dikatakan terpolarisasi bidang yaitu osilasi terjadi pada bidang. Jika sekarang kita letakkan penghalang berupa celah vertikal pada lintasan gelombang. Gelombang terpolarisasi vertikal akan lewat, tetapi yang terpolarisasi horizontal tidak. Jika digunakan celah horizontal, gelombang terpolarisasi vertikal akan terhenti. Jika kedua jenis celah digunakan, kedua jenis gelombang akan terhenti. Perhatikan bahwa polarisasi hanya dapat terjadi untuk gelombang transversal, Universitas Sumatera Utara dan tidak untuk gelombang longitudinal seperti bunyi. Bunyi bergetar hanya sepanjang arah gerak, dan baik orientasi maupun celah tidak akan menghentikannya. Teori Maxwell mengenai cahaya sebagai gelombang elektromagnetik (EM) meramalkan bahwa cahaya dapat terpolarisasi karena gelombang EM merupakan gelombang transversal. Arah polarisasi pada gelombang EM yang terpolarisasi bidang diambil sebagai arah vektor medan listrik. Cahaya tidak harus terpolarisasi. Ia dapat tidak terpolarisasi, yang berarti bahwa sumber memiliki getaran di banyak tempat sekaligus. Bola lampu pijar biasa memancarkan cahaya yang tidak terpolarisasi, sebagaimana Matahari. Cahaya yang terpolarisasi bidang bisa didapat dari cahaya yang tidak terpolarisasi dengan menggunakan kristal-kristal tertentu seperti turmalin (bahanbahan listrik yang digunakan sebagai perhiasan). Atau, lebih umum saat ini, kita dapat menggunakan lembar Polaroid (Materi Polaroid ditemukan pada tahun 1929 oleh Edwin Land). Lembar Polaroid terdiri dari molekul panjang yang rumit yang tersusun paralel satu sama lain. Polaroid seperti ini berfungsi seperti serangkaian celah paralel untuk memungkinkan satu orientasi polarisasi untuk lewat hampir tanpa berkurang (arah ini disebut sumbu Polaroid), sementara polarisasi tegak lurus hampir terserap sempurna. Jika satu berkas cahaya terpolarisasi bidang jatuh pada Polaroid yang sumbunya membentuk sudut θ terhadap arah polarisasi datang, berkas akan terpolarisasi bidang yang paralel dengan sumbu Polaroid dan amplitudonya akan diperkecil sebesar cos θ. Dengan demikian, Polaroid hanya melewatkan komponen polarisasi (vektor medan listrik, E) yang paralel dengan sumbunya. Karena intensitas berkas cahaya sebanding dengan kuadrat amplitudo, kita lihat bahwa intensitas berkas terpolarisasi bidang yang ditransmisikan oleh alat polarisasi adalah I = I o cos2θ dimana θ adalah sudut antara sumbu alat polarisasi dan bidang polarisasi gelombang datang, dan I o adalah intensitas datang. Universitas Sumatera Utara Cahaya yang tidak terpolarisasi terdiri dari cahaya dengan arah polarisasi (vektor medan listrik) yang acak. Masing-masing arah polarisasi ini dapat diuraikan menjadi komponen sepanjang dua arah yang saling tegak lurus. Dengan demikian, berkas yang tidak terpolarisasi dapat dianggap sebagai dua berkas terpolarisasi bidang dengan besar yang sama dan tegak lurus satu sama lain. Ketika cahaya yang tidak terpolarisasi melewati alat polarisasi, satu dari komponen-komponennya dihilangkan. Jadi intensitas cahaya yang lewat akan diperkecil setengahnya karena setengah dari cahaya tersebut dihilangkan, I = ½I o (Giancoli,2001). Apabila radiasi garis-D natrium yang terpolarisasi linier memasuki larutan yang mengandung molekul senyawa kiral, antaraksi radiasi dengan molekul menyebabkan vibrasi radiasi terpolarisasi tersebut mengalami rotasi searah atau berlawanan arah dengan putaran jarum jam dan rotasi spesifik yang dihitung dapat digunakan untuk karakterisasi identitas dan kemurnian senyawa kiral tersebut. Polarimetri adalah pengukuran rotasi arah vibrasi radiasi terpolarisasi linier (bidang) pada waktu berantaraksi dengan molekul senyawa yang aktif optik. Aktivitas optik suatu senyawa bersumber pada struktur molekulnya yang tidak mempunyai bidang atau pusat simetrik. Ketidaksimetrikan itu mungkin merupakan struktur molekul bawaan yang disebut kiral, mungkin juga merupakan keistimewaan dari bentuk kristal yang tidak diberikan oleh fase larutan atau gasnya atau terdapat juga pada sebagian kecil dari konformasi molekul tertentu, seperti heliks polipeptida. Rotasi optik yang diakibatkan oleh senyawa kiral tergantung kepada tebal alur dan konsentrasi larutan yang dilewati radiasi terpolarisasi linier, panjang gelombang, jenis pelarut, pH, dan temperatur larutannya. Pengukuran rotasi optik pada umumnya distandarkan, menggunakan garis hijau raksa, 5461 A atau doblet kuning natrium, 5890 dan 5896 A, pada temperatur 20°C. Rotasi spesifik, [α], dihitung dari rotasi optik yang diamati,α, dengan rumus : Universitas Sumatera Utara b = tebal alur larutan dalam cm C = konsentrasi dalam g/L Polarimetri dengan radiasi sinar tampak dapat diamati dengan mata, tetapi jika menggunakan radiasi ultraviolet atau inframerah diperlukan fotodetektor. Pelarut yang digunakan untuk polarimetri pada umumnya air, tetapi dapat juga digunakan pelarut lain, seperti etanol, dioksan atau kloroform. Pelarut harus dapat melarutkan analit dengan baik, mempunyai kerapatan optik pada panjang gelombang pengukuran cukup kecil, hingga radiasi dapat mencapai detektor dengan cukup intensitas. Temperatur berpengaruh pada rotasi optik, karena mengubah konsentrasi dan kekuatan rotasi (rotatory power) dari molekul. Perubahan konsentrasi yang disebabkan oleh ekspansi termal, cukup berarti. Ketergantungan kepada temperatur dapat besar sekali, sehingga menyebabkan perubahan pada rotasi spesifik. Pada sebagian besar molekul senyawa, perubahan rotasi optik oleh temperatur disebabkan oleh perubahan kesetimbangan konformasi, hingga rotasi optik dapat digunakan untuk analisis konformasi molekul senyawa yang aktif optik (Satiadarma, 2004). 2.14 Penentuan Vitamin C secara Metoda Iodometri Iodin dalam medium yang alkalis dapat terkonversi dengan cepat menjadi hipoiodida. Hipoiodida dapat mengoksida aldosa,sedangkan untuk ketosa hanya sedikit yang mengalami oksidasi. Sampel yang telah dalam bentuk larutan ditambah iodin encer dan NaOH kemudian dicampur secepatnya (karena iodium dapat berubah menjadi iodat dan tidak reaktif terhadap gula dalam larutan alkalis). Setelah itu diasamkan dengan asam klorida atau asam sulfat dan dibiarkan beberapa menit. Kemudian kelebihan iodin dititrasi dengan larutan tiosulfat standar. Dalam keadaan optimal dan kondisi terkontrol hanya 1% dari ketosa yang ada dalam sampel teroksidasi sehingga tidak mempengaruhi dalam penentuan aldosa. Untuk memperbesar ketelitian penentuan cara ini maka adanya zat yang dapat mempengaruhi harus dihilangkan misalnya etanol, aseton, manitol, gliserin, Na laktat, Universitas Sumatera Utara Na format dan Urea. Zat-zat tersebut dapat bereaksi dengan iodin. Apabila dalam larutan yang ditera juga mengandung ketosa misalnya fruktosa, maka jumlahnya dapat ditentukan dengan cara-cara yang lazim digunakan misalnya dengan cara oksidasi dengan kupri setelah dilakukan penentuan gula dengan iodometri. Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basis akan berwarna biru sedang dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6-diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat dengan terjadinya pewarnaan. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan dengan vitamin C standar (Sudarmadji, 1989). Universitas Sumatera Utara