Analisis Bangunan Hukum dari Rancangan Perpres Tentang: TATA KELOLA REDUKSI EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT SERTA PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (REDD+) Oleh: Bernadinus Steni dan Sandoro Purba* 1. PENGANTAR Proses pembentukan kelembagaan transisional dalam isu sumber daya alam (SDA) mempunyai sejarah panjang di Indonesia. Ketika Soeharto jatuh, berbagai gerakan sosial memperkenalkan konsep transitional justice (keadilan transisional). Keadilan transisional setidaknya memiliki dua konsep yaitu: pertama, menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM di masa lalu melalui lembaga yang “belum tercemar” oleh kooptasi rezim totalitarian Orde Baru; kedua, merancang rumah yang memadai bagi Indonesia di masa depan. Konsep yang pertama sejauh ini terefleksikan dalam berbagai model desentralisasi dan check-balances antar lembaga pemerintah. Dalam penegakan hukum lahir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Kejaksaan (Komjas), Komisi Kepolisian (Kompol), dll. Akan tetapi, berbeda halnya dalam isu SDA, “kekaisaran” masa lalu belum sepenuhnya goyah. Bahkan secara substantif, paradigma penguasaan SDA sama sekali tidak bergeser dan masih tetap dalam penguasaan pengusaha bermodal besar yang juga telah masuk kedalam struktur negara melalui badan legislatif maupun jajaran birokrat. Negara, yang telah menjadi state-corporatism, tidak hanya mengatur dan mengurus sumber daya, tetapi juga memilikinya sendiri. Dalam praktiknya, kita mengetahui semua cerita horor yang terjadi selanjutnya di lapangan. Konsep “Hak Menguasai Negara” telah direduksi menjadi konsep picik, di mana “negara memiliki tanah, tambang, kebun, dll”. Melalui konsep picik ini kemudian negara menjadi ATM bagi para pejabat korup, politisi dan kronikroninya—yang juga merupakan pengusaha yang bergerak di berbagai sektor pertambangan, perkebuan dan pengelolaan hasil hutan. Melalui rezim perizinan, korupsi 1 menjalar dan membludak dari kantor hingga ke jalan raya. Tania Li, Noer Fauzi dkk menyebut modus kapitalisme model ini bergerak dan berawal dalam isu sumber daya alam, dikenal dengan concessionaries capitalism. Praktik ini berurat akar dalam institusi-institusi lama, termasuk Kementerian Kehutanan. Hal itu berawal sejak 1967, di mana Kementerian Kehutanan secara sistemik telah dipaksa oleh rezim berkuasa saat itu untuk menarik upeti untuk kepentingan kekuasaan politik Soeharto. Dalam membangun negara yang bersih dan demokratis di Indonesia, lembaga ini harus di‘laundry’. Prosesnya tentu tidak mudah. Akan tetapi di banyak negara, proses ‘laundrisasi’ dilakukan secara sadar sebagai bagian dari konsensus proses transisi menuju demokrasi. Bagaimana caranya? Dulu, dan masih berlaku hingga saat ini, MPR mengeluarkan TAP MPR No. IX/MPR/2001. Semangat keadilan transisional sebagian besar terakomodasi dalam TAP MPR ini. Mengacu pada TAP MPR tersebut, CSO mendorong realisasi Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Usulan mandatnya adalah menyelesaikan persoalan agraria di masa lalu dan menata penguasaan SDA untuk masa depan. Sembari KNuPKA bekerja, semua kewenangan problematis kementerian sektoral harus dibekukan agar memberi ruang bagi proses penyelesaikan yang efektif. Sayangnya, usulan ini tidak diterima oleh Presiden Megawati kala itu—yang memiliki jargon “membela wong cilik”. Meski pun demikian, ide ini kemudian merembet ke banyak tempat, termasuk ke masing-masing kementerian terkait. Secara berangsur di BPN, kemudian dibentuk suatu Direktorat penyelesaian konflik. Kemudian, di Kementerian Kehutanan dibentuklah Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Akan tetapi, kehadiran lembaga-lembaga ini tidak sepenuhnya merefleksikan gagasan “keadilan transisional”. Berbeda halnya dengan KPK, semua lembaga ini “ngintil” dengan lembaga yang justru harus menjadi sasaran pembaruan (Kehutanan, Tanah). Karena itu, mereka bergerak dalam ruang sempit dan juga seringkali seperti pemadam kebarakan untuk menyelesaikan kasus demi kasus. Lebih dari itu, kehadiran mereka digunakan sebagai simbol untuk melegitimasi klaim “reformasi kelembagaan” dari berbagai kementerian eksploitatif. Tidak jarang, lembaga-lembaga seperti ini malah juga dijadikan ‘objek jualan’ kepada donor sekadar untuk mendapat kucuran dana. Usulan lembaga yang otonom dalam desain REDD+ tidak lepas dari sejarah di atas. Argumen utama di belakangnya adalah tidak mungkin sebuah lembaga transisi yang 2 sehat bernaung di ketiak semangnya yang telah babak belur. REDD dengan segala simpang siurnya, tetap dilihat sebagai salah satu wadah. Dalam hal ini, kelompok CSO yang berada di jalur advokasi kebijakan, seperti HuMa, menggunakan nama REDD sebagai alat untuk mengaktifkan kembali “tidur panjang” keadilan transisional. Karena itu, isi dari lembaga ini sepatutnya tidak hanya mengunci dirinya dengan REDD tetapi juga menukik lebih dalam ke isu-isu yang belum tergawangi oleh model pembaruan yang fragmentatif selama ini. Ada tiga isu utama, dalam hal ini. Pertama, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang mencetuskan konflik agraria, perampasan hak atas tanah, dll. Kedua, kaji ulang hingga pencabutan kebijakan bahkan kelembagaan yang mengakibatkan persoalan di masa lalu. Ketiga, merancang gagasan pembaruan untuk masa depan yang lebih demokratis dan menghargai HAM. Tiga substansi ini mestinya terefleksi dalam lembaga REDD, jika ingin ada pembaruan yang radikal. Salah satu model pembaruan yang paling kongkrit misalnya, menghapus rezim perizinan yang sarat dengan pendekatan rente dan “hit-run capitalism”. Diganti dengan penguasaan berbasis distribusi SDA yang adil. Dengan mendasarkan pada penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengejawantahan program strategi REDD+ pada tataran nasional memerlukan dasar hukum yang kuat yang diserta kehendak politik yang kuat dari pemerintah. Dasar hukum yang kuat akan memberikan ruang gerak yang maksimal dalam penerapan di lapangan. Terutama jika fungsi pengerjaan Strategi Nasional tersebut harus dikerjakan oleh suatu Lembaga Negara bukan kementerian yang ada sekarang. Pemikiran bahwa Kemeterian Kehutanan sudah tidak mampu lagi mengemban fungsinya— yaitu penyelamatan hutan Indonesia dari kehancuran—telah tercitra dari berbagai kebijakan yang malah menghancurkan hutan dan merusak harmoni dalam masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan. Hal itu terjadi semata karena pola pikir Business as Usual (BAU) yang tak kunjung ditinggalkan oleh lembaga tersebut hingga saat ini. Oleh karena itu, timbul suatu pemikiran untuk memberikan suatu kewenangan pada suatu lembaga khusus untuk menjalankan program REDD+ tersebut. Dalam pembentukan lembaga ini, pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah bentuk lembaga dan bagaimana lembaga ini menjalankan fungsinya untuk mencapai strategi nasional REDD+. Saat ini telah ada satu rancangan Perpres yang hendak dijadikan sebagai 3 landasan berdirinya Badan REDD+ dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan padanya. Berikut ini beberapa aspek yang perlu dikaji lebih lanjut: 2. ANALISIS SUBSTANTIF TERHADAP PERPRES Secara garis besar, isi dari rancangan Perpres ini adalah sebagai dasar pembentukan kelembagaan REDD+ di Indonesia. Akan tetapi, dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan (konsiderans) ini menjadi tidak begitu jelas dan mengambang. Dalam konsiderans, yang dipaparkan adalah: a. bahwa penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut perlu dilakukan untuk mengurangi terjadinya pemanasan global yang berdampak pada kerusakan lingkungan; b. bahwa dalam rangka memenuhi komitmen sukarela Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% dengan kerjasama internasional pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (bussiness as usual/BAU), maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca; c. bahwa untuk menjalankan upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut serta memastikan kegiatan REDD+ berjalan secara efektif, efisien, adil dan berkelanjutan di Indonesia, diperlukan pengaturan secara khusus, termasuk pembentukan kelembagaan yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang menyeluruh, terpusat dan terkoordinasi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Kelola Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut Serta Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (REDD+); Sebagaimana halnya kebiasaan pembuatan peraturan perundang-undangan yang sepertinya sudah menahun di Indonesia, bagian menimbang hampir selalu tidak menjadi bagian yang diperhatikan dengan seksama. Padahal, bagian inilah yang menjadi pintu masuk untuk memahami alasan yang paling mendasar dari dibentuknya suatu peraturan. Sekaligus juga, bagian konsiderans merupakan landasan filosofis untuk membuat sebuah peraturan perundang-undangan. Sementara itu, salah satu pertimbangan dalam pembentukan Perpres ini adalah dalam poin c bagian menimbang, yang dinyatakan sebagai berikut: “untuk menjalankan upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut serta memastikan kegiatan REDD+ berjalan secara efektif, efisien, adil dan berkelanjutan di 4 Indonesia, diperlukan pengaturan secara khusus, termasuk pembentukan kelembagaan yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang menyeluruh, terpusat dan terkoordinasi” Berdasarkan hal di atas, kata kunci yang menggambarkan lembaga tersebut adalah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang menyeluruh, terpusat dan terkoordinasi. Sementara itu, apabila rancangan Perpres ini dicermati lagi, pembacanya akan memerlukan pemahaman lebih mendalam mengenai hubungan antara lembaga negara/Kementerian terkait dengan Badan REDD+ apabila kelak ia dibentuk. Hal ini penting karena upaya penurunan emisi karbon tidak akan terealisasi sesederhana membentuk suatu badan dengan nama baru dengan rincian tugas yang bersifat normatif. Sementara itu, hubunganhubungan di antara badan baru yang akan dibentuk dengan lembaga-lembaga berwenang lain yang telah ada tidak diperinci dengan jelas beserta langkah-langkah koordinasi kongkritnya di lapangan. Pengaturan yang rinci dan jelas mengenai wewenang dan tanggung jawab badan ini dalam batang tubuh tidak juga memberikan kepastian ke mana badan yang akan dibentuk ini akan bermuara, sebagaimana halnya bagian menimbang yang juga tidak begitu jelas. Beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait pengaturan dalam batang tubuh rancangan peraturan presiden ini adalah sebagai berikut: a. Tidak ada kejelasan bentuk koordinasi yang hendak dilaksanakan antara Badan REDD+ nantinya dengan berbagai kementerian terkait; b. Tidak ada pasal yang mengatur mengenai kewajiban dari kementerian terkait untuk mematuhi setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Badan REDD+; c. Tidak ada aturan mengenai sejauh mana Badan REDD+ dapat mengintervensi kebijakan Lembaga/Kementerian dan Pemerintah daerah; d. Tidak ada mekanisme yang mengatur bagaimana setiap kebijakan REDD+ akan diadopsi atau akan diejawantahkan dalam kebijakan pemerintah daerah nantinya; e. Tidak ada mekanisme antisipasi penyelesaian sengketa yang kemungkinan terjadi selama penerapan STRANAS REDD+ di Indonesia; f. Tidak ada pengaturan yang lebih rinci mengenai norma-norma yang disebutkan dalam bagian Mengingat rancangan Perpres ini. Padahal, ada 18 Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan norma dasar dalam rancangan pembentukan Perpres; 5 Sebagaimana tujuan dari Stranas REDD+ yang hendak dikembangan dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau, maka hal yang perlu dipertimbangkan sejak awal adalah hubungan struktural antara Badan REDD+ dengan Lembaga Negara/Kementerian dan Pemerintah Daerah. Sementara itu, dalam peraturan ini tidak ada pasal yang mengatur mengenai hal yang substansial ini. Padahal, mandat Badan REDD+, yang salah satunya adalah menjadi DNA (Designated National Authority), agar dapat berjalan sesuai dengan Stranas REDD+ perlu untuk diimbangi dengan adanya kejelasan aturan mengenai hubungan antara Badan REDD+ itu sendiri dengan Kementerian dan Pemerintah Daerah yang terkait. Pengaturan ini diperlukan karena pada dasarnya, fungsi yang hendak dijalankan oleh Badan REDD+ tersebut secara hakiki telah ada pada kementerian terkait seperti Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Akan tetapi, fungsi tersebut tidak dapat berjalan dengan baik akibat beberapa kementerian tersebut sedang ‘sakit’. Dengan ‘sakit’-nya lembaga negara yang semestinya menjalankan Stranas REDD+ ini, perlu adanya ketegasan sikap dalam membuat aturan yang melandasi berdirinya Badan REDD+ ini. Dengan demikian, tidak ada tarik menarik kewenangan antara Badan REDD+ dan kementerian terkait yang dapat menghambat kinerja pengejawantahan REDD+ di Indonesia. Dengan substansi Perpres yang ada saat ini, belum tercermin bahwa STRANAS REDD+ akan bisa dijalankan dengan maksimal. Terlebih lagi, tidak jelasnya posisi Badan REDD+ ini dalam struktur pemerintahan Indonesia akan menambah gelapnya masa depan penyelamatan hutan di Indonesia. 3. ANALISIS FORMIL TERHADAP PERPRES Pembentukan Badan REDD+ yang diharapkan dapat membawa titik terang dalam upaya deforestasi hutan dan degradasi hutan dengan berbekalkan PERPRES memiliki dasar yang tidak terlalu kuat. Lembaga sekelas Badan REDD+, dengan fungsi untuk “mengatasi deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi” paling tidak akan berhubungan dengan berbagai macam lembaga seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertambangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perindustrian. Semua lembaga yang disebutkan belakangan memiliki kewenangan yang memungkinkan 6 lembaga tersebut untuk mengeluarkan kebijakan terkait kawasan hutan maupun lahan dengan hutan di atasnya. Pertanyaannya kemudian, bagaimana produk kebijakan yang dikeluarakan oleh Lembaga Negara/Kementerian (yang dibentuk dengan undang-undang) akan dipertentangan dengan peraturan Kepala Badan REDD+ (yang dibentuk dengan Perpres). Salah satu pengaturan terkait hubungan di antara Badan REDD+ dengan lembaga lainnya, yang terdapat rancangan Perpres ini adalah dalam Pasal 19, yaitu berikut ini: “Ketentuan mengenai tata kerja, hubungan, dan mekanisme koordinasi kerja Badan REDD+ dengan Kementerian/Lembaga, Kepala Daerah Provinsi dan Kepala Daerah Kabupaten/Kota serta pemangku kepentingan lainnya, diatur oleh Kepala Badan REDD+.” Oleh karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana kedudukan Peraturan Kepala Badan REDD+ ini dapat mengintervensi kebijakan pada Kementerian/Lembaga serta Kepala Daerah? Perlu diantisipasi jauh sebelumnya mengenai efektivitas dari Badan REDD+ dengan kewenangan yang dibebankan kepadanya. Sebab, fungsi yang hendak dijalankan secara terpusat dan terkoordinasi oleh Badan REDD+ ini adalah kewenangan-kewenangan yang sebelumnya telah menyebar dalam beberapa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah daerah. Maka dari itu, Badan REDD+ ini sebenarnya hendak diwujudkan sebagai lembaga “extraordinary” tetapi sangat kelihatan pengekerdilan fungsinya dengan pengaturannya hanya dengan Perpres. 4. PENUTUP Dari sisi substansi, Rancangan Perpres ini sepertinya mengecilkan tema besarnya, Di mana, dalam judulnya dinyatakan: “Tata Kelola Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan Dan Lahan Gambut Serta Pelestarian Keanekaragaman Hayati Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat”. Sementara itu, dalam batang tubuh, sepenuhnya yang dibicarakan hanyalah soal pembentukan Badan REDD+ tanpa merinci dengan jelas berbagai hal sebagaimana mana norma dasar yang menjadi rujukan utama dalam rancangan pembentukan Perpres ini, yang termuat di dalam bagian Mengingat. Oleh karena itu, perlu ada penguatan substansi untuk merinci norma-norma hukum yang dijadikan dasar dalam bagian Mengingat rancangan Perpres ini. Dari sisi formil, harus pula dipertimbangan landasan hukum apa yang paling tepat untuk dipergunakan dalam pembentukan Badan REDD+ dengan kewenangan yang tergambar 7 dalam Stranas REDD+, terutama dalam kaitannya dengan hubungan di antara Badan ini dan Kementerian-Kementerian lain yang dibentuk dengan Undang-Undang. Dalam bentuknya yang sekarang, kewenangan Badan REDD+ yang sedianya akan dilandasi dengan Perpres akan tidak memungkinkan untuk mengintervensi atau melakukan fungsi koordinasi yang sejajar. *Staf Program Kehutanan dan Perubahan Iklim Perkumpulan Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) 8