Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009

advertisement
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
ISSN: 0216-9290
T. Irmayani
Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009
Perolehan Suara Partai Politik di
Kabupaten Langkat Tahun 2009
T. IRMAYANI
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8211965
Diterima tanggal 31 Agustus 2009/Disetujui tanggal 31 September 2009
The General Election in 2009 has been completed in Indonesia, included in Langkat Regency.
There is an interesting phenomenon of the conduct of these elections. This study uses political
behavioral approach and institusional. This study aimed to look at the votes of political parties
in the years 1999-2009. Then, describe the phenomenon of people's choice in the legislative
elections in Langkat. The results show that in election years 1999, 2004 and 2009, always going
changes in the direction of votes of voters. If in the year 1999 the Indonesian Democratic Party
of Struggle (PDIP) is winning, the most votes in 2004 were replaced by the Golkar Party
(Partai Golkar). Next General Election (2009) in the Langkat Regency show the emergence of
the Democratic Party (Partai Demokrat) as the party most votes miners. These results indicate
that voter’s choices at Langkat Regency are difficult to conjecture. So that it can be said the
election results in Langkat follow the election result in national stage.
Keywords: General elections, Political parties, Direction of vote.
Pendahuluan
Dalam ilmu politik, dikenal dua macam cara
pemahaman fenomena politik. Pemahaman
pertama adalah pemahaman secara normatif
biasanya tercermin dalam konstitusi pada
masing-masing negara, sedangkan cara pemahaman kedua adalah melalui pemahaman
secara empiris, yakni bagaimana melihat
makna demokrasi itu dalam perwujudannya
dalam kehidupan politik. 1
Untuk merealisasikan gagasan demokrasi yang
normatif dan tampak menjadi kenyataan (demokrasi secara empiris) maka pemerintahan
harus dijalankan dengan kehendak rakyat
(will’ og the people). Otoritas suatu pemerintahan akan bergantung kepada kemampuannya untuk mentransformasikan kehendak
rakyat ini sebagai nilai tertinggi di atas kehendak negara (will of the state). Atas izin
terwujud dengan keberadaan lembaga perwakilan rakyat (legislatif).
Oleh sebab itu kedudukan lembaga perwakilan menjadi penting sebagai badan legislatif
atau sebagai refleksi atas kedaulatan rakyat
itu. Hal ini dipandang bahwa dewan perwakilan rakyat sajalah yang memiliki wewenang untuk mengartikulasikan kehendak rakyat kedalam bentuk peraturan.
Badan legislatif sebagai representasi partaipartai politik mempunyai tanggung jawab
yang besar atas kepercayaan yang sudah diberikan oleh rakyat melalui pemberian secara
dengan sarana pemilu. Sebagai badan legislatif yang merupakan salah satu lembaga de-
1
Afan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
hal. 3.
13
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
ISSN: 0216-9290
T. Irmayani
Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009
mokrasi maka, dituntut untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya. 2
Pemilihan Umum (Pemilu) pada dasarnya
merupakan ajang pertemuan dan persetujuan
diantara massa, rakyat, untuk menentukan
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen, sebuah pertemuan dan persetujuan
tentu saja mengasumsikan adanya kesamaan,
baik dalam pandangan maupun kepentingan
seluruh warga sipil yang memiliki hak dalam
memilih. Dalam prosesnya, pemilih harus
memegang suatu otoritas penuh sehingga ia
memilih dengan penuh kesadaran, kepahaman, dan tanpa paksaan. Dengan kata lain, pemilih tidak lain dari representasi pilihan atau
sikap politik rakyat. Keputusan politik yang
rasional dan merdeka tentu mengandalkan
tersedianya ruang politik (political space)
yang menjadi landasan dan ruang kebebasan
untuk menentukan sikap.
Pemilu yang rasional dan merdeka bukan sekedar mengenal tanda gambar dan sejumlah
prosedur pencoblosan, namun diawali oleh
pengenalan, kedekatan, penerimaan, bahkan
komitmen terhadap sebuah parati yang dipilih atau orang-orangnya. Berdasarkan pemikiran dan pengalaman pemilu, maka pemlu
2009 yang baru terjadi dilakukan dengan sistem proporsional murni (dengan sistem suara
terbanyak). Melalui penentuan kursi dengan
sistem suara terbanyak ini diharapkan para
wakil rakyat dan konstitusinya mempunyai
kedekatan sehingga para wakil rakyat lebih
dapat merespon kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang diwakilinya.
Pemilu pertama masa Orde Baru tahun 1971
dirancang untuk mencapai tujuan ganda,
menformalkan sistem politik pada setiap
tingkat didominasi oleh birokrasi, dengan
Presiden Suharto dan Angkatan Bersenjata
memegang kendali kekuasaan tetap berbagi
dengan pejabat sipil dalam pelaksanaan dan
pengambilan keuntungan, dan melegitimasikan sistem tersebut sebagai pengejawantahan
Indonesia dari prinsip kedaulatan rakyat di
mata pendukungnya dan dunia. 3 Pemilu sela-
ma Orde Baru (1971 – 1997) di Kabupaten
Langkat terbagi ke dalam organisasi sosial
politik yang memiliki perbedaan ideologi,
ada yang berdeologi nasionalis dan ada yang
berideologi Islam. Dan selama itu pula setiap
pemilu selalu dimenangkan Golkar. Tak bisa
dipungkiri, bahwa pada rezim orde baru pegawai negeri memegang peranan penting dalam perolehan suara golkar yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan perolehan
partai-partai politik yang lain. Wajib hukumnya bagi setiap pegawai negeri untuk memilih Golkar.
Memasuki era Reformasi pemilu dilaksanakan dengan semangat kebebasan bebas dari
tekanan aparat, sehingga bisa berlangsung secara adil, jujur, dan demokratis. Dengan dibukanya cara kebebasan bagi warga untuk
berpolitik maka pada tahun pemilu 1999
muncul 48 partai, tahun 2004 diikuti 24 partai dan pada pemilu 2009 dimeriahkan dengan 38 partai nasional dan 6 partai lokal
(Nangroe Aceh Darussalam).
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah
satu media bagi kebebasan politik rakyat dalam mengekspresikan kedaulatannya. Pelaksanaan pemilu bisa dikatakan sebagai demokrasi secara langsung, karena melalui pemilu
rakyat dapat menggunakan kedaulatannya
yang tertinggi, dalam artian rakyat berperan
secara langsung dalam pengambilan keputusan negara. 4 Pemilu menjadi prasyarat dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara demokratis untuk menjamin agar terselenggaranya perubahan kekuasaan pemerintahan secara teratur, terkonsep dan damai sesuai dengan mekanisme yang diatur dan dijamin oleh konstitusi.
Menurut Samuel P. Huntington, prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetititf oleh rakyat yang
mereka pimpin. 5 Pernyataan Huntington ini
menekankan pada pelaksanaan pemilu harus
jujur dan adil dalam setiap kompetisi para
peserta pemilu dan diharapkan dapat menghasilkan lembaga-lembaga demokrasi yang
ditempati. Oleh para wakil rakyat yang pada
2
David E Apter, Pengantar Analisa Politik,
(Jakarta: Rajawali, 1988), hal. 217.
3
R. William Lidde, Pemilu-pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik, (Jakarta: LP3ES,
1992), hal. 63.
14
4
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik,
(Jakarta: PT Gramedia, 2005), hal. 17.
5
Samuel P Huntington, Gelombang Demokrasi
Ketiga, (Jakarta, Grafiti Press, 1995), hal. 4.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
ISSN: 0216-9290
T. Irmayani
Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009
akhirnya berpihak serta berjuang untuk kepentingan rakyat. Tidak kurang pentingnya,
dalam konteks ini ialah prinsip yang menyangkut sistem prosedural pemilihan formal, yang mencakup aturan-aturan tentang
hak untuk memilih dan aturan tentang bagaimana suara itu dihitung. Tujuannya ialah agar dalam prinsip tidak ada seseorang pun
dari warga negara yang seringkali hak pilihnya dan tidak satupun yang terbuang sia-sia,
baik dalam arti perhitungan kuantitatifnya
maupun bobot nilai jenis pilihan yang oleh
setiap orang lewat suaranya itu.
Pemilihan Umum Tahun 2009 di Kabupaten
Langkat Provinsi Sumatera Utara berlangsung dengan semangat yang ideal sebagaimana pemilihan umum di tempat lain di Indonesia. Pemilihan umum tersebut dilaksanakan
dengan kompetitif serta diikuti oleh banyak
partai politik. Sebagai dampak dari kebebasan rakyat dalam menentukan pilihannya maka semakin tersebarlah suara masyarakat pada partai politik peserta pemilu yang ada. Jika pemilu pada masa orde baru suara pemilu
berpihak kepada Partai Golkar, maka pasca
reformasi Partai Golkar tidak lagi menjadi
sasaran pilihan masyarakat Kabupaten Langkat. Meski demikian pilihan masyarakat
menjadi sangat dinamis pada setiap pelaksanaan pemilu.
Hasil pemilihan umum tahun 1999 dan hasil
pemilihan umum tahun 2004 memperlihatkan
fenomena tersebut. Jika di tahun 1999 partai
PDI-P menjadi sasaran pilihan masyarakat,
maka di tahun 2004, Partai Golkar kembali
menjadi sasaran pilihan masyarakat. Studi ini
akan melihat perolehan suara partai politik di
tahun 1999-2009 untuk menggambarkan fenomena pilihan masyarakat pada pemilu legislatif di Kabupaten Langkat.
Pendekatan dan Metode
Studi ini menggunakan pendekatan prilaku
politik dan prilaku kelembagaan. Fokus studi
ini adalah perolehan suara partai politik pada
pemilihan umum legislatif khususnya DPRD
tahun 2009. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah studi pustaka dan studi dokumen. Analisis menggunakan analisis perbandingan antara pemilu 1999, 2004, dan
2009.
Profil Kabupaten Langkat
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada masa Kolonial Belanda, Status Kabupaten Langkat berbentuk keresidenan dan kesultanan (kerajaan). Pemimpin pemerintahan dikenal dengan istilah Residen
yaitu Morry Agesten. Kedudukan Residen ini
berada di Binjai dengan kewenangan yang
berbeda dengan Sultan Langkat. Jika Sultan
Langkat bertugas di bidang orang-orang asli
(pribumi) maka Morry Agesten mengurus orang-orang asing saja.
Pada periode 1965 sampai dengan 1946 terdapat tiga orang Sultan yang mengurus Kesultanan Langkat. Sultan pertama bernama
Sultan Haji Musa Almahadamsyah (18651892). Kemudian dilanjutkan dengan masa
kepemimpinan Sultan Tengku Abdul Aziz
Abdul Jalik Rakhmatsyah (1893-1927) dan
terakhir kepemimpinan Sultan Tengku Abdul
Aziz Abdul Jalik Rakhmatsyah dilanjutkan
oleh Sultan Mahmud (1927-1945/46).
Jika dilihat dari latar belakang sejarahnya,
Kabupaten Langkat merupakan wilayah yang
terbentang antara sungai Seruwai atau daerah
Tamiang sampai ke daerah aliran anak sungai
Wampu. 6 Sementara asal muasal dari kata
langkat sebenarnya bermula dari nama sejenis pohon yang dikenal penduduk Melayu setempat dengan sebutan “pohon langkat” yang
tumbuh dipinggiran sungai langkat. Karena
fenomena inilah pada akhirnya kerajaan yang
ada diwilayah ini disebut Kerajaan Langkat. 7
Pembentukan Kabupaten Langkat secara yuridis adalah berdasarkan Undang-Undang
Darurat Nomor 7 Tahun 1965, yaitu tentang
Pembentukan Daerah Otonom KabupatenKabupaten dalam lingkungan Provinsi Sumatera Utara. 8 Posisi geografisnya terletak pada
koordinat 30 14” sampai 40 13” Lintang Utara
970 52” sampai 980 45” Bujur Timur. Bagian
Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh
Timur dan Selat Malaka. Sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Karo. Pada sisi
Timurnya berbatasan dengan Kabupaten Deli
Serdang dan Kotamadya Binjai, dan sebelah
6
M. Arif Nasution dkk, Struktur Ekonomi Kabupaten Langkat, (Medan, Unit Pengembangan Riset FISIP USU, 2002), hal. 5.
7
Ibid.
8
Ibid., hal. 37.
15
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
ISSN: 0216-9290
T. Irmayani
Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009
Barat berbatasan dengan Daerah Aceh. Secara keseluruhan luas wilayah Kabupaten
Langkat adalah 6.263,29 Km2 atau 7,10%
dari luas keseluruhan wilayah Provinsi Sumatera Utara. 9
Kabupaten Langkat dianggap strategis karena
merupakan tujuan imigrasi berbagai etnis.
Dampak dari hal ini adalah masyarakat di
Kabupaten Langkat terdiri dari berbagai etnis. Ada etnis Jawa, Melayu, Karo, Minangkabau, Kalimantan, Tapanuli dan lain-lain.
Tidak ada etnis yang sangat mayoritas di Kabupaten Langkat. Sedangkan dari segi komposisi keyakinan, maka agama Islam merupakan agama mayoritas penduduk Kabupaten
Langkat. 10
Kinerja KPU dan Partisipasi di Kabupaten
Langkat
Hak warga negara dalam menyalurkan pilihannya telah di jamin oleh undang-undang.
Sehingga warga negara benar-benar terdaftar
sebagai warga masyarakat dan sekaligus sebagai pemilih. Meski demikian, dalam pelaksanaanya kesalahan prosedur dapat menyebabkan hilangnya hak pilih seseorang. Dalam
hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu perlu menjadi
lembaga yang bertanggung jawab atas masalah tersebut. Oleh sebab itu keberhasilan demokrasi politik lewat pemilu, dan kualitas
pemilu tidak hanya ditentukan oleh kesadaran politik warga negara. Akan tetapi juga ditentukan oleh kualitas kinerja lembaga penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya harus berpedoman pada profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu. Profesionalitas berkaitan dengan kemampuan dalam menyelenggarakan setiap tahapan pemilu dengan
cermat dan teliti. Akuntabilitas berkaitan dengan kemampuan penyelenggara pemilu dalam bertindak sesuai dengan peraturan yang
ada dan dapat menafsirkan setiap peraturan
yang dibuat dengan benar dan bertanggung
jawab. Sedangkan efisiensi dan efektif berkaitan dengan kemampuan mengelola sum9
Ibid., hal. 6-7.
Ibid., hal. 10.
10
16
ber daya dan menggunakan waktu dalam setiap tahapan pemilu semaksimal mungkin.
Untuk mengukur ketiga variabel tersebut dapat dilihat dari hasil setiap tahapan pemilu
yang dibuat KPU mulai dari Daftar Pemilih
Tetap, Sosialisasi dan Hasil Pemilu.
Secara nasional KPU sebagai lembaga yang
bertanggung jawab penuh berhasil atau tidaknya pemilu dianggap gagal menghasilkan Pemilu yang berkualitas sehingga Pemilu 2009
dinilai sebagai pemilu terburuk sejak era reformasi, dibandingkan dengan Pemilu 1999
dan Pemilu 2004. Buruknya kinerja pemilu
tidak saja ditingkat pusat, akan tetapi kinerja
KPU daerah. Ketidakcermatan dan kurang telitinya KPU dalam memutakhirkan Daftar
Pemilih Tetap (DPT) menyebabkan banyak
warga yang memiliki hak pilih tetapi tidak
tercantum dalam DPT, membuat warga itu tidak dapat mengikuti pemungutan suara.
Grafik 1
PersentaseSuara sah dan suara tidak sah
Sumber: KPU Kabupaten Langkat
Minimnya informasi pemilu dan pendidikan
pemilih menghasilkan jumlah suara sah yang
rendah, yaitu 396.906 suara (86,62 persen)
sedangkan suara tidak sah mencapai 61.264
dari total pemilih di Kabupaten Langkat (lihat Grafik 1). Sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 254.123 (35,67
persen). Bandingkan dengan Pemilu 2004 dengan jumlah suara sah sebanyak 91,91 persen
dan tingkat golput hanya 19 persen dari total
jumlah pemilih (lihat Grafik 2). Dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi, sistem pemilu pertama yang sangat jauh berbeda dengan
sistem pemilu-pemilu sebelumnya ternyata
tingkat golput dan suara tidak sah sangat kecil pada Pemilu 2004. Ini menunjukkan KPU
Kab. Langkat sebagai penyelenggara pemilu
di daerah tidak bekerja secara efisien dan efektif dalam mensosialisasikan ajakan untuk
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
ISSN: 0216-9290
T. Irmayani
Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009
memilih dan cara memilih yang benar. Seharusnya dalam sosialisasi KPU Kabupaten
Langkat dapat bekerjasama dengan pemerintah
daerah setempat dan membuat rencana sosialisasi berjenjang mulai dari tingkat kabupaten,
tingkat kecamatan, hingga tingkat desa, kelurahan sampai tingkat dusun dan lingkungan.
Grafik 2
Persentase tingkat Golput
Sumber: KPU Kabupaten Langkat
Akuntabilitas KPU Kabupaten Langkat yang
kurang tampak pada kurangnya pemahaman
petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam menentukan secara
sah dan tidak sah saat penghitungan suara.
Amburadulnya rekapitulasi suara di tingkat
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sampai
pada rekapitulasi di tingkat kabupaten. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah pemilih yang
berbeda antara DPR, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten. Jumlah pemilih untuk
DPR sebanyak 458.170, pemilih untuk
DPRD Provinsi 457.818 sedangkan pemilih
untuk DPRD Kabupaten sebesar 458.342.
Seharusnya jumlah pemilih untuk seluruhnya
sama. Kalaupun berbeda yang lebih tinggi
seharusnya jumlah pemilih untuk DPR dan
DPRD Provinsi, bukan sebaliknya. Contoh ;
seorang dokter yang tinggal di Kotamadya
Binjai karena tugas ia harus memilih di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat pada hari
H. Ia hanya mendapat 3 (tiga) surat suara, yaitu surat suara DPR, DPD dan DPRD Provinsi, karena wilayah (daerah) pemilihan untuk
ketiga lembaga tersebut sama. Sedangkan untuk surat suara kabupaten ia tidak dapat karena bukan penduduk Langkat. Sekali lagi ini
menunjukkan ketidakprofesionalan anggota
KPU Langkat dalam menjalankan tugasnya.
Dinamika Hasil Pemilu Legislatif
Hasil pemilu 1999, memperlihatkan dengan
jelas polarisasi peta kekuatan politik baru di
DPRD pasca rezim Orde Baru. Golkar yang
selalu menjadi kekuatan mayoritas mutlak
selama pemilu-pemilu di bawah rezim orde
baru harus puas hanya dengan mendapat kursi sebanyak sembilan buah. Hasil pemilu
1999 tersebut merupakan justifikan kuatnya
tuntutan perubahan politik seperti dicerminkan di dalam dukungan yang diberikan cukup
besar terhadap partai-partai produk reformasi
seperti PDI-P.
Akan tetapi hasil kemenangan gemilang PDIP pada pemilu 1999 tidak dapat diraih pada
pemilu 2004, PDI-P harus puas dengan hanya memperoleh 8 kursi. Meskipun Golkar
tidak dapat kembali mendominasi perolehan
kursi di DPRD Langkat seperti yang selalu
dialami Golkar yang mendominasi perolehan
suara 70-80 persen selama enam kali pemiu
Orde Baru pada pemilu 2004 sebagai kekuatan lama Golkar kembali menunjukkan kemampuannya dengan menambah perolehan
suara 25 persen atau 12 kursi.
Dengan sistem pemilu yang melibatkan pemilih yang berhak secara luas bukan saja di
dalam pendaftaran kampanye, dan pengesahan suara, akan tetap di dalam pencalonan dan
sistem suara terbanyak pemilu tahun 2009
mengejutkan kita dengan munculnya partai
Demokrat meraup suara terbanyak. Dengan
sistem suara terbanyak diharapkan adanya
kontrol rakyat kepada partai dan calon, sehingga wakil rakyat yang dihasilkannya merasa wajib berjuang untuk kepentingan pihak
yang diwakilinya. 11 Dinamika politik masyarakat di Kabupaten Langkat bergerak mengikuti irama politik nasional. Meskipun harus
bersaing ketat dengan partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P)
suara rakyat diraup Partai Demokrat sangat
signifikan. Suara partai Demokrat meningkat
dari 5,21 persen di tahun 2004 menjadi 23,
99 persen pada pemilu 2009. sedangkan Golkar yang mendapat suara tertinggi di tahun
2004 sebesar 25, 01 persen turun tidak sampai separuh dari perolehan suara tahun 2004
yakni hanya 10,05 persen.
11
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Kekuasaan Politik dan Pembangunan,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Indonesia, 1995), hal.
171.
17
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
ISSN: 0216-9290
T. Irmayani
Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009
Tabel 1
Perolehan Suara Partai Politik (DPRD)
di Kabupaten Langkat Hasil Pemilu 2004
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nama Partai
Suara (%)
Partai Golkar
PDI-P
PPP
PBB
PKS
PAN
Partai Demokrat
PBR
PKPB
Partai Pelopor
PKB
PDK
Jumlah Total
25,01
16,73
11,83
5,06
5,01
5,52
5,21
4,86
2,83
3,03
2,48
1,43
Q
Kursi
12
8
4
3
4
3
3
3
2
1
1
1
45
Sumber: KPU Kabupaten Langkat
Tidak hanya suara Golkar yang turun. Fenomena serupa juga dilalui oleh PDI-P yang juga tergolong partai nasional besar. Bahkan
penurunan perolehan suara partai itu lebih
tragis. Jika diawal reformasi pada pemilu
1999 partai berlambang kepala banteng ini
meraih suara terbesar 43,38 persen, pada
pemilu 2004 meraup 16,73 persen, kini hanya 11,67 persen. Jika sebelumnya partai ini
menang di Luhak Langkat Hulu, dengan merebut 3 kursi, pemilu kali ini hanya berhasil
mendapat 2 kursi (lihat Tabel 1).
Tabel 2
Perolehan Suara Partai Politik (DPRD)
di Kabupaten Langkat Hasil Pemilu 1999
No
Nama Partai
Suara
(%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
PDI-P
Partai Golkar
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Amanat Nasional
Partai Bulan Bintang
Partai Keadilan dan Persatuan
Partai Kebangkitan Bangsa
Masyumi
Partai Demokrasi Kasih Bangsa
TNI/POLRI
Jumlah Total
43,38
22,95
12,33
6, 70
2,00
1,44
1,37
1,03
0,30
Q
Kur
si
18
9
5
3
1
1
1
1
1
5
45
Sumber: KPU Kabupaten Langkat
Dari dua puluh kecamatan yang ada di kabupaten ini ditambah tiga kecamatan pemekaran, mulai dari Luhak Langkat Hulu (Kec.
Bahorok, Kuta mbaru, Salapian, Sirapit, Sei
Binjai, Kuala dan Selesai), Luhak Langkat
Hilir (Kec. Binjai, Stabat, Wampu, Secangsang, Batang Saranyah, Padang Tualang, Sawit Seberang, Hinai dan Tanjung Pura) dan
Luhak Teluk Haru (Gabang, Brandan Barat,
Sei Lepan Babalan, Pkl Susu, Besitang, Pe-
18
matang Jaya didominasi oleh Partai Demokrat. Popularitas dan mesin politik partai Demokrat mampu merombak peta kemenangan
PDI-P di Luhak Langkat Hulu yang dikenal
sebagai basis Fanatik PDI-P.
Di sisi lain, partai yang bercorak Islam baik
yang mengusung idiologi Islam maupun
yang mempunyai basis massa tradisional
Islam perolehan suaranya tidak lebih dari 6
persen. Jika meneliti perkembangan politik di
kabupaten Langkat selama tiga penyelenggaraan pemilu era reformasi tampak kabupaten
ini memiliki karakteristik yang cenderung lebih cair. Masyarakat Melayu sebagai penduduk asli memiliki sifat yang terbuka bagi
pendatang menyebabkan, terjadi arus pendatang. Keragaman penduduk baik secara etnis maupun agama jadi modal cairnya wajah
politik di wilayah ini. Karakteristik, keterogenitas berpengaruh cukup signifikan terhadap dinamika politik di wilayah ini.
Pada waktu pemilihan umum di tahun 2004
masih ada partai Islam yang memperoleh
suara lebih dari 10 persen yaitu partai Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) (lihat tabel 1).
Bahkan pada saat pemilihan umum sebelumnya yakni di tahun 1999, PPP masih mampu
meraih 12 persen suara di Kabupaten Langkat. Lalu pada saat pemilihan umum tahun
2009, PPP hanya mampu meraih kurang lebih 5 persen suara. Suara Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai partai Islam lainnya berada di atas suara PPP pada saat pemilihan
umum 2009.
Penguasaan kekuatan politik berubah pada
setiap pemilu. Pada tahun 1999 wilayah ini
dimeriahkan oleh PDI-P dengan tiga kekuatan politik saat itu. PDI-P (43, 38 persen),
Golkar (22,95 persen) dan PPP (12,33 persen), namun pada pemilu 2004, PDI-P hanya
mampu mempertahankan 16,73 persen suara,
dan dominasi suara kembali direbut Golkar
yang meraup 25,01 persen. Pada pemilu 2009
perolehan suara Golkar turun tinggal hanya
10,05 persen dan partai Demokrat berhasil
memimpin dengan perolehan suara paling
besar.
Pemilu pada masa reformasi menunjukkan
dinamika politik yang cukup dinamis. Pada
pemilu 1999 partai politik yang berhasil me-
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
ISSN: 0216-9290
T. Irmayani
Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009
rebut kursi terbesar DPRD Kabupaten Langkat adalah PDI-P dengan 18 kursi. Pada pemilu 2004, PDI-P hanya mampu menduduki
8 kursi. Golkar berhasil merebut kursi terbanyak dengan 12 kursi. Sedangkan pada tahun
2009 Golkar dan PDI-P harus puas dengan
mendapat kursi masing-masing 6 kursi yang
menarik partai Hanura dan Partai Gerindra
sebagai partai pendatang baru mendapat kursi yang cukup baik, 4 kursi untuk partai Hanura dan 2 kursi untuk Gerinmdra. Sementara PKS yang sudah ikut pemilu dalam tiga
pemilu masa reformasi harus puas dengan 3
kursi (lihat Tabel 3).
Tabel 3
Perolehan Suara Partai Politik (DPRD)
di Kabupaten Langkat Hasil Pemilu 2009
No
Nama Partai
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Partai Demokrat
PDI-P
Partai Golkar
PBB
Partai Hanura
PAN
PPP
PKS
Partai Gerindra
PKPB
PDK
PKB
Partai Demokrasi Pembangunan
Total Jumlah Kursi
Suara
(%)
33,99
11,67
10,05
6,72
4,70
4,93
5,65
4,63
3,86
3,45
2,85
1,73
1,77
Q
Kursi
12
6
6
4
4
4
3
3
2
3
1
1
1
50
Sumber: KPU Kabupaten Langkat
Wajah-wajah baru mendominasi Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Langkat. Dari 50
kursi yang tersedia, sembilan orang adalah
wajah lama, dan sisanya 41 orang merupakan
wajah-wajah baru. Partai Demokjrat sebagai
partai pemenang pemilu kedua belas, kursi
yang mereka peroleh semuanya diisi wajah
baru. Golkar dan PDI-P yang meraih masingmasing 6 kursi ada wajah lama, PBB dengan
dua wajah baru dan dua wajah lama, dan
PKS yang mendapat 3 kursi satu wakilnya
merupakan wajah lama. Dari sisi latar belakang pendidikan wajah wakil rakyat di daerah ni masih didominasi tamatan SMA (60
persen), Sarjana (38 persen) dan pada
periode ini ada satu orang yang bergelar
Master (2 %), apabila periode sebelumnya
pendidikan akhir 45 orang serentang dari
SMA ada 65 persen D-3 hanya satu orang (2
persen) dan yang bergelar S-1 sebanyak 15
orang (33 persen) dari aspek profesi, corak
latar belakang pekerjaan anggota Dewan
yang baru relatif sama dengan sebelumnya,
yaitu didominasi oleh kalangan pekerja swasta. Salah satu perbedaan yang cukup kelihatan daripada periode sebelumnya adalah faktor usia wakil rakyat kabupaten Langkat yang
rata-rata lebih muda, yakni didominasi oleh
usia antara 35 sampai 45 tahun.
Penutup
Perolehan suara partai politik di Kabupaten
Langkat dari tahun 1999-2009 cukup cair.
Hal ini dibuktikan dengan silih bergantinya
partai yang memperoleh suara terbanyak pada tiga masa pemilihan umum legislatif
(DPRD) yaitu pemilihan umum 1999, pemilihan umum 2004 dan pemilihan umum tahun
2009. Jika di tahun 1999 PDI-P menjadi partai yang memperoleh suara terbanyak, maka
di tahun 2004 posisi tersebut digantikan oleh
Partai Golkar. Lalu pada pemilu legislatif tahun 2009 posisi Partai Golkar digantikan
oleh Partai Demokrat. Hasil perolehan suara
ini sama dengan fenomena perolehan suara
partai politik di tingkat nasional. Sehingga
dapat dikatakan bahwa hasil pemilu legislatif
(DPRD) tahun 2009 mengikuti irama perolehan suara partai politik di tingkat nasional.
Fenomena yang baru pada pemilu legislatif
di Kabupaten Langkat adalah munculnya kaum-kaum muda yang tentunya diharapkan
memiliki energi dan semangat baru yang
dapat mendorong pertumbuhan pembangunan di Kabupaten Langkat, dengan latar belakang pendidikan yang mayoritas masih didominasi oleh anggota legislatif berijazah SMA
(82 persen). Tentunya karena belum mempunyai pengalaman sama sekali soal legislatif,
anggota DPRD yang terpilih harus cepat belajar, cepat tanggap dan cepat paham akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil
rakyat.
Daftar Pustaka
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia, Transisi
Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Apter, David E. 1988. Pengantar Analisa Politik.
Jakarta: Rajawali.
Lidde, R. William. 1992. Pemilu-pemilu Orde
Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik.
Jakarta: LP3ES.
Surbakti, Ramlan. 2005. Memahami Ilmu Politik.
Jakarta: PT Gramedia.
Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Demokrasi Ketiga. Jakarta: Grafiti Press.
19
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.1|Januari 2010
ISSN: 0216-9290
T. Irmayani
Perolehan Suara Partai Politik di Kabupaten Langkat Tahun 2009
Sanit, Arbi. 1995. Sistem Politik Indonesia,
Kestabilan, Peta Kekuasaan Politik dan
Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Indonesia.
20
Nasution, M. Arif. dkk. 2002. Struktur Ekonomi
Kabupaten Langkat. Medan: Unit Pengembangan Riset FISIP USU.
Download