(precausinary approach) dan kelestarian.

advertisement
V. RAPAT KOORDINASI PENEGAKAN HUKUM BIDANG PEMANFAATAN DAN PERDAGANGAN TUMBUHAN
DAN SATWA LIAR TAHUN 2010 DI AMBON PROVINSI MALUKU PROVINSI PADA TANGGAL 5 AGUSTUS
2010
Indonesia sebagai salah satu negara mega-biodiversity telah memiliki komitmen untuk melestarikan pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar yang ada secara berkelanjutan, dengan meratifikasi Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978, yang
selanjutnya membawa konsekuensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan pemerintah Indonesia
harus mengikuti ketentuan-ketentuan CITES.
Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar merupakan rangkaian dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya berazaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati secara serasi dan
seimbang yang dilakukan melalui kegiatan :
1.
Perlindungan sistem ekologis penting penyangga kehidupan;
2.
Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3.
Pemanfaatan secara lestari sumber dalam alam hayati.
Pengelolaan tumbuhan dan satwa liar sebagai suatu sumber daya alam hayati tersebut tersebar di berbagai tipe
habitat yang terdapat di dalam wilayah Indonesia, didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, beserta peraturan pelaksanaannya, khususnya
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Permasalahan yang terdapat dalam bidang pemanfaatan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar, adalah sebagai
berikut :
1.
Lemahnya peraturan perundangan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya seperti
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Status perlindungan fauna dan flora dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 belum
mengakomodasi klasifikasi perlindungan fauna dan flora sesuai ketentuan CITES dan belum mengatur sanksi
bagi pelanggaran pemanfaatan jenis- jenis yang tidak dilindungi.
2.
Data dasar potensi TSL guna pemanfaatannya (dari luar kawasan konservasi) masih lemah dan belum
sepenuhnya menggunakan Non Detrimental Finding. Penetapan kuota dilakukan melalui prinsip kehati-hatian
(precausinary approach) dan kelestarian.
3.
Dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara komersial, pelaksanaannya masih sangat tergantung
kepada permintaan pasar dan nilai dari sumber daya alam hayati masih dinilai sangat rendah.
4.
Kriteria/standar nasional tentang pengelolaan penangkaran dan lembaga konservasi (LK) belum ada. Begitu
juga tentang Tim Akreditasi penilai kinerja penangkaran dan Lembaga Konservasi belum ada.
5.
Kurang sinkronnya kebijakan pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU dan tidak masuk
Appendiks CITES. Selama ini pelaksanaannya dilakukan DKP sehingga sulit kontrolnya. Pola pemanfaatan biota
laut/air tawar yang tidak dilindungi UU namun masuk Appendiks CITES juga belum jelas (contoh: Labi-labi dan
Kura-kura). Keterlibatan PHKA selama ini karena kapasitas PHKA sebagai Management Authority CITES.
6.
Belum mantapnya sistem dan koordinasi pengendalian dan pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa liar
dengan instansi terkait, khususnya di daerah terbatas di bandar udara dan bandar laut, mengingat sampai
dengan saat ini Departemen Kehutanan tidak termasuk dalam tugas Custom, Immigration and Quarantine
(CIQ).
Agar Penegakan Hukum Bidang Pemanfaatan Dan Perdagangan Tumbuhan Dan Satwa Liar Tahun 2010 dapat
sejalan dengan visi dan misi serta kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan, maka perlu dilakukan koordinasi baik
antar pusat dan daerah maupun antar instansi terkait di daerah melalui acara rapat koordinasi. Maksud
dilaksanakannya rapat koordinasi ini adalah koordinasi antar para pihak terkait dalam rangka penegakan hukum
bidang pemanfaatan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah
terwujudnya kesepahaman dan kesepakatan serta komitmen dari berbagai pihak dalam penegakan hukum bidang
pemanfaatan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar.
SATWA YANG BIASA DIPERDAGANGKAN
Pokok-pokok rumusan yang disepakati dalam Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Bidang Pemanfaatan dan
Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar Tahun 2010 dapat diuraikan sebagai berikut :
A. PEMANFAATAN DAN PERDAGANGAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR (TSL)
1.
Pemanfaatan dan perdagangan TSL agar mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Beberapa peraturan perundang-undangan (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kehutanan, Peraturan
Direktur Jenderal) yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, agar segera direvisi dengan
mengakomodir usulan-usulan dari Daerah.
3.
Sosialisasi dan penyuluhan perlu lebih ditingkatkan lagi oleh Balai KSDA Maluku maupun Balai Taman
Nasional Manusela, Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan instansi terkait lainnya sesuai bidang
tugasnya.
4.
Perijinan pelepasliaran TSL dari daerah asalnya agar dipermudah oleh Pemerintah Daerah dan instansi
terkait lainnya.
5.
Perlu ada koordinasi dan komunikasi yang intensif dengan Pemerintah Daerah setempat dalam rangka
pemanfaatan, perdagangan, pelepasliaran TSL dan penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan.
6.
Perlu segera rasionalisasi Sumber Daya Manusia, sarana dan prasarana dalam rangka penguatan kapasitas
kelembagaan Balai KSDA Maluku, Balai Taman Nasional Manusela dan Balai Taman Nasional Aketajawe
Lolobata.
7.
Penempatan petugas/Polisi Kehutanan/Pengendali Ekosistem Hutan di lokasi-lokasi rawan/strategis dalam
rangka pencegahan perdagangan illegal TSL.
8.
Pemeriksaan terhadap peredaran TSL harus sesuai antara dokumen angkut (SATS-DN) dan fisik TSL dan
harus disertai dengan sertifikat kesehatan oleh Karantina Pertanian daerah asal.
9.
Informasi tentang jenis TSL yang dapat dimanfaatkan dan diperdagangkan masih kurang dipahami oleh
masyarakat sehingga perlu sosialisasi secara kontinyu.
10. Perlu ada kajian dalam rangka solusi konflik satwa liar dengan hasil kebun masyarakat.
B. PENEGAKAN HUKUM BIDANG TINDAK PIDANA KEHUTANAN/ TSL
1.
Ancaman terhadap keanekaragaman sumber daya alam hayati tumbuhan dan satwa liar perlu dijadikan isu
Nasional untuk mendapatkan dukungan publik secara luas.
2.
Pengawasan dalam penegakan hukum bidang pemanfaatan dan perdagangan TSL perlu ditingkatkan
seoptimal mungkin sekaligus sebagai upaya pemberian edukasi kepada masyarakat luas.
3.
Penegakan hukum bidang pemanfaatan dan perdagangan TSL masih lemah sehingga tidak menimbulkan
efek jera. Untuk itu perlu dibangun komunikasi dan koordinasi secara rutin dengan aparat penegak hukum.
4.
Pengawasan terhadap peredaran dan perdagangan TSL di bandar udara, pelabuhan laut dan terminal
lainnya perlu ditingkatkan dengan melibatkan pihak Karantina Pertanian, Karantina Ikan, Bea Cukai,
Imigrasi dan KP3 Pelabuhan Laut dan Udara, Polisi Perairan dan Udara, Administratur Pelabuhan serta TNI
Angkatan Laut.
5.
Para pemilik/pemelihara tumbuhan dan pengumpul/pedagang TSL yang illegal segera ditertibkan sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
6.
Penegakan hukum di lapangan dilakukan dengan mengedepankan pendekatan struktural, pendekatan
substansi dan pendekatan kultural yang didukung dengan komitmen aparat penegak hukum.
7.
Perlu dibangun jejaring kerja (network) dengan mitra kerja antara lain LSM, tokoh-tokoh masyarakat,
tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh agama, kader konservasi, kelompok pecinta alam dan Pramuka dalam
rangka membangun kesepakatan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam hayati di Maluku.
8.
Pelaksanaan pengamanan peredaran TSL akan dilakukan secara proporsional, profesional, kolaboratif,
sistematis, sinergis, tegas dengan memperhatikan skala prioritas.
9.
Perlu adanya dorongan dan motivasi kepada supplier untuk menjadi penangkar TSL secara profesional.
10. Perlu adanya dorongan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menerbitkan
Peraturan Daerah dalam rangka Perlindungan dan Peredaran TSL.
Download