Perlindungn Hukum Terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan hukum
Perlindungan hukum secara etimologi berasal dari 2 kata dasar yaitu
perlindungan dan hukum. Tidak mudah memberikan pengertian perlindungan
hukum dengan spesifik karena dalam kepustakaan hukum tidak memberikan
pengertian secara khusus dan tersendiri untuk perlindungan hukum. Namun
untuk menemukan pengertian yang relevan dapat di telaah dari beberapa
pengertian dari 2 ( dua ) kata tersebut.
Kata perlindungan dalam tata bahasa Indonesia adalah ; tempat berlindung,
hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungkan1. Sedangkan dalam hukum
materiil juga ditemukan kata perlindungan yang tertuang dalam dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah segala upaya yang ditujukan
untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak
keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau
pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Selain itu perlindungan yang tertuang dalam PP No.2 Tahun 2002 adalah
suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental,
kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari
pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sementara itu banyak pengertian mengenai hukum, namun yang cukup
relevan dengan penelitian ini salah satunya yaitu hukum adalah peraturan-
1
Kamus besar Bahasa Indonesia, Cetakan keempat, Balai Pustaka, 1993, Hal 252
peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan - badan resmi yang
berwajib. Hukum adalah himpunan peraturan yang di buat oleh yang
berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa
dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.2
Pengertian hukum menurut J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono
Sastropranoto, SH adalah :
Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badanbadan resmi yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, Hukum adalah
himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk
mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah
dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi
hukuman bagi yang melanggarnya.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum
itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan
proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataannya.3.
Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan dan hukum dapat
ditarik suatu pengertian lebih jelas bahwa perlindungan hukum merupakan
2
Makalah “Pengkajian Hukum Perlindungan Hukum Bagi Upaya Menjamin Kerukunan Umat
Beragama, Kementrian hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), 2011, Jakarta,
Hal. 44.
3
Putra, 2009, Definisi Hukum Menurut Para Ahli, www. putracenter.net, Download 21 Agustus
2012, 22.00 WIB.
segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman, adil, manfaat,
damai kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum yang berisi asasasas atau kaidah dibuat oleh badan-badan resmi ( institusi otorita ) yang
berwajib bekerja secara preventif maupun represif dalam tata kehidupan
masyarakat yang dengan ciri adanya perintah dan larangan serta mempunyai
sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
Dengan itu dapat dapat di artikan bahwa di dalam perlindungan hukum
terdapat jalinan pokok yang erat antar komponen di dalamnya yaitu asas –
asas atau kaidah ( agar ada kepastian hukum ), otoritas pelaksana ( lembaga/
institusi ), mekanisme pemberlakuan ( preventif maupun represif ) dan ada
sanksi ( pidana maupun administrative ) pada tiap peratura perlindungan
hukum, sehingga kekuatan mengikat hukumnya dapat dipaksakan dan
dipertangungjawabkan secara hukum.
2. Konsep Perlindungan Hukum
Konsep perlindungan hukum adalah implementasi eksistensi hukum
dalam
masyarakat
untuk
kepentingan-kepentingan
mengintegrasikan
seluruh
anggota
dan
mengkoordinasikan
masyarakat.
Pengaturan
kepentingan-kepentingan ini seharusnya didasarkan pada keseimbangan
antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi kepentingan
masyarakat. Tatanan yang diciptakan hukum baru menjadi kenyataan
manakala subyek hukum diberi hak dan kewajiban.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hak dan kewajiban bukanlah
merupakan kumpulan kaidah atau peraturan, melainkan perimbangan
kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin dalam
kewajiban pada pihak lawan, hak dan kewajiban inilah yang diberikan oleh
hukum. Secara leksikal, perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, hal
atau perbuatan, memperlindungi. Perlindungan diartikan sebagai perbuatan
memberi jaminan atau keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian
dari pelindung kepada yang dilindungi atas segala bahaya atau resiko yang
mengancamnya.4 Terdapat dua bentuk perlindungan hukum bagi rakyat yaitu
pertama ; perlindungan hukum preventif artinya rakyat diberi kesempatan
mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk
yang definitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, kedua ;
perlindungan hukum represif yang bertujuan menyelesaikan sengketa.5
Konsep perlindungan hukum dalam pola kerjanya merupakan subsistem
di dalam suatu sistem hukum dimana sistem hukum adalah suatu susunan atau
tatanan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari
suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan 6.
Dalam setiap konteks sistem hukum maka di dalamnya terdapat tiga
komponen yang sangat saling keterkaitan menurut Lawrwnce M Fredmen
(Ahmad Ali) yaitu 7:
1.
Struktur, yaitu keseluruhan institusi hukum yang menyangkut aparat
penegak hukumnya yang antara lain polisinya, kejaksaan dengan
para jaksa dan pengadilan dengan para hakimnya.
2.
Substansi yaitu keseluruhan aturan hukum dan asas hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan
pengadilan.
3.
Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, baik dari
para penegak hukum maupun warga masyarakat hukum dan
berkaitan dengan hukum.
Apabila ketiga faktor tersebut tidak dapat berjalan pada fungsinya masing
– masing akan menimbulkan penyakit hukum dan penyakit hukum itu dapat
menimpa ketiga komponen tersebut dan juga dapat menimpa satu persatu
4
5
6
7
http://ilmupengertian.blogspot.com/2013/02/konsep-perlindungan-hukum.html
Ibid, Hal. 45.
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986, hal 27
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Vol. I,
Jakarta: Kencana, 2009, hal 58
komponen dari ketiganya. Demikian juga dalam konsep perlindungan hukum
harus bekerja secara keseluruhan baik kaidah, institusi maupun kultur
hukumnya.
B. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SPESIES LANGKA FLORA
DAN FAUNA LIAR DALAM RANAH HUKUM INTERNASIONAL
1. Dasar Terbentuknya Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar
secara internasional diawali dari adanya perdagangan berbagai spesies flora
dan fauna untuk dijadikan berbagai kebutuhan hidup seperti : makanan,
pakaian, hiasan, obat-obatan dll. Dalam kurun waktu yang lama hewan-hewan
tertentu yang sangat diminati seperti harimau, singa, badak, beruang, ikan
paus, ikan duyung, burung elang serta masih banyak lagi, semakin lama
semakin sedikit bahkan beberapa hewan telah dinyatakan punah. Sudah diakui
oleh manusia bahwa banyak dari spesies -spesies tersebut memiliki nilai yang
sangat mahal dari berbagai segi. Perdagangan tersebut dilakukan di berbagai
Negara. Beberapa catatan kasus perdaangan flora dan fauna liar terjadi di
Afrika 19 cula badak yang dengan sengaja diberi label “suku cadangan’
dengan tujuan Eropa pada bulan November 1986, kemudian adanya “ impor
gelap” kulit buaya dalam jumlah yang amat besar oleh Jepang sebanyak 50
ton kulit “caiman” , dan perburuan anjing laut belahan utara di laut bebas yang
melibatkan Paraguay, Jepang, Sovet Rusia, dan Amerika Serikat pada tahun
1911 8. Dengan perdagangan spesies tersebut meyebabkan kelangkaan spesies
tertentu.
8
Koesnadi Hardjasoemantri, 1991, “Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya”, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, Hal. 268-270.
Indikasi terhadap penurunan populasi berbagai
spesies langka
akibat
perdagangan internasional tersebut mendorong masyarakat internasional untuk
mengatur perdagangan dan pemanenan spesies langka.9
Keinginan utuk memberikan perlindungan satwa liar dan fauna liar diawali
dengan berbagai perjanjian internasional yang mengatur masalah hewan (
khususnya ikan paus ) sejak tahun 1597 namun terbatas pada perjanjian
bilateral. 10 Perjanjian multilateral baru ditandatangani di tahun 1885 yaitu
Convention Concerning the Regulation of Salmon Fishing in the Rhine River
Basin di kota Berlin tanggal 30 Juni 1885. Walaupun perjanjian internasional
awal hanya mengatur mengenai masalah hewan, tetapi pada dasarnya konsep
filosofi dasar dari perjanjian tersebut adalah perlindungan terhadap satwa liar
dan fauna liar. namun perjanjian tersebut perjanjian internasional yang masih
bersifat sektoral, bilateral dan regional.
Dibawah ini akan disebutkan data beberapa perjanjian yang ditandatangani
antar negara antara tahun 1946 – 1972 :
Tabel 1
Perjanjian Internasional terhadap Satwa dan Fauna
NO
NAMA PERJANJIAN
TEMPAT
PENANDATANGANAN
1.
International Convention for the Regulation of Washington
WAKTU
PENANDATANGANAN
2 - 12 - 1946
Whaling
9
Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia (Jakarta: Japan
International Cooperation Agency, 2003), hal 9
10
Birnie, Patricia W & Alan E Boyle. 1992. International Law and the Environment, Oxford
University Press, New York, Hal 421.
2.
International Convention for the Northwest Washington
8 - 2 - 1949
Atlantic Fisheries
3.
International Convention for the Protection of Paris
18- 10- 1950
Birds
4.
Agreement Concerning Measures for the Oslo
7- 3 - 1952
Protection of the Stocks of Deep-Sea Prawns,
European Lobsters, Norway Lobsters and
Crabs
5.
Interim Convention on Conservation of North Washington
9 - 2 - 1957
Pasific Fur seals
6.
Agreement Between Hungary and Yugoslavia
Beograd
25 - 5 - 1957
Concerning Fishing in Frontier Waters
7.
Agreement Between Norway and the USSR on Oslo
22-11-1957
Measures for Regulating the Chatch and
Conserving Stocks of seals in the North
Eastern Part of the Atlantic Ocean
8.
Convention Concerning Fishing in the Waters Bucharest
29- 1 - 1958
of the Danube
9.
Convention on Fishing and Conservation of the
Geneva
29- 4 - 1958
Havana
1 - 12 - 1959
Oslo
15- 11- 1960
Living Resources of the High Seas
10.
Convention Between Cuba and the USA for the
Conservation of Shrimp
11.
Agreement Between Norway and Finland
Regarding New Fishing Regulations of the
Fishing Area of the Tana River
12.
Agreement on the Protection of the Salmon in Stockhlom
20-12 - 1962
the Baltic Sea
13.
Agreement Between Japan and the USA on
Washington
25-11 - 1964
King Crab Fishing off Alaska
14.
European Convention for the Protection of
Paris
13 -12- 1968
Brusels
10- 6 - 1970
Ramsar
2 - 2 - 1971
Ottawa
15-7 - 1971
London
2 - 6 - 1972
Tokyo
4- 3 - 1972
Animals During International Transport
15.
Benelux Convention on the Hunting and
Protection of Birds
16.
Convention on Wetlands of International
Importance, Especially as Waterfowl Habitats
17.
Agreement Between Canada and Norway on
Sealing and the Conservation of the Seal Stock
in the North-West Atlantic
18.
Convention for the Conservation of Antartic
Seals
19.
Convention Between Japan and the USA for
the Protection of Migratory Birds in Danger of
Extinction and Their Environment
Sumber Data : Kiss (1976) & Bernie (1994)
Selain perjanjian, perlindungan terhadap hewan pada mulanya juga sangat
dipengaruhi oleh beberapa publikasi yang memunculkan tumbuhnya gerakan
lingkungan hidup. Pada waktu itu studi-studi mengenai kehidupan alam mulai
tumbuh kembali oleh para penulis naturalis dan menumbuhkan
berbagai
gerakan lingkungan yang mempengaruhi lahirnya berbagai Taman Nasional
ini kelak akan juga mempengaruhi lahirnya organisasi internasional untuk
perlindungan dan pelestarian alam.
Seiring dengan itu tahun 1960-an muncul dorongan internasional
untuk lebih memperhatikan masalah perdaganga satwa ini dengan
mengeluarkan seruan yang mengatakan bahwa perdagangan internasional
satwa adalah perbuatan illegal. Seruan lembaga pemerhati konservasi
International Union for Conservation of Nature ( IUCN ) ini secara tidak
langsung mengarah kepada adanya permintaan untuk menciptakan mekanisme
kontrol impor untuk mencegah perdagangan yang ilegal, dimana perdagangan
ilegal diartikan sebagai perdagangan satwa yang dilakukan di dalam/di sektor
dari negara asal suatu spesies merupakan suatu tindakan pelanggaran dari
hukum suatu negara. Berdasarkan tekanan IUCN dan Konferensi Stockholm
dengan didasari premis bahwa perdagangan satwa harus dikontrol atau
dilarang berdasarkan daftar spesies terancam yang bersifat global, IUCN
meresponnya dalam General Assembly ke-11 pada September 1972 dengan
mengajukan rekomendasi dan resolusi yang mendorong semua negara untuk
berpartisipasi dalam pertemuan di Washington DC pada Februari 1973.
Akhirnya pada pertemuan delegasi yang jumlahnya sekitar 80 negara di
Washington D.C. Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, terbentuklah
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora), dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1975. Jika dilihat dari 80
negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu
langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara yang menghadiri
tersebut tersebut diantaranya adalah Argentina, Belgia, Brazil, Kosta Rika,
Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia,
Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand,
Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela.
CITES merupakan suatu konvensi yang mengatur perdagangan Internasional
dan sebagai media konservasi terhadap flora dan fauna yang terancam punah.
Hal ini dilakukan untuk melindungi spesies-spesies yang dilindungi dan
memaksimalkan kegunaannya bagi manusia di masa sekarang dan masa yang
akan datang.
Tujuan dan sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan
memastikan bahwa perdagangan internasional satwa tidak akan mengancam
satwa dari kepunahan.11
Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat
internasional, tetapi implementasinya pada tingkat nasional12 .
CITES merupakan suatu bentuk perjanjian atau traktat antar dua negara atau
lebih ( ilateral atau multilateral ) memiliki kekuatan mengikat apabila telah
diratifikasi oleh Negara pesertanya, dan setelah diratifikasi traktat memiliki
kekuatan hukum sama dengan undang – undang. 13 Traktat atau perjanjian
internasional termasuk dalam kategori sumber formal yang diartikan sebagai
tempat dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum14.
Konvensi
CITES sudah diratifikasi oleh 173 negara15, sejak Oman meratifikasinya pada
tanggal 13 Maret 2008, dianggap sebagai Magna Charta for Wildlife. Hampir
semua negara pengimpor dan pengekspor utama bergabung di dalamnya.
Konvensi ini menerima lebih banyak dukungan administratif serta perhatian
akan penegakannya dibanding dengan konvensi lainnya tentang konservasi.
Di bawah CITES, beban pengendalian perdagangan dengan tegas diletakkan
pada negara anggota. Sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian
internasional, CITES hanya mempunyai beberapa ketentuan penegakannya,
meskipun lembaga administrasinya, yaitu Sekretariat CITES, bertanggung
jawab untuk memonitor pelaksanaannya dan dapat membenkan tekanan
Internasional kepada pelanggar-pelanggar dengan meninjau pelanggarannya
dan menyoroti masalah pemenuhan kewajiban lainnya. Negara-negara
bertanggung jawab atas penegakan CITES dalam batas negaranya. Mereka
diharapkan untuk menjaga pelabuhan masuk dan kehuar, melaporkan tentang
perdagangan, dan menghukum pelanggar. CITES tidak berkaitan dengan
perburuan, perburuan gelap, atau perdagangan yang berlaku di dalam negara
itu
11
sendiri.
Peraturan
perundang-undangan
nasional
serta
CITES, Artikel III, Washington DC, 3 Maret 1973
Ibid,
13
R. Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum ( PIH ) , UKSW, 2000. Hal 83
14
Ridwan H. R, Hukum Administrasi Neara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006. Hal 61
15
Parties of the Convention , <http://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.shtml>,
12
kegiatan
penegakannya adalah amat penting bagi berhasilnya CITES dan bagi
konservasi spesies yang langka dan dalam bahaya kepunahan, yang
mempunyai nilai komersial16.
CITES adalah salah satu dari perjanjian Internasional yang dapat
dibantu oleh semua warganegara. Setiap orang membantu suksesnya CITES
dengan menolak membeli barang yang dibuat dari spesies yang dibahayakan.
Disamping itu seruan dari konsep perlindungan yang ada dalam CITES
adalah pernyataan keperdulian/keperhatian masyarakat adalah sangat kuat
pula dalam mempengaruhi pengusaha industri satwa liar dan penyusun
kebijaksanaan perdagangan di semua tingkat. Dukungan surat pembaca di
mass media yang mempersoalkan masalah perdagangan gelap satwa liar serta
komunikasi langsung dengan perusahaan yang mengiklankan produksinya
yang dibuat dari spesies yang dilindungi dan dengan para penjual produk
tersebut lebih memperkuat perlindungan terhadap spesies satwa dan fauna di
dunia. Pada akhir bukunya, Fitzgerald menyatakan bahwa ada alasan untuk
optimisme, meskipun banyak masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan
CITES.
Di negara berkembang, pengendalian perdagangan satwa liar dan
kegiatan konservasi, untuk sebagian besar, perlu meliputi pemberian insentif
ekonomi dalam menghadapi tekanan bagi penduduk guna mengeksploitasi
sumber daya satwa liar. Kegiatan peternakan untuk masyarakat setempat dan
penyelenggaraan taman nasional dengan daya tarik kuat untuk wisatawan
merupakan suatu kelengkapan yang memperkuat guna membenarkan adanya
perlindungan spesies, dihadapkan pada peningkatan kebutuhan manusia,
sehingga dengan demikian perlindungan spesies dapat berjalan serentak
dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang meningkat
16
William C. Burns, “CITES and the Regulation of International Trade in Endangered Species ofFlora: A
Critical Appraisal”, 8 Dick. J. Int'l L. 203, 208-10 (1990).
Melalui konvensi ini, setiap negara peserta wajib menjalankan
ketentuan-ketentuan di dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan
Nasional.
Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama melalui koordinasi
internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan mendasar untuk
menciptakan perlindungan bagi spesies yang terancam punah tersebut dari
eksploitasi berlebihan yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional.17
2. Pengklasifikasian Spesies
Dalam CITES pengklasifikiasian spesies didasarkan kepada apakah
suatu spesies terancam punah (ditinjau dari populasi dan lain-lain). Secara
umum menurut CITES ada 3 klasifikasi, yaitu :18
1.
Spesies yang ternacam punah yang akan atau bisa saja terpengaruh akibat
perdagangan yang dilakukan (Annex I)
2.
Spesies yang belum punah tapi jika diperdagangkan secara besar-besaran
akan mengalami kepunahan (Annex II)
3.
Spesies yang belum punah tapi harus dilindungi untuk mencegah
kepunahan akibat perdagangan (Annex III)
3. Pengaturan dan Klasifikasi perdagangan CITES
Secara keseluruhan, CITES merupakan konvensi yang berlaku sebagai
panduan umum untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan
segala jenis tumbuhan dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES
mengatur mengenai perizinan internasional, tindakan yang dapat dilakukan
oleh Negara anggota, perdagangan yang dilakukan oleh negara non-anggota,
konferensi Negara peserta, hubungan antara hukum internasional dan
peraturan domestik, dan amandemen terhadap konvensi itu sendiri. Konvensi
ini membagi perlindungan ke dalam tiga bagian yang termasuk di dalam
17
18
Butir 4 konsiderans CITES
Pasal 2 CITES
appendiks I, II, dan III yang setiap appendiks menunjukan status spesies
tersebut. Spesies yang di golongkan dalam Appendiks I adalah segala spesies
yang terancam yang mungkin diakibatkan oleh perdagangan internasional.
Appendiks II menunjukan spesies ayang pada saat ini belum terancam oleh
kepunahan namun dapat menjadi terancam apabila tingkat perdagangan
terhadap spesies ini meningkat. Spesies dalam appendiks III adalah kategori
spesies yang diatur dalam regulasi atau peraturan nasional negara anggota
untuk menghindari ancaman terhadap kepunahan.
C. DASAR
HUKUM
PERLINDUNGAN
FLORA
DAN
FAUNA
DI
INDONESIA.
Sejak adanya CITES, Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES dengan
Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978 yang kemudian memberikan
penguatan lahirnya perlindungan flora dan fauna di indonesia melalui
seperangkat peraturan yang satu dengan lainnya saling berkaitan, diantaranya
adalah :
1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Dalam Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) dasar hukum yang
dipakai dalam perlindunngan perlindungan satwa dan fauna liar tertuang
dalam tiap klausula Pyang meliputi pengambilan/penangkapan Tumbuhan
dan Satwa Liar (TSL) baik komersial maupun non komersial dari habitat
alam hanya dapat dilakukan di luar kawasan pelestarian alam (Taman
Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya), kawasan suaka alam
(Cagar Alam, Suaka Marga Satwa) atau taman buru, yang semua tercakup
dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 UUKH.
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UUPLH )
Peraturan UUPLH ini memberikan daya dukung yang mengatur
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga satwa dan
fauna liar yang merupakan bagian dari ekosistem lingkungan hidup
mendapatkan regulasi yang kuat dalam kelestariannya.
3.
Undang - undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Hutan merupakan media tinggal dan lingkungan sebagian besar satwa
liar dan fauna. Untuk memperkuat perlindungan terhadap satwa dan fauna
liar agar tidak punah harus memperhatikan keseimbangan lingkungan
ekosistem dalam hutan. Undang – undang kehutanan ini mengatur
perlindungan kawasan hutan mulai dari pemanfaatan, pengendalian,
konservasi, produksi, pengawasan dan sanksi dalam pemanfaatan hutan.
4.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan pemerintah ini juga berkontribusi dalam memperkuat
landasan hukum bagi perlindungan satwa dan fauna liar dengan cara
mengatur dalam pengelolaan kawasan suaka alam, pengelolaan pelestarian
alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, Satwa liar, Peran serta
masyarakat, Badan usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, badan usaha milik swasta dan koperasi yang terkait
dengan pelestarian alam.
5.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Peraturan
pemerintah
ini
mengatur
mengenai
pengawetan,
pengelolaan, budidaya satwa dan fauna liar.
6.
PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Liar.
Dalam peraturan pemerintah ini mengatur pengkajian, penelitian,
pengembangan,
penangkapan,
perburuan,
perdagangan,
peragaanpertukaran, budidaya, pengangkutan dan sanksi administratif
terhadap perburuan satwa buru
7.
PP No 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru
Peraturan pemerintah ini mengatur perlindungan satwa dan fauna liar
yang meliputi ; Satwa Buru, Taman Buru, Kebun Buru, Pengusahaan
kebun buru dan taman buru, Areal buru Musim buru
Akta Buru adalah
akta otentik yang menyatakan bahwa seseorang telah memiliki/ menguasai
kemampuan dan ketrampilan berburu satwa buru, perijinan, Pungutan izin
usaha kebun buru dan Iuran hasil usaha perburuan
8.
Peraturan Menteri Kehutanan
No : P. 57/Menhut-II/2008
Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional tahun 2008 – 2018
Peraturan menteri ini memberikan delegasi untuk membentuk dan atau
menunjuk institusi baik dari unsur pemerintahan ataupun swadaya yang
mendukung terhadap upaya perlindungan satwa dan fauna liar.
D. HUBUNGAN
NORMA
PERLINDUNGAN
FLORA
DAN
FAUNA
INTERNASIONAL DAN NASIONAL
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap flora dan fauna ada keterkaitan dan
korelasi antara norma perlindungan hukum internasional dan nasional dimana
kesemuanya terbentuk dalam suatu sistem hukum yang menyiratkan adanya suatu
susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari
suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan yaitu perlindungan hukum terhadap
flora dan fauna liar . 19 Hubungan antara norma internasional dan nasional dalam
perlindungan hukum terhadap flora dan fauna liar tersebut dapa t diambarkan sebagai
berikut :
Skema 1 Hubungan antara norma internasional dan nasional dalam perlindungan
hukum terhadap flora dan fauna
19
Loc. Cit Satjipto Raharjo
CITES
RATIFIKASI :
- peraturan organik ( UU )
- peraturan pelaksanaan
( PP, Peraturan presiden,
Peraturan menteri, dll )
IMPLEMENTASI
Dari skema diatas dapat digambarkan bahwa ada korelasi antara norma Hubungan
antara norma internasional dan nasional dalam perlindungan hukum terhadap flora
dan fauna liar yaitu ahwa norma internasional CITES merupakan pioner atau perintis
adanya peraturan perlindungan hukum terhadap satwa dan sauna liar nasional yang
ada di tingkat nasional. Norma internasional tidak akan mempunyai kekuatan
mengikat dan tidak dapat dipaksakan kalautidak diratifikasi dalam bentuk peraturan
nasional oleh negara peserta atau pengikut konvensi internasional CITES.
Download