BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Keluarga adalah kelompok terkecil dari masyarakat. Setiap anggota dalam keluarga memiliki ikatan yang sangat kuat, bahkan disebut sebagai kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat.1 Ikatan tersebut terjadi sejak proses sosialisasi yang dialami oleh setiap anggotanya. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga inti yaitu ayah, ibu dan anak, masing-masing anggota keluarga memiliki peran. Dalam hal ini seseorang disadarkan akan adanya hubungan peran sejak masa kanak-kanak. Ia belajar mengetahui apa yang dikehendaki oleh anggota keluarga lain terhadap dirinya, yang akhirnya menimbulkan kesadaran tentang kebenaran yang dikehendaki. Hal tersebut menghasilkan peran yang berbeda-beda dalam keluarga.2 Oleh karena itu, setiap anggota diharapkan mampu melaksanakan perannya demi keberlangsungan keluarga itu sendiri. Pada keluarga inti ayah dan ibu berperan sebagai orang tua. Mereka memiliki peran besar pada proses sosialisasi yang dialami anak dalam keluarga. Sosialisasi yang dimaksudkan mencakup semua aspek kehidupan sampai anak dapat mencapai dan melakukan peran yang seharusnya dikerjakan sendiri termasuk dalam bermasyarakat. Dalam proses sosialisasi tersebut orang tua melaksanakan perannya sebagai pendidik. Pendidikan yang dimaksud adalah 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta- Balai Pustaka, hal.536. 2 Goode, J, William, Sosiologi Keluarga, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hal 1. 1 pendidikan informal.3 Pendidikan tersebut merupakan pembentukan pembiasaanpembiasaan (habit formations) yang akan menjadi dasar kepribadian anak dalam seluruh aspek kehidupan, yaitu aspek psikologis, fisik, sosial dan spiritual. Sebagai pendidik dalam keluarga orang tua memiliki hak asasi untuk menentukan corak pendidikan kepada anak-anaknya sebelum mereka dewasa. Wolterstorff menyebutnya sebagai hak primer orang tua, hal itu berhubungan dengan perwujudan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya, dan negara menjamin hal tersebut.4 Bentuk pendidikan yang diterapkan oleh orang tua di masing-masing keluarga berbeda satu dengan yang lain, hal itu berhubungan dengan latar belakang orang tua. Sebut saja dalam hal rohani, orang tua akan memberikan pendidikan rohani kepada anak berdasarkan agama yang dianut oleh mereka. Oleh karena itu, jika orang tua beragama Kristen maka mereka akan mendidik anak berdasarkan ajaran Kristen. Keadaan ini disebut sebagai Pendidikan Agama Kristen (PAK). Groome, mendefinisikan PAK sebagai kegiatan politis bersama oleh para peziarah dalam waktu yang secara sengaja bersama memberi perhatian terhadap kegiatan Allah di masa kini, pada cerita komunitas iman Kristen, dan Visi Kerajaan Allah, sebagai benih-benih yang telah hadir di antara kita.5 Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa orang 3 Gunawan, H, Ary, Drs, Sosiologi Pendidikan, Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan, RINEKA CIPTA, Jakarta, 2000, hal. 57. 4 Wolterstorff, P, Nicholas, Mendidik Untuk Kehidupan (Refleksi mengenai pengajaran dan pembelajaran Kristen, Momentum, Surabaya 2007, hal. 279-298. 5 Groome, H, Thomas, Pendidikan Agama Kristen- Berbagi Cerita dan Visi Kita, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2011, hal 37. 2 tua secara sengaja dan terencana memberikan PAK kepada anak-anak mereka dalam keluarga. Tujuan dari PAK dalam konteks keluarga adalah agar anak dapat bertumbuh dalam iman Kristen. Karena setiap anak tumbuh di dalam keluarga, maka sumber yang paling efektif bagi pelaksanaan PAK adalah keluarga. Dalam sejarah kisah kehidupan keluarga yang ada di Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, terkait dengan pendidikan agama merujuk pada keluarga-keluarga Yahudi. Keadaan ini terjadi karena penulisan Alkitab berkaitan dengan latar belakang masyarakat dan budaya Yahudi. Dalam masyarakat dan budaya Yahudi, rumah (baca: keluarga) menjadi tempat utama dalam mengajarkan tradisi keagamaan dan Firman Tuhan. Dengan demikian keluarga memiliki tempat yang penting bagi pendidikan hidup beriman. Seperti yang disebutkan dalam Ulangan 6: 7; “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-uang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”. 6 Menurut Pazmino ayat ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki peran yang esensial dalam pendidikan agama.7 Demikian juga dalam kisah di Perjanjian Baru, nenek dan ibu Timotius mengajarkan iman hingga Timotius memiliki iman seperti iman yang mereka miliki (2 Timotius 1:5). Oleh karena itu, keluarga tidak hanya berperan bagi terlaksananya pendidikan agama, tetapi juga pelestarian iman Kristen kepada generasi berikutnya. 6 7 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, LAI, Jakarta, 2010, hal.211. Pazmino, W, R, Fondasi Pendidikan Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012, hal. 21. 3 Keluarga adalah tempat utama bagi PAK, yang oleh Thomson digambarkan sebagai “gereja miniatur”.8 Di sini keluarga menjadi bayangan gereja dalam pelaksanaan PAK.9 Berkaitan dengan hal tersebut apa yang dilaksanakan oleh gereja dilakukan pula dalam keluarga seperti penyembahan bersama, pengajaran Firman Tuhan, dan doa bersama, serta saling melayani. Dalam hal ini orang tua menjadi rohaniwan yang memimpin terlaksananya seluruh pendidikan dan kegiatan rohani dalam keluarga. Terkait dengan hal itu pula Eminyan menyebutkan keluarga sebagai “gereja domestik” atau gereja rumah tangga; yang ia maksudkan adalah keluarga memiliki sifat-sifat yang tidak berbeda dengan gereja secara umum. Sebagai gereja rumah tangga, keluarga juga dipanggil untuk turut mengambil bagian dalam perutusan mewartakan Injil, baik ke dalam keluarga maupun keluar.10 Keluarga diharapkan mampu berfungsi sebagai sumber PAK, maka diperlukan kerja sama dari ayah dan ibu sebagai orang tua dalam pelaksanaan PAK; karena untuk memperoleh gambaran tentang Allah seorang anak membutuhkan figur tidak hanya dari ayah, tetapi juga ibu. 11 Demikianlah keluarga disebut sebagai keluarga iman. Hal itu berarti menuntut kesepemahaman orang tua yang diperoleh dari adanya kepercayaan atau agama yang sama dari orang tua, tetapi dalam realita terdapat banyak keluarga dengan orang tua beda agama. Ayah 8 Thompson, J, Marjorie, Keluarga sebagai Pusat Pembentukan, Sebuah Visi Tentang Peranan Keluarga dalam Pembentukan Rohani, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001, hal. 16-17. 9 Hombrighausen, Dr, E.G, and, Engkaar, Dr. I. H, Pendidikan Agama Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2011, hal. 131. 10 Eminyan, Maurice, SJ, Teologi Keluarga, Kanisius, Yogyakarta, Yogyakarta, 2001, hal. 175-176. 11 Hadinoto, Atmadja, N.K, Dialog dan Edukasi, Keluarga Dalam Masyarakat Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hal.283-284. 4 beragama Kristen ibu tidak, atau sebaliknya ibu beragama Kristen ayah tidak. Hal tersebut disebabkan adanya perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda agama dan masing-masing saling mempertahankan agama yang dianutnya.12 Secara teori perkawinan beda agama tidak diperbolehkan seperti disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Namun demikian dalam praktik banyak orang melakukan perkawinan beda agama.13 Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah perkawinan beda agama semakin meningkat dikalangan masyarakat.14 Faktor penyebab adanya perkawinan beda agama antara lain karena tingkat toleransi agama yang tinggi dalam masyarakat, pandangan dari agama-agama sendiri yang berbeda-beda. Sebagai contoh dalam agama Kristen, ada dua pandangan yang beredar, ada yang dengan tegas melarang anggotanya melakukan perkawinan beda agama, namun ada gerejagereja yang mengijinkan anggotanya melakukan perkawinan beda agama hal itu di dasarkan anggapan gereja bahwa perkawinan beda agama itu wajar dan gereja menerima realitas tersebut.15 Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Salatiga yang terletak di Jalan Candisari 3, Salatiga adalah salah satu gereja yang tidak mengizinkan anggotanya melakukan perkawinan beda agama, bahkan tidak memberkati perkawinan 12 Eoh, O, S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.36. 13 Ibid 14 Aini, Nuryamin, Drs, Fakta Empiris Nikah Beda Agama, Jaringan Islam Liberal, islamlib.com/?site=1&aid=678&cat=content&cid=12&title=fakta-empiris-nikah-beda-agama, 24 September 2014. 15 Frihono, Sari, Pdt. Perkawinan Beda Agama, Studi Sosio-Religius Konsep Perkawinan di Gereja Kristen Jawa, Magister Sosiologi Agama UKSW, hal 74. 5 tersebut. Tetapi, dalam praktik terdapat anggota gereja yang melakukan perkawinan beda agama. Cara-cara yang mereka tempuh biasanya melakukan perkawinan beda agama di gereja lain yang bersedia melayani perkawinan beda agama, atau melakukan menurut agama lain meskipun hanya pada saat perkawinan. Kemudian setelah mereka melakukan perkawinan beda agama baik di gereja lain maupun agama lain, mereka kembali bergereja di GKMI Salatiga. Oleh karena itu, GKMI Salatiga harus melakukan penggembalaan khusus kepada mereka yang telah melakukan perkawinan beda agama. Dalam hal ini mereka yang ingin kembali menjadi anggota jemaat diberi kesempatan untuk melakukan pembaharuan janji iman melalui percakapan dengan Pendeta dan Majelis jemaat, serta di teguhkan dalam ibadah. Dengan demikian mereka dapat memperoleh kembali haknya sebagai anggota jemaat. Dari data sementara terdapat kurang lebih 30 keluarga dengan orang tua beda agama.16 Keluarga-keluarga dengan orang tua beda agama tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan PAK dalam keluarga cenderung lemah; kurang adanya dukungan dari suami atau istri yang tidak beragama Kristen, dan suami atau istri yang beragama Kristen mengalah serta menyerahkan pendidikan agama kepada suami atau istri yang beragama lain. Sikap yang lain adalah memberikan kesempatan kepada orang tua (nenek atau kakek) mengambil alih pelaksanaan pendidikan agama kepada anak-anak mereka. Menurut Pattiasina H.E, sikap orang tua dalam pendidikan agama yang demikian memiliki dampak terhadap 16 Pendataan sementara dilakukan di Jemaat GKMI Salatiga yang tinggal di kota Salatiga dan sekitarnya. 6 perkembangan iman anak.17 Dalam konteks ini, anak akan mengalami masalah terkait dengan pemahamannya tentang ajaran agama sehingga anak bersikap perfeksionis atau berpindah-pindah agama. Pemahaman yang mendalam tentang bagaimana PAK dalam konteks keluarga diperlukan dan dilaksanakan pada keluarga dengan orang tua beda agama. Pemahaman tersebut berguna bagi: keluarga dengan orang tua beda agama terkait dalam pelaksanaan PAK, gereja dalam menanggapi masalah pelaksanaan PAK dalam konteks keluarga di keluarga dengan orang tua beda agama. Untuk memperoleh pemahaman tersebut maka penulis dalam penelitian ini mengambil judul : “Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga dengan Orang Tua Beda Agama di GKMI Salatiga”. Rumusan Masalah Yang menjadi masalah dalam penelitian ini : 1. Apa yang menjadi permasalahan dalam keluarga dengan orang tua beda agama terkait dengan Pendidikan Agama Kristen. 2. Bagaimanakah Pendidikan Agama Kristen dilakukan pada keluarga dengan orang tua beda agama? 17 Pattiasina, Marga H.E, Suatu Kajian Terhadap Perkembangan Iman Anak Dalam Keluarga Beda Agama; Magister Sosiologi Agama, UKSW, 2010, hal. 77. 7 3. Bagaimana peran orang tua terhadap Pendidikan Agama Kristen di keluarga dengan orang tua beda agama? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menjelaskan permasalahan keluarga (orang tua) terkait dengan Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga beda agama. 2. Mendeskripsikan pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga dengan orang tua beda agama. 3. Memaparkan peran orang tua berkaitan dengan Pendidikan Agama Kristen di keluarga dengan orang tua beda agama. Urgensi Penelitian Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat : 1. Perlunya pemahaman tentang permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen dalam konteks keluarga dengan orang tua beda agama. 2. Perlunya pemaknaan tentang Pendidikan Agama Kristen yang dilakukan dalam keluarga dengan orang tua beda agama. 8 3. Perlunya pemahaman peran orang tua yang berbeda agama terhadap Pendidikan Agama Kristen di keluarga dengan orang tua beda agama. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian digunakan kualitatif deskriptif. Pendekatan kualitatif yaitu sebuah metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna (oleh sejumlah individu maupun kelompok) dari masalah sosial atau kemanusiaan.18 Dalam hal ini peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif dalam masalah untuk memaknai maksud dari masalah orang tua beda agama dalam pelaksanaan PAK di GKMI Salatiga. Metode diskriptif adalah penelitian yang berhubungan dengan pertanyaan mendasar bagaimana untuk memahami makna dari masalah yang ada dengan menjelaskan bagaimana masalah itu terjadi dan variabel-variabel yang mempengaruhinya atau saling memperngaruhi.19 Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan pelaksanaan PAK dalam konteks keluarga dengan orang tua beda agama di GKMI Salatiga. Untuk melakukan pendekatan kualitatif deskriptif diperlukan upaya-upaya penting seperti mengajukan pertanyaan dan prosedur, mengumpulkan data dari para partisipan, dan mengalisis. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa teknik penelitian yaitu teknik observasi, teknik wawancara mendalam dan Focus 18 Creswell, W, Jhon, Research Design, Pendekatan Kulaitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hal.4. 19 Gulö, W, Metodologi Penelitian, Grasindo, Jakarta, 2002. 9 Group Discussion ( FGD ) untuk memvalidasi data. Demikian pula di gunakan berbagai sumber data yang berbeda. Teknik pengumpulan data dan sumber data 1. Teknik Observasi Teknik observasi adalah teknik pengumpulan data yang digunakan dalam rangka menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Dalam teknik ini peneliti melakukan observasi utuh yaitu 20 peneliti menyembunyikan perannya sebagai observer pada keluarga dengan orang tua beda agama. Peneliti turun ke lapangan untuk mengamati perilaku atau aktivitas individu-individu yaitu orang tua dan anak serta linkungan pada beberapa keluarga beda agama di GKMI Salatiga. Observasi lebih di fokuskan pada aktivitas yang berkaitan dengan pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga beda agama. 2. Wawancara mendalam Teknik wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab mendalam sambil bertatap muka antar pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai. Pewawancara dan 20 Bungin, Burhan, M.H, Prof, Dr, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Kencana, Jakarta, 2012, hal.118. 10 informan dalam proses ini terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.21 Dalam penelitian ini wawancara mendalam dilakukan dalam bentuk wawancara berstruktur, tak berstruktur dan campuran.22 Wawancara berstruktur adalah wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan mengarahkan jawaban pada pertanyaan yang disampaikan. Dalam wawancara tak berstruktur responden dapat menjawab dengan bebas setiap pertanyaan yang diajukan. Sedangkan wawancara campuran adalah perpaduan antara wawancara bertruktur dan tak berstruktur, seperti dalam satu pertanyaan responden memberi jawaban yang mengarah pada pertanyaan, kemudian memberi juga jawaban secara bebas pula. Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan kepada sumber data atau informan kunci, yaitu dari orang-orang yang terlibat langsung atau memiliki data penting berkaitan dengan Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga dengan orang tua beda agama yang ada di jemaat GKMI Salatiga. Antara lain ; para Pendeta, Majelis Jemaat dan para pengurus cabang atau kelompok. 3. Teknik Focus Group Discussion (FGD) Yang dimaksud Focus Group Discussion (FGD) adalah diskusi kelompok atau wawancara kelompok yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang beragam dari responden. 23 Diskusi difokuskan pada permasalah yang sedang diteliti dengan menghadirkan tujuh sampai sepuluh orang sebagai responden.24 21 Bungin, Burhan, M.H, Prof, Dr, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Kencana, Jakarta, 2012, hal.111. 22 Gulö, W, Metodologi Penelitian, Grasindo, Jakarta, 2002. 23 Herdiansyah, Haris, Metologi Penelitian Kualitatif, Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Salemba Humanika, Jakarta. 2010. 24 Suwandi, Dr, dan, Basrowi, Dr, Memahami Penelitian Kualitatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. 11 Melalui teknik FGD dalam penelitian ini dapat diperoleh informasi-informasi yang bersifat kritis dan multi-aspek. Dengan demikian peneliti mendapatkan validasi data yang telah diperoleh teknik wawancara sebelumnya. Yang menjadi sumber data dalam teknik FGD adalah tujuh sampai sepuluh keluarga beda agama di GKMI Salatiga. FGD pertama terdiri dua dari keluarga beda agama di wilayah Ngentak, dua dari keluarga beda agama di wilayah Gendongan, dua dari keluarga beda agama di wilayah Karangduwet dan satu dari keluarga beda agama di wilayah Gunungsari. FGD kedua terdiri tiga dari keluarga beda agama di wilayah Brangkongan, dua dari keluarga beda agama di wilayah Cukilan dan tiga dari keluarga beda agama dari wilayah Sumberejo. Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan : Latar Belakang masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Urgensi Penelitian, Pendekatan, Sistematika Penulisan. Bab II : Teori rujukan. 2.1. Gereja dan relasinya dengan keluarga. 2.2. Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga. 2.3. Keluarga dengan orangtua beda agama. 2.4. Pendidikan Agama pada keluarga beda agama. 12 Bab III : Hasil Penelitian dan analisis data Bab IV : Refleksi Teologis 4.1. PAK keluarga menurut Alkitab 4.2. Keluarga dengan orangtua beda agama dalam gereja Bab V : Penutup 5.1. Kesimpulan 5.2. Rekomendasi 13