BAB I 1.1 Latar Belakang Meningkatnya perekonomian sering disebut-sebut sebagai alasan banyaknya barang ataupun jasa yang ditawarkan oleh produsen melalui iklan komersil. Oleh karena itu, tidak heran jika iklan komersil menjadi bagian dari masyarakat dalam kesehariannya. Beriklan kemudian dipandang sebagai suatu cara yang efektif dan paling jitu untuk mendongkrak perolehan konsumen dan volume penjualan (Martodirdjo, 1998: 3). Dari sudut pandang ini dapat dikatakan bahwa iklan yang baik adalah iklan yang mampu menyetir kepuasan konsumen dan mempengaruhi sikap konsumen sehingga konsumen mau membeli produk yang ditawarkan (Tanaka, 1994: 1). Untuk itu, seorang penulis iklan harus bisa menciptakan emosi yang tepat pada saat yang tepat dan dengan cara yang tepat sesuai dengan kelompok target yang dituju (Hill, 2010 : 1) Pada dasarnya, iklan adalah berita yang memuat pesan-pesan untuk mendorong dan membujuk orang supaya tertarik kepada barang dan jasa yang ditawarkan. H.R. Danandjaja (dalam Martodirdjo, 1998:8) menyatakan bahwa iklan merupakan suatu publikasi yang bisa berupa reklame, pemberitahuan atau pernyataan yang bersifat bukan berita. Aktifitas beriklan dilakukan dengan menyewa satu ruangan khusus untuk beriklan dengan maksud memperkenalkan atau memberi tahu sesuatu melalui mass media. Senada dengan H. R. Danandjaja, C. H. Sandage (dalam Martodirdjo, 1998:9) menyatakan bahwa iklan merupakan suatu informasi berupa ide, pelayanan atau produk. Menurut Lakoff (dalam Peclova, 2010: 29), iklan merupakan suatu wacana persuasif. Suatu wacana disebut sebagai wacana persuasif jika maksud dari wacana diketahui paling tidak 1 2 oleh salah satu pihak dalam wacana. Dalam iklan, maksud tersebut diketahui oleh dua pihak dalam wacana iklan, yaitu pengiklan dan konsumen. Maksud yang ada dalam iklan komersil adalah mengubah pikiran seseorang yang tidak ingin membeli produk yang ditawarkan menjadi ingin membeli produk tersebut (Tanaka, 1994: 9). Kalimat-kalimat persuasi yang terangkai dalam teks iklan secara langsung ataupun tidak langsung mempunyai maksud menyuruh calon konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan dari penjualan. Jika dilihat dari sudut pandang ini, nilai-nilai persuasi dalam wacana iklan pada dasarnya terbentuk atas dasar prinsip-prinsip tindak tutur direktif atau impositif yang memiliki fungsi untuk memerintah, menyuruh, ataupun meminta (Taufik, 2013: 6). Menurut Leech (2011, 162), tindak tutur impositif atau direktif mempunyai fungsi kompetitif atau bersaing dengan tujuan sosial. Sebuah impositif dianggap tidak arif karena dapat memancing konflik. Untuk itu, perlu diterapkan strategi-strategi kesopanan untuk mengurangi daya impositif, termasuk daya impositif dalam kalimat-kalimat persuasi teks iklan. Pengurangan daya impositif menggunakan strategi-strategi kesopanan penting bagi pengiklan untuk memelihara hubungan sosial dan emosional yang baik dengan para pembaca. Dengan cara tersebut diharapkan para pembaca tidak berkeberatan untuk menaruh perhatian pada suatu iklan (Reza Pishghadam, Safoora Navari, 2012: 162). Dewasa ini, strategi persuasi dalam iklan, termasuk penggunaan strategi kesopanan, nampaknya semakin bersifat impersonal dan seragam karena kemajuan teknologi dan komunikasi. Sasaran penjualan produk maupun jasa tidak lagi terbatas pada masyarakat tertentu tetapi sudah menggapai masyarakat global 3 yang multikultural (Kolodziej-Smith, 2013: 1). Oleh karena itu, dalam penuyusunan teks wacana iklan nampaknya terdapat semacam kesopanan baku yang bersifat universal. Kesopanan tersebut adalah mengenai face atau muka. Face adalah citra diri yang dimiliki oleh semua orang (Brown dan Levinson, 1987:61). Goffman (dalam Kolodziej-Smith, 2013: 7) menjelaskan bahwa face adalah citra atau nilai baik seseorang yang ia klaim untuk dirinya sendiri berdasarkan asumsi orang lain mengenai drinya selama ia berpartisipasi dalam kontak sosial. Dalam suatu kontak sosial, seseorang selalu berusaha untuk menyelamatkan „muka‟ nya supaya dapat diterima, dikagumi atau dihormati oleh orang lain. Mengingat wacana iklan merupakan salah satu bentuk tindak tutur direktif yang dapat mengancam keselamatan muka calon konsumen, maka dalam beriklan menyelamatkan face calon konsumen menjadi suatu hal yang harus dilakukan oleh para pengiklan agar dapat menjual produknya. Dengan menyelamatkan face calon konsumen, pengiklan berusaha untuk menghindari reaksi sosial yang negatif dari calon konsumen sehingga calon konsumen tidak merasa keberatan untuk membeli produk yang ditawarkan (Tanaka, 1994: 36) Menurut Goffman (dalam Kolodziej-Smith, 2013: 7), menyelamatkan face selalu bersifat universal, namun tidak dalam implementasinya. Implementasi penyelamatan muka yang bersifat verbal maupun non verbal tetap bervariasi secara kebudayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, Yule (1996: 60) menjelaskan bahwa sangat dimungkinkan terdapat prinsip-prinsip umum mengenai kesopanan yang berbeda dalam kebudayaan yang berbeda. Sehubungan dengan hal tersebut, Hughes (dalam Reza Pishghadam, Safoora Navari, 2012: 162), menyatakan bahwa menelaah media iklan merupakan salah 4 satu cara yang bisa digunakan untuk mengetahui gagasan-gagasan menyangkut kebudayaan. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa melalui iklan akan diketahui nilai-nilai kebudayaan tertentu, termasuk nilai-nilai kesopanan dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena setiap pengiklan di berbagai budaya menggunakan strategi-strategi persuasif yang berbeda, terutama yang menyangkut strategi kesopanan yang digunakan untuk membina hubungan baik dengan calon konsumen. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai usaha untuk mendalami perbedaan nilai-nilai budaya yang menyangkut strategi kesopanan pada budaya Indonesia dan Jepang, penelitian ini menjadikan iklan dalam majalah remaja putri Indonesia dan Jepang sebagai sumber data penelitian. Asumsi bahwa terdapat perbedaan strategi kesopanan dalam kedua majalah tersebut diawali dengan ditemukannya perbedaaan jumlah yang cukup signifikan dalam penggunaan strategi kesopanan bald on record dalam kedua majalah tersebut. Strategi bald on record dengan menggunakan bentuk kalimat imperatif langsung yang berfungsi untuk menyuruh atau menganjurkan calon konsumen melakukan sesuatu cenderung lebih banyak ditemukan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia daripada dalam majalah remaja putri Jepang. Bandingkan wacana iklan berbahasa Indonesia dan Jepang di bawah ini. (1) Gaya Spa‟s Body Care! Ingin punya kulit yang cantik dan terawatt? Gunakan Skin Refiner dari Gaya Spa! Cream nya mengandung pelembab dan scrub alami yang berfungsi sebagai antioksidan, anti aging dan lainnya. Sedangkan lotion-nya memiliki UV protectan yang membantu melembabkan kulit. (Girl Friend/ Mei 2014) 5 (2) Fashion Satoko Miyata. „Satoko Miyata Fashion‟ Ichi nen de ichiban gaariina kibun ni naru! Satu tahun dalan paling gadis perasaan menjadi „ Perasaan menjadi gadis remaja paling besar dalam satu tahun‟ Natsu ni shitai fashion kiiwaado wa kono futatsu! musim panas pada ingin fashion kata kunci TPK ini lima „Ini lah lima kata kunci fashion yang ingin (saya) kenakan pada musim panas‟ Hiyake wa dekinai kedo, umi mochiifu ya gara mono de Terbakar matahari TPK tidak bisa tetapi, laut motif dan pola hal dengan tenshon agemasu! tensi naik „Walaupun tidak bisa menghitamkan kulit, namun motif laut dan polanya bisa menaikkan tensi‟. (Girl, 7 Juli 2014) Dalam contoh (1) yang merupakan teks iklan dalam majalah remaja putri Indonesia penggunaan bentuk kalimat imperatif dapat dilihat pada kalimat yang bergaris bawah. Sedangkan pada contoh (2) yang merupakan teks iklan dalam majalah remaja putri Jepang tidak ditemukan penggunaan bentuk imperatif. Dalam kalimat bergaris bahwa pada contoh (1), dapat terlihat bahwa pengiklan secara langsung menyuruh calon konsumen untuk menggunakan produk yag diiklankan, sedangkan pada contoh (2) yang merupakan wacana iklan berbahasa Jepang, terlihat bahwa pengiklan mengutarakan maksud secara lebih implisit. Perbedaan dalam cara mengutarakan maksud seperti pada kedua contoh di atas menunjukkan bahwa pengiklan pada lingkungan budaya yang berbeda menggunakan strategi kesopanan yang berbeda untuk menyampaikan maksudnya. Perbedaan tersebut sangat dimungkinkan bukanlah merupakan suatu kebetulan melainkan ada faktor tertentu yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai orientasi kesopanan 6 pada budaya Indonesia dan Jepang, iklan majalah remaja putri pada dua negara tersebut harus dikaji lebih mendalam melalui kacamata pragmatik kontrastif. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia ? 2. Bagaimanakah strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Jepang? 3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang? 4. Mengapa terdapat perbedaan dalam bentuk strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Mendeskripsikan strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Jepang. 2. Mendeskripsikan strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Jepang. 3. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. 7 4. Menjelaskan alasan terjadinya perbedaan dalam bentuk strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Untuk memfokuskan kajian, maka ada beberapa batasan yang digunakan dalam penelitian ini. Batasan-batasan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: a. Wacana iklan yang akan digunakan sebagai data adalah wacana iklan komersil tentang fashion dan kosmetik dalam majalah remaja putrid yang berusia 15 sampai 25 tahun. Pembatasan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan ketersediaan data. Wacana iklan komersil fashion dan majalah merupakan data lunak yang mudah didapatkan dan berjumlah banyak sehingga memudahkan penulis untuk mendapatkan data. b. Kedua, majalah yang digunakan adalah majalah remaja putri Jepang dan Indonesia yang beredar pada tahun 2014 dan 2015. Digunakannya majalah keluaran tahun 2014 dan 2015 didasarkan pada pertimbangan kemutakhiran fenomena kebahasan, terutama bahasa anak muda yang senantiasa berubah. c. Strategi persuasif yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada strategi kesopanan menyangkut face threatening act (FTA). d. Strategi kesopanan yang dikaji hanyalah strategi kesopanan yang menyangkut tindak verbal (piktorial sebagai strategi kesopanan yang paling tidak langsung tidak dikaji dalam penelitian ini). 8 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Berikut ini adalah manfaat teoritis dan praktis dari kajian kontrastif pragatik wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. a. Manfaat Teoretis Secara teoretis, secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan kajian kontrastif pragmatik yang tergolong masih baru. Secara khusus, penjabaran strategi kesopanan yang digunakan dalam majalah bisa digunakan sebagai korpus data tambahan bagi penelitian-penelitian mengenai strategi kesopanan selanjutnya. Pemahaman akan penggunaan strategi kesopanan dalam dua kultur yang berbeda diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu humaniora, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia dan Jepang. b. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan, baik pendidikan Bahasa Jepang maupun Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena kemampuan pragmatik sangat penting dalam pembelajaran bahasa asing. Pengajaran bahasa yang hanya difokuskan dari segi struktural akan menimbulkan banyak kendala ketika tidak dikaitkan dengan penggunaan bahasa secara praktis dan fungsional di lapangan. Oleh karena itu, pendekatan pragmatik dapat dijadikan suati alternatif solusi dalam menghadapi kebutuhan dalam kegiatan belajar mengajar bahsa asing (Rohmadi, 2012: 528). Oleh karena penelitian ini mengkaji bahasa dalam iklan, maka manfaat praktis pengajaran 9 bahasa terutama ditujukan untuk keperluan pembelajaran bahasa asing dalam dunia bisnis. Stretegi kesopanan yang ada di dalam majalah Indonesia dan Jepang diharapkan mampu memberikan gambaran bagi pembelajar bahasa Jepang ataupun bahasa Indonesia tentang penggunaan bahasa dalam konteks yang sebenarnya. Pemahaman pragmatik mengenai kesopanan dalam dua bahasa yang berbeda akan dapat menghindarkan pembelajar bahasa Jepang ataupun bahasa Indonesia dari cultural shock ketika mengaplikasikan bahasa tersebut dalam konteks yang sesungguhnya. 1.6 Tinjauan Pustaka Mengingat pembicaraan mengenai strategi periklanan melingkupi studi keilmuan yang cukup luas, tidak mengherankan jika ditemukan kajian mengenai iklan dalam berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, bisnis maupun lingusitik. Salah satu pustaka menyangkut stretegi periklanan dalam ranah ilmu psikologi adalah karya Dan Hill dalam buku yang berjudul About Face. The Secret of Emotionally Effective Advertising (2010). Dalam tulisan tersebut Hill memfokuskan kajian mengenai penggunaan ekspresi wajah yang tepat sebagai startegi periklanan yang penting untuk mempengaruhi konsumen. Dalam bidang bisnis ditemukan karya Scott Armstrong dalam buku yang berjudul Persuasive Advertising, Evidence Based Principle (2010). Dalam bukunya, Scott banyak menjelaskan mengenai prinsip dan taktik strategi periklanan yang disertai dengan contoh-contoh iklan paling sukses dalam sejarah periklanan di Inggris. Selain itu ditemukan juga karya Renata Kolodziej-Smith, Daniel Patrick Friesen dan Attila Yaprak yang diterbitkan sebagai artikel dalam 10 jurnal Global Advances in Business Comunication dengan judul „Does Culture Affect how People Receive and Resist Persuasif Messages? Research Proposals about Resistance to Persuasion in Cultural Groups‟ (2013). Artikel dalam jurnal tersebut membahas mengenai bagaimana budaya mempengaruhi daya tahan seseorang terhadap kekuatan persuasif dalam iklan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dikatakan bahwa bentuk-bentuk promosi yang tepat dibutuhkan untuk konsumen dengan latar budaya yang berbeda. Mengingat iklan banyak menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi dengan konsumen, maka dalam bidang lingusitik banyak ditemukan pustakapustaka yang mengkaji startegi periklanan. Pertama, Yuko Koga dan Bethyl A Pearson (1992) mengukur strategi kesopanan dalam majalah wanita di Jepang dan Amerika menggunakan model kesopanan Brown-Levinson dan Ting Toomey. Dalam tulisan berjudul “Cross-Cultural Advertising Strategies in Japanese vs. American Women's Magazines” yang dimuat dalam jurnal Intercultural Communication Studies II, Koga dan Pearson berpendapat bahwa iklan pada majalah wanita Jepang lebih cenderung menggunakan strategi sosial, sedangkan iklan pada majalah wanita Amerika cenderung menggunakan strategi individual. Kedua, Keiko Tanaka dalam buku berjudul A Pragmatic Approach to Advertisements in Britain and Japan (1994) menulis mengenai perbedaan penggunaan bahasa iklan majalah wanita Jepang dan Inggris. Fokus utama penelitian Tanaka adalah bagaimana bahasa iklan berhasil memanipulasi para konsumen melalui bentuk komunikasi yang implisit dan tersembunyi seperti permainan kata-kata, metafora dan ikon wanita. Ketiga, Angela Goddard dalam buku The Language of Advertising (1998) memberikan contoh-contoh permainan 11 bahasa yang efektif digunakan sebagai strategi periklanan seperti teks simbol, kalimat komparatif dan sebagainya. Keempat, dalam disertasi berjudu Persuasive Strategies ini Advertiseing Discourse. A Lexico-Grammatical and Sosio-Pragmatic Analysis (2010), Jana Pelclova mengkaji mengenai iklan televisi dari aspek leksiko-gramatikal dan sosio-pragmatik. Kajian dari sudut pandang leksiko-gramatikal difokuskan pada bagaimana bahasa lisan dan tulisan dikombinasikan dalam iklan televisi sehingga dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dengan konsumen. Berbeda dengan sudut pandang leksiko-gramatikal, sudut pandang sosio-pragmatik mempresuposisikan bahwa hubungan antara pengiklan dan konsumen serta produk yang diiklankan mempunyai dampak terhadap pemilihan prinsip-prinsip pragmatik yang diaplikasikan ataupun yang dijadikan latar belakang dalam iklan. Kelima, Ika Maratus Solihkah dalam tesis yang berjudul Wacana Iklan Komersial Berbahasa Inggris dan Indonesia di Televisi (2010) membahas mengenai ragam bahasa dan teknik persuasif yang digunakan dalam wacana iklan berbahasa Inggris dan Indonesia di televisi. Berdasarkan hasil penelitiannya, Solikhah menyimpulkan bahwa keduanya menggunakan tiga teknik persuasif sebagai strategi periklanan yaitu ethos (mengedepankan kehebatan perusahaan), pathos (mengedepankan aspek emosi) dan logos (menyediakan logika dan alasan yang kuat serta fakta-fakta yang sistematis). Sedangkan dari segi penggunaan ragam bahasa, wacana iklan berbahasa Indonesia menggunakan bahasa standar maupun non-standar, sedangkan wacana iklan berbahasa Inggris cenderung menggunakan bahasa standar. 12 Keenam, Reza Pishghadam dan Safoora Navari dalam tulisan berjudul “A Study Into Politenees Markers in Advertisements as Persuasive Tools” yang diterbitkan dalam jurnal Mediterranian Journal of Social Science Vol 3 membahas mengenai perbedaan strategi kesopanan dan penanda kesopanan sebagai strateg persuasif dalam iklan berbahasa Inggris dan Persia. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa iklan berbahasa Inggris cenderung menggunakan strategi kesopanan positif sedangan iklan berbahasa Persia cenderung menggunakan strategi kesopanan indirect-off record. Penelitian yang akan dilakukan dalam karya ini berbeda dengan pustakapustaka sebelumnya. Perbedaan mendasar antara penelitian ini dan pustaka- pustaka sebelumnya adalah bahwa penelitian ini difokuskan pada bentuk-bentuk startegi kesopanan sebagai startegi persuasif di dua negara yang berbeda yaitu Jepang dan Indonesia. Perbedaan strategi kesopanan yang ada di antara kedua negara tersebut kemudian akan dijelaskan melalui perspektif sosial budaya serta skala kesopanan yang melatarbelakanginya. Kajian analisis kontrastif pragmatik antara bahasa Jepang dan bahasa Indonesia sejauh pengamatan penulis juga belum pernah dilakukan. 1.7 Landasan Teori Sebagai dasar dari penelitian ini, akan dipaparkan gagasan-gagasan teoretis yang menjadi pijakan bagi penelitian ini. Mengingat persuasif dalam iklan sanngat dipengaruhi oleh kebudayaan (Kolodziej-Smith, 2013: 2) dan merupakan salah satu jenis tindak tutur direktif atau impositif yang merupakan tindakan mengancam muka (face threatenig act) (Searle dalam Reza Pishghadam, Safoora 13 Navari, 2012: 161), maka diperlukan strategi kesopanan untuk dapat meminimalisir keimpositifan tindak tutur tersebut. Atas dasar tersebut, maka kerangka teoretis yang akan dipaparkan adalah sebagai berikut: (a) Prinsip-prinsip kontrastif pragmatik, (b) Face Negotiation Theory, (b) Strategi kesopanan dan skala kesopanan. 7.1Prinsip-Prinsip Kontrastif Pragmatik Pada dasarnya kajian kontrastif pragmatik memiliki kerangka kerja yang sama dengan kajian kontrastif struktural, yaitu mencari dan menemukan persamaan dan perbedaan dari unsur-unsur yang dibandingkan untuk kemudian disarikan implikasinya. Hal yang membedakan kajian pragmatik kontrastif dengan kontrastif struktural adalah unsur-unsur yang dikontraskan. Jika kajian kontrastif struktural mengkontraskan sistem formal bahasa, kajian kontrastif pragmatik mengkontraskan prinsip-prinsip pragmatik dalam suatu penggunaan bahasa. Sebelum melangkah menuju prinsip-prinsip kontrastif pragmatik, perlu diketahui bahwa layaknya kajian pragmatik lainnya, kajian kontasrtif pragmatik juga berlandaskan teori fumgsioanal bahasa. Dalam hal kebahasaan, teori fungsional menjelaskan bahasa sebagai sebuah bentuk komunikasi yang berorientasi pada maksud, tujuan, sasaran ataupun rencana yang didasarkan pada motovasi penutur (Leech, 2011: 70-71). Teori fungsional menyebutkan bahwa makna suatu tuturan dibentuk oleh tujuan. Dalam hal ini, bentuk-bentuk formal bahasa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut (Chesterman, 1998: 63-64). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa bukanlah suatu sistem yang otonom, melainkan dipengaruhi dan dibentuk oleh faktor-faktor di 14 luar kebahasaan seperti kognisi, sosial dan kebudayaan (Butler; Gomez-Gonzales; Zuarez, 2005: 4) Dari penjelasan fungsional tersebut, dalam kajian kontrastif pragmatik faktor budaya yang meliputi sistem kemasyarakatan maupun kognisi masyarakat dijadikan skala utama dalam mengkontraskan penggunaan bahasa yang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Dengan kata lain, kajian pragmatik kontrastif menekankan kepada bagaimana komunikasi dilakukan dalam budaya yang berbeda. Dalam hal ini, penekanan difokuskan pada bagaimana prinsip-prinsip pragmatik digunakan oleh orang-orang dari suatu komunitas bahasa yang berbeda (Chesterman, 2005: 155). Putz dan Aertsealer (2008: x) mengatakan bahwa fokus kajian ini adalah bagaimana cara orang-orang dari latar budaya berbeda dalam menyampaikan suatu maksud. Dari penjelasan tersebut, prinsip-prinsip yang melandasi kajian kontrastif pragmatik dapat disarikan dalam tiga poin berikut ini: 1. Perbedaan asumsi kultural mengenai situasi dan bagaimana menunjukkan sikap yang tepat dalam situasi tertentu. 2. Perbedaan cara menyampaikan suatu informasi atau argumen dalam suatu percakapan 3. Perbedaan cara bicara (Gumperz dalam Yule, 1996: 113). 7.2 Face Negotiation Theory Face merupakan citra diri di muka publik yang mengacu pada emosi dan sense sosial. Setiap orang selalu memiliki kebutuhan agar emosi dan sense sosial tersebut disadari oleh orang lain di sekitarnya (Yule, 1996: 60). Menurut Brown dan Levinson (1987), istilah face berhubungan erat dengan perasaan malu atau 15 terancam yang dimiliki oleh setiap orang saat berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam setiap interaksi orang akan berusaha bertindak untuk tidak mempermalukan atau mengancam muka diri sendiri atau orang lain. Dalam pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap interaksi, seseorang akan selalu memelihara face-nya sendiri maupun face orang lain agar tidak kehilangan muka (face loss). Face adalah karateristik universal pada tiap budaya. Dalam berinteraksi, penutur harus menghormati harapan satu sama lain menyangkut citra diri (Cutting, 2002: 45). Ada dua citra diri yang diharapkan oleh setiap orang. Citra diri yang pertama mengacu pada positive face. Positive face adalah kebutuhan seseorang untuk merasa diterima dan disukai oleh orang lain. Sedangkan citra diri kedua mengacu pada negative face yang merupakan kebutuhan seseorang untuk merasa independen, bebas untuk melakukan sesuatu ataupun untuk tidak diperintah oleh orang lain (Yule, 1987: 61) Dalam setiap interaksi orang selalu dihadapkan pada dua pilihan untuk menyelamatkan face-nya sendiri (orientasi defensive) atau face-orang lain (orientasi protektif) (Goffman, 1967: 14). Usaha-usaha yang dilakukan untuk memelihara face, baik positif maupun negatif saat berinteraksi disebut dengan facework. Renata Kolodziej-Smith, Daniel Patrick Friesen, Attila Yaprak (2013: 45) berpendapat bahwa face work berhubungan dengan kebiasaan verbal atau non verbal spesifik yang dilakukan oleh seseorang untuk menjaga face-nya sendiri ataupun face orang lain. Goffman (1967: 12-13) menyatakan bahwa setiap orang, budaya ataupun kelompok-kelompok masyarakat mempunyai caranya masingmasing dalam melakukan face work. Face work dapat menetralkan tindakan- 16 tindakan yang mengancam face pada setiap interaksi. Dengan kata lain, face work dapat mengubah sesuatu yang mengancam menjadi hal yang sopan dan termaafkan (Renata Kolodziej-Smith, Daniel Patrick Friesen, Attila Yaprak, 2013: 7) Pada dasarnya, setiap tindakan yang mengancam positive face ataupun negative face diri sendiri maupun orang lain dapat digolongkan sebagai FTA (Face Threatening Act). FTA dapat menyebabkan terjadinya face loss atau kehilangan muka. FTA yang mengancam positive face orang lain contohnya ialah ketidaksetujuan, kritik, mempermalukan, menantang dan sebagainya. FTA yang mengancam negatif face otang lain contohnya ialah memerintah, meminta, nasihat, mengingatkan, memperingatkan dan lain sebagainya FTA yang mengancam positive face diri sendiri contohnya ialah meminta maaf, mempermalukan diri sendiri, pengakuan dan emosi yang tidak terkendali. Sedangkan FTA yang mengancam negative face diri sendiri contohnya adalah mengucapkan terima kasih, menerima permintaan maaf atau ucapan terima kasih, beralasan, menerima tawaran ataupun membuat janji atau penawaran yang tidak diinginkan (Penelope Brown, Stephen Levinson, 1987: 70-71). 7.3 Strategi Kesopanan dan Skala Kesopanan Menurut Goffman (1967: 15-16), cara yang paling efektif untuk mencegah ancaman pada face diri sendiri ataupun orang lain adalah dengan menghindari segala bentuk FTA yang mungkin terjadi. Secara konkrit, bentuk penghindaran FTA adalah dengan menunjukkan respek dan sopan santun kepada orang lain. Dari pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa kesopanan atau kesantunan 17 menjadi hal yang sangat penting dalam komunikasi. Kesopanan berfungsi sebagai penjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan. Dengan hubungan yang baik antar peserta tutur, maka komunikasi dapat berjalan dengan baik(Leech, 2011: 124). Lebih jauh Leech (dalam Wijana, 2008: 54) berpendapat bahwa kesopanan adalah maksim urutan pertama yang sangat mempengarauhi kelancaran interksi interpersonal. Pada dasarnya, kesopanan mengatur dua jenis fungsi tindak tutur, yaitu fungsi kompetitif dan fungsi menyenangkan. Fungsi kompetitif merujuk pada tujuan tindak tutur yang bersaing dengan tujuan sosial yaitu tindak tutur direktif seperti memerintah, meinta, menuntut dan sebagainya. Sebaliknya, fungsi menyenagkan merujuk pada tujuan tindak tutur yang sejalan dengan tujuan sosial yaitu tindak tutur ekspresif yang berorientasi pada keramah-tamahan. Tujuantujuan kompetitif pada dasarnya adalah tujuan yang tidak bertata karma. Oleh karena itu, kesopanan diperlukan untuk memperlembut sifat kurang bertata karma yang secara intrinsik terkandung dalam tujuan tersebut. Sebaliknya, tujuan-tujuan menyenangkan yang pada dasarnya sudah sangat sejalan dengan tujuan sosial memerlukan kesopanan untuk menambah derajat keramahtamahannya (Leech, 2011: 162-163). Mengingat kedua fungsi tindak tutur tersebut dapat berpotensi menjadi FTA yang dapat menyebabkan face loss, maka diperlukan strategi-straegi kesopanan yang konkrit untuk dapat meminimalisir ancaman yang mungkin ditimbulkan. Jika digambarkan dalam bagan, maka strategi-strategi kesopanan dapat dilihat dalam bagan di bawah ini. 18 Estimasi Resiko Face Loss Kecil besar Melakukan FTA Off record 5. tidak melakukan FTA on record 1. Tanpa aksi ganti rugi (bald on record) dengan aksi ganti rugi 2. Kesopanan positif 3. kesopanan negatif Bagan 1: strategi kesopanan Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat beberapa opsi untuk menghindari FTA yang dapat menyebabkan face loss. Angka 1 mengindikasikan cara yang paling langsung, sedangkan angka 5 mengindikasikan cara yang paling tidak langsung dalam melakukan FTA. Pemilihan strategi kesopanan dilakukan berdasarkan pengukuran penutur terhadap besarnya bobot ancaman FTA yang akan ia lakukan. Menurut Brown dan Levinson, pertimbangan besarnya resiko FTA dilakukan berdasarkan atas penjumlahan tiga skala kesopanan yaitu kekuatan/power (P) peserta interaksi, jarak/ distant (D) hubungan peserta interaksi dan rangkin imposisi dalam suatu kebudayaan (R). Jika resiko FTA dianggap kecil maka strategi nomor 1 (bald on record) bisa digunakan untuk melakukan FTA, namun jika dianggap terlalu besar maka digunakan strategi nomor 5 (tidak melakukan FTA) (Thomas, 2013: 169-170). Dengan kata lain, semakin besar 19 bobot ancaman suatu FTA, penutur akan memilih strategi kesopanan yang memiliki angka lebih besar dan sebaliknya (lihat penomoran strategi kesopanan dalam bagan di atas). Berikut ini adalah penjelasan masing-masing strategi yang termuat dalam bagan di atas. 1. Bald on record Menurut Brown dan Levinson (1987: 98-103). Bald on record adalah strategi kesopanan yang bersifat paling langsung dan eksplisit. Penggunaan kalimatkalimat imperatif langsung merupakan contoh yang paling jelas dari strategi ini Kondisi-kondisi yang memungkinkan digunakannya strategi bald on record antara lain ialah: a. Jika kondisi menuntut efisiensi penyampaian pesan secara maksimal dalam kondisi-kondisi yang sangat mendesak. Misalnya: “tolong!” b. Jika penutur membutuhkan menganggap efisiensi apa yang penyampaian ingin pesan disampaikannya secara maksimal. Misalnya: “Dengarkan, aku punya ide bagus”. c. Jika FTA dilakukan demi kepentingan petutur, seperti nasihat dan peringatan. Misalnya: “Hati-hati, dia orang yang berbahaya.” Dalam iklan, strategi bald on record bisa diwujudkan dengan: a. pernyataan ketidaksetujuan b. Nasihat c. Peringatan d. Perintah atau anjuran (Reza Pishghadam, Safoora Navari, 2012: 165) 20 2. Strategi Positif Strategi positif menekankan pada kedekatan antara penutur dan petutur. Strategi positif menekankan kepada positif face yaitu kebutuhan seseorang untuk diterima dan diakui oleh orang lain (Yule. 1996: 66). Brown-Levinson (1987:108134) menyebutkan bentuk konkrit kesopanan positif. Bentuk-bentuk tersebut atau sub strategi kesopanan positif antara lain adalah memperhatikan minat kawan tutur,melebih-lebihkan rasa ketertarikan, meningkatkan rasa tertarik kepada lawan tutur, menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri, mencari dan mengusahakan persetujuan dengan lawan tutur, menghindari pertentangan, menimbulkan persepsi sejumlah persamaan antara penutur dan lawan tutur, membuat lelucon, menunjukkan pemahaman terhadap keinginan lawan tutur, membuat penawaran atau janji, menunjukkan rasa optimism, melibatkan lawan tutur dan penutur dalam kegiatan bersama, memberikan dan meminta alasan, menawarkan suatu tindakan timbal balik dan memberikan rasa simpati. 3. Strategi Negatif Strategi negatif menekankan pada kebebasan lawan tutur. Kesopanan negatif menekankan kepada negatif face yaitu kebutuhan seseorang untuk menjadi independen, mempunyai kebebasan dan tidak diperintah oleh orang lain (Yule, 1996: 66). Menurut Brown- Levinson (1987: 134-215), kesopanan negative dapat dilakukan dengan penggunaan ungkapan tidak langsung yang sesuai dengan konvensi, menggunakan hedge, bersikap pesimis, mengurangi daya impositif, memberi penghormatan, menggunakan permohonan maaf, tidak menyebutkan 21 penutur dan lawan tutur secara gamblang, pernyataan yang mengancam muka dinyatakan sebagai ketentuan sosial yang berlaku, menominalkan pernyataan, menyebutkan secara jelas bahwa lawan tutur telah memberikan kebaikan. 4. Off Record Dengan menggunakan strategi off record, seseorang berarti tidak secara langsung dan gamblang dalam menyampaikan maksudnya kepada lawan bicara. Pengungkapan ini bisa saja berupa pernyataan yang sangat mungkin tidak disadari oleh lawan bicara sebagai pengungkapan suatu maksud. Dengan kata lain, strategi off record dilakukan dengan memberikan petunjuk kepada lawan tutur tentang maksud suatu tuturan tanpa menujukan tuturan secara langsung kepada lawan tutur (Yule, 1996: 67). Menurut Brown- Levinson (1987: 218) sub-strategi dari strategi off record antara lain adalah memberikan petunjuk (mengenai motif ataupun kondisi dalam melakukan FTA), memberikan petunjuka yang berupa asosiasi, memberikan presuposisi, understate, overstate, menggunakan tautologi, menggunakan kontradiksi, ironi, menggunakan metafora, menggunakan pertanyaan yang retorik, memberikan pernyataan yang ambigu, memberikan pernyataan yang kabur, over generalisasi, tidak menunjuk pada petutur secara langsung dan menggunakan elipsis. 5. Tidak melakukan apapun Strategi ini merupakan strategi yang paling tidak langsung untuk mewujudkan suatu tujuan. Sebagai ganti karena tidak mengatakan apapun, 22 seseorang bisa memberikan gesture ataupun tanda nonverbal lainnya dengan harapan tanda-tanda non verbal tersebut dapat dipahami oleh orang lain. 1.8. Metode Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahap, yakni penyediaan data, analisis data dan penyajian hasil analisis data. a. Metode Penyediaan Data Objek penelitian yang akan dikaji dalam tesis ini berupa kalimat-kalimat yang mengandung nilai persuasif, maka data penelitian dari penelitian ini adalah wacana iklan dalam majalah remaja putri Indonesia dan Jepang sepanjang tahun 2014 dan 2015 yang dipilih secara random. Jumlah total kalimat yang dijadikan objek penelitian adalah 500 kalimat, yang terdiri dari 250 kalimat bahasa Jepang dan 250 kalimat bahasa Indonesia. Total jumlah 250 kalimat bahasa Jepang diambil dari 71 buah wacana iklan dalam majalah remaja putrid Jepang sedangkan total jumlah 250 kalimat bahasa Indonesia diambil dari 71 buah wacana iklan dalam majalah remaja putrid Indonesia. Data diambil melalui studi kepustakaan dengan mencermati wacana iklan dalam majalah remaja putri Jepang dan Indonesia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak bebas cakap yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan (Kesuma, 2007: 45). Secara rinci, tahap penyediaan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang 2. Mencermati dan memiliah iklan-iklan yang ada di dalamnya 23 3. Melakukan transkripsi teks iklan b. Metode Analisis Data Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini secara rinci adalah sebagai berikut: 1. Coding. Setiap kalimat dalam iklan ditandai dengan nomor 1 sampai 5 sesuai dengan strategi kesopanan yang terkandung dalam masing-masing kalimat. Penomoran dilakukan dengan menggunakan metode agih dengan teknik baca markah untuk untuk menentukan identitas suatu konstruksi tertentu (Sudaryanto, 1993: 95). Dalam penelitian ini, teknik baca markah dilakukan untuk menentukan startegi kesopanan yang digunakan. Perhatikan contoh berikut: (3) Indonesia: Jangan biarkan jerawat dan kusam ganggu penampilanmu. (Go Girl 112/ Mei 2014) Jepang: Omoikiri tanoshinde tsukaitai Sepenuh hati menikmati ingin menggunakan „aku ingin menikmatinya sepenuh hati‟ (Sweet, Juni 2014) “Jangan” dalam contoh kalimat iklan berbahasa Indonesia menandakan larangan yang merupakan strategi bald on record, sehingga kalimat tersebut sdinomori dengan angka 1. Dalam kalimat bahasa Jepang, ~tai merupakan modalitas yang menyatakan keinginan orang pertama. Penggunaan sudut pandang orang pertama dalam iklan tersebut menandakan jenis tuturan tak langsung yang 24 temasuk dalam strategi off record, sehingga kalimat tersebut dinomori dengan angka 4. Kalimat-kalimat kemudian diverivikasi yang sudah menggunakan teridentifikasi metode strategi padan kesopanannya pragmatis dengan menggunakan mitra tutur sebagai alat penentu (Kesuma, 2007: 51). Mitra tutur yang dijadikan alat penentu dalam penelitian ini adalah peneliti sebagai penerima tutur wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang, remaja putri Indonesia sebagai target tutur wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan remaja putri Jepang sebagai target tutur wacana iklan majalah putri Jepang. Melalui sense pragmatis para pembaca akan diketahui validitas strategi kesopanan yang telah ditentukan sebelumnya. 2. Menghitung frekuensi dan membandingkan jumlah frekuensi Setelah semua kalimat dinomori sesuai dengan strategi kesopanan yang digunakan, selanjutnya frekuensi nomor yang menjadi kode strategi kesopanan akan dihitung frekuensinya. Setelah semua dihitung, frekuensi strategi kesopanan dan sub-sub strategi yang ada pada kedua majalah akan dibandingkan untuk dianalisis persamaan dan perbedaannya dengan menggunakan metode kontrastif dengan teknik hubung banding. Teknik ini dilakukan dengan membandingkan satuan kebahasan yang dianalisis dengan alat penentu berupa hubungan banding antara semua unsur penentu yang relevan (Sudaryanto dalam Kesuma, 2007: 53). Dalam hal ini, teknik hubung banding digunakan untuk mencari persamaan dan perbedaan prinsip-prinsip dan skala kesopanan yang digunakan dalam copywriting iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. Tujuan hubungan banding 25 adalah untuk mencari persamaan dan perbedaan antara satuan-satuan kebahasaan yang dianalisis. 3. Menghitung Bobot Skala Kesopanan dan FTA Data kuantitatf yang diperoleh dari hasil penghitungan persentase masingmasing strategi kesopanan kemudian digunakan untuk menghitung bobot skala kesopanan dan FTA. Dalam hal ini, FTA yang dimaksud adalah wacana iklan sebagai salah satu bentuk tindak tutur direktif. Pengitungan bobot FTA akan dilakukan dengan menjumlahkan bobot skala kesopanan, yaitu jarak/ distant (D). kekuatan/power (P) dan rangking imposisi (R). Dari hasil penghitungan bobot skala kesopanan akan diketahui skala kesopanan yang paling berpengaruh terhadap pemilhan strategi kesopanan pada kedua negara, sedangkan hasil penjumlahan bobot ketiga skala kesopanan tersebut akan diketahui nilai bobot keseluruhan untuk wacana iklan sebagai salah satu bentuk tindak tutur direktif. Dalam hal ini, bobot masing-masing skala dan kesuluruhan bobot ancaman dalam FTA dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. c. Metode Penyajian Hasil Analisis Data Setelah dilakukan analisis data, hasil analisis akan dilakuan dengan metode formal maupun informal. Metode formal dilakukan dengan cara menggunakan tanda, lambang maupun tabel, sedangkan metode informal dilakukan dengan cara menggunakan kata-kata yang dapat langsung dipahami secara mudah oleh pembaca (Sudaryanto, 1993: 145). 26 9. Sistematika Penyajian Sistematika penyajian hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, manfaat, landasan teori, tinjauan pustaka, dan metode penelitian. Bab II berisi tentang strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia. Bab III berisi tentang berisi tentang strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Jepang. Bab IV berisi tentang persamaan dan perbedaan penggunaan strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. Bab V berisi penghitungan bobot skala kesopanan dan bobot FTA wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. Bab VI berisikan kesimpulan dan saran.