1 BAB I 1.1 Latar Belakang Meningkatnya

advertisement
BAB I
1.1 Latar Belakang
Meningkatnya
perekonomian
sering
disebut-sebut
sebagai
alasan
banyaknya barang ataupun jasa yang ditawarkan oleh produsen melalui iklan
komersil. Oleh karena itu, tidak heran jika iklan komersil menjadi bagian dari
masyarakat dalam kesehariannya. Beriklan kemudian dipandang sebagai suatu
cara yang efektif dan paling jitu untuk mendongkrak perolehan konsumen dan
volume penjualan (Martodirdjo, 1998: 3). Dari sudut pandang ini dapat dikatakan
bahwa iklan yang baik adalah iklan yang mampu menyetir kepuasan konsumen
dan mempengaruhi sikap konsumen sehingga konsumen mau membeli produk
yang ditawarkan (Tanaka, 1994: 1). Untuk itu, seorang penulis iklan harus bisa
menciptakan emosi yang tepat pada saat yang tepat dan dengan cara yang tepat
sesuai dengan kelompok target yang dituju (Hill, 2010 : 1)
Pada dasarnya, iklan adalah berita
yang memuat pesan-pesan untuk
mendorong dan membujuk orang supaya tertarik kepada barang dan jasa yang
ditawarkan. H.R. Danandjaja (dalam Martodirdjo, 1998:8) menyatakan bahwa
iklan merupakan suatu publikasi yang bisa berupa reklame, pemberitahuan atau
pernyataan yang bersifat bukan berita. Aktifitas beriklan dilakukan dengan
menyewa satu ruangan khusus untuk beriklan dengan maksud memperkenalkan
atau memberi tahu sesuatu melalui mass media. Senada dengan H. R. Danandjaja,
C. H. Sandage (dalam Martodirdjo, 1998:9) menyatakan bahwa iklan merupakan
suatu informasi berupa ide, pelayanan atau produk. Menurut Lakoff (dalam
Peclova, 2010: 29), iklan merupakan suatu wacana persuasif. Suatu wacana
disebut sebagai wacana persuasif jika maksud dari wacana diketahui paling tidak
1
2
oleh salah satu pihak dalam wacana. Dalam iklan, maksud tersebut diketahui oleh
dua pihak dalam wacana iklan, yaitu pengiklan dan konsumen. Maksud yang ada
dalam iklan komersil adalah mengubah pikiran seseorang yang tidak ingin
membeli produk yang ditawarkan menjadi ingin membeli produk tersebut (Tanaka,
1994: 9).
Kalimat-kalimat persuasi yang terangkai dalam teks iklan secara langsung
ataupun tidak langsung mempunyai maksud menyuruh calon konsumen untuk
membeli produk yang ditawarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan dari
penjualan. Jika dilihat dari sudut pandang ini, nilai-nilai persuasi dalam wacana
iklan pada dasarnya terbentuk atas dasar prinsip-prinsip tindak tutur direktif atau
impositif yang memiliki fungsi untuk memerintah, menyuruh, ataupun meminta
(Taufik, 2013: 6). Menurut Leech (2011, 162), tindak tutur impositif atau direktif
mempunyai fungsi kompetitif atau bersaing dengan tujuan sosial. Sebuah
impositif dianggap tidak arif karena dapat memancing konflik. Untuk itu, perlu
diterapkan strategi-strategi kesopanan untuk mengurangi daya impositif, termasuk
daya impositif dalam kalimat-kalimat persuasi teks iklan. Pengurangan daya
impositif menggunakan strategi-strategi kesopanan penting bagi pengiklan untuk
memelihara hubungan sosial dan emosional yang baik dengan para pembaca.
Dengan cara tersebut diharapkan para pembaca tidak berkeberatan untuk menaruh
perhatian pada suatu iklan (Reza Pishghadam, Safoora Navari, 2012: 162).
Dewasa ini, strategi persuasi dalam iklan, termasuk penggunaan strategi
kesopanan,
nampaknya semakin bersifat impersonal dan seragam karena
kemajuan teknologi dan komunikasi. Sasaran penjualan produk maupun jasa tidak
lagi terbatas pada masyarakat tertentu tetapi sudah menggapai masyarakat global
3
yang multikultural (Kolodziej-Smith, 2013: 1). Oleh karena itu, dalam
penuyusunan teks wacana iklan nampaknya terdapat semacam kesopanan baku
yang bersifat universal. Kesopanan tersebut adalah mengenai face atau muka.
Face adalah citra diri yang dimiliki oleh semua orang (Brown dan Levinson,
1987:61). Goffman (dalam Kolodziej-Smith, 2013: 7) menjelaskan bahwa face
adalah citra atau nilai baik seseorang yang ia klaim untuk dirinya sendiri
berdasarkan asumsi orang lain mengenai drinya selama ia berpartisipasi dalam
kontak sosial. Dalam suatu kontak sosial, seseorang selalu berusaha untuk
menyelamatkan „muka‟ nya supaya dapat diterima, dikagumi atau dihormati oleh
orang lain. Mengingat wacana iklan merupakan salah satu bentuk tindak tutur
direktif yang dapat mengancam keselamatan muka calon konsumen, maka dalam
beriklan menyelamatkan face calon konsumen menjadi suatu hal yang harus
dilakukan oleh para pengiklan agar dapat menjual produknya. Dengan
menyelamatkan face calon konsumen, pengiklan berusaha untuk menghindari
reaksi sosial yang negatif dari calon konsumen sehingga calon konsumen tidak
merasa keberatan untuk membeli produk yang ditawarkan (Tanaka, 1994: 36)
Menurut Goffman (dalam Kolodziej-Smith, 2013: 7), menyelamatkan face
selalu bersifat universal, namun tidak dalam implementasinya. Implementasi
penyelamatan muka yang bersifat verbal maupun non verbal tetap bervariasi
secara kebudayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, Yule (1996: 60)
menjelaskan bahwa sangat dimungkinkan terdapat prinsip-prinsip umum
mengenai kesopanan yang
berbeda dalam kebudayaan yang berbeda.
Sehubungan dengan hal tersebut, Hughes (dalam Reza Pishghadam, Safoora
Navari, 2012: 162), menyatakan bahwa menelaah media iklan merupakan salah
4
satu cara yang bisa digunakan untuk mengetahui gagasan-gagasan menyangkut
kebudayaan.
Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa melalui iklan akan
diketahui nilai-nilai kebudayaan tertentu, termasuk nilai-nilai kesopanan dalam
masyarakat. Hal ini disebabkan karena setiap pengiklan di berbagai budaya
menggunakan strategi-strategi persuasif yang berbeda, terutama yang menyangkut
strategi kesopanan yang digunakan untuk membina hubungan baik dengan calon
konsumen.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai usaha untuk mendalami
perbedaan nilai-nilai budaya yang menyangkut strategi kesopanan pada budaya
Indonesia dan Jepang, penelitian ini menjadikan iklan dalam majalah remaja putri
Indonesia dan Jepang sebagai sumber data penelitian. Asumsi bahwa terdapat
perbedaan strategi kesopanan dalam kedua majalah tersebut diawali dengan
ditemukannya perbedaaan jumlah yang cukup signifikan dalam penggunaan
strategi kesopanan bald on record dalam kedua majalah tersebut. Strategi bald on
record dengan menggunakan bentuk kalimat imperatif langsung yang berfungsi
untuk menyuruh atau menganjurkan calon konsumen melakukan sesuatu
cenderung lebih banyak ditemukan dalam wacana iklan majalah remaja putri
Indonesia daripada dalam majalah remaja putri Jepang. Bandingkan wacana iklan
berbahasa Indonesia dan Jepang di bawah ini.
(1) Gaya Spa‟s Body Care!
Ingin punya kulit yang cantik dan terawatt?
Gunakan Skin Refiner dari Gaya Spa!
Cream nya mengandung pelembab dan scrub alami yang berfungsi sebagai
antioksidan, anti aging dan lainnya.
Sedangkan lotion-nya memiliki UV protectan yang membantu
melembabkan kulit.
(Girl Friend/ Mei 2014)
5
(2) Fashion Satoko Miyata.
„Satoko Miyata Fashion‟
Ichi nen de ichiban gaariina kibun ni naru!
Satu tahun dalan paling gadis perasaan menjadi
„ Perasaan menjadi gadis remaja paling besar dalam satu tahun‟
Natsu
ni shitai fashion kiiwaado wa kono futatsu!
musim panas pada ingin fashion kata kunci TPK ini lima
„Ini lah lima kata kunci fashion yang ingin (saya) kenakan pada musim
panas‟
Hiyake
wa
dekinai kedo, umi mochiifu ya gara mono de
Terbakar matahari TPK tidak bisa tetapi, laut motif dan pola hal dengan
tenshon agemasu!
tensi
naik
„Walaupun tidak bisa menghitamkan kulit, namun motif laut dan polanya
bisa menaikkan tensi‟.
(Girl, 7 Juli 2014)
Dalam contoh (1) yang merupakan teks iklan dalam majalah remaja putri
Indonesia penggunaan bentuk kalimat imperatif dapat dilihat pada kalimat yang
bergaris bawah. Sedangkan pada contoh (2) yang merupakan teks iklan dalam
majalah remaja putri Jepang tidak ditemukan penggunaan bentuk imperatif.
Dalam kalimat bergaris bahwa pada contoh (1), dapat terlihat bahwa pengiklan
secara langsung menyuruh calon konsumen untuk menggunakan produk yag
diiklankan, sedangkan pada contoh (2) yang merupakan wacana iklan berbahasa
Jepang, terlihat bahwa pengiklan mengutarakan maksud secara lebih implisit.
Perbedaan dalam cara mengutarakan maksud seperti pada kedua contoh di atas
menunjukkan bahwa pengiklan pada lingkungan budaya yang berbeda
menggunakan strategi kesopanan yang berbeda untuk menyampaikan maksudnya.
Perbedaan tersebut sangat dimungkinkan bukanlah merupakan suatu kebetulan
melainkan ada faktor tertentu yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai orientasi kesopanan
6
pada budaya Indonesia dan Jepang, iklan majalah remaja putri pada dua negara
tersebut harus dikaji lebih mendalam melalui kacamata pragmatik kontrastif.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri
Indonesia ?
2. Bagaimanakah strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri
Jepang?
3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan strategi kesopanan dalam wacana
iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang?
4. Mengapa terdapat perbedaan dalam bentuk strategi kesopanan dalam wacana
iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Mendeskripsikan strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri
Jepang.
2. Mendeskripsikan strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri
Jepang.
3. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan strategi kesopanan dalam wacana
iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang.
7
4. Menjelaskan alasan terjadinya perbedaan dalam bentuk strategi kesopanan
dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memfokuskan kajian, maka ada beberapa batasan yang digunakan
dalam penelitian ini. Batasan-batasan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Wacana iklan yang akan digunakan sebagai data adalah wacana iklan komersil
tentang fashion dan kosmetik dalam majalah remaja putrid yang berusia 15
sampai 25 tahun. Pembatasan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan
ketersediaan data. Wacana iklan komersil fashion dan majalah merupakan data
lunak yang mudah didapatkan dan berjumlah banyak sehingga memudahkan
penulis untuk mendapatkan data.
b. Kedua, majalah yang digunakan adalah majalah remaja putri Jepang dan
Indonesia yang beredar pada tahun 2014 dan 2015. Digunakannya majalah
keluaran tahun 2014 dan 2015 didasarkan pada pertimbangan kemutakhiran
fenomena kebahasan, terutama bahasa anak muda yang senantiasa berubah.
c. Strategi persuasif yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada strategi
kesopanan menyangkut face threatening act (FTA).
d. Strategi kesopanan yang dikaji hanyalah strategi kesopanan yang menyangkut
tindak verbal (piktorial sebagai strategi kesopanan yang paling tidak langsung
tidak dikaji dalam penelitian ini).
8
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis. Berikut ini adalah manfaat teoritis dan praktis dari kajian
kontrastif pragatik wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang.
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsih bagi perkembangan kajian kontrastif pragmatik yang
tergolong masih baru.
Secara khusus, penjabaran strategi kesopanan yang
digunakan dalam majalah bisa digunakan sebagai korpus data tambahan bagi
penelitian-penelitian mengenai strategi kesopanan selanjutnya. Pemahaman akan
penggunaan strategi kesopanan dalam dua kultur yang berbeda diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu humaniora, terutama yang berkaitan dengan
kebudayaan Indonesia dan Jepang.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia
pendidikan, baik pendidikan Bahasa Jepang maupun Bahasa Indonesia. Hal ini
disebabkan karena kemampuan pragmatik sangat penting dalam pembelajaran
bahasa asing. Pengajaran bahasa yang hanya difokuskan dari segi struktural akan
menimbulkan banyak kendala ketika tidak dikaitkan dengan penggunaan bahasa
secara praktis dan fungsional di lapangan. Oleh karena itu, pendekatan pragmatik
dapat dijadikan suati alternatif solusi dalam menghadapi kebutuhan dalam
kegiatan belajar mengajar bahsa asing (Rohmadi, 2012: 528). Oleh karena
penelitian ini mengkaji bahasa dalam iklan, maka manfaat praktis pengajaran
9
bahasa terutama ditujukan untuk keperluan pembelajaran bahasa asing dalam
dunia bisnis.
Stretegi kesopanan yang ada di dalam majalah Indonesia dan Jepang
diharapkan mampu memberikan gambaran bagi pembelajar bahasa Jepang
ataupun bahasa Indonesia tentang penggunaan bahasa dalam konteks yang
sebenarnya. Pemahaman pragmatik mengenai kesopanan dalam dua bahasa yang
berbeda akan dapat menghindarkan pembelajar bahasa Jepang ataupun bahasa
Indonesia dari cultural shock ketika mengaplikasikan bahasa tersebut dalam
konteks yang sesungguhnya.
1.6 Tinjauan Pustaka
Mengingat pembicaraan mengenai strategi periklanan melingkupi studi
keilmuan yang cukup luas, tidak mengherankan jika ditemukan kajian mengenai
iklan dalam berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, bisnis maupun lingusitik.
Salah satu pustaka menyangkut stretegi periklanan dalam ranah ilmu psikologi
adalah karya Dan Hill dalam buku yang berjudul About Face. The Secret of
Emotionally
Effective
Advertising
(2010).
Dalam
tulisan
tersebut
Hill
memfokuskan kajian mengenai penggunaan ekspresi wajah yang tepat sebagai
startegi periklanan yang penting untuk mempengaruhi konsumen.
Dalam bidang bisnis ditemukan karya Scott Armstrong dalam buku yang
berjudul Persuasive Advertising, Evidence Based Principle (2010). Dalam
bukunya, Scott banyak menjelaskan mengenai prinsip dan taktik strategi
periklanan yang disertai dengan contoh-contoh iklan paling sukses dalam sejarah
periklanan di Inggris. Selain itu ditemukan juga karya Renata Kolodziej-Smith,
Daniel Patrick Friesen dan Attila Yaprak yang diterbitkan sebagai artikel dalam
10
jurnal Global Advances in Business Comunication dengan judul „Does Culture
Affect how People Receive and Resist Persuasif Messages? Research Proposals
about Resistance to Persuasion in Cultural Groups‟ (2013). Artikel dalam jurnal
tersebut membahas mengenai bagaimana budaya mempengaruhi daya tahan
seseorang terhadap kekuatan persuasif dalam iklan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan, dikatakan bahwa bentuk-bentuk promosi yang tepat dibutuhkan untuk
konsumen dengan latar budaya yang berbeda.
Mengingat iklan banyak menggunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi
dengan konsumen, maka dalam bidang lingusitik banyak ditemukan pustakapustaka yang mengkaji startegi periklanan. Pertama, Yuko Koga dan Bethyl A
Pearson (1992) mengukur strategi kesopanan dalam majalah wanita di Jepang dan
Amerika menggunakan model kesopanan Brown-Levinson dan Ting Toomey.
Dalam tulisan berjudul “Cross-Cultural Advertising Strategies in Japanese vs.
American Women's Magazines” yang dimuat dalam jurnal Intercultural
Communication Studies II, Koga dan Pearson berpendapat bahwa iklan pada
majalah wanita Jepang lebih cenderung menggunakan strategi sosial, sedangkan
iklan pada majalah wanita Amerika cenderung menggunakan strategi individual.
Kedua, Keiko Tanaka dalam buku berjudul A Pragmatic Approach to
Advertisements in Britain and Japan (1994) menulis mengenai perbedaan
penggunaan bahasa iklan majalah wanita Jepang dan Inggris. Fokus utama
penelitian Tanaka adalah bagaimana bahasa iklan berhasil memanipulasi para
konsumen melalui bentuk komunikasi yang implisit dan tersembunyi seperti
permainan kata-kata, metafora dan ikon wanita. Ketiga, Angela Goddard dalam
buku The Language of Advertising (1998) memberikan contoh-contoh permainan
11
bahasa yang efektif digunakan sebagai strategi periklanan seperti teks simbol,
kalimat komparatif dan sebagainya.
Keempat, dalam disertasi berjudu Persuasive Strategies ini Advertiseing
Discourse. A Lexico-Grammatical and Sosio-Pragmatic Analysis (2010), Jana
Pelclova mengkaji mengenai iklan televisi dari aspek leksiko-gramatikal dan
sosio-pragmatik. Kajian dari sudut pandang leksiko-gramatikal difokuskan pada
bagaimana bahasa lisan dan tulisan dikombinasikan dalam iklan televisi sehingga
dapat menjadi alat komunikasi yang efektif dengan konsumen. Berbeda dengan
sudut
pandang
leksiko-gramatikal,
sudut
pandang
sosio-pragmatik
mempresuposisikan bahwa hubungan antara pengiklan dan konsumen
serta
produk yang diiklankan mempunyai dampak terhadap pemilihan prinsip-prinsip
pragmatik yang diaplikasikan ataupun yang dijadikan latar belakang dalam iklan.
Kelima, Ika Maratus Solihkah dalam tesis yang berjudul Wacana Iklan
Komersial Berbahasa Inggris dan Indonesia di Televisi (2010) membahas
mengenai ragam bahasa dan teknik persuasif yang digunakan dalam wacana
iklan berbahasa Inggris dan Indonesia di televisi. Berdasarkan hasil penelitiannya,
Solikhah menyimpulkan bahwa keduanya menggunakan tiga teknik persuasif
sebagai strategi periklanan yaitu ethos (mengedepankan kehebatan perusahaan),
pathos (mengedepankan aspek emosi) dan logos (menyediakan logika dan alasan
yang kuat serta fakta-fakta yang sistematis). Sedangkan dari segi penggunaan
ragam bahasa, wacana iklan berbahasa Indonesia menggunakan bahasa standar
maupun non-standar, sedangkan wacana iklan berbahasa Inggris cenderung
menggunakan bahasa standar.
12
Keenam, Reza Pishghadam dan Safoora Navari dalam tulisan berjudul “A
Study Into Politenees Markers in Advertisements as Persuasive Tools” yang
diterbitkan dalam jurnal Mediterranian Journal of Social Science Vol 3
membahas mengenai perbedaan strategi kesopanan dan penanda kesopanan
sebagai strateg persuasif dalam iklan berbahasa Inggris dan Persia. Dari hasil
penelitiannya diketahui bahwa iklan berbahasa Inggris cenderung menggunakan
strategi
kesopanan positif sedangan
iklan berbahasa
Persia
cenderung
menggunakan strategi kesopanan indirect-off record.
Penelitian yang akan dilakukan dalam karya ini berbeda dengan pustakapustaka
sebelumnya. Perbedaan mendasar antara penelitian ini dan pustaka-
pustaka sebelumnya adalah bahwa penelitian ini difokuskan pada bentuk-bentuk
startegi kesopanan sebagai startegi persuasif di dua negara yang berbeda yaitu
Jepang dan Indonesia. Perbedaan strategi kesopanan yang ada di antara kedua
negara tersebut kemudian akan dijelaskan melalui perspektif sosial budaya serta
skala kesopanan yang melatarbelakanginya. Kajian analisis kontrastif pragmatik
antara bahasa Jepang dan bahasa Indonesia sejauh pengamatan penulis juga belum
pernah dilakukan.
1.7 Landasan Teori
Sebagai dasar dari penelitian ini, akan dipaparkan gagasan-gagasan
teoretis yang menjadi pijakan bagi penelitian ini. Mengingat persuasif dalam iklan
sanngat dipengaruhi oleh kebudayaan (Kolodziej-Smith, 2013: 2) dan merupakan
salah satu jenis tindak tutur direktif atau impositif yang merupakan tindakan
mengancam muka (face threatenig act) (Searle dalam Reza Pishghadam, Safoora
13
Navari, 2012: 161), maka diperlukan strategi kesopanan untuk dapat
meminimalisir keimpositifan tindak tutur tersebut. Atas dasar tersebut, maka
kerangka teoretis yang akan dipaparkan adalah sebagai berikut: (a) Prinsip-prinsip
kontrastif pragmatik, (b) Face Negotiation Theory, (b) Strategi kesopanan dan
skala kesopanan.
7.1Prinsip-Prinsip Kontrastif Pragmatik
Pada dasarnya kajian kontrastif pragmatik memiliki kerangka kerja yang
sama dengan kajian kontrastif
struktural, yaitu mencari dan menemukan
persamaan dan perbedaan dari unsur-unsur yang dibandingkan untuk kemudian
disarikan implikasinya. Hal yang membedakan kajian pragmatik kontrastif dengan
kontrastif struktural adalah unsur-unsur yang dikontraskan. Jika kajian kontrastif
struktural mengkontraskan sistem formal bahasa, kajian kontrastif pragmatik
mengkontraskan prinsip-prinsip pragmatik dalam suatu penggunaan bahasa.
Sebelum melangkah menuju prinsip-prinsip kontrastif pragmatik, perlu
diketahui bahwa layaknya kajian pragmatik lainnya, kajian kontasrtif pragmatik
juga berlandaskan teori fumgsioanal bahasa. Dalam hal kebahasaan, teori
fungsional menjelaskan bahasa sebagai sebuah bentuk komunikasi yang
berorientasi pada maksud, tujuan, sasaran ataupun rencana yang didasarkan pada
motovasi penutur (Leech, 2011: 70-71). Teori fungsional menyebutkan bahwa
makna suatu tuturan dibentuk oleh tujuan. Dalam hal ini, bentuk-bentuk formal
bahasa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut (Chesterman, 1998:
63-64). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa bukanlah suatu
sistem yang otonom, melainkan dipengaruhi dan dibentuk oleh faktor-faktor di
14
luar kebahasaan seperti kognisi, sosial dan kebudayaan (Butler; Gomez-Gonzales;
Zuarez, 2005: 4)
Dari penjelasan fungsional tersebut, dalam kajian kontrastif pragmatik
faktor budaya yang meliputi sistem kemasyarakatan maupun kognisi masyarakat
dijadikan skala utama dalam mengkontraskan penggunaan bahasa yang memiliki
maksud dan tujuan tertentu. Dengan kata lain, kajian pragmatik kontrastif
menekankan kepada bagaimana komunikasi dilakukan dalam budaya yang
berbeda. Dalam hal ini, penekanan difokuskan pada bagaimana prinsip-prinsip
pragmatik digunakan oleh orang-orang dari suatu komunitas bahasa yang berbeda
(Chesterman, 2005: 155). Putz dan Aertsealer (2008: x) mengatakan bahwa fokus
kajian ini adalah bagaimana cara orang-orang dari latar budaya berbeda dalam
menyampaikan suatu maksud. Dari penjelasan tersebut, prinsip-prinsip yang
melandasi kajian kontrastif pragmatik dapat disarikan dalam tiga poin berikut ini:
1. Perbedaan
asumsi
kultural
mengenai
situasi
dan
bagaimana
menunjukkan sikap yang tepat dalam situasi tertentu.
2. Perbedaan cara menyampaikan suatu informasi atau argumen dalam
suatu percakapan
3. Perbedaan cara bicara (Gumperz dalam Yule, 1996: 113).
7.2 Face Negotiation Theory
Face merupakan citra diri di muka publik yang mengacu pada emosi dan
sense sosial. Setiap orang selalu memiliki kebutuhan agar emosi dan sense sosial
tersebut disadari oleh orang lain di sekitarnya (Yule, 1996: 60). Menurut Brown
dan Levinson (1987), istilah face berhubungan erat dengan perasaan malu atau
15
terancam yang dimiliki oleh setiap orang saat berinteraksi dengan orang lain. Oleh
karena itu, dalam setiap interaksi orang akan berusaha bertindak untuk tidak
mempermalukan atau mengancam muka diri sendiri atau orang lain. Dalam
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap interaksi, seseorang
akan selalu memelihara face-nya sendiri maupun face orang lain agar tidak
kehilangan muka (face loss).
Face adalah karateristik universal pada tiap budaya. Dalam berinteraksi,
penutur harus menghormati harapan satu sama lain menyangkut citra diri (Cutting,
2002: 45). Ada dua citra diri yang diharapkan oleh setiap orang. Citra diri yang
pertama mengacu pada positive face. Positive face adalah kebutuhan seseorang
untuk merasa diterima dan disukai oleh orang lain. Sedangkan citra diri kedua
mengacu pada negative face yang merupakan kebutuhan seseorang untuk merasa
independen, bebas untuk melakukan sesuatu ataupun untuk tidak diperintah oleh
orang lain (Yule, 1987: 61)
Dalam setiap interaksi orang selalu dihadapkan pada dua pilihan untuk
menyelamatkan face-nya sendiri (orientasi defensive)
atau face-orang lain
(orientasi protektif) (Goffman, 1967: 14). Usaha-usaha yang dilakukan untuk
memelihara face, baik positif maupun negatif saat berinteraksi disebut dengan
facework. Renata Kolodziej-Smith, Daniel Patrick Friesen, Attila Yaprak (2013:
45) berpendapat bahwa face work berhubungan dengan kebiasaan verbal atau non
verbal spesifik yang dilakukan oleh seseorang untuk menjaga face-nya sendiri
ataupun face orang lain. Goffman (1967: 12-13) menyatakan bahwa setiap orang,
budaya ataupun kelompok-kelompok masyarakat mempunyai caranya masingmasing dalam melakukan face work. Face work
dapat menetralkan tindakan-
16
tindakan yang mengancam face pada setiap interaksi. Dengan kata lain, face
work dapat mengubah sesuatu yang mengancam menjadi hal yang sopan dan
termaafkan (Renata Kolodziej-Smith, Daniel Patrick Friesen, Attila Yaprak, 2013:
7)
Pada dasarnya, setiap tindakan yang mengancam positive face ataupun
negative face diri sendiri maupun orang lain dapat digolongkan sebagai FTA
(Face Threatening Act). FTA dapat menyebabkan terjadinya face loss atau
kehilangan muka. FTA yang mengancam positive face orang lain contohnya ialah
ketidaksetujuan, kritik, mempermalukan, menantang dan sebagainya. FTA yang
mengancam negatif face otang lain contohnya ialah memerintah, meminta, nasihat,
mengingatkan, memperingatkan dan lain sebagainya
FTA yang mengancam
positive face diri sendiri contohnya ialah meminta maaf, mempermalukan diri
sendiri, pengakuan dan emosi yang tidak terkendali. Sedangkan FTA yang
mengancam negative face diri sendiri contohnya adalah mengucapkan terima
kasih, menerima permintaan maaf atau ucapan terima kasih, beralasan, menerima
tawaran ataupun membuat janji atau penawaran yang tidak diinginkan (Penelope
Brown, Stephen Levinson, 1987: 70-71).
7.3 Strategi Kesopanan dan Skala Kesopanan
Menurut Goffman (1967: 15-16), cara yang paling efektif untuk mencegah
ancaman pada face diri sendiri ataupun orang lain adalah dengan menghindari
segala bentuk FTA yang mungkin terjadi. Secara konkrit, bentuk penghindaran
FTA adalah dengan menunjukkan respek dan sopan santun kepada orang lain.
Dari pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa kesopanan atau kesantunan
17
menjadi hal yang sangat penting dalam komunikasi. Kesopanan berfungsi sebagai
penjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan. Dengan hubungan yang
baik antar peserta tutur, maka komunikasi dapat berjalan dengan baik(Leech,
2011: 124). Lebih jauh Leech (dalam Wijana, 2008: 54) berpendapat bahwa
kesopanan adalah maksim urutan pertama yang sangat mempengarauhi kelancaran
interksi interpersonal.
Pada dasarnya, kesopanan mengatur dua jenis fungsi tindak tutur, yaitu
fungsi kompetitif dan fungsi menyenangkan. Fungsi kompetitif merujuk pada
tujuan tindak tutur yang bersaing dengan tujuan sosial yaitu tindak tutur direktif
seperti memerintah, meinta, menuntut dan sebagainya. Sebaliknya, fungsi
menyenagkan merujuk pada tujuan tindak tutur yang sejalan dengan tujuan sosial
yaitu tindak tutur ekspresif yang berorientasi pada keramah-tamahan. Tujuantujuan kompetitif pada dasarnya adalah tujuan yang tidak bertata karma. Oleh
karena itu, kesopanan diperlukan untuk memperlembut sifat kurang bertata karma
yang secara intrinsik terkandung dalam tujuan tersebut. Sebaliknya, tujuan-tujuan
menyenangkan yang pada dasarnya sudah sangat sejalan dengan tujuan sosial
memerlukan kesopanan untuk menambah derajat keramahtamahannya (Leech,
2011: 162-163). Mengingat kedua fungsi tindak tutur tersebut dapat berpotensi
menjadi FTA yang dapat menyebabkan face loss, maka diperlukan strategi-straegi
kesopanan yang konkrit untuk dapat meminimalisir ancaman yang mungkin
ditimbulkan.
Jika digambarkan dalam bagan, maka strategi-strategi kesopanan
dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.
18
Estimasi Resiko Face Loss
Kecil
besar
Melakukan
FTA
Off record
5. tidak melakukan
FTA
on record
1. Tanpa aksi ganti rugi
(bald on record)
dengan aksi ganti rugi
2. Kesopanan positif
3. kesopanan negatif
Bagan 1: strategi kesopanan
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat beberapa opsi untuk
menghindari FTA yang dapat menyebabkan face loss. Angka 1 mengindikasikan
cara yang paling langsung, sedangkan angka 5 mengindikasikan cara yang paling
tidak langsung dalam melakukan FTA. Pemilihan strategi kesopanan dilakukan
berdasarkan pengukuran penutur terhadap besarnya bobot ancaman FTA yang
akan ia lakukan. Menurut Brown dan Levinson, pertimbangan besarnya resiko
FTA dilakukan berdasarkan atas penjumlahan tiga skala kesopanan yaitu
kekuatan/power (P) peserta interaksi, jarak/ distant (D) hubungan peserta interaksi
dan rangkin imposisi dalam suatu kebudayaan (R). Jika resiko FTA dianggap
kecil maka strategi nomor 1 (bald on record) bisa digunakan untuk melakukan
FTA, namun jika dianggap terlalu besar maka digunakan strategi nomor 5 (tidak
melakukan FTA) (Thomas, 2013: 169-170). Dengan kata lain, semakin besar
19
bobot ancaman suatu FTA, penutur akan memilih strategi kesopanan yang
memiliki angka lebih besar dan sebaliknya (lihat penomoran strategi kesopanan
dalam bagan di atas). Berikut ini adalah penjelasan masing-masing strategi yang
termuat dalam bagan di atas.
1. Bald on record
Menurut Brown dan Levinson (1987: 98-103). Bald on record adalah strategi
kesopanan yang bersifat paling langsung dan eksplisit. Penggunaan kalimatkalimat imperatif langsung merupakan contoh yang paling jelas dari strategi ini
Kondisi-kondisi yang memungkinkan digunakannya strategi bald on record antara
lain ialah:
a. Jika kondisi menuntut efisiensi penyampaian pesan secara maksimal
dalam kondisi-kondisi yang sangat mendesak. Misalnya: “tolong!”
b. Jika
penutur
membutuhkan
menganggap
efisiensi
apa
yang
penyampaian
ingin
pesan
disampaikannya
secara
maksimal.
Misalnya: “Dengarkan, aku punya ide bagus”.
c. Jika FTA dilakukan demi kepentingan petutur, seperti nasihat dan
peringatan. Misalnya: “Hati-hati, dia orang yang berbahaya.”
Dalam iklan, strategi bald on record bisa diwujudkan dengan:
a.
pernyataan ketidaksetujuan
b.
Nasihat
c.
Peringatan
d.
Perintah atau anjuran
(Reza Pishghadam, Safoora Navari, 2012: 165)
20
2. Strategi Positif
Strategi positif menekankan pada kedekatan antara penutur dan petutur.
Strategi positif menekankan kepada positif face yaitu kebutuhan seseorang untuk
diterima dan diakui oleh orang lain (Yule. 1996: 66). Brown-Levinson (1987:108134) menyebutkan bentuk konkrit kesopanan positif. Bentuk-bentuk tersebut atau
sub strategi kesopanan positif antara lain adalah memperhatikan minat kawan
tutur,melebih-lebihkan rasa ketertarikan, meningkatkan rasa tertarik kepada lawan
tutur, menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri, mencari dan
mengusahakan persetujuan dengan lawan tutur, menghindari pertentangan,
menimbulkan persepsi sejumlah persamaan antara penutur dan lawan tutur,
membuat lelucon, menunjukkan pemahaman terhadap keinginan lawan tutur,
membuat penawaran atau janji, menunjukkan rasa optimism, melibatkan lawan
tutur dan penutur dalam kegiatan bersama, memberikan dan meminta alasan,
menawarkan suatu tindakan timbal balik dan memberikan rasa simpati.
3. Strategi Negatif
Strategi negatif menekankan pada kebebasan lawan tutur.
Kesopanan
negatif menekankan kepada negatif face yaitu kebutuhan seseorang untuk menjadi
independen, mempunyai kebebasan dan tidak diperintah oleh orang lain (Yule,
1996: 66). Menurut Brown- Levinson (1987: 134-215), kesopanan negative dapat
dilakukan dengan penggunaan ungkapan tidak langsung yang sesuai dengan
konvensi, menggunakan hedge, bersikap pesimis, mengurangi daya impositif,
memberi penghormatan, menggunakan permohonan maaf, tidak menyebutkan
21
penutur dan lawan tutur secara gamblang, pernyataan yang mengancam muka
dinyatakan sebagai ketentuan sosial yang berlaku, menominalkan pernyataan,
menyebutkan secara jelas bahwa lawan tutur telah memberikan kebaikan.
4. Off Record
Dengan menggunakan strategi off record, seseorang berarti tidak secara
langsung dan gamblang dalam menyampaikan maksudnya kepada lawan bicara.
Pengungkapan ini bisa saja berupa pernyataan yang sangat mungkin tidak disadari
oleh lawan bicara sebagai pengungkapan suatu maksud. Dengan kata lain, strategi
off record dilakukan dengan memberikan petunjuk kepada lawan tutur tentang
maksud suatu tuturan tanpa menujukan tuturan secara langsung kepada lawan
tutur (Yule, 1996: 67). Menurut Brown- Levinson (1987: 218) sub-strategi dari
strategi off record antara lain adalah memberikan petunjuk (mengenai motif
ataupun kondisi dalam melakukan FTA), memberikan petunjuka yang berupa
asosiasi, memberikan presuposisi, understate, overstate, menggunakan tautologi,
menggunakan
kontradiksi,
ironi,
menggunakan
metafora,
menggunakan
pertanyaan yang retorik, memberikan pernyataan yang ambigu, memberikan
pernyataan yang kabur, over generalisasi, tidak menunjuk pada petutur secara
langsung dan menggunakan elipsis.
5. Tidak melakukan apapun
Strategi ini merupakan strategi yang paling tidak langsung untuk
mewujudkan suatu tujuan. Sebagai ganti karena tidak mengatakan apapun,
22
seseorang bisa memberikan gesture ataupun tanda nonverbal lainnya dengan
harapan tanda-tanda non verbal tersebut dapat dipahami oleh orang lain.
1.8. Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahap, yakni penyediaan data,
analisis data dan penyajian hasil analisis data.
a. Metode Penyediaan Data
Objek penelitian yang akan dikaji dalam tesis ini berupa kalimat-kalimat
yang mengandung nilai persuasif, maka data penelitian dari penelitian ini adalah
wacana iklan dalam majalah remaja putri Indonesia dan Jepang sepanjang tahun
2014 dan 2015 yang dipilih secara random. Jumlah total kalimat yang dijadikan
objek penelitian adalah 500 kalimat, yang terdiri dari 250 kalimat bahasa Jepang
dan 250 kalimat bahasa Indonesia. Total jumlah 250 kalimat bahasa Jepang
diambil dari 71 buah wacana iklan dalam majalah remaja putrid Jepang sedangkan
total jumlah 250 kalimat bahasa Indonesia diambil dari 71 buah wacana iklan
dalam majalah remaja putrid Indonesia. Data diambil melalui studi kepustakaan
dengan mencermati wacana iklan dalam majalah remaja putri Jepang dan
Indonesia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak bebas cakap
yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut berpartisipasi
dalam proses pembicaraan (Kesuma, 2007: 45).
Secara rinci, tahap penyediaan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang
2. Mencermati dan memiliah iklan-iklan yang ada di dalamnya
23
3. Melakukan transkripsi teks iklan
b. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini secara rinci
adalah sebagai berikut:
1. Coding.
Setiap kalimat dalam iklan ditandai dengan nomor 1 sampai 5 sesuai
dengan strategi kesopanan yang terkandung dalam masing-masing kalimat.
Penomoran dilakukan dengan menggunakan metode agih dengan teknik baca
markah untuk untuk menentukan identitas suatu konstruksi tertentu (Sudaryanto,
1993: 95). Dalam penelitian ini, teknik baca markah dilakukan untuk menentukan
startegi kesopanan yang digunakan. Perhatikan contoh berikut:
(3) Indonesia:
Jangan biarkan jerawat dan kusam ganggu penampilanmu.
(Go Girl 112/ Mei 2014)
Jepang:
Omoikiri
tanoshinde
tsukaitai
Sepenuh hati menikmati ingin menggunakan
„aku ingin menikmatinya sepenuh hati‟
(Sweet, Juni 2014)
“Jangan” dalam contoh kalimat iklan berbahasa Indonesia menandakan
larangan yang merupakan strategi bald on record, sehingga kalimat tersebut
sdinomori dengan angka 1. Dalam kalimat bahasa Jepang, ~tai merupakan
modalitas yang menyatakan keinginan orang pertama. Penggunaan sudut pandang
orang pertama dalam iklan tersebut menandakan jenis tuturan tak langsung yang
24
temasuk dalam strategi off record, sehingga kalimat tersebut dinomori dengan
angka 4.
Kalimat-kalimat
kemudian
diverivikasi
yang
sudah
menggunakan
teridentifikasi
metode
strategi
padan
kesopanannya
pragmatis
dengan
menggunakan mitra tutur sebagai alat penentu (Kesuma, 2007: 51). Mitra tutur
yang dijadikan alat penentu dalam penelitian ini adalah peneliti sebagai penerima
tutur wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang, remaja putri
Indonesia sebagai target tutur wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan
remaja putri Jepang sebagai target tutur wacana iklan majalah putri Jepang.
Melalui sense pragmatis para pembaca akan diketahui validitas strategi kesopanan
yang telah ditentukan sebelumnya.
2. Menghitung frekuensi dan membandingkan jumlah frekuensi
Setelah semua kalimat dinomori sesuai dengan strategi kesopanan yang
digunakan, selanjutnya frekuensi nomor yang menjadi kode strategi kesopanan
akan dihitung frekuensinya. Setelah semua dihitung, frekuensi strategi kesopanan
dan sub-sub strategi yang ada pada kedua majalah akan dibandingkan untuk
dianalisis persamaan dan perbedaannya dengan menggunakan metode kontrastif
dengan teknik hubung banding. Teknik ini dilakukan dengan membandingkan
satuan kebahasan yang dianalisis dengan alat penentu berupa hubungan banding
antara semua unsur penentu yang relevan (Sudaryanto dalam Kesuma, 2007: 53).
Dalam hal ini, teknik hubung banding digunakan untuk mencari persamaan dan
perbedaan prinsip-prinsip dan skala kesopanan yang digunakan dalam copywriting
iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. Tujuan hubungan banding
25
adalah untuk mencari persamaan dan perbedaan antara satuan-satuan kebahasaan
yang dianalisis.
3. Menghitung Bobot Skala Kesopanan dan FTA
Data kuantitatf yang diperoleh dari hasil penghitungan persentase masingmasing strategi kesopanan kemudian digunakan untuk menghitung bobot skala
kesopanan dan FTA. Dalam hal ini, FTA yang dimaksud adalah wacana iklan
sebagai salah satu bentuk tindak tutur direktif. Pengitungan bobot FTA akan
dilakukan dengan menjumlahkan bobot skala kesopanan, yaitu jarak/ distant (D).
kekuatan/power (P) dan rangking imposisi (R). Dari hasil penghitungan bobot
skala kesopanan akan diketahui skala kesopanan yang paling berpengaruh
terhadap pemilhan strategi kesopanan pada kedua negara, sedangkan hasil
penjumlahan bobot ketiga skala kesopanan tersebut akan diketahui nilai bobot
keseluruhan untuk wacana iklan sebagai salah satu bentuk tindak tutur direktif.
Dalam hal ini, bobot masing-masing skala dan kesuluruhan bobot ancaman dalam
FTA dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya.
c.
Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah dilakukan analisis data, hasil analisis akan dilakuan dengan
metode formal maupun informal. Metode formal dilakukan dengan cara
menggunakan tanda, lambang maupun tabel, sedangkan metode informal
dilakukan dengan cara menggunakan kata-kata yang dapat langsung dipahami
secara mudah oleh pembaca (Sudaryanto, 1993: 145).
26
9. Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab I
berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, manfaat,
landasan teori, tinjauan pustaka, dan metode penelitian. Bab II berisi tentang
strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri Indonesia. Bab III
berisi tentang berisi tentang strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah
remaja putri Jepang. Bab IV berisi tentang
persamaan dan perbedaan
penggunaan strategi kesopanan dalam wacana iklan majalah remaja putri
Indonesia dan Jepang. Bab V berisi penghitungan bobot skala kesopanan dan
bobot FTA wacana iklan majalah remaja putri Indonesia dan Jepang. Bab VI
berisikan kesimpulan dan saran.
Download