Bab II Kajian Pustaka 2.1 State of The Art No Penulis

advertisement
Bab II
Kajian Pustaka
2.1
No
1.
State of The Art
Penulis
George Yip
Tahun
2010
Judul
Hasil
Perbandingan
A Theoretical
Hasil pene-
Pada penelitian
(D.Miss–
Basis of
litian adalah
sebelumnya me-
Trinity
Intercultural
komunikasi
mandang bahwa
Evangelical
Communication
interpersona komunikasi
Divinity
Competence:
l antar-
interpersonal
School)
Gudykunst’s
budaya ber-
antarbudaya dapat
Senior Pastor
Anxiety-
jalan efektif
berjalan efektif,
of North
Uncertainty
karena me-
jika perilaku antar
York Grace
Management
miliki tu-
keduanya
Gospel
Theory.
juan yang
memiliki tujuan
sama
yang sama.
Church,
Toronto,
Penelitian ini
Canada
menggunakan
Former
dasar teori yang
missionary to
sama, namun
Japan (OMF)
melihat dari sisi
suatu organisasi
Sumber:
antara pimpinan
http://ojs.glo
dan karyawan,
balmissiology
dimana karyawan
.org/index.ph
harus mampu
p/english/arti
mengikuti
cle/view/6/16
kebijakan yang
Tanggal
ditetapkan.
Diunduh :
Januari 2010
13
14
2.
Intercultural
Hasil
Penelitian sebelum-
Samochowiec
contact under
Penelitian
nya mengatakan
and
uncertainty:
ini adalah
bahwa untuk
Arnd Florack
The impact of
individu
berinteraksi dengan
predictability
mengalami
anggota budaya
Sumber:
and anxiety on
kecemasan
asing tergantung
http://www.sci
the willingness
untuk
pada keadaan
encedirect.com
to interact with berkomuni-
afektif insidental.
/science/article
a member from kasi dengan
Penelitian ini,
/pii/S01471767
an unknown
orang asing,
melihat bagaimana
10000489
cultural group.
atau antar
proses pengelolaan
budaya.
ketidakpastian dan
Jakub
2010
Tanggal
3.
Diunduh :
kecemasaan sese-
21 Agustus
orang dalam hubu-
2010
ngan antarbudaya.
Endang
2013
Managemen
Hasil Pene-
Penelitian sebe-
Setiowati,
Ketidakpastian
litian ini
lumnya memahami
Bhernadetta
dan
Pravita
san Mahasiswa hasiswa asal pastian dan ke-
Wahyuningtyas,
Asal
Anathasia Citra
yang Kuliah di mampu ber-
minimalisir melalui
Jakarta (Studi adaptasi de-
kemauan seseorang
Sumber:
tentang
untuk mencari in-
http://
mika Interaksi gaulan di
formasi melalui in-
marcomm.
Mahasiswa
Jakarta de-
ternert sebagai
binus.ac.id/
Universitas
ngan ada-
sumber informasi
lecturers-
Bina
Nusan- nya faktor
terluas. Penelitian
journals
tara
Kecema- adalah ma-
Daerah daerah
dina- ngan per-
dan informasi
Universitas
pendukung
bagaimana Ketidak
cemasan dapat di-
ini melihat seseorang mengatur
Tanggal
Indonesia Asal dari internet
ketidak-pastian dan
Diunduh:
Daerah dengan
kecemasan melalui
30
Lingkungan
proses kerja pada
Pergaulannya).
suatu perusahaan.
2013
Oktober
15
4.
Lusiana
2012
Andriani Lubis
Komunikasi
Hasil Pene-
Penelitian sebelum-
Antarbudaya
litian ini
nya memahami
Etnis Tionghoa adalah ko-
komunikasi antar-
Sumber:
dan Pribumi di
munikasi
budaya melalui 3
http://jurnal.up
Kota Medan.
antarbudaya
elemen pandangan
nyk.ac.id/index
dapat me-
dunia yang diteliti
.php/komunika
rubah cara
meliputi agama,
si/article/view/
pandang
nilai dan perilaku.
46/50
nilai-nilai
Pada penelitian ini
budaya
melihat bagaimana
Tanggal
Tionghoa
komunikasi antar-
Diunduh :
dan Pribumi budaya tanpa
Agustus 2012
di Kota
pengalaman dapat
Medan
menimbulkan perasaan dan pikiran
yang tidak pasti
dan menimbulkan
kecemasan.
5.
Syaputra
2013
Interaksi
Hasil
Penelitian sebelum-
Reidi, Azhar
Sosial Maha-
penelitian
nya menunjukkan
Marwan dan
siswa Penda-
ini adalah
hubungan antar-
Agus
tang di
komunikasi
budaya yang ter-
Firmansyah
Bengkulu
antarbudaya
jalin positif,tidak
(Studi
berjalan po-
menimbulkan
Sumber:
Komunikasi
sitif karena
konflik. Penelitian
http://repositor
Antarbudaya
ada faktor
ini menunjukkan
y.unib.ac.id/id/
Pada Maha-
tujuan yang
komunikasi antar-
eprint/1319
siswa Papua
sama.
budaya yang di-
dengan Maha-
dominan oleh suatu
Tanggal
siswa Asli
budaya, sehingga
diunduh:
Bengkulu).
menimbulkan ke-
12 November
tidakpastian dan
2013
kecemasan.
16
2.2
Landasan Konseptual
2.2.1
Komunikasi Organisasi
Di dalam buku Komunikasi Organisasi, Pace dan Faules (2010)
menerangkan bahwa studi komunikasi organisasi adalah studi mengenai cara
pandang objek-objek, juga studi mengenai objek-objek itu sendiri. Dalam
kehidupan bermasyarakat, seseorang akan terhubung dengan seorang lainnya
melalui komunikasi. Namun, untuk memahami komunikasi organisasi tidak
semudah yang dilihat dalam kehidupan masyarakat. Mungkin pernah
mendengar sesorang mengatakan, “kami memiliki tim”, tetapi terbentuknya
suatu tim atau organisasi memiliki dasar-dasar dan pola pikir yang sama dan
tujuan yang sama untuk keberhasilan tim tersebut.
Penelitian yang dilakukan pada organisasi bisnis yang berfokus
menjadi pusat perbelanjaan, yaitu Lotte Shopping Avenue mall memiliki
anggota organisasi yang unik, dimana para pemimpin mall ini adalah
berkebangsaan Korea sementara hampir seluruh karyawannya berkebangsaan
Indonesia. Kemungkinan ada pola pikir yang berbeda, karena didasarkan
pada kebudayaan dan pengalaman kehidupan yang berbeda, serta nilai-nilai
yang dianut oleh bangsa Korea dan bangsa Indonesia jelas berbeda. Lalu
bagaimana komunikasi organisasi di Lotte Shopping Avenue mall ? Pusat
pimpinan yang diambil alih oleh orang Korea, menerangkan bahwa sistem
yang digunakan adalah berdasarkan pemilik perusahaan tersebut, yaitu Korea
yang menganut organisasi formal.
Chester Barnard dalam buku Komunikasi Organisasi, mendefinisikan
organisasi formal sebagai suatu sistem kegiatan dua orang atau lebih yang
dilakukan secara sadar dan terkoordinasikan, dengan menitikberatkan konsep
sistem dan konsep orang. Untuk itu dalam memahami komunikasi organisasi
yang terjadi di Lotte Shopping Avenue mall dibagi dalam dua konsep yaitu :
1.
Perilaku
Barnard (1938) menyatakan bahwa organisasi adalah sistem orang,
bukan struktur yang direkayasa secara mekanis. Ketika dua orang atau
lebih melakukan kegiatan dalam organisasi itu dilakukan secara sadar
dan terkoordinasi karena adanya konsep sistem yang menjadi dasar,
sementara kedua orang atau lebih itu adalah konsep orang. Dimana
tujuan dibentuknya organisasi adalah sebagai wadah bagi sekelompok
17
orang yang bekerja sama bergantung pada kemampuan dari manusia
tersebut, sehingga terjadi komunikasi untuk mencapai tujuan bersama.
Barnard menyebutkan ada empat syarat yang harus dipenuhi sebelum
seseorang menerima suatu pesan yang bersifat otoritatif :
a.
Orang tersebut memahami pesan yang dimaksud.
b.
Orang tersebut percaya bahwa pesan tersebut tidak bertentangan
dengan tujuan organisasi.
c.
Orang tersebut percaya, pada saat ia memutuskan untuk bekerja
sama, bahwa pesan yang dimaksud sesuai dengan minatnya.
d.
Orang tersebut memiliki kemampuan fisik dan mental untuk
melaksanakan pesan.
Di dalam organisasi, setiap anggota mampu menyampaikan pesan
yang bersifat otoritatif, tanpa melihat dari struktur organisasi atau
jabatan seorang anggota yang lain, hal tersebut terjadi karena
organisasi terbentuk berdasarkan tujuan yang menguntungkan
bersama. Berbeda jika organisasi dalam bentuk perusahaan, dimana
seorang dengan jabatan lebih tinggi mampu memberikan pesan yang
bersifat otoritatif kepada seorang dengan jabatan rendah. Keadaan
seperti ini, karena perusahaan dibentuk untuk mencapai kepentingan
pemilik atau pendirinya, sementara yang memiliki jabatan lebih
rendah bekerja untuk mendapatkan kewajibannya saja bukan untuk
mencapai keberhasilan suatu perusahaan.
2.
Sistem
Scott (1961) mengemukakan bahwa organisasi sebagai sistem adalah
individu dan kepribadian setiap orang dalam organisasi; struktur
formal; pola interaksi; pola status; dan lingkungan fisik pekerjaan.
Faktor-faktor yang bersifat abstrak ini akan berhubungan satu sama
lain untuk mengatur pola pikir dan perilaku anggota organisasi.
Sistem akan mengarahkan pikiran setiap anggota organisasi tetapi
terikat pada suatu penafsiran yang mungkin bisa saja berbeda. Maka
suatu
perbedaan-perbedaan
komunikasi. Seperti
penafsiran
tersebut,
diperlukan
yang diungkapkan Scott, bahwa proses
18
penghubung utama dari setiap faktor dalam sistem adalah komunikasi.
Jika komunikasi disampaikan dan tersampaikan dengan benar, maka
penafsiran bagi seluruh anggota organisasi akan mencapai pada tujuan
yang sama.
Ketika konsep orang dan konsep sistem dipertemukan dalam suatu
organisasi, maka untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut akan lebih
mudah. Pada Lotte Shopping Avenue mall, kedua konsep tersebut digunakan
dengan menjadikan pola kerja orang Korea yang disiplin dan serius menjadi
konsep sistem dibangunnya perusahaan tersebut. Namun, karena sebagian
besar karyawannya adalah berbudaya Indonesia, perlu untuk perusahaan
memperhatikan nilai-nilai budaya kerja yang diterapkan, jika tidak mungkin
akan terjadi perasaan dan pikiran ketidakpastian dan kecemasan dalam diri
karyawan berbudaya Indonesia.
Jika antara nilai yang dimiliki dan nilai-nilai budaya organisasi
berbeda, sulit bagi anggota perusahaan untuk menerima seketika nilainilai budaya organisasi untuk menjadi miliknya. Itu sebabnya
diperlukan suatu proses komunikasi yang intens untuk menanamkan
nilai-nilai budaya organisasi kepada anggota organisasi (Nawawi,
2013: 89).
Dengan keadaan tersebut maka komunikasi menjadi alat utama untuk
mencapai pola pikir, maksud, serta untuk menyeimbangkan nilai-nilai budaya
dalam diri karyawan budaya Indonesia dengan sistem kerja orang Korea yang
diterapkan pada Lotte Shopping Avenue mall. Tetapi karena perbedaan
budaya, jelas bahasa yang digunakan sangat berbeda antara Korea dan
Indonesia, lalu komunikasi apa yang akan digunakan di Lotte Shopping
Avenue mall untuk membangun budaya organisasinya, hal ini akan dijelaskan
lebih lanjut dalam pembahasan pada studi budaya organisasi sebab didalam
komunikasi organisasi akan melahirkan nilai-nilai sosial yang diangkat
menjadi budaya organisasi.
2.2.2 Budaya Organisasi
Budaya organisasi sudah ada sejak pertengahan abad ke-20 namun
untuk menjadi disiplin keilmuan, budaya organisasi merupakan ilmu yang
baru dipelajari. Pengertian budaya dan pengertian organisasi mempunyai
definisi yang berbeda. Pengertian budaya menurut Edgar H. Schein dalam
19
bukunya Organizational Culture and Leadership (Tika, 2010, Budaya
Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan) sebagai berikut :
Culture is a pattern of basic assumption invented, discovered, or
developed by given group as it learns to cope with is problem of
external adaptation and internal integrations – that has worked well
enough to be considered valid and, therefore, to taught to new
members as the correct way to perceive, think and fill in relation to
those problems.
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan
atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran
untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal
yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu
diajarka/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang
tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalahmasalah tersebut.
Sementara organisasi menurut Chester J. Bernard (Tika, 2010, Budaya
Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan) adalah,
Organization is a cooperation of two or more persons, a system of
consciously coordinated personal activities or forces.
Organisasi adalah kerja sama dua orang atau lebih, suatu sistem dari
aktivitas-aktivitas atau kekuatan-kekuatan perorangan yang
dikoordinasikan secara sadar.
Ketika keduanya dikaitkan menjadi suatu kalimat budaya organisasi, dengan
definisi menurut Phiti Sithi Amnuai dalam tulisannya How to Build a
Corporation Culture, maka budaya organisasi dijelaskan sebagai berikut:
Organizational Culture is a set of basic assumptions and beliefs that
are shared by members of an organization, being developed as they
learn to cope with problem of external adaptation and internal
integration.
Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan
yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian
dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah
adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal (Tika, 2010 : 4)
Gelar pusat perbelanjaan yang merupakan milik dari Lotte Shopping
Avenue
mall
dibentuk
dan
bertujuan
sebagai
organisasi
dibidang
perdagangan dengan adanya proses jual-beli atau yang dikenal sebagai
perusahaan. Lotte Shopping Avenue mall tidak berdiri sebagai organisasi
melainkan perusahaan dimana, ada gaya dan sistem manajemen yang
mengatur didalamnya. Untuk memahaminya, perlu untuk mengetahui unsurunsur yang terkait didalam budaya organisasi dan budaya perusahaan.
2.2.2.1 Budaya Organisasi dan Budaya Perusahaan
Menurut J.P Kotter and J.L Heskett dalam bukunya Corporate
Culture and Performance bahwa,
20
Budaya perusahaan adalah nilai dan praktik yang dimiliki bersama di
seluruh kelompok dalam satu perusahaan, sekurang-kurangnya dalam
manajemen senior. Budaya dalam suatu organisasi terdiri dari nilai
yang dianut bersama dan norma perilaku kelompok (Tika, 2010 : 6).
Dari definisi budaya organisasi dan budaya perusahaan di atas, maka Tika
menyimpulkan di dalam bukunya Budaya Organisasi dan Peningkatan
Kinerja Perusahaan dengan mengatakan bahwa terdapat kesamaan antara
budaya organisasi dan budaya perusahaan dalam hal :
1.
Asumsi dasar atau pedoman perlaku;
2.
Keyakinan yang dianut bersama;
3.
Pemimpin atau pahlawan pencipta budaya organisasi/perusahaan;
4.
Pedoman perilaku dalam mengatasi masalah;
5.
Sistem nilai atau nilai-nilai yang dianut;
6.
Lingkungan internal dan eksternal;
7.
Pewarisan dan penyesuaian.
Dengan demikian maka antar budaya organisasi dan budaya
perusahaan saling terkait karena keduanya ada kesamaan, meskipun
dalam budaya perusahaan terdapat hal-hal khusus seperti gaya
manajemen dan sistem manajemen, namun semuanya masih tetap
dalam rangkaian budaya organisasi (Tika, 2010 : 7).
Maka dalam menjelaskan budaya perusahaan Lotte Shopping Avenue
mall tidak salah jika menggunakan dasar budaya organisasi, karena menurut
Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Budaya Organisasi yang menyatakan
bahwa budaya organisasi merupakan genus dan budaya perusahaan salah satu
spesiesnya. Untuk itu, dalam menjelaskan budaya perusahaan Lotte Shopping
Avenue mall, perlu untuk memahami apa yang dimaksud dengan budaya
organisasi terlebih dahulu.
Praktik kerja yang digunakan oleh Lotte Shopping Avenue mall
menganut lebih banyak cara kerja yang biasa dilakukan oleh orang Korea.
Para pimpinan dari perusahaan ini menginginkan setiap karyawannya untuk
mampu bekerja secara disiplin, tepat waktu, sopan, rapih, serta memberikan
performance yang baik bagi perusahaan. Bekerja mulai 14-20 jam dalam
sehari sudah menjadi kebiasaan bagi orang Korea, namun tidak demikian bagi
orang Indonesia.
Menurut orang Korea (Jemma sebagai staff Lotte Shopping Avenue
mall berasal dari Korea), bahwa budaya kerja yang dipakai oleh orang
Indonesia minim jika dibandingkan oleh orang Korea, contoh dalam
21
membuat report tidak sebagus orang Korea, dan terkadang orang Indonesia
datang terlambat, tetapi selalu ada alasan seperti banjir dan macet. Perbedaan
pola pikir dan perilaku dalam bekerja seperti ini, akan meningkatkan
kecemasan dan ketidakpastian diantaranya, sehingga komunikasi kembali
menjadi senjata utama dalam membangun budaya perusahaan.
2.2.2.2 Jenis-jenis Budaya Organisasi
Dalam memahami bagaimana pola budaya organisasi yang ada di
Lotte Shopping Avenue mall, perlu untuk mengenal jenis budaya organisasi
yang terkait pada perusahaan tersebut. Maka berikut jenis-jenis budaya
organisasi yang ditentukan berdasarkan proses informasi dan tujuannya yang
dikemukakan oleh Robert E. Quinn dan Michael R. McGrath yaitu (Tika,
2010 : 7-8) :
1.
Berdasarkan Proses Informasi
a. Budaya Rasional
Dalam budaya ini, proses informasi individual (klarifikasi sasaran
pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai
sarana
bagi
tujuan
kinerja
yang
ditunjukkan
(efisiensi,
produktivitas, dan keuntungan atau dampak).
b. Budaya Ideologis
Dalam
budaya
ini,
pemrosesan
informasi
intuitif
(dari
pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan
sebagai sarana bagi tujuan revitalisasi (dukungan dari luar,
perolehan sumber daya dan pertumbuhan).
c. Budaya Konsensus
Dalam budaya ini, pemrosesan informasi kolektif (diskusi,
partisipasi, dan konsensus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi
tujuan kohesi (iklim, moral, dan kerja sama kelompok).
d. Budaya Hierarkis
Dalam
budaya
hierarkis,
pemrosesan
informasi
formal
(dokumentasi, komputasi, dan evaluasi) diasumsikan sebagai
sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol dan
koordinasi).
Proses penyampaian informasi pada perusahaan Lotte Shopping
Avenue mall berupa laporan keuangan, laporan penjualan, dan sebagainya
22
yang disampaikan dalam bentuk formal. Informasi diberikan kepada seorang
anggota dengan jabatan lebih tinggi dan berkewajiban untuk mengontrol dan
mengoordinasi laporan. Maka cara seperti demikian menyimpulkan bahwa
berdasarkan proses informasi, Lotte Shopping Avenue mall berjenis budaya
hirarki.
2.
Berdasarkan Tujuan
Talizuduhu
Ndraha
membagi
budaya
organisasi
berdasarkan
tujuannya, yaitu:
a.
budaya organisasi public
b.
budaya organisasi sosial
c.
budaya organisasi perusahaan
Jelas bahwa Lotte Shopping Avenue mall secara tujuan berjenis
budaya organisasi perusahaan, karena didalamnya terkandung unsur
komersil, dan memandang pencapaian sebuah bisnis.
2.2.2.3 Tipe-tipe Budaya Organisasi
Handy dalam (Uha 2010 : 11) mengelompokkan budaya organisasi
berdasarkan formalisasi dan sentralisasi yaitu :
1.
Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi
Memiliki ciri-ciri birokrasi yang tinggi, dikelola secara ilmiah dan
memiliki disiplin tinggi. Semua pekerjaan sudah diatur secara
sistematis melalui berbagai macam prosedur, bahkan jika diperlukan
dengan time and motion study yang cermat.
2.
Formalisasi tinggi, sentralisasi rendah
Jenis budaya tugas atau matriks. Dalam budaya ini orang-orang
terkumpul dari berbagai latar belakang ilmu dan ketrampilan yang
berbeda (interdispliner) namun mereka terfokus pada tugas yang
sama. Cara kerja masing-masing elemen ini sangat independen namun
terikat oleh berbagai prosedur yang ketat.
3.
Formalisasi rendah, sentralisasi rendah
Suasanaya afeksi, saling menghargai, dan keceriaan. Jenis budaya ini
informal dan sangat desentralisasi. Para anggotanya mempunyai
tujuan atau kepentingan yang sama tetapi masih menikmati kebebasan
individu yang tinggi.
23
4.
Formalisasi rendah, sentralisasi tinggi
Bercirikan hubungan lisan yang kuat dan intuitif. Kekuasaan tertinggi
ada di tangan satu orang atau sebuah kelompok dari pusat
Berdasarkan tipe budaya organisasi, Lotte Shopping Avenue mall
yang tidak memiliki SOP (Standard Operating Procedure) secara tertulis
lebih banyak menggunakan hubungan secara lisan. Budaya kerja orang Korea
yang memiliki motivasi tinggi dalam bekerja atau yang biasa disebut sebagai
work holic tidak terlalu membutuhkan aturan secara tertulis, karena bekerja
menurut mereka adalah suatu bagian dari hidup. Maka, tipe budaya organisasi
Lotte Shopping Avenue mall adalah formalisasi rendah sentralisasi tinggi,
dimana setiap keputusan diambil alih oleh pusat yaitu para pimpinan dari
Korea.
2.2.2.4 Fungsi Budaya Organisasi
Budaya Organisasi yang terbentuk dalam suatu organisasi tidak
terlahir tanpa ada suatu fungsi didalamnya, melainkan dari budaya organisasi
ada suatu tujuan yang harus dicapai. Maka fungsi budaya organisasi menurut
Susanto dalam bukunya Konsep Budaya Perusahaan menyatakan sebagai
berikut (Tika, 2010 : 14) :
a.
Berperan dalam pelaksanaan tugas bidang Sumber Daya Manusia
b.
Merupakan acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan meliputi
pemasaran, segmentasi pasar, penentuan positioning perusahaan yang
akan dikuasai.
Fungsi budaya organisasi bagi Lotte Shopping Avenue mall lebih
kepada yang telah disebutkan diatas, karena merupakan suatu perusahaan
dengan tujuan berbisnis. Sehingga budaya organisasi tercipta untuk mencapai
tujuan, visi, misi dari perusahaan, yang kemudian dipraktikan dalam budaya
kerja dengan berdasar pada budaya kerja orang Korea.
2.2.2.5 Karakteristik Budaya Organisasi
Stepen P. Robbins menyatakan karakteristik budaya organisasi yang
akan menjadi budaya organisai, disebutkan sebagai berikut (Tika, 2010: 10) :
1.
Inisiatif Individual
Yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang
dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat.
24
Inisiatif oleh karyawan berbudaya Indonesia di Lotte Shopping
Avenue mall diberikan penghargaan oleh pimpinan suatu organisasi,
karena dianggap dapat memajukan dan mengembangkan perusahaan.
Penghargaan berupa the best employee of the month ini diberikan bagi
karyawan yang mampu menyelesaikan tugas tepat waktu dan hasil
laporan yang terbaik.
2.
Toleransi terhadap Tindakan Beresiko
Dalam budaya organisasi perlu ditentukan sejauh mana para pegawai
dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif, dan mengambil
risiko.
Pada Lotte Shopping Avenue mall tidak ditentukan kapan karyawan
dapat bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko. Karena ini
perusahaan bersifat hirarkis yang sentralisasinya cukup tinggi,
sehingga karyawan dapat melakukan pekerjaan diluar dari pekerjaan
pokoknya apabila diberikan perintah oleh atasan. Maka toleransi
terhadap tindakan berisiko bukanlah suatu inisiatif dari karyawan yang
ada di Lotte Shopping Avenue mall, melainkan berdasarkan pesan
bersifat otoritas dari supervisor.
3.
Pengarahan
Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/perusahaan
dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan.
Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi, dan
tujuan organisasi.
4.
Integrasi
Sejauh mana organisasi mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja
dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit organisasi
dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang
dihasilkan.
Integrasi terjadi pada Lotte Shopping Avenue mall tiap kali
disampaikan dalam meeting, setiap tugas diberikan kepada supervisor
atau manager yang kemudian akan menangani dan mengkoordinir
bawahannya, sehingga setiap divisi mampu mencapai tujuan yang
telah ditetapkan bersama.
25
5.
Dukungan Manajemen
Para manajer dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan
serta dukungan yang jelas terhadap bawahan.
Praktek pada Lotte Shopping Avenue mall telah diterapkan seperti ini,
yaitu mendapat dukungan manajemen yang menjadi semangat bagi
para karyawan. Meski pola kerja yang terjadi bersifat formal, tetapi
dukungan dari para manajer tetap akan diberikan walaupun dalam
komunikasi yang terkesan tegas.
6.
Kontrol
Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau
norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi atau perusahaan.
Nah, jelas bagi perusahaan Lotte Shopping Avenue mall bahwa aturan
tetap ada, meskipun tidak tertulis tetapi cara kerja orang Korea
menganggap bahwa karyawannya telah mencapai tahap dewasa dan
memahami bagaimana bekerja secara professional sehingga aturan
tertulis tidak dibuat, melainkan aturan secara lisan disampaikan.
Apabila melakukan kesalahan yang fatal, tentu ada sanksi yang
diberikan, seperti datang terlambat akan dikenakan potongan salary.
7.
Identitas
Setiap karyawan suatu organisasi dapat mengidentifikasikan dirinya
sebagai suatu kesatuan dalam organisasi dan bukan sebagai kelompok
kerja tertentu atau keahlian professional tertentu. Identitas diri sebagai
satu kesatuan dalam organisasi sangat membantu manajemen dalam
mencapai tujuan dan sasaran organisasi.
8.
Sistem Imbalan
Sistem imbalan dimaksudkan sejauh mana alokasi imbalan (seperti
kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja
karyawan, bukan didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih dan
sebagainya. Sistem imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja
pegawai dapat mendorong karyawan suatu perusahaan untuk
bertindak dan berperilaku inovatif dan mencari prestasi kerja yang
maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.
Bagi sebagian besar orang Korea yang bekerja di Lotte Shopping
Avenue mall, menganggap bahwa bekerja merupakan suatu bagian
26
dari hidup mereka. Motivasi untuk terus bekerja mencapai posisi yang
diinginkan itu selalu ada. Itu sebabnya, orang Korea bekerja hingga
lebih dari 14 jam sehari, dan berlomba membuat laporan yang terbaik
untuk diberikan kepada pimpinannya. Tidak lain motivasinya adalah
mendapatkan kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya.
9.
Toleransi terhadap konflik
Sejauh mana para karyawan didorong untuk mengemukakan konflik
dan kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena
yang sering terjadi dalam suatu perusahaan.
Kembali lagi pada jenis budaya organisasi di Lotte Shopping Avenue
mall yang hirarkis, sehingga setiap pusat informasi disampaikan
secara formal dan dikontrol oleh pusat pimpinan, maka untuk
melakukan toleransi terhadap konflik sedikit kurang berkenan. Karena
pimpinan yang berasal dari Korea masih menganut sistem cara kerja
orang Korea dengan mengambil keputusan secara sentral atau
berdasarkan pimpinan. Padahal toleransi bisa dijadikan sebagai media
untuk melakukan perbaikan perubahan strategi untuk mencapai tujuan
suatu perusahaan.
10.
Pola Komunikasi
Sejauh mana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang
formal.
Pola
komunikasi
antara
atasan
dan
bawahan
atau
antarkaryawan itu sendiri, Pacanowsky dan O’Donnel – Trujilo, 1983
menyatakan bahwa :
a.
Kinerja komunikasi yang terampil dalam bentuk ritual yang
meliputi personal ritual, social ritual, dan organizational ritual.
Ritual adalah suatu tindakan yang akan diikuti oleh kelompok
secara familiar dan rutin.
b.
Kinerja komunikasi yang disebut passion.
Passion adalah karyawan suatu
perusahaan akan selalu
mengulang-ulang cerita dramatis atau segala sesuatu yang selalu
dikerjakannya atau dilakukan oleh orang lain yang diidolakan
atau kondisi dan kesuksesan dari organisasinya.
27
c.
Kinerja komunikasi yang dilakukan secara sosial
Kinerja ini dimaksudkan untuk menebalkan sopan santun dan
ditaatinya aturan-aturan organisasi. Kinerja ini adalah bagian dari
proses identitas kelompok;
d.
Kinerja komunikasi yang disebut organizational politics
Kinerja
komunikasi
dimaksudkan
sebagai
perilaku
yang
diciptakan untuk menguatkan permohonan terhadap kekuasaan,
wewenang, atau pengaruh seperti penampilan kepemimpinan,
pengelompokkan, dan tawar-menawar (bargaining) kekuasaan.
e.
Kinerja komunikasi yang disebut enkulturasi
Kinerja komunikasi ini merupakan proses belajar budaya dari
para anggota organisasi, diantaranya melalui perjalanan karier,
orientasi karyawan baru, dan lain-lain.
Pentingnya komunikasi yang dianggap sebagai alat yang dapat
menghubungungkan para anggota organisasi untuk menyamakan suatu pola
pemikiran. Komunikasi dalam perusahaan Lotte Shopping Avenue mall
bersifat formal dalam artian serius. Karyawan berbudaya Indonesia sulit
berkomunikasi dengan para pimpinan karena bahasa yang dikuasai orang
Korea tidak begitu mahir dalam berbahasa Indonesia begitu juga sebaliknya.
Dalam proses kinerja, para karyawan dan pimpinan mall ini biasa
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa tubuh
seperti nonverbal. Kesulitan dalam berkomunikasi seperti sering kali
menciptakan pola pemikiran yang berbeda, untuk itu karyawan berbudaya
Indonesia yang bekerja juga mengalami perasan dan pikiran ketidakpastian
dan kecemasan untuk memahami maksud dari pesan pimpinannya.
2.2.2.6 Dimensi Budaya Organisasi
Hofstede mengelompokkan budaya organisasi ke dalam 6 dimensi,
yaitu (Sobirin 2007 : 187) :
1.
Process oriented vs. Result oriented
Pada process oriented culture, perhatian organisasi lebih ditujukan
pada proses aktivitas yang berjalan selama ini dan sejauh mana
orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut patuh terhadap
ketentuan-ketentuan atau kebijakan yang telah digariskan organisasi.
28
Pada result oriented perhatian organisasi lebih ditujukan pada hasil
kegiatan ketimbang prosesnya sehingga seringkali organisasi tidak
mempedulikan bagaimana proses dilakukan tetapi yang penting
hasilnya cepat didapat.
2.
Employee oriented vs. Job oriented
Employee oriented culture meggambarkan lingkungan internal
organisasi yang dipenuhi oleh para pekerja yang menginginkan agar
pihak organisasi terlebih dahulu memperhatikan kepentingankepentingan mereka senelum berorientasi pada pekerjaan yang harus
mereka lakukan. Job oriented culture beranggapan bahwa para
karyawan
harus
mendahulukan
pekerjaan
sebelum
menuntut
dipenuhinya kepentingan-kepentingan mereka.
3.
Parochial vs. Professional
Parochial culture menjelaskan bahwa tingkat kebergantungan
karyawan pada atasan dan pada organisasi cenderung sangat tinggi.
Professional culture karyawan merasa bahwa kehidupan pribadi
adalah urusan mereka sendiri sedangkan alasan sebuah organisasi
merekrut mereka adalah semata-mata karena kompetensi dalam
melakukan pekerjaan.
4.
Open system vs. Close system
Open system culture menjelaskan bahwa organisasi cenderung tidak
menutup diri dari perubahan-perubahan baik yang terjadi pada
lingkungan internal maupun eksternal organisasi. Pada closed system
culture, organisasi seolah-olah diperlakukan sebagai sebuah mesin
yang bekerja mengikuti pola yang sudah ada tanpa banyak melakukan
perubahan.
5.
Loose control culture vs. Tight control culture
Loose Control adalah organisasi dengan tingkat pengendalian yang
longgar, organisasi seolah-olah tidak memiliki alat kendali dan tata
aturan formal
yang memungkinkan organisasi tersebut bisa
mengendalikan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Tight control
culture menerapkan aturan-aturan yang ketat dan bahkan dalam
batas-batas tertentu cenderung kaku. Semua aktivitas baik sebelum,
29
selama maupun sesudah dikerjakan harus berdasarkan pada ketentuan
yang telah dibuat sebelumnya.
6.
Normative vs. Pragmatic
Pragmatic culture adalah organisasi yang berorientasi kepada
konsumen. Normative culture menganggap bahwa norma aturan
merupakan sebuah perangkat yang harus dijunjung tinggi oleh semua
orang yang terlibat di dalam kehidupan organisasi. Dengan demikian
organisasi seolah-olah mempunyai tanggungjawab moral untuk
menjaga aturan-aturan tersebut.
Dimensi Budaya Organisasi yang dijelaskan Hofstede, setidaknya
dapat menjadi perbandingan bagaimana cara kerja orang Korea dengan cara
kerja orang Indonesia. Pemahaman lebih dalam perlu dilakukan, maka dalam
penelitian ini akan mengamati dimensi perusahaan Indonesia berdasarkan
pengalaman selama kerja praktek dalam waktu 3 bulan di Intermatrix juga
didukung data sumber dari buku mengenai budaya kerja orang Indonesia, dan
pengamatan pada perusahaan Korea berdasarkan hasil penelitian. Hasil dari
perbandingan tersebut tidak dijadikan sebagai tolak ukur penelitian ini
nantinya, melainkan hanya sebagai konsep yang membantu untuk mengamati
objek penelitian. Dimensi budaya organisasi bersifat komparabel atau dapat
diperbandingkan meski kedua organisasi tidak bisa dikelompokkan ke dalam
satu industri yang sama.
2.2.3 Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi Antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh seorang
antropolog, bernama Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya
The Silent Language. Kemudian satu tahun setelah itu David K. Berlo
menunjukkan perbedaan antarbudaya pada proses komunikasi melalui
bukunya, The Process of Communication (an introduction to theory
and practice). Para pakar terus mendiskusikan ini hingga pada tahun
1983, Gudykunst memperkenalkan suatu teori yang membahas
bagaimana perbedaan budaya ketika berkomunikasi, yaitu melalui
“Teori Komunikasi Antarbudaya”. Proses terjadinya Komunikasi
Antarbudaya (intercultural communication) ketika sebuah pesan yang
disampaikan dalam suatu budaya, ditafsirkan dalam budaya lain.
Untuk memahami dinamika komunikasi antarbudaya, salah satunya
harus memahami konsep-konsep budaya dan komunikasi. Konsep
budaya memiliki banyak definisi yang berbeda. Komunikasi adalah
pembuatan proses pemaknaan. Komunikasi antarbudaya adalah
30
pembuatan makna pesan-pesan dari sebuah budaya yang berbeda
(Heath, 2005: 428).
Interaksi yang terjadi antarmanusia yang berlainan budaya merupakan suatu
relasi antaretnik yang melibatkan pertukaran budaya. Melalui ilmu
komunikasi antarbudaya diharapkan mampu melihat perspektif relasi
antarbudaya yang terjadi.
2.2.3.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya
Untuk memahami komunikasi antarbudaya secara signifikan, penting
untuk memahami dua konsep utama yang terdapat pada komunikasi
antarbudaya (interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan
konsep komunikasi. hubungan antara keduanya memiliki kolaborasi yang
kuat. Menurut Martin dan Thomas (2007) Budaya mempengaruhi komunikasi
dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan
memelihara realitas budaya dari sebuah komunitas atau kelompok budaya.
Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat
bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan.
Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila
budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik
komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20).
Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi
antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek
kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa definisi komunikasi
antarbudaya, sebagai berikut:
1.
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar
dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader –
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang
berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras,
antarkelas sosial. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa
komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima
pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
2.
Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya
meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang
mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada
perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku
komunikasi para peserta.
31
Pandangan
menurut
Young
Yun
Kim
mengenai
komunikasi
antarbudaya bahwa ilmu komunikasi antarbudaya berbeda dari kajian
keilmuan lainnya, karena tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar
belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi (the communications)
dengan adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam perkembangannya,
komunikasi antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses
simbolik yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya
yang berbeda.
Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi
antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya
yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau
homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka
daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo,
2005: 53).
Untuk memahami komunikasi antarbudaya lebih mendalam maka
perlu mengetahui beberapa asumsi mengenainya, yaitu:
1.
Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada
perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
2.
Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.
3.
Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.
4.
Komunikasi berpusat pada kebudayaan.
5.
Komunikasi
antarbudaya
bertujuan
mengurangi
tingkat
ketidakpastian.
Didalam komunikasi antarbudaya, diperlukan keefektivitas dalam
berinteraksi. Hal ini diperlukan karena dengan latarbelakang yang berbeda,
berdasarkan pengalaman dan kehidupannya, serta ragam bahasa dan tradisi
yang berbeda, maka sering terjadi ketidakpastian yang dialami oleh pihak
yang berkomunikasi. Untuk itu perlu ada pemahaman mengenai bagaimana
komunikasi antarbudaya dapat berjalan secara efektif.
2.2.3.2 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana
para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural menjalin
kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika
komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihakpihak yang terlibat, maka karakteristik-karakteristik kultural dari para
partisipan bukan merupakan fokus studi dari komunikasi antarbudaya,
melainkan proses komunikasi antara individu dengan individu dan
kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).
32
Kesulitan dalam berkomunikasi antarbudaya di Lotte Shopping
Avenue mall adalah bahasa yang digunakan berbeda. Pimpinan Lotte
Shopping Avenue mall yang berasal dari Korea menggunakan bahasa Korea,
sementara karyawan yang berbudaya Indonesia sebagian besar tidak dapat
berkomunikasi dalam bahasa Korea. Kalaupun menggunakan bahasa Inggris,
sebagian besara karyawan yang memiliki pendidikan rendah tidak dapat
berkomunikasi dalam bahasa Inggris seperti receptionis, security, dan office
boy.
Dalam
kaitan
ini,
keefektivan
komunikasi
antarbudaya
sulit
diaplikasikan.
Seperti yang disampaikan oleh Lewis dan Slade menguraikan tiga
kawasan yang paling problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya,
yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku
kultural. Menurutnya, perbedaan nilai merupakan hambatan yang
serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua
orang yang berasal dari kultur yang berbeda melakukan interaksi,
maka perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi pencapaian
kesepakatan yang rasional tentang isu-isu penting. Begitu juga
mengenai kesalahpahaman antarkultural dikarenakan perbedaan polapola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan
masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya
tersebut. (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007 : 316)
Ketiga faktor tersebut menjadi penghambat ketika komunikasi
antarbudaya berlangsung. Pada faktor bahasa tidak terlalu dperhatikan karena
dianggap dapat dipelajari secara perlahan. Namun minimnya kefektivan
komunikasi antarbudaya, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat,
yaitu etnosentrisme, stereotip dan prasangka.
Etnosentrisme merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai
budaya orang lain sebagai inferior terhadap budaya mereka.
Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang
didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat
dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan dan
pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip
merupakan generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat
menyederhanakan realitas (Rahardjo, 2005: 54-56).
Ketiga faktor tersebut juga dirasakan oleh karyawan berbudaya
Indonesia di Lotte Shopping Avenue mall, para karyawan menganggap orang
Korea adalah pihak yang harus dihormati karena mereka merupakan
pimpinan dari Lotte Shopping Avenue mall, selain itu juga dilihat dari cara
berpakian orang Korea mereka patut untuk diberikan rasa hormat karena cara
33
berpakaian yang rapih dan sopan. Untuk meminimalisirkan faktor-faktor
penghambat dalam komunikasi antarbudaya, maka ada tiga prinsip penting
agar komunikasi antarbudaya berjalan efektif yang diungkapkan oleh
Sarbaugh, yaitu (Tubbs dan Moss, 2005: 240) :
1.
Suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua aspek
(verbal dan non verbal). Tanpa suatu sistem bersama, komunikasi
akan menjadi tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat perbedaan,
namun semakin sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit
komunikasi yang mungkin terjadi.
2.
Kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang
berkomunikasi merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda
untuk memberikan respons. Sebenarnya kepercayaan-kepercayaan dan
perilaku-perilaku kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa yang
dilakukan orang lain. Maka dua orang yang berbeda budaya dapat
dengan mudah memberi makna yang berbeda kepada perilaku yang
sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu berperilaku secara berbeda
tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan
meramalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan
berkomunikasi secara efektif.
3.
Tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang
lain. Cara kita menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita
sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain
akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi.
2.2.3.3 Bahasa Verbal
Dalam kehidupan komunikasi sehari-hari, banyak dari manusia bahwa
komunikasi yang kita gunakan terdiri dari dua bahasa, yaitu bahasa verbal dan
bahasa nonverbal. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang
menggunakan satu kata atau lebih. Melalui bahasa verbal, manusia dapat
menyatakan pikiran, perasaan dan maksud dari manusia itu sendiri. Di dalam
komunikasi antarbudaya, bahasa verbal dapat tentu digunakan, namun
membutuhkan kerja keras karena tidak semua budaya memiliki bahasa verbal
yang sama dalam memahami suatu objek.
Menurut Ray L. Birdwhistell, jenis bahasa verbal digunakan 35%
dalam komunikasi tatap-muka. Keadaan ini banyak tidak disadari oleh
manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas. Keterbatasan bahasa
34
tersebut, menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah
kata yang tersedia untuk mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu
dan kontekstual, kata-kata mengandung bias budaya dan
pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana, 2005:
245-254).
Manusia sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena sepanjang
hidup manusia menggunakannya. Seseorang akan menyadari bahasa itu
penting ketika menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa. Misalnya
dalam komunikasi antarbudaya, sulit mencari bahasa yang cocok untuk
digunakan. Maksud cocok adalah memiliki pemahaman yang sama antara
pihak-pihak yang sedang berkomunikasi dalam komunikasi antarbudaya.
Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi:
Fungsi penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi
informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha
mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut
namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.
Fungsi interaksi, menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat
mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
Fungsi transmisi, melalui bahasa suatu informasi dapat disampaikan
kepada orang lain atau sebaliknya menerima informasi dari orang lain
baik secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya
(Mulyana, 2005 : 245 - 254).
Dari ketiga fungsi bahasa yang diungkapkan maka, disimpulkan
bahasa verbal digunakan untuk dapat mengungkapkan pikiran, perasaan,
kemauan
dan
keinginannya,
manusia
menggunakan
bahasa
untuk
menyampaikan maksudnya tersebut. Bahasa sendiri memiliki tiga fungsi
terkait agar komunikasi berhasil menurut Larry L. Barker, yaitu : bahasa
untuk mengenal dunia sekitar; bahasa untuk dapat berhubungan dengan orang
lain; dan bahasa untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan sehari-hari.
Selain kesuksesan komunikasi, sebagian besar bahasa yang digunakan oleh
manusia adalah bahasa nonverbal.
2.2.3.4 Bahasa Nonverbal
Manusia tidak hanya dipersepsikan melalui bahasa verbalnya, atau
sebagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing,
dan sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Dengan perilaku
nonverbalnya, suasana emosional seseorang dapat diketahui, apakah ia sedang
bahagia, bingung, atau sedih. Kesan pertama jumpa pada seseorang sering
didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang dapat mendorong untuk ingin
mengenalnya lebih jauh.
35
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi
nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal)
dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan
penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan
potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi mencakup perilaku
yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari keseluruhan;
kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesanpesan tersebut bermakna bagi orang lain (Mulyana, 2009: 343).
Dapat dijelaskan secara sederhana, bahwa pesan nonverbal adalah
semua isyarat atau pesan yang tidak berupa kata-kata, misalnya gerak tubuh.
Sering kali perilaku nonverbal bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung
cepat dan di luar kesadaran dan kendali diri. Oleh karena itu, Edward T. Hall
di dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, menyebut bahasa nonverbal
sebagai “bahasa diam” (silent language) dan “dimensi tersembunyi” (hidden
dimension),
karena
pesan-pesan
nonverbal
tertanam
dalam
konteks
komunikasi dan memiliki arti yang luas. Kondisi demikian menciptakan
sering terjadi kesalahpahaman seperti yang terjadi di Lotte Shopping Avenue
mall. Ketika orang Korea berbicara dengan mata yang terkesan melotot,
kemungkinan orang Indonesia menganggap ini suatu keadaan dimana orang
Korea tersebut sedang marah. Padahal bisa saja memang gaya berbicara orang
Korea tersebut sedemikian, dan itu hal yang biasa ia lakukan.
Bahasa verbal dan bahasa nonverbal pada kenyataannya saling jalin
menjalin dalam komunikasi tatap-muka sehari-hari. Keduanya hampir selalu
berlangsung bersama-sama berkombinasi ketika terjadi suatu komunikasi.
Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai
fungsi-fungsi sebagai berikut (Mulyana, 2009: 350) :
1.
Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal
2.
Affect display; memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku
verbal.
3.
Emblem; Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal.
4.
Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.
5.
Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan
perilaku verbal.
Pesan nonverbal sering kali digunakan di Lotte Shopping Avenue mall
oleh pimpinannya yang berbudaya Korea, hal ini karena mereka belum
mampu menggunakan bahasa Indonesia secara baik, dan minimnya bahasa
36
Inggris yang dipakai. Selain itu juga para karyawan berbudaya Indonesia
sebagian besar belum mampu menggunakan bahasa Inggris dengan lancar,
karena itu bahasa nonverbal lebih sering digunakan dalam komunikasi antara
pimpinan Lotte Shopping Avenue mall dengan karyawannya yang berbudaya
Indonesia. Tidak hanya pimpinannya saja yang berasal dari Korea, melainkan
di Lotte Shopping Avenue mall juga menerapkan konsep ala Korea dengan
desain ruangan, serta produk-produk yang ditampilkan lebih menonjolkan
unsur Korea di dalamnya. Berikut pendapat ahli mengenai pesan nonverbal:
Secara garis besar Larry A. Samovar dan Richard E. Porter membagi
pesan-pesan nonverbal menjadi dua kategori besar, yakni: pertama,
perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur
tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan
parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam (Mulyana, 2009: 352).
Melalui pesan verbal dan pesan nonverbal dapat membantu proses
komunikasi antarbudaya secara efektif. Bagaimana hubungan diantaranya,
akan diuraikan berikut.
2.2.3.5 Bahasa Verbal dan Bahasa Nonverbal dalam Komunikasi Antarbudaya
Tidak mungkin bahasa terpisah dari komunikasi, dalam penelitian ini
bahasa verbal dan bahasa nonverbal dikaitkan dengan komunikasi
antarbudaya. Pada proses komunikasi antarbudaya, bahasa verbal dan bahasa
nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya.
Dalam arti yang paling dasar, Rubin mengatakan bahasa adalah satu
set karakter atau elemen dan aturan yang digunakan dalam hubungan
satu sama lain. Karakter atau elemen tersebut adalah simbol bahasa
yang beragam secara budaya, mereka berbeda satu dengan yang lain.
Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol yang berbeda,
namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suarasuara tersebut (Samovar, Porter dan Mc Daniel, 2007 : 168).
Perilaku nonverbal membantu dalam proses komunikasi antarbudaya, karena
tidak semua pesan dapat disampaikan secara verbal, hal tersebut karena
keterbatasan pemaknaan dan penamaan pada suatu objek. Selain itu didalam
komunikasi antarbudaya, sulit untuk mengungkapkan pesan dengan
interpretasi yang sama.
Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi
tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi
dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk
merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu
budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun,
bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak
37
pengalaman berbeda dan konsekuensinya proses abstraksi juga
menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc Daniel, 2007 : 169-170).
Hubungan antara pesan verbal dan pesan nonverbal dengan
kebudayaan jelas ada, karena hubungan tersebut dipelajari, diwariskan dan
melibatkan pengertian-pengertian yang harus dimiliki bersama. Maka, dapat
dipahami bahwa banyak pesan verbal dan perilaku nonverbal dipelajari secara
kurtural dan ditentukan oleh kebudayaan,
yaitu: kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang
mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu
dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapan waktu yang
tepat atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perasaan,
keadaan internal. Jadi, walaupun perilaku-perilaku yang
memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat universal, tetapi ada
perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh
siapa dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar,
Porter dan Mc Daniel, 2007: 201).
2.2.4
Mengelola Ketidakpastian dan Kecemasan
Percakapan yang sering terjadi didalam kehidupan bukan suatu hal
yang lumrah, ketika bangun tidur kita pasti akan melakukan percakapan
dengan orang yang kita temui. Namun ada kalanya kita akan bertemu dengan
orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan kita. Terdapat
perbedaan pendapat, perbedaan penafsiran terhadap suatu objek, yang
kemungkinan akan menimbulkan perasaan cemas dan tidak pasti. Maka
melalui penelitian ini, akan membahas bagaimana mengelola ketidakpastian
dan kecemasan yang terjadi dalam objek penelitian yaitu, Lotte Shopping
Avenue mall. Pemilihan objek penelitian ini karena adanya perbedaan budaya
antara pimpinan Lotte Shopping Avenue mall dengan karyawannya yang
berbudaya Indonesia. Bagaimana pola komunikasi yang digunakan, serta
adakah perasaan ketidakpastian dan kecemasan didalam berkomunikasi. Jika
ya, dalam penelitian ini akan meneliti lebih mendalam dengan didasarkan
pada teori dan teknik penelitian.
Teori yang dipakai berasal dari karya Charles Berger dengan “teori
mengurangi ketidakpastian” disingkat URT (Uncertainty Reduction Theory).
Kemudian
teori
tersebut
dikembangkan
oleh
Gudykunst
dengan
menghasilkan teori lain, dengan nama “manajemen ketidakpastiankecemasan” disingkat AUM (Anxiety Uncertainty Management). Kedua teori
tersebut akan digunakan dan diaplikasikan dalam penelitian.
38
2.2.4.1 Teori Mengurangi Ketidakpastian
Teori mengurangi ketidakpastian ini membahas proses dasar
bagaimana memperoleh pengetahuan mengenai orang lain. Misalnya saja
ketika bertemu dengan orang asing yang baru pertama kita temui, akan
banyak sekali pertanyaan didalam pikiran kita. Seperti, siapa dia? Mau apa ?
Bagaimana sifatnya? dan seterusnya.
Menurut Berger, orang mengalami periode yang sulit ketika menerima
ketidakpastian sehingga ia cenderung memperkirakan perilaku orang
lain, dan karenanya ia akan termotivasi untuk mencari informasi
mengenai orang lain itu. Ketika berkomunikasi, seseorang akan
membuat rencana untuk mencapai tujuannya. Seseorang akan
merumuskan rencana bagi komunikasi yang akan dilakukannya
dengan orang lain berdasarkan atas tujuan dan informasi data yang
telah dimiliki. Semakin besar ketidakpastian maka semakin berhatihati, seseorang akan semakin mengandalkan pada data yang ia miliki.
Jika ketidakpastian itu semakin besar maka seseorang akan semakin
cermat dalam merencanakan apa yang akan dilakukkannya (Morissan,
2013 : 205).
Morissan menjelaskan didalam bukunya yang berjudul Teori
Komunikasi Individu Hingga Massa, bahwa daya tarik dan keinginan
berafiliasi yang ada pada diri individu memiliki hubungan posifif dengan
upaya mengurangi ketidakpastian. Di dalam proses komunikasi ungkapan
nonverbal dari seseorang yang memberikan daya tarik seorang lainnya, maka
akan mengurangi ketidakpastian. Misalnya ketika komunikator menemukan
kesamaan dengan lawan bicaranya, maka ketertarikan di antara mereka akan
meningkat dan kebutuhan untuk mendapatkan lebih banyak informasi justru
akan berkurang.
Berger mengatakan ada tiga strategi orang untuk mendapatkan
informasi mengenai diri orang lain, yaitu (Morissan, 2013 : 207) :
1.
Strategi Pasif
Seseorang menjalankan
strategi pasif jika hanya melakukan
pengamatan saja. Menurut Berger, strategi pasif dapat dibagi menjadi
dua bentuk kegiatan pencarian informasi yaitu :
a. Reactivity searching dilakukan dengan mengamati seseorang
ketika ia sedang melakukan sesuatu atau mengamati bagaimana
reaksinya pada situasi tertentu.
b. Disinhibition searching yaitu mengamati seseorang dalam situasi
informal di mana ia dalam keadaan santai, tidak terlalu menjaga
39
penampilannya (self-monitoring) dan berperilaku lebih apa
adanya.
2.
Strategi Aktif
Pencariang informasi dengan bertanya kepada orang lain mengenai
seseorang yang ingin diketahui dan memanipulasi lingkungan
sedemikian rupa agar orang yang menjadi target lebih mudah diamati.
3.
Strategi Interaktif
Lebih kepada kegiatan pengungkapan diri yang merupakan strategi
penting untuk mendapatkan informasi secara aktif, karena jika hanya
mengungkapkan sesuatu mengenai diri Anda maka orang lain
kemungkinan juga akan melakukan hal yang serupa.
2.2.4.2 Teori Mengelola Ketidakpastian-Kecemasan
William Gudykunst melihat bagaimana ketidakpastian dan kecemasan
itu dalam situasi budaya yang berbeda.
Ia menemukan bahwa setiap orang yang menjadi anggota suatu
kebudayaan tertentu akan berupaya mengurangi ketidakpastian pada
tahap awal hubungan mereka, namun mereka melakukannya dengan
cara yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budayanya.
Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan cara melihat apakah seseorang
itu berasal atau merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” atau
“budaya konteks rendah”. Budaya konteks tinggi (high-context
cultures) melihat pada situasi keseluruhan untuk menginterpretasikan
peristiwa, sedangkan budaya konteks rendah (low-context cultures)
melihat pada isi pesan verbal yang terungkap dengan jelas (explicit).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, seseorang yang berasal dari budaya
konteks tinggi akan mengandalkan tanda-tanda dan informasi nonverbal
mengenai latar belakang seseorang untuk mengurangi ketidakpastian. Namun
seseorang dengan budaya konteks rendah, akan langsung mengajukan
pertanyaan kepada orang yang bersangkutan mengenai pengalaman, sikap,
dan kepercayaannya. Maka latar belakang budaya seseorang sangat
mempengaruhi bagaimana cara berkomunikasi dalam proses mengurangi
ketidakpastian dan kecemasannya.
Proses mengurangi ketidakpastian antara orang-orang yang berasal
dari kebudayaan berbeda dipengaruhi oleh sejumlah variable
tambahan. Ketika seseorang mengidentifikasikan dirinya secara kuat
dengan budayanya dan ia berpikir orang lain berasal dari kelompok
budaya yang berbeda maka orang pertama tadi akan merasakan
kecemasan dan juga ketidakpastian yang cukup besar, begitu pula
sebaliknya. Pengalaman dan persahabatan dengan orang-orang yang
40
berasal dari budaya berbeda dapat meningkatkan kepercayaan
seseorang ketika ia bertemu dengan orang asing yang tidak dikenalnya
(Morissan, 2013 : 208).
Dengan mengetahui bahasa orang asing itu akan menolong meningkatkan
kepercayaan dan toleransi. Jika seseorang lebih percaya diri dan tidak terlalu
cemas untuk bertemu orang lain yang berasal dari kelompok berbeda
dengannya, maka ia kemungkinan akan lebih baik dalam mendapatkan
informasi sehingga mengurangi ketidakpastian.
Anxiety
Uncertainty
Management
Theory
(Teori
Mengelolah
Kecemasan-Ketidakpastian) berfokus pada perbedaan budaya didalam
kelompok orang asing. Teori ini dapat digunakan pada segala situasi dimana
terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. (William Gudykunst,
The Uncertainty Reduction and Anxiety-Uncertainty Reduction Theories of
Berger, Gudykunst, and associates dalam Littlejohn dan Foss, 2005 : 144 155) menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab
dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Untuk itu diperlukan
suatu keefektifan dalam komunikasi yang dapat meminimalisirkan keadaan
ketidakpastian dan kecemasan melalui konsep-konsep dasar pada Anxiety
Uncertainty Management Theory:
1.
Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan
menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
2.
Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika
kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah
peningkatan kecemasan.
3.
Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses
informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan
sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat
perilaku mereka. Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita
berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan
mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan
kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing. Sebuah
peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu
41
peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara
akurat.
4.
Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri
kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan
mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku
mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaanperbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing
mengidentifikasikan
secara
kuat
dengan
kelompok.
Sebuah
peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan
positif kita danatau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan
kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa
percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
5.
Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang
berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah
penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri
kita terhadap perilaku mereka.
6.
Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa
percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka. Sebuah
peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang
asing
akan
menghasilkan
penurunan
kecemasan
kita
dan
menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi
perilaku orang lain.
2.2.4.3 Komunikasi Konteks-Tinggi VS Komunikasi Konteks-Rendah
Karena setiap orang terlahir pada lingkungan, keluarga dan budaya
yang berbeda, maka gaya khas dalam berbicara setiap orang juga berbeda,
selain itu juga topik-topik yang dibicarakan berbeda-beda. Edward T. Hall
(1973) di dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, membedakan
budaya konteks-tinggi dengan budaya konteks-rendah yang mempunyai
beberapa perbedaan penting dalam penyandian pesannya.
42
Menurutnya, budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi
konteks-rendah dimana pesan verbal disampaikan secara eksplisit,
gaya bicara bersifat langsung, lugas, dan berterus terang. Para
penganut budaya konteks-rendah ini mengatakan apa yang mereka
maksudkan (they say what they mean) dan memaksudkan apa yang
mereka katakan (they mean what they say).
Berbicara secara blak-blakan dalam arti tanpa memperhatikan
bagaimana dampaknya, atau tidak memperdulikan bagaimana pendapat lawan
bicaranya. Sifat didalam komunikasi konteks-rendah, pesan diungkapkan
dengan cepat dan mudah berubah, sehingga budaya konteks-rendah tidak
dapat menyatukan pemikiran dari beberapa orang, atau membentuk
kelompok. Mereka lebih suka bekerja secara individu karena pola pemikiran
dan pesan yang disampaikan tidak pasti.
Sementara itu, Hall juga menjelaskan bahwa budaya konteks-tinggi
ditandai dengan komunikasi konteks-tinggi, dimana kebanyakan pesan
yang disampaikan bersifat implicit, tidak langsung, dan tidak terus
terang. Ketika seseorang dari budaya konteks-tinggi mengatakan “Ya,”
jawabannya bukan berarti menerima atau setuju, melainkan bisa saja
berartikan “Saya mengerti”, “saya tahu” atau bahkan “saya tidak
setuju.”
Makna pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku
nonverbal pembicara pada budaya konteks-tinggi dapat dilihat pada intonasi
suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata, atau
bahkan konteks fisik (dandanan, penataan ruangan, benda-benda, dan
sebagainya). Pernyataan verbalnya bisa berbeda atau bertentangan dengan
pesan nonverbalnya. Berdasarkan hal tersebut, anggota-anggota budaya
konteks-tinggi dinyatakan lebih terampil membaca perilaku nonverbal dan
dalam membaca lingkungan. Sifat komunikasi konteks-tinggi adalah tahan
lama, lamban berubah, dan mengikat kelompok yang menggunakannya.
Secara garis besar, urutan sejumlah Negara berdasarkan tingkat
budayanya (dari budaya konteks-rendah hingga budaya kontekstinggi), menurut Hall dan Kohls, adalah sebagai berikut: Swiss Jerman,
Jerman, Skandinavia, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Italia,
Spanyol, Yunani, Arab, Cina, dan Jepang. Indonesia termasuk budaya
konteks-tinggi, dan mungkin berada diantara budaya Arab dan budaya
Cina (Mulyana, 2009: 328).
Namun Deddy Mulyana kembali menjelaskan didalam buku Ilmu
Komunikasi bahwa sebenarnya, meskipun umumnya orang Timur cenderung
berkomunikasi konteks-tinggi, tidak berarti bahwa seluruh penduduk
Indonesia berkomunikasi konteks-tinggi. Beberapa subkultur, seperti suku
43
Batak, sebagian kelas menengah perkotaan, kaum berpendidikan tinggi,
pengacara dan politisi, menunjukkan komunikasi konteks-rendah yang
lumayan. Namun secara umum, komunikasi orang Indonesia termasuk
komunikasi konteks-tinggi.
Bagi Negara Korea yang pernah dijajah oleh Negara Cina dan Jepang,
maka budaya mereka termasuk budaya konteks-tinggi dan setara dengan
Indonesia. Hanya saja, jika dibandingkan budaya Korea berada pada posisi
bawah konteks-rendah dengan budaya Indonesia. Untuk itu, budaya
komunikasi orang Korea di Lotte Shopping Avenue mall sering
menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan. Maka sering kali terdapat
kejadian dimana pimpinan orang Korea marah dengan karyawannya yang
berbudaya Indonesia di depan umum. Namun, positifnya orang Korea marah
karena ada unsur kesalahan dari karyawannya, bisa jadi kesalahan fatal atau
kriminal seprti mencuri. Jika tidak melakukan kesalahan, ataupun
kesalahannya masih bisa dimaklumi seperti bercanda pada waktu kerja,
pimpinan orang Korea hanya akan menegur secara pelan.
2.2.5
Budaya Kerja Orang Korea VS Budaya Kerja Orang Indonesia
Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang
dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi
perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai
kerja.
2.2.5.1 Budaya Kerja Orang Korea
Korea Selatan merdeka pada 15 Agustus 1948 dan memiliki
kepadatan penduduk yang tinggi, sekitar 487,7 jiwa/km jumlah ini
sepuluh kali lebih banyak dari rata-rata dunia. Pada 2012, tingkat
kelahiran per tahun sebesar 8,42 kelahiran dari 1.000 orang, angka ini
merupakan salah satu yang terendah di dunia. Luas Korea Selatan
adalah 99,274 km2, lebih kecil dibandingkan Korea Utara, namun
Korea Selatan jauh lebih maju dibandingkan Korea Utara dalam
bidang poltik dan ekonomi bebas yang dianutnya menyebabkan
keadaan ekonominya berkembang pesat. Jika Jepang bangkit dari
kehancuran Perang Dunia Kedua, Korea Selatan pun berhasil bangkit
dari perang saudara yang nyaris menghancurkannya di masa lalu
(Seng, 2013 : 4).
Bermula dari Negara pertanian yang menghasilkan berbagai hasil
pertanian dan peternakan, seperti padi, gandum, sayur-sayuran, buah-buahan,
44
ayam, susu, telur, dan ikan, Korea Selatan kemudian muncul sebagai Negara
perindustrian yang terkemuka dalam pembuatan kapal, pembangunan
jembatan, petrokimia, kendaraan bermotor, perangkat listrik dan elektronik,
sepatu, kain tekstil, dan mainan anak-anak.
Produk hasil Korea Selatan semakin mendapat perhatian dan menjadi
bahan pembicaraan di mana pun. Merek dagang, seperti Hyundai,
SsangYong, Samsung-Daewoo, dan LG begitu popular di mata para
konsumen. Bahkan, penjualan Samsung mampu menyaingi Apple
pada 2012. Samsung Electronics kembali mencatatkan kenaikan laba
bersih di kuartal IV-2012. Hal itu didorong oleh kenaikan penjualan
ponsel yang melebihi penjualan ponsel Apple. Seperti dikutip dari
Bloomberg, laba bersih kuartal IV-2012 Samsung Electronics naik 76
persen. Nilai ini lebih dari yang diperkirakan. Kenaikan laba ini
dibantu oleh penjualan ponsel pintar, tetapi murah dari Samsung ke
pasar China. (Seng, 2013: 14-16)
Strategi dagang itu mendapat respons karena ketidakmampuan
konsumen China untuk membeli iPhone Apple yang lebih mahal.
Korea Selatan juga terkenal dengan tim sepak bolanya yang memiliki
semangat juang yang solid dan tinggi. Keberhasilan Korea Selatan
dalam penyelenggaraan Asian Games dan Piala Dunia FIFA (Sepak
Bola) pada tahun 2002 menjadikan Negara tersebut sebagai tujuan
utama para wisatawan. Apa strategi Korea menjadi bangsa yang hebat?
Jika dilihat dari sejarahnya, sumbangan bangsa Korea dalam
membangun peradaban masih kalah dibandingkan China dan Jepang
yang lebih dikenal sebelumnya. Namun, mengingat keberhasilan yang
mereka capai, tentu ada keistimewaan tersendiri pada bangsa Korea,
dan kita tentu bertanya-tanya tentang rahasia keberhasilan mereka
(Seng, 2013: 7)
Bangsa Korea terpengaruh oleh budaya-budaya yang datang dari luar.
Hampir sebagian besar rakyat Korea Selatan memilih tidak beragama atau
ateis. Bangsa Korea tidak pernah menjadi suatu Negara yang besar dan
memiliki wilayah kekuasaan yang luas. Akan tetapi, semua itu bukanlah
penghalang bagi bangsa Korea untuk menjadi bangsa yang maju dan berhasil.
Salah satu faktor keberhasilan mereka adalah kesigapan mereka dalam
menerima perubahan dan mengikuti perkembangan zaman.
Bangsa Korea memiliki sifat mencintai dan menghargai produkproduk buatan negerinya sendiri. Disamping itu, ternyata produk-produk
mereka juga diminati dan diakui oleh masyarakat dunia. Pada saat Negaranegara lain sedang mengalami situasi yang tidak menentu akibat krisis
ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, Korea Selatan berhasil keluar
dari krisis tersebut.
45
Bangsa yang mau dan berhasil selalu bekerja tidak kurang dari 14 jam
dalam seharinya. Hal ini telah dibuktikan oleh bangsa China dan Jepang.
Bangsa yang membatasi jam kerja mereka akan selalu berada dalam
kemunduran dan takkan mencapai keberhasilan apa pun. Inilah yang selalu
dihindari oleh bangsa Korea. Selain itu, faktor geografis ikut mendukung
lamanya jam kerja tersebut. Hal itu cukup sulit diterapkan di Negara-negara
yang terletak di garis khatulistiwa. Iklum tropis cukup signifikan menguras
energi para pekerja. Sikap giat bekerja tanpa membatasi waktu inilah yang
merupakan rahasia keberhasilan bangsan-bangsa Asia yang terkenal dengan
ketekunannya.
Bangsa Korea tidak mau banyak beralasan akan keadaan yang terjadi.
Hal yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memperbaiki keadaan
tersebut dan kembali aktif. Bangsa Korea tidak mengikuti kehendak pasar,
tetapi mereka mencari, membuka, dan menciptakan pasar baru bagi produkproduk yang dianggap terlalu banyak pesaingnya. Pasar selalu berkembang,
tetapi produk-produk mereka selalu berhasil di pasaran. Prinsip ini selalu
dipegang oleh para pengusaha dan pengusaha di Korea.
Sebenarnya, rahasia keberhasilan Korea Selatan terletak pada etos dan
budaya kerja rakyatnya. Bangsa Korea berpandangan positif dan melihat jauh
ke depan. Mereka tekun dan bekerja keras hingga melewati jam kerja (pukul
09.00-16.00). mereka terus bekerja dan terus bekerja untuk menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik.
2.2.5.2 Budaya Kerja Orang Indonesia
Penjelasan mengenai budaya organisasi dan cara kerja orang Indonesia
berikut diambil dari buku Teori Budaya Organisasi tulisan oleh Taliziduhu
Ndraha (2005). Budaya Organisasi belum banyak ditulis orang, namun minat
terhadap bidang ini terus meningkat. Misalnya Richard I Mann yang menulis
The culture of Business in Indonesia (1994). Buku tersebut ditujukan kepada
pihak investor dan konsultan asing, agar bisa bekerja di lingkungan yang
berbudayanya berbeda dengan budaya negeri asalnya. Buku tersebut diakhiri
dengan The Challenge of Language :
A final word, not abut business per se, but about a condition which
sometimes results in the misinterpretation of business culture and,
indeed, of what is really going on.
46
Buku kedua tentang budaya Indonesia ditulis oleh Thomas Brandt,
berjudul Kunci Budaya. Business in Indonesia, the Cultural Key to Success
(1997). Dua bagian penting dari buku ini, adalah bagian A tentang The
Fundamentals dan bagian D tentang The Socio-cultural Environment in
Indonesia. Sebuah kutipan yang merupakan inti bagian A :
Working with Indonesians is, in principle, a pleasant experience. But
in situations with deadlines approaching fast, with matters having to
move ahead, it can seem that there is no way forward. Odd things start
happening and nothing seems to work anymore. These are the
moments when you simply wish to give up and leave…
It will take time for an expatriate to realize that the only way to
succeed is by daily checks and permanent follow-ups. What is selfevident in a Western environment is not so here.
Culture shock ! The effect of culture shock can even extend so far that
managers experiencing great difficultly in coming to terms with
Indonesian culture attempt to circumvent business with Indonesian
partners as far as possible and prefer to deal only with their
compatriots, thus ignoring any new potential business and bringing
into question the very reason for being stationed in Indonesia.
Paragraf tersebut diakhiri dengan nasihat :
Western managers would be well-advised to refrain from permanently
drawing comparisons with their home country. It is important to
arrive in this country with a positive outlook, and tolerance and an
open mind vis-à-vis Indonesian culture will be the best medicine for
cushioning any initial shock.
Bagian D menguraikan banyak hal seperti hierarki, agama, keramahtamahan, dan feng-shui; dua lainnya adalah tentang muka (face) dan waktu
(time). Mengenai muka dikatakan :
For Indonesians in general, and Javanese in particular, it is socially
very important to maintain face. Criticism may be acceptable under
four eyes, but in front of others, it is a matter of risking reputation…
A western business man must avoid causing any of his employees,
business partners, or himself, to lose face.
47
Selanjutnya:
By no means is it simply a matter of giving face to your counterpartyour own face is at risk, too. More over, it is not only a matter of
taking face – you will soon find out that “giving face” is just as much
part of the game.
Konsep Indonesia tentang waktu, menurut sumber itu, demikian :
In Indonesia, the cycles of nature determine the flow of time. In
contrast to the quantitative western approach to time, where very
consecutive second and every consecutive minute is counted,
Indonesians have a more qualitative view of time. Life is shaped by
fortunate and less fortunate moments.
Oleh karena itu, laporan ke kantor pusat berbunyi: Everything takes so long in
Indonesia, dan In Indonesia, we were in an entirely different world. Time was
not that important.
Tulisan yang dibuat berdasarkan pengamatan tersebut membantu
penelitian ini untuk membuka wawasan ketika bekerja didalam perusahaan
Indonesia. Berdasarkan pengalaman peneliti ketika bekerja bersama orang
Indonesia dan bekerja pada perusahaan Indonesia yang dilakukan selama tiga
bulan, bahwa budaya kerja orang Indonesia yang senang dengan budaya
gossip, yaitu kebiasaan yang suka untuk membicarakan keburukan atau
keberuntungan orang lain. Selain itu, orang Indonesia menganggap bahwa
waktu itu akan berputar secara terus-menerus sehingga memaknai bahwa
masih ada hari esok untuk dilakukan. Itu sebabnya, orang Indonesia lebih
suka dengan bekerja dalam mengulur waktu.
Pada konteks wajah, orang Indonesia kebanyakan tidak dapat
menutupi beban hidup yang dialaminya. Jika sedang sedih atau memiliki
masalah, mereka akan memasang wajah cemberut. Ini sering kali terjadi jika
orang Indonesia sedang merasa hubungannya yang kurang baik dengan rekan
kerjanya, maka ia memilih untuk tidak berbicara atau bahkan membuang
muka dan terus menghindari pertemuannya.
Berbeda dengan orang Korea yang fer menurut Hendry karyawan
Lotte Shopping Avenue mall. Ia mengatakan demikian berdasarkan
pengalamannya yang bekerja dengan orang Korea dan ia melakukan
kesalahan. Menurutnya, ketika orang Korea marah mereka hanya marah pada
48
saat itu, namun setelahnya mereka akan menganggap kita sebagai temannya
dan seperti tidak terjadi apa-apa. Juga pada dasarnya orang Korea yang
bekerja dengan sangat menghargai waktu, kedisiplinan dan konsisten adalah
hal utama dalam berelasi dan bekerja. Tidak rugi waktu jika bekerja dengan
orang Korea, karena mereka on-time ketika membuat janji.
49
2.3
Kerangka Pemikiran
Pengalaman Ketidakpastian dan Kecemasan
Belum mengenal atau bertemu dengan orang yang berbeda budaya
dan tidak memiliki pengalaman sebelumnya
Mulai Merumuskan Rencana untuk Berkomunikasi
Berdasarkan Tujuan atau Data yang Dimiliki
Semakin besar ketidakpastian,
maka akan mengalami krisis
kepercayaan (kecemasan) terhadap
rencana sebelumnya dan mulai
membuat rencana alternatif
Semakin kecil ketidakpasian,
maka akan meningkatkan
kebutuhan untuk mendapatkan
informasi
Teori Mengurangi Ketidakpastian dengan cara
yang berbeda-beda tergantung latar
Budaya Konteks Tinggi,
Mengandalkan Informasi
Nonverbal
Budaya Konteks Rendah,
Melihat Pada Isi Pesan
Verbal
Setiap orang memiliki level yang berbeda dalam mengangani
ketidakpastian dan kecemasan tergantung latar belakang budaya
Level Batas Atas
Level Batas Bawah
Jika level ketidakpastian melampaui batas atas
seseorang, maka kepercayaan akan berkurang.
Jika level kecemasan melampaui batas atas seseorang,
maka akan menghindari komunikasi sama sekali
Teori Mengelola Ketidakpastian dan Kecemasan
50
Hasil kerangka pemikiran yang dibuat adalah hasil dari pemikiran
peneliti sebagai dasar untuk menulis peneltian. Pengalaman ketidakpastian
dan kecemasan yang dimiliki seseorang dapat terjadi ketika seseorang
dihadapkan pada situasi dimana ia bertemu dengan orang yang belum
dikenalinya atau orang yang memiliki latar belakang berbeda, namun di satu
sisi ia harus melakukan suatu interaksi untuk mencapai tujuan. Misalnya di
lingkungan kerja karyawan berbudaya Indonesia yang harus berinteraksi
dalam proses kerja dengan pimpinannya yang berkebudayaan Korea. Maka
perasaan ketidakpastian dan kecemasan akan timbul tanpa disadari, ternyata
keadaan ini menciptakan terhambatnya proses interaksi sosial dalam bidang
komunikasi.
Ketika menghadapi situasi seperti ini, seseorang akan menyusun
rencana dengan mencari informasi mengenai orang tersebut berdasarkan
tujuan atau data yang dapat mendukung proses komunikasi sehingga keadaan
ketidakpastian dan kecemasan seseorang menurun. Menurut Gudykunst,
orang-orang dapat melakukan hal tersebut dengan cara yang berbeda-beda
berdasarkan latar belakang budayanya. Dimana latar belakang budaya
menurutnya terbagi menjadi dua, yaitu budaya konteks tinggi yang melihat
pada situasional keseluruhan untuk menginterpretasikan peristiwa dengan
mengandalkan tanda-tanda dan informasi nonverbal. Sedangkan budaya
konteks rendah melihat pada isi pesan verbal yang terungkap dengan jelas
yang pada praktiknya akan langsung mengajukan pertanyaan kepada orang
bersangkutan mengenai pengalaman, sikap dan kepercayaan.
Pada proses mengurangi ketidakpastian antara orang-orang yang
berasal dari kebudayaan berbeda dipengaruhi oleh sejumlah variable
tambahan. Gudykunst menyeutkan setiap orang memiliki tingkat atau level
yang berbeda dalam menangani ketidakpastian dan kecemasan yang
dirasakannya. Individu yang berbeda akan memiliki ambang batas yang
berbeda ketika merasakan ketidakpastian dan kecemasan. Jika level
ketidakpastian seseorang melampaui batas atas yang dimiliki, maka
kepercayaan dirinya akan berkurang, dan jika level kecemasannya terlalu
tinggi makan seseorang bahkan menghindari komunikasi sama sekali.
Sebaliknya jika seseorang berada pada batas ambang bawah, ketidakpastian
51
dan kecemasan lebih rendah dari batas bawah maka motivasi seseorang untuk
berkomunikasi juga akan hilang, karena ia merasa sudah cukup mengetahui
orang asing itu.
Dari pengalaman ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakan
hingga pada tahap akhir, Gudykunst mengelolanya dengan suatu teori yang
dikenal yaitu Teori Mengelola Ketidakpastian dan Kecemasan. Kemudian
teori ini diaplikasikan pada pengalaman ketidakpastian dan kecemasan
karyawan berbudaya Indonesia untuk mengetahui proses pengelolaan mereka
sehingga mampu bertahan bekerja pada Lotte Shopping Avenue mall.
52
Download