BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai hukum oleh masyarakat internasional.1 Perkembangan masyarakat internasional yang demikian pesat memberikan suatu dimensi baru dalam hukum internasional telah memberikan suatu pedoman pelaksanaan yang berupa konvensi-konvensi internasional dalam pelaksanaan hubungan ini. Ketentuanketentuan dari konvensi ini kemudian menjadi dasar bagi negara-negara dalam melaksanakan hubungannya dengan negara lainnya di dunia. Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan hukum internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional, baik dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hokum internasional lainnya. Sebagai konsekuensinya maka negaralah yang paling banyak memiliki, memikul dan memegang kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional dibanding dengan subjek hukum intenasional lainnya. Suatu negara, untuk dapat disebut sebagai suatu subjek hokum intenasional maka mengacu pada Pasal 1 Konvensi Montevideo ( Pan American ) tentang hak dan kewajiban negara (The Convention on Rights and Duties of State) tahun 1933, yang berbunyi sebagai berikut : 1 Sigit Fahrudin, dalam Artikel, “Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional” 1|Hukum Internasional “ The state as a person of international law should progress the following qualification :(a) a permanent population;(b) defined territory;(c) government; and (d) capacity to enter the relations with other states.” Ketiga kriteria telah diakui sejak abad kesembilam belas di Eropa, sedangkan kriteria yang keempat berasal dari para penulis Amerika Latin yang mewakili negaranya dalam konvensi. Kriteria yang terdapat dalam pasal tersebut dianggap telah mencerminkan hukum kebiasaan internasional. Kriteria keempat secara konvensional disebut kemampuan untuk membangun dan berkomunikasi dalam hubungan internasional (ability to establish and to communicate in international relation).2 internasional lain yang mengakuinya maka eksistensinya sebagai negara tidak diragukan lagi. Negara disebut sebagai subjek hukum internasional karena seperti halnya manusia yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari manusia lainnya, maka negara juga perlu untuk berinteraksi dengan negara lainnya. Dalam menjalin dan mengembangkan hubungan dengan negara lainnya maka harus didasarkan atas prinsip persamaan hak serta perdamaian antar negara seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB dan juga dalam pembukaan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik yaitu: “Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain untuk memperteguh perdamaian universal.” Awalnya pelaksanaan dalam hubungan diplomatik antar Negara didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara dimana prinsip kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut.3 Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktikpraktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan 2 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Komtemporer, Refika Aditama, Bandung 2006, hlm 10 3 Starke. J. G. 1984. Pengantar Hukum Internasional 2|Hukum Internasional suatu kebiasaan yang diterima secara umum sebagai hukum oleh masyarakat internasional. Hukum diplomatik adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar negara dengan didasarkan atas permufakatan (consensus) bersama yang kemudian dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi kebiasaan internasional.4 Hukum diplomatik dibangun berdasarkan permufakatan (consensus) yang dilandasi atas prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent), prinsip persetujuan timbal balik (principle of reciprocity) dan prinsip-prinsip lainnya yang disepakati oleh negara-negara dalam mengadakan hubungan diplomatic Suatu negara dalam melakukan penyelenggaraan hubungan tersebut memerlukan suatu alat untuk menjalin hubungan dengan negara lainnya yang nantinya berfungsi sebagai penghubung kepentingan antar negara yang diwakili dengan negara penerimanya. Alat penghubung tersebut diwujudkan dengan cara membuka hubungan diplomatik dan menempatkan perwakilan (Duta) diplomatic negara pengirim (sending state) pada negara penerima (receiving state).5 Perwakilan diplomatik adalah merupakan wakil resmi dari Negara asalnya, perwakilan diplomatik disuatu negara ini dikepalai oleh seorang duta dari suatu negara yang diangkat melalui surat pengangkatan atau surat kepercayaan (letter of credentials). Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 di Eropa dimana pertukaran perwakilan diplomatik sudah dianggap sebagai hal yang umum saat itu, hal mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara dan pada abad ke-17 sudah dianggap sebagai suatu kebiasaan internasional. Selanjutnya pada pertengahan abad ke- 18 aturan-aturan kebiasaaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan termasuk harta milik, gedung perwakilan, dan komunikasi diplomat. Kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan asing di suatu negara pada hakikatnya dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu: 1. Kekebalan tersebut meliputi tidak diganggu-gugatnya para diplomat termasuk tempat tinggal serta miliknya. 4 5 Sumaryo Suryokusumo, Teori dan Kasus Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung, 2005, hlm 5 Setyo Widagdo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm 38. 3|Hukum Internasional 2. Keistimewaan atau kelonggaran yang diberikan kepada para diplomat yaitu dibebaskannya kewajiban mereka untuk membayar pajak, bea cukai, jaminan sosial dan perorangan. 3. Kekebalan dan keistimewaan yang diberikan pada perwakilan diplomatik bukan saja menyangkut tidak diganggu-gugatnya gedung perwakilan asing di suatu negara termasuk arsip dan kekebasan berkomunikasi, tetapi juga pembebasan dari segala perpajakan dari negara penerima.6 Perwakilan atau duta besar kecuali jika terjadi kebakaran atau bencana lainnya yang memerlukan tindakan-tindakan yang cepat. Pada Pasal 45 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dijelaskan bahwa tidak dapat diganggu-gugatnya gedung perwakilan asing sesuatu negara pada hakikatnya menyangkut dua aspek. Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima memberikan perlindungan sepenuhnya bagi perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan7. Bahkan bila terjadi keadaan luar biasa sepertinya putusnya hubungan diplomatik atau terjadinya konflik bersenjata antara negara pengirim dan negara penerima, kewajiban Negara penerima untuk melindungi gedung perwakilan berikut harta milik dan arsip-arsip tetap harus dilakukan. Aspek kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semua arsip yang ada di dalamnya8 Di dalam Konvensi Wina 1961 pasal 1 (i) secara jelas memberikan batasan bahwa gedung perwakilan merupakan gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan, tanpa memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut termasuk rumah kediaman kepala perwakilan. Kelalaian dan kegagalan negara penerima dalam memberikan perlindungan terhadap kekebalan diplomatik merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konvensi, oleh karenanya negara penerima wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang tidak menyenangkan tersebut. 6 Ibid, hlm 70 7 International Law:Law of Peace, Great Britain, A Macdonald & Evans, 1982 8 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, PT ALUMNI, Bandung, 2005, hlm. 71 4|Hukum Internasional Kelalaian dan kegagalan tersebutlah yang akhirnya memunculkan tanggung jawab tersendiri yang dikenal sebagai “pertanggungjawaban negara”. Salah satu gangguan yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik, yaitu perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan. Apabila hal ini terjadi, maka negara pengirim dapat mengajukan keberatan kepada Negara penerima (receiving state) dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut. Dalam kasus insiden penyadapan perwakilan diplomatik yang terjadi adalah kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar pada tahun 2004. Kasus penyadapan ini diketahui setelah Tim Pemeriksa dari Jakarta melakukan pemeriksaan di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangoon, Myanmar. Berdasarkan temuan mereka, penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon. Walaupun pihak KBRI tidak mengetahui secara jelas sudah berapa lama kantor kedutaan disadap. Akibat ulah agen intelijen Myanmar yang telah menyadap Kedubes RI di Yangoon tersebut mendapat banyak kecaman dari pihak internasional. Komisi I DPR RI meminta meninjau ulang kembali hubungan diplomatik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Myanmar. Anggota Komisi I DPR RI Djoko Susilo mengungkapkan pemeriksaan tim gabungan keamanan Indonesia di Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangoon, Myanmar, terungkap bahwa adanya alat penyadap yang ditemukan pada dinding kamar kerja Duta Besar RI untuk Myanmar. Ulah agen intelijen junta militer Myanmar itu merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar asas kepatutan dan etika dalam hubungan diplomatik. Tindakan ilegal itu menyalahi tata krama hubungan diplomatik, lanjut Djoko Susilo.9 Tindakan penyadapan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konvensi 1961 dan kejadian ini sangat disesalkan sekali karena merupakan bukti kegagalan pemerintah Myanmar dalam melindungi hak kekebalan diplomatic dimana hal tesebut merupakan kewajiban dari negara penerima sebagaimana telah diatur dalam konvensi. 9 www. hidayatullah.com diakses pada tanggal 12 juli 2004 5|Hukum Internasional B. identifikasi Masalah 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional ? 2. BAGAIMNA TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ? 6|Hukum Internasional BAB II PEMBAHASAN A. Kajian Teoritis Beberapa ahli memberikan definisi mengenai hukum diplomatik10: 1. Random House Dictionary Perilaku yang ditunjukan dengan negosiasi dan hubungan lain antara pemerintah dan negara; ilmu seni yang berhubungan dengan negosiasi; kemampuan untuk mengelola negosiasi. 2. N.A Maryan Green Sebuah hubungan diplomatik dan memiliki misi yang tetap yakni untuk melayani dan digunakan sebagai alat sehingga negara-negara tertentu dapat saling berkomunikasi dalam mencapai kepentingan nasional masing – masing negara. 3. Sir Ernest Satow Tata kelola hubungan diplomatik secara resmi diantara negara-negara maju dengan negara-negara yang sedang berkembang yang bertujuan membentuk kedamaian. 4. Quency Wright Menitikberatkan pada dua batasan : a. Pekerjaan yang berhubungan dengan kebijaksanaan, kelihaian dan kemampuan untuk bernegosiasi dan bertransaksi b. Suatu seni bernegosiasi agar mencapai harga maksimal dengan system politik dimana perang mungkin bisa terjadi. 5. Harold Nicholson a. Mengatur hubungan dalam negeri yang bisa diartikan dalam negosiasi b. Metode yang biasa digunakan dalam hubungan yang biasa dan dikelola oleh duta besar atau perwakilan negara. 10 Suryokusumo, Sumaryo,1995. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 7|Hukum Internasional c. Segala urusan yang berhubungan dengan diplomasi d. Kemampuan yang diperlukan dalam pergaulan internasional dan negosiasi 6. Brownlie Diplomasi yang terdiri dari berbagai negara yang terbentuk atau memelihara hubungan yang saling menguntungkan diantara negara, berkomunikasi dengan yang lain, atau membawa transaksi politik atau hukum, dalam setiap kasus melalui orang yang kompeten di bidangnya. Konsep Imunitas Hak imuunitas ini diberikan oleh hukum internasional berdasarkan Genewa Convention on Diplomatic Relation 1961 (konvensi Jenewa Tentang Hubungan Diplomatik).11 Jenis-jenis Hak Imunitas Dalam kaitannya dengan Personalitas Hukum dan Pengakuan, subyek hukum internasional menikmati semacam keistimewaan atau hak-hak tertentu, baik dari hukum nasional maupun hukum internasional.Keistimewaan tersebut salah satunya adalah imunitas terhadap proses hukum dari peradilan negara lain yang dapat dinikmati oleh negara- negara dan organisasi internasional. Hak imunitas ini dapat di bagi menjadi dua, yaitu : a. Imunitas negara (state immunity) Imunitas Negara Kepala negara, sebagai bagian dari pengertian pejabat negara, sering diidentikkan dengan souvereign immunity dalam ha lperolehan kekebalan hukum. Imunitas diberikan kepada pejabat negara, terutama kepala negara, karena kepala negara merupakan gambaran atau perlambangan dari negara yang bersangkutan. Hal ini menempatkan kepala negarase bagai perlambangan kedaulatan suatu negara berdaulat baik di dalam negeri maupun di luar negeri.Arti pemberian imunitas itu sendiri memiliki makna bahwa dengan kekebalan hukum, kepala negara memiliki kompetensi untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap penting dalam mewujudkan tertibnya 11 Larry, Muhamad, 2011. `Hak Imunitas Kepala Negara di hadapan Pengadilan Internasional 8|Hukum Internasional kehidupan kenegaraan serta meningkatkan harkat dan martaba tnegaranya di lingkungan dunia internasional. Pemberian hak imunitas kepada kepala negara tidak dapat dilepaskan dari teori imunitas negara.Teori ini menempatkan posisi bahwa suatu negara memiliki kekebalan di hadapan pengadilan, baik itu nasional maupun asing. Sehingga imunitas kedaulatan negara pada dasarnya adalah tidak dapat dilakukannya penuntutan terhadap seorang raja atau kepala negara.Perkembangan ini menegaskan bahwa imunitas pribadi raja adalah imunitas negara. b. Imunitas diplomatic dan konsuler. Imunitas diplomatic dan konsuler adalah Kekebalan yang diberikan kepada wakilwakil diplomatic pada suatu Negara yang merdeka dan berdaulat yang hak-haknya dijamin hukum internasional (united Nations Charter). Negara-negara yang dimaksud memiliki hak khusus (previlege) yang juga dijamin hukum.12 Hak privilege ini tidak hanyadiberikan kepada wakil-wakil Negara asing di wilayah territorial Negara penerima (Receiving State), tetapi juga kepada Negara-negara lain, seperti hak lintas wilayah udara (penerbangan komersial) dan hak lintaslaut territorial dan pedalaman (inncocent passage right).13 Hak imunitas diberikan sepanjang perwakilan Negara-negara melakukan tindakantindakan public dalam kerangka pelaksanaan hubungan dengan negaranya sebagai Negara pengirim (Sending State) dengan Negara tempat perwakilannya berada di Negara penerima (Receiving State).14 Dalam hal ini berlaku teori imunitas absolute dalam praktek hubungan antar Negara, tetapijugamelaksanakanhubunganbisnis yang bersifatperdata, apabila Negara telah melakukan tindakan-tindakan perdata, maka teori imunitas mutlak tidak dapat dilakukan lagi, sehingga berlaku teori imunitas relative akibatnya Negara dalam kapasitas sebagai Ius Gestiones dapatdituntut di forum pengadilan asing. Pasal 3 ayat (1) Viena Convention 1961 12 Setyo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler Istanto, Sugeng, Hukum Internasional 14 Larry, Muhamad, 2011. `Hak Imunitas Kepala Negara di hadapan Pengadilan Internasional 13 9|Hukum Internasional nmenyatakan “suatu Negara memiliki kekebalan kecuali melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan bisnis. A. Korps Perwakilan Diplomatik dan Korps Perwakilan Konsuler Korps perwakilan diplomatik dipimpin oleh seorang duta besar, duta atau oleh seorang kuasa usaha, bertugas mewakili negara pengirim di negara penerima, melindungi kepentingan negara pengirim di negara penerima, berunding dengan negara penerima, dan memajukan hubungan persahabatan dalam berbagai bidang dengan negara penerima.Korps perwakilan konsuler lebih berperanan dalam memajukan hubungan dagang, kebudayaan dan ilmiah antara negara pengirim dan penerima.15 Hukum Internasional menjamin kekebalan diplomatik atau hak imunitet bagi korps perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler, Hak-hak imunitas atau kekebalan yang dimiliki korps perwakilan diplomatik dan konsuler di antaranya adalah16: a. Hak eksteritorialitas yaitu hak kekebalan dalam daerah perwakilan, misalnya pada kantor kedutaan besar termasuk halaman dan bangunan-bangunannya di mana terpancang bendera dan lambang negara tersebut. Berdasarkan hukum internasional, daerah itu dipandang sebagai wilayah negara pengirim sehingga tidak boleh dimasuki tanpa ijin kepala perwakilan diplomatik negara pengirim. b. Hak kebebasan / kekebalan, setiap anggota korps diplomatik walaupun harus tunduk kepada hukum dan peraturan negara penerima, tidak dapat dituntut di muka pengadilan negara penerima.Hak-hak ini diatur dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler. B. Fungsi Misi Diplomatik ( menurut Konvensi Wina ) a. Mewakili negara pengirim di negara penerima b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diijinkan oleh Hukum Internasional 15 16 Sumaryo Suryokusumo, Teori dan Kasus Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung, 2005 Widagdo, Setyo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing, Malang, 2008 10 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l c. Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima d. Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima sesuai dengan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim e. Memelihara hubungan persahabatan antar kedua negara . C. Tingkatan-tingkatan Perwakilan Diplomatik a. Duta besar berkuasa penuh, yaitu perwakilan diplomatik yang mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa dan biasanya ditempatkan di negara negara yang banyak menjalin hubungan timbal balik. Di tempat mana duta besar diakreditir, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dari duta-duta. Duta besar mewakili kepala negaranya, memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan nama baik negaranya. b. Duta, yaitu perwakilan diplomatik yang dalam menyelesaikan persoalan kedua negara harus berkonsultasi dahulu dengan pemerintahnya. c. Menteri Residen, status menteri residen bukan sebagai wakil pribadi kepala negara melainkan hanya mengurus urusan negara d. Kuasa Usaha, adalah perwakilan diplomatik yang tidak diperbantukan kepada kepala negara, melainkan kepada menteri luar negeri . Di Bedakan menjadi 2 : a. Kuasa usaha tetap menjabat kepala dari suatu perwakilan. b. Kuasa usaha sementara yang melaksanakan pekerjaan dari kepala perwakilan ketika pejabat ini belum atau tidak ada di tempat. D. Fungsi Perwakilan Diplomatik (Kongres Wina) a. Mewakili negara pengirim di dalam negara penerima. b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima di dalam batas batas yang diijinkan oleh hukum internsional. c. Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima. 11 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l d. Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima sesuai dengan UU dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim. e. Memelihara hubungan persahabatan antara kedua negaraMenciptakan pesahabatan yang baik antar negara dalam mewujudkan pelaksanaan tugas negara perwakilan diplomatik. E. Tugas Pokok Perwakilan Diplomatik Perwakilan diplomatik ( Duta besar ) meilik tugas pokok yang antara lain sebagai berikut17 : a. Menyelenggarakan hubungan dengan negara lain atau hubungan kepala negara dengan pemerintah asing. b. Mengadakan perundingan masalah masalah yang dihadapi oleh kedua negara itu dan berusaha untuk menyelesaikannya. c. Mengurus kepentingan negara serta warga negaranya di negara lain. d. Apabila dianggap perlu dapat bertindak sebagai tempat pencatatan sipil, paspor, dsb. Sedangkan tugas umum seorang perwakilan diplomatik adalah mencakup hal-hal berikut18 : a. Representasi, perwakilan diplomatik mewakili kebijakan politik pemerintah negaranya dapat melakukan protes, mengadakan penyelidikan pertanyaan denganpemerintah negara penerima. b. Negoisasi, untuk mengadakan perundingan atau pembicaraan baik dengan negara dimana ia diakreditasi maupun dengan negara lain. c. Observasi, yaitu untuk menelaah dengan teliti setiap kejadian atau peristiwa di negara penerimayang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan negaranya. d. Proteksi, melindungi pribadi, harta benda, dan kepentingan-kepentingan warga negaranya yang berada di luar negeri 17 Wallace, Rebacca M.M. , International Law, diterjemahkan oleh Bambang Arumanadi, IKIP Press, Semarang, 1993 18 Green, N.A. Maryan , International Law:Law of Peace, Great Britain, A Macdonald & Evans, 1982 12 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l e. Relasi, untuk meningkatkan hubungan persahabatan antar negara pengirim dengan negara penerima, baik di bidang ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. F. Peranan Perwakilan Diplomatik a. Menetukan tujuan dengan menggunakan semua daya upaya dan tenaga dalam mencapai tujuan tersebut. b. Menyesuaikan kepentingan bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan tenaga dan daya yang ada. c. Menentukan apakah tujuan nasional sejalan atau berbeda dengan kepentingan negara lain. d. Menggunakan sarana dan kesempatan yang ada dan sebaik baikya dalam menjalankan tugas diplomatiknya. G. Kekebalan Perwakilan Diplomatik Kekebalan diplomatik (immunity) bersifat involability (tidak dapat diganggu gugat) antara alin mencakup : a. Pribadi Pejabat Diplomatik, yaitu mencakup kekebalan terhadap alat kekuasaan negara penerima, hak mendapat perlindungan terhadap gangguan dari serangan atas kebebasan dan kehormatannya, dan kekebalan dari kewajiban menjadi saksi. b. Kantor perwakilan (rumah kediaman) yaitu mencakup kekebalan gedung kedutaan, halaman, rumah kediaman yang ditandai dengan lambang bendera atau daerah ekstrateritorial. Bila ada penjahat atau pencari suaka politik masuk ke dalam kedutaan, maka ia dapat diserahkan atas permintaan pemerintah karena para diplomat tidak memiliki hak asylum, hak untuk memberi kesempatan kepada suatu negara untuk memberi kesempatan kepada warga negara asing untuk melarikan diri. c. Korespodensi diplomatik, kekebalan yang mencakup dokumen, arsip, surat menyurat, termasuk kantor diplomatik dan sebagainya kebal dari pemeriksaan. H. Keistimewaan Perwakilan Diplomatik Keistimewaan Perwakilan Diplomatik sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961 dan 1963 mencakup : 13 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l a. Pembebasan dari kewajiban membayar pajak, yaitu antara lain pajak penghasilan, kekayaan, kendaraan bermotor, radio, televisi, bumi dan bangunan, rumah tangga, dan sebagainya. b. Pembebasan dari kewajiban pabean, yaitu antara lain bea masuk, bea keluar, bea cukai terhadap barang-barang keperluan dinas, misi perwakilan, barang keperluan sendiri, keperluan rumah tangga, dan sebagainya. I. Perbedaan Korps Diplomatik dengan Korps Konsuler Korps Diplomatik a. Memelihara kepentingan negaranya melalui hubungan tingkat pejabat pusat b. Berhak membuat hubungan plitik c. Mempunyai hak ektrateritorial d. Satu negara hanya mempunyai satu perwakilan diplomatik Korps Konsuler a. Memelihara kepentingan negaranya melalui hubungan tingkat daerah b. Membuat hubungan Non politik c. Tidak mempunyai hak ektrateritorial d. Satu negara dapat memiliki lebih dari satu J. Mulai Berlakunya dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimeawan Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, setiap orang yang berhak mendapatkan hak istimewa dan kekebalan diplomatik akan mulai menikmatinya sejak pengangkatannya diberikan kepada Kementerian Luar Negeri atau kepada kementerian lainnya sebagaimana mungkin telah disetujui Berakhirnya Fungsi Misi Perwakilan DiplomatikKekebalan dan Keistimeawan Diplomatik antara lain sebagai berikut: a. Sudah habis masa jabatan b. Ditarik kembali oleh pemerintah negaranya c. Karena tidak disenangi (dipersona non grata) 14 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l d. Kalau negara penerima perang negara pengirim (pasal 43 Konvensi Wina 1961) (Pasal 23, 24, dan 25 Konvesi Wina 1963) B. Kajian Yuridis Menimbang: a. bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Diplomat, perlu diberikan tunjangan jabatan fungsional yang sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya; b. bahwa sehubungan dengan ha l tersebut pada huruf a dan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas kerja Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, dipandang perlu mengatur Tunjangan Jabatan Fungsional Diplomat dengan Peraturan Presiden; Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3098) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 23); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan 15 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4263); 6. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil; MEMUTUSKAN : Menetapkan : Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan Tunjangan Jabatan Fungsional Diplomat, yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Diplomat adalah tunjangan jabatan fungsiona1 yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Diplomat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 2 Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Diplomat, diberikan Tunjangan Diplomat setiap bulan. Pasal 3 Besamya Tunjangan Diplomat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. Pasal 4 Kepada Pegawai Negeri Sipil Mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang menduduki jabatan fungsional dalam Jenjang Utama, selain diberikan tunjangan jabatan fungsional yang diatur dalam Peraturan Presiden ini, kepadanya diberikan tambahan tunjangan berupa tunjangan khusus sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) setiap bulan. 16 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l Pasal 5 Tunjangan Diplomat dan Tunjangan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diberikan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2008. Pasal 6 Pemberian Tunjangan Diplomat dan Tunjangan Khusus dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4, diangkat dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional lain atau karena ha l lain yang mengakibatkan pemberian tunjangan dihentikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Ketentuan lebih lanjut yang ,diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini, diatur oleh Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri dan/atau Kepala Badan Kepegawaian Negara, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri menurut bidang tugasnya masing-masing. Pasal 8 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2008 17 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah penulis samapaikan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Pelanggaran terhadap Hak Kekebalan Diplomatik merupakan pelanggaran terhadap Hukum Internasional. Dalam hal ini Negara penerima wajib bertanggung jawab apabila terjadi pelanggaran terhadap Hak Istimewa dan Kekebalan dari perwakilan diplomatik asing, baik itu diplomat, keluarga, maupun gedung perwakilan diplomatik19. Pertanggungjawaban negara dilakukan sebagai bentuk pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan oleh suatu negara atau suatu konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi suatu standar internasional tertentu yang telah ditetapkan. Kasus penyadapan KBRI di Myanmar merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Wina 1961 dimana diatur dalam pasal 22 ayat (1): Perwakilan diplomatik asing di suatu negara termasuk gedung perwakilan tidak dapat diganggu gugat (inviolable). Penyadapan KBRI di Myanmar adalah sebagai bukti bagaimana Myanmar sebagai negara penerima tidak mampu menjalankan tugasnya dalam rangka memberikan jaminan dan perlindungan terhadap perwakilan diplomatik negara asing di negaranya. 2. Atas kejadian tersebut, Myanmar sebagai negara penerima berkewajiban untuk melakukan pertanggungjawaban dengan cara melakukan: pertama, mangajukan permintaan maaf secara resmi kepada pemerintah RI atau melalui KBRI di Myanmar dan berjanji kejadian serupa tidak akan terjadi lagi. Kedua, dengan memberikan ganti rugi nominal atau dalam bentuk perbaikan/renovasi seperti keadaan semula apabila terdapat kerusakan. Bahwa tindakan seorang Diplomat yang melakukan penyelewengan terhadap hakhak yang dimilikinya, baik kekebalan, keistimewaan, maupun kemudahan, masih sering dilakukan. Para Diplomat diberi hak-hak tersebut untuk mempermudah kinerja mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai perwakilan negaranya di negara penerima, bukan untuk 19 rudikomarudin.blogspot.com/2010/04/hubungan-diplomatik-menurut-hukum 18 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l memanfaatkan hak-hak tersebut guna mencapai kepentingan pribadi20. Sebagaimana yang dilakukan oleh Diplomat Arab Saudi di Iran yang memanfaatkan keistimewaan yang ia miliki dengan cara bersenang-senang memuaskan kepentingan pribadi. Praktik seperti ini sering terjadi. Penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh adalah dengan cara penanggalan kekebalan dan keistimewaan (waiver), ataupun dilaporkan ke ICJ dengan mengajukan permohonan yang didahului dengan proses abritrase atau konsiliasi. Namun, negara penerima tetap mempunyai hak untuk mem-persona non-grata-kan Diplomat yang bertugas di negaranya kapan saja ia mau tanpa harus menjelaskan alasan keputusannya. Dan pengertian – pengertian menurut beberapa ahli di atas bahwa hukum diplomatik bahwa hukum diplomatik digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik21. contohnya diplomat Indonesia yg tinggal di Singapore, maka hukum di negara Singapore tidak berlaku bagi diplomat ini. karna dia punya hak imunitas hukum. apabila memang melakukan kesalahan, maka hanya boleh diadili sesuai hukum Indonesia. B. Jawaban dari Identifikasi Masalah 1. Pada bagian ini dibahas tentang pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik), kedudukan kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina 1961, penyelesaian kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina 1961. 20 Hardiwinoto, Soekotjo, Pengatar Hukum Internasional, 21 rudikomarudin.blogspot.com/2010/04/hubungan-diplomatik-menurut-hukum 19 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l 2.Berisikan uraian tentang peristilahan dan pengertian serta pengaturan pertanggungjawaban negara dalam hal kaitannya dengan hukum diplomatik. Hal ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan melihat ketentuan-ketentuan hukum diplomatik, buku-buku serta teoriteori para sarjana yang dijadikan sumber kebiasaan dalam hukum internasional yang berkaitan dengan masalah yang akana dibahas. 20 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l DAFTAR PUSTAKA http://rudikomarudin.blogspot.com/2010/04/hubungan-diplomatik-menurut-hukum.html diakses tanggal 25 Maret 2012. asese, Antonio, International Law, United State, Oxford University Press, 2005 Green, N.A. Maryan , International Law:Law of Peace, Great Britain, A Macdonald & Evans, 1982 Hardiwinoto, Soekotjo, Pengatar Hukum Internasional, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995 Sharer, Starke’s International Law, London; Butterworth Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994 Anonim, 2008. Hukum Diplomatik dan Konsuler, Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2012 pukul 12.30 WIB, http://lovetya.wordpress.com/2008/12/15/hukum-diplomatik-dan-konsuler/Larry, Muhamad, 2011. Hak Imunitas Kepala Negara di hadapan Pengadilan Internasional Ditinjau Dari Segi Hukum International`, Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2012 pukul 12.00 WIB, http://www.slideshare.net/muhammadlarry/hak-imunitas-kepala-negara-di-hadapan pengadilan-internasional-ditinjau-dari-segi-hukum-internasional-muhammad-larry-izmi> Starke. J. G. 1984. Pengantar Hukum Internasional........................:PT Aksara Persada Indonesia. Adolf Huala. 2002. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional: Bandung. PT Grafindo Persada. 21 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l http://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/kedaulatan-dan-immunitas-negaradalam.htmlhttp://unjakreatif.blogspot.com/2010/09/kedaulatan-dan-immunitasnegaradalam.html Wallace Carol, Michael J. Weiss ., 1983., The Untouchables: Diplomats in America. http://www.people.com/. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2013 Wallace, Rebacca M.M. , International Law, diterjemahkan oleh Bambang Arumanadi, IKIP Press, Semarang, 1993 Widagdo, Setyo dan Hanif Nur W, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing, Malang, 2008 Widodo, Konsep dan Dinamika Hukum Internasional, Indonesia Business School, Malang, 1997 w Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994 Suryokusumo, Sumaryo,1995. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, Larry, Muhamad, 2011. `Hak Imunitas Kepala Negara di hadapan Pengadilan Internasional Ditinjau Dari Segi Hukum International`, Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2012 pukul 12.00 WIB, <http://www.slideshare.net/muhammadlarry/hak-imunitas-kepala-negara-di-hadapanpengadilan-internasional-ditinjau-dari-segi-hukum-internasional-muhammad-larry-izmi Adolf, Huala , Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996 Casese, Antonio, International Law, United State, Oxford University Press, 2005 22 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l