Akademisi Unsyiah : Nasib PERPU No. 2 Tahun 2017 Ada Ditangan DPR-RI Kurniawan S, S.H., LL.M |foto : dok. RoketNews.com Banda Aceh - Akademisi Hukum Tata Negara Unsyiah yang juga Ketua Laboratorium Klinis Hukum Fakultas Hukum Unsyiah Kurniawan S, S.H., LL.M kembali bersuara terkait PERPU No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas di sampaikan dalam forum Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Badko HMI Aceh di 3 in 1 coffee. Menurut Hemat Kurniawan, bahwa keberadaan PERPU No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang menganut Prinsip Hukum Contrario Actus (lihat konsiderans Menimbang huruf e) adalah telah membawa penyelenggara negara semakin jauh dari corak prinsip negara hukum (rechtstaat)" dan semakin mendekat ke corak "Negara berdasarkan kekuasaan (Machstaat)". Padahal Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara sekaligus sebagai Hukum Dasar (GROND WET / STAATSFUNDAMENTAL NOORMEN) mengamanatkan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum". "Maknanya bahwa Hukumlah yang berdaulat sekaligus sebagai penuntun dan pedoman dalam penyelenggaraan bernegara dan berbangsa", ujarnya. Prinsip Hukum Contrarius Actus (Prinsip Hukum yang mengajarkan bahwa pejabat Tata Usaha Negara/penyelenggara negara yang telah mengeluarkan suatu keputusan (termasuk menetapkan status badan hukum suatu Ormas) dapat mencabut secara sepihak keputusan status suatu badan hukum suatu Ormas tersebut dengan mengabaikan prinsip pembuktian di pengadilan) Keberadaan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas pada hakikatnya dapat dijadikan sebagai instrument hukum oleh Pemerintah saat ini untuk membubarkan Ormas yang diduga bertentangan, menganut dan menyebarkan paham Marxisme, lenisme dan/atau yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, tanpa dikeluarkannya Perpu. Hanya saja memang, UU tersebut mengamanatkan bahwa mekanisme pembubaran terhadap suatu Ormas yang diduga tersebut disyaratkan pembuktian melalui suatu badan peradilan. Bahkan dalam hal penghentian sementara suatu Ormas oleh Pemerintah disyaratkan adanya rekomendasi dari MA. Sementara untuk melalukan penghentian sementara oleh Pemerintah daerah disyaratkan adanya pertimbangan DPRD, Kapolda dan Kejaksaan Tinggi setempat. Namun, Pemerintah saat ini tidak sabar mengikuti proses hukum dengan melibatkan badan peradilan tertentu serta lembaga penegak hukum lainnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 68 - 80 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, maka dikeluarkanlah Perpu tersebut dengan menggunakan prinsip Hukum "Contrarius Actus". "Penerapan Asas/prinsip hukum Contrario Actus dalam Perpu tersebut menurut saya adalah suatu kekeliruan karena semakin menjaukan penyelenggara negara ini dari corak "Negara Hukum (Rechtstaat)". Ungkap Kurniawan yang juga Ketua Laboratorium Klinis Hukum FH Unsyiah. Meskipun menetapkan Perpu merupakan kewenangan Konstitusional yang diberikan kepada Presiden sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (staatsnoodrecht atau Noodveroordeningrecht), Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang /Perpu, namun Perpu tersebut secara Konstitusional disyaratkan harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bilamana tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perpu tersebut harus dicabut sesuai dengan amanat Pasal 22 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Jadi, nasib keberlanjutan Perpu tersebut sangat ditentukan oleh persetujuan parlemen (DPR RI) dalam persidangan berikutnya. Sumber: http://www.roketnews.com/2017/08/akademisi-htn-unsyiah-nasib-perpu-no2.html// 11 September 2017 | 11:59