BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Bias Optimisme Bias optimisme

advertisement
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Bias Optimisme
Bias optimisme didefinisikan sebagai seorang yakin bahwa dirinya akan menerima atau
mengalami lebih sedikit risiko dibandingkan dengan orang lain atau teman sebayanya. Bias
optimisme berasal dari bahasa latin, optimus, yang berarti the best, yang terbaik. Bias optimisme
juga memiliki makna yaitu, kecenderungan seseorang untuk sangat mempercayai terjadinya halhal positif di masa depan dan sangat tidak memperhitungkan terjadinya hal-hal negatif dalam
kehidupan mereka (Irwin 1953; Weinstein 1980; Slovic, Fischoff, dan Lichtenstein 1982; Slovic
2000),. Bias optimism bias dapat dinilai baik secara langsung maupun tidak langsung (Weinstein
dan Klein, 1996).
Berdasarkan teori di atas maka diduga bias optimisme membuat seseorang akan merasa
yakin jika melakukan tindak pidana korupsi risiko yang akan dialaminya lebih ringan atau sedikit
dibandingkan dengan orang lain, dan dengan keyakinan akan kemampuannya pelaku
mempengaruhi orang lain untuk mendukung tindak pidana korupsi. Para pelaku akan merasa
sangat yakin terhadap kemampuannya dan risiko yang akan diterimanya, sehingga merasa sangat
optimis untuk dapat berhasil melakukan tindak pidana korupsi. Seorang pekerja salah satu
institusi yang memiliki rasa optimisme yang bias menjadi sangat berani untuk melakukan tindak
pidana korupsi karena merasa hanya akan menerima risiko kecil, yang nyatanya risikonya sangat
besar dan bahkan dapat membahayakan karir dan pekerjaannya.
2.1.1 Karakteristik Bias Optimisme
Bias optimisme (terlalu optimis) memiliki makna kecenderungan seseorang yang
selalu mempercayai hal-hal positif akan terjadi di masa depan tanpa memperhitungkan
hal-hal negatif dikehidupannya.
Dengan begitu, Bias optimisme memiliki karakteristik sebagai berikut yaitu salah
satunya adalah meremehkan, dan meminimalisasi risiko yang mungkin akan muncul
(Larsen & Buss, 2005) memiliki sikap dan pemikiran yang meremahkan suatu risiko
yang ada terhadap sesuatu hal atau melebih-lebihkan hal-hal tertentu.
2.1.2 Faktor-Faktor Bias Optimisme
Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi Bias optimisme (terlalu optimis)
adalah tingkat optimistis yang berlebihan, pengalaman dan penguasaan diri akan suatu
hal, yang mana membuat individu tersebut menjadi Bias optimisme (terlalu optimis).
Meremehkan orang lain atau suatu hal dan selalu menganggap akan menerima risiko
yang lebih kecil dibanding dengan orang lain atau teman sebayanya, serta selalu
menganggap hal-hal positif akan terjadi di masa depan tanpa memperhatikan hal-hal
negatif yang ada atau yang akan terjadi (Weinstein, 1996).
2.2 Ilusi Kendali
Ilusi Kendali adalah suatu fenomena dimana seorang merasa yakin mampu
mengendalikan atau mempengaruhi hasil dari suatu keputusan, padahal dalam kenyataannya
tidak demikian. Menurut (Taylor & Brown, 1998) mengungkapkan bahwa ilusi kendali
merupakan persepsi yang tidak realistis atas suatu peristiwa atau suatu hal yang terjadi dimana
ketika kita akan melakukan atau sedang melakukan kegiatan sering kali mengembangkan ilusi
seolah-olah bisa mengendalikan semua hasil atau mengendalikan orang dan lingkungan yang
terjadi pada peristiwa-peristiwa yang sebenarnya disebabkan oleh kesempatan. Dimana ketika
seseorang individu merasa seakan-akan ia dapat mengendalikan orang-orang disekitar atau
lingkungannya padahal sebenarnya tidak (Langer, 1975).
2.2.1 Karakteristik Ilusi Kendali
Karakteristik dari ilusi kendali adalah merasa dirinya sangat terampil dalam salah
satu atau beberapa jenis hal dan akan menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan
dalam hal-hal tertentu adalah karena ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai
ketrampilan yang dimiliki akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai situasi
untuk mencapai kemenangan/keberhasilan (illusion of control). Contoh, penjudi merasa
terampil akan satu atau beberapa jenis permainan dan cenderung akan menganggap
bahwa keberhasilan atau kemenangannya karena keahlian yang dimilikinya. Sering kali
para penjudi ini tidak dapat membedakan mana kemenangan yang diperoleh karena
keahliannya dan mana yang hanya kebetulan semata.
2.2.2 Faktor-Faktor Ilusi Kendali
Faktor yang menyebabkan seseorang memiliki sifat ilusi kendali adalah keahlian,
kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh individu tentang satu atau beberapa jenis
hal sehingga individu tersebut dapat mempengaruhi orang lain atau dapat mengendalikan
orang lain atau lingkungan sekitarnya.
Faktor-faktor tersebut adalah di bawah keterampilan dasar dari situasi, seperti
pilihan, stimulus atau respon kedekatan, persaingan, dan keterlibatan pasif atau aktif
(Langer , 1975).
2.3 Korupsi
Korupsi menurut Black’s Law Dictionary (1968) adalah perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari
pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak
dari pihak lain. Korupsi juga didefinisikan dengan kecenderungan untuk menyalahgunakan
kekuasaan untuk meraih kepentingan pribadi. Dalam penelitian ini tendensi korupsi didefinisikan
secara operasional sebagai rasa malu dan rasa bersalah yang rendah.
Pengertian Definisi Korupsi menurut Alatas (1975, hal 13-15) menyebutkan benang
merah yang menghubungkan aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah
kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan
kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan
yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat. Kartini Kartono, (2005) mengatakan
bahwa, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Korupsi terjadi kerena
penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi
kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan tugas dan administrasi.
2.3.1 Tendensi Korupsi
Tangney (2003) dalam Cohen (et al. 2011) memaparkan bahwa emosi moral
memberikan dorongan dan motivasi pada individu untuk melakukan hal yang baik seta
menghindari perilaku yang buruk Kaligis (2006), menyatakan korupsi berasal dari bahasa
latin yaitu n Corruptio atau Corruptus. Artinya, korupsi adalah suatu perbuatan yang
dipolitisir menjadi suatu kejahatan terhadap negara dan masyarakat dalam pengertian
seluas-luasnya.
Menurut Quah (2003), korupsi adalah perilaku menyimpang dari aturan yang ada
karena uang atau keuntungan tertentu. Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan
yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Korupsi diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu korupsi besar, kecil, dan politik (Transparency International).
•
Korupsi besar merupakan tindakan yang dilakukan pada tingkat tinggi
atau pemerintah atau fungsi sentral negara yang memungkinkan pemimpin
untuk mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kepentingan
publik.
•
Korupsi kecil yaitu mengacu pada penyalahgunaan kekuasaan sehari-hari
dipercayakan oleh pejabat publik rendah dan menengah dalam interaksi
mereka dengan masyarakat atau publik, yang sering mencoba untuk
mengakses barang atau jasa di tempat-tempat seperti rumah sakit, sekolah,
departemen kepolisian, dan instansi-instansi lainnya.
•
Korupsi politik yaitu memanipulasi kebijakan, lembaga, dan aturan
prosedur dalam alokasi sumber daya dan pembiayaan oleh para pembuat
keputusan
politik,
yang
menyalahgunakan
posisi
mereka
untuk
mempertahankan kekuasaan mereka, status dari kekayaan.
Kaligis (2008), bagi perkara tindak pidana korupsi, selain menggunakan KUHAP,
digunakan juga ketentuan-letentuan mengenai hukum acara yang tercantum dalam UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , yang telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001, menjelaskan mengenai
Tindak Pidana Korupsi yang berisi ancaman mengenai pidana mati bagi pelaku korupsi.
Perhatian internasional terhadap pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sejalan dengan
pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan, penanganan korupsi tidak dapat dilakukan
dengan cara-cara biasa saja. (Ordinary Measure) yaitu oleh aparat hukum dengan senjata
undang-undang anti korupsi saja (UU No. 31 Tahun1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Berdasarkan beberapa teori tersebut disimpulkan bahwa tendensi korupsi adalah
rendahnya rasa malu dan rasa bersalah dengan melakukan perilaku yang cenderung tidak
etis yang berhubungan dengan emosi-moral demi mendapatkan keuntungan tertentu.
2.3.2 Definisi Rasa Malu Dan Rasa Bersalah
Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang muncul sebagai
dampak dari pelanggaran yang dilakukan Cohen et al. (2011). Tangney (2003) dalam
Cohen et al. (2011) memaparkan bahwa rasa malu dan bersalah merupakan emosi yang
terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil dari refleksi dan evaluasi diri. Kedua emosi ini
juga merupakan pendorong munculnya regulasi diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa,
perlu diingat bahwa kedua hal ini adalah variabel yang berbeda. Berdasarkan pandangan
perilaku diri (self-self) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins (2004) dalam Cohen et
al. (2011), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang membuat atribusi internal mengenai
perilaku spesifik yang tidak sesuai dengan perilakunya sehingga merujuk pada
munculnya perasaan negatif mengenai perilaku yang dilakukan.
Di sisi lain, rasa malu muncul ketika seseorang membuat atribusi internal yang
bersifat stabil dan global mengenai dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif
mengenai diri secara global (Cohen et al. 2011). Pandangan lainnya yang turut mengulas
perbedaan mengenai rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (publicprivate) yang dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith (2010) dalam
Cohen et al. (2011). Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam
pembahasannya. Menurut pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan
perasaan pribadi bahwa telah melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati
nuraninya. Sebaliknya, perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika
seseorang melakukan kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen
et al. 2011).
2.3.3 Dimensi Tendensi Korupsi
Cohen et al. (2011) menyatakan terdapat beberapa dimensi tendensi korupsi,
yaitu: variabel kecenderungan perasaan malu dan bersalah disusun oleh dua dimensi
utama, yaitu dimensi kecenderungan rasa malu dan dimensi kecenderungan rasa bersalah
Cohen et al. (2011). Setiap dimensi ini memiliki masing-masing 2 indikator.
Dimensi kecenderungan perasaan bersalah dapat diindikasikan dengan adanya
evaluasi perilaku negatif dan perbaikan diri berkorelasi dapat dijelaksan bahwa individu
yang memiliki kecenderungan untuk mengevaluasi perilaku yang negatif akan memiliki
kecenderungan untuk melakukan perbaikan diri.
Dimensi rasa malu memiliki dua indikator, yaitu menarik diri (withdrawal) dan
mengevaluasi diri dari hal negatif (Negative Self Evaluation) berkorelasi secara negatif
dengan kedua indikator perasaan bersalah, yakni indikator perbaikan diri (Repair) dan
evaluasi perilaku negatif (Negative Self Evaluation). Sebaliknya, indikator menarik diri
ditemukan berkorelasi dengan meyerang lawan dan pelanggaran janji serta berkorelasi
positif dengan kesalahpahaman.
2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Tendensi Korupsi
Tangney dan Dearing (2002) dalam Cohen et al. (2011), memaparkan bahwa
kepribadian merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap kecenderungan
munculnya rasa malu dan rasa bersalah. Sebagai contoh, rendahnya kepercayaan diri
lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan malu dibandingkan bersalah.
Sebalikanya, perasaan empati lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan bersalah
dibandingkan malu. (Cohen et al. 2011)
2.3.5 Dampak Dari Tendensi Korupsi
Schmader dan Lickel (2006) dalam Cohen et al. (2011) membuktikan bahwa sama seperti
rasa bersalah, perasaan malu juga dapat menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga
menyebabkan seseorang menjadi menarik diri. Selain itu juga terjadi ketidakadilan pada
masyarakat, antara individu yang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi dan dapat
menikmati hasil korupsi tersebut dengan individu yang tidak memiliki kesempatan untuk
melakukan korupsi dan menikmati hasil korupsi.
2.3.6 Karakteristik Korupsi
Korupsi di manapun dan kapanpun selalu memiliki karakteristik (ciri khas).
Berikut ini adalah beberapa karakteristik Korupsi dari beberapa sumber; Alatas (1999),
Kaligis (2008), antara lain:
1. Melibatkan lebih dari satu orang,
2. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi
negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,
3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang
semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita,
4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,
5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu
berupa uang,
6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum,
7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban
dalam tatanan masyarakat,
8. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan
sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja,
mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
9. suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan,
10. penipuan terhadap badan pemerintah,
11. dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus,
12. dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang
berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu,
13. melibatkan lebih dari satu orang atau pihak,
14. adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain,
15. terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang
pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya,
16. adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan
hukum, dan
17. menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan
korupsi.
2.3.7 Faktor-Faktor Korupsi
Berikut ini adalah faktor-faktor sosial dan psikologis penyebab terjadinya korupsi dari
beberapa sumber menurut Abraham & Pane (2014), Alatas (1999) :
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai make-up
politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2. Rasa iri dan cemburu, berkaitan dengan kekuatan dan otoritas, mekanisme
pertahanan-diri.
3. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila
tidak menggunakan kesempatan.
4. Dimensi
budaya
dari
ketidakpastian
dalam
penghindaran
moderat
(memperkuat) hubungan antara kesulitan ekonomi suatu bangsa dan korupsi,
sedangkan power distance dan ketidakpastian penghindaran berhubugan
positif dengan korupsi.
5. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi
hanya dilakukan sebatas formalitas.
6. Pemegang kekuasaan pada umumnya mengontrol sumber daya yang
diinginkan. Mereka cenderung berpikir dan menemukan bahwa ide-ide
mereka dan pandangannya segera disepakati oleh bawahan mereka.
7. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh
harus
mampu
memenuhi
kebutuhan
penyelenggara
negara,
mampu
mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat.
8. Tingkat penyalahgunaan kekuasaan sebagai fungsi dari beberapa konsekuensi
aversive dan reinforcing, dimensi konsekuensi (besarnya konsekuensi,
kedekatan, keterlambatan dari konsekuensi, frekuensi konsekuensi dan jadwal
konsekuensi), serta jumlah individu dalam mengendalikan konsekuensi dapat
diterapkan.
9. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi
karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan
korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan keuntungan.
10. Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
11. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat
tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian
bila tertangkap.
12. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila
ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal
kepentingannya sendiri terlindungi.
13. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis
Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam
mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu
sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah
bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam
memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan
peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan
emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa
menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat
buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
2.4 Kerangka Berpikir
Tendensi Korupsi
Rasa Malu
Evaluasi diri negatif
Bias Optimisme
Menarik diri
Rasa Bersalah
Evaluasi perilaku negatif
Perbaikan diri
Ilusi Kendali
Dalam penelitian ini penulis akan menceritakan hal-hal yang menyangkut dalam
penelitian ini seperti bias optimisme, ilusi kendali, korupsi, rasa bersalah (guilt) dan rasa malu
(shame). Kerangka berpikir ini dirumuskan sebagai paradigma peran bias optimisme dan ilusi
kendali dalam memprediksi kecenderungan korupsi pada aparatur negara di Jakarta. Korupsi
didefinisikan dengan kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk meraih
kepentingan pribadi, yang dalam penelitian ini didefinisikan sebagai rasa malu dan rasa bersalah
yang rendah. Korupsi adalah hal yang sering dikaitkan dengan kekuasan, jabatan, pangkat, dan
wewenang namun tidak semua pelaku korupsi adalah orang yang berpangkat tinggi atau
memiliki jabatan tinggi. Seperti yang belum lama terjadi di Indonesia, negara kita dihebohkan
oleh seorang pegawai ditjen pajak yang bukanlah orang nomor satu dalam institusinya melainkan
hanya pegawai biasa, namun dia memiliki wewenang untuk dapat bisa menggelapkan uang atau
korupsi.
Seorang pegawai biasa seperti Gayus Tambunan diduga merasa sangat yakin jika risiko
yang akan dihadapinya sangat kecil dengan tindakan yang dilakukannya (bias optimisme), dan
keahliannya memanipulasi data dalam bidang keuangan dan perpajakan membuat dia melakukan
tindak pidana korupsi, dan dia juga merasa dapat mengendalikan orang-orang atau lingkungan
yang ada disekitarnya padahal kenyataannya boleh jadi demikian (ilusi kendali), serta faktor lain
yang mendukung seseorang melakukan tindak pidana korupsi adalah tingkat rasa bersalah yang
rendah (guilt) yang membuat dia merasa seperti tidak melakukan kesalahan apapun. Seseorang
yang merasa sangat yakin akan suatu hal tanpa memikirkan dan menganggap remeh risiko yang
ada (bias optimisme), kemudian diiringi dengan tingkat rasa bersalah (guilt) yang rendah diduga
dapat memprediksi kecenderungan korupsi seseorang.
Rasa malu (shame) termasuk ke dalam salah satu faktor yang memprediksi untuk
membuat seseorang berkecenderungan melakukan tindak pidana korupsi, dengan segala
kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, serta merasa dapat mengendalikan situasi
sekelilingnya, dia merasa dapat melakukan korupsi dengan leluasa. Rasa optimis yang sangat
tinggi (bias optimisme) dan kemampuan yang mumpuni serta diiringi dengan rendahnya tingkat
rasa malu (shame) dapat diduga memprediksi kecenderungan seseorang untuk melakukan tindak
pidana korupsi. Ketika seseorang merasa dirinya akan dapat mengendalikan situasi atau
mempengaruhi orang lain, padahal nyatanya tidak demikian (ilusi kendali), kemudian juga
diiringi dengan rasa malu (shame) yang rendah diduga dapat membuat orang tersebut
berkecenderungan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Download