1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri jasa pelayanan kesehatan merupakan salah satu industri yang memiliki prospek yang bagus. Karena pelayanan kesehatan tidak terpaku hanya pada pengobatan penyakit, tetapi juga memberikan pelayanan untuk usaha pencegahan dan meningkatkan kesehatan. Rumah sakit adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Perkembangan industri pelayanan kesehatan tidak bisa terlepas dari gaya hidup masyarakat saat ini. Masyarakat mulai memanfaatkan penyedia jasa layanan kesehatan seperti Rumah Sakit tidak terbatas pada upaya penyembuhan penyakit. Beberapa sudah mulai datang ke rumah sakit untuk upaya preventif seperti medical check up, papsmear, bahkan fitness center. Azwar (1996) mendefinisikan Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisasi serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan perawatan yang berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan yang diderita oleh pasien. Sementara itu undang-undang tentang sistim kesehatan nasional menyatakan bahwa rumah sakit mempunyai fungsi utama menyelenggarakan kesehatan bersifat penyembuhan dan pemulihan penderita serta memberikan pelayanan 1 2 yang tidak terbatas pada perawatan di dalam rumah sakit saja, tetapi memberikan pelayanan rawat jalan, serta perawatan di luar rumah sakit. Batasan pengertian rumah sakit di atas, menunjukkan bahwa fungsi kegiatan rumah sakit sangat bervariasi, sesuai dengan perkembangan zaman. Artinya rumah sakit tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit, tempat pengasuhan, tempat pelayanan, pendidikan dan penelitian sederhana, dan bersifat sosial. Dewasa ini, rumah sakit fungsinya berkembang sesuai dengan tuntunan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, antara lain; sebagai pengembangan pendidikan dan penelitian, spesialistik/subspesialistik, dan mencari keuntungan. Peran dan fungsi rumah sakit yang begitu komplek menuntut tersedianya sumber daya manusia dalam rumah sakit yang kompeten. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan sebuah rumah sakit adalah peran sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaku pelayanan. Sikap, kemampuan dan integritas SDM di rumah sakit mempengaruhi keberhasilan menjalin hubungan antara perusahaan, karyawan dan pelanggan (Kotler & Armstrong, 2008) Undang Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diikuti dengan pemberlakuan jaminan kesehatan bagi semua warga negara Indonesia, membuat industri pelayanan kesehatan dituntut untuk siap untuk memberikan pelayanan prima kepada semua warga negara Indonesia. Tuntutan dari masyarakat akan pelayanan kesehatan yang prima dengan tidak diimbangi ketersediaan tenaga kesehatan menjadi tantangan tersendiri bagi industri pelayanan kesehatan. Rumah sakit sebagai bagian dari industri pelayanan kesehatan utama menghadapi masalah ketika jumlah kunjungan pasien yang 3 meningkat tidak diimbangi sarana prasarana dan jumlah tenaga medis yang memadai. Menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pihak rumah sakit sendiri mengalami kesulitan mengatasi meningkatnya jumlah kunjungan pasien di rumah sakit. Masyarakat dihimbau agar tidak berharap petugas kesehatan akan selalu tersenyum. Petugas yang tidak tersenyum saat melayani pasien bukan berarti mereka tidak ramah, melainkan karena faktor kelelahan (Movementi, 2013). Berikut ini adalah data yang menujukan situasi jumlah tenaga medis yang ada di Indonesia, yaitu: Tabel 1. Situasi Tenaga Medis di Indonesia Tenaga Kesehatan Keadaan akhir 2012 Kebutuhan 2013 Kekurangan 2013 Dokter Umum 17.750 19.268 1.518 Dokter gigi 6.878 9.244 2.366 Perawat 105.419 112.599 7.180 Perawat Gigi 10.217 12.166 1.949 Bidan 101.947 105.339 3.392 Apoteker 1.539 5.525 3.986 Tenaga Farmasi 8.274 13.512 5.238 Kesehatan 21.442 23.040 1.598 Sanitarian 10.505 12.166 1.661 Ahli Gizi 9.588 11.247 1.659 Analis kesehatan 5.017 7.885 2.868 TOTAL 298.576 331.988 33.412 masyarakat Sumber: Movementi, 2013, hal 3-4. 4 Meningkatnya permintaan pelayanan di rumah sakit yang tidak diimbangi dengan jumlah tenaga kesehatan menimbulkan masalah bagi individu dan organisasi itu sendiri. Hasil penelitian dari Pedrini, Laura, Giovannini, Panetta, Zacchi, Rossi, dan Placentino (2009) yang berjudul Burnout in Nonhospital Psychiatric Residential Facilities menunjukkan bahwa kelelahan mental yang terjadi berhubungan dengan beban kerja yang tinggi, usia, variasi tugas, dan identitas tugas. Penelitian Rowe (1998) mengenai Hardiness as a stress mediating factor of burnout among healthcare providers terhadap 264 sampel pelayan kesehatan, menunjukkan hasil bahwa orang yang mengalami burnout dilaporkan mengalami stres yang lebih besar dan sifat hardiness akan berkurang. Beban kerja yang dialami oleh para profesional di organisasi pelayanan kesehatan dengan meninkatnya jumlah kunjungan akan berdampak pula terhadap kinerja organisasi. Sumber daya manusia rumah sakit terdiri atas petugas medis dan nonmedis. Tenaga medis secara khusus telah diposisikan sesuai tugas dan fungsi dengan mempertimbangkan disiplin ilmu atau latar belakang pendidikan mereka. SDM rumah sakit pada dasarnya telah terspesialisasi secara jelas, karena semua tenaga medis seperti perawat, bidan, dokter, dokter spesialis, farmasi dan lainlain secara khusus telah mempunyai latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas yang mereka kerjakan. Dengan latar belakang pendidikan itulah SDM di organisasi rumah sakit diharapkan mampu menunjang pelayanan rumah sakit yang berkualitas. Sebagai unsur dalam manajemen, sumber daya manusia kesehatan yang dimiliki oleh rumah sakit akan mempengaruhi diferensiasi dan kualitas pelayanan kesehatan. Keterbatasan keanekaragaman jenis tenaga kesehatan akan 5 menghasilkan kinerja rumah sakit dalam pencapaian indikator mutu pelayanan rumah sakit. Kekhususan ini sangat tidak mungkin diberikan penerapan manajemen secara umum, karena SDM kesehatan adalah SDM fungsional dengan fungsi profesi berdasarkan latar belakang pendidikan kesehatannya. Pasal 10 ayat 1 eraturan Menteri Kesehatan nomer 971/Menkes/per/XI/2009 menyebutkan bahwa “Direktur Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan”. Tenaga medis yang dimaksudkan dalam hal ini adalah dokter dan dokter gigi. Jika mengacu pada peraturan tersebut diatas maka di Indonesia semua pimpinan/direktur rumah sakit harus berlatar belakang pendidikan kedokteran. Artinya sistim jenjang karir di rumah sakit pemerintah khususnya hanya akan memberikan kesempatan kepada dokter untuk menjadi top leader di rumah sakit, tidak kepada profesinal non dokter. Jenjang karir yang jelas akan bermanfaat terhadap pengembangkan prestasi pegawai, mencegah pegawai minta berhenti karena pindah kerja, meningkatkan loyalitas pegawai, memotivasi pegawai agar dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya, mengurangi subjektivitas dalam promosi, memberi kepastian hari depan, mendukung organisasi memperoleh tenaga yang cakap dan terampil melaksanakan tugas (Sulistyani & Rosidah, 2003) Marquis dan Houston ( 2010) menyampaikan bahwa penerapan sistem jenjang karir merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk menghindari kebosanan dan indiferensi pekerjaan. Kebosanan dalam pekerjaan terbukti dapat meningkatkan terjadinya pemutusan kerja sejalan dengan waktu dan pekerjaan yang sama. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Chanafi ( 2005), Sitinjak (2008) dan Suroso (2011) 6 yang ketiganya menyatakan bahwa sistem jenjang karir dapat meningkatkan kepuasan kerja. Untuk mencapai karir yang lebih tinggi dibutuhkan bekal pengetahuan baik formal non formal maupun informal. Pengetahuan yang baik akan meningkatkan kompetensi profesional. Rumah Sakit selaku organisasi yang akan memperoleh manfaat langsung dengan adanya kualitas sumber daya manusia yang kompeten. Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam SK Menteri Kesehatan no 129 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) menyebutkan bahwa 5 persen dari pendapatan Rumah Sakit dialokasikan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia di Rumah Sakit. Kim, Price, Mueller, Charles dan Watso, (1996) menunjukkan bahwa ada tujuh elemen yang relevan karir yaitu : 1. komitmen organisasi, 2. kepuasan kerja, 3. perilaku pencarian, 4. kesempatan, 5. Pemenuhan akan harapan, 6. efektifitas, dan 7. peluang promosi. dengan pekerjaan yang ideal: membayar, tunjangan, tantangan kerja, kesempatan promosi. Patto, Batrum dan Creed (2004) menyampaikan bahwa orang yang optimisme dan memiliki harga diri yang tinggi akan memprediksi perencanaan dan eksplorasi karir mereka. Untuk perempuan optimisme berpengaruh secara langsung terhadap tujuan karir mereka. Pengalaman karir seperti perubahan juga berhubungan positif dengan komitmen karir . Individu akan memiliki tingkat kepuasan karir yang tinggi dimana organisasi tempat bekerja menerapkan altruisme dan nilai-nilai etika yang positif. (Valentine, Godkin, Fleischman, Kidwell & Page, 2011) Kenyataannya tidak semua pegawai memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kemampuan lewat pendidikan dan pelatihan karena alokasi dana peningkatan sumber daya manusia yang terbatas. Pengelola diklat rumah sakit 7 memiliki kebijakan tersendiri dalam menentukan personal yang bisa mengikuti diklat berdasarkan skala prioritas. Keterbatasan kesempatan untuk mengembangkan diri baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap karir para profesional di organisasi pelayanan kesehatan. Dunia kerja menganggap pendidikan formal kurang bisa menfasilitasi kebutuhan skill dan kemampuan yang di tuntut dunia kerja karena keterampilan dan pengetahuan khusus (skill) kurang dihargai dalam pendidikan formal dan peserta didik sering kekurangan wawasan yang diperlukan untuk menempatkan teori yang selama ini di dapat kedalam praktek di dunia kerja. Pembelajaran formal sendiri dianggap tidak cukup untuk mengantisipasi perubahan dalam masyarakat karena butuh waktu terlalu lama untuk aplikasinya kedalam kehidupan sehari-hari (Kyndt, Dochy & Nijs, 2009). Dalam dunia kerja karyawan biasanya dilatih secara non formal dan informal, namun tercatat bahwa sampai tujuh puluh sampai sembilan puluh persen dari semua pembelajaran di tempat kerja bersifat informal (Alonderiene, 2010). Mendapatkan skill dan keterampilan di tempat kerja lebih memerlukan biaya yang murah dibandingkan pelatihan formal, selain itu belajar sambil bekerja dianggap lebih efisien dari pada pelatihan formal (Kyndt, dkk, 2009. Pembelajaran non formal seperti pelatihan, lokakarya, kursus kurang bisa di terapkan dalam karena bukti penelitian menunjukkan bahwa organisasi kurang memungkinkan untuk memberikan pelatihan kepada karyawan karena keterbatasan modal keuangan dan dana untuk membiayai pelatihan (Panagiotakopoulos, 2011). Tempat kerja dan pembelajaran diangap satu kesatuan yang penting untuk pembentukan keterampilan yang bisa terjadi ketika pekerja bekerja sama atau berbagi pengalaman mereka di tempat kerja (Kim, 2006). 8 Melakukan pembelajaran di tempat kerja dibutuhkan inisiatif dari individu selain dari sarana dan prasarana yang diberikan organisasi. Menurut model perilaku proaktif, Crant (2000), disposisi atau kepribadian seorang individu juga akan mempengaruhi sejauh mana mereka mengambil inisiatif untuk terlibat dalam perilaku manajemen karir dan mencapai kepuasan karir . Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa individu dengan disposisi proaktif lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku manajemen karir dan pengalaman kepuasan karir yang lebih besar daripada individu dengan kecenderungan proaktif yang lebih rendah. Tingginya jumlah kunjungan di rumah sakit dengan tidak diimbangi jumlah tenaga profesional didalamnya, kesempatan untuk berkarir di rumah sakit namun sedikit kesempatan untuk mengembangkan diri lewat pendidikan formal, serta kesempatan untuk menjadi top leader yang terbatas bagi profesional non dokter, menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti. Oleh karena itu penelitian ini mencoba melihat apa makna karir bagi para profesioanl di organisasi pelayanan kesehatan. B.Tujuan dan Manfaat penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa makna karir bagi profesional di organisasi pelayanan kesehatan. Bagaimana profesional di organisasi pelayanan kesehatan memaknai karirnya. Pembelajaran seperti apakah yang dilakukan para profesional dalam menggapai karir serta manfaatnya bagi kinerja serta para profesional di pelayanan kesehatan itu sendiri. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan kejelasan kepada semua dalam sudut pandang psikologis apa makna karir bagi profesional di organisasi pelayanan kesehatan. 9 Secara teoritis, penelitian ini kiranya dapat memberikan kontribusi dalam mengungkapkan pengalaman para profesional di lingkungan organisasi pelayanan kesehatan dalam memaknai karir mereka. Secara praktis, penelitian ini akan banyak berguna dalam pengembangan psikologi industri organisasi terutama dalam pemahaman mengenai karir para profesional di organisasi pelayanan kesehatan di Indonesia yang saat ini masih sedikit dibahas oleh para peneliti. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wacana kepada organisasi pelayanan kesehatan sehubungan dengan model pembelajaran yang dilakukan para tenaga profesionalnya dalam menggapi karir optimal mereka di rumah sakit. C. Keaslian Penelitian Isu-isu penelitian mengenai karir memang sudah banyak diteliti, baik dengan menggunakan metode kualitatif maupun kuantitatif. Berikut ini adalah beberapa penelitian sebelumnya yang membahasa mengenai isu-isu mengenai karir : Penelitian yang dilakukan Valentine, Godkin, Fleischman, Kidwell dan Page, (2011) mengeksplorasi kemampuan kepuasan karir untuk memediasi hubungan antara nilai-nilai etika perusahaan dan altruisme. Menggunakan sampel individu yang bekerja di empat kampus, pusat ilmu kesehatan daerah, ditetapkan bahwa kepuasan karir individu sepenuhnya dimediasi hubungan positif antara persepsi nilai-nilai etika perusahaan dan altruisme itu sendiri. Temuan ini menyiratkan bahwa perusahaan mendedikasikan perhatian terhadap nilai-nilai etika perusahaan yang positif dapat meningkatkan sikap dan perilaku altruistik karyawan, terutama ketika individu mengalami tingkat tinggi kepuasan karir. Higgins, Shosana, dan Roloff (2010) dalam penelitiannya mengeksplorasi kapasitas psikologis yang penting dalam arus karir berbatas lingkungan yang 10 optimis. Optimisme dikaitkan dengan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi di tengah situasi stres yang sangat berguna dalam lingkungan karir tak terduga saat ini. Data relasional menunjukkan bahwa awal karir psikososial dan karir dukungan seseorang semakin besar, optimisme seseorang semakin besar bertahun-tahun kemudian. Selain itu, peneliti meneliti bagaimana tingkat perubahan dukungan jaringan perkembangan dari waktu ke waktu dikaitkan dengan optimisme . Temuan menunjukkan bahwa peningkatan jumlah karir dan dukungan psikososial dari waktu ke waktu dikaitkan dengan optimisme yang lebih besar daripada karir itu sendiri. Hall dan Chadler (2005) melalukan penelitian kualitatif untuk memperluas pemahaman tentang hubungan antara karir subyektif dan obyektif, dan menggambarkan satu kondisi di mana karir subjektif mengambil arti-penting tertentu: ketika orang merasa rasa memanggil karirnya (yaitu, rasa tujuan, bahwa ini adalah salah satu pekerjaan dimaksudkan untuk dilakukan.) Rasa panggilan tidak selalu harus terhubung dengan keyakinan agama. Hall dan Chadler (2005) menyajikan model keberhasilan psikologis berdasarkan karir untuk memperjelas hubungan antara karir subyektif dan obyektif. Barnet dan Bardly (2007) melakukan penelitian tentang menguji hubungan antara dukungan organisasi untuk pengembangan karir (OSCD) dan kepuasan karir karyawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada manfaat bagi organisasi dan individu berinvestasi dalam pengembangan karir . Pertama , dari perspektif organisasi , investasi di OSCD dapat meningkatkan kepuasan karir karyawan. Kedua, karyawan dapat meningkatkan kepuasan karir mereka sendiri dengan berpartisipasi dalam perilaku manajemen karir 11 O’Neill. Bilimoria dan Saatcioglu (2004) melakukan penelitian yang mengkaji jenis karir perempuan dan pengaruhnya terhadap kepuasan perempuan dengan sukses karir mereka dan atribusi mereka dari sumbersumber kesuksesan karir. Penelitian ini mengusulkan tipologi empat jenis karir yang ditentukan oleh manifestasi pola karir wanita dan lokus karir . Ia menemukan bukti empiris dari tiga jenis karir yang berbeda bagi perempuan : berprestasi, navigator dan Accommodators. Wanita yang memiliki jenis karir accommodator secara signifikan kurang puas dengan keberhasilan karir mereka daripada wanita yang memiliki jenis karir navigator dan jenis karir berprestasi . Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka dapat di simpulkan bahwa metode yang banyak digunakan untuk meneliti tentang karir adalah kuantitatif, Banyak penelitian yang melihat karir pada bentuk hubungan dan permbandingan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai karir pada penelitian ini akan di fokuskan kepada para profesional yang bekerja di organisasi pelayanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan akan menggunakan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini akan menggali informasi secara lebih mendalam mengenai karir para profesional di organisasi pelayanan kesehatan.