proposal penelitian - eSkripsi Universitas Andalas

advertisement
DINAMIKA LITTERFALL DAN KECEPATAN DEKOMPOSISI
SERASAH PADA AGROEKOSISTEM PERKEBUNAN KARET
DI KABUPATEN DHARMASRAYA
Oleh :
BAYU ISKANDAR
0910212034
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
DINAMIKA LITTERFALL DAN KECEPATAN DEKOMPOSISI
SERASAH PADA AGROEKOSISTEM PERKEBUNAN KARET
DI KABUPATEN DHARMASRAYA
Oleh :
BAYU ISKANDAR
0910212034
SKRIPSI
SEBAGAI SALAH SATU SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
DINAMIKA LITTERFALL DAN KECEPATAN DEKOMPOSISI
SERASAH PADA AGROEKOSISTEM PERKEBUNAN KARET DI
KABUPATEN DHARMASRAYA
ABSTRAK
Penelitian dinamika litterfall dan kecepatan dekomposisi serasah pada
agroekosistem perkebunan karet rakyat telah dilaksanakan dari bulan Maret sampai
September 2013 di Nagari Gunung Medan Kecamatan Sitiung Kabupaten
Dharmasraya. Analisa daun tumbuhan dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian dan di Laboratorium Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Universitas Andalas Padang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kecepatan
dekomposisi serasah pada perkebunan karet dan mengetahui potensi unsur hara yang
dikembalikan ke sistem tanah melalui proses dekomposisi pada perkebunan karet.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda survei dan observasi lapangan
terhadap dinamika jatuhan serasah yang terakumulasi pada permukaan tanah dengan
menggunakan littertrap dan litterbag pada perkebunan karet selama 6 bulan.
Pengambilan sampel dan dilanjutkan dengan pengamatan serasah meliputi persentase
kehilangan bobot serasah, koefisien kecepatan dekomposisi dan kadar N, C, P, K, Ca
dan Mg selama masa dekomposisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika
litterfall pada kebun karet sangat erat hubunganya dengan curah hujan yang terjadi.
Dilihat dari akhir dekomposisi (selama 6 bulan) bobot serasah yang tinggal pada dua
jenis klon yang ditanam, 60% berat kering serasah masih terdapat pada jenis klon PB
( di atas permukaan tanah) dan 80 % pada kedalaman 10 cm. Sedangkan untuk jenis
klon BPM bobot serasah yang tinggal 70 % (di atas permukaan tanah) dan 90 % pada
kedalaman 10 cm. Fluktuasi perubahan hara pada serasah selama dekomposisi sangat
beragam. Kehilangan bobot serasah dan kecepatan dekomposisi lebih cepat terjadi
pada kedalaman 10 cm dengan koefisien kecepatan dekomposisi (k) 0.148 di atas
permukaan tanah (klon PB), 0.201 pada kedalaman 10 cm (klon PB), 0.172 di atas
permukaan tanah (klon BPM), dan 0.318 pada kedalaman 10 cm (klon BPM).
Berdasarkan potensi hara yang disumbangkan untuk 1 ton berat kering serasah (daun)
tanaman karet pada klon PB 4.1 kg N, 0.3 kg P, 1.3 kg K, 4.8 kg Ca, dan 9.2 kg Mg
(di atas permukaan tanah), dan 5.9 kg N, 0.4 kg P, 4.1 kg K, 6.0 kg Ca dan 11.5 kg
Mg (pada kedalaman 10 cm). Kemudian pada klon BPM 5.9 kg N, 0.6 kg P, 3.0 kg K,
4.6 kg Ca dan 7.1 kg Mg (di atas permukaan tanah) dan 7.5 kg N, 0.6 kg P, 5.4 kg K,
5.6 kg Ca dan 8.6 kg Mg (kedalaman 10 cm).
Kata kunci : Litterfall, koefisien kecepatan dekomposisi, agroekosistem,
perkebunan karet
DYNAMICS OF LITTERFALL AND THE DECOMPOSITION RATE AT
RUBBER PLANTATION IN AGROECOSYSTEMS IN DHARMASRAYA
REGENCY
ABSTRACT
A research about dynamics of literfall and the decomposition rate at rubber
agroecosystems was conducted from March until September 2013 in Gunung Medan,
Sitiung Sub-District, Dharmasraya Regency. The leaf analysis was conducted in the
laboratory of soil Agriculture Faculty and in laboratory of Enviromental Faculty of
Enginnering University of Andalas. This research was aimed to measure the
decomposition rate of litter in order to determine the potential of nutrient returned to
the soil in rubber plantation. The research was conducted using survey method and
field observation on the dynamics of litter that accumulated on the surface of the soil
by using littertrap and litterbag in the rubber plantation for 6 months. Parameters
analysed for this research were litter covering percentage, weight loss of the litter, the
decomposition rate cooficient, and N, C, P, K, Ca and Mg content during
decomposition. The result showed that dynamics of litterfall in the rubber plantation
correlated to rainfall. At the and of the decomposition ( for 6 months) litter weight
from clones PB was stil left by 60 % and 80 % at soil serface and at a 10 cm depth,
respectively. While for clone BPM there was only 70 % and 90 %, respectively.
Fluctuations in litter nutrient during decomposition was varied the fastest
decomposition rate occured at depth of 10 cm with the cooficient (k) was 0.148 and
0.201 for above ground and at a depth 10 cm, respectively for clon PB, while for clon
BPM was 0.172 and 0.31, respectively. Nutrient potential could be contributed to soil
in each ton of litter dry matter of rubber leaves was 4.1 kg N, 0.3 kg P, 1.3 kg K, 4.8
kg Ca, dan 9.2 kg Mg (above ground), and 5.9 kg N, 0.4 kg P, 4.1 kg K, 6.0 kg Ca
dan 11.5 kg Mg (at 10 cm soil depth) for clon PB. While clon BPM contributed for
5.9 kg N, 0.6 kg P, 3.0 kg K, 4.6 kg Ca and 7.1 kg Mg (above ground) and 7.5 kg N,
0.6 kg P, 5.4 kg K, 5.6 kg Ca and 8.6 kg Mg (at 10 cm soil depth).
Keywords : litterfall, decomposition rate coeficient, agroecosystem, rubber
plantations.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................
Halaman
i
DAFTAR ISI ..........................................................................................
ii
DAFTAR TABEL .................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
v
ABSTRAK .............................................................................................
vi
ABSTRACT ...........................................................................................
vii
BAB I. PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang .............................................................................
1
B. Tujuan Penelitian ..........................................................................
3
C. Manfaat Penelitian ........................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................
4
A. Dekomposisi Serasah ...................................................................
4
B. Siklus Unsur Hara ........................................................................
8
C. Tanaman Karet .............................................................................
10
BAB III. BAHAN DAN METODA ......................................................
15
A. Waktu dan Tempat .......................................................................
15
B. Bahan dan Alat .............................................................................
15
C. Metoda Penelitian .........................................................................
15
D. Pelaksanaan Penelitian .................................................................
15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................
19
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................
35
RINGKASAN ........................................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
39
LAMPIRAN ...........................................................................................
43
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Perbandingan rata-rata akumulasi serasah dipermukaan tanah dan
jatuhan serasah (litterfall) pada dua jenis klon PB dan BPM
selama 6 bulan pengamatan .............................................................
21
2. Karakteristik kandungan hara pada litterfall tanaman karet ............
21
3. Kadar lignin serasah yang didekomposisi ........................................
22
4. Koefisien kecepatan dekomposisi serasah pada klon PB dan BPM
24
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Pemasangan litterbag di lapangan.. .................................................
17
2. Dinamika litterfall dan curah hujan selama 6 bulan pengamatan.. ..
20
3. Perubahan bobot biomasa serasah pada kebun karet selama 6 bulan
23
4. Fluktuasi nisbah C/N serasah pada dua jenis klon tanaman karet
selama 6 bulan proses dekomposisi.................................................
26
5. Fluktuasi perubahan konsenterasi N serasah pada dua jenis klon
tanaman karet selama 6 bulan proses dekomposisi .........................
27
6. Fluktuasi perubahan konsenterasi C serasah pada dua jenis klon
tanaman karet selama 6 bulan proses dekomposisi .........................
28
7. Fluktuasi perubahan konsenterasi P serasah pada dua jenis klon
tanaman karet selama 6 bulan proses dekomposisi .........................
29
8. Fluktuasi perubahan konsenterasi K serasah pada dua jenis klon
tanaman karet selama 6 bulan proses dekomposisi .........................
30
9. Fluktuasi perubahan konsenterasi Ca serasah pada dua jenis klon
tanaman karet selama 6 bulan proses dekomposisi .........................
31
10. Fluktuasi perubahan konsenterasi Mg serasah pada dua jenis klon
tanaman karet selama 6 bulan proses dekomposisi .......................
32
11. Potensi hara yang dilepaskan ke sistem tanah dari dua
penempatan serasah selama 6 bulan..............................................
32
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Jadwal kegiatan penelitian ..................................................................
43
2. Bahan kimia yang digunakan di laboratorium ....................................
44
3. Alat yang digunakan di lapangan dan laboratorium ...........................
45
4. Prosedur analisis sampel tanaman di laboratorium .............................
46
5. Data curah hujan Kecamatan Sitiung Kabupaten Dharmasraya Januari
sampai Desember 2013 ......................................................................
51
6. Kriteria penilaian sifat kimia tanah .....................................................
52
7. Denah penempatan sampel litterbag di lapangan ...............................
53
8. Hasil uji t-student : total akumulasi, jatuhan serasah, dan koefisien
kecepatan dekomposisi diatas dan dibawah permukaan tanah ...........
54
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Dharmasraya merupakan satu dari wilayah Indonesia penghasil
karet di Sumatera Barat. Karet merupakan komoditas unggulan di Kabupaten
Dharmasraya yang umumnya diusahakan oleh rakyat. Animo masyarakat dewasa ini
dalam membuka kebun karet baru (peremajaan kebun karet) cukup tinggi, antara lain
disebabkan oleh membaiknya harga karet di tingkat petani. Seiring naiknya harga
ekspor karet, pada tahun 2011 harga karet (lateks) naik mencapai 24.000 rupiah/kg,
dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya harga karet (lateks) ditingkat petani
hanya berkisar 10.000 sampai 15.000 rupiah/kg.
Produktivitas kebun yang diolah oleh pengusaha kecil/petani sekitar 30%
lebih rendah dari perkebunan swasta besar/BUMN. Hal ini mempunyai dampak pada
profitabilitas dari rantai nilai perkebunan secara keseluruhan. Pada tahun 2011
produktivitas kebun karet rakyat baru mencapai 926 kg/ha/tahun bila dibandingkan
dengan perkebunan negara telah mencapai 1.327 kg/ha/tahun dan perkebunan besar
swasta mencapai 1.565 kg/ha/tahun. Dilihat dari sisi usaha budidaya tanaman karet,
banyak petani karet tidak melakukan pemupukan, hal ini disebabkan oleh besarnya
biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pemupukan pada tanaman karet, sementara
output yang dihasilkan tidak seimbang dengan input yang diberikan. Disamping itu
petani hanya mengandalkan pemupukan yang terjadi secara alami yaitu jatuhan
serasah yang terakumulasi di permukaan tanah kemudian mengalami dekomposisi
(Ditjenbun, 2012).
Dekomposisi didefinisikan sebagai proses biokimia yang didalammya
terdapat bermacam-macam kelompok mikroorganisme yang mendekomposisi bahan
organik menjadi humus (Gaur, 1986). Bahan organik adalah suatu bahan yang
kompleks dan dinamis, berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di atas dan
terdekomposisi secara terus-menerus (Kanonova, 1996). Dekomposisi bahan organik
merupakan pelapukan secara fisik dan kimia dari serasah dan mengalami proses
mineralisasi hara. Setelah terdekomposisi, unsur hara dalam bahan organik diubah
menjadi bentuk yang tersedia bagi tumbuhan.
Menurut Hermansah et al., (2003), serasah yang jatuh akan mengalami
pelapukan dan akan menyatu dengan tanah. Tingkat pelapukan dibedakan atas
pelapukan sempurna dan tingkat pelapukan belum sempurna. Tingkat pelapukan
belum sempurna dapat dilihat pada bagian serasah yang masih menyerupai bentuk
aslinya, sedangkan tingkat pelapukan yang sudah sempurna serasah tersebut sudah
menyatu dengan tanah dan bentuk aslinya sudah tidak terlihat lagi. Menurut
Nasoetion, (1990), serasah adalah lapisan teratas dari permukaan tanah yang terdiri
atas tumpukan serasah. Tanaman memberikan sumbangan bahan organik melalui
daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang
telah mati. Serasah yang jatuh di permukaan tanah dapat melindungi permukaan
tanah dari jatuhan air hujan dan mengurangi penguapan.
Azwar et al., (1989) juga mengemukakan bahwa laju pertumbuhan biomassa
rata-rata tanaman karet pada umur 3 sampai 5 tahun mencapai 35,50 ton bahan
kering/ha/tahun. Hal ini berarti perkebunan karet dapat mengambil alih fungsi hutan
yang berperan penting dalam pengaturan tata guna air dan mengurangi peningkatan
pemanasan global (Global Warming). Jatuhan serasah (litterfall) merupakan salah
satu sumber unsur hara dalam siklus unsur hara di dalam ekosistem (Proctor et al.,
1983; Vitousek dan Sanford, 1986 cit Aflizar, 2003). Daun dan serasah lain yang
jatuh sedikit demi sedikit terkumpul di permukaan tanah sampai dimulainya proses
dekomposisi. Dekomposisi akan terus berlangsung dengan adanya penambahan
serasah (Spur dan Bulton, 1980). Produtivitas serasah penting diketahui dalam
hubungannya dengan pemindahan energi dan unsur-unsur hara dari suatu ekosistem.
Adanya suplai hara yang berasal dari daun, buah, ranting, dan bunga yang
mengandung banyak hara esensial akan memperkaya tanah dengan melepaskan
sejumlah unsur hara melalui proses dekomposisi (Darmanto, 2003).
Proses dekomposisi serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi kadar
serasah, macam vegetasi, aerasi dan pengolahan tanah, kelembaban, unsur N, reaksi
tanah, temperatur (Soedarsono, 1981), kandungan lignin, ciri morfologi daun
(Sundapardian, 1999), unsur P daun (Tanner, 1981 cit Sundapardian, 1999), dan
ukuran serasah (Dalzell, Bidlestone, Gray, and Thurairajan, 1987 cit Ariani, 2003).
Perbedaan topografi dan kondisi lingkungan dapat menentukan kecepatan proses
dekomposisi, hal ini berhubungan dengan perbedaan suhu dan kelembaban tanah dan
udara dari masing-masing topografi. Perbedaan suhu dan kelembaban akan
menentukan macam mikroorganisme yang aktif dalam proses dekomposisi. Melalui
proses dekomposisi, tumpukan serasah di permukaaan tanah berperan sebagai sistem
input dan outputnya unsur hara (Das dan Ramakhrisna, 1995 cit Sundarapardian,
1999). Pada waktu bagian tumbuhan mati dan membusuk, unsur yang telah dipakai
oleh tumbuhan itu dibebaskan kembali. Hal ini merupakan salah satu pengaruh
penting tumbuh-tumbuhan terhadap perkembangan tanah. Hara yang terbebaskan itu
menjadi tersedia kembali untuk diserap oleh tumbuhan. (Ewusie, 1990).
Hasil penelitian Hermansah et al., (2012) menunjukkan bahwa status
kesuburan tanah pada kebun karet memiliki tekstur dengan kandungan liat yang
tinggi dan reaksi pH tanah termasuk kriteria masam dengan kisaran pH 4,2 - 4,8 serta
kandungan kation-kation basa seperti Ca, Mg, K dan Na juga rendah. Potensi
pengembalian biomas melalui litterfall dari suatu ekosistem sangat beragam.
Terutama dipengaruhi kondisi iklim seperti curah hujan dan temperatur. Selain itu
dipengaruhi oleh jenis dan varietas tumbuhan. Dari hasil penelitian tersebut juga
menginformasikan bahwa selama 4 bulan potensi litterfall kebun karet rakyat pada
kedua klon karet yang ditanam, didapatkan 8,17 ton/ha/thn untuk klon BPM dan 7,73
ton/ha/thn untuk klon PB. Melihat dari potensi litterfall pada kebun karet rakyat dan
berapa lama proses dekomposisi yang terjadi serta potensi hara yang disumbangkan
belum diketahui. Bertitik tolak dari berbagai masalah yang dikemukakan di atas,
maka telah dilakukan penelitian dengan judul “Dinamika Litterfall dan Kecepatan
Dekomposisi Serasah pada Agroekosistem Perkebunan Karet di Kabupaten
Dharmasraya”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengukur kecepatan dekomposisi
serasah pada perkebunan karet dan untuk mengetahui potensi unsur hara yang
dikembalikan ke sistem tanah melalui proses dekomposisi pada perkebunan karet.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi pengetahuan berupa
data ilmiah selama dekomposisi serasah yang terjadi dan memberikan informasi
mengenai potensi unsur hara yang dikembalikan ke sistem tanah, sehingga menjadi
pedoman dalam rekomendasi pemupukan yang tepat pada perkebunan karet
selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dekomposisi Serasah
Dekomposisi merupakan mata rantai bagi pengembalian bahan organik dan
unsur hara dari vegetasi ke tanah (Bray dan Gorhan, 1964; Herera, 1978; Ceuvas dan
Medina, 1988, cit Aflizar, 2003). Daun dan bagian tanaman lain yang jatuh sedikit
demi sedikit terkumpul di tanah hutan sampai proses dekomposisi dimulai. Pada
mulanya serasah mungkin melebihi dekomposisi yang terjadi, tapi cepat atau lambat
keseimbangan akan tercapai antara penambahan serasah tahunan dan tingkat
dekomposisi tahunan (Spur, 1980). Tingkat hilangnya serasah cepat pada awal-awal
proses, kemudian lama-kelamaan semakin menurun (Anderson et al, 1983; Swift dan
Anderson, 1989; Kumar dan Deepu, 1992; Jamaan dan Nair, 1996 cit
Sundarapardian, 1999).
Dinamika serasah merupakan proses yang mengisi unsur hara pada ekosistem
hutan (Waring dan Schelersinger, 1983 cit Jamaludheen dan Kumar, 1998). Serasah
pada dasar hutan merupakan sistem masuk dan keluar unsur hara (Das dan
Ramakrisnan, 1998 cit Jamaludheen dan Kumar, 1998). Serasah daun juga
menyediakan unsur hara cadangan seperti N, S dan P yang berfungsi melepaskan
secara lambat unsur hara di ekosistem hutan (White cit Jamaludheen dan Kumar,
1998).
Bahan organik dalam tanah merupakan sumber energi dan sumber karbon
untuk pertumbuhan sel-sel baru mikrobia. Akibat perombakan tersebut selain energi,
mikrobia juga melepaskan senyawa-senyawa seperti CO2, CH4, asam-asam organik
dan alkohol. Selama asimilasi C untuk pertumbuhan sel terjadi juga penyerapan
unsur-unsur lain seperti N, P, K dan S. Asimilasi unsur-unsur oleh mikrobia disebut
immobilisasi (Soedarsono, 1981).
Bahan organik tanah yang telah tertimbun merupakan sasaran penyerapan
hebat organisme tanah, yaitu tumbuahan dan hewan yang menggunakan sumber
energi dan bahan pembentuk jaringannya dari bahan organik (karbon). Mengingat
sumber karbon di dalam tanah adalah bahan organik, maka besarnya dekomposisi
bahan organik di dalam tanah tergantung dari banyaknya bahan organik itu sendiri.
Hal ini jelaslah bahwa penambahan bahan organik akan mempertinggi evolusi CO2.
Dengan kata lain kecepatan dekomposisi bahan organik tergantung dari kadar bahan
organik itu sendiri. Tanaman yang muda dan sisa-sisa tanaman yang rasio C/N-nya
rendah cenderung terdekomposisi lebih cepat dibanding dengan bahan-bahan organik
atau bahan sisa yang mengandung lignin yang tinggi (Soedarsono, 1981).
Bahan organik mencakup semua bahan yang berasal dari jaringan tanaman
hewan, baik yang hidup maupun yang telah mati pada berbagai tahapan penguraian.
Bahan organik tanah lebih mengacuh pada bahan (sisa jaringan tanaman atau hewan)
yang telah mengalami perombakan atau penguraian baik sebagian maupun seluruhnya
yang telah mengalami humifikasi maupun yang belum (Eliza, 2007). Kononova,
(1996) dan Schnitzer, (1978) cit (Eliza, 2007) membagi bahan organik tanah menjadi
dua kelompok yaitu bahan yang terhumifikasi yang disebut sebagai bahan humik
(humic substance) dan bahan yang tidak terhumifikasi yang disebut bahan bukan
humik (non-humic substances). Kelompok pertama lebih dikenal dengan ”humus”
yang merupakan hasil akhir proses perombakan bahan organik bersifat stabil dan
tahan terhadap proses penurunan jumlah organisme atau biasa disebut proses
biodegradasi. Humus menyusun 90% bahan organik tanah yang terdiri dari fraksi
asam humat, asam fulfat dan humin. Kelompok kedua meliputi senyawa-senyawa
organik seperti karbohidrat, asam amino, peptide, lemak, lilin, lignin, asam nukleat,
dan protein.
Sumber bahan organik tanah dapat berasal dari sumber primer, sumber
sekunder dan sumber lain dari luar. Sumber primer yaitu jaringan organik tanaman
(flora) yang dapat berupa daun, ranting atau cabang, batang, buah, dan akar.
Sementara sumber sekunder yaitu jaringan organik fauna yang dapat berupa
kotorannya dan mikrofauna. Sumber lain dari luar yaitu pemberian pupuk organik
berupa pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk bokasi (kompos), dan pupuk hayati.
Komposisi biokimia bahan organik menurut Waksman, (1948) dan Brady, (1990) cit
(Madjid, 2007) bahwa biomass bahan organik yang berasal dari biomass hijauan
terdiri dari air 75% dan biomass kering 25%. Komposisi biokimia bahan organik dari
biomas kering tersebut juga terdiri dari karbohidrat 60%, lignin 25%, protein 10%,
lemak, lilin dan tanin 5%. Karbohidrat penyusun biomas kering tersebut berupa gula
dan pati 1% sampai 5%, hemiselulosa 10% sampai 30%, dan selulosa 20% sampai
50%. Berdasarkan kategori unsur hara penyusun biomas kering terdapat karbon C =
44%, oksigen O = 40%, hidrogen H = 8%, dan mineral 8%. Proses dekomposisi
bahan organik melalui 3 reaksi yaitu 1) reaksi enzimatik atau oksidasi enzimatik yaitu
reaksi oksidasi senyawa hidrokarbon yang terjadi melalui reaksi enzimatik
menghasilkan produk akhir berupa karbon dioksida CO2, air H2O, energi dan panas.
2) reaksi spesifik berupa mineralisasi dan atau immobilisasi unsur hara essensial
berupa hara nitrogen (N), fosfor (P), dan belerang (S). 3) pembentukan senyawasenyawa baru atau turunan yang sangat resisten berupa humus tanah. Berdasarkan
kategori produk akhir yang dihasilkan, maka proses dekomposisi bahan organik
digolongkan menjadi dua yaitu proses mineralisasi dan proses humifikasi.
Proses mineralisasi terjadi terutama terhadap bahan organik dari senyawasenyawa yang tidak resisten seperti selulosa, gula, dan protein. Proses akhir
mineralisasi dihasilkan ion atau hara yang tersedia bagi tanaman. Proses humifikasi
terjadi terhadap bahan organik dari senyawa-senyawa yang resisten seperti: lignin,
resin, minyak dan lemak. Proses akhir humifikasi dihasilkan humus yang lebih
resisten terhadap proses dekomposisi. Urutan kemudahan dekomposisi dari berbagai
bahan penyusun bahan organik tanah dari yang terdekomposisi paling cepat sampai
dengan yang terdekomposisi paling lambat adalah gula, pati, dan protein sederhana,
protein kasar (protein yang lebih kompleks), hemiselulosa, selulosa, lemak, minyak
dan lilin, serta lignin. Humus dapat didefinisikan sebagai senyawa kompleks asal
jaringan organik tanaman flora dan fauna yang telah dimodifikasi atau disintesis oleh
mikrobia, yang bersifat agak resisten terhadap pelapukan, berwarna coklat, amorfus
(tanpa bentuk atau nonkristalin) dan bersifat koloidal.
Beberapa ciri dari humus tanah antara lain 1) bersifat koloidal (ukuran kurang
dari 1 mikrometer), karena ukuran yang kecil menjadikan humus koloid ini memiliki
luas permukaan persatuan bobot lebih tinggi, sehingga daya jerap tinggi melebihi liat.
Kapasitas tukar kation (KTK) koloid organik ini sebesar 150 sampai 300 me/100 g
yang lebih tinggi dari pada (KTK) liat yaitu 8 sampai 100 me/100g. Humus memiliki
daya jerap terhadap air sebesar 80% sampai 90% dan ini jauh lebih tinggi dari pada
liat yang hanya 15% sampai 20%. Humus memiliki gugus fungsional karboksil dan
fenolik yang lebih banyak. 2) daya kohesi dan plastisitas rendah, sehingga
mengurangi sifat lekat tanah dan membantu granulasi aggregat tanah. 3) Tersusun
dari lignin, poliuronida, dan protein kasar. 4) berwarna coklat kehitaman, sehingga
dapat menyebabkan warna tanah menjadi gelap.
Foth, (1998) menyatakan bahwa sisa-sisa bahan organik yang ditambahkan
kedalam tanah tidak dirombak sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, tetapi unsur
pokok kimianya dirombak bebas satu dengan yang lainnya. Dalam pembentukan
humus dari sisa-sisa tanaman terjadi suatu penurunan yang cepat dari unsur-unsur
pokok yang larut dalam air dan selulose dan hemiselulose, terjadi peningkatan dalam
relatif dalam persentase lignin dan komplek lignin dan peningkatan dalam kandungan
protein. Lignin dalam humus kebanyakan berasal dari sisa tanaman mungkin
modifikasi kimia tertentu.
Satu dari ciri-ciri yang khas dan sangat penting dari humus adalah kandungan
nitrogennya yang biasanya bervariasi dari 3 sampai 6 persen. Kandungan karbon
umumnya kurang mampu bervariasi dan umumnya diperkirakan menjadi 58 persen.
Diasumsikan 58 persen karbon kandungan bahan organik dapat diketahui dengan
mengalihkan persentase karbon dengan 1,724. rasio karbon-nitrogen (C/N) adalah
dalam batasan 10 sampai 12. Rasio ini bervariasi menurut keadaan humus, stadia
perombakan, keadaan alam dan kedalam tanah iklim serta dalam keadaan lingkungan
lainnya dimana mereka dibentuk (Foth, 1998). Bahan organik tanah berada pada
kondisi yang dinamik sebagai akibat adanya mikroorganisme tanah yang
memanfaatkannya sebagai sumber energi dan karbon. Kandungan bahan organik
tanah terutama ditentukan oleh kesetimbangan antara laju penumpukan dengan laju
dekomposisinya. Kandungan bahan organik tanah sangat beragam, berkisar antara
0,5% sampai 5,0% pada tanah-tanah mineral atau bahkan sampai 100% pada tanah
organik (Histosols).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik tanah adalah
iklim, vegetasi, topografi, waktu, bahan induk dan pertanaman (cropping). Sebaran
vegetasi berkaitan erat dengan pola tertentu dari perubahan temperatur dan curah
hujan. Pada wilayah yang curah hujan rendah maka vegetasi juga jarang sehingga
penumpukan bahan organik juga rendah. Pada wilayah yang temperatur dingin maka
kehidupan mikroorganisme juga rendah sehingga proses perombakan lambat. Apabila
terjadi laju penumpukan bahan organik melampaui laju perombakannya terutama
pada daerah dengan kondisi jenuh air dan suhu rendah maka kandungan bahan
organik akan meningkat dengan tingkat perombakan yang rendah (Eliza, 2007).
Kedalaman lapisan menetukan kadar bahan organik dan N kadar bahan organik yang
banyak ditemukan dilapisan atas setebal 20 cm (15-20 %), makin bawah makin
berkurang. Hal ini akumulasi bahan organik terkonsentrasi di lapisan atas (Hakim et
al., 1986). Tekstur tanah juga cukup berperan, makin tinggi jumlah liat makin tinggi
pula bahan organik dan N tanah bila kondisi lainya sama. Tanah berpasir
memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik cepat habis. Drainase
buruk dimana air berlebih oksidasi terhambat karena aerasi buruk menyebabkan
kadar bahan organik dan N tinggi dari pada tanah berdrainase baik (Hakim et al.,
1986). Utomo, (1994) juga menambahkan bahwa, sisa-sisa organik (serasah) yang
ditambahkan oleh tanaman hutan kedalam tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik
dan kimia tanah itu sendiri. Sehingga proses-proses fisika dan kimia dalam tanah juga
dapat berlangsung dengan baik. Hal ini berakibat pada pertumbuhan dan
petkembangan tanaman yang optimal.
B. Siklus Unsur Hara
Siklus unsur hara adalah pertukaran elemen-elemen unsur hara antara bagian
hidup dan tidak hidup dari ekosistem. Terdapat dua proses besar yang terlibat.
Imobilisasi adalah pengambilan ion unsur hara dalam bahan organik menjadi ion
anorganik, terutama oleh mikroba perombak. Siklus unsur hara dan berakhir pada
penggunaan ulang dari unsur-unsur hara. Unsur-unsur dalam tanah terdapat dalam
mineral dan bahan organik yang tidak dapat larut dan tidak berguna oleh tanaman.
Unsur hara akan tersedia melalui pelapukan dan pembusukan bahan organik atau
perombakan. Tanah jarang sekali mempunyai kemampuan yang cukup untuk
menyediakan semua elemen esensial sepanjang waktu sesuai dalam kuantitas yang
cukup bagi tanaman untuk dapat berproduksi dengan baik (Foth, 1998).
Siklus unsur hara dalam ekosistem termasuk input dan output melibatkan
interaksi komunitas tumbuhan dengan lingkungannya (Hutt dan Schaff, 1995;
Vitousek, 1984 cit Hermansah, 2003). Input unsur hara dari atmosfir dan bantuan
penting terhadap perkembangan tanah dan ekositem jangka panjang, tapi pada basis
tahunan, siklus nutrisi dalam ekosistem menyediakan sumber unsur hara utama bagi
tumbuhan (Richard, 2000 cit Hermansah, 2003). Ketersediaan bahan kering tanaman
bisa meningkatkan unsur hara dan hal itu juga dapat berkurang sebagai akibat dari
tidak bergeraknya unsur hara, perpindahan akibat panen dan pencucian yang
meningkat. Penggunaan tanah yang terus-menerus penting untuk meyakinkan bahwa
tersedia cadangan unsur hara bagi pertumbuhan komunitas tanaman selanjutnya (Hutt
dan Schaff, 1995; Olson, 1963 cit Hermansah, 2003).
Siklus dari pada unsur hara dalam ekosistem hutan adalah suatu proses yang
terpadu yang meliputi pemindahan energi dan hara di dalam ekosistem sendiri
maupun ekosistem lainnya berupa atmosfir, biosfir, geosfir dan hidrosfir. Energi yang
diperlukan untuk menggerakan siklus ini diperoleh dari proses yang terjadi di biosfir
yakni proses fotosintesis. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Fotosintesis
merupakan inti dalam pengadaan energi bagi semua kehidupan di biosfir. Untuk
mempertahankan reaksi biokimia yang diperlukan oleh tumbuh-tumbuhan sekurangkurangnya 14 hara yang mutlak yang diperlukan tumbuhan harus terpenuhi.
Organisme hidup dan air tanah bersama-sama telah mambantu menetapkan
nisbah asam-basa dalam larutan tanah.
Unsur-unsur hara tanaman diserap oleh
tanaman dari tanah ke bagian atas tanaman, kemudian dilepaskan lagi melalui sisasisa tanamn yang jatuh di permukaan tanah, dan masuk ke dalam tanah kembali
bersama air perkolasi dan siap untuk diserap oleh tanaman.
Siklus unsur hara
membantu mengontrol keseimbangan asam-basa dan larutan bahan-bahan yang
melapuk dalam horizon tanah yang terbentuk (Hardjowigeno, 2010).
Foth, (1998) juga menyatakan bahwa bahan organik yang ditambahkan ke
tanah terdiri dari bermacam komponen, yaitu meliputi lemak, karbohidrat, protein dan
lignin.
Persenyawaan komponen organik ini kedalam tanah merangsang dan
menguntungkan sebagian besar organisme. Seperti proses perombakan sebagian besar
bahan-bahan mudah dicerna hilang pertama kali. Semua kelompok mikroba dapat
efektif merombak dan menggunakan karbohidrat dan protein tetapi jamur lebih
efektif dalam perombakan lignin
Sambil mencerna sisa-sisa tanaman, mikroba menggunakan karbon, energi
atau panas dan unsur hara lainnya untuk pertumbuhannya. Tepat pada waktunya
jaringan yang mati akan disintesis dan menjadi bahan-bahan untuk perombakan
selanjutnya. Penyusun tubuh organisme secara temporer tidak tersedia atau imobil.
Suatu waktu bahan-bahan resisten sebagian besar mudah untuk diserang mikroba
maupun tanaman tingkat tinggi. Unsur-unsur hara imobil dimineralisasikan lagi
ketika organisme mati.
Mekanisme yang telah dikenal untuk pemindahan unsur hara adalah hanyutan
oleh hujan (lewat aliran batang dan curah hujan tembus) jatuhnya serasah, jatuhnya
kekayuan, dan pelapukan akar. Walaupun hanyutan oleh air hujan sangat berbedabeda menutut musim dan spesies namun berperanan penting dalam memindahkan
unsur hara dalam jumlah yang besar (Sanchez, 1993). Walaupun kandungan unsur
hara dalam air hujan rendah, namun ketika air hujan menghanyutkan hara melalui
vegetasi, jumlah hara yang mencapai tanah cukup banyak (Sollins dan Drewry, 1970
cit Sanchez, 1993).
Siklus hara dalam kawasan hutan termasuk siklus hara tertutup dimana
tanaman pohon dan tanaman semak penutup tanah di dalam hutan bersama-sama
menyumbangkan bahan organik ke dalam tanah yang nantinya akan dipergunakan
untuk mencukupi kebutuhan hara untuk kawasan hutan itu sendiri. Karena bahan
organik yang ada tidak diangkut keluar kawasan hutan, maka bahan organik akan
tertumpuk di permukaan tanah. Sehingga disini produktivitas tanah dapat terus
dipertahankan. Serasah yang jatuh ke tanah akan mengalami pelapukan dan akan
menyatu dengan tanah. Tingkat pelapukan dibedakan atas pelapukan sempurna dan
tingkat pelapukan belum sempurna. Tingkat pelapukan belum sempurana dapat
dilihat pada bagian serasah yang masih menyerupai bentuk aslinya sedangkat tingkat
pelapukan sempurna serasah tersebut sudah menyatu dengan tanah dan bentuk aslinya
sudah tidak terlihat lagi (Hermansah, 2003).
C. Tanaman Karet
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi
dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 sampai 25 m. Batang
tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di
beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah
utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks
(Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Daun karet berwarna hijau apabila akan rontok berubah warna menjadi kuning
atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai jadwal kerontokan daun pada setiap
musim kemarau. Di musim rontok ini kebun karet menjadi indah karena daun-daun
karet berubah warna dan jatuh berguguran (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Selanjutnya Nazarrudin dan Paimin, (2006) menambahkan daun karet terdiri dari
tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3 sampai 20
cm. Panjang tangkai anak daun antara 3 sampai 10 cm dan pada ujungnya terdapat
kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak
daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Sesuai dengan sifat
dikotilnya akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang
batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Menurut Nazarrudin dan Paimin, (2006) dalam dunia tumbuhan karet tersusun dalam
sistematika sebagai berikut.
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea brasiliensis
Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang
beriklim tropis maka karet juga cocok ditanam di daerah–daerah tropis lainnya.
Daerah tropis yang baik ditanami karet mencakup luasan antara 15º Lintang Utara
sampai 10º Lintang Selatan. Walaupun daerah itu panas sebaiknya tetap menyimpan
kelembapan yang cukup. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet rata-rata 25
sampai 30º C. Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata-rata kurang dari
20º C maka tanaman karet tidak cocok di tanam di daerah tersebut. Pada daerah yang
suhunya terlalu tinggi, pertumbuhan tanaman karet tidak optimal.
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1 sampai
600 m dari permukaan laut. Curah hujan yang cukup antara 2000 sampai 2500 mm
setahun. Akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu merata sepanjang tahun
(Nazarrudin dan Paimin, 2006). Tanah yang kurang subur seperti Utisol yang
terhampar luas di Indonesia dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik
bisa dikembangkan menjadi perkebunan karet dengan hasil yang memuaskan. Selain
Utisol, Latosol dan Alluvial juga bisa dikembangkan untuk penanaman karet. Tanah
yang derajat keasamannya mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat
keasaman yang paling cocok adalah 5 sampai 6. Batas toleransi pH tanah bagi pohon
karet adalah 4 sampai 8.
Tanah yang agak masam masih lebih baik dari pada tanah yang basa.
Topografi juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Akan lebih baik apabila
tanah yang dijadikan tempat tumbuhnya pohon karet datar dan tidak berbukit - bukit
(Nazarrudin dan Paimin, 2006). Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan
penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong
pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun
pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Kayu karet juga akan mempunyai
prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan.
Indonesia sebagai negara dengan luas areal kebun karet terbesar dan produksi kedua
terbesar di dunia (Goenadi et al., 2005).
Indraty (2005) menyebutkan bahwa tanaman karet juga memberikan
kontribusi yang sangat penting dalam pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian
lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu penting mengingat kondisi sebagian besar
hutan alam makin memprihatinkan. Pada perkebunan karet, energi yang dihasilkan
seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi
perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir,
pengaturan tata guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan
bebas polusi. Daur hidup tanaman karet yang demikian akan terus berputar dan
berulang selama satu siklus tanaman karet paling tidak selama 30 tahun. Oleh karena
itu, keberadaan pertanaman karet sangat strategis bagi kelangsungan kehidupan,
karena mampu membentuk suatu agroekosistem. Menurut Muhsanati (2011),
agroekosistem adalah suatu sistem kawasan atau tempat membudidayakan makluk
hidup tertentu meliputi apa saja yang hidup di dalamnya serta material lain yang
saling berinteraksi.
Dalam agroekosistem, tanaman dipanen dan diambil dari lapangnan untuk
konsumsi manusia dan ternak, sehingga tanah pertanian selalu kehilangan garamgaram dan kandungan unsur hara seperti N, P, K dan lain-lain. Untuk memelihara
agar keadaan produktivitas tetap tinggi kita perlu menambahkan pupuk dan
memahami siklus hara yang terjadi pada ekosistem perkebunan melalui jatuhan
serasah.
1. Syarat Tumbuh Tanaman Karet
Pada dasarnya tanaman karet memerlukan persyaratan terhadap kondisi iklim
untuk menunjang pertumbuhan dan keadaan tanah sebagai media tumbuhnya.
a. Iklim
Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 15o LS dan
10o LU. Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai
produksinya juga terlambat.
b. Curah hujan
Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai
4.000 mm/tahun dengan hari hujan berkisar antara 100 samapi 150 HH/tahun. Namun
demikian jika sering hujan pada pagi hari produksi akan berkurang.
c. Tinggi tempat
Pada dasarnya tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan
ketinggian 200 m dari permukaan laut. Ketinggian besar 600 m dari permukaan laut
tidak cocok untuk tumbuh tanaman karet. Suhu optimal diperlukan berkisar antara
25ºC sampai 35ºC.
d. Angin
Kecepatan angin yang terlalu kencang pada umumnya kurang baik untuk
penanaman karet.
e. Tanah
Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara lain
solum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas, aerase dan
drainase cukup, tekstur tanah remah, poros dan dapat menahan air, struktur terdiri
dari 35% liat dan 30% pasir, tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm, kandungan hara
NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro, reaksi tanah dengan pH 4,5
antara pH 6,5 kemiringan tanah kecil dari 16% dan permukaan air tanah kecil 100
cm.
f.
Klon Rekomendasi
Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan produksi karet alam
Indonesia sebesar 3 sampai 4 juta ton/tahun pada tahun 2025. Sasaran produksi
tersebut hanya dapat dicapai apabila minimal 85% areal kebun karet (rakyat) yang
saat ini kurang produktif berhasil diremajakan dengan menggunakan klon karet
unggul. Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia telah banyak menghasilkan klon-klon
karet unggul sebagai penghasil lateks dan penghasil kayu. Pada Lokakarya Nasional
Pemuliaan Tanaman Karet 2005, telah direkomendasikan klon-klon unggul baru
generasi-4 untuk periode tahun 2006 – 2010, yaitu klon: IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR
42, IRR 104, IRR 112, dan IRR 118, Klon IRR 42 dan IRR 112 akan diajukan
pelepasannya, sedangkan klon IRR lainnya sudah dilepas secara resmi. Klon-klon
tersebut menunjukkan produktivitas dan kinerja yang baik pada berbagai lokasi, tetapi
memiliki variasi karakter agronomi dan sifat-sifat sekunder lainnya. Oleh karena itu
pengguna harus memilih dengan cermat klon-klon yang sesuai agroekologi wilayah
pengembangan dan jenis-jenis produk karet yang akan dihasilkan.
Klon-klon lama yang sudah dilepas yaitu GT 1, AVROS 2037, PR 255, PR
261, PR 300, PR 303, RRIM 600, RRIM 712, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109,
PB 260, RRIC 100 masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi harus
dilakukan secara hati-hati baik dalam penempatan lokasi maupun system
pengelolaannya. Klon GT 1 dan RRIM 600 di berbagai lokasi dilaporkan mengalami
gangguan penyakit daun Colletotrichum dan Corynespora. Sedangkan klon BPM 1,
PR 255, PR 261 memiliki masalah dengan mutu lateks sehingga pemanfaatan
lateksnya terbatas hanya cocok untuk jenis produk karet tertentu. Klon PB 260
sangat peka terhadap kekeringan alur sadap dan gangguan angin dan kemarau
panjang, karena itu pengelolaanya harus dilakukan secara tepat.
III. BAHAN DAN METODA
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2013
yang berlokasi di Nagari Gunung Medan Kecamatan Sitiung, Kabupaten
Dharmasraya, yaitu pada kawasan perkebunan karet rakyat. Untuk analisis tanaman
dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian dan Jurusan Teknik
Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Andalas. Jadwal penelitian disajikan pada
Lampiran 1.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya tumpukan sarasah
yang diambil dengan mal (pipa dari paralon kecil) pada tanaman karet yang ditanam
dengan klon PB (PB = Prang Besar) dan BPM (BPM = Balai Penelitian Medan).
Bahan kimia yang digunakan disajikan pada Lampiran 2. Sedangkan alat yang
digunakan diantaranya mal, litterbag, kantung plastik dan lain sebagainya yang
menunjang dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
C. Metoda Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dan observasi lapangan
yang terdiri dari enam tahap meliputi yaitu tahap persiapan, pengamatan jatuhan
serasah, pengumpulan serasah, pemasangan litterbag, pengambilan serasah dalam
litterbag, analisis serasah di laboratorium dan pengolahan data.
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Tahap persiapan
Tahap survei awal dilakukan peninjauan lapangan daerah penelitian untuk
menentukan titik penempatan dan pengambilan sampel. Pada tahap persiapan
dilakukan pengumpulan data sekunder berupa kondisi daerah penelitian dan
wawancara dengan petani kebun karet setempat. Berdasarkan pengumpulan data
lainnya seperti curah hujan (Lampiran 5), dibuat perencanaan lokasi pengamatan,
kemudian disiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan seperti pembuatan
litterbag.
2. Pengamatan jatuhan serasah (litterfall)
Tahap ini dilakukan untuk mengamati jatuhan serasah dengan mengunakan
littertrap. Littertrap dipasang sebanyak 24 unit yang tersebar merata di lahan
perkebunan karet dengan ukuran diameter 0.33 m2. Jatuhan serasah diambil setiap
bulan selama 6 bulan penelitian.
3. Pengumpulan sampel sarasah
Pengumpulan sampel serasah ini telah dilakukan dengan mal ( luasan 50 cm x
50 cm). Serasah yang berada pada mal tersebut dikumpulkan (litter, terfermentasi,
dan terhumifikasi). Litter (L) adalah serasah yang baru jatuh dan bentuk relatif masih
utuh, terfermentasi (F) adalah serasah yang mulai terdekomposisi, bentuk sudah tidak
utuh lagi, bentuk asli serasah masih terlihat, merupakan satuan serasah tunggal atau
tidak saling melekat, terhumifikasi (H) adalah serasah yang telah terdekomposisi
lebih lanjut, bentuk asli serasah sudah tidak terlihat lagi dan lolos ayakan 2 mm.
Kemudian sampel tersebut ditimbang berat basahnya dan itu dipisahkan kelompok
litter, terfermentasi, maupun yang terhumifikasi, kemudian ditimbang kembali.
Selanjutnya dimasukkan dalam oven (Laboratorium) untuk menetukan kadar airnya
selama 48 jam pada suhu 60oC sampai beratnya konstan (Yoneda et al,1977 cit Hotta,
1984).
4. Pemasangan litterbag
Pemasangan litterbag bertujuan untuk menentukan kecepatan dekomposisi
dan jumlah hara yang dilepas. Sampel serasah yang digunakan untuk litterbag adalah
sampel serasah segar atau masih utuh. Kemudian sampel dimasukkan kedalam
litterbag yang berukuran 20 cm x 10 cm dengan ukuran pori 2 - 3 mm yang telah
ditimbang sebanyak 10 g per litterbag (Users, 1999). Penelitian ini menggunakan 72
buah litterbag (6 buah litterbag pada tiap dua jenis tanaman karet yaitu PB dan PBM
) untuk 6 kali pengamatan (dalam waktu 6 bulan). Kemudian sampel yang berada di
dalam litterbag tersebut diletakkan di atas permukaan tanah dan dibenamkan sedalam
10 cm, dengan diletakkan secara melinggkar di bawah pohon tanaman karet, untuk
penahan yang berada di atas permukaan tanah, disetiap sudut litterbag diikat dengan
kawat yang ditancapkan ke tanah agar litterbag tidak hilang.
Dikedalaman 10 cm
Di atas permukaan
Di atas permukaan
Dikedalaman 10 cm
Gambar 1. Pemasangan litterbag di lapangan
5. Pengambilan sampel litterbag
Pengambilan sampel dalam litterbag yang sudah didekomposisi dilakukan
setiap bulan selama 6 bulan. Sampel yang diambil ditimbang ke laboratorium.
Litterbag dibersihkan dengan hati-hati untuk membersihkan tanah dan bahan-bahan
lain yang menempel di litterbag (Andeson and Ingram, 1989 cit Jamaludheen, 1998).
Sisa biomassa serasah setelah terdekomposisi tersebut dipindahkan dari litterbag ke
amplop kertas, kemudian dioven pada suhu 60 oC selama 48 jam dan ditimbang berat
kering yang tersisa. Sampel yang sudah kering digrinder menjadi tepung kemudian
disimpan dalam plastik tertutup yang kedap udara untuk analisis.
6. Analisis di Laboratorium
Analisis yang dilakukan di laboratorium yaitu analisis serasah daun yang telah
terdekomposisi, guna untuk mengetahui perubahan kandungan hara pada bahan
serasah yang didekomposisi. Sampel dianalisis hanya pada bulan-bulan tertentu yaitu
pada bulan ke-1, ke-3, dan ke-6. Jenis unsur hara pada sisa serasah meliputi C, N, P,
K, Ca dan Mg. Kadar C dianalisis dengan metoda pengabuan kering, sedangkan
untuk analisis N, P, K, Ca dan Mg dilakukan dengan destruksi basah, kandungan N
ditetapkan dengan metoda Kjeldahl dan P diukur dengan Spektrofotometer, serta
unsur K, Ca dan Mg diukur dengan AAS. Kualitas serasah daun seperti kadar lignin
juga dilakukan analisis dengan metoda (Chesson, 1981). Prosedur kerja selengkapnya
dilihat pada Lampiran 4.
7. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari analisis laboratorium berupa kandungan hara
pada serasah dan berat biomas yang hilang akibat dekomposisi tiap bulannya diolah
dengan perhitungan biasa (uji t pada taraf α 5%). Model konstan berat potensial yang
hilang atau koefisien tingkat dekomposisi dapat dianalisis dengan persamaan Olson
(Olson, 1963 cit Sundarapandian, 1999).
Persamaannya adalah sebagai berikut :
X / X0 = e-kt
Dimana :
X
= Massa yang tersisa pada waktu t
X0
= Massa awal serasah
k
= Koefisien laju dekomposisi
t
= Waktu
e
= Bentuk dasar logaritma
Dari persamaan diatas dapat dikonversikan ke dalam bentuk ln, untuk mendapatkan
tetapan k (koefisien laju dekomposisi).
X / X0 = e-kt
e-kt
= X / X0
-kt
= ln (X / Xo)
-k
= ln (X / X0)
t
Data mengenai kehilangan hara pada setiap sub plot digambarkan dalam
bentuk grafik setiap perubahan yang dikorelasikan dengan curah hujan dan
temperatur. Selanjutnya data yang telah diperoleh tersebut digunakan sebagai dasar
dalam skripsi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Lahan kebun yang dijadikan sebagai objek penelitian ini memiliki luas 1,3 ha
yang ditanami 600 batang tanaman karet dengan dua jenis klon yaitu PB dan BPM.
Lokasi penelitian ini merupakan daerah dengan fisiografi dataran aluvial yang
memiliki kelerengan datar (0-3%) dengan jenis tanah Inceptisol (Hermasah et al.,
2012). Rata-rata curah hujan bulanan pada lokasi ini berkisar antara 231,9 sampai 205
mm/bulan (Lampiran 5). Hasil wawancara dengan beberapa orang petani di sekitar
lokasi, mengungkapkan bahwa pemupukan untuk tanaman karet di kawasan Sitiung
ini jarang dilakukan, hal ini terkait dengan nilai ekonomis dan harga dari hasil lateks
tersebut yang sangat fluktuatif dan kurang menjanjikan. Selain itu petani hanya
mengandalkan proses pelapukan serasah yang terjadi secara alami pada lahan
perkebunannya.
Pada lahan yang dijadikan objek penelitian ini menurut ungkapan dari petani
tanaman karet hanya dipupuk tiga kali saja sampai tanaman karet berumur 1 tahun.
Setelah itu kebun karet ini tidak pernah dipupuk lagi sampai panen, bahkan petani
hanya membiarkan serasah yang jatuh kemudian melapuk di permukaan tanah pada
perkebunan karet. Namun terkadang serasah yang jatuh juga dikumpulkan kemudian
dibakar, petani juga menganggap bahwa serasah yang terlalu banyak menumpuk di
kebun juga mendatangkan hama dan penyakit untuk tanaman karet.
Penyakit yang sering dijumpai pada tanaman karet disebabkan oleh beberapa
jamur seperti jamur upas, kanker bercak, kanker garis dan lain-lain. Pada saat curah
hujan kurang mengakibatkan tanaman karet cenderung menggugurkan daun dan
menyebabkan penumpukan serasah yang banyak pada lahan tanaman karet. Dengan
demikian sumber hara untuk tanaman karet ini hanya diharapkan dari siklus hara
secara alami berupa pelapukan serasah dan pelapukan tanah yang menyumbangkan
unsur hara.
Pengamatan tentang karakteristik sifat kimia tanah pada kebun karet lokasi
penelitian menurut Hermansah et al., (2012) terlihat bahwa tanah pada plot penelitian
ini memiliki kesuburan tanah, pH dan kandungan unsur hara yang rendah. Rendahnya
tingkat kesuburan tanah ini berasal dari kandungan bahan mineral pembentuk tanah.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan Hermansah et al., (2012) didapatkan kisaran
pH pada plot penelitian ini 4,2 sampai 4,8.
B. Dinamika jatuhan serasah (Litterfall)
Hasil pengamatan produksi serasah selama 6 bulan, jatuhan serasah (litterfall)
pada kebun karet cukup banyak terjadi. Besarnya jatuhan serasah yang terjadi dan
dinamika curah hujan menurut Hermasah et al., (2012) semakin besar curah hujan
maka jatuhan serasah mengalami penurunan. Sebaliknya semakin rendah curah hujan
yang terjadi maka jatuhan serasah (litterfall) pada kebun karet mengalami
peningkatan. Artinya pada musim kering tanaman karet cenderung menggugurkan
daunnya guna mengurangi evaporasi pada lahan. Pada Gambar 2 dapat dilihat
terjadinya dinamika jatuhan serasah (litterfall) dan dinamika curah hujan selama
penelitian.
Gambar 2. Dinamika litterfall dan curah hujan selama 6 bulan pengamatan
Hasil pengamatan produksi serasah selama 6 bulan pada Tabel 1 terlihat
besarnya litterfall untuk kedua jenis tanaman karet (PB dan BPM) yang ditanam.
Dilihat dari perbandingan akumulasi serasah di permukaan tanah dan jatuhan serasah
(litterfall) di lahan perkebunan karet diketahui bahwa jatuhan serasah (litterfall) lebih
besar jumlahnya dari pada yang terakumulasi di permukaan tanah. Artinya proses
dekomposisi yang terjadi di perkebunan karet ini mengalami perombakan yang cepat.
Hal ini berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara yang terjadi secara
alami dan memberikan sumbangan unsur hara bagi tanaman. Tabel 1 menunjukan
bahwa jatuhan serasah (litterfall) yang terbanyak ditemukan pada jenis klon BPM
yaitu 6,58 ton/ha/tahun dengan akumulasi serasah 5,15 ton/ha. Sedangkan pada klon
PB 5,83 ton/ha/tahun dengan akumulasi serasah yang terjadi di permukaan tanah
yaitu 4,25 ton/ha.
Tabel 1. Perbandingan rata-rata akumulasi serasah di permukaan tanah dan jatuhan
serasah (litterfall) pada dua jenis klon PB dan BPM selama 6 bulan
pengamatan.
Jatuhan Serasah
Akumulasi serasah
Estimasi waktu
Klon
(litterfall)
dipermukaan tanah
residen
ton/ha/tahun
ton/ha
PB (n=12)
5,83 a
4,25 a
0,72
BPM (n=12)
6,58 a
5,15 b
0,78
Keterangan : PB = Prang Besar, BPM = Balai Penelitian Medan
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji-t
student
Pada Tabel 1 setelah dilakukan uji t-student pada taraf α 5%, untuk jenis klon
PB dan BPM pada jatuhan serasah berbeda nyata sedangkan akumulasi serasah
dipermukaan tanah tidak berbeda nyata (lampiran 8). Jumlah litterfall yang jatuh
lebih besar dari jumlah biomassa yang terakumulasi di permukaan tanah. Hal ini
berarti bahwa biomasa pada permukaan tanah tidak tertumpuk lama pada perkebunan
karet dengan estimasi waktu residen bahan organik 0,72 dan 0,78 pada klon PB dan
BPM. Estimasi waktu residen dihitung dengan membandingkan antara jumlah
biomassa yang terakumulasi di permukaan tanah dengan runtuhan serasah (litterfall).
C. Karakteristik Kandungan Hara Serasah Awal Sebelum Didekomposisi
Bahan serasah yang telah dianalisis kandungan haranya merupakan serasah
yang belum didekomposisikan pada masing-masing klon (PB dan BPM).
Karakteristik kandungan hara serasah awal yang dianalisis pada lahan perkebunan
karet rakyat di Dharmasraya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik kandungan hara pada serasah tanaman karet
Jenis
N (%) C (%) C/N
P (%)
K (%)
Ca (%)
Mg (%)
klon
PB
0,67
25,10
37,47
0,05
0,56
0,66
1,26
BPM
0,79
28,15
35,64
0,06
0,60
0,59
0,9
Keterangan : PB = Prang Besar, BPM = Balai Penelitian Medan
Tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan N, C, P, dan K, yang tinggi terdapat
pada klon BPM yaitu 0.12 %, 3.05 %, 0.01 %, dan 0.04 % dibandingkan dengan klon
PB. Sedangkan untuk kandungan Ca, dan Mg yang tinggi ditemukan pada klon PB
yaitu 0.07 % dan 0.36 %. Serasah untuk klon PB memiliki nisbah C/N lebih tinggi
37.47 dibandingkan dengan nisbah C/N 35.64 pada klon BPM. Hal ini menunjukkan
bahwa proses dekomposisi bahan organik yang lanjut dicirikan oleh C/N yang
rendah, sedangkan C/N yang tinggi menunjukkan dekomposisi belum lanjut,
kecepatan dekomposisi akan lebih cepat terjadi pada nisbah C/N yang rendah
(Hakim, et al., 1986). Bahan serasah yang didekomposisi pada dua jenis klon yang
ditanam juga dianalisis kandungan ligninnya. Hasil analisis kandungan lignin serasah
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar lignin serasah yang didekomposisi
Jenis klon
Kadar lignin (%)
PB
55,00
BPM
53,75
Keterangan : PB = Prang Besar, BPM = Balai Penelitian Medan
Tabel 3 terlihat bahwa kadar lignin pada klon PB lebih tinggi 1,25 % dari
pada klon BPM. Tinggi rendahnya kandungan kandungan lignin yang terdapat pada
serasah yang didekomposisi akan mempengaruhi proses dekomposisi yang
berlangsung. Apabila kandungan lignin tinggi, maka proses dekomposisi akan
berjalan lambat. Sedangkan apabila kandungan ligninnya rendah, maka proses
dekomposisi berlangsung dengan cepat. Dari ini terlihat bahwa klon PB yang
cenderung memiliki lignin tinggi juga memiliki C/N tinggi. Artinya serasah pada klon
PB relatif agak lambat terdekomposisi dari pada jenis klon BPM.
D. Penurunan Bobot Serasah Selama Proses Dekomposisi
Mengetahui dinamika siklus unsur hara melalui akumulasi dan dekomposisi
biomasa serasah maka telah dilakukan penelitian tentang fluktuasi perubahan bobot
serasah selama 6 bulan melalui proses dekomposisi. Setelah didekomposisi secara
alami serasah daun yang jatuh pada lahan perkebunan karet akan mengalami
kehilangan bobot serasah. Kehilangan bobot serasah dari dua klon karet ini diletakkan
di atas permukaan dan dikedalaman 10 cm.
Perubahan bobot serasah pada awal dekomposisi lebih cepat menurun dengan
waktu dekomposisi. Secara umum kehilangan bobot serasah dari setiap titik peletakan
serasah pada bulan pertama terlihat lebih lamban. Kemudian pada bulan selanjutnya
terjadi penurunan yang cepat dan terus mendekati konstan. Pada akhir masa
dekomposisi masih tersisa bobot kering serasah selama pengamatan. Dalam hal ini
dapat dikemukakan bahwa selama 6 bulan dekomposisi serasah masih tersisa. Bobot
serasah yang diletakkan di atas permukaan tanah pada jenis klon PB tersisa sebesar
4,17 g dari 10 g berat kering serasah sementara pada kedalaman 10 cm tersisa 1,3 g
dari 10 g berat kering serasah yang diletakan. Sedangkan pada jenis klon BPM
litterbag yang diletakkan di atas permukaan tanah bersisa 3,11 g dari 10 g berat
kering serasah dan dikedalaman 10 cm tersisa 0,49 g dari 10 g berat kering serasah
yang diletakan. Serasah yang mengalami dekomposisi secara alami untuk dua jenis
klon tanaman karet disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Perubahan bobot biomasa serasah pada kebun karet selama 6 bulan.
Kehilangan bobot yang cepat ini disebabkan karena serasah dengan karbon
sebagai penyusun utama jaringan daun dan bahan-bahan lain yang mudah dirombak
seperti karbohidrat, protein, gula dan lain-lain, begitu diletakkan di atas permukaan
tanah dan dikedalaman 10 cm akan langsung diserang oleh berbagai jasad yang ada
didalam tanah dan kemudian akan dibebaskan menjadi CO2. Pada awal terjadinya
dekomposisi bahan-bahan tersebut masih tersedia dalam jumlah yang banyak,
sehingga aktifitas mikroorganisme untuk merombak lebih efektif.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Sundapardian, (1999) bahwa tingkat
hilangnya serasah lebih cepat terjadi pada awal-awal proses dekomposisi, kemudian
lama kelamaan semakin menurun. Nuraini, (1990) menjelaskan pula bahwa
kehilangan bobot yang cepat disebabkan karena bahan organik yang dimanfaatkan
oleh mikroorganisme untuk memperoleh energi dan penyusun sel mikroorganisme.
Kehilangan bobot semakin lambat disebabkan karena sumber karbon dari bahan
organik yang semakin berkurang. Kedua jenis klon yang ditanam pada perkebunan
karet rakyat di Dharmasraya dapat dilihat bahwa kehilangan bobot serasah yang
paling cepat adalah klon BPM, dibandingkan dengan klon PB. Disamping itu klon
BPM memiliki kandungan lignin yang rendah (53,75) sehingga kehilangan bobot
serasah lebih cepat. Sedangkan pada klon PB kandungan ligninnya (55,00) tinggi
sehingga menyebabkan proses dekomposisi lambat.
E. Kecepatan Dekomposisi
Melihat perbedaan kecepatan dekomposisi pada setiap klon sesuai dengan
posisi peletakan pada masing-masing sampel dapat dilihat dari nilai koefisien
dekomposisi (k) berdasarkan persamaan Olson (Olson, 1963 cit Jamaludheen dan
Kumar, 1998).
Tabel 4. Koefisien kecepatan dekomposisi serasah pada klon PB dan BPM
Posisi serasah
Koefisien kecepatan dekomposisi (k)
PB pada permukaan tanah
0,149a
PB pada kedalaman 10 cm
0,201b
BPM pada permukaan tanah
0,172a
BPM pada kedalaman 10 cm
0,318b
Keterangan : PB = Prang Besar, BPM = Balai Penelitian Medan
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji-t
student
Berdasarkan Tabel 4 setelah dilakukan uji t-student pada taraf α 5%, untuk
jenis klon PB dan BPM pada permukaan tanah berbeda nyata sedangkan untuk
kedalaman 10 cm tidak berbeda nyata (lampiran 8). Terlihat bahwa koefisien
kecepatan dekomposisi tertinggi didapatkan pada jenis klon BPM. Tingginya nilai (k)
ini artinya menandakan bahwa proses dekomposisi serasah lebih cepat dibandingkan
dengan nilai k yang lebih rendah. Untuk di permukaan tanah dan dikedalaman 10 cm,
nilai (k) pada jenis klon BPM 0,023 dan 0,117 lebih tinggi dari pada klon PB.
Hardjowigeno (2010) menyatakan mikroorganisme tanah sebagai perombak bahan
organik paling banyak ditemukan pada daerah rizosfer yaitu dikedalaman 0 sampai 10
cm. Cepatnya terjadi perombakan serasah pada kedalaman 10 cm ini dikarenakan
banyaknya mikroorganisme tanah sebagai dekomposer yang menyebabkan turunnya
bobot serasah tersebut.
Perbedaan kecepatan dekomposisi ini dipengaruhi juga oleh vegetasi yang
tumbuh di sekitar tanaman karet berupa tumbuhan liar. Hal ini juga membuat
mikroorganisme yang aktif dalam proses dekomposisi juga bertambah. Hal yang
sama temperatur juga mempengaruhi perombakan serasah, rata-rata temperatur yang
terjadi selama 6 bulan pengamatan mencapai 27-30 oC hal ini menyebabkan
perkembangbiakan mikroorganisme juga meningkat, seiring dengan pengamatan
curah hujan di lapangan yang terjadi tidak begitu tinggi. Hal ini sejalan dengan
karakteristik serasah dimana kadar lignin serasah yang rendah terdapat pada jenis
klon BPM yaitu 53,75 % dan yang tinggi ditemukan pada jenis klon PB sebesar 55,00
%. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kadar lignin serasah mempengaruhi
kecepatan dekomposisi serasah. Hal serupa juga dikemukakan oleh Hakim at al.,
(1986) yang menyatakan bahwa lignin merupakan senyawa yang paling resisten
sehingga sukar untuk didekomposisi. Hal ini berhubungan erat dengan kehilangan
bobot serasah. Kehilangan bobot serasah yang cepat menandakan bahwa kecepatan
dekomposisi juga tinggi.
F. Perubahan Nisbah C/N Selama Dekomposisi
Gambar 4 terlihat bahwa C/N mengalami fluktuasi selama proses
dekomposisi. Pada posisi penempatan sampel yang dilakukan di atas permukaan
tanah dan dikedalaman 10 cm, terlihat bahwa jenis klon PB mengalami peningkatan
selama proses dekomposisi dari bulan pertama sampai bulan ke-3, namun pada bulan
selanjutnya C/N menurun sampai akhir dekomposisi. Sedangkan pada jenis klon
BPM C/N relatif mengalami penurunan dari awal dekomposisi sampai akhir
dekomposisi hal ini disebabkan kandungan N pada serasah lebih tinggi,
mikroorganisme yang aktif sebagai proses dekomposisi memerlukan N cukup untuk
pertumbuhannya.
Nuraini, (1990) menyatakan penurunan nisbah C/N tersebut diakibatkan
karena turunnya kadar C tanaman dan meningkatnya N secara relatif selama
dekomposisi. Menurunnya C/N dapat dicapai karena penurunan bobot serasah akibat
pembakaran karbon. Hal ini didukung oleh Alexander, (1977) yang menjelaskan
bahwa nisbah C/N bahan organik akan menurun dengan waktu dikarenakan lepasnya
karbon, sedang N relatif meningkat. Mikroorganisme menggunakan unsur C untuk
menyusun selnya dengan membebaskan CO2 serta dihasilkan senyawa-senyawa lain
sebagai hasil dekomposisi. Kebutuhan C diambil mikroorganisme dari bahan organik
sehingga selama proses dekomposisi terjadi penurunan persentase C. Hakim et al.,
(1986) menyatakan bahwa proses dekomposisi bahan organik lanjut dicirikan oleh
C/N yang rendah, sedangkan C/N yang tinggi menunjukkan dekomposisi belum
lanjut atau baru mulai.
Gambar 4. Fluktuasi nisbah C/N serasah pada dua jenis klon tanaman karet selama 6
bulan proses dekomposisi
Rao, (1994) menyatakan bahwa nisbah C/N sangat ditentukan oleh bahan
organik yang dapat dengan cepat dimanfaatkan oleh mikroorganisme dekomposer
(perombak) yang dikandung oleh suatu bahan organik. Mikroorganisme perombak
bahan organik ini terdiri atas fungi dan bakteri. Pada kondisi aerob, mikroorganisme
perombak bahan organik terdiri atas fungi, sedangkan pada kondisi anaerob sebagian
besar perombak bahan organik adalah bakteri. Semakin banyak kandungan bahan
organik yang dapat dimanfaatkan maka penurunan nisbah C/N juga semakin cepat.
Kecepatan penurunan kandungan C ini dipengaruhi oleh kandungan oksigen (O2) atau
aerase dan jenis bahan organik yang akan dirombak.
Nisbah C/N merupakan salah satu perubahan untuk mengetahui tingkat
dekomposisi. Kecepatan dekomposisi dapat diamati dari penurunan nisbah C/N.
Nisbah C/N selama proses dekomposisi ini dapat dijadikan acuan keberlangsungan
proses dekomposisi. Faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri dalam penguraian
bahan organik tumbuhan adalah jenis tumbuhan dan iklim. Faktor tumbuhan biasanya
berbentuk sifat fisik dan kimia daun yang tercermin dalam perbandingan antara unsur
karbon dan unsur nitrogen yang dinyatakan sebagai nisbah C/N (Thaiutsa dan
Granger, 1979). Meningkatnya keanekaragaman mikroorganisme mempengaruhi laju
proses dekomposisi dan pola pelepasan unsur hara. Selama proses dekomposisi,
kehilangan masa ditentukan oleh kandungan nitrogen dan nisbah C/N pada subsrat
(Handayani et al., 1999). Nisbah C/N yang tinggi menunjukan tingkat kesulitan
substrat terdekomposisi. Menurut Bross et al., (1995) rasio lignin/N merupakan
indikator yang baik untuk mendeteksi laju kehilangan masa. Selain itu, lignin juga
turut berpengaruh terhadap proses degradasi secara enzimatis pada karbohidrat dan
protein (Mellilo et al., 1982).
G. Fluktuasi Kadar Unsur Hara Serasah Selama Dekomposisi
1. Fluktuasi Nitrogen (N)
Konsentrasi kandungan N pada serasah daun karet selama proses dekomposisi
6 bulan disajikan pada Gambar 5. Bardasarkan Gambar 5 terlihat bahwa kandungan N
mengalami penurunan sampai bulan ketiga pada kedua jenis klon yang ditempatkan
di permukaan tanah dan dikedalaman 10 cm. Dilihat pada bulan keenam kandungan
N mengalami fluktuasi naik dari 0,5 % menjadi 0,6 %. Artinya kandungan N pada
serasah (daun) tidak mengalami proses pelapukan, sehingga kandungan N didalam
serasah (daun) masih terdapat dibagian serasah. Hal yang sama juga terlihat pada
jenis klon PB. Terjadinya fluktuasi kandungan N pada dua jenis klon ini disebabkan
beragamnya kandungan N pada setiap serasah daun karet yang didekomposisi.
Gambar 5. Fluktuasi perubahan konsentrasi N serasah pada dua jenis klon tanaman
karet selama 6 bulan proses dekomposisi.
Terjadinya fluktuasi aktifitas mikroorganisme yang dapat merubah N-organik
menjadi N-anorganik. Peningkatan konsentrasi N juga disebabkan kerena posisi
penempatan yang dilakukan selama proses dekomposisi yang terjadi. Disamping itu
juga disebabkan terjadinya proses mineralisasi yang membebaskan N sehingga N
meningkat pada serasah yang terdekomposisi. (Gaur, 1982 cit Ariani, 2003)
menambahkan bahwa menurunya kadar karbon menyebabkan menyusutnya bahan
serasah, sehingga kosentrasi N semakin meningkat.
2. Fluktuasi Carbon (C)
Dilihat pada Gambar 6 kandungan C mengalami penurunan seiring dengan
serasah daun karet yang mengalami proses dekomposisi. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan C memiliki peran penting sebagai aktivitas mikroorganisme tanah untuk
berkembangbiak. Berdasarkan Gambar 6 kandungan C juga mengalami fluktuasi
terlihat pada kedalaman 10 cm untuk jenis klon BPM dari 28,15 (%) menjadi 13,41
(%). Terjadinya fluktuasi kandungan C pada serasah disebabkan aktifitas
mikroorganisme sebagai perombak berbeda setiap bulannya serta kandungan C pada
setiap masing-masing serasah juga berbeda.
Gambar 6. Fluktuasi perubahan konsentrasi C serasah pada dua jenis klon tanaman
karet selama 6 bulan proses dekomposisi.
3. Fluktuasi Phosphor (P)
Hasil analisis P serasah selama poses dekomposisi disajikan pada Gambar 7.
Berdasarkan Gambar 7 menunjukkan bahwa selama proses dekomposisi pada bulan
pertama hingga terakhir pengamatan kandungan P pada serasah (daun) di perkebunan
karet yang ditanami dua jenis klon keret mengalami fluktuasi. Dilihat pada peletakan
sampel yang dilakukan selama proses dekomposis untuk kedalaman 10 cm pada klon
BPM, kandungan P mengalami fluktuasi naik dari 0,06 % menjadi 0,08 % pada
bulan keenam mengalami penurunan sebesar 0,07 %. Artinya kandungan P dalam
serasah (daun) tidak semuanya mengalami proses dekomposisi, terjadinya fluktuasi
pada kandungan P ini karena berbedanya setiap kandungan P pada serasah (daun)
karet selama dekomposisi dan adanya penumpukan unsur P oleh mikroorganisme.
Gambar 7. Fluktuasi perubahan konsentrasi P serasah pada dua jenis klon tanaman
karet selama 6 bulan proses dekomposisi.
Namun seiring berjalannya proses dekomposisi yang terjadi konsentrasi P
mengalami penurunan. Terlihat pada jenis klon PB penurunan konsentrasi P terjadi
akibat adanya unsur hara P yang dilepaskan kelingkungan lebih besar dari pada
pelepasan serasah daun yang mengalami proses dekomposisi. Pelepasan konsentrasi P
ke lingkungan ini selanjutnya digunakan tumbuhan untuk pertumbuhan. Hal ini
dikemukakan oleh Steinke et al., (1983) hilangnya kandungan unsur hara P pada
serasah yang mengalami proses dekomposisi disebabkan karena proses pencucian.
Sumber P dalam tanah salah satunya adalah pengembalian unsur P melalui
sisa-sisa tumbuhan dan bahan organik lainnya. Dalam tumbuhan P terdapat dalam
bentuk P-organik, kemudian P-organik tersebut dimineralisasi menjadi P-anorganik
yang tersedia bagi tanaman (Sutejo, 2002). Unsur P merupakan komponen utama
asam nukleat, dimana selama proses dekomposisi bahan organik menyumbangkan
unsur P sehingga terjadi penurunan P pada sampel. Sebagian P pada tanah adalah Porganik, dimana ada jasat renik P-organik dimineralisasi menjadi P-anorganik baru
dapat digunakan oleh tanaman. Sumber dari P-organik adalah fitin dan asam nukleat
(Tate, 1987). Kandungan unsur hara P terdapat pada serasah yang mengalami proses
dekomposisi pada beberapa tingkat peletakan sampel yang dilakukan menunjukan
peningkatan dan penurunan dengan cepat. Terjadinya peningkatan kandungan unsur
hara P disebabkan oleh adanya laju dekomposisi yang tinggi menyebabkan pelepasan
unsur hara P lebih besar dari pada pelepasan P ke lingkungan.
4. Fluktuasi Kalium (K)
Selama 8 bulan proses dekomposisi serasah yang dilakukan terlihat
kandungan K mengalami fluktuasi selama proses dekomposisi yang terjadi.
Terjadinya peningkatan ini karena beragamnya kandungan K pada setiap serasah
daun yang didekomposisi. Artinya serasah yang terdekomposisi tidak semua
mengandung unsur K sehingga menyebabkan kandungan K pada serasah meningkat.
Peningkatan K yang tertinggi terjadi pada jenis klon PB dengan nilai 1,15 % dari
semula hanya 0,56 %. Alexander, (1977) menyatakan bahwa mikroorganisme
menggunakan unsur K sebagai pembentuk sel-sel baru meskipun penggunaannya
tidak sebanyak penggunaan karbon. Tingginya kadar K pada serasah juga disebabkan
karena adanya penambahan unsur K dari kanopi tanaman yang tercuci ke bawah
melalui air hujan (Smith, 1982).
mbar 8.
Ga
Fluktuasi perubahan konsentrasi K serasah pada dua jenis klon
tanaman karet selama 6 bulan proses dekomposisi.
Sama halnya dengan N dan P, salah salah satu sumber K dalam tanah adalah
pengembalian K melalui sisa-sisa tumbuhan dan jasad renik. Unsur K yang berasal
dari sisa-sisa tumbuhan dan jasad renik merupakan K yang tersedia bagi tumbuhan
(Sutejo, 2002). Alexander, (1977) menyatakan bahwa sejumlah K dilepaskan selama
proses dekomposisi, kira-kira 2/3 dari total K jaringan tumbuhan tidak mempunyai
ikatan yang kuat dan akan larut dalam air jadi hanya sekitar 1/3 dari jumlah total yang
hilang dari jaringan tumbuhan akibat peranan mikroorganisme yang tinggal pada
tanah.
5. Fluktuasi Kalsium (Ca)
Dekomposisi sisa-sisa tumbuhan merupakan sumber Ca dalam tanah (Sutejo,
2002). Dari Gambar 9 terlihat bahwa kandungan Ca pada serasah daun karet
mengalami penurunan selama 6 bulan dekomposisi. Kandungan Ca pada serasah daun
karet cenderung menurun pada penggunaan lahan sebelum serasah didekomposisi.
Hal ini disebabkan kandungan Ca dapat langsung diambil oleh tanaman selama
proses dekomposisi terjadi. Pada kedalaman 10 cm klon PB mengalami penurunan
dari waktu kewaktu sampai akhir proses dekomposisi. Selain terjadinya pencucian
kandungan Ca juga langsung diambil untuk membentuk jaringan dan pertumbuhan
bagi tanaman. Naiknya fluktuasi yang terjadi pada bulan keenam disebabkan setiap
kandungan Ca berbeda dari serasah (daun) yang terdekomposisi.
Gambar 9. Fluktuasi perubahan konsentrasi Ca serasah pada dua jenis klon tanaman
karet selama 6 bulan proses dekomposisi.
6. Fluktuasi Magnesium (Mg)
Hasil analisis kandungan Mg selama proses dekomposisi, terlihat pada
Gambar 10 kandungan Mg mengalami penurunan. Gambar 10 dapat dilihat bahwa
kandungan Mg mengalami fluktuasi. Dibandingkan dengan serasah sebelum
dekomposisi (Tabel 2) kandungan Mg menurun sampai akhir dekomposisi.
Penurunan kandungan Mg ini disebabkan juga oleh tanaman yang mana tanaman
karet mengambil langsung kandungan Mg dari proses dekomposisi yang terjadi
dipermukaan maupun di dalam tanah.
Gambar 10. Fluktuasi perubahan konsentrasi Mg serasah pada dua jenis klon
tanaman karet selama 6 bulan proses dekomposisi.
H. Potensi N, P, K, Ca, dan Mg yang Dilepaskan ke Sistem Tanah Melalui
Proses Dekomposisi
Selama proses dekomposisi unsur-unsur yang terkandung dalam bahan
organik akan terombak hingga terbentuk senyawa sedarhana dan pada waktunya akan
dilepaskan ke dalam tanah. Berdasarkan terjadinya dekomposisi, dengan hilangnya
sebagian biomassa yang diakibatkan oleh aktifitas mikroorganisme dan perubahan
kandungan hara dalam biomassa, maka dapat dikukuhkan bahwa sebagian biomassa
yang hilang melalui proses dekomposisi akan dikembalikan ke tanah dan sebagian
dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Pada Gambar 11 disajikan hasil perhitungan
potensi hara yang kembali ke tanah setelah proses dekomposisi.
Gambar 11. Potensi hara yang dilepaskan ke sistem tanah dari dua penempatan
serasah selama 6 bulan.
Potensi N yang dilepaskan ke tanah sangat beragam melihat posisi
peletakannya. Pada posisi peletakan serasah pada permukaan tanah selama proses
dekomposisi, pelepasan N ke sistem tanah sebesar 4,119 kg N/ton biomassa pada
jenis klon PB, sedangkan pada klon BPM 5,919 kg N/ton biomassa. Namun pada
posisi peletakan serasah daun pada kedalaman 10 cm, potensi N yang di lepaskan ke
sistem tanah mengalami peningkatan sebesar 5,933 kg N/ton biomassa. Artinya pada
kedalaman 10 cm aktifitas mikroorganisme sangat aktif sehingga pelepasan potensi N
ke sistem tanah cukup besar. Hal yang sama juga ditunjukkan pada jenis klon BPM.
Penurunan berat serasah juga dapat dilihat dari kecepatan dekomposisi yang
terjadi pada serasah dari jenis klon BPM dibandingkan dengan jenis klon PB.
Fluktuasi konsentrasi hara pada kecepatan dekomposisi tidak konsisten. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan aktivitas mikrooranisme. Selain itu juga
disebabkan karena tingginya kandungan lignin serasah pada klon PB, sehingga N
serasah pada jenis klon PB menjadi tidak dibebaskan akibat N yang tidak bereaksi
dengan lignin lebih banyak. Hakim et al., (1986) menyatakan dekomposisi protein
selain menghasilkan CO2 dan air juga menghasilkan amida, asam amino, ammonium
dan nitrat. Sebagian digunakan sebagai pembentuk tubuh jasat mikro, sebagian lagi
dari N bereaksi dengan lignin dan senyawa resisten lainnya.
Berdasarkan Gambar 11 potensi P yang dilepaskan ke sistem tanah untuk
kedua jenis klon PB dan BPM sangat rendah dibanding dengan potensi N, K, Ca dan
Mg. Pada peletakan masing-masing kedua jenis klon tanaman karet selama proses
dekomposisi, hanya pada kedalaman 10 cm yang besar melepaskan P ke sistem tanah
yaitu sebesar 0,452 kg/ton biomassa untuk klon PB dan 0,652 kg/ton biomassa pada
klon BPM. Penurunan unsur hara P pada serasah diperkirakan adanya unsur hara P
yang lepas kelingkungan lebih besar yang selanjutnya digunakan tumbuhan untuk
pertumbuhan. Polglase et al., (1992) menyatakan bahwa pelepasan P utamanya
melalui pencucian langsung dan melalui aktivitas mikroba.
Hal yang sama juga ditunjukkan pada kadungan K. Berdasarkan Gambar 11
yang disajikan dapat dilihat bahwa potensi K yang dilepaskan ke sistem tanah juga
terdapat pada jenis klon BPM dengan kedalaman 10 cm sebesar 5,476 kg K/ton
biomassa dan pada klon PB sebesar 4,105 kg K/ton biomassa. Rogers, (2002) dan
Chuyong et al., (2002) menyatakan bahwa kalium adalah hara yang sangat mobil baik
ditanaman maupun tanah dan sangat mudah tercuci. Dezzeo et al., (1998)
menambahkan bahwa pencucian hara K umumnya terjadi pada serasah yang
mengalami pelapukan dan didukung mikroba pendekomposisi.
Total pelepasan kadar Ca ke sistem tanah selama proses dekomposisi pada
jenis klon PB meningkat dibanding dengan jenis klon BPM. Dilihat pada posisi
penempatan dekomposisi dengan kedalaman 10 cm, potensi Ca yang dilepaskan ke
sistem tanah pada jenis klon PB lebih besar 6,027 kg Ca/ton biomassa dibanding
dengan klon BPM. Hal ini menandakan bahwa kandungan Ca lebih banyak terdapat
pada klon PB. Cuevas and Logu (1998) berpendapat bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi laju pelepasan kalsium dari serasah ketika terjadi kontak dengan akar
halus, ini berarti bahwa mekanisasi pelepasan kalsium difasilitasi oleh akar halus
yang beasosiasi dengan mikroorganisme. Kalsium mempunyai peranan penting dalam
tanaman yaitu sebagai komponen struktur dinding sel dan terikat kuat (Ribeiro et al.,
2002). Sebagai akibatnya, kalsium tidak mudah tercuci (Attiwil, 1967 cit Dezzeo et
al., 1998).
Berdasarkan hasil perhitungan pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa potensi
Mg pada jenis klon PB lebih tinggi terhadap pelepasan ke sistem tanah dibanding
dengan klon BPM. Potensi Mg yang tinggi dilepas terdapat pada kedalaman 10 cm
yaitu 11,548 kg/ton biomassa untuk klon PB dan 8,688 kg/ton biomassa pada klon
BPM. Dilihat dari fungsi Mg dalam tanaman, kadar Mg dapat membentuk klorofil
dan sebagai sistem enzim atau aktifator (Hardjwigeno, 2010).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kehilangan bobot serasah dan kecepatan dekomposisi lebih cepat terjadi pada
kedalaman 10 cm untuk kedua jenis klon karet yang ditanam yaitu klon PB dan
BPM, dan koefisien kecepatan dekomposis (k) terbesar terdapat pada jenis klon
BPM dengan nilai 0,318 dan pada jenis klon PB 0,201. Sedang untuk kehilangan
bobot dan kecepatan dekomposisi untuk klon BPM dan PB yang ditempatkan di
atas permukaan tanah cenderung lebih lambat dibanding dengan yang
ditempatkan pada kedalaman 10 cm.
2. Potensi unsur hara yang dilepaskan ke sistem tanah berdasarkan dari posisi
penempatan selama 6 bulan proses dekomposisi terlihat bahwa dalam 1 ton berat
kering serasah (biomas) untuk dua jenis klon yang ditanam pada klon BPM
mempunyai potensi 5,919 kg N, 0,564 kg P, 3,077 kg K, 4,625 kg Ca, dan 7,153
kg Mg (di atas permukaan tanah) dan 7,566 kg N, 0,652 kg P, 5,476 kg K, 5,670
kg Ca dan 8,688 kg Mg (di kedalaman 10 cm). Sementara pada jenis klon PB
4,119 kg N, 0,357 kg P, 1,305 kg K, 4,861 kg Ca dan 9,239 kg Mg (di atas
permukaan tanah) dan 5,933 kg N, 0,452 kg P, 4,105 kg K, 6,027 kg Ca dan
11,548 kg Mg (di kedalaman 10 cm).
B. Saran
Untuk mengetahui dinamika unsur hara pada lahan perkebunan karet dalam suatu
ekosistem, kajian dekomposisi bahan-bahan serasah sampai terdekomposisi secara
sempurna perlu banyak waktu dilakukan. Sedangkan untuk meningkatkan potensi
aliran hara ke sistem tanah maka dapat dilakukan pembenaman serasah agar proses
dekomposisi cepat langsung terjadi.
RINGKASAN
Kabupaten Dharmasraya merupakan satu dari wilayah Indonesia penghasil
karet di Sumatera Barat. Karet merupakan komoditas unggulan di Kabupaten
Dharmasraya yang umumnya diusahakan oleh rakyat. Animo masyarakat dewasa ini
dalam membuka kebun karet baru (peremajaan kebun karet) cukup tinggi, antara lain
disebabkan oleh membaiknya harga karet di tingkat petani. Seiring naiknya harga
ekspor karet, pada tahun 2011 harga karet (lateks) naik mencapai 24.000 rupiah/kg,
dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya harga karet (lateks) ditingkat petani
hanya berkisar 10.000 sampai 15.000 rupiah/kg.
Produktivitas kebun yang diolah oleh pengusaha kecil/petani sekitar 30%
lebih rendah dari perkebunan swasta besar/BUMN. Hal ini mempunyai dampak pada
profitabilitas dari rantai nilai perkebunan secara keseluruhan. Pada tahun 2011
produktivitas kebun karet rakyat baru mencapai 926 kg/ha/tahun bila dibandingkan
dengan perkebunan negara telah mencapai 1.327 kg/ha/tahun dan perkebunan besar
swasta mencapai 1.565 kg/ha/tahun. Dilihat dari sisi usaha budidaya tanaman karet,
banyak petani karet tidak melakukan pemupukan, hal ini disebabkan oleh besarnya
biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pemupukan pada tanaman karet, sementara
output yang dihasilkan tidak seimbang dengan input yang diberikan. Disamping itu
petani hanya mengandalkan pemupukan yang terjadi secara alami yaitu jatuhan
serasah yang terakumulasi di permukaan tanah kemudian mengalami dekomposisi.
Dekomposisi didefinisikan sebagai proses biokimia yang didalammya
terdapat bermacam-macam kelompok mikroorganisme yang mendekomposisi bahan
organik menjadi humus. Dekomposisi bahan organik merupakan pelapukan secara
fisik dan kimia dari serasah dan mengalami proses mineralisasi hara. Setelah
terdekomposisi, unsur hara dalam bahan organik diubah menjadi bentuk yang tersedia
bagi tumbuhan. Dilihat dari potensi litterfall pada kebun karet rakyat dan berapa lama
proses dekomposisi yang terjadi serta potensi hara yang disumbangkan tinggi maka
penulis telah melakukan penelitian dengan judul “Dinamika Litterfall dan Kecepatan
Dekomposisi Serasah pada Agroekosistem Perkebunan Karet di Kabupaten
Dharmasraya”. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengukur kecepatan
dekomposisi serasah pada perkebunan karet dan mengetahui potensi unsur hara yang
dikembalikan ke sistem tanah melalui proses dekomposisi pada perkebunan karet.
Manfaat dari penelitian ini adalah Memberikan informasi pengetahuan berupa data
ilmiah selama dekomposisi serasah yang terjadi dan memberikan informasi mengenai
potensi unsur hara yang dikembalikan ke sistem tanah, sehingga menjadi pedoman
dalam rekomendasi pemupukan yang tepat pada perkebunan karet selanjutnya.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2013
yang berlokasi di Nagari Gunung Medan Kecamatan Sitiung, Kabupaten
Dharmasraya, yaitu pada kawasan perkebunan karet rakyat dan analisis tanaman
dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian dan Jurusan Teknik
Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Andalas. Penelitian ini dilakukan dengan
pengambilan sampel serasah awal yaitu dengan mal (pipa kecil dengan ukuran 50 cm
x 50 cm). Kemudian serasah tersebut ditimbang dan dimasukkan kedalam litterbag.
Setiap sebulan sekali sampel litterbag diambil beserta yang terdapat di dalam
littertrap selama kurung waktu 6 bulan penelitian. Di laboratorium serasah ditimbang
tiap bulan dan setelah itu di analisis kandungan haranya, untuk analisis kandungan
hara pada serasah daun karet tidak dilakukan perbulan melainkan hanya di analisis di
bulan-bulan tertentu saja.
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa Kehilangan bobot serasah
dan kecepatan dekomposisi lebih cepat terjadi pada kedalaman 10 cm dengan kedua
jenis klon karet yang ditanam yaitu klon PB dan BPM, dan koefisien kecepatan
dekomposis (k) terbesar terdapat pada jenis klon BPM dengan nilai 0,318 dan pada
jenis klon PB 0,201. Sedang untuk kehilangan bobot dan kecepatan dekomposisi
untuk klon BPM dan PB yang ditempatkan di atas permukaan tanah cenderung lebih
lambat dibanding dengan yang ditempatkan pada kedalaman 10 cm.
Potensi unsur hara yang dilepaskan ke sistem tanah berdasarkan dari posisi
penempatan selama 6 bulan proses dekomposisi terlihat bahwa dalam 1 ton berat
kering serasah (biomas) untuk dua jenis klon yang ditanam pada klon BPM
mempunyai potensi 5,919 kg N, 0,564 kg P, 3,077 kg K, 4,625 kg Ca, dan 7,153 kg
Mg (di atas permukaan tanah) dan 7,566 kg N, 0,652 kg P, 5,476 kg K, 5,670 kg Ca
dan 8,688 kg Mg (di kedalaman 10 cm). Sementara pada jenis klon PB 4,119 kg N,
0,357 kg P, 1,305 kg K, 4,861 kg Ca dan 9,239 kg Mg (di atas permukaan tanah) dan
5,933 kg N, 0,452 kg P, 4,105 kg K, 6,027 kg Ca dan 11,548 kg Mg (di kedalaman 10
cm).
Untuk mengetahui dinamika unsur hara pada lahan perkebunan karet dalam
suatu ekosistem, kajian dekomposisi bahan-bahan serasah sampai terdekomposisi
secara sempurna perlu banyak waktu dilakukan. Sedangkan untuk meningkatkan
potensi aliran hara ke sistem tanah maka dapat dilakukan pembenaman serasah agar
proses dekomposisi cepat langsung terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Aflizar. 2003. Serasah dan Karakteristik Fisika dan Unsur Hara dalam Tanah Hutan
Hujan Tropis Supebasah di Pinang-pinang. Tesis Pasca Sarjana Pertanian
Universitas. Padang. Hal 141
Alexander, Z. 1997. Introduction to Soil Microbiology. Cornell University. New
york. 466 pp.
Ariani, S. 2003. Peranan Tricoderma Harziamum Terhadap Kecepatan Dekomposisi
Berbagai Sumber Bahan Organik dan Kualitas Kompos yang Dihasilkannya.
Skripsi Sarjana Pertanian Universitas Andalas. Padang. Hal 50
Azwar, R., N. Alwi, dan Sunarwidi. 1989. Kajian komoditas dalam pembangunan
hutan tanaman industri. Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet, Medan,
28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan. Hal
131−155
Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Daerah Kabupaten Dharmasraya. Geografi dan
Iklim. Padang. Hal 1 dan 9
Bross, E., M. A. Gold dan P. N. Nguyen. 1995. Quolity and Decomposition of Black
locust (Ronina pseudoacacia) and Alfalfa (Medicago sativa) Mulch for
Temperete Alley Cropping Systems. Agroforesty System. 29: 255-264 pp.
Chesson, A. 1981. Effects of sodium hydroxide on cereal straws in relation to the
enhanced degradation of structural polysaccharides by rumen
microorganisms. J. Sci. Food Agric. 32:745-758 pp.
Choyong, G, B., Newbery, D, M., and Songwe, N. C. 2002. Litter breakdown and
Mineralization in a cental African rain forest dominated by ectomycorrhizal
tress. Biogeochemistry, 61: 73-94 pp.
Cuevas, E., and Logu, A, E. 1998. Dynamics of organic matter and nutrient return
from litterfall in stands of ten tropical tree plantation species. Forest Ecology
and Management, 112: 263-276 pp.
Darmanto, D. 2003. Produktivitas dan Model Pendugaan Dekomposisi Serasah pada
Tegakan Agathis (Agathis lorantifolia Salisb.), Puspa (Schima wallichii (D.C.
Korth.) dan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese.) di Sub Das Cipeureu
Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Skripsi. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Hal 89
Dezzeo, N., Herrera, R., Escalante, G., and Brieno, E. 1998. Mass and nutrient loss of
fresh plant biomass in small black-water tribitary of caura river, Venezuelan
Guayana. Biogeochemistru, 43: 197-210 pp.
Ditjenbun. 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan.
Pedoman Teknis Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun). Jakarta. Hal 3
Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. (Terjemahan dari Element of
Tropical Ecology). Penerbit IPB. Bandung. Hal 46
Eliza. 2007. Bahan Organik Tanah. ”Http://www.ugm.ac.id (22 januari 2013)
Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Purbayanti, E. D., Dwi, R.L., Rahayuning,
T., penerjemah. Yogyakarta. UGM Press. Terjemahan dari Fundamental of
Soil Science. Hal 728
Gaur, A. C. 1986. A Manual of Rular Composting Food and Agriculture Organization
of United Nations. New Delhi.
Goenadi, D. H. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit di
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian Republik Indonesia. Hal 18
Hakim, Nurhayati; M. Y. Nyakpa; A. M. Lubis; S. G. Nugroho; M. R saul; M. A.
Diha; G. B. Hong dan Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas
Lampung. Lampung. Hal 488
Handayani, I. P., P. Prawito dan P. Lestari. 1999. Daya Suplai Nitrogen dan
Fraksionasi Pool Carbon-Nitrogen Labil pada Lahan Kritis. Laporan
Kemajuan Riset Unggulan Terpadu VII Tahun I, LiPi – L Penelitian UNIB
Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta. Akademika Presindo. Hal 24
Hermansah., Masunaga. T., Wakatsuki, and Aflizar. 2003. Micro Spatial Sumatera
Distribution Pattern of Littefall and Nutrient flux in Relation to Soil Chemical
Properties in a Super Wet Tropical Rain Forest Plot, West Sumatra, Indonesia.
Tropics 12 (2). The Japan Society of Tropical Ecology. Japan.
Hermansah., R., Mayerni, Irwan dan T., Wakatsuki. 2012. Peningkatan Produktivitas
Karet dan Kualitas Tanah Melalui Kajian Siklus Hara dan Penambahan
Biocharkoal Di Sumatera Barat. Artikel ilmiah. Padang. Hal 2-11
Hotta, M, R. Tamin. 1984. Flora of Gunung Gadut Area. Forests Ecology and Flora
of Gunung Gadut West Sumatera Nature Study. Pp10-14 pp
Indraty, I.S. 2005. Tanaman karet menyelamatkan kehidupan dari ancaman
karbondioksida. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(5): 10−12
pp.
Janaludheen, V. dan B. M., Kumar. 1998. Litter of Multipurpose Thees in Kerala,
India; Variation in The Amount, Quality, Decay Rates and Release of
Nutrients. Jurnal of Forest Ecology and Management. India. 1 – 11 pp.
Kanonova, M. M. 1996. Soil Organic Matter: it’s Nature, it’s Role in Soil Formation
and Soil Fertility. Second edition. Pergamon Press. New York
Madjid Abdul. 2007. Bahan Organik Tanah. 20:25 “http:// dasar-dasar ilmu tanah
.Com /2007 /11 / bahan-organik-tanah.html ( 18 Februari 2013)
Melillo, J. M., Naiman, R. J., Aber, J. P., dan Linkis, A. E. 1984. Factor Controlling
Mass Lose and N Dynamic of Plant Litter Decaying in Northern Stream.
Bull. Mar. Science. 35: 341-356 pp.
Muhsanati. 2011. Lingkungan Fisik Tumbuhan dan Agroekosistem. Andalas
University Press. Padang. Hal 117
Nasoetion, A. H. 1990. Pengantar Ilmu Pertanian. Untuk Mahasiswa Baru. Institut
Pertanian Bogor. Tahun Ajaran 2000/2001. Litera Antar Nusa. Hal 26
Nazaruddin dan Paimi, F. B. 2006. Karet, Strategi pemasaran tahun 2000. Budidaya
dan Pengolahan. Jakarta. Penebar Semangat. Hal 34
Nuraini, Y. 1990. Dekomposisi beberapa tanaman penutup tanah dan pengaruhnya
terhadap sifat-sifat tanah, serta pertumbuhan dan produksi jagung pada ultisol
Lampung. [Thesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
104 hal
Olson, J. S. 1963. Energy Storage and Balance of Producers and Decomposers in
Ecological Systems. Ecology 44, 323-346 pp.
Polglase, P. J. Jokele, E. J. And Comerford, N. B. 1992. Nitrogen And Phosphorus
Release From Decomposing Needles of Southern pine Plantations. Soil
Science Society of America journal, 56: 914-920 pp.
Rao, N. S. S. 1994. Biofertilizer in agriculture. Of Ford and IBH Publishing Co. New
Delhi. Bombay, Culcuta pp.
Ribeiro, C., Madeira, M., and Araujo, M. C. 2002. Decomposition and nutrient
release from leaf litter of Eucalyptus globulus grown under different water
and nutrient regimes. Forest Ecology and Management, 171: 31-41 pp.
Rogers, H. M. 2002. Litterfall Decomposition and Nutrient Release in a Lawland
Tropical Rain Forest, Morobe Province, Papua New Guinea. Journal of
Tropical Ecology, 18: 449-456 pp.
Sanchez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika jilid 2. Amir, H. ITB.
Bandung. Terjemahan dari : Properties and Management of Soil in the Tropic.
Hal 57
Santoso, D., Suwarto dan Sri. E.A. 1983. Penuntun Analisis Tanaman. Pusat
Penelitian dan Bogor. Hal 47
Smith, OC. 1982. Soil Mikroboilogy a model of decomposition and nutrient cycling
Crc Press Inc Bocabaron. Florida. 273 pp.
Soedarsono, Joedoro. 1981. Mikrobiologi Tanah. Departemen Mikrobiologi Fakultas
Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hal 140 dan 105
Spur, S. H dan Burton V. B. 1980. Forest ecology (Third Edition). Krieger Publishing
Company. Florida. 687 pp.
Steinke, T, D., G. Naidoo dan L. M. Charles. 1983. Degradation of Mangrove leaf
litter and stein Tissues in situ in megeni Estuary. South Africa. In Teas, H. J.
(ed): Tosk For Vegetation Science. 8: 141-149 pp.
Sundarapandian, S. M, P.S. Swamy. 1999. Litter Production and Litter
Decomposition of Selected Tress Spesies in Tropical Forest at Kodayarin The
Westhern Ghats India. Forest Ecologi and Management 123 pp 231 – 244 pp.
Sutejo, Mulyadni. 2002. Pupuk dan cara pemupukan. Rinaka Cipta. Jakarta. 177 hal
Tate, Robert L. 1987. Soil organic matter biological and ecological effect. 285p
Thaiutsa, B., dan O. Granger. 1979. Climate and Decomposition Rate of Tropical
Forest Litter. UNASYLVA. 31: 28-35 pp.
Users, W. 1999. Tree Bark Nutritional Characteristic in Tropical Rain Forest West
Sumatera, Indonesia. Master Thesis. Shimane University. Japan. 36-49 pp.
Utomo. 1994. Dekomposisi Bahan organik. ”Http://www.ugm.ac.id (1 februari 2013)
Yoneda, T. P. Tamin, K. Ogino. 1984. Accumulation and Decomposition of Litter on
The Forest Floor. Forest Ecologi and Flora of Gunung Gadut West Sumatera.
Sumatera Nature Study. 38-48 pp.
Lampiran 1. Jadwal kegiatan penelitian
N
O
1
2
3
4
5
6
7
8
jadwal penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2013
Bulan
Mar
Agustus
Kegiatan
April
Mei
Juni
Juli
et
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Tahap
X
persiapan
Pengama
tan
jatuhan
X
X
X
X
X
serasah
(litterfal)
Pengump
ulan
X
sarasah
Pemasan
gan
X
litterbag
Pengamb
ilan
X
X
X
X
X
serasah
litterbag
Analisis
laborator
X X X X X X X X X X X X X X X X X
ium
Analisis
X X X X X X X X
data
Penulisa
n skripsi
Septemb
er
1 2 3 4
X
X
X X X X
X X X X
X X X X
Lampiran 2. Bahan kimia yang digunakan di Laboratorium
No.
Nama Bahan
Jumlah
Satuan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Aquadest
Ammonium molibdat
Asam sulfat pekat
Asam borat
Asam askorbat
Hydrogen piroksida 30 %
Indikator cownway
Kalium antimonil tatrat
Karborandum
Larutan standar campuran dalam H2SO4 5 N
Natrium Hidroksida 30 % (N tanaman)
Kertas saring
80
4
300
30
30
500
2
0.42
40
550
500
8
L
g
mℓ
g
g
mℓ
mℓ
g
butir
mℓ
mℓ
kotak
Lampiran 3. Alat yang digunakan di lapangan dan Laboratorium
No.
Nama alat
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
AAS
Alat tulis
Ayakan 2 mm
Meteran
Botol semprot
Buret 50 ml
parang
Corong
Erlenmeyer 250 ml
Gelas piala 250 ml
kantong plastik
Kertas label
Kertas saring
Kertas tissue
Kuvet
Labu ukur 100 ml
Labu ukur 200 ml
Mesin pengocok
Oven
mesin grinder
pipet godok 10 ml
pipet godok 25 ml
Pipet tetes
Sentrifus
Spektrofotometer
Tabung film
Timbangan analitik
Littertrap
Alat destilasi
Alat destruksi
Litterbag
Alat penancap
Amplop
Pisau karter
karborandum
1 unit
1 unit
1 buah
1 buah
1 buah
1 buah
1 buah
15 buah
12 buah
12 buah
50 buah
3 set
2 kotak
3 gulung
1 buah
10 buah
10 buah
1 unit
1 unit
1 unit
1 buah
1 buah
2 buah
1 unit
1 buah
50 buah
1 unit
24 buah
1 unit
1 unit
72 unit
36 unit
72 unit
1 buah
50 butir
Lampiran 4. Prosedur Analisis Tanaman di Laboratorium
1. Penetapan Kadar Air (Balai Penelitian Tanah, 2005)
Sampel serasah ditimbang lalu dimasukan pada suhu 60 0C selama 48 jam dan
timbang lagi berat keringnya, kemudian ditentukan kadar airnya.
Perhitungan :
KA
= Berat Basah – Berat Kering x 100 %
Berat Kering
KKA = 1 + KA
2. Pembuatan ekstrak tanaman (Santoso et al, 1983)
a. Bahan : H2SO4 pekat H2O2 30 %
b. Cara Kerja :
Sebanyak 0,25 g sampel daun tanaman yang telah halus dimasukkan ke dalam
labu didih ukur 50 ml, ditambah 2,5 ml H2SO4 pekat dan kira-kira 25 mg batu
didih karborandum, lalu biarkan semalam untuk menghindari pembuihan yang
berlebihan. Keesokan harinya dipanaskan selama 15 menit di atas penangas
listrik, semula pada suhu rendah kemudian suhu dinaikkan sedikit demi
sedikit hingga ± 150º C. Setelah kira-kira 30 menit ditambahkan 5 tetes
Hyidrogen Perioksida 30 % (H2O2 30 %), dalam selang waktu 10 menit.
Pemberian H2O2 dilakukan berulang-ulang hingga cairan dalam labu ukur
menjadi jernih. Selanjutkan dipanaskan pada suhu kira-kira 250º C, sampai
cairan yang tertinggal ± 2,5 ml. Reaksi yang mungkin timbul pada waktu
pemberian Hydrogen Perioaksida dapat dihindari dengan pendingin labu di
udara, sebelum penambahan H2O2. Setelah didinginkan diencerkan dengan air
suling sampai tanda garis, disaring dan saringan ditampung dengan
Erlenmeyer 100 ml. Cairan ini dinamakan cairan destruksi pekat dari cairan
ini ditetapkan Nitrogen. Cairan destruksi pekat dipipet ke dalam labu ukuran
50 ml dan diencerkan dengan air suling hingga tanda garis. Cairan ini
dinamakan cairan destruksi encer yang digunakan untuk penetapan P, K,
Cadan Mg tanaman.
3. Penetapan Fosfor (P) tanaman (Santoso et al, 1983)
a. Bahan : asam sulfat 5 N, ammonium molibdat 4 %, kalium antimonil
tartrat, asam askorbat 0,1 N, asam sulfat 0,15 N dan larutan
standard 1000 ppm P
b. Cara kerja :
Pipet cairan destruksi encer sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung
erlenmeyer 50 ml. Untuk penetapan deret standard P, dipipet masing-masing 5
ml deret standard P ke dalam erlenmeyer 50 ml. Deret standard yang
mengandung 0 ppm P yang digunakan untuk meneyetel titik 100% T pada
kalorimeter. Ditambahkan 20 ml campuran pereaksi P dan dikocok. Setelah
15 menit dengan kalorimeter filter 693 mμ dan kuvet 1 cm. Deret standard P
digunakan sebagai pembanding P dan sampel. Mula-mula diukur deret
standard P kemudian baru contoh. T (Transmitance) dibaca pada kolorimeter.
Perhitungan :
%P
= 0,2 x ppm dari kurva setelah koreksi blanko x KKA
Serapan P
= % P x berat kering tanaman ( kg/petak )
4. Penetapan K, Ca dan Mg tanaman dengan metode destruksi basah (Santoso
et al, 1983)
a. Bahan : Deret standard campuran dalam H2SO4 0,15 N
b. Cara kerja :
Dari destruksi encer pada point 1, kadar K diukur dengan AAS dengan berat
standard campuran yaitu 1, 2, 3, 4, 7, 12 ppm.. untuk penetapan Ca dan Mg
dilakukan dengan cara yang sama.
Perhitungan :
K
= 0,2 x ppm K dari kurva setelah dikoreksi blanko x KKA
Ca
= 0,2 x ppm Ca dari kurva setelah dikoreksi blanko x KKA
Mg = 0,2 x ppm Mg dari kurva setelah dikoreksi blanko x KKA
5. Penetapan N-total tanaman dengan Metode Kjeldahl (Santoso et al, 1983)
a. Bahan : H2SO4 pekat, H2O2 35%, H3BO3 4%, Indikator Conway, H2SO4
0,05 N, NaOH 30%, karborandum, serbuk selenium.
b. Cara kerja :
Ditimbang 250 mg daun tanaman yang telah dihaluskan, dimasukkan dalam
labu Kjeldahl. Ditambahkan 2,5 ml asam sulfat pekat, dan tambahkan
karborandum dan diamkan semalam untuk menghindari pembuihan.
Keesokan harinya campuran tersebut didestruksi diatas tungku listrik dalam
lemari asam dengan api kecil selama 15 menit, kemudian naikkan suhu sedikit
demi sedikit hingga 150ºC. Setelah kira-kira 30 menit, tambahkan H2O2 35%
sebanyak 5 tetes dalm selang waktu 10 menit sampai larutan jernih. Setelah
itu dipanaskan pada suhu kira-kira 250º sampai cairan tertinggal 2,5 ml, reksi
zat yang mungkin timbul pada waktu pemberian hydrogen peroksida dapat
dihindari dengan pendinginan terlebih dahulu. Setelah destruksi selesai dan
dingin, ditambahkan aquadest sampai tanda garis. Ekstrak dikocok dan
disaring ke dalam labu ukur 50 ml. Larutan ini dinamakan ekstrak sulfat dan
digunakan untuk penetapan N total. Di pipet 5 ml larutan ekstrak pekat dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu encerkan sampai tanda garis.
Larutan ini dinamakan larutan encer yang digunakan untuk penetapan P, K,
dan Ca bahan daun tanaman. Sebanyak 20 ml ( 100 mg ) larutan ekstrak pekat
dimasukkan ke dalam labu didih dan diencerkan dengan aquadest sampai 60
ml. Kemudian ditambahkan 15 ml NaOH 30% dan labu didih segera
dihubungkan dengan alat penyulingan. Lakukan destilasi selama 15 menit.
Hasil destilasi ditampung dengan 20 ml asam borak 4% dan tambahkan 3 tetes
indikator Conway. Amoniak yang tersuling dititar dengan H2SO4 0,05 N
sampai perubahan warna hijau menjadi merah.
Perhitungan :
N total (%) = H2SO4 (contoh – blanko ) x N H2SO4 x 14 x 100 x KKA
mg berat contoh (100 mg)
6. Penetapan C-total tanaman dengan metoda pengabuan kering (Santoso, et al
1983)
a. Bahan: Sampel serasah
b. Cara kerja
Sebanyak 5 g sampel yang telah dikering anginkan, di ovenkan selama 48 jam
pada suhu 65 0C untuk menguapkan kadar air. Kemudian ditimbang beratnya
(X g) dimasukkan kedalam furnace selama 4 jam pada suhu 500 0C untuk
diabukan. Setelah itu dimasukan kedalam eksikator selama 1 jam, kemudian
ditimbang (B g).
Perhitungan :
Abu
= ( berat cawan + abu ) – berat cawan
% Abu
= __ Abu___ x 100%
X
Bahan organik
= (100 – % abu )
C-organik
= Bahan organik / 1.724
7. Penetapan kadar lignin (Chesson, 1981)
a. Bahan :
Dalam analisis kadar lignin bahan diperlakukan dengan asam mineral kuat sehingga
polisakarida menjadi larut akibat hidrolisa. Lignin dalam proses ini tidak dirusak dan
dapat ditentukan sebagai bahan yang tidak larut.
b. Cara kerja :
Sebanyak 1 g serbuk serat di timbang dan dikeringkan pada suhu 150 0C
selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam eksikator sampel ditimbang lagi
dan dikeringkan sampai berat konstan (A). Dari proses tersebut dapat
ditentukan kadar air. Sampel lainnya sebanyak 1 g dimasukan ke dalam
wadah ekstraksi, ditutup dengan kapas (rapat) dan diekstrasi dengan Etanol
dan Hexana selama 6 jam (1:1). Dengan bantuan pompa vakum maka larutan
dipisahkan dari sampel dan Benzena yang masih tersisa dicuci dengan 50 ml
Etnol murni. Sampel dipisahkan secara kuantitatif ke dalam gelas piala dan
dengan 400 ml air panas disiram, ditaruh di atas penangas air salama 3 jam.
Sampel selanjutnya disaring dengan saringan gelas, dicuci dengan 100 ml air
panas, kemudian dengan 50 ml Etanol dan dibiarkan kering udara. Sampel
dimasukkan kedalam gelas piala kecil dengan hati-hati sambil diaduk
ditambahkan dengan 15 ml H2SO4 72 % (suhu 12-150C). Diaduk sempurna
paling kurang 1 menit. Sampel dipindahkan kedalam Erlenmeyer asah ukuran
1 liter, sering diaduk dengan gelas pengaduk (suhu 18-20oC). Sampel
dipisahkan ke dalam Erlenmeyer asah dengan ukuran 1 liter dengan bantuan
560 ml aquades sehingga konsentrasi asah menjadi 3%. Erlenmeyer
dihubungkan dengan pendingin lalu dimasak selama 4 jam. Setelah itu
dibiarkan mengendap lalu disaring melalui gelas penyaring (terlebih dahulu
ditimbang dalam gelas timbang), dicuci dengan 500 ml air panas sehingga
bebas asam, keringkan selama 2 jam pada suhu 1050C, dinginkan eksikator
dan timbangkan dalam gelas timbang. Pengeringan dilanjutkan hingga berat
konstan. Kadar lignin dapat dihitung berdasarkan berat sisa (bagian yang
tertinggal setelah perlakun hidrolisa terhadap berat kering serat yang tidak di
ekstraksi) = B.
Kadar lignin = A/B x 100 %
Dimana : A = Berat bagian yang tertinggal setelah di hidrolisa
B = Berat kering serat yang tidak di ekstraksi
Lampiran 5. Data curah hujan Kecamatan Sitiung Kabupaten Dharmasraya
Januari – Desember 2013
Curah Hujan (mm)
Bulan
2011
2012
2013
Januari
236
77
254
Februari
109
539
283
Maret
290
103
158
April
321
168
159
Mai
58
82
144
Juni
217
65
98
Juli
82
231
37
Agustus
151
65
28
September
83
230
258
Oktober
372
238
296
November
383
371
326
Desember
481
335
417
Total
2783
2504
2460
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kabupaten Dharmasraya 2013
Lampiran 6. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah
Sifat Kimia Tanah*)
Nilai
Sangat
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sangat
tinggi
N – total (%)
< 0,1
0,1 – 0,2
0,21 – 0,5
0,51 – 0,75
> 0,75
C-organik (%)
<1
1–2
2,01 – 3
3,01 – 5
>5,01
P-tersedia (ppm)
<5
5 – 14
15 - 39
40 - 60
>60
Ca-dd (me/100g)
<2,0
2,1 – 5,0
6 – 10
11 - 20
>20
Mg-dd (me/100g)
<0,3
0,4 – 1,0
1,1 – 3,0
3,1 – 8
>8,0
K-dd (me/100g)
<0,1
0,1 – 0,3
0,4 – 0,5
0,8 – 1,0
>1,0
Na-dd (me/100g)
<0,10
0,1 – 0,3
0,4 – 0,7
0,8 – 1,0
>1,0
Kej Al (%)
<10
10 – 20
21 – 30
31 – 60
>61
Kejenuhan Basa (%)
<20
20 – 35
36 – 50
51 – 70
>70
KTK (me/100g)
<5
5 – 10
17 - 29
25 - 40
>40
Nilai
Sifat Kimia Tanah
Sangat
Masam
Masam
pH (H2O)
< 4,5
Agak
Netral
Masam
4,5 –5,5
5,6 – 6,5
Agak
Basa
Alkalis
6,6 – 7,5
Sumber : Staf Pusat Penelitian Tanah (1983; cit Hardjowigeno, 2010)
7,6 – 8,5
> 8,5
Download