kadar seng serum rendah sebagai faktor risiko

advertisement
1
TESIS
KADAR SENG SERUM RENDAH SEBAGAI FAKTOR
RISIKO PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK
KADEK WINI MARDEWI
NIM 0914018108
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
2
KADAR SENG SERUM RENDAH SEBAGAI FAKTOR
RISIKO PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada
Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
KADEK WINI MARDEWI
NIM 0914018108
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
3
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 4 PEBRUARI 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A(K)
NIP. 19620610 198803 1 004
dr. Eka Gunawijaya, Sp.A(K)
NIP.19681218 199803 1 010
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof.DR.dr.Wimpie Pangkahila,Sp.And,FAACS Prof.DR.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 194612131971071001
NIP. 195902151985102001
4
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 4 Pebruari 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No : 0200/UN14.4/HK/2014, Tanggal 27 Januari 2014
Ketua
: dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A(K)
Sekretaris
: dr. Eka Gunawijaya, Sp.A(K)
Anggota
: 1. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH
2. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
3. dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K)
5
6
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul :”
Defisiensi Seng Sebagai Faktor Risiko Perawakan Pendek pada Anak” dapat
terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran,
dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tesis
ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada :
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. DR. dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. DR. dr Putu Astawa,
Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada
penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di Universitas
Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. DR. dr Raka
Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk
menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan
kedokteran klinik (combined degree).
3. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined
degree), Prof. DR. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS, yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program
Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).
4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak dan melakukan penelitian di RSUP
Sanglah Denpasar.
5. Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah, dan pembimbing akademik penulis, dr. Bagus
Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) yang telah memberikan kesempatan penulis
7
untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan,
semangat serta masukan selama pembuatan tesis.
6. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I)
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah, dr. Ketut Suarta, Sp.A(K) yang telah memberikan
kesempatan, bimbingan dan dukungan sejak awal sampai akhir pendidikan
penulis. Terima kasih karena telah menjadi orang tua yang senantiasa
mengarahkan, membimbing dan memberikan dukungan selama penulis
menjalani pendidikan PPDS I IKA.
7. Dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A(K) selaku pembimbing pertama yang
telah banyak memberikan dorongan, semangat serta meluangkan waktu dan
pemikiran dalam penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan
baik.
8. Dr. Eka Gunawijaya, Sp.A(K) selaku pembimbing kedua atas bimbingan dan
saran selama penyusunan tesis ini.
9. Prof. DR. dr. Raka Widiana, Sp.PD-KGH, Prof. dr. Tigeh Suryadhi, MPH,
Ph.D, dr. Bagus Ngurah Arhana, Sp.A(K) selaku penguji yang telah
memberikan banyak masukan dalam penyusunan dan penulisan tesis ini.
10. Seluruh staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan yang diberikan
selama penulis menempuh pendidikan.
11. Rekan sejawat PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas pengertian, bantuan
dan kerjasama yang baik selama masa pendidikan penulis.
12. Ibu Suciani (ahli gizi), Kepala Puskesmas beserta seluruh staf UPT
Puskesmas Klungkung I, Bu Nengah Udiani dan beserta rekan PRODIA yang
telah membantu dalam pengumpulan data penelitian ini, tanpa beliau tesis ini
tidak akan berjalan lancar.
13. Suami tercinta yang selalu setia mendampingi dengan penuh kasih sayang,
tak lupa juga untuk kedua putri yang cantik yang selalu menghadirkan tawa
8
sebagai hiburan disaat lelah. Kedua orang tua dan mertua yang telah dengan
penuh kasih sayang dan penuh cinta membesarkan, mendidik, dan
mendukung sepenuhnya sehingga usulan penelitian ini dapat terselesaikan.
Tak lupa juga terima kasih untuk kakakku dan adikku tersayang, Putu Yuli
Mardini dan Komang Agus Suadi beserta keluarga kecilnya yang senantiasa
menemani dan berbagi suka duka selama pendidikan ini.
14. Kepada semua pihak, keluarga, sahabat, rekan paramedis dan non paramedis
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan
dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan PPDS
I IKA.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan
segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan
tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan supaya hasil yang
tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan
kesehatan.
Denpasar, Pebruari 2014
Kadek Wini Mardewi
9
ABSTRAK
KADAR SENG SERUM RENDAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO
PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK
Perawakan pendek/stunting sering dijumpai di negara berkembang dan
digunakan sebagai indikator kesehatan pada suatu negara. Perawakan pendek
mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit
metabolik, mengganggu
perkembangan kognitif, prevalensi infeksi meningkat akibat imunitas yang menurun,
mengalami defisit fisik dan fungsional dan menyebabkan kematian. Faktor nutrisi
yang paling penting menyebabkan stunting adalah kurangnya asupan energi, protein
dan mikronutrien seperti besi, vitamin A dan seng.
Penelitian ini dilakukan di UPT Puskesmas Klungkung I, Kabupaten
Klungkung, mulai bulan Agustus 2013 sampai September 2013, secara observasional
analitik dengan kasus kontrol. Faktor risiko yang diteliti ditelusuri secara retrospektif
pada kedua kelompok yang dianalisis. Kadar seng serum yang rendah yaitu <65
µg/dl sebagai faktor risiko perawakan pendek dianalisis dengan uji Chi-square.
Besarnya risiko dinyatakan dalam rasio odds (RO).
Prevalensi kadar seng serum rendah pada penelitian ini sebesar 88,5%.
Terdapat perbedaan bermakna antara kadar seng serum rendah pada kelompok
dengan perawakan pendek dibandingkan normal (adjusted RO 16,1; IK95% 3,184,0; p=0,001) dan pada asupan kalori yang rendah (adjusted RO 29,4; IK95% 2,76314,7; p=0,001). Kadar seng serum rendah, asupan kalori yang rendah sebagai faktor
risiko perawakan pendek. Perlu pemberian informasi ibu balita mengenai nutrisi
termasuk zat energi dan seng sehingga dapat mencegah malnutrisi terutama
perawakan pendek.
Kata kunci :seng, perawakan pendek, anak
10
ABSTRACT
ZINC DEFICIENCY AS A RISK FACTOR OF SHORT STATURE ON
CHILDREN
Short stature or stunting is common in developing countries and used as a
health indicator in a country. Short stature will result in increased risk of metabolic
disease, interfere cognitive development, and will increas prevalence of infection due
to decreas in immunity that leads to physical and functional deficits and finally
causes death. The most important nutritional factor that associated to stunting is
inadequate intake of energy, protein and mycronutrients such as iron, vitamin A and
zinc.
This study was conducted in UPT Puskesmas I Klungkung of Klungkung
regency, from August 2013 to September 2013, in the case-control observational
analytic. Risk factors were studied retrospectively in both groups that analyzed.
Relationship of low serum zinc and short stature were analyzed with Chi-square test.
The risk of low serum zinc on the incidence of short stature was expressed in odds
ratio (OR).
The prevalence of low serum zinc in this study was 88.5%. There were
significant differences in low serum zinc (adjusted OR 16.1; 95 % CI 3.1 to 84.0, p =
0.001), and in low calorie intake (adjusted OR 29.4; IK95% 2.76-314.7; p=0.001) on
short stature group compared to normal stature. Low serum zinc and low calorie
intake were risk factor to short stature. There is need to provide information to
mothers about toddler nutrition including the importance sources of energy and zinc
to prevent malnutrition includes short stature.
Keywords: zinc, short stature , children
11
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................. …… i
PRASYARAT GELAR................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..................................... …………....... iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN…………………. v
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ vi
ABSTRAK ....................................................................................... ………ix
ABSTRACT .................................................................................................. x
DAFTAR ISI…………………………………………………………….... xi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xiv
DAFTAR TABEL…………………………….…………………………... xv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
xvii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………..
1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………….
1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….. 4
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………….. 4
1.3.1 Tujuan Primer……………………………………………………...... 4
1.3.2 Tujuan Sekunder.…………………………………………………… 4
12
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………. 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………… 5
2.1 Perawakan Pendek..…………………………………………………… 5
2.1.1 Definisi Perawakan Pendek.…………………………………………. 6
2.1.2 Penyebab Perawakan Pendek.........………………………………….. 6
2.1.3 Pendekatan Diagnostik Perawakan Pendek………………………..... 14
2.2 Seng (Zn)..........………………………………………………..……… 16
2.2.1 Homeostasis Seng.………………………….………………………. 16
2.2.2 Fungsi Seng……………………………………………………......... 18
2.2.3 Penilaian Status Seng....……………………………………………... 20
2.2.4 Kebutuhan Seng........…………………….……………………..….... 21
2.3 Interaksi antara Seng dan Pertumbuhan Linier..………………………. 23
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN
HIPOTESIS PENELITIAN……………………………………… 25
3.1 Kerangka Berpikir……………………………………………………
25
3.2 Kerangka Konsep……………………………………………………… 26
3.3 Hipotesis Penelitian…………………………………………………..... 27
BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………… 28
4.1 Rancangan Penelitian………………………………………………… 28
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian...……………………………………… 29
4.3 Penentuan Sumber Data……………………………………………… 29
4.3.1 Populasi Penelitian…………………………………………………… 29
4.3.2 Sampel Penelitian……………………………………………………. 29
13
4.3.2.1.Kriteria Eligibilitas………………………………………………….30
4.3.2.2 Perhitungan Besar Sampel………………………………………… 31
4.4 Variabel Penelitian…………………………………………………… 32
4.4.1 Identifikasi Operasional Variabel...………………………………….. 32
4.4.2 Definisi Operasional Variabel……………………………………… 32
4.5 Instrumen Penelitian…………………………………………………
36
4.6 Prosedur Penelitian…………………………………………………… 38
4.6.1 Cara Penelitian……………………………………………………… 38
4.6.2 Alur Penelitian……………………………………………………… 42
4.7 Analisis Data………………………………………………………...... 42
4.8 Etika Penelitian........................................................................................ 43
BAB V HASIL PENELITIAN ..................................................................... 44
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ............................................................. 44
5.2 Perbandingan variabel penelitian terhadap kejadian perawakan pendek.45
BAB VI PEMBAHASAN............................................................................. 48
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 54
7.1 SIMPULAN ........................................................................................... 54
7.2 SARAN ................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 55
LAMPIRAN ................................................................................................. 61
14
DAFTAR GAMBAR
2.1 Algoritme perawakan pendek……......................................................
15
3.1 Bagan kerangka konsep..................................………………………
26
4.1 Rancangan penelitian...........................................................................
28
4.2 Skema alur penelitian………………………………………………..
42
15
DAFTAR TABEL
2.1 Kategori perawakan pendek berdasarkan Z-score standar
WHO 2005 ………………………......................................................
6
2.2 Rasio segmen atas/segmen bawah.............………………………….
16
2.3 Kandungan Seng pada Bahan Makanan...............................................
22
5.1 Karakteristik subjek penelitian………………………………………... 45
5.2 Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap perawakan
pendek ………………………………………………………………
46
5.3 Hasil analisis multivariat pengaruh defisiensi seng serum terhadap
kejadian perawakan pendek …………………………………………
47
16
DAFTAR SINGKATAN
GH
= growth hormon
IGF-1 = Insulin-like growth factor
NCHS/CDC
= National center for health statistic/center for diseases control
WHO = World health organization
CDGP = constitutional delay of growth and puberty
MPH = midparental high
IUGR = intra uterin growth retardation
AMP = adenosin monophospate
DNA = deoxy nucleic acid
RNA = ribonucleic acid
NK = natural killer
IZiNCG = International Zinc Consultative Group
NHANES = national health and nutrition examination survey
AKG = angka kecukupan gizi
ml
= mili liter
km2
= kilometer persegi
µg/dl = mikrogram/ desiliter
17
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat persetujuan............…………………………....... ………61
Lampiran 2. Kuesioner penelitian................................................……......... 63
Lampiran 3. Surat ijin penelitian.................................................................. 67
Lampiran 4. Ethical clearance..................................................................
68
Lampiran 5. Data penelitian ............................................................. ………69
Lampiran 7. Hasil analisis data…………………..………………….…
.
71
18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawakan pendek/stunting sering dijumpai di negara berkembang dan
digunakan sebagai indikator kesehatan pada suatu negara. Penyebab perawakan
pendek salah satunya adalah malnutrisi kronis. Malnutrisi kronis banyak disebabkan
oleh defisiensi seng.
Terdapat sekitar 178 miliar anak usia dibawah lima tahun di dunia mengalami
perawakan pendek, 167 miliar terdapat di negara berkembang. Pada tahun 2020
sekitar 28% anak dibawah 5 tahun akan mengalami perawakan pendek di Asia
(Onis dkk., 2011). Di Indonesia, hasil survey yang dilakukan di 7 provinsi
menunjukkan jumlah anak perawakan
pendek mencapai 31,4% dan 9,1% di
antaranya mengalami perawakan pendek berat (Best dkk., 2008). Di Bali, hasil
penelitian di Desa Sangkan Gunung menunjukkan prevalensi anak usia di bawah 5
tahun dengan perawakan pendek sebesar 36,4% (Mardewi dan Sidhiartha, 2012).
Perawakan pendek mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit metabolik
seperti diabetes tipe II pada usia remaja (Kimani-Murage dkk., 2010). Kondisi ini
juga mengganggu perkembangan kognitif, rendahnya tingkat pendidikan yang
diperoleh serta rendahnya pendapatan (Cheung dan Ashorn, 2009). Prevalensi infeksi
menjadi meningkat akibat imunitas yang menurun, mengalami defisit fisik dan
fungsional. Perawakan pendek pada masa anak – anak akan menetap pada masa
dewasa sehingga dapat menurunkan kapasitas kerja dan kualitas kerja (Senbanjo
dkk., 2011). Perawakan pendek dan malnutrisi bersama dengan kegagalan tumbuh
19
intrauterin menyebabkan kematian sebanyak 2,1 juta anak di seluruh dunia yang
berusia kurang dari 5 tahun (Black dkk., 2008).
Faktor yang mempengaruhi kurang gizi pada balita adalah genetik/hormonal,
sosial ekonomi rendah, kurangnya pendidikan dan pengetahuan orang tua, jumlah
keluarga yang banyak (Senbanjo dkk., 2011; Musthaq dkk., 2011; Imdad dkk.,
2011). Jenis kelamin laki – laki lebih berisiko mengalami perawakan
pendek
(Wamani dkk., 2007), penyakit infeksi dan penyakit kronis juga mempengaruhi
(Casapia dkk, 2006). Orang tua yang merokok di dalam rumah diketahui sebagai
faktor risiko terjadinya perawakan pendek (Musthaq dkk., 2011; Best dkk., 2011;
Kyu dkk., 2009). Faktor nutrisi yang paling penting menyebabkan stunting adalah
kurangnya asupan energi, protein dan mikronutrien seperti besi, vitamin A dan seng
(Umeta dkk., 2003; Gibson dkk., 2007).
Seng merupakan mikronutrien yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan
anak di negara berkembang. Defisiensi seng sebagai penyebab perawakan pendek
dengan mekanisme menyebabkan anoreksia sehingga asupan energi rendah dan
pertumbuhan terganggu. Seng berperan dalam sintesis DNA dan RNA yang penting
dalam replikasi dan differensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan sintesis
somatomedin, osteokalsin dan kolagen serta metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Seng mempengaruhi sintesis dan sekresi growth hormon (GH) dan aktivasi
insulin-like growth factor 1 (IGF-1) atau somatomedin di hati dan tulang. Defisiensi
seng juga menurunkan sistem imun sehingga meningkatkan frekuensi sakit atau
morbiditas, kebutuhan energi dan seng menjadi meningkat yang akhirnya
menghambat pertumbuhan linier (Salgueiro dkk., 2002).
20
Penelitian Gibson dkk. (2007) pada anak usia 6-12 tahun, terdapat perbedaan
yang bermakna antara kadar seng serum pada anak laki – laki dengan perawakan
pendek yaitu 9.19 µmol/L (95% CI 8,53-9,84) dibandingkan anak dengan
perawakan normal yaitu 9,70 µmol/L (95% CI 8,53-9,29), namun pada perempuan
tidak ada perbedaan. Penelitian metaanalisis oleh Brown dkk. (2002), pemberian
suplementasi seng pada anak usia dibawah 12 tahun menunjukkan efek positif
terhadap peningkatan tinggi badan sebesar 0,35 cm (95% CI 0,189-0,511) namun
sebaliknya pada 8 group studi (24,2%). Pada penelitian tersebut, 14 studi
menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap konsentrasi seng serum yaitu
peningkatan sebesar 0,820 µmol/L (95% CI 0,499-1,14) dan 1 studi menunjukkan
tidak bermakna.
Penelitian
lain
oleh
Mozaffari-Koshravi
dkk.
(2008)
menunjukkan
suplementasi seng hanya berdampak pada anak laki – laki usia 2-5 tahun, namun
tidak dilakukan pemeriksaan kadar seng serum sebelum dan setelah suplementasi
seng. Walker dan Black (2007) melaporkan 28 penelitian dari usia lahir sampai 17
tahun, hasilnya 7 penelitian tidak menimbulkan efek suplementasi seng terhadap
tinggi maupun berat badan, efek terhadap seng serum positif hanya pada 1 penelitian
yaitu pada anak dengan kadar seng serum yang rendah sebelum diberikan
suplementasi. Data tersebut mengindikasikan suplementasi seng pada populasi
berisiko termasuk perawakan pendek dan aplikasinya memerlukan penilaian terhadap
kondisi setempat. Kadar seng serum dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan
pemberian dan tingkat absorpsi seng (Brown dkk., 2002).
21
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah:
Apakah kadar seng serum yang rendah merupakan faktor risiko perawakan
pendek pada anak?
1.3 Tujuan
I.3.1 Tujuan primer
Tujuan primer dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kadar seng serum yang rendah dengan risiko perawakan pendek pada anak.
1.3.2 Tujuan sekunder
Tujuan sekunder penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan antara asupan energi (kalori) yang rendah
dengan risiko perawakan pendek pada anak.
2. Untuk mengetahui hubungan antara asupan protein yang rendah dengan risiko
perawakan pendek pada anak.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan mengenai kadar
seng yang rendah menyebabkan perawakan pendek pada anak.
1.4.2 Manfaat pengembangan penelitian
Dari data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk
penelitian selanjutnya.
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perawakan Pendek
2.1.1 Definisi perawakan pendek
Perawakan pendek atau stunting merupakan suatu terminologi untuk tinggi
badan yang berada dibawah persentil 3 atau -2 SD pada kurva pertumbuhan yang
berlaku pada populasi tersebut (Batubara, 2010). Tinggi badan menurut umur (TB/U)
dapat digunakan untuk menilai status gizi masa lampau, ukuran panjang badan dapat
dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya adalah tinggi
badan tidak cepat naik sehingga kurang sensitif terhadap masalah gizi dalam jangka
pendek, perlu ketelitian data umur, ketepatan umur sulit didapat, memerlukan dua
orang untuk mengukur anak (Wang, 2009).
Penentuan perawakan pendek, dapat menggunakan beberapa standar antara lain
Z-score baku National center for Health Statistic/center for diseases control
(NCHS/CDC) atau Child Growth Standars World Health Organization (WHO) tahun
2005 (WHO, 2006). Kurva (grafik) pertumbuhan yang dianjurkan saat ini adalah
kurva WHO 2005 berdasarkan penelitian pada bayi yang mendapat ASI ekslusif dari
ibu yang tidak merokok, yang diikuti dari lahir sampai usia 24 bulan dan penelitian
potong lintang pada anak usia 18-71 bulan, dengan berbagai etnis dan budaya yang
mewakili berbagai negara di semua benua. Kurva NCHS dibuat berdasarkan
pertumbuhan bayi kulit putih yang terutama mendapatkan susu formula (Mexitalia,
23
2010). Beberapa penelitian menunjukkan proporsi perawakan pendek pada anak
lebih tinggi dengan menggunakan kurva WHO 2005 dibandingkan NCHS/CDC
sehingga implikasinya penting pada program kesehatan (Schwarz, 2007; Wang,
2009). Klasifikasi status gizi pada anak, baik laki–laki maupun perempuan
berdasarkan standar WHO 2005 dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut (WHO, 2006).
Tabel 2.1
Kategori Perawakan Pendek berdasarkan Z-score Standar WHO 2005
Indek
Ambang Batas
˃ +2SD
TB/U
2.1.2
Status Gizi
Jangkung
-2 SD s/d + 2 SD
Normal
-3 SD s/d < -2 SD
Pendek (stunting)
<-3 SD
Stunting berat
Penyebab perawakan pendek
Terdapat beberapa penyebab perawakan pendek diantaranya dapat berupa
variasi normal, penyakit endokrin, displasia skeletal, sindrom tertentu, penyakit
kronis dan malnutrisi. Pada dasarnya perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu
variasi normal dan keadaan patologis (Batubara, 2010).
2.1.2.1 Variasi normal
Perawakan pendek yang dikategorikan sebagai variasi normal adalah familial
short stature (perawakan pendek familial) dan constitutional delay of growth and
puberty (CDGP).
24
2.1.2.1.1
Perawakan pendek familial
Tinggi badan orang tua maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci
untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir
namun akan bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan
midparental high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja
(cuttler Leona, 1996). Perawakan pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang
selalu berada di bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang
normal, tinggi badan orang tua atau salah satu orang tua pendek dan tinggi akhir di
bawah persentil 3 (Batubara, 2010).
2.1.2.1.2
Constitutional delay of growth and puberty (CDGP)
Pola pertumbuhan yang terlambat dapat merupakan varian normal. CDGP
ditandai oleh perlambatan pertumbuhan linear 3 tahun pertama kehidupan,
pertumbuhan linear normal atau hampir normal pada saat prapubertas dan selalu
berada di bawah persentil 3, usia tulang terlambat, maturasi seksual terlambat dan
tinggi akhirnya biasanya normal. Anak awalnya menunjukkan perawakan pendek
pada awal dan pertengahan masa anak-anak. Mereka juga mengalami keterlambatan
pubertas dan percepatan pertumbuhan. Salah satu atau kedua orang tuanya umumnya
dengan riwayat keterlambatan pubertas, keterlambatan petumbuhan masa remaja
namun mencapai puncak pertumbuhan pada usia selanjutnya (Batubara, 2010).
2.1.2.2 Kelainan patologis
Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak
proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, intra uterin
growth retardation (IUGR), penyakit infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti
25
defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon
pertumbuhan dan defisiensi IGF-1. Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan
oleh kelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom PraderWilli, sindrom Down, sindrom Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter
(Batubara, 2010; Cuttler, 1996).
2.1.2.2.1
Penyakit infeksi
Penyakit infeksi akut akibat infeksi sistemik seperti penumonia, diare persisten,
disentri dan penyakit kronis seperti kecacingan mempengaruhi pertumbuhan linear.
Infeksi akan menyebabkan asupan makanan menurun, gangguan absorpsi nutrien,
kehilangan mikronutrien secara langsung, metabolisme meningkat, kehilangan
nutrien akibat katabolisme yang meningkat, gangguan transportasi nutrien ke
jaringan. Pada kondisi akut, produksi proinflamatori seperti cytokin berdampak
langsung pada remodeling tulang yang akan menghambat pertumbuhan tulang
(Stephensen, 1999). Penelitian oleh Casapia (2006) menunjukkan infeksi parasit
merupakan faktor risiko sebagai penyebab perawakan pendek.
2.1.2.2.2
Penyakit endokrin
Growth hormon (GH) atau hormon pertumbuhan merupakan hormon esensial
untuk pertumbuhan anak dan remaja. Hormon tersebut dihasilkan oleh kelenjar
hipofisis akibat perangsangan dari hormon GH-releasing faktor yang dihasilkan oleh
hipotalamus. GH dikeluarkan secara episodik dan mencapai puncaknya pada malam
hari selama tidur. GH berefek pada pertumbuhan dengan cara stimulasi produksi
insulin-like growth faktor 1 (IGF-1) dan IGF-3 yang terutama dihasilkan oleh hepar
dan kemudian akan menstimulasi produksi IGF-1 lokal dari kondrosit. Growth
26
hormon memiliki efek metabolik seperti merangsang remodeling tulang dengan
merangsang aktivitas osteoklas dan osteoblas, merangsang lipolisis dan pemakaian
lemak untuk menghasilkan energi, berperan dalam pertumbuhan dan membentuk
jaringan serta fungsi otot serta memfasilitasi metabolisme lemak (Batubara, 2010;
Nicol, 2010). Somatomedin atau IGF-1 sebagai perantara hormon pertumbuhan
untuk pertumbuhan tulang (Salgueiro dkk., 2002; Batubara, 2010).
Hormon tiroid juga bermanfaat pada pertumbuhan linier setelah lahir.
Menstimulasi metabolisme yang penting dalam pertumbuhan tulang, gigi dan otak.
Kekurangan hormon ini menyebabkan keterlambatan mental dan perawakan pendek.
Hormon paratiroid dan kalsitonin juga berhubungan dengan proses penulangan dan
pertumbuhan tulang (Greenspan, 2004). Hormon tiroid mempunyai efek sekresi
hormon
pertumbuhan,
mempengaruhi
kondrosit
secara
langsung
dengan
meningkatkan sekresi IGF-1 serta memacu maturasi kondrosit (Salgueiro dkk., 2002;
Batubara, 2010).
Hormon glukokortikod diperlukan dalam meningkatkan glukoneogenesis,
meningkatkan sintesis glikogen, meningkatkan konsentrasi gula darah dan balance
nitrogen negatif. Pada gastrointestinal memiliki efek meningkatkan produksi pepsin
dilambung, meningkatkan produksi asam lambung, menghambat vitamin D sebagai
mediator untuk mengabsorpsi kalsium. Glukokortikoid pada jaringan berdampak
menurunkan kandungan kolagen pada kulit dan tulang, menurunkan kolagen pada
dinding pembuluh darah serta menghambat formasi granuloma. Efek glukokortikoid
lainnya diperlukan dalam pertumbuhan normal, kelemahan otot, menghambat
pertumbuhan skeletal dan menghambat pengeluaran hormon tiroid (Kappy, 2010).
27
Sex steroid (estrogen dan testoteron) merupakan mediasi percepatan
pertumbuhan pada masa pubertas. Jika terjadi keterlambatan pubertas maka terjadi
keterlambatan pertumbuhan linier (Cuttler, 1996). Hormon ini tidak banyak berperan
pada masa prapubertas, hal ini dapat dilihat dengan tidak terdapatnya gangguan
pertumbuhan pada pasien dengan hipogonad, sebelum timbulnya pubertas (Batubara,
2010).
2.1.2.2.3
Sindrom atau kelainan kromosom
Penyakit genetik dan sindrom merupakan etiologi yang belum jelas diketahui
penyebabnya berhubungan dengan perawakan pendek. Beberapa gangguan
kromosom, displasia tulang dan suatu sindrom tertentu ditandai dengan perawakan
pendek. Sindrom tersebut diantaranya sindrom Turner, sindrom Prader-Willi,
sindrom
Down
dan
displasia
tulang
seperti
osteochondrodystrophies,
achondroplasia, hipochondroplasia (Batubara, 2010; Kappy, 2010).
2.1.2.2.4
Malnutrisi
Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah
malnutrisi. Protein sangat essensial dalam pertumbuhan dan tidak adanya salah satu
asam amino menyebabkan retardasi pertumbuhan, kematangan skeletal dan
menghambat pubertas (cuttler,1996). Klasifikasi malnutrisi berdasarkan respon
jaringan atau terhambatnya pertumbuhan dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 yang
terdiri dari salah satu defisiensi zat besi, yodium, selenium, tembaga, kalsium,
mangan, tiamin, riboplavin, piridoksin, niasin, asam askorbat, retinol, tokoferol,
kalsiterol, asam folat, kobalamin dan vitamin K. Tipe 2 diakibatkan oleh kekurangan
28
nitrogen,
sulfur,
asam amino esensiil,
potasium, sodium, magnesium, seng,
phospor, klorin dan air. Malnutrisi tipe 1 dikenal dengan functional nutrisi sedangkan
tipe 2, membentuk jaringan dan energi untuk menjalankan fungsi tubuh. Malnutrisi
tipe 1 disebabkan asupan yang kurang sehingga konsentrasi di jaringan berkurang,
menimbulkan gejala dan tanda klinis yang khas, konsentrasi dalam jaringan
bervariasi, mekanisme metabolik yang spesifik sehingga mudah dilakukan
pemeriksaan laboratorium, tidak menyebabkan kehilangan berat badan atau gagal
tumbuh, disimpan di dalam tubuh, menunjukkan efek sebagai pengganti nutrisi in
vitro maupun in vivo dan konsentrasi bervariasi pada air susu ibu (ASI). Malnutrisi
tipe 2 sulit untuk didiagnosis karena tanda dan gejala tidak khas seperti tipe 1. Nutrisi
tipe 2 berfungsi membangun jaringan sehingga jaringan tidak akan terbentuk bila
terjadi defisiensi nutrisi tersebut bahkan akan terjadi katabolisme jaringan dan
seluruh komponen jaringan akan diekskresikan. Apabila jaringan akan dibangun
kembali maka seluruh komponen harus diberikan dengan seimbang dan saling
ketergantungan. Tidak disimpan di dalam tubuh sehingga tergantung dari asupan
setiap hari. Beberapa nutrisi seperti phospor, seng dan magnesium sangat kecil
jumlahnya di dalam makanan sehingga konsentrasi yang tinggi diperlukan dengan
cara fortifikasi pada beberapa makanan untuk proses penyembuhan (Golden, 2005).
Pertumbuhan tinggi badan merupakan interaksi antara faktor genetik,
makronutrien maupun mikronutrien selama periode pertumbuhan. Nutrisi memegang
peranan penting terhadap kontrol mekanisme pertumbuhan linier. Penelitian pada
binatang menunjukkan restriksi pemberian energi dan protein menyebabkan
penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan kembali normal setelah
29
diberikan energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi dan IGF-1 pada manusia
tampak penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan malnutrisi seperti kwarsiorkor atau
marasmus (Estivariz, 1997 dalam Rivera, 2003). Kebutuhan protein didefinisikan
sebagai sejumlah protein atau asam amino untuk kebutuhan biologi yang sebenarnya,
yaitu asupan terendah untuk pemeliharaan kebutuhan fungsional individu. Asupan
protein yang adekuat diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi
tubuh. Anak merupakan kelompok dinamis mulai masa neonatal sampai dewasa.
Setiap kelompok mempunyai perbedan dalam hal kenaikan berat badan, kecepatan
pertumbuhan, lingkungan hormonal, aktivitas dan faktor lain yang berpengaruh
terhadap status nutrisi dan metabolik. Enzim merupakan protein dengan fungsi kimia
yang spesifik dan merupakan perantara pada hampir semua proses fisiologik
kehidupan. Sejumlah kecil protein berperan sebagai hormon. Protein otot terbuat dari
beberapa polipeptida yang berperan untuk kontraksi dan relaksasi otot (Hidajat dkk.,
2011). Jumlah kalori per gram makronutrien adalah karbohidrat dan protein 4,1
kkal/gram, sedangkan lemak 9,3 kkal/gram. Kebutuhan karbohidrat pada anak sesuai
RDA untuk usia 1-18 tahun adalah 130 gram/hari. Rekomendasi asupan protein
untuk anak usia 1-3 tahun 13 gram/hari dan usia 4-8 tahun 19 gram/hari. Kecukupan
asam linoleat pada anak usia 1-3 tahun 7 gram/hari, usia 4-8 tahun 10 gram/hari
sedangkan kebutuhan α-asam linolenat untuk usia 1-3 tahun 0,7 gram/hari (1%
energi), usia 4-8 tahun 0,9 gram/hari (Hidajat, 2011).
Mikronutrien juga berdampak pada sistem IGF-1 seperti defisiensi seng yang
dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan akibat penurunan kadar IGF-1 dalam
plasma dan penurunan kadar growth hormon dan akan kembali normal setelah
30
pemberian seng (Dorup, 1991 dalam Rivera, 2003). Defisiensi mikronutrien seperti
besi, magnesium, seng menyebabkan anoreksia yang secara tidak langsung
menyebabkan berkurangnya asupan energi dan protein yang penting untuk
pertumbuhan (Lawless, 1994 dalam Rivera, 2003).
Vitamin D dibutuhkan untuk absorpsi kalsium. Kalsitriol bentuk aktif dari
vitamin D mengontrol sintesis kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium
di duodenum kemudian diserap pada sel mukosa dan masuk kedalam darah,
meningkatkan reabsorpsi kalsium di ginjal dan meningkatkan mobilisasi kalsium di
tulang. Kekurangan vitamin D menimbulkan manifestasi klinis berupa deformitas
tulang panjang dan tanda – tanda hipokalsemia seperti kejang, tetani (Sidhiartha,
2011).
Vitamin A atau asam retinoik berpengaruh pada hormon yang mengontrol
pertumbuhan jaringan skeletal dengan mekanisme mempengaruhi percepatan
pelepasan adenosin monophospate (AMP) siklik dan sekresi dari hormon
pertumbuhan. (Sommer, 2004). Vitamin A memiliki peranan penting dalam menjaga
integritas sel epitel seperti epitel di mata, saluran napas dan saluran kemih, imunitas
seluler dan humoral sehingga kekurangan vitamin A menyebabkan anak cenderung
mudah sakit. Suatu metaanalisis menunjukkan pemberian vitamin A pada anak usia
6 bulan hingga 5 tahun mengurangi kejadian campak dan diare (Imdad, 2010 dalam
Devaera, 2011). Pemberian suplementasi vitamin A pada neonatus juga menurunkan
angka kematian karena diare hingga 30% (Imdad, 2011).
Zat besi dalam tubuh berfungsi membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan
dalam bentuk hemoglobin, sebagai fasilitator dalam penggunaan serta cadangan
31
oksigen di otot dalam bentuk mioglobin, sebagai media elektron di dalam bentuk
sitokrom serta bagian integral dari berbagai enzim dalam jaringan. Defisiensi zat besi
menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh yang diduga akibat anoreksia,
gangguan DNA sel, gangguan sintesis RNA dan gangguan absorpsi makanan dan
diduga berperan dalam proses mitosis sel (Hidajat dan Lestari, 2011). Penelitian
metaanalisis oleh Ramakristnan (2004) menunjukkan pemberian vitamin A saja atau
zat besi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, namun akan berdampak terhadap
pertumbuhan apabila disertai dengan pemberian mikronutrien seperti seng. Penelitian
oleh Dijkhuizen (2001) menunjukkan suplementasi zat besi ataupun seng
menurunkan prevalensi anemia namun tidak memiliki efek terhadap pertumbuhan
baik tinggi badan.
2.1.3
Pendekatan diagnostik perawakan pendek
Kriteria awal pemeriksaan anak dengan perawakan pendek adalah tinggi badan
berada di bawah persenti 3 atau -2SD, kecepatan tumbuh dibawah persentil 25,
perkiraan tinggi badan dewasa di bawah midparentah heigh (MPH). Algoritme
pendekatan diagnostik anak dengan perawakan pendek dapat dilihat sebagai berikut
(Batubara, 2010):
32
Perawakan pendek
Perawakan pendek
Kecepatan Pertumbuhan
Normal
Tidak normal
Variasi Normal
Patologis
Perawakan pendek
Familial
Constitutional
delay of growth
and puberty
Proporsional
Rasio BB/TB
meningkat
Tidak
Proporsional
Dismorfik
Rasio BB/TB
menurun
Defisiensi GH
Hipotiroid
Kelebihan
Kortisol
Malnutrisi
Infeksi Kronis
Penyakit
kronis
IUGR
Displasia
skeletal
Penyakit
metabolik
Kelainan Spinal
Kelaian
kromosom
Sindrom
Gambar 2.1. Algoritme Perawakan Pendek
Perhitungan MPH sebagai berikut:
Anak laki – laki : tinggi badan (TB) ayah + (TB ibu +13) ± 8,5
2
Anak perempuan : (TB ayah – 13) + TB ibu
± 8,5
2
Proporsi tubuh dihitung dengan cara membandingkan tinggi duduk terhadap
tinggi badan, subischial leg lenght dan menghitung segmen atas terhadap segmen
bawah tubuh. Proporsi tubuh bagian bawah (segmen bawah) diperoleh dengan
mengukur jarak bagian atas simfisis pubis sampai telapak kaki. Bagian atas diambil
dengan mengurangi tinggi badan dengan bagian bawah tubuh. Rasio segmen atas dan
33
bawah ini dibandingkan dengan nilai standar untuk umur dan jenis kelamin yang
dapat dilihat dalam tabel 2.1 (Nicol, 2010).
Tabel 2.2
Rasio Segmen Atas/Segmen Bawah
Usia (tahun)
Birth
½
1
1½
2
2½
3
3½
4
4½
5
6
2.2
Rasio segmen atas/segmen bawah
Laki-laki
Perempuan
1,7
1,62
1,54
1,50
1,42
1,37
1,35
1,30
1,24
1,22
1,19
1,12
1,7
1,6
1,52
1,46
1,41
1,34
1,30
1,27
1,22
1,19
1,15
1,10
SENG (Zn)
Seng merupakan trace element penting untuk hampir semua sistem biologi, yang
diperlukan untuk pertumbuhan, diferensiasi dan pertumbuhan sel.
2.2.1 Homeostasis Seng
Pusat homeostasis seng adalah sistem pencernaan terutama usus halus, hati dan
pankreas. Proses absorpsi seng eksogen, sekresi gastrointestinal dan eksresi seng
endogen sangat penting untuk homeostasis seng seluruh tubuh (Hidayati, 2011).
Absorpsi seng terutama di duodenum melalui mekanisme aktif dan pasif,
selanjutnya seng ditransport ke hati dalam bentuk terikat dengan albumin, transferin
34
dan α2-makroglobulin. Absorpsi seng tergantung pada jumlah dan kelarutan dalam
lumen usus. Asam fitat mengurangi kelarutan dan mengganggu absorpsi seng di usus
(Hidayati, 2011). Kadar seng dalam jaringan tergantung pada asupan seng dalam
makanan. Apabila asupan meningkat, terjadi penurunan absorpsi dan peningkatan
ekskresi melalui usus sedangkan ekskresi melalui urin menetap dan ekskresi endogen
melalui feses juga meningkat. Bila asupan seng sangat rendah, absorpsi akan
meningkat 59-84% dan ekskresi melalui feses dan urin menurun. Ketika mekanisme
homeostasis tidak mampu untuk mengatasi asupan seng yang berlebihan maka
kelebihan seng tersebut akan diekskresi melalui rambut.
Tubuh manusia mengandung 2-4 gram seng, kadar dalam plasma hanya 12-16
µmol/L, terikat dengan albumin 60% dari total seng serum, transferin (10%) dan α 2makroglobulin (30%) dengan afinitas yang lebih tinggi (Hidayati, 2011). Absorpsi
seng diatur oleh metalotionein yang disintesis di dalam sel mukosa saluran cerna dan
berperan mengatur kadar seng cairan intraseluler. Bila konsumsi seng sangat tinggi,
seng akan disimpan sebagai metalotionein dan akan dibuang bersama deskuamasi sel
epitel mukosa usus sehingga absorpsi berkurang. Kelebihan seng juga disimpan di
dalam hati, lainnya dibawa ke pankreas sebagai enzim pencernaan yang pada waktu
makan dikeluarkan ke dalam saluran cerna dan dibawa jaringan tubuh lain. Distribusi
seng dipengaruhi oleh hormonal, stress, sedangkan hati mempunyai peranan penting
dalam proses distribusi.
Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi seng adalah jumlah dan bentuk
seng yang dikonsumsi, diet yang meningkatkan absorpsi (ASI, protein hewani) dan
yang menghambat absorpsi (fitat, zat besi, kalsium sebagai suplemen) dan kondisi
35
fisologis seperti menyusui, kehamilan, bayi akan meningkatkan absorpsi seng. Efek
inhibisi antara besi dan seng hanya terjadi pada konsentrasi molar tinggi (Fe:seng,
25:1) ((Hidayati, 2011). Faktor utama yang menyebabkan kekurangan seng adalah
diet yang mengandung seng tidak adekuat, penyakit yang menyebabkan kehilangan
seng dan gangguan utilisasi dan kondisi fisiologis yang menyebabkan kebutuhan
meningkat (Gibson, 2006). Pola konsumsi di negara berkembang dominan berasal
dari nabati dan protein hewani sangat sedikit akibat kemampuan ekonomi rendah dan
faktor budaya atau agama sehingga kadar seng yang dikonsumsi rendah. Tingginya
kejadian infeksi seperti diare di negara berkembang menyebabkan kehilangan seng
menjadi tinggi sehingga terjadi gangguan absorpsi baik infeksi oleh virus, bakteri
atau protozoa dan perubahan flora mikroba usus (Gibson, 2006; Stephensen, 1999).
Sindrom malabsorpsi seperti penyakit sprue, crohn’s disease dan imflamatory bowel
disease. Kebutuhan seng secara fisiologis meningkat pada periode pertumbuhan
cepat akibat terjadinya proses replikasi DNA, transkripsi DNA dan fungsi endokrin
(Gibson, 2006; Hidayati, 2011). Bayi dan anak – anak berisiko mengalami defisiensi
seng karena kadar metalotionein di hati rendah saat lahir, berat badan lahir rendah
atau ibu dengan defisiensi seng sedangkan kebutuhan seng untuk tumbuh kejar
sangat tinggi. Laki-laki memerlukan lebih tinggi dari perempuan karena laju
pertumbuhannya lebih cepat, proporsi otot perkilogram berat badan lebih besar dan
kadar seng pada otot lebih besar dari pada lemak (Gibson, 2006).
Ekskresi seng terutama melalui feses, urin dan jaringan tubuh yang dibuang
seperti epitel kulit dan mukosa usus. Sekitar 10 µg/kg berat badan/hari seng
36
diekskresi melalui urin, keringat dan total ekskresi seng endogen 60 µg/kgbb/hari
(Hidayati, 2011).
2.2.2
Fungsi seng
Seng sangat diperlukan dalam aktivitas lebih dari 100 enzim yang penting dalam
metabolisme sehingga berfungsi dalam biokimia, imunologi dan fungsi klinik
(Gibson, 2006).
2.2.2.1 Peranan seng pada sistem imun
Seng berperan penting pada sistem imun termasuk perkembangan, diferensiasi
dan fungsi sel baik dari imunitas alami maupun imunitas adaptif. Pada monosit,
semua fungsi terganggu, sedang pada sel natural killer (NK) sitotoksisitasnya
menurun dan pada granulosit neutrofil fagositosisnya berkurang. Fungsi sel T
mengalami penurunan sedang sel B mengalami apoptosis. Fungsi imun akan
membaik setelah suplementasi seng memadai. Peran seng, baik pada sistem humoral
maupun selular, berfokus pada penurunan aktivitas timus dan produksi antibodi.
Defisiensi seng menyebabkan atropi timus, sedangkan timus berfungsi
memproduksi limfosit T, sehingga terjadi penurunan jumlah dan fungsi sel T,
termasuk pergeseran keseimbangan sel Th ke arah dominasi sel Th-2, juga
menyebabkan penurunan antibodi terutama dalam menanggapi neoantigen sebab sel
B naif lebih dipengaruhi oleh defisiensi seng dibanding sel B memori dan juga
menyebabkan penurunan killing activity dari sel NK (Hidayati, 2011).
37
2.2.2.2 Peran seng pada apoptosis
Sel limfosit T dapat diselamatkan dari apoptosis dengan konsentrasi fisiologis
garam seng (5-25 µmol/l), seng sebagai regulator utama apoptosis intraseluler
sehingga konsentrasi sedikit diatas yang diperlukan untuk menekan apoptosis. Selain
itu, hubungan dosis dan respon terlihat antara konsentrasi seng intraseluler dengan
tingkat kerentanan terhadap apoptosis (Hidayati, 2011).
2.2.2.3 Peran seng sebagai antioksidan
Fungsi seng sebagai antioksidan, melindungi sel dari kerusakan akibat oksigen
radikal yang dihasilkan saat aktivasi sistem imun. Sebagai antioksidan, seng
mempunyai peran sebagai struktur enzim superoxide dismutase, mencegah oksidasi
gugus sulfhidril, mempertahankan reaksi redoks logam aktif besi dan tembaga dari
pengikatan dan kerusakan oksidatif, pada metaloenzim seng dan ikatan nonspesifik
pada
protein.
Seng
juga
mengatur
ekspresi
metalotionein
limfosit
dan
methallotionein-like protein dengan aktivitas antioksidan. Seng penting untuk
menjaga integritas membran sel dengan mekanisme yang belum jelas yaitu dengan
tiolat, pelepasan seng dari tiolat dapat mencegah peroksidasi lipid. Nitric oxide
memicu pelepasan seng dari metalotionein sehingga dapat mencegah kerusakan
membran sel oleh radikal bebas yang terbentuk saat proses inflamasi (Hidayati,
2011).
38
2.2.3
Penilaian status seng
Kadar seng dalam plasma dan serum saat ini paling sering digunakan sebagai
indikator status seng pada manusia. Kondisi seng plasma dipengaruhi oleh beberapa
kondisi seperti hipoalbumin, hemokonsentrasi dan respon fase akut.
International Zinc Consultative Group (IZiNCG) telah menganalisis kembali
data seng serum dari national health and nutrition examination survey II (NHANES
II), yang juga menggunakan umur, jenis kelamin, status puasa (>8 jam setelah makan
terakhir) dan waktu pada saat sampel dikumpulkan (Gibson, 2005). Cutoff kadar
seng serum pada anak <10 tahun adalah 9,9 µmol/L (untuk pengambilan sampel pada
pagi hari) dan 8,7 µmol/L untuk pengambilan sampel darah pada waktu lebih dari
jam 12 siang (Hotz dan Brown, 2004). Defisiensi seng apabila kadar seng serum < 65
µg/dl (Ibeanu dkk., 2012). Batasan dan interpretasi pemeriksaan kadar seng dalam
plasma berdasarkan analisis laboratorium GAKY Semarang adalah 70-150 µg/dl
dikatakan normal (Tresna, 2008), sedangkan berdasarkan analisis laboratorium
klinik. Prodia memberikan nilai normal untuk usia 2-4 tahun adalah 26-116 µg/dl
dan 48-119 µg/dl untuk usia 4-6 tahun.
Prevalensi rendahnya kadar seng dalam serum >20% maka risiko defisiensi
seng tinggi. Prevalensi antara 10-20% mengindikasikan sebagian populasi berisiko
tinggi mengalami defisiensi seng dan prevalensi <10% menunjukkan bahwa
defisiensi seng tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (Gibson, 2005).
39
2.2.4
Kebutuhan seng dan bahan makanan sumber seng
Angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk bayi usia 0-6 bulan adalah
2 mg/hari, usia 7-36 bulan 3 mg/hari, usia 4-8 tahun 5 mg/hari dan usia 9-13 tahun 8
mg/hari. Belum diketahui dosis untuk mempertahankan keseimbangan seng pada
bayi di daerah prevalensi defisiensi seng yang tinggi. Sebagian besar penelitian
menunjukkan dosis 10 mg untuk bayi dan 20 mg untuk usia dibawah 5 tahun seng
elemental perhari, aman pada anak – anak. Dosis 70 mg 2 kali seminggu tidak
menimbulkan efek toksik (Hidayati, 2011).
Kandungan seng pada beberapa bahan makanan tampak pada tabel 2.2 (Nriagu,
2007). Jumlah kandungan seng lebih tinggi pada daging yang berwarna merah dari
pada daging yang berwarna putih. Sereal dan kacang-kacangan kurang mengandung
seng. Proses pemasakan sedikit mengurangi kandungan seng dalam makanan.
Tabel 2.3
Kandungan Seng pada Sumber Bahan Makanaan
Kandungan
seng (mg/dl)
<1
1-2
2-4
4-10
>10
Jenis Bahan Makanan
Dada ayam, hati ayam, Tuna, Umbi-umbian, buah-buahan, tofu,
Salmon, beras putih
telur, keju cheddar blue, cheese,
kacang-kacangan (almon, walnut)
Daging ayam merah, daging has Belut, udang, Kacang polong, sereal,
babi. Ikan pedang, jamur, susu Kacang (cashew, pecans, peanuts)
sapi, roti tepung putih
Domba, babi, kalkun, Lobster, Ginjal sapi, ginjal babi, kacang tanah,
tiram, kepiting, susu skim, jagung, sereal
yogurt, kacang polong putih.
Bebek, daging sapi, hati sapi, Babi, domba, kepiting besar, sereal
hati babi
Kerang laut, selai kacang
Sereal
deng
fortifikasi
seng,
potongan daging sapi
40
2.3
Interaksi antara seng dengan pertumbuhan linier
Seng merupakan mikronutrien esensial untuk pertumbuhan dan fungsi imunitas.
Beberapa studi menunjukkan defisiensi seng menyebabkan gangguan pertumbuhan
pada bayi dan anak-anak, menurunkan nafsu makan sehingga mengawali kegagalan
perkembangan motorik (Mozaffari-Khosravi dkk., 2009).
Peranan seng pada pertumbuhan anak terutama terkait peranannya sebagai
metaloenzim yang penting pada proses metabolisme, sebagai antioksidan yaitu
melindungi sel dari kerusakan akibat oksigen radikal yang dihasilkan saat aktivasi
sistem imun dan defisiensi seng menyebabkan imunokompeten dan menurunkan
resistensi terhadap infeksi. Peranan seng yang lain terhadap IGF-1, growth hormon
reseptor dan GH binding RNA. Seng berperan dalam sintesis DNA dan RNA yang
penting dalam replikasi dan differensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan
sintesis somatomedin, osteokalsin dan kolagen serta metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak (Salgueiro dkk., 2002). Defisiensi seng
dapat menyebabkan
retardasi pertumbuhan akibat penurunan kadar IGF-1 dalam plasma dan penurunan
kadar growth hormon dan akan kembali normal setelah pemberian seng (Dorup,
1991 dalam Rivera, 2003), juga menyebabkan anoreksia yang secara tidak langsung
menyebabkan berkurangnya asupan energi dan protein yang penting untuk
pertumbuhan (Salgueiro dkk., 2002).
Suplementasi seng memiliki efek positif terhadap pertumbuhan tinggi badan
sehingga dipertimbangkan menjadi strategi nasional untuk menurunkan prevalensi
perawakan pendek pada anak dibawah lima tahun di negara berkembang. Penelitian
41
metaanalisis oleh Brown dkk., pemberian suplementasi seng pada anak usia dibawah
12 tahun menunjukkan efek positif terhadap peningkatan tinggi badan dengan effect
size 0.35 (95% CI 0,189-0,511).
42
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Seng sebagai salah satu mikronutrien yang penting pada pertumbuhan dan fungsi
imun. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian suplementasi seng dapat
menurunkan kejadian infeksi seperti diare, pneumonia dan meningkatkan tinggi
badan sehinggan diduga terdapat keterlibatan seng terhadap terjadinya perawakan
pendek.
Dugaan ini berdasarkan peranan seng dalam proses metabolisme yaitu sebagai
komponen metaloenzim berfungsi untuk sintesis DNA dan RNA. Peranan seng ini
penting untuk metabolisme protein, asam nukleat, lemak dan karbohidrat, replikasi
dan differensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan sintesis somatomedin,
osteokalsin dan kolagen. Kekurangan seng menyebabkan menurunnya hormon
pertumbuhan (GH), rendahnya IGF-1, GHR dan GH binding protein sehingga
menghambat pertumbuhan tinggi badan.
Kekurangan asupan nutrisi menyebabkan defisiensi seng. Defisiensi seng
juga menyebabkan anoreksia sehingga terjadi kekurangan asupan gizi baik
makronutrien maupun mikronutrien dan menyebabkan gangguan metabolisme
seluler, akhirnya menimbulkan perawakan pendek. Kekurangan asupan energi secara
43
langsung dapat menyebabkan perawakan pendek. Asupan protein yang adekuat juga
diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi tubuh.
Seng juga berperan dalam sistem imun sehingga bila terjadi defisiensi seng
menyebabkan mudah terjadi infeksi atau imflamasi. Kondisi infeksi tersebut
sebaliknya dapat meningkatkan kehilangan kadar seng dalam darah dan kebutuhan
seng juga meningkat. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan linier pada anak
terutama pada anak dengan perawakan pendek. Infeksi secara langsung
menyebabkan perawakan pendek akibat kebutuhan kalori yang meningkat.
Kebutuhan seng maupun pertumbuhan linier berbeda sesuai usia dan jenis kelamin.
Kelainan endokrin/kromosom dan faktor genetik juga mempengaruhi perawakan
pendek.
3.2 Kerangka Konsep
Seng serum
Defisiensi
growth
hormon
Pertumbuhan Linier
(TB/U)
Perawakan pendek
Asupan nutrisi
(Energi), protein
Kelainan
endokrin/kromosom,
usia, jenis kelamin,
penyakit/morbiditas
Genetik/mid parental
high
Constitutional delay of
growth and puberty
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep
44
Keterangan:
: Variabel tergantung
: Variabel yang diteliti
: variabel yang di adjusted by design
: variabel antara
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Kadar seng serum yang rendah merupakan faktor risiko perawakan
pendek pada anak.
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan rancangan penelitian observasional analitik
dengan desain kasus kontrol. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi subyek
dengan perawakan pendek (kelompok kasus) dan mencari subyek dengan perawakan
normal (kelompok kontrol) (gambar 4.1).
Kasus (perawakan
pendek)
Kadar seng
serum
Kadar seng
serum
Kontrol (perawakan
normal)
Gambar 4.1 Rancangan penelitian
Faktor risiko yang diteliti ditelusuri secara retrospektif pada kedua kelompok
yang dianalisis. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah kadar seng yang rendah
ada hubungan terhadap terjadinya perawakan pendek, dengan membandingkan
46
prevalensi kadar seng rendah pada kelompok kasus dan kontrol. Pada saat pemilihan
kontrol dilakukan matching terhadap jenis kelamin.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini adalah wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I,
Kabupaten Klungkung. Posyandu dipilih secara acak mewakili 39 posyandu di
wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I. Waktu penelitian dilakukan selama 2
bulan yaitu bulan Agustus 2013 sampai September 2013.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah anak balita di Kabupaten Klungkung.
Populasi terjangkau adalah anak-anak balita usia 24-60 bulan yang berdomisili di
wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I, Kecamatan Klungkung, Kabupaten
Klungkung selama kurun waktu Agustus sampai September 2013.
4.3.2 Sampel penelitian
Sampel penelitian merupakan bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan
teknik sistematik random sampling. Sampel pada kelompok kasus dalam penelitian
ini adalah anak usia 24-60 bulan yang datang ke posyandu di wilayah kerja UPT
Puskesmas Klungkung I, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung yang
47
mengalami perawakan pendek sesuai dengan hasil pengukuran tinggi badan
berdasarkan umur oleh peneliti dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
Sampel yang dikehendaki untuk kelompok kontrol adalah anak usia 24-60
bulan yang datang ke posyandu di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I,
Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung yang mengalami perawakan normal
sesuai dengan hasil pengukuran tinggi badan berdasarkan umur oleh peneliti dan
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
4.3.2.1 Kriteria eligibilitas
Kriteria inklusi kelompok kasus :
1.
Anak usia 24-60 bulan dengan perawakan pendek.
2. Orang tua setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, dilanjutkan
dengan penandatanganan informed consent
Kriteria inklusi kelompok kontrol :
1.
Anak usia 24-60 bulan dengan perawakan normal.
2. Orang tua setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, dilanjutkan
dengan penandatanganan informed consent
Kriteria eksklusi
1. Anak dengan penyakit kronis seperti HIV/AIDS, gagal ginjal kronis,
penyakit jantung, kencing manis, keganasan.
2. Anak dengan kelainan endokrin hipotiroid, sindrom cushing.
48
3. Anak dengan kelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang,
sindrom tertentu seperti Turner sindrom, sindrom Down, Kallman
sindrome, Marfan sindrome, Klinefelter sindrom.
4. TB/U subyek saat dewasa berada sesuai potensi genetik (MPH).
4.3.2.2 Perhitungan besar sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus untuk studi kasus kontrol tidak
berpasangan (Sudigdo, 2010):
N1=N2 = (Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2)2
(P1 – P2)2
(1)
Ditetapkan besarnya kesalahan tipe I (α)=5% (α=0,05), maka nilai Zα adalah
1,96. Besarnya kesalahan tipe II (β) adalah 20% (β=0,2) power penelitian 80%,
Zβ=0,842. Perkiraan proporsi paparan pada kasus (P2) sebesar 50% (Dehghani dkk.,
2011). Selisih minimal proporsi antara kelompok kasus dan kontrol (P1-P2) yang
diharapkan sebesar 0,35, maka nilai P2 adalah 0,85. Nilai P= ½ (P1+P2), maka P
sebesar 0,67. Perhitungan sampel dapat dilihat sebagai berikut:
N1=N2= (1,96√2x0,67x0,33 + 0,842√0,85x0,15+0,5x0,5)2
(0,35) 2
Dengan demikian, besar sampel masing masing kelompok 26 anak.
49
4.3.2.3 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan sistematik random sampling.
Skrining dilakukan di 4 Posyandu di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I,
yang dipilih dengan cara random sebagai tempat penelitian. Penyuluhan dilakukan
terhadap orang tua atau wali yang mengantar ke Posyandu guna mendapatkan
persetujuan dari populasi penelitian bahwa mereka akan dilakukan pengukuran tinggi
badan. Populasi penelitian akan dipilih menjadi kelompok perawakan pendek dan
perawakan normal. Sampel penelitian dipilih dengan sistematik random sampling
untuk mendapatkan sampel perawakan pendek sebesar 26 sampel dan 26 sampel
perawakan normal.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi variabel
Variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:
Variabel bebas
: kadar serum seng
Variabel tergantung
: perawakan pendek
Variabel perancu
: umur, jenis kelamin, asupan nutrisi, frekuensi sakit, penyakit
kronis, kelainan endokrin, genetik/kromosom.
4.4.2 Definisi operasional variabel
Definisi operasional dari variabel penelitian seperti yang tercantum dalam
kerangka konsep adalah sebagai berikut :
1. Umur anak adalah umur anak yang dihitung sejak tanggal lahir sampai waktu
penelitian yang diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner yang
50
dinyatakan dalam bulan. Dalam penelitian ini ditentukan umur anak antara
umur 24-60 bulan.
2. Jenis kelamin anak adalah jenis kelamin anak yang berusia 24-60 bulan yang
dibedakan menjadi 2 kategori yaitu laki – laki dan perempuan dan diperoleh
melalui wawancara dengan kuesioner.
3. Pertumbuhan linier (TB/U) adalah keadaan gizi anak
yang diukur
berdasarkan tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin dengan standar
WHO 2005 dengan metode Z-score dan dihitung menggunakan sofware
WHO Anthro 2005. Metode pengukuran tinggi badan dengan menggunakan
alat microtoise. Kategori:
1. Pendek (stunted): Z score < -2
2. Normal : Z score ≥ -2 sampai +2
4. Asupan energi (kalori) adalah gambaran konsumsi makan anak yang meliputi
jenis bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dan jumlah bahan
makanan yang mengandung energi (karbohidrat, protein, lemak) yang
dilakukan dengan metode wawancara menggunakan formulir SQ-FFQ (Semi
Quantitative Food Frequency Questionaire). Gambaran jumlah rata – rata
konsumsi semua jenis makanan yang diukur dengan record 3x24 jam sejak
dijadikan sampel yang dihitung dengan menggunakan daftar konsumsi bahan
makanan (DKBM), kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan gizi
(AKG) tahun 2012. Dibedakan menjadi 2 kategori:
1. Baik: ≥ 80% AKG
2. Kurang: <80 % AKG
51
5. Asupan protein adalah gambaran konsumsi makan anak yang meliputi jenis
bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dan jumlah bahan
makanan yang mengandung protein yang dilakukan dengan metode
wawancara menggunakan formulir SQ-FFQ (Semi Quantitative Food
Frequency Questionaire). Gambaran jumlah rata – rata konsumsi protein
diukur dengan record 3x24 jam sejak dijadikan sampel yang dihitung dengan
menggunakan daftar konsumsi bahan makanan (DKBM), kemudian
dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2012. Dibedakan
menjadi 2 kategori:
1. Baik: ≥ 80% AKG
2. Kurang : <80% AKG
6. Penyakit kronis adalah kondisi penyakit infeksi atau imflamasi atau
neoplastik seperti HIV/AIDS, gagal ginjal, penyakit jantung, kencing manis,
kecacingan, keganasan yang menetap lebih dari 2 bulan yang didiagnosis oleh
dokter. Diketahui berdasarkan informasi dari orang tua atau wawancara.
7. Kelainan endokrin adalah kondisi anak yang dicurigai mengalami kelainan
endokrin yaitu sindrom cushing yang didiagnosis atau menunjukkan gejala
yang dicurigai mengarah pada kelainan tersebut oleh dokter dan berdasarkan
informasi dari orang tua atau wawancara bahwa anaknya menderita sindrom
cushing berdasarkan pemeriksaan dokter dan laboratorium. Sindrom cushing
ditandai dengan wajah bulat dan dagu ganda serta sifat pletorik yang khas,
bufallo hump, perawakan pendek, obesitas.
52
8. Kelainan hipotiroid adalah kondisi anak yang dicurigai mengalami kelainan
hipotiroid yang didiagnosis atau menunjukkan gejala yang dicurigai
mengarah pada kelainan tersebut oleh dokter dan berdasarkan anmnesis dari
orang tua atau wawancara bahwa anaknya menderita hipotiroid berdasarkan
pemeriksaan dokter dan laboratorium. Hipotiroid ditandai dengan gejala
wajah rata, pangkal hidung pendek (psudohipertelorisme), pelebaran
fontanela, pelebaran sutura, makroglosia, suara tangis serak, hernia
umbilikalis, kulit yang dingin, hipotoni, hiporefleksia.
9. Kelainan tulang adalah kondisi anak dengan kelainan tulang seperti
kondrodistrofi, displasia tulang, sindrome tertentu seperti Turner Sindrom,
Down sindrom, Kallman sindrome, Marfan sindrome, Klinefelter sindrom.
Dicurigai mengalami kelainan tersebut berdasarkan pengukuran proporsi
tubuh yang tidak proporsional yaitu rasio proporsi segmen atas dan bawah
tidak sesuai dengan nilai standar untuk umur dan jenis kelamin serta wajah
dismorfik.
10. Genetik adalah kondisi perawakan pendek familial yang dapat diketahui
dengan menghitung midparentalheight (MPH) kedua orang tua yaitu TB/U
subyek saat usia 20 tahun berada dibawah potensi genetik (MPH).
Perhitungan midparental height sebagai berikut:
Anak laki – laki : TB ayah + (TB ibu +13) ± 8,5
2
Anak perempuan : (TB ayah – 13) + TB ibu
2
± 8,5
53
11. Kadar seng serum adalah kadar seng dalam darah anak pada saat diadakan
penelitian. Pemeriksaan dilakukan dengan metode ICP-MS di laboratorium
Prodia pusat rujukan nasional Jakarta, dinyatakan dalam µg/dl. Kadar seng
rendah apabila kadar seng serum <65 µg/dl (Ibeanu dkk., 2012). Dibedakan
menjadi 2 kategori:
1. Ya : kadar seng serum < 65 µg/dl
2. Tidak : kadar seng serum ≥ 65 µg/dl
4.5 Instrumen Penelitian
1. Form SQ-FFQ digunakan untuk mengetahui jenis bahan makanan, frekuensi
makan serta jumlah bahan makanan yang dikonsumsi.
2. Food model untuk memudahkan responden dalam mengingat bahan makanan
dan mengkonversi berat makanan dari ukuran rumah tangga ke dalam berat
(gram) dan untuk menterjemahkan konsumsi makanan ke dalam bentuk
asupan kalori (karbohidrat, protein dan lemak) dengan angka kecukupan gizi
yang dianjurkan.
3. Daftar komposisi bahan makanan.
4. Daftar angka kecukupan gizi (AKG).
5. Mikrotoise adalah alat ukur tinggi badan dalam satuan ukuran cm dengan
ketelitian 0,1 cm.
6. WHO child growth standards 2005 dihitung menggunakan sofware WHO
Anthro 2005 untuk mengetahui tinggi badan anak berdasarkan umur dan jenis
kelamin (z score) termasuk status gizi pendek atau normal dan
midparentalheight.
54
7. Nilai standar rasio segmen atas dan bawah untuk umur dan jenis kelamin.
8. Alat untuk mengukur kadar seng serum dengan metode ICP-MS di
laboratorium Prodia pusat rujukan nasional Jakarta beserta alat pengambilan
darah seperti wing needle, spuit 3 cc, torniquet, kapas alkohol, tabung reaksi,
alat sentrifuge.
9. Kuesioner, adalah daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui
karakteristik anak meliputi umur, jenis kelamin serta frekuensi sakit,
menderita penyakit kronis, tinggi badan ayah dan ibu.
10. Formulir yang berisi tentang identitas orang tua/wali dan subyek penelitian
dan pernyataan setuju ikut dalam penelitian (sebagai PSP yang ditandatangani
oleh orang tua/wali subyek penelitian sebelum diikutsertakan dalam
penelitian).
4.6
Prosedur Penelitian
4.6.1 Cara penelitian
Penelitian dilakukan di 4 Posyandu yang telah dipilih secara acak dari 39
Posyandu yang ada di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I, yang
dilaksanakan oleh peneliti dan 2 asisten peneliti (tenaga kesehatan) yang sudah
dilatih. Orangtua diberikan penjelasan mengenai latar belakang penelitian sebelum
dilaksanakan pengukuran antropometri. Setelah didapatkan kelompok anak dengan
perawakan pendek dan normal kemudian dilakukan pemelihan sampel secara
sistematik random sampling. Penelitian dilanjutkan dengan pengisian kuesioner,
55
serta pemeriksaan kadar seng serum setelah orangtua menandatangani persetujuan
setelah penjelasan (PSP). Ada beberapa prosedur pengumpulan data primer yaitu:
1. Data antropometri (Pengukuran Tinggi Badan dan berat badan)
Peneliti akan melakukan pemeriksaan antopometri pada anak usia 24-60 bulan
yang datang ke posyandu di wilayah kerja Puskesmas Klungkung I, Kecamatan
Klungkung, Kabupaten Klungkung, kemudian dilakukan pengukuran tinggi badan
menggunakan alat ukur mikrotoise dengan ketelitian pengukuran sampai 0,1
dibelakang koma (cm). Mikrotoise digantungkan di dinding tegak lurus dengan lantai
dengan ketinggian ± 2 meter. Posisi kepala balita yang diukur melihat lurus kedepan
membentuk sudut 900 (dagu dan leher) atau posisi kepala frankfurt. Belakang kepala,
bahu, pantat dan tumit menempel pada dinding serta tangan atau lengan posisi lurus
kebawah. Anak tidak menggunakan tutup kepala dan alas kaki. Kamudian
pengukuran tinggi badan dilakukan pada posisi inspirasi maksimum oleh karena
tulang belakang posisi melengkung sehingga tulang belakang dapat dalam posisi
lurus. Pada kondisi balita yang tidak kooperatif diusahakan ditunda sampai
kooperatif kembali sehingga hasil yang diperoleh akurat.
Proporsi tubuh dihitung dengan cara membandingkan tinggi duduk terhadap
tinggi badan, subischial leg lenght dan menghitung segmen atas terhadap segmen
bawah tubuh. Proporsi tubuh bagian bawah (segmen bawah) diperoleh dengan
mengukur jarak bagian atas simfisis pubis sampai telapak kaki. Bagian atas diambil
dengan mengurangi tinggi badan dengan bagian bawah tubuh. Rasio segmen atas dan
bawah ini dibandingkan dengan nilai standar untuk umur dan jenis kelamin,
kemudian ditentukan termasuk proporsional atau tidak.
56
Untuk data mengenai umur, orang tua diminta menunjukkan surat kelahiran, jika
tidak ada maka catatan kelahiran anak didasarkan pada daya ingat orang tua atau
berdasarkan kejadian atau peristiwa penting misalnya Galungan, Tahun Baru dan lain
– lain. Dengan demikian kelemahan metode antropometri berdasarkan tinggi badan
menurut umur antara lain pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus tegak
lurus sehingga membutuhkan 2 orang untuk melakukan pengukuran dan ketepatan
umur sulit didapatkan.
Tinggi badan ayah dan ibu diketahui dengan melakukan pengukuran tinggi
badan dengan cara yang sama dengan pengukuran tinggi badan anak atau didasarkan
pada informasi dari orang tua. Dihitung MPH dan kemudian diplot pada kurva WHO
anthro 2005 saat anak berusia 20 tahun dan dapat diketahui potensi genetik tinggi
badan anak sehingga dibedakan termasuk perawakan pendek familial atau tidak.
Hasil pengukuran tinggi badan kemudian dihitung menggunakan sofware WHO
Anthro 2005 diplot pada kurva WHO 2005 berdasarkan umur dan jenis kelamin (Z
skor), ditentukan termasuk perawakan pendek dan memenuhi kriteria ekslusi serta
orang tua/wali telah menyetujui dan menandatangani inform consent, anaknya akan
dijadikan sampel kasus.
Anak dengan perawakan normal memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta
orang tua/wali telah menyetujui dan menandatangani inform consent, anaknya akan
dijadikan sampel kontrol. Sampel dipilih dengan cara sistematik random sampling
pada masing–masing kelompok dan dilakukan matching jenis kelamin. Setelah
sampel terpilih, dilakukan pengisian kuesioner berupa pengisian identitas lengkap
57
bapak dan ibu dan karakteristik keluarga, data konsumsi dan pemeriksaan kadar seng
serum.
2. Data konsumsi
Jenis dan frekuensi makan pada bahan makanan tertentu digunakan dengan
menggunakan form SQ-FFQ, yaitu suatu daftar pertanyaan yang mengenai frekuensi
penggunaan bahan pokok, lauk pauk hewani dan nabati, sayuran dan buah-buahan
serta selingan yang terperinci menurut tiap macam bahan atau menurut golongan
tertentu. Untuk mengetahui jumlah bahan makanan yang dikonsumsi, digunakan cara
taksiran atau estimation. Makanan yang telah dikonsumsi ditaksir berat atau isinya.
Caranya dengan dalam 3x24 jam sejak dijadikan sampel akan dikumpulkan kembali
4 hari kemudian dengan menanyakan pada ibu/pengasuh anak mengenai makanan
yang telah dikonsumsi.
Food model digunakan untuk memudahkan mengkonversikan bahan makanan
yang dikonsumsi dari ukuran rumah tangga (URT) kedalam berat (gram), serta
menggunakan alat – alat rumah tangga seperti gelas, mangkuk, sendok makan,
sendok teh, piring dan lain–lain. Untuk menterjemahkan konsumsi makanan ke
dalam bentuk konsumsi gizi (karbohidrat, protein dan lemak), digunakan DKBM.
Hasil perhitungan tersebut selanjutnya dibandingkan dengan AKG tahun 2012.
3. Data Kadar Seng Serum
Pemeriksaan darah untuk pemeriksaan kadar seng serum dilakukan oleh petugas
laboratorium swasta (Prodia) di kota Denpasar. Alat yang digunakan adalah spuit,
58
torniquet, kapas alkohol 70% dan plester. Diambil 5 ml darah dari vena cubitus
(lipatan lengan) secara aseptis dengan tabung trace elemen serum clotactivator.
Biarkan selama 30 menit, sentrifuge 1500g/10 menit. Aliquoting serum ke dalam 2
tabung polisterin berlabel, masing – masing 0,75-1 ml serum. Sampel dikirim ke
pusat rujukan nasional Prodia Jakarta dengan stabilisasi sampel 14 hari pada suhu 280C. Kadar seng serum diperiksa dengan metode ICP-MS. Pengambilan sampel
darah dalam penelitian ini tidak melihat status puasa ataupun variasi diurnal oleh
karena tergantung dari petugas laboratorium.
59
4.6.2
Alur penelitian
Populasi anak usia 24-60 bulan
Mengukur TB, BB, tanggal lahir
Kriteria inklusi dan ekslusi
Kelompok kasus
n=26
Sistematik
random
sampling
Kelompok kontrol
n=26
Wawancara: - Karakteristik balita dan keluarga
- Asupan nutrisi
Pengukuran: Kadar seng serum
Analisis data
Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian
4.7 Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh akan dilakukan entry dan dianalisis dengan program
komputer (SPSS 16.0 for windows). Analisis akan dilakukan beberapa tahap :
1. Analisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik sampel penelitian. Untuk data
yang dianalisis secara deskriptif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi,
tabulasi silang, persentase, rata – rata dan standar deviasi (SD).
2. Untuk data yang dianalisis secara analitik dilakukan dengan:
60
a. Uji statistik t-test independent tidak berpasangan untuk data skala numerik
yaitu kadar seng serum dan usia, oleh karena sebaran data normal. Uji
statistik chi-square untuk data skala nominal atau ordinal yaitu asupan
kalori, asupan protein dan kadar seng serum yang rendah. Presisi Rasio
Odds (RO) dinyatakan dengan interval kepercayaan 95% dan tingkat
kemaknaan P<0,05.
b. Terdapat perbedaan pada prevalensi kadar seng serum yang rendah pada
kelompok anak dengan perawakan pendek dan perawakan normal, maka
dilakukan analisis multivariat terhadap variabel pengganggu yaitu asupan
kalori dan protein yang rendah dengan analisis bivariat mempunyai nilai
p<0,25. Analisis multivariat yang digunakan adalah regresi logistik.
4.8 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapat izin dan kelaikan etik (ethical clearance) dari
Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah No: 795/UN.14.2/Litbang/2013, dan surat izin Bupati
Klungkung No: 070/86.i/BKBPPM.
61
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I yang
terletak di Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung. Wilayah
kerja UPT Puskesmas Klungkung I meliputi 3 kelurahan yaitu Semarapura Kauh,
Semarapura Klod dan Semarapura Klod Kangin serta terdiri dari 7 desa yaitu Desa
Gelgel, Desa Tojan, Desa Kamasan, Desa Satra, Desa Tangkas, Desa Jumpai dan
kampung Gelgel dengan luas wilayah sebesar 15.322 km 2. Jumlah posyandu yang
ada di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I adalah 39 posyandu yang tersebar
di masing – masing desa.
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Klungkung I tahun 2012 sesuai
dengan data Badan Pusat statistk Kabupaten Klungkung adalah 31.930 jiwa yang
terdiri dari 15.736 jiwa laki-laki dan 16.194 jiwa perempuan. Bayi usia 0-11 bulan
sebanyak 433 jiwa, sedangkan usia 12-60 bulan sebanyak 1680 jiwa. Sebagian besar
tingkat pendidikan tamat SLTA sebesar 5.242 jiwa dengan mata pencaharian
terbanyak adalah pedagang sebesar 4.227 jiwa diikuti oleh pertanian sebanyak 2.119
jiwa.
5.2 Karakteristik Sampel Penelitian
Selama kurun waktu penelitian dari bulan Agustus-September 2013,
dilakukan terhadap 4 posyandu yang berada di wilayah kerja UPT Puskesmas
62
Klungkung I. Sebanyak 174 anak usia 24-60 bulan yang dilakukan pemeriksaan
tinggi badan, didapatkan 33 (19%) anak dengan perawakan pendek. Pemilihan
sampel penelitian dilakukan dengan sistematik random sampling, dengan
menggunakan tabel angka random. Besar sampel yang didapatkan dari perhitungan
sebesar 52 orang subyek yang terdiri dari 26 orang kasus dan 26 orang kontrol. Pada
penelitian ini dilakukan matching terhadap jenis kelamin sehingga didapatkan
masing-masing 2 pasang subyek dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Uji
normalitas dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan analisis terhadap data
penelitian, terutama pada data dengan skala rasio. Uji normalitasnya menggunakan
uji Kolmogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk. Berdasarkan uji normalitas, diperoleh
p>0,05 yang berarti data mempunyai distribusi normal. Karakteristik subyek, baik
kasus maupun kontrol, ditampilkan pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Karakteristik subyek penelitian
Jenis kelamin, laki-laki, n(%)
Usia, bulan, rerata (SB)
Asupan kalori, n (%)
< 80%
≥ 80%
Asupan protein, n (%)
< 80%
≥ 80%
Kadar seng serum rendah, ya, n(%)
Kasus
n = 26
14(53,8)
38,42(10,93)
Kontrol
n = 26
14(53,8)
42,15(10,28)
25(96,1)
1(3,9)
11(42,2)
15(57,8)
12(46,2)
14(53,8)
23(88,5)
3(11,5)
23(88,5)
14(53,8)
Tabel 5.1. Rerata usia pada kelompok kasus 38,42 bulan sedangkan pada
kelompok kontrol 42,15 bulan. Asupan kalori pada kelompok kasus 96,1% dengan
asupan < 80% sedangkan pada kelompok kontrol 57,8% dengan asupan ≥ 80%. Pada
63
kelompok kasus yang mengkonsumsi protein <80% lebih banyak dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 46,4%. Rerata kadar seng serum pada kelompok
kasus 54,5 µg/dl (SB 8,53) sedangkan pada kelompok kontrol 72,5 µg/dl (SB 13,4).
Kelompok kasus dengan kadar seng serum rendah, lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol yaitu 88,5%.
5.3. Perbandingan variabel penelitian terhadap perawakan pendek
Hubungan antara masing-masing faktor risiko dan terjadinya perawakan
pendek, dilakukan analisis bivariat yang ditampilkan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap perawakan pendek
Usia, rerata(SB)
Asupan kalori
- < 80%
- ≥ 80%
Asupan protein, n (%)
< 80%
≥ 80%
Kadar seng serum rendah
- Ya
- Tidak
Kasus
(n = 26)
38,42
(10,93)
Kontrol P
(n = 26)
42,15
0,96
(10,28)
RO
IK 95%
-
-
25
1
11
15
0,001
34,09
3,99-291,16
12
14
3
23
0,006
6,57
1,57-27,43
23
3
14
12
0,006
6,57
1,57-27,43
Tabel 5.2 menunjukan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok
kasus dan kontrol berdasarkan usia dengan nilai p = 0,96. Rerata kadar seng serum
pada kelompok kasus dan kontrol berbeda bermakna dengan nilai p = 0,001. Untuk
mengetahui hubungan asupan kalori dengan perawakan pendek dilakukan uji ChiSquare, perbedaan bermakna ditunjukkan oleh asupan kalori pada kelompok kasus
64
dan kontrol dengan nilai p = 0,001, dan pada asupan protein yang rendah dengan
nilai p = 0,006. Kadar seng serum rendah juga menunjukan perbedaan bermakna (p =
0,006).
Berdasarkan analisis bivariat pada tabel 5.2, variabel-variabel yang dianalisis
multivariat adalah variabel dengan nilai p<0,25 yaitu asupan kalori, asupan protein
dan kadar seng serum rendah untuk menyingkirkan bias terhadap hasil penelitian ini.
Analisis multivariat variabel yang berhubungan dengan perawakan pendek disajikan
dalam tabel 5.3.
Tabel 5.3. Hasil analisis multivariat pengaruh defisiensi seng serum terhadap
kejadian perawakan pendek*
Variabel
B
Asupan kalori
3,58
Asupan protein
1,21
Defisiensi seng
1,89
Konstanta
-4,10
*Uji regresi logistik
P
0,005
0,227
0,001
0,001
RO
29,499
3,3
16,166
0,016
IK 95%
2,765-314,713
0,472-23,879
3,11-84,043
Tabel 5.3 menunjukan hasil analisis multivariat dengan regresi logistik
metode bacward LR. Hasil uji regresi logistik menunjukan pengaruh antara kadar
seng serum yang rendah terhadap perawakan pendek dengan nilai rasio odds (RO)
16,1 (IK 95% 3,1-84,0).
65
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dari 52 subyek penelitian, telah dilakukan match terhadap
jenis kelamin yang bertujuan menghilangkan pengaruh jenis kelamin terhadap risiko
perawakan pendek. Penelitian oleh Musthaq, dkk. (2012) menunjukan prevalensi
perawakan pendek lebih banyak pada laki–laki dibanding perempuan (p = 0,001).
Hasil penelitian yang serupa ditunjukan oleh Kimani-Murage dkk. (2010), Senbanjo
dkk. (2011) dan Wamani, dkk. (2007). Penelitian Depghani dkk. (2010) menunjukan
tidak ada pengaruh antara kadar seng serum dengan jenis kelamin namun defisiensi
seng sedikit lebih tinggi pada laki–laki (8,1%) dibandingkan perempuan (7,8%),
namun berbeda dengan Ibeanu, dkk. (2012) yang menyatakan kadar seng serum
normal lebih banyak pada laki–laki (63,3%) dibandingkan perempuan (36,4%).
Penelitian pada anak perawakan pendek usia dibawah 5 tahun oleh Mozaffari dkk.
(2009) dengan memberikan suplementasi seng selama 6 bulan memberikan hasil
bermakna pada peningkatan tinggi badan hanya pada anak laki–laki. Laki-laki
memerlukan seng lebih tinggi dari perempuan karena laju pertumbuhannya lebih
cepat, proporsi otot perkilogram berat badan lebih besar dan kadar seng pada otot
lebih besar dari pada lemak (Gibson, 2006).
Dilihat dari distribusi menurut umur, penelitian kami melibatkan anak usia
24-60 bulan, baik pada kelompok perawakan pendek maupun normal. Tidak
ditemukan perbedaan bermakna antara usia kelompok perawakan pendek (38,42
bulan) dan kelompok perawakan normal (42,15 bulan) dengan p = 0,96. Penelitian
66
Kimani-Murage dkk. (2010) menunjukan prevalensi perawakan pendek paling tinggi
pada usia 1-4 tahun kemudian menurun usia 5 tahun (32%), dan meningkat kembali
pada usia remaja yaitu usia 14 sampai 15 tahun. Hasil penelitian tersebut didukung
oleh penelitian Mushtaq dkk. (2011), yang menunjukan anak usia 5 sampai 12 tahun
yang mengalami perawakan pendek hanya sebesar 8%. Penelitian oleh Dehghani
dkk. (2011) pada anak usia 3-18 tahun menunjukan tidak terdapat hubungan antara
kadar seng serum dengan usia. Beberapa penelitian yang membandingkan tentang
perawakan pendek lebih banyak pada usia dibawah lima tahun (Wamani, dkk.,
2007). Fenomena ini terjadi karena usia tersebut merupakan masa pertumbuhan yang
cepat sehingga kebutuhan nutrien untuk masa pertumbuhan juga meningkat.
Kebutuhan seng secara fisiologis meningkat pada periode pertumbuhan cepat akibat
terjadinya proses replikasi DNA, transkripsi DNA dan fungsi endokrin (Gibson,
2006; Hidayati, 2011). Bayi dan anak – anak berisiko mengalami defisiensi seng
karena kadar metalotionein di hati rendah saat lahir, berat badan lahir rendah atau ibu
dengan defisiensi seng sedangkan kebutuhan seng untuk tumbuh kejar sangat tinggi
(Gibson, 2006).
Asupan kalori merupakan gambaran konsumsi pada anak yang meliputi jenis
bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dan jumlah bahan makanan yang
mengandung energi. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa kelompok anak
dengan perawakan pendek dan normal sebagian besar mengkonsumsi nasi sebagai
makanan pokok (sumber energi) dan tempe sebagai sumber protein dengan jumlah
asupan kalori yang rendah (<80%) lebih banyak didapatkan pada kelompok anak
perawakan pendek dan menunjukan perbedaan yang bermakna dengan nilai p =
67
0,001 (p < 0,05). Kemungkinan asupan kalori yang rendah menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada kelompok anak balita pendek. Hal yang sama juga ditemukan
pada penelitian yang dilakukan oleh Ruminingsih (2010), yang menyebutkan bahwa
pada anak balita pendek rata – rata tingkat konsumsi energi lebih rendah
dibandingkan pada anak balita dengan perawakan normal.
Protein merupakan makronutrien yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk
pertumbuhan, perkembangan dan fungsi tubuh. Enzim merupakan protein dengan
fungsi kimia yang spesifik dan merupakan perantara pada hampir semua proses
fisiologik kehidupan. Sejumlah kecil protein berperan sebagai hormon. Pada
penelitian ini, asupan protein yang rendah lebih banyak pada kelompok anak
perawakan pendek serta menunjukan perbedaan bermakna dengan nilai p = 0,006,
namun setelah dilakukan analisis multivariat tidak menunjukan perbedaan bermakna
secara statistik. Hasil penelitian yang sama ditunjukan oleh penelitian Ruminingsih
(2010) dan Tresna (2008).
Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah
malnutrisi. Nutrisi memegang peranan penting terhadap kontrol mekanisme
pertumbuhan linier. Penelitian pada binatang menunjukkan restriksi pemberian
energi dan protein menyebabkan penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan
kembali normal setelah diberikan energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi
dan IGF-1 pada manusia dapat dilihat dari penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan
malnutrisi seperti kwarsiorkor atau marasmus (Estivariz, 1997 dalam Rivera, 2003).
Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya asupan kalori pada anak karena
pengetahuan gizi yang rendah pada orang tua terutama ibu. Penelitian oleh Imdad
68
dkk. (2011), menggambarkan terjadi peningkatan terhadap berat dan tinggi badan
anak usia dibawah 5 tahun setelah diberikan makanan tambahan beserta konseling
kepada ibu mengenai nutrisi yang baik untuk anak. Penelitian yang dilakukan di
Indonesia oleh Best dkk. (2011), pada orang tua yang merokok meningkatkan risiko
gizi kurang pada anak karena kemampuan untuk membeli makanan yang bergizi
menjadi berkurang dibandingkan dengan orang tua yang tidak merokok. Faktor sosial
ekonomi yang rendah, jumlah keluarga yang banyak juga berkontribusi terhadap
terjadinya perawakan pendek (Senbajo dkk., 2011; Mushtaq dkk., 2011).
Seng merupakan mikronutrien yang paling berpengaruh terhadap proses
percepatan pertumbuhan anak. Pada penelitian ini, terdapat perbedaan rerata kadar
seng serum pada anak dengan perawakan pendek. Kadar seng serum pada anak
perawakan pendek lebih rendah secara signifikan dibandingkan anak perawakan
normal (p = 0,001). Hasil penelitian yang sama tampak pada penelitian Gibson dkk.
(2007), terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar seng serum pada anak laki –
laki dengan perawakan pendek yaitu 9.19 µmol/L (95% CI 8,53-9,84) dibandingkan
anak dengan perawakan normal yaitu 9,70 µmol/L (95% CI 8,53-9,29), namun pada
perempuan tidak ada perbedaan. Penelitian oleh Dehghani dkk. (2011) menunjukan
hasil berbeda yaitu kadar seng serum secara signifikan tidak berhubungan dengan
tinggi badan maupun berat badan, namun defisiensi seng (seng <70 µg/dl) lebih
banyak didapatkan pada anak dengan perawakan pendek ringan (47,8%) dan
perawakan pendek sedang (1,5%) dibandingkan dengan perawakan normal dengan
nilai p = 0,029. Kadar seng yang rendah pada penelitian ini, lebih banyak pada anak
dengan perawakan pendek (88,5%) dibandingkan anak perawakan normal dan secara
69
signifikan berbeda bermakna dengan nilai p = 0,006. Setelah dilakukan analisis
multivariat, kadar seng yang rendah tetap menunjukan perbedaan bermakna antara
kedua kelompok tersebut (p = 0,001). Kemungkinan hal ini menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada kelompok anak dengan perawakan pendek.
Kadar seng yang rendah menyebabkan penyebab perawakan pendek dengan
mekanisme kekurangan seng menimbulkan anoreksia sehingga asupan energi rendah
dan pertumbuhan terganggu. Seng berperan dalam sintesis DNA dan RNA yang
penting dalam replikasi dan diferensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan
sintesis somatomedin, osteokalsin dan kolagen serta metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak. Seng mempengaruhi sintesis dan sekresi growth hormon (GH)
dan aktivasi insulin-like growth factor 1 (IGF-1) atau somatomedin di hati dan tulang
(Salgueiro dkk., 2002). Kebutuhan seng secara fisiologis meningkat pada periode
pertumbuhan cepat akibat terjadinya proses replikasi DNA, transkripsi DNA dan
fungsi endokrin (Gibson, 2006; Hidayati, 2011).
Defisiensi seng juga menurunkan sistem imun sehingga meningkatkan frekuensi
sakit atau morbiditas. Hal tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan energi dan
seng yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan linier (Salgueiro dkk., 2002).
Pemberian suplementasi seng terbukti dapat menurunkan angka kematian akibat
penyakit pneumonia dan diare (Yakoob dkk., 2011).
Faktor utama yang menyebabkan kekurangan seng adalah diet yang
mengandung seng tidak adekuat, penyakit yang menyebabkan kehilangan seng dan
gangguan utilisasi dan kondisi fisiologis yang menyebabkan kebutuhan meningkat
(Gibson, 2006). Beberapa penelitian mengenai suplementasi seng pada anak dengan
70
perawakan pendek telah dilakukan. Penelitian metaanalisis oleh Brown dkk. (2002)
menunjukkan pemberian suplementasi seng pada anak usia di bawah 12 tahun
memberikan efek positif terhadap peningkatan tinggi badan sebesar 0,35 cm (95% CI
0,189-0,511). Pada penelitian tersebut, 14 studi menunjukkan perbedaan yang
bermakna terhadap konsentrasi seng serum yaitu peningkatan sebesar 0,820 µmol/L
(95% CI 0,499-1,14) setelah suplementasi seng, sedangkan 1 studi menunjukkan
hasil tidak bermakna. Penelitian lain oleh Mozaffari-Koshravi dkk. (2008)
menunjukkan suplementasi seng hanya berdampak pada anak laki – laki usia 2-5
tahun. Walker dan Black (2007) melaporkan 28 penelitian dari usia lahir sampai 17
tahun, hasilnya 7 penelitian menunjukkan suplementasi seng tidak memberikan efek
terhadap tinggi maupun berat badan, hanya 1 penelitian yang menunjukkan efek
positif, yaitu pada anak dengan kadar seng serum yang rendah sebelum diberikan
suplementasi.
Berdasarkan WHO, jika prevalensi defisiensi seng lebih besar dari 20% maka
direkomendasikan intervensi suplementasi seng. Apabila prevalensi asupan kalori
yang tidak adekuat lebih dari 25% maka akan meningkatkan risiko defisiensi seng
(De Benois, 2007).
71
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja UPT Puskesmas
Klungkung I, dapat disimpulkan kadar seng yang rendah merupakan faktor risiko
perawakan pendek pada anak. Risiko untuk terjadinya perawakan pendek pada anak
dengan defisiensi seng sebesar 16,1 kali. Asupan energi (kalori) yang rendah
merupakan faktor risiko perawakan pendek pada anak. Risiko untuk terjadinya
perawakan pendek pada anak dengan asupan energi yang rendah sebesar 29,4 kali.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu penelitian kohort (prospektif)
untuk mengetahui pengaruh defisiensi seng terhadap perawakan pendek dan
penelitian
randomized
conntrol
trial
untuk
mengetahui
pengaruh
suplementasi seng sebagai intervensi terhadap anak dengan perawakan
pendek.
2. Perlu ditingkatkan pemberian informasi berupa penyuluhan kepada ibu balita
mengenai nutrisi termasuk pentingnya mengkonsusmsi bahan makanan
sumber zat energi dan protein sehingga dapat mencegah malnutrisi termasuk
perawakan pendek.
72
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi.
Denpasar: Program Pascasarjana UNUD.
Batubara, J.R.L., Patria, S.Y., Marzuki, A.N.S. 2010. Pertumbuhan dan Gangguan
Pertumbuhan. Dalam: Batubara, J.R.L., Tridjaja, B., Pulungan, A.B., editor.
Endokrinologi Anak. Edisi I. Jakarta: IDAI. h. 19-42.
Best, C.M., Sun, K., Pee, S., Sari, M., Bloem, M.W., Semba, R.D. 2008. Paternal
Smoking and Increase Risk of Child Malnutrition among Families in Rural
Indonesia. Tobacco Control. 17: 38-45.
Black, R.E., Allen, L.H., Bhutta, Z.A., Caulfield, L.E., De Onis, M., Ezzati, M. 2008.
Maternal and Child Undernutrition: Global and regional exposure and
Health Consequence. Lancet 371: 243-260.
Brown, K.H., Peerson, J.M., Rivera, J., Allen, L.H. 2002. Effect of Supplemental
Zinc on the Growth and Serum Zinc Concentration of Pubertal Children: a
Meta-anlysis of Randomized Controlled Trials. Am J Clin Nutr. 75: 10621071.
Casapia, M., Joseph, S.A., Nunez, C., Rahme, E., Gyorkos, T.W. 2006. Parasite Risk
Factors for Stunting in Grade 5 Students in a comunity of Extreme Poverty
in Peru. International Journal for Parasitology 36: 741-747.
Cuttler, L. 1996. Short Stature. Dalam: Kliegman, R.M., Nieder, M., Super, D.M.,
editor. Practical Strategies in Pediatric Diagnosis and Therapy. United
State of America: W.B. Saunder Company. h. 1020-1037.
Davaera, Y. 2011. Defisiensi Mikronutrien Khusus Defisiensi Vitamin A. Dalam:
Sjarif, D.R., Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar
Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.
De Benois, B., Damton-Hill, I., Davidson, L., Fontaino, O., Hotz, C. 2007.
Conclusion of the Join WHO/UNICEF/IAEA/IZiNCG Interagency Meeting
on Zinc Status Indicators. Food Nutr Bull. 28: 480-484.
73
Dehghani, S.M., Katibeh, P., Haghighat, M., Morajev, H., Asadi, S. 2011. Prevalence
of Zinc Deficiency in 3-18 Years Old Children in Shiraz-Iran. Iran Red
Cresent Med J. 13(1):4-8.
Dijkhuizen, M.A., Wieringa, F.T., West, C.E., Martuti, S., Muhilal. 2001. Effects of
Iron and Zinc Supplementation in Indonesian Infants on Micronutrien Status
and Growth. J. Nutr. 131: 2860-2865.
Gibson, R.S. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Edisi 2. NewYork: Oxford
University Press. h. 256-257, 478-485, 711-720.
Gibson, R.S. 2006. Zinc: The Missing Link in Combating Micronutrien Malnutrition
in Developing Countries. Proceedings of The Nutrion Society 65: 51-60.
Gibson, R.S., Manger, M.S., Krittaphol, W., Gowachirapant, T.P.S., Bailey, K.B.,
Winichagoon, P. 2007. Does Zinc Deficiency Play Role in Stunting among
Primary School Children in NE Thailand? British journal of Nutrition 97:
167-175.
Golden, M.H.N. 2005. Malnutrition. Dalam: Guandalini, S., editor. Textbook of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition. Edisi I. UK: Taylor and Francis.
h. 489-523.
Hidajat, B., Lestari, E.D. 2011. Defisiensi Zat Besi. Dalam: Sjarif, D.R., Lestari,
E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.
Hidajat, B., Nasar S.S., Sjarif D.R. Tinjauan Mutakhir tentang Makronutrien. Dalam:
Sjarif, D.R., Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar
Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 7-22.
Hidayati, S.N. 2011. Defisiensi Seng (Zn). Dalam:
Sjarif, D.R., Lestari, E.D.,
Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.
Hotz, C., Brown, K. 2004. Assesment of the Risk Zinc Deficiency in Populations and
Options for its Control. Food Nutr Bull. 25: S99-S199.
Ibeanu, V., Okeke, E., Onyechi, U., Ejiofor, U. 2012. Assessment of Anthropometric
Indices, Iron and Zinc Status of Preschoolers in a peri-urban Community in
South East Nigeria. IJBAS-IJENS. 12:31-37.
74
Imdad, A., Yakoob, M.Y., Bhutta, Z.A. 2011. Impact maternal Education About
Complementary Feeding and Provision of Complementary Foods on Child
Growth in Developing Country. BMC Public Health 11(Suppl 3):1-14.
Imdad, A.,Yakoob, M.Y., Sudfeld, C., Haider, B.A., Black, R.E., Bhutta, Z.A. 2011.
Impact of Suplementation on Infant and Childhood Mortality. BMC Public
Health 11 (Suppl 3): S20.
Kappy, MS. 2010. Adrenal Disorder. Dalam: Kappy, M.S., Allen, D.B., Gether,
M.E., editor. Pediatric Practise Endocrinology. New York: Mc Graw Hill
Medical. h. 175-183.
Kimani-Murage, E.W., Kahn, K., Pettifor, J.M., Tolman, D.B., Gomez-Olive, X.F.,
Norris, S.A. 2010. The Prevalence of Stunting, Overweight and Obesity,
and Metabolic Disease Risk in Rural South African Children. BMC Public
Health 10: 1-13.
Kyu, H.H., Georgiades, K., Boyle, M.H. 2009. Maternal Smoking, Biofuel Smoke
Exposure and Child Heigh-for Age in Seven Developing Countries.
International Journal of Epidemiology 38: 1342-1350.
Madiyono, B., Moeslihan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, H.S. 2010.
Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S., editor. Dasar-Dasar
Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto. h. 302-331.
Mahmud, K., Mien. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Jakarta:
PERSAGI.
Mardewi, K.W., Sidiartha, L. 2012. Breastfeeding Duration and Age at First
Complementary Feeding in Children Age 6 months to 5 years. Pediatrica
Indonesiana 52(Suppl.5): 252.
Mexitalia, M. 2010. ASI Sebagai Pencegah Malnutrisi pada Bayi. Dalam: Suradi, R.,
Hegar, B., Pratiwi, I.G.A.N., Marzuki, A.N.S. Ananta, Y., editor. Indonesia
Menyusui. Edisi I. Jakarta: IDAI. h. 219-231.
Musthtaq, M.U., Gull, S., Khurshid, U., Shahid, U. Shad, M.A., Siddiqui, A.M.
2011. Prevalence and Socio-demographic Correlates of Stunting and
Thinness among Pakistan Primary School Children. BMC Public Health
790:1-11.
75
Nicol, L.E., Allen, D.B., Czernichow, G., Zeither, P. 2010. Normal Growth and
Growth Disorder. Dalam: Kappy, M.S., Allen, D.B., Gether, M.E., editor.
Pediatric Practise Endocrinology. New York: Mc Graw Hill Medical. h. 2376.
Nriagu, J. 2007. Zinc Deficiency in Human Health. Elsevier. h. 1-8.
Onis, M., Blossner, M., Borghi, E. 2011. Prevalence and Trends of Stunting among
Pre-school Children, 1990-2020. Public Health Nutrition 1: 1-7.
Ramakrishnan, U., Aburto, N., McCabe, G., Martorell, R. 2004. Multimicronutrien
Interventions but Not Vitamin A or Iron Interventions Alone Improve Child
Growth: Result of 3 Meta-Analyses. J. Nutr. 134: 2592-2602.
Rivera, J.A., Hotz, C., Gonzalez-Cossio, T., Neufeld, L., Garcia-Guerra, A. 2003.
The Effect of Micronutrien Deficiencies on Child Growth: A review of
Result from Comunity-Based Supplementation Trials. J. Nutr. 133: 4010S4020S.
Ruminingsih. 2010. Perbedaan Pola Konsumsi (Rnergi, Protein, Seng dan Vitamin
A) dan Frekuensi Sakit pada Anak Balita dengan Status Gizi Pendek dan
Normal di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Klungkung I Kabupaten
Klungkung. Denpasar: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK
Universitas Udayana.
Salgueiro, M.J., Zubilaga, M.B., Lysionex, E., Caro, R.A., Weill, R., Boccio, R.
2002. The Role of Zinc in the Growth and Development of Children.
Nutrition 18: 510-519.
Schwarz, N.G., Grobusch, M.P., Decker, M-L., Goesch, J., Poetschke, M.,
Oyakhirome, S., Kombila D., Fortin J., Lell B. 2008. WHO 2006 Child
Growth Standards: Implication for the Prevalence of Stunting and
Underweight-for-Age in a Birth Cohort of Gabonese Children in
Comparison to the Center for Disease Control and Prevention 2000 Growth
Charts and the National Center for Health Statistic 1978 Growth Reference.
Public Health Nutrition 11(suppl. 7): 714-719.
76
Senbanjo, I.O., Oshikoya, K.A., Odusanya, O.O., Njokanma, O.F. 2011. Prevalence
of and Risk Faktor for Stunting Among School Children and Adolescents in
Abeokuta, Southwest Nigeria. J Health Popul Nutr. 29(4): 364-370.
Sidiartha, IG.L. 2011. Defisiensi Vitamin D dan Kalsium. Dalam: Sjarif, D.R.,
Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik
dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.
Somer, Alfred. 2004. Defisiensi Vitamin A dan Akibatnya: Panduan Lapangan untuk
Deteksi dan Pengawasan. Alih bahasa: Vivi Sadikin. Edisi 3. Jakarta: ECG.
h. 8-19.
Stephensen, C.B. 1999. Burden Infection of Growth Failure. J. Nutr. 129: 534S538S.
Thurlow, R.A., Winichagoon, P., Gowachirapant, S., Boonpraderm, A., Manger,
M.S., Bailey, K.B., Wasanwisut, E., Gibson, R.S. 2006. Risk of Zinc, Iodine
and Other Micronutrien Deficiencies Among School Children in North East
Thailand. Uropean Journal of Clinical Nutrition 60: 623-632.
Tresna, A.K. 2008. Perbedaan Pertumbuhan Linier (TB/U), Kadar Seng dan Kadar
C-Reactive Protein (CRP) pada Anak Balita dengan Kadar Serum Retinol
Normal dan Tidak Normal. Surabaya: Tesis Program Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Umeta, M., West, C.E., Verhoef, H., Haidar, J., Hautvast, J.G.A.J. 2003. Factor
Associated with Stunting in Infants Age 5-11 months in the Dodota-Sire
Distric, Rural ethiopia. J. Nutr. 133: 1064-1069.
Walker, C.L.F, Black, R.E. 2007. Functional Indicator for Assesing Zinc Deficiency.
Food and Nutrition Buletin 28(suppl. 3): 454-479.
Wamani, H., Astrom, A.N., Peterson, S., Tumwine, J.K., Tylleskar, T. 2007. Boys
are More Stunting than Girls in Sub-Sahara Africa: a Meta-anlysis of 16
Demographic and Health Surveys. BMC Pediatric 7(suppl.17):1-10.
Wang, X., Hojer, B., Guo, S., Luo, S., Zhou, W., Whang, Y. 2009. Stunting and
Overweight in the WHO Child Growth Standards Malnutrition Among
Children in a Poor Area of China. Public Health Nutrition 12 (suppl. 11):
1991-1998.
77
WHO. 2006. WHO Child Growth Standards: Length/Height-for-Age, Weight-forAge, Weight-for-Lenght, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-Age:
Methods and Development. Geneva: WHO Press.
Widya Karya Pangan dan Gizi. 2004. Prosiding Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: WKNPG VIII. h. 183-196.
Yakoob, M.Y., Theodoratou, E., Imdad, A., Eisele, T., Ferguson, J., Jhass, A., Igor
R., Campbell H., Black R.E., Bhutta Z.A. 2011. Preventive Zinc
Supplementation in Developing Countries: Impact on Mortality and
Morbidity due to Diarrhea, Pneumonia and Malaria. BMC Public Health 11
(suppl.3): 1-10.
78
Lampiran 1
SURAT PERSETUJUAN
JUDUL PENELITIAN
PERBEDAAN KADAR SENG SERUM PADA ANAK DENGAN PERAWAKAN
PENDEK DAN NORMAL
(Informasikan keterangan-keterangan di bawah ini kepada orang tua/ wali pasien
yang akan diminta kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Jika orang
tua/ wali tidak dapat membaca ataupun menulis, maka harus ada saksi yang
mendampinginya selama anda memberikan informasi ini)
Pertumbuhan anak merupakan indikator penting status nutrisi dan kesehatan
pada suatu negara. Pertumbuhan anak yang terganggu seperti perawakan pendek
merupakan malnutrisi kronis, sering digunakan sebagai indikator kesehatan di suatu
negara.
Perawakan pendek mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit metabolik
seperti diabetes tipe II pada usia remaja, mengganggu perkembangan kognitif,
rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh serta rendahnya pendapatan. Prevalensi
infeksi menjadi meningkat akibat imunitas yang menurun, mengalami defisit fisik
dan fungsional. Perawakan pendek dan malnutrisi bersama dengan kegagalan
tumbuh intrauterin menyebabkan kematian sebanyak 2,1 juta anak di seluruh dunia
yang berusia kurang dari 5 tahun.
Seng merupakan mikronutrien yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan
anak di negara berkembang akibat rendahnya asupan makanan yang mengandung
seng. Defisiensi seng menyebabkan gangguan pertumbuhan sampai gagal tumbuh
akibat anoreksia
Tujuan
Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kadar
seng serum, pola konsusmsi serta frekuensi sakit pada anak dengan perawakan
pendek dibandingkan dengan perawakan normal.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengetahui rata – rata kadar seng serum pada anak dengan perawakan
pendek dan perawakan normal.
2. Mengetahui pola dan pola konsumsi zat gizi yang meliputi energi, protein dan
seng pada anak dengan perawakan pendek dan perawakan normal.
3. Mengetahui frekuensi sakit pada anak dengan perawakan pendek dan
perawakan normal.
Manfaat Penelitian
Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan mengenai
rendahnya kadar seng serum menyebabkan perawakan pendek pada anak.
79
Manfaat pengembangan penelitian
Dari data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk
penelitian selanjutnya.
PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian untuk mengetahui perbedaan kadar seng serum, pola
konsumsi dan frekuensi sakit pada anak perawakan pendek dan normal.
Pada anak akan dilakukan pemeriksaan tinggi badan dan ditentukan perawakan
pendek atau tidak. Kedua orang tua juga dilakukanpengukuran tinggi badan. Orang
tua yang mengantar diberikan pertanyaan mengenai jenis dan makanan yang
dikonsumsi 24 jam, frekuensi sakit. Kemudian bayi yang memnuhi kritria inklusi dan
ekslusi akan dilakukan pemeriksaan kadar seng dalam darah.
Kami mengharapkan kesediaan anda, selaku orang tua dari bayi diikut sertakan
dalam penelitian ini, untuk bersedia untuk bekerja sama dengan tim peneliti, dari
awal penelitan sampai selesai. Bekerja sama dalam hal ini berarti bersedia untuk :
1. Meluangkan waktu sejenak untuk diwawancarai oleh tim peneliti berdasarkan
kuesioner yang tersedia.
2. Menjawab semua pertanyaan yang ada dengan sebaik-baiknya.
3. Bersedia melakukan pemeriksaan antropometri yaitu pada anak dan orang tua
4. Bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar seng dari darah pada anak.
Hasil wawancara akan dijamin kerahasiaannya.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Alamat :
No. Telp :
HP :
Telah membaca dan mengerti dengan sebaik-baiknya penjelasan mengenai prosedur
dan manfaat penelitian dan secara sadar setuju untuk menyertakan anak saya dalam
penelitian ini sampai penelitian berakhir dengan tanpa paksaan, dan bebas untuk
menolak atau mengundurkan diri dari penelitian ini kapan saja.
Denpasar,…………………………
Peneliti
………………………………
Orang tua,
………………………………….
80
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN
Perbedaan Kadar Seng Serum pada Anak Perawakan Pendek dan Normal
NO. Kode Sampel
:
Nama KK
:
Alamat
:
I.
Karakteristik Anak
1. Nama Anak
:
2. Jenis Kelamin : L / P
3. Tanggal Lahir : ……../………../20……Umur : ………bulan
II.
Identitas Responden
1. Nama Responden/Ibu :
III.
2. Umur
:
3. Pekerjaan
:
Status Gizi Dan Kesehatan Anak
1. Frekuensi sakit dalam 1 bulan terakhir :
a. Tidak sakit
b. 1-2 kali sebulan
Jenis penyakit :
Lama sakit : ……………………..hari
c. ≥3 kali sebulan
Jenis penyakit :
Lama sakit : ……………………..hari
81
2. Penyakit kronis adalah kondisi penyakit infeksi atau imflamasi atau neoplastik
seperti HIV/AIDS, gagal ginjal, penyakit jantung, kencing manis, keganasan yang
menetap lebih dari 2 bulan
a. Ya
Jenis penyakit :
b. Tidak
3. Kelainan endokrin yaitu sindrom cushing atau hipotiroid kongenital
a.
Ya
Jenis penyakit :
b. Tidak
4. Status gizi anak saat ini
Tinggi badan
:
cm
Berat badan
:
gram
Segmen atas
:
cm
Segmen bawah
:
cm
Rasio segmen atas/segmen bawah :
TB/U
:
BB/TB
: ...............
5. Kadar seng serum
6. Asupan protein
:
:
7. Asupan nutrisi
IV.
Z-score:
mg/hari
:
kalori/hari.
POTENSI GENETIK
Tinggi badan ayah
:
Tinggi badan ibu
:
Mid parental High (MPH):
Usia ayah saat mengalami akil balik atau mimpi basah?
82
Lampiran 3
83
Lampiran 4
84
Lampiran 5
85
86
87
Lampiran 6
88
89
90
91
92
93
Download