7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Fungsi Seksual Pria Fungsi seksual

advertisement
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Fungsi Seksual Pria
Fungsi seksual pria terdiri dari 4 komponen, yaitu: dorongan seksual,
bangkitan seksual, orgasme, dan ejakulasi. Bangkitan seksual terutama berupa
ereksi penis. Setiap gangguan pada salah satu komponen itu dapat menimbulkan
disfungsi seksual. Disfungsi seksual pria dikelompokkan menjadi: 1) Gangguan
dorongan seksual yang meliputi dorongan seksual hipoaktif dan gangguan aversi
seksual; 2) Disfungsi ereksi; 3) Gangguan ejakulasi yang meliputi ejakulasi dini
(rapid ejaculation) dan ejakulasi terhambat (retarded ejaculation); 4) Gangguan
orgasme. Ejakulasi sebenarnya lebih banyak berfungsi reproduksi. Tetapi karena
pada pria normal ejakulasi terjadi pada saat orgasme, maka gangguan ejakulasi
seringkali juga mengganggu sensasi orgasme (Pangkahila, 2005).
2.2
Ereksi
Ereksi penis adalah suatu fenomena neurovaskular, yang tergantung dari
integritas saraf, fungsi dari sistem vaskular, dan jaringan kavernosal yang sehat.
Fungsi ereksi yang normal meliputi tiga proses sinergis dan simultan yaitu: 1)
peningkatan arterial inflow yang dimediasi secara neurologis, 2) relaksasi dari otot
polos kavernosal, dan 3) restriksi aliran keluar vena penis (Bivalacqua et al.,
2003).
7
8
Telah lama diketahui bahwa NO memegang peranan yang penting dalam
regulasi ereksi penis dalam keadaan fisiologis dan patologis (Bivalacqua et al.,
2003). NO merupakan mediator yang sangat penting dalam proses relaksasi otot
polos kavernosa yang menyebabkan ereksi. Relaksasi ini disebabkan oleh adanya
guanetidin dan atropin pada lapisan otot dan diduga merupakan mediator saraf
nonadrenergik-nonkolinergik. Relaksasi otot polos yang disebabkan oleh NO
terjadi melalui peningkatan siklus GMP (guanosin monophosphate) (Tendean,
2004).
2.2.1
Mekanisme Ereksi
Ereksi penis adalah manifestasi bangkitan seksual yang terjadi bila pria
normal menerima rangsangan seksual yang cukup. Ereksi penis tergantung pada
interaksi yang kompleks antara faktor psikis, neurogenik, vaskuler, dan hormon.
Hormon testosteron mempunyai peran penting baik di tingkat pusat maupun
perifer pada proses ereksi. Proses ereksi juga tergantung pada keseimbangan
antara aliran darah yang masuk dan keluar dari korpus kavernosum. Bila terjadi
keseimbangan antara aliran darah masuk dan keluar, maka penis menjadi flaccid
(fleksid=lemas). Bila aliran masuk ke arteri korpus kavernosum meningkat,
sedangkan aliran keluar vena terhambat, maka penis mengalami tumescence
(tumesensi= membesar dan memanjang) (Pangkahila, 2006).
Faktor saraf yang mempengaruhi mekanisme ereksi adalah stimulasi saraf
parasimpatetik S2-S4 yang menimbulkan dilatasi arteriol dan relaksasi otot polos
trabekula penis. Di pihak lain, stimulasi saraf simpatetik Th12-L2 mengakibatkan
9
konstriksi arteriol dan otot polos korpus kavernosum yang menimbulkan
detumesensi dan fleksid penis.
Ketika mengalami rangsangan seksual, impuls saraf menyebabkan
pelepasan NO dari neuron parasymphatetic nonadrenergic non cholinergic
(NANC) dan sel endotel korpus kavernosum. NO merupakan mediator kimia yang
terpenting untuk menimbulkan relaksasi otot polos korpus kavernosum.
Gambar: 2.1 Mekanisme Ereksi
10
Peristiwa ereksi berlangsung melalui rangkaian delapan fase sebagai berikut:
a. Fase 0: fase fleksid
Dalam keadaan fleksid, penis berada di bawah pengaruh saraf simpatetik.
Aliran masuk arteri lambat, hanya kurang dari 15 cm per detik, dan otot polos
trabekula mengalami kontraksi.
b. Fase 1: fase pengisian (filling phase)
Rangsangan parasimpatetik menyebabkan dilatasi arteriol yang menyebabkan
aliran arteri meningkat sampai 30 cm per detik. Relaksasi trabekula
menyebabkan terjadi pengisian sinusoid tanpa peningkatan yang bermakna
pada tekanan intrakavernosa.
c. Fase 2: fase tumesensi
Pada fase ini, tekanan intrakavernosa mulai meningkat, yang menyebabkan
penurunan relatif pada aliran masuk arteri. Karena tekanan meningkat di atas
tekanan diastolik, maka aliran hanya terjadi pada saat tekanan sistolik.
Selanjutnya, karena sinusoid melebar, terjadilah kompresi pada pleksus vena
subtunika. Akibatnya penis memanjang dan membesar ke kapasitas
maksimalnya.
d. Fase 3: fase ereksi sempura (full erection phase)
Pada fase ini tekanan intrakavernosa meningkat sampai 90% dari tekanan
darah sistolik. Aliran darah arteri ke dalam penis terus menurun, tetapi masih
lebih besar daripada selama fase fleksid. Sinusoid yang melebar menekan
pleksus vena subtunika, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke
11
dalam vena emissaria. Pada saat ini, tekanan gas darah sama dengan di darah
arteri.
e. Fase 4: fase ereksi rigid
Karena pengaruh nervus pudendus, muskulus ishiokavernosus berkontraksi
sehingga menekan crura dan meningkatkan tekanan darah intrakavernosa di
atas tekanan darah sistolik. Maka penis mengalami ereksi atau rigiditas yang
sempurna. Muskulus ishiokavernosus dapat dibuat berkontraksi atau di bawah
pengaruh refleks bulbokavernosus, yang mampu mempertahankan rigiditas
selama penetrasi. Aliran masuk arteri berhenti dan vena emissaria tertutup
rapat sehingga penis menjadi sebuah ruangan tertutup. Mekanisme yang
menyebabkan aliran keluar vena dari penis tertutup, disebut veno-occlusive
mechanism.
f. Fase 5: fase detumesensi awal
Pada fase ini terjadi sedikit peningkatan tekanan intrakavernosa, yang bersifat
sesaat. Peningkatan ini mungkin dipengaruhi oleh rangsangan simpatetik
terhadap aliran keluar vena yang tertutup.
g. Fase 6: fase detumesensi lambat
Pada saat ini terjadi kontraksi otot polos trabekula, konstriksi arteriola
helicinae, dan menurunnya tekanan darah intrakavernosa. Reaksi ini
menyebabkan kompresi vena subtunika berkurang dan aliran keluar vena
meningkat.
12
h. Fase 7: fase detumesensi cepat
Pada fase ini terjadi rangsangan simpatetik yang menyebabkan aliran masuk
arteri dan tekanan darah intrakavernosa menurun cepat. Perubahan ini diikuti
peningkatan aliran keluar vena dan detumesensi yang cepat.
2.2.2
Disfungsi Ereksi
Disfungsi ereksi berarti ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan
ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual dengan baik. Pada
dasarnya disfungsi ereksi disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Penyebab
fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor vaskulogenik, faktor
neurogenik, dan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2005).
Beberapa gangguan hormonal yang berkaitan dengan disfungsi ereksi
adalah hipogonadisme, hiperprolaktinemia, hipertiroidisme, dan hipotiroidisme.
Penyebab neurogenik disfungsi ereksi meliputi setiap penyakit atau trauma yang
mempengaruhi susunan saraf pusat, korda spinalis, dan susunan saraf perifer.
Disfungsi ereksi vaskulogenik adalah faktor penyebab tersering disfungsi ereksi
pada pria tua. Faktor resiko terhadap disfungsi ereksi vaskulogenik adalah:
overweight, hipertensi, diabetes melitus, dan merokok. Faktor arterial berupa
penyakit atau gangguan yang menghambat aliran darah ke dalam korpus
kavernosum. Penyebab tersering faktor arteri adalah aterosklerosis. Aliran darah
yang terhambat ke penis mengakibatkan iskemia dan oksigenasi korpus
kavernosum terganggu. Keadaan ini mengakibatkan disfungsi otot polos yang
menimbulkan disfungsi veno-oklusif. Beberapa cara operasi, obat-obatan, dan
13
radioterapi dapat mengakibatkan disfungsi ereksi. Kerusakan saraf atau arteri
yang berkaitan dengan fungsi ereksi yang terjadi selama operasi dapat
mengakibatkan disfungsi ereksi. Beberapa obat yang mengakibatkan disfungsi
ereksi misalnya obat psikotropik, antidepresan, antihipertensi, obat hormon,
antikolinergik (Pangkahila, 2005; Hargreave, 2006).
Faktor psikis meliputi semua faktor yang dapat menghambat mekanisme
ereksi, meliputi semua faktor dalam semua periode kehidupan yaitu periode anakanak, remaja, dan dewasa. Faktor psikis dapat dikelompokkan menjadi faktor
predisposisi, faktor presipitasi, dan faktor pembinaan. Faktor predisposisi
misalnya pandangan yang negatif tentang seks, trauma seksual, pendidikan seks
kurang, percaya mitos, hubungan keluarga terganggu. Faktor presipitasi misalnya
hambatan psikis karena penyakit atau gangguan fisik, proses penuaan,
ketidaksetiaan terhadap pasangan, harapan yang berlebihan, depresi, dan
kecemasan. Faktor pembinaan misalnya karena pengalaman sebelumnya,
hilangnya daya tarik pasangan, komunikasi tidak baik, takut yang berkaitan
dengan keintiman, dan pendidikan seks kurang. Faktor psikis tersebut pada
akhirnya mengakibatkan peningkatan kadar norepinefrin, baik di sirkulasi maupun
penis mengakibatkan ereksi terhambat (Pangkahila, 2005).
2.3
Diabetes Melitus
Disfungsi ereksi lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus
dibandingkan dengan populasi umum. Diabetes melitus dapat menyebabkan
berkembangnya
komplikasi
makrovaskular
dan
mikrovaskular
berupa
14
aterosklerosis pembuluh besar, penebalan dan kerusakan membran basalis
pembuluh-pembuluh kapiler sehingga terjadi gangguan mikroangiopati. Terhadap
organ reproduksi laki-laki menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah dan
jaringan testis mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi organ testis dan
penebalan jaringan ikat penunjang pembuluh darah penis sehingga akan
menghalangi aliran darah, sehingga terjadi gangguan ereksi (Guyton and Hall,
2002).
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus
(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (Perkeni, 2008). DM disebabkan karena interaksi yang kompleks
dari faktor genetik, faktor lingkungan, dan gaya hidup (life-style). Berdasarkan
etiologi dari DM, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya
hiperglikemia adalah penurunan sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa,
dan peningkatan produksi glukosa. Terjadinya disregulasi metabolik pada DM
menyebabkan secara sekunder perubahan patofisiologi pada multipel sistem organ
yang menyebabkan masalah dan beban yang besar pada penderita dan sistem
pelayanan kesehatan (Powers, 2005).
Klasifikasi DM menurut Perkeni, 2008 adalah: 1) DM tipe 1, terjadi oleh
karena kerusakan sel beta pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut karena autoimun dan idiopatik; 2) DM tipe 2: penyebabnya bervariasi,
mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin; 3) DM tipe lain:
15
oleh karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab
imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM; 4) DM
gestasional.
2.3.1
Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti tersebut di bawah ini (Perkeni, 2008):
1.
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2.
Keluhan lain berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara seperti terangkum pada tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM
1
2
3
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau
Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L).
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Atau
Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO (tes toleransi glukosa oral)
≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L).
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75gram glukosa anhidros yang dilarutkan ke dalam air.
16
2.3.2
Diabetes Melitus, Sindrom Metabolik, dan Hormon Testosteron
Resistensi insulin yang terutama disebabkan oleh adipositas abdominal,
terbukti sebagai abnormalitas patologis utama dalam terjadinya sindrom
metabolik dan diabetes. Jaringan adiposa sangat aktif secara metabolik dan
menghasilkan berbagai zat yang memperantarai hubungan antara obesitas,
resistensi insulin, diabetes, dan penyakit vaskuler serta kondisi lainnya. Hormonhormon yang berasal dari sel adiposit secara kolektif dikenal sebagai adipositokin
dan telah mengubah paradigma dari sel lemak sebagai tempat penyimpanan energi
menjadi jaringan adiposa sebagai komponen penting dari sistem endokrin.
Adipositokin yang paling banyak pada manusia adalah leptin yang meningkat
pada obesitas dan adiponektin yang menurun pada obesitas.
Bukti dari beberapa populasi studi longitudinal menunjukkan bahwa
testosteron rendah adalah faktor risiko independen untuk terjadinya obesitas,
sindrom metabolik, dan diabetes tipe 2. Data penelitian menunjukkan terdapat
hubungan antara kadar testosteron rendah dengan akumulasi lemak sentral,
dimana kadar testosteron berkorelasi negatif dengan akumulasi lemak sentral
(Tsai and Boyko, 2000).
Obesitas berhubungan dengan kadar sex hormon binding globulin (SHBG)
yang rendah yang mengakibatkan penurunan kadar total kolesterol dan kadar
testosteron bebas pada pria obesitas. Dari penelitian HERITAGE family, dalam
sekelompok 217 pria sehat yang dilakukan pemeriksaan kadar testosteron dan
juga dilakukan CT scan, bahwa penurunan total testosteron dan SHBG merupakan
17
prediktor untuk terjadinya peningkatan timbulnya obesitas dan kadar lemak
sentral (Couillard, et al., 2000).
Penurunan kadar testosteron juga terkait dengan abnormalitas dalam
metabolisme glukosa. Dalam studi terhadap 1.292 orang non-diabetes, didapatkan
adanya korelasi terbalik antara kadar total kolesterol dengan kadar insulin yang
tetap signifikan setelah pengendalian faktor umur dan obesitas (Hardiman, 2010).
2.3.3
Patofisiologi Disfungsi Ereksi Pada Diabetes Melitus
Hipogonadisme,
autonomic
neuropathy,
dan
arterial
insuficiency
dihubungkan dengan tingginya kejadian disfungsi ereksi pada pria dengan
diabetes melitus, pada penelitian cross-sectional dan longitudinal. Observasi ini
telah dilakukan baik pada binatang maupun jaringan manusia secara in-vitro dan
in-vivo (Penson et al., 2004).
Kadar hormon testosteron yang rendah, baik bioavailable testosterone dan
free testosterone secara bermakna lebih rendah pada pria diabetes melitus dengan
disfungsi ereksi (Stellato et al., 2000; Kapoor et al., 2007). Sensitivitas insulin,
obesitas, dan testosteron saling terkait satu sama lain, dimana testosteron dapat
menurunkan obesitas dan resistensi insulin. Mekanisme kerja dari testosteron
terhadap fungsi ereksi pada studi yang dilakukan pada tikus adalah melalui
stimulasi sintesis NO dan sebagai vasodilator pada penis (Yassin and Saad, 2008).
Relaksasi dari jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan NO dari
neuron nonadrenergik-nonkolinergik dan endotel. Jaringan penis penderita
diabetes melitus menunjukkan gangguan relaksasi dari otot polos yang dimediasi
18
oleh faktor neurogenik dan endotel, peningkatan advanced glication end products
(AGEs) dan upregulation arginase yang merupakan kompetitor dari nitrat oksida
sintase (NOS) dengan substratnya yaitu L-arginin, sehingga terjadi penurunan
sintesis, pelepasan, dan aktivitas nitrit oksida (Yassin and Saad, 2008).
Terjadinya neuropati sentral dan perifer, gangguan neurotransmisi, dan
disfungsi endotel juga ditemukan pada pria diabetes melitus dengan disfungsi
ereksi. Gangguan pada refleks penis dan tingkah laku kopulasi juga terjadi pada
tikus dengan diabetes melitus setelah 4-12 bulan, karena terjadi neuropati perifer
dan gangguan yang berat pada refleks seksual spinal (Yassin and Saad, 2008).
Tahap akhir kerusakan jaringan penis adalah terjadi kehilangan yang progresif
dari otot polos dan endotel yang normal dari korpus kavernosum diganti dengan
jaringan fibrotik sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi yang komplit
pada penderita diabetes melitus (Penson et al., 2004; Brown et al., 2005).
2.4
Hormon Testosteron
Testosteron adalah hormon seks pria yang tergolong hormon androgen.
Istilah androgen berarti hormon steroid yang mempunyai efek maskulinisasi,
terdiri atas testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenedion. Testosteron
merupakan hormon utama dan terpenting di antara ketiganya, sedangkan
dihidrotestosteron dan androstenedion adalah bentuk androgen yang lemah.
Semua androgen merupakan senyawa steroid. Baik dalam testis maupun dalam
adrenal, androgen dapat dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil koensim
A (Guyton and Hall, 2002).
19
2.4.1
Sintesis, Sekresi, dan Regulasi
Testosteron terutama disintesis dan disekresikan oleh testis. Testis
memproduksi antara 5-7 mg/hari atau sekitar 95% dari total produksi pada pria
dewasa, sisanya diproduksi oleh zona retikularis korteks adrenal. Pelepasan
testosteron mempunyai ritme sirkadian (circadian rhythm) dengan levelnya pada
sirkulasi mencapai puncaknya antara pukul 06.00-08.00 dan level terendah antara
pukul 18.00-20.00. Testosteron disintesis dari kolesterol pada sel Leydig testis.
Sumber kolesterol ini bisa berasal dari sintesis pada sel Leydig dan sirkulasi
(Jones, 2008).
Gambar 2.2 Regulasi Sekresi dan Sintesis Testosteron: Aksis HipothalamusHipofisis-Testis
20
Untuk mempertahankan testosteron pada tingkat yang tepat maka
kecepatan produksi harus seimbang dengan metabolisme dan ekskresi. Pengaturan
sintesis dan sekresi testosteron adalah melalui Hypothalamic-Pituitary-Testicular
Axis.
Hipothalamus mensekresi Gonadotrophin-Releasing Hormone (GnRH)
yang mengatur sekresi LH dan FSH (Follicle-Stimulating Hormone) dari hipofisis
(pituitary) anterior. LH menstimulasi sekresi testosteron dari sel Leydig dengan
meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan level kalsium
intraseluler. Bila level testosteron sudah mencukupi, maka testosteron akan
menimbulkan negative-feed back ke hipofisis dan hipothalamus. Sedangkan FSH
utamanya berpengaruh terhadap sel Sertoli untuk menginisiasi dan pemeliharaan
proses spermatogenesis. FSH juga menstimulasi sintesis dan pelepasan hormon
inhibin dan activin dari sel Sertoli. Inhibin menyebabkan negative-feed back ke
hipofisis sehingga menekan pelepasan FSH (Jones, 2008).
2.4.2
Testosteron pada Sirkulasi
Terdapat tiga fraksi testosteron pada serum. Proporsi yang paling besar
(50-80%) adalah testosteron yang terikat dengan sex hormone binding globulin
(SHBG), 20-50% berikatan dengan albumin, dan 2-3% yang bebas atau tidak
berikatan (free testosteron). Free testosteron dimetabolisme dengan cepat oleh
hepar dan mempunyai half-life yang pendek, kira-kira 10 menit. Testosteron
berikatan sangat kuat dengan SHBG, tidak mempunyai efek biologis aktif dan
mungkin berfungsi sebagai simpanan hormon pada sirkulasi. Testosteron
berikatan secara lemah dengan albumin dan bisa lepas untuk menimbulkan efek
21
biologis. Free testosteron dan testosteron yang berikatan dengan albumin disebut
bioavailable testosteron (Klingmuller et al., 2006; Jones, 2008).
2.4.3
Metabolisme Testosteron
Testosteron dimetabolisme menjadi metabolit aktif dan inaktif. Metabolit
aktif testosteron adalah 17β-estradiol dan 5α-dihydrotestosterone (DHT).
Testosteron dikonversi menjadi 17β-estradiol oleh enzim aromatase. Enzim
aromatase mempunyai aktivitas yang tinggi pada jaringan lemak, khususnya pada
lemak visceral. Makin besar jumlah lemak maka produksi 17β-estradiol akan
semakin besar. Tempat lain aktivitas aromatase adalah pada testis, prostat, dan
tulang. Konversi testosteron menjadi DHT adalah oleh enzim 5α-reduktase.
Proporsi testosteron yang dikonversi menjadi 17β-estradiol dan DHT tergantung
dari individu dan jenis jaringan, misalnya produksi DHT lebih tinggi pada prostat
dan estradiol lebih tinggi pada tulang (Jones, 2008).
Testosteron dan androgen yang lain, termasuk DHT diinaktivasi melalui
reduksi, oksidasi, dan hidroksilasi oleh liver, yang kemudian berikatan dengan
asam glukoronat. Metabolit ini kemudian akan diekskresikan oleh ginjal (Jones,
2008).
2.4.4
Efek Biologis Testosteron dan Metabolitnya
Hormon testosteron secara langsung dapat menimbulkan efek biologis dan
dapat melalui metabolitnya yaitu DHT dan 17β-estradiol. Diferensiasi seksual
pada embrio, selama pubertas, dan memelihara virilisasi, utamanya tergantung
22
dari kombinasi efek dari testosteron dan DHT. DHT, mempunyai peran yang lebih
besar terhadap kedalaman suara, peningkatan produksi sebum, dan pembesaran
dari genetalia eksterna, termasuk panjang penis. Pentingnya DHT pada kasus ini,
dapat dibuktikan pada keadaan gangguan fungsi enzim 5α-reduktase, akan
menyebabkan terjadinya mikropenis (Jones, 2008).
Efek tostosteron dan DHT sangat tergantung dari topografi tubuh.
Pertumbuhan jenggot tergantung dari testosterone, sedangkan pertumbuhan
rambut aksila dan pubis tergantung dari DHT. DHT menghambat pertumbuhan
rambut kepala sehingga bisa menyebabkan kebotakan pada beberapa pria.
Pertumbuhan dan kekuatan otot tergantung dari testosteron dan tidak tergantung
pada DHT. Testosteron merangsang haematopoiesis melalui dua mekanisme,
yaitu: menstimulasi produksi erythropoietin renal dan ekstra-renal dan efek
langsung pada sumsum tulang. Estrogen (17β-estradiol) pada pria berguna untuk
memelihara kekuatan tulang dan penutupan epifisis. Pria dengan defisiensi enzim
aromatase akan menjadi osteoporosis.
Terdapat banyak bukti bahwa testosteron mempunyai efek terhadap
metabolisme, meningkatkan sensitivitas insulin dan toleransi glukosa, pada
metabolisme lemak dapat menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan HDL
(high-density lipoprotein). Testosteron juga berefek sebagai vasodilator melalui
efek langsung terhadap otot polos. Estradiol juga berefek sebagai vasodilator
melalui pengaruhnya terhadap nitrit oksida. Testosteron mempunyai efek
psikotropik yang penting terhadap otak, yaitu dapat meningkatkan motivasi,
23
meningkatkan mood dan libido, meningkatkan fungsi kognitif seperti visualspatial skill, memori jangka pendek, dan kemampuan matematika.
Disfungsi ereksi dihubungkan dengan terjadinya defisiensi testosteron.
Penelitian yang dilakukan pada binatang, menunjukkan bahwa kekurangan
testosteron menyebabkan kehilangan elastic fibers, digantikan dengan jaringan
kolagen pada tunika albuginea, selubung saraf, dan otot polos pembuluh darah.
Lebih jauh, ditemukan adanya jaringan lemak pada tunika albuginea dan korpus
kavernosum. Bukti-bukti ini menggambarkan bahwa testosteron penting di dalam
mempertahankan struktur penis yang normal dan untuk terjadinya aktivitas yang
normal dari NO, yang merupakan zat utama dalam proses terjadinya ereksi, sangat
tergantung dari testosteron.
Gambar 2.3 Efek testosteron terhadap fungsi ereksi (dikutip dari Sakka and
Yassin, 2010)
24
Setelah umur 40 tahun level testosteron akan turun 1-2% per tahun.
Beberapa studi melaporkan terjadi penurunan level testosteron mencapai kurang
dari 12 nmol/l pada pria umur 40-60 tahun sebesar 7%, 60-80 tahun sebesar 21%,
dan umur lebih dari 80 tahun sebesar 35%. Penurunan produksi testosteron ini
terjadi karena kegagalan pada hipothalamus, hipofisis, dan testis. Hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan kejadian osteoporosis, anemia, penurunan
kognitif, depresi, metabolik sindrom, dan disfungsi ereksi pada usia tua (Guyton
and Hall, 2002; Jones, 2008).
2.5
Terapi Sulih Testosteron (Testosterone Replacement Therapy)
Indikasi terapi sulih testosteron pada pria adalah keadaan hipogonadisme
yang menunjukkan sindrom klinis yang kompleks yaitu adanya gejala-gejala
hipogonadisme dan level testosteron yang rendah. Beberapa pilihan baru dalam
terapi sulih testosteron telah tersedia sejak pertengahan tahun 1990. Ambang batas
level testosteron yang menimbulkan gejala-gejala hipogonad bervariasi tergantung
jenis gejala dan individu (Arver and Lehtihet, 2008).
Formulasi optimal dari testosteron adalah formula yang mampu
menormalisasi level testosteron yang beredar dan juga menimbulkan level yang
fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu: estradiol dan DHT. Bentuk-bentuk sediaan
testosteron
adalah:
testosteron
oral,
testosteron
bukal,
testosteron
gel,
dihydrotestosteron gel, trasdermal testosterone patches, testosteron injeksi
intramuskular, testosteron implan. Testosteron mempunyai half-life yang pendek
tetapi dengan esterifikasi half-lifenya dapat diperpanjang setelah injeksi
25
intramuskuler. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat,
fenilpropionat isocaproat, enanthate, decanoate, undecanoate (Arver and
Lehtihet, 2008).
Salah satu jenis preparat sulih testosteron yang ada adalah Sustanon ‘250’
yang merupakan oil-based injectable esterized testosterone yang terdiri dari
testosteron propionat 30 mg, testosteron fenilpropionat 60 mg, testosteron
isokaproat 60 mg, dan testosteron dekanoat 100 mg. Ada dua keuntungan
menggabungkan beberapa ester dalam formula yang sama seperti pada Sustanon
‘250’. Di sini, dengan menggunakan beberapa ester memungkinkan konsentrasi
total cukup tinggi 250 mg/mL tanpa memerlukan persentase besar dari zat yang
mempertinggi kelarutan dalam vehicle. Secara umum, kelarutan dari ester yang
berbeda dari steroid hampir independen satu sama lain, jadi misalnya jika vehicle
(minyak ditambah zat yang dapat mempertinggi kelarutan) dapat melarutkan 100
mg/mL satu ester steroid saja atau 100 mg/mL ester steroid yang lain, hal ini
mungkin bisa melarutkan total 200 mg/mL sebagai kombinasi keduanya. Hal ini
dapat menambah kenyamanan. Keuntungan kedua dari pencampuran ini adalah
bahwa lama kerja obat dapat diperpanjang dengan menggunakan ester long-acting
dalam campuran tanpa menyebabkan onset yang lambat bila ester seperti itu
diberikan secara terpisah. Dengan demikian kerja sustanon ‘250’ dimulai segera
setelah penyuntikan dan dipertahankan selama kurang lebih 3 minggu (Roberts,
2010).
26
2.6
Penis Manusia
2.6.1
Anatomi penis
Penis adalah alat kelamin eksternal dan merupakan organ kopulasi pria
yang juga berfungsi sebagai saluran keluar bersama urin dan semen. Penis terdiri
atas: 1) radix penis yang melekat pada regio (trigonum) urogenitale perineum; 2)
korpus yang tertutup sempurna oleh kulit; dan 3) glans penis yang berbentuk
kerucut bulat. Radix penis terdiri atas tiga masa jaringan erektil pada trigonum
urogenitale, yakni dua buah crus dan satu bulbus penis. Masing-masing crus penis
melekat erat pada tepi ramus ischiopubis pelvis dan tertutup oleh muskulus
ischiocavernosus. Dekat tepi inferior simpisis pubis, kedua crus tersebut
membelok ke arah bawah dan depan menjadi korpus kavernosum. Sewaktu
melintas ke arah anterior, crus penis bersatu dengan pasangannya (Gunardi,
2007).
Bulbus penis berada di antara crura penis dan melekat pada aspek inferior
membran perinealis. Ke arah anterior bulbus penis menyempit menjadi korpus
spongiosum, membelok ke arah bawah dan depan. Bulbus penis diliputi oleh m.
bulbospongiosus; ditembus oleh uretra pars kavernosa yang melintas sampai glans
penis. Bagian uretra yang berada dalam bulbus penis ini memiliki pelebaran,
sebagai fossa intrabulbar. Kulit penis orang dewasa sangat tipis dan berwarna
agak gelap dan longgar (Johnston et al., 2000; Pangkahila, 2006; Gunardi, 2007).
27
Gambar 2.4 Penis Manusia (dikutip dari Moore and Agur, 2007)
2.6.2
Organ Erektil
Korpus penis terdiri atas tiga masa erektil panjang, yang mampu
membesar bila terisi darah sewaktu ereksi. Korpus memiliki permukaan yang
penamaannya didasarkan sewaktu ereksi; permukaan sebelah posterosuperior
penis disebut dorsum penis dan aspek lawannya disebut permukaan uretral. Masamasa erektil tersebut adalah korpora kavernosa kanan dan kiri serta korpus
spongiosum penis yang letaknya di garis tengah permukaan uretral korpora
kavernosa penis. Masa-masa erektil ini saling melekat erat pada seluruh
panjangnya. Tunika albuginia lapis luar menutupi ketiga masa jaringan erektil ini.
Tunika albuginia lapis dalam menutupi korpora kavernosa penis dan terpisah
dengan tunika albuginea lapis dalam yang menutupi korpus spongiosum. Ujung
korpora kavernosa berada dalam cekungan pada aspek proksimal glans penis.
Permukaan dorsal korpus penis berisi vena dorsalis penis profunda. Dari sini, ke
28
arah lateral kanan dan kiri, berturut-turut dijumpai arteri dorsalis penis dan nervus
dorsalis penis (Gunardi, 2007).
Korpus spongiosum penis dilintasi uretra. Dekat ujung penis, korpus
spongiosum membesar, membentuk bangunan semu kerucut yang disebut glans
penis. Basis glans penis mempunyai proyeksi melebar yang disebut korona
glandis; di belakang korona glandis ini terdapat penyempitan yang disebut kolum
penis. Fossa navicularis urethrae berada dalam glans penis dan bermuara lewat
celah sagital pada atau dekat apeks glans penis yang dikenal sebagai orificium
urethrae externum (Gunardi, 2007).
Kulit penutup glans penis terlipat, membentuk preputium penis. Bagian
dalam lapis preputium ini dilekatkan pada glans penis dan tepi mukosa orificium
urethrae externum melalui sebuah lipatan mukosa di garis tengah yang disebut
frenulum preputii. Sensitivitas kulit sekitar frenulum preputii sangat tinggi. Pada
korona glandis dan kolum penis dijumpai kelenjar-kelenjar sebasea yang
menghasilkan smegma (Gunardi, 2007).
2.6.3
Struktur Mikroanatomi Penis
Korpora kavernosa merupakan jaringan berongga tersusun dari trabekula
otot-otot polos dan saling berhubungan. Septum antara kedua korpora kavernosa
mengandung banyak lubang yang memungkinkan aliran darah dari korpus
kavernosum yang satu ke korpus kavernosum yang lain, sehingga secara esensial
kedua korpora kavernosa merupakan kesatuan unit. Korpora kavernosa pada pria
muda terdiri dari 40-52% otot polos, pada pria tua dengan corporal veno-
29
occlucive dysfunction (CVOD) terdiri dari 19-36% otot polos, dan pada pria
disfungsi ereksi mengandung 10-25% otot polos disertai peningkatan kolagen
(Sakka and Yassin, 2010).
Tunika korpora kavernosa merupakan struktur bilayer dengan multipel
sublayer. Lapisan bagian dalam terdiri dari jaringan berongga dan tersusun
sirkuler. Lapisan luar tersusun longitudinal yang menentukan ketebalan dan
kekuatan dari tunika. Sedangkan tunika dari korpus spongiosum tidak mempunyai
lapisan luar, sehingga tekanannya rendah pada waktu ereksi dan mencegah
kompresi uretra selama ereksi (Sakka and Yassin, 2010).
Gambar 2.5 Potongan Melintang Penis Manusia: U, uretra; CCU, korpus
kavernosum uretra; CCP, korpus kavernosum penis; TA, tunika
albuginea; SP, septum penis; V, pembuluh darah (dikutip dari
Berman, 2003)
30
Gambar 2.6 Jaringan Erektil Penis, HA: arteri helicinae, S: sinus vaskular (dikutip
dari Young and Heath, 2000)
2.6.4
Vaskularisasi dan Persarafan
Arteri yang mensuplai ruang-ruang kavernosa pada korpora kavernosa
adalah arteri profunda penis dan cabang-cabang arteri dorsalis penis yang
menembus tunika albuginea sepanjang dorsum penis, terutama dekat glans penis.
Pada tempat masuknya, arteri-arteri ini terbagi menjadi cabang-cabang pada
trabecula dan cabang-cabang yang berkelok-kelok dan sedikit melebar yang
disebut arteriole helicinae, yang bermuara ke dalam ruang kavernosa.
Aa.helicinae berlimpah pada daerah posterior korpora kavernosa. Korpus
spongiosum memperoleh darah dari arteri bulbi urethrae dan arteri urethralis
(Gunardi, 2007).
Aliran darah vena penis lebih bervariasi dan kompleks dibandingkan
dengan suplai arteri. Aliran darah dari ketiga korpora berasal dari venula yang
31
berada dekat tunika albuginea. Venula-venula ini membentuk vena emisari yang
keluar dari tunika albuginea kemudian memasuki salah satu dari empat sistem
utama aliran vena penis yaitu: vena dorsalis superfisialis, vena dorsalis profunda,
vena kavernosa, dan vena uretra. Deybach berkesimpulan bahwa vena kavernosa
merupakan vena yang utama pada korpora kavernosa, peneliti lain berpendapat
bahwa aliran vena utama pada korpora kavernosa melalui vena dorsalis profunda
(Tendean, 2004). Darah balik berkumpul pada vena dorsalis penis profunda dan
berakhir pada plexus prostaticus (Gunardi, 2007).
Persarafan penis terdiri dari dua bagian, yaitu saraf otonom dan saraf
somatik. Saraf otonom terdiri dari saraf parasimpatetik yang berasal dari segmen
S2-S4 dan saraf simpatetik yang berasal dari segmen T10-L2. Saraf somatik
bekerja melalui nervus pudendalis. Saraf simpatetik mencapai korpora, prostat,
dan vesika urinaria melalui nervus hipogastrikus. Saraf parasimpatetik berasal dari
sacral erection center dan badan selnya yang teletak di dalam nuklei
intermediolateral S2-S4. Setelah keluar dari foramina sakralis, saraf ini menuju ke
rektum sebagai nervus erigentes untuk mencapai pleksus pelvikus. Pada lokasi ini,
preganglionic fibers memancar di dalam ganglion dan
postganglionic
nonadrenergic non-cholinergic (NANC) fibers melalui nervus kavernosus ke
dalam korpus kavernosum (Pangkahila, 2006).
Nitrit oksida (NO) dijumpai pada pleksus pelvis, saraf kavernosa, dan
saraf terminal dari korpora kavernosa, cabang dari saraf dorsalis penis, dan
pleksus saraf dekat arteri kavernosa profunda. NO adalah zat berbentuk gas yang
dikeluarkan oleh sel-sel endotel yang menyebabkan vasodilatasi karena terjadinya
32
relaksasi otot polos vaskuler. NO bekerja secara parakrin pada sel-sel target.
Dalam tubuh, waktu paruh NO hanya beberapa detik. Sintesis NO di dalam tubuh
memerlukan NO synthase (NOS), yang mempunyai 3 isoform utama yaitu:
neuronal NOS (nNOS atau NOS I), inducible NOS (iNOS atau NOS II), dan
endothelial NOS (eNOS atau NOS III) (Burnett, 2002). Pada saraf yang sama
ditemukan adanya NADPH (nikotinamide adenine dinukleotide phosphate
diaphorase), yang diperoleh dari hasil aktivitas nitrit oksida sintase (NOS) di
dalam neuron.
2.7
Tikus (Rattus norvegicus galur Wistar)
2.7.1
Karakteristik Tikus (Rattus norvegicus galur Wistar)
Tikus yang digunakan secara luas untuk penelitian di laboratorium adalah
tikus putih yang berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa galur yang memiliki
kekhususan tertentu antara lain galur sprague-dawley yang berwarna albino putih
berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya dan galur wistar
yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek.
Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan, dapat tinggal sendirian dalam
kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain. Jika dipegang dengan cara
yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium.
Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi karena
hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan tikus
lebih menguntungkan. Berikut ini adalah data biologis tikus (Kusumawati, 2004).
33
Tabel 2.2 Data Biologis Tikus
Karakteristik
Berat badan
Jantan
Betina
Berat lahir
Lama hidup
Temperatur tubuh
Kebutuhan air
Kebutuhan makanan
Frekuensi jantung
Frekuensi respirasi
Tidal volume
Pubertas
Saat dikawinkan
Jantan
Betina
Lama siklus birahi
Lama kebuntingan
Jumlah anak perkelahiran
Umur sapih
2.7.2
Ukuran
(gram)
(gram)
(gram)
(tahun)
(0C)
(ml/100gBB)
(g/100gBB)
(per menit)
(per menit)
(ml)
(hari)
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
300-400
250-300
5-6
2,5-3
35,9 - 37,5
8 - 11
5
330 - 480
66 -114
0,6 – 1,25
50 - 60
(hari)
(hari)
(hari)
(hari)
:
:
:
:
:
:
65-110
65-110
4-5
21 - 23
6 - 12
21
(hari)
Anatomi Penis Tikus
Pada beberapa mamalia termasuk tikus, penis sebagai organ kopulasi
untuk mentransfer semen dari hewan jantan ke betina. Penis memiliki 3 jaringan
erektil yaitu 2 korpora kavernosa yang terletak di bagian ventral di sisi kiri kanan
penis dan satu korpus spongiosum yang terletak di bagian dorsal. Tiap korpus
kavernosum dikelilingi oleh selapis membran tebal yaitu tunika albuginea yang
terdiri dari ikatan-ikatan jaringan kolagen, jaringan fibrous, dan otot-otot polos.
Bagian-bagian ini dipisahkan oleh endotel yang selanjutnya berhubungan dengan
pembuluh darah (Kelly, 2000).
Penis memiliki jaringan tulang yang dinamakan os. Penis atau baculum.
Baculum meningkatkan kekakuan dari penis, yang akan membesar dan berubah
34
bentuknya seiring dengan pertambahan usia hewan (Hafez, 1970). Baculum
menempati 28% dari ujung distal penis, sedangkan korpus kavernosum
menempati sebagian besar panjang penis. Baculum dikelilingi oleh ruang vaskuler
dari korpus spongiosum dan ujung proksimalnya berdempetan dengan bagian
distal korpus kavernosum oleh selapisan fibrokartilago.
2.7.3
Gambaran Mikroskopis
Potongan
melintang
dari
baculum
dan
korpus
kavernosum
memperlihatkan bahwa kedua struktur dipisahkan oleh selapisan jaringan
fibrokartilago dengan ketebalan rata-rata 0,001 mm, serat-serat kolagen pada
dinding korpus spongiosum berbatasan langsung dengan baculum (Kelly, 2000).
Korpus kavernosum terdiri atas ruang-ruang vaskuler tunggal dan
dikelilingi dinding tebal yakni tunika albuginea. Ruang vaskuler bentuknya agak
elips, pada bagian ventral terdapat lekukan berbentuk tapal kuda yang dikelilingi
oleh korpus spongiosum. Tunika albuginea terdiri atas serat-serat kolagen dalam
bentuk ikatan paralel beraturan (Kelly, 2000).
2.7.4
Hormon Testosteron pada Mamalia
Fungsi biologis hormon testosteron pada mamalia adalah sebagai berikut:
1.
Stimulasi pertumbuhan dan aktivitas sekresi dari organ-organ genital aksesori
jantan.
2.
Perkembangan sifat karakteristik seksual sekunder jantan.
3.
Turunnya testis.
35
4.
Meningkatkan spermatogenesis bersama FSH.
5.
Stimulasi proses anabolik dan sintesa dari sitoplasma protein.
6.
Stimulasi pertumbuhan epifisa tulang rawan.
7.
Perkembangan tingkah laku dan libido seksual jantan.
2.8
Aloksan
Aloksan
atau
2,4,5,6
(1H,3H-pirimindintetron),
2,3-5,6-tetra-
oksoheksahidropirimidin, mesoalilurea merupakan kristal berbentuk ortorombik.
Aloksan pada suhu 2300C akan menjadi merah jambu dan terdekomposisi pada
2560C. Aloksan sangat larut dalam air, setelah kontak dengan kulit akan menjadi
merah, larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, sedikit larut dalam
kloroform, petroleum eter, toluen. Berfungsi untuk menginduksi diabetes pada
hewan eksperimen. Terdapat tiga fase sesudah pemberian aloksan yaitu periode
hiperglikemia dan hipoglikemia sementara diikuti hiperglikemia permanen dan
gejala diabetes lainnya.
Kerja aloksan adalah secara langsung dan khas pada sel  pankreas dan sel
tersebut mengalami degenerasi dan resorpsi, sel  relatif tetap dan tidak
dipengaruhi. Tikus hiperglikemik dapat dihasilkan dengan menginjeksikan 120 150 mg/kg BB Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau
subkutan pada binatang percobaan (Nugroho dan Puwaningsih, 2006; Filipponi,
2008).
Download