Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan

advertisement
Evaluasi Pengawasan
Penyelenggaraan Pemilihan
Kepala Daerah 2017
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
i
TIM PENYUSUN
Pengarah
Prof. Dr. Muhammad, S.IP., M.Si.
Daniel Zuchron, M.Ud
Nasrullah, S.H., M.H.
Endang Wihdatiningtyas, S.H.
Ir. Nelson Simanjuntak, S.H.
Pembina
Gunawan Suswantoro, S.H., M.Si.
Penanggung Jawab
Ferdinand Eskol Tiar Sirait
Ketua Tim
Feizal Rachman
Wakil Ketua
R. Alief Sudewo
Fathul Andi Rizky Harahap
Djoni Irfandi
Narasumber
Masykurudin Hafidz
Sunanto
Dian Permata
Engelbert Johanes Rohi
Tedi Rustendi, S.Sos.
Dr. Drs. Bahtiar, M.Si
M. Harry Mulya Zein
Jeffry Apoly Rahawarin
Sekretariat
Adriansyah Pasga Dagama
M. Qodri Imaduddin
Anjar Arifin
Mohamad Ihsan
ii
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim....
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah Swt atas
segala nikmat yang diberikan, kami akhirnya dapat merampungkan penulisan
buku “Evaluasi Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2017” ini. Di
tahun ini, kita baru saja merampungkan perhelatan Pilkada serentak di 7
Provinsi dan 101 Kabupaten/Kota. Pilkada 2017 ini merupakan periode kedua
sebelum nantinya Pilkada akan dilaksanakan secara serentak seluruh wilayah
di Indonesia.
Tentu banyak catatan atas penyelenggaraan Pilkada 2017 ini. Dari sekian
banyak isu dalam penyelenggaraan Pilkada 2017, kami mencatat setidaknya
ada 5 (lima) hal yang menjadi pokok-pokok dalam evaluasi Pilkada 2017 ini.
Kelima hal tersebut antara lain soal money politics; netralitas Aparatur Sipil
Negara (ASN), penyalahgunaan program pemerintah dan mutasi pejabat
daerah; persoalan hak memilih warga negara (daftar pemilih, tingkat partisipasi
dan partisipasi kelompok disabilitas); Dana kampanye; dan evaluasi IKP Pilkada
2017 sebagai sistem peringatan dini (early warning system). Tentunya titik berat
pada lima hal tersebut tidak menafikan berbagai persoalan lainnya yang juga
terjadi selama pelaksanaan Pilkada 2017.
Kami mengharapkan apa yang telah dituliskan dalam buku ini bisa
memberikan kontribusi terhadap perkembangan kepemiluan dan demokratisasi
di Indonesia. Bawaslu sebagai salah satu penyelenggara Pemilu selalu
berkomitmen untuk menegakkan integritas penyelenggaraan Pemilu/Pilkada
di Indonesia. Melalui penulisan buku ini diharapkan, publik secara luas dapat
memahami eksistensi Bawaslu sebagai ujung tombak penegak demokrasi.
Buku ini merupakan persembahan terakhir kami, Komisioner Bawaslu
RI periode 2012-2017, yang akan mengakhiri masa tugasnya pada April
2017 ini. Kami menyadari bahwa masih terdapat beberapa persoalan
dalam mengupayakan penyelenggaraan Pemilu/Pilkada yang bersih dan
berintegritas. Namun kami mengharapkan agar cita-cita kami, terwujudnya
penyelenggaraan Pemilu/Pilkada yang bersih dan berintegritas, dapat terus
diperjuangkan oleh penerus kami. Demi kehidupan demokrasi kita yang
bermartabat.
Prof. Dr. Muhammad, S.IP., M.Si.
Ketua
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
iii
KATA PENGANTAR KOORDINATOR DIVISI
PENGAWASAN
Pada fase terakhir kepemimpinan Bawaslu RI periode 2012 – 2017,
menjadi cita-cita kami untuk menghasilkan sebuah warisan pola pikir bagi
jajaran pengawas Pemilu. Di antaranya adalah bagaimana menerjemahkan
fungsi pencegahan yang diamanatkan oleh Undang-Undang menjadi kerjakerja pengawasan. Aspirasi untuk mendukung penguatan kelembagaan
Bawaslu, perlu dilengkapi dengan pembuktian kontribusi lembaga ini dalam
mewujudkan cita-cita suatu Pemilihan Umum yang berintegritas. Penyusunan
buku Evaluasi Pengawasan Pilkada 2017 ini menjadi salah satu upaya untuk
menyebarluaskan eksistensi Bawaslu kepada publik sehingga makin mengenal
dan memahami urgensi dari pengawasan Pemilu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa cakupan kami kepada publik secara
luas masih terbatas. Namun kami selalu senantiasa berupaya menunjukkan
capaian kinerja pengawasan penyelenggaraan Pilkada yang telah dilakukan.
Tujuannya bukan semata menunjukkan eksistensi kelembagaan. Jauh dari itu
sebagai upaya untuk mewujudkan kehidupan demokrasi kita yang lebih baik.
Begitupula dengan pelaksanaan Pilkada 2017 yang baru saja berlalu, secara
garis besar berjalan cukup baik namun tetap banyak catatan perbaikan yang
harus dilakukan ke depannya demi integritas dan kualitas penyelenggaraan
Pemilu/Pilkada.
Buku Evaluasi Pengawasan Pilkada 2017 ini kami maksudkan untuk
menyerap semua masukan untuk perbaikan penyelenggaraan Pilkada.
Kontribusi dari mitra strategis Bawaslu, di antaranya Kemenkopohukam,
Kemendagri, Komisi ASN dan juga para pegiat kepemiluan, memberikan
sumbangan dan masukan yang sangat strategis khususnya kepada Bawaslu.
Hal tersebut dilengkapi dengan kontribusi dari jajaran pengawas Pemilu di
Provinsi untuk melihat dari segi pengalaman empirik mereka dalam mengawasi
penyelenggaraan Pemilu/Pilkada di daerahnya. Semangat kami adalah agar
publik secara luas dapat memahami bahwa pelaksanaan Pemilu/Pilkada bukan
sekedar seremoni tiap lima tahunan. Akan tetapi menjadi bagian dari upaya
bersama seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan kehidupan demokrasi
yang lebih baik.
Daniel Zuchron
iv
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
PENDAHULUAN
Makna Pemilihan Umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan
politik yang demokratis adalah sebagai institusi pergantian kekuasaan yang
dilakukan dengan norma, regulasi dan etika sehingga sirkulasi elite politik,bisa
berjalan secara baik dan ajeg oleh karenanya Pemilu yang demokratis berpijak
kepada tiga aspek yakni aturan, proses dan hasil, dari ketiga hal tersebut yang
penting disoroti adalah proses. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu,) RI adalah
merupakan lembaga Negara yang hadir mengawasi proses penyelenggaraan
Pemliu di Indonesia, disamping itu tugas dan wewenang Bawaslu RI adalah
melakuakan evaluasi pengawasan penyelenggaran pemilihan umum sesuai
dengan amanat undang – undang No. 10 Tahun 2016 Pasal 22 B Huruf d.
Dalam konteks pencegahan dan pengawasan pemilu diperlukan refleksi
evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilukada, sehingga dengan demikian
dapat diharapkan bahan evaluasi menjadikan pijakan penyelenggaraan
pengawasan pemilu berjalan secara jujur, adil dan demokratis. Pelaksanaan
Pilkada serentak yang diselenggarakan pada tanggal 15 Februari 2017, pada 101
daerah yang meliputi, 7 propinsi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, 76
Kabupaten pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan 18 Kota pemilihan Walikota
dan wakil Walikota. Tentu ada beberapal catatan tentang penyelenggraan
pemilukada tersebut. Oleh karena nya diperlukan refleksi evaluasi sebagai
bahan untuk memperbaiki proses penyelenggaraan pemilu,Berkaitan dengan
hal tersebut,
Bawaslu RI menginisiasi penyusunan Buku Hasil Evaluasi Pengawasan
Pilkada Tahun 2017, Tujuan disusunya Buku Hasil Evaluasi Pengawasan
Pilkada Tahun 2017, adalah menjalankan amanat UU No. 10 Tahun 2016 Pasal
22 B huruf D, serta sebagasi sarana dan bahan evaluasi pemilukada tahun
2017. Evaluasi diperlukan sebagai pendekatan metode meminimalisir potensi
pelanggaran dan kecurangan pemilihan umum. Hal tersebut penting dilakukan
untuk mengintrodusir langkah – langkah antisipatif. .
Tujuan dan Kegunaan Buku Hasil Evaluasi Pilkada 2017.
1. Melaksanakan amanat Undang – Undang No 10 Tahun 2016 Pasal 22B
huruf D, Badan Pengawas Pemilihan Umum memiliki tugas dan wewenang
untuk melakukan evaluasi pengawasan penyelenggraan pemilihan.
2. Sebagai bentuk parameter evaluasi proses pelaksanaan Pemilihan Umum
Kepala Daerah
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
v
3. Sebagai referensi dalam menentukan strategi dan langkah – langkah
antisipasi bentuk – bentuk kecurangan pemilu.
Buku Hasil Evaluasi Pilkada 2017, berguna bagi kepentingan internal
Bawaslu, juga berguna bagi para pihak pemangku kepentingan (stake
holders), institusi akademik, civil society, media serta publik. Buku Hasil
Evaluasi Pilkada 2017, bisa dijadikan sumber data rujukan, terutama untuk
langkah – langkah antisipasi terhadap berbagai hal yang menghambat proses
penyelanggaran Pilkada berjalan demokratis. Buku Hasil Evaluasi Pilkada 2017
juga bermanfaat sebagai salah satu rekomendasi dan petunjuk (guidance)
untuk meningkatkan kualitas Pemilihan Umum berlangsung secara jujur, adil
dan demokratis
Definisi dan Konsep Aspek Hasil Evaluasi Pilkada 2017.
Pelaksanaan pembahasan proses pelaksanaan evaluasi pilkada 2017, di
dahului oleh serangkaian pertemuan diskusi, rapat dan workshop, sebagai
bentuk manefestasi masukan dan merumuskan konsep dalam penyusunan
buku hasil evaluasi pilkada 2017, yang dihadiri oleh Kementerian Dalam Negeri
RI, Kemenko Politik, Hukum dan HAM, Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN),
serta para pegiat Pemilu.
Dalam melakukan evaluasi dilakukan dengan memfokuskan kepada
ketiga aspek, yaitu aspek evaluasi pengawasan berkaitan dengan tahapan –
tahapan penyelenggaraan pemilukada tahun 2017, Bawaslu juga mengevaluasi
aspek yang berkaitan dengan indeks kerawanan pemilukada Tahun 2017,
aspek kedua adalah metode kerja yang didasarkan kepada membentuk tim
perumus untuk mengevaluasi penyelenggaraan pemilukada Tahun 2017 yang
terdiri dari institusi atau lembaga yang terkait dan memliki kewenangan –
kewenangan ga di masing – masing lembaga, sehinga Tim Perumus tersebut
dapat memperkaya data primer dan sekunder berdasrkan instrument yang
yang akan dibangun. Metode yang digunakan dapat berdasarkan dan tahapan
dan isu – isu tertentu berdasarkan daerah mana saja yang menjadi perhatian
khusus, aspek yang terakhir strategi publikasi, publikasi diperlukan untuk
membentuk opini public berkaitan dengan kinerja lembaga penyelenggara
pemilu dan memberikan gambaran bahwa penyelenggara pilkada dikelola
secar serius , untuk menyampaikan hasil evaluasi pengawasan perlu disertai
dengan data kumulatif.
Hasil evaluasi Pilkada 2017 diperlukan sebagai wahana mengantisipasi
berbagai bentuk kecurangan dan pelanggaran pemilu, sehingga dapat
dipastikan Pilkada dapat dilaksanakan sesuai dengan koridor, etika dan
vi
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
konteks mengacu kepada perundang – undangan yang berlaku.
Dalam aspek evaluasi pengawasan, melakukan pendekatan isu – isu yang
dievaluasi yaitu
1. Politik Uang (money politic), Pelanggraran Terstruktur, Sistimatis dan Masif
(TSM).
2. Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), Penyalahgunaan Program
Pemerintah (Bansos) dan Mutasi.
3. Hak – Hak Pemilih (Partispasi, DPT, Disabilitas, Pemilih Ganda)
4. Dana – Dana Kampanye (Lembaga Akuntan Publik).
5. Evaluasi IKP Pilkada 2017.
Isu – isu diatas yang akan dievaluasi oleh para penulis, yang berasal
dari latar belakang pegiat pemilu yang mempunyai concern dan komitmen
terhadap penguatan nilai – nilai demokrasi dalam proses Pilkada. Diharapkan
dengan penulisan dengan tema isu diatas akan menghasilkan rekomendasi
dan masukan – masukan yang komprehensif tentang pelaksanaan proses
Pilkada menjadi lebih baik, jujur, adil dan bermartabat, yang bermuara akan
meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
DARI BAWASLU
KITA SELAMATKAN
PEMILU INDONESIA
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
vii
viii
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
BAGIAN I
Politik Uang Pilkada Serentak 2017
Di Antara Uang dan Mie Instant1
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya praktek politik uang (money politics)
pada pilkada serentak gelombang kedua 2017. Praktik politik uang (sering
terjadi disetiap pemilu di Indonesia. Sehingga, dengan adanya penelitian ini
diharapkan bisa memberikan infomasi kepada masyarakat tentang praktik
politik uang pada hajatan demokrasi.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui library research
yaitu observasi, wawancara langsung dengan informan, arsip serta dokumen
yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan untuk menentukan sumber
data dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling disesuaikan
dengan tujuan penelitian serta teknik accidental sampling. Analisis data
dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu analisis
data dan model interaktif, yaitu analisis data model interaktif, yang diawali
dengan proses pengumpulan data, penyederhanaan data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa politik uang pada pilkada
serentak gelombang kedua 2017 ini dijumpai banyak terjadi. Penulis meneliti
tentang studi politik uang dalam pemilihan umum (pemilu) merujuk pada
bentuk-bentuk politik uang yang beragam. Selain itu mengulas strategi/pola
yang digunakan ialah serangan fajar dan mobilisasi massa.
Pelanggaran-pelanggaran pada pemilu merupakan bagian dari tugas
penyelenggara untuk mencegah dan memproses jika terdapat pelanggaran
yang dilaporkan oleh masyarakat maupun pihak yang telah dirugikan.
Kata Kunci : politik uang, pilkada serentak gelombang kedua 2017
Sebagai salah satu judul materi pembahasan evaluasi pilkada serentak gelombang kedua 2017.
Penelitian diinisiasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI
1
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
1
LATAR BELAKANG
Pilkada serentak 2017 usai dilaksanakan. Masyarakat Indonesia yang
memiliki hak pilih dan dipilih menyalurkan hak politiknya pada 15 Februari
2017. Ada 101 wilayah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada)
pada gelombang pilkada serentak kedua ini. Tujuh pilkada di tingkat provinsi,
18 kota, dan 76 kabupaten. Pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua
ini khusus bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala dan wakil kepala
daerahnya berakhir antara Juli 2016 dan Desember 2017.
Pada pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua ini, praktik politik
uang tetap terjadi. Padahal beragam upaya sudah dilakukan penyelenggara
agar praktik ini tidak muncul. Seperti lahirnya regulasi tentang aturan politik
uang hingga ancaman yang dapat menjerat bagi pelaku. Sayangnya, kasus ini
tetap muncul.
Besarnya tantangan demokrasi dalam bentuk pemilihan umum (pemilu)
atau pilkada pada masa mendatang membuat kita harus berpikir keras
untuk menjaga kualitas dari perhelatan demokrasi itu sendiri. Dikutip dalam
laman www.setkab.go.id, dikatakan, indikator sukses atau tidak sebuah
pemilu ditentukan oleh tiga (3) hal penting. Proses penyelenggaraannya,
aturan hukum, dan penegakan hukum. Pada proses penyelenggaraannya
adalah pesertanya, tahapannya, logistik, dan distribusi, serta pemantau dan
partisipasi masyarakat.
Satu komponen penting untuk keberhasilan pemilu juga ditentukan oleh
peran penyelenggara pemilu profesional dan berwibawa. Penyelenggara
pemilu berkewajiban untuk menjaga dan melindungi hak-hak politik dan
kedaulatan rakyat untuk menyalurkan hak pilihnya dalam setiap pelaksanaan
pemilu. Sehingga, mampu membangun demokrasi yang lebih berkualitas.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu dan
didukung oleh jajaran sampai tingkat yang paling bawah melalui Panitia
Pemungutan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dituntut mampu
mewujudkan kepastian hukum, tertib hukum, keterbukaan, profesional,
jujur dan adil berdasarkan hukum dan etika dengan menjaga kemandirian,
integritas, dan kredibilitas.
Pippa Norris, professor Harvard University menyatakan dalam bukunya,
Why Electoral Integrity Matters (2014), pemilu yang berintegritas itu sangat
penting. Karena menurut Norris, ketika perhelatan pemilu dijalankan dengan
baik maka pemimpin dan pemerintahan yang dihasilkan dapat menghasilkan
kebijakan prioritas dan manfaat positif lainnya.
2
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Sedangkan menurut IDEA Internasional, sukses dari pemilu ke pemilu
lainnya ditentukan oleh penerimaan dari seluruh partisipan pemilu (partai
politik dan kandidat) secara bulat (legitimate) dan mengikat (binding).
Dimana sistem pemilu menjamin hak individu dan adanya sistem kontrol
bagi menajemen pelaksanaan pemilu. Sebagai sebuah mekanisme, pemilu
diharapkan dapat dilaksanakan secara bebas dan setara (free and fair).
Dalam pelaksanaanya, pemilu di Indonesia sering terlihat tidak
sehat. Pemilu yang dinilai sebagai pesta demokrasi rupanya belum bisa
mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena, di
dalam proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi kecurangan yang
dilakukan oleh para peserta pemilu. Salah satu bentuk kecurangan pemilu
yakni adalah adanya praktik politik uang (money politic) (Dian Permata:
2016)2.
Munculnya praktik politik uang dari pemilu ke pemilu lainnya tak bisa
dipungkiri menjelma menjadi tantangan besar demokratisasi. Di beberapa
daerah, fenomena ini terlihat dan dilakukan terbuka secara kasat mata. Baik
itu dilakukan oleh kandidat maupun tim suksesnya. Larry Diamond (2003: 1617) memberikan sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang dia
sebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy).
METODOLOGI
Sumber data
Jenis yang yang di gunakan dalam penelitian ini berupa data primer
yaitu data yang di peroleh peneliti secara langsung dari sumbernya atau
narasumber sebagai informan yang langsung berhubungan dengan fokus
penelitian. Pada data primer ini, untuk menetukan informan kunci, penulis
menggunakan teknik penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Maka yang menjadi informan atau informan kunci dalam penelitian ini yakni
Bawaslu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Muklir. Panwaslih NAD
Syamsul Bahri. Bawaslu Gorontalo Arijadi. Perwakilan Kemendagri A Aswin
M. Perwakilan Kemenpolhukam Jeffry A R. Perwakilan KASN M Harry M dan
Muhaziran S W. Pegiat pemilu dari Komite Independen Pemantau Pemilu
(KIPP) dan Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR)
Sedangkan data sekunder yaitu data atau informasi hasil penelahaan
dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan
kepustakaan seperti buku-buku, literatur, surat kabar, majalah, jurnal ataupun
arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas. Lihat jurnal Bawaslu DKI dan opini di Jateng Pos pada 15 Februari 2017 dengan judul Politik Uang:
Cara Primitif Nan Efektif
2
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
3
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Ada beberapa teknik atau
metode pengumpulan data yang biasanya dilakukan oleh peneliti. Peneliti dapat
menggunakan salah satu atau gabungan dari metode yang ada tergantung
masalah yang dihadapi (Kriyantono, 2009: 93). Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain, penelitian kepustakaan
(Library Research). Yaitu dengan cara mengumpulkan data yang ada
mengenai permasalahan dalam penelitian dengan membaca literatur yang
relevan untuk mendukung, seperti buku-buku, jurnal, dan internet.
Penelitian lapangan (Field Research). Seperti melakukan wawancara
mendalam (depth interview). Wawancara mendalam merupakan metode
pengumpulan data dimana peneliti melakukan kegiatan wawancara tatap
muka secara mendalam dan terus-menerus (lebih dari satu kali) untuk menggali
informasi dari responden (Kriyantono, 2009:63). Kemudian, dokumentasi
yaitu data, gambar, dan atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
penulisan.
LITERATURE REVIEW
Karakteristik uang memberikan kemudahan. Uang dapat diubah ke
berbagai macam sumber daya. Sebaliknya, berbagai macam sumber daya
dapat diubah ke dalam uang. Uang juga dapat membeli barang, keahlian,
dan layanan. Sebaliknya juga demikian. Barang-barang, layanan, dan keahlian
dapat dinilai dengan sejumlah uang. Tentu saja pemilik uang akan memunyai
pengaruh politik bagi peserta pemilu.
Dalam perjalanannya, politik uang merupakan tindakan membagi-bagikan
uang, barang dan jasa sudah mengalami pembiasan makna. Sedangkan batasan
pelaku politik uang menurut Ismawan adalah orang yang memberi uang politik
baik kandidat, pendukung atau tim sukses, dan penerima uang politik dalam
bentuk apapun. Politik uang dilakukan dengan sadar oleh pihak-pihak yang
melakukan praktik politik uang (Ismawan, 1999: 5).
Hal ini juga terekam pada survei atau riset yang dilakukan Founding
Fathers House (FFH) di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Dari riset itu
diketahui, persepsi publik terhadap politik uang tidak berubah banyak. Publik
Brebes dinilai masih permisif dengan politik uang. Pada sigi 2011, diketahui,
74.5 persen akan menerima jika ada pemberian politik uang atau barang dari
relawan, tim sukses, atau dari paslon tertentu. 25.5 persen akan menolak.
4
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Sedangkan pada sigi 2016, 71 persen akan menolak. 29 persen akan menerima.
Dari 71 persen yang menerima itu, 80 persen memilih uang. 20 persen memilih
barang seperti sembako dan lainnya.
Untuk pemilih di Brebes, mereka mayoritas lebih memilih uang ketimbang
barang berupa sembako. Alasan kepraktisan saat menerima uang adalah
alasan utama. Meski demikian, pada fenomena tertentu, seperti musim tanam
untuk demograpi daerah pertanian, uang tidak menjadi pilihan mayoritas.
Para penerima politik uang atau barang akan memilih pupuk tanaman, bibit
tanam, atau alat produksi seperti cangkul atau lainnya (Dian Permata: 2016)3.
DATA
Prediksi bakal munculnya praktik politik uang pada pilkada serentak
gelombang kedua 2017 terbukti. Ini dapat dilihat beragamnya kasus politik
uang. Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) di Kabupaten Banggai
Kepulauan, Sulawesi Tengah, menangkap tangan empat anggota tim sukses
pasangan calon (paslon) yang diduga membagi-bagikan uang ke sejumlah
warga di 16 desa. Uang yang telah disebarkan berjumlah Rp 372,8 juta4. Bahkan,
salah satu paslon terang-terangan membagikan uang saat pengumpulan KTP
dukungan5.
Di Pati, Jawa Tengah, Aliansi Kawal Pilkada mendapati ribuan amplop
berisi uang Rp 15 ribu telah disita. Amplop berisi uang itu beredar di 12
kecamatan. Diduga pelakunya adalah petahana yang ikut kembali pada
kontestasi ini6. Di Pangkalpinang, Bangka Belitung, modus politik uang
berupa pembagian beras. Harapannya, warga mau memilih paslon tententu.
Pelakunya sudah ditangkap Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota
Pangkapinang7. Di Kabupaten Kulonprogo, DIY, politik uang dilakukan dengan
modus pemberian kalender, biskuit, dan uang8.
Di Banten terdapat dua (2) kasus politik uang yang mengemuka dan
masuk peradilan. Kasus pertama, Hidayat Wijaya Adipura dan Afrizal Nur.
Mereka ditangkap Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) pada 14
Februari 2017 dini hari di perumahan Bumi Ciruas Permai (BCP), Kecamatan
Lihat dalam Peta Jalan Politik Uang Bawaslu RI
http://www.mediaindonesia.com/news/read/91889/politik-uang-nyata/2017-02-13
5
http:// www.kabarselebes.com/2017/01/wah- ada- cabup-dan-cawabup-bangkep-terang-teranganmain-politik-uang/
6
http://www.mediaindonesia.com/news/read/92175/pengungkapan-politik-uang-pada-pilkada-patiberlanjut/2017-02-14
7
http: // bangka.tribunnews.com /2017/02/12/ panwas- pangkalpinang- terima- laporan- dugaanpembagian -beras
8
https://www.radarjogja.co.id/ott-panwaslu-sita-barang-bukti/
3
4
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
5
Ciruas, Kabupaten Serang. Mereka membagikan sembako dan mie instant
berstiker Wahidin Halim - Andika Hazrumy. Keduanya, divonis tiga tahun
penjara. Mereka juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta9 karena
terbukti melanggar Pasal 187A ayat (1) Jo ayat (2) UU RI Nomor 10 Tahun
2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Ketua Bawaslu Banten, Pramono U Tantowi, mengatakan, Hidayat
Wijaya Adipura pernah menjabat sebagai Panitia Pemilih Kecamatan (PPK)
2015. Sedangkan Afrizal Nur pernah menjabat sebagai Panitia Pemungutan
Suara (PPS)10. Kasus kedua, pelaku politik uang tertangkap tangan saat
membagikan uang di Kampung Kaum, Desa Malingping Utara, Kecamatan
Malingping, Kabupaten Lebak. Pelaku bernama Eka Herdiana11.
Pelaku menerima uang sebesar 1 juta rupiah dari Ruly Herdiana yang
kemudian menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO). Ruly Herdiana diketahui
sebagai PNS di Pemprov Banten. Diketahui, uang 1 juta rupiah tersebut
dipotong sebesar 500 ribu oleh Eka. Sisanya, dipecah dengan pecahan 10
ribu dan dibagikan kepada warga. Tujuan mengarahkan agar mencoblos
nomor 1 di Pilgub Banten. Eka diidentifikasi pendukung Wahidin Halim –
Andika Hazrumy. Eka dituntut 3 tahun penjara subsider 200 juta rupiah oleh
Jaksa Penuntut dari Gakkumdu di Pengadilan Negeri Rangkasbitung12.
Padahal, paslon Banten, Wahidin Halim-Andika Hazrumy dan Rano
Karno-Embay Mulya Syarif mendeklarasikan anti-politik uang. Mereka juga
menandatangani pakta integritas deklarasi tersebut yang disaksikan oleh
pimpinan KPK, Bawaslu, KPK, dan Pejabat Gubernur Banten13. Komitmen
tersebut belakangan dilanggar.
Di sisi lain, latarbelakang pelaku politik uang itu adalah PPK, PPS, dan
PNS. Fenomena ini tentu saja menjadi catatan besar bagi penyelenggara
pemilu dan Negara. Entitas para pelaku tersebut sejatinya tahu betul politik
uang adalah sebuah kejahatan pemilu yang tidak ditolerir. Soalnya politik
uang menjadi kontraproduktif dengan semangat dari PPK, PPS, dan PNS
yang berupa menciptakan Good Clean Governance (GCG).
Menurut KASN M Harry M dan Muhaziran S W14, munculnya kasus
politik uang di Banten bukan sesuatu hal yang aneh. Dalam penelitian Saiful
http://pilkada.liputan6.com/read/2888876/2-pelaku-politik-uang-pilkada-banten-divonis-3-tahun-penjara
http://m.viva.co.id/berita/nasional/886805-bawaslu-sebut-pelaku-politik-uang-di-pilgub-banten-terlatih
11
http://www.antaranews.com/berita/614733/polres-lebak-amankan-pelaku-politik-uang
12
http://www.bantenhariini.com/2017/03/15/mengharukan-terdakwa- politik-uang -ini- menangisusai-disidang/
13
https://news.detik.com/berita/d-3417165/cagub-cawagub-banten-deklarasikan-anti-politik-uang
14
Wawancara mendalam dilakukan pada 5 April 2017 di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat, pukul
16.00 – 18.00 WIB
9
10
6
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Mujani diketahui, masyarakat Banten begitu terbuka politik uang. Mereka
menganggap politik uang sebuah kewajaran dan dapat dibenarkan. Karena itu,
politik uang di daerah tersebut memiliki beragam bentuk. Seperti pemberian
mie instant, promosi jabatan di PNS, dan lainnya.
Sayangnya, dalam dua (2) kasus tersebut, penyelenggara hanya mampu
menangkap jejaring terakhir dari mata rantai pelaku uang. Si pemberi perintah
penyebar politik uang hingga pada tingkat teratasnya tidak terungkap. Siapa
yang memerintahkan mereka, siapa yang memberikan uang untuk disebar,
dan siapa pula yang dapat menerima manfaat dari politik uang itu dalam
kacamata perolehan suara di TPS. Makanya tidak heran, si pelaku politik uang
saat mendapatkan vonis hukuman penjara langsung menangis.
Hal serupa juga terjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Bawaslu NAD Muklir dan Panwaslih NAD Syamsul Bahri15 mengatakan,
fenomena praktik politik sudah mereka prediksi akan muncul. Persepsi pemilih
di NAD terhadap politik uang sangat permisif. Pelaku juga tanpa malu dan
segan melakukan politik uang di muka umum atau publik. Pelakunya sangat
beragam. Dari calon, tim sukses, hingga warga.
Di Kabupaten Birieun sebagai contoh. Pemilih di wilayah tersebut telah
mematok harga untuk satu suara. Satu orang pemilih dihargai 100 ribu rupiah.
Jika ada sebuah keluarga ada lima pemilih maka politik uang yang dikucurkan
adalah lima ratus ribu rupiah. Karenanya, ada dua kasus politik uang yang
mencuat di kabupaten tersebut. Bahkan, ada dua video penyebaran politik
uang yang tersebar luas di masyarakat.
Pengadilan Negeri Bireuen, Rabu (5/4/2017) menjatuhkan vonis 1 tahun
tidak dikurung dengan masa percobaan 2 tahun kepada Rini Yanti Bin Hamzah,
terdakwa kasus politik uang pada Pilkada Bireuen 2017. Vonis tersebut lebih
rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa 3 tahun.
Vonis yang dijatuhkan hakim berdasarkan pertimbangan karena terdakwa
mengaku dan menyesali perbuatannya. “Putusan itu kita ambil berdasarkan
pertimbangan kemanusiaan,” kata Ketua Majelis Hakim Fauzi.
Menurut Fauzi, hukuman itu dijatuhkan sebagai edukasi atau pembelajaran
bagi masyarakat agar tidak melakukan lagi perbuatan melanggar hukum
seperti yang sudah pernah dilakukannya. Ketua Aliansi Masyarakat dan
Pemuda Bireuen (AMPB) Ridwan Abdullah, mengatakan, bahwa pihaknya
tidak keberatan dengan putusan yang dijatuhkan PN Bireuen.“Kasihan kalau
terdakwa harus ditahan, karena dia seorang ibu rumah tangga”16.
Wawancara mendalam dilakukan pada 5 April 2017 di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat, pukul
16.00 – 18.00 WIB
16
http://www.beritakini.co/news/hakim-vonis-terdawa- money- politik- bireuen- seperti- apa15
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
7
Di Kabupaten Aceh Besar, penyelenggara mendapati 40 laporan warga
soal praktik politik uang. Belakangan laporan tersebut dicabut. Lantaran
si penerima politik uang adalah orang miskin. Panitia Pengawas Pemilihan
Kecamatan Johan Pahlawan, menerima laporan warga, mendapat surat
undangan pemberitahuan pemungutan suara yang di dalamnya terselip
uang sebesar 100 ribu rupiah17. Koalisi NGO HAM Aceh menemukan indikasi
politik uang pada gelaran Pilkada Kabupaten Bireuen. Modus yang digunakan
mengumpulkan KTP warga sebelum hari pencoblosan. Pada saat pencoblosan,
warga diberikan uang sebesar Rp 100 ribu agar memilih pasangan calon
tertentu18.
A Aswin M mengatakan19, evaluasi Kemendagri pada pilkada serentak
kali ini dikanalisasi dalam sembilan (9) isi pokok besar. Diantaranya yakni
anggaran pilkada yang tinggi, adanya biaya uang mahar kandidat, maraknya
politik uang, politisasi birokrasi, fenomena calon tunggal, kepala daerah
kena kasus hukum, kepala daerah pecah kongsi saat maju menjadi kandidat,
politik dinasti, dan munculnya perselisihan hasil pilkada. Secara keseluruhan
pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua 2017 lebih baik pada pilkada
serentak gelombang pertama 2015.
Jeffry A R20 mengatakan, praktik politik uang masih marak. Pelaku
memanfaatkan masa tenang saat menjalankan aksinya. Metode penyebaran
politik uang berupa Serangan Fajar dan Serangan Dhuha21. Akibat praktik
ini, proses demokrasi berupa pemilihan umum tercederai. Untuk itu, di masa
akan datang, diharapkan praktik politik uang dapat diminimalisir dengan
menggunakan metode kampanye publik soal bahaya politik uang dalam
proses demokrasi.
ANALISA
Politik dan uang merupakan pasangan yang sangat sulit dipisahkan.
Aktivitas politik memerlukan uang (sumber daya) yang tidak sedikit, terlebih
dalam kampanye pemilu. Relasi kuat antara ‘politik dan uang’ dipengaruhi
oleh, dan memengaruhi, hubungan antara politisi, keanggotan partai, dan
hukumannya/index.html
17
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/02/14/rawannya-politik-uang-jelang-pilkadaserentak-2017
18
http://acehsatu.com/di-bireuen-money-politic-dilakukan-terang-terangan/
19
Wawancara mendalam dilakukan pada 5 April 2017 di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat, pukul
16.00 – 18.00 WIB
20
Wawancara mendalam dilakukan pada 5 April 2017 di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat, pukul
16.00 – 18.00 WIB
21
Lihat Dian Permata dalam Peta Jalan Politik Uang
8
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
pemilih. Timbulnya masalah uang bagi demokrasi karena banyak kegiatan
politik yang harus dilaksanakan menggunakan uang. Dalam hal ini, ‘politik
dan uang’ cenderung diartikan sempit karena hanya fokus pada pada dana
kampanye partai politik.
Karena itu, dampak politik uang akan melatih masyarakat untuk bertindak
curang. Suara hati nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat
dibeli demi kepentingan. Ini berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari
dalam praktik politik uang. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi
objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan. Pemilu tidak lagi
berdasarkan prinsip bebas dan jujur.
Kasus Fujimori-Montesinos di Peru bisa dijadikan contoh. Pertengahan
September 2000, rekaman video menunjukan Kepala Dinas Intelejen Nasional
Peru, Vladimiro Montesinos, terlibat dalam pembelian suara. Caranya dengan
menyerahkan 15 ribu Dollar AS kepada pihak oposisi Kongres Luis Alberto
Kouri. Tujuannya agar oposisi mau bergabung. Sehingga, pemerintah menjadi
mayoritas dalam parlemen. Skandal ini menyebabkan pengunduran diri
Alberto Fujimori sebagai Presiden Peru (Marcin Walecki: 2004).
Dalam kasus-kasus politik uang di atas, para penyebar politik uang
memilih strategi tesebut sebagai media untuk memeroleh kemenangan
terhadap klien atau calon yang didukungnya. Harapannya tentu saja besaran
uang yang disebar berkolerasi dengan perolehan suara klien atau calon yang
didukungnya.
Masih munculnya kasus ini lantaran didukung dengan sifat masyarakat
yang terbuka dan permisif dengan politik uang. Di sisi lain, pelaku politik
uang seperti mengenai soal kemampuan daya jelajah penyelenggara pemilu
dalam mendeteksi kemunculan politik uang. Keterlibatan mantan PPK
dan PPS dalam kasus tersebut menjadi catatan besar bagi penyelenggara
pemilu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa pelaku yang pernah menjadi
penyelenggara pemilu tahu betul soal kemampuan sumber daya manusia di
penyelenggara pemilu.
Bahkan, soal klausul ancaman diskualifikasi paslon yang kedapatan
menggunakan strategi politik uang, dipahami betul oleh pelaku. Dalam
persidangan politik uang, si pelaku tidak memberikan informasi jelas kepada
Gakumdu serta mengungkapkan siapa aktor besar di belakang mereka.
Informasi itu berhenti kepada si pelaku saja. Walhasil, penyelenggara hanya
berhasil menangkap jejaring terakhir dalam mata rantai politik uang.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
9
SARAN DAN REKOMENDASI
Bawaslu sebagai dirijen utama penyelenggara pemilu, mesti memiliki
peta jalan politik uang. Kampanye politik uang juga harus mulai ditata rapi
berdasarkan segmentasi gender, pendidikan, pekerjaan, serta demograpi.
Sehingga, isu yang disasar akan akan lebih tepat sasaran dan diharapkan
memiliki daya manfaat besar bagi kepentingan demokrasi Indonesia.
Berbagai cara ditempuh harus diambil penyelenggara pemilu agar praktik
politik uang dapat diminimalisir. Seperti dengan merangkul otoritas lain yang
mempunyai minat sama dalam menciptakan kultur demokrasi sehat dan
pemerintahan bersih. Sebut saja BI, PPATK, dan OJK. Keikutsertaan mereka
dalam upaya itu menjadi semangat baru bagi Bawaslu dalam melakuka perang
terbuka bagi pelaku uang.
Selain itu, kampanye dan model pelaporan cepat berbasis IT, Gowaslu.
Masyarakat sebagai ujung tombak dan mitra Bawaslu harus dimudahkan
dalam memberikan informasi politik uang. Harapannya, untuk mempercepat
proses arus informasi dan mitigasi dari keberadaan politik uang.
Di sisi lain, apabila hal tersebut dapat dipenuhi atau diakomodir Bawaslu
maka pekerjaan peningkatan partisipatif masyarakat akan meningkat dengan
sendirinya. Dengan begitu, kualitas hajatan demokrasi seperti pemilu dapat
meningkat dengan berkurangnya frekuwensi kasus politik uang.(***)
10
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
BAGIAN II
HAK-HAK PEMILIH
LATAR BELAKANG
Pada tahun 2017, Indonesia mengadakan pemilihan kepala daerah secara
serentak yang diikuti oleh 7 provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota. Jumlah ini
cukup sedikit bila dibandingkan dengan pilkada serentak pada tahun 2015 yang
diikuti oleh 8 provinsi, 170 Kabupaten dan 26 kota. Momentum pemilukada,
selain sebagai ajang pemilihan calon kepala daerah, juga menjadi tolak ukur
penyelenggara pemilu untuk melaksanakan pemilihan yang berintegritas dan
berkualitas dari pemilihan sebelumnya. Isu krusial yang selama ini muncul
pada pemilukada ialah permasalahan hak pemilih.
Bawaslu yang merupakan salah satu lembaga penyelenggara pemilu
mempunyai tugas dan fungsi dalam memastikan, mengawasi, serta
menindaklanjuti hak seseorang dalam menyalurkan aspirasi politiknya,
yaitu terdaftar sebagai pemilih. Sehingga, profesionalitas bawaslu sebagai
lembaga negara yang mempunyai wewenang dalam mengawasi perjalanan
pemilukada menjadi tolak ukur keberhasilannya jika hak-hak pemilih bukan
lagi sebagai permasalahan krusial yang selalu terulang. Seperti diketahui
bersama bahwa permasalahan daftar pemilih merupakan permasalahan
klasik yang selalu hadir disetiap pemilihan umum. Yang artinya sampai saat
ini penyelenggara pemilu masih belum dapat menemukan langkah yang
tepat untuk meminimalisir permasalahan tersebut yang selalu hadir setiap
lima tahun sekali.22
Konsekuensi dalam berdemokrasi ialah menjamin warga negaranya untuk
dapat memilih dan dipilih, dengan kata lain bahwa Negara harus hadir untuk
bisa menjamin warga negaranya, yang mempunyai hak pilih, agar masuk dalam
daftar pemilih. Sebab, menurut Hasyim Asy’ari (2012) mengatakan bahwa
partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi, yang artinya bahwa suatu
Pada tahun 2011, melalui Prakarsa Pendaftaran Pemilih KPU terdapat beberapa solusi alternatif
dalam menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan pendaftaran pemlih, diantaranya ialah
pengkategorian pemilih dengan beragam variannya, dalam pemutakhiran data hendaknya ditentukan
tentang wewenang untuk pemutakhiran (Asy’ari: 2012).
22
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
11
sistem politik dalam sebuah negara akan disebut demokratis apabila adatidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya. Hak pilih
menjadi instrumen yang penting keberadaannya dalam menjalankan suatu
sistem politik yang demokratis. Nohlen (1995) menjelaskan bahwa hak memilih
dapat disandingkan dengan hak berekspresi, berkumpul, berasosiasi, dan
media yang merupakan salah satu persyaratan yang mendasar (fundamental)
bagi yang menjalankan demokrasi konstitutional modern.
Hak pilih dalam konteks kenegaraan merupakan hak warga negara yang
dijamin penuh oleh konstitusi dan undang-undang. Oleh karena itu, apabila
hak pilih warga negara tidak dapat diberikan maka penyelenggara pemilu
dalam hal ini telah melanggar konstitusi dan undang-undang tersebut.23 Selain
itu, hak pilih merupakan hak yang dijamin oleh oleh Hak Asasi Manusia, yaitu
melalui Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusi (DUHAM) pada tahun 1948
melalui resolusi 217 A (III).24 Dengan begitu, Indonesia yang telah menjamin
warga negaranya dalam mendapatkan hak pilih, maka untuk menjalankannya
haruslah memenuhi empat prinsip, yaitu umum, setara, rahasia, dan langsung
(Asy’ari: 2012).
Oleh karena itu, Bawaslu, dalam hal pengawasan pemilihan telah
ditetapkan dalam aturan UU 11 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa tugas
bawaslu menyusun dan menetapkan standar pengawasan pemilihan, yang
merupakan rujukan sebagai pelaksanaan pengawasan bagi pengawas
pemilihan. Pengawasan yang dilakukan meliputi perencanaan pengawasan,
pelaksanaan serta mekanisme pelaporan dan evaluasi pelaksanaan.
Tugas bawaslu dalam hal pengawasan pendaftaran pemilihan ini meliputi
pengawasan pencocokan dan penelitian atau coklit, pengawasan penyusunan
Daftar Pemilih Sementara, Daftar Pemilih Tetap, dan Daftar Pemilih Tambahan.
Pengawasan-pengawasan tersebut dilaksanakan dengan mengikuti waktu
yang telah ditetapkan.
Mengenai hak pilih, Mahkamah Konstitusi melalui putusan perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003
menyebutkan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih merupakan hak
yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensiinternasional, maka pembatasan
penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap
hak asasi dari warga negara.
24
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dalam pasal 21 menyebutkan bahwa (1) Setiap orang
berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang
dipilih dengan bebas. (2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam
jabatan pemerintahan negeranya. (3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah;
kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni,
dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun
dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara (DUHAM: 1948)
23
12
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
·
Pengawasan Coklit
Pelaksanaan pengawasan coklit yang dilakukan oleh Bawaslu diawali
dengan menentukan TPS/PPDP yang menjadi fokus pengawasan. Proses
pengawasan terhadap pelaksanaan pencocokan dan penelitian yang
dilakukan oleh bawaslu dilakukan atas hasil yang dikeluarkan oleh PPDP
dengan berbagai cara, yaitu:
· Mencatat nama pemilih yang belum terdaftar
· Melakukan perbaikan terhadap data pemilih yang terjadi kesalahan
· Mencoret nama pemilih yang telah meninggal dunia
· Mencoret nama pemilih yang telah pindah domisili
· Mencoret nama pemilih yang telah berubah status menjadi TNI/Polri
· Mencoret nama pemilih yang fiktif
· Mencoret nama pemilih yang terganggu ingatan
· Mencoret nama pemilih yang telah dicabut hak pilihnya
·Mencatatkan
Hasil yang dikeluarkan oleh PPDP dapat menghasilkan pencoretan
pemilih yang dinilai tidak atau sudah tidak memenuhi syarat lagi sebagai
pemilih, dan juga penambahan pemilih yang menurutnya mempunyai hak
pilih. Dengan begitu, dalam kontek pengawasan pemilihan, pencoretan serta
penambahan pemilih yang dilakukan dengan serampangan maka dapat
berakibat hilangnya hak pilih seseorang dan juga adanya pemilih yang tidak
sesuai dengan ketentuan. Selain itu, jika melihat dari logistik, maka hal ini
dapat berakibat jumlah logistik yang tidak akurat karena disusun berdasarkan
data pemilih yang tidak tepat.
· Pengawasan DPS
Setelah melakukan pengawasan coklit, maka selanjutnya ialah
pengawasan penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS). Setelah DPS
ditetapkan dalam pleno di Kabupaten/Kota, langkah selanjutnya ialah
melakukan pengumuman DPS. Tujuan pengumuman DPS dimaksudkan agar
masyarakat dapat mengetahui dirinya terdaftar dengan data pemilih yang
benar. Pengumuman DPS dilakukan dengan menempelkan salinan daftar
pemilih di tempat-tempat yang mudah dilihat oleh pemilih, dalam rentang
waktu yang telah ditentukan.
Dalam konteks ini, pengawas pemilihan melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengumuman DPS. Pengawasan yang dilakukan meliputi
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
13
pengawasan terhadap pelaksanaan, waktu pelaksanaan pengumuman serta
ketepatan tempat pengumuman. Pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan
mendatangi secara langsung lokasi dan/atau tempat-tempat pemasangan
pengumuman. Pengawas Pemilihan melakukan pengecekan secara langsung
terhadap pelaksanaan pengumuman tersebut untuk memastikan pelaksanaan
pengumuman DPS seluruh TPS di wilayah desa/kelurahan.
Melalui kegiatan pengecekan pengumuman DPS tersebut, pengawas
pemilihan dapat menilai secara langsung kepatuhan PPS dalam melaksanakan
tugasnya. Terhadap PPS yang belum dan/atau tidak mengumumkan DPS
maka TPS diberikan peringatan untuk segera mengumumkan DPS tersebut.
Dalam rentang waktu tertentu, PPS harus menindaklanjuti rekomendasi yang
berupa peringatan dari pengawas pemilihan. Dalam rentang waktu tersebut,
Pengawas Pemilihan melakukan proses penindakan dengan melakukan
proses penanganan pelanggaran terhadap PPS yang tidak menindaklanjuti
rekomendasi pengawas pemilihan.
· Pengawasan Penetapan DPT
Setelah penetapan DPS yang dilanjutkan dengan penerimaan atas
masukan dan tanggapan atas DPS yang telah diumumkan, maka proses
selanjutnya adalah dilakukan perbaikan terhadap DPS sebelum ditetapkan
menjadi DPT. Salah satu input untuk perbaikan DPS adalah hasil masukan dan
tanggapan serta rekomendasi pengawas pemilu, salah satunya adalah hasil
audit DPS yang telah dilakukan oleh PPL dan panwas Kecamatan.
Hasil audit berupa hasil pemeriksaaan terhadap DPS untuk menilai
DPS berkualitas dengan memastikan DPS tersisi oleh pemilih yang betulbetul memenuhi syarat serta tidak terjadi kesalahan dalam pencatatan data
pemilih. Selain itu, pemeriksaan DPS juga dilakukan untuk memastikan pemilih
yang telah memenuhi syarat secara keseluruhan telah terdaftar dalam DPS.
Penilaian-penilaian inilah yang sangat penting dan diperlukan sebagai dasar
perbaikan DPS sebelum ditetapkan sebagai DPT.
Selain melalui pengawas Pemilihan, pihak lainnya yang juga dapat
memberikan masukan dan tanggapan adalah saksi peserta pemilu dan pemantau
pemilihan. Kedua pihak tersebut diharapkan juga memberikan masukan dan
tanggapan. selain itu, masyarakat secara luas yang telah memeriksa DPS
sebagmana DPS yang telah diumumkan, dapat memberikan masukan dan
tanggapan baik secara langsung kepada PPS/PPK maupun kepada pengawas
pemilihan di berbagai jenjang. Berdasarka masukan-masukan inilah, dilakukan
perbaikan terhadap DPS sebelum ditetapkan menjadi DPT.
14
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Setelah dilakukan perbaikan secara berjenjang, maka DPT sebagai hasil
perbaikan DPS ditetapkan dalam pleno penetapan di kabupaten/kota oleh
KPU Kabupaten/Kota. Penetapan DPS hasil perbaikan tersebut untuk menjadi
DPT dengan dihadiri oleh pengawas pemilihan, pemantau pemilihan dan
saksi pasangan calon. Secara teknis, pihak-pihak tersebut dapat memberikan
masukan dan tanggapan dengan disertai bukti-bukti yang kongkrit.
· Pengawasan Pendaftaran Pemilih Tambahan
Selain pengawasan terhadap daftar pemilih tetap, pengawasan juga
dilakukan dengan pendaftaran pemilihan tambahan. Sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan, pemilih yang memenuhi syarat tetapi
belum terdaftar dalam DPT, pemillih yang bersangkutan didaftarkan dalam
DPTb-1. Proses pendaftaran pemilih tamabahan1 (DPTB-1) dilakukan di
tingkat PPS untuk selanjutnya ditetapkan di tingkat kabupaten/Kota. Proses
pengawasan terhadap proses tersebut dilakukan dengan memeriksa:
a) Keterpenuhan syarat sebagai pemilih
b) Dibuktikan dengan bukti formil yaitu belum terdaftar dalam DPT serta
dengan menunjukkan KTP atau identitas kependudukan lainnya.
Terhadap pemilih terdaftar dalam DPTb-1 secara materiil harus memenuhi
syarat sebagaimana proses pengawasan yang dilakukan oleh pengawas
pemilihan. pendaftaran pemilihan tambahan dilakukan sebagaimana diatur
dalam peraturan KPU.
PERMASALAHAN DAFTAR PEMILIH TETAP
Daftar pemilih menjadi permasalahan klasik yang selalu muncul dalam
pemilihan umum, baik pemilihan umum ekskutif (Presiden, Gubernur, Walikota,
dan Bupati) maupun legislatif. Permasalahan klasik inilah yang selalu menjadi
bahan persidangan di Mahkamah Konstitusi bagi kelompok atau partai yang
kalah dalam pemilihan umum. Dengan adanya permasalahan yang selalu
muncul inilah Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara pada tahun 2004
menegaskan bahwa akan menjadi pelanggaran jika penyelenggara pemilu
telah melakukan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak memilih
pada warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi, undang-undang dan
konvensi internasional.
Dalam pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan pada tahun 2017,
kriteria dasar daftar pemilih tidak jauh berbeda dengan pemilihan presiden
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
15
ataupun legislatif. Kriteria dasar tersebut ialah Warga Negara Indonesia yang
telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin25 dan pensiunan
TNI/Polri. Kriteria dasar dalam menentukan pemilih inilah yang kemudian
mengkategorikan pemilih menjadi tiga, yakni Pemilih terdaftar yang berhak,
Pemilih terdaftar yang tidak berhak, dan Pemilih yang berhak namun potensial
tidak terdafta (Asy’ari: 2012).
Terdapat beberapa permasalahan yang selalu muncul dalam daftar
pemilih. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah sumber
data yang dipakai, pemilih ganda, pemilih yang berhak namun tidak terdaftar,
pemilih yang berhak namun tidak dapat menggunakan hak pilihnya, dan
pemilih yang tidak berhak namun terdaftar. Dalam permasalahan sumber
data yang dipakai dalam menetapkan pemilih, penyelenggara pemilu (KPU)
melakukan dengan Daftar Pemilih Tetap terakhir yang digunakan26 dan
Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilum (DP4) yang disediakan oleh
pemerintah27. Pada kasus ini, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem) menyebutkan bahwa dengan adanya kedua sumber data ini
memiliki konsekuensi yang mengakibatkan banyak beberapa daerah yang
menyelenggarakan pemilukada DP4 berkualitas buruk. Hal ini didasari atas
tidak maksimalnya KPUD dalam memperbaiki data tersebut sehingga banyak
pemilih yang tidak masuk Daftar Pemilih Sementara (DPS) maupun Daftar
Pemilih Tetap (DPT).
Permasalahan yang timbul dari sumber data menurut Perludem (2011)
disebabkan belum berhasilnya pemerintah, Kemendagri dan Pemerintah
Daerah, membangun data penduduk berdasarkan Single Identity Number
(SIN). Sedangkan menurut Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
dalam Laporan Pemantauan tahun 2010 menyebutkan bahwa permasalahan
daftar pemilih muncul dari kinerja petugas pemutakhiran data pemilih yang
tidak profesional dan teknis pemutakhiran data pemilih yang tidak optimal.
Oleh karena itu, dengan adanya masalah sumber data dan kinerja yang tidak
profesional tersebut, memunculkan permasalahan baru ketika pemilih sudah
Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum tahun 2016 yang
dilakukan oleh Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu menyebutkan bahwa pemilih
hanya digunakan satu standar saja, yaitu umur. Dengan begitu status perkawinan bukanlah sebagai
standar untuk dapat memilih. Hal ini dikarenakan bahwa status perkawinan tidak mempengaruhi
kedewasaan dalam menggunakan hak politik.
26
Sesuai dengan Pasal 70 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatakan bahwa daftar pemilih pada
saat pelaksanaan pemilihan umum terakhir di daerah digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah.
27
Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2007 mengenai Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang menjelaskan
bahwa dalam pemutakhiran data pemilih, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota merupakan
pengguna akhir data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh pemerintah.
25
16
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap oleh KPU, yaitu:
· Adanya pemilih ganda; berupa pemilih yang mempunyai nama, Nomor Induk
Kependudukan, tempat tanggal lahir, umur dan jenis kelamin yang sama.
· Pemilih yang berhak namun tidak terdaftar; biasanya ditemukan pada
pemilih pemula, pemilih yang berpindah tempat, pemilih yang tanpa
identitas kependudukan, pemilih yang dilarang untuk dihuni, pemilih yang
terhapus datanya, pemilih narapidana, pemilih yang berada di rumah sakit,
dan sebagainya.
· Pemilih yang berhak namun tidak dapat menggunakan hak pilihnya;
pemilih ini terdaftar dalam DPT namun dalam kondisi tertentu mereka
tidak dapat menggunakan hak pilihnya, seperti yang terjadi pada pemilih
disabilitas di Jakarta Barat yang tidak dapat menyalurkan haknya.
· Pemilih yang tidak berhak namun terdaftar; pemilih yang sudah meninggal
dan pemilih fiktif.
Selain permasalaha di atas tersebut, Kemitraan pada tahun 2011
menyebutkan bahwa daftar pemilih memiliki beberapa permasalahan, seperti
pada tabel berikut:
Tabel 1. Permasalahan Daftar Pemilih pada Pemilukada
No.
Masalah Daftar Pemilih
1
Sejumlah warga negara yang berhak memilih tetapi tidak mempunyai Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK), sehingga tidak dapat
terdaftar dalam DPT.
2
Sebagian besar DP4 dari pemrintah Kabupaten/Kota tidak dapat diandalkan dari
segi derajat cakupan, kemutakhiran dan akurasi, tidak hanya karena pemutakhiran
data penduduk dilakukan secara pasif tetapi juga karena Pemerintah Kabupaten/
Kota tidak mengakomodasi DPT pemilu/pilkada sebelumnya dalam penyusunan
DP4 pemilu berikutnya.
3
KPU tidak mempunyai sikap yang jelas terhadap DP4 dari Pemerintah Kabupaten/
Kota yang mempunyai kualitas yang tidak dapat diandalkan.
4
KPU tidak memiliki parameter yang terukur dalam menerima atau menolak DP4 dari
Pemerintah Kabupaten/Kota.
5
Persyaratan domisili pemilih yang diterapkan antara de jure dan de facto menimbulkan
masalah.
6
Pemilih bersikap pasif dalam menanggapi DPS karena merasa sudah tercatat sebagai pemilih.
7
Pembetukan PPDP tidak hanya terhambat, tetapi juga tidak sesuai dengan maksud
dan tujuan pembentukan PPDP.
8
PPS dan PPDP cenderung bersikap pasif dalam pemutakhiran daftar pemilih.
9
Hanya sedikit partai politik yang meminta salinan DPS kepada PPS, dan PPS hanya
akan memberikan salinan DPS kepada partai politik apabila wakil partai politik
mengganti biaya fotokopi.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
17
10
Panwaslu belum terbentuk ketika KPU melaksanakan program pemutakhiran daftar
pemilih sehingga tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan tahap pemutakhiran
daftar pemilih.
11
KPU beserta seluruh jajarannya di daerah tidak cukup transparan dalam membuka
data pemilih kepada publik.
Sumber: Kemitraan: 2011
Dari beberapa permasalahan tesebut, dapat dikatakan bahwa
sesungguhnya daftar pemilih yang selama ini dilakukan tidak luput dari
permasalahan yang tidak kunjung usai. Padahal, dalam pemilihan umum
bukanlah hanya berkaitan pada faktor politis, tapi juga terdapat faktor
geografis dan demografis yang harus mempunyai perhatian khusus oleh
lembaga penyelenggara pemilu (Siegfried: 1913), peserta pemilu, dan
partisipasi aktif dari masyarakat.
PEMILIH DISABILITAS
Penyandang disabilitas masih menghadapi tantangan dan hambatan
yang cukup besar dalam memenuhi hak-hak sipil dan politik mereka.
Beberapa contoh hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam
Pemilu adalah lokasi TPS yang tidak dapat diakses, petugas KPPS yang tidak
dilatih bagaimana berinteraksi dengan pemilih penyandang disabilitas dan
tidak adanya alat bantu bagi penyandang disabilitas netra.
Potensi hilangnya hak-hak penyandang disabilitas tidak terbatas pada
hari pelaksanaan Pemilu saja, tetapi juga di tahapan-tahapan awal sebelum
hari pemungutan suara. Mereka seringkali tidak dapat mengakses informasi
tentang Pemilu atau pendaftaran pemilih, sehingga mereka tidak dapat
mendaftar dan memberikan suara, serta kurangnya pengetahuan tentang
pilihan yang tersedia bagi mereka. Hambatan bagi penyandang disabilitas
sangat bervariasi tergantung pada norma dan budaya yang sebagiannya
belum ramah bagi penyandang disabilitas. 28
Jumlah penyandang disabilitas tidaklah kecil. Badan Pemenuhan HakHak Penyandang Disabilitas PBB (UN Enable) menyatakan bahwa penyandang
disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia.29 Laporan Dunia
Penyandang Disabilitas pertama, yang diterbitkan bersama dengan WHO
dan Bank Dunia pada tahun 2011, memperkirakan bahwa sekitar 15 persen
dari penduduk dunia memiliki disabilitas. Ini setara dengan lebih dari satu
miliar orang.30 Jika diterapkan di Indonesia, dengan jumlah populasi sekitar
Gambaran tentang hambatan dan tangan aksesibilitas pemilu di Indonesia. Lampiran 1
United Nations Enable, “Lembar fakta tentang penyandang disabilitas”.
30
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia, “Laporan Dunia tentang Disabilitas”, 2011.
28
29
18
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
247 juta dan lebih dari 190 juta pemilih, maka jumlah pemilih penyandang
disabilitas di negara ini diperkirakan berjumlah sekitar 27 juta.31
Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD),
yang diadopsi pada Majelis Umum PBB pada 13 Desember 2006, sangat
berperan penting dalam mengubah pola penanganan berbagai hal terkait
isu disabilitas. UNCRPD telah berperan besar dalam mengubah sikap dan
cara pandang terhadap disabilitas dengan lebih menekankan pada hak
asasi manusia. Pemerintah Indonesia memiliki komitmen terhadap UNCRPD
dengan menandatangani konvensi ini pada tanggal 30 Maret 2007 dan
meratifikasinya pada 30 November 2011.32
Pasal 29 UNCRPD tentang kehidupan politik dan kemasyarakatan
secara khusus mendukung pemenuhan hak politik penyandang disabilitas.
Artikel ini menekankan tanggung jawab negara untuk “menjamin hak-hak
politik para penyandang disabilitas dan kesempatan bagi mereka untuk
mengaktualisasikan hak-hak tersebut atas prinsip kesetaraan.” Hak-hak politik
ini termasuk hak menyatakan pendapat serta hak memilih dan dipilih sebagai
wakil rakyat.
Dalam hal temuan pemantauan terkait dengan pendidikan pemilih. KPU
meningkatkan upaya pendidikan pemilihnya dengan cara membuat poster,
spanduk, billboard, dan iklan elektronik dan cetak. KPU juga mengorganisir
“sukarelawan demokrasi” untuk lima sektor pemilih: pemilih pemula,
kelompok agama, kelompok perempuan, kelompok rentan, dan penyandang
disabilitas. Walaupun telah ada upaya-upaya tersebut dari KPU, ditemukan
dalam pemantauan bahwa masih terdapat banyak kelemahan dalam upaya
pendidikan pemilih yang dapat ditingkatkan kualitasnya, khususnya kebutuhan
untuk menyediakan seluruh materi pendidikan pemilih (khususnya informasi
elektronik) dalam format yang dapat diakses.
Untuk pendaftaran pemilih, pemantauan menemukan bahwa terdapat
beberapa tantangan dalam mendaftarkan penyandang disabilitas untuk
memilih. Tantangan utamanya adalah: anggota keluarga tidak mendorong
penyandang disabilitas untuk mendaftar; anggota KPU daerah sering
berpendapat bahwa penyandang disabilitas tidak memilih hak untuk memilih
atau dipilih; dan petugas pendaftaran pemilih memiliki pemahaman yang
terbatas terkait pentingnya mengisi data pemilih penyandang disabilitas.
Data dari Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa hanya ada sekitar
tiga juta penyandang disabilitas di Indonesia. Perbedaan ini sebagian besar disebabkan oleh pendekatan
yang berbeda dalam mendefinisikan disabilitas. Sumber: Kementerian Sosial Republik Indonesia dan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, “laporan negara Indonesia,” 2006.
32
UU No.19/2011 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.
31
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
19
Temuan AGENDA juga menunjukkan bahwa banyak anggota keluarga
penyandang disabilitas tidak memberikan informasi yang diminta. Selain
itu, cukup lumrah bagi petugas pemilu di lapangan untuk tidak menanyakan
informasi disabilitas saat menginput data yang telah direvisi. Jika data
dimutakhirkan sebelum pemilu legislatif, data yang akurat mungkin telah ada
saat ini. Akan tetapi, karena tidak dilakukan saat pemilu legislatif dan baru
mulai digencarkan sebelum pemilu presiden, cukup sulit untuk melaksanakan
proses ini karena petugas pemilu tidak dapat mengunjungi pemilih untuk
memutakhirkan data.
TPS yang Tidak Akses
Temuan AGENDA menunjukkan bahwa lokasi beberapa TPS tidak akses
bagi penyandang disabilitas, misalnya jalan yang sempit atau terhalang, jalan
masuk atau keluar yang tidak akses, dan peralatan TPS misalnya meja bilik
suara atau kotak suara terlalu tinggi. Selain itu, walaupun peralatan bantuan
seperti template Braille diwajibkan tersedia di tiap TPS, peralatan tersebut
tidak dapat ditemukan di tiap TPS. Memastikan bahwa setiap TPS memiliki
semua peralatan dan atribut yang seharusnya sangatlah dibutuhkan untuk
menjamin pemilu akses bagi penyandang disabilitas.
Pelaporan Media yang Tidak Akses
Temuan AGENDA menunjukkan bahwa kebanyakan responden tidak
menerima informasi apapun terkait pemilu. Ditemukan juga bahwa media
yang aksesibel bagi penyandang disabilitas jumlahnya sangat terbatas dan
terjadi kurangnya informasi terkait tahap-tahap pemilu, kandidat presiden/
wakil presiden, proses pemungutan suara, dan informasi terkait pemilu
lainnya. Pendidikan pemilih bagi penyandang disabilitas mengharuskan
tersedianya cara penyampaian khusus, misalnya media visual, penerjemah
bahasa insyarat bagi yang tuna rungu, peralatan audio bagi yang tuna netra.
Petugas Penyelenggara yang Kurang Siap
Pemantauan AGENDA menemukan bahwa TPS biasanya tidak siap
untuk melayani penyandang disabilitas. Walaupun petugas memiliki sejumlah
tanggung jawab yang mempengaruhi akses bagi penyandang disabilitas,
misalnya menentukan lokasi TPS dan menyediakan peralatan pemungutan
suara, banyak petugas yang masih belum sepenuhnya sadar atas pengaruh
pilihan-pilihannya terhadap kesempatan penyandang disabilitas dalam
20
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
menggunakan haknya. Tantangan di masa depan adalah untuk memastikan
bahwa petugas kepemiluan di seluruh tingkat memahami bagaimana
berinteraksi dan membantu penyandang disabilitas. Aturan yang baik sulit
diterapkan tanpa pemahaman dan kemampuan petugas untuk berinteraksi
dengan penyandang dan isu disabilitas.
Rendahnya Partisipasi Pemilih
Temuan AGENDA mengindikasikan rendahnya partisipasi pemilih
penyandang disabilitas, diduga disebabkan oleh berbagai tantangan yang
dihadapi penyandang disabilitas saat menggunakan hak pilihnya – beberapa
dari tantangan tersebut dijabarkan secara terperinci di paragraf-paragraf
sebelumnya. Halangan-halangan tersebut menghalangi ribuan, bahkan
mungkin jutaan pemilih dari secara penuh berpartisipasi dalam pemilu di
negaranya.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan di atas dan untuk mendukung pemilu akses,
AGENDA merekomendasikan poin-poin berikut:
1. Petugas pemilu dan seluruh pemangku kepentingan harus menyediakan
informasi bagi penyandang disabilitas melalui program pendidikan pemilih
dan materi kampanye yang terarah di tiap tahap pemilu, disediakan oleh
seluruh petugas kepemiluan, pemerintah, organisasi masyarakat sipil,
parpol, dan calon. Materi tersebut harus disediakan dalam berbagai format
yakni tertulis, audio, visual, interaktif, dan non-interaktif. Saat pendidikan
pemilih disiarkan di televisi, harus disediakan ahli bahasa isyarat bagi yang
tuna rungu. Petugas pemilu harus melibatkan organisasi yang bekerja
dengan isu disabilitas sebagai mitra kooperasi.
2. Media di Indonesia harus berupaya lebih keras untuk mewawancarai dan
mengikutsertakan penyandang disabilitas sebagai bagian dari pelaporan
kegiatan pemilu. Kampanye media yang mendidik dan bernuansa positif
juga harus ada untuk membantu menanamkan pandangan yang benar
bahwa penyandang disabilitas, keluarga, dan kepala daerah bahwa
penyandang disabilitas memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik komunitas mereka, termasuk menggunakan hak pilihnya.
3.Meningkatkan kapasitas petugas pemilu di tingkat lokal untuk
mengumpulkan data disabilitas, khususnya bagi petugas pemutakhiran
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
21
data (Pantarlih) dan petugas di tingkat kelurahan/desa (PPS). Proses
penyusunan DPT harus mengumpulkan data terkait jenis disabilitas dengan
cara menggunakan kolom keterangan yang ada di formulir pengumpulan
data. Petugas di tingkat kelurahan/desa (PPS) dan petugas KPU harus
memastikan bahwa data disabilitas dikumpulkan dan disertakan dalam
seluruh jenis daftar pemilih.
4. Untuk memastikan bahwa petugas pemilu (khususnya PPS) dan staf TPS
(KPPS) harus: (a) memilih lokasi TPS yang dapat diakses sebagaimana diatur
dalam UU yang berlaku di Indonesia; (b) memahami aturan formulir Model
C3 PPWP yang harus diisi asisten penyandang disabilitas; (c) memahami
fungsi dan kegunaan template Braille; dan (d) siap mendukung penyandang
berbagai jenis disabilitas di TPS – untuk ini, harus ada satu sesi pelatihan
yang sepenuhnya tentang isu aksesibilitas bagi staf tingkat lokal.
5. Petugas pemilu harus mengatur dan membangun lingkungan pemungutan
suara yang akses di TPS, misalnya, pencahayaan yang cukup, adanya
arahan tentang bagaimana cara mencoblos yang dicetak dalam kertas
dan huruf berukuran besar, adanya pengarahan secara lisan dan tertulis
tentang proses pemungutan suara, serta adanya sinyal visual dan verbal
untuk memanggil pemilih yang tuna netra atau tuna rungu.
6. Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) harus berkolaborasi dengan
berbagai pemangku kepentingan misalnya para LSM, aktivis, dan
penyelenggara pemilu seperti KPU untuk mengarusutamakan isu disabilitas
dalam pemilu melalui program.
22
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
BAGIAN III
MENGUKUR KEBERHASILAN INDEKS
KERAWANAN PEMILU DALAM
PILKADA 2017
LATAR BELAKANG
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia merupakan
lembaga negara yang memiliki tugas dalam pengawasan baik dalam
penindakan dan pencegahan. Konteks pencegahan dalam pengawasan
pemilu diperlukan sebagai upaya pemetaan yang lebih komprehensif terkait
dengan potensi pelanggaran dan kerawanan dalam penyelenggaraan pemilu.
Dalam pelaksanaan tugas diatas, Bawaslu menyusun Indeks Kerawanan
Pemilu (IKP) sebagai suatu rangkaian riset yang dilakukan sebagai dasar dalam
merumuskan kebijakan, program, dan strategi dalam konteks pengawasan di
bidang kepemiluan. Melalui pendekatan pencegahan, IKP dibutuhkan sebagai
instrumen kerawanan di setiap wilayah yang hendak melangsungkan Pilkada,
harapannya segala bentuk potensi kerawanan dapat diantisipasi, diminimalisir,
dan dicegah.
Pemetaan dan deteksi dini dalam menentukan wilayah-wilayah prioritas
yang didentifikasi sebagai wilayah rawan dalam proses pemilu yang
demokratis, mengidentifikasi ciri, karakteristik, dan kategori kerawanan dari
berbagai wilayah yang akan melangsungkan pemilu dan menjadikan referensi
dalam menentukan strategi dan langkah-langkah antisipasi, pencegahan, dan
meminimalisir kerawanan pelaksanaan pemilu.
IKP selain berguna bagi internal Bawaslu RI juga berguna bagi stakeholders
(kementerian dan lembaga negara, institusi akademik, masyarakat sipil,
media, serta publik secara luas) sebagai sumber data rujukan dalam produksi
data, informasi, dan pengetahuan serta rekomendasi dalam mengambil
keputusan, terutama untuk langkah-langkah antisipasi terhadap berbagai
hal yang dapat menghambat dan mengganggu proses pemilu di berbagai
daerah di Indonesia.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
23
IKP mendasarkan pada konsep pemilihan umum yang demokratis
bersandar pada dua dimensi penting yakni kontestasi dan partisipasi. Kontestasi
yakni menyangkut subjek peserta pemilu (partai politik dan kandidat) yang
saling berkompetisi dalam meraih posisi politik terntentu. Dalam dimensi
kontestasi melihat seberapa adil dan setara proses kompetisi berlangsung
diantara para kontestan. Sementara dimensi partisipasi menyangkut subjek
masyarakat sebagai pemilih yang memiliki hak. Dimensi ini melihat bagaimana
hak masyarakat dijamin serta diberikan ruang keterlibatan untuk mengawasi
dan mempengaruhi dalam proses pemilihan umum.
Selain dua dimensi yang menjadi dasar dalam pemilihan umum yang
demokratis juga ada satu hal yang berpengaruh dalam literasi kontemporer
manajemen pelaksanaan pemilu yakni faktor penyelenggaraan pemilu yang
dilakukan oleh subjek penyelenggara pemilu. Hal ini terkait bagaimana
integritas dan profesionalitas penyelenggara dalam menjamin pemilu berjalan
demokratis.
Dalam menyusun IKP, Bawaslu menggunakan menggunakan Analytical
Hierarchy Process (AHP), metode ini bekerja dengan cara membandingkan
secara berpasangan (pairwise comparison) setiap wilayah (Provinsi atau
kabupaten/kota) satu persatu untuk tiap indikator. Prinsip kerja penentuan skor
akhir melalui metode AHP seperti layaknya kompetisi yang mempertemukan
head to head setiap wilayah pilkada 2017 untuk menghasilkan klasemen
peringkat.
Tabel
Kategori skor IKP
Skor
Kategori
Keterangan
0 – 1,99
Kerawanan
Rendah
indikasi kerawanan relatif kecil cenderung
tidak rawan
2,00 –
2,99
Kerawanan
Sedang
ada indikasi potensi kerawanan yang cukup
signifikan yang perlu diperhatikan dan
diantisipasi
Kerawanan
Tinggi
ada indikasi potensi kerawanan yang signifikan
yang perlu diperhatikan, diantisipasi
serta diambil langkah-langkah untuk
meminimalisir kerawanan
3,00 –
5,00
Dengan menggunakan metode tersebut, Bawaslu menghasilkan daerah
Pilkada dengan kategori kerawanan tinggi, sedang dan rendah. Dalam Pilkada
Propinsi, terdapat tiga daerah yang berada pada kategori kerawanan tinggi
24
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
yaitu Papua Barat, Aceh dan Banten. Sementara kerawanan sedang adalah
Sulawesi Barat, Bangka Belitung dan Gorontalo.
Sementara di tingkat Kabupaten/Kota, dari 94 Kabupaten/ kota yang
akan melaksanakan Pilkada pada tahun 2017 terdapat 4 (empat) daerah yang
masuk dalam kategori kerawanan tinggi, sementara ada 40 (empat puluh)
daerah dengan kategori kerawanan sedang dan 50 (lima puluh) daerah
dengan kategori kerawanan rendah.
Berangkat dari hasil IKP tersebut, Bawaslu memberikan rekomendasi
terhadap penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan terkait.
Rekomendasi dibagi dalam dua arah yaitu internal pengawasan dan eksternal.
Dalam mencegah terjadinya pelanggaran Pemilu, rekomendasi
pencegahan secara internal adalah, a) menyusun‎ strategi pencegahan
berdasarkan karakter dan latar belakang elemen masyarakat setempat, b)
meningkatkan pengawasan partisipatif untuk meminimalisir pelanggaran di
masyarakat dengan memasukkan materi non Suku, Agama, Ras dan Antar
golongan (SARA) dan gerakan penolakan terhadap politik uang, dan c)
menyusun strategi penyediaan informasi dari lembaga pengawas terkait
tahapan penyelenggaraan dan strategi pencegahan dapat meingkatkan
partisipasi masyarakat lokal.
Dalam sistem Pengawasan, rekomendasi pengawasan adalah, a)
mensupervisi terhadap struktur dibawahnya dalam memastikan integritas
dan profesionalitas penyelenggara pilkada, b) mensupervisi terhadap struktur
dibawahnya untuk memastikan profesionalitas dalam melaksanakan tugas
pengawasan pilkada, c) menyusun pembagian peran antara pengawas dan
kelompok masyarakat dalam membangun sinergi pengawasan bersama dan
d) menyusun metode pengawasan secara melekat dan partisipatif untuk
menemukan dan menindaklanjuti pelanggaran pilkada.
Sementara rekomendasi eksternal adalah, untuk Komisi Pemilihan Umum
(KPU) adalah a) supervisi terhadap struktur dibawahnya dalam memastikan
integritas dan profesionalitas penyelenggara pilkada dan b) Supervisi
terhadap struktur dibawahnya untuk memastikan tahapan pemilu berjalan
sesuai jadwal.
Rekomendasi untuk Peserta Pilkada (Partai Politik dan Pasangan Calon)
adalah a) melakukan kampanye bersih dengan menghindari penggunaan isu
SARA, penggunaan politik uang dan fasilitas negara, b) menjaga soliditas
partai politik dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala
daerah dan c) mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di setiap
tahapan pilkada.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
25
Rekomendasi untuk Kementerian Dalam Negeri adalah melakukan a)
supervisi terhadap kepastian proses penganggaran dan pencairan anggaran
Pilkada oleh pemerintah daerah dan b) memastikan netralitas ASN dan
pemerintah daerah dalam Pilkada serta menindaklanjuti setiap pelanggaran
yang dilakukan pemerintah daerah dan ASN.
Rekomendasi untuk aparat keamanan/penegak hukum adalah a)
mengantisipasi dan memberikan perlindungan terhadap penyelenggara
pemilu, terhadap potensi tindak kekerasan serta potensi konflik antar peserta
pilkada, b) memberikan perlindungan bagi pemilih untuk menggunakan hak
pilihnya secara bebas, adil, dan mandiri; c) kepolisian dan Kejaksaan segera
membentuk peraturan bersama dalam penanganan pelanggaran pidana
pemilu serta sentra penegakan hukum terpadu dan d) TNI memberikan
dukungan pengamanan terhadap penyelenggara pemilu, pemilih atas potensi
tindak kekerasan serta potensi konflik antar peserta pilkada.
Sementara rekomendasi untuk Kementerian Koordinator Bidang Politik
Hukum dan Keamanan adalah a) mengoordinasikan serta supervisi terhadap
aparat pemerintah dan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya masing-masing serta b) mengantisipasi adanya penggunaan
isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dalam pelaksanaan Pilkada.
Tulisan ini ingin melakukan evaluasi terhadap hasil IKP Bawaslu dalam
Pilkada 2017. Metode evaluasi dilakukan dengan cara “Mengukur Keberhasilan
Rekomendasi dari hasil IKP dengan tingkat pelanggaran yang terjadi di daerah
Pilkada”.
Dalam mengukur keberhasilan suatu daerah dilakukan dengan dua jalur:
1. Kesesuaian proyeksi tingkat kerawanan yang dihasilkan oleh IKP. Apakah
potensi kerawanan yang telah dihasilkan oleh IKP terbukti terjadi di suatu
daerah Pilkada. Elemen ini untuk menunjukkan keberhasilan dari IKP
sebagai cara untuk mendeteksi kerawanan.
2.Keberhasilan penyelenggara Pemilu dalam mengantisipasi tingkat
kerawanan di suatu daerah. Apakah penyelenggara Pemilu berhasil
melakukan antisipasi dan pencegahan berdasarkan dari tingkat kerawanan
yang dhasilkan oleh IKP. Elemen ini untuk menunjukkan keberhasilan dari
IKP untuk mengambil langkah prioritas dan strategi pencegahan dari
kerawanan.
Cara tersebut dilakukan dengan mengumpulkan hasil pengawasan di
daerah Pilkada, identifikasi praktik koordinasi dengan para pihak dalam proses
pengawasan tahapan Pilkada serta proses gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
26
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Evaluasi dilakukan di seluruh daerah Pilkada Propinsi dan Pilkada
Kabupaten/Kota dengan tingkat kerawanan tinggi. Yaitu Papua Barat, Aceh
dan Banten dengan kerawanan tinggi. Sulawesi Barat, Bangka Belitung dan
Gorontalo dengan kerawanan sedang. Sementara di tingkat kabupaten/Kota
mengambil daerah dengan tingkat kerawanan tinggi yaitu Tolikara, Intan Jaya,
Nduga dan Lanny Jaya.
HASIL IKP 2017
Terdapat tujuh Provinsi yang melaksanakan Pilkada di tahun 2017, yaitu
Aceh, Bangka Belitung, Banten, Jakarta, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua
Barat. Dari hasil skor akhir yang merangkum nilai dari keseluruhan dimensi
(Penyelenggaraan, Kontestasi, dan Partisipasi), terdapat tiga daerah yang
berada pada kategori kerawanan tinggi (skor ≥ 3). Daerah tersebut secara
berurutan dari yang tertinggi yaitu Papua Barat (3,38), Aceh (3,32) kemudian
Banten (3,13). Sementara sisanya adalah daerah dengan kategori kerawanan
rendah (skor antara 2,00 – 2,99), daerah tersebut secara berurutan adalah
Sulawesi Barat (2,36), Jakarta (2,29), Bangka Belitung (2,29) dan Gorontalo
(2,01). Secara keseluruhan, tingkat kerawanan bagi Pilkada tingkat Provinsi
terbagi dalam dua kerawanan yaitu kerawanan tinggi dan kerawanan sedang.
Hasil IKP 2017 untuk tingkat provinsi menunjukkan 3 daerah dengan
tingkat kerawanan tinggi secara berurutan adalah: Papua Barat (3,38); Aceh
(3,32); dan Banten (3, 14). Sementara 4 provinsi lainnya berada pada kategori
tingkat kerawanan sedang secara berurutan adalah: Sulawesi Barat (2,36);
DKI Jakarta (2,29); Kepulauan Bangka Belitung (2,29) dan Gorontalo (2,01).
Setiap propinsi memiliki karakteristik kerawanan yang berbeda-beda dan
unik. Papua Barat memiliki kerawanan untuk dimensi penyelenggaraan terkait
integritas dan profesionalitas penyelenggara, serta harus mengantisipasi
berbagai ancaman tindak kekerasan terhadap penyelenggara. Aceh juga
membutuhkan perhatian khusus karena memiliki kerawanan di setiap aspek
dimensi baik penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi.
Selain itu Aceh akan melaksanakan pilkada propinsi dan pilkada kab/kota
pada tahun 2017. Aceh adalah wilayah yang memiliki jumlah kabupaten/kota
terbanyak yang akan melaksanakan pilkada di tahun 2017 dibanding wilayah
lain. Banten adalah wilayah yang memiliki kerawanan pada dimensi kontestasi
dan penyelenggaraan. Pengaruh terbesar adalah kerawanan yang tinggi pada
dimensi kontestasi terutama pada faktor kekerabatan dan hubungan keluarga
calon yang bisa berdampak pada dimensi lain yakni dimensi penyelenggaraan
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
27
terkait integritas penyelenggara. Sementara provinsi lain relatif memiliki
kerawanan sedang.
DKI Jakarta merupakan ibukota yang terletak di pusat pemerintahan
memerlukan perhatian meski hanya terkategori kerawanan sedang, hal ini
terutama terkait dengan dimensi kontestasi menyangkut variabel kampanye
(terkait isu suku, agama, ras, dan golongan, serta fitnah dan hasutan) dan
variabel konflik antar peserta pemilu yang rentan terjadi gesekan sosial antar
pendukung di wilayah ibukota.
Tabel
Skor IKP 2017 Provinsi
Sementara dalam tingkat Kabupaten/Kota, berdasarkan dari skor total
IKP mencakup keseluruhan dimensi (Penyelenggaraan, Kontestasi, dan
Partisipasi), dari 94 Kabupaten/kota yang akan melaksanakan Pilkada pada
tahun 2017 terdapat 4 (empat) daerah yang masuk dalam kategori kerawanan
tinggi, sementara ada 40 (empat puluh) daerah dengan kategori kerawanan
sedang dan 50 (lima puluh) daerah dengan kategori kerawanan rendah.
Hasil IKP 2017 untuk tingkat kabupaten/kota menunjukkan ada 4 daerah
dengan tingkat kerawanan tinggi yang semuanya berasal dari propinsi Papua,
secara berurutan daerah tersebut adalah Tolikara (3.50) ; Intan Jaya (3.30) ;
Nduga (3.24) dan Lanny Jaya (3.03). Sementara ada empat puluh kabupaten/
kota yang berada pada kategori kerawanan sedang. Dilihat dari sebaran
wilayahnya, dari empat puluh wilayah tersebut didominasi oleh kabupaten/
kota dari Papua, Aceh, Papua Barat. Akan tetapi adapula kabupaten/kota
seperti Takalar (2.88) yang berada di peringkat 7 ; Kepulauan Mentawai
(2.68) di peringkat 8; dan Buton (2.65) di peringkat 9, ketiga kabupaten/kota
tersebut masuk dalam 10 besar wilayah rawan di luar kabupaten/kota yang
berasal dari propinsi Papua dan Aceh.
28
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Karakteristik wilayah kabupaten/kota, untuk kategori kerawanan sedang,
memiliki corak kerawanan yang beragam yang setiap wilayah memiliki
dimensi,variabel, dan indikator kerawanan yang bisa berbeda satu sama lain.
Bisa jadi meski skor total IKP suatu kabupaten/kota tergolong tidak tinggi,
tetapi ada variabel dan indikator yang memiliki skor kerawanan tinggi dan
perlu mendapat perhatian khusus. Secara umum untuk hasil IKP kabupaten/
kota tahun 2017 memperlihatkan kerawanan pada dimensi penyelenggaraan
lebih tinggi daripada 2 dimensi lainnya (kontestasi dan partisipasi), sementara
dimensi kontestasi memiliki kecenderungan pola lebih rendah kerawanannya
dibanding dimensi partisipasi.
Tabel
Kabupaten/kota dengan Tingkat Kerawanan Tinggi
Kabupaten / Kota TOTAL IKP
Peringkat
Dimensi
Penyelenggaraan
Dimensi
Dimensi
Kontestasi Partisipasi
Peringkat IKP
(Bobot
100%)
(Bobot 30%)
Bobot
(35%)
Bobot
(35%)
Tertinggi –
Terendah
Range 0-5
Range 0-5
1
Tolikara
3,503
4,200
2,500
3,182
2
Intan Jaya
3,301
3,600
2,333
3,182
3
Nduga
3,241
3,400
2,208
3,182
4
Lanny Jaya
3,035
3,600
1,458
3,000
Range 0-5 Range 0-5
Kesesuaian Proyeksi
Dalam hal kesesuaian proyeksi tingkat kerawanan yang dihasilkan oleh
IKP dapat dipelajari dari pelaksanaan Pilkada Tolikara dan Intan Jaya. Potensi
kerawanan yang telah dihasilkan oleh IKP terbukti terjadi di suatu daerah
Pilkada tersebut. Dengan kategori ini, IKP menunjukkan keberhasilan dari IKP
sebagai cara untuk mendeteksi kerawanan.
Dalam pelaksanaan Pilkada Intan Jaya, pemutahiran daftar pemilih oleh
KPU Kabupaten Intan Jaya tidak berjalan sesuai prosedur, dimana Panwaslih
Kabupaten Intan Jaya mengambil sample pengawasan di Distrik Sugapa dan
Distrik Homeyo dan di temukan, dimana dikedua Distrik tersebut terdapat
kesalahan prosedur yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Intan Jaya dimana
PPDP (Petugas Pemutahiran Data Pemilih) yang tugasnya untuk melakukan
Pencocokan dan Penelitian (Coklik) Pemutahiran Data Pemilih dibentuk oleh
KPUD Kabupaten Intan Jaya sendiri yang merekrut petugas PPDP bukan
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
29
oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS), keberadaan PPDP yang tidak sesuai
(fiktif) karena nama-nama PPDP yang ada dalam SK tersebut ternyata tidak
mengetahui penunjukkan mereka sebagai PPDP.
Panwaslih Kabupaten Intan Jaya menemukan adanya keganjilan terkait
jumlah pemilih sementara pada Distrik Sugapa dan Homeyo, dimana jumlah
DPT Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 dan jumlah DPS untuk
beberapa kampung berubah drastis, sebagai berikut :
Tabel
Data Pemilih Intan Jaya
NO
1
2
DISTRIK
SUGAPA
HOMEYO
KAMPUNG
DPT PILPRES
2014
DPS PILBUP
2017
KET
PUYAGIYA
2.020
1.586
Berkurang 434
EMONDI
719
1.665
Bertambah 946
SANEPA
843
448
Berkurang 395
MAYA
687
365
OEGAPA
791
1.014
Berkurang 322
Bertambah
223
Dalam Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara, terdapat
pembakaran kotak suara pada 2 TPS di kampung Ogeapa Distrik Homeyo
pada tanggal 14 Februari 2017, dimana hal tersebut ditemukan Panwas Distrik
Homeyo. Berdasarkan laporan tersebut Panwaslih Kabupaten Intan Jaya
mengumpulkan semua pihak untuk di klarifikasi dan hasilnya mereka sudah
sepakat sesuai adat budaya setempat untuk menyerahkan perolehan suara
sesuai jumlah DPT pada 2 TPS tersebut berjumlah 1.014 kepada pasangan
calon nomor urut 3 (tiga) atas nama Natalis Tabuni dan Yan Kobogayauw.
Ketua PPS kampung Emondi Distrik Sugapa dan oknum KPPS membawa
lari formulir model C1 hologram dari 4 (empat) TPS setelah pemungutan dan
perhitungan suara selesai dilakukan, sedangkan salinan formulir model C
untuk saksi, pengawas TPS, PPS, dan PPD termasuk C1 plano juga hilang atau
tidak ada.
Tim pasangan calon nomor urut 3 (tiga) yaitu Pasangan Calon Natalis
Tabuni dan Yan Kobogayauw membawa lari formulir model C1 hologram dari
3 (tiga) TPS kampung Soali, kampung Tausiga, dan kampung Unabundoga
Distrik Agisiga setelah perhitungan suara selesai, sedangkan salinanformulir
model C untuk saksi, pengawas TPS, PPS, dan PPD termasuk C1 plano juga
hilang atau tidak ada.
30
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Adanya kesalahan prosedur pengisian hasil perhitungan perolehan suara
pada 2 (dua) TPS kampung Ular Merah, 2 (dua) kampung Ipowa, 2 (dua)
TPS kampung Anea, dan 2 (dua) TPS Kampung Biandoga Distrik Biandoga.
Dimana kesalahan prosedur adminsitrasi yang dimaksud adalah pengisian
data hasil perhitungan perolehan suara dari 2 (dua) TPS ke dalam 1 (satu)
formulir model C1 hologram, yang seharusnya diisi masing-masing per TPS
per formulir model C1 hologram. Terhadap permasalahan ini telah di selesaikan
saat rekapitulasi tingkat kabupaten.
Sementara dalam Kabupaten Tolikara, Melakukan pengawasan
pemungutan dan penghitungan suara di TPS, Panwaslih Kabupaten dan
jajaran melakukan pengawasan di 582 TPS.
Di Distrik Karubaga Kelurahan Karubaga 4 TPS yaitu TPS kelurahan
Karubaga, TPS Danggulurik, TPS Beleme, TPS Elsaday masyarakat pemilih
sudah hadir di TPS namun tidak ada penyelenggara KPPS atau PPS yang
bertugas karena Petugas KPPS yang bertugas tidak mengetahui kalau mereka
adalah petugas KPPS karena belum menerima SK KPPS dari PPS, sehingga
Panwas berkoordinasi dengan KPUD Kabupaten Tolikara dan mendapat
informasi bahwa KPU menyerahkan kepada PPS SK KPPS dalam bentuk draft
kosong untuk diisi oleh PPS nama nama KPPS yang ditunjuk tetapi sampai
pada tanggal 15 Februari 2017 SK KPPS dalam bentuk draft tersebut belum
dikembalikan oleh PPS kepada KPU agar KPU membuat SK yang resmi.
Panwas mengeluarkan surat nomor 054/PWSL-KAB.TLK/II/2017
Perihal Rekomendasi untuk penerbitan SK PPS da KPPS serta PPS agar KPU
membuat SK KPPS, hal ini disaksikan juga oleh Kapolda Papua, Komisioner
KPU Provinsi, Tim Supervisi Bawaslu Provinsi Papua, dan Sentra Gakumdu
Kab Tolikara. Bahwa sesuai rekomendasi panwaslih Kabupaten Tolikara maka
dilaksanakan Pemilu Susulan pada 4 TPS tersebut tanggal 17 Februari 2017.
Terdapat kejadian yang sama di 10 TPS di Distrik Danime dan 13 TPS
Distrik Kondaga dan sehingga Panwaslih juga mengeluarkan rekomendasi
Nomor 055/PWSL-KAB.TLK/II/2017 Perihal Hasil Penelitian dan Pemeriksaan
Pemungutan Suara Ulang di Distrik Danime Kabupaten Tolikara dan Nomor
057/PWSL-KAB.TLK/II/2017 Hasil Penelitian dan Pemeriksaan Pemungutan
Suara Ulang di Distrik Kondaga Kabupaten Tolikara dan KPUD melaksanakan
Pemilu Susulan di 10 TPS Distrik Danime pada tanggal 16 Februari 2017, dan
Pemilu Susulan di 13 TPS Distrik Kondaga pada tanggal 17 Februari 2017.
Bahwa Hasil pengawasan Komisioner Panwas Kabupaten Tolikara an
Melianus Mayoba ,panwas Distrik , PPL dan PTPS pada 18 Distrik yaitu, Distrik
Bewani, Distrik Biuk, Distrik Bokondini, Distrik Bokoneri, Distrik Bogonuk,
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
31
Distrik Kanggime, Distrik Kembu, Distrik Kuari, Distrik Geya, Distrik Gilombandu,
Distrik Goyage, Distrik Gundagi, Distrik Lianogoma, Distrik Nabunage, Distrik
Nunggawi, Distrik Tagime, Distrik Umagi dan Distrik Telenggeme terdapat
pelaksanaan pemungutan suara Rekap ditingkat distrik tidak dilaksanakan
sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Proses rekapitulasi Tingkat Distrik oleh PPD pada 18 Distrik tidak
dapat diketahui prosesnya oleh Panwas Distrik karena Panwas tidak dilibatkan
dalam pleno rekapitulasi PPD.
Pada tanggal 24 Februari terjadi perdebatan pada pleno rekepitulasi
karena KPUD belum melaksanakan Rekomendasi Panwaslih Kabupaten
Tolikara Nomor 059/PNWS/-KAB-TLK/II/2017 KPUD Kabupaten Tolikara
menjawab rekomendasi panwas dengan mengeluarkan Berita Acara
Nomor 10/BA/KPU-KAB.TLK/II/Tahun 2017, Panwaslih Kabupaten Tolikara
Kabupaten Tolikara meminta skors waktu untuk menanggapi BA tersebut,
KPUD Kabupaten Tolikara menskors waktu selama 60 menit , kemudian
Panwas menjawab BA KPU tersebut dengan surat nomor 066/PNWS-Kab.
TLR/II/2017 yang intinya membantah bahwa rekomendasi Panwas telah
kadaluarsa karena surat rekomendasi dikeluarkan pada tanggal 17 Februari
2017 dua hari setelah pungut hitung tanggal 15 Februari masih terpenuhi batas
waktu dalam PKPU tentang Pemungutan Suara Ulang, Panwaslih Kabupaten
tolikara juga meminta KPUD Tolikara untuk tetap melaksanakan PSU pada
semua TPS di 18 Distrik.
Keberhasilan Penyelenggaraan
Dalam keberhasilan penyelenggara Pemilu dalam mengantisipasi
tingkat kerawanan di suatu daerah dapat dipelajari dari Pilkada Aceh dan
Banten. Penyelenggara Pemilu berhasil melakukan antisipasi dan pencegahan
berdasarkan dari tingkat kerawanan yang dhasilkan oleh IKP. Keberhasilan
dari IKP untuk mengambil langkah prioritas dan strategi pencegahan dari
kerawanannya. Keberhasilan menurunkan tingkat potensi kerawanan di
Pilkada Aceh dengan melakukan pencegahan semaksimal mungkin.
Dalam konteks Pilkada Aceh, IKP berhasil menjadi motivasi untuk
melakukan pencegahan. Kerawanan dapat dicegah dengan melakukan
koordinasi intensif dengan stakeholders Pilkada dalam waktu yang regular
yaitu setiap dua minggu sekali. Terdapat pertemuan antara KPU, Bawaslu,
Pangdam, Kapolda untuk mencari formula dalam mencegah terjadinya
potensi pelanggaran Pemilu. Setiap kali pertemuan stakeholders, seluruh
pasangan calon selalu diundang untuk membahas persoaln tertentu.
32
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Kasus penembakan yang terjadi di Aceh sesungguhnya tidak ada
kaitanya dengan Pilkada Aceh, karena sejak awal para penyelenggara
Pemilu mempunyai pedoman bersama sehingga dapat bekerja secara efektif
dan apabila menemui permasalahan dapat diminimalisir sedini mungkin.
Keberhasilan pengawas yang paling menonjol adalah dalam hal menyelesaikan
sengketa pencalonan terhadap ketidaklolosan dalam hal tes kesehatan.
Keputusan Panwas untuk mengulang tes kesehatan dengan keyakinan bahwa
hasil tes kesehatan berjalan obyektif menjadi titik awal kepercayaan public
terhadap kinerja pengawas.
Sementara dalam Pilkada Banten, IKP menjadi kerangka dasar untuk
menentukan priorotas program pencegahan. Proses penyususnan IKP
terutama berkaitan dengan dimensi turunan ke bawahnya, berdasarkan
pengalaman penyelengaraan dan prediksi, penyusunan kontestasi dimana
petahana akan mobisislasi ASN. Hal inilah yang menjadi prioritas dalam
pencegahan dan sistem pengawasan yang dilakukan Bawaslu Banten.
Dengan adanya petahana yang akan maju dan menjadi fokus dari IKP
maka Bawaslu Banten dapat mengantisipasinya sejak awal. Menag diakui apa
yang dianngap potensi kerawanan di IKP berbeda dengan potensi kerawanan
yang dilakukan oleh pihak keamanan. Hal ini sesungguhnya saling melengkapi.
Bahwa IKP juga menjadi referensi terkait kerawanan hibah bansos dan
bisa cegah, dari awal Bawaslu Banten menyampaikan tidak boleh sosialisasi
serta 15 TPS di Tangerang sudah terprediksi.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Mencegah terjadinya pelanggaran pemilihan kepala daerah merupakan
tugas terbesar pengawas pemilu, meski memang penindakan pelanggaran
juga merupakan tugas penting pengawas. Salah satu formula untuk mencegah
terjadinya pelanggaran adalah memetakan titik-titik rawan dan potensi
pelanggaran. Untuk itulah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan
penelitian di 101 daerah yang menyelenggarakan pemilihan gubernur, bupati
dan walikota (Pilkada) serentak 2017.
Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam Indeks Kerawanan Pemilu
(IKP) 2017. IKP 2017 merupakan upaya dari Bawaslu RI untuk melakukan
pemetaan dan deteksi dini terhadap berbagai potensi pelanggaran dan
kerawanan dalam menghadapi pelaksanaan Pilkada Serentak 2017. IKP
diharapkan dapat menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan Pemilihan
dalam mengambil langkah-langkah antisipasi untuk mencegah kerawanan
yang mungkin muncul ke permukaan.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
33
Potensi kerawanan yang telah dihasilkan oleh IKP terbukti terjadi di suatu
daerah Pilkada tersebut. Dengan kategori ini, IKP menunjukkan keberhasilan
dari IKP sebagai cara untuk mendeteksi kerawanan.
Demikian juga, penyelenggara Pemilu berhasil melakukan antisipasi
dan pencegahan berdasarkan dari tingkat kerawanan yang dhasilkan oleh IKP.
Keberhasilan dari IKP untuk mengambil langkah prioritas dan strategi pencegahan
dari kerawanannya. Keberhasilan menurunkan tingkat potensi kerawanan di
Pilkada Aceh dengan melakukan pencegahan semaksimal mungkin.
34
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
BAGIAN IV
EVALUASI PENGAWASAN TERHADAP
DANA KAMPANYE
PENDAHULUAN
Uang adalah sebuah medium atau alat yang sangat signifikan untuk
dapat menguasai energi dan sumber daya. Uang mampu membeli apa
yang dapat atau tidak dapat diberikan secara sukarela. Uang dan segala
yang dapat dibeli dengannya terbukti telah menjadi sesuatu yang selalu
penting dalam dunia politik. Karakteristik khas dari uang adalah ia dapat
dipertukarkan (konvertibel) tanpa meninggalkan jejak sumbernya. Ini adalah
sebuah “keuntungan” nyata dalam politik. Konvertibilitas uang tersebut,
lantas membuat pembiayaan kegiatan politik --Dana Kampanye-- menjadi
sebuah komponen yang signifikan dalam seluruh proses pemerintahan.
Karena sifat universalnya, uang pun menjadi elemen penjejak (tracer
element) dalam mempelajari tentang kekuasaan politik. Keteranganketerangan mengenai transaksi-transaksi yang melibatkan uang menjelaskan
proses politik dan perilaku, akan semakin meningkatkan pemahaman kita
mengenai alur menuju pengaruh dan kekuasaan. Sebagai salah satu sumber
kekuasaan, uang juga tidak terlepas dari syarat-syarat penggunaan dalam
tatanan politik yang demokratis.
Semakin kaya seseorang atau sekelompok orang, semakin tinggi pula
posisi kekuasaan politik yang dapat diraihnya, sekalipun kesejajaran ini tidak
berlangsung secara otomatis. Artinya, kekayaan tidak dengan sendirinya
menghasilkan kekuasaan politik, jika tidak digunakan untuk mempengaruhi
proses-proses politik. Tetapi, di Indonesia, yang terjadi pada umumnya adalah
sebaliknya. Uang, misalnya, bukan menghasilkan kekuasaan politik, melainkan
justru kekuasaan politiklah yang akan “menghasilkan” uang. Situasi demikian
telah menyebabkan kehidupan politik yang korup.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka penggunaan uang dalam
politik, terutama dalam hal Dana Kampanye pada Pemilu atau Pilkada, harus
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
35
diatur sehingga dapat mewujudkan proses demokrasi prosedural melalui
pemilu yang akuntabel dan berintegritas. Dalam undang-undang pemilu
ataupun regulasi yang berkenaan dengan Pemilihan Kepala Daerah, perihal
pengaturan dana politik termaktub di dalam pasal-pasal yang mengatur dana
kampanye. Rumusan tentang kampanye, durasi kampanye serta bentuk atau
model kampanye, biasanya akan berpengaruh juga terhadap besaran dana
kampanye yang dibutuhkan.
Karena kampanye bertujuan menarik simpati pemilih yang jumlahnya
banyak dan berada di lokasi yang luas, maka kampanye butuh dana besar.
Dana ini untuk membiayai beragam kegiatan kampanye: pertemuan orang
per orang, berdialog dalam kelompok, pertemuan massa, pemasangan
poster, spanduk dan baliho, hingga pemasangan iklan di media massa. Jadi,
kampanye meliputi empat elemen penting: partai politik dan calon, program
dan isu, organisasi, dan dana. Kebutuhan atas dana tersebut mendorong
partai politik dan calon mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya.
Menurut Edwing and Issachardoff (2006), partai politik dan calon
terpaksa mencari dari kampanye dengan segala macam cara, karena
sumber dana partai politik yang berasal dari iuran anggota tidak mencukupi;
sedangkan bantuan negara jumlahnya sangat terbatas.
Di sisi lain, banyak pihak, baik perseorangan maupun badan hukum,
yang bersedia menyumbang dana kampanye kepada partai politik dan
calon. Tujuannya adalah mendapatkan akses kekuasaan melalui calon-calon
terpilih di legislatif maupun eksekutif pasca pemilu. Besarnya sumbangan
berpengaruh buruk terhadap pengambilan kebijakan dan keputusan pasca
pemilu, karena “tidak ada makan siang gratis” dengan dana kampanye yang
telah diterima partai politik dan calon.
Masalahnya semakin rumit, karena tidak semua sumbangan dana
kampanye dicatat dan diketahui publik, sehingga pemilih tidak bisa
menghubungan besarnya dana kampanye yang diberikan oleh penyumbang
dengan kebijakan yang diambil pejabat publik yang menguntungkan
penyumbang. Di sinilah pengaturan dana kampanye itu diperlukan. Tujuan
utamanya pengaturan ini adalah menjaga agar partai politik dan pejabat
publik terpilih tetap mengedepankan kepentingan pemilih dalam membuat
kebijakan dan keputusan daripada mengutamakan kepentingan para
penyumbang.
36
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
PENGATURAN DANA KAMPANYE
Pentingnya pengaturan dana kampanye ini terlihat dari adanya
ketentuan-ketentuan dana kampanye dalam undang-undang pemilu pasca
Perubahan UUD 1945: UU No 12/2003, UU No 10/2008, dan UU No 8/2012
untuk pemilu legislatif; UU No 23/2003 dan UU No 42/2008 untuk pemilu
presiden, dan UU No 32/2004 untuk Pilkada. Ketentuan-ketentuan yang
termaktup dalam undang-undang itu mengatur: (1) sumber dana kampanye
yang berasal dari partai politik, calon, dan sumbangan tidak mengikat; (2)
batasan sumbangan perseorangan dan perusahaan; (3) jenis sumbangan
yang dilarang; (4) laporan daftar penyumbang; (5) audit dana kampanye;
(6) mekanisme pelaporan dana kampanye, dan (7) sanksi atas pelanggaran
ketentaun dana kampanye.
Sekilas materi pengaturan dana kampanye sudah mencukupi. Namun jika
dicermati, pengaturan dana kampanye dalam undang-undang mengandung
banyak kelemahan: batasan sumber dana banyak lubang, mekanisme
pelaporan membingungkan, belanja kampanye tidak diatur, dan ketiadaan
sanksi tegas bagi pelanggar. Salah satu kelemahan yang menonjol pengaturan
dana kampanye pemilu legislatif adalah tidak adanya pembatasan dana
dari partai politik dan calon anggota legislatif; demikian juga dalam pemilu
presiden dan Pilkada, tidak ada pembatasan dana dari calon presiden dan
wakil presiden dan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta partai
politik yang mengusung pasangan calon tersebut.
Akibatnya, berapa pun dana yang masuk dari partai politik dan calon
dianggap legal, meski dana itu bisa didapatkan partai politik dan calon dari
pihak lain dengan cara tidak legal. Di sisi lain, pengaturan dana kampanye dalam
pemilu legislatif, pemilu presiden dan Pilkada juga tidak membatasi belanja
kampanye, sehingga peserta pemilu dipacu untuk menggelar kampanye
semasif dan seintensif mungkin demi meraih suara. Ketiadaan batasan dana
dari partai politik dan calon di satu pihak, dan ketiadaan pembatasan belanja
kampanye di lain pihak, membuat pengeluaran dana kempanye menjadi tidak
terkendali. Partai politik dan calon harus menanggung beban dana kampanye
tinggi sehingga ini membuka ruang korupsi pasca pemilu nanti.
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya pemerintah dan DPR
menetapkan Perppu No 1/2014 menjadi UU No 1/2015 pada 20 Januari 2015.
Karena mengandung banyak kelemahan dan kekurangan dalam mengatur
penyelenggaraan Pilkada, pemerintah dan DPR mengubah UU No 1/2015
melalui UU No 8/2015 pada 17 Februari2015 (Tim Revisi Undang-undang
Pilkada: 2015). Belajar dari penyelenggaraan pemilu legislatif, pemilu presiden,
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
37
dan Pilkada sebelumnya, di mana partai politik dan calon harus menanggung
dana kampanye sangat besar, maka undang-undang Pilkada yang baru ini
berusaha menekan atau mengurangi dana kampanye Pilkada sekecil mungkin.
Hal ini terlihat dari dua ketentuan berikut ini. Seperti undang-undang
sebelumnya, UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015 menyebut tujuh metode
kampanye: a) pertemuan terbatas; b) pertemuan tatap muka dan dialog; c) debat
publik/debat terbuka antarpasangan calon; d) penyebaran bahan kampanye
kepada umum; e) pemasangan alat peraga; f) iklan media massa cetak dan
media massa elektronik; dan atau g) kegiatan lain yang tidak melanggar larangan
kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun Pasal 65 ayat (2) UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015, menegaskan
bahwa metode kampanye huruf c), d), e), dan f) difasilitasi oleh KPU yang
didanai APBN. Jadi, kampanye dalam bentuk debat publik, penyebaran
bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, dan iklan media
massa, kini dibiayai negara; sedangkan partai politik dan pasangan calon
hanya membiayai kampanye pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka
dan dialog.
Berbeda dengan undang-undang pemilu sebelumnya, undang-undang
Pilkada baru mencantumkan pembatasan dana kampanye. Hal ini tertulis
dalam Pasal 74 ayat (9) UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015, “Pembatasan dana
Kampanye Pemilihan ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, cakupan/luas wilayah dan
standar biaya daerah.” Inilah ketentuan yang ditunggu banyak pihak guna
mengerem laju pengumpulan dan belanja kampanye.
Masalah Tafsir dan Operasionalisasi: Kombinasi antara tiga bentuk
kampanye yang dibiayai negara dengan pembatasan dana kampanye, dapat
mengurangi secara signifikan jumlah dana kampanye yang selama ini harus
ditanggung oleh partai politik dan pasangan calon. Meskipun demikian
dua ketentuan tersebut masih sangat terbuka sehingga bisa menimbulkan
masalah dalam pelaksanannya.
Misalnya, kampanye dalam pertemuan terbatas dan pertemuan tatap
muka dan dialog, memang bisa dilakukan secara bebas oleh pasangan calon
dan tim kampanye, kapan saja di mana saja selama masa kampanye. Namun
apakah itu berarti KPU tidak diberi wewenang untuk mengatur pelaksanaan
pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog. Lantas jika dikaitan
dengan wewenang KPU untuk membatasi dana kampanye, bukankah hal itu
juga berlaku terhadap pembatasan dana kampanye untuk kampanye dalam
bentuk pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog?
38
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Ketentuan tentang pembatasan dana kampanye sesungguhnya
menimbulkan multitafsir: pertama, apakah pembatasan itu hanya berlaku
pada pengeluaran/belanja saja, atau juga mencakup pembatasan terhadap
pemasukan/sumbangan?; kedua, apakah wewenang membatasi dana
kampanye itu hanya boleh dilakukan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/
Kota, atau KPU bisa membuat peraturan teknis, sehingga KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota tinggal melaksanakannya? Ketentuan-ketentuan yang
multitafsir inilah yang harus dihadapi oleh KPU dalam membuat peraturan
teknis dana kampanye sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 75 ayat (5) UU
No 1/2015 juncto UU No 8/2015, yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut
mengenai sumbangan dan pengeluaran dana Kampanye pasangan calon
diatur dengan Peraturan KPU.”
Tidak hanya menafsirkan ketentuan-ketentuan undang-undang, dalam
membuat peraturan tentang sumbangan dan pengeluaran dana kampanye,
KPU juga dipaksa atau terpaksa membuat ketentuan-ketentuan baru yang
tidak dicantumkan secara tekstual dalam UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015,
tetapi dibutuhkan untuk menegakkan prinsip-prinsip pengaturan dana
kampanye: keadilan, kesetaraan, serta transparansi dan akuntabilitas. Sebab
prinsip-prinsip tersebut sesungguhnya merupakan derivasi dari prinsip
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) sebagaimana
ditulis dalam UUD 1945.
Jadi, dalam membuat peraturan tentang sumbangan dan pengeluaran
dana kampanye, KPU memang tidak hanya dituntut untuk menafsirkan secara
tepat pasal-pasal undang-undang, tetapi juga dituntut keberaniannya untuk
membuat ketentuan-ketentuan baru yang tidak tercantum secara tekstual
dalam undang-undang, demi menegakkan prinsip-prinsip pengaturan dana
kampanye yang memang mendapat landasi konstitusional. Kajian singkat
ini diharapkan bisa membantu KPU dalam merumuskan pengaturan tentang
sumbangan dan pengeluaran dana kampanye.
Demi prinsip transparansi dan akuntabilitas, maka semua transaksi
penerimaan maupun pengeluaran dana kampanye harus melalui rekening.
Hal ini tidak hanya akan memudahkan pengelolaan dan pengawasan dana
kampanye, tetapi juga memudahkan pasangan calon dalam membuat laporan.
Transaksi dalam bentuk tunai tidak diperbolehkan lagi guna mencegah sedini
mungkin kemungkinan penggunaan dana ilegal untuk kampanye. Pasangan
calon dan partai politik tidak perlu keberatan dengan keharusan bertransaksi
melalui rekening, mengingat UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015 masih
membolehkan sumbangan dalam bentuk barang/jasa.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
39
Daftar penyumbang dana kampanye merupakan dokumen vital dalam
pengelolaan dana kampanye, karena semua uang yang digunakan membiayai
kampanye tercatat di sini. Dari daftar penyumbang, publik akan tahu siapa
saja yang menyumbang pasangan calon sehingga kelak akan diketahui: sejauh
mana pengaruh penyumbang terhadap pembuatan kebijakan dan keputusan
yang dilakukan pasangan calon terpilih. Jadi daftar penyumbang bukan
sekadar perangkat untuk memastikan siapa yang menyumbang dan berapa
besar sumbangannya, tetapi juga untuk mengukur sejauh mana kemandirian
pasangan calon terpilih dalam membuat kebijakan dan keputusan pasca
Pilkada.
UU No 1/2015 juncto UU No 8/2018 memang tidak memerinci syaratsyarat untuk bisa menjadi penyumbang. Namun berdasarkan pengalaman
pemilu sebelumnya, syarat-syarat penyumbang pemilu legislatif dan pemilu
presiden, yang sudah diterima banyak pihak, sebaiknya dicantumkan kembali.
Syarat-syarat itu meliputi pengisian formulir sumbangan, penyertaan fotokopi
kartu identitas, NPWP, pernyataan tidak menunggak pajak, dan lain-lain. Cara
ini dapat mencegah kemungkinan adanya penyumbang fiktif.
Rincian penerimaan dana kampanye mudah dilakukan karena UU No 1/2015
juncto UU No 8/2015 menyebutkan jelas sumber-sumber dana kampanye.
Namun undang-undang tidak merinci jenis-jenis pengeluaran sehingga hal
ini berpengaruh terhadap model pembukuan yang hendak dibakukan oleh
KPU. Peraturan KPU harus mempertegas hal ini agar laporan dana kampanye
pasangan calon tidak seenaknya sendiri menyebutkan komponen-kompenone
pengeluaran. Guna mempermudah perincian, pengelompokan komponenkomponen pengeluaran dana kampanye bisa berangkat dari bentuk-bentuk
kampanye sebagaimana diatur undang-undang.
Laporan awal, laporan berkala, dan laporan akhir dana kampanye
setelah diperiksa oleh kantor akuntan publik perlu dipublikasikan secara luas.
Publikasi ini tidak sekadar memenuhi prinsip transparansi, tetapi juga untuk
memastikan akuntabilitas dana kampanye. Sebab hanya dengan laporan
terbuka, maka setiap orang bisa menyaksikan dan memeriksa soal kebenaran
yang terdapat dalam laporan dana kampanye: siapa penyumbang, berapa
nilai sumbangan, jenis-jenis belanja, komponen belanja terbesar, hinggal total
biaya kampanya pasangan calon.
UU No 1/2015 juncto UU No 8/1015 memang tidak secara tegas
menjatuhkan sanksi kepala pasangan calon yang melanggar ketentuanketentuan pelaporan dana kampanye. Namun hal ini bukan berarti menutup
peran KPU dalam memberikan sanksi administrasi terhadap mereka yang
40
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
melanggar peraturan pelaporan dana kampanye. Sanksi teguran lisan,
peringatan tertulis, hingga pembatalan pasangan calon bisa dilakukan. Oleh
karena itu agar peraturan dana kampanye berjalan efektif, maka KPU tidak
perlu segan untuk menjatuhkan sanksi pembatalan pasangan calon bagi
pasangan calon yang tidak membuat rekening, laporan awal, laporan berkala,
dan laporan akhir.
TANTANGAN PENGAWASAN
Konsep follow the money atau mengikuti jejak uang dalam dana
kampanye merupakan persoalan yang jauh lebih kompleks dari pada sekedar
formalitas audit dana kampanye yang memeriksa dana masuk dan keluar.
Dalam upaya tracking dana kampanye dibutuhkan kerjasama dengan
lembaga stakeholders seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). Namun problemnya adalah, PPATK hanya dapat menjangkau lalulintas transaksi keuangan yang berlangsung via rekening bank (non-tunai),
sementara transaksi yang berlangsung tunai “dibawah meja” tidak dapat ditracking.
Proses audit dana kampanye membutuhkan auditor publik yang kredibel,
karena kerja-kerja audit merupakan salah satu bentuk dari kerja pengawasan.
Dalam kaitan ini maka Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah lembaga
yang paling tepat untuk menunjuk auditor publik, bekerjasama dengan
lembaga keprofesian auditor yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi auditor.
Karena persoalan dana kampanya bukan hanya sekedar memeriksa
tingkat kepatuhan dan bukan juga sekedar formalitas memeriksa balance
antara kolom debit dan kredit, maka penelusuran sumber dana kampanye
menjadi sangat signifikan melalui verifikasi lapangan yang dilakukan oleh
petugas pengawas pemilu.
Dalam upaya meminimalisir tindak pelanggaran dana kampanye, maka
khusus untuk segala bentuk aktivitas kampanye harus bersumber dari
rekening dana kampanye yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan evaluasi
terhadap pengawasan Dana Kampanye, maka ada beberapa ketentuan yang
dapat dipertimbangkan sebagai input perbaikan.
Perlu ditelisik lebih luas pada aktor-aktor yang terlibat dalam peredaran
politik uang dalam Pemilihan Kepala Daerah. Berdasarkan pengalaman pada
beberapa Pilkada sebelumnya di beberapa wilayah di Indonesia, aktor pelaku
politik uang tidak selalu berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung
dengan para kandidat calon kepala daerah yang sedang berkompetisi.
Keterlibatan pelaku politik uang pun belum tentu mencerminkan keterkaitan
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
41
kepentingan politik, namun lebih kepada kepentingan ekonomi semata.
Dalam kaitan dengan itulah maka keberadaan “Bandar Judi” perlu
mendapat perhatian khusus dalam pengawasan. Tentu dengan berkoordinasi
bersama pihak kepolisian dan keamanan setempat. Di beberapa wilayah
ber-Pilkada, eksistensi bandar judi cukup signifikan memenangkan atau
mengalahkan para kandidat. Mereka tak punya motif politik. Hanya soal
“playing game with some money.” Namun cukup signifikan mempengaruhi
kemenangan atau kekalahan kandidat. Tak segan mereka menghamburkan
uang kepada para pemilih di suatu wilayah, bahkan juga kepada petugas
penyelenggara Pemilu/Pilkada untuk memanipulasi suara.
Pelaku dari jajaran petugas penyelenggara Pilkada juga penting untuk
mendapat perhatian dalam pengawasan secara lebih cermat. Terutama pada
petugas penyelenggara yang bersifat ad-hok di level bawah. Mereka ada di titik
yang lebih rawan sebagai pihak yang paling berpotensi untuk mendapatkan
tawaran suap. Justru uang politik akan lebih efektif bila disasarkan kepada
petugas penyelenggara dari pada kepada para pemilih.
Modus dan bentuk praktek politik uang. Belajar dari pengalaman dari
Pemilu dan Pilkada pada periode sebelumnya, politik uang tidak selalu
berbentuk cash, namun juga dapat berbentuk barang. Materinya bervariasi
untuk setiap daerah sesuai dengan anggapan kebutuhan masyarakat lokal.
Bisa berbentuk bahan-bahan bangunan, seperti pasir, batu bata, semen,
atau pembangunan infrastruktur lainnya. Dapat pula berupa alat-alat dapur,
peralatan olahraga, atau peralatan aktivitas keagamaan.
Melacak uang politik melalui dana kampanye. Rumusan tentang
kampanye, durasi kampanye serta bentuk atau model kampanye, biasanya
akan berpengaruh juga terhadap besaran dana kampanye yang dibutuhkan.
Dalam hal validitas dana kampanye, dapat ditelisik melalui audit dana
kampanye. Sayangnya, penyelenggara Pilkada, terutama dalam hal ini KPU
sebagai user untuk auditor belum efektif menjalin kerjasama yang mengikat
dengan lembaga profesi auditor nasional sebagai provider untuk tenaga
auditor yang kredibel dan berintegritas. Tentu hal ini akan menimbulkan
kesulitan untuk melacak uang politik via dana kampanye, karena proses audit
selama ini hanya bersifat formalitas belaka sebagai pemenuhan kewajiban dari
mandat regulasi yang mengatur dana kampanye. Bila audit dana kampanye
tak di audit dengan seksama, maka akan salah sasaran dan lebih jauh lagi
akan luput dari tujuan dan cita-cita pemilu yang akuntabel, kredibel dan
berintegritas.
PENUTUP
42
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
Peraturan dana kampanye harus mencantumkan secara tegas prinsipprinsip pengelolaan dana kampanye: kebebasan, kesetaraan, transparansi
dan akutabilitas. Perlunya prinsip tersebut ditekanakan dalam peraturan
tidak lain agar semua pihak sadar bahwa tanpa prinsip tersebut pengaturan
dana kampanye hanya basa-basi saja. Penegasan prinsip tersebut di awal
pengaturan juga untuk menjaga agar ketentuan-ketentuan berikutnya tetap
dalam koridor mengimplementasi prinsip tersebut.
Peraturan dana kampanye hendaknya tidak hanya melakukan
pembatasan biaya kampanye, tetapi pembatasan dana kampanye. Itu berarti
pembatasan dana kampanye meliputi pembatasan pengeluaran atau belanja
dan pembatasan pemasukan atau pendapatan. Hal ini bukan semata-mata
karena naskah undang-undang meminta KPU melakukan “pembatasan dana
kampanye” (bukan sekadar “pembatasan belanja kampanye”), tetapi yang
tidak kalah penting agar peraturan ini juga berfungsi mencegah pasangan
calon dan partai politik mengumpulkan dana kampanye sebanyak-banyaknya.
Kepastian semua transaksi penerimaan maupun pengeluaran harus
melalui rekening, para penyumbang harus memenuhi syarat tertetu dengan
cara mengisi formulir, serta menyatakan bahwa dana yang disumbangkannya
benar-benar dana legal. Pasangan calon tidak hanya membuat laporan
awal dan laporan akhir, tetapi juga laporan berkala. Selanjtunya laporan
dana kampanye harus dipublikasikan secara luas melalui web site lembaga
penyelenggara pemilu.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
43
44
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
BAGIAN V
EVALUASI PENGAWASAN TERHADAP
NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA
(ASN)
”Semestinya, loyalitas Aparatur Sipil Negara (ASN) ditujukan
kepada negara (state), bukan kepada pemerintah (government),
karena state bersifat permanen sedangkan goverment berganti
secara periodik lima atau sepuluh tahun.”
Bersikap netral dalam perhelatan politik, baik lokal maupun nasional,
sangat jelas tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010
tentang Disiplin ASN dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN). Netral merupakan salah satu prinsip Pemilu yang
paling mendasar yang dituntut kepada petugas penyelenggara Pemilu dan
aparatur sipil negara (ASN), maupun kepada tentara dan kepolisian. Karena
mereka mengemban amanat sebagai pelayan publik dari semua lapisan dan
golongan.
Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia menjadi Tim Sukses salah satu
pasangan calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah masih kerap
terjadi. Anggota Bawaslu RI, Nasrullah dalam sebuah kesempatan mengatakan
bahwa menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak,
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menemukan adanya keterlibatan
Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam dukung-mendukung calon kepala
daerah. Keterlibatan itu berupa ketidaknetralan dan pengerahan sumber
daya keuangan guna memenangkan pasangan tertentu. Bahkan, di beberapa
daerah ada ASN yang mengakui sudah diiming-imingi jabatan.
Sudah ada kabinet bayangan di proses pencalonan, siapa yang akan jadi
Sekda, siapa yang akan jadi kepala dinas dan lainnya. Anggota Bawaslu RI,
Endang Wihdaningtyas, menyatakan bahwa pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) kerap dimanfaatkan oleh segelintir orang dengan melibatkan
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
45
pegawai negeri sipil (ASN). Walaupun dilarang, fenomena tersebut sulit
dihilangkan dan bahkan cenderung semakin parah. Selanjutnya dinyatakan
pula bahwa banyak ASN yang bersikap netral sangat sulit diterapkan, karena
apabila mereka tidak mendukung salah satu pasangan calon dalam Pilkada,
maka karirnya sebagai ASN juga akan terancam mandeg. Artinya, banyak
dari mereka bersikap tidak netral karena “keterpaksaan” (bawaslu.go.id).
Larangan ASN berpolitik praktis sangat jelas tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin ASN dan Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pelanggar dapat
dikenai sanksi teguran hingga pemecatan. Tetapi, dalam praktek masih ada
celah yang bisa diakali, ASN banyak masuk sebagai tim relawan yang tidak
terdaftar sebagai anggota tim sukses atau tim kampanye. Kerja mereka
mendistribusi atribut kampanye dan mengerahkan massa. Selain keinginan
sendiri untuk menjadi bagian dari pihak yang bertarung dalam Pilkada,
banyak juga ASN yang diintimidasi agar berpihak kepada calon tertentu. Di
daerah petahana yang kembali mencalonkan diri, posisi ASN dilematis. ASN
yang tak membantu kerap mendapat ancaman. Apabila petahana menang,
mereka akan dimutasi (otda.kemendagri.go.id).
Berbagai Hal di atas sebenarnya sudah di awasi secara ketat
pelaksanaannya. Seperti beberapa waktu lalu, melalui Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor B/2355/M.
PANRB/07/2015 tentang menjaga kenetralan Aparatur Sipil Negara merupakan
penegasan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang kemudian diganti
dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN secara jelas menyatakan: Dalam
upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin
keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala
perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang
menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Hal ini, diperkuat dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang pada pasal 41 ayat 2 yang secara
tegas melarang Pegawai Negeri Sipil menjadi Pelaksana kampanye politik.
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 ini juga memuat topik
yang bertema ASN dan kampanye, isinya secara lengkap sebagai berikut:
(1) Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan
negeri serta pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang
mengarah kepada keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi
peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum, selama, dan sesudah
46
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
masa Kampanye; (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada pegawai
negeri dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Larangan yang sama juga tercantum pada Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang melarang
ASN memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan cara ikut serta sebagai pelaksana kampanye, menjadi peserta
kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut ASN, atau
mengerahkan ASN lain sebagai peserta kampanye.
Pelanggaran ASN pada aturan PP tersebut di atas, akan dikenai
hukuman disiplin, seperti yang dijelaskan sebagai berikut, tingkat hukuman
disiplin terdiri dari: 1). Hukuman disiplin ringan (teguran lisan; teguran tertulis;
atau pernyataan tidak puas secara tertulis); 2) Hukuman disiplin sedang;
(penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun; penundaan kenaikan
pangkat selama 1 tahun; atau penurunan pangkat setingkat lebih rendah
selama 1 tahun); 3) Hukuman disiplin berat (penurunan pangkat setingkat
lebih rendah selama 3 tahun; pemindahan dalam rangka penurunan jabatan
setingkat lebih rendah; pembebasan dari jabatan; pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai ASN; atau pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai ASN).
Selain Undang-undang dan PP yang telag diterang tersebut, netralitas
ASN dahulu juga diatur oleh Surat Edaran MENPAN Nomor 07 Tahun 2009
tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum yang pada
dasarnya adalah penjabaran dari aturan-aturan di atasnya. Namun, pada
Surat Edaran MENPAN ini, dimuat aturan yang memperbolehkan ASN
menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan
Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam
kegiatan Pemilu dengan disertai adanya izin dari atasan langsung
Berdasarkan penjelasan tersebut dan fenomena yang muncul selama
ini, dapat dijelaskan, yaitu, Pertama; ASN yang secara terang-terangan
menyatakan diri sebagai tim sukses calon, meskipun secara legal formal
mereka tidak tercantun dalam barisan tim sukses yang ditunjuk calon. Tipe ini
adalah mereka yang biasanya memiliki keterikatan keluarga atau asal daerah
dengan calon dan memiliki ambisi atas suatu jabatan atau posisi penting
dalam pemerintahan. Kedua; ASN yang secara diam-diam atau malu-malu
atau takut akan hukuman disiplin. Tipe ini bergerak secara tertutup, misal
dengan mengarahkan bawahannya untuk mendukung calon (jika punya
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
47
jabatan) dan dengan melakukkan image branded kepada rekan kerja atau
orang-orang di sekitar mereka.
Ketiga; ASN menjadi simpatisan. Tipe ini adalah mereka yang benar-benar
memahami karakter, kepribadian, latar belakang dan kualitas calon. Tipe ini
biasanya tidak melakukan gerakan-gerakan yang mengarahkan masa untuk
mendukung calon, gerakan mereka hanya sebatas memberikan gambaran
nyata, baik mengenai satu calon ataupun seluruh calon yang tampil dalam
pemilihan. Badan Kepegawaian Negara (2010) dalam pembekalan CASN
BKKBN menjelaskan dampak dari perilaku ASN yang tidak lagi menjunjung
asas netralitas ASN dalam pemilihan umum dan daerah yaitu peran dan fungsi
ASN sebagai alat pemersatu, pelayan, penyelenggara pemerintahan tidak
berjalan, diskriminasi pelayanan, pengkotak-kotakan ASN, Konflik kepentingan
dan tidak profesional lagi. Dampak ini tentu saja akan berpengaruh terhadap
kinerja organisasi secara keseluruhan.
Beberapa cara keterlibatan ASN yang dapat ditemukan didaerah, terutama
menjelang pelaksanaan Pilkada. Pertama, ASN yang terlibat bertindak sebagai
Operator calon Kepala Daerah yang didukung. Walaupun bergerak sembunyisembunyi, mereka menjadi Operator Lapangan yang menjadi ujung tombak
untuk mobilisasi dukungan massa yang dibutuhkan oleh calon Kepala Daerah.
Kedua, Keterlibatan ASN ini adalah keterlibatan mereka sebagai kelompok
pemikir yang membantu dibelakang layar. Kelompok pemikir ini, sekaligus
bertindak sebagai penasihat politik bagi calon Kepala Daerah. Keterlibatan
kelompok pemikir ini, dapat dilihat dari aktifitas mereka dari penyusunan
visi-misi calon Kepala Daerah, strategi kampanye dan pemenangan, serta
penyiapan materi untuk menghadapi debat kandidat yang diselenggarakan
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketiga, keterlibatan ASN untuk menjadi
fasilitator dalam memenuhi kebutuhan operasional calon Kepala Daerah,
baik segi fasilitas materi dan fasilitas transportasi menggunakan armada
transportasi milik pemerintah.
TANTANGAN PENGAWASAN ASN
Banyaknya temuan pelanggaran terhadap azas netralitas Aparatur
Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada Serentak 2017 di 101 daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota), mengindikasikan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 53
tahun 2010 tentang Disiplin ASN dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) belum dapat berjalan secara maksimal.
Hal ini disebabkan karena beberapa kondisi, diantaranya adalah sebagai
berikut:
48
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
1. Adanya hubungan kekerabatan antara oknum ASN dengan calon kepala
daerah.
2.Adanya tekanan struktural karena atasannya adalah kepala daerah
incumbant.
3. Adanya kekhawatiran terhadap mutasi jabatan atau mandeknya jenjang
karir apabila tidak ikut mendukung pe.
4. Tukar jasa berkaitan dengan posisi atau jabatan aparatur sipil negara
(ASN)
5. Pada daerah yang kepala daerah dan wakil kepala daerahnya “pecah
kongsi,” atau yang masing-masing maju sebagai kandidat calon kepala
daerah, maka ASN akan terpecah soliditasnya. Akibatnya, kinerja
penyelenggaraan birokrasi pemerintahan menjadi tidak efektif dan
profesional dalam pelayanan publik.
Meskipun di dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, telah menyatakan
dengan jelas dan tegas bahwa Kepala Daerah dilarang melakukan mutasi
jabatan Aparatur Sipil Negera (ASN) dalam kaitan dengan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) 6 bulan sebelum dan sesudah Pilkada, namun praktik mutasi
jabatan masih kerap terjadi di beberapa daerah. Hal demikian mengakibatkan
aparatur sipil negara “terpaksa” bersikap tidak netral dalam Pilkada.
Varian modusnya dapat bermacam-macam, diantaranya dengan
memberikan atau mendukung pendanaan calon kepala daerah petahana
yang diambil dari proyek-proyek yang berasal dari APBD dan proyekproyek perijinan, proyek-proyek bantuan sosial yang bersifat karitatif, serta
penggunaan fasilitas pemerintah daerah melalui pembuatan dan pemasangan
baliho-baliho atau papan sosialisasi program pemerintah daerah yang lebih
banyak menampilkan profile sang incumbant dari pada program pemerintah
daerah itu sendiri. Bahkan di beberapa wilayah, pemerintah daerah memasang
baliho di papan-papan iklan milik pemda yang memuat profile sang incumbant
dengan konten himbauan-himbauan kepada masyarakat yang sebenarnya
tak berkorelasi secara langsung dengan sosialisasi program-program
pembangunan pemerintah daerah tersebut. Hal demikian tidak menutup
kemungkinan terjadinya pelanggaran Pilkada yang bersifat terstruktur,
sistematis, dan masif (TSM).
Menurut Komisi ASN, sepanjang tahun 2016 telah berhasil diselesaikan
7 kasus terhadap ketidaknetralan aparatur sipil negara berkaitan dengan
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
49
pemilihan kepala daerah. Sedangkan 11 kasus lainnya masih dalam proses
penuntasan. Untuk tahun 2017, 5 kasus telah selesai, sementara 9 kasus
netralitas aparatus sipil negara masih dalam proses penelaahan dan
penuntasan. Beberapa kasus dan daerah sebagai contoh; Kabupaten Pali
(Sumatera Selatan), Kabupaten Karang Asem (Bali), Nagan Raya (Aceh),
dan Kalimanta Barat, masih dalam proses penelaahan. Kabupaten Sekadau
(Kalimantan Barat), telah ditindak aparatur sipil negara yang terlibat dalam
kampanye Pilkada.
Selama ini yang dirasakan di Lingkungan Pemerintah Daerah dalam
praktiknya keterlibatan oknum ASN ini, sering dilakukan secara sembunyisembunyi. Tapi, bukan berarti realitasnya tidak dapat diidentifikasi. Bahkan,
nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh Badan Kepegawaian
Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri dan Badan
Pengawas Pemilu pada awal Pemilihan Kepala Daerah Bupati dan Walikota
beberapa waktu yang lalu, sepertinya tidak mampu membendung ruang
gerak oknum ASN.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengatakan, beragam hukuman
dapat diberikan bagi aparatur sipil negara (ASN) yang melanggar asas
netralitas di dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2017. ASN yang
melanggar ketentuan netralitas dapat dijatuhi hukuman disiplin ringan,
sedang hingga berat. Hukuman disiplin ringan diberikan kepada ASN yang
tidak menyadari telah ikut dalam kegiatan yang bisa dipersepsikan sebagai
bentuk mendukung salah satu pasangan calon kepala daerah tertentu.
Sementara hukuman disiplin sedang diberikan kepada ASN yang
terbukti memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala
daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye serta mengadakan
kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon
yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Hukuman sedang ini berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama satu
tahun, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, hingga penurunan
pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun.
Sedangkan hukuman disiplin berat dijatuhkan kepada ASN yang
memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah,
dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan
kampanye atau membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Kendala Komisi ASN sejauh ini dalam penegakan peraturan masih
50
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
terbentur kepada kurang efektifnya rekomendasi yang diberikan kepada
pejabat pembina kepegawaian yang notabene dijabat oleh Gubernur, Bupati,
dan Walikota yang juga sekaligus adalah pihak yang sedang berlaga dalam
pemilihan kepala daerah. Selain itu, keputusan-keputusan pemberhentian atau
pemecatan pejabat birokrasi daerah dapat menyasar kepada banyak posisi
pejabat daerah, seperti misalnya di Kabupaten Sarmi yang telah memecat
sebanyak 30 pejabat SKPD.
REKOMENDASI
Berdasarkan varian-varian kasus dan modus operandi ketidaknetralan
aparatur sipil negara (ASN) tersebut di atas, maka beberapa hal layak menjadi
pertimbangan dalam upaya pencegahan;
1. Dibutuhkan sinergitas antar lembaga atau stakeholder pengawasan dalam
pemilihan kepala daerah sebagai upaya untuk meningkatkan efektifitas
pengawasan; selain pihak-pihak di dalam Gakkumdu, Bawaslu perlu
melibatkan Kementrian Dalam Negeri, Komisi ASN, Kementrian Polhukam,
serta peran partisipasi publik melalui pengawasan partisipatif.
2. Sanksi tegas guna memberikan efek jera tidak terlepas dari ketegasan
lembaga-lembaga stakeholder diluar Badan Pengawas Pemilu dalam
mengeksekusi rekomendasi-rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh
Bawaslu.
3. Urgensi penguatan kelembagaan (institusional building) dalam kaitan
dengan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di lingkungan lembaga
pengawas (Bawaslu) di semua struktur terutama pada level kabupaten/
kota sebagai ujung tombak pengawasan.
4. Berkenaan dengan modus operansi dan aktor-aktor yang terlibat dalam
pelanggaran sikap tidak netral itu, dibutuhkan pertimbangan untuk
memperluas pada bukan saja pejabat birokrasi di daerah (ASN), namun
juga kepada pihak keamanan, yaitu aparat Kepolisian dan aparat TNI.
Karena dari beberapa pengamatan di lapangan pengawasan, aparat
keamanan juga diindikasikan mendukung salah satu calon kepala daerah,
terutama pada incumbant.
5. Penunjukan pejabat pelaksana tugas (Plt) kepala daerah menjadi sarat
kepentingan politik karena juga dapat menguntungkan atau merugikan
para calon kepala daerah yang sedang berkompetisi dalam pemilihan
kepala daerah. Dengan demikian maka pengawasan terhadapnya menjadi
sangat urgent dilakukan.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
51
ASN sebagai warga negara yang memiliki hak pilih dalam Pemilu,
memiliki hak untuk mengikuti kampanye serta dapat menyuarakan ide serta
pendapatnya terkait politik, baik di masyarakat maupun di media sosial.
Akan tetapi, ASN dilarang menjadi pelaksana kampanye termasuk dilarang
mengajak dan mengimbau siapapun untuk memilih calon tertentu. Sanksi
dari pelanggaran aturan ini, berupa sanksi disiplin mulai dari tingkat ringan,
sedang hingga berat sesuai dengan penilaian dari atasan yang berhak
melakukan penilaian.
52
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
PENUTUP
Buku Evaluasi Pengawasan Pilkada 2017, diharapkan menjadi referensi dan
rujukan untuk kepentingan berbagai pihak, tentunya pemangku kepentingan
(stake holder) untuk mengetahui tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),
khususnya tentang evaluasi proses pelaksanaan Pilkada. Refleksi evaluasi
diperlukan agar proses pelaksanaan pilkada dapat mengeliminir potensi
pelanggaran dan kecurangan pemilu.
Buku ini, yang membahas dari aspek isu tentang Politik Uang (money
politic), Pelanggraran Terstruktur, Sistimatis dan Masif (TSM), Netralitas
Aparatur Sipil Negara (ASN), ,Penyalahgunaan Program Pemerintah (Bansos)
dan Mutasi, . Hak – Hak Pemilih (Partispasi, DPT, Disabilitas, Pemilih Ganda),
Dana – Dana Kampanye (Lembaga Akuntan Publik)., Evaluasi IKP Pilkada
2017. Pemilihan isu diatas yang dibahas di buku ini adalah linier dengan
permasalahan pilkada yang marak selama ini.
Penulis berharap, buku ini dapat bermanfaat dan berguna untuk seluruh
pemangku kepentingan (stake holder), institusi pendidikan, Media dan
masyarakat luas. Diharapkan dengan demikian akan mempunyai pijakan
bersama tentang sistem penyelenggaraan Pemilu yang semakin baik, jujur,
adil dan bermartabat yang bermuara kepada kulitas demokrasi di negeri ini
semakin kokoh.
Evaluasi Pengawasan Penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah 2017
53
Download