Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000 ASPEK PEMASARAN DAN TATANIAGA SAPI POTONG DAN DAGING DI INDONESIA ELAN MASBULAN', I GEDE PUTU2, K. DIwyANTo', DWI PRIYANTO Z, dan H. SETIANTOZ 'Pusat Penelitian Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E. 59, Bogor 16151, Indonesia 1Balai Penelitian Ternak P. O. Box 221, Bogor 16001, Indonesia ABSTRAK dan H. SETIANTO. 1999/200 0. Aspek pemasaran dan tataniaga sapi potong dan daging di Indonesia. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-!I : 165-178 . MASBULAN, ELAN, I GEDE PuTu, K. DIWYANTO, DWI PRIYANTO, Peranan sapi potong dan daging cukup strategis dalam pembangunan petemakan di Indonesia, sehingga kinerjanya perlu mendapat perhatian serius . Beberapa fenomena yang sering timbul adalah aspek pemasaran. Atas dasar hal tersebut kajian diarahkan kepada : (1) efisiensi pemasaran, (2) adaptabilitas pemasaran pemasaran, dan (3) suply-demand dalam stabilisasi permintaan terhadap daging . Untuk itu dilakukan melalui metoda dislcriptif komparatif dengan pengukuran parameter sistem pemasaran dan perdagangan, margin pemasaran, dan serta faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pemasaran. Hasil analisis adalah sebagai berikut " " " " " " " " " O 0 O Sistem pemasaran dan perdagangan sapi potong di Indonesia belum effisien, sehingga peluang pasar yang ada belum dapat dimanfaatkan Penyebab tidak efisiennya sistem pemasaran sapi potong dan daging adalah kawasan net eksportir dengan kawasan net importir relatifjauh, sehingga mengandung konsekuensi adanya lalu lintas ternak yang cukup komplek yang berimplikasi terhadap besarnya biaya pemasaran yang cukup tinggi Penyebab lain tidak efisiennya sistem pemasaran sapi dalam negeri adalah panjang dan kompleksnya jalur pemasaran sapi potong, sedangkan pada pola pemasaran daging asal imporjalur pasamya relatif lebih pendek dan dapat menekan biaya/margin pemasaran, sehingga memiliki kapasitas daya saing yang cukup tinggi . Peranan GGLC, sebagai lembaga yang multiguna, yaitu sebagai inti dan sekaligus sebagai lembaga pemasaran, dapat diandalkan sebagai tauladan pola pengembangan sapi potong di suatu kawasan Semakin jauh jarak transpotrasi ternak berimplikasi terhadap besamya nilai margin pemasaran sehingga menyebabkan sistem pemasaran menjadi tidak efisien. Situasi pemasaran dan usaha sapi potong di Lampung relatifkondusif untuk pengembangan sapi potong, baik secara geografis maupun dukungan kelembagaan. Ditinjau dari perilaku pasar, Kuatnya excess demand di dalam negeri mendorong pemerintah bersama pengusaha untuk untuk memenihi pasokan sapi dan daging secara impor, hal ini dipacu adanya stimulan : (1) harga sangat menarik para importir, (2) kualitas tidak tersaingi produk domestik, (3) kontinuitas pasokan terjamin, (4) konversi pakan ternak impor lebih tinggi, (5) merangsang tumbuhnya industri baru, (6) pemerintah memperoleh insentif berupa pajak bea masuk, serta (7) permintaan industri rumah makan terus meningkat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi potong dan daging di Indonesia adalah keseimbangan supply-demand sserta kontinyuitas, infrastruktur yang belum memaai, dan belum adanya kebijakan investasi/usaha yang mengarah kepada spesialisasi usaha baik untuk penghasil pedet/bakalan, maupun penggemukan. Permintaan daging sapi di Indonesia mempunyai respon positif, baik ditelaah dari elastisitas harga sendri, elastisitas harga silang, elastisitas pengeluaran serta dari proyeksi permintaan daging sapi sendiri Implikasi Kebijakan sebagai Saran adalah sebagai berikut Untuk meningkatkan efisiensi pemasaran sapi dan daging, perlu langkah-langkah pembenahan Sentra pengembangan industri sapi potong hendaknya memperhatikan letak geografis danjarak ke pasar/sentra konsumen Perlu dibangun holdingground yang serbaguna untuk dimanfaatkan sebagai kantong terpakyang akan dikeluarkan jika dibutuhkan. Disamping itu holding ground bisa digunakan sebagai sarana penggemukan jangka pendek sambil menunggu permintaan pasar Peru adanya standarisasi mutu dan harga agar dapat dicegah tingkat harga yang tidak relevan dengan kualitas . 165 ELAN MASBULAN o v et al. : Aspek Pemasaran dan Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia Berdasarkan elastisitas baik harga sendiri dan silang maupun elastisitas pengeluaran daging sapi, Perlu adanya pengendalian kebijakan stabilisasi harga daging dalam menjaga stabilisasi permintaan Jika mungkin, perlu dibentuk Dewan Pemasaran Negara . PENDAHULUAN Sapi potong dan daging sapi mempunyai peranan cukup strategis dalam memenuhi kebutuhan protein hewani di Indonesia, sehingga keberadaannya clan kesinambungan usaha sapi potong perlu mendapat perhatian secara serius . Di lain pihak perlindungan terhadap konsumen daging (masyarakat Indonesia) sangat diharapkan mendapatkan harga daging yang wajar serta terjangkau dengan daya beli masyarakat . Set6lah krisis moneter, nampaknya aspek pemasaran sapi potong dan daging menjadi fenomena pembangunan peternakan di Indonesia. Di satu pihak insentif pemasaran bagi produsen perlu diperhatikan, di lain pihak harga daging disesuaikan dengan daya beli konsumen (masyarakat) . Dengan terjadinya krisis moneter permasalahan yang muncul bertambah komplek. Disamping harga daging menjadi tinggi, juga masalah suplai daging serta impor yang selalu mengundang pro dan kontra baik dari masyarakat maupun dari pengambil kebijakan. Atas dasar hal tersebut, maka kajian akan diarahkan kepada : (1) efisiensi pemasaran, (2) adaptabilitas pemasaran, dan (3) peranan sapi potong dan daging sapi dengan kebutuhan yang diminta oleh masyarakat . Ketiga aspek ini penting untuk diketahui karena aspek yang satu dengan yang lain saling mendukung dan informasisangat diperlukan dalam pertimbangan membuat kebijaksanaan. TINJAUAN PUSTAKA Daging merupakan bahan pangan pokok yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tubuh. Sehingga konsumsi daging akan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia seperti yang diekspresikan oleh tingkat pendapatan perkapita yang terus meningkat akan secara langsung merubah pola konsumsi pangan penduduk ke arah protein hewani seperti daging, telur, dan susu . Dengan demikian keadaan tersebut akan juga mengubah struktur permintaan terhadap komoditas ternak, yang selanjutnya akan juga berpengaruh terhadap kebijaksanaan penyediaan pangan, harga, proyeksi permintaan, kemungkinan peralihan kantong produksi ternak ke arah yang lebih spesialisasi, dan juga terhadap kebutuhan ternak itu sendiri seperti penyediaan hijauan pakan dan konsentrat (SOEDJANA, dkk., 1994). Konsumsi protein hewani di Indonesia (termasuk ikan laut, unggas, sapi, babi, clan domba) masih sangat rendah dibandingkan dengan di negara negara industri dan negara Asia. Dalam kurun waktu 1990 sampai dengan 1996 konsumsi protein hewani meningkat 32 persen,=sedangkan konsumsi daging sapi sendiri meningkat sebesar 21 persen (HADI at at., 1999b). Pada kondisi ini kondisi harga daging-relatif stabil dengan kisaran sebesar Rp . 9028, sampai Rp . 11424, per kg dan selama periode Januari 1995 sampai dengan Desember 1997 rataan peningkatan harga sebesar 0,45 persen per bulan, hal ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rataan peningkatan harga beras dan sayuran, yaitu rata-rata meningkat sebesar 0,67 persen dan 1,32 persen per bulan (HAM et al ., 1999' ). Namun sejak Bulan Januari sampai November 1998 harga daging melonjak dari Rp . 11 .434, menjadi Rp . 19 .245, per kg clan diperkirakan rataan peningkatan harga daging tersebut sebesar 5,4 persen per bulan. Hal ini hampir 12 kali lebih cepat laju peningkatan harganya dikandang sebelum tedadi krisis ekonomi (HADi et al ., 1999') . Hal ini disebabkan terbatasnya daging segar baik yang diproduksi dari usaha peternakan tradisional terutama disebabkan oleh jumlah sapi potong lokal siap dipotong, produksi feedlot yang disebabkan terbatasnya jumlah sapi impor clan digemukan dikandang atau terbatasnya daging impor yang disebabkan harga pasar luar negeri relatif tinggi . Dengan demikian terjadi pergeseran permintaan terhadap daging segar clan daging olahan baik di pasar tradisional maupun di pasar swalayan (ANTHONY, 2000). ANTHONY (2000), juga mengungkapkan, jika demand lebih besar dikandang supply maka dalam tataniaga sapi potong ada kecenderungan terjadi pergeseran yang cukup signifikan . Dalam permasalahan tataniaga sapi potong di Indonesia terdapat beberapa permasalahan penting yang perlu diantisipasi dalam rangka penyeimbangan supply clan demand, diantaranya adalah " Konsumsi/distribusi . Konsumsi clan distribusi daging sapi umumnya terfokus pada wilayah-wilayah tertentu seperti Jabotabek dan sentra-sentra lainnya. Sehingga pada wilayah te-Ftentu terjadi permintaan produk temak yang berlebihan, sedangkan wilayah lainnya terjadi kelebihan supply hasil temak. Hal tersebut perlu sentra pengembangan wilayah produksi yang strategis dengan wilayah konsumen . 166 Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-I/ Th. 199912000 Pola Konsumsi . Pada kondisi wilayah-wilayah tertentu terjadi pergeseran akan kebutuhan hasil ternak . Sebagian wilayah Bandung dan sekitamya lebih suka mengkonsumsi jeroan, sehingga di wilayah tersebut terjadi kekurangan hasil ternak berupa jeroan . Hal demikian terjadi sebaliknya di wilayah lain . Tidak efisiennya infrastruktur. Dengan demikian menimbulkan mata rantai tataniaga yang terlalu panjang, sehingga harga di tingkat konsumen relatif lebih mahal. Sarana transportasi . Masih merupakan kendala, karena belum sepenuhnya memadai khususnya di wilayah timur Indonesia. Sehingga distribusi pengadaan ternak di wilayah konsumen terganggu. Kondisi pasar sendiri. Diantaranya adalah daya beli konsumen yang menurun sebagai akibat meningkatnya harga maupun tingkat pendapatan yang rendah, preferensi konsumen, perubahan pola konsumsi, ketidakseimbangan suplai dan demand, serta tingkat pertumbuhan sapi potong yang tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan konsumen . Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi produk ternak potong, khususnya daging sapi di DKI Jakarta baru dapat dipenuhi 50%-nya, yang berasal dari dalam negeri (lokal) clan impor (DKI Jakarta Dalam Angka, 1994). Menurut SABRAM dan BASUNO (1999), kondisi untuk mencapai keseimbangan antara potensi permintaan dan aktualita pengwaran yang masih cukup besar ini dapat berdampak pada fluktuasi harga yang tidak stabil, inefisiensi tataniaga daging, dan produk ikutan lainnya. Hal ini tampak nyata terutama pada saat-saat tertentu seperti menjelang hari raya idul fitri, natal, tahun baru, serta hari-hari besar lainnya. Disisi lain muncul masalah tentang kualitas daging . Perkembangan selera dan pengetahuan masyarakat dalam pemenuhan gizi yang baik berasal dari daging berkualitas cenderung meningkat. Pemenuhan daging yang berkualitas baru dapat dipenuhi oleh daging yang berasal dari impor. Kalau ini terus berlanjut tanpa ada usaha-usaha perbaikan pada kualitas daging lokal, maka impor daging yang berasal dari luar negeri akan terus berlangsung . Oleh karena itu melihat kondisi tersebut, maka fenomena pemasaran dan permintaan produk temak potong yang berasal dari daging sapi dengan kualitas yang baik akan berdampak bagi perkembangan peternakan di daerah sentra produksi ternak sapi . Untuk itu diperlukan kajian yang komprehensif tentang aspek pemasaran produk sapi potong . MATERI DAN METODE Metode dasar adalah metode Diskriptif Komparatif, yaitu memberikan gambaran terhadap fenomenafenomena, menerangkan hubungan antar variabel, membuat prediksi, dan membandingkan besarnya margin pemasaran dari masing-masing saluran pemasaran. Wawancara dan pengumpulan data primer dengan peternak dan pedagang . Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari " Peraturan perundang-undangan dari instansi terkait ~Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri). " Biro Pusat Statistik (Pusat dan Daerah) " Lokasi : Sumatera Selatan, NTT, dan Jawa. Parameter dan analisa data Sistem pemasaran clan perdagangan sapi dan daging sapi Analisis deskriptif melalui pemahaman terhadap jalur dan distribusi sistem pemasaran dan perdagangan sapi dan daging, baik di wilayah produsen maupun di kawasan konsumen daging sapi . Margin Pemasaran Harga tingkat pengecer (Pr) Harga tingkat petani (Pf) Share (bagian) Biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran (Sbi) Share (bagian ) Keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran (Ski) MP = Pr - Pf atau MP = Ebi + Eki Bi Sbi = ---- x 100% dan Bi Pr - Pf dan Sbi = - ki - Pr - Pf x 100% 167 ELAN MASBULAN et al. : Aspek Pemasaran dan Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia Faktorfaktor yang mempengaruhi Margin Penrasaran Untuk mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi clan daging sapi, dilakukan pendekatan dialogis clan analisis deskriftif dengan menggali informasi terkini dari para praktisi, pedagang, dan pengambil kebijakan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sistem Pemasaran clan Perdagangan Sapi Potong clan Daging Sapi Lalu Untas Perdagangan sapi potong di Indonesia Pasar clan perdagangan merupakan dua aspek yang saling terkait dan saling mengisi. Peluang pasar hanya clapat dimanfaatkan secara maksimal jika didukung oleh sistem perdagangan yang efisien. Untuk memudahkan pemahaman terhadap sistem perdagangan sapi potong clan daging di Indonesia, pada kajian ini perlu terlebih dahulu diungkapkan daerah mana saja sebagai kawasan sentra produksi sebagai pensuplai sapi potong clan daerah mana saja sebagai kawasan konsumen sebagai penerima perdagangan sapi potong . Perbedaan pada konsentrasi ternak perpenducluk mengakibatkan adanya arus perdagangan temak antar daerah . Aspek ini memberi gambaran tentang daerah penerima (kurang ternak) clan daerah penghasil (suplier). Daerah penghasil (suplier) sapi potong yang kapasitasnya tinggi antara lain : Jawa timur, Sulawesi Selatan, Bali, NTB, clan NTT clan daerah suplier yang kapasitasnya sedang adalah : Lampung, Sulawesi Utara, Aceh, clan Jawa Tengah. Sedangkan daerah penerima terbesar adalah DKI clan Jawa Barat, clan daerah penerima sedang adalah Riau, Kalimantan barat, clan Kalimantan Timur (Tabel 1) . Gambaran kualitatif tingkat arus komoditas sapi potong antar propinsi ditunjukkan jika tanda -1 intensitasnya rendah clan daerah itu net importir, jika +1 intensitasnya rendah clan daerah itu net eksportir. Intensitas disini adalah volume atau jumlah temak yang diperdagangkan . Pertumbuhan permintaan domestik yang besar. Propinsi NTT, NTB, Bali, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, clan Sulawesi adalah daerah pemasok ternak sapi potong yang besar bagi DKI . Tujuh puluh persen produksi ternak Kawasan Timur Indonesia (KTI) diperdagangkan ke Jawa (DKI menyerap 60%), 24 persen ke Kalimantan, 3 persen ke Sumatera, 3 persen ke daerah lainnya . Tabel 1. Intensitas lalu-1intas sapi potong antar propinsi Propinsi DKI Jakarta D.I . Aceh Sumatera Utara Riau Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Jawa Tengah ./DIY Irian Jaya Lampung Jawa Barat Jawa Timur Bali Keterangan +I = mengeluarkan ternak rendah clan jumlah ternak sedikit +2 = mengeluarkan temak sedang danjumlah temak sedang +3 = mengeluarkan temak tinggi danjunilah temak tinggi -1 = daerah penerima temak rendah -2 = daerah penerima temak sedang -3 = daerah penerima temak tinggi 16 8 Skoring Sapi potong -3 +2 -1 -2 -2 -2 +2 +3 +3 +3 +2 -1 +2 -3 +3 +3 ran Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000 Keberadaan sistem perdagangan ternak merefleksikan Propinsi Sumatera Utara clan Riau sangat tergantung pada arus ternak dari Aceh . Sedangkan Riau dengan trend permintaan sapi potong cukup tinggi (7 - 8% pertahun) sebagian disuplai dari Sumatera Utara. Disamping itu, Aceh clan Sumatera Utara harus mampu mensuplai kebutuhan daerah sendiri. Sulawesi Selatan dan Utara, NTT clan NTB, serta Jatim dan Bali merupakan daerah pensuplai terbesar sapi potong ke DKI, Jawa Barat, dan Kalimantan . Kegiatan perdagangan sapi potong tersebut, menyebabkan timbulnya kegiatan penggemukan transito clan prosesing untuk menghasilkan daging beku. Struktur distribusi sapi potong dan pengadaan daging Struktur ' distribusi sapi potong di Indonesia terlihat cukup komplek dan rumit, sehingga dalam kajian ini dibagi menjadi 2 pola, walaupun dalam kenyataan di lapangan sebenamya merupakan suatu sistem yang saling terkait. Pola pertama, Jalur pemasaran sapi potong. Di tingkat daerah atau kabupaten para, peternak memasarkan sapinya di pasar hewan. Di tempat ini berkumpul beberapa pedagang lokal (blantik), pedagang pengumpul, clan pedagang regional Propinsi atau pedagang antar pulau. Dari Pedagang lokal atas permintaan pedagang regional atau antar pulau didistribusikan ke pedagang regional/antar pulau atau dijual ke Bos jagal di RPH tingkat kabupaten/daerah . Setelah dipotong selanjutnya didistribusikan ke para tengkulak daging atau tengkulak clekil/jeroan. Kondisi seperti ini merupakan situasi pemasaran peternakan sapi potong pada peternakan rakyat di tingkat daerah . Dari pedagang regional propinsi atau pedagang antar pulau didistribusikan ke Holding Ground Cibitung dimana didalamnya diterima oleh pedagang penerima. Pedagang ini disatnping dari daerah juga menerima dari feedloter atau feedloter yang merupakan inti dari plasma sapi potong . Dari Holding Ground selanjutnya didistribusikan ke Holding Ground dan RPH Cakung untuk konsumsi DKI Jakarta clan sekitarnya serta didistribusikan ke beberpa RPH di Jabotabek, Cianjur, Karawang, clan Cikampek (Gambar 1) . Pola pemasaran sapi potong nampaknya dipengaruhi oleh pola usaha sapi potong di suatu daerah . Situasi pemasaran sapi potong di Lampung lebih spesifik karena di daerah ini banyak dikembangkan pola inti plasma, yaitu GGLC sebagai inti memiliki peran penting dalam pemasaran sapi potong di Lampung. Terdapat dua pola yaitu pola umum (yang biasa dilakukan oleh masyarakat peternak) clan pernasaran yang terkait dengan pola inti plasma (Gambar 2) . Pedagang sapi potong selalu memperoleh informasi dari pihak tertentu (informan) . Atas informasi tersebut baik pedagang desa maupun pedagang besar menclatangi peternak untuk melakukan transaksi tanpa adanya pengaruh dari informan dalam menentukan harga. Jasa informan gienjadi tanggungan pedagang apabila transaksi jual beli telah disepakati . Dari pedagang besar inilah sapi potong dibawa ke Holding Ground Cibitung. Pola Kedua, Jalur Pemasaran Daging Sapi . Pola ini merupakan proses lanjutan dari pola pertama, yaitu dari Holding Ground dan RPH Cakung DKI dimana didalamnya terdapat beberapa pedagang penerima atau pedagang pemotong . Dari sinilah daging sapi didistribusikan ke Grosir daging yang juga menerima dari beberapa RPH Depok clan Tanggerang yang untuk selanjutnya dipasarkan langsung ke pasar konvensional clan pasar swalayan . Pasar swalayan dan pasar konvensional juga menerima daging import yang diperoleh dari distributor daging yang juga mengirim ke meat shop . Dan konsumen di tingkat perkotaan mengkonsumsi daging dari 3 pelaku pasar tersebut . Sedangkan di tingkat daerah/kabupaten konsumen menerima daging dari para tengkulak yang sekaligus juga sebagai pemilik Jongko atau kios daging (Gambar 3) . KONSUMEN Gambar 1. Jalur Pemasaran Sapi Potong POLA INTI-PLASMA Petani (plasma) POLA UMUM INFORMAN 0' 1 PEDAGANG DESA PEDAGANG BESAR SKALA 20 EKOR Gambar 2. Jalur pemasaran sapi potong di Lampung N Crl r a z 3 D y C r D z a Cold storage b n A A 3 A 3 Q a a oAo a A b 0 0 00 Pedagang tengkulak dekil/jeroan/Toko a a z 0 3 Na m Gambar 3 . Jalur Pemasaran Daging Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th . 199912000 2. Analisis efisiensi pemasaran Analsis Margin Pemasaran Analisis margin pemasaran digunakan untuk mengetahui distribusi margin pemasaran yang terdiri dari biaya setiap aktivitas pemasaran dan keuntungan dari setiap lembaga pemasaran, serta untuk mengetahui bagian harga yang diterima peternak . Tabel 2. Margin Tataniaga dan Margin Keuntungan pada Pemasaran Sapi Potong per ekor dari propinsi produsen kepropinsi -. konsumen Kegiatan Margin Tataniaga Margin keuntungan Pelaku Pasar Beli (Rp.) Jual (Rp) Share % Nilai (Rp) Share Lampung " Peternak " Pedagang kecil " Pedagang besar Nilai (Rp) 2.695 .000 2 .765 .000 2.695 .000 2.765 .000 2.905 .000 70 .000 140.000 33,3 66,7 45 .326 62 .930 1,6 2,2 19,8 80,2 155.000 525 .000 4,9 13,6 23,1 76,9 205.250 604.478 7,5 17,2 Jawa Timur " Peternak " Pedagang kecil " Pedagang besar NTB " Peternak " Pedagang keci1 " Pedagang besar 210.000 2.977 .000 3 .150 .000 2.977 .000 3 .150 .000 3 .850 .000 173.000 700.000 873 .000 2.500 .000 2.731 .250 2.500 .000 2 .731 .250 3.500.000 231 .250 768.750 1000 .000 Distribusi pemasaran pada Tabel 2, menunjukkan bahwa jarak dari produsen ke konsumen sangat berpengaruh terhadap margin pemasaran. Semakin jauh jarak distribusi sapi potong ke sentra konsumen semakin besar margin pemasaran dalam perdagangan tersebut. Pada Tabel di atas menunjukkan bahwa margin pemasaran dari produsen sapi potong Lampung sampai ke pedagang besar atau pedagang antar pulau hanya Rp . 2l0.000,/ekor sapi, sedangkan di Jawa Timur dan NTB margin pemasarannya hingga mencapai Rp. 873.000,- sampai Rp . 1 .000.000,/ekor dan rata-rata nilai margin yang paling besar berada pada pedagang besar. Hal ini dapat dimengerti bahwa pedagang besar memiliki konsekuensi terhadap pengeluaran untuk pemasaran antar pulau atau antar propinsi yang resikonya tidak sedikit. Dalam kajian ini untuk Jawa Timur dan NTB biaya pemasaran masing-masing Rp . 175 .000, dan Rp . 164.272,/ekor sapi . Biaya ini termasuk sewa kendaraan, biaya pengawalan, surat-surat keterangan, ongkos bongkar muat, pakan, dan berbagai biaya di jalan, seperti pos timbang dan berbagai pungutan . Sebuah truk gandeng dapat diisi sampai 33 ekor, sedangkan yang biasa dapat memuat sekitar 16 - 17 ekor sapi . Pengangkutan dengan kereta api terutama diperuntukan pada sapi yang berasal dari luar Jawa timur, dalam kajian ini salah satunya NTB, yaitu lewat pelabuhan Tanjung Perak dan melalui pemeriksaan Karantina Tandes, untuk selanjunya diangkut dengan kereta api sampai Stasiun Cikarang dan terakhir diangkut ke Holding Ground Cibitung/Tambun. Para pedagang besar walaupun memberikan biaya keluaran untuk pemasaran cukup besar nampaknya memburu kesempatan untuk meraih keuntungan yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari margin keuntungan yang diperoleh pada para pedagang besar di'Jawa Timur-dan NTB rata-rata memperoleh tambahan keuntungan dari jasa pemasaran sapi potong masing-masing Rp . 525.000, dan Rp. 604.478,/ekor sapi, dengan menikmati keuntungan rata-rata sebesar 13,6% dan 17,2%. 173 ELAN MASBULAN et al. : Aspek Pemasaran dan Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia Keragaan distribusi pemasaran dari kedua daerah pensuplai Jawa Timur dan NTB, dilihat baik dari besamya margin tataniaga maupun dari nilai share antara nilai jual di tingkat petemak dengan nilai jual di tingkat pedagang besar nampaknya kurang efisien . Semakin kecil nilai share tersebut semakin senjang antara produsen dengan konsumen . Kondisi seperti ini tidak menguntungkan bagi pihak produsen dan dinilai tidak efisien. Dalam kasus penelitian ini bahwa nilai share harga jual tingkat peternak Jawa Timur dengan pedagang besar di Jawa Timur sebesar hanya sebesar 77,32% dan di NTB sebesar 71,43% . Kondisi ini agak berbeda dengan apa yang dialami oleh petemak di Lampung, yaitu nilai share yang relatiftinggi sebesar 92,77% . Situasi pemasaran dan usaha ternak di Lampung nampaknya relatif kondusif baik ditinjau secara geografis maupun dukungan lembaga swasta yang peduli terhadap petemakan sapi potong. Letak geografis yang cukup strategis dekat dengan sentra konsumen dan didukung oleh GGLC yang merupakan inti dan sekaligus lembaga yang menangagi aspek pemasaran yang punya akses secara langsung ke Jakarta (industri daging sapi) dapat memberikan nilai efisiensi usaha sapi dengan menekan nilai margin tataniaga serta merelakan tingkat keuntungan jasa pemasannya. Kondisi seperti ini perlu mendapat perhatian untuk pertimbangan dalam menyusun kebijakan pengembangan industri petemakan. Perilaku pasar Analisis perilaku pasar daging sapi di Indonesia ditujukan untuk melihat keterpaduan dinamika harga daging sapi dengan supply yang direpleksikan melalui produksi daging, impor daging, dan impor daging sapi dari bakalan impor serta demand yang direpleksikan melalui tingkat konsumsi terhadap daging di dalam negeri . Tabel 3. Produksi, impor daging, dan sapi bakalan impor, serta konsumsi daging sapi di Indonesia (dalam ton) Tahun Produksi daging Impor daging 312.000 22.053 1995 1996 347.200 29.000 535 .652 33 .400 1997 1998 351 .414 3.200 1999 264.258 7.200* Keterangan : *) sampai dengan Agustus 1999, **) angka proyeksi Sumber : Ditjen Peternakan dan Apfindo Daging dari bakalan impor 37 .034 55 .050 55 .202 5.531 10 .457* Konsumsi daging 1 .530.200 1 .661 .200 1 .383 .804 1 .449 .308 1 .501 .081** Produksi daging dari sumberdaya: okal nampaknya relatif stabil, hanya pada tahun 1997 Indonesia sedang menggalakkan pembangunan petemakan, namun baru pada tahap akan tumbuh, nampaknya mengalami penurunan akibat krisis moneter dan yang paling drastis lagi yaitu menurunnya impor baik daging sapi maupun daging dari bakalan impor (Tabel 3) . Sedangkan konsumsi relatif stabil, kecuali pada tahun 1998 sedikit mengalami penurunan akibat krisis moneter terutama menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, namun pada tahun 1999 nampaknya permintaan akan kembali normal . Melihat perilaku supply-demand tersebut diatas nampaknya situasi industri daging di Indonesia mengalami ketidakseimbangan, yaitu excess demand. Kondisi ini nampaknya pengaruh krisis moneter terhadap permintaan akan daging tidak signifikan, sedangkan sektor produksi industri daging sangat signifikan . Melihat gejala ini, kelihatannya pemerintah masih akan tetap memberi peluang untuk mengizinkan pihak swasta untuk melakukan impor , baik sapi bakalan (maupun daging beku), sehingga jumlah produk impor tersebut akan meningkat kembali karena berbagai stimulan : (a) Harga sangat menarik para importir, (b) Kualitas tidak tersaingi produk domestik, (c) Kontinuitas pasokan yang terjamin, (d) Konversi pakan pada ternak bakalan impor lebih tinggi, (e) Merangsang tumbuhnya industri baru (feedlotters, penyedia pakan hijauan, pemotongan, transportasi, dll), (f) Fihak pemerintah memperoleh insentif dari para importir melalui pajak bea masuk, (g) Permintaan industri rumah makan terhadap kualitas daging tertentu terus meningkat. Kenyataan yang dialami Indonesia seperti halnya tersebut diatas, seperti halnya juga bagi industri-industri lainnya merupakan dilema . Walaupun kondisi ini jelas akan memaikan kemampuan domestik karena sistem produksi domestik yang belum memenuhi kaidah-kaidah skala usaha dan insentif ekonomik . Lihat saja betapa mentakjubkannya performa industri perunggasan yang hampir 95% non-local content yang selalu diandalkan sebagai spesies substitusi bagi komoditas daging sapi, selalu tumbuh pesat tanpa hambatan karena berbagai insentif sebagai halnya telah disebutkan diatas secara sempurna terpenuhi . 174 Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknotogi Peternakan ARMP-11 Th. 1999/2000 Relevansinya dengan harga daging sapi di Indonesia bahwa gejala suply -demand sangat berpengaruh terhadap dinamika harga. Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa harga daging di 27 propinsi sejak Januari 1995 sampai November 1998 harga daging relatif stabil, yaitu Rp. 9028 pada Januari 1995 hingga Rp.10 .991 pada Desember 1997. Sejak Januari 1998 mulai beranjak dari harga Rp. 11.434,/kg hingga sekarang nampaknya harga daging dirasa cukup tinggi, yaitu mencapai Rp.27.000,/kg. Mekanisme ini sejalan dengan kondisi supply dan demand akan daging di Indonesia (Tabe13) . Berorientasi kepada perilaku pasar tersebut di atas, yaitu adanya excess demand yang cukup tinggi, gejala impor masih terus meningkat juga trend harga daging masih akan terus meningkat. Tabe14. Rataan harga daging di tingkat konsumen di 27 kota propinsi sejak Januari 1995 sampai bulan Desember 1999 (Rp ./kg) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 1995 9028 9559 9677 9695 9955 10054 10031 10080 10080 10125 10192 10211 1996 10332 10683 10595 10587 10623 10794 10762 10794 10858 10823 10758 10846 1997 11146 11424 11110 11181 11007 10991 10998 10986 11015 10988 10953 10991 1998 11434 12283 12678 13735 14019 14376 16016 17137 18037 18770 19245 25750 1999 26300 26300 26300 25000 25000 25000 25500 26000 26000 25500 25800 27000 Sumber : BULOG (1999) 3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi dan daging sapi Segala upaya pemerintah telah dilakukan dalam rangka memenuhi pasokan daging dalam negeri, namun hasilnya tetap masih terjadi kesenjangan antara pasokan dan pennintdan daging sapi yang makin melebar. Situasi ini sejak awal tahun delapan puluhan telah direspon baik oleh pemerintah maupun kalangan dunia usaha swasta, dengan mengembangkan suatu upaya altematif, yaitu memacu peningkatan usaha ayam ras. Salah satu tujuannya adalah untuk memacu penyediaan dari jenis lain sebagai substitusi daging sapi, sebagai tawaran pilihan bagi konsumen. Kenyataannya upaya ini cukup berhasil yaitu 53% kebetuhan daging dalam negeri dapat dipenuhi dari usaha Broiler . Karenanya struktur penyediaan daging sapi dan kerbau di dalam negeri hanya sekitar 47% . Namun sayang dari 47% tersebet, volume fisiknya meningkat, sehingga makin lama semakin tidak mampu lagi dipenuhi oleh perkembangan populasi temak potong yang dihasilkan di dalam negeri . Sebelum krisis, pasokan daging dari dalam negeri hanya mampu menyediakan sekitar 75% dari total kebutuhan yang jumlahnya 375 ribu ton . Untek memperoleh daging sebanyak itu harus memotong sekitar 1,6 jeta ekor sapi dan 300 ribu ekor kerbau . Jika lebih dari itu, maka dikhawatirkan akan menguras temak dalam negeri . Kekurannya, sebanyak 25% terpaksa harus impor, yang 20% berepa sapi bakalan dan 5% berupa impor daging beku. Pengalaman selama ini, walaupun sering terjadi gejolak harga pada saat-saat tertentu (Tabel 5), tampaknya penyediaan daging di dalam negeri berjalan normal . Bahkan gejolak harga di saat bulan puasa dan lebaranpun selalu dapat diantisipasi oleh pemerintah selaku pengambil '-kebijakan . Namun, setelah krisis moneter sistem industri daging dalam negeri mengalami penunman secara tajam . Salah satu pemasok terbesar, yaitu industri perunggasan nasional merosot secara drastis . Sehingga menyebabkan penurunan pasokan, sedangkan permintaan tetap sehingga terjadi excess demand dan harga anjlok naik secara cepat (adanya Keddakseimbangan supplydemand) Kondisi seperti ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha sapi potong sebagai peluang, namun nampaknya mengalami kesulitan mendapatkan bakalan yang murah. Disebabkan membeli bakalan dengan harga dollar sedangkan menjual dengan rupiah, dan setelah krisis moneter, sebagian besar pengusaha sapi potong menghentikan usahanya dan menghentikan impor sapi potong, sehingga masalah menambah semakin runyamnya 175 ELAN MASBULAN et al. : AspekPemasaran dan Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia perdagangan industri daging nasional . Sementara para pengamat ekonomi menduga bahwa anjloknya harga daging sapi disebabkan oleh praktek kartel para importir. Sedangkan menurut APFINDO, merespon bahwa kenaikan harga daging disebabkan para pedagang daging harus membayar tunai . Selama ini, para pedagang daging menerima dulu barang dagangannya dan pembayaran ditata semacam sistem grace periods untuk beberapa hari . Para pedagang daging akan membayar jika dagangannya telah laku. Dan membayar sekaligus mengambil daging baru untuk periode penjualan berikutnya . Setelah krisis moneter, sistem tersebut tidak ditoleransi lagi "ada uang baru ada barang". Padahal sebagian besar pedagang tidak mempunyai modal, dengan perubahan sistem transaksi pembayaran seperti ini, maka harga daging melonjak naik dalam waktu secara singkat. Disamping permasalah tersebut, juga volume yang mampu diperdagangkan berkurang,lantara para pedagang besar minta dibayartunai,sementara para pedagang eceran tidak mampu membelinya, akibatnya jumlah sapi yang dipotong menurun. Melihat persoalan tersebut, pemerintah tanggap bahwa permasalahan pasokan daging di berbagai kota, khususnya di DKI Jakarta pada akhir 1998 lalu adalah disebabkan oleh sistem pembayaran pengadaan daging, dari sistem pembayaran tertunda menjadi cash and carry, untuk membantu para pedagang daging, maka pemerintah mengupayakan kredit khusus . Pada akhir 1998 pemerintah telah menggulirkan dana kredit sebesar Rp . 500 juta untuk 300 pedagang daging sapi, guna memperbesar pasokan daging sapi kepada masyarakat menjelang tahun baru dan lebaran. Masing-masing pedagang mendapat dana sebesar Rp . 500 .000, sampai Rp . 1.000 .000,- perorang selama tiga kah . Namun demikian, secara faktual bantuan kredit tersebut nampaknya kurang berarti jika dibandingkan dengan nilai ternak yang dipotong setiap harinya . Di Jakarta saja nilai daging yang dipasarkan setiap harinya sekitar Rp . 5 milyar,-. Sehingga kredit lunak untuk para lapak tersebut tidak ada dampaknya, seperti menggarami air laut . Kebijakan yang telah diambil tersebut diatas dipandang keliru, hal ini sebenarnya hanya untuk melindungi satu sisi yaitu konsumen, padahal akar permasalahan sebenamya harus ditinjau dari kebijakan untuk merangsang suply/pasokan, sehingga pasokan dapat mengimbangi permintaan . Tabel 5. Puncak-puncak harga daging sapi di DKI Jakarta, 1997 - 1999 Saat Harga Daging Tinggi November 1997 November 1997 Pebruari 1998 Juli 1998 Agustus 1998 September 1998 Oktober 1998 November 1998 Januari 1999 Pebruari 1999 Harga Daging (Rp.) 13 .000 14 .000 16 .000 17 .000 20 .900 21 .000 26 .000 27 .500 27 .500 28 .500 Infrastruktur, baik sarana dan prasarana pemasaran sangat berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi dan daging . Untuk meningkatkan daya saing yang berorientasi kepada pasar, yaitu Preferensi konsumen, merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan standarisasi mutu sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen, untuk itu sangat memerlukan sarana pendukung. Pada umumnya terutama pedagang di tingkat lapak, sebagian besar tidak memperhatikan standarisasi mutu . Sebagai pusat konsumen dengan daya beli yang relatif besar, maka sistem perdagangan transportasi dan pemasaran di DKI perlu ditingkatkan agar dapat mengantisipasi peningkatan konsumsi . Aspek suplai bagian karkas, pengemasan, dan kualitas memerlukan standarisasi yang mengarah kepada standarisasi intemasional . Hal ini sangat diperlukan agar efek standarisasi ini ditransmisi ke sektoc .produksi di daerah, sehingga kualitas tenak hidup dapat mengantisipasi perkembangan pasar (SABRANI dan BASUNO, 1999). Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah kebijakan investasi atau usaha, yaitu pemerintah seyogyanya telah mengantisipasi pemenuhan sapi bakalan. Tidak memungkinkan investor swasta untuk melaksanakan usaha di bidang pembibitan (breeding) . Untuk itu kebijakan yang diciptakan agar pemerintah menunjuk BUMN untuk melaksanakan spesialisasi usaha di bidang penghasil bakalan secara cepat dan berkualitas . - Sehingga iklim agribisnis sapi potong (penggemukan) dapat memenuhi permintaan pasar baik jumlah maupun kualitas. 176 ran Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000 4. Estimasi Parameter Permintsan Komoditas Daging Sapi Untuk mengestimasi parameter permintaan terhadap daging sapi akan dijelaskan melalui elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pengeluaran, serta proyeksi permintaan daging sapi . Dalam perhitungan elastisitas harga sendiri, digunakan nilai pangsa pengeluaran hasil ternak rata-rata. Elastisitas harga sendiri untuk komoditas daging sapi di DKI Jakarta bertanda positif Dengan demikian bahwa daging sapi di propinsi tersebut sudah menjadi makanan pokok. Dan elastisitas paling tinggi untuk setiap komoditas adalah daging sapi . Hal ini berarti bahwa kebijakan stabilisasi harga daging sangat efektif dalam menjaga stabilisasi permintaan, terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Elastisitas harga silang untuk daging, telur, dan unggas di seluruh propinsi sebagian besar bertanda negatif yang berarti ketiga kelompok hasil ternak tersebut bersifat komplemen satu sama lain, yaitu peningkatan harga salah satu komoditas akan menurunkan permintaan komoditas lainnya. Nilai elastisitas harga silang tersebut pada umumnya relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan kelompok hasil yang bersangkutan ternak tidak banyak pengaruhnya terhadap permintaannya . Elastisitas harga silang untuk komoditas daging sapi dan awetan terhadap komoditas ternak lainnya relatifbesar. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perubahan harga daging sapi dan aweta terhadap permintaan komoditas lainnya cukup besar. Dengan naiknya harga daging sapi dan awetan, maka permintaan terhadap susu dan telur akan menurun cukup besar. Hal ini berlaku untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat. Seluruh nilai elastisitas pengeluaran daging sapi di seluruh propinsi tennasuk barang normal . Kecuali di Propinsi DIY dan Jawa Timur, masing-masing 0,64 dan 0,88 . Proyeksi tingkat pertumbuhan permintaan daging di DKI Jakarta. Dengan asumsi tingkat pendapatan meningkat sebesar 4% pertahun (skenario rendah), permintaan daging sapi dan awetan perkapita diperkirakan meningkat sebesar 4,6% pertahun, sedangkan pada peningkatan pendapatan yang tinggi (6%) pertahun, permintaan daging sapi dan awetan meningkat pesat sebesar 6,9% pertahun . KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut " Sistem pemasaran dan perdagangan sapi potong di Indonesia belum effisien, sehingga peluang pasar yang ada belum dapat dimanfaatkan " Penyebab tidak efisiennya sistem pemasaran sapi potong dan daging adalah kawasan net eksportir dengan kawasan net importir relatif jauh, sehingga mengandung konsekuensi adanya lalu lintas ternak yang cukup komplek yang berimplikasi terhadap besarnya biaya pemasaran yang cukup tinggi " Penyebab lain tidak efisiennya sistem pemasaran sapi dalam negeri adalah panjang dan kompleksnya jalur pemasaran sapi potong, sedangkan pada pola pemasaran daging asal impor jalur pasamya relatif lebih pendek dan dapat menekan biaya/margin pemasaran, sehingga memiliki kapasitas daya saing yang cukup tinggi. " Peranan GGLC, sebagai lembaga yang multiguna, yaitu sebagai inti dan sekaligus sebagai lembaga pemasaran, dapat diandalkan sebagai tauladan pola pengembangan sapi potong di suatu kawasan " Semakin jauh jarak transpotrasi ternak berimplikasi terhadap besamya nilai margin pemasaran sehingga menyebabkan sistem pemasaran menjadi tidak efisien. " Situasi pemasaran dan usaha sapi potong di Lampung relatif kondusif untuk pengembangan sapi potong, baik secara geografis maupun dukungan kelembagaan. " Ditinjau dari perilaku pasar, Kuatnya excess demand di dalam negeri mendorong pemerintah bersama pengusaha untuk untuk memenihi pasokan sapi dan daging secara impor, hal ini dipacu adanya stimulan : (1) harga sangat menarik para importir, (2) kualitas tidak tersaingi produk domestik, (3) kontinuitas pasokan terjamin, (4) konversi pakan ternak impor lebih tinggi, (5) merangsang tumbuhnya industri baru, (6) pemerintah memperoleh insentif berupa pajak bea masuk, serta (7) permintaan industri rumah makan terus meningkat. " Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi potong dan daging di Indonesia adalah keseimbangan suply-demand sserta kontinyuitas, infrastruktur yang belum memaai, dan belum adanya kebijakan investasi/usaha yang mengarah kepada spesialisasi usaha baik untuk penghasil pedet/bakalan, maupun penggemukan. 17 7 ELAN MASBULAN et al. : Aspek Pemasaran don Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia " Permintaan daging sapi di Indonesia mempunyai respon positif, baik ditelaah dari elastisitas harga sendri, elastisitas harga silang, elastisitas pengeluaran serta dari proyeksi permintaan daging sapi sendiri 5.2 . Saran " Untuk meningkatkan efisiensi pemasaran sapi dan daging, perlu langkah-langkah pembenahan o Sentra pengembangan industtri sapi potong hendaknya memperhatikan letak geografis dan jarak ke pasar/sentra konsumen o Perlu dibangun holding ground yang serbaguna untuk dimanfaatkan sebagai kantong Tmak yang akan dikeluarkan jika dibutuhkan . Disamping itu holding ground bisa digunakan sebagai sarana penggemukan jangka pendek sambil menunggu permintaan pasar o Peru adanya standarisasi mutu dan harga agar dapat dicegah tingkat harga yang tidak relevan dengan kualitas . O Berdasarkan elastisitas baik harga sendiri dan silang maupun elastisitas pengeluaran daging sapi, Perlu adanya pengendalian kebijakan stabilisasi harga daging dalam menjaga stabilisasi permintaan o Jika mungkin, perlu dibentuk Dewan Pemasaran Negara . DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS. 1994 . DKI Jakarta Dalam Angka. Kantor Statistik DKI Jakarta. 2000 . Tataniaga Ternak Sapi Potong Di Indonesia . Laporan Hasil Diskusi Sehari Pengkajian Untuk Menentukan Arah Industri Sapi Potong di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembanngan Peternakan . ANTHONY, DAYAN. D. VINCENT, NYAK ILHAM. 1999. The Impact of Economic Crisis On Indonesia's Beef Sector : Challenges and Opportunities. Indonesia's Economic Crisis on Agricultural and Policy Responses. Situmorang, P et all. Published for CASER by Centre for International Economics Studies University of Adelaide. HADt, U.P., D. VINCENT, NYAK ILHAM. 1999 . A Framework for Policy Analysis of the Indonesian Beef Industry . Paper No .2, Center for Agro Socio-economic Research, Bogor. HADI, U.P ., dan E. BASUNO. 1999. Preferensi Konsumen Terhadap Produk Temak Sapi di DKI. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1 - 2 Desember 1998, Jilid 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. SABRAM T. SUDARYANTo, dan R. SAYUTI . 1994 . Estimasi Parameter Permintaan Beberapa Komoditas Peternakan di Jawa . Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia. No . 1, Maret 1994. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. SOEDIANA, T.D .,