aspek pemasaran dan tataniaga sapi potong dan daging di indonesia

advertisement
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
ASPEK PEMASARAN DAN TATANIAGA SAPI POTONG DAN DAGING
DI INDONESIA
ELAN MASBULAN', I GEDE PUTU2, K. DIwyANTo', DWI PRIYANTO Z,
dan H.
SETIANTOZ
'Pusat Penelitian Peternakan
Jalan Raya Pajajaran Kav. E. 59, Bogor 16151, Indonesia
1Balai Penelitian Ternak
P. O. Box 221, Bogor 16001, Indonesia
ABSTRAK
dan H. SETIANTO. 1999/200 0. Aspek pemasaran dan tataniaga
sapi potong dan daging di Indonesia. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-!I : 165-178 .
MASBULAN, ELAN, I GEDE PuTu, K. DIWYANTO, DWI PRIYANTO,
Peranan sapi potong dan daging cukup strategis dalam pembangunan petemakan di Indonesia, sehingga kinerjanya perlu
mendapat perhatian serius . Beberapa fenomena yang sering timbul adalah aspek pemasaran. Atas dasar hal tersebut kajian
diarahkan kepada : (1) efisiensi pemasaran, (2) adaptabilitas pemasaran pemasaran, dan (3) suply-demand dalam stabilisasi
permintaan terhadap daging . Untuk itu dilakukan melalui metoda dislcriptif komparatif dengan pengukuran parameter sistem
pemasaran dan perdagangan, margin pemasaran, dan serta faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pemasaran. Hasil analisis
adalah sebagai berikut
"
"
"
"
"
"
"
"
"
O
0
O
Sistem pemasaran dan perdagangan sapi potong di Indonesia belum effisien, sehingga peluang pasar yang ada
belum dapat dimanfaatkan
Penyebab tidak efisiennya sistem pemasaran sapi potong dan daging adalah kawasan net eksportir dengan
kawasan net importir relatifjauh, sehingga mengandung konsekuensi adanya lalu lintas ternak yang cukup
komplek yang berimplikasi terhadap besarnya biaya pemasaran yang cukup tinggi
Penyebab lain tidak efisiennya sistem pemasaran sapi dalam negeri adalah panjang dan kompleksnya jalur
pemasaran sapi potong, sedangkan pada pola pemasaran daging asal imporjalur pasamya relatif lebih pendek
dan dapat menekan biaya/margin pemasaran, sehingga memiliki kapasitas daya saing yang cukup tinggi .
Peranan GGLC, sebagai lembaga yang multiguna, yaitu sebagai inti dan sekaligus sebagai lembaga pemasaran,
dapat diandalkan sebagai tauladan pola pengembangan sapi potong di suatu kawasan
Semakin jauh jarak transpotrasi ternak berimplikasi terhadap besamya nilai margin pemasaran sehingga
menyebabkan sistem pemasaran menjadi tidak efisien.
Situasi pemasaran dan usaha sapi potong di Lampung relatifkondusif untuk pengembangan sapi potong, baik
secara geografis maupun dukungan kelembagaan.
Ditinjau dari perilaku pasar, Kuatnya excess demand di dalam negeri mendorong pemerintah bersama
pengusaha untuk untuk memenihi pasokan sapi dan daging secara impor, hal ini dipacu adanya stimulan : (1)
harga sangat menarik para importir, (2) kualitas tidak tersaingi produk domestik, (3) kontinuitas pasokan
terjamin, (4) konversi pakan ternak impor lebih tinggi, (5) merangsang tumbuhnya industri baru, (6)
pemerintah memperoleh insentif berupa pajak bea masuk, serta (7) permintaan industri rumah makan terus
meningkat.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi potong dan daging di Indonesia adalah
keseimbangan supply-demand sserta kontinyuitas, infrastruktur yang belum memaai, dan belum adanya
kebijakan investasi/usaha yang mengarah kepada spesialisasi usaha baik untuk penghasil pedet/bakalan,
maupun penggemukan.
Permintaan daging sapi di Indonesia mempunyai respon positif, baik ditelaah dari elastisitas harga sendri,
elastisitas harga silang, elastisitas pengeluaran serta dari proyeksi permintaan daging sapi sendiri
Implikasi Kebijakan sebagai Saran adalah sebagai berikut
Untuk meningkatkan efisiensi pemasaran sapi dan daging, perlu langkah-langkah pembenahan
Sentra pengembangan industri sapi potong hendaknya memperhatikan letak geografis danjarak ke pasar/sentra
konsumen
Perlu dibangun holdingground yang serbaguna untuk dimanfaatkan sebagai kantong terpakyang akan
dikeluarkan jika dibutuhkan. Disamping itu holding ground bisa digunakan sebagai sarana penggemukan
jangka pendek sambil menunggu permintaan pasar
Peru adanya standarisasi mutu dan harga agar dapat dicegah tingkat harga yang tidak relevan dengan kualitas .
165
ELAN MASBULAN
o
v
et al. : Aspek Pemasaran dan Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia
Berdasarkan elastisitas baik harga sendiri dan silang maupun elastisitas pengeluaran daging sapi, Perlu adanya
pengendalian kebijakan stabilisasi harga daging dalam menjaga stabilisasi permintaan
Jika mungkin, perlu dibentuk Dewan Pemasaran Negara .
PENDAHULUAN
Sapi potong dan daging sapi mempunyai peranan cukup strategis dalam memenuhi kebutuhan protein
hewani di Indonesia, sehingga keberadaannya clan kesinambungan usaha sapi potong perlu mendapat perhatian
secara serius . Di lain pihak perlindungan terhadap konsumen daging (masyarakat Indonesia) sangat diharapkan
mendapatkan harga daging yang wajar serta terjangkau dengan daya beli masyarakat .
Set6lah krisis moneter, nampaknya aspek pemasaran sapi potong dan daging menjadi fenomena
pembangunan peternakan di Indonesia. Di satu pihak insentif pemasaran bagi produsen perlu diperhatikan, di lain
pihak harga daging disesuaikan dengan daya beli konsumen (masyarakat) . Dengan terjadinya krisis moneter
permasalahan yang muncul bertambah komplek. Disamping harga daging menjadi tinggi, juga masalah suplai
daging serta impor yang selalu mengundang pro dan kontra baik dari masyarakat maupun dari pengambil kebijakan.
Atas dasar hal tersebut, maka kajian akan diarahkan kepada : (1) efisiensi pemasaran, (2) adaptabilitas
pemasaran, dan (3) peranan sapi potong dan daging sapi dengan kebutuhan yang diminta oleh masyarakat . Ketiga
aspek ini penting untuk diketahui karena aspek yang satu dengan yang lain saling mendukung dan informasisangat
diperlukan dalam pertimbangan membuat kebijaksanaan.
TINJAUAN PUSTAKA
Daging merupakan bahan pangan pokok yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan tubuh.
Sehingga konsumsi daging akan cenderung meningkat sejalan dengan
meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia seperti yang diekspresikan oleh
tingkat pendapatan perkapita yang terus meningkat akan secara langsung merubah pola konsumsi pangan penduduk
ke arah protein hewani seperti daging, telur, dan susu . Dengan demikian keadaan tersebut akan juga mengubah
struktur permintaan terhadap komoditas ternak, yang selanjutnya akan juga berpengaruh terhadap kebijaksanaan
penyediaan pangan, harga, proyeksi permintaan, kemungkinan peralihan kantong produksi ternak ke arah yang
lebih spesialisasi, dan juga terhadap kebutuhan ternak itu sendiri seperti penyediaan hijauan pakan dan konsentrat
(SOEDJANA, dkk., 1994).
Konsumsi protein hewani di Indonesia (termasuk ikan laut, unggas, sapi, babi, clan domba) masih sangat
rendah dibandingkan dengan di negara negara industri dan negara Asia. Dalam kurun waktu 1990 sampai dengan
1996 konsumsi protein hewani meningkat 32 persen,=sedangkan konsumsi daging sapi sendiri meningkat sebesar 21
persen (HADI at at., 1999b). Pada kondisi ini kondisi harga daging-relatif stabil dengan kisaran sebesar Rp . 9028,
sampai Rp . 11424, per kg dan selama periode Januari 1995 sampai dengan Desember 1997 rataan peningkatan
harga sebesar 0,45 persen per bulan, hal ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rataan peningkatan harga
beras dan sayuran, yaitu rata-rata meningkat sebesar 0,67 persen dan 1,32 persen per bulan (HAM et al ., 1999' ).
Namun sejak Bulan Januari sampai November 1998 harga daging melonjak dari Rp . 11 .434, menjadi Rp .
19 .245, per kg clan diperkirakan rataan peningkatan harga daging tersebut sebesar 5,4 persen per bulan. Hal ini
hampir 12 kali lebih cepat laju peningkatan harganya dikandang sebelum tedadi krisis ekonomi (HADi et al ., 1999') .
Hal ini disebabkan terbatasnya daging segar baik yang diproduksi dari usaha peternakan tradisional terutama
disebabkan oleh jumlah sapi potong lokal siap dipotong, produksi feedlot yang disebabkan terbatasnya jumlah sapi
impor clan digemukan dikandang atau terbatasnya daging impor yang disebabkan harga pasar luar negeri relatif
tinggi . Dengan demikian terjadi pergeseran permintaan terhadap daging segar clan daging olahan baik di pasar
tradisional maupun di pasar swalayan (ANTHONY, 2000).
ANTHONY (2000), juga mengungkapkan, jika demand lebih besar dikandang supply maka dalam tataniaga
sapi potong ada kecenderungan terjadi pergeseran yang cukup signifikan . Dalam permasalahan tataniaga sapi
potong di Indonesia terdapat beberapa permasalahan penting yang perlu diantisipasi dalam rangka penyeimbangan
supply clan demand, diantaranya adalah
" Konsumsi/distribusi . Konsumsi clan distribusi daging sapi umumnya terfokus pada wilayah-wilayah tertentu
seperti Jabotabek dan sentra-sentra lainnya. Sehingga pada wilayah te-Ftentu terjadi permintaan produk temak
yang berlebihan, sedangkan wilayah lainnya terjadi kelebihan supply hasil temak. Hal tersebut perlu sentra
pengembangan wilayah produksi yang strategis dengan wilayah konsumen .
166
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-I/ Th. 199912000
Pola Konsumsi . Pada kondisi wilayah-wilayah tertentu terjadi pergeseran akan kebutuhan hasil ternak .
Sebagian wilayah Bandung dan sekitamya lebih suka mengkonsumsi jeroan, sehingga di wilayah tersebut
terjadi kekurangan hasil ternak berupa jeroan . Hal demikian terjadi sebaliknya di wilayah lain .
Tidak efisiennya infrastruktur. Dengan demikian menimbulkan mata rantai tataniaga yang terlalu panjang,
sehingga harga di tingkat konsumen relatif lebih mahal.
Sarana transportasi . Masih merupakan kendala, karena belum sepenuhnya memadai khususnya di wilayah
timur Indonesia. Sehingga distribusi pengadaan ternak di wilayah konsumen terganggu.
Kondisi pasar sendiri. Diantaranya adalah daya beli konsumen yang menurun sebagai akibat meningkatnya
harga maupun tingkat pendapatan yang rendah, preferensi konsumen, perubahan pola konsumsi,
ketidakseimbangan suplai dan demand, serta tingkat pertumbuhan sapi potong yang tidak sesuai dengan tingkat
kebutuhan konsumen .
Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi produk ternak potong, khususnya daging sapi di DKI Jakarta
baru dapat dipenuhi 50%-nya, yang berasal dari dalam negeri (lokal) clan impor (DKI Jakarta Dalam Angka, 1994).
Menurut SABRAM dan BASUNO (1999), kondisi untuk mencapai keseimbangan antara potensi permintaan dan
aktualita pengwaran yang masih cukup besar ini dapat berdampak pada fluktuasi harga yang tidak stabil, inefisiensi
tataniaga daging, dan produk ikutan lainnya. Hal ini tampak nyata terutama pada saat-saat tertentu seperti
menjelang hari raya idul fitri, natal, tahun baru, serta hari-hari besar lainnya. Disisi lain muncul masalah tentang
kualitas daging . Perkembangan selera dan pengetahuan masyarakat dalam pemenuhan gizi yang baik berasal dari
daging berkualitas cenderung meningkat. Pemenuhan daging yang berkualitas baru dapat dipenuhi oleh daging
yang berasal dari impor. Kalau ini terus berlanjut tanpa ada usaha-usaha perbaikan pada kualitas daging lokal,
maka impor daging yang berasal dari luar negeri akan terus berlangsung . Oleh karena itu melihat kondisi tersebut,
maka fenomena pemasaran dan permintaan produk temak potong yang berasal dari daging sapi dengan kualitas
yang baik akan berdampak bagi perkembangan peternakan di daerah sentra produksi ternak sapi . Untuk itu
diperlukan kajian yang komprehensif tentang aspek pemasaran produk sapi potong .
MATERI DAN METODE
Metode dasar adalah metode Diskriptif Komparatif, yaitu memberikan gambaran terhadap fenomenafenomena, menerangkan hubungan antar variabel, membuat prediksi, dan membandingkan besarnya margin
pemasaran dari masing-masing saluran pemasaran. Wawancara dan pengumpulan data primer dengan peternak dan
pedagang . Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari
"
Peraturan perundang-undangan dari instansi terkait ~Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri).
"
Biro Pusat Statistik (Pusat dan Daerah)
"
Lokasi : Sumatera Selatan, NTT, dan Jawa.
Parameter dan analisa data
Sistem pemasaran clan perdagangan sapi dan daging sapi
Analisis deskriptif melalui pemahaman terhadap jalur dan distribusi sistem pemasaran dan perdagangan sapi
dan daging, baik di wilayah produsen maupun di kawasan konsumen daging sapi .
Margin Pemasaran
Harga tingkat pengecer (Pr)
Harga tingkat petani (Pf)
Share (bagian) Biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran (Sbi)
Share (bagian ) Keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran (Ski)
MP = Pr - Pf atau MP = Ebi + Eki
Bi
Sbi = ---- x 100% dan Bi
Pr - Pf
dan
Sbi = -
ki
-
Pr - Pf
x 100%
167
ELAN MASBULAN et al. : Aspek Pemasaran dan Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia
Faktorfaktor yang mempengaruhi Margin Penrasaran
Untuk mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi clan daging sapi, dilakukan
pendekatan dialogis clan analisis deskriftif dengan menggali informasi terkini dari para praktisi, pedagang, dan
pengambil kebijakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sistem Pemasaran clan Perdagangan Sapi Potong clan Daging Sapi
Lalu Untas Perdagangan sapi potong di Indonesia
Pasar clan perdagangan merupakan dua aspek yang saling terkait dan saling mengisi. Peluang pasar hanya
clapat dimanfaatkan secara maksimal jika didukung oleh sistem perdagangan yang efisien.
Untuk memudahkan pemahaman terhadap sistem perdagangan sapi potong clan daging di Indonesia, pada
kajian ini perlu terlebih dahulu diungkapkan daerah mana saja sebagai kawasan sentra produksi sebagai pensuplai
sapi potong clan daerah mana saja sebagai kawasan konsumen sebagai penerima perdagangan sapi potong .
Perbedaan pada konsentrasi ternak perpenducluk mengakibatkan adanya arus perdagangan temak antar daerah .
Aspek ini memberi gambaran tentang daerah penerima (kurang ternak) clan daerah penghasil (suplier). Daerah
penghasil (suplier) sapi potong yang kapasitasnya tinggi antara lain : Jawa timur, Sulawesi Selatan, Bali, NTB, clan
NTT clan daerah suplier yang kapasitasnya sedang adalah : Lampung, Sulawesi Utara, Aceh, clan Jawa Tengah.
Sedangkan daerah penerima terbesar adalah DKI clan Jawa Barat, clan daerah penerima sedang adalah Riau,
Kalimantan barat, clan Kalimantan Timur (Tabel 1) .
Gambaran kualitatif tingkat arus komoditas sapi potong antar propinsi ditunjukkan jika tanda -1
intensitasnya rendah clan daerah itu net importir, jika +1 intensitasnya rendah clan daerah itu net eksportir.
Intensitas disini adalah volume atau jumlah temak yang diperdagangkan . Pertumbuhan permintaan domestik yang
besar. Propinsi NTT, NTB, Bali, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, clan Sulawesi adalah daerah pemasok ternak
sapi potong yang besar bagi DKI . Tujuh puluh persen produksi ternak Kawasan Timur Indonesia (KTI)
diperdagangkan ke Jawa (DKI menyerap 60%), 24 persen ke Kalimantan, 3 persen ke Sumatera, 3 persen ke daerah
lainnya .
Tabel 1. Intensitas lalu-1intas sapi potong antar propinsi
Propinsi
DKI Jakarta
D.I . Aceh
Sumatera Utara
Riau
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Jawa Tengah ./DIY
Irian Jaya
Lampung
Jawa Barat
Jawa Timur
Bali
Keterangan
+I = mengeluarkan ternak rendah clan jumlah ternak sedikit
+2 = mengeluarkan temak sedang danjumlah temak sedang
+3 = mengeluarkan temak tinggi danjunilah temak tinggi
-1 = daerah penerima temak rendah
-2 = daerah penerima temak sedang
-3 = daerah penerima temak tinggi
16 8
Skoring Sapi potong
-3
+2
-1
-2
-2
-2
+2
+3
+3
+3
+2
-1
+2
-3
+3
+3
ran Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
Keberadaan sistem perdagangan ternak merefleksikan Propinsi Sumatera Utara clan Riau sangat tergantung
pada arus ternak dari Aceh . Sedangkan Riau dengan trend permintaan sapi potong cukup tinggi (7 - 8% pertahun)
sebagian disuplai dari Sumatera Utara. Disamping itu, Aceh clan Sumatera Utara harus mampu mensuplai
kebutuhan daerah sendiri.
Sulawesi Selatan dan Utara, NTT clan NTB, serta Jatim dan Bali merupakan daerah pensuplai terbesar sapi
potong ke DKI, Jawa Barat, dan Kalimantan . Kegiatan perdagangan sapi potong tersebut, menyebabkan timbulnya
kegiatan penggemukan transito clan prosesing untuk menghasilkan daging beku.
Struktur distribusi sapi potong dan pengadaan daging
Struktur
'
distribusi sapi potong di Indonesia terlihat cukup komplek dan rumit, sehingga dalam kajian ini
dibagi menjadi 2 pola, walaupun dalam kenyataan di lapangan sebenamya merupakan suatu sistem yang saling
terkait.
Pola pertama, Jalur pemasaran sapi potong. Di tingkat daerah atau kabupaten para, peternak memasarkan
sapinya di pasar hewan. Di tempat ini berkumpul beberapa pedagang lokal (blantik), pedagang pengumpul, clan
pedagang regional Propinsi atau pedagang antar pulau. Dari Pedagang lokal atas permintaan pedagang regional
atau antar pulau didistribusikan ke pedagang regional/antar pulau atau dijual ke Bos jagal di RPH tingkat
kabupaten/daerah .
Setelah dipotong selanjutnya didistribusikan ke para tengkulak daging atau tengkulak
clekil/jeroan. Kondisi seperti ini merupakan situasi pemasaran peternakan sapi potong pada peternakan rakyat di
tingkat daerah .
Dari pedagang regional propinsi atau pedagang antar pulau didistribusikan ke Holding Ground Cibitung
dimana didalamnya diterima oleh pedagang penerima. Pedagang ini disatnping dari daerah juga menerima dari
feedloter atau feedloter yang merupakan inti dari plasma sapi potong . Dari Holding Ground selanjutnya
didistribusikan ke Holding Ground dan RPH Cakung untuk konsumsi DKI Jakarta clan sekitarnya serta
didistribusikan ke beberpa RPH di Jabotabek, Cianjur, Karawang, clan Cikampek (Gambar 1) .
Pola pemasaran sapi potong nampaknya dipengaruhi oleh pola usaha sapi potong di suatu daerah . Situasi
pemasaran sapi potong di Lampung lebih spesifik karena di daerah ini banyak dikembangkan pola inti plasma, yaitu
GGLC sebagai inti memiliki peran penting dalam pemasaran sapi potong di Lampung. Terdapat dua pola yaitu pola
umum (yang biasa dilakukan oleh masyarakat peternak) clan pernasaran yang terkait dengan pola inti plasma
(Gambar 2) .
Pedagang sapi potong selalu memperoleh informasi dari pihak tertentu (informan) . Atas informasi tersebut
baik pedagang desa maupun pedagang besar menclatangi peternak untuk melakukan transaksi tanpa adanya
pengaruh dari informan dalam menentukan harga. Jasa informan gienjadi tanggungan pedagang apabila transaksi
jual beli telah disepakati . Dari pedagang besar inilah sapi potong dibawa ke Holding Ground Cibitung.
Pola Kedua, Jalur Pemasaran Daging Sapi . Pola ini merupakan proses lanjutan dari pola pertama, yaitu
dari Holding Ground dan RPH Cakung DKI dimana didalamnya terdapat beberapa pedagang penerima atau
pedagang pemotong . Dari sinilah daging sapi didistribusikan ke Grosir daging yang juga menerima dari beberapa
RPH Depok clan Tanggerang yang untuk selanjutnya dipasarkan langsung ke pasar konvensional clan pasar
swalayan . Pasar swalayan dan pasar konvensional juga menerima daging import yang diperoleh dari distributor
daging yang juga mengirim ke meat shop . Dan konsumen di tingkat perkotaan mengkonsumsi daging dari 3 pelaku
pasar tersebut . Sedangkan di tingkat daerah/kabupaten konsumen menerima daging dari para tengkulak yang
sekaligus juga sebagai pemilik Jongko atau kios daging (Gambar 3) .
KONSUMEN
Gambar 1. Jalur Pemasaran Sapi Potong
POLA INTI-PLASMA
Petani (plasma)
POLA UMUM
INFORMAN
0' 1
PEDAGANG DESA
PEDAGANG BESAR
SKALA 20 EKOR
Gambar 2. Jalur pemasaran sapi potong di Lampung
N
Crl
r
a
z
3
D
y
C
r
D
z
a
Cold storage
b
n
A
A
3
A
3
Q
a
a
oAo
a
A
b
0
0
00
Pedagang tengkulak dekil/jeroan/Toko
a
a
z
0
3
Na
m
Gambar 3 . Jalur Pemasaran Daging
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th . 199912000
2. Analisis efisiensi pemasaran
Analsis Margin Pemasaran
Analisis margin pemasaran digunakan untuk mengetahui distribusi margin pemasaran yang terdiri dari biaya
setiap aktivitas pemasaran dan keuntungan dari setiap lembaga pemasaran, serta untuk mengetahui bagian harga
yang diterima peternak .
Tabel 2. Margin Tataniaga dan Margin Keuntungan pada Pemasaran Sapi Potong per ekor dari propinsi produsen
kepropinsi
-.
konsumen
Kegiatan
Margin Tataniaga
Margin keuntungan
Pelaku Pasar
Beli (Rp.)
Jual (Rp)
Share
%
Nilai
(Rp)
Share
Lampung
" Peternak
"
Pedagang kecil
" Pedagang besar
Nilai
(Rp)
2.695 .000
2 .765 .000
2.695 .000
2.765 .000
2.905 .000
70 .000
140.000
33,3
66,7
45 .326
62 .930
1,6
2,2
19,8
80,2
155.000
525 .000
4,9
13,6
23,1
76,9
205.250
604.478
7,5
17,2
Jawa Timur
"
Peternak
"
Pedagang kecil
"
Pedagang besar
NTB
" Peternak
" Pedagang keci1
" Pedagang besar
210.000
2.977 .000
3 .150 .000
2.977 .000
3 .150 .000
3 .850 .000
173.000
700.000
873 .000
2.500 .000
2.731 .250
2.500 .000
2 .731 .250
3.500.000
231 .250
768.750
1000 .000
Distribusi pemasaran pada Tabel 2, menunjukkan bahwa jarak dari produsen ke konsumen sangat
berpengaruh terhadap margin pemasaran. Semakin jauh jarak distribusi sapi potong ke sentra konsumen semakin
besar margin pemasaran dalam perdagangan tersebut. Pada Tabel di atas menunjukkan bahwa margin pemasaran
dari produsen sapi potong Lampung sampai ke pedagang besar atau pedagang antar pulau hanya Rp . 2l0.000,/ekor
sapi, sedangkan di Jawa Timur dan NTB margin pemasarannya hingga mencapai Rp. 873.000,- sampai Rp .
1 .000.000,/ekor dan rata-rata nilai margin yang paling besar berada pada pedagang besar. Hal ini dapat dimengerti
bahwa pedagang besar memiliki konsekuensi terhadap pengeluaran untuk pemasaran antar pulau atau antar propinsi
yang resikonya tidak sedikit. Dalam kajian ini untuk Jawa Timur dan NTB biaya pemasaran masing-masing Rp .
175 .000, dan Rp . 164.272,/ekor sapi . Biaya ini termasuk sewa kendaraan, biaya pengawalan, surat-surat
keterangan, ongkos bongkar muat, pakan, dan berbagai biaya di jalan, seperti pos timbang dan berbagai pungutan .
Sebuah truk gandeng dapat diisi sampai 33 ekor, sedangkan yang biasa dapat memuat sekitar 16 - 17 ekor sapi .
Pengangkutan dengan kereta api terutama diperuntukan pada sapi yang berasal dari luar Jawa timur, dalam
kajian ini salah satunya NTB, yaitu lewat pelabuhan Tanjung Perak dan melalui pemeriksaan Karantina Tandes,
untuk selanjunya diangkut dengan kereta api sampai Stasiun Cikarang dan terakhir diangkut ke Holding Ground
Cibitung/Tambun.
Para pedagang besar walaupun memberikan biaya keluaran untuk pemasaran cukup besar nampaknya
memburu kesempatan untuk meraih keuntungan yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari margin keuntungan
yang diperoleh pada para pedagang besar di'Jawa Timur-dan NTB rata-rata memperoleh tambahan keuntungan dari
jasa pemasaran sapi potong masing-masing Rp . 525.000, dan Rp. 604.478,/ekor sapi, dengan menikmati
keuntungan rata-rata sebesar 13,6% dan 17,2%.
173
ELAN MASBULAN et al. : Aspek Pemasaran dan Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia
Keragaan distribusi pemasaran dari kedua daerah pensuplai Jawa Timur dan NTB, dilihat baik dari besamya
margin tataniaga maupun dari nilai share antara nilai jual di tingkat petemak dengan nilai jual di tingkat pedagang
besar nampaknya kurang efisien . Semakin kecil nilai share tersebut semakin senjang antara produsen dengan
konsumen . Kondisi seperti ini tidak menguntungkan bagi pihak produsen dan dinilai tidak efisien. Dalam kasus
penelitian ini bahwa nilai share harga jual tingkat peternak Jawa Timur dengan pedagang besar di Jawa Timur
sebesar hanya sebesar 77,32% dan di NTB sebesar 71,43% . Kondisi ini agak berbeda dengan apa yang dialami
oleh petemak di Lampung, yaitu nilai share yang relatiftinggi sebesar 92,77% .
Situasi pemasaran dan usaha ternak di Lampung nampaknya relatif kondusif baik ditinjau secara geografis
maupun dukungan lembaga swasta yang peduli terhadap petemakan sapi potong. Letak geografis yang cukup
strategis dekat dengan sentra konsumen dan didukung oleh GGLC yang merupakan inti dan sekaligus lembaga yang
menangagi aspek pemasaran yang punya akses secara langsung ke Jakarta (industri daging sapi) dapat memberikan
nilai efisiensi usaha sapi dengan menekan nilai margin tataniaga serta merelakan tingkat keuntungan jasa
pemasannya. Kondisi seperti ini perlu mendapat perhatian untuk pertimbangan dalam menyusun kebijakan
pengembangan industri petemakan.
Perilaku pasar
Analisis perilaku pasar daging sapi di Indonesia ditujukan untuk melihat keterpaduan dinamika harga daging
sapi dengan supply yang direpleksikan melalui produksi daging, impor daging, dan impor daging sapi dari bakalan
impor serta demand yang direpleksikan melalui tingkat konsumsi terhadap daging di dalam negeri .
Tabel 3. Produksi, impor daging, dan sapi bakalan impor, serta konsumsi daging sapi di Indonesia (dalam ton)
Tahun
Produksi daging
Impor daging
312.000
22.053
1995
1996
347.200
29.000
535 .652
33 .400
1997
1998
351 .414
3.200
1999
264.258
7.200*
Keterangan : *) sampai dengan Agustus 1999, **) angka proyeksi
Sumber : Ditjen Peternakan dan Apfindo
Daging dari bakalan
impor
37 .034
55 .050
55 .202
5.531
10 .457*
Konsumsi daging
1 .530.200
1 .661 .200
1 .383 .804
1 .449 .308
1 .501 .081**
Produksi daging dari sumberdaya: okal nampaknya relatif stabil, hanya pada tahun 1997 Indonesia sedang
menggalakkan pembangunan petemakan, namun baru pada tahap akan tumbuh, nampaknya mengalami penurunan
akibat krisis moneter dan yang paling drastis lagi yaitu menurunnya impor baik daging sapi maupun daging dari
bakalan impor (Tabel 3) . Sedangkan konsumsi relatif stabil, kecuali pada tahun 1998 sedikit mengalami penurunan
akibat krisis moneter terutama menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, namun pada tahun 1999 nampaknya
permintaan akan kembali normal .
Melihat perilaku supply-demand tersebut diatas nampaknya situasi industri daging di Indonesia mengalami
ketidakseimbangan, yaitu excess demand. Kondisi ini nampaknya pengaruh krisis moneter terhadap permintaan
akan daging tidak signifikan, sedangkan sektor produksi industri daging sangat signifikan . Melihat gejala ini,
kelihatannya pemerintah masih akan tetap memberi peluang untuk mengizinkan pihak swasta untuk melakukan
impor , baik sapi bakalan (maupun daging beku), sehingga jumlah produk impor tersebut akan meningkat kembali
karena berbagai stimulan : (a) Harga sangat menarik para importir, (b) Kualitas tidak tersaingi produk domestik, (c)
Kontinuitas pasokan yang terjamin, (d) Konversi pakan pada ternak bakalan impor lebih tinggi, (e) Merangsang
tumbuhnya industri baru (feedlotters, penyedia pakan hijauan, pemotongan, transportasi, dll), (f) Fihak pemerintah
memperoleh insentif dari para importir melalui pajak bea masuk, (g) Permintaan industri rumah makan terhadap
kualitas daging tertentu terus meningkat.
Kenyataan yang dialami Indonesia seperti halnya tersebut diatas, seperti halnya juga bagi industri-industri
lainnya merupakan dilema . Walaupun kondisi ini jelas akan memaikan kemampuan domestik karena sistem
produksi domestik yang belum memenuhi kaidah-kaidah skala usaha dan insentif ekonomik . Lihat saja betapa
mentakjubkannya performa industri perunggasan yang hampir 95% non-local content yang selalu diandalkan
sebagai spesies substitusi bagi komoditas daging sapi, selalu tumbuh pesat tanpa hambatan karena berbagai insentif
sebagai halnya telah disebutkan diatas secara sempurna terpenuhi .
174
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknotogi Peternakan ARMP-11 Th. 1999/2000
Relevansinya dengan harga daging sapi di Indonesia bahwa gejala suply -demand sangat berpengaruh
terhadap dinamika harga. Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa harga daging di 27 propinsi sejak Januari 1995 sampai
November 1998 harga daging relatif stabil, yaitu Rp. 9028 pada Januari 1995 hingga Rp.10 .991 pada Desember
1997. Sejak Januari 1998 mulai beranjak dari harga Rp. 11.434,/kg hingga sekarang nampaknya harga daging
dirasa cukup tinggi, yaitu mencapai Rp.27.000,/kg. Mekanisme ini sejalan dengan kondisi supply dan demand
akan daging di Indonesia (Tabe13) .
Berorientasi kepada perilaku pasar tersebut di atas, yaitu adanya excess demand yang cukup tinggi, gejala
impor masih terus meningkat juga trend harga daging masih akan terus meningkat.
Tabe14. Rataan harga daging di tingkat konsumen di 27 kota propinsi sejak Januari 1995 sampai bulan Desember
1999 (Rp ./kg)
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
1995
9028
9559
9677
9695
9955
10054
10031
10080
10080
10125
10192
10211
1996
10332
10683
10595
10587
10623
10794
10762
10794
10858
10823
10758
10846
1997
11146
11424
11110
11181
11007
10991
10998
10986
11015
10988
10953
10991
1998
11434
12283
12678
13735
14019
14376
16016
17137
18037
18770
19245
25750
1999
26300
26300
26300
25000
25000
25000
25500
26000
26000
25500
25800
27000
Sumber : BULOG (1999)
3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi dan daging sapi
Segala upaya pemerintah telah dilakukan dalam rangka memenuhi pasokan daging dalam negeri, namun
hasilnya tetap masih terjadi kesenjangan antara pasokan dan pennintdan daging sapi yang makin melebar.
Situasi ini sejak awal tahun delapan puluhan telah direspon baik oleh pemerintah maupun kalangan dunia
usaha swasta, dengan mengembangkan suatu upaya altematif, yaitu memacu peningkatan usaha ayam ras. Salah
satu tujuannya adalah untuk memacu penyediaan dari jenis lain sebagai substitusi daging sapi, sebagai tawaran
pilihan bagi konsumen. Kenyataannya upaya ini cukup berhasil yaitu 53% kebetuhan daging dalam negeri dapat
dipenuhi dari usaha Broiler . Karenanya struktur penyediaan daging sapi dan kerbau di dalam negeri hanya sekitar
47% .
Namun sayang dari 47% tersebet, volume fisiknya meningkat, sehingga makin lama semakin tidak mampu
lagi dipenuhi oleh perkembangan populasi temak potong yang dihasilkan di dalam negeri . Sebelum krisis, pasokan
daging dari dalam negeri hanya mampu menyediakan sekitar 75% dari total kebutuhan yang jumlahnya 375 ribu
ton . Untek memperoleh daging sebanyak itu harus memotong sekitar 1,6 jeta ekor sapi dan 300 ribu ekor kerbau .
Jika lebih dari itu, maka dikhawatirkan akan menguras temak dalam negeri . Kekurannya, sebanyak 25% terpaksa
harus impor, yang 20% berepa sapi bakalan dan 5% berupa impor daging beku.
Pengalaman selama ini, walaupun sering terjadi gejolak harga pada saat-saat tertentu (Tabel 5), tampaknya
penyediaan daging di dalam negeri berjalan normal . Bahkan gejolak harga di saat bulan puasa dan lebaranpun
selalu dapat diantisipasi oleh pemerintah selaku pengambil '-kebijakan . Namun, setelah krisis moneter sistem
industri daging dalam negeri mengalami penunman secara tajam . Salah satu pemasok terbesar, yaitu industri
perunggasan nasional merosot secara drastis . Sehingga menyebabkan penurunan pasokan, sedangkan permintaan
tetap sehingga terjadi excess demand dan harga anjlok naik secara cepat (adanya Keddakseimbangan supplydemand)
Kondisi seperti ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha sapi potong sebagai peluang, namun
nampaknya mengalami kesulitan mendapatkan bakalan yang murah. Disebabkan membeli bakalan dengan harga
dollar sedangkan menjual dengan rupiah, dan setelah krisis moneter, sebagian besar pengusaha sapi potong
menghentikan usahanya dan menghentikan impor sapi potong, sehingga masalah menambah semakin runyamnya
175
ELAN MASBULAN et al. : AspekPemasaran dan Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia
perdagangan industri daging nasional . Sementara para pengamat ekonomi menduga bahwa anjloknya harga daging
sapi disebabkan oleh praktek kartel para importir. Sedangkan menurut APFINDO, merespon bahwa kenaikan harga
daging disebabkan para pedagang daging harus membayar tunai .
Selama ini, para pedagang daging menerima dulu barang dagangannya dan pembayaran ditata semacam
sistem grace periods untuk beberapa hari . Para pedagang daging akan membayar jika dagangannya telah laku. Dan
membayar sekaligus mengambil daging baru untuk periode penjualan berikutnya .
Setelah krisis moneter, sistem tersebut tidak ditoleransi lagi "ada uang baru ada barang". Padahal sebagian
besar pedagang tidak mempunyai modal, dengan perubahan sistem transaksi pembayaran seperti ini, maka harga
daging melonjak naik dalam waktu secara singkat. Disamping permasalah tersebut, juga volume yang mampu
diperdagangkan berkurang,lantara para pedagang besar minta dibayartunai,sementara para pedagang eceran tidak
mampu membelinya, akibatnya jumlah sapi yang dipotong menurun.
Melihat persoalan tersebut, pemerintah tanggap bahwa permasalahan pasokan daging di berbagai kota,
khususnya di DKI Jakarta pada akhir 1998 lalu adalah disebabkan oleh sistem pembayaran pengadaan daging, dari
sistem pembayaran tertunda menjadi cash and carry, untuk membantu para pedagang daging, maka pemerintah
mengupayakan kredit khusus . Pada akhir 1998 pemerintah telah menggulirkan dana kredit sebesar Rp . 500 juta
untuk 300 pedagang daging sapi, guna memperbesar pasokan daging sapi kepada masyarakat menjelang tahun baru
dan lebaran. Masing-masing pedagang mendapat dana sebesar Rp . 500 .000, sampai Rp . 1.000 .000,- perorang
selama tiga kah . Namun demikian, secara faktual bantuan kredit tersebut nampaknya kurang berarti jika
dibandingkan dengan nilai ternak yang dipotong setiap harinya . Di Jakarta saja nilai daging yang dipasarkan setiap
harinya sekitar Rp . 5 milyar,-. Sehingga kredit lunak untuk para lapak tersebut tidak ada dampaknya, seperti
menggarami air laut .
Kebijakan yang telah diambil tersebut diatas dipandang keliru, hal ini sebenarnya hanya untuk melindungi
satu sisi yaitu konsumen, padahal akar permasalahan sebenamya harus ditinjau dari kebijakan untuk merangsang
suply/pasokan, sehingga pasokan dapat mengimbangi permintaan .
Tabel 5. Puncak-puncak harga daging sapi di DKI Jakarta, 1997 - 1999
Saat Harga Daging Tinggi
November 1997
November 1997
Pebruari 1998
Juli 1998
Agustus 1998
September 1998
Oktober 1998
November 1998
Januari 1999
Pebruari 1999
Harga Daging (Rp.)
13 .000
14 .000
16 .000
17 .000
20 .900
21 .000
26 .000
27 .500
27 .500
28 .500
Infrastruktur, baik sarana dan prasarana pemasaran sangat berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi dan
daging . Untuk meningkatkan daya saing yang berorientasi kepada pasar, yaitu Preferensi konsumen, merupakan
suatu keharusan untuk meningkatkan standarisasi mutu sesuai dengan yang diinginkan oleh konsumen, untuk itu
sangat memerlukan sarana pendukung. Pada umumnya terutama pedagang di tingkat lapak, sebagian besar tidak
memperhatikan standarisasi mutu .
Sebagai pusat konsumen dengan daya beli yang relatif besar, maka sistem perdagangan transportasi dan
pemasaran di DKI perlu ditingkatkan agar dapat mengantisipasi peningkatan konsumsi . Aspek suplai bagian
karkas, pengemasan, dan kualitas memerlukan standarisasi yang mengarah kepada standarisasi intemasional . Hal
ini sangat diperlukan agar efek standarisasi ini ditransmisi ke sektoc .produksi di daerah, sehingga kualitas tenak
hidup dapat mengantisipasi perkembangan pasar (SABRANI dan BASUNO, 1999).
Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah kebijakan investasi atau usaha, yaitu pemerintah seyogyanya
telah mengantisipasi pemenuhan sapi bakalan. Tidak memungkinkan investor swasta untuk melaksanakan usaha di
bidang pembibitan (breeding) . Untuk itu kebijakan yang diciptakan agar pemerintah menunjuk BUMN
untuk
melaksanakan spesialisasi usaha di bidang penghasil bakalan secara cepat dan berkualitas . - Sehingga iklim
agribisnis sapi potong (penggemukan) dapat memenuhi permintaan pasar baik jumlah maupun kualitas.
176
ran Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
4. Estimasi Parameter Permintsan Komoditas Daging Sapi
Untuk mengestimasi parameter permintaan terhadap daging sapi akan dijelaskan melalui elastisitas harga
sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pengeluaran, serta proyeksi permintaan daging sapi .
Dalam perhitungan elastisitas harga sendiri, digunakan nilai pangsa pengeluaran hasil ternak rata-rata.
Elastisitas harga sendiri untuk komoditas daging sapi di DKI Jakarta bertanda positif Dengan demikian bahwa
daging sapi di propinsi tersebut sudah menjadi makanan pokok. Dan elastisitas paling tinggi untuk setiap
komoditas adalah daging sapi . Hal ini berarti bahwa kebijakan stabilisasi harga daging sangat efektif dalam
menjaga stabilisasi permintaan, terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Elastisitas harga silang untuk daging, telur, dan unggas di seluruh propinsi sebagian besar bertanda negatif
yang berarti ketiga kelompok hasil ternak tersebut bersifat komplemen satu sama lain, yaitu peningkatan harga
salah satu komoditas akan menurunkan permintaan komoditas lainnya. Nilai elastisitas harga silang tersebut pada
umumnya relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan kelompok hasil yang bersangkutan ternak tidak
banyak pengaruhnya terhadap permintaannya . Elastisitas harga silang untuk komoditas daging sapi dan awetan
terhadap komoditas ternak lainnya relatifbesar. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perubahan harga daging sapi
dan aweta terhadap permintaan komoditas lainnya cukup besar. Dengan naiknya harga daging sapi dan awetan,
maka permintaan terhadap susu dan telur akan menurun cukup besar. Hal ini berlaku untuk DKI Jakarta dan Jawa
Barat.
Seluruh nilai elastisitas pengeluaran daging sapi di seluruh propinsi tennasuk barang normal . Kecuali di
Propinsi DIY dan Jawa Timur, masing-masing 0,64 dan 0,88 .
Proyeksi tingkat pertumbuhan permintaan daging di DKI Jakarta. Dengan asumsi tingkat pendapatan
meningkat sebesar 4% pertahun (skenario rendah), permintaan daging sapi dan awetan perkapita diperkirakan
meningkat sebesar 4,6% pertahun, sedangkan pada peningkatan pendapatan yang tinggi (6%) pertahun, permintaan
daging sapi dan awetan meningkat pesat sebesar 6,9% pertahun .
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut
" Sistem pemasaran dan perdagangan sapi potong di Indonesia belum effisien, sehingga peluang pasar yang ada
belum dapat dimanfaatkan
" Penyebab tidak efisiennya sistem pemasaran sapi potong dan daging adalah kawasan net eksportir dengan
kawasan net importir relatif jauh, sehingga mengandung konsekuensi adanya lalu lintas ternak yang cukup
komplek yang berimplikasi terhadap besarnya biaya pemasaran yang cukup tinggi
" Penyebab lain tidak efisiennya sistem pemasaran sapi dalam negeri adalah panjang dan kompleksnya jalur
pemasaran sapi potong, sedangkan pada pola pemasaran daging asal impor jalur pasamya relatif lebih pendek
dan dapat menekan biaya/margin pemasaran, sehingga memiliki kapasitas daya saing yang cukup tinggi.
" Peranan GGLC, sebagai lembaga yang multiguna, yaitu sebagai inti dan sekaligus sebagai lembaga pemasaran,
dapat diandalkan sebagai tauladan pola pengembangan sapi potong di suatu kawasan
" Semakin jauh jarak transpotrasi ternak berimplikasi terhadap besamya nilai margin pemasaran sehingga
menyebabkan sistem pemasaran menjadi tidak efisien.
" Situasi pemasaran dan usaha sapi potong di Lampung relatif kondusif untuk pengembangan sapi potong, baik
secara geografis maupun dukungan kelembagaan.
" Ditinjau dari perilaku pasar, Kuatnya excess demand di dalam negeri mendorong pemerintah bersama
pengusaha untuk untuk memenihi pasokan sapi dan daging secara impor, hal ini dipacu adanya stimulan : (1)
harga sangat menarik para importir, (2) kualitas tidak tersaingi produk domestik, (3) kontinuitas pasokan
terjamin, (4) konversi pakan ternak impor lebih tinggi, (5) merangsang tumbuhnya industri baru, (6)
pemerintah memperoleh insentif berupa pajak bea masuk, serta (7) permintaan industri rumah makan terus
meningkat.
" Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran sapi potong dan daging di Indonesia adalah
keseimbangan suply-demand sserta kontinyuitas, infrastruktur yang belum memaai, dan belum adanya
kebijakan investasi/usaha yang mengarah kepada spesialisasi usaha baik untuk penghasil pedet/bakalan,
maupun penggemukan.
17 7
ELAN MASBULAN et al. : Aspek Pemasaran don Tataniaga Sapi Potong dan Daging di Indonesia
"
Permintaan daging sapi di Indonesia mempunyai respon positif, baik ditelaah dari elastisitas harga sendri,
elastisitas harga silang, elastisitas pengeluaran serta dari proyeksi permintaan daging sapi sendiri
5.2 . Saran
"
Untuk meningkatkan efisiensi pemasaran sapi dan daging, perlu langkah-langkah pembenahan
o Sentra pengembangan industtri sapi potong hendaknya memperhatikan letak geografis dan jarak ke
pasar/sentra konsumen
o Perlu dibangun holding ground yang serbaguna untuk dimanfaatkan sebagai kantong Tmak yang akan
dikeluarkan jika dibutuhkan . Disamping itu holding ground bisa digunakan sebagai sarana penggemukan
jangka pendek sambil menunggu permintaan pasar
o Peru adanya standarisasi mutu dan harga agar dapat dicegah tingkat harga yang tidak relevan dengan
kualitas .
O
Berdasarkan elastisitas baik harga sendiri dan silang maupun elastisitas pengeluaran daging sapi, Perlu
adanya pengendalian kebijakan stabilisasi harga daging dalam menjaga stabilisasi permintaan
o Jika mungkin, perlu dibentuk Dewan Pemasaran Negara .
DAFTAR PUSTAKA
ANONIMOUS. 1994 .
DKI Jakarta Dalam Angka. Kantor Statistik DKI Jakarta.
2000 . Tataniaga Ternak Sapi Potong Di Indonesia . Laporan Hasil Diskusi Sehari Pengkajian Untuk
Menentukan Arah Industri Sapi Potong di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan
Pengembanngan Peternakan .
ANTHONY, DAYAN.
D. VINCENT, NYAK ILHAM. 1999. The Impact of Economic Crisis On Indonesia's Beef Sector : Challenges and
Opportunities. Indonesia's Economic Crisis on Agricultural and Policy Responses. Situmorang, P et all. Published for
CASER by Centre for International Economics Studies University of Adelaide.
HADt, U.P.,
D. VINCENT, NYAK ILHAM. 1999 . A Framework for Policy Analysis of the Indonesian Beef Industry . Paper No .2,
Center for Agro Socio-economic Research, Bogor.
HADI, U.P .,
dan E. BASUNO. 1999. Preferensi Konsumen Terhadap Produk Temak Sapi di DKI. Prosiding Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1 - 2 Desember 1998, Jilid 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
SABRAM
T. SUDARYANTo, dan R. SAYUTI . 1994 . Estimasi Parameter Permintaan Beberapa Komoditas Peternakan di
Jawa . Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia. No . 1, Maret 1994. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan .
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
SOEDIANA, T.D .,
Download