studi stabilitas ketahanan dan hasil

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi
Padi merupakan satu-satunya jenis serealia yang dapat beradaptasi pada
tempat tumbuh yang kering maupun tergenang. Tanaman padi tersebar luas di
lima benua sehingga menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk dunia
(IRRI 2009).
Menurut sejarahnya padi berasal dari China, namun ada juga yang
mengatakan dari India. Sejarawan yang menyatakan padi berasal dari China
berdasarkan sastra China yang dibuat pada 5000 tahun sebelum Masehi bahwa
padi sudah dibudidayakan pada masa kekaisaran Shen Mung. Padi mulai
menyebar ke seluruh dunia karena dibawa oleh bangsa India. Bangsa India
menyebarkan padi ke bagian selatan Spanyol melalui negara-negara Arab dan
kemudian berkembang luas di bagian Selatan Perancis, Italia dan masuk negaranegara Balkan. Selain itu, dari India padi juga menyebar ke wilayah Asia bagian
timur seperti Jepang, Filipina dan kepulauan di lautan Pasifik. Padi juga tersebar
ke Malaysia dan akhirnya masuk ke Indonesia tahun 1500 sebelum Masehi
(Silitonga 2004).
Padi dengan nama ilmiah Oryza sativa L. merupakan anggota dari
kingdom Plantae, Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas
Monocotyledoneae, Ordo Poales dan Famili Poaceae. Padi termasuk tumbuhan
setahun dalam bentuk rumpun, tinggi 80 – 130 cm, batang berbuku-buku yang
pada setiap bukunya terdapat satu daun yang secara keseluruhan tersusun dalam
dua baris. Pelepah daun yang sebelah bawah menutupi pelepah daun yang di
atasnya sehingga terbentuklah batang semu yang menyelimuti buku-bukunya.
Bunga majemuk di ujung batang berbentuk malai dengan spikelet biseksual
berjumlah 50 – 500. Buahnya kariopsis dalam bentuk butiran. Berdasarkan
habitat, tanaman padi dibedakan menjadi padi gogo, padi sawah dan padi rawa.
Sedangkan berdasarkan geografis, tanaman padi dibedakan ke dalam tiga sub
spesies yaitu indica, japonica dan javanica. Padi indica terutama di wilayah Asia
Tenggara, japonica di Jepang, Korea Selatan, China Utara, New South Wales,
Eropa bagian Selatan, California dan negara-negara Amerika Selatan, sedangkan
javanica hanya ada di Indonesia yang dikenal sebagai padi bulu (Sudarnadi 1996).
6
Penyakit HDB dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Padi Sawah
Penyakit HDB diketahui pertama kali di Asia Timur dan sejak
diperkenalkan varietas berdaya hasil tinggi di Asia Selatan dan Asia Tenggara
pada 1960, HDB mulai menyebar luas. Sejak saat itu, HDB menjadi penyebab
utama menurunnya produksi padi pada lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah
hujan dan lahan rawa (IRRI 1989). Selain itu, HDB juga ditemukan di Australia
menyerang padi liar Oryza rufipogon dan O. australiensis. Saat ini HDB
menyebar luas dari benua Asia sampai Afrika dan Amerika. Distribusi
penyebarannya mulai dari 20o LS di Quensland Australia sampai 58o LU di
Heilang Jiang China dan serangan lebih tinggi pada musim hujan pada dataran
rendah daripada musim kemarau pada dataran tinggi (Mew 1989).
Menurut Mew (1989) HDB adalah penyakit vaskular, infeksinya bersifat
sistemik dan patogen masuk ke dalam tanaman inang melalui luka atau lubang
alami seperti stoma. Terkadang patogen masuk ke dalam xylem dan menyebar ke
seluruh tubuh tanaman. Patogen ini menyebabkan dua gejala tergantung fase
tanaman diserang. Apabila menyerang pada saat vegetatif pada fase persemaian
sampai menjelang fase terbentuknya anakan, gejalanya disebut kresek dan bersifat
lebih merusak. Seluruh daun tanaman menjadi pucat, kuning dan menggulung.
Penyakit kresek pertama kali ditemukan di Indonesia dan sangat umum
menyerang di daerah tropik. Apabila serangan terjadi pada saat fase anakan
maksimum sampai biji pada malai menguning disebut hawar daun. Gejala
serangannya terlihat mulai dari pinggir daun dan meluas sampai pelepah.
Selanjutnya jerami terlihat memutih, keabu-abuan atau kekuningan dalam 1-2
minggu. Ooze dari bakteri dapat diamati pada keadaan panas dan lembab.
Genus Xanthomonas pada tanaman dapat menyebabkan nekrosis,
gummosis dan penyakit vaskular atau parenkhim pada daun, batang dan buah
pada 124 tumbuhan monokotil dan 268 tumbuhan dikotil. Genus Xanthomonas
berwarna kuning, bentuk koloni tipis, merupakan bakteri gram negatif yang
patogenik, bergerak dengan satu flagel yang tedapat pada satu kutubnya atau tidak
bergerak (Swings 1989). Suatu strain Xanthomonas dapat diidentifikasi dari
spesies inangnya, yang dikenal dengan konsep “new-host, new spesies”. Sehingga
dari satu spesies Xanthomonas terdapat ratusan strain atau pathovar (pv.).
7
Pengklasifikasian
strain
atau
pathovar
Xanthomonas
berdasarkan
pathogenesitasnya terhadap tanaman inang. Pengujian tingkat pathogenesitas
bakteri dilakukan menggunakan uji serologi. Dengan pendekatan serologi dapat
diketahui arsitektur molekuler sel bakteri serta hubungan antar bakteri. Sel bakteri
terdiri dari lapisan tipis, kapsul, flagela, pili, dinding sel dan membran sitoplasma
dimana terdapat antibodi yang dapat digunakan untuk mengelompokkan jenisjenis bakteri (Quimio 1989).
Bakteri menyerang tanaman inang diawali dengan proses pergerakan
bakteri, kontak antara bakteri dengan tanaman inang, penetrasi bakteri ke dalam
tanaman inang dan proliferasi bakteri di dalam tanaman inang. Pergerakan bakteri
secara kemotaksis dipicu oleh zat yang dikeluarkan oleh tanaman. Bakteri
kemudian mulai masuk ke tanaman inang dengan proses penetrasi melalui
stomata, hidatoda atau nektar serta luka pada tanaman. Masuknya organisme
patogen ke dalam inang dan kemudian terjadi hubungan parasitik baik permanen
atau tidak di antara keduanya disebut infeksi. Faktor lingkungan yang sangat
berperan dalam proses infeksi adalah kelembaban relatif, unsur hara, suhu dan
cahaya (Huang & Cleene 1989; Yudiarti 2007).
Pengaruh penyakit HDB terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah
berbeda-beda tergantung dari varietas dan stadia tumbuh tanaman. Penelitian
Sudir (2008) menunjukkan bahwa varietas yang tidak mempunyai gen ketahanan
terhadap HDB lebih mudah terserang dan populasi bakteri Xanthomonas oryzae
pv. oryzae (Xoo) lebih besar. Populasi bakteri Xoo pada varietas yang mempunyai
gen ketahanan terhadap HDB lebih kecil bahkan tidak ada. Stadia tumbuh
tanaman juga berpengaruh nyata terhadap populasi bakteri Xoo. Populasi Xoo
tertinggi terlihat pada stadia pengisian bulir dan terendah pada stadia anakan awal.
Populasi Xoo yang tinggi pada stadia pengisian bulir merupakan akumulasi dari
stadia-stadia sebelumnya. Pada stadia pemasakan populasi Xoo mulai menurun
karena kondisi tanaman yang sudah tua tidak mampu lagi menyediakan nutrisi
bagi perkembangan bakteri.
Menurut Ou (1985) penyakit HDB dapat menyebabkan kehilangan hasil
hingga 60%. Penyakit HDB juga dapat menurunkan mutu beras karena pengisian
gabah yang kurang sempurna (Prasetiyono 2007). Kehilangan hasil dan penurunan
8
mutu beras tersebut disebabkan karbohidrat/energi yang digunakan untuk tumbuh
dan berkembangnya tanaman yang dihasilkan oleh daun tidak maksimal. Daun
yang mengandung klorofil berfungsi untuk menangkap sinar matahari (Makarim
& Suhartatik 2009), maka apabila terjadi kerusakan pada daun karena penyakit
HDB, maka kandungan klorofil akan menurun sehingga fotosintat yang dihasilkan
juga menurun.
Mekanisme Pertahanan Tanaman Padi Terhadap HDB
Terdapat tiga jenis kekebalan tanaman terhadap patogen. Kekebalan
tersebut adalah PAMP-triggered imunity (PTI), effector-triggered imunity (ETI)
dan systemic aqcuired resistance (SAR). PTI merupakan kekebalan yang dipicu
oleh asosiasi molekuler patogen/mikrobia, sedangkan ETI adalah jenis kekebalan
yang dipicu oleh molekul efektor. Kekebalan yang mampu bertahan lama terhadap
berbagai jenis patogen adalah SAR, dimana dalam mekanismenya memerlukan
Asam Salisilat (SA) (Chen & Ronald 2011). Asam Jasmonik (JA), Etylene (ET)
dan SA merupakan fitohormon penting dalam mekanisme pertahanan tanaman
terhadap serangan patogen (Fujita et al 2006). Pada padi JA dan SA ditemukan
pada bagian akar dan tajuk dengan konsentrasi yang bervariasi antar genotipe
yang berbeda (You et al 2011).
Tanaman padi memiliki respon tingkat ketahanan terhadap bakteri Xoo
yang berbeda-beda. Umumnya tingkat ketahanan tanaman inang dikelompokkan
menjadi dua yaitu ketahanan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Ketahanan
kualitatif atau ketahanan vertikal dikendalikan oleh gen mayor yang monogenik
sedangkan ketahanan kuantitatif atau ketahanan horizontal dikendalikan oleh gen
minor yang multigenik. Hingga saat ini telah teridentifikasi 21 gen ketahanan
yang kualitatif (Gnanamanickam et al 1999).
Gen ketahanan terhadap bakteri Xoo antara lain XA21, XA3 dan XA26.
XA21 berperan sebagai sensor yang berfungsi mendeteksi peptida sulfat Xoo Ax21
yang disekresikan oleh bakteri Xoo. Jika tidak terjadi serangan patogen, XA21
berasosiasi dengan XB24 ATP-ase dan berlangsung proses autofosforilasi
sehingga XA21 berada dalam kondisi tidak aktif (Gambar 1).
9
Sumber : TRENDS in Plant Science
Gambar 1 Mekanisme kekebalan jenis ETI tanaman padi terhadap Xoo
Apabila terjadi serangan patogen, XA21 kinase terlepas dari XB24, selanjutnya
XA21 mengaktifkan mekanisme pertahanan. Respon selanjutnya melibatkan
mitogen-activated protein kinase 5 (MAPK5), MAPK12 dan XB3 yang sangat
diperlukan dalam aktivitas XA21(Chen & Ronald 2011).
Peran Pencampuran Genotipe Dalam Menekan Perkembangan Penyakit
Penelitian tentang penggunaan genotipe campuran telah dilakukan antara
lain untuk menekan penyakit blas pada padi di China (Zhu et al 2000; Zhu et al
2001), penyakit karat pada tanaman gandum (Biabani 2009), penyakit karat pada
tanaman barley (Pradhanang 1995) dan penyakit embun tepung pada tanaman
10
gandum (Ning et al. 2012). Smithson & Lenne (1996) melaporkan bahwa varietas
campuran telah banyak digunakan di pertanian subsisten maupun pertanian
modern. Pemilihan varietas untuk percampuran tidak hanya bertujuan untuk
menjaga stabilitas hasil dan menekan serangan penyakit namun juga untuk
kesesuaian jenis tanah dan musim tanam.
Penggunaan genotipe campuran merupakan pendekatan secara ekologi
untuk menekan serangan penyakit. Percobaan varietas campuran padi ketan yang
peka terhadap blas dan padi indica yang relatif tahan blas yang dilakukan dengan
menanam satu baris padi ketan pada setiap empat baris padi indica mampu
mengurangi kejadian dan keparahan penyakit blas. Kejadian penyakit blas pada
padi ketan yang ditanam secara campuran berkurang 94-99% apabila
dibandingkan dengan yang ditanam secara monokultur, dan pada padi hibrida 125%. Berkurangnya kejadian penyakit blas tersebut berpengaruh nyata terhadap
hasil. Hasil yang diperoleh dari percampuran varietas Xianyou 63 dan
Huangkenuo sebesar 10533,1 kg atau lebih tinggi 825,8 kg dibandingkan Xianyou
63 yang ditanam secara monokultur, hasil Xianyou 63 yang dicampur Zinuo
10461,7 kg atau lebih tinggi 833,9 kg, sedangkan hasil percampuran varietas
Xianyou 22 dan Huangkenuo serta Xianyou 22 dengan Zinuo masing-masing
sebesar 9996 kg dan 9993 kg atau lebih tinggi 916,8 kg dan 852,5 kg (Zhu et al
2001).
Hasil penelitian Biabani (2009) pada tanaman gandum memperlihatkan
hasil yang lebih tinggi pada pertanaman campuran dibanding pertanaman
monokultur. Penggunaan materi yang mempunyai toleransi lebih luas terhadap
keadaan lingkungan dan arsitektur kanopi diduga sebagai faktor utama yang
mendukung hasil yang tinggi. Arsitektur kanopi yang beragam memperbesar
intersepsi cahaya matahari ke dalam pertanaman sehingga memperbesar produksi
bahan kering.
Keragaman mendukung produktivitas dan stabilitasnya, dengan demikian
keragaman akan mendukung fungsi ekosistem sehingga kelestarian organisme
tetap terjaga (Phillips & Wolfe 2004). Pertanaman varietas campuran akan
mempertahankan kestabilan hasil meskipun pada kondisi lingkungan yang
minimal, efisien dalam penggunaan nutrisi untuk pertumbuhan, menciptakan
11
keragaman biologi dan mempunyai potensi untuk mengendalikan hama dan
penyakit.
Kelemahan
penggunaan
genotipe
campuran
adalah
kesulitan
diaplikasikan dalam skala kecil dan kesulitan dalam melakukan mekanisasi
pertanian pada saat penanaman, pemupukan, penyiangan dan panen (Biabani
2009). Pada saat ini, pertanaman monokultur mendominasi pertanian modern.
Pertanaman monokultur adalah pertanaman yang menggunakan satu spesies dan
satu varietas sehingga keragaman genetik dalam populasi pertanaman tersebut
sangat terbatas. Alasan penggunaan pertanaman monokultur adalah kemudahan
dalam penanaman, panen dan prosesing serta hasil yang diperoleh akan seragam
kualitasnya. Pertanaman monokultur lebih banyak menyerap input produksi
berupa pemupukan dan pengendalian hama, penyakit dan gulma. Pertanaman
campuran dengan penggunaan varietas yang beragam dalam ekosistem
bermanfaat untuk mendaur ulang unsur hara, mengendalikan iklim mikro,
mengatur proses hidrologi secara lokal, menekan organisme yang tidak diinginkan
dan detoksifikasi bahan kimia berbahaya. Altieri (1999) dikutip Phillips dan
Wolfe (2004) berpendapat bahwa keragaman genetik dengan penggunaan varietas
campuran atau varietas multilini dapat mengatasi masalah yang terjadi pada
pertanaman monokultur.
Stabilitas Produktivitas dan Keragaman Genotipe Campuran
Penelitian mengenai hasil dan stabilitas genotipe campuran telah dilakukan
sejak lama. Harlan dan Martini telah melakukan studi ini pada tahun 1938 pada
tanaman barley (Wortmann et al. 1996). Allard (1961) melaporkan bahwa hasil
lima bean lebih stabil jika ditanam dalam populasi yang heterogen dibandingkan
populasi yang homogen. Lebih lanjut Ayeh (1988) melaporkan bahwa interaksi
genotipe x lingkungan lebih kecil pada genotipe campuran bean dibandingkan
genotipe tunggal. Meskipun tidak berbeda nyata dengan genotipe tunggal, namun
genotipe campuran lebih stabil dan rata-rata hasilnya lebih tinggi daripada ratarata hasil komponen penyusunnya. Penelitian ini juga menunjukkan hubungan
yang linier antara diversitas dan stabilitas.
Berdasarkan penelitian Wortmann (1996), tidak terdapat indikasi bahwa
stabilitas hasil pada bean dipengaruhi oleh level penyakit. Beberapa genotipe
12
campuran menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan rata-rata genotipe
penyusunnya. Slope garis regresi genotipe campuran >1 karena pada dua lokasi
pengujian genotipe tersebut menunjukkan hasil yang sangat baik. Analisis
stabilitas menggunakan metode AMMI dan Principal Coordinate Model pada
faba bean menunjukkan bahwa genotipe yang stabil dalam resistensi terhadap
penyakit tidak seiring dengan kestabilan hasil (Flores 1996).
Keragaman dapat diartikan sebagai perbedaan-perbedaan yang terdapat
dalam suatu populasi. Keragaman dalam populasi tanaman dapat dibedakan
menjadi keragaman fenotipik dan keragaman genotipik. Keragaman fenotipik
adalah keragaman yang dapat diukur atau dilihat langsung untuk karakter-karakter
tertentu, sedangkan keragaman genotipik adalah keragaman yang tidak dapat
dilihat atau diukur secara langsung namun dapat diduga melalui analisis data-data
statistik. Suatu populasi yang memiliki keragaman fenotipik yang luas belum
tentu mempunyai keragaman genotipik yang luas karena penampilan fenotipik
dipengaruhi oleh lingkungan (Hermiati 2001).
Hasil merupakan karakter yang bersifat kuantitatif yang dikendalikan oleh
banyak gen dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Hermiati 2001). Cukup sulit
menentukan seberapa jauh kontribusi faktor genetik sebagai akibat aksi gen dan
seberapa jauh kontribusi lingkungan. Bagaimanapun juga, hasil yang tampak
(fenotipe) merupakan hasil dari genetik dan lingkungan, P = G + E (Roy 2000;
Syukur et al. 2009).
Keragaman yang diwariskan adalah keragaman genetik, sedangkan
keragaman lingkungan tidak diwariskan. Keragaman lingkungan harus dibuat
sekecil mungkin supaya pendugaan yang diperoleh terhadap aksi gen lebih
mendekati kebenaran. Beberapa sumber dari keragaman lingkungan adalah E1
(atau Ew), E2 dan Eb. E1 atau Ew merupakan keragaman lingkungan antara
individu dalam satu famili. Keragaman ini muncul karena keragaman sampel yang
diambil, kesalahan pengukuran dan keragaman pertumbuhan tanaman. E2 adalah
keragaman nilai rata-rata famili dan Eb adalah keragaman yang muncul karena
pengaruh petak percobaan (Roy 2000).
Keragaman dalam suatu populasi pemuliaan sangat penting artinya dalam
proses seleksi. Seleksi akan berjalan efektif apabila keragaman dalam populasi
13
besar. Beberapa cara untuk menciptakan keragaman antara lain melalui
persilangan (hibridisasi), introduksi, mutasi dan transformasi genetik. Selain itu
penggunaan varietas campuran juga mampu untuk meningkatkan keragaman
genetik.
Koefisien keragaman dinyatakan sebagai standar deviasi dibagi dengan
rata-rata pengamatan (Roy 2000). Koefisien keragaman genetik (KKG)
menyatakan sempit atau luasnya keragaman genetik dari populasi yang sedang
dipelajari. Nilai KKG relatif rendah mengindikasikan sempitnya keragaman
genetik dari suatu populasi dan sebaliknya (Tampake & Luntungan 2002)
Heritabilitas adalah rasio proporsi ragam genotipik terhadap ragam
fenotipiknya. Heritabilitas menyatakan seberapa besar genotipe berperan terhadap
fenotipe yang tampak (Hermiati 2001).
Download