PERAN BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI INTANGIBLE RESOURCES TERHADAP KINERJA Dirga Lestari Dosen Fakultas Ekonomi Universitas M ulawarman Jl. Tanah Grogot No.1 Kampus Gn. Kelua, Samarinda 75119 Telp.0541-741118 E-mail: [email protected] Abstract Every company have to difference, special and unique resources. The difference can became added value for every company. Company’s resource will creating different performance for every company’s. Performance is a process to reach sustained success to organizations by improving capabilities of individuals and teams. Organizational culture as a significant contextual factor in performance is never cease to learn. The aim of this study is to expand the base of knowledge and empirically the relationship between organiza tional culture and performance practices. Keywords: Organizational Culture, Performance PENDAHULUAN mengelola sumber daya yang dimilikinya. Jika dianalogikan perusahaan sebagai pohon, maka kompetensi inti (core competence) merupakan akar yang menghujam ke dalam tanah yang menyuburkan dahan dan ranting demi terciptanya produk akhir. Kompetensi inti inilah yang membuat perusahaan dapat memiliki keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantages). Sumber utama dari kompetensi inti sebuah perusahaan sesungguhnya adalah kapabilitas, sedangkan sumber kapabilitas adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan input yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk suatu proses produksi dan memungkinkan perusahaan untuk melakukan kegiatan mereka. Perbedaan sumberdaya, kapabilitas dan kompetensi inti perusahaan dengan perusahaan pesaing akan memberikan keunggulan kompetitif dan kinerja yang berkelanjutan bagi perusahaan. Keberhasilan dapat diraih apabila perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan lain untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam Barney (1991) menyatakan sumberdaya yang mampu mempunyai keunggulan bersaing yang berkelanjutan mempunyai karakteristik berikut: mempunyai nilai (valuable), langka (rare), tidak mudah ditiru (costly to imitate), dan tidak tergantikan (non substitutable). Secara sederhana sumberdaya perusahaan dikelompokkan menjadi sumberdaya berwujud (tangible resources) dan sumberdaya tidak berwujud (intangible resources). Tangible resources merupakan sumberdaya yang terlihat dalam data akuntansi dan mudah sekali diidentifikasi serta dievaluasi. Contohnya adalah sumberdaya keuangan, sumberdaya fisik dan organisasi. Sedangkan intangible resources merupakan sumberdaya yang tidak terlihat dalam neraca keuangan perusahaan, misalnya reputasi produk, inovasi, jaringan dan budaya (Wernerfelt,1984). Pandangan klasik memberikan perhatian lebih pada sumberdaya berwujud (tangible resources) karena peranannya dianggap lebih |1| dominan dalam menghasilkan barang, jasa, dan keuntungan. Namun saat ini kondisi lingkungan usaha benar-benar berubah dan berbeda. Kondisi lingkungan usaha yang stabil dan tanpa persaingan hampir tidak dapat dijumpai. Era ini disebut sebagai era informasi. Lingkungan usaha dipenuhi oleh ketidakpastian, kebaruan, keragaman, kesementaraan, bergerak secara tidak beraturan dan tidak berkelanjutan; serta cenderung turbulent (De Geus, 1987). Setiap perusahaan dituntut untuk mengembangkan kemampuan, kompetensi, dan keunggulannya secara berkesinambungan dengan mengandalkan pengetahuan dan kekayaan intelektual. Kemampuan perusahaan untuk memobilisasi dan mengeksploitasi aktiva tidak berwujudnya jauh lebih menentukan daripada melakukan investasi dan mengelola aktiva fisik yang berwujud (Kaplan dan Norton, 2001). Sumber daya tidak berwujud (intangible resources) merupakan aktiva yang paling berharga bagi suatu perusahaan. Mengingat peran strategisnya, setiap perusahaan/organisasi dituntut untuk secara terus menerus mengembangkan dan menguasai sumber daya tidak berwujud (intangible resources). Keunggulan bersaing dan value yang berkelanjutan hanya dapat diciptakan melalui pengembangan intangible resources seperti kemampuan dan pengetahuan pekerja, teknologi informasi yang mendukung pekerja dan menghubungkan perusahaan dengan customers dan suplier, serta budaya organisasi yang mendorong inovasi, pemecahan masalah, dan pengembangan perusahaan. Sumberdaya manusia sifatnya lebih spesifik, karena manusia memang jelas terlihat namun sumberdaya yang mereka sumbangkan kepada perusahaan adalah keterampilan, pengetahuan dan kemampuan dalam mengambil keputusan. Mengidentifikasi dan menilai sumberdaya manusia merupakan hal yang | 2 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015 sulit dan kompleks. Keterampilan dan kemampuan seseorang dapat diukur melalui prestasi kerja, pengalaman dan kualifikasi. Akan tetapi ini hanyalah indikator dari potensi seseorang. Biasanya manusia bekerja dalam suatu tim, sehingga sukar sekali mengukur secara langsung sumbangan yang diberikan oleh seorang pekerja kepada perusahaannya. Akibatnya perusahaan menggunakan jumlah jam kerja, penampilan dan sikap. Belakangan banyak pula perusahaan yang menilai pekerjanya berdasarkan penilaian yang sistematis dan terperinci berdasarkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku kemudian selanjutnya dikembangkan pula penilaian terhadap kemampuan para pekerja untuk bekerjasama secara lebih efektif. Karena seperti kita ketahui, bahwa kapabilitas perusahaan tidak hanya bergantung kepada sumberdayanya yang beraneka ragam, tetapi juga kemampuannya untuk menyatukan sumberdaya-sumberdaya tersebut. Sumberdaya manusia yang efektif tergantung kepada hubungan antara para pekerja secara individu, yang keseluruhannya merupakan jenis intangible resources yang lain yaitu budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan sumber daya unik yang tidak dimiliki oleh pesaing dan mampu menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan sehingga dapat menciptakan value bagi perusahaan. Value yang dimaksud yaitu kinerja yang semakin baik di dalam perusahaan. Budaya organisasi mengikat seluruh pekerja dalam perusahaan untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang ada. Maka apabila seperangkat norma sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka para anggota organisasi akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan budaya itu tanpa merasa terpaksa. Apabila budaya itu adalah budaya yang bersifat mengarahkan kepada anggota organisasi untuk mempunyai kinerja yang baik, maka dapat dipastikan apabila memang semua anggota organisasi sudah menganggap norma itu sebagai budaya, maka ia akan melaksanakannya dengan baik. Akhirnya pelaksanaan budaya itu akan menghasilkan output kinerja yang baik. Kemampuan menciptakan suatu organisasi dengan budaya yang mampu mendorong kinerja adalah suatu kebutuhan. Ivancevich et al., (2006:68) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan nilai dan keyakinan yang dianut bersama oleh sebuah angkatan kerja. Kotter dan Heskett (1992) dari hasil riset empirisnya menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki kekuatan dan dapat meningkatkan kinerja karyawan dan umumnya dapat meningkatkan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Untuk mendorong organisasi dalam mencapai misi dan visi serta tujuan dibutuhkan karyawan dengan pemahaman dan penerapan budaya organisasi yang baik. Budaya dari sebuah organisasi dalam pandangan orangorang di dalamnya mempengaruhi ketertarikan dan bertahannya pegawai yang kompeten. Organisasi yang di dalamnya terdiri dari karyawan yang kompeten akan berpengaruh pada peningkatan kinerja dan menentukan keberhasilan organisasional. Tunggal (2001:27) menyatakan bahwa budaya organisasi yang kuat akan mampu memotivasi dan mengarahkan perilaku kerja untuk pencapaian tujuan organisasi dan individu. Budaya organisasi yang terbentuk akan berpengaruh pada gaya, sikap dan motivasi yang pada gilirannya akan berdampak pada kinerja optimal. PEMBAHASAN Budaya Organisasi Kata budaya, berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin cultura berarti memelihara, mengolah dan mengerjakan. Hidup manusia akan memeli- hara, mengolah dan mengerjakan berbagai halhal yang menghasilkan tindak budaya. Karena itu, konsep budaya menjadi sangat beragam. Budaya mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lainnya dari kelompok masyarakat tertentu yang diwariskan dari satu generasi (Santrock, 2009). Kebudayaan itu sendiri memiliki arti yang sangat luas dan pemaknaannya sangat beragam, serta merupakan sistem simbol yang dipakai manusia untuk memaknai kehidupan. Sistem simbol berisi orientasi nilai, sudut pandang tentang dunia, maupun sistem pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Sistem simbol terekam dalam pikiran yang dapat diaktualisasikan kedalam bahasa tutur, tulisan, lukisan, sikap, gerak, dan tingkah laku manusia. Kebudayaan juga didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (Koentjaraningrat, 2003 :72). Kebudayaan atau kultur adalah keseluruhan kompleks yang terbentuk di dalam sejarah dan diteruskan dari masa ke masa melalui tradisi yang mencakup organisasi, sosial, ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum, seni, teknik dan ilmu. Dengan demikian maka budaya terbentuk melalui proses perjalanan waktu dalam sejarah yang berkembang dari generasi ke generasi berikutnya. Schein (1992) mengatakan dalam proses adaptasi diasumsikan bahwa konsep budaya adalah sistem nilai yang dianut secara bersamasama. Suatu pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok orang ketika mereka belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berhasil baik sehingga absah untuk diajarkan kepada para anggota baru sebagai pedoman berperilaku. Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 3 | Budaya organisasi merupakan salah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam (Kreitner dan Kinicki,2005). Budaya organisasi telah didefinisikan sebagai pola yang diambil, asumsi yang diberikan dan nilai-nilai bersama serta keyakinan yang dianut dari waktu ke waktu yang menghasilkan norma-norma perilaku yang diadopsi dalam memecahkan masalah (Kotter dan Heskett, 1992; Schein, 2004). Lingkungan internal organisasi diwakili oleh budaya yang ditafsirkan oleh asumsi dan keyakinan dari para manajer dan karyawan (Aycan et al., 1999). Budaya Organisasi diwujudkan dalam keyakinan dan asumsi, nilai-nilai, sikap dan perilaku anggotanya adalah sumber berharga keunggulan kompetitif perusahaan (Hall, 1993; Peteraf, 1993) karena membentuk prosedur organisasi, menyatukan kemampuan organisasi menj adi kohesif keseluruhan, menyediakan solusi untuk permasalahan yang dihadapi oleh organisasi, dan, dengan demikian, menghambat atau memfasilitasi pencapaian tujuan organisasi (Yilmaz, 2008). Budaya organisasi lambat laun akan berkembang di dalam suatu organisasi dan akan menjadi ciri organisasi tersebut berbeda dengan organisasi lain. Budaya organisasi yang terbentuk akan berpengaruh pada gaya, sikap, motivasi yang pada gilirannya akan berdampak pada prestasi kerja. Budaya organisasi yang sesuai dengan harapan-harapan pegawai sudah tentu akan berdampak pada kualitas maupun kuantitas kerja pegawai. Budaya organisasi muncul dari interaksi dan pembelajaran individu dalam suatu organisasi (Schein, 1990; Jassawalla dan Sashittal, 2002). Hal ini memungkinkan orang-orang untuk memahami fungsi organisasi dan bentuk perilaku mereka dan karakter dari organisasi | 4 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015 (Schwartz dan Davis, 1981; Boxx et al, 1991.). Budaya Organisasi didefinisikan sebagai nilainilai bersama dan keyakinan yang memberikan identitas kepada anggota dan menghasilkan komitmen dan meningkatkan stabilitas sistem sosial. Kebudayaan juga panduan dan perilaku individu dalam bentuk organisasi (Hofstede, Neuijen, Ohayv, dan Sanders, 1990). Luthans (1998:126) melihat budaya organisasi memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama. Dengan kata lain, budaya organisasi merupakan sekumpulan sistem nilai yang dijadikan sebagai panduan atau pedoman bagaimana seharusnya bersikap dan perilaku, dan membuat mereka mengerti apa yang ingin dicapai organisasi dan bagaimana cara membantu organisasi mencapai sasaran tersebut. Mengenai pengertian budaya, masing-masing tokoh memberikan batasan yang berbeda, tetapi pada prinsipnya memiliki konsep yang sama, karena unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan memiliki kecenderungan yang sama pula. Sehingga dapat disimpulankan budaya merupakan suatu kebiasaan yang berkelanjutan dan diturunkan pada generasigenerasi selanjutnya. Dari hasil riset yang telah dilakukan oleh Chatman dan John (1994), dikemukakan karakteristik primer dan budaya suatu organisasi yaitu: (1) Inovasi dan pengambilan resiko; (2) Perhatian kerincian; (3) Orientasi hasil; (4) Orientasi Orang; (5) Orientasi tim; (6) Keagresifan; (7) Kemantapan. Jika penilai suatu organisasi didasarkan pada maka ketujuh dimensi tersebut akan mendapatkan suatu gambaran yang majemuk tentang budaya organisasi tersebut. Sonnenfeld dari Universitas Emory (Robbins, 1996:290-291), secara tipologis membedakan empat macam budaya organisasi, yaitu: 1) Academy: budaya organisasi yang menekankan pada spesialisasi jabatan. Tipe budaya ini menghendaki pegawai berasal dari suatu perguruan tinggi yang terkenal yang akan dididik dan ditempatkan pada suatu bidang kerja yang profesional; 2) Club: tipe ini menjadikan senioritas, loyalitas, komitmen dan pengalaman sebagai ciri khas budaya organisasi; 3) Baseball-Team: mencari bakat-bakat muda yang dapat memberikan sumbangan yang cemerlang bagi kemajuan organisasi. Tidak terhitung mementingkan umur yang terpenting adalah individu yang memiliki jiwa “enterpreuner” dan inovatif; 4) Fortress: menekankan pada kelangsungan hidup organisasi “survival” melalui kepekaan terhadap tantangan-tantangan baru. Menurut Robbins (1996:294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut: (1) Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain; (2) Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi; (3) Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang; (4) Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan; (5) Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Robbins (1996:595-596) juga mengemukakan sepuluh indikator budaya organisasi, yaitu: (1) Inisiatif individual, merupakan tingkat tanggung jawab dan kebebasan yang dipunyai individu dalam melaksanakan pekerjaan/ tugas-tugasnya; (2) Toleransi terhadap tindakan berisiko, seberapa besar para karyawan didorong untuk bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko; (3) Arah, bagaimana organisasi tersebut menentukan/menetapkan dengan jelas sasaran-sasaran dan prestasi yang diharapkan dari karyawan; (4) Integrasi, seberapa besar unit- unit dalam organisasi didorong untuk bekerja sama dengan cara yang terkoordinasi yang sesuai dengan pedoman organisasi; (5) Dukungan dari manajemen, bagaimana para manajer berkomunikasi dengan para bawahan dan bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka; (6) Kontrol, berapa jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku karyawan;(7) Identitas, bagaimana para anggota organisasi mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada denga kelompok kerja tertentu saja; (8) Sistem imbalan, bagaimana alokasi imbalan misalnya kenaikan gaji, promosi dll, apakah didasarkan atas criteria prestasi pegawai atau didasarkan senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya; (9) Toleransi, bagaimana para pegawai didorong untuk megemukakan konflik dan kritik secara terbuka yang obyektif; (10) Pola-pola komunikasi, sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hirarki dan kewenangan yang formal. Dubrin (2001:574) mengemukakan bahwa budaya yang kuat dalam organisasi akan membawa dampak yang berpengaruh pada perilaku karyawan. Artinya anggota-anggota organisasi yang memiliki budaya yang kuat akan dengan mudah mengikuti nilai-nilai yang berkembang di organisasi. Sedangkan budaya yang lemah hanya akan menjadi sebuah petunjuk kerja bagi karyawan, dan tidak seberapa mengikat jadi konsekuensi yang dapat diperoleh dari penerapan budaya yang kuat dalam organisasi meliputi: Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 5 | (1) Competitive advantage and financial success, penerapan budaya yang kuat dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian keunggulan kompetitif dan keunggulan finansial organisasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi yang bersifat partisipatif dapat mendorong anggota organisasi dalam memiliki hubungan dengan pencapaian tujuan perusahaan, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, ROI dan tingkat penjualan secara signifikan; (2) Productivity and morale, aplikasi dari budaya organisasi yang kuat dalam organisasi, yaitu jenis budaya yang mampu menghargai martabat karyawan berperan dalam mengembangkan moral dan kepuasan kerja karyawan; (3) Person organization fit, budaya organisasi yang kuat dan sesuai, menciptakan karyawan profesional dengan tingkat komitmen dan kepuasan kerja yang lebih tinggi; (4) Compatibility of mergers and acquisitions, dalam beberapa kasus merger, salah satu indikator kesuksesan proses merger tersebut adalah keberhasilan sosialisasi budaya yang dilakukan; (5) Guidance for top level managers, budaya yang kuat dapat menjadi acuan bagi keseluruhan anggota organisasi, baik dari top managers dan keseluruhan level, karyawan. Budaya yang baik adalah budaya yang mampu menciptakan kesesuaian dan ideal bagi keseluruhan organisasi. Kinerja Kinerja atau prestasi adalah pengalihbahasaan dari kata Bahasa Inggris “performance”. Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tingkatan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta (Stolovitch and Keeps,1992). Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan (Hersey and Blanchard,1977). Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun perusahaan. | 6 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015 Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (A x M x O), artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan (Robbins, 1996). “Performance is defined as the record of outcomes produced on a spesified job function or activity during a specified time period”. Prestasi adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor: (1) Faktor Individual yang mencakup kemampuan, keahlian, latar belakang dan demografi; (2) Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi; (3) Faktor Organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur, job design dan budaya organisasi (Davis dan Newstrom,2002). Sedangkan menurut Timple (1999) faktor kinerja terdiri dari dua faktor yaitu: (1) Faktor Internal yang terkait dengan sifatsifat seseorang misalnya kinerja baik disebabkan mempunyai kemampuan tinggi dan tipe pekerja keras; (2) Faktor Eksternal yang terkait dari lingkungan seperti perilaku, sikap dan tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Selanjutnya As’ad (2003) mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan ukuran sejauhmana keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada kinerja, yaitu: (1) Individu (kemampuan bekerja); (2) Usaha Kerja (keinginan untuk bekerja); (3) Dukungan Organisasional (kesempatan untuk bekerja). Mitchell (1987) menyatakan bahwa kinerja meliputi beberapa aspek, yaitu: quality of work, promptness, initiative, capability dan communication (mutu pekerjaan, ketepatan waktu, prakarsa, kemampuan dan komunikasi). Kelima aspek tersebut dapat dijadikan ukuran dalam mengkaji kinerja dosen. Dengan demikian, kinerja merupakan kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempunakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil yang diharapkan. Para peneliti dalam bidang sumber daya manusia dan psikologi industri selama bertahun-tahun berfokus pada penilaian kinerja sebagai suatu teknik pengukuran kinerja, untuk itu perlu pengelolaan kinerja. Gambar 2.4 dibawah ini menjelaskan Model Pengelolaan Kinerja Organisasi. Gambar 1. Model Kinerja Organisasi Strategi Organisasi Tujuan Jangka Panjang dan Jangka Atribut-atribut Individu Perilaku Individu (mis:Keahlian & Tujuan-tujuan Akhir Struktur Organisasi Budaya Organisasi Sumber: Noe (1996:98) Gambar 1 menjelaskan atribut individual seperti keahlian, kemampuan dan lain-lain yang merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja. Atribut individual ditransformasikan ke dalam sasaran akhir melalui perilaku karyawan. Komponen penting lain dalam model pengelolaan kinerja adalah strategi organisasi yang dijabarkan ke dalam tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Setiap departemen, kelompok kerja maupun individu dalam organisasi harus menghubungkan aktivitas mereka dengan strategi dan tujuan-tujuannya. Pada akhir evaluasi, individu dan kelompok dievaluasi berdasarkan kemampuan mereka dalam menunjukkan hasil kerja apakah sesuai dengan rencana. Kendala situasional merupakan fakor yang tidak dapat diabaikan dalam sistem pengelolaan kinerja. Budaya dan sistem nilai masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku karyawan yang penting dipertimbangkan organisasi dalam melakukan pengelolaan kinerja (Noe,1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan menurut Davis (1993:67) adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation) yang merumuskan bahwa: H u m a n P e rf o r m an c e = A b i l i t y + Mo t i v at i o n Motivation Ability = Attitude + Situation = Knowledge + Skill (1) Faktor kemampuan, yang terdiri dari potensi intelektual (IQ) dan kemampuan realitas (knowledge + skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ: 110120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampiI dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang. diharapkan. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the right man in the right place, the right man on the right job); (2) Faktor Motivasi, terbentuk dari sikap (attititude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Penilaian kinerja dikenal dengan istilah “Performance rating, performance appraisal, performance evaluation, personnel assessment, employee evaluation, merit rating, efficiency rating, service rating”. Menurut Beach (2004:12), penilaian kinerja didefinisikan: A systematic evaluation on an individual employee regarding his/ her performance on his/her job and his/her potentionals for development” (Sebuah penilaian sistematis atas individu karyawan mengenai prestasinya dalam pekerjaannya dan potensinya untuk pengembangan). Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 7 | Megginson (2001:69) mengemukakan bahwa “ Performance appraisal is the process an employer uses to determine wether an employee is performing the job as intended”. (Performance appraisal adalah suatu proses yang digunakan untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan yang dimaksudkan). Dari sudut pandang manajer dan organisasi, proses penilaian kinerja adalah sarana utama untuk perubahan perilaku individu. Konsep penilaian ini terdiri dari: penilaian atas diri sendiri, penilaian oleh bawahan, penilaian oleh rekan sejawat, dan penilaian oleh multi assesment (Dharma, 2002:200). Tujuan umum penilaian kinerja adalah untuk menciptakan budaya para individu dan kelompok untuk memikul tanggung jawab bagi usaha peningkatan proses kerja dan kemampuan yang berkesinambungan (Amstrong, 1999:30). Tujuan penilaian kinerja karyawan adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja pegawai. Demikian pula bila akan melihat atau menilai sejauh mana mutu kinerja dosen diperlukan penjelasan tentang dimensi, indikator, unsur dan kriteria yang menyatakan kinerja dosen. Dimensi kinerja menyangkut masukan proses dan keluaran atau produk. Input merujuk kepada pelaku, yakni dosen, proses merujuk kepada cara pencapaian tujuan dan produk berkaitan dengan hasil yang dicapai. Dimensi kinerja dalam konteks studi ini menggambarkan perilaku atau hasil yang diharapkan dapat ditunjukkan oleh dosen saat mereka berhasil menyelesaikan tugas. Dimensi kinerja untuk profesi dosen sebagaimana dinyatakan oleh Robbins et al. (2007), yaitu: 1) pengetahuan; 2) prosedur pengujian (penilaian); 3) hubungan mahasiswa-dosen; 4) keahlian organisasional; 5) keahlian komunikasi; 6) relevansi subyek dan; 7) utilitas tugas. Sedangkan indikator-indikator | 8 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015 kinerja dosen yang dikembangkan dan dimodifikasi dari pemikiran Mitchel T.R dan Larson (1987) sebagai berikut: (1). Kualitas hasil kerja: kepuasan mahasiswa, pemahaman mahasiswa, prestasi mahasiswa; (2). Kemampuan: penguasaan materi dan penguasaan metode pengajaran; (3). Prakarsa: berpikir positif, mewujudkan kreatifitas dan pencapaian prestasi. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Budaya organisasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai dalam suatu organisasi (Kreitner dan Kinicki, 2004). Tunggal (2001:27-28) menyatakan bahwa budaya organisasi yang kuat akan mampu memotivasi dan mengarahkan perilaku kerja untuk pencapaian tujuan organisasi dan individu. Budaya organisasi yang terbentuk akan berpengaruh pada gaya, sikap, motivasi yang pada gilirannya akan berdampak pada kinerja optimal. Kemampuan menciptakan suatu organisasi dengan budaya yang mampu mendorong kinerja adalah suatu kebutuhan. Ivancevich et al., (2006: 68) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan nilai dan keyakinan yang dianut bersama oleh sebuah angkatan kerja. Kotter dan Heskett (1992) dari hasil riset empirisnya menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki kekuatan dan dapat meningkatkan kinerja karyawan dan umumnya dapat meningkatkan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Menurut Kandula (2006) kunci untuk kinerja yang baik adalah budaya yang kuat. Dia mengatakan lebih lanjut bahwa karena perbedaan budaya organisasi, strategi yang sama tidak menghasilkan hasil yang sama untuk dua organisasi dalam industri yang sama dan di lokasi yang sama. Sebuah budaya yang positif dan kuat dapat membuat rata-rata individu melakukan dan mencapai kinerja yang cemerlang sedangkan budaya yang lemah dapat menurunkan motivasi karyawan dan pada akhirnya membuat kinerja mereka memburuk. Oleh karena itu budaya organisasi memiliki peran aktif dan langsung dalam manajemen kinerja. Murphy dan Cleveland (1995) percaya bahwa penelitian tentang budaya akan memberikan kontribusi untuk pemahaman dari manajemen kinerja. Hubungan antara budaya organisasi dan kinerja telah diperiksa oleh banyak peneliti (Ogbonna & Harris, 2000; Rousseau, 1991; Kotter & Heskett, 1992; Marcoulides & Heck, 1993). Magee (2002) berpendapat bahwa tanpa mempertimbangkan dampak dari budaya organisasi, praktik organisasi seperti manajemen kinerja bisa menjadi kontraproduktif karena keduanya saling bergantung dan berubah dimana yang satu akan berdampak pada yang lain. KESIM PU LAN Pergeseran persepsi tentang perubahan penilaian kinerja karyawan mengenai sumber daya perusahaan yang semula didominasi oleh tangible resources sekarang menjadi intangible resources. Mengukur kinerja perusahaan dari perspektif keuangan sangatlah akurat, tetapi sebenarnya dasar penggerak nilai dari keuangan tersebut adalah sumber daya manusia dengan segala pengetahuan, ide, dan inovasi yang dimilikinya. Oleh karena itu perusahaan dituntut kemampuannya untuk menyatukan sumberdaya-sumberdaya tersebut sehingga bisa menghasilkan kinerja yang optimal. Setiap anggota suatu organisasi atau perusahaan, sebelum masuk ke dalam lingkungan perusahaan, mereka berbekal kebudayaan mereka masing-masing yang dibawa dari lingkungan nya. Nilai budaya tersebut saling bersentuhan antara satu dengan yang lainnya, yang pada akhirnya menimbulkan budaya baru dan menyebabkan terjadinya budaya kerja. Budaya Organisasi yang diwujudkan dalam keyakinan dan asumsi, nilai-nilai, sikap dan perilaku anggotanya adalah sumber berharga keunggulan kompetitif perusahaan karena membentuk prosedur organisasi, menyatukan kemampuan organisasi, menyediakan solusi untuk permasalahan yang dihadapi oleh organisasi, dan membantu pencapaian tujuan organisasi. Budaya organisasi lambat laun akan berkembang di dalam suatu organisasi dan akan menjadi ciri organisasi tersebut berbeda dengan organisasi lain. Bila budaya organisasi sebagai intangible resources yang dimiliki semua perusahaan homogen dan strategi yang digunakan juga sama, maka tidak akan tercapai keunggulan bersaing. Berarti keunggulan bersaing yang berkelanjutan dapat terwujud jika terdapat perbedaan budaya organisasi sebagai intangible resources yang dimiliki perusahaan, yang sangat bernilai, langka, tidak mudah ditiru dan tidak tergantikan. Sehingga strategi yang dibangun, dirumuskan dan diimplementasikan akan berbeda pula dibandingkan perusahaan pesaing. Budaya organisasi yang kuat akan mampu menghasilkan kinerja yang optimal bagi perusahaan dan mewujudkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Armstrong, M., & Baron, A., 1998., Performance Management: The New Realities., London:Institute of Personnel and Development. Aycan, Z., Kanungo, R.N., & Sinha, J.B.P., 1999., Organizational culture and human resource management practices: the model of culture fit., Journal of Cross-Cultural Psychology, 30(4), 501-526. Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 9 | Barney, J. B., 1991., Firm resources and sustained competitive advantage., Journal of Management, 17(1), 99-120. Karyawan Pada Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah Di Jawa Timur, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan, Vol. 7 No. 2. Chatman, JA and KA John (1994). Assessing the relationship between industry characteristics and organizational culture: How different can you be. Academy of Management Journal, 37(3), 522–553. Kotter, John P. and Heskett, james L., 1992, Corporate Culture and Performance, New York: The Free Press, A Division of Mac Millan, Inc. De-Geus, A., 1997., The Living Company: Habits for Survival in a Turbulent Business Environment., Massachusetts: Harvard Business School Press. Dharma, S. (2002). Paradigma Baru: Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Amara Books. Davis, Keith & John W.Newstorm, 1993, Human Behaviour at Work Organizational Behaviour, Mc. Graw Hill, New York Gibson, Ivancevich dan Donnely (2000). Organisasi dan Manajemen: Prilaku Struktur, Jakarta: Terjemahan edisi keempat. Erlangga. Gibson., 2003., Organisasi: Prilaku, Struktur, dan Proses. Jakarta: Erlangga. Hall, R., 1993., A framework linking intangible resources and capabilities to sustainable competitive advantage., Strategic Management Journal, 14(8), 607–618. Hersey, Paul dan Blanchard, K. H. (1977). Management of Organization Behavior, New York: Engewood Cliffs. Herzberg, F., Mausner, B., & Snyderman, B. B, (1998), The motivation to work (2nd ed.). New York, NY: John Wiley & Sons. Ivancevich, John M, dkk., 2006., Perilaku dan Manajemen Organisasi., Jakarta: Erlangga. Kaplan, R.S, dan David P.N., 2001., The Strategy-Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment., Massachusetts: Harvard Business School Press. Kandula, S. R., 2006., Performance Management., New Delhi: Prentice Hall of India private limited. Kreitner, Robert & Angelo Kinicki, 2004. “Organizational Behaviour”. Sixth Edition McGraw-Hill Irwin. Koesmono, Teman H. 2005, Pengaruh Budaya Organisasi, Terhadap Motivasi dan Kepuasan Kerja Serta Kinerja | 10 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015 Koentjaraningrat., 2003., Kamus Antropologi., Jakarta., Progres. Luthans E.A., 1998, Organizational Behavior, Sixth Edition, Singapore: McGraw Hill Book Co. Magee, K. C., 2002., The impact of organizational culture on the implementation of performance management (Doctoral dissertation)., Available from Dissertations and Theses database (UMI No.3047909). Mondy, R.W., Noe, R.M., Premeaux, S.R.,(1993), Human Resource Management (5rd ed.), Massachusetts, Allyn and Bacon. Murphy, K. R., & Cleveland, J. N., 1995., Understanding performance appraisal: Social organizational and goal based perspectives. Thousand Oaks: Sage Publications. Nasih, M., Peran Strategis Intellectual Capital Sebagai Variabel Antara Pengaruh Financial Capital Terhadap Kinerja Perusahaan, Jurnal., Fa ku lt as Ekonomi Universitas Airlangga Noe, R.A. (1996), “Is career management related to employee development and performance”, Journal of Organizational Behavior, Vol. 17, pp. 119-33. Ogbonna, E. & Harris, L., 2000., Leadership style, organizational culture and performance: Empirical evidence from UK companies., International Journal of Human Resources Management,11(4), 766-788. Purnomo, Hari Setiawan & Zulkieflimansyah, 1999, Manajemen Strategi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Purwohandoko., Pengaruh Tangible Resources Perusahaan Terhadap Kinerja Air Minum dalam Kemasan (AMDK) di Wilayah Sidoarjo, Surabaya & Pasuruan., Jurnal., Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya. Rivai, V. & Sagala, E. J., 2009, Manajemen Sumber daya Manusia Untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktik. (Edisi II), PT Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Robbins, Stephen. P, 1996, Organizational Behaviour Concept, Controversiest, Applications, Prentice Hall. Inc, Englewoods Cliffs. Robbins, Stephen. P, 2000, Perilaku Organisasi, PT Prenhallindo, Jakarta. Rousseau, D., 1991., Quantitative assessment of organizati onal culture. Group and Organizations Studies, 15(4), 448-460. Schein, Edgar.H, 1992, Organiztional Culture and Leadership, 2nd Edition, Jossey Bass Publisher, San Fransisco. Schuler, Randall S. dan Jackson, Susan E. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia; menghadapi Abad Ke-21. Edisi ke-Enam, Jakarta: Erlangga. Siagian, S.P., 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara, Jakarta. Spencer, L. M dan Spencer, S. M., 1993, Competent at Work. Model for Superior Performance. John Wiley & Son, Inc. New York, Brisbane, Chichester, Toronto, Singapore. Stolovich, H.D and Keeps, E.J., 1992, Handbook of Human Performance Technology A. Comprehensive Guide of Analysis and Solving Performance Problems in Organizations, Journey Bass Publisher, San Fransisco. Suprihanto, J., 2003, Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan dan Pengembangan Karyawan. Yogyakarta: BPFEYogyakarta. Tunggal Wijaya, Amien, (2001), Kamus Manajemen SDM dan Perilaku Organisasi, Rineka Cipta, Jakarta. Veithzal Rivai,M.B.A. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wernerfelt, B., 1984., A resources-based view of the firm., Strategic Management Journal, 5 (2), 171-180 Wirawan, 2007, Budaya dan iklim organisasi, Salemba Empat, Jakarta. Yilmaz, C. & Ergun, E., (2008)., Organizational culture and firm effectiveness: An examination of relative effects of culture traits and the balanced culture hypothesis in an emerging economy., Journal of World Business, 43, 290–306 Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 11 | | 12 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015