peran budaya organisasi sebagai intangible resources terhadap

advertisement
PERAN BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI
INTANGIBLE RESOURCES TERHADAP KINERJA
Dirga Lestari
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas M ulawarman
Jl. Tanah Grogot No.1 Kampus Gn. Kelua, Samarinda 75119 Telp.0541-741118
E-mail: [email protected]
Abstract
Every company have to difference, special and unique resources. The difference can became added value for
every company. Company’s resource will creating different performance for every company’s. Performance is a process to reach sustained success to organizations by improving capabilities of individuals and
teams. Organizational culture as a significant contextual factor in performance is never cease to learn. The
aim of this study is to expand the base of knowledge and empirically the relationship between organiza tional culture and performance practices.
Keywords: Organizational Culture, Performance
PENDAHULUAN
mengelola sumber daya yang dimilikinya.
Jika dianalogikan perusahaan sebagai
pohon, maka kompetensi inti (core competence)
merupakan akar yang menghujam ke dalam
tanah yang menyuburkan dahan dan ranting
demi terciptanya produk akhir. Kompetensi
inti inilah yang membuat perusahaan dapat
memiliki keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantages). Sumber utama dari kompetensi inti sebuah perusahaan sesungguhnya adalah kapabilitas, sedangkan sumber kapabilitas adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan input yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk suatu proses
produksi dan memungkinkan perusahaan
untuk melakukan kegiatan mereka. Perbedaan
sumberdaya, kapabilitas dan kompetensi inti
perusahaan dengan perusahaan pesaing akan
memberikan keunggulan kompetitif dan kinerja yang berkelanjutan bagi perusahaan.
Keberhasilan dapat diraih apabila perusahaan
dapat bersaing dengan perusahaan lain untuk
mendapatkan keunggulan kompetitif dalam
Barney (1991) menyatakan sumberdaya
yang mampu mempunyai keunggulan bersaing yang berkelanjutan mempunyai karakteristik berikut: mempunyai nilai (valuable),
langka (rare), tidak mudah ditiru (costly to imitate), dan tidak tergantikan (non substitutable).
Secara sederhana sumberdaya perusahaan dikelompokkan menjadi sumberdaya berwujud
(tangible resources) dan sumberdaya tidak berwujud (intangible resources). Tangible resources
merupakan sumberdaya yang terlihat dalam
data akuntansi dan mudah sekali diidentifikasi
serta dievaluasi. Contohnya adalah sumberdaya keuangan, sumberdaya fisik dan organisasi. Sedangkan intangible resources merupakan sumberdaya yang tidak terlihat dalam
neraca keuangan perusahaan, misalnya reputasi produk, inovasi, jaringan dan budaya
(Wernerfelt,1984).
Pandangan klasik memberikan perhatian lebih pada sumberdaya berwujud (tangible
resources) karena peranannya dianggap lebih
|1|
dominan dalam menghasilkan barang, jasa,
dan keuntungan. Namun saat ini kondisi lingkungan usaha benar-benar berubah dan berbeda. Kondisi lingkungan usaha yang stabil
dan tanpa persaingan hampir tidak dapat dijumpai. Era ini disebut sebagai era informasi.
Lingkungan usaha dipenuhi oleh ketidakpastian, kebaruan, keragaman, kesementaraan,
bergerak secara tidak beraturan dan tidak berkelanjutan; serta cenderung turbulent (De Geus,
1987). Setiap perusahaan dituntut untuk mengembangkan kemampuan, kompetensi, dan
keunggulannya secara berkesinambungan dengan mengandalkan pengetahuan dan kekayaan intelektual. Kemampuan perusahaan untuk memobilisasi dan mengeksploitasi aktiva
tidak berwujudnya jauh lebih menentukan
daripada melakukan investasi dan mengelola
aktiva fisik yang berwujud (Kaplan dan Norton,
2001).
Sumber daya tidak berwujud (intangible
resources) merupakan aktiva yang paling berharga bagi suatu perusahaan. Mengingat peran
strategisnya, setiap perusahaan/organisasi dituntut untuk secara terus menerus mengembangkan dan menguasai sumber daya tidak
berwujud (intangible resources). Keunggulan
bersaing dan value yang berkelanjutan hanya
dapat diciptakan melalui pengembangan intangible resources seperti kemampuan dan
pengetahuan pekerja, teknologi informasi yang
mendukung pekerja dan menghubungkan perusahaan dengan customers dan suplier, serta
budaya organisasi yang mendorong inovasi,
pemecahan masalah, dan pengembangan perusahaan.
Sumberdaya manusia sifatnya lebih spesifik, karena manusia memang jelas terlihat
namun sumberdaya yang mereka sumbangkan
kepada perusahaan adalah keterampilan,
pengetahuan dan kemampuan dalam mengambil keputusan. Mengidentifikasi dan menilai
sumberdaya manusia merupakan hal yang
| 2 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015
sulit dan kompleks. Keterampilan dan kemampuan seseorang dapat diukur melalui prestasi
kerja, pengalaman dan kualifikasi. Akan tetapi
ini hanyalah indikator dari potensi seseorang.
Biasanya manusia bekerja dalam suatu tim,
sehingga sukar sekali mengukur secara langsung sumbangan yang diberikan oleh seorang
pekerja kepada perusahaannya. Akibatnya
perusahaan menggunakan jumlah jam kerja,
penampilan dan sikap. Belakangan banyak
pula perusahaan yang menilai pekerjanya berdasarkan penilaian yang sistematis dan terperinci berdasarkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku kemudian selanjutnya dikembangkan pula penilaian terhadap
kemampuan para pekerja untuk bekerjasama
secara lebih efektif. Karena seperti kita ketahui,
bahwa kapabilitas perusahaan tidak hanya
bergantung kepada sumberdayanya yang beraneka ragam, tetapi juga kemampuannya untuk menyatukan sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Sumberdaya manusia yang efektif tergantung kepada hubungan antara para pekerja secara individu, yang keseluruhannya
merupakan jenis intangible resources yang lain
yaitu budaya organisasi. Budaya organisasi
merupakan sumber daya unik yang tidak dimiliki oleh pesaing dan mampu menciptakan
keunggulan kompetitif perusahaan sehingga
dapat menciptakan value bagi perusahaan.
Value yang dimaksud yaitu kinerja yang semakin baik di dalam perusahaan.
Budaya organisasi mengikat seluruh pekerja dalam perusahaan untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang ada. Maka apabila
seperangkat norma sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka para anggota organisasi
akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan budaya itu tanpa merasa terpaksa. Apabila budaya itu adalah budaya yang bersifat
mengarahkan kepada anggota organisasi
untuk mempunyai kinerja yang baik, maka
dapat dipastikan apabila memang semua anggota organisasi sudah menganggap norma itu
sebagai budaya, maka ia akan melaksanakannya dengan baik. Akhirnya pelaksanaan
budaya itu akan menghasilkan output kinerja
yang baik.
Kemampuan menciptakan suatu organisasi dengan budaya yang mampu mendorong kinerja adalah suatu kebutuhan. Ivancevich
et al., (2006:68) menyatakan bahwa budaya
organisasi merupakan nilai dan keyakinan
yang dianut bersama oleh sebuah angkatan
kerja. Kotter dan Heskett (1992) dari hasil riset
empirisnya menunjukkan bahwa budaya
organisasi memiliki kekuatan dan dapat meningkatkan kinerja karyawan dan umumnya
dapat meningkatkan kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Untuk mendorong organisasi dalam
mencapai misi dan visi serta tujuan dibutuhkan
karyawan dengan pemahaman dan penerapan budaya organisasi yang baik. Budaya
dari sebuah organisasi dalam pandangan orangorang di dalamnya mempengaruhi ketertarikan dan bertahannya pegawai yang kompeten. Organisasi yang di dalamnya terdiri
dari karyawan yang kompeten akan berpengaruh
pada peningkatan kinerja dan menentukan
keberhasilan organisasional. Tunggal (2001:27)
menyatakan bahwa budaya organisasi yang
kuat akan mampu memotivasi dan mengarahkan perilaku kerja untuk pencapaian tujuan
organisasi dan individu. Budaya organisasi
yang terbentuk akan berpengaruh pada gaya,
sikap dan motivasi yang pada gilirannya akan
berdampak pada kinerja optimal.
PEMBAHASAN
Budaya Organisasi
Kata budaya, berasal dari terjemahan
kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin
cultura berarti memelihara, mengolah dan
mengerjakan. Hidup manusia akan memeli-
hara, mengolah dan mengerjakan berbagai halhal yang menghasilkan tindak budaya. Karena
itu, konsep budaya menjadi sangat beragam.
Budaya mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lainnya dari kelompok
masyarakat tertentu yang diwariskan dari satu
generasi (Santrock, 2009). Kebudayaan itu sendiri memiliki arti yang sangat luas dan pemaknaannya sangat beragam, serta merupakan
sistem simbol yang dipakai manusia untuk
memaknai kehidupan. Sistem simbol berisi
orientasi nilai, sudut pandang tentang dunia,
maupun sistem pengetahuan dan pengalaman
kehidupan. Sistem simbol terekam dalam
pikiran yang dapat diaktualisasikan kedalam
bahasa tutur, tulisan, lukisan, sikap, gerak, dan
tingkah laku manusia.
Kebudayaan juga didefinisikan sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan cara belajar (Koentjaraningrat, 2003
:72). Kebudayaan atau kultur adalah
keseluruhan kompleks yang terbentuk di dalam
sejarah dan diteruskan dari masa ke masa
melalui tradisi yang mencakup organisasi,
sosial, ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum, seni, teknik dan ilmu. Dengan demikian maka budaya terbentuk melalui proses
perjalanan waktu dalam sejarah yang berkembang dari generasi ke generasi berikutnya.
Schein (1992) mengatakan dalam proses
adaptasi diasumsikan bahwa konsep budaya
adalah sistem nilai yang dianut secara bersamasama. Suatu pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh sekelompok
orang ketika mereka belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal
yang telah berhasil baik sehingga absah untuk
diajarkan kepada para anggota baru sebagai
pedoman berperilaku.
Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 3 |
Budaya organisasi merupakan salah satu
wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara
implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan dan
bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam (Kreitner dan Kinicki,2005).
Budaya organisasi telah didefinisikan sebagai
pola yang diambil, asumsi yang diberikan dan
nilai-nilai bersama serta keyakinan yang dianut dari waktu ke waktu yang menghasilkan
norma-norma perilaku yang diadopsi dalam
memecahkan masalah (Kotter dan Heskett,
1992; Schein, 2004). Lingkungan internal organisasi diwakili oleh budaya yang ditafsirkan
oleh asumsi dan keyakinan dari para manajer
dan karyawan (Aycan et al., 1999).
Budaya Organisasi diwujudkan dalam
keyakinan dan asumsi, nilai-nilai, sikap dan
perilaku anggotanya adalah sumber berharga
keunggulan kompetitif perusahaan (Hall,
1993; Peteraf, 1993) karena membentuk
prosedur organisasi, menyatukan kemampuan
organisasi menj adi kohesif keseluruhan,
menyediakan solusi untuk permasalahan yang
dihadapi oleh organisasi, dan, dengan
demikian, menghambat atau memfasilitasi
pencapaian tujuan organisasi (Yilmaz, 2008).
Budaya organisasi lambat laun akan berkembang di dalam suatu organisasi dan akan menjadi ciri organisasi tersebut berbeda dengan
organisasi lain. Budaya organisasi yang terbentuk akan berpengaruh pada gaya, sikap,
motivasi yang pada gilirannya akan berdampak pada prestasi kerja. Budaya organisasi
yang sesuai dengan harapan-harapan pegawai
sudah tentu akan berdampak pada kualitas
maupun kuantitas kerja pegawai.
Budaya organisasi muncul dari interaksi
dan pembelajaran individu dalam suatu organisasi (Schein, 1990; Jassawalla dan Sashittal,
2002). Hal ini memungkinkan orang-orang
untuk memahami fungsi organisasi dan bentuk
perilaku mereka dan karakter dari organisasi
| 4 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015
(Schwartz dan Davis, 1981; Boxx et al, 1991.).
Budaya Organisasi didefinisikan sebagai nilainilai bersama dan keyakinan yang memberikan identitas kepada anggota dan menghasilkan komitmen dan meningkatkan stabilitas
sistem sosial. Kebudayaan juga panduan dan
perilaku individu dalam bentuk organisasi
(Hofstede, Neuijen, Ohayv, dan Sanders,
1990).
Luthans (1998:126) melihat budaya organisasi memberikan arah dan memperkuat
standar perilaku untuk mengendalikan pelaku
organisasi agar melaksanakan tugas dan
tanggung jawab mereka secara efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran
organisasi yang telah disepakati bersama.
Dengan kata lain, budaya organisasi merupakan sekumpulan sistem nilai yang dijadikan
sebagai panduan atau pedoman bagaimana
seharusnya bersikap dan perilaku, dan membuat mereka mengerti apa yang ingin dicapai
organisasi dan bagaimana cara membantu
organisasi mencapai sasaran tersebut.
Mengenai pengertian budaya, masing-masing
tokoh memberikan batasan yang berbeda,
tetapi pada prinsipnya memiliki konsep yang
sama, karena unsur-unsur yang terdapat
dalam kebudayaan memiliki kecenderungan
yang sama pula. Sehingga dapat disimpulankan budaya merupakan suatu kebiasaan yang
berkelanjutan dan diturunkan pada generasigenerasi selanjutnya.
Dari hasil riset yang telah dilakukan oleh
Chatman dan John (1994), dikemukakan karakteristik primer dan budaya suatu organisasi
yaitu: (1) Inovasi dan pengambilan resiko; (2)
Perhatian kerincian; (3) Orientasi hasil; (4)
Orientasi Orang; (5) Orientasi tim; (6) Keagresifan; (7) Kemantapan. Jika penilai suatu
organisasi didasarkan pada maka ketujuh dimensi tersebut akan mendapatkan suatu gambaran yang majemuk tentang budaya organisasi tersebut. Sonnenfeld dari Universitas
Emory (Robbins, 1996:290-291), secara tipologis membedakan empat macam budaya
organisasi, yaitu:
1) Academy: budaya organisasi yang menekankan pada spesialisasi jabatan. Tipe
budaya ini menghendaki pegawai berasal
dari suatu perguruan tinggi yang terkenal
yang akan dididik dan ditempatkan pada
suatu bidang kerja yang profesional;
2) Club: tipe ini menjadikan senioritas, loyalitas, komitmen dan pengalaman sebagai ciri
khas budaya organisasi;
3) Baseball-Team: mencari bakat-bakat muda
yang dapat memberikan sumbangan yang
cemerlang bagi kemajuan organisasi. Tidak
terhitung mementingkan umur yang terpenting adalah individu yang memiliki
jiwa “enterpreuner” dan inovatif;
4) Fortress: menekankan pada kelangsungan
hidup organisasi “survival” melalui kepekaan terhadap tantangan-tantangan baru.
Menurut Robbins (1996:294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut: (1) Budaya
menciptakan pembedaan yang jelas antara
satu organisasi dan yang lain; (2) Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi; (3) Budaya mempermudah
timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih
luas daripada kepentingan diri individual seseorang; (4) Budaya merupakan perekat sosial
yang membantu mempersatukan organisasi itu
dengan memberikan standar-standar yang
tepat untuk dilakukan oleh karyawan; (5)
Budaya sebagai mekanisme pembuat makna
dan kendali yang memandu dan membentuk
sikap serta perilaku karyawan.
Robbins (1996:595-596) juga mengemukakan sepuluh indikator budaya organisasi,
yaitu: (1) Inisiatif individual, merupakan tingkat
tanggung jawab dan kebebasan yang dipunyai
individu dalam melaksanakan pekerjaan/
tugas-tugasnya; (2) Toleransi terhadap tindakan
berisiko, seberapa besar para karyawan didorong untuk bertindak agresif, inovatif, dan
mengambil resiko; (3) Arah, bagaimana organisasi tersebut menentukan/menetapkan dengan jelas sasaran-sasaran dan prestasi yang
diharapkan dari karyawan; (4) Integrasi, seberapa besar unit- unit dalam organisasi didorong untuk bekerja sama dengan cara yang
terkoordinasi yang sesuai dengan pedoman
organisasi; (5) Dukungan dari manajemen,
bagaimana para manajer berkomunikasi dengan para bawahan dan bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka; (6) Kontrol,
berapa jumlah peraturan dan pengawasan
langsung yang digunakan untuk mengawasi
dan mengendalikan perilaku karyawan;(7)
Identitas, bagaimana para anggota organisasi
mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan
dengan organisasinya daripada denga kelompok kerja tertentu saja; (8) Sistem imbalan, bagaimana alokasi imbalan misalnya kenaikan gaji,
promosi dll, apakah didasarkan atas criteria
prestasi pegawai atau didasarkan senioritas,
sikap pilih kasih dan sebagainya; (9) Toleransi,
bagaimana para pegawai didorong untuk
megemukakan konflik dan kritik secara
terbuka yang obyektif; (10) Pola-pola komunikasi,
sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi
oleh hirarki dan kewenangan yang formal.
Dubrin (2001:574) mengemukakan bahwa budaya yang kuat dalam organisasi akan
membawa dampak yang berpengaruh pada
perilaku karyawan. Artinya anggota-anggota
organisasi yang memiliki budaya yang kuat
akan dengan mudah mengikuti nilai-nilai
yang berkembang di organisasi. Sedangkan budaya yang lemah hanya akan menjadi sebuah
petunjuk kerja bagi karyawan, dan tidak seberapa mengikat jadi konsekuensi yang dapat
diperoleh dari penerapan budaya yang kuat
dalam organisasi meliputi:
Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 5 |
(1) Competitive advantage and financial
success, penerapan budaya yang kuat dapat
memberikan kontribusi terhadap pencapaian
keunggulan kompetitif dan keunggulan finansial organisasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi yang bersifat
partisipatif dapat mendorong anggota organisasi dalam memiliki hubungan dengan pencapaian tujuan perusahaan, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas, ROI dan tingkat
penjualan secara signifikan; (2) Productivity
and morale, aplikasi dari budaya organisasi
yang kuat dalam organisasi, yaitu jenis budaya
yang mampu menghargai martabat karyawan
berperan dalam mengembangkan moral dan
kepuasan kerja karyawan; (3) Person organization fit, budaya organisasi yang kuat dan sesuai, menciptakan karyawan profesional dengan tingkat komitmen dan kepuasan kerja
yang lebih tinggi; (4) Compatibility of mergers
and acquisitions, dalam beberapa kasus merger,
salah satu indikator kesuksesan proses merger
tersebut adalah keberhasilan sosialisasi budaya
yang dilakukan; (5) Guidance for top level managers, budaya yang kuat dapat menjadi acuan
bagi keseluruhan anggota organisasi, baik dari
top managers dan keseluruhan level, karyawan. Budaya yang baik adalah budaya yang
mampu menciptakan kesesuaian dan ideal
bagi keseluruhan organisasi.
Kinerja
Kinerja atau prestasi adalah pengalihbahasaan dari kata Bahasa Inggris “performance”.
Kinerja merupakan seperangkat hasil yang
dicapai dan merujuk pada tingkatan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang
diminta (Stolovitch and Keeps,1992). Kinerja
merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan (Hersey and Blanchard,1977).
Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh
individu, kelompok maupun perusahaan.
| 6 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015
Kinerja sebagai fungsi interaksi antara
kemampuan atau ability (A), motivasi atau
motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (A x M x O), artinya
kinerja merupakan fungsi dari kemampuan,
motivasi dan kesempatan (Robbins, 1996).
“Performance is defined as the record of outcomes
produced on a spesified job function or activity
during a specified time period”. Prestasi adalah
catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari
fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan
tertentu selama kurun waktu tertentu.
Kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor: (1)
Faktor Individual yang mencakup kemampuan, keahlian, latar belakang dan demografi;
(2) Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi;
(3) Faktor Organisasi terdiri dari sumber daya,
kepemimpinan, penghargaan, struktur, job
design dan budaya organisasi (Davis dan
Newstrom,2002). Sedangkan menurut Timple
(1999) faktor kinerja terdiri dari dua faktor yaitu:
(1) Faktor Internal yang terkait dengan sifatsifat seseorang misalnya kinerja baik disebabkan mempunyai kemampuan tinggi dan tipe
pekerja keras; (2) Faktor Eksternal yang terkait
dari lingkungan seperti perilaku, sikap dan
tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan,
fasilitas kerja dan iklim organisasi.
Selanjutnya As’ad (2003) mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan
ukuran sejauhmana keberhasilan seseorang
dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ada
tiga faktor utama yang berpengaruh pada kinerja, yaitu: (1) Individu (kemampuan
bekerja); (2) Usaha Kerja (keinginan untuk
bekerja); (3) Dukungan Organisasional (kesempatan untuk bekerja). Mitchell (1987) menyatakan bahwa kinerja meliputi beberapa aspek,
yaitu: quality of work, promptness, initiative, capability dan communication (mutu pekerjaan, ketepatan waktu, prakarsa, kemampuan dan komunikasi). Kelima aspek tersebut dapat dijadikan ukuran dalam mengkaji kinerja dosen.
Dengan demikian, kinerja merupakan
kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempunakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil yang diharapkan. Para peneliti dalam bidang sumber daya manusia dan
psikologi industri selama bertahun-tahun berfokus pada penilaian kinerja sebagai suatu teknik pengukuran kinerja, untuk itu perlu pengelolaan kinerja. Gambar 2.4 dibawah ini menjelaskan Model Pengelolaan Kinerja Organisasi.
Gambar 1. Model Kinerja Organisasi
Strategi Organisasi
Tujuan Jangka
Panjang dan Jangka
Atribut-atribut Individu
Perilaku Individu
(mis:Keahlian &
Tujuan-tujuan
Akhir
Struktur Organisasi
Budaya Organisasi
Sumber: Noe (1996:98)
Gambar 1 menjelaskan atribut individual
seperti keahlian, kemampuan dan lain-lain
yang merupakan faktor yang mempengaruhi
kinerja. Atribut individual ditransformasikan
ke dalam sasaran akhir melalui perilaku karyawan. Komponen penting lain dalam model
pengelolaan kinerja adalah strategi organisasi
yang dijabarkan ke dalam tujuan jangka
panjang dan jangka pendek. Setiap departemen, kelompok kerja maupun individu dalam
organisasi harus menghubungkan aktivitas
mereka dengan strategi dan tujuan-tujuannya.
Pada akhir evaluasi, individu dan kelompok dievaluasi berdasarkan kemampuan mereka dalam menunjukkan hasil kerja apakah
sesuai dengan rencana. Kendala situasional
merupakan fakor yang tidak dapat diabaikan
dalam sistem pengelolaan kinerja. Budaya dan
sistem nilai masyarakat merupakan faktor
yang mempengaruhi perilaku karyawan yang
penting dipertimbangkan organisasi dalam
melakukan pengelolaan kinerja (Noe,1996).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja karyawan menurut Davis (1993:67)
adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor
motivasi (motivation) yang merumuskan
bahwa:
H u m a n P e rf o r m an c e = A b i l i t y + Mo t i v at i o n
Motivation
Ability
= Attitude + Situation
= Knowledge + Skill
(1) Faktor kemampuan, yang terdiri dari
potensi intelektual (IQ) dan kemampuan
realitas (knowledge + skill). Artinya, pegawai
yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ: 110120) dengan pendidikan yang memadai untuk
jabatannya dan terampiI dalam mengerjakan
pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih
mudah mencapai kinerja yang. diharapkan.
Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan
pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the right man in the right place, the right
man on the right job); (2) Faktor Motivasi, terbentuk dari sikap (attititude) seorang pegawai
dalam menghadapi situasi (situation) kerja.
Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi.
Penilaian kinerja dikenal dengan istilah
“Performance rating, performance appraisal, performance evaluation, personnel assessment, employee evaluation, merit rating, efficiency rating,
service rating”. Menurut Beach (2004:12), penilaian kinerja didefinisikan: A systematic evaluation on an individual employee regarding his/
her performance on his/her job and his/her
potentionals for development” (Sebuah penilaian
sistematis atas individu karyawan mengenai
prestasinya dalam pekerjaannya dan potensinya untuk pengembangan).
Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 7 |
Megginson (2001:69) mengemukakan
bahwa “ Performance appraisal is the process an
employer uses to determine wether an employee is
performing the job as intended”. (Performance
appraisal adalah suatu proses yang digunakan
untuk menentukan apakah seorang karyawan
melakukan pekerjaannya sesuai dengan yang
dimaksudkan). Dari sudut pandang manajer
dan organisasi, proses penilaian kinerja adalah
sarana utama untuk perubahan perilaku individu. Konsep penilaian ini terdiri dari: penilaian atas diri sendiri, penilaian oleh bawahan,
penilaian oleh rekan sejawat, dan penilaian
oleh multi assesment (Dharma, 2002:200).
Tujuan umum penilaian kinerja adalah
untuk menciptakan budaya para individu dan
kelompok untuk memikul tanggung jawab
bagi usaha peningkatan proses kerja dan kemampuan yang berkesinambungan (Amstrong,
1999:30). Tujuan penilaian kinerja karyawan
adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan
kinerja pegawai.
Demikian pula bila akan melihat atau
menilai sejauh mana mutu kinerja dosen diperlukan penjelasan tentang dimensi, indikator,
unsur dan kriteria yang menyatakan kinerja
dosen. Dimensi kinerja menyangkut masukan
proses dan keluaran atau produk. Input
merujuk kepada pelaku, yakni dosen, proses
merujuk kepada cara pencapaian tujuan dan
produk berkaitan dengan hasil yang dicapai.
Dimensi kinerja dalam konteks studi ini
menggambarkan perilaku atau hasil yang diharapkan dapat ditunjukkan oleh dosen saat mereka berhasil menyelesaikan tugas.
Dimensi kinerja untuk profesi dosen
sebagaimana dinyatakan oleh Robbins et al.
(2007), yaitu: 1) pengetahuan; 2) prosedur
pengujian (penilaian); 3) hubungan mahasiswa-dosen; 4) keahlian organisasional; 5) keahlian komunikasi; 6) relevansi subyek dan; 7)
utilitas tugas. Sedangkan indikator-indikator
| 8 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015
kinerja dosen yang dikembangkan dan dimodifikasi dari pemikiran Mitchel T.R dan Larson
(1987) sebagai berikut: (1). Kualitas hasil kerja:
kepuasan mahasiswa, pemahaman mahasiswa, prestasi mahasiswa; (2). Kemampuan:
penguasaan materi dan penguasaan metode
pengajaran; (3). Prakarsa: berpikir positif,
mewujudkan kreatifitas dan pencapaian
prestasi.
Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap
Kinerja
Budaya organisasi merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai
dalam suatu organisasi (Kreitner dan Kinicki,
2004). Tunggal (2001:27-28) menyatakan
bahwa budaya organisasi yang kuat akan
mampu memotivasi dan mengarahkan perilaku kerja untuk pencapaian tujuan organisasi
dan individu. Budaya organisasi yang terbentuk akan berpengaruh pada gaya, sikap, motivasi yang pada gilirannya akan berdampak
pada kinerja optimal.
Kemampuan menciptakan suatu organisasi dengan budaya yang mampu mendorong kinerja adalah suatu kebutuhan. Ivancevich et al., (2006: 68) menyatakan bahwa
budaya organisasi merupakan nilai dan keyakinan yang dianut bersama oleh sebuah angkatan kerja. Kotter dan Heskett (1992) dari hasil
riset empirisnya menunjukkan bahwa budaya
organisasi memiliki kekuatan dan dapat
meningkatkan kinerja karyawan dan
umumnya dapat meningkatkan kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Menurut Kandula (2006) kunci untuk
kinerja yang baik adalah budaya yang kuat.
Dia mengatakan lebih lanjut bahwa karena
perbedaan budaya organisasi, strategi yang
sama tidak menghasilkan hasil yang sama
untuk dua organisasi dalam industri yang
sama dan di lokasi yang sama. Sebuah budaya
yang positif dan kuat dapat membuat rata-rata
individu melakukan dan mencapai kinerja
yang cemerlang sedangkan budaya yang
lemah dapat menurunkan motivasi karyawan
dan pada akhirnya membuat kinerja mereka
memburuk. Oleh karena itu budaya organisasi
memiliki peran aktif dan langsung dalam
manajemen kinerja. Murphy dan Cleveland
(1995) percaya bahwa penelitian tentang
budaya akan memberikan kontribusi untuk
pemahaman dari manajemen kinerja.
Hubungan antara budaya organisasi dan
kinerja telah diperiksa oleh banyak peneliti
(Ogbonna & Harris, 2000; Rousseau, 1991;
Kotter & Heskett, 1992; Marcoulides & Heck,
1993). Magee (2002) berpendapat bahwa
tanpa mempertimbangkan dampak dari budaya organisasi, praktik organisasi seperti
manajemen kinerja bisa menjadi kontraproduktif karena keduanya saling bergantung dan
berubah dimana yang satu akan berdampak
pada yang lain.
KESIM PU LAN
Pergeseran persepsi tentang perubahan
penilaian kinerja karyawan mengenai sumber
daya perusahaan yang semula didominasi oleh
tangible resources sekarang menjadi intangible
resources. Mengukur kinerja perusahaan dari
perspektif keuangan sangatlah akurat, tetapi
sebenarnya dasar penggerak nilai dari keuangan tersebut adalah sumber daya manusia
dengan segala pengetahuan, ide, dan inovasi
yang dimilikinya. Oleh karena itu perusahaan
dituntut kemampuannya untuk menyatukan
sumberdaya-sumberdaya tersebut sehingga
bisa menghasilkan kinerja yang optimal. Setiap
anggota suatu organisasi atau perusahaan,
sebelum masuk ke dalam lingkungan perusahaan, mereka berbekal kebudayaan mereka
masing-masing yang dibawa dari lingkungan
nya. Nilai budaya tersebut saling bersentuhan
antara satu dengan yang lainnya, yang pada
akhirnya menimbulkan budaya baru dan
menyebabkan terjadinya budaya kerja.
Budaya Organisasi yang diwujudkan
dalam keyakinan dan asumsi, nilai-nilai, sikap
dan perilaku anggotanya adalah sumber berharga keunggulan kompetitif perusahaan karena membentuk prosedur organisasi, menyatukan kemampuan organisasi, menyediakan
solusi untuk permasalahan yang dihadapi oleh
organisasi, dan membantu pencapaian tujuan
organisasi. Budaya organisasi lambat laun
akan berkembang di dalam suatu organisasi
dan akan menjadi ciri organisasi tersebut berbeda dengan organisasi lain.
Bila budaya organisasi sebagai intangible
resources yang dimiliki semua perusahaan
homogen dan strategi yang digunakan juga
sama, maka tidak akan tercapai keunggulan
bersaing. Berarti keunggulan bersaing yang
berkelanjutan dapat terwujud jika terdapat
perbedaan budaya organisasi sebagai intangible
resources yang dimiliki perusahaan, yang
sangat bernilai, langka, tidak mudah ditiru dan
tidak tergantikan. Sehingga strategi yang dibangun, dirumuskan dan diimplementasikan
akan berbeda pula dibandingkan perusahaan
pesaing. Budaya organisasi yang kuat akan
mampu menghasilkan kinerja yang optimal
bagi perusahaan dan mewujudkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, M., & Baron, A., 1998., Performance Management: The New Realities., London:Institute of Personnel and Development.
Aycan, Z., Kanungo, R.N., & Sinha, J.B.P., 1999., Organizational culture and human resource management practices: the model of culture fit., Journal
of Cross-Cultural Psychology, 30(4), 501-526.
Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 9 |
Barney, J. B., 1991., Firm resources and sustained competitive advantage., Journal of Management,
17(1), 99-120.
Karyawan Pada Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu
Skala Menengah Di Jawa Timur, Jurnal Manajemen
& Kewirausahaan, Vol. 7 No. 2.
Chatman, JA and KA John (1994). Assessing the relationship between industry characteristics and organizational culture: How different can you be. Academy
of Management Journal, 37(3), 522–553.
Kotter, John P. and Heskett, james L., 1992, Corporate
Culture and Performance, New York: The Free
Press, A Division of Mac Millan, Inc.
De-Geus, A., 1997., The Living Company: Habits for Survival in a Turbulent Business Environment., Massachusetts: Harvard Business School Press.
Dharma, S. (2002). Paradigma Baru: Manajemen Sumber
Daya Manusia. Yogyakarta: Amara Books.
Davis, Keith & John W.Newstorm, 1993, Human
Behaviour at Work Organizational Behaviour, Mc.
Graw Hill, New York
Gibson, Ivancevich dan Donnely (2000). Organisasi dan
Manajemen: Prilaku Struktur, Jakarta: Terjemahan
edisi keempat. Erlangga.
Gibson., 2003., Organisasi: Prilaku, Struktur, dan Proses.
Jakarta: Erlangga.
Hall, R., 1993., A framework linking intangible resources
and capabilities to sustainable competitive advantage., Strategic Management Journal, 14(8),
607–618.
Hersey, Paul dan Blanchard, K. H. (1977). Management
of Organization Behavior, New York: Engewood
Cliffs.
Herzberg, F., Mausner, B., & Snyderman, B. B, (1998),
The motivation to work (2nd ed.). New York, NY:
John Wiley & Sons.
Ivancevich, John M, dkk., 2006., Perilaku dan Manajemen
Organisasi., Jakarta:
Erlangga.
Kaplan, R.S, dan David P.N., 2001., The Strategy-Focused
Organization: How Balanced Scorecard Companies
Thrive in the New Business Environment.,
Massachusetts: Harvard Business School Press.
Kandula, S. R., 2006., Performance Management., New
Delhi: Prentice Hall of India private limited.
Kreitner, Robert & Angelo Kinicki, 2004. “Organizational
Behaviour”. Sixth Edition McGraw-Hill Irwin.
Koesmono, Teman H. 2005, Pengaruh Budaya Organisasi,
Terhadap Motivasi dan Kepuasan Kerja Serta Kinerja
| 10 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015
Koentjaraningrat., 2003., Kamus Antropologi., Jakarta.,
Progres.
Luthans E.A., 1998, Organizational Behavior,
Sixth Edition, Singapore: McGraw Hill
Book Co.
Magee, K. C., 2002., The impact of organizational culture
on the
implementation of performance management (Doctoral dissertation).,
Available
from Dissertations and Theses database (UMI
No.3047909).
Mondy, R.W., Noe, R.M., Premeaux, S.R.,(1993), Human
Resource Management (5rd ed.), Massachusetts,
Allyn and Bacon.
Murphy, K. R., & Cleveland, J. N., 1995., Understanding
performance appraisal: Social organizational
and goal based perspectives. Thousand
Oaks: Sage Publications.
Nasih, M., Peran Strategis Intellectual Capital Sebagai
Variabel Antara Pengaruh Financial Capital
Terhadap Kinerja Perusahaan, Jurnal., Fa ku lt as
Ekonomi Universitas Airlangga
Noe, R.A. (1996), “Is career management related to employee
development and performance”, Journal of Organizational Behavior, Vol. 17, pp. 119-33.
Ogbonna, E. & Harris, L., 2000., Leadership style, organizational culture and performance: Empirical evidence
from UK companies., International Journal of Human Resources Management,11(4), 766-788.
Purnomo, Hari Setiawan & Zulkieflimansyah, 1999,
Manajemen Strategi, Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, Jakarta.
Purwohandoko., Pengaruh Tangible Resources Perusahaan
Terhadap Kinerja Air Minum dalam Kemasan
(AMDK) di Wilayah Sidoarjo, Surabaya &
Pasuruan., Jurnal., Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya.
Rivai, V. & Sagala, E. J., 2009, Manajemen Sumber daya
Manusia Untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktik.
(Edisi II), PT Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Robbins, Stephen. P, 1996, Organizational Behaviour
Concept, Controversiest, Applications, Prentice Hall.
Inc, Englewoods Cliffs.
Robbins, Stephen. P, 2000, Perilaku Organisasi, PT
Prenhallindo, Jakarta.
Rousseau, D., 1991., Quantitative assessment of organizati onal culture. Group and Organizations
Studies, 15(4), 448-460.
Schein, Edgar.H, 1992, Organiztional Culture and Leadership, 2nd Edition, Jossey Bass Publisher, San
Fransisco.
Schuler, Randall S. dan Jackson, Susan E. (2003).
Manajemen Sumber Daya Manusia; menghadapi
Abad Ke-21. Edisi ke-Enam, Jakarta: Erlangga.
Siagian, S.P., 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Bumi Aksara, Jakarta.
Spencer, L. M dan Spencer, S. M., 1993, Competent at
Work. Model for Superior Performance. John Wiley
& Son, Inc. New York, Brisbane, Chichester,
Toronto, Singapore.
Stolovich, H.D and Keeps, E.J., 1992, Handbook of Human Performance Technology A. Comprehensive
Guide of Analysis and Solving Performance Problems in Organizations, Journey Bass Publisher, San
Fransisco.
Suprihanto, J., 2003, Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan dan
Pengembangan Karyawan. Yogyakarta: BPFEYogyakarta.
Tunggal Wijaya, Amien, (2001), Kamus Manajemen SDM
dan Perilaku Organisasi, Rineka Cipta, Jakarta.
Veithzal Rivai,M.B.A. 2004. Manajemen Sumber Daya
Manusia Untuk Perusahaan. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Wernerfelt, B., 1984., A resources-based view of the firm.,
Strategic Management Journal, 5 (2), 171-180
Wirawan, 2007, Budaya dan iklim organisasi, Salemba
Empat, Jakarta.
Yilmaz, C. & Ergun, E., (2008)., Organizational culture
and firm effectiveness: An examination of relative effects of culture traits and the balanced culture hypothesis in an emerging economy., Journal of World
Business,
43,
290–306
Vol. 4 No. 1 Juli 2015 | 11 |
| 12 | Vol. 4 No. 1 Juli 2015
Download