PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : Naomi Nasaria NIM: 109048000054 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H / 2014 M ABSTRAK NAOMI NASARIA. NIM 109048000054. Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh Otoritas Jasa Keuangan (Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. ix + 67 halaman + 4 halaman daftar pustaka + lampiran. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Thaun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Informasi didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Simpulan dari penelitian ini bahwa mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 adalah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang mendelegasikan kewenangannya dalam hal pengawasan tersebut kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang telah ditunjuk langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan, agar dapat membantu proses pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro tersebut. Kata Kunci : Lembaga Keuangan Mikro, Otoritas Jasa Keuangan, Kredit, Pemerintah Daerah. Pembimbing : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2012 iv KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw. Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik material dan immaterial, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta; 2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum; 3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku pembimbing skripsi penulis. Terima kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis; 4. Mama saya yang telah menemani saya saat begadang, Ayah, dan Adik terima kasih telah memberi bantuan dalam bentuk materiil, doa, dukungan, dan semuanya terus menerus tanpa lelah; 5. Sahabat-sahabat saya Mustika Nurul Fadhilah, S.Pd yang telah membantu saya menyelesaikan skripsi ini di detik-detik terakhir saat saya sedang kerepotan mengumpulkan data, Azlika Meutia Anggraini yang selalu mendukung saya, Novelita Evelyn yang setia mendukung saya juga, penulis sangat berterima kasih atas doa-doa kalian. v 6. Teman-teman dekat yang jadi menjadi pendengar keluh kesah penulis, temanteman seperjuangan kloter 4 proposal skripsi, teman-teman Hukum Bisnis, teman-teman Ilmu Hukum B, teman-teman UIN Jakarta, semuanya. Terima kasih sekali sudah mau diajak diskusi, diajak pusing, memberi semangat, direpotkan juga, membantu bermacam-macam. Maaf tidak bisa disebutkan satu persatu karena banyak teman-teman yang telah membantu dan direpotkan oleh penulis; 7. Pihak perpustakaan UI dan UIN Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari referensi; 8. Penulis artikel, skripsi, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam proses penulisan; 9. Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu, menyemangati, dan mendokan penulis. Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Jakarta, Januari 2014 Naomi Nasaria vi DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN................................................................................... iii ABSTRAK .............................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah............................................... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 5 D. Kerangka Konseptual .................................................................... 6 E. Kajian (Review) Studi Terdahulu .................................................. 9 F. Metode Penelitian .......................................................................... 10 G. Sistematika Penulisan .................................................................... 14 BAB II KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian ................................... 16 B. Bentuk-bentuk Pengawasan ........................................................... 24 C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro .......................................... 30 D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro ................................ 33 BAB III FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan .................................................... 38 B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan ............................................... 40 C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan .................................. 41 D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan ............................. 43 vii E. Dewan Komisoner Otoritas Jasa Keuangan .................................. 48 BAB IV PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN A. Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 2013 .................................................................................... 51 B. Sinergi Antara Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ........................................... 54 C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan ............................. 57 D. Analisa ........................................................................................... 62 BAB V Penutup A. Kesimpulan .................................................................................... 65 B. Saran .............................................................................................. 66 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 68 LAMPIRAN viii DAFTAR LAMPIRAN 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ix PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 2013) A. Latar Belakang Masalah Perekonomian adalah suatu hal yang sangat penting dalam suatu Negara karena perekonomian menjadi tolak ukur kesuksesan suatu Negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Dalam kegiatan perekonomian tersebut sangat dibutuhkan peran aktif yang baik tidak hanya dari Negara melainkan juga oleh masyarakat.Peran Negara dalam hal perekonomian untuk mensejahterakan masyarakat dapat dilakukan baik secara makro ekonomi maupun mikro ekonomi, seperti menjaga kelancaran sistem keuangan, menjaga sistem moneter, menyalurkan kredit kepada rakyat seperti KUR, KPR, dan lain sebagainya. Selain Negara, masyarakat pada umumnya memiliki andil yang cukup besar pula dalam perekonomian suatu Negara. Tidak jauh berbeda dengan Negara, andil masyarakat dalam bidang perekonomian dapat mencakup aspek makro dan mikro ekonomi, seperti mendirikan perusahaan-perusahaan swasta, membuat lapangan pekerjaan sendiri atau wiraswasta, memberikan pinjaman bagi masyarakat lain sebagai modal untuk melakukan usaha, dan lain-lain. Pembahasan mengenai ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan uang sebagai salah satu bentuk modal. Salah satu cara bagi masyarakat luas dalam memperoleh dana adalah melalui pembiayaan atau kredit. Kredit menurut 1 2 pasal 1 angka 11 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga; Selama ini kita mengenal beberapa lembaga-lembaga baik Internasional maupun Nasional untuk memberikan kemudahan bagi Negara maupun masyarakat dalam memperoleh dana-dana segar demi kelancaran kegiatan suatu perekonmian. Dalam lingkup Internasional, lembaga tersebut dapat berupa World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan lain-lain yang secara aktif memberikan pinjaman-pinjaman bagi negara untuk melakukan pembangunan agar terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Di dalam negeri, lembaga-lembaga yang juga aktif untuk memberikan suntikan dana-dana tersebut salah satunya adalah bank dimana masyarakat yang melakukan peminjaman atas dana-dana tersebut didominasi oleh para pengusaha dan masyarakat menegah keatas yang telah berorientasi pada bisnis yang cakupannya skala nasional dan internasional. Masyarakat dengan perekonomian menegah kebawah acap kali kurang merasakan manfaat dari keberadaan bank yang memiliki fungsi intermediasi untuk menyalurkan dana dalam bentuk kredit, mengingat dalam penyaluran kredit tersebut cukup memiliki persyaratan yang rumit, harus adanya agunan, dan bunga pertahun yang cukup tinggi.hal tersebut secara alami 3 melahirkan lembaga-lembaga yang dapat menyusur masyarakat dengan perekonomian menengah kebawah. Lembaga tersebut dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Keberadaan LKM terus berjalan tanpa adanya regulasi yang mengatur lembaga-lembaga tersebut. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penipuan-penipuan maupun tindakan kejahatan lain yang dilakukan oleh LKM sehingga menurut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu dibuat aturan yang secara khusus mengenai LKM agar dapat memberikan perlindungan baik itu LKM itu sendiri maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang menggunakan jasa LKM tersebut. Proses legislasi di DPR untuk menggodok Rancangan UndangUndang mengenai LKM hingga akhirnya DPR bersama dengan pemerintah sepakat untuk mensyahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro pada hari selasa tanggal 11 Desember 20121. Dalam pasal 28 Undang-Undang No 1 Tahun 2013 dinyatakan bahwa LKM akan diatur dan diawasi oleh OJK. Namun dalam ayat (3) pasal 28 tersebut dinyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK didelegasikan kepada Pemerintah Daerah. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Pengawasan pada Lembaga Keuangan Mikro 1 UU LKM Disahkan, OJK Jadi pengatur dan Pengawas. Dikases pada 26 Februari 2013 dari http://bisnismanajemen.co.id/2012/12/uu-lkm-disahkan-ojk-jadi-pengatur-dan-pengawas/ 4 dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OJK (Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 2013)” B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan lembaga keuangan yang diatur dalam Undang-Undang LKM ini, maka penelitian ini difokuskan hanya pada masalah mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan dan kesesuaian pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013? b. Apakah terjadi sinergi antara ketentuan pengawasan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011? 5 c. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan: a. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang No 1 tahun 2013. b. Untuk mengetahui adanya sinergi antara ketentuan pengawasan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dibidang hukum lembaga keuangan mikro khususnya di bidang pengawasan terhadap lembaga keuangan mikro tersebut. b. Manfaat Praktis 6 1. Masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang mendukung berjalannya pengawasan pada lembaga keuangan mikro. 2. Dapat dimanfaatkan oleh para pelaku lembaga keuangan mikro agar dapat menjalankan lembaga keuangan tersebut dengan baik. 3. Adanya pengawasan yang baik dalam lembaga keuiangan mikro maka masyarakat yang menggunakan jasa lembaga keuangan mikro dapat merasakan manfaatnya. D. KERANGKA KONSEPTUAL Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Kredit Kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur.2 2. Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 adalah lembaga yang independen yang bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang 2 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Djambatan, 1996), h. 44. 7 pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3. IMF International Monetary Fund (IMF) lahir bersamaan dengan kelahiran Bank Dunia. IMF atau dana keuangan internasional lahir setelah konferensi di Bretton Woods Amerika Serikat3. Kegiatan IMF diutamakan untuk membantu negara-negara anggotanya melalui Bank Sentral masing-masing anggota IMF.4 4. Pemerintah Daerah Dalam Pasal 18 UUD 1945 dikatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan undang-undang , dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 5 Untuk membentuk susunan pemerintahan daerah-daerah itu, pemerintah bersama-sama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang dilaksanakan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1974. Undangundang itu mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintah daerah 3 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet-VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 331 4 Ibid, h. 333 5 C.S.T.Kansil, Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah,Cet-III (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 2 8 otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintahan pusat di daerah. Selain itu, diatur juga pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas deswentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas perbantuan.6 5. Lembaga Keuangan Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan aset nonfinansial atau set riil.7 6. Pembiayaan Pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil.8 7. Lembaga Keuangan Mikro Lembaga keuangan mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.9 6 Ibid, h. 3 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h. 5 8 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 92 9 Rudjito, “Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna menggerakkan Ekonomi Rakyat dan Mennaggulangi Kemiskinan: Studi Kasus: Bank Rakyat Indonesia (BRI)”, artikel ini diakses dari www.indonesiaindonesia.com pada tanggal 02 Februari 2013 7 9 E. Kajian (Review) Studi Terdahulu Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan penelitian terhadap studi review terdahulu dimana untuk mendapatkan dan mengetahui perbedaan penelitian sebelumnya dengan yang penulis lakukan .review studi pertama yang digunakan adalah skripsi yang berjudul “Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan” yang disusun oleh Afika Yumya Syahmi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 200810. Skripsi ini membahas mengenai pentingnya pengawasan perbankan di Indonesia oleh lembaga Otoritas jasa Keuangan (OJK). Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan memang seputar mengenai lembaga OJK namun peran dan fungsi pengawasan OJK tersebut pada lembaga keuangan mikro sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang No 1 Tahun 2013. Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul “Efektifitas Linkage Program Bank Syariah Mandiri Dalam Penguatan Pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro” yang disusun oleh Siti Maesaroh, Fakultas Syariah dan 10 Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008). 10 Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta11. Skripsi ini membahas mengenai penerapan program linpage untuk meningkatkan laba, asset, modal, dan jumlah nasabah pada lembaga keuangan mikro selain itu membahas mengenai kinerja lembaga keuangan mikro baik sebelum dan sesudah menggunakan program linkage dengan menggunakan perhitungan CAMEL. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah pada skripsi tersebut lebih menekankan pada aspek-aspek ekonomi pada lembaga keuangan mikro dengan menggunakan program linkpage, sedangkan yang akan dilakukan penulis melakukan penekanan pada pengawasan lembaga keuangan mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013. Adapun buku rujukan yang menjadi salah satu bahan studi terdahulu yaitu Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro oleh Mohammad Iqbal yang diterbitkan oleh Elex Media dengan tanggal terbit 6 Juni 2006. F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; 11 Siti Maesaroh, Efektifitas Linkage Program Bank Syariah Mandiri Dalam Penguatan Pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008). 11 sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.12 Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.13 Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.14 2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach).Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif bagi 12 terselenggaranya pengawasan bagi lembaga keuangan Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42. 13 Ibid 14 Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18. 12 mikro.Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep tentang pengawasan lembaga keuangan mikro sehingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang bermakna ganda.Pendekatan historis dilakukan untuk mengetahui sejarah pembentukan Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. 3. Bahan Hukum a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim15. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah UndangUndang No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, UndangUndang No 21 Tahun 2011 tentang OJK, Naskah Akademik Pembentukan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, dan Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan. b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan.16 15 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. cet.VI (Jakarta : kencana, 2010), h. 141. Ibid 16 13 c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.17 4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Dari ketiga bahan hukum tersebut, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan.“Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi”18.Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan mengenai pengawasalan lembaga keuangan mikro oleh OJK. 17 Ibid. h. 143 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II,(Malang : Bayumedia Publishing. 2006), h. 393 18 14 G. SISTEMATIKA PENELITIAN Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, memuat: Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian (Review) Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II Kerangka Teoritis, pada bab ini akan diuraikan mengenai Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian, Bentuk-bentuk Pengawasan, Pengertian Lembaga Keuangan Mikro, Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro. BAB III Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaga Keuangan Mikro. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejarah OJK, Pengertian OJK, Tujuan dan Fungsi OJK, Tugas dan Wewenang OJK, Dewan Komisioner OJK. BAB IV Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh OJK. Dalam bab ini akan dibahas mengenai Mekanisme pengawasan LKM oleh OJK menurut UU No 1 Tahun 2013, Kesinergian antara ketentuan pengawasan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 15 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu. BAB II KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian Dalam Kamus Bahasa Indonesia istilah pengawasan berasal dari kata awas yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi 1. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa hasil dari suatu pengawasan harus sesuai berdasarkan kenyataan yang terjadi dari apa yang telah diawasi. Sebagai bahan perbandingan, penulis mengambil beberapa pendapat menurut para sarjana di bawah ini diantaranya menurut Prayudi, pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan2. Dilain pihak Sarwoto mengatakan, pengawasan adalah kegiatan manager yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki3. Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat 1 Sarwoto. Dasar-dasar Organisasi Dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.93 Prayudi, Hukum Administrasi Negara, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.80 3 Sujanto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1986) 2 h.13 16 17 mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan4. M. Manullang pun mengatakan bahwa pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan suatu pekerjaan yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula5. Menurut Harold Koonz, dkk, yang dikutip oleh John Salindeho juga mengatakan bahwa pengawasan adalah pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi pengawasan itu mengukur pelaksanaan dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatkan dimana ada penyimpangan yang negatif dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya rencana-rencana.6 Pengawasan menurut Sondang P. Siagian yaitu proses pengamatan dari pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan7. Menurut Terry dalam buku Sujanto menyatakan pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar 4 Saiful Anwar. (Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press : Jakarta,2004) , h.127 5 M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.18 6 John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen. (Sinar Grafika : Jakarta, 1998), h.39 7 Ulbert, Silalahi. (Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep, Teori, dan Dimensi. Bandung : Sinar Baru, 2002), h.175 18 hasilnya sesuai dengan rencana8. Menurut Dale dalam buku Winardi mengatakan bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan9. Sedangkan menurut Winardi sendiri, pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan.10 Sedangkan menurut Basu Swastha, pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatankegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan.11 Menurut Komaruddin, pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal untuk langkah perbaikan terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti.12 Lebih lanjut menurut Kadarman, pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang 8 Sujanto, Op.Cit, h.17 Winardi, Kepemimpinan Dalam Manajemen. (Rineka Cipta, Jakarta : 2000), h.224 10 Ibid, h.585 11 Kadarman, A.M dan Udaya, Jusuf. Pengantar Ilmu Manajemen. ( PT. Prenhallindo : Jakarta, 2001), h.159 12 Komaruddin. 1994. Ensiklopedia Manajemen. (Edisi Kesatu, Bumi Aksara : Jakarta, 1994), h.104 9 19 diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.13 Menurut Semito, pengawasan (controlling) adalah usaha untuk dapat mencegah kemungkinan-kemungkinan penyimpangan daripada rencana-rencana, instruksi-instruksi, saran-saran dan sebagainya yang telah ditetapkan14. Di lain pihak menurut Fayol dalam buku Sofyan Harahap mengemukakan bahwa pengawasan adalah upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut. Juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan agar dihindari kejadiannya di kemudian hari15. Lebih luas lagi pengertian pengawasan dikemukakan Situmorang dan Jusuf yang mengemukakan bahwa dikalangan ahli atau sarjana telah disamakan pengertian controlling ini dengan pengawasan. Jadi pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata “kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki kegiatan yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar. Kenyataan dalam praktek sehari-hari bahwa isitilah controlling itu sama dengan istilah pengawasan dan istilah pengawasan inipun telah mengandung pengertian luas, yakni tidak hanya sifat melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi tadi tetapi juga mengandung pengendalian dalam arti 13 Bayu Swastha. Azas-Azas Marketing. (Edisi 3, Liberty : Yogyakarta, 1996), h.216 A.N Semito. Manajemen Personalia. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1984), h.17 15 Sofyan Harahap. 2001. Sistem Pengawasan Manajemen. (Quantum : Jakarta, 2001), h.10 14 20 menggerakkan, memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan.16 Pengawasan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha sistematis dalam manajemen bisnis untuk membandingkan kinerja standar, rencana, atau tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah kinerja sejalan dengan standar tersebut dan untuk mengambil tindakan penyembuhan yang diperlukan untuk melihat bahwa sumber daya manusia digunakan dengan seefektif dan seefisien mungkin didalam mencapai tujuan. Dari definisi-definisi para sarjana yang telah disebutkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengawasan adalah suatu upaya untuk mengawasi, mengendalikan, dan menjaga suatu proses kinerja agar tetap berjalan sesuai rencana semula dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan adanya pengawasan maka kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghambat suatu proses kinerja dapat dihindari dan apabila terlanjur terjadi maka dapat diberikan solusi untuk memperbaikinya agar proses kinerja tersebut dapat kembali berjalan sesuai dengan rencana semula. Adapun maksud dari pengawasan yaitu untuk mencegah atau untuk memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, dan lainnya yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Karena pada dasarnya 16 M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir. Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah. (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994) h.19 21 maksud pengawasan bukan untuk mencari kesalahan terhadap orangnya, tetapi mencari kebenaran terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan dengan tujuan agar hasil pelaksanaan pekerjaan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Menurut Mc. Farland, pengawasan harus berpedoman terhadap hal-hal berikut:17 1). Rencana (planning) yang telah ditentukan. 2). Perintah (orders) terhadap pelaksanaan pekerjaan (performance). 3). Tujuan. 4). Kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya. Pengawasan pun memiliki beberapa tugas/fungsi sebagai berikut: 18 a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan wewenang dalam pelaksanaan pekerjaan. b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kelalaian, dan kelemahan, agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan. 17 Maringan Masry Simbolon. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 2004), h.61. 18 Ibid., h.62. 22 d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan. Disamping itu kita pun harus mengetahui prinsip-prinsip dari pengawasan yaitu:19 1. Pengawasan berorientasi kepada tujuan organisasi. 2. Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. 3. Pengawasan harus berorientasi terhadap kebenaran menurut peraturanperaturan yang berlaku (wetmatigheid), berorientasi terhadap kebenaran atas prosedur yang telah ditetapkan (rechmatigheid), dan berorientasi terhadap tujuan (manfaat) dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatigheid). 4. Pengawasan harus menjamin daya dan hasil guna pekerjaan. 5. Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif, teliti (accurate), dan tepat. 6. Pengawasan harus bersifat terus-menerus (continue). 7. Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik (feed back) terhadap perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan, perencanaan dan kebijaksanaan waktu yang akan datang. Pendelegasian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pemberian wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain. Kegiatan seseorang untuk 19 Ibid., h.69. 23 menugaskan stafnya/bawahannya untuk melaksanakan bagian dari tugas manajer yang bersangkutan dan pada waktu bersamaan memberikan kekuasaan kepada staf/bawahan tersebut, sehingga bawahan itu dapat melaksanakan tugas-tugas itu sebaik baiknya serta dapat mempertanggung jawabkan hal hal yang didelegasikan kepadanya. 20 Adapun menurut Sujak dalam bukunya yaitu Pendelegasian merupakan proses penugasan, wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan21. Robert Heller mendefinisikan pendelegasian sebagai mempercayakan pekerjaan pada orang lain akan tetapi tanggung jawab atas pekerjaan atau pekerjaan tersebut masih berada di tangan pendelegasi. Tony Atherton mendefinisikan pendelegasian pekerjaan sebagai mempercayakan wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang didefinisikan dengan jelas, dan disetujui di bawah pengawasan pendelegasi sambil tetap memegang seluruh tanggung jawab atas keberhasilan pekerjaan atau pekerjaan itu. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa : Pendelegasian ialah proses terorganisir dalam kerangka hidup organisasi/keorganisasian untuk secara langsung melibatkan sebanyak mungkin orang dan pribadi dalam pembuatan keputusan, pengarahan, dan pengerjaan kerja yang berkaitan dengan pemastian tugas. Pendelegasian ialah tindakan 20 21 M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.10 shvoong.com/social-sciences/education diakses pada tanggal 25 Januari 2014 24 memercayakan tugas (yang pasti dan jelas), kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban kepada bawahan secara individu dalam setiap posisi tugas. Pendelegasian dilakukan dengan cara membagi tugas, kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, serta pertanggungjawaban, yang ditetapkan dalam suatu penjabaran/deskripsi tugas formil dalam organisasi.22 B. Bentuk-bentuk Pengawasan a. Pengawasan dari Dalam Organisasi (Internal Control) Pengawasan dari dalam, berarti pengawasan yang dilakukan oleh aparat/unit pengawasan yang dibentuk dalam organisasi itu sendiri. Aparat/unit pengawasan ini bertindak atas nama pimpinan orgsanisasi. Aparat/unit pengawasan ini bertugas mengumpulkan segala data dan informasi yang diperlukan oleh organisasi. 23 Data-data tersebut yang sudah terkumpul akan digunakan oleh pimpinan untuk menilai kemajuan dan kemunduran dalam pelaksanaan pekerjaan. Keputusan-keputusan dari hasil pengawasan yang sudah dikeluarkan oleh pimpinan dapat digunakan dalam nilai kebijaksanaan pimpinan. Maka itu terkadang pimpinan perlu meninjau kembali keputusankeputusan tersebut yang sudah dikeluarkan. Pimpinan pun dapat melakukan 22 agus-krisdianto.weebly.com diakses pada tanggal 25 Januari 2014 Maringan Masry Simbolon. Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 2004), h.62 23 25 tindakan-tindakan perbaikan (korektif) terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya. b. Pengawasan Dari Luar Organisasi (External Control) Pengawasan eksternal (external control) berarti pengawasan yang dilakukan oleh aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu. Aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu adalah pengawasan yang bertindak atasn nama atasan pimpinan organisasi itu, atau bertindak atas nama pimpinan organisasi itu karena permintaannya, misalnya pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara. Terhadap suatu departemen, aparat pengawasan ini bertindak atas nama pemerintah/presiden melalui menteri keuangan. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, ialah pemeriksaan/pengawasan yang bertindak atas nama negara Republik Indonesia. 24 Pimpinan organisasi pun dapat meminta bantuan dari pihak luar organisasinya untuk melakukan pengawasan tersebut dengan maksud-maksud tertentu seperti untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar, mengetahui jumlah keuntungan, mengetahui efisiensi kerjanya, dan sebagainya. Pihak luar organisasi tersebut misalnya, akuntan swasta, perusahaan konsultan, dan lain sebagainya. 24 Ibid., h.63 26 c. Pengawasan Preventif Arti dari pengawasan preventif ialah pengawasan yang dilakukan sebelum rencana itu dilaksanakan. Maksud dari pengawasan preventif ini ialah untuk mencegah terjadinya kekeliruan/kesalahan dalam pelaksanaan. Dalam sistem pemeriksaan anggaran pengawasan preventif ini disebut preaudit. Adapun dalam pengawasan preventif ini dapat dilakukan hal-hal berikut.25 a. Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan sistem prosedur, hubungan, dan tata kerjanya. b. Membuat pedoman/manual sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. c. Menentukan kedudukan, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. d. Mengorganisasikan segala macam kegiatan, penempatan pegawai dan pembagian pekerjaannya. e. Menentukan sistem koordinasi, pelaporan, dan pemeriksaan. f. Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan. 25 Ibid., h.63 27 d. Pengawasan Represif Arti dari pengawasan represif ialah pengawasan yang dilakukan setelah adanya pelaksanaan pekerjaan. Maksud diadakannya pengawasan represif ialah untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam sistem pemeriksaan anggaran, pengawasan represif ini disebut post-audit. Adapun pengawasan represif ini dapat menggunakan sistem-sistem pengawasan sebagai berikut. 1) Sistem Komperatif a) Mempelajari laporan-laporan kemajuan (progress report) dari pelaksanaan pekerjaan, dibandingkan dengan jadwal rencana atau pelaksanaan. b) Membandingkan laporan-laporan hasil pelaksanaan pekerjaan dengan rencana yang telah diputuskan sebelumnya. c) Mengadakan analisis terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk faktor lingkungan yang mempengaruhinya. d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk para penanggung jawabnya. e) Mengambil keputusan penyempurnaannya. tata usaha perbaikannya atau 28 2) Sistem Verivikatif a) Menentukan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan prosedur pemeriksaan. b) Pemeriksaan tersebut harus dibuat laporan secara periodik atau secara khusus. c) Mempelajari laporan untuk mengetahui perkembangan dari hasil pelaksanaannya. d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk para penanggung jawabnya. e) Mengambil keputusan tata usaha perbaikannya atau penyempurnaannya. 3) Sistem Inspeksi Inspeksi dimaksudkan untuk mengecek kebenaran dari suatu laporan yang dibuat oleh para petugas pelaksanaannya. Dalam pemeriksaan di tempat (on the spot inspection), instruksi-instruksi diberikan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan pekerjaan. Inspeksi dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan terhadap kebijaksanaan pimpinan. Penjelasan-penjelasan ini merupakan kontak pribadi antara pimpinan/wakil pimpinan dengan cara petugas pelaksana di tempat, yang dapat 29 menimbulkan rasa kesetiakawanan (jiwa korps), rasa solidaritas, dan ketinggian moral. Untuk menjamin hasil yang objektif dalam inspeksi ini, kadang-kadang diperlukan penggantian jabatan (tour of duty) dalam periode tertentu. Penggantian jabatan ini dimaksudkan pula untuk lebih menyegarkan tugastugas inspeksi, karena tugas-tugas tersebut kecuali membosankan juga menjemukan. 4) Sistem Investigatif Sistem ini lebih menitikberatkan terhadap penyelidikan/penelitian yang lebih mendalam terhadap suatu masalah yang bersifat negatif. Penyelidikan/penelitian ini didasarkan atas suatu laporan yang masih bersifat hipotesis (anggapan). Laporan tersebut mungkin benar dan mudah salah. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih mendalam untuk dapat mengungkapkan hipotesis tersebut.26 Agar dapat memperoleh jawaban tersebut (yang benar) diperlukan pengumpulan data, menganalisis data atau mengolah data, dan penelitian atas data tersebut. Berdasarkan atas hasil penelitian/penyelidikan tersebut, kemudian segera diambil keputusannya. Yang perlu diperhatikan di sini 26 Ibid., h.65 30 adalah validitas data tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Data-data tersebut pun harus diperoleh dengan penuh ketelitian. C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro Pengertian Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 1 angka (1) yakni: “Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan”. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Menurut Microcredit Summit (1997) dalam buku Ashari, mengemukakan definisi kredit mikro yaitu “Programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families” atau “Program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan 31 keluarganya27. Sementara menurut Paket Kebijaksanaan (1993) dalam buku Totok Budisantoso menyatakan bahwa “Kredit untuk usaha kecil adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit maksimum 250 juta untuk membiayai usaha produktif”.28 “Sedangkan pengertian kredit untuk usaha mikro adalah “Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit sampai dengan 25 juta”. Meskipun terdapat perbedaan, tapi kedua pernyataan di atas mempunyai persamaan bahwa kredit mikro diberikan bagi pengusaha kecil dan mikro dengan plafon kredit yang berbeda untuk membiayai kegiatan usaha yang produktif. Usaha dikatakan produktif apabila usaha tersebut dapat memberikan nilai tambah dalam menghasilkan barang dan jasa serta pendapatan mereka. Kredit mikro ini disalurkan melalui lembaga keuangan yang umumnya disebut dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Mandala Manurung dan Prathama Rahardja menyatakan bahwa “Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan yang memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin serta para pengusaha kecil”.29 27 Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dan Kebijakan Pengembangannya. Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Volume 4 No.2, Juni 2006:h.146 28 Totok Budisantoso dan Triandaru Sigit. 2006. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta:Salemba Empat, h.121 29 Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja. 2004, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia), Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI, h.124 32 Sementara itu menurut ahli lain, “Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan”.30 Menurut Direktorat Pembiayaan, Deptan (2004) dinyatakan bahwa “Lembaga Keuangan Mikro dikembangkan berdasarkan semangat untuk membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin baik untuk kegiatan konsumtif maupun produktif keluarga miskin tersebut”31. Menurut Krishnamurti (2005), walaupun terdapat banyak definisi keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan 30 Sutanto Hadinoto, Joko Retnadi. Kredit Mikro, Kunci Sukses Kredit Mikro. (PT Gramedia : Jakarta,2005), h.72 31 Ashari, Op.Cit, h.148 33 mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.32 D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro Asas-asas Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 2 yaitu: LKM berasaskan: a. Keadilan; b. Kebersamaan; c. Kemandirian; d. Kemudahan; e. Keterbukaan; f. Pemerataan; g. Keberlanjutan; dan h. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. 32 catarts.wordpress.com diakses pada tanggal 19 Oktober 2013 34 Penjelasan asas-asas tersebut diatas: Huruf a Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pelayanan dari LKM. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa banyak bergantung kepada pihak lain, baik dari aspek sumber daya manusia maupun permodalan. Huruf d 35 Yang dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa prosedur pembiayaan dan penyimpanan dana dalam LKM dibuat seserdahana mungkin. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu kegiatan usaha yang proses pengelolaannya dapat diketahui oleh masyarakat. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah pemberian Pinjaman atau Pembiayaan yang menjangkau seluruh masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah suatu kegiatan pemberdayaan sekaligus mendayagunakan usaha dan layanan keuangan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.33 33 www.sjdih.depkeu.go.id diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 mikro untuk 36 Sedangkan tujuan Lembaga Keuangan Mikro menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 3 yaitu: LKM bertujuan untuk: a. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat; Dengan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat maka masyarakat yang menbutuhkan pembiayaan untuk usaha mikronya diharapkan dapat berjalan dengan baik. b. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat; Tujuan ini dapat mengurangi banyaknya pengangguran yang merajalela di masyarakat. Masyarakat dapat membuka usaha bahkan menciptakan lapangan kerja dari usaha kecil mereka tersebut. c. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. 37 Dengan berjalannya usaha mikro yang mereka bangun, maka pendapatan masyarakat miskin diharapkan lebih meningkat supaya masyarakat pun hidup sejahtera. BAB III FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan Awal mula tercetus pemikiran tentang lahirnya lembaga otoritas jasa keuangan adalah berkaca dari pengalaman krisis moneter yang terjadi pada 1997, krisis finansial global 2008, dan krisis yang menimpa zona Euro 2010, industri keuangan diprediksi akan mengalami kondisi sangat buruk. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dibutuhkan untuk menyelamatkan perekonomian. Besar kemungkinan krisis keuangan mengancam Indonesia.1 Pada akhir 2011, sebagai upaya reformasi sektor keuangan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian pada 22 November 2012, UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disahkan. Lembaga yang disebut independen ini akan berfungsi mulai 31 Desember 2012 dimana menggantikan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).2 1 2 Hamud M. Balfas. ( Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: PT.Tatanusa, 2012). h.7 Ibid., h.7 38 39 Kemudian di akhir tahun 2013, giliran fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia (BI) juga akan dialihkan ke OJK. Posisinya, OJK akan tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) bersama Kementerian Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). FKSSK merupakan protokol koordinasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.setelah diundangkannya undang-undang no.21 tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan (UU-OJK) terdapat perubahan besar terhadap landskap industri keuangan di Indonesia, hal ini karena berdasarkan UU-OJK pengaturan serta pengawasan industri jasa keuangan di Indonesia yang termasuk didalamnya pasar modal, perbankan dan lembaga keuangan mikro akan diawasi oleh lembaga otoritas jasa keuangan.3 Berdasarkan peraturan peralihan UU-OJK pasal 55 menyatakan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012 tugas, fungsi, dan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan keuangan di sektor pasar modal dan jasa keuangan non bank seperti perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari menteri keuangan dan badan pengawas pasar modal (BAPEPAM) dan lembaga keuangan (LK) ke otoritas jasa keuangan (OJK). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi kewenangan 3 Ibid., h.7 40 Bank Indonesia dalam pengaturan serta pengawasan jasa keuangan di bidang perbankan.4 B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan Pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 angka (1) yaitu: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.5 Dengan berlakunya undang-undang tersebut segala tugas sebagai regulator dan pengawas di sektor keuangan di ambil alih oleh lembaga otoritas jasa keuangan yang menggantikan kedudukan BAPEPAM-LK di sektor pasar modal dan bank Indonesia di sektor perbankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 undang-undang ini “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan“. Sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan pengaturan di sektor keuangan. Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah 4 5 Ibid., h.7 Ibid., h.8 41 karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. 6 C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK mempunyai tujuan yang sangat strategis dalam memastikan adanya transparansi, stabilitas serta dapat memberikan perlindungan kepentingan kepada konsumen dan masyarakat dalam industri jasa keuangan7. Dengan tujuan pembentukannya hal yang menjadi harapan dari masyarakat adalah menyangkut 6 7 Ibid., h.8 Hamud M.Balfas. (Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: PT.Tatanusa, 2012). h 10. 42 perlindungan konsumen dan masyarakat terkait transparansi dan stabilitas di sektor industri keuangan yang walaupun sebelumnya telah dijalankan dengan baik oleh BAPEPAM-LK. Karena perlindungan konsumen dalam industri jasa keuangan adalah salah satu hal yang sangat penting mengingat jasa keuangan bukan saja menyangkut hal kekayaan milik investor saja melainkan banyaknya jenis-jenis transaksi yang sangat rumit dan dalam banyak hal tidak dipahami oleh investor yang berinvestasi dalam jasa keuangan yang ditawakan. Selain itu di sektor keuangan juga rawan berpotensi terjadinya kejahatan yang dapat merugikan masyarakat secara luas dan pelakunya dapat membawa hasil kejahatan dengan cara yang sangat cepat. Selain itu Otoritas Jasa Keuangan juga dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Selain itu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap : 43 a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dengan adanya pasal tersebut mengartikan dengan jelas bahwa segala bentuk pengaturan dan pengawasan di sektor industri keuangan akan dilimpahkan kepada lembaga otoritas jasa keuangan selaku regulator di sektor industri jasa keuangan. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan Tugas Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 6 yaitu: OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Sedangkan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang: 44 a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur; 4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank; c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko; 2. tata kelola bank; 3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan 45 d. pemeriksaan bank. Diterangkan pula dalam Pasal 8 bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini; b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK; d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK; f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Lalu dalam Pasal 9 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimkasud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; 46 b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; e. melakukan penunjukkan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter; g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan h. memberikan dan/atau mencabut: 1. izin usaha; 2. izin orang perseorangan 3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar; 5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan; 7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. 47 Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas sebagai berikut: 1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;8 2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;9 3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;10 4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;11 5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;12 8 Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8 Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8 10 Ibid.,. h.8 11 Ibid., h.8 12 Ibid., h.8 9 48 6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan 7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.13 E. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 10 yaitu: (1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner. (2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial. (3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: a. seorang Ketua merangkap anggota; b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota; 13 Ibid., h.8 49 e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota; g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen; h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. (5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki hak suara yang sama. Berikut adalah anggota-anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yaitu: 1. Muliaman D. Hadad, PhD Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan 2. DR. Rahmat Waluyanto, MBA Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Ketua Komite Etik 3. Nelson Tampubolon, SE, MSM Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan 50 4. Ir. Nurhaida, MBA. Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal 5. DR. Firdaus Djaelani, MA Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank 6. DR. Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono, S.H., LLM Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang Membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen 7. Prof. Dr. Ilya Avianti, S.E., M.Si., Ak. CPA Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Ketua Dewan Audit 8. Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.Sc Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Ex-Officio Kementerian Keuangan, Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia 9. DR. Halim Alamsyah, SH, SE, MA Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Ex-Officio Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia BAB IV PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN A. Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 28 yaitu: (1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada pihak lain yang ditunjuk. (5) Ketentuan mengenai hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pihak lain yang 51 52 ditunjuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 31: “Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap LKM.” Dari pasal tersebut diatas maka mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan dan pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri melainkan mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk belum siap, maka OJK akan mendelegasikan pembinaan dan pengawasannya kepada pihak lain yang ditunjuk. Mengutip dari pernyataan Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo dalam rapat kerja RUU LKM di DPR pada hari Senin tanggal 5 Maret 2012, beliau mengungkapkan bahwa “Praktik LKM berkembang dengan sangat besar, untuk 53 melindungi kepentingan nasabah perlu pengawasan yang bisa didelegasikan oleh BI atau OJK ke Pemerintah Daerah”.1 Banyaknya LKM yang sudah beroperasi di masyarakat dengan perkiraan pemerintah sekitar 600.000 unit dengan 12 jenis yang berbeda, maka OJK sebagai pengawas mikroprudensial memerlukan bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menurut anggota Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti selepas acara peresmian Kantor OJK Regional 2 Wilayah Jabar di Bandung, Senin lalu pada tanggal 6 Januari 2014, beliau mengungkapkan bahwa “Pemda paling dekat dengan micro finance ini, industri kecil dan UKM. Jadi betul-betul oleh pemda itu diawasi langsung, oleh OJK disupervisi”2.Pendelegasian wewenang atas pembinaan dan pengawasan LKM oleh OJK kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota akan tetap dibawah kendali OJK dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap LKM. Opsi pendelegasian sebagian kewenangan OJK kepada pemda ini merupakan jalan kompromistis yang ditempuh pemerintah. Di ranah global, LKM disebut juga sebagai praktik shadow banking, pasalnya LKM bisa menghimpun dana masyarakat tetapi tidak berbentuk sebagai perbankan, melainkan lembaga seperti asuransi dan dana pensiun. Pada intinya, shadow banking adalah lembaga nonbank yang beroperasi layaknya perbankan, yakni menghimpun dana, memberi kredit dengan bunga yang tinggi namun dengan syarat 1 2 koran-indonesia.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 www.bisnis-jabar.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 54 yang lebih mudah untuk dipenuhi dibandingkan dengan syarat yang diwajibkan oleh perbankan. Praktik shadow banking ini dapat mengganggu stabilitas perekonomian di Indonesia, karena shadow banking memberikan kredit dengan bunga tinggi namun persyaratan yang diajukan cenderung lebih mudah, hal ini tentu saja menyebabkan potensi Non Performing Loan (NPL) dengan kata lain kredit macetnya tinggi. Oleh karena itu dengan adanya pendelegasian sebagian wewenang OJK kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pembinaan dan pengawasan terhadap LKM dapat membantu untuk mencegah praktik shadow banking tersebut. Upaya lainnya yang bersifat preventif adalah dengan adanya sanksi administratif maupun pidana. Pembinaan dan pengawasan ini diperlukan agar bantuan yang telah diberikan kepada masyarakat dapat menyempurnakan dan menyejahterakan juga memperbaiki ekonomi masyarakat. B. Sinergi Antara Ketentuan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Ketentuan pengawasan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro memiliki sinergi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Untuk mengetahui adanya sinergi antara pengawasan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 55 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka dapat dilihat dari uraian sebagai berikut. 1) Pembinaan, pengaturan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan3. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan seperti kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. 4 2) Pembinaan yang dilakukan sebagaimana menurut ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro bahwa Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerin Dalam Negeri5. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas 6. Dari dua pernyataan tersebut maka LKM dan OJK memiliki sinergi dalam menjalankan tugas mereka dalam hal pengawasan. 3) Pembinaan dan pengawasan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar membantu Otoritas 3 Jasa Keuangan dalam mengawasi Lembaga Keuangan Pasal 28 ayat (1), Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 5, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 5 Pasal 28 ayat (2), Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 6 Pasal 8 huruf (e), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 4 56 Mikro.7Sedangkan dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwaOtoritas Jasa Keuangan menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan, melakukan penunjukkan pengelola statuter, dan menetapkan penggunaan pengelola statuter.8 4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada pihak lain yang ditunjuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro kepada pihak lain yang ditunjuk.9 Sedangkan menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan bahwa OJK menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan, melakukan penunjukkan pengelola statuter, menetapkan penggunaan pengelola statuter.10 5) Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh OJK diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan11. Sedangkan dalam Undang-Undang 7 Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 9 huruf (a), (e), dan (f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 9 Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 10 Pasal 9 huruf (a), (e), (f) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 11 Pasal 28 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 8 57 Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwa OJK menetapkan pertauran pelaksanaan Undang-Undang ini.12 6) Dalam Undang-Undang LKM disebutkan bahwa dalam rangka pembinaan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro tersebut, Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Keuangan Mikro13. Sedangkan menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangandisebutkan bahwa dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.14 Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa adanya sinergi antara pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Uraian diatas menunjukkan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang LKM berkaitan atau saling dukung dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang OJK. Dengan adanya sinergi antara pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang- Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan maka mekanisme pengawasan tersebut diharapkan dapat berjalan sesuai rencana yang sudah ditetapkan agar tercapainya tujuan dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut. 12 Pasal 8 huruf (a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 14 Pasal 9 huruf (c) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 13 58 C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain adalah: 1. Man (Manusia) Man atau manusia dalam konteks ini mengacu pada pengawas yang bertugas dalam mengawasi Lembaga Keuangan Mikro tersebut. Peran pengawas dalam suatu pengawasan sangatlah berpengaruh dalam pencapaian tujuan akhir dari rencana atau perintah yang sudah ditetapkan. Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk membantu mengawasi Lembaga Keuangan tersebut harus memiliki independensi yang tinggi dalam mengawasi dan memberi laporan dari hasil pengawasannya kepada Otoritas Jasa Keuangan. Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh orang lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi dapat juga diartikan adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.15 Pengawas dalam suatu pengawasan harus profesional dalam menjalankan pekerjaannya agar mencapai hasil yang sesuai dengan rencana yang semula sudah ditetapkan. Profesionalisme dapat diukur dari kejujuran atau 15 Mulyadi. Auditing. (edisi kelima, Salemba Empat : Jakarta, 1998), h.52 59 independensi pengawas tersebut seperti yang sudah dijelaskan diatas. Selain kejujuran, hal lain yang termasuk dalam profesionalisme adalah kedisiplinan pengawas tersebut dalam menjalankan pekerjaannya seperti disiplin waktu, disiplin manajemen, dan lainnya. Disiplin waktu yang dimaksud adalah pengawas dalam menjalankan pekerjaannya harus tepat waktu sesuai dengan yang sudah direncanakan. Sedangkan disiplin manajemen ialah pengawas dalam menjalankan pekerjaannya harus sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan, harus patuh pada peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Apabila dalam proses pengawasan tersebut ada hal sekecil apapun yang kurang dari prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan, maka pengawas harus tetap mencari jalan keluar agar semua prosedur-prosedur dapat terpenuhi. 2. Mean (Alat) Mean atau alat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi berjalannya suatu pengawasan. Alat yang digunakan dalam pengawasan Lembaga Keuangan Mikro ini misalnya adalah komputer. Komputer-komputer yang digunakan harus sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan, seperti software-software yang digunakannya harus memadai. Komputer-komputer yang digunakan harus dikontrol misalnya dalam jangka waktu sekali dalam satu bulan untuk menghindari malfungsi yang kemungkinan dapat terjadi dalam melakukan proses kinerja pengawasan 60 tersebut. Penggunaan alat tersebut juga harus dengan baik agar komputerkomputer tersebut tidak mudah rusak atau mengalami kendala-kendala lainnya yang dapat terjadi. Alat dalam menjalankan pengawasan sangat berguna untuk menyimpan data-data yang yang dibutuhkan dalam menjalankan pengawasan tersebut. Selain komputer, alat-alat lain yang digunakan dalam menjalankan pengawasan misalnya yaitu pena, pensil, buku catatan atau agenda, penghapus, dan lain sebagainya. Pengawas dalam menjalankan pengawasan tersebut harus menyediakan alat-alat tersebut untuk mencatat sementara atau mendata laporan-laporan yang diperlukan dari hasil pengawasan tersebut. 3. Material (Objek) Material atau objek yang dimaksud disini adalah Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengawasan tersebut dapat dilihat dari bagaimana lembaga ini beroperasi. Dalam beroperasi, Lembaga Keuangan Mikro ini harus sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undangnya. Lembaga Keuangan Mikro dalam menjalankan organisasi tersebut harus dapat mencapai tujuan yang sudah direncanakan semula yaitu salah satunya adalah menyejahterakan masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah. 61 Untuk mencapai tujuan tersebut maka Lembaga Keuangan Mikro harus sungguh-sungguh dalam beroperasi seperti memberikan pinjaman-pinjaman dengan skala mikro untuk masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat yang ingin meminjam dana dari Lembaga Keuangan Mikro harus melewati prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Lembaga Keuangan Mikro tersebut agar dapat menghindari penyelewengan dana yang kemungkinan dapat terjadi. Untuk itu dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dari Lembaga Keuangan Mikro dalam menjalankan kegiatannya tersebut. 4. Milieu (Lingkungan) Milieu atau lingkungan juga berpengaruh pada proses kinerja pengawasan. Pada konteks pengawasan Lembaga Keuangan Mikro ini, lingkungan yang dimaksud adalah daerah-daerah yang menjadi lahan Lembaga Keuangan Mikro tersebut beroperasi. Lembaga Keuangan Mikro sudah banyak terdapat di daerah-daerah seperti Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan lain sebagainya. Lingkungan yang ada dalam setiap daerah akan berbeda-beda dengan daerah lainnya, misalnya lingkungan yang terdapat di Jakarta akan berbeda dengan lingkungan di Jawa Barat. Contoh dari lingkungan yang dimaksud dapat mengacu pada kebersihan daerah tersebut dalam menjalankan usaha mikro mereka. Lingkungan yang bersih akan menjadi lingkungan yang sehat dan nyaman untuk masyarakat yang sedang menjalankan usahanya maupun untuk para pengawas yang mengawasi kegiatan Lembaga Keuangan Mikro tersebut. 62 Kegiatan masyarakat yang menjalankan usahanya maupun pengawas yang melakukan pengawasan pun tidak terganggu sehingga dapat berjalan lancar. 5. Management (Pengelolaan) Pengelolaan juga merupakan faktor yang berpengaruh pada pengawasan. Yang dimaksud dari pengelolaan dalam konteks ini adalah pengelolaan yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Mikro tersebut dalam mengelola dana yang diberikan kepada masyarakat yang meminjam dana pinjaman tersebut. Lembaga Keuangan Mikro harus dapat mengelola dana yang diberi kepada masyarakat yang meminjam agar dana yang dipinja tersebut dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengembangkan usaha mikro yang mereka jalankan. Pengelolaan yang benar dapat menghindari penyelewengan dana yang mungkin terjadi diantara masyarakat yang meminjam dana tersebut. Masyarakat harus dapat menggunakan dana pinjaman tersebut agar mereka pun dapat hidup sejahtera dan memperbaiki keadaan ekonomi mereka. D. Analisa Mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan dan pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri melainkan mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam 63 pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk belum siap, maka OJK akan mendelegasikan pembinaan dan pengawasannya kepada pihak lain yang ditunjuk. Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan memiliki sinergi yang dapat dilihat dari pasal-pasal terkait pengawasan tersebut. Uraian mengenai pasal-pasal pengawsan tersebut yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang LKM berkaitan atau saling dukung dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang OJK. Dengan adanya sinergi antara pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan maka mekanisme pengawasan tersebut diharapkan dapat berjalan sesuai rencana yang sudah ditetapkan agar tercapainya tujuan dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan ada 5 (lima) faktor yaitu Man(Manusia), Mean (alat), Material (Objek), Milieu (lingkungan), Management (pengelolaan). Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi berjalannya pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro, karena faktor-faktor tersebut lah yang akan berpengaruh pada tercapainya tujuan dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut. 64 Adapun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan pengawasan yaitu surah Al-Infithar ayat 11-12 bahwa apapun yang kita lakukan di dunia diawasi dan dicatat oleh malaikat-malaikat yang diutus oleh Allah SWT. Untuk itu dalam melakukan pengawasan, kita harus bersungguh-sungguh sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan tanpa adanya penyelewengan yang membawa dampak negatif pada hasil pekerjaan kita maupun yang merugikan orang lain. Artinya: Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu) (10); Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), (11); Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. al-Infithar: 10-12) Beberapa hadits Rasulullah Saw juga menganjurkan perlunya melaksanakan pengawasan atau evaluasi dalam setiap pekerjaan. Ajaran Islam sangat memperhatikan adanya bentuk pengawasan terhadap diri terlebih dahulu sebelum melakukan pengawasan terhadap orang lain. Hal ini antara lain berdasarkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut: Artinya: “Periksalah dirimu sebelum memeriksa orang lain. Lihatlah terlebih dahulu atas kerjamu sebelum melihat kerja orang lain.” (HR. Abi Syaibah: 34459). 16 Abi Syaibah, al-Kitâb Mushonnaf fi al-Ahâdîts wa al-Atsâr, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), Juz7. h.96. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan dan pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri melainkan mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk belum siap, maka OJK akan mendelegasikan pembinaan dan pengawasannya kepada pihak lain yang ditunjuk. 2. Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan memiliki sinergi yang dapat dilihat dari pasal-pasal terkait pengawasan tersebut. Uraian mengenai pasal-pasal pengawsan tersebut yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang LKM berkaitan atau saling dukung dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang OJK. Dengan adanya sinergi antara pengawasan Lembaga Keuangan Mikro 65 66 menurut Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan maka mekanisme pengawasan tersebut diharapkan dapat berjalan sesuai rencana yang sudah ditetapkan agar tercapainya tujuan dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan ada 5 (lima) faktor yaitu Man (Manusia), Mean (alat), Material (Objek), Milieu (lingkungan), Management (pengelolaan). Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi berjalannya pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro, karena faktor-faktor tersebut lah yang akan berpengaruh pada tercapainya tujuan dari Lembaga Keuangan Mikro tersebut. B. Saran-saran 1. Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai pengawas dari Lembaga Keuangan Mikro harus profesional dalam menjalankan pengawasan tersebut. 2. Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai pengawas dari Lembaga Keuangan Mikro harus jujur dalam menjalankan pengawasan tersebut tanpa ada tekanan dan pengaruh dari pihak lain yang dapat membawa dampak negatif. 3. Lembaga Keuangan Mikro sebelum memberikan dana pinjaman kepad masyarakat yang ingin meminjam, harus terjun langsung ke lapangan untuk 67 melihat keberadaan usaha mikro yang sedang dijalankan oleh calon peminjam dana tersebut. 4. Lembaga Keuangan Mikro dalam memberikan pinjaman kepada masyarakat yang ingin meminjam dana tersebut haruslah di edukasi terlebih dahulu agar dana yang dipinjamkan tidak disalahgunakan. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku: A.N Semito,Manajemen Personalia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984 Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan, Depok: Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2008 Ashari,Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dan Kebijakan Pengembangannya,Bogor: Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian,Volume 4 No.2, Juni 2006 Bayu Swastha,Azas-Azas Marketing, Yogyakarta: Liberty, 1996 C.S.T.Kansil, Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah, Cet-III,Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, 1996 Hamud M. Balfas,Hukum Pasar Modal Indonesia,Jakarta: PT.Tatanusa, 2012 Ibrahim, Johnny,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Cet-II,Malang : Bayumedia Publishing, 2006 John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen,Jakarta: Sinar Grafika, 1998 Kadarman, A.M dan Udaya, Jusuf,Pengantar Ilmu Manajemen,Jakarta: PT Prenhallindo, 2001 Kansil, C.S.T.danChristine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah,Cet-III (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 2 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet-VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal 331 Komaruddin,Ensiklopedia Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995 68 69 M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah,Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994 Maesaroh,Siti,Efektifitas Linkage Program Bank SyariahMandiriDalamPenguatanPembiayaanLembagaKeuanganMikro,Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008. Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia), Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 2004 Maringan Masry Simbolon,Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. cet.VI.Jakarta : kencana, 2010. Mulyadi,Auditing, Jakarta: Salemba Empat, 1998 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, cet.VI, Jakarta: kencana, 2010 Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981 Sarwoto,Dasar-dasar Organisasi Dan Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981 Saiful Anwar,Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Glora Madani Press,2004 Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004 SitiMaesaroh, Efektifitas Linkage Program Bank SyariahMandiriDalamPenguatanPembiayaanLembagaKeuanganMikro,Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986. Soekanto, Soerdjono dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986 70 Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum,Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979 Sofyan Harahap,Sistem Pengawasan Manajemen, Jakarta: Quantum, 2001 Sujanto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986 Supramono, Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, 1996. Sutanto Hadinoto, Joko Retnadi,Kredit Mikro, Kunci Sukses Kredit Mikro, Jakarta: PT Gramedia,2005 Syahmi, Afika Yumya, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan, Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008. Totok Budisantoso dan Triandaru Sigit, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta:Salemba Empat, 2006 Ulbert, Silalahi,Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep, Teori, dan Dimensi, Bandung : Sinar Baru, 2002 Winardi, Kepemimpinan Dalam Manajemen,Jakarta:Rineka Cipta, 2000 Undang-Undang: Undang-UndangNomor 21 Tahun 2011tentangOtoritasJasaKeuangan, LN No. 111 Tahun 2011, TLN No.5253 Undang-UndangNomor 1 Tahun 2013 tentangLembagaKeuanganMikro, LN No. 12 Tahun 2013, TLN No. 5394 Undang-UndangNo 10 Tahun 1998 TentangPerubahanAtasUndang-UndangNomor 7 Tahun 1992 tentangPerbankan, LN No. 182 Tahun 1998, TLN No.3790. Internet: 71 koran-indonesia.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 Rudjito, “Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna menggerakkan Ekonomi Rakyat dan Mennaggulangi Kemiskinan: Studi Kasus: Bank Rakyat Indonesia (BRI)”, artikel ini diaksesdariwww.indonesiaindonesia.comdiaksespada tanggal 02 Februari 2013 UU LKM Disahkan, OJK JadipengaturdanPengawas. Dikasespada 26 Februari 2013 darihttp://bisnismanajemen.co.id/2012/12/uu-lkm-disahkan-ojk-jadi-pengaturdan-pengawas/ www.bisnis-jabar.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 www.sjdih.depkeu.go.id diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 agus-krisdianto.weebly.com diakses pada tanggal 25 Januari 2014 shvoong.com/social-sciences/education diakses pada tanggal 25 Januari 2014 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel; Mengingat c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk UndangUndang tentang Otoritas Jasa Keuangan; : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank ... -2- Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini. 2. Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial. 3. Kepala Eksekutif adalah anggota Dewan Komisioner yang bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner. 4. Lembaga ... -3- 4. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 5. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah. 6. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal. 7. Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 8. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana pensiun. 9. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan. 10. Lembaga ... -4- 10. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. 11. Peraturan OJK adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 12. Peraturan Dewan Komisioner adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner dan mengikat di lingkungan internal OJK. 13. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 14. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai lembaga penjamin simpanan. 15. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 16. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia. 17. Gubernur Bank Indonesia adalah pemimpin merangkap anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. 18. Menteri ... -5- 18. Menteri Keuangan adalah menteri menyelenggarakan urusan pemerintahan di keuangan. yang bidang 19. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan adalah pemimpin merangkap anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan. 20. Ex-officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain. 21. Komite Etik adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. 22. Dewan Audit adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas OJK serta menyusun standar audit dan manajemen risiko OJK. 23. Panitia Seleksi adalah panitia yang dibentuk oleh Presiden yang bertugas untuk memilih dan menetapkan calon anggota Dewan Komisioner untuk disampaikan kepada Presiden. 24. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 25. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan adalah forum koordinasi yang dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota. BAB II PEMBENTUKAN, STATUS, DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 2 (1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK. (2) OJK ... -6- (2) OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 3 (1) OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) OJK dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan. BAB III TUJUAN, FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG Pasal 4 OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. b. c. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Pasal 5 OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pasal 6 ... -7- Pasal 6 OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Pasal 7 Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang: a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur; 4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank; c. pengaturan ... -8- c. d. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehatihatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko; 2. tata kelola bank; 3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank. Pasal 8 Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a. b. c. d. e. f. g. h. i. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini; menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; menetapkan peraturan dan keputusan OJK; menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK; menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Pasal 9 ... -9- Pasal 9 Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; e. melakukan penunjukan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter; g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan; dan h. memberikan dan/atau mencabut: yang 1. izin usaha; 2. izin orang perseorangan; 3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar; 5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan; 7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. BAB IV ... - 10 - BAB IV DEWAN KOMISIONER Bagian Kesatu Struktur Dewan Komisioner Pasal 10 (1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner. (2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial. (3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: a. seorang Ketua merangkap anggota; b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota; e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota; f. g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen; h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan. (5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki hak suara yang sama. Bagian ... - 11 - Bagian Kedua Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 11 (1) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden. (2) Pemilihan dan penentuan calon anggota Dewan Komisioner untuk diusulkan kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk dengan Keputusan Presiden: a. paling singkat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Dewan Komisioner; atau b. paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal kekosongan jabatan atau penetapan pemberhentian anggota Dewan Komisioner karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan/atau huruf j. (3) Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat. (4) Panitia Seleksi mengumumkan penerimaan calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditetapkannya Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja secara terus menerus. (6) Panitia Seleksi melakukan seleksi administratif terhadap calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (7) Panitia ... - 12 - (7) Panitia Seleksi mengumumkan nama calon yang telah lulus seleksi administratif untuk mendapatkan masukan dari masyarakat paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berakhirnya waktu pendaftaran calon sebagaimana dimaksud pada ayat (5). (8) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Panitia Seleksi dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diumumkan. (9) Panitia Seleksi melakukan penilaian dan pemilihan serta menyampaikan calon anggota Dewan Komisioner kepada Presiden sebanyak 3 (tiga) orang calon untuk setiap anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan, paling lama 12 (dua belas) hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8). Pasal 12 (1) Presiden memilih dan menyampaikan calon anggota Dewan Komisioner sebanyak 2 (dua) orang calon untuk setiap anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, paling lama 12 (dua belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya nama calon anggota Dewan Komisioner dari Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (9). (2) Dari calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengajukan sebanyak 2 (dua) orang calon anggota Dewan Komisioner untuk dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Ketua Dewan Komisioner. (3) Calon anggota Dewan Komisioner yang tidak terpilih menjadi Ketua Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diikutsertakan untuk dipilih sebagai anggota Dewan Komisioner oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Dewan ... - 13 - (4) Dewan Perwakilan Rakyat memilih calon anggota Dewan Komisioner sesuai dengan jumlah anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan, paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya namanama calon anggota Dewan Komisioner dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Calon anggota Dewan Komisioner terpilih disampaikan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden paling lama 5 (lima) hari kerja sejak selesainya proses pemilihan calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Presiden mengangkat dan menetapkan calon terpilih sebagai anggota Dewan Komisioner paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya nama calon anggota Dewan Komisioner terpilih dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 13 (1) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h diangkat dan ditetapkan Presiden berdasarkan usulan Gubernur Bank Indonesia. (2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf i diangkat dan ditetapkan Presiden berdasarkan usulan Menteri Keuangan. Pasal 14 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Komisioner diangkat dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (2) Pembagian tugas di antara anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b sampai dengan huruf g diputuskan berdasarkan rapat Dewan Komisioner dan ditetapkan dengan Keputusan Dewan Komisioner. (3) Anggota ... - 14 - (3) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pasal 15 Syarat calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g adalah sebagai berikut: a. b. c. d. warga negara Indonesia; memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik; cakap melakukan perbuatan hukum; tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit; e. sehat jasmani; f. berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat ditetapkan; g. mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan; dan h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih. Pasal 16 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Komisioner sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya di hadapan Mahkamah Agung. (2) Bunyi ... - 15 - (2) Bunyi lafal sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk menjadi Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Komisioner OJK langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Komisioner OJK dengan sebaikbaiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban tersebut”. “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”. Pasal 17 (1) Anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila memenuhi alasan sebagai berikut: a. b. c. d. meninggal dunia; mengundurkan diri; masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali; berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau diperkirakan secara medis tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut-turut; e. tidak ... - 16 - e. f. g. h. i. j. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h; tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada Kementerian Keuangan bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf i; memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya; melanggar kode etik; atau tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Dewan Komisioner kepada Presiden untuk mendapatkan penetapan. Bagian Ketiga Penggantian Antarwaktu Pasal 18 (1) Dalam hal anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g, diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan/atau huruf j, dilaksanakan penggantian anggota Dewan Komisioner antarwaktu sesuai dengan tata cara pemilihan anggota Dewan Komisioner sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Anggota ... - 17 - (2) Anggota Dewan Komisioner pengganti diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Dewan Komisioner yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melanjutkan sisa masa jabatan anggota Dewan Komisioner yang digantikan. (3) Penggantian anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota Dewan Komisioner yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun. Pasal 19 (1) Dalam hal Ketua Dewan Komisioner diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Wakil Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan wewenang Ketua Dewan Komisioner sampai dengan ditetapkannya Ketua Dewan Komisioner yang baru. (2) Dalam hal Wakil Ketua Dewan Komisioner diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan wewenang Wakil Ketua Dewan Komisioner sampai dengan ditetapkannya Wakil Ketua Dewan Komisioner yang baru. (3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Dewan Komisioner diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), berdasarkan kesepakatan Dewan Komisioner, salah satu anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf c sampai dengan huruf g bertindak sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan wewenang Ketua dan/atau Wakil Ketua Dewan Komisioner sampai dengan ditetapkannya Ketua dan/atau Wakil Ketua Dewan Komisioner yang baru. (4) Dalam ... - 18 - (4) Dalam hal anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf c sampai dengan huruf g diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), berdasarkan kesepakatan Dewan Komisioner, salah satu anggota Dewan Komisioner, kecuali anggota Dewan Komisioner Ex-officio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf h dan huruf i, bertindak sebagai pejabat sementara untuk melaksanakan tugas dan wewenang anggota Dewan Komisioner tersebut sampai dengan ditetapkannya anggota Dewan Komisioner yang baru. Bagian Keempat Tugas dan Wewenang Pasal 20 Tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan oleh Dewan Komisioner. Pasal 21 Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Dewan Komisioner menetapkan Peraturan OJK, Peraturan Dewan Komisioner, dan/atau Keputusan Dewan Komisioner. Bagian Kelima Larangan Pasal 22 Anggota Dewan Komisioner dilarang: a. memiliki benturan kepentingan Keuangan yang diawasi oleh OJK; di Lembaga Jasa b. menjadi ... - 19 - b. c. d. menjadi pengurus dari organisasi pelaku atau profesi di Lembaga Jasa Keuangan; menjadi pengurus partai politik; dan menduduki jabatan pada lembaga lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK dan/atau penugasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 (1) Antaranggota Dewan Komisioner dilarang mempunyai hubungan keluarga sampai derajat kedua dan semenda. (2) Jika antaranggota Dewan Komisioner terbukti memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), salah seorang di antara mereka wajib mengundurkan diri dari jabatannya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terbukti mempunyai hubungan keluarga. (3) Dalam hal tidak ada satu pun anggota Dewan Komisioner yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), semua anggota Dewan Komisioner yang mempunyai hubungan keluarga tersebut diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden. Bagian Keenam Rapat dan Pengambilan Keputusan Pasal 24 (1) Dewan Komisioner melaksanakan rapat Dewan Komisioner secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) minggu atau sewaktu-waktu berdasarkan permintaan salah satu anggota Dewan Komisioner. (2) Ketua Dewan Komisioner. Komisioner memimpin rapat Dewan (3) Dalam ... - 20 - (3) Dalam hal Ketua Dewan Komisioner berhalangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin rapat Dewan Komisioner. (4) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berhalangan, berdasarkan kesepakatan anggota Dewan Komisioner, salah satu anggota Dewan Komisioner ditunjuk untuk memimpin rapat Dewan Komisioner. (5) Rapat Dewan Komisioner dinyatakan sah apabila dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota Dewan Komisioner. (6) Pengambilan keputusan Dewan Komisioner dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat. (7) Dalam hal musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai, keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. (8) Setiap rapat Dewan Komisioner dibuat risalah rapat yang ditandatangani oleh semua anggota Dewan Komisioner yang hadir. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan rapat Dewan Komisioner diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. Bagian Ketujuh Lain-lain Pasal 25 (1) Dewan Komisioner mewakili OJK di dalam dan di luar pengadilan. (2) Dewan Komisioner dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada satu atau lebih anggota Dewan Komisioner, dan/atau kepada pejabat OJK atau pihak lain untuk mewakili OJK yang khusus dikuasakan untuk itu. (3) Ketentuan ... - 21 - (3) Ketentuan mengenai tata cara penugasan dan pemberian kuasa kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. BAB V ORGANISASI DAN KEPEGAWAIAN Pasal 26 (1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, Dewan Komisioner membentuk organisasi. (2) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, Dewan Komisioner membentuk organ pendukung yang mencakup sekretariat, Dewan Audit, Komite Etik, dan organ lainnya sesuai dengan kebutuhan. (3) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, Dewan Komisioner dapat mengangkat staf ahli. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja OJK diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. Pasal 27 (1) Dewan Komisioner mengangkat dan memberhentikan pejabat dan pegawai OJK. (2) OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepegawaian diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. BAB VI ... - 22 - BAB VI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN MASYARAKAT Pasal 28 Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang meliputi: a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; b. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Pasal 29 OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang meliputi: a. menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; b. membuat mekanisme pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; dan c. memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Pasal 30 ... - 23 - Pasal 30 (1) (2) Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi: a. memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan Konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud; b. mengajukan gugatan: 1. untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau 2. untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b angka 2 hanya digunakan untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan Konsumen dan masyarakat diatur dengan Peraturan OJK. BAB VII ... - 24 - BAB VII KODE ETIK DAN KERAHASIAAN INFORMASI Bagian Kesatu Kode Etik Pasal 32 (1) Dewan Komisioner menetapkan dan menegakkan kode etik OJK. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. Bagian Kedua Kerahasiaan Informasi Pasal 33 (1) Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat sebagai anggota Dewan Komisioner, pejabat atau pegawai OJK dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh Undang-Undang. (2) Setiap Orang yang bertindak untuk dan atas nama OJK, yang dipekerjakan di OJK, atau sebagai staf ahli di OJK, dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh Undang-Undang. (3) Setiap ... - 25 - (3) Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia, baik karena kedudukannya, profesinya, sebagai pihak yang diawasi, maupun hubungan apa pun dengan OJK, dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan OJK atau diwajibkan oleh Undang-Undang. (4) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerahasiaan, penggunaan, dan pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. BAB VIII RENCANA KERJA DAN ANGGARAN Pasal 34 (1) Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. Pasal 35 (1) Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya. (2) Anggaran ... - 26 - (2) Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi. (3) Untuk mendukung kegiatan operasional OJK, Pemerintah dapat melakukan penempatan dana awal ke OJK. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar biaya, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. Pasal 36 Untuk penetapan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), OJK terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 37 (1) OJK mengenakan pungutan kepada pihak melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. yang (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam ... - 27 - (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB IX PELAPORAN DAN AKUNTABILITAS Pasal 38 (1) OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan. (2) OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan. (3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan. (4) Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. (5) OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. (6) Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. (7) Untuk penyusunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Komisioner menetapkan standar dan kebijakan akuntansi OJK. (8) Laporan ... - 28 - (8) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (9) OJK wajib mengumumkan laporan tahunan OJK kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta tata cara, bentuk, dan susunan laporan yang diumumkan kepada publik diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner. BAB X HUBUNGAN KELEMBAGAAN Bagian Kesatu Koordinasi dan Kerja Sama Pasal 39 Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: a. b. c. d. e. kewajiban pemenuhan modal minimum bank; sistem informasi perbankan yang terpadu; kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan f. data ... - 29 - f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Pasal 40 (1) Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. (2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. (3) Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Pasal 41 (1) OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia. Pasal 42 ... - 30 - Pasal 42 Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK. Pasal 43 OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi. Bagian Kedua Protokol Koordinasi Pasal 44 (1) Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota terdiri atas: a. b. c. d. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator; Gubernur Bank Indonesia selaku anggota; Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota. (2) Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dibantu kesekretariatan yang dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kementerian Keuangan. (3) Pengambilan keputusan dalam rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (4) Dalam ... - 31 - (4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Pasal 45 (1) Dalam kondisi normal, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan: a. b. c. d. wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan; melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan; membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan melakukan pertukaran informasi. (2) Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. (3) Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan, dalam kondisi tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Forum ... - 32 - (4) Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. (5) Keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik mengikat Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 46 (1) Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat wajib ditetapkan dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Bagian Ketiga Hubungan Internasional Pasal 47 (1) OJK dapat melakukan kerja sama dengan otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya, antara lain pada bidang dan/atau kegiatan sebagai berikut: a. pengembangan kapasitas kelembagaan, antara lain pelatihan sumber daya manusia di bidang pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan; b. pertukaran... - 33 - b. pertukaran informasi; dan c. kerja sama dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan serta pencegahan kejahatan di sektor keuangan. (2) OJK dapat menjadi anggota organisasi pengawas jasa keuangan internasional. (3) Dalam hal persetujuan perjanjian internasional di sektor jasa keuangan menyangkut masalah hukum dan berdampak pada sistem keuangan nasional, OJK wajib mendapatkan konfirmasi dari Dewan Perwakilan Rakyat. (4) OJK dapat melakukan kerja sama dan memberikan bantuan dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan yang dilakukan oleh otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan negara lain berdasarkan permintaan tertulis. (5) Kerja sama dan pemberian bantuan dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan apabila: a. otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan negara lain tersebut telah memiliki perjanjian kerja sama timbal balik dengan OJK; dan b. pelaksanaan kerja sama dan pemberian bantuan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum. (6) Kerja sama dan pemberian bantuan dalam rangka penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan apabila: a. otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan negara lain tersebut telah memiliki perjanjian kerja sama timbal balik dengan OJK; dan b. pelaksanaan kerja sama dan pemberian bantuan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama timbal balik dalam masalah pidana. Pasal 48 ... - 34 - Pasal 48 Semua bentuk kerja sama internasional, termasuk di bidang pengaturan, pengawasan, dan penyidikan, wajib didasarkan pada prinsip timbal balik yang seimbang. BAB XI PENYIDIKAN Pasal 49 (1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dapat diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. b. c. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan; melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan; melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; d. memanggil ... - 35 - d. memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; e. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan; f. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan; g. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain, baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi; h. dalam keadaan tertentu meminta kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap orang yang diduga telah melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; i. meminta bantuan aparat penegak hukum lain; j. meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; k. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan; meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan l. tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan m. menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan. Pasal 50 ... - 36 - Pasal 50 (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan. (2) Jaksa wajib menindaklanjuti dan memutuskan tindak lanjut hasil penyidikan sesuai kewenangannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya hasil penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 51 (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil diharuskan bekerja sama dengan instansi terkait. BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 52 (1) Setiap orang perseorangan yang melanggar ketentuan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (2) Apabila pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan/atau ayat (3) dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar rupiah) dan/atau sebesar jumlah kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut. Pasal 53 ... - 37 - Pasal 53 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau Pasal 30 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (2) Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) atau paling banyak Rp45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar rupiah). Pasal 54 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d atau tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (2) Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, korporasi dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) atau paling banyak Rp45.000.000.000,00 (empat puluh lima miliar rupiah). BAB XIII ... - 38 - BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 55 (1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. (2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK. Pasal 56 (1) Paling lama 8 (delapan) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan, Presiden mengangkat dan menetapkan anggota Dewan Komisioner untuk pertama kali dengan susunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (3) sampai dengan ayat (9), Pasal 12 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan ayat (6), Pasal 13, dan Pasal 14. (2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. (3) Paling lama 60 (enam puluh) hari sejak UndangUndang ini diundangkan, Presiden membentuk Panitia Seleksi calon anggota Dewan Komisioner untuk pertama kali dengan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3). (4) Dewan ... - 39 - (4) Dewan Perwakilan Rakyat memilih calon anggota Dewan Komisioner sesuai dengan jumlah anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya nama-nama calon anggota Dewan Komisioner dari Presiden. (5) Calon anggota Dewan Komisioner terpilih disampaikan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya proses pemilihan calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 57 (1) Sejak Undang-Undang ini diundangkan sampai dengan ditetapkannya anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Kementerian Keuangan dibantu oleh Bank Indonesia menyiapkan: a. b. c. d. e. struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, rancang bangun infrastruktur dan teknologi informasi, sistem sumber daya manusia, dan standar prosedur operasional; rencana kerja dan anggaran untuk tahun anggaran 2013; pejabat dan pegawai OJK; pejabat dan pegawai organ pendukung Dewan Komisioner; dan hal lain yang diperlukan dalam rangka pengalihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor jasa keuangan dari Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. (2) Kementerian Keuangan menyampaikan hasil persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan Komisioner OJK untuk ditetapkan. Pasal 58 ... - 40 - Pasal 58 Paling lama 7 (tujuh) bulan sejak Undang-undang ini diundangkan, Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan masing-masing mengusulkan calon anggota Dewan Komisioner Ex-officio Bank Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (4) huruf h dan Ex-officio Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (4) huruf i kepada Presiden untuk diangkat dan ditetapkan sebagai anggota Dewan Komisioner. Pasal 59 Sejak diangkatnya anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) sampai dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Dewan Komisioner bertugas: a. menetapkan struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, rancang bangun infrastruktur dan teknologi informasi, sistem sumber daya manusia, dan standar prosedur operasional; b. menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK tahun anggaran 2013; c. mengangkat pejabat dan pegawai OJK; d. mengangkat pejabat dan pegawai organ pendukung Dewan Komisioner; dan e. menetapkan hal lain yang diperlukan dalam rangka pengalihan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor jasa keuangan dari Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. Pasal 60 ... - 41 - Pasal 60 (1) Paling lama 1 (satu) bulan sejak diangkatnya anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Dewan Komisioner membentuk tim transisi setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. (2) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia wajib mengusulkan kepada Dewan Komisioner orangorang yang menjadi anggota tim transisi paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat permintaan anggota tim transisi dari Dewan Komisioner. (3) Dewan Komisioner menetapkan anggota tim transisi berdasarkan usulan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Pasal 61 (1) Tim transisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) bertugas membantu kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, tim transisi berwenang untuk mengindentifikasi dan memverifikasi kekayaan, infrastruktur, informasi, dokumen, dan hal lain yang terkait dengan pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan dan mempersiapkan pengalihan penggunaannya ke OJK. (3) Tim transisi wajib melaporkan kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner OJK. (4) Menteri ... - 42 - (4) Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, tim transisi, atau pejabat dan pegawai di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia yang terkait dengan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan, wajib membantu kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (5) Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan/atau Ketua Dewan Komisioner OJK melaporkan perkembangan proses pengalihan fungsi, tugas, dan wewenang dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 62 Paling lama 2 (dua) bulan sejak diangkatnya anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Dewan Komisioner menetapkan struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, standar prosedur operasional, dan rancang bangun infrastruktur OJK. Pasal 63 (1) Paling singkat 3 (tiga) bulan sebelum beralihnya fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Ketua Dewan Komisioner menyampaikan permintaan secara tertulis usulan nama pejabat dan pegawai kepada Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan yang akan dialihkan atau dipekerjakan ke OJK. (2) Paling ... - 43 - (2) Paling singkat 2 (dua) bulan sebelum beralihnya fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan wajib mengusulkan nama pejabat dan pegawai Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, sesuai dengan permintaan Ketua Dewan Komisioner, untuk dialihkan atau dipekerjakan ke OJK. (3) Untuk memenuhi kebutuhan OJK, selain pejabat dan pegawai sebagaimana dimaksud ayat (2), Dewan Komisioner melakukan rekrutmen pejabat dan pegawai secara terbuka. (4) Paling singkat 1 (satu) bulan sebelum beralihnya fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Dewan Komisioner menetapkan pejabat dan pegawai yang diterima OJK. Pasal 64 (1) Terhitung sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55: a. pejabat dan/atau pegawai Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan b. pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dialihkan untuk dipekerjakan pada OJK. (2) Pejabat dan/atau pegawai yang dialihkan untuk dipekerjakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bekerja di OJK untuk jangka waktu paling singkat: a. 1 (satu) tahun bagi pejabat dan/atau pegawai yang berasal dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan b. 3 (tiga) ... - 44 - b. 3 (tiga) tahun bagi pejabat dan/atau pegawai yang berasal dari Bank Indonesia. (3) Pejabat dan/atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menetapkan pilihan status sebagai pejabat dan/atau pegawai OJK atau: a. sebagai pejabat dan/atau pegawai Kementerian Keuangan, paling lama 3 (tiga) bulan sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, bagi pejabat dan/atau pegawai yang berasal dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan b. sebagai pejabat dan/atau pegawai Bank Indonesia, paling lama 2 (dua) tahun sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, bagi pejabat dan/atau pegawai yang berasal dari Bank Indonesia. (4) Pejabat dan/atau pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pejabat dan/atau pegawai OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan hak sesuai dengan ketentuan OJK dengan tidak mengurangi hak pejabat dan/atau pegawai yang telah dimiliki sebelum dan selama pengalihan. Pasal 65 (1) Terhitung sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55: a. b. kekayaan dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan; dan kekayaan negara dan dokumen yang dimiliki dan/atau digunakan Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor ... - 45 - di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dapat digunakan oleh OJK. (2) Penggunaan kekayaan, kekayaan negara, dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan bersama atau keputusan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner yang ditetapkan paling singkat 1 (satu) bulan sebelum beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55. Pasal 66 (1) Sejak Undang-Undang ini diundangkan sampai dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55: a. Bank Indonesia tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; dan b. Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. (2) Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan laporan atas pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada OJK. (3) Pembiayaan yang terkait dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersumber dari: a. Bank ... - 46 - a. Bank Indonesia untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan; dan b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. (4) Pembiayaan rencana kerja dan anggaran OJK sejak Undang-Undang ini diundangkan sampai dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan ke OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, bersumber dari anggaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan dan/atau Bank Indonesia. Pasal 67 (1) Keputusan mengenai pemberian izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, dan persetujuan atau penetapan pembubaran, dan setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan sebelum beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dinyatakan tetap berlaku. (2) Permohonan ... - 47 - (2) Permohonan izin usaha, izin orang perseorangan, pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, dan persetujuan atau penetapan pembubaran, serta permohonan penetapan lainnya yang sedang dalam proses penyelesaian pada Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, penyelesaiannya dilanjutkan oleh OJK. Pasal 68 Sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, pemeriksaan dan/atau penyidikan yang sedang dilakukan oleh Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, penyelesaiannya dilanjutkan oleh OJK. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 69 (1) Fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam: a. Bank Indonesia Pasal 8 huruf c, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana ... - 48 - b. c. sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); Pasal 1 angka 15, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 46, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); beralih menjadi fungsi, tugas, dan wewenang OJK sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2). (2) Dengan ... - 49 - (2) Dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2), Lembaga Pengawas Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963), adalah OJK. (3) Sejak Undang-Undang ini diundangkan, fungsi, tugas, dan wewenang Komite Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963), dilaksanakan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. (4) Ketentuan ... - 50 - (4) Ketentuan mengenai protokol koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 berlaku sampai dengan diundangkannya undangundang mengenai jaring pengaman sistem keuangan. Pasal 70 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) dan peraturan pelaksanaannya; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) dan peraturan pelaksanaannya; 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477) dan peraturan pelaksanaannya; 4. Undang-Undang ... - 51 - 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) dan peraturan pelaksanaannya; 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) dan peraturan pelaksanaannya; 6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) dan peraturan pelaksanaannya; dan 7. peraturan perundang-undangan lainnya di sektor jasa keuangan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 71 Undang-Undang diundangkan. ini mulai berlaku pada tanggal Agar ... - 52 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 111. Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian, SETIO SAPTO NUGROHO SETIO SAPTO NUGROHO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN I. UMUM Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Program pembangunan ekonomi nasional juga harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, program pembangunan ekonomi nasional perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik yang secara terus menerus melakukan reformasi terhadap setiap komponen dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional. Fungsi intermediasi yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga jasa keuangan, dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Negara senantiasa memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan kegiatan sektor jasa keuangan tersebut, dengan mengupayakan terbentuknya kerangka peraturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komprehensif. Terjadinya ... -2Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Selain pertimbangan-pertimbangan terdahulu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang, juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut di atas pada hakikatnya merupakan lembaga bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah. Lembaga ini berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga ... -3- Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dalam Undang-Undang ini disebut Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsurunsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio ... -4Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Untuk mewujudkan koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan yang baik, Otoritas Jasa Keuangan harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan pemerintahan yang berinteraksi secara baik dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Independensi Otoritas Jasa Keuangan tercermin dalam kepemimpinan Otoritas Jasa Keuangan. Secara orang perseorangan, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan Otoritas Jasa Keuangan yang tepat, Undang-Undang ini mengatur mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan berlandaskan asas-asas sebagai berikut: tugas dan wewenangnya 1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; 3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum; 4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; 5. asas ... -55. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan; 6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan 7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, Otoritas Jasa Keuangan harus memiliki struktur dengan prinsip “checks and balances”. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan. Fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan dilakukan oleh Dewan Komisioner melalui pembagian tugas yang jelas demi pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Tugas anggota Dewan Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas, dan wewenang pengawasan untuk sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut maka dibentuk Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 ... -6Pasal 4 Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat” termasuk perlindungan terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas. Huruf b ... -7Huruf b Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan” adalah peraturan perundang-undangan mengenai Lembaga Jasa Keuangan dan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “perintah tertulis” adalah perintah secara tertulis untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan. Perintah tertulis diberikan antara lain untuk mengganti pengurus atau pihak tertentu di Lembaga Jasa Keuangan, menghentikan, membatasi, atau memperbaiki kegiatan usaha atau transaksi, menghentikan atau mengubah perjanjian antara Lembaga Jasa Keuangan dengan pihak lain yang diduga merugikan Konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan, serta menyampaikan informasi, dokumen, dan/atau laporan tertentu kepada OJK. Huruf g Yang dimaksud dengan “pengelola statuter” adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan kewenangan OJK. Pengelola statuter melaksanakan kewenangan OJK, antara lain, untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan, dan/atau pemberantasan kejahatan keuangan yang dilakukan pihak tertentu di sektor jasa keuangan. Langkah ... -8Langkah yang dilakukan pengelola statuter antara lain melalui penyelamatan kelangsungan usaha Lembaga Jasa Keuangan tertentu, pengambilalihan seluruh wewenang dan fungsi manajemen Lembaga Jasa Keuangan oleh pengelola statuter, pembatalan atau pengakhiran perjanjian, serta pengalihan portofolio kekayaan atau usaha dari Lembaga Jasa Keuangan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 10 ... -9Pasal 10 Ayat (1) Dewan Komisioner merupakan pimpinan tertinggi OJK. Dalam rangka pelaksanaan kerja sama dengan otoritas lembaga pengawas lembaga jasa keuangan di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya di sektor jasa keuangan, anggota Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat yang mewakili negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “bersifat kolektif” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan Dewan Komisioner diputuskan secara bersama-sama oleh anggota Dewan Komisioner. Yang dimaksud dengan “bersifat kolegial” adalah bahwa setiap pengambilan keputusan Dewan Komisioner berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan dan kekeluargaan di antara anggota Dewan Komisioner. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan. Huruf d Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal. Huruf e Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin ... - 10 memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (5) Setiap anggota Dewan Komisioner memiliki hak untuk memberikan pendapat dalam setiap proses pengambilan keputusan Dewan Komisioner, dan memiliki hak suara pada saat keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Pasal 11 Ayat (1) Dalam penyampaian calon anggota Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden menyampaikan nama-nama calon Dewan Komisioner. Yang dimaksud dengan Dewan Perwakilan Rakyat adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah akademisi di sektor jasa keuangan, masyarakat industri Perbankan, industri Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank yang meliputi Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Ayat (4) ... - 11 - Ayat (4) Di samping mengumumkan penerimaan calon anggota Dewan Komisioner, Panitia Seleksi secara aktif dapat mencari caloncalon yang memenuhi persyaratan dan keterwakilan sesuai dengan keahliannya dari sektor jasa keuangan yang diawasi OJK. Ayat (5) Pendaftaran calon anggota Dewan Komisioner dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “seleksi administratif” adalah seleksi terhadap calon anggota Dewan Komisioner sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Yang dimaksud dengan “3 (tiga) orang calon untuk setiap anggota Dewan Komisioner” adalah bahwa dalam pengajuan calon, Panitia Seleksi menyampaikan 3 (tiga) orang calon untuk setiap anggota Dewan Komisioner dengan kualifikasi keahlian dan pengalaman yang proporsional dalam industri jasa keuangan. Untuk 7 (tujuh) orang anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan, Panitia Seleksi mengajukan kepada Presiden sebanyak 21 (dua puluh satu) orang calon anggota Dewan Komisioner. Pasal 12 Ayat (1) Untuk 7 (tujuh) orang anggota Dewan Komisioner yang dibutuhkan, Presiden mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak 14 (empat belas) orang calon anggota Dewan Komisioner. Ayat (2) ... - 12 Ayat (2) Ketentuan ini hanya berlaku apabila terdapat kebutuhan untuk mengisi jabatan Ketua Dewan Komisioner. Ayat (3) Ketentuan ini hanya berlaku apabila terdapat kebutuhan untuk mengisi jabatan Ketua Dewan Komisioner dan paling sedikit 1 (satu) orang anggota Dewan Komisioner. Ayat (4) Dalam rangka memilih calon anggota Dewan Komisioner, Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta calon anggota Dewan Komisioner untuk melakukan presentasi dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat menyangkut visi, pengalaman, keahlian atau kemampuan, serta hal-hal yang berkaitan dengan moral dan akhlak anggota Dewan Komisioner. Yang dimaksud dengan “45 (empat puluh lima) hari kerja” tidak termasuk masa reses. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “selesainya proses pemilihan calon anggota Dewan Komisioner” adalah sejak ditetapkannya di rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik”, antara lain tidak pernah masuk dalam daftar orang tercela. Huruf c ... - 13 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Anggota Dewan Komisioner tidak terkendala oleh kondisi jasmani yang secara permanen menyebabkan yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan” adalah seseorang yang memiliki pengalaman, keilmuan, atau keahlian yang memadai di sektor jasa keuangan. Huruf h Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengunduran diri anggota Dewan Komisioner berlaku efektif sejak tanggal pengunduran diri tersebut disetujui oleh Presiden. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik. Pemberhentian ... - 14 Pemberhentian anggota Dewan Komisioner karena cacat fisik dan/atau cacat mental ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Yang dimaksud dengan “diperkirakan secara medis” adalah perkiraan secara medis yang dibuktikan dengan keterangan tertulis dari dokter yang menerangkan bahwa anggota Dewan Komisioner yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturutturut. Huruf e Yang dimaksud dengan “tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan" adalah tidak adanya alasan yang kuat yang menyebabkan anggota Dewan Komisioner diberhentikan. Alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, antara lain, sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang ditunjuk Dewan Komisioner, penugasan di luar kegiatan OJK oleh Presiden, atau kegiatan lain demi kepentingan negara. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “semenda” adalah pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami isteri dan keluarga sedarah dari pihak lain. Huruf i Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 ... - 15 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “sisa masa jabatan anggota Dewan Komisioner yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun” adalah sisa masa jabatan terhitung sejak tanggal penetapan pemberhentian anggota Dewan Komisioner. Pasal 19 Ayat (1) Wakil Ketua yang bertindak sebagai pejabat sementara Ketua Dewan Komisioner memiliki kewenangan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Dewan Komisioner, tetapi hanya memiliki 1 (satu) hak suara. Ayat (2) Ketua yang bertindak sebagai pejabat sementara Wakil Ketua Dewan Komisioner memiliki kewenangan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Dewan Komisioner, tetapi hanya memiliki 1 (satu) hak suara. Ayat (3) Anggota Dewan Komisioner yang bertindak sebagai pejabat sementara Ketua dan/atau Wakil Ketua Dewan Komisioner memiliki kewenangan sebagai anggota, Ketua, dan/atau Wakil Ketua Dewan Komisioner, tetapi hanya memiliki 1 (satu) hak suara. Ayat (4) Anggota Dewan Komisioner yang bertindak sebagai pejabat sementara dari anggota Dewan Komisioner yang kosong sebagaimana dimaksud ayat ini, memiliki kewenangan sebagai anggota Dewan Komisioner dan anggota Dewan Komisioner yang dijabat sementara, tetapi hanya memiliki 1 (satu) hak suara. Pasal 20 ... - 16 Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Huruf a Yang dimaksud dengan “dilarang memiliki benturan kepentingan di Lembaga Jasa Keuangan yang diawasi oleh OJK” adalah pada saat menjabat sebagai anggota Dewan Komisioner: 1) tidak menjadi pengurus atau yang setara dengan pengurus di Lembaga Jasa Keuangan, atau tidak lagi menjadi pengurus dengan cara mengundurkan diri secara tertulis sebagai pengurus; 2) tidak menjadi pengendali dan pengelola di Lembaga Jasa Keuangan; dan 3) tidak lagi menjadi pengendali di Lembaga Jasa Keuangan dengan cara melepaskan pengendalian dan pengelolaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Huruf b Apabila seseorang diangkat menjadi anggota Dewan Komisioner dan yang bersangkutan merupakan pengurus salah satu organisasi pelaku atau profesi di Lembaga Jasa Keuangan, yang bersangkutan wajib terlebih dahulu melepaskan jabatan kepengurusan pada organisasi pelaku atau profesi di Lembaga Jasa Keuangan tersebut sebelum ditetapkan menjadi anggota Dewan Komisioner. Huruf c Apabila seseorang diangkat menjadi anggota Dewan Komisioner dan yang bersangkutan merupakan pengurus salah satu partai politik, yang bersangkutan wajib terlebih dahulu melepaskan jabatan kepengurusan pada partai politik tersebut sebelum ditetapkan menjadi anggota Dewan Komisioner. Huruf d ... - 17 Huruf d Mengingat anggota Dewan Komisioner memiliki tugas yang sangat strategis dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, anggota Dewan Komisioner harus bertindak profesional dan loyal terhadap pelaksanaan tugasnya. Namun, berdasarkan keterkaitan tugas dan jabatannya anggota Dewan Komisioner dapat merangkap jabatan pada lembagalembaga tertentu, misalnya jabatan pada organisasi internasional. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal hubungan keluarga terjadi pada 2 (dua) orang atau lebih anggota Dewan Komisioner, hanya 1 (satu) orang yang dapat tetap menjabat sebagai anggota Dewan Komisioner. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) ... - 18 Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Risalah rapat paling sedikit memuat hari dan tanggal pelaksanaan rapat, pimpinan dan peserta rapat, agenda rapat, dan keputusan rapat. Dalam risalah rapat tersebut, dituangkan pendapat seluruh peserta rapat, baik yang menyatakan persetujuan, tidak memberikan persetujuan, atau tidak berpendapat terhadap materi yang diputuskan dalam rapat, disertai dengan alasannya. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dewan Komisioner yang ditunjuk mewakili OJK, antara lain dalam pelaksanaan kerja sama antarinstansi dan hubungan internasional. Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah badan, lembaga, institusi, atau orang, baik dari dalam maupun luar OJK. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “membentuk organisasi” termasuk membentuk lembaga tertentu untuk antara lain mendukung kegiatan, pengembangan dan pembinaan pegawai dan pensiunan. Untuk tujuan ini, OJK dapat bekerja sama dengan lembaga lain. Ayat (2) ... - 19 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “sekretariat” adalah organ di bawah Dewan Komisioner yang antara lain membidangi tugas umum, keuangan, sumber daya manusia, organisasi, serta hubungan masyarakat dan kelembagaan. Organ pendukung yang dibentuk oleh Dewan Komisioner diketuai atau dikoordinasikan oleh salah seorang anggota Dewan Komisioner berdasarkan rapat Dewan Komisioner. Yang dimaksud dengan “organ lain” antara lain komite remunerasi, komite manajemen risiko, serta komite teknologi informasi dan komunikasi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pejabat dan pegawai OJK” adalah pejabat dan pegawai baik tetap maupun dipekerjakan. Pejabat OJK merupakan pejabat struktural ataupun fungsional di lingkungan OJK antara lain deputi komisioner, direktur, dan pejabat di bawahnya. Ayat (2) Untuk mengefektifkan tugas dan wewenangnya, OJK dapat mempekerjakan pegawai negeri dari instansi lain atau dengan status lainnya. Pegawai negeri yang bekerja pada OJK dapat berstatus dipekerjakan atau status lainnya dalam rangka menunjang kewenangan OJK di bidang pemeriksaan, penyidikan, atau tugas-tugas yang bersifat khusus. Pegawai negeri tersebut antara lain berasal dari pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan/atau Pejabat Penyidik Kepolisian. Hak dan kewajiban pegawai negeri tersebut disetarakan dengan hak dan kewajiban pegawai OJK. Ayat (3) ... - 20 Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kepegawaian” mencakup antara lain pengangkatan, kepangkatan, jenjang karier, sistem remunerasi, pemberhentian, usia pensiun, tata cara mempekerjakan pegawai negeri, serta hak dan kewajiban lain pejabat dan pegawai OJK. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Dalam rangka penyelesaian pengaduan Konsumen, OJK dapat melakukan antara lain verifikasi dan pemeriksaan khusus atas pengaduan dimaksud. Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “itikad tidak baik” adalah itikad tidak baik berdasarkan penilaian OJK. Angka 2 Pengajuan gugatan dilakukan berdasarkan penilaian OJK bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan mengakibatkan kerugian materi bagi Konsumen, masyarakat, atau sektor jasa keuangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak yang dirugikan” adalah pihak Konsumen dan/atau industri jasa keuangan karena pelanggaran peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Ganti kerugian diberikan sesuai dengan nilai yang ditetapkan pihak yang berwenang. Pasal 31 ... - 21 Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Sejalan dengan praktik tata kelola yang baik, OJK merumuskan dan menerapkan kode etik. Kode etik antara lain memuat ketentuan mengenai larangan untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji dan ketentuan umum mengenai perilaku yang diharapkan dari anggota Dewan Komisioner, pejabat, dan pegawai OJK. Kode etik ini dievaluasi secara berkala. Pemberlakuan kode etik disesuaikan dengan tingkatan jabatan dan kewenangan dari setiap anggota Dewan Komisioner, pejabat, dan pegawai OJK. Pelanggaran kode etik terdiri atas 3 (tiga) kategori pelanggaran, yaitu pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan pelanggaran berat. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rahasia” adalah sesuatu yang menurut peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia karena kedudukannya misalnya, pejabat dari lembaga yang berkoordinasi atau bekerja sama dengan OJK. Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia karena profesinya misalnya, auditor, penilai, notaris, atau aktuaris di industri jasa keuangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) ... - 22 Ayat (5) Peraturan Dewan Komisioner mengenai kerahasiaan, penggunaan, dan pengungkapan informasi ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan” adalah Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Namun, pembiayaan OJK yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri, antara lain pada masa awal pembentukan OJK. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional” adalah kegiatan penyelenggaraan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, antara lain pengaturan, pengawasan, penegakan hukum, edukasi dan perlindungan konsumen. Yang ... - 23 Yang dimaksud dengan “kegiatan administratif” antara lain meliputi kegiatan perkantoran, remunerasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan organisasi dan sumber daya manusia. Yang dimaksud dengan “aset” adalah aset lancar dan aset nonlancar, antara lain persediaan, gedung, peralatan dan mesin, kendaraan, perlengkapan kantor, serta infrastruktur teknologi informasi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “standar yang wajar pada sektor jasa keuangan” adalah standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Yang dimaksud dengan “standar biaya umum” adalah standar biaya umum yang diberlakukan terhadap Kementerian dan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Yang dimaksud dengan “sistem remunerasi” antara lain sistem mengenai penghasilan, asuransi dan dana pensiun, tunjangan, pesangon, dan imbalan prestasi. Ayat (3) Dana awal berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang jumlah dan peruntukannya berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal ini adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 36 Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Pasal 37 ... - 24 Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pungutan” antara lain pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan. Yang dimaksud dengan “pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan” adalah Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) OJK menyiapkan rancangan Peraturan Pemerintah yang memuat antara lain tata cara penetapan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, dan sanksi denda. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan kegiatan yang disusun OJK antara lain memuat: a. pelaksanaan ... - 25 - a. pelaksanaan sebelumnya. tugas dan wewenangnya pada periode b. rencana kebijakan, penetapan sasaran dan langkah-langkah pelaksanaan tugas dan wewenang OJK untuk periode yang akan datang. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “penjelasan” adalah penjelasan terkait pelaksanaan tugas dan wewenang OJK. Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Penyampaian laporan OJK kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk menjelaskan pelaksanaan kegiatan dan kinerja OJK selama tahun berjalan. Ayat (7) Penyusunan standar dan kebijakan akuntansi oleh OJK dilakukan dengan memperhatikan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Dalam rangka menyusun laporan keuangan yang terkait dengan pembiayaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Dewan Komisioner harus memperhatikan peraturan perundang-undangan. Pasal 39 ... - 26 - Pasal 39 Tata cara koordinasi OJK dengan Bank Indonesia diatur bersama antara OJK dan Bank Indonesia. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha bank lainnya” antara lain adalah kartu kredit, kartu debit, dan internet banking. Huruf e Yang dimaksud dengan “systemically important bank” adalah suatu bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Huruf f Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Namun, dalam hal Bank Indonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential. Untuk ... - 27 - Untuk kelancaran kegiatan pemeriksaan oleh Bank Indonesia, pemberitahuan secara tertulis dimaksud paling sedikit memuat tujuan, ruang lingkup, jangka waktu, dan mekanisme pemeriksaan. Ayat (2) Penilaian terhadap kewenangan OJK. tingkat kesehatan bank merupakan Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “langkah-langkah sesuai kewenangan Bank Indonesia” adalah pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek dalam menjalankan fungsi Bank Indonesia sebagai lender of last resort. Dalam menjalankan fungsi dimaksud, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada OJK. Pasal 42 Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan kegiatan pemeriksaan bank, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan bank dan tetap berkoordinasi dengan OJK terlebih dahulu. Lingkup pemeriksaan meliputi pemeriksaan premi, posisi simpanan bank, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah, kualitas aset, dan kejahatan di sektor perbankan. Pasal 43 ... - 28 Pasal 43 Pada prinsipnya OJK membangun, memelihara dan mengembangkan sistem informasi sesuai dengan tugas dan kewenangnya. Yang dimaksud dengan “terintegrasi” adalah bahwa sistem yang dibangun oleh OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 44 Ayat (1) Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan masing-masing mewakili Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (2) Cakupan kerja, sumber daya, dan anggaran kesekretariatan disepakati oleh setiap anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Keputusan yang diambil Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan mengikat seluruh anggota forum. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 29 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “krisis pada sistem keuangan” adalah kondisi sistem keuangan yang sudah gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “bank gagal” adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keuangan negara” adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada saat kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dan/atau dilaksanakan. Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Pengajuan persetujuan disampaikan oleh Menteri Keuangan selaku koordinator Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat ditujukan langsung kepada Pimpinan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi ... - 30 membidangi keuangan dan perbankan dengan tembusan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Surat dinyatakan diterima setelah dibacakan dalam rapat pleno alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat dimaksud. Pasal 47 Ayat (1) OJK dapat bekerja sama antara lain dengan: organisasi internasional seperti International Organization of Securities Commissions (IOSCO), International Organization of Pension Supervisors (IOPS), International Association of Insurance Supervisors (IAIS), organisasi pengawas dan pengatur perbankan internasional; dan lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank, Islamic Development Bank (IDB), dan Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Ayat (2) Pembiayaan terkait keanggotaan organisasi dibebankan dalam anggaran OJK. Ayat (3) Perjanjian internasional yang berdampak pada sistem keuangan nasional termasuk perjanjian internasional yang berdampak pada kepentingan nasional di bidang sumber daya manusia, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan. Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 48 ... - 31 Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan “penegak hukum lain” antara lain kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l ... - 32 Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “instansi terkait” antara lain kejaksaan, kepolisian dan pengadilan. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Anggota Dewan Presiden. Komisioner ditetapkan dengan Keputusan Ayat (2) ... - 33 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “masa jabatan 5 (lima) tahun” adalah masa jabatan anggota Dewan Komisioner selain anggota Dewan Komisioner Ex-officio Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Ayat (3) Pembentukan Panitia Seleksi ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ayat (4) Dalam rangka memilih calon anggota Dewan Komisioner, Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta calon anggota Dewan Komisioner untuk melakukan presentasi dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat menyangkut visi, pengalaman, keahlian atau kemampuan, serta hal-hal yang berkaitan dengan moral dan akhlak anggota Dewan Komisioner. Yang dimaksud dengan “30 (tiga puluh) hari” tidak termasuk masa reses. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “selesainya proses pemilihan calon anggota Dewan Komisioner” adalah sejak ditetapkannya di rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 57 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “pejabat dan pegawai OJK” adalah pejabat dan pegawai OJK yang dialihkan dari Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e ... - 34 Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Penyampaian hasil persiapan dimaksud dilakukan segera setelah Dewan Komisioner ditetapkan. Dewan Komisioner dapat melakukan kajian dan penyempurnaan terhadap hasil persiapan dimaksud. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pembiayaan rencana kerja dan anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Huruf c Yang dimaksud dengan “pejabat dan pegawai OJK” adalah pejabat dan pegawai OJK yang dialihkan dari Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan, dan dari rekrutmen secara terbuka. Pengangkatan jabatan pegawai OJK dilakukan dengan Surat Keputusan Dewan Komisioner. Huruf d Pengangkatan jabatan Komisioner dilakukan Komisioner. pegawai dengan organ Surat pendukung Keputusan Dewan Dewan Huruf e Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) ... - 35 - Ayat (2) Keanggotaan tim transisi berasal dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam proporsi yang seimbang berdasarkan usulan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugasnya, tim transisi dapat menggunakan pihak lain yang relevan atas biaya tim transisi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan dan perbankan. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pejabat dan pegawai” adalah pejabat dan pegawai Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan di Kementerian Keuangan yang saat ini atau berpengalaman menangani pengaturan dan pengawasan perbankan ... - 36 perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan serta pejabat dan pegawai yang memiliki kualifikasi dan pengalaman yang memadai di bidang pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Ayat (2) Usulan nama pejabat dan pegawai yang dialihkan atau dipekerjakan dari Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang memadai mengenai pangkat, golongan, jabatan, bidang tugas, gaji dan tunjangan, pendidikan, pengalaman, keahlian, sasaran jabatan yang direkomendasikan, dan keterangan lain yang terkait. Yang dimaksud dengan “sesuai dengan permintaan Ketua Dewan Komisioner” adalah kesesuaian jumlah, kualifikasi, pengalaman, dan sasaran jabatan yang dibutuhkan dan diminta Ketua Dewan Komisioner. Ayat (3) Rekrutmen pejabat dan pegawai secara terbuka dimulai sejak ditetapkannya struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, dan rancang bangun infrastruktur OJK oleh Dewan Komisioner. Ayat (4) Penetapan pejabat dan pegawai yang diterima OJK tidak diartikan bahwa pejabat dan pegawai yang bersangkutan sudah dialihkan atau dipekerjakan menjadi pejabat dan pegawai OJK. Pejabat dan pegawai tersebut dinyatakan sebagai pejabat dan pegawai OJK sejak pengangkatan yang bersangkutan oleh Dewan Komisioner. Pejabat dan pegawai yang dipekerjakan tersebut berhak memilih menjadi pegawai tetap OJK. Pasal 64 Ayat (1) Penetapan pejabat dan pegawai OJK dilakukan dengan Surat Keputusan Dewan Komisioner. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) ... - 37 Ayat (3) Huruf a Penetapan jangka waktu 3 (tiga) bulan dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi OJK untuk melakukan proses rekrutmen untuk mengisi kekosongan dari pejabat dan pegawai yang tetap memilih status sebagai pegawai Kementerian Keuangan. Pejabat dan pegawai yang berasal dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang tetap memilih sebagai pejabat dan pegawai Kementerian Keuangan dikembalikan ke Kementerian Keuangan pada akhir tahun pertama. Huruf b Penetapan jangka waktu 2 (dua) tahun dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi OJK untuk melakukan proses rekrutmen untuk mengisi kekosongan dari pejabat dan pegawai yang tetap memilih status sebagai pegawai Bank Indonesia. Pejabat dan pegawai yang berasal dari Bank Indonesia yang tetap memilih sebagai pejabat dan pegawai Bank Indonesia dikembalikan ke Bank Indonesia pada akhir tahun ketiga. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “hak pejabat dan pegawai” antara lain hak atas pengakuan masa kerja, kepangkatan, pensiun, asuransi, penghasilan, tunjangan dan hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, yang telah menjadi hak pegawai yang bersangkutan. Sejak pejabat dan pegawai dari Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dipekerjakan di OJK, pejabat dan pegawai dimaksud memiliki hak yang distandardisasi berdasarkan Peraturan Dewan Komisioner. Hak pejabat dan pegawai setelah menjadi pejabat dan pegawai OJK selanjutnya mengikuti ketentuan mengenai hak pejabat dan pegawai dengan ketentuan: a. Bank ... - 38 a. Bank Indonesia tetap bertanggung jawab atas biaya yang timbul untuk memenuhi hak pejabat dan pegawai yang berasal dari Bank Indonesia, misalnya: pensiun, asuransi dan/atau tabungan hari tua, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Bank Indonesia. b. Kementerian Keuangan tetap bertanggung jawab atas biaya yang timbul untuk memenuhi hak pejabat dan pegawai yang berasal dari Kementerian Keuangan, misalnya: pensiun, asuransi dan/atau tabungan hari tua, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Kementrian Keuangan. c. OJK bertanggung jawab atas biaya yang timbul untuk memenuhi kesetaraan hak pejabat dan pegawai yang berasal dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, dalam rangka mengikuti standardisasi hak pejabat dan pegawai di OJK. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kekayaan” dan “kekayaan negara” meliputi gedung, kendaraan, peralatan dan perlengkapan kantor, dan infrastruktur lainnya yang merupakan penunjang terselenggaranya kegiatan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Yang dimaksud dengan “dokumen” adalah data dan informasi baik dalam bentuk tertulis maupun elektronik yang dimiliki dan/atau digunakan dalam kegiatan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Kekayaan dan dokumen Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang digunakan OJK adalah kekayaan dan dokumen yang digunakan untuk pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Sedangkan kekayaan dan dokumen yang digunakan untuk pengaturan dan pengawasan perbankan tetapi juga diperlukan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugasnya, digunakan secara bersama-sama. Yang dimaksud dengan “digunakan” adalah dapat dimanfaatkan, dikelola, dan dipelihara oleh OJK. Ayat (2) ... - 39 - Ayat (2) Keputusan bersama atau keputusan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner antara lain keputusan mengenai jenis kekayaan, kekayaan negara, dan dokumen yang dapat digunakan, mekanisme penggunaan, status kepemilikan, dan tata cara penggunaan secara bersama-sama. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan agar Dewan Komisioner dapat menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara efektif pada saat fungsi, tugas, dan wewenang tersebut beralih ke OJK dari Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Hal yang diinformasikan antara lain meliputi: a. pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; b. kondisi terkini dan kecenderungan yang akan terjadi di Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; c. kejadian penting yang terkait dengan Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang patut diketahui Dewan Komisioner; dan d. kebijakan strategis yang telah dan akan diambil oleh Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan/atau Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pembagian pembiayaan diatur bersama antara Pemerintah dan Bank Indonesia. Pasal 67 ... - 40 Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Huruf a Tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential sebagaimana dimaksud Undang-Undang ini. Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5253. -1- OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 5/POJK.05/2013 TENTANG PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam terhadap rangka Badan melaksanakan Penyelenggara pengawasan Jaminan Sosial sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Penyelenggara tentang Jaminan Pengawasan Sosial Oleh Badan Otoritas Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Tambahan Indonesia Lembaran Tahun 2004 Negara Nomor Republik 150, Indonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang … -2- 3. Undang-Undang Badan Nomor Penyelenggara 24 Tahun Jaminan 2011 Sosial tentang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENGAWASAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat DJSN, adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang selanjutnya disingkat BPJS, adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. 4. BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 5. BPJS … -3- 5. BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 6. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data dan/atau keterangan serta untuk menilai dan memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS. 7. Pengawasan adalah proses kegiatan penilaian terhadap BPJS dengan tujuan agar BPJS melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 8. Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah dana amanat milik seluruh peserta jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian pengembangannya pembayaran yang yang manfaat merupakan dikelola kepada oleh peserta himpunan BPJS dan iuran beserta Ketenagakerjaan pembiayaan hasil untuk operasional penyelenggaraan program jaminan sosial. 9. Dana Jaminan Sosial Kesehatan adalah dana amanat milik seluruh peserta jaminan kesehatan yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial. 10. Pemeriksa adalah pegawai OJK atau pihak yang ditunjuk oleh OJK untuk melakukan Pemeriksaan. 11. Peserta adalah setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BAB II RUANG LINGKUP PENGAWASAN BPJS OLEH OJK Pasal 2 (1) OJK melakukan pengawasan terhadap BPJS. (2) Ruang … -4- (2) Ruang lingkup pengawasan OJK terhadap BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kesehatan keuangan; b. penerapan tata kelola yang baik termasuk proses bisnis; c. pengelolaan dan kinerja investasi; d. penerapan manajemen risiko dan kontrol yang baik; e. pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud); f. valuasi aset dan liabilitas; g. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; h. keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure); i. perlindungan konsumen; j. rasio kolektibilitas iuran; k. monitoring dampak sistemik; dan l. aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Pengawasan terhadap aspek-aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum mengatur aspek-aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengawasan dilakukan dengan mengacu kepada standar, prinsip, dan praktek penyelenggaraan jaminan sosial yang sehat. Pasal 3 (1) Pengawasan OJK terhadap BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas: a. pengawasan langsung; dan b. pengawasan tidak langsung. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh satuan kerja di lingkungan pengawasan Industri Keuangan Non Bank, OJK. BAB III PENGAWASAN LANGSUNG Pasal 4 Pengawasan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan melalui Pemeriksaan. Pasal 5 … -5- Pasal 5 (1) Pemeriksaan terhadap BPJS dilakukan oleh Pemeriksa. (2) Dalam rangka Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa dapat melakukan Pemeriksaan terhadap perusahaan lain yang dimiliki oleh BPJS dan/atau pihak terkait lainnya. (3) Pemeriksaan bertujuan untuk: a. memperoleh gambaran mengenai kondisi BPJS yang sebenarnya; b. memastikan bahwa BPJS telah mematuhi peraturan perundang- undangan; c. memastikan bahwa BPJS telah menerapkan tata kelola, manajemen risiko, dan kontrol yang baik; dan/atau d. memastikan bahwa BPJS telah melakukan upaya untuk memenuhi kewajiban kepada Peserta. Pasal 6 Pemeriksaan yang dilakukan OJK terhadap BPJS dapat mencakup seluruh aspek atau sebagian aspek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 7 Pemeriksaan terhadap BPJS dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 8 (1) Pemeriksa harus melaksanakan Pemeriksaan sesuai dengan Peraturan OJK ini dan pedoman Pemeriksaan BPJS. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Pemeriksaan BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner OJK. Pasal 9 (1) BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dilarang menolak dan/atau menghambat proses Pemeriksaan. (2) BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) wajib: a. memenuhi ….. -6- a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku, berkas, catatan, disposisi, memorandum, dokumen, data elektronik, termasuk salinan-salinannya; b. memberikan keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa baik lisan maupun tertulis; c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan yang dipandang perlu; d. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk meneliti keberadaan dan penggunaan sarana fisik yang berkaitan dengan aspek yang diperiksa; dan/atau e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor independen dan aktuaris independen untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan. (3) Pihak yang pemeriksaan diperiksa apabila dinyatakan tidak menghambat melaksanakan kelancaran kewajiban proses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen, atau keterangan yang tidak benar. Pasal 10 (1) Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa berdasarkan surat perintah Pemeriksaan yang diterbitkan oleh OJK. (2) Pemeriksa wajib menyampaikan surat perintah Pemeriksaan kepada BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2). (3) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan kepada BPJS dan pihak lain yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2). (4) Surat pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat informasi sebagai berikut: a. nomor dan tanggal surat perintah Pemeriksaan; b. nama Pemeriksa; c. ruang lingkup Pemeriksaan; d. tujuan Pemeriksaan; e. jangka waktu Pemeriksaan; dan f. dokumen-dokumen awal yang diperlukan untuk Pemeriksaan. (5) OJK … -7- (5) OJK dapat melakukan Pemeriksaan tanpa didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan apabila: a. pemberitahuan tersebut diduga akan mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan; b. terdapat dugaan adanya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya; atau c. terdapat dugaan adanya tindakan menyembunyikan, menghilangkan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan. Pasal 11 (1) Sebelum Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa wajib melakukan konfirmasi dengan Direksi BPJS atas hasil Pemeriksaan. (2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat perbedaan pendapat, Direksi BPJS dapat mengajukan penjelasan secara tertulis kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender setelah berakhirnya proses Pemeriksaan. Pasal 12 (1) Setelah proses Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan. (2) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender setelah batas akhir penyampaian penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). (3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia. (4) Status rahasia atas laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuka setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari OJK atau berdasarkan peraturan perundangundangan. Pasal 13 (1) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat memuat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan oleh BPJS atau pemangku kepentingan lainnya. (2) Dalam … -8- (2) Dalam hal terdapat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan oleh BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS wajib melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut tersebut. (3) BPJS wajib melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada OJK sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam laporan hasil Pemeriksaan. (4) Kewajiban melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir apabila OJK menilai bahwa BPJS telah melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut dimaksud. BAB IV PENGAWASAN TIDAK LANGSUNG Pasal 14 Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dilakukan melalui: a. analisis atas laporan yang disampaikan oleh BPJS kepada OJK; dan/atau b. analisis atas laporan yang disampaikan oleh pihak lain kepada OJK. Pasal 15 OJK dapat meminta BPJS untuk menyampaikan informasi dan/atau dokumen tertentu dalam rangka pengawasan tidak langsung atas BPJS. BAB V PELAPORAN Pasal 16 (1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan keuangan sebagai berikut: a. laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; b. laporan keuangan tahunan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; c. laporan keuangan semesteran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember; d. laporan … -9- d. laporan keuangan semesteran Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember; e. laporan keuangan bulanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember; dan f. laporan keuangan bulanan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember. (2) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan pengelolaan program sebagai berikut: a. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; b. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan semesteran yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember; dan c. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan bulanan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember. (3) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan aktuaris tahunan untuk program jaminan kesehatan dan untuk masingmasing program ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b serta ayat (2) huruf a wajib diaudit oleh auditor independen. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan disajikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. (7) Laporan ... -10- (7) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan laporan yang menggambarkan perkiraan kemampuan Dana Jaminan Sosial untuk memenuhi kewajibannya di masa depan. (8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditandatangani oleh aktuaris BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. (9) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditelaah (direview) dan dinilai kewajaran penyajiannya oleh aktuaris independen yang tidak terafiliasi dengan manajemen BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dan huruf f, ayat (2) huruf c dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 17 (1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyampaikan: a. laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 16 ayat (2) huruf a, serta Pasal 16 ayat (3) paling lama tanggal 30 Juni tahun berikutnya; b. laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, huruf d, dan Pasal 16 ayat (2) huruf b paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya semester yang bersangkutan; dan c. laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e dan huruf f, serta Pasal 16 ayat (2) huruf c paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan, kepada OJK. (2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas akhir dimaksud. BAB VI SANKSI DAN REKOMENDASI Pasal 18 (1) Dalam hal BPJS terbukti melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 17 ayat (1) dan/atau atas temuan hasil Pemeriksaan, OJK dapat memberikan sanksi administratif berupa surat peringatan dan/atau memberikan rekomendasi kepada DJSN dan/atau Presiden. (2) Surat ….. -11- (2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal OJK menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan dan/atau temuan Pemeriksaan tidak dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK dapat menetapkan berlakunya jangka waktu tambahan paling lama 6 (enam) bulan. (4) OJK dapat memberikan rekomendasi kepada DJSN dan/atau Presiden dalam hal BPJS tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti surat peringatan terakhir atau atas temuan Pemeriksaan. (5) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. peninjauan besar iuran jaminan kesehatan dan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; b. peninjauan besar manfaat jaminan kesehatan dan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; c. peninjauan kebijakan investasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; d. peninjauan kebijakan investasi dana jaminan kesehatan dan dana jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; dan/atau e. penggantian sebagian atau seluruh manajemen BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku maka Peraturan OJK Nomor: 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan NonBank, dinyatakan tidak berlaku bagi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 20 (1) Kewajiban penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c dilakukan oleh BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan sejak bulan Maret 2014. (2) Penyampaian … -12- (2) Penyampaian laporan bulanan sejak bulan Maret 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk laporan bulanan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Januari 2014 dan 28 Februari 2014. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2013 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 258 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA