PENDAHULUAN - IPB Repository

advertisement
PENDAHULUAN
Pada masa modern ini, orang selalu
berlomba dengan waktu. Segalanya ingin
diselesaikan dalam waktu singkat dan praktis,
termasuk pola makan. Sehingga masyarakat
modern cenderung mengkonsumsi makanan
cepat saji yang mengandung lemak dan
kolesterol tinggi (Friedewalt 2007). Jumlah
lemak yang tinggi di dalam darah hingga
menyebabkan terbentuknya lesi (jaringan
yang abnormal karena rusak) aterosklerosis
tidak menunjukkan gejala hingga seumur
hidup karena lesi tersebut tetap stabil (tidak
berkurang maupun bertambah) atau hilang
akibat
mekanisme
perbaikan
dinding
pembuluh darah (Weinrauch dan Gandelman
2007). Namun bila orang tersebut beresiko
tinggi, lesi tersebut dapat memicu terjadinya
nekrosis hingga menjadi plak yang akhirnya
menjadi aterotrombosis akut akibat keping
darah yang bereaksi pada lesi (Tabas 2004).
Sejak tahun 1900an Aterosklerosis telah
menjadi penyebab utama kematian manusia di
negara industri (Friedewalt 2007).
Aterosklerosis (aterotrombosis) dipicu
oleh radikal bebas dimulai dengan kerusakan
pada lapisan sel endotel pembuluh darah yang
diikuti serangkaian reaksi lain yang
menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan
sekitarnya. Pada lesi aterosklerosis selalu
terbentuk sel busa (foam cells) akibat
akumulasi lipid terus-menerus dalam sel
makrofag pada pembuluh darah sehingga
terjadi lesi aterosclerosis dan diakhiri dengan
penyumbatan pembuluh darah hingga
mengakibatkan kematian pada jaringan yang
memerlukan nutrisi dan oksigen dari
pembuluh darah tersebut. Plak dapat pula
pecah dan ikut aliran darah hingga
menyumbat pembuluh darah di tempat lain.
Bila terjadi pada pembuluh darah yang
menyuplai otot jantung maka menyebabkan
serangan jantung mendadak karena sel otot
jantung rusak atau mati hingga menyebabkan
kematian. Bila terjadi pada pembuluh darah
yang menyuplai sel syaraf di otak maka akan
terjadi stroke yang dapat menyebabkan
kelumpuhan
sebelah
(Weinrauch
dan
Gandelman 2007).
Kematian sel dapat disebabkan oleh
nekrosis. Akhir-akhir ini banyak pakar
berpendapat bahwa apoptosis juga berperan
dalam kematian sel. Sebaliknya ada juga yang
melaporkan bahwa apoptosis juga berperan dalam
menghambat perkembangan lesi aterosklerosis
secara dini dengan mencegah terbentuknya sel
busa akibat terjadi apoptosis pada sel makrofag.
Akumulasi kolestrol bebas (tidak dalam
bentuk ester) dalam jumlah besar memicu
proses apoptosis pada sel makrofag akibat
terbukanya lipatan protein reseptor (Unfolded
Protein Response; UPR) pada membran
retikulum endoplasmanya (Tabas 2004).
Apoptosis
merupakan
mekanisme
kematian sel secara terprogram yang
melibatkan sejumlah transduksi sinyal yang
bekerja sama secara sinambung sehingga
menyebabkan perubahan morfologi sel dan
bahkan kematian sel.
Masyarakat yang masih menjalani pola
hidup tradisional jarang terserang penyakit
kardiovaskuler, salah satu penyebabnya
adalah mereka sering mengkonsumsi tanaman
obat dalam diet hariannya baik sebagai obat
maupun sebagai bumbu masakan ataupun
sebagai makanan. Berbagai tanaman obat
yang telah sering digunakan secara tradisional
untuk mengobati penyakit kardiovaskuler
memiliki aktivitas antioksidan yang mungkin
berkaitan dengan apoptosis sehingga dapat
digunakan
untuk
mengobati
penyakit
degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler.
Tanaman tersebut tidak hanya dimanfaatkan
sebagai obat, namun juga digunakan sebagai
bumbu masak (Asian Food 1998). Ekawati
(2007) melaporkan bahwa ekstrak etanol daun
salam memiliki aktivitas antioksidan, Alviani
(2007) melaporkan bahwa Jambu Biji
memiliki aktivitas antioksidan, sedangkan
Tombilangi (2004) dalam Martsolich (2007)
melaporkan bahwa daun Jati Belanda juga
memiliki
aktivitas
antioksidan.
Efek
terapeutik
yang
dilaporkan
beberapa
penelitian tersebut berasal dari senyawasenyawa aktif yang terkandung dalam
tanaman tersebut misalnya steroid, alkaloid,
flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid, dan
fenolik hidrokuinon. Namun efek terapeutik
terhadap penyakit kardiovaskuler masih
banyak dilatarbelakangi oleh pengalaman
empiris. Masih sedikit yang berdasarkan
pembuktian secara ilmiah.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
kemampuan ekstrak daun Jambu Biji (Psidium
guajava L.), daun Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.) dan daun Salam (Eugenia
polyantha Wight.) dalam memodulasi
apoptosis yang terjadi pada sel-sel khamir
(Saccharomyces
cerevisiae).
Hipotesis
penelitian ini adalah daun Jambu Biji
(Psidium guajava L.), daun Jati Belanda
(Guazuma ulmifolia Lamk.) dan daun Salam
(Eugenia polyantha Wight.) memiliki
aktivitas
antioksidan
yang
mampu
memodulasi apoptosis pada sel khamir.
2
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu menemukan tanaman herbal yang
mampu menjadi obat alami yang dapat
menyembuhkan beberapa penyakit dengan
menghambat apoptosis atau menjadi obat bagi
penyakit yang lain dengan memacu apoptosis,
misalnya kanker.
TINJAUAN PUSTAKA
Apoptosis
Apoptosis merupakan proses kematian
secara alami dan terprogram. Hal ini berbeda
dengan
nekrosis
yang
merupakan
penghancuran sel secara total. Secara
etimologi, apoptosis berasal dari kata Yunani
yang berarti gugur atau rontok yang memiliki
konotasi daun yang jatuh dari pohon.
Apoptosis terjadi ketika sel mengalami
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi,
terinfeksi virus, mengalami stress misalnya
kelaparan, kerusakan DNA akibat radiasi
ionisasi atau bahan kimia beracun, atau biasa
juga disebabkan aktivitas gen penekan tumor
dan radikal bebas.
Apoptosis berfungsi melenyapkan sel-sel
rusak atau sel-sel yang tidak dapat
menjalankan fungsinya, mencegah sel yang
mengalami kekurangan nutrien atau untuk
mencegah penularan virus. Apoptosis juga
berperan penting mencegah kanker. Jika suatu
sel gagal atau tidak mampu melakukan
apoptosis, ia akan terus membelah dan
berkembang menjadi tumor. Tumor terjadi
ketika jumlah sel tidak dapat dipertahankan
pada jumlah tetap. Apoptosis melibatkan
serangkaian kejadian biokimiawi melalui
transduksi
sinyal
yang
menyebabkan
perubahan ciri morfologis dan bahkan
kematian sel. Ciri morfologis yang diamati
ketika sel mengalami apoptosis adalah
pengerutan sel (pyknosis) fragmentasi inti sel,
kerusakan membran (karyorrhexis) dan bahkan
sel dapat pecah menjadi beberapa vesikel yang
disebut badan apoptosis (Gambar 1).
Proses apoptosis pada khamir dipicu dan
diatur oleh sejumlah sinyal sel yang dapat
berasal dari intraselular atau ekstraselular.
Sinyal-sinyal ekstraselular berupa hormon,
faktor petumbuhan, nitrit oksida (NO) dan
sitokin. Sinyal intraselular merupakan respon
dari terikatnya glukokortikoid (analog hormon
yang diproduksi adrenal manusia, terdiri dari
glukosa dan steroid) akibat panas, radiasi,
radikal bebas, kekurangan makanan, infeksi
virus, atau hipoksia. Sinyal-sinyal ini dapat
mencapai membran saja atau diteruskan ke
dalam sel tergantung letak reseptornya.
Sinyal-sinyal ini dapat menghambat maupun
memacu apoptosis. (Wikipedia 2007).
Sebelum peristiwa apoptosis sebenarnya
terjadi, sinyal apoptosis terhubung ke jalur
kematian aktual oleh beberapa protein regulator
yang disebut protein penyesuai. Mekanisme
pengaturan apoptosis terjadi di mitokondria,
tergantung dari akumulasi sinyal apoptosis di
mitokondria. Bila akumulasi sinyal apoptosis
meningkat maka sel akan mati, tapi bila
akumulasi sinyal menurun maka proses
apoptosis akan dibatalkan sehingga sel tidak
perlu mati (Weinberger et al. 2005).
Protein-protein ini terhubung dengan
mitokondria yang melanjutkan sinyal ini ke
mekanisme apoptosis melalui dua mekanisme.
Pertama, protein-protein penyesuai yang
meneruskan sinyal ke mitokondria. Sinyalsinyal
tersebut
dapat
menyebabkan
mitokondria
menggembung
dengan
membentuk pori pada membran mitokondria
atau meningkatkan permeabilitas membran
mitokondria
sehingga
molekul-molekul
efektor apoptosis merembes ke luar. Kedua,
sinyal-sinyal
tersebut
diteruskan
oleh
molekul-molekul efektor apoptosis ke nukleus
hingga menyebabkan kerusakan kromosom.
Molekul-molekul efektor apoptosis terdiri dari
SMACs
(Second
Mitochondria-derived
Activator of Caspases), sitokrom c, dan
sekelompok protein yang disandikan oleh
keluarga gen anti apoptosis. (Stoneman 2004).
Koloni khamir yang mengalami apoptosis
dapat dibedakan dari koloni normal. Koloni
yang mengalami apoptosis berubah menjadi
koloni petit disebabkan adanya disfungsi
mitokondria (kehilangan kemampuan respirasi
pada mitokondria) akibat proses apoptosis
sehingga laju pertumbuhan sel-sel khamir yang
mengalami apoptosis jauh lebih lambat dari selsel khamir normal (Madigan et al. 2000). Selsel khamir yang berubah menjadi koloni petit
memperoleh energi dari glikolisis (tidak
mampu
menggunakan
sumber
karbon
nonfermentabel), sedangkan sel-sel khamir
normal tidak hanya memperoleh energi dari
glikolisis, tetapi juga dari respirasi yang
merupakan penghasil 80% energi eukariot, oleh
karena itu bentuk koloni dan ukuran sel khamir
yang berubah menjadi koloni petit lebih kecil.
Apoptosis pada khamir sangat jarang terjadi
secara alami karena di alam jumlah glukosa
melimpah sehingga bukan merupakan faktor
pembatas
untuk
pertumbuhan
khamir.
Begitupula oksigen tidak bisa menjadi faktor
pembatas karena jumlahnya juga melimpah.
Download