PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 1972 telah berkembang usaha rekayasa genetika yang memberikan harapan bagi industri peternakan, baik yang berkaitan dengan masalah reproduksi, pakan maupun kesehatan hewan. Old dan Primrose (1989) menjelaskan, bahwa teknik rekayasa genetika telah ditemukan pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu pertama kali dilaporkan pada tahun 1972 oleh Jackson et al. Selanjutnya dilaporkan pula oleh Lobban dan Kaiser pada tahun 1973 dengan melakukan pengklonan suatu fragmen DNA asing, atau DNA penumpang, atau DNA sasaran dalam suatu vektor. Winarno dan Agustinah (2007), menegaskan bahwa dengan adanya penemuan tersebut menunjukkan awal dimulainya revolusi bioteknologi modern. Bioteknologi baru atau bioteknologi modern juga disebut sebagai rekayasa genetika atau modifikasi genetika. Pada umumnya bioteknologi diasosiasikan sebagai rekayasa genetik dan biologi molekuler, namun sebenarnya lebih luas dari itu, yaitu meliputi mikrobiologi, biokimia dan pengetahuan reproduksi (Wiryosuhanto dan Sudradjat 1992). Menurut Winarno (2004), The European Federation of Biotechnology pada tahun 1982 telah memberikan definisi bahwa bioteknologi adalah aplikasi terpadu dari biokimia, mikrobiologi, ilmu teknik atau rekayasa (engineering) bagi pemanfaatan mikroba, kultur jaringan serta komponen-komponennya dalam skala industri. Wiryosuhanto dan Sudradjat (1992) mendefinisikan bioteknologi sebagai serangkaian teknik yang berhubungan dengan biokimia dan kemampuan genetik dari mahluk hidup untuk tujuan praktis. Muladno (2002) menyatakan, bahwa semua teknologi yang memanfaatkan mahluk hidup sebagai salah satu komponen utamanya sering disebut sebagai bioteknologi, namun dalam arti sempit, bioteknologi diartikan sebagai teknologi rekayasa genetika yang bekerja pada level molekuler khususnya DNA. Wiryosuhanto dan Sudradjat (1992) menjelaskan, beberapa hasil penelitian bioteknologi peternakan saat ini sudah dapat diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan reproduksi ternak, pakan ternak serta untuk memperbaiki 2 status kesehatan hewan. Selanjutnya dijelaskan bahwa bioteknologi reproduksi meliputi inseminasi buatan, embryo transfer dan pemuliabiakan ternak dan dalam upaya peningkatan reproduksi ternak telah dikembangkan penelitian dan aplikasi bioteknologi sampai dengan generasi keempat, yaitu hewan transgenik. Sebagai generasi pertama adalah inseminasi buatan dan embryo transfer merupakan generasi kedua, sedangkan generasi adalah kloning. Bioteknologi di bidang pakan merupakan teknologi biokimia dan mikrobiologi yang telah diaplikasikan untuk perbaikan mutu pakan, seperti manipulasi mikroba rumen maupun dengan perlakuan kimiawi dan mikrobiologi.untuk meningkatkan daya cerna dari hijauan makanan ternak, jerami dan limbah pertanian yang tinggi kadar selulosanya. Bioteknologi kesehatan hewan meliputi: (1) produksi komersial berbagai macam zat penggertak pertumbuhan (growth promotors), seperti produksi hormone dengan DNA rekombinan memanfaatkan bakteri tertentu. (2) produksi komersial substansi imunogenik untuk memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang lebih baik dan lebih aman dibandingkan dengan antigen konvensional yang berasal dari bakteri atau mikroorganisme lain yang patogen. Selanjutnya Muladno (2002) menjelaskan, bahwa dengan tersedianya bioteknologi rekayasa genetika yang dilahirkan pada tahun 1973, telah memungkinkan manusia untuk mengisolasi gen (serangkaian molekul DNA) serta memanipulasinya dan kemudian memindahkan gen tersebut dari satu organisme ke organisme lain. Perbedaan teknologi ini dibanding dengan teknologi lainnya adalah bahwa teknologi ini memanfaatkan mahluk hidup sebagai komponen utamanya. Mahluk hidup yang digunakan bisa berasal dari mikroorganisme, tanaman atau hewan. Peranan bioteknologi dirasakan semakin bertambah besar dalam menunjang kegiatan pembangunan industri di berbagai sektor, terutama sektor kesehatan dan pertanian termasuk sub sektor peternakan. Cakupan bioteknologi ini sangat luas baik yang baru dalam tahap penelitian maupun yang sudah dapat diaplikasikan. Di bidang kesehatan dan kedokteran, telah ditemukan berbagai jenis obat-obatan baru hasil pengembangan bioteknologi modern, antara lain insulin bagi pasien diabetes yang kini dapat diperoleh lebih mudah dan lebih murah harganya, hormon pertumbuhan manusia dan vaksin Hepatitis B (Winarno dan Agustinah 2007). Hepatitis B ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara-negara 3 berkembang. Virus Hepatitis B merupakan penyebab utama hepatitis akut yang dapat berlanjut menjadi kronis, sirosis dan kanker hati. Komplikasi akibat virus ini telah mengakibatkan sekitar 1 juta orang meninggal setiap tahun (Kimura et al. 2005). Selubung virus hepatitis B (hepatitis B virus envelope) terdiri dari membran glikoprotein dimana terdapat 3 bagian protein permukaan yaitu antigen pre-S1 (119 asam amino), pre-S2 (55 asam aminio) dan S (226 asam amino) (Yamada et al. 2001; Jaoude dan Sureau 2005, Barrera et al. 2005). Beberapa ahli menggolongkan ketiga protein tersebut sebagai protein kecil (small), sedang (middle) dan besar (large). Antigen S telah digunakan secara luas sampai saat ini sebagai vaksin konvensional. Menurut Hu et al. (2004a), asam amino ke 139-147 pada bagian S merupakan epitop utama pada protein S tersebut dan asam amino Pre-S1 dan Pre-S2 masih dikaji tingkat immunogenisitasnya melalui serangkaian diagnosa (Maruyama et al. 2000). Proyek immunisasi massal di Lombok menunjukkan penggunaan vaksin konvensional mampu menurunkan prevalensi Hepatitis B hanya sampai 70% (Mulyanto et al. 2002). Hasil immunisasi Hepatitis B tersebut belum optimal, kemungkinan hal ini disebabkan oleh vaksin konvensional tersebut (Korean Green Cross) berasal dari plasma darah orang asing sehingga tidak mampu menstimulasi munculnya antibodi spesifik yang mampu melawan virus Hepatitis B yang terdapat di Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk melakukan rekayasa terhadap gen penyandi antigen permukaan Hepatitis B untuk menghasilkan antigen rekombinan Hepatitis B bagian S (HBsAg100) pada E. coli. Bagian gen penyandi epitop yang bersifat hidrophilik (dari asam amino nomor 100-164) dilaporkan dapat meningkatkan ekspresi pada E. coli. Selain itu, gen penyandi HBsAg100 digabung dengan gen penyandi enzim gluthation-Stransferase (GST) dapat meningkatkan ekspresi maupun solubilitas antigen yang sangat penting untuk aktivitas maupun proses purifikasi. Gen penyandi HBsAg100 adalah gen yang diisolasi dari virus Hepatitis B sub tipe adw sebagai sub tipe utama di Indonesia yang digunakan untuk membuat model dalam memproduksi antigen rekombinan. Selanjutnya model tersebut digunakan untuk menghasilkan 4 protein antibodi yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai kandidat vaksin galur lokal yang mampu memberikan respon antibodi yang spesifik sesuai dengan genetik virus Hepatitis B yang terdapat di Indonesia. Protein HBsAg100 rekombinan yang dihasilkan dengan teknologi rekayasa DNA menggunakan bakteri ini diharapkan dapat menggantikan metode produksi vaksin konvensional dari plasma yang banyak memiliki kelemahan, diantaranya, rendahnya imunogenisitas, sumber plasma yang terus berkurang (karena jumlah penderita penyakit Hepatitis B menurun sejalan dengan keberhasilan program vaksinasi), serta kekhawatiran adanya kontaminasi penyakit lain (terutama HIV) pada serum donor. Antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin rekombinan Hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus tersebut di Indonesia, karena gen penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus HB yang terdapat di Indonesia. Perumusan Masalah Perlunya dikembangkan bioteknologi dalam memenuhi kebutuhan manusia dalam perkembangan dunia global dapat dipertimbangkan berdasarkan permasalahan sebagai berikut: 1 Bioteknologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. 2 Perkembangan bioteknologi yang sangat pesat perlu dimanfaatkan secara maksimal. 3 Aplikasi bioteknologi di Indonesia masih terbatas, sehingga perlu untuk digali dan dikembangkan, khususnya di bidang peternakan yang meliputi bioteknologi reproduksi, pakan ternak dan bioteknologi molekuler di bidang produksi ternak dan kesehatan hewan seperti pembuatan bahan obat dan bahan vaksin. 4 Di bidang kesehatan hewan, penggunaan vaksin konvensional yang mempunyai banyak kelemahan bisa diatasi dengan pembuatan bahan vaksin dari protein imunogenik rekombinan. 5 Tujuan Penelitian 1 Membuat model plasmid rekombinan untuk memproduksi protein HBsAg100 rekombinan. 2 Menghasilkan klon pembawa gen penyandi HBsAg100 yang telah dikloning dengan plasmid yang khusus digunakan untuk ekspresi (pGEX-4T-2). 3 Produksi dan isolasi protein HBsAg100-GST rekombinan. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk produksi substansi antigenik dalam rangka memproduksi vaksin dengan DNA rekombinan yang lebih baik dan lebih aman dibandingkan dengan antigen konvensional yang berasal dari bakteri atau mikroorganisme lain yang patogen. Ruang Lingkup 1 Mengisolasi gen penyandi HBsAg100 dari virus Hepatitis B sub tipe adw yang merupakan sub tipe utama di Indonesia. 2 Memperbanyak HBsAg100 dengan PCR. 3 Membuat plasmid rekombinan melalui ligasi HBsAg100 dengan plasmid pGEX-4T-2. 4 Melakukan transformasi plasmid rekombinan terhadap E. coli DH5α untuk kloning, dilanjutkan dengan skrining klon yang membawa plasmid rekombinan. Sekuensing dilakukan untuk memastikan tidak terdapat mutasi pada gen target, kemudian dilanjutkan lagi dengan transformasi ke dalam E. coli BL21 untuk menghasilkan protein HBsAg100-GST rekombinan. 5 Melakukan pengujian antigenisitas protein antigen S rekombinan pada mencit BALB/c dengan teknik ELISA. Melakukan pengujian imunogenisitas protein HBsAg100-GST rekombinan melalui respon mencit BALB/c yang diimunisasi dengan HBsAg100-GST, kemudian melakukan pengambilan serum dan menganalisa kandungan antibodi yang terbentuk dengan teknik ELISA. 6 Kerangka Pemikiran Indonesia merupakan daerah hiperendemik penyakit Hepatitis B. Harga obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit tersebut sangat mahal, sehingga vaksinasi merupakan metode yang lebih murah dan efektif. Vaksin konvensional yang digunakan di Indonesia saat ini (Korean Green Cross) merupakan vaksin yang dihasilkan dari plasma darah orang asing. Virus Hepatitis B merupakan virus DNA yang memiliki enzim polymerase dengan kecermatan rendah, maka frekuensi terjadinya mutasi cukup tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan sekuen dari gen virus Hepatitis B yang ada di luar negeri dengan virus Hepatitis B yang terdapat di Indonesia. Penggunaan vaksin galur luar negeri akan menstimulasi munculnya tanggap kebal (antibodi) spesifik terhadap virus Hepatitis B yang ada di luar negeri. Sebaliknya, vaksin tersebut kemungkinan kurang efektif untuk menghasilkan antibodi yang spesifik untuk melawan virus Hepatitis B yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, produksi protein HBsAg100 rekombinan sebagai kandidat vaksin Hepatitis B yang terdapat di Indonesia sangat mendesak untuk dilakukan sehingga dihasilkan respon antibodi yang mampu melawan virus tersebut. Berkaitan dengan hal ini, maka sangat perlu dilakukan penelitian tentang “Produksi Protein Rekombinan HBsAg100-GST sebagai Model Imunogen untuk Menghasilkan Antibodi pada Mencit”. Masalah utama untuk menghasilkan antigen permukaan Hepatitis B menggunakan bakteri E. coli adalah rendahnya tingkat ekspresi. Hal ini disebabkan karena ekspresi gen penyandi antigen permukaan Hepatitis B terhambat oleh adanya bagian gen up-stream yang menghasilkan protein bagian dari antigen yang bersifat hidrophobik (Sheu dan Lo 1995). Selain itu, hasil penelitian pendahuluan dalam rangkaian penelitian ini menunjukkan bahwa antigen permukaan Hepatitis B bersifat toksik bagi inang (E. coli). Oleh karena itu, penelitian yang mengarah pada optimalisasi ekspresi antigen pada E. coli sangat perlu dilakukan. Pada penelitian ini, optimalisasi ekspresi dilakukan dengan melakukan kloning dan ekspresi gen yang menghasilkan antigen hidrophilik yang tetap mempertimbangkan utuhnya bagian-bagian epitop dari antigen tersebut. Disamping itu, sifat toksik antigen tersebut akan diatasi dengan mencegah terjadinya ekspresi dini (leacky expression) sebelum populasi bakteri 7 mencukupi untuk menghasilkan antigen yang memadai. Pencegahan ekspresi dini tersebut akan dilakukan dengan pengayaan media melalui penambahan glukosa untuk mencegah bakteri E. coli mengalami kekurangan nutrisi yang merupakan penyebab bakteri tersebut mengekspresikan berbagai jenis enzim (termasuk protein rekombinan) untuk melakukan metabolisme terhadap media. Tidak adanya protein disulfide isomerase pada bakteri E. coli menyebabkan protein rekombinan yang diekspresi menggunakan bakteri ini tidak mampu mengalami folding secara sempurna. Hal ini berdampak pada rendahnya kelarutan serta aktifitas dari protein yang dihasilkan. Strategi yang banyak dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan penggabungan dengan gluthationeS-transferase (GST) (Vikis dan Guan 2000; Koschorreck et al. 2005). Oleh karena itu, penggabungan antigen permukaan Hepatitis B yang akan diproduksi dengan GST sangat perlu dilakukan. Disamping itu, penggabungan dengan GST juga akan sangat mempermudah proses pemurnian. Adanya kolum GSTrap yang tersedia secara komersial merupakan tindak lanjut dihasilkannya plasmid pGEX4T-2 yang akhir-akhir ini sangat popular digunakan untuk produksi protein rekombinan pada bakteri E. coli. Hal ini disebabkan karena plasmid tersebut merupakan plasmid yang mampu menghasilkan protein rekombinan dalam jumlah banyak (Ali et al. 2005).