ETIKA SIARAN TELEVISI DI INDONESIA Fajar - E

advertisement
ETIKA SIARAN TELEVISI DI INDONESIA
Fajar Kurniawan
Program Studi Penyiaran Akom BSI Jakarta
Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda ,Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected]
Abstract
The purpose of this writings is not to judge the media, especially television, in spreading and giving information as well as in entertaining the audience. Instead, this writings is only aimed to explore facts
based on data of some reported events and broadcast programs. Indeed, this all relates to the ethics of
journalists, in this case tv journalists, and other broadcasters. The job of tv journalist is bound up with the
journalism ethics. Thus, in every work, a tv journalist should considered the journalism ethics. In this context, a tv journalist should refer to the Indonesian Journalism Code of Ethics and the P3-SPS (The Broadcasting Guide and Standard of Broadcasting Programs), which are published by an independent organisation, named Komisi Penyiaran Indonesia (The Indonesian Broadcasting Committee). This also applies to
programs other than news, which should also be referred to the P3-SPS.
Key Words: television, code of ethics, broadcasting ethics
Abstraksi
Tulisan ini bukanlah untuk menghakimi media massa terutama televisi dalam menyebarluaskan, memberikan informasi, dan menghibur masyarakat. Melainkan hanya memberikan fakta berdasarkan data-data
yang didapat dari sejumlah peristiwa yang kemudian diberitakan dan juga sejumlah acara yang kemudian disajikan ke layar kaca. Tentunya semua itu terkait erat dengan etika pelaku dunia penyiaran televisi. Pekerjaan
televisi tidak terlepas dari etika. Sehingga kerja-kerja jurnalistik haruslah berlandaskan etika. Dalam konteks
etika, seorang jurnalis televisi harus berpegangan kepada Kode Etik Wartawan Indonesia dan juga Pedoman
Perilaku Penyiaran, dan Standar Program Siaran (P3-SPS) yang dikeluarkan sebuah lembaga independen yang
namanya Komisi Penyiaran Indonesia. Begitu juga dengan sebuah program acara diluar pemberitaan, juga
harus berlandaskan P3-SPS.
Kata kunci: televisi, kode etik, siaran beretika.
I. PENDAHULUAN
Dunia televisi di Indonesia semakin berkembang. Namun perkembangan itu masih menyisakan
persoalan, khususnya masalah etika. Etika sering
diabaikan hanya demi keberlangsungan suatu media agar tidak ditinggalkan pemirsanya. Hal tersebut
terkadang menggiring media masuk pada kecenderungan menampilkan sesuatu yang spektakuler dan
sensasional bahkan dramatis, yang justru kurang beretika Berbicara soal etika terapan, tidak terlepas dari
banyaknya bidang kerja dalam ranah publik, contoh
Etika Profesi Kepolisian, Etika Profesi Jurnalistik,
dan Etika Profesi Hakim. Karena etika merupakan
nilai-nilai moral yang menjadi pegangan kelompok
tertentu, maka dalam konteks jurnalistik, etika adalah nilai-nilai moral yang menjadi pegangan para
wartawan dalam melakukan aktivitasnya sebagai
wartawan. Tentu saja yang membuat etika wartawan
100
adalah kelompok wartawan masing-masing. Dalam hal dikenal dengan kode etik (code of conduct).
Kode etik inilah yang menjadi pegangan bagi wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Berbeda dengan hukum, hal ini dapat dilihat dari aspek sanksi
terhadap pelanggaran kode etika yang bersifat moral
yang diberikan berdasarkan kesepakatan masingmasing anggota kelompok. Sedangkan sanksi hukum
diberikan oleh negara melalui aparat yang ditunjuk.
Pekerjaan seorang jurnalis televisi juga tidak
terlepas dari Etika. Sehingga kerja-kerja jurnalis harus
berlandaskan Etika. Sepeti yang terdapat dalam kode
etik jurnalistik. Dalam Kode Etik Jurnalis Televisi
(IJTI,1999) Pasal 1 dijelaskan bahwa Kode Etik Jurnalis Televisi adalah penuntun perilaku jurnalis televisi dalam melaksanakan profesinya. Selanjutnya dalam Pasal 2, Jurnalis televisi Indonesia adalah pribadi
yang mandiri dan bebas dari benturan kepentingan,
baik yang nyata maupun terselubung. Sehingga kerja seorang jurnalis televisi sangat erat dan berbicara
etika seperti juga etika dalam kepolisian, pekerja pers
dalam hal ini jurnalis televisi juga dihadapkan dengan
peristiwa yang harus diberitakan berlandaskan etika
yang ada.
II. PEMBAHSAN
2.1. Moral dan Etika
Moral dan etika pada hakekatnya merupakan prinsip dan nilai-nilai yang menurut keyakinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan
dilaksanakan secara benar dan layak. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan
dengan sikap yang benar dan yang salah yang merekayakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah merupakan sistem dari prinsip-prinsip moral
termasuk aturan-aturan untuk melaksanakannya.
Kees Bertens (1994), dalam bukunya “etika”,
menyatakan bahwa Etika berasal dari kata Yunani
Ethos, yang artinya sama dengan kata Latin “Mores”,
yaitu adat, kebiasaan, cara pikir. Maksudnya, Etika
adalah tentang adat, kebiasaan, cara pikir yang berlaku
untuk suatu kelompok manusia tertentu (suku bangsa,
kelompok profesi, pelaku usaha). Pada suatu waktu
tertentu. Begitu juga moral, Jadi Bertens tidak membedakan antara etika dan moral. Bertens mendefinisikan etika sebagai ilmu tentang adat, kebiasaan, cara
pikir, moral, perilaku moral. Walaupun begitu, beberapa literatur lain membedakan antara etika dan moral.
Moral adalah sesuatu tentang baik-buruk pada tataran
filosofis-normatif, seperti yang dibahas oleh Emanuel
Kant dalam teori Deontologisnya. contohnya moralitas bangsa. Ketika moralitas bangsa makin merosot,
akan disebut juga sebagai “dekadensi moral”, tidak
pernah disebut sebagai “dekadensi etika”.
Etika lebih terkait dengan aspek praxis-terapan dari moral, seperti yang dibahas oleh Aristoteles tentang pilihan jalan tengah sebagai keutamaan.
Sebagai contoh, seorang polisi yang terlalu tamak
se-hingga melakukan pungutan liar (tidak memilih
jalan tengah), misalnya, disebut sebagai melanggar
kode etik, bukan melanggar kode moral. Sementara
itu, jika kita pelajari definisi-definsi etika yang tersedia diliteratur, memang terdapat berbagai definisi.
Pada web-ditionary bisa kita temukan beberapa
deskripsi dari etika sebagai berikut:
a. Sebuah sistem tentang prinsip-prinsip moral:
etika dari sebuah kebudayaan.
b. Tata aturan (the rules of conduct) yang diakui
dan dihargai oleh sekumpulan pelaku manusia,
atau kelompok tertentu atau budaya, seperti etika medis, etika agama tertentu.
c. Prinsip moral dari seseorang.
d. Cabang dari filsafat yang membahas tentang
nilai-nlai yang terkait dengan kelakuan manusia dalam hubungannya dengan baik-buruk, atau
benar-salah.
Penjelasan yang terakhir menggambarkan definisi
etika yang banyak digunakan, yaitu etika, atau filsafat moral, adalah cabang filsafat yang membahas
pertanyaan-pertanyaan tentang moralitas, yaitu konsep-konsep seperti baik dan buruk, benar dan salah,
bernilai atau tidak berharga, berkeadilan . Etika sering
dicampurkan dengan hati nurani, kata hati atau suara
hati, sehingga sering muncul ungkapan agar pejabat,
polisi, jaksa atau hakim mendengarkan hati nuraninya
agar bisa melaksanakan tugasnya dengan adil.
Belakangan ini tayangan televisi baik itu berita dan non berita menjadi sorotan berbagai pihak.
Bukan bermaksud menjelekkan satu lembaga penyiaran, namun apa yang terjadi pada program “Super
Jail” yang tayang di Trans7 adalah salah satu contoh
tayangan yang dianggap melanggar Etika Penyiaran.
Pada tanggal 18 Juni 2012 mulai pukul 15.30 WIB
menayangkan adegan yang tidak pantas, yaitu adegan
mengerjai pasien tidak mampu yang sedang dirawat
di rumah sakit.
Pada program “Super Jail’ terdapat adegan,
seorang talent yang menyamar sebaga petugas administrasi keuangan rumah sakit yang memaksa pasien
dan keluarga yang tidak mampu agar segera membayar biaya rumah sakit pada saat itu juga. Walaupun
keluarga pasien sudah menjelaskan kondisi ekonomi
yang tidak memungkinkan, si talent tetap memaksa
keluarga pasien untuk menyerahkan segala harta yang
dimiliki sebagai jaminan pembayaran biaya rumah
sakit tersebut.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat
menilai penayangan tersebut sangat berlebihan
dan tidak sensitif terhadap keanekaragaman khalayak berdasarkan latar belakang ekonomi. Program tidak memilki empati terhadap kondisi pasien
dan keluarganya yang sedang menghadapi musibah.
Atas peristiwa ini KPI Pusat memberikan peringatan tertulis agar segera melakukan evaluasi internal
pada program agar mempehatikan norma kesopanan, lebih peka terhadap orang yang sedang mendapat musibah, dan tidak mempermainkan orang
yang berlatar belakang ekonomi kurang mampu.
101
Program Super Jail Kemudian disurati pleh KPI dengan
Nomor Surat 449/K/KPI/07/12, tertanggal 25 Juli 2012.
Program lain yang kemudian juga dinyatakan melanggar Etika adalah “Pesbuker”
yang tayang di Antv. Program acara “Pesbukers”
yang tayang di Antv mendapatkan teguran tertulis kedua dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pusat. Teguran tersebut diberikan karena ditemu
kan pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)
dan Standar Program Siaran (SPS) pada tayangan
12 Januari 2012 pukul 18.04 WIB. Pelanggaran terjadi pada adegan gerakan tubuh atau tarian salah satu
seorang pengisi acara (Nikita Mirzani) yang dinilai
dapat membangkitkan gairah seksual. Adegan tersebut ditampilkan juga eksplotasi tubuh bagian paha.
Pelanggaran atas penayangan adegan yang dimaksud
telah melanggar P3 Pasal 8, Pasal 10, Pasal 13, dan
Pasal 17 ayat (1) serta SPS Pasal 9, Pasal 13 ayat (1),
Pasal 17 huruf a dan c, dan Pasal 39 ayat (5) huruf a.
Sebelumnya, pada 18 Agustus 2011 KPI juga telah
memberikan teguran pertama pada program ini.
Argumen penolakan terhadap pornografi yaitu
perlindungan orang muda atau anak-anak, mencegah
perendahan martabat perempuan, dan mencegah sifat
subversifnya yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat. Pornografi
dikhawatirkan akan mengganggu psikis dan kekacauan dalam perilaku yang mirip dengan bila mereka mengalami pelecehan seksual. Namun, semua itu
tidak cukup mampu untuk menghentikan tayangan
pornografi di televisi.
Sementara diranah pemberitaan, beberapa
materi tayangan berita juga mendapatkan teguran dari
KPI. Ambil saja contoh kasus anak kecil yang merokok. Berita tersebut bahkan oleh salah satu lembaga
penyiaran swasta nasional secara gamblang ditayangkan apa adannya tanpa adanya beberapa ketentuan
etika yang harus dipakai sesuai degan P3-SPS dan
kode etik jurnalistik. Materi lain adalah penayangan
berita tentang kekerasan seksual yang menimpa anak
dibawah umur, yang belakangan menjadi sorotan
publik.
Ambil saja contoh kasus anak kecil yang
me-rokok. Berita tersebut bahkan oleh salah satu
lembaga penyiaran swasta nasional secara gamblang ditayangkan apa adannya tanpa adanya beberapa ketentuan etika yang harus dipakai sesuai degan
P3-SPS dan kode etik jurnalistik. Materi lain adalah
penayangan berita tentang kekerasan seksual yang
menimpa anak dibawah umur, yang belakangan menjadi sorotan publik. Pada kasus pemberitaan anak
kecil yang me-rokok. Sudah sepatutnya media tidak
102
hanya memikirkan nilai berita akan uniknya peristiwa
tersebut. jauh lebihberetika dan bijak bila memikirkan
seberapa banyak masyarakat khususnya anak-anak
yang sikapnya akan permisif setelah melihat tayangan itu. Perihal sepert inilah yang tidak dipikirkan
oleh redaksi.
Masih adanya jurnalis yang mempublikasi
identitas dan foto korban susila pada anak-anak. Karena mungkin ingin membuktikan bahwa kejadian itu
memang benar. Sesuai dengan asas moralitas, menurut
kode etik jurnalistik. Menayangkan peristiwa tentang
kekerasan seksual tidak melanggar hukum apapun,
tapi memvisualkan secara detil korban pelanggaran
kekerasan seksual ini yang disebut dengan melanggar
etika. Perlu dipahami bahwa masa depan anak-anak
harus dilindungi. karena itu, jika ada anak di bawah
umur, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan
kesusilaan, identitasnya harus dilindungi. Ironisnya
justru stasiun televisi yang berlabel berita sering kali
mendapat tegira dari KPI terkait dengan pemberitaannya. Sejumlah empat program berita dan liputan TV
One mendapatkan teguran tertulis dari KPI tertanggal 9 April 2013. Program berita yang ditegur tersebut adalah Kabar Petang (edisi 2 Maret 2013), Apa
Kabar Indonesia Malam (2 Maret 2013) dan Kabar
Malam (2 Maret 2013). Sementara program liputan
yang dikenai sanksi tertulis adalah Menyingkap Tabir (edisi 4 Maret 2013). Pelanggaran yang dilakukan berupa penayangan wawancara dengan wanita
dibawah umur yang diduga korban pelecehan seksual
pada Kabar Petang 2 Maret pukul 18.29 WIB. Hal
yang sama dilakukan dan diulangi oleh Apa Kabar
Indonesia Malam dan Kabar Malam TV One. Bahkan
pelanggaran tersebut kembali terjadi di tayangan Menyingkap Tabir pada 4 Maret pukul 22.25 WIB. Dalam
surat tegurannya KPI meminta TV One mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program
Siaran (SPS) yang ditetapkan KPI pada tahun 2012
demi tersajinya tayangan dan siaran yang bermanfaat
bagi masyarakat. Dalam surat teguran tertulisnya.
KPI menilai empat program berita dan liputan TV One melanggar pasal 14 ayat (2), pasal 22 ayat
(3), pasal 29 huruf a dan SPS pasal 15 ayat (1). Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut menunjukkan
bahwa program berita dan liputan TV One dinilai telah
mengabaikan aspek perlindungan terhadap anak. Bahkan secara rinci pada pasal 19 dijelaskan bahwa lembaga penyiaran tidak boleh mewancarai narasumber
anak berusia di bawah 18 tahun terkait hal-hal di luar
kapasitasnya seperti kematian, kekerasan, per-selingkuhan, konflik dan sebagainya. Beberapa media dan
lembaga penyiaran terlampau dominan dalam men-
jalankan peran kebebasannya karena hanya terpaku
pada unsur kebebasan pers-nya saja sementara unsur
peran dan tanggung jawabnya kepada masyarakat kerap
terabaikan. Media penyiaran di Indonesia sedang diuji
sekaligus dipertanyakan arah dan wajahnya. Semenjak
mendapatkan “kebebasannya” di era reformasi, penyiaran Indonesia memang mendapatkan angin. Sayangnya hal itu juga dikritisi banyak kalangan bahwa media di Indonesia dipandang belum dewasa memaknai
demokrasi dalam kehidupan pers mereka sendiri.
Tumbuh berkembangnya media penyiaran saat ini
memang membawa keuntungan dalam hal kecepatan
dan keterbukaan informasi. Namun sayangnya kebebasan pers tersebut juga menunjukkan sebuah kepincangan dalam demokrasi.
Demi memperoleh rating yang baik bukan berarti kita harus mengorbankan Kode Etik Jurnalistik
(KEJ) yang berlaku. KEJ ada untuk ditaati dan dijadikan sebagai sebuah pedoman moral dalam melakukan
tugas sebagai jurnalis. Kesalahan seperti kasus di atas
sekiranya bisa kita jadikan sebagai sebuah pelajaran
agar masalah seperti ini tidak terjadi lagi dikemudian
hari. Keakuratan kemudian menjadi salah satu bagian
penting dalam menyampaikan sebuah berita.
Semakin seringnya teguran yang diperoleh
redaksi berita, Sebenarnya masalah kredibilitas seorang jurnalis dan institusi media tersebut akan menjadi taruhan dan tentunya sangat peka pada tatanan
publik. Perlu waktu yang lama untuk menciptakan
kredibilitas yang baik dan tentunya perlu dijaga.
Membentuk sesuatu yang baik dan mempertahankannya adalah sebuah pekerjaan yang sulit. Sedangkan
dengan waktu singkat sebuah kredibilitas itu dapat
hancur. Ketika sebuah kredibilitas dipegang teguh
dengan sendirinya orang akan percaya.
Biasanya penyebab dari pelanggran etika dalam konteks siaran televisi diantaranya:
a. Kekerasan. Media tidak sadar terhadap bahaya
yang timbul dari tayangan kekerasan. Padahal
menurut salah satu hasil penelitian di Amerika,
kekerasan di media dapat meningkatkan perilaku agresif, ketidakpekaan terhadap kekerasan
dan penderitaan korban, dan menciptakan rasa
takut yang akibatnya menciptakan representasi yang keliru tentang dunia lingkungannya.
Televisi sekarang makin berani menampilkan
sesuatu yang menyeramkan seperti kasus pembunuhan mutilasi yang semakin marak terjadi
di Indonesia. Berita penyiksaan dan pelecehan
seksual tawanan perang di Irak pun tergambar di
layar kaca. Selain itu, berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, demo brutal yang disiarkan bisa
saja mempengaruhi seseorang untuk meniru per
buatan tersebut.
b. Pornografi. Selain kekerasan, konten berbau pornografi juga marak terlihat di televisi. Beritaberita pencabulan ayah terhadap anaknya, guru
pada muridnya dan kasus-kasus mesum para
politisi marak menghiasi layar kaca Indonesia.
pemberitaan akan hal ini memang baik utntuk
diketahui masyarakat. Tapi bila tidak diberitakan
secara benar akan menimbulkan dampak yang
negatif. walau bagaimanapun terlampau sering
memberitakan hal ini akan berpengaruh dalam
alam bawah sadar penonton dan akan menciptakan rasa permisif terhadap hal yang selama ini
dianggap tabu dan melanggar aturan agama.
c. Validasi informasi. Hukum persaingan menuntut
media agar selalu menampilkan informasi terbaru atau aktual. Aktualitas menuntut kecepatan
dalam pengorganisasian kerja peliputan. Selain
itu, ada anggapan bahwa informasi yang baik
adalah jika didapat secara langsung, yaitu melalui peliputan langsung, siaran langsung, reportase
langsung dari tempat kejadian dan informasi
dari sumber pertama. Hal-hal tersebut di atas inilah yang menyebabkan media terkadang mengabaikan kevalidan informasi yang disiarkannya.
Tekanan utama untuk segera menyampaikan informasi, meskipun keliru, menjadi obsesi media
televisi. Godaan besar yang selalu mengganggu
media adalah lebih baik segera menyampaikan
informasi kepada publik, baru kemudian dicek
kebenarannya, daripada basi atau sudah disampaikan lebih dulu oleh stasiun lain. Kasus lain
adalah ketika SBY berpidato tentang ancaman
teroris, ada media televisi yang dianggap memanipulasi pidatonya. Hal itu, karena ada bagian
pidato yang dihilangkan, sehingga menimbulkan
kesalahan persepsi dari publik dan pertanyaan
dari banyak pihak. Akhirnya presiden mengklarifikasi bahwa itu dimanipulasi, dan diputarkan
ulang keseluruhan isi pidatonya tersebut.
PENUTUP
Dalam konteks etika, jurnalis televisi harus
berpegangan kepada Kode Etik Wartawan Indonesia
dan juga Pedoman Perilaku Penyiaran, dan Standar
Program Siaran (P3-SPS) yang dikeluarkan sebuah
lembaga independen yang namanya Komisi Penyiaran Indonesia. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lahir
atas amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002.
Para pelaku media penyiaran televisi mesti menyadari dan peduli dampak yang akan ditimbulkan dari
semua program yang mereka tayangkan, karena tele
103
visi memiliki pengaruh/efek yang dahsyat terhadappublik. Selain itu, mereka mesti kembali pada idealisme media yaitu memberikan informasi yang benar,
berperan sebagai sarana pendidikan, dan membawa
masyarakat untuk memiliki sikap kritis, kemandirian
dan kedalaman berfikir.
DAFTAR PUSTAKA
Askurifai Baskin. 2006. Jurnalistik Televisi. Teori dan
Praktik. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Bertens. 1994. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi Manipulasi
Media. Kekerasan dan Pornografi. Yogyakarta, Kanisius.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. 1999. Kode
Etik Jurnalis Televisi Indonesia. x Jakarta:
IJTI,UNDP & European Union.
Uchayana Efendi, Onong. 1993. Ilmu. Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung. Citra Aditia.
104
Download