PRESENTASI KASUS PEDIATRI SOSIAL CAMPAK Disusun Oleh: Enninurmita Hazrudia (0906508005) Narasumber: Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A (K) Modul Praktik Klinik Ilmu Kesehatan Anak dan Remaja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Maret 2014 BAB 1 ILUSTRASI KASUS Nama Pasien : An. ARS Umur : 7 tahun 5 bulan No. Rekam Medis : 04-49-75-61 Tanggal Lahir : 06 Oktober 2006 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Nama Ibu : Ny.E Nama Ayah : Tn.R Care Taker : Ibu Alamat : Pisangan Baru, Matraman, Jakarta Timur Tanggal Berkunjung : 14 Maret 2014 di RS Persahabatan Anamnesis : Alloanamnesis ibu pasien (tanggal 17 Maret 2014) Keluhan Utama Pasien datang dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh nyeri tenggorokan yang dirasakan sejak 5 hari SMRS, terasa sakit di tenggorokan saat menelan. Beberapa jam kemudian, pasien mengalami demam yang tiba-tiba tinggi. Ibu pasien tidak mengukur suhunya. Demam dirasakan naik turun, mulai naik kira-kira sore hingga pagi hari. Kejang tidak ada. 4 hari SMRS pasien mengeluh batuk dan pilek. Batuk berdahak, tetapi dahak sulit keluar. Ingus berwarna cair, tidak kekuningan dan tidak kental. Kedua mata pasien berwarna kemerahan, sekitar mata membengkak karena dikucek, tidak ada belekan. Malam harinya, BAB pasien mulai cair, berwarna kekuningan, masih terdapat ampas kecil-kecil. Terdapat lendir, tidak ada darah. Frekuensi 5-6 kali sehari. Nyeri perut tidak ada. Perut terasa mual setiap kali makan, tetapi tidak diikuti dengan muntah. Nafsu makan pasien menurun semenjak sakit, sehari makan 3 kali namun hanya 2-3 suap tiap kali makan. Pasien sehari minum tidak habis 1 aqua sedang (600cc). BAK sedikit, warna kuning pekat. Mata pasien terlihat sedikit celong, bibir kering dan pecah-pecah. 2 hari SMRS mulai muncul bercak kemerahan di tubuh pasien, diawali dari bagian muka dan belakang telinga, kemudian menyebar ke leher, dada, perut, hingga kedua tangan dan kaki pasien. Bercak terasa gatal, bertambah banyak dari hari ke hari. Tidak ada penyakit serupa di keluarga pasien, di lingkungan rumah, maupun di sekolah pasien. Pasien sempat berobat ke Puskesmas. Diberikan obat paracetamol dan obat puyer diminum 3 kali sehari. Saat kontrol kembali ke Puskesmas 5 jam SMRS, demam sudah turun tetapi BAB masih cair. Kemudian pasien dirujuk ke RS Persahabatan karena dikatakan dokter mengalami dehidrasi sehingga harus dirawat. Saat ini pasien perawatan hari ke-3 di bangsal, keluhan demam, batuk, pilek sudah tidak ada. BAB selama dirawat masih cair, terakhir BAB 12 jam sebelum pemeriksaan, agak padat, berwarna kekuningan. Bercak kemerahan sudah tidak ada, saat ini berubah menjadi bercak-bercak kehitaman kecil-kecil. Nafsu makan pasien mulai membaik, makan siang habis 2 porsi (makanan luar RS). Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat alergi, asma, dan kejang, disangkal. Riwayat trauma/cedera kepala sebelumnya disangkal. Pasien pernah mengalami penyakit serupa saat usia 2,5 tahun. Pasien pernah dirawat selama 6 hari di RS Persahabatan saat usia 4,5 tahun SMRS karena muntaber. Riwayat Dalam Keluarga Kakak pasien pernah terkena campak saat usia 5 tahun. Riwayat alergi, asma, dan kejang, dalam keluarga disangkal. Riwayat Kehamilan Ibu pasien tidak memiliki keluhan selama kehamilan. Ibu pasien rutin kontrol di puskesmas sejak hamil bulan pertama hingga kelima. Setelah itu, tidak kontrol lagi karena selama periksa dikatakan kondisinya baik. Konsumsi obat-obatan, jamu-jamuan, makanan setengah matang, sayur lalapan, merokok dan minum alkohol selama kehamilan disangkal. Riwayat abortus sebelumnya disangkal. Riwayat Kelahiran Pasien lahir di rumah sakit secara spontan dibantu oleh dokter. Dirujuk dari puskesmas karena dikatakan tekanan darahnya tinggi. Saat itu tekanan darah ibu 150/100 mmHg. Ibu hamil saat usia 26 tahun. Pasien lahir cukup bulan, spontan, langsung menangis, dan tidak biru. Berat lahir 3300 gram dan panjang lahir 51 cm. Tidak terdapat kelainan bawaan. APGAR score tidak diketahui. Riwayat Nutrisi ASI eksklusif hingga usia 1 tahun, dilanjutkan susu formula hingga saat ini. Tidak ada alergi susu formula. Buah dan bubur susu diberikan sejak usia 6 bulan, dan nasi tim sejak umur 9 bulan. Makan makanan keluarga sejak usia 1 tahun. Saat ini, pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk ikan/daging/ayam serta sayuran hijau. Saat ini minum susu 2 kali sehari, susu Dancow. Pasien tidak memiliki kesulitan makan sejak kecil hingga sebelum sakit. Riwayat Imunisasi Imunisasi dasar lengkap. Pasien diimunisasi di Puskesmas oleh bidan, terakhir imunisasi campak saat usia 10 bulan. Pasien belum mendapat imunisasi campak di SD. Riwayat Tumbuh Kembang Ibu pasien mengatakan, pertumbuhan pasien lebih cepat dibanding kakaknya. Ibu pasien lupa berapa usia pasien mulai duduk, berdiri, dan berjalan, tetapi tidak jauh berbeda dengan anak-anaknya yang lain. Pasien juga dapat berinteraksi baik dengan orang-orang di sekitarnya dan teman-teman di sekolah. Riwayat Pekerjaan, Sosial-Ekonomi, dan Lingkungan Keluarga Pasien merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Kakak pasien dan kedua adiknya berjenis kelamin perempuan, usianya masing-masing 10 tahun, 5 tahun, dan 2 tahun. Pasien tinggal bersama kedua orangtua, kakak, dua adik, dan neneknya. Ibu pasien mengatakan, sejak kecil pasien paling rentan sakit di banding saudaranya yang lain, seperti batuk pilek. Kakak dan adik pasien sudah mendapat imunisasi lengkap sampai campak di Puskesmas. Biasanya jika salah seorang sakit, yang lain akan ikut tertular. Ibu pasien cukup peduli dengan kesehatan anak-anaknya sehingga segera ke Puskesmas jika sakit. Ayah pasien bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta. Ibu pasien bekerja sebagai karyawan di pabrik obat. Pasien saat ini kelas 2 SD, tidak pernah ada masalah dalam akademis. Sehari-hari pasien, kakak dan dua adiknya diasuh oleh neneknya. Pasien mempunyai banyak teman di sekolah, mampu berinteraksi dengan baik di lingkungan rumah. Pasien sering bermain di luar rumah dengan teman sebayanya. Ibu pasien sering mengajak pasien mengobrol sepulang kerja. Jaminan yang digunakan adalah BPJS. Tidak ada yang mengalami keluhan serupa di lingkungan sekitar rumah pasien. Ibu pasien mengatakan lingkungan rumahnya cukup bersih, meskipun jumlah warganya padat. Pemeriksaan Fisik Umum (saat di IGD) Antropometrik Berat badan= 20 kg Tinggi badan= 111 cm Lingkar kepala = 48 cm Status Nutrisi BB/U: 20/24 x 100% = 83,3% TB/U: 111/124 x 100% = 89,5% BB/TB: 20/19 x 100% = 105,3% IMT/U : 16,23 kg/m2 Kesimpulan : gizi cukup Keadaan umum: Tampak sakit sedang, tidak tampak sesak, kesan gizi cukup Kesadaran : Compos Mentis Nadi : 118x/menit di kedua ekstremitas, reguler, isi cukup Suhu : 37,6oC (aksila) Pernapasan : 24x/menit, reguler, abdominotorakal Kepala: normosefal, tidak terdapat deformitas Rambut: warna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut Mata : Konjungtiva tidak pucat, tampak hiperemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat diameter 3mm/3mm isokor, RCL +/+, RCTL +/+, gerakan bola mata baik ke segala arah Telinga: tidak ada deformitas, liang telinga lapang, serumen (+/+), nyeri tekan pre/retroauricular tidak ada Hidung: tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, tampak sekret bening dan cair Mulut: oral hygiene baik, tonsil T1-T1, arkus faring tidak hiperemis, dinding faring posterior tidak hiperemis, uvula di tengah Leher: KGB tidak teraba membesar Jantung: bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada gallop maupun murmur Paru: bunyi kedua paru vesikuler, wheezing tidak ada, rhonki tidak ada Abdomen: datar, lemas, hati dan limpa tidak teraba, BU positif 4 kali per menit Ekstremitas: akral hangat, CRT<2”, edema tidak ada Pemeriksaan Fisik Umum Saat Pemeriksaan (17 Maret 2014) Keadaan umum: Tampak sakit ringan, tidak tampak sesak, kesan gizi cukup Kesadaran : Compos Mentis Nadi : 100x/menit di kedua ekstremitas, reguler, isi cukup Suhu : 37oC (aksila) Pernapasan : 24x/menit, reguler, abdominotorakal Kulit: warna sawo matang, tampak makula hiperpigmentasi diskret generalisata, beberapa berskuama kasar warna putih di atasnya Kepala: normosefal, tidak terdapat deformitas Rambut: warna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut Mata : Konjungtiva tidak pucat, tidak tampak hiperemis, sklera tidak ikterik Telinga: tidak ada deformitas, liang telinga lapang, serumen (+/+), nyeri tekan pre/retroauricular tidak ada Hidung: tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, tidak ada sekret Mulut: mukosa mulut lembab, tidak tampak adanya bercak Koplik, oral hygiene cukup baik, tonsil T1-T1 tidak hiperemis, uvula di tengah, arkus faring simetris, dinding faring posterior tidak hiperemis Leher : KGB tidak teraba membesar Jantung: I= Iktus kordis tidak terlihat P= Iktus kordis teraba di ICS 4 linea midklavikula sinistra P= Batas jantung kanan linea sternalis dextra, batas jantung kiri ICS 4 linea midklavikula sinistra, pinggang jantung ICS 2 linea parasternalis sinistra A= Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada gallop maupun murmur Paru: I= Dada simetris saat statis dan dinamis P= Ekspansi dada simetris P= Sonor/sonor A= Vesikuler, wheezing tidak ada, rhonki tidak ada Abdomen: datar, lemas, hati dan limpa tidak teraba, BU positif 3x/menit Ekstremitas: akral hangat, CRT<2”, edema tidak ada Foto pasien Pemeriksaan Penunjang Jenis Pemeriksaan 14/03/2014 15/03/14 17/3/2014 Hematologi Darah perifer lengkap Hb 14,5 g/dl 13,8 g/dl Ht 40% 43% Leukosit 4.720/µl 5,620/µl Trombosit 176.000/µl 245.000/µl MCV 73,2 fl 76,7 fl MCH 26,5 pg 24,5 pg MCHC 36,2 g/dl 31,9 g/dl Hitung jenis 0/0/5/76/19 1/9/11/35/44 Kimia Urin Warna urin Kuning 7,417 Kejernihan Jernih 41,5 Berat jenis 1,010 85,7 pH urin 7,0 96,3% Protein urin Negative 27,0 Negative 2,3 Glukosa urin -3,5 Keton urin Negative Bilirubin urin 146 Negative 138 Urobilinogen urin 3,5 Negative 4,11 Nitrit urin 104 Negative 96,7 Darah samar urin Negative Leukosit esterase Negative 10 (12,5) 28,6 (34,9) Mikroskopis urin Leukosit 0-2 Eritrosit - 24 U/l Sel epitel Positif 16 U/l Silinder granular cast - 3,59 g/dl Silinder hialin - 23 mg/dl Bakteri - 0,20 mg/dl Kristal - Ringkasan: An.A, laki-laki, usia 7 tahun 5 bulan, datang dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari SMRS. Keluhan diawali dengan adanya nyeri tenggorokan, lalu diikuti dengan demam yang tibatiba tinggi. Setelah itu, BAB mulai cair, warna kekuningan, frekuensi 5-6 kali sehari, masih ada ampas sedikit. Terdapat keluhan mata merah, serta muncul ruam kemerahan pada seluruh tubuh pasien. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status nutrisi pasien baik, tampak makula hiperpigmentasi diskret generalisata, beberapa berskuama kasar warna putih di atasnya. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan leukopenia dan netrofilia. Daftar Masalah: Morbili stadium akhir Rencana Pemeriksaan dan Terapi: 1. KaEN 3B 25 tpm makro 2. Paracetamol 4x2 sendok teh 3. Mucos sirup 3x1 sendok teh 4. Lacto B 3x1 sacchet 5. Zinc sirup 1x1 sendok teh 6. Vitamin A 1x200.000 IU 7. Diet lunak tanpa serat Prognosis Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : bonam BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam dengan Ruam Demam didefinisikan kenaikan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1.1 Kenaikan suhu tubuh sebesar 1oC atau lebih sudah dapat dikatakan demam. Ada banyak penyebab terjadinya demam yang disertai dengan ruam, dijelaskan dalam tabel di bawah.2 Tabel 1. Penyakit dengan ruam pada anak2 Condition Incubation Prodrome Period (Days) Rash Adenovirus 4–5 URI; cough; fever Morbilliform Normal; may see Respiratory (may be petechial) leukopenia or symptoms are lymphocytosis prominent. No Koplik spots. No desquamation. Measles 9–14 Cough, rhinitis, conjunctivitis Maculopapular; Leukopenia face to trunk; lasts 7–10 d; Koplik spots in mouth Toxic. Bright red rash becomes confluent, may desquamate. Fever falls after rash appears. Rubella 14–21 Usually none Mild maculopapular; rapid spread face to extremities; gone by day 4 Postauricular, occipital adenopathy common. Polyarthralgia in some older girls. Mild clinical illness. Roseola (exanthem subitum) (HHV-6) 10–14 Fever (3–4 d) Pink, macular Normal rash occurs at end of illness; transient Fever often high; disappears when rash develops; child appears well. Usually occurs in children 6 mos to 2 y of age. Seizures may complicate. Variable fever Diffuse erythroderma; resembles streptococcal scarlet fever except eyes may be hyperemic, no "strawberry" tongue, pharynx Focal infection usually present. Staphylococcal 1–7 scarlet fever Laboratory Tests Normal or leukopenia Variable leukocytosis if infected Comments, Other Diagnostic Features spared Staphylococcal Variable scalded skin Irritability, absent to low fever Painful erythroderma, followed in 1–2 d by cracking around eyes, mouth; bullae form with friction (Nikolsky sign) Normal if only colonized by staphylococci; leukocytosis and sometimes bacteremia if infected Normal pharynx. Look for focal staphylococcal infection. Usually occurs in infants. Toxic shock syndrome Variable Fever, myalgia, headache, diarrhea, vomiting Nontender erythroderma; red eyes, palms, soles, pharynx, lips Leukocytosis; abnormal liver enzymes, coagulation tests; proteinuria Staphylococcus aureus infection; toxin-mediated multiorgan involvement. Swollen hands, feet. Hypotension or shock. Erythema multiforme — Usually none or related to underlying cause Discrete, red maculopapular lesions; symmetrical, distal, palms and soles; target lesions classic Normal or eosinophilia Reaction to drugs (especially sulfonamides), or infectious agents (mycoplasma; herpes simplex virus). Urticaria, arthralgia also seen. 2.2 Campak Campak merupakan penyakit akut yang dapat menular, disebabkan oleh infeksi virus yang umumnya menyerang anak-anak.3,4 Gejala klinisnya terdiri dari3: 1. Stadium masa tunas yang berlangsung kira-kira 10-12 hari 2. Stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring, dan peradangan mukosa konjungtiva 3. Stadium akhir dengan keluarnya ruam mulai dari belakang telinga menyebar ke muka, badan, lengan, dan kaki Berdasarkan laporan Depkes RI tahun 2009, pada tahun 2008 masih terdapat banyak kasus campak di seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 2008, beberapa KLB terjadi, terutama di daerah dengan cakupan imunisasi campak yang rendah, misalnya di Bangka Belitung terjadi 6 x KLB, di Jawa Barat 31 x, Jawa Tengah 12 x, dan Jawa Timur 32 x.5 Bahaya penyulit campak ialah kurang gizi karena diare berulang dan persisten, sindrom subakut panensefalitis (SSPE) pada anak > 10 tahun, munculnya TB paru yang lebih parah yang disertai pneumonia.3 2.2.1 Etiologi Virus campak merupakan virus RNA strain tunggal yang berselubung lemak dari famili paramyxovirus dan genus morbilivirus. Kelompok lain genus morbilivirus dapat menginfeksi mamalia, tetapi yang dapat menginfeksi manusia hanya virus campak. Virus ini mempunyai 6 protein struktural, yang berperan menginduksi imunitas adalah protein hemaglutinin (H) dan fusion (F). Virus bersifat sensitif terhadap panas, mudah rusak pada suhu 37oC, dapat bertoleransi degan baik terhadap perubahan pH. Sensitif terhadap eter, cahaya, dan trisin. Jangka waktu hidupnya pendek, kurang dari 2 jam. Suhu penyimpanan yang baik adalah pada suhu -70oC.3,4 2.2.2 Epidemiologi Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), campak menduduki tempat kelima dalam urutan 10 penyakit utama pada bayi dan tempat ke-5 dalam 10 urutan penyakit utama pada anak.3 Campak merupakan penyakit endemik di seluruh dunia. Pada umumnya, epidemik terjadi pada permulaan musim hujan karena virus hidup pada kondisi kelembaban yang relatif rendah. Epidemi terjadi 2-4 tahun sekali, setelah adanya kelompok baru yang rentan terpajan dengan virus campak, yang menular melalui droplet infeksi atau lewat udara. Campak menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga dapat memicu infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai adalah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%), dan lain-lain (7,9%).3,5 WHO dengan program MDG’s telah mencanangkan target global untuk mereduksi campak sampai 90,5% dan mortalitas sampai 95,5%. Beberapa macam jadwal imunisasi dan strategi telah digunakan, tetapi ada beberapa negara yang tidak berhasil. Kegagalan ini biasanya disebabkan oleh kegagalan mengimplementasikan rencana strategi secara adekuat. Prioritas utama adalah melaksanakan program imunisasi campak lebih efektif. Strategi untuk mereduksi kematian dilakukan dengan (1) pencapaian dan mempertahankan angka cakupan, (2) mengusahakan agar semua anak mendapat kesempatan imunisasi campak yang kedua, (3) implementasi surveilans yang didukung fasilitas laboratorium, (4) melaksanakan program tatalaksana kasus secara adekuat.5 2.2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Virus campak dapat tumbuh pada berbagai macam tipe sel, baru mencapai kadar tertinggi setelah berada dalam fase larutan setelah 7-10 hari. Virus campak masuk melalui saluran nafas atau konjungtiva dalam bentuk droplet infeksi. Infeksi berlangsung sejak 3 hari sebelum gejala klinis muncul sampai 4-6 hari setelah onset ruam. Virus masuk ke dalam limfatik local, bebas, maupun berhubungan dengan sel mononuclear, kemudian mencapai KGB regional. Virus memperbanyak diri dengan perlahan dan dimulai penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel mononuclear yang terinfeksi akan membentuk sel raksasa berinti banyak (sel Warthin), sedangkan limfosit T yang rentan terhadap infeksi akan turut membelah. Setelah 5-6 hari infeksi awal, terbentuk fokus infeksi di mana virus masuk ke pembuluh darah, menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih, dan usus.3,4 Pada hari ke 9-10, infeksi virus menyebabkan nekrosis dari selapis sampai dua lapis sel. Kemudian virus akan menyebabkan vaskulitis di pembuluh darah kecil kulit dan membrane mukosa oral. Kemudian muncul anifestasi klinis berupa batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang memerah, demam tinggi, dan ruam. Secara histologi, ruam dan eksantem merupakan edema intraseluler dan diskeratosis yang berhubungan dengan pembentukan sel raksasa berinti banyak di epidermis yang memiliki 26 hingga 40 nukleus. Partikel virus ditemukan di sel tersebut. Fusi dari sel yang terinfeksi akan membentuk sel besar berinti banyak, disebut sel Warthin Finkeldey, merupakan tanda patognomonik campak. Sel ini mengandung 100 nukleus dan badan inklusi intrasitoplasma dan intranuklear.3,4 Virus campak menunjukkan antigenitas yang homogen dengan merangsang pembentukan neutralizing antibody, complement fixing antibody, dan hemaglutinine inhibition antibody. IgM dan IgG akan distimulasi oleh infeksi campak, muncul kira-kira 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer tertinggi setelah 21 hari. Kemudian IgM menghilang dengan cepat, IgG akan bertahan. Antibodi IgA sekretori dapat dideteksi dari sekret asal dan terdapat pada seluruh saluran nafas.3 Ada 3 fase/stadium campak: fase inkubasi atau stadium masa tunas, stadium prodromal, dan stadium akhir.3 Selama inkubasi, vaksin campak bermigrasi ke kelenjar limfa regional. Pada viremia primer, virus akan menyebar melalui sistem retikuloendotelial. Pada viremia sekunder, virus menyebar ke permukaan tubuh. Fase prodromal dimulai sejak adanya viremia sekunder dan berhubungan dengan nekrosis epitel dan pembentukan sel raksasa. Sel yang terinfeksi akan mengalami fusi membran yang berkaitan dengan replikasi virus di berbagai jaringan tubuh. Saat ruam mulai muncul, antibodi mulai diproduksi, replikasi virus dan gejala akan membaik. Virus juga menginfeksi sel T CD4, sehingga menekan respon imun Th1 dan memberikan efek imunosupresif.4 2.2.4 Manifestasi Klinis Campak merupakan infeksi serius yang diawali dengan demam tinggi, enantem, batuk, koriza, konjungtivitis, dan eksantem. Setelah periode inkubasi dalam 8-12 hari, fase prodromal dimulai dengan munculnya demam diikuti onset konjungtivitis dengan fotofobia, koriza, batuk, dan demam meninggi. Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari ke-5 atau ke-6 pada puncak timbulnya ruam. Kurva suhu menunjukkan gambaran bifasik, ruam awal pada 24-48 jam pertama diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai normal selama periode satu hari dan kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat mencapai 40oC pada waktu ruam timbul di seluruh tubuh. Bercak Koplik merupakan tanda patognomonik campak, yang muncul sekitar 1-4 hari sebelum onset ruam muncul. Pertama kali muncul sebagai bintik eritem diskret dengan noda putih keabuan di tengah. Timbulnya bercak Koplik hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar dideteksi. Dapat menginfeksi Gambar 1. Ruam pada campak bibir, palatum, dan gusi. Infeksi juga terjadi di lipatan konjungtiva dan mukosa vagina.3,4,5 Gejala akan bertambah berat setelah 2-4 hari hingga hari pertama muncul ruam. Ruam biasanya muncul pertama kali pada hari ke-3 sampai ke-4 dari timbulnya demam. Ruam akan muncul di dahi, belakang telinga, di leher atas sebagai erupsi makulopapular eritematosa, kemudian menyebar ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam. Lalu menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung, mencapai kaki pada hari ke-3. Eksantem biasanya akan berkonfluensi di wajah dan dada.3,4 Ketika ruam muncul, gejala akan mereda. Setelah tiga atau empat hari, lesi akan berubah warna menjadi kecoklatan. Ruam akan berlangsung selama 7 hari, akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi pada kulit, biasanya disusul timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan. Pada kasus yang berat, limfadenopati dapat terjadi, terutama pada kelenjar servikal dan oksipital.4 Diagnosis campak dapat ditegakkan secara klinis, sedangkan pemeriksaan penunjang sekedar membantu. Campak yang tidak bermanifestasi khas disebut dengan campak atipikal. Diagnosis bandingnya adaah rubella, demam skalartina, ruam akibat erupsi obat, dan infeksi stafilokokus.3 2.2.5 Pemeriksaan Penunjang Penemuan laboratorium saat fase akut biasanya berupa leukopenia dengan jumlah limfosit turun melebihi netrofil. Pada campak tanpa infeksi sekunder, sedimentasi eritrosit dan protein reaktif C akan meningkat. Antibodi IgM akan muncul pada 1-2 hari setelah onset ruam dan dapat dideteksi selama 1 bulan. Dapat dilihat pula peningkatan antibodi IgG pada fase akut dan penyembuhan dalam 2-4 minggu kemudian. Kultur dapat dilakukan dengan mengisolasi virus dari darah, urin, atau sekret saluran nafas.4 2.2.6 Komplikasi dan Penyulit Komplikasi campak berkaitan dengan manifestasi klinisnya pada saluran respiratorius dan system imun. Morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada anak usia di bawah 5 tahun atau dewasa di atas 20 tahun. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kepadatan area tempat tinggal, hiporetinolemia, serta kondisi imunokompromis pada pasien. Pada pasien dengan malignansi, pneumonitis (58%) dan ensefalitis dapat terjadi (20%).3,4 Komplikasi dan penyulit yang dapat terjadi di antaranya3,4: - Laringitis akut Timbul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran nafas, ditandai adanya distres pernafasan, sesak, sianosis, dan stridor. Ketika demam turun, gejala membaik. - Bronkopneumonia Dapat disebabkan oleh virus campak maupun akibat invasi bakteri. Gejala berupa batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Bila suhu tidak turun dan gejala saluran nafas masih berlangsung, dapat diduga adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan infeksi pada sel epitel. Pada foto toraks dapat dilihat adanya infiltrat, juga leukositosis. - Kejang demam Saat puncak demam terjadi. - Ensefalitis Penyulit neurologic yang biasanya terjadi pada hari ke 4-7 setelah muncul ruam. Mortalitas sekitar 30-40%. Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik atau invasi langsung virus ke dalam otak. Gejala berupa kejang, letargi, koma, dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, disorientasi. Pada pemeriksaan cairan serebrospinal ditemukan pleositosis ringan, dengan sel mononuclear predominan, peningkatan protein ringan, glukosa dalam batas normal. - Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE) Kelainan degenerative susunan saraf pusat yang jarang disebabkan oleh infeksi virus campak yang persisten. Resiko meningkat pada anak usia lebih muda, dengan periode inkubasi selama 7 tahun. Gejala didahului dengan gangguan tingkah laku dan intelektual yang progresif, diikuti inkoordinasi otorik, kejang mioklonik. Terdapat peningkatan globulin dalan CSP, antibody terhadap campak dalam serum meningkat (CF dan HAI). Tidak ada terapi. - Otitis media Invasi virus ke dalam telinga tengah. Gendang telinga tampak hiperemis pada fase prodromal dan erupsi. Jika terjadi invasi bakteri dapat menjadi purulenta, disertai mastoiditis. - Enteritis Akibat invasi virus ke sel mukosa usus, dapat menimbulkan enteropati yang menyebabkan kehilangan protein. - Konjungtivitis Memunculkan gejala mata merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi, dan fotofobia. Dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Dapat pula memburuk jika terjadi hipopion, pan oftalmitis, dan ulkus kornea. - Adenitis servikal - Abortus, partus prematurus, dan kelainan kongenital pada bayi - Gangguan gizi sampai kwasiorkor 2.2.7 Tatalaksana Pasien campak tanpa penyulit bisa rawat jalan. Tatalaksana bersifat suportif. Anak harus diberikan cukup cairan dan kalori. Pemberian terapi antiviral tidak efektif terutama pada pasien normal. Pemantauan status hidrasi, oksigenasi, dan kenyamanan pasien merupakan tujuan terapi campak. Pemberian antipiretik untuk pasien demam, juga suplementasi oksigen pada keterlibatan saluran napas. Jika terdapat penyulit, maka perlu dirawat di bangsal isolasi sistem pernafasan, dilakukan perbaikan keadaan umum dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan makanan.3,4,6 Pada pasien dengan gagal napas akibat pneumonia memerlukan ventilator. Rehidrasi oral efektif pada beberapa kasus, tetapi dehidrasi berat membutuhkan rehidrasi melalui intravena. Penggunaan antibiotik sebagai terapi profilaksis tidak diindikasikan. Pada pasien imunokompromais, dapat diberikan ribavirin dengan atau tanpa IVIg.4 Pemberian vitamin A juga direkomendasikan pada pasien campak4,6: 1. Pada anak usia 6 bulan-2 tahun yang dirawat karena campak dan komplikasinya (croup, pneumonia, dan diare) 2. Pada anak usia > 6 bulan yang memiliki risiko imunodefisiensi, defisiensi vitamin A secara klinis, absorpsi usus terganggu, malnutrisi sedang hingga berat, dan imigrasi Regimen yang dapat diberikan berupa kapsul dosis tunggal 200.000 IU untuk anak di atas 1 tahun, 100.000 IU untuk anak usia 6 bulan-1 tahun, dan 50.000 IU untuk bayi < 6 bulan.4 Jika terdapat bronkopneumonia, dapat diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari IV dalam 4 dosis. Jika terdapat enteritis, dapat diberikan cairan IV, otitis media ditatalaksana dengan antibiotik kotrimoksazol-sultametoksazol 4 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Pada ensefalopati, perlu adanya reduksi cairan hingga ¾ kebutuhan untuk mengurangi risiko edema otak, serta pemberian kortikosteroid. Perlu koreksi elektrolit dan analisa gas darah.3 2.2.8 Pencegahan Penyakit infeksi terjadi akibat adanya interaksi antara host (pejamu), agent (mikroorganisme penyebab penyakit, dapat bersifat ganas atau tidak), dan environment (lingkungan yang menyokong terjadinya penyakit). Apabila salah satu komponen tersebut dominan atau lemah, maka dapat terjadi infeksi. Imunisasi bertujuan untuk mempertinggi kekebalan pejamu sehingga dapat melawan mikroorganisme tanpa harus sakit terlebih dahulu. Nilai vaksin dibagi dalam 3 kategori, secara individu, sosial, dan keuntungan dalam menunjang sistem kesehatan nasional, diharapkan mampu menurunkan angka mortalitas dan morbiditas terhadap suatu penyakit. Kekebalan individu akan memutuskan rantai penularan penyakit dari anak ke anak lain atau ke orang dewasa, inilah yang disebut keuntungan sosial atau herd immunity (kekebalan komunitas). Deteksi daerah penularan diperlukan untuk menurunkan insidens penyakit. Keuntungan lain adalah menurunkan biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan kecacatan yang akan menjadi beban masyarakat seumur hidupnya. Dengan demikian, kualitas hidup dan produktivitas anak akan menngkat di kemudian hari.5 Imunisasi Campak Vaksin campak ditemukan pada tahun 1954 oleh Peebeles dan Enders, virus didapatkan dari darah kasus campak bernama David Edmonston.5 Saat ini ada beberapa macam vaksin campak5: 1. Monovalen 2. Kombinasi vaksin campak dengan vaksin Rubela (MR) 3. Kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR) 4. Kombinasi dengan mumps, rubella, dan varisela (MMRV) Di Indonesia, sejak tahun 2004, imunisasi campak juga diberikan 2 kali, yang pertama pada umur 9 bulan dan yang kedua pada Program BIAS usia 6-7 tahun. Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer, pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, mereka yang mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromais yang terinfeksi HIV.5 1. Vaksin campak5,7 Dosis dan cara pemberian: - Dosis vaksin campak sebanyak 0,5 ml - Pemberian diberikan umur 9 bulan secara subkutan atau intramuscular - Imunisasi campak diberikan lagi saat masuk sekolah SD (Program BIAS) Reaksi KIPI: - Gejala KIPI yang berupa demam yang lebih dari 39,5oC yang terjadi pada 5-15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke-5 sampai hari ke-6 sesudah pasien diimunisasi dan berlangsung selama 5 hari. Demam tidak tinggi tapi dapat merangsang kejang demam. - Ruam dapat timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. - Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi 2. Vaksin MMR5,7 Merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada temperatur 2-8oC atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya. Dosisnya dengan pemberian dosis tunggal 0,5 ml suntikan IM atau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan serokonversi terhadap ketiga virus ini > 90% kasus. Diberikan pada umur 12-18 bulan. Pada bayi dan anak yang berisiko terinfeksi campak, imunisasi MMR dapat diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain pemberian vaksin MMR: - Anak dengan penyakit kronis seperti kistik fibrosis, kelainan jantung bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindroma Down - Anak berusia lebih dari 1 tahun yang berada di day care center, family day care, dan playgroups - Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang Reaksi KIPI: - Malaise, demam, ruam yang terjadi 1 minggu setelah imunisasi, selama 2-3 hari - Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam - Meningoensefalitis akibat imunisasi gondongan terjadi kira-kira 1/1.000.000 kasus - Trombositopenia, yang akan sembuh sendiri Kontraindikasi: - Anak dengan penyakit keganasan atau gangguan imunitas, terapi imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi - Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas, hipotensi, dan syok) terhadap gelatin dan neomisin - Anak dengan demam akut - Anak yang mendapat vaksin hidup lain dalam waktu 4 minggu, imunisasi harus ditunda 1 bulan setelah vaksin yang terakhir - Tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian immunoglobulin atau transfusi darah - Defisiensi imun bawaan dan didapat - Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat imunisasi MMR dan tidak hamil 3 bulan setelah mendapat suntikan Rekomendari untuk imunisasi campak adalah seperti berikut: Table 238-3 -- RECOMMENDATIONS FOR MEASLES IMMUNIZATION CATEGORY RECOMMENDATIONS Unimmunized, no history of measles (12-15 mo of age) A 2-dose schedule (with MMR) is recommended The first dose is recommended at 12-15 mo of age; the 2nd is recommended at 4-6 yr of age Children 6-11 mo of age in epidemic situations or prior to international travel Immunize (with monovalent measles vaccine, or if not available, MMR); reimmunization (with MMR) at 1215 mo of age is necessary, and a 3rd dose is indicated at 4-6 yr of age Children 4-12 yr of age who have Reimmunize (1 dose) CATEGORY received 1 dose of measles vaccine at ≥12 mo of age RECOMMENDATIONS Students in college and other post– high school institutions who have Reimmunize (1 dose) received 1 dose of measles vaccine at ≥12 mo of age History of immunization before the Consider susceptible and immunize (2 doses) 1st birthday History of receipt of inactivated measles vaccine or unknown type of vaccine, 1963-1967 Consider susceptible and immunize (2 doses) Further attenuated or unknown vaccine given with IG Consider susceptible and immunize (2 doses) Allergy to eggs Immunize; no reactions likely Neomycin allergy, nonanaphylactic Immunize; no reactions likely Severe hypersensitivity (anaphylaxis) to neomycin or gelatin Avoid immunization Tuberculosis Immunize; if patient has untreated tuberculosis disease, start antituberculosis therapy before immunizing Measles exposure Immunize and/or give IG, depending on circumstances HIV-infected Immunize (2 doses) unless severely immunocompromised Personal or family history of seizures Immunize; advise parents of slightly increased risk of seizures IG or blood recipient Immunize at the appropriate interval (see Table 238-4) From American Academy of Pediatrics: Red book: 2009 report of the Committee on Infectious Diseases, ed 28, Elk Grove Village, IL, 2009, American Academy of Pediatrics, p 450. Untuk profilaksis pada anak > 12 bulan, dapat diberikan pada maksimal 72 jam setelah terpapar, dapat diberikan vaksinasi segera. Jika vaksin dikontraindikasikan, Ig dapat diberikan secara IM dengan dosis 0,25 ml/kgBB (0,5 ml/kg pada pasien immunocompromised. Ig efektif mencegah infeksi campak sebelum hari setelah paparan. Vaksin campak dapat diberikan 5 bulan kemudian pada anak yang mendapat dosis Ig 0,25 ml/kgBB dan 6 bulan kemudian pada anak yang mendapat dosis maksimal.7 BAB 3 PEMBAHASAN Infeksi campak dapat ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik. Berdasarkan anamnesis, didapatkan bahwa pasien, laki-laki, 7 tahun, datang dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari SMRS. BAB cair berwarna kuning, dengan frekuensi 5-6 kali dalam sehari, masih terdapat ampas. Terdapat lendir tetapi tidak terdapat darah. Dari data tersebut, pasien mengalami diare akut. Diare akut ialah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunk atau lebih cair dari biasanya, paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Diare akut menunjukkan waktu terjadinya diare kurang dari 7 hari.8 Untuk menentukan etiologi dari diare, diperlukan data anamnesis yang lain. Pasien mengeluh gejala diawali dengan nyeri tenggorokan, diikuti demam yang tiba-tiba tinggi sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan sedikit turun pada pagi hingga sore hari, kemudian tinggi menjelang malam hari. Hal ini menunjukkan pola tipe demam remiten, yang biasanya disebabkan oleh adanya infeksi virus atau bakteri. Pada demam remiten, temperatur akan turun setiap hari tetapi tidak akan mencapai suhu normal dengan fluktuasi atau variasi normal lebih dari 1oC dalam 24 jam.1 Gambar 2. Pola demam remiten9 Dapat dikatakan bahwa keluhan diare muncul pada hari ke-2 setelah onset demam. Terdapat pula mata berwarna kemerahan dan gatal, menunjukkan adanya gejala konjungtivitis pada pasien. Kemudian diikuti dengan BAB cair dan munculnya ruam atau bercak kemerahan pada seluruh tubuh, yang diawali dari daerah wajah, belakang telinga, kemudian meluas hingga ke leher, badan, dan ekstremitas. Pada hari ke 4-6 demam, ruam mulai muncul diikuti demam yang mulai menurun. Berdasarkan data anamnesis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien menderita demam dengan ruam atau eksantem. Penyakit yang bermanifestasi sebagai demam disertai ruam, di antaranya adalah9: Gambar 3. Manifestasi klinis dan onset gejala pada demam eksantem9 Adanya ruam merupakan tanda khas yang dapat membantu menentukan diagnosis pasien. Jika melihat gambar di atas dan disesuaikan dengan klinis pasien, maka dapat digambarkan perjalanan penyakit pasien seperti berikut. Hari pertama •Nyeri tenggorokan •Demam tiba-tiba tinggi Hari ke-2 •Batuk pilek •BAB cair •Mata merah Hari ke-4 •Muncul ruam kemerahan di wajah dan belakang telinga Hari ke-5 •Ruam muncul di seluruh tubuh Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa manifestasi klinis pada pasien sesuai perjalanan penyakit pada infeksi campak. Stadium campak terdiri dari3: 1. Stadium masa tunas yang berlangsung kira-kira 10-12 hari 2. Stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring, dan peradangan mukosa konjungtiva 3. Stadium akhir dengan keluarnya ruam mulai dari belakang telinga menyebar ke muka, badan, lengan, dan kaki Melihat klinis pasien, dapat ditentukan bahwa saat pemeriksaan, infeksi telah memasuki stadium akhir, di mana ruam sudah muncul dan terjadi perbaikan gejala. Lokasi persebaran ruam, diawali dari wajah dan belakang telinga, leher atas, kemudian menyebar ke badan dan ekstremitas. Berdasarkan pemeriksaan fisik, tampak makula hiperpigmentasi diskret generalisata, beberapa berskuama kasar warna putih di atasnya. Ruam biasanya berlangsung selama 7 hari.3 Berdasarkan data pemeriksaan fisik dan lokasi ruam pada pasien inilah, diagnosis banding penyakit demam eksantem yang lain seperti Rubela, demam Scarlet, eksantema subitum, atau kemungkinan erupsi obat dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan leukopenia dan neutrofilia. Pada infeksi campak, virus menginfeksi sel T CD4, sehingga menekan respon imun Th1 dan memberikan efek imunosupresif.4 Terdapat peningkatan leukosit selama perawatan di RS. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan mengenai riwayat imunisasi, riwayat nutrisi, serta riwayat kehamilan. Ibu pasien mengatakan pasien telah mendapatkan imunisasi lengkap. Pasien mendapatkan imunisasi campak saat usia 10 bulan, tetapi belum mendapat vaksin sejak masuk SD. Menurut program BIAS, vaksin kedua diberikan usia 6-7 tahun.5 Di keluarga, lingkungan rumah, dan sekolah, tidak ada yang menderita campak, tetapi pasien mempunyai risiko untuk menularkan ke orang lain. Imunisasi campak bertujuan untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap virus. Sampai saat ini, campak masih menjadi endemik di berbagai negara di dunia. Case-fatality rates menurun terkait dengan meningkatnya status sosioekonomi, tetapi meningkat pada negara-negara berkembang, seperti Indonesia.10 Kegagalan vaksinasi dapat terjadi karena kegagalan primer maupun sekunder. Kegagalan primer bila tidak terjadi serokonversi setelah diimunisasi (akibat adanya antibody yang dibawa sejak lahir, vaksin rusak, atau pemberian Ig bersama-sama) dan sekunder bila tidak ada proteksi setelah serokonversi karena potensi vaksin yang kurang kuat.3 Berdasarkan data antropometrik, status gizi pasien berada dalam rentang gizi cukup. Kebutuhan nutrisi perlu disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan BB ideal. Campak memiliki risiko terjadinya malnutrisi karena efek protein-losing enteropathy, peningkatan laju metabolik, dan menurunnya asupan makan. Kondisi tersebut akan semakin parah jika pasien sudah menderita malnutrisi sejak sebelum sakit.10 Selama hamil, ibu pasien mengatakan tidak ada masalah, tidak sakit tertentu dan mengonsumsi obatobatan tertentu. Kemudian, ditanyakan mengenai riwayat perkembangan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan sekitar, untuk melihat faktor risiko yang terdapat pada pasien. Saat ini pasien berusia 7 tahun 5 bulan. Dari data analisis dari beberapa negara di Eropa, perempuan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi terhadap campak dibanding lakilaki, tetapi kemungkinan komplikasinya sama. Usia juga berpengaruh terhadap kemungkinan komplikasi dan mortalitas, di mana anak usia < 5 tahun dan dewasa lebih rentan terinfeksi campak. Hal ini berkaitan dengan penurunan respon sel yang dimediasi imun, di mana pada pasien usia tersebut, durasi limfopenia akan bertahan lebih lama dan berat.10 Ibu pasien mengatakan perkembangan pasien normal, pasien mampu berinteraksi dengan baik di keluarga, di lingkungan sekitar, serta di sekolah. Pasien tinggal bersama orang tua, kakak, kedua adik, dan neneknya dalam satu rumah. Tempat tinggal cukup bersih meskipun masuk di kawasan padat penduduk. Kondisi tempat tinggal juga mempengaruhi transmisi penyakit infeksi, terutama yang ditularkan melalui droplet infeksi seperti campak. Fenomena ini terkait dengan intensitas paparan terhadap patogen dan jumlah inokulum yang tersebar di udara.10 Mengingat pasien memiliki 2 adik yang masih berusia 5 dan 2 tahun, pencegahan terhadap penularan campak harus dilakukan. Ibu pasien cukup peduli dengan kesehatan anak-anaknya, terlihat dari sikapnya ke pasien saat sakit, ibu pasien segera membawa pasien berobat ke Puskesmas begitu anak sakit. Hal ini mempunyai nilai positif, di mana komplikasi suatu penyakit dapat dicegah dengan deteksi dan tatalaksana dini. Tatalaksana yang diberikan pada pasien campak bersifat suportif, kecuali jika terdapat komplikasi yang memerlukan tatalaksana khusus, seperti pneumonia, diare, ensefalitis, dan lainnya. Pasien awalnya datang dalam kondisi dehidrasi ringan-sedang, sehingga diperlukan rehidrasi cairan dapat melalui per oral maupun parenteral. Kebutuhan penggantian cairan pasien diare sebesar 10 ml/kgBB tiap diare dan rehidrasi oral pada dehidrasi ringan-sedang sebesar 75 ml/kgBB/3 jam. Terapi rehidrasi oral dikontraindikasikan pada anak dengan dehidrasi berat, menolak minum, atau ileus.8,11 Pada pasien dipasang infus untuk maintenance dengan KaEN 3B 25 tpm makro. Dosis rumatan pada pasien sebesar (100x10) + (50x10) = 1500cc/24 jam dengan dehidrasi ringan sedang (ditambah 30%) menjadi 1950 cc/24 jam, sehingga didapatkan 27 tpm. Paracetamol 4 x 10 cc diberikan sebagai antipiretik dan dapat dihentikan ketika demam sudah tidak ada. Mucos sirup 3 x 5 cc berisi dekongestan dan mukolitik, untuk meredakan batuk dan pilek. Lacto B 3 x 1 sacchet merupakan probiotik, digunakan bersama suplementasi zinc 1 x 5 cc sebagai tatalaksana diare pada pada pasien. Pemberian zinc dan probiotik terbukti memperpendek durasi diare.11,12 Zinc memberikan efek volume tinja lebih sedikit, berat badan naik, dan memperbaiki status defisiensi Zn.12 Vitamin A 1 x 200.000 IU. Pasien campak direkomendasikan mendapat suplementasi vitamin A. Regimen yang dapat diberikan berupa kapsul dosis tunggal 200.000 IU untuk anak di atas 1 tahun.4,13 Pasien mendapat diet bertahap, dari lunak hingga makanan padat. Pada infeksi campak tidak perlu diberikan antiviral.1,4 Prognosis pada pasien ini, untuk ad vitam, ad functionam, dan ad sanactionam bonam. Saat ini kondisi pasien stabil, gejala dan komplikasi dapat teratasi. Nafsu makan pasien sudah membaik. Kemungkinan pasien menderita campak lagi masih ada, tetapi kecil. Infeksi campak alami akan memberikan efek proteksi yang lebih baik dibanding vaksin. DAFTAR PUSTAKA 1. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Demam. Dalam: Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2012; 21. 2. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatric diagnosis and treatment. 18th edition. 2006. 3. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Campak. Dalam: Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2012; 109-18. 4. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Berhman RE. Nelson textbook of pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier, Saunders. 2011. 5. Ranuh IG, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011; 341-61. 6. World Health Organization. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Edisi pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009; 180-2. 7. Gunardi H. Lima imunisasi dasar. Dalam: Soedjatmiko, Gunardi H, Sekartini R, Medise BE. Intisari imunisasi untuk mahasiswa kedokteran. Edisi pertama. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2013; 8-18. 8. Subagyo B, Santoso NB. Diare akut. Dalam: Juffrie, Soenarto SS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: UKKGastroenterologi-hepatologi IDAI. 2012; 87-119. 9. Hadinegoro SR. Fever in children. Slide Kuliah. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2014. 10. Orenstein WA, Editor S, Perry RT, Halsey NA. The clinical significance of measles: a review. J Infect Dis. (2004); 189. 11. Panduan pelayanan medis departemen ilmu penyakit anak. Edisi pertama. Jakarta: RSCM. 2007; 75-84. 12. Lazzerini M, Ronfani L. Oral zinc for treating diarrhea in children (review). Cochrane Database of Systematic Review. 2008; issue 3. 13. Barclay L. Vitamin A may reduce deaths from measles and diarrhea in children. Diunduh dari http://www.medscape.com/viewarticle/733832 pada 22 Maret 2014 pukul 23.07.