MAKALAH PRESENTASI KASUS ENTRI DEMAM: CAMPAK

advertisement
MAKALAH PRESENTASI KASUS
ENTRI DEMAM: CAMPAK
Disusun Oleh:
Lutfie – 0906487871
Kelompok E1
Narasumber:
dr. Amar Widhiani SpA (K)
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT ANAK DAN BUNDA HARAPAN KITA
April 2014
SURAT PERNYATAAN
Saya yang dicantumkan namanya dibawah ini menyatakan bahwa tugas “Presentasi Kasus Entri
Demam: Campak” ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku
di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya dinyatakan melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia.
Jakarta, 9 April 2014
Lutfie – 0906487871
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. MDA
No. RM
: 571427
Jenis kelamin
: Laki - laki
Usia
: 15 tahun 7 bulan 29 hari
TTL
: Jakarta, 8 Agustus 1998
Agama
: Islam
Pendidikan
: Kelas 3 SMP
Masuk IGD
: 7 April 2014 pukul 15.30.
Masuk Bangsal
: Gambir Isolasi (GB 103A), 7 April 2014 pukul 17.30.
DPJP
: dr. Syarif, SpA(K)
Jaminan
: Umum / tunai.
Nama orang tua
: Tn ZA, Ny. S
Usia orang tua
: 62 tahun dan 52 tahun
Pekerjaan orang tua
: Guru, Ibu rumah tangga
Alamat
: Jalan Balikpapan I Petojo Utara Jakarta
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien serta aloanamnesis pada ayah
pasien pada tanggal 8 April 2014.
Keluhan Utama
Demam sejak 4 hari SMRS yang diikuti oleh munculnya ruam pada wajah dan leher sejak 12
jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan utama demam sejak 4 hari SMRS yang diikuti dengan ruam
pada daerah wajah dan leher sejak 12 jam SMRS.
3
Sejak 4 hari SMRS (Kamis, 3 April 2014), pasien mengalami demam, suhu tidak diukur
namun diakui tidak begitu tinggi, demam dirasakan naik turun dan terdapat periode pasien
tidak mengalami demam, tidak terdapat perbedaan lebih sering munculnya demam pada pagi,
siang, maupun malam hari. Selain demam, terdapat pula keluhan batuk. Batuk sebagian besar
kering namun sebagian lagi berdahak dengan dahak sedikit encer, berwarna putih
kekuningan. Terdapat rasa hidung tersumbat dan pilek dengan ingus keluar, encer, berwarna
bening hingga putih.
3 hari SMRS (Jumat, 4 April 2014) karena demam muncul kembali, pasien dibawa berobat ke
poli anak RSAB Harapan Kita, saat itu hanya diberikan obat demam dan obat batuk, nama
obat tidak diingat. Dengan obat tersebut, keluhan tidak membaik. Pasien tetap demam,
dirasakan lebih tinggi dibandingkan hari sebelumnya dan tidak mencapai bebas demam.
Mata pasien diakui mulai berwarna merah, berair dengan warna bening, serta dirasakan perih
dan gatal. Pasien mengaku mata tidak terkena atau terpapar apapun sebelumnya. Terdapat
diare sebanyak 2-3x / hari, lebih banyak air bila dibandingkan dengan ampas, berwarna
coklat kekuningan, sebanyak ½ - 1 gelas aqua, tidak terdapat lendir maupun darah. Pasien
juga mengaku merasa mual namun tidak sampai muntah. Terdapat pula nyeri pada saat
menelan sehingga nafsu makan mulai turun.
Mimisan dan gusi berdarah disangkal. Adanya sakit di daerah perut disangkal. Tidak terdapat
kejadian demam berdarah di sekitar lingkungan tempat tinggal dan sekolah pasien. Riwayat
jajan di tempat yang tidak biasa atau didudga kebersihannya kurang disangkal. Riwayat
bepergian ke daerah yang banyak terkena malaria disangkal.
Keluhan berangsur-angsur memberat dalam 2 hari berikutnya, berupa demam dengan panas
yang dirasakan lebih tinggi, serta batuk dan pilek yang lebih sering dan makin mengganggu.
12 jam SMRS (7 April 2014), pasien datang ke IGD RSAB Harapan Kita pada jam 3 pagi
karena mulai muncul ruam kemerahan di daerah dahi sebelah kiri, saat itu hanya sedikit dan
terbatas pada daerah tersebut. Riwayat kontak dengan orang yang memiliki ruam serupa
dalam 2-3 minggu terakhir disangkal. Suhu tubuh saat itu 39,50C. Pasien sempat diberikan
obat panas dan setelah dilakukan pengamatan selama 2-3 jam, dikatakan dapat rawat jalan
sambil datang kontrol ke poli.
4 jam SMRS (jam 11 siang), ruam dikatakan mulai meluas hingga sebagian besar wajah dan
leher, sehingga pasien datang kembali ke IGD RSAB. Suhu tubuh saat itu 38,50C. Keluhan
suara serak, napas terasa cepat atau sesak, atau kejang disangkal.
4
Pasien dirawat di ruang isolasi bangsal Gambir, saat ini memasuki hari perawatan ke dua.
Keluhan dikatakan mulai membaik. Ruam dikatakan menyebar ke batang tubuh bagian atas
sisi depan dan belakang, hingga lengan dan tungkai bagian atas kedua anggota gerak. Pasien
saat ini masih merasa lemas dan mudah mengantuk. Leher masih terasa agak sakit saat
menelan, namun pasien sudah dapat makan hingga ½ porsi. Batuk mulai berkurang, pilek
sudah tidak ada, hanya sesekali terasa hidung mampet. Mata masih gatal, namun perih sudah
menurun. Diare hari ini 1x namun sudah mulai lebih banyak ampas.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah dirawat selama 1 minggu (Februari 2012, usia pasien 13 tahun) dengan
diagnosis herpez zoster oftalmikum dekstra, saat itu dikatakan telah sembuh. Keluhan ruam
seperti ini sebelumnya disangkal. Riwayat asma, mudah bersin di pagi hari, atau mata sering
gatal dan berair sebelumnya disangkal. Keluhan batuk lama atau pengobatan flek paru atau
konsumsi obat penekan daya tahan tubuh disangkal. Riwayat mudah demam, batuk pilek,
atau diare yang berkepanjangan disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat riwayat asma atau atopi lainnya pada keluarga. Pasien tinggal bersama ketiga
orang kakak dan kedua orang tuanya. Tidak terdapat keluhan demam maupun ruam serupa
pada anggota keluarga dalam 2-3 minggu terakhir.
Riwayat Kehamilan Ibu
Selama kehamilan, ibu pasien tidak pernah mengalami demam, sakit hingga dirawat, riwayat
tekanan atau gula darah tinggi selama kehamilan. Ibu pasien rutin melakukan antenatal care
ke bidan. Riwayat konsumsi jamu-jamuan, alkohol, atau rokok selama kehamilan dikatakan
tidak ada.
Riwayat Kelahiran dan Corak Reproduksi
Pasien lahir spontan di praktik bidan, dibantu oleh bidan, cukup bulan (37 minggu). Berat
lahir 3200 gram. Panjang badan saat lahir 51 cm. Lingkar kepala saat lahir tidak diingat.
Pasien langsung menangis saat lahir, tidak ada pucat atau pun biru.
5
Pasien merupakan anak ke empat dari empat bersaudara. Kakak pertama pasien perempuan
saat ini berusia 25 tahun, masih berkuliah, kakak kedua pasien laki-laki saat ini berusia 22
tahun, kakak ketiga pasien laki-laki saat ini berusia 19 tahun.
Riwayat Perkembangan
Diakui tidak terdapat keterlambatan perkembangan (pasien dapat tengkurap saat usia 4 bulan,
duduk 6 bulan, berdiri 10 bulan, berjalan 11 bulan, bicara 1 tahun).
Pasien saat ini bersekolah, kelas 3 SMP, dikatakan tidak pernah tinggal kelas dan selalu dapat
mengikuti pelajaran dengan baik.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar hingga saat ini diakui lengkap. Tidak dilakukan imunisasi ulangan. Pasien
beserta ayahnya tidak ingat benar apakah dulu mengikuti program imunisasi saat SD.
Riwayat Nutrisi
Pasien mengonsumsi ASI secara eksklusif sejak pasien lahir hingga usia 6 bulan, dilanjutkan
dengan bubur dan makanan lunak. Pasien mulai makan makanan rumah sejak usia 1 tahun.
Saat ini, sehari-hari pasien makan 3 kali sehari. Makanan sehari-hari berupa nasi, daging,
telur, tahu tempe, sayur, dan buah.
PEMERIKSAAN FISIK (8 April 2014)
Keadaan Umum
: Kompos mentis (GCS 15), tampak sakit sedang
Frekuensi Nadi
: 84 x/menit, reguler, isi cukup saat bangun (normal: 55-90 saat
bangun, 50 – 90 saat tidur, sampai 200 bila aktif / demam)
Tekanan darah
: 110/70 mmHg (normal: 115 ± 17 / 60 ± 10 mmHg)
Frekuensi napas
: 24 x/menit, reguler, kedalaman cukup, torako-abdominal (normal: 1530 x/menit)
Suhu tubuh
: 36,90C (aksila: normal = 34,7-37,30C)
Antropometri
:
Berat Badan
: 48 kg; BB/U = persentil 10
Tinggi Badan
: 168 cm; TB/U = persentil 25, BB/TB = 48/53 = 90,57%
Lingkar Kepala
: 55 cm (perrsentil 50)
6
Lingkar Lengan Atas : 23 cm (persentil 10 s/d 25)
Kesan
: Gizi cukup
Kepala
: Normocephal, rambut hitam, persebaran rata dan tak mudah dicabut
Mata
: Injeksi konjungtiva dan silier positif pada kedua mata, tidak terlihat
infiltrat atau kekeruhan kornea, edema kelopak mata negatif, mata
tidak cekung, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, refleks cahaya langsung +/+ tidak langsung +/+, bola mata
dapat bergerak ke segala arah.
Telinga
: Normotia, tidak ada sekret.
Hidung
: Tidak ada deviasi septum, tidak ada sekret, tidak ada darah, tidak ada
napas cuping hidung.
Bibir
: Tidak sianotik.
Mulut
: Koplik spot tidak ditemukan, oral higiene baik, tidak ada perdarahan
gusi, ulkus tidak ada.
Lidah
: Papil tidak atrofi, tremor (-).
Tenggorokan
: Faring tidak hiperemis, tonsil tidak membesar (T1-T1).
Leher
: Tidak terdapat kaku kuduk, tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening, JVP kesan tidak meningkat.
Toraks
:
Paru
Inspeksi
: Bentuk dada normal, simetris saat statis dinamis, tidak ada retraksi.
Palpasi
: Ekspansi dada simetris, fremitus vokal kiri sama dengan kanan.
Perkusi
: Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi
: Vesikuler +/+, tidak ada rhonki atau wheezing.
Jantung
Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi
: Iktus kordis teraba pada sela iga 5, pada 1 jari medial linea
midklavikula sinistra, tidak ada thrill.
Perkusi
: Batas jantung kanan linea sternalis kanan, batas jantung kiri 1 jari
medial linea midklavikula sinistra.
Auskultasi
Abdomen
: Bunyi jantung I-II normal, tidak ada murmur maupun gallop.
:
Inspeksi
: Perut datar, lemas, venektasi tidak ada.
Palpasi
: Hepar dan limpa tidak teraba, turgor baik.
7
Perkusi
: Timpani.
Auskultasi
: Bising usus normal.
Genitalia
: Tidak ditemukan hiperemia.
Pubertas
: Kesan normal Tanner stage 3-4 (rambut pubik P4, rambut ketiak
mulai tumbuh, kumis dan janggut belum tumbuh).
Anggota gerak
: Akral hangat, CRT < 3 detik, tidak ada edema, sianosis (-), kekuatan
motorik ekstremitas atas 5555/5555, kekuatan ekstremitas bawah
5555/5555, refleks patella +2/+2, refleks patologis -/-, Brudzinky I (-),
Brudzinky II (-), Kernig > 1350/ > 1350.
Kulit
: Ditemukan ruam pada regio wajah, leher, batang tubuh bagian atas
sisi depan dan belakang, lengan bilateral, serta tungkai atas bilateral
dengan efloresensi makula hingga papul eritematosa, berbentuk bulat
hingga ireguler, berukuran lentikular hingga plakat, berbatas tegas,
multipel dengan sebagian berkonfluens, tersebar generalisata (gambar
terlampir). Tidak ikterik ataupun pucat, tidak terdapat petekiae.
8
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil (07/04/14) Hasil (08/04/14)
Satuan
Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin
16,3
16,2
g/dL
13,0-18,0
Hematokrit
47,1
47,6
%
40,0-54,0
Leukosit
5,62
5,95
ribu/ul
4,50-13,00
Trombosit
150
148
ribu/ul
150-400
Basofil
0,7
-
%
0,0-1,0
Eosinofil
0,0
-
%
\1,0-6,0
Neutrofil Batang
0,0
-
%
2,0-6,0
Neutrofil Segmen
72,4
-
%
50,0-70,0
Limfosit
19,2
-
%
20,0-40,0
Monosit
7,7
-
%
2,0-9,0
1,4
-
mg/l
0,0-3,0
5
-
mm/jam
< 10
Hitung Jenis
Kimia Klinik
Hs-CRP Kuantitatif
Hematologi
Laju Endap Darah 1
jam
DIAGNOSIS KERJA
Campak febris hari ke 6, tanpa komplikasi.
TATALAKSANA
Farmakologis:
Ringer Asetat per intravena 20 tetes per menit makro.
Tempra Forte ® per oral 4 x 2 sendok takar bila demam.
Isoprinosin per oral 3 x 1 tablet.
Smecta ® per oral 3 x 1 sachet.
Zink per oral 1 x 2 sendok takar.
Saran tatalaksana tambahan: Vitamin A 200.000 IU.
9
Non farmakologis:
Tirah baring.
Rawat di ruang isolasi.
Diet makanan lunak.
Monitoring: balans diuresis, monitoring komplikasi (bronkopneumonia, ensefalitis,
dehidrasi akibat gastroenteritis).
Edukasi:
Pemakaian masker pada pengunjung atau penunggu pasien.
PROGNOSIS
Ad vitam
: bonam.
Ad functionam
: bonam.
Ad sanationam
: bonam.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendekatan Demam
Demam didefinisikan sebagai keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1. Kondisi ini
dicetuskan oleh keberadaan pirogen, yaitu zat yang dapat menyebabkan demam.
Pirogen dapat berasal dari luar tubuh dan berkemampuan merangsang IL-1 (eksogen)
maupun dalam tubuh dan dapat mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus
(endogen). Adapun pirogen eksogen dapat berupa pirogen mikrobial dari bakteri, virus, atau
jamur maupun pirogen non mikrobial, sedangkan pirogen endogen antara lain interleukin 1,
tumor necrosis factor, interferon.1
Definisi peningkatan suhu tubuh menekankan kepada pentingnya untuk mengetahui suhu
tubuh normal. Suhu tubuh yang sebenarnya ingin diukur ialah suhu inti tubuh, dengan
definisi normal melalui berbagai metode pengukuran ialah sebagai berikut:

Rektal
: 36,6-38,00C.

Membran timpan
: 35,8-38,00C.

Oral
: 35,5-37,50C

Aksila
: 34,7-37,30C 1,2
Demam umumnya memiliki pola yang dapat ditelusuri untuk mencari etiologi yang
mendasarinya, walaupun suatu penyakit dapat saja tidak memiliki pola demam yang spesifik.
Beberapa pola demam yang umumnya ditemui antara lain:

Demam kontinu, dimana variasi diurnal yang terjadi di antara 1,0-1,50F (0,55-0,820C),
misalnya pneumonia tipe lobar, infeksi kuman gram negatif, demam tifoid, dan
malaria falsifarum.

Demam intermitten, yaitu variasi diurnal >10C dengan suhu terendah mencapai suhu
normal, misalnya endokarditis bakterialis dan malaria.

Demam remiten, yaitu variasi normal lebar >10C dengan suhu terendah tidak
mencapai suhu normal, ditemukan pada demam tifoid fase awal dan berbagai penyakit
virus.

Demam saddleback / pelana / bifasik, yaitu episode beberapa hari demam tinggi
disusul oleh penurunan suhu, lebih kurang satu hari, kemudian demam tinggi muncul
11
kembali, biasanya ditemukan pada infeksi dengue, yellow fever, dan infeksi virus
lainnya, yaitu influenza dan poliomielitis.

Demam tersiana dan kuartana, yaitu demam intermitten dengan periode demam yang
diselang dengan periode normal, umumnya karenea malaria.1,2
Secara umum, demam dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelas, yaitu:

Demam tanpa disertai tanda lokal, misalnya infeksi dengue, malaria, demam tifoid,
infeksi saluran kemih, sepsis, dan demam yang berhubungan dengan infeksi HIV.

Demam disertai tanda lokal, misalnya infeksi virus pada saluran pernapasan bagian
atas, pneumonia, otitis media, sinusitis, mastoiditis, abses tenggorokan, meningitis,
infeksi jaringan lunak dan kulit, demam rematik akut.

Demam dengan ruam, misalnya campak, rubella, eksantema subitum, demam skarlet,
dan demam berdarah dengue.

Demam yang berlangsung > 7 hari, misalnya demam tifoid, TB milier, endokarditis
infektif, demam rematik akut, dan deep abscess.3
Adapun anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan
disesuaikan dengan kelompok demam yang sesuai dengan tujuan mempertegas diagnosis
kerja maupun menyingkirkan diagnosis banding setiap etiologi yang terdapat di dalamnya.
Tatalaksana demam dilakukan dengan cara pemberian antipiretik misalnya parasetamol
dan ibuprofen, dengan mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase, sehingga terjadi
penghambatan pada pelepasan PGE2, salah satu mediator demam yang paling poten.
Umumnya antipiretik diindikasikan pada demam lebih dari 390C yang disertai dengan gejala
ketidaknyamanan, demam lebih dari 40,50C, riwayat kejang akibat demam, dan demam
dengan peningkatan kebutuhan metabolisme.1
Tatalaksana lain dilakukan sesuai indikasi sesuai dengan etiologi penyakit yang
mendasarinya.
B. Pendekatan Demam dengan Ruam
Demam disertai ruam pada anak umumnya disebabkan oleh bakteri atau virus. Adapun
patogenesis ruam terjadi melalui berbagai mekanisme, umumnya akibat infeksi langsung
pada epidermis (campak), dermis (rubella), toksin bakteri yang berada di dalam sirkulasi
(S.pyogenes, S.aureus), atau respons imun host (parvovirus B19).4
Virus yang dapat menyebabkan ruam antara lain campak, rubella, HHV-6 (Human
herpes virus), HHV-7, parvovirus B19, dan VZV (Varicella Zoster virus) sedangkan ruam
12
bakterial umumnya disebabkan oleh infeksi S.pyogenes atau S.aureus. Dengan demikian,
pada pasien dengan ruam dipikirkan beberapa diagnosis banding, antara lain campak, rubella
(campak jerman), eksantema subitum, demam berdarah dengue, dan infeksi bakteri akibat
demam skarlet atau infeksi stafilokokus.2,3,4
Pendekatan ruam juga dapat dilakukan melalui efloresensinya. Pada erupsi
makulopapular, dipikirkan etiologi campak, rubella, demam skarlet, roseola infantum,
miliaria, alergi obat, dan penyakit Kawasaki. Pada erupsi papulovesikular, dipikirkan infeksi
varicella-zoster, smallpox, herpes, impetigo, gigitan serangga, erupsi obat, dan moluskum
kontagiosum.2
Infeksi Virus

Campak / measles / rubeola
Pada kasus campak, ruam terjadi akibat infeksi langsung ke epidermis. Diagnosis
dapat ditegakkan atas dasar ruam yang khas, batuk, hidung berair, mata merah, luka di
mulut, kornea keruh, baru saja terpajan dengan kasus campak, serta tidak memiliki
catatan sudah diimunisasi campak.3

Campak Jerman / Rubella
Ruam terjadi sebagai akibat dari infeksi langsung pada dermis. Kecurigaan pada kasus
rubella umumnya ditandai dengan gejala prodromal berupa demam yang tidak begitu
tinggi, malaise, limfadenopati, dan infeksi saluran pernapasan bagian atas dengan
ditemukannya Forchheimer spot / lesi berwarna bunga mawar di tenggorokan.
Terdapat pula keluhan penyerta berupa artritis atau atralgia.5
Adapun pada rubella, ditemukan ruam yang khas dan pembesaran kelenjar getah
bening postaurikular, suboksipital, dan colli-posterior. Ruam umumnya gatal, muncul
1-5 hari setelah gejala prodromal, dimulai dari muka dan menyebar ke arah kaudal,
namun lebih samar dan relatif kurang berkonfluens bila dibandingkan dengan
campak.3,4
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah serologi IgM dan IgG rubella
atau melalui kultur dari spesimen nasal, swab tenggorok, darah, urin, dan cairan
serebrospinal.4

Eksantema subitum / Roseola
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi HHV-6 dan HHV-7. umumnya terjadi terutama
pada balita (6-18 bulan). Penderita biasanya telah terkena infeksi primer herpes
sebelumnya kemudian bila terjadi keadaan imunosupresi, virus mengalami reaktivasi.
13
Ruam muncul setelah demam tinggi dengan suhu yang mulai turun dan biasanya
dapat menyembuh dengan spontan. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
limfositosis dan neutropenia.2,3,4

Demam dengue.
Karakteristik ruamnya timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu
pada hari sakit ke 3-5, berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular dan
menghilang dengan tekanan, tersebar pada dada, tubuh serta abdomen, lalu menyebar
ke anggota gerak dan muka. Selain itu, ditemukan pula gejala trias lainnya, yaitu
demam tinggi dan nyeri pada anggota badan.1

Varisela / chickenpox
Merupakan akibat dari infeksi primer virus varisela, ditandai dengan ruam papular
pruritik yang berevolusi menjadi vesikuler dengan sifat generalisata. Gejala
prodromal yang muncul adalah demam dan malaise. Ruam dimulai dari leher, wajah,
batang tubuh bagian atas, kemudian menyebar ke luar dalam 3-5 hari dengan
melibatkan membran mukosa. Apabila pada kemudian hari terjadi reaktivasi,
umumnya bersifat dermatomal, dikenal sebagai herpes zoster. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan klinis, bila perlu ditunjang dengan pemeriksaan antibodi
spesifik melalui teknik fluoresensi.4
Gambar 1. Patogenesis Campak, Rubella, Eksantema Subitum, dan Demam Skarlet.2
14
Secara lebih terperinci, karakteristik ruam akibat infeksi virus disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Klinis Ruam akibat Infeksi Virus4
15
Gambar 2. Karakteristik Ruam pada Campak, Rubella, dan Demam Skarlet.2
Infeksi Bakterial

Demam skarlet.
Ruam ini disebabkan oleh efek vaskular dari toksin Streptokokus beta-hemolitikus
grup A. Gejala prodromal yang dimilikinya ialah faringitis, menggigil, dan nyeri
abdomen.
Karakteristik yang ditimbulkan ialah demam tinggi, anak tampak sakit berat, ruam
merah kasar pada seluruh tubuh yang biasanya didahului di daerah lipatan (leher,
ketiak, dan lipat inguinal), peradangan hebat pada tenggorokan dan kelainan pada
lidah (strawberry tongue), dan kulit bersisik pada penyembuhan. Terdapat pula
petekiae dan area hiperpigmentasi pada lipatan kulit (Pastia lines).3,4

Infeksi stafilokokus, umumnya mirip dengan demam skarlet namun tanpa adanya
faringitis maupun enantem.4
16
Tabel 2. Karakteristik Klinis Ruam akibat Infeksi Bakteri4
C. Campak
Definisi dan Epidemiologi
Morbili / measles / campak merupakan penyakit akut yang sangat menular. Campak
terdapat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Adapun epidemi penyakit ini di Indonesia
timbul secara tidak teratur, umumnya terjadi pada daerah dengan populasi balita, gizi buruk,
dan imunitas yang melemah6. Campak umumnya ditemukan di daerah pedesaan, terutama
daerah yang sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan, khususnya imunisasi. Pada tahun
2008, sempat terjadi beberapa KLB di Bangka Belitung (6x), Jawa Barat (31x), Jawa Tengah
(12x), dan Jawa Timur (32x).6,7 Dilihat dari usia, umur terbanyak penderita campak adalah <
12 bulan, diikuti kelompok umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun.7
Secara biologik, morbili memiliki sifat adanya ruam yang jelas, tidak diperlukan hewan
perantara, tidak ada penularan melalui serangga / vektor lainnya, adanya siklus musiman
dengan periode bebas penyakit, tidak ada penularan virus secara tetap, hanya memiliki satu
serovirus dan adanya vaksin yang umumnya efektif.1 Campak lebih sering terjadi saat awal
17
musim hujan, diperkirakan sebagai akibat dari meningkatknya kelangsungan hidup virus pada
keadaan kelembaban yang relatif rendah.6
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus yang umumnya menyerang anak. Virus campak
merupakan virus RNA yang tergabung ke dalam famili paramyxovirus dengan karakteristik
sangat menular. Virus berbentuk bulat dengan tepian kasar, dibungkus oleh selubung lemak
dan protein, salah satunya hemaglutinin.1
Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama masa tunas
dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus ini tetap aktif minimal 34 jam
pada suhu kamar namun akan kehilangan 60% efektivitasnya, sangat sensitif terhadap panas,
bertahan 4 minggu pada temperatur 350C, mudah rusak pada suhu 370C, jangka waktu
hidupnya pendek (kurang dari 2 jam), dan umumnya dapat disimpan dengan baik hingga 5
bulan pada lemari pendingin bersuhu 4-60C dan 5,5 tahun pada suhu -700C.1,6,8
Patofisiologi
Transmisi campak umumnya terjadi secara langsung dari droplet infeksi atau melalui
udara (airborne ) walaupun cukup jarang terjadi. Adapun penularan dapat terjadi sejak awal
masa prodromal hingga 4 hari setelah timbulnya ruam sehingga riwayat kontak dengan
penderita campak akan menguatkan diagnosis.1,4,5,6
Pada tempat awal infeksi, replikasi virus terjadi secara minimal sehingga virus jarang
ditemukan. Virus akan masuk ke dalam limfatik lokal, kemudian bebas beredar atau
berhubungan dengan sel mononuklear, lalu mencapai kelenjar getah bening regional. Virus
akan memperbanyak diri di sini secara perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan
limforetikular seperti limpa. Adapun sel mononuklear yang terinfeksi akan membentuk sel
raksasa berinti banyak (sel Warthin) sedangkan limfosit T yang rentan terhadap infeksi turut
aktif membelah.1
18
Gambar 3. Patofisiologi Campak.
Sumber: http://www.immunopaedia.org.za/index.php?id=849
Sekitar 5-6 hari sejak infeksi awal, akan terbentuk fokus infeksi, diikuti dengan masuknya
virus ke dalam pembuluh darah dan penyebaran ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva,
saluran napas, kulit, kandung kemih, dan usus. Pada hari ke 9-10, fokus infeksi berada di
epitel saluran napas dan konjungtiva, sehingga akan terjadi nekrosis pada satu hingga dua
lapis sel.1
Virus akan masuk kembali ke dalam pembuluh darah dalam jumlah banyak dengan
manifestasi klinis mulai muncul, yaitu berupa batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang
tampak merah. Adapun pada perkembangan selanjutnya pada daerah nekrotik tersebut dapat
terjadi infeksi bakteri sekunder dengan manifestasi bronkopneumonia maupun otitis media.
Proses ini akan diikuti dengan respon imun peradangan epitel saluran pernapasan
sehingga terjadi penurunan fungsi silia diikuti hipersekresi lendir / mukus, anak tampak sakit
berat, dan muncul ulserasi kecil pada mukosa pipi dan bercak Koplik. Pada infeksi saluran
cerna, dapat terjadi hiperplasia jaringan limfoid, diikuti oleh iritasi mukosa usus, peningkatan
sekresi dan peristaltik, sehingga terjadi diare. Setelah melalui proses fagositosis oleh leukosit,
limfosit, dan makrofag, terjadi pengeluaran zat pirogen sehingga mempengaruhi hipotalamus
dan muncullah demam.6
19
Patofisiologi campak juga mencakup terjadinya imunosupresi, sebagai akibat dari
terjadinya limfopenia selama infeksi akut, sebagai akibat dari hilangnya sel imun karena
infeksi dan pembentukan sel raksasa. Respon sel T helper 1 dalam hal ini berkurang sebagai
akibat dari hambatan pelepasan IL-12 akibat infeksi selular. Di samping itu, terjadi
peningkatan pengeluaran IL-4 dan TGF-β, sehingga terjadi sekresi IL-10 dari T helper 2
meningkat dan makin menekan respon dari Th1.5
Sebagai akibat dari adanya respons imun delayed hipersensitivity terhadap antigen virus
yang menginfeksi sel endotel kapiler dermis, terjadi eksudasi serum / eritrosit pada epidermis
yang bermanifestasi sebagai munculnya ruam makulopapular sekitar hari ke 14 sesudah
infeksi. Saat ini, antibodi humoral umumnya dapat dideteksi. Akan tetapi, kejadian ini
umumnya tidak tampak pada kasus defisiensi sel T.1
Infeksi dengan virus campak akan merangsang pembentukan neutralizing antibody,
complement fixing antibody, dan haemaglutinin inhibition antibody. Adapun imunoglobulin
kelas IgM dan IgG yang distimulasi oleh infeksi campak akan muncul kurang lebih
bersamaan, sekitar hari ke 12 infeksi dan mencapai titer tertingginya setelah 21 hari. IgM
akan menghilang dengan cepat dan IgG akan tetap berada pada jumlah yang dapat diukur.
Keberadaan IgM menandakan baru terkena infeksi atau vaksinasi, akan bertahan selama 1
bulan, sedangkan IgG menandakan pernah terkena infeksi. Di samping kedua jenis
imunoglobulin, antibodi IgA sekretori juga dapat dideteksi dari sekret nasal dan terdapat di
seluruh saluran napas, yang hanya ditimbulkan oleh virus hidup.1
Patogenesis Penyakit dan Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit campak umumnya akan melewati 3 stadium setelah masa tunas yang
berlangsung selama 10-12 hari, yaitu:1,6,7

Stadium prodromal, memiliki gambaran gejala pilek dan batuk yang meningkat dan
ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring, dan peradangan
mukosa konjungtiva.
Dua hari sebelum munculnya demam, bercak Koplik merupakan tanda patognomonik
yang dapat dideteksi. Lesi ini pertama kali dideksripsikan oleh Koplik (1896), yaitu
sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah muda hingga
merah terang, pada pertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan. Tanda
ini hanya muncul sebentar, yaitu sekitar 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan mudah
luput saat pemeriksaan klinis, terlebih lagi dengan pencahayaan yang kurang.
20
Gambar 4. Bercak Koplik. Sumber: http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Rubeola.htm

Stadium erupsi, yaitu dengan keluarnya ruam mulai dari belakang telinga menyebar
ke muka, badan, lengan, dan kaki. Ruam umumnya timbul setelah didahului oleh suhu
badan yang meningkat / demam selama tiga hingga empat hari.
Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari ke lima atau ke enam pada
puncak timbulnya ruam. Kurva suhu dapat saja menimbulkan gambaran bifasik, yaitu
menurunnya suhu tubuh hingga mendekati normal saat ruam awal pada 24 sampai 48
jam pertama selama 1 hari kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat
mencapai 400C saat ruam muncul di seluruh tubuh. Pada fase ini, dapat terjadi kejang
demam.
Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapular eritematosa, umumnya dimulai dari
bagian samping atas leher, daerah belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan
meluas ke dahi. Kemudian, terjadi penyebaran ke bawah ke seluruh muka dan leher
dalam waktu 24 jam, lalu ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung, dan
mencapai kaki pada hari ke tiga. Bagian yang pertama kena umumnya mengandung
lebih banyak lesi hingga berkonfluens dibandingkan dengan daerah yang terkena
kemudian.

Stadium konvalesens. Pada kasus tanpa komplikasi, suhu tubuh akan mengalami lisis
dan kemudian turun. Setelah tiga sampai empat hari munculnya ruam, lesi akan
berubah warna menjadi kecoklatan. Hal ini kemungkinan terjadi sebagai akibat dari
perdarahan / kebocoran kapiler, dengan karakteristik tidak memucat dengan
penekanan. Seiring dengan hilangnya ruam bersesuaian dengan urutan timbulnya,
21
akan timbul perubahan warna menjadi kehitaman atau hiperpigmentasi, disusul oleh
deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan, rata-rata dalam 1-2 minggu.
Diagnosis
Diagnosis campak dibuat berdasarkan gejala klinis yang saling terkait, yaitu cough,
coryza, dan conjungtivitis, disertai degan demam tinggi dalam beberapa hari yang diikuti oleh
timbulnya ruam dengan ciri khas, yaitu dimulai dari belakang telinga, lalu penyebaran
dimulai dari muka hingga kaki seiring dengan peningkatan suhu tubuh. Kemudian, ruam akan
mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas. Konjungitivitis bermanifestasi sebagai mata
merah, berair, dan fotofobia. Pada mata juga dapat ditemukan xeroftalmia dan kekeruhan
kornea. Ditemukannya bercak Koplik pada stadium prodromal merupakan tanda
patognomonik sehingga dapat menyingkirkan diagnosis lainnya. Pada kasus gizi kurang,
ruam dapat hingga berdarah, diare berkepanjangan, atau bahkan telah meninggal sebelum
ruam muncul.
Dengan demikian, penegakan diagnosis umumnya ditegakkan hanya dari pemeriksaan
klinis. Pemeriksaan penunjang misalnya ditemukannya sel raksasa pada lapisan mukosa
hidung dan pipi pada pemeriksaan sitologik maupun IgM spesifik pada uji serologi umumnya
hanya dilakukan bila terdapat keraguan klinis. Di samping itu, pada gejala atipikal perlu
dipertimbangkan diagnosis banding lainnya, yaitu rubela, demam skarlatina, ruam akibat
obat, eksantema subitum, dan infeksi Stafilokokus.1
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit normal atau meningkat apabila
terdapat komplikasi infeksi bakteri. Pada campak tanpa komplikasi infeksi bakteri, umumnya
ditemukan laju endap darah dan kadar CRP yang normal. Apabila terindikasi terdapat
komplikasi, dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal, kadar elektrolit, dan analisis
gas darah untuk mendeteksi ensefalopati, feses lengkap untuk mendeteksi enteritis, dan foto
dada untuk mendeteksi bronkopneumonia.7
Tatalaksana
Pasien campak tanpa penyulit sebenarnya dapat saja berobat jalan. Dalam hal ini,
tatalaksana diberikan secara suportif dan simtomatik, yaitu melalui pemberian cairan dan
kalori yang cukup, antipiretik, antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan.
Pemberian anti virus umumnya tidak menunjukkan efek yang signifikan.1,3,5,7
Pada pasien dengan diare, dilakukan penanganan terhadap dehidrasi yang terjadi. Untuk
konjungtivitis ringan dengan cairan mata yang jernih, tidak diperlukan pengobatan. Jika mata
bernanah, bersihkan mata dengan kain katun yang telah direbus dalam air mendidih, atau lap
22
bersih yang direndam dalam air bersih. Di samping itu, dapat pula diberikan salep mata
kloramfenikol / tetrasiklin 3 kali sehari selama 7 hari.3
Pada kasus campak dengan penyulit, mutlak dilakukan rawat inap pada bangsal isolasi.
Tatalaksana yang diberikan mencakup pemberian vitamin A. Apabila tidak terdapat riwayat
suplementasi vitamin A yang jelas pada bulan Agustus dan Februari, terdapat komplikasi,
atau ditemukan faktor risiko (imunodefisiensi, tanda klinis defisiensi vitamin A, gangguan
absorbsi usus, malnutrisi), diberikan dosis 50.000 IU pada anak berusia < 6 bulan, 100.000
IU dengan usia 6-11 bulan, atau 200.000 IU untuk usia di atas 12 bulan, diberikan per oral
satu kali dan apabila terdapat gizi buruk, dilanjutkan 1500 IU tiap hari atau hingga pemberian
dosis 3x, yaitu pada hari ke 1, ke 2, dan 2-4 minggu setelah dosis ke dua.1,3,7,9
Tatalaksana lain dilakukan untuk mengatasi penyulit. Pada bronkopneumonia, diberikan
oksigen 2 liter / menit, ampisilin 100 mg/kgBB/hari dikombinasikan dengan kloramfenikol
75 mg/kg BB/hari secara intravena hingga sesak berkurang dan pasien dapat minum oral,
kemudian diteruskan secara oral hingga tiga hari demam reda. Pada otitis media, diberikan
kotrimoksazol-sulfametokzasol (TMP 4 mg/kgBB/hari), sedangkan pada ensefalopati,
diberikan kortikosteroid untuk mengurangi edema otak dan pengurangan kebutuhan cairan.1
Komplikasi
Infeksi campak diketahui dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum,
sehingga lebih mudah utuk memicu terjadinya infeksi sekunder ataupun penyulit. Penyulit
yang dapat ditemukan ialah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), dan ensefalitis
(6,7%).
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus campak maupun akibat invasi bakteri.
Adapun manifestasi yang dapat ditemukan antara lain meningkatnya frekuensi napas, ronki
basah halus, serta leukositosis dan gambaran infiltrat. Gastroenteritis diakibatkan oleh invasi
virus ke dalam sel mukosa usus. Ensefalitis merupakan penyakit neurologik yang paling
sering terjadi, biasanya pada hari ke 4 sampai 7 setelah timbulnya ruam. Ensefalitis
bermanifestasi sebagai nyeri kepala, kejang, letargi, hingga koma, dapat terjadi melalui
mekanisme imunologik maupun invasi langsung virus ke dalam otak. Pada pemeriksaan
cairan serebrospinal, terdapat pleositosis ringan, dengan predominan sel mononuklear,
peningkatan protein ringan, sedangkan kadar glukosa dalam batas normal.1
Di samping itu, sebagai akibat dari diare berulang dapat pula terjadi peningkatan kasus
gizi kurang dan gizi buruk. Laringitis akut dapat terjadi sebagai akibat dari edema hebat pada
mukosa saluran napas, ditandai dengan distres pernapasan, sesak, sianotik, maupun stridor.
23
Apabila invasi virus terjadi ke telinga tengah, dapat terjadi otitis media. Selain itu, dapat
terjadi adenitis servikal, aktivasi tuberkulosis, infeksi piogenik pada kulit, dan purpura
trombositopenik. Apabila pasien hamil, dapat terjadi abortus, persalinan prematur, maupun
kelainan kongenital pada bayi. Pada sebagian kecil kasus, dapat pula terjadi subacute
sclerosing pan encephalitis (SSPE), yaitu kelainan degeneratif susunan saraf pusat dengan
manifestasi gangguan tingkah laku dan intelektual progresif, umumnya terjadi pada usia <7
tahun.1,3,4
Pencegahan
Secara umum, pencegahan campak dapat dilakukan secara umum maupun khusus.
Pencegahan umum dilakukan melalui menghindari kontak dengan penderita campak,
memberikan ASI dan nutrisi yang memadai dengan kandungan vitamin yang cukup, terutama
vitamin A.8
Secara khusus, pencegahan dilakukan dengan imunisasi campak. Vaksin campak aman,
efektif, relatif murah, dan memberikan proteksi jangka panjang. Terdapat beberapa jenis
vaksin, baik yang monovalen, kombinasi degan rubela (MR), mumps dan rubela bila usia di
atas 12 bulan (MMR), serta mumps, rubela, dan varisela (MMRV). Vaksin mengandung virus
campak hidup strain CAM 70 dan preservatif Kanamisin sulfat dan Eritromisin.
Imunisasi diberikan dengan dosis 0,5 ml secara subkutan atau intramuskular pada regio
deltoid. Setelah dilarutkan, vaksin campak harus disimpan dalam suhu 2-80C, digunakan
dalam 8 jam, dan terhindar dari sinar matahari.
Sesuai rekomendasi, imunisasi diberikan dua kali, pertama pada usia 9 bulan, kemudian
yang kedua pada umur 6-7 tahun dalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah. Penetapan
waktu 9 bulan disesuaikan dengan hilangnya antibodi maternal pada anak di negara
berkembang, sedangkan sekitar 15 bulan untuk anak di negara maju.6,8
Adapun cakupan imunisasi campak di Indonesia saat ini diperkirakan berkisar antara 8089%.
24
Gambar 5. Cakupan Vaksinasi Campak. Sumber:
http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/surveillance_type/active/measles/en/
Pemberian imunisasi akan merangsang imunitas seluler dan humoral seperti infeksi
alamiah, namun dengan titer antibodi yang lebih rendah. Pada pemberian dosis pertama,
seroproteksi yang diberikan sebesar 89,6% dengan interval 82-95%.6,8
Kegagalan vaksinasi dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Dikatakan primer
apabila tidak terjadi serokonversi setelah imunisasi, umumnya disebabkan oleh adanya
antibodi yang dibawa sejak lahir yang dapat menetralisir virus vaksin campak, kerusakan
vaksin, atau pemberian imunoglobulin secara bersamaan. Kegagalan dikatakan sekunder
apabila tidak ada proteksi setelah serokonversi, umumnya karena potensi vaksin yang kurang
kuat sehingga respon imun tidak adekuat.1
Perlu
diperhatikan
imunodefisiensi
primer,
bahwa
kanker,
imunisasi
atau
dikontraindikasikan
transplantasi
organ,
pada
anak
mendapat
dengan
pengobatan
imunosupresif jangka panjang atau pasien TB yang tidak diobati. Pada pasien HIV tanpa
imunosupresi berat yang tidak memiliki bukti kekebalan terhadap campak, imunisasi dapat
diberikan.6,8
25
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang dapat terjadi ialah demam dengan suhu
39,50C atau lebih, umumnya pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi selama 5 hari (5-15% kasus).
Di samping itu, dapat pula terjadi ruam pada hari ke 7-10 selama 2-4 hari (5% kasus). KIPI
berat lain yang dapat ditemukan ialah gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalitis
dan ensefalopati pasca imunisasi. Diperkirakan risiko kejadian ini dalam 30 hari yaitu 1 di
antara 1 milyar dosis vaksin.6
Prognosis
Dengan tatalaksana yang adekuat, secara umum campak memberikan hasil akhir yang
baik tanpa ada sequele / gejala sisa. Case fatality rate campak setelah digalakkannya program
imunisasi telah menurun dari 5,5% menjadi 1,2%. 7
Adapun strategi untuk mengurangi kematian akibat penyakit campak diperoleh melalui
mempertahankan angka cakupan imunisasi, mengusahakan pemberian imunisasi ke dua,
implementasi surveilans yang didukung fasilitasi laboratorium, dan program penatalaksanaan
kasus secara adekuat di klinik.8
26
BAB III
PEMBAHASAN
Pendekatan demam
Pasien laki-laki 15 tahun 7 bulan, datang dengan keluhan utama demam sejak 4 hari SMRS
diikuti dengan timbulnya ruam sejak 12 jam SMRS. Pasien dapat dikatakan demam dengan
suhu tubuh 39,50C sesuai dengan definisinya, yaitu suhu tubuh di atas nilai normal
pengukuran melalui aksila, yaitu di atas 37,30C.
Pola demam pasien naik turun namun cenderung meningkat seiring dengan berjalannya
waktu dan tidak lagi mencapai suhu normal, dengan demikian bersifat remitten. Pola demam
semacam ini ditemukan pada tifoid stadium awal maupun berbagai penyakit virus.
Adapun karakteristik demam pasien masih kurang dari 7 hari dan ditandai oleh beberapa
tanda lokal meskipun tidak cukup spesifik berupa mata merah dan berair, gejala infeksi
saluran pernapasan akut bagian atas berupa batuk dan pilek, gejala infeksi saluran cerna
seperti diare. Kumpulan gejala ini merupakan gejala prodromal yang umum ditemukan pada
infeksi virus, dengan demikian berdasarkan karakteristik demamnya, diperkirakan demam
terjadi sebagai akibat dari infeksi virus.
Pendekatan demam dengan ruam
Pada saat puncak demam, yaitu demam hari ke 4, mulai muncul ruam pada tubuh pasien.
Ruam dimulai dari daerah dahi kemudian ke wajah dan leher, sebelum akhirnya meluas ke
daerah batang tubuh, lengan, dan tungkai atas dengan efloresensi makulopapular, dengan
demikian dipikirkan etiologi campak, rubella, demam skarlet, roseola infantum, miliaria,
alergi obat, dan penyakit Kawasaki.
Dengan demikian, varisela maupun herpes dapat disingkirkan karena efloresensinya yang
umumnya berupa lesi vesikuler, bukan makulopapuler.
Ditinjau dari pendekatan demam dengan ruam, etiologi penyebabnya dapat disebabkan dari
bakteri maupun virus.
Demam skarlet maupun infeksi stafilokokus dapat disingkirkan karena tidak ditemukan ruam
tidak ditemukan pada daerah lipatan kulit, serta tidak ditemukan strawberry tongue maupun
Pastia lines. Hal ini menguatkan dugaan awal bahwa infeksi yang terjadi pada pasien
disebabkan oleh virus.
Salah satu infeksi virus yang harus disingkirkan ialah infeksi dengue, mengingat waktu
keluhan pasien merupakan fase krusial. Pada pasien, gejala yang sesuai ialah adanya demam
27
yang tinggi dan tidak berespons baik dengan pengobatan. Akan tetapi, ruam dengue
umumnya muncul sebelum kenaikan suhu pertama kali, sehingga kurang bersesuaian dengan
keluhan pasien. Hal ini diperkuat kembali dengan demam yang awalnya masih turun hingga
bebas demam dan tidak ditemukannya pola demam bifasik, tidak ditemukannya mimisan atau
manifestasi perdarahan pada gusi, nyeri lambung, maupun riwayat perawatan demam
berdarah di anggota keluarga maupun tetangga. Dengan demikian, infeksi dengue dapat
disingkirkan.
Roseola dapat disingkirkan karena umumnya penyakit terjadi pada balita dan ruam muncul
setelah demam turun, sedangkan pasien memasuki masa remaja muda dan saat mengalami
keluhan sedang berada pada puncak demamnya.
Rubella dapat disingkirkan karena meskipun terdapat gejala yang bersesuaian, yaitu dengan
tanda infeksi saluran napas bagian atas, malaise, dan ruam yang dimulai dari muka, terdapat
ketidaksesuaian tanda dengan keluhan pasien, yaitu demam yang dialami pasien tinggi dan
telah dialami sebelum munculnya ruam (suhu tubuh 39,50C) sedangkan demam pada rubella
umumnya muncul bersamaan dengan ruam dengan suhu yang tidak begitu tinggi.
Campak dapat diterima sebagai diagnosis karena terdapat gejala prodromal yang bersesuaian,
yaitu 3C (Conjungtivitis, Coryza, Cough) serta ruam yang muncul pada puncak demam,
diawali dari daerah muka kemudian melanjut ke kaudal hingga akhirnya ke tungkai. Bercak
koplik, tanda patognomonik dari campak tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan,
diperkirakan karena saat pemeriksaan sudah memasuki hari ruam ke dua (fase erupsi),
sedangkan tanda ini umumnya dapat diamati pada fase prodromal selama 12 jam saja.
Adapun keluhan diare pada pasien diperkirakan merupakan bagian dari perjalanan penyakit
campak, sebagai akibat dari infeksi pada saluran cerna. Pada pasien diakui tidak terdapat
kontak pada penderita dengan keluhan serupa dan sudah melakukan vaksinasi campak pada
usia 9 bulan. Akan tetapi, pasien tidak mengingat jelas keikutsertaannya dalam BIAS. Tidak
terdapat riwayat atau faktor risiko imunosupresi, status gizi pasien pun baik, akan tetapi perlu
diingat bahwa efek seroproteksi vaksin campak adalah 82-95%, sehingga tetap terbuka
kemungkinan untuk pasien terinfeksi campak.
Dengan demikian, keluhan dan tanda pada pasien mendukung diagnosis kerja campak,
dengan saat ini hari perawatan ke dua pada demam hari ke 6.
Campak dapat ditegakkan hanya dari pemeriksaan klinis. Adapun interpretasi pemeriksaan
penunjang pasien, yaitu hasil laboratorium adalah sedikit neutrofilia dan limfositopenia.
Secara teoritis, temuan ini diperoleh pada campak dengan komplikasi infeksi sekunder
bakteri. Akan tetapi, melihat laju endap darah dan hsCRP normal dan abnormalitas hasil
28
laboratorium ternyata sangat dekat dengan batas nilai normal, terlebih dengan tidak
ditemukannya gejala klinis yang sesuai dengan komplikasi yang ada, dapat diduga tidak
terjadi infeksi sekunder. Adapun trombositopenia dapat terjadi sebagai salah satu komplikasi
atau perjalanan lanjut dari penyakit campak.
Campak
Dengan diagnosis kerja campak, maka dicari apakah terdapat komplikasi. Adapun komplikasi
yang paling umum terjadi adalah bronkopneumonia, enteritis, dan ensefalitis. Dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya keluhan atau temuan yang mengarah ke
bronkopneumonia maupun ensefalitis. Terdapat keluhan diare, sehingga penting untuk
diperhatikan status dehidrasinya. Pasien saat ini mengalami penurunan nafsu makan, namun
masih mau minum, pada pemeriksaan fisik pun tidak ditemukan tanda dehidrasi. Tidak
ditemukan adanya komplikasi lain pada pasien, sehingga diagnosis kerja dapat dilengkapi
sebagai campak tanpa komplikasi. Selama pemantauan ke depannya, perlu observasi ketat
pada keberadaan komplikasi sebagaimana disebutkan.
Tatalaksana pada pasien dilakukan secara suportif dan simtomatik. Tatalaksana farmakologis
pertama berupa pemberian hidrasi. Pada pasien, diberikan cairan kristaloid ringer asetat
secara intravena dengan pemberian 20 tetes per menit makro. Secara perhitungan kebutuhan
sesuai rumus Darrow, diperoleh kebutuhan = 1500 + 20 x (48-20) = 2060 cc/24 jam ~ 85,83
cc/jam ~ 21, 46 tetes per menit, sehingga pemberian cairan sudah cukup untuk maintenance.
Perlu diperhatikan apabila pada pemantauan balans diuresis tidak sebanding atau ditemukan
tanda dehidrasi, diperlukan penyesuaian tetesan infus.
Tatalaksana berikutnya ialah pemberian antipiretik, yaitu tempra forte bila demam. Hal ini
juga dinilai sudah tepat. Isoprinosin merupakan imunostimulator, diberikan per oral tiga kali
sehari. Pasien dengan campak memang umumnya juga memiliki penurunan daya tahan tubuh
dan rentan untuk mengalami infeksi sekunder. Oleh karena itu, imunostimulator memiliki
tempat untuk diberikan sebagai bagian dari tatalaksana pasien. Akan tetapi, sifatnya tidak
wajib dan cnderung opsional mengingat efektivitasnya yang juga masih kontroversial.
Pasien mengalami diare dan saat ini diberikan smecta dan zink. Smecta merupakan
diosmectite, berfungsi sebagai adsorben dan zink berfungsi untuk mengatasi defisiensi yang
terjadi akibat diare maupun mencegah kekambuhan selama 2-3 bulan ke depannya. Melihat
respons pasien yang membaik setelah pengobatan, yaitu dengan perbaikan keluhan diare,
dapat dikatakan tatalaksana ini sudah tepat.
29
Adapun tatalaksana tambahan yang disarankan adalah pemberian vitamin A 200.000 IU,
mengingat status gizi pasien masih cukup namun tidak diketahui dengan jelas riwayat
suplementasi vitamin A pada pasien. Suplementasi ini merupakan rekomendasi langsung dari
WHO mengingat pentingnya bahan ini untuk menjaga integritas epitel dan fungsi sel imun.
Secara non farmakologis, pasien harus beristirahat dan dirawat di ruang isolasi untuk
mencegah penyebaran mengingat sifat penyakit yang sangat menular dan pasien masih
memasuki masa dapat menularkan penyakit (hari ke 2 ruam). Demikian pula dengan para
penunggu dan pengunjung pasien, terutama bagi yang belum pernah terkena campak,
diwajibkan untuk memakai masker.
Secara umum, prognosis pada pasien ini adalah bonam karena tidak terdapat komplikasi dan
penanganan serta respons yang ditunjukkan oleh pasien pun baik.
30
Daftar Pustaka
1. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012. hal. 21-44, 109-18.
2. Hadinegoro SR. Fever in Children. FKUI; 2013.
3. WHO. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta; WHO: 2009.hal.157-61,
180-2.
4. Bernstein D, Shelov S. Pediatrics for Medical Students. Third Edition. Philadeplhia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2012.p.195-207.
5. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson textbook of
pediatric. Ed 19. Philadelphia: Elsevier. 2011. [e-book]
6. Ranuh IG, Suyitno H, Hadinegoro SE, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko.
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen IKA RSCM;
2011. hal.341-6..
7. Sastroasmoro S, Bondan H, Kampono N, Widodo D, Umbas R, Hermani B. Panduan
Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Anak. Jakarta; RSCM: 2007. hal.150-2.
8. Soedjatmiko, Gunardi H, Sekartini R, Medise BE. Intisari Imunisasi untuk Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta: Departemen IKA RSCM; 2013. hal.15-7.
9. Hall CB, Granoff DM, Gromisch DS, Halsey NA, Kohl S, Marcuse EK, et al. Vitamin
A Treatment of Measles. Pediatrics 1993; 91: 1014.
31
Download