BAB II PENGATURAN ATAS IMPOR OBAT TRADISIONAL DI

advertisement
BAB II
PENGATURAN ATAS IMPOR OBAT TRADISIONAL DI INDONESIA
A. Peran dan Manfaat Impor Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan darian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut
yang secara turun temurun telah dipergunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat. 11
Selain itu, Obat tradisional juga dapat didefinisikan dengan bahan atau ramuan yang
berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan
tersebut
yang
secara tradisional telah digunakan untuk
pengobatan
berdasarkan
pengalaman. 12
Masyarakat dalam hal ini diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengolah,
memproduksi dan mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan obat
tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
Dalam Surat Edaran Kepala Direktorat Pengawasan Obat Tradisional tanggal 24
Februari 1994 dinyatakan bahwa sekarang ini telah banyak beredar obat tradisional asing.
Dalam rangka melindungi masyarakat dari penggunaan obat tradisional yang belum jelas
diketahui keamanan dan manfaatnya, maka diharapkan agar diberikan informasi kepada took
obat, distributor, pengecer dan yang sejenisnya agar tidak menjual obat tradisional asing yang
belum jelas komposisinya serta belum diregistrasi oleh BPOM.
Selain itu, dalam Surat Edaran Direktur Jendral POM Kepala Direktorat Pengawasan
Obat Tradisional tanggal 11 Oktober 1994 kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan Propinsi Seluruh Indonesia juga menyatakan bahwa masih banyak dijumpai obat
tradisional, khususnya dari Cina yang belum terdaftar di Departemen Kesehatan RI masuk
11
Op.Cit.Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 1 Ayat (9).
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
Hk.00.05.1.23.3516 tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan
Makanan yang Bersumber, Mengandung, dari Bahan Tertentu dan atau Mengandung Alkohol Pasal 4.
12
Universitas Sumatera Utara
dan diedarkan di wilayah Indonesia, sehingga keamanan, manfaat, khasiat dan mutu
keasliannya tidak diketahui dengan jelas dan untuk melindungi masyarakat terhadap hal-hal
yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan sebagai akibat dari penggunaan obat
tradisional impor yang dimaksudkan di atas, maka Departemen Kesehatan RI berusaha
menertibkan peredaran obat tradisional impor tersebut. Bahkan dalam surat edaran tersebut
dinyatakan permintaan bantuan kepada distributor, toko obat dan penjual obat tradisional
agar :
1. Tidak menyimpan, menjajakan dan/atau menjual obat tradisional asing yang tidak
atau belum terdaftar pada Departemen Kesehatan RI dan tidak dibubuhi stiker
pendaftaran.
2. Menarik dari peredaran semua obat tradisional asing yang tidak terdaftar pada
Departemen Kesehatan RI. 13
Selain beberapa surat edaran tersebut, keberadaan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) juga memberikan perlindungan kepada konsumen obat-obatan tradisional
dengan mengacu kepada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional
termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen dalam
rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu Dasar Negara Pancasila dan Konstitusi Negara UUD RI
1945.
UUPK berusaha memberikan penjelasan kepada konsumen mengenai perlindungan
hukum melalui perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi impor obat di Indonesia, yaitu :
1. Produk barang dan/atau jasa yang diimpor harus memenuhi ketentuan standar mutu
sesuai dengan ukuran, takaran atau timbangan, memenuhi atau sesuai dengan
jaminan, gaya atau model yang sesuai dengan janji dalam label, etiket promosi.
13
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Keseharan RI, Peraturan
Perundang-undangan di Bidang Obat Tradisional, 1993, hal 39
Universitas Sumatera Utara
2. Obat tradisional impor wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa, informasi atau
petunjuk pengoperasian dan memasang label yang memuat tentang penjelasan barang,
termasuk identitas lengkap produsen.
Tujuan dari ketentuan tersebut adalah untuk mengupayakan agar obat tradisional yang
beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain : asal-usul, mutu atau
kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan dan sebagainya.
Dalam arti lain, UUPK memuat ketentuan perundang-undangan apakah produk tersebut dapat
diperjualbelikan atau dilarang diperjualbelikan.
Pengaturan mengenai impor obat tradisional di Indonesia juga telah dilaksanakan oleh
Lembaga BPOM dengan menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.1.3459 tentang Pengawasan Pemasukan Obat Impor
menyatakan bahwa obat tradisional impor hanya dapat dimasukkan ke dalam wilayah
Indonesia apabila telah mempunyai izin edar yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Obat tradisional telah memberikan peranan yang penting dalam perkembangan dunia
obat-obatan di Indonesia. Selama ini kebanyakan masyarakat kita lebih mempercayai obat
tradisional daripada obat farmasi. Hal ini dikarenakan obat tradisional menimbulkan efek
yang lebih sedikit daripada obat farmasi.
Obat tradisional yang kandungannya bersifat alami sangat berperan dalam
menyembuhkan penyakit yang dialami oleh penderita. Bahkan banyak kasus, di mana
penderita suatu penyakit tidak bisa disembuhkan dengan obat farmasi, namun ternyata dapat
disembuhkan dengan obat tradisional.
Obat tradisional yang dibuat dari bahan alami, buah, sayur lebih nyaman dan cocok
untuk dikonsumsi tubuh karena kandungan kimianya sangatlah sedikit, sehingga obat
tradisional lebih dipilih oleh masyarakat Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, obat tradisional juga lebih murah jika dibandingkan dengan obat farmasi.
Hal ini menyebabkan peranan obat tradisional di masyarakat Indonesia khususnya sangatlah
penting dan dirasakan manfaatnya. Selalu mendapatkan kesehatan yang prima merupakan
impian semua orang. Berbagai resep dengan memanfaatkan berbagai obat tradisional
mungkin sudah sering didengar. Dengan memanfaatkan buah-buahan, daun-daunan atau hal
lain yang umum dijumpai di dapur sebagai bumbu masak atau pelengkap masakan, ternyata
dapat pula dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kesehatan. Khasiatnya sudah dapat
dibuktikan selama beberapa generasi.
Banyaknya permintaan obat tradisional saat sekarang ini membuat pemerintah
mengatur kebijakan dengan mengizinkan impor obat tradisional. Beberapa negara yang
merupakan pemasok obat-obatan tradisional ke Indonesia, antara lain dari: China, Taiwan,
Korea Selatan. Bahkan beberapa obat tradisional yang diimpor dari negara-negara tersebut
telah melegenda dan banyak diminati para konsumen Indonesia, seperti : Obat anti infeksi
Pien Tze Wang dan obat syaraf Angkung, yang harganya cukup tinggi namun ternyata paling
laris.
Harga obat tradisional yang diimpor dari luar negeri sangat ditentukan oleh fluktuasi
nilai tukar US Dollar terhadap mata uang Rupiah. Jika US Dollar naik, maka harga obat
impor lebih mahal dan demikian juga dengan sebaliknya.
Selain obat-obat dalam bentuk tablet maupun pil, pihak importir obat Indonesia juga
banyak mengimpor bahan baku obat tradisional dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena
permintaan obat tradisional lokal pun semakin meningkat. Padahal 5 (lima) tahun lalu,
manfaat positif perkembangan obat tradisional hanya dapat dirasakan oleh sebagian kecil
masyarakat Indonesia. Sekarang setiap tahunnya, importir obat tradisional mengimpor bahan
baku obat tradisional sekitar 1 juta kg dengan nilai melampaui 9 juta dollar AS.
Universitas Sumatera Utara
Bahan baku obat tradisional yang diimpor oleh importir Indonesia hanya berada di 3
(tiga) segmen obat, yakni : bahan baku jamu, bahan baku ekstrak terstandar 14 dan bahan
baku fitofarmaka. 15 Selain itu sebagian simplisia masih diimpor dari luar negeri, terutama
dari negara China. Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan berupa tanaman utuh,
daun, buah, batang, akar dan ekstrak tanaman untuk bahan. Impor bahan baku obat
tradisional bisa terjadi karena kualitas sebagian bahan baku yang dihasilkan petani obat di
Indonesia masih belum memenuhi standar mutu industri obat tradisional. Dengan demikian,
devisa yang diperoleh dari ekspor obat tradisional masih harus dikurangi oleh devisa yang
dikeluarkan untuk impor bahan baku.
Padahal kalau dikembangkan secara serius dengan membentuk sinergi berbagai
potensi seperti : agroklimat dan plasma nuftah, maka petani, peneliti dan industriawan serta
pasar dalam dan luar negeri akan memiliki prospek agribisnis tanaman obat tradisional yang
terus membaik. Selain kebutuhan industri jamu dan fitofarmaka dalam negeri yang terus
meningkat, permintaan pasar dunia terhadap obat tradisional Indonesia pun cenderung
meningkat.
Dari berbagai data di atas, maka impor obat tradisional dalam bentuk kapsul, tablet
maupun bahan baku ternyata memberikan manfaat yang cukup signifikan bagi perkembangan
obat tradisional lokal. Hal ini terbukti bahwa obat tradisional lokal ternyata banyak yang
menggunakan bahan baku dari luar negeri (sebut saja jamu). Dengan demikian semakin
banyaknya impor bahan baku obat tradisional dari luar negeri hal ini akan semakin
meningkatkan volume ekspor obat tradisional lokal ke luar negeri karena permintaan obat
tradisional lokal terutama jamu Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan
menurut Majalah Bisnis Edisi Desember Tahun 2010, menyatakan bahwa ekspor jamu
14
Ekstrak terstandar adalah semua ukuran yang digunakan selama proses pembuatan obat-obatan untuk
menghasilkan produk yang reproducible (keterulangannya baik).
15
Fitofarmaka adalah obat berbahan alarn yang memenuhi syarat aman, berguna, dan berkhasiat yang
dibuktikan dengan uji klinis.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia ke luar negeri adalah sekitar 1,2 juta (satu juta dua ratus ribu) ton pertahun dari
keseluruhan 5 juta (lima juta) ton ekspor obat tradisional lokal ke luar negeri sepanjang tahun
2010.
B. Peraturan atas Impor Obat Tradisional di Indonesia
Di Indonesia, impor obat tradisional diatur oleh beberapa peraturan perundangundangan, yaitu :
1. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1295 Tahun 2007 tentang Registrasi Obat.
5. Peraturan Menteri Keuangan RI No. 102/PMK.04/2007 tentang Pembebasan Bea
Masuk atas Impor Obat-obatan.
6. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. Hk.00.05.1.3459
tentang Pengawasan Pemasukan Obat Impor.
Selain beberapa peraturan perundang-undangan di atas, bagi importir obat tradisional yang
melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhi sanksi berdasarkan:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrechts).
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel).
Dari semua peraturan perundang-undangan yang dikemukakan oleh penulis tersebut,
hanya beberapa peraturan yang berkaitan langsung pokok permasalahan yang dibahsa dalam
skripsi ini, yaitu :
1. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang ini menjabarkan tentang segala hal yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap obat-obatan dan impor obat. Undang-undang kesehatan
ini membahas mengenai upaya kesehatan, pengamanan makanan dan minuman,
pemberantasan dan penyembuhan penyakit, bahkan pengobatan tradisional.
Menurut undang-undang ini, pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya
pengobatan atau cara lain di luar ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan. Selain itu,
pengobatan tradisional juga perlu diadakan pengawasan agar dapat menjadi
pengobatan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
Didalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang ini dipertegaskan bahwa setiap obat yang
diproduksi oleh produsen dan importir obat tradisional harus mempunyai tanda atau
label dan sudah harus terdaftar pada kantor wilayah dinas Kesehatan.
2. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pada undang-undang ini dijabarkan mengenai perlindungan konsumen yang diberikan
oleh negara terhadap konsumen dikarenakan mengkonsumsi obat-obatan, baik itu obat
modern maupun obat tradisional serta sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada
importir obat yang telah merugikan konsumen.
Pada undang-undang ini juga dicantumkan mengenai label obat tradisional yang
sangat penting untuk dketahui oleh konsumen. Masa kadaluarsa dan komposisi obat
juga dicantumkan dalam undang-undang perlindungan konsumen.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen tujuan dari
perlindungan ini adalah :
a. Meningkatkan
kesadaran,kemampuan,dan
kemandirian
konsumen
untuk
melindungi diri.
Universitas Sumatera Utara
b. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa,kesehatan, kenyamanan ,keamanan dan keselamatan
konsumen.
Kemudian diPasal 8 ayat (1,2,3,dan 4) terdapat hal-hal apa saja yang dilarang bagi
pelaku usaha untuk memperdagangkan barang atau jasa yang tidak memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
3. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. Hk.00.05.1.3459
tentang Pengawasan Pemasukan Obat Impor.
Peraturan ini berisikan ketentuan-ketentuan mengenai cara impor obat tradisional, izin
impor maupun pendaftaran obat tradisional. Bahkan pada peraturan ini juga terdapat
cara-cara memperoleh izin edar bagi pelaku usaha atau importir obat tradisional .
Diperjelas didalam Pasal (2,3,4 dan 5) bahwa yang berhak memasukan obat impor
kedalam wilayah indonesia adalah industri farmasi atau pedagang besar farmasi
sebagai pendaftar yang telah memiliki izin edar atas obat impor dari kepala
BPOM.dan pemasukan obat impor oleh industri farmasi atau pedagang besar farmasi
selain harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dibidang impor juga harus mendapatkan persetujuan pemasokan obat impor dari
kepala BPOM.
Adapun persetujuan untuk memasukan obat impor adalah :
a. Persetujuan pemasukan obat impor diberikan atas dasar permohonan.
b. Setiap permohonan hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pemasukan.
c.
Permohonan diajukan secara tertulis kepada kepala BPOM.
d. Prosese persetujuan pemasukan obat impor diberikan dalam waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja.
C. Penggunaan Label pada Obat Impor
Universitas Sumatera Utara
Setiap obat tradisional yang diproduksi oleh produsen atau importir obat tradisional
harus mempunyai tanda atau label dan sudah harus terdaftar pada Kantor Wilayah Dinas
Kesehatan. Ketentuan untuk mempunyai tanda atau label ini sesuai dengan ketentuan Pasal
21 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Jo. Undang-Undang
RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Jo. Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam rangka menghindari timbulnya kerugian pada konsumen atas tindakan yang
merugikan konsumen terkait aturan pelabelan produk obat tradisional, maka secara khusus
disebutkan dalam Pasal 8 Ayat (1) Huruf (I) dan (J) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tentang larangan-larangan bagi pelaku usaha, yang berbunyi :
“ Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
:
(I) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama, alamat pelaku usaha dan keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
(J) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dari rumusan ketentuan tersebut, jelas bahwa setiap produk obat tradisional yang
diperdagangkan oleh pelaku usaha harus memasang label yang jelas dan wajib
mencantumkan label tersebut dalam bahasa Indonesia agar tidak merugikan konsumen.
Pelaku usaha tidak boleh melanggar ketentuan mengenai pelabelan dalam produk obat
tradisional terutama obat impor.
Hal ini dipertegas dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan yang berbunyi :
Universitas Sumatera Utara
“Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan
yang dikemas untuk diperdagangkan, dilarang mencantumkan label yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah ini“. 16
Lebih spesifik lagi adalah bahwa dalam label suatu produk obat impor tradisional
harus menggunakan bahasa Indonesia. Pengaturan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam
Pasal 15 Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa :
“Keterangan dalam label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka
Arab dan huruf latin”. 17
Bagi pelaku usaha yang mengimpor obat tradisional dan tidak mencantumkan label
berbahasa Indonesia dalam kemasannya, karena kelalaiannya sehingga merugikan
masyarakat, maka secara otomatis berdasarkan hukum perikatan 18 bahwa pelaku usaha
tersebut dapat dituntut kerugian oleh konsumen.
Hal penting yang sering diabaikan pada obat tradisional adalah pencantuman label
halal dan label berbahasa Indonesia yang sesuai dengan aturan-aturan dari BPOM. Label obat
tradisional harus tercantum di dalamnya label halal berbahasa Indonesia.
Banyak dijumpai di lapangan, bahwa terdapat adanya obat tradisional impor yang
tidak mencantumkan label obat dalam bahasa Indonesia, seperti : komposisi dan masa
kadaluarsa. Komposisi obat tradisional impor seyogyanya mencantumkan label bahasa
Indonesia karena bagi masyarakat sebagai konsumen masalah ini sangatlah penting karena
ada kalanya konsumen mempunyai alergi terhadap kandungan zat-zat tertentu.
Selain itu, masa kadaluarsa juga harus dicantumkan karena biasanya obat tradisional
yang telah lewat masa berlakunya dapat menjadi racun bagi tubuh dan dapat merugikan
masyarakat. Bahkan beberapa pemberitaan media menyatakan bahwa telah terjadi kasus di
16
Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Pasal 9.
Ibid.
18
Perikatan dapat terjadi karena dua sebab yaitu karena adanya perjanjian dank arena undang-undang.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,(Jakarta:Grasindo, 2004), hal. 102.
17
Universitas Sumatera Utara
mana konsumen yang mengkonsumsi obat yang telah kadaluarsa malah menyebabkan
penyakit lainnya dan beberapa di antaranya bahkan mengalami kematian.
Bagi beberapa produsen, label halal berikut nomornya sangat diperlukan
keberadaannya. Sikap masyarakat Indonesia yang begitu mementingkan kehalalan suatu
produk menjadikan logo halal sangat penting untuk dicantumkan.
Kewajiban importir obat untuk mencantumkan label halal sesuai dengan Pasal 30
Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan 19, yakni :
1. Setiap orang uang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia
pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di
dalam dan/atau di kemasan pangan.
2. Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan
mengenai :
a. Nama produk.
b. Daftar bahan yang dipergunakan.
c. Berat bersih atau isi bersih.
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia.
e. Keterangan tentang halal.
f. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.
3. Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah dapat
menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label
pangan.
Hal ini juga dipertegas oleh Pasal 8 Ayat (1) huruf H Undang-Undang RI Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 20, yakni : Pelaku usaha dilarang memproduksi
19
Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 30 .
Universitas Sumatera Utara
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
Menurut Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/MENKES/SK/I/1996,
yang dimaksud dengan makanan halal adalah makanan yang tidak mengandung bahan atau
zat-zat sebagai berikut :
1. Zat-zat dan bahan yang diharamkan
a. Babi, anjing dan anal yang lahir dari perkawinan keduanya.
b. Bangkai, termasuk binatang mati tanpa disembelih menurut cara penyembelihan
Islam, kecuali ikan dan belalang.
c. Tiap binatang yang dipandang dan dirasa menjijikkan menurut fitrah manusia
untuk memakannya seperti : cacing, kutu, lintah dan sebangsa itu.
d. Setiap binatang yang mempunyai taring.
e. Setiap binatang yang mempunyai kuku pencakar yang memakan mangsanya
secara menerkam atau menyambar.
f. Binatang-binatang yang dilarang oleh Islam untuk membunuhnya seperti : lebah,
burung hud-hud, kodok dan semut.
g. Daging yang dipotong dari binatang halal padahal binatang tersebut masih hidup.
h. Setiap binatang yang beracun dan memudharatkan apabila dimakan.
i.
Setiap binatang yang hidup di dua alam, seperti : kura-kura, biawak dan
sebagainya.
j.
Darah, urine, feses dan plasenta.
2. Minyak dan lemak
a. Minyak atau lemak babi/anjing atau minyak binatang yang haram dimakan.
b. Minyak dan lemak dari binatang yang matinya tidak disembelih secara Islam.
20
Op.Cit Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . Pasal 8 Ayat (1)
Huruf H.
Universitas Sumatera Utara
3. Tulang
Semua jenis tulang dari binatang yang tidak halal, yaitu tulang babi, anjing dan
binatang haram lainnya termasuk binatang yang halal tetapi matinya tidak
disembelih secara Islam.
4. Minuman
a. Minuman beralkohol.
b. Segala bentuk minuman yang memabukkan dan membahayakan.
5. Bahan tambahan makanan dan bahan penolong atau pelarut semua bahan yang berasal
dari 1, 2, 3 dan 4.
6. Pemotongan hewan
Cara pemotongan yang disyaratkan adalah sebagai berikut :
a. Penjagal harus seorang muslim taat dan mempunyai pengetahuan mengenai tata
cara pemotongan. Penjagal harus tahu mana bahan yang haram dan halal.
b. Binatang yang dipotong harus memenuhi hukum Islam.
c. Binatang yang dipotong harus hidup atau dianggap masih hidup saat pemotongan.
d. Kalimat
“Bismillah”
harus
diucapkan
dengan
khusyuk
sesaat
dimulai
pemotongan.
e. Alat pemotong harus tajam dan jangan diangkat dari binatang selama penjagal
sedang memotong.
f. Penjagal harus memutuskan trakea, oesophagus, vena dan terutama pada daerah
leher.
7. Penyimpanan
Penyimpanan bahan mentah yang memenuhi hukum Islam harus terpisah dari bahan
mentah yang tidak memenuhi hukum Islam.
8. Surat keterangan
Universitas Sumatera Utara
Untuk membuat daging olahan harus dilampirkan surat keterangan dari Rumah
Pemotongan Hewan yang menyatakan bahwa produk tersebut dipotong sesuai dengan
hukum Islam.
Sertifikasi halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui
serangkaian pemeriksaan, yakni evaluasi oleh tim auditor dan Rapat Komisi Fatwa. Izin
persetujuan pencantuman tulisan halal pada label diberikan berdasarkan :
1. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI.
2. Telah dilakukan perbaikan terhadap temuan audit. 21
Adapun maasa berlaku sertifikat dan label halal sesuai dengan peraturan di Indonesia,
yaitu :
1. Sertifikat dan label halal berlaku selama 2 (dua) tahun.
2. Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebelum masa berlakunya habis, produsen
makanan harus mengajukan permohonan perpanjangan.
3. Permohonan perpanjangan sama dengan permohonan baru. 22
D. Perbuatan yang Dilarang atas Impor Obat Tradisional
Menurut rumusan Pasal 106 Undang-Undang RI No.36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan 23, adapun perbuatan yang dilarang di dalam melakukan kegiatan impor obat
tradisional, yaitu :
1. Sediaan farmasi dan alat kesehatan diedarkan setelah mendapat izin edar.
2. Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
21
Herman Heri, Penegakan Hukum Pidana terhadap Produk Makanan yang Tidak Mencantumkan
Label Halal pada Kemasan Makanan,(Bandung :PT.Citra Aditya Bhakti, 2010), hal. 30.
22
Ibid.
23
Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 106.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang
kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Menurut ketentuan Undang-undang kesehatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
suatu industri farmasi maupun pedagang besar farmasi yang melakukan kegiatan impor obat
tradisional harus mempunyai izin edar dari BPOM-RI. Lebih lanjut lagi menurut Pasal 106
Ayat (2) dengan jelas dinyatakan bahwa dalam kemasan obat impor harus tertera petunjuk
penggunaan berbahasa Indonesia dan jelas komposisi bahan yang terkandung dalam obat
impor tersebut.
Apabila suatu industri farmasi maupun pedagang besar farmasi melakukan
pengedaran obat tanpa adanya izin edar dari BPOM-RI, maka akan dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan Pasal 197 Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009, yakni “Setiap orang
yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”. 24 Selain itu, ada kemungkinan suatu
industri farmasi dan pedagang besar farmasi akan dicabut izinnya.
Sedangkan bagi industri farmasi maupun pedagang besar farmasi yang mengedarkan
obat tanpa memberikan petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia di kemasan obat impor
dan tidak jelas komposisi bahannya, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan rumusan
Pasal 196 Undang-Undang RI No.36 Tahun 2009, yakni “Setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
24
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. 25 Selain sanksi tersebut, juga ada kemungkinan
sanksi tambahan bagi industri farmasi maupun pedagang besar farmasi tersebut, yaitu berupa
penarikan dan pemusnahan obat-obat impor tradisional yang tidak jelas komposisi bahannya
maupun tidak adanya petunjuk dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan menurut Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang RI No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen 26, dirumuskan bahwa adapun beberapa perbuatan yang dilarang oleh
seorang pelaku usaha dalam memperdagangkan barangnya, yaitu :
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya.
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
25
26
Ibid.
Op.Cit.Undang-Undang RI No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 Ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal"
yang dicantumkan dalam label.
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut lagi menurut rumusan Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang RI No. 8 Tahun
1999, dinyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan
pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi
secara lengkap dan benar”. 27 Jika seorang pelaku usaha terbukti melakukan pelanggaran
sesuai dengan ketentuan di atas, maka pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
27
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Download