KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PETANI DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA Studi Kasus di Desa Ngabeyan Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Wonogiri Oleh : Emi Widiyanti, SP, MSi ABSTRAK Sektor pertanian sebagai tumpuan utama dalam penyediaan pangan kini semakin berat dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti pula peningkatan jumlah kebutuhan pangan, namun di sisi lain sektor pertanian semakin terpuruk akibat semakin rendahnya daya dukung lingkungan kita. Pengelolaan sistem usahatani secara intensif dapat mengarah pada terjadinya penurunan manfaat ekonomi jangka pendek dan degradasi lingkungan untuk jangka panjang. Melihat berbagai permasalahan yang dihadapi, maka paradigma pembangunan pertanian dalam rangka ketahanan pangan saat ini lebih dititikberatkan pada pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan lebih memusatkan pada keanekaragaman sumber pangan dan budaya lokal setempat. Masyarakat petani Desa Ngabeyan Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu masyarakat yang masih mempertahankan beberapa tradisi mereka dan menjaga pengetahuan lokal mereka dalam berusaha tani untuk mewujudkan ketahanan pangan keluarga. Hal ini dapat dilihat pada pola tanam mereka terapkan masih berpedoman pada pranata mangsa. Pola pergiliran tanaman yang diterapkan oleh petani berdasarkan pranata mangsa merupakan cara yang paling efektif untuk melakukan konservasi tanah. Pola tanam yang dilakukan juga memperlihatkan upaya petani memanfaatkan sumber lahan dan sumberdaya air yang terbatas untuk mendapatkan manfaat dan sedapat mungkin menghindari kegagalan total hasil-hasil pertaniannya. Bentuk lain upaya mewujudkan ketahanan pangan keluarga adalah tradisi penyimpanan gatot dan nasi tiwul. Tradisi ini merupakan bentuk penyesuaian mereka terhadap sumber pangan yang sesuai dengan lingkungan dan salah satu upaya menjaga keanekaragaman pangan untuk rumah tangga mereka. Kata kunci : kearifan lokal, rumah tangga petani, ketahanan pangan I. PENDAHULUAN Sektor pertanian sebagai tumpuan utama dalam penyediaan pangan kini semakin berat dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti pula peningkatan jumlah kebutuhan pangan, namun di sisi lain sektor pertanian semakin terpuruk akibat semakin rendahnya daya dukung lingkungan kita. Diantaranya adalah kerusakan lahan akibat revolusi hijau. Kenyataan menunjukkan bahwa revolusi hijau tidak hanya merusak sumber daya lingkungan kita, namun juga telah menciptakan ketergantungan petani pada input bahan kimia. Dengan demikian revolusi hijau juga telah menghancurkan sistem pertanian tradisional dan pengetahuan tradisional petani kita yang selama bertahun-tahun berjalan selaras dengan kondisi alam setempat dan telah mampu menyediakan pangan bagi masyarakat. Adimihardja (1999:183) menjelaskan bahwa Revolusi Hijau juga telah mematikan pangan lokal yang ada di setiap daerah. Untuk mencapai swasembada beras pada tahun 1984, semua wilayah produksi potensial digantikan oleh komoditi beras hingga mengakibatkan terdesaknya varietas lokal dan kearifan teknologi lokal (pertanian tradisional) masyarakat setempat. Belajar dari berbagai kegagalan tersebut, maka pada era globalisasi inilah muncul kesadaran untuk menjadikan nilai-nilai tradisi-budaya sebagai sarana pembangunan. Karena pada dasarnya sistem nilai tradisi-budaya tersebut merupakan sumber pengetahuan yang bernilai dan mampu memberi gambaran pengalaman dan pengetahuan sekitar tentang interaksi manusia dan lingkungannya (Adimihardja,1999). Selaras dengan perubahan paradigma tersebut, di atas, kini paradigma pembangunan pertanian dalam rangka ketahanan pangan lebih dititikberatkan pada pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan lebih memusatkan pada keanekaragaman sumber pangan dan budaya lokal setempat. Suryana (2003:96) menyatakan bahwa dalam GBHN tahun 1999 – 2004 diamanatkan satu butir penuh dalam pembangunan bidang ekonomi sebagai berikut: “Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau, dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang” Salah satu realita masyarakat yang masih mempertahankan kearifan tradisi-budaya leluhur mereka adalah masyarakat petani di Desa Ngabeyan Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Wonogiri. Petani di desa yang terletak di kaki Gunung Gajah Kabupaten Wonogiri ini merupakan petani subsisten yang masih memegang teguh pada sistem penanggalan Jawa (pranata mangsa) sebagai pedoman pola tanam mereka. Fenomena menarik lainnya adalah adanya keyakinan yang mendalam terhadap nilai suatu jenis tanaman pangan lokal setempat yaitu ubikayu dan kacang gude serta dipertahankannya sebuah tradisi yang berusaha menjaga kelestarian lingkungan tanah dan air yaitu tradisi dukutan. Kearifan yang ada pada masyarakat petani Desa Ngabeyan menjadi sangat penting untuk dikaji, mengingat bahwa kearifan tradisi merupakan sistem pengetahuan dan teknologi lokal di masyarakat masih mempertimbangkan nilainilai adat, seperti bagaimana masyarakat melakukan prinsip-prinsip konservasi, manajemen, dan eksploitasi sumber daya alam, ekonomi, dan sosial (Adimihardja,1999). Berikut gambaran umum beberapa bentuk kearifan lokal petani desa Ngabeyan dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga mereka. Pranata Mangsa Sebagai Pedoman dalam Aktivitas Pertanian Lahan di Desa Ngabeyan merupakan lahan tadah hujan. Oleh karena itu sebagian besar petani dalam pola tanamnya masih berpedoman pada pranata mangsa adalah sebagai berikut. Pada mongso kapat (pertengahan September sampai pertengah Oktober) biasanya petani mulai menyiapkan diri untuk menghadapi musim tanam dengan membersihkan menggemburkan tanah-tanah sebagai persiapan tanam. Memasuki mongso kalimo (pertengahan Oktober sampai awal November), mereka mulai meyiapkan galengan-galengan, memperbaiki parit-parit atau mempersiapkan pengaturan air dan mulai mempersiapkan benih yang akan ditanam. Pada mongso kanem (awal November sampai pada akhir Desember), petani mulai membenihkan padi dengan membuat persemaian dan selanjutnya pada akhir mongso kanem ini petani mulai tandur tanaman padi. Pada mongso kanem ini hujan mulai turun sehingga dapat dimanfaatkan petani untuk mengairi sawah-sawah mereka. Dua bulan ke depan petani disibukkan dengan kegiatan di sawah untuk merawat tanaman padi mereka. Pada mangsa ini petani juga menanami tegalan mereka dengan jagung, kacang tanah, ubikayu, kedelai, dan canthel. Berbagai jenis tanaman pangan ini ditanam dengan pola tumpang sari yang diatur secara berjajar atau dibuat larik-larik misalnya larik pertama ditanami jagung, larik kedua ditanami kacang tanah, larik ketiga ditanami ubikayu, larik keeempat adalah kedelai, larik-larik berikutnya adalah gandum dan canthel. Tiap larik dipisahkan oleh galengan-galengan. Usia dari tanaman pangan ini adalah tiga bulan, sehingga masuk pada mongso kasanga yang berlangsung pada awal Maret sampai akhir Maret petani melakukan panen bersama-sama atas tanaman-tanaman tersebut. Setelah panen, masih pada mongso kasanga petani mulai menanam kacang tanah selama tiga bulan, biasanya di samping kacang tanah mereka menyelingi dengan ubikayu. Kacang tanah yang ditanam pada mangsa kasanga ini di panen pada mangsa keduabelas atau disebut dengan mangsa Sadha. Mangsa sadha merupakan awal dari musim kemarau, petani Desa Ngabeyan menanami sawah dan tegal mereka dengan ubikayu. Setelah ubikayu ini dipanen, sawah dicangkul kembali kemudian diberokan (didiamkan) karena tidak ada air atau ditanami ubikayu kembali atau kedelai. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini : Tabel 5. Pola Tanam di Desa Ngabeyan dalam Satu Tahun Bulan keJ E N I S T A N A M A N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 kapitu kawol u Kasanga kasada Dhest a sadha Kasa Karo Katelu kapat kalim o Kane m *** *** *** *** *** *** ooo ooo ooo ooo ooo ooo ///// ////// ////// //// ooo ooo ooo ////// ///// ///// //// //// ///// +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ### ### ### xxx xxx xxx ### Sumber: Widiyanti (2007) ### ### ////// ////// +++ +++ ### ### ### ### ### ### xxx xxx xxx xxx Xxx xxx Keterangan : **** = padi ++++ = jagung oooo = kacang tanah #### = ubikayu ////// = kacang kedelai xxxx = cathel (sorgum) Petani yang berlahan sempit biasanya memilih antara menanam padi saja atau menanam secara tumpang sari dengan palawija (kacang, jagung, kedelai). Ada di antara petani yang menerapkan pola tanam padi seluruhnya dalam satu musim tanam dan musim tanam berikutnya adalah palawija. Hubungan Pranata Mangsa dengan Kelestarian Lingkungan Pola tanam yang berpedoman pada pranata mangsa di atas tidak saja merupakan pedoman penanggalan untuk melakukan aktivitas pertanian atau pedoman dalam menentukan jenis tanaman. Namun, jika dipelajari lebih mendalam pola tanam berdasar pedoman tersebut juga memiliki makna bagi pelestarian lingkungan. Menurut Arsyad dalam Indrowuryanto (1999) pengelolaan sumber daya alam agar kelestariannya terjaga tampak jelas pada musim kemarau atau mangsa mareng. Pada penanggalan Jawa, petani diarahkan agar menanam tanaman palawija seperti kacang tanah tanah dan kedelai setelah panen padi. Maksud perubahan jenis tanaman yang ditanam setelah panen adalah agar unsurunsur hara yangterdapat di dalam tanah tidak terserap oleh jenis tanaman tertentu. Pergiliran tanaman merupakan cara yang paling efektif untuk melakukan konservasi tanah. Pergiliran tanaman juga dapat memutus siklus kehidupan hama yang menyerang tanaman. Penanaman jenis kacang-kacangan akan menambah kadar unsur N (nitrogen) di dalam tanah, karena tanaman kacang mengandung rizobium pada bintil-bintil akar yang dapat menambah N dalam tanah. Pupuk hijau dari sisa panen kacang-kacangan diketahui mengurangi keracunan aluminum pada tanaman yang peka pada tanah masam. Unsur-unsur N yang banyak diserap tanamantanaman lain sebelum kacang-kacangan ditanam, dapat dikembalikan lagi walaupun jumlahnya relatif tidak maksimum. Namun hal ini sudah memberikan sumbangan peningkatan kesuburan tanah yang berarti pula mendukung pembudidayaan kelestarian lingkungan secara alami (Indrowuryanto, 1999) Molo dan Eny L (2010) menjelaskan bahwa beberapa pola tanam seperti padi-palawija --- palawija ---- padi-palawija yang diterapkan oleh petani lahan kering memperlihatkan upaya petani memanfaatkan sumber lahan, sumberdaya air yang terbatas untuk mendapatkan manfaat dan sedapat mungkin menghindari kegagalan total hasil-hasil pertaniannya. Ubikayu, Nasi Thiwul, Gatot dan Ketahanan Pangan Pemerintah dalam rangka program ketahanan pangan nasional menetapkan rumah tangga sebagai salah satu subsistem yang turut berperan dalam mengatur pola konsumsi, pola pengadaan dan pola cadangan pangan (Suryana, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa beberapa indikator untuk melihat ketahanan pangan rumah tangga antara lain : kemampuan menyesuaikan diri dengan sumber pangan yang sesuai lingkungan sekitar, kemampuan mencukupi kebutuhan pangan dan non pangan, menjaga keanekaragaman pangan memiliki dan mengelola cadangan pangan dan terpenuhinya kalori minimum. Kemampuan menyesaikan diri dengan sumber pangan yang sesuai dengan lingkungan dan menjaga keanekaragaman pangan dapat dilihat dari pola tanam mereka. Jika dikaji lebih mendalam, pola tanam yang diterapkan oleh petani Desa Ngabeyan seperti diatas selain merupakan usaha konservasi dan menghindari kegagalan panen akan suatu komoditas, pergiliran tanam juga merupakan upaya untuk menjaga stabilitas keuangan dan pangan rumah tangga mereka. Sebagai contoh, dengan pola padi-palawija --- palawija ---- padi-palawija hasil, mereka biasanya menyimpan hasil panen padi hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka dan menjual hasil panen palawija (jagung, kacang tanah) untuk memperoleh uang guna memenuhi kebutuhan non pangannya Bentuk upaya menjaga keanekaragaman pangan adalah kebiasaan mengkonsumsi nasi thiwul disamping nasi putih. Nasi thiwul ini disamping dikonsumsi sebagai selingan juga digunakan sebagai campuran nasi putih pada saat cadangan beras mulai menipis saat terjadi kamarau yang cukup panjang. Selain mengolah ubikayu menjadi tiwul, mereka juga mengolah ubikayu untuk dikeringkan menjadi gatot juga memanfaatkan simpanan jagung untuk membuat bubur jangung atau nasi jagung. Kebiasaan mengolah ubikayu ini tidak lepas dari keyakinan mereka terhadap nilai tanaman ini, seperti yang diungkapkan Ibu Kayem tentang adanya pesan dari orang tua bahwa bagaimanapun kondisinya, tanaman ubikayu yang merupakan asal mula makanan masyarakat setempat harus dirawat, sebab manusia tidak bisa mengetahui kepastian suatu kondisi. Oleh karena itu ubkayu jangan ditinggalkan karena dapat mengisi perut atau menahan lapar (Widiyanti, 2007). Salah satu tolak ukur ketahanan pangan rumah tangga adalah tercukupinya energi perkapita dalam rumah tangga. Azwar (2004:104) menjelaskan bahwa rumah tangga telah memenuhi kecukupan sesuai rekomendasi AKG, jika konsumsi energi perkapita perhari sebesar 70 % AKG, dimana AKG energi adalah sebesar 2200 Kkal. Dengan demikian jika suatu rumah tangga perkapitanya telah mengkonsumsi energi 1540 Kkal maka secara pangan rumah tangga tersebut telah tercukupi. Dari hasil penelitian pada beberapa rumah tangga petani ditemukan bahwa sebagian besar rumah tangga telah memenuhi sebesar 70 % kecukupan energi sesuai rekomendasi AKG yaitu antara 1650,40 Kkal sampai dengan 2414,00 Kkal. Masyarakat Desa Ngabeyan mempunyai kebiasaan yang dapat menyuplai energi bagi mereka yaitu meminum teh manis dalam sehari mereka bisa menghabiskan 4-5 gelas teh manis dan mengkonsumsi thiwul sebagai selingan. Kebiasaan meminum teh manis ini mampu menyuplai kalori sebesar 36,4 kalori tiap gelasnya dengan takaran 2 sendok the gula pasir. Jika petani meminumnya lebih dari 4 gelas, maka dari kebiasaan minum ini telah mampu menyumbang energi 145,6 kalori. Sedangkan kebiasaan makan thiwul yang telah ada sejak dari generasi-generasi sebelumnya (makanan pokok) mampu menyuplai energi lebih besar daripada sepiring nasi putih. Dimana pada sepiring thiwul yang setara dengan 150 gram thiwul mengandung energi sebesar 552 kalori sedangkan sepiring (200gram) nasi beras putih hanya mengandung energi sebesar 356 kalori. Hal ini menunjukkan bahwa pengkonsumsian terhadap thiwul selain merupakan kebiasaan masyarakat setempat juga dikarenakan thiwul mampu memberikan energi yang lebih bagi aktivitas petani. (Widiyanti, 2007). Jumlah kalori di atas telah memenuhi energi untuk seseorang petani beraktivitas mulai dari kegiatan usahataninya, kegiatan rumah tangga serta kegiatan sosialnya. Artinya dengan mengkonsumsi pangan lokal, petani Desa Ngabeyan telah mampu memenuhi salah satu aspek ketahanan pangan yaitu tercukupinya kalori minumum. PENUTUP 1. Pranata mangsa sebagai pedoman penanggalan bertani masih relevan digunakan hingga kini oleh sebagian petani pedesaan khususnya di Desa Ngabeyan, karena sifatnya yang sederhana dan mudah diterapkan. 2. Pranata mangsa sebagai pedoman penanggalan bertani mengandung filosofis kebijakan dan kearifan dalam mengelola dan melestarikan lingkungan. Sistem penanggalan ini juga merupakan usaha pertanian berkelanjutan, dengan pola pergiliran tanaman yang diterapkan oleh petani berdasarkan pranata mangsa merupakan cara yang paling efektif untuk melakukan konservasi tanah dan memutus siklus hidup hama tanaman. 3. Pola tanam yang dilakukan juga memperlihatkan upaya petani memanfaatkan sumber lahan dan sumberdaya air yang terbatas untuk mendapatkan manfaat dan sedapat mungkin menghindari kegagalan total hasil-hasil pertaniannya sehingga stabilitas pangan dan keuangan terjaga. 4. Penanaman dan pengolahan tanaman lokal yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat menjadi pangan lokal seperti tiwul dan gatot merupakan bentuk usaha petani Desa Ngabeyan untuk menjaga keanekaragaman pangan untuk rumah tangga mereka. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, Kusnaka. 1999. Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalam Pertanian yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan. Humaniora Utama Press. Bandung. Azwar, Azrul. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. LIPI. Jakarta. Eny lestari dan Marcelinus Molo. 2010. Penguatan Kelembagaan Pangan Di Daerah Lahan Kering Untuk Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Di Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri. Laporan Penelitian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Indrowuryanto. 1999. Pranata Mangsa Dalam Aktivitas Pertanian di Jawa. Dalam Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pembangunan. Humaniora Utama Press. Bandung Suhardjo dan Hadi Riyadi, 1990. Penilaian Keadaan GiZi Masyarakat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Sumintarsih, Suhartinah, Noor Sulistyo, Suwarno dan Mudjiono. 1993. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungannya dengan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Yogyakarta. Suryana, Achmad. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Fakultas Eko nomi UGM. Yogyakarta. Widiyanti, Emi. 2007. Pola Komunikasi Petani dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Desa Ngabeyan Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Wonogiri. Tesis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.