PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Oleh: Christine Yossy Meinarty NIM: 081124016 PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013 i PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PERSEMBAHAN Sebagai wujud refleksi pribadi, Saya persembahkan skripsi ini kepada Seluruh keluarga besar saya, sahabat-sahabat saya, serta semua orang yang mencari makna-makna penderitaan dalam hidupnya. Secara istimewa kepada: Tuhan yang Maha Cinta Kedua orang tua yang sangat saya cinta: Bpk Sabianus S.Pd., M.Si & Ibu Erminawati yang selalu mendoakan saya dan membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, Adik-adik saya: Christian Dwi Fernando & Christy Tri Suhendro yang selalu menghadirkan keceriaan dalam hidup saya Teman dekat saya: Edy Pratomo S.Kep yang sabar mendengarkan keluh kesah saya, dan juga tidak lelah memberikan dukungan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini iv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI MOTTO Bukan kematian atau penderitaan yang harus ditakuti, melainkan rasa takut pada penderitaan atau kematian itu sendiri. Bukan apa yang terjadi pada anda, yang paling penting adalah bagaimana anda bereaksi terhadap hal itu. (Epictetus) “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1: 21) Kemuliaan kita yang terbesar adalah bukan karena tidak pernah jatuh, tapi karena bangun setiap kali kita jatuh (Konfucius) Jika anda mencintai sampai sakit, anda tidak akan menemukan luka lagi, hanya ada cinta yang lebih. Jika anda tidak bisa memberi makan seratus orang, berilah makan satu orang saja (Bunda Theresa) Kebebasan adalah hak untuk hidup seperti yang kita inginkan (Epictetus) v PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRAK Realitas penderitaan adalah pengalaman yang dekat dengan hidup manusia. Manusia tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia. oleh karena itu, manusia selalu mencari dan menemukan cara yang tepat untuk menanggapinya. Salah satunya adalah dengan cara memaknainya. Usaha dalam memaknai penderitaan bukan hanya merupakan usaha untuk menyikapi penderitaan saja, tetapi juga untuk mengasah/mengembangkan kedewasaan iman kita dalam menanggapi atau menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi dalam hidup kita secara lebih baik. Bertitik tolak dari hal tersebut, skripsi yang berjudul “BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” dapat dimanfaatkan sebagai salah satu usaha manusia sekarang untuk bersikap dewasa dalam menanggapi permasalahan hidup, baik yang terjadi pada orang lain maupun diri sendiri, dalam artian manusia dapat membebaskan diri dari belenggu yang disebabkan oleh pengalaman penderitaan. Ada tiga permasalahan yang hendak penulis kaji dalam penulisan skripsi ini. Pertama, bagaimana penderitaan dimaknai dalam Kitab Ayub? Kedua, bagaimana pengaplikasian makna penderitaan manusia dalam katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP)? Permasalahan ketiga, bagaimana katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis dapat diterapkan dalam konteks actual kita? Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tadi, Kitab Ayub menjadi sumber utama refleksi ini. Mengapa? Karena Kitab Ayub sangat luas berbicara tentang tema penderitaan manusia yang hendak kita maknai, dan kita dapat belajar dari kitab penderitaan tersebut. Untuk memperkaya studi pustaka tersebut, terutama yang menyangkut Kitab Ayub, penderitaan manusia, dan katekese pembebasan, usaha tadi dapat menjadi landasan bagi katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai tindak lanjut. Akhirnya, semua usaha dalam memaknai penderitaan dan merumuskan aplikasinya dalam katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP), dapat dijadikan sebagai salah satu alternative bagi siapa saja yang memiliki keprihatinan terhadap adanya penderitaan hidup manusia, khususnya para katekis, pelayan sabda, dan umat kristiani yang tergerak untuk terlibat dalam membantu sesama untuk membebaskan diri dari belenggu penderitaan, dengan menemukan makna dibalik. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut dalam usaha untuk mengembangkan kegiatan katekese, khususnya katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP). viii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRACT A man is very close with the experience of misery. Since, it is a part of human being; a man cannot be separated from it. A man even always tries to find the right way in order to understand the meaning of it. In the terms of understanding it, a man does not only try to face it but also attempt to develop the maturity in his faith or strive to solve his problem wisely. Considering this issue, this thesis, “BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” can be used as the guidance or contemplation to develop the maturity in order to face many problems in oneself or other. In this case, it is expected that a man can release himself from the shackle of misery. Three are three problem formulations that the author wants to discuss in this study. First, how is the misery defined according to the book of Ayub? Second, how do the application of human misery in the context of liberation catechesis with a Shared Christian Praxis (SCP) work?, and the third is how can Shared Christian Praxis (SCP) be applied in the actual context?. The book of Ayub is the primary source to answer those questions. It is because the book of Ayub has a wide significance to discuss about human misery and there are a lot of important explanations about it in this book. Furthermore, to complete the library studies about human misery, the book of Ayub, and the liberation catechesis, Shared Christian Praxis (SCP) can be used as the follow-up step. As a conclusion, all efforts in understanding the misery and formulating the application using Shared Christian Praxis (SCP) can be used as an alternative source for people whom have a concern to understand about the misery. It also includes catechists, missionaries, and Christian people, who are involved in helping people releasing them from the shackles of misery and try to find the meaning behind it. The authors also expects that this thesis can be a good source in developing the catechesis activity. ix PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah Tritunggal Maha Kudus yang senantiasa memberkati dan melimpahkan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” ini. Kisah Ayub memberi gambaran kepada kita bahwa kesetiaan kepada Allah tidak tergantung pada apa yang diberikan Allah kepada kita, melainkan hasil pilihan dan keputusan kita secara bebas sebagai mkhluk yang bebas. Dari kisah Ayub ini, penulis mengajak para pembaca untuk belajar dari Kitab Ayub, terutama dalam usaha menemukan makna penderitaan hidupnya. Skripsi yang difokuskan pada usaha memaknai penderitaan ini, tidak terlepas dari keprihatinan dan kesadaran penulis akan realitas penderitaan manusia, baik secara personal maupun komunal, secara langsung atau tidak langsung penulis alami. Sebagai sumbangan praktis penulis berhubungan dengan usaha pemaknaan ini, penulis menawarkan katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP), yakni katekese yang bertujuan untuk menimbulkan kembali kesadaran umat beriman akan perjuangan dan harapan akan kebebasan dari pengalaman pahit yang membelenggu hidup umat beriman. Selain itu, skripsi ini ditulis sebagaisalah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. x PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Dalam proses penyelesaian skripsi ini, tentu saja penulis sering mengalami kesulitan. Atas kesadaran pribadi, penulis merasa bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan penuh syukur, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. P. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., selaku Kaprodi IPPAKUSD yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada penulis, terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. C.B. Putranto, SJ, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu penuh perhatian mendengarkan curhat penulis, serta sabar mendampingi, penulis sejak awal masuk IPPAK sampai pada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini. 3. P. Dr. A. Hari Kustono, Pr selaku dosen pembimbing utama yang bersedia meluangkan waktunya, serta penuh perhatian dan tabah dalam membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 4. P. Dr. B.A. Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, perhatian dan memberikan masukan dan motivasi dalam menimbulkan gagasan baru dalam penulisan skripsi ini. 5. Bpk. Drs. L. Bambang Hendarto Y, M.Hum sebagai dosen penguji yang telah menyediakan waktu dan perhatiannya kepada penulis 6. Kedua orang tua, serta keluarga besar saya yang selalu mendoakan dan mendukung saya baik secara moril maupun materil. 7. Teman dekat saya yang selalu setia memotivasi saya dalam menyelesaikan skripsi ini xi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………….………….…. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………….…….…… ii HALAMAN PENGESAHAN …………………………….…………….…... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………….………….……… iv MOTTO …………………………………………………………………….. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………….……………. vi PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….…….….……….… vii ABSTRAK ………………………………………………………………….. viii ABSTRACT ………………………………………………………….…….… ix KATA PENGANTAR …………………………………………….…….…... x DAFTAR ISI ………………………………………………………………... xiii DAFTAR SINGKATAN …………………………………….………….…... xxi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………….…….…….…….. 1 B. Rumusan Permasalahan …………………….….………….……….... 14 C. Tujuan Penulisan ……………………………………….…….……... 15 D. Manfaat Penulisan ……………………………….……….…………. 15 E. Metode Penulisan ………………………………….………………... 16 F. Sistematika Penulisan …………….………….……….……………... 16 BAB II BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB A. Identitas Kitab Ayub ……………….…….……….…………………. 18 1. Asal-Usul Kitab Ayub …………………………….…….………. 18 xiii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2. Pengarang Kitab Ayub ……………….….….…….…….……….. 19 3. Waktu Penulisan ………………………………….…….….......... 22 B. Struktur Penulisan Kitab Ayub ………….……....……...................... 22 1. Prolog ………………………………………….………………… 23 a. Allah di Awal Penderitaan Ayub ……….……..….…………. 24 b. Peran Iblis yang Tersembunyi ………………………..….….. 26 1) Musibah yang Pertama ………………….….….………... 26 2) Musibah Kedua ………………………..………………… 28 2. Dialog …………………………………………………………… 29 a. Lingkaran Pertama ……………………....…………………... 29 b. Lingkaran Kedua ………………………………….…….…... 33 c. Lingkaran Ketiga …………………………………..…….….. 34 3. Ellihu Masuk dalam Pembicaraan …….…….…….….….……… 34 4. Ayub Ingin Allah Bicara dan Jawaban Dari Allah …......…….…. 35 a. Ayub ingin Allah Bicara Padanya ………...………………… 35 b. Teofani: Jawaban Allah ……………………………..………. 36 1) Jawaban Allah yang Pertama …………....….…………… 37 2) Jawaban Allah yang Kedua ………………..…….……… 38 5. Epilog ………………………………………………….………… 39 C. Gaya Penulisan Kitab Ayub …………….….…….….…….………… 39 1. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Prosa .…..….…...….. 41 2. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Puisi ….....……….… 43 D. Sikap Ayub Ketika Menghadapi Penderitaan ….……...……..…….... 45 1. Ayub dan Penderitaannya …………....………………………….. 46 xiv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2. Sikap Ayub dalam Penderitaan ……………………...…….……. 46 a. Kepasrahan Ayub …………………………..……………….. 47 b. Ayub Mengeluh …………….….……………………………. 47 c. Kekecewaan dan Kemarahan Ayub ………………...….….… 48 d. Tantangan dan Pemberontakan dari Ayub ……….......……… 51 e. Tuduhan Ayub kepada Allah …………………………....…... 53 f. Pengharapan Ayub …………………...……………………… 53 1) Pengharapan Implisit …………………………..….…….. 54 2) Pengharapan Eksplisit ………………..….…….………… 55 BAB III USAHA MEMAKNAI PENDERITAAN MANUSIA MENURUT PANDANGAN IMAN KRISTIANI, BELAJAR DARI KITAB AYUB DAN RELEVANSINYA BAGI ORANG KRISTIANI DI ZAMAN SEKARANG A. Memahami Penderitaan secara Umum ……………….....…….…….. 59 1. Pengertian Penderitaan ………………………………...………... 59 2. Beberapa Contoh Penderitaan Manusia …………………......…... 61 a. Penderitaan karena Diri Sendiri ……………………….....…. 61 b. Penderitaan yang Disebabkan Oleh Orang Lain ….…............. 63 c. Penderitaan demi Orang Lain dan demi Tugas Perutusan .…. 64 d. Penderitaan Karena Penyakit ……………………...………… 65 e. Bencana Alam ………………….………………………….… 66 3. Cara Mengatasi Penderitaan ………………………………....….. 66 a. Penderitaan karena Diri Sendiri …………………………....... 67 b. Penderitaan karena Orang Lain ……………………......……. 67 xv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI c. Penderitaan demi Orang Lain ………………………....…….. 67 d. Penderitaan karena Bencana Alam ……………….....………. 68 e. Penderitaan karena Penyakit ………………….....…………... 68 B. Relevansi Penderitaan Ayub bagi Penderitaan Hidup Umat Kristiani di Zaman Sekarang …………………………………......……………… 71 1. Makna Penderitaan Manusia Menurut Pandangan Iman Kristiani …………………………….…………….……….. 71 a. Memahami arti penebusan dan makna penderitaan Yesus Kristus ………………………………………..……… 73 b. Allah mendidik manusia melalui peristiwa penderitaan .. ...… 74 1) Penderitaan mengembangkan kepribadian manusia: menjadikan manusia rendah hati ………………….....….. 75 2) Ditantang untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi penderitaan: solidaritas ………………………...….…….. 76 3) Kedewasaan iman ……………………….….…………… 79 2. Makna Penderitaan Ayub ……………..….….…………….……. 80 a. Penderitaan Ayub Bukan Akibat Dosa Atau Hukuman Dari Allah …………………………...……… 83 b. Penderitaan Ayub Membawa Pemahaman Baru Mengenai Allah Dan Penderitaan Manusia …………..….….. 85 3. Relevansi Penderitaan Ayub Bagi Penderitaan Kita …….…........ 88 a. Penderitaan, Dosa, dan Pertobatan ………….…………....…. 88 b. Penderitaan, Pengharapan, Perjuangan Dan Pembebasan ……………………………….…..….…...... xvi 90 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI c. Penderitaan dan Penerimaan Diri Sebagai Makhluk yang Terbatas …………………………………..…. 92 BAB IV APLIKASI PEMAKNAAN PENDERITAAN DALAM KITAB AYUB DENGAN KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) A. Panggilan dan Pergulatan Orang Beriman dalam Menghadapi Penderitaan …………………………………...… 95 1. Panggilan Manusia …………………………….….…………….. 95 a. Manusia sebagai Pribadi ………………....………………….. 98 b. Manusia Mencari Allah ……………………………...……… 99 c. Manusia Mencintai Allah dan Mencintai Sesama ….....….…. 100 2. Pergulatan Orang Beriman dalam Penderitaan ………...….….…. 100 a. Kesadaran ntuk Beriman dan Terlibat Dalam Memperjuangkan Martabat Manusia yang Menderita …...................................... 103 b. Berani Bersyukur dalam Pengalaman Penderitaan: Kesetiaan Orang Beriman …………………………..….…..... 105 B. Pokok-Pokok Gagasan Berkatekese bagi Orang Kristiani yang Menderita Di Zaman Sekarang ……………………....................….….…….….. 106 1. Gagasan dan Sikap yang Diperlukan bagi Katekis .………......…. 106 a. Memahami Pengalaman Penderitaan Peserta …….....….…… 106 b. Memahami Tugas Gereja dalam Menanggapi Penderitaan Manusia ………………….................………….. 107 2. Gagasan dan Sikap yang Perlu Ditumbuhkan dalam Diri Peserta xvii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI a. Menyadari Diri sebagai Makhluk yang Terbatas dan Dapat Melihat Wajah Allah Pada Pengalaman Penderitaan …………..….… 108 b. Menerima Penderitaan sebagai Kenyataan Hidup ……….…. 109 c. Menyadari Diri sebagai Anggota Gereja …………………… 111 1) Ikut Memperjuangkan Hak-Hak Asasi Manusia ………... 111 2) Setiakawan Melawan Penderitaan Sesama ………............ 111 C. Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) Sebagai Alternative dalam Menanggapi Penderitaan Orang Kristiani 1. Gambaran Katekese secara Umum …………………….…….….. 113 a. Pengertian Katekese secara Umum ……………......………… 115 b. Isi Katekese ………..…….….…….…………………………. 115 c. Tujuan Katekese …….............................................................. 117 d. Prinsip Katekese …………………………………..………… 118 e. Subjek Katekese ………………………………….…………. 120 f. Objek Katekiese ……………….……………………………. 121 g. Fungsi Katekese …………………………………..…………. 121 2. Katekese Pembebasan ……………………………………..……. 122 a. Isi Katekese Pembebasan .…………………………….….…. 124 b. Tujuan dan Sasaran Katekese Pembebasan ……..…....…...… 125 c. Dasar-dasar Katekese Pembebasan …………………...….…. 126 1) Dasar Teologi ………………….…………….…..….…... 127 2) Dasar Psikologis …………………………….….….….… 128 3) Dasar Sosiologis …………………………………...….…. 129 xviii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3. Katekese Pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) a. Alasan Pemilihan Model Katekese Pembebasan ….….….…. 132 b. Tiga Komponen Pokok……………….………….…….…….. 132 1) Praksis .….….………………………….……….……….. 132 2) Kristiani ……………….….….….…..….….……….…… 132 3) Shared …………………………….…….……………….. 133 c. Langkah-langkah Model Shared Christian Praxis (SCP)........ 135 1) Langkah I …………………………………………...….... 135 2) Langkah II ……………………………………....……...... 135 3) Langkah III …………………………………………....…. 136 4) Langkah IV ……………………………………..….….…. 136 5) Langkah V ………………………………….…….....……. 137 4. Usulan Program Katekese Pembebasan dan Contoh Persiapan Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) …………………. 138 a. Contoh Usulan Program . …..….…….……..…………….…. 140 b. Contoh Persiapan Katekese Pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) ………….….……………………………….…. 144 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………….……. 158 B. Saran ………………………………………………….….……….…. 160 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..… 161 LAMPIRAN …………………………………………………..………….…. xix 163 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci Semua singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1997 B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Penyelenggaraan Katekese Masa Kini. 16 Oktober 1979 LG : Lumen Gentium, konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, 12 November 1964. GS : Gaudium et Spes. Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Moderen, 7 Desember 1965. KGK : Katekismus Gereja Katolik KWI : Koferensi Waligereja Indonesia SD : Salvifici Doloris, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang arti Kristiani dari Penderitaan Manusia, 11 Februari 1984. C. Singkatan Lain ARDAS KAS : Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang ay : ayat xx PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Ayb : Ayub dll : dan lain-lain Hal : Halaman. KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme PKI : Partai Komunis Indonesia PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia Sbb : sebagai berikut SCP : Shared Christian Praxis xxi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dunia ini, manusia dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu seperti: kesedihan, kesukaran, kegembiraan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kegagalan. Ini merupakan fenomen kehidupan yang dialami oleh manusia. Penderitaan merupakan pengalaman yang dekat dengan manusia. Manusia tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia (Timotheus, 1970: 23). Penderitaan adalah suatu fenomena yang kedudukannya sejajar dengan peristiwa hidup lainnya, seperti kelahiran, kematian, kegembiraan, sakit dan sebagainya (Haryanto, 2011 : 334). Dalam diri manusia ada keharusan untuk mengerti segala hal yang terjadi sepanjang sejarah hidupnya, termasuk masalah penderitaan yang dialaminya. Realitas penderitaan yang terjadi pada manusia tidak pernah berhenti dipertanyakan. Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan ciri khasnya yang paling menonjol (Michael Polanyi, 2001: 15). Tidak mengherankan jika manusia disebut makhluk yang berpikir atau “animale rationale” (Robini, 1998: 14,18). Mungkin saja manusia akan berhenti bertanya jika berhenti menjadi manusia. Dari segala ciptaan yang kelihatan, hanya manusia yang mampu mengenal dan mencintai ciptaan-Nya (GS 12,3). Manusia diciptaan Allah secitra denganNya. Karena hal inilah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan sesuatu, melainkan seseorang (KGK, 1993: 94). Kenyataan ini, seharusnya PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2 membuat manusia saling menghargai, dan menghormati martabat hidup satu dengan yang lain. Tetapi pada kenyataannya, di dunia ini masih sering terjadi permusuhan, pertikaian antar bangsa, suku, agama, dan itu dipelopori oleh satu orang atau suatu kelompok tertentu. Terkadang tidak jarang orang yang tidak bersalah ikut jadi korban. Manusia saling membunuh dan saling menghancurkan. Tentu kita masih ingat peristiwa pembantaian anggota PKI yang terjadi pada tahun 1965. Peristiwa ini mengingatkan kita pada sejarah bangsa Indonesia yang tak pernah lekang oleh peristiwa tragis, pertikaian antarkelompok, pembalasan dendam lama, pembunuhan, semua ini merupakan perbuatan tanpa penghargaan terhadap pribadi manusia yang bermartabat. Tidak hanya orang-orang PKI, orang-orang yang tidak termasuk di dalamnya juga menjadi korban pembantaian orang-orang bringas (Majalah Tempo, 17 Oktober 2012). Kenyataan hingga saat ini, bangsa Indonesia masih mengalami penderitaan kolektif, yang juga menimbulkan penderitaan secara pribadi. Kita diingatkan kembali pada sejumlah peristiwa mengerikan dalam sejarah hidup manusia: pembantaian 6 juta orang Yahudi di kamp konsentrasi NAZI, pembantaian rakyat Timor Leste dalam insiden Santa Cruz tahun 1991, perang Afganistan dan Irak yang menelan ribuan nyawa manusia, peristiwa tsunami tahun 2004 Aceh dan Nias yang menelan banyak jiwa dan harta benda, gempa bumi tektonik di Yogyakarta, meletusnya gunung merapi pada tahun 2010 juga menelan begitu banyak korban (Emanuel Bria, 2007: 9). Kita sekarang hidup dalam dunia yang tidak aman. Sampai saat ini, masih banyak ditemukan kasus pembunuhan, ketidakadilan (KKN), pelecehan seksual, dll. Tidak mengherankan jika zaman sekarang banyak orang masih merasa terjajah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 3 di tanah airnya sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri, penderitaan adalah realita yang sangat dekat dengan manusia, ada hubungan erat diantara keduanya: manusia dan penderitaan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, dalam Salvifici Doloris (art. 3) : “…, dalam bentuk yang bagaimanapun, penderitaan agaknya, dan memang hampir tak terpisahkan dari eksistensi manusia di dunia ini”. Pernyataan ini semakin menegaskan dan meneguhkan keyakinan kita, bahwa benar adanya relasi yang erat antara penderitaan sebagai realitas, dan manusia sebagai entitas (keberadaan) yang terbatas dan tidak dapat diulang (SD art. 8). Realitas penderitaan yang terjadi pada manusia, sering terjadi akibat adanya kejahatan. Kejahatan itu sendiri berasal dari manusia; kurang harmonisnya hubungan antara manusia dan dunia (Timotheus, 1970: 25). Mengutip pernyataan dari Bapa Suci Yohanes Paulus II mengenai kejahatan:“Dapat dikatakan bahwa manusia menderita bilamana ia mengalami tindakan kejahatan dalam bentuk apapun” (SD art. 7). Kejahatan tersebut dapat berupa ketidakadilan, yang termasuk di dalamnya ada unsur; keserakahan, kekuasaan, penindasan, kekerasan dan kemiskinan. Tindakan kejahatan menimpa kaum lemah. Kenyataan yang terjadi, orang kaya menindas yang lemah, orang pintar yang mengatur, orang yang punya kuasa memonopoli. Namun belum tentu orang yang merasa lebih adalah orang yang hidup benar dan bahagia. Ini adalah permasalahan yang terjadi antar manusia. Semua ini terjadi karena kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia. Realita penderitaan di atas membuat kita merasa takut dan cemas barangkali bencana yang sama akan menimpa kita juga. Kita sungguh berhadapan dengan pengalaman akan dunia yang absurd. Jika dunia diciptakan oleh Allah Maha Kuasa, sebagaimana diajarkan dalam pelajaran pendidikan Agama, mengapa Allah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4 dipahami begitu tidak berkuasa? Jika Allah itu benar-benar ada, dari mana datangnya penderitaan yang menimpa manusia? Dalam pengalaman buruk dan sangat mengerikan, masih bermaknakah keyakinan kita bahwa Allah itu sungguh ada? Kalau memang Allah sungguh ada, mengapa Dia tidak campur tangan dalam peristiwa penderitaan? Mengapa Dia memilih untuk membiarkan penderitaan ada di dunia? Apakah Allah tidak sayang pada mahkluk ciptaan-Nya? Atau mungkin Allah hanya ada dalam dongeng? Kalaupun penderitaan bukan berasal dari Allah, dan kalau memang benar Allah itu Mahakuasa dan mengasihi manusia, mengapa Allah membiarkan penderitaan merajalela di dunia? Bukankah seharusnya Allah melindungi makhluk ciptaan-Nya yang lemah dan kecil? Orang baik berhak mendapat ganjaran yang setimpal dan orang yang jahat diberi hukuman (Robini, 1998: 34). Apa sesungguhnya yang Allah inginkan atas diri manusia yang menderita? Dari fenomen-fenomen singkat di atas, penulis melihat ada persoalan yang menarik untuk dicari jawabannya, dan ini akan menjadi diskusi yang menarik dan tidak akan ada habisnya. Manusia adalah makhluk yang selalu mau tahu, dan bertanya “mengapa” pada segala yang dialaminya. Terutama orang seringkali bertanya-tanya ketika berhadapan dengan penderitaan, apalagi jika penderitaan tersebut menimpa orang baik dan jujur. Ketika manusia berhadapan dengan situasi yang tidak dia kehendaki, ia dapat saja berontak, marah, kecewa, dan frustasi. Kita yang hanya melihat saja dapat berontak, marah dan kesal, apalagi mereka yang mengalaminya. Pertanyaan yang muncul: “Di manakah Allah? Di manakah Allah ketika Merapi Meletus, tsunami Mentawai terjadi, banjir Wasior, dan bencana lainnya yang merenggut banyak nyawa manusia tak berdosa? Jika memang Allah Mahabaik dan Mahakuasa, mengapa penderitaan tetap ada di muka bumi?”, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5 pertanyaan “mengapa” merupakan usaha manusia untuk menemukan jawaban dan makna dari penderitaan yang menimpanya. Ini adalah reaksi yang manusiawi. Hingga saat ini masih terdengar manusia mengeluh, menyalahkan Allah atas masalah yang dialami, kecewa pada kegagalan dan penderitaan yang menimpa dirinya. Merasa putus asa ketika dihadapkan pada suatu masalah yang berat, dan bahkan membuat manusia harus mengakhiri hidupnya. Manusia sering bertanyatanya dalam hatinya, apakah ini hukuman atas dosa? Mungkin saya memang pantas mendapatkan ini?. Semua pertanyaan itu, menggambarkan bahwa Allah senang memberikan pelajaran dan hukuman setimpal atas dosa-dosa yang diperbuat manusia, sehingga gambaran Allah yang sesungguhnya yakni Maha pengasih dan pengampun hampir tidak ada. Lalu bagaimana dengan manusia yang menderita tanpa melakukan perbuatan dosa? Apakah itu adil? Kredibilitas Allah mulai dipertanyaan. Melihat realitas di atas kembali kita perlu memahami bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk melakukan segala hal di dunia sesuai dengan kehendak bebasnya. Menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas berarti: membiarkan kemungkinan bahwa manusia akan salah pilih, dan jatuh dalam dosa (Timotheus, 1965: 22). Ini bukan berarti Allah dengan sengaja menghendaki manusia jatuh dalam dosa, namun Allah itu baik, tidak pernah memaksa manusia untuk mencintai Dia, namun Allah tetap menunggu manusia benar-benar secara bebas dan sadar mencintai Dia dengan memberikan jawaban iman dan cinta yang tidak dapat diberikan makhluk lain sebagai penggantinya (KGK, 1993: 94). Memaknai penderitaan adalah sebuah upaya reflektif yang sudah dilakukan sejak dahulu kala. Mungkin refleksi tentang penderitaan ini sudah dilakukan sejak PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 6 adanya manusia; sekurang-kurangnya sejak manusia menyadari dirinya sebagai makhluk reflektif; makhluk yang berpikir dan memiliki akal budi. Dalam menemukan makna penderitaan, penulis mengutip pernyataan dari Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Salvifici Doloris, bahwa: “…dalam bentuk yang bagaimanapun penderitaan agaknya dan memang hampir tak terpisahkan dari eksistensi manusia di dunia ini” ( SD art. 3). Pernyataan ini menegaskan bahwa ada keterikatan yang kuat antara penderitaan dan hidup manusia. Selama manusia masih bernafas di dunia ini, maka permasalahan yang menimbulkan penderitaan akan selalu datang silih berganti. Kebanyakan orang, pasrah menghadapi penderitaan, tanpa mau berjuang dan menemukan makna di balik penderitaan, sehingga penderitaan dilihat sebagai pengalaman yang menakutkan. Pertanyaan reflektif bagi kita, bagaimana kita menemukan makna dibalik penderitaan?. Sebagai wujud kesadaran sebagai makhluk reflektif, penulis di sini turut mengambil bagian dalam memaknai penderitaan manusia zaman sekarang. Penderitaan merupakan misteri dalam hidup. Penderitaan tidak selalu dapat dimengerti secara tuntas oleh manusia. Memaknai penderitaan adalah upaya manusia menyadari dirinya yang lemah dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan kejadian buruk, menakutkan dan menyakitkan. Penderitaan manusia adalah realitas yang tidak terelakkan dari dunia ini. Penderitaan yang dialami manusia hendaknya dimaknai. Iman kitalah yang mampu memberi makna pada hal tersebut. Pertanyaannya, apakah iman kita sudah mampu memberikan makna atas semua yang terjadi dalam hidup kita? Atau, kita membiarkan iman mati dan terkikis oleh kekhawatiran kita? (Haryatno, 2011: 335). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 7 Penderitaan menjadi problema ketuhanan bagi orang-orang yang percaya bahwa Allah Mahabaik, Mahaadil dan Mahacinta. Mengenai hal ini, apakah kita akan menyimpulkan bahwa Allah melakukan sesuatu yang salah terhadap segala yang diciptakan di dunia ini? Di mana keadilan Allah? Apakah maksud Allah dengan persoalan yang sulit dipahami ini? Apakah iman kita dapat memberi jawaban atas semua ini (Atkinson, 1996: 31). Dalam kesadaran sebagai orang beriman, tentunya kita dapat kembali melihat ke dalam sumber wahyu tertulis kita, Kitab Suci. Mengikuti Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, yang mengatakan: “Kitab Suci merupakan sebuah buku yang besar tentang penderitaan” (SD Art 6), Dalam rangka memaknai penderitaan, akhirnya kita dapat belajar dari sana. Untuk tujuan inilah, maka penulis akhirnya mengupas sebuah kitab yang secara istimewa mengungkapkan penderitaan yang dialami oleh manusia. Isi cerita dari kitab ini sangat menarik dan juga inspiratif. Kitab ini merupakan kitab yang banyak berbicara tentang penderitaan orang benar. Kitab yang besar berbicara mengenai penderitaan manusia ini adalah Kitab Ayub. Benarkah Allah itu Mahakasih dan Mahaadil? Kalau memang benar, mengapa penderitaan masih merajalela di bumi? Mengapa manusia dibiarkan-Nya saling menindas dan saling membunuh? Tragisnya lagi, tidak semua korban adalah orang jahat. Di bumi ini masih banyak orang saleh jadi korban penindasan dan keserakahan sesamanya. Ini sangat memprihatinkan. benarkah Allah itu adil? Tapi mengapa orang-orang jahat diberi kehidupan yang layak, sementara orang saleh harus berjuang keras untuk hidupnya. (Stanislaus, 2008: 51-52). Pandangan tentang ‘menderita karena dosa’ bertumpu pada paham keyakinan akan ‘keadilan Allah’ dan paham ‘pembalasan di bumi’. kepercayaan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 8 akan keadilan Allah bertumpu pada tindakan Allah mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat. Berpijak pada kepercayaan akan keadilan Allah dan paham pembalasan di bumi, orang sampai pada kesimpulan bahwa bencana, penyakit, penderitaan dan segala konsekuensinya adalah hukuman dari dosa. pemikiran ini tertuang dalam buku-buku kebijaksanaan seperti Amsal (Ams 10-22; 25-29) dan Yesus bin Sirakh. Fakta bahwa orang-orang baik menderita dan mati dibunuh, memicu refleksi seseorang untuk mempersoalkan kebenaran ‘paham pembalasan di bumi’. Salah satunya Kitab Ayub. Kitab ini ingin memaparkan diskusi yang sangat panjang yang menyajikan argumentasi bahwa paham pembalasan di bumi tidak dapat dipertahankan lagi. Penderitaan orang benar adalah tema yang menjadikan Kitab Ayub istimewa dalam konteks sekarang. Kitab Ayub menghadirkan gagasan baru mengenai ajaran tradisional yang berbicara bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Kitab Ayub mau menunjukan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penderitaan dan dosa. oleh karena itu, penderitaan tidak boleh secara langsung dikaitkan dengan dosa (Stanislaus, 2008: 55-58). Segala sesuatu di bumi diciptakan Allah baik adanya, ini jelas menunjukan bahwa Allah tidak menghendaki sesuatu yang tidak baik, termasuk penderitaan (Kej 1: 31). Terkadang kitalah yang sulit memahami maksud Allah. Menjadi pertanyaan; “apakah orang benar mampu menanggapi penderitaan yang dialaminya secara benar atau tenggelam dalam penderitaan? Apakah penderitaan merupakan hukuman dari Allah? Mungkin manusia dapat lebih merasakan kehadiran Allah jika pernah merasakan penderitaan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 9 Orang benar atau orang beriman juga mengalami penderitaan dalam hidup. Dengan iman yang teguh orang beriman mampu menerima, menggulati dan memaknai penderitaan. Bagi orang benar memaknai penderitaan berarti dengan iman membangun relasi dengan Allah. Orang benar menyerahkan hidupnya dalam bimbingan dan penyelenggaraan Allah dan dengan sikap iman mengupayakan sikap-sikap positif dalam menghadapi penderitaan. Orang benar akan menemukan bahwa Allah itu penuh kasih meskipun mengalami penderitaan dalam hidup. Orang benar memiliki harapan dalam menghadapi penderitaan. Orang benar mengharapkan Allah yang senantiasa memberi kekuatan. Harapan tersebut merupakan reaksi orang benar ketika menghadapi penderitaan seperti bencana alam, kelaparan, kemiskinan, kematian dan sebagainya. Harapan tersebut juga merupakan ungkapan bahwa orang benar merasa lemah, tak berdaya, kecil sehingga membutuhkan Allah dalam menghadapi penderitaan. Dalam Kitab Ayub, yang menjadi permasalahan di dalamnya adalah mengenai persoalan dan maksud Allah mengapa membiarkan orang baik menderita. Ayub adalah orang yang saleh dan takut akan Allah. Namun dia menderita. Mengapa orang benar seperti Ayub harus menderita? Pertanyaan ini seakan ingin menunjukan adanya ketidakadilan yang dialami oleh manusia. Penderitaan Ayub disebabkan oleh iblis, dan dilakukannya (iblis) atas izin dari Allah. Mari kita lihat Ayub 1:6-12, sbb: 6 Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap Tuhan dan diantara mereka datanglah juga iblis. 7Maka bertanyalah Tuhan kepada iblis: “Dari mana engkau?” Lalu jawab Iblis kepada Tuhan: “Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajahi bumi.” 8Lalu bertanyalah Tuhan kepada Iblis: “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. 9Lalu jawab Iblis kepada Tuhan: “Apakah dengan tidak mendapatkan apa-apa Ayub takut akan Allah? 10Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 10 dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu. 11Tetapi ulurkanlah tanganMu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau dihadapan-Mu. 12Maka firman Tuhan kepada Iblis: “Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya. Allah membiarkan Ayub kehilangan segala miliknya, namun Allah tetap mengasihi Ayub (ay 12). Dari bagian awal kisah Ayub, kita melihat bahwa penderitaan Ayub bermakna uji coba akan ketulusan, dan bukan hukuman atas dosa. Sesungguhnya apa maksud dari penderitaan Ayub orang saleh ini? Dalam kisah digambarkan bahwa Ayub memang membuktikan ketulusan kepercayaannya. Kepercayaan Ayub akan Allah bukanlah kepercayaan yang menuntut balasan. Kecurigaan bahwa Ayub percaya kepada Allah karena kelimpahan yang dimilikinya sebagaimana dinyatakan oleh Iblis di awal kisah (lih. Ayb 1: 9) terbukti tidak benar. Ayub tetap percaya kepada Allah meskipun segala kepunyaannya telah sirna. Dengan berseru penuh ketulusan hati Ayub berseru; “Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan! (Ayb 1: 21)”. Bagi Ayub segala yang terjadi di atas bumi ini, semua adalah kehendak Allah termasuk juga penderitaan yang menimpa dirinya. Di akhir kisah digambarkan bahwa karena kesetiaannya itu, Allah mengembalikan segala milik Ayub, bahkan diberi-Nya lebih daripada apa yang dimilikinya sebelumnya (lih. Ayb 42: 10-17). Dalam Kitab Ayub, penderitaan dibicarakan secara dialektik oleh tokoh-tokohnya. Dengan adanya perdebatan atas penderitaan Ayub itulah maka penggalian makna atasnya menjadi semakin jelas PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 11 dan menarik. Karena itulah penulis dapat mengatakan bahwa kitab Ayub adalah kitab penderitaan. Secara manusiawi kita pasti berpikir bahwa Tuhan tidak adil jika memberi hukuman penderitaan kepada orang benar, sedangkan orang-orang yang melakukan penindasan, melakukan korupsi dan kejahatan lainnya dibiarkan hidup bahagia. Sebagai manusia biasa wajar saja bila Ayub mengeluh dengan penderitaan yang ditimpakan Allah kepada dirinya, yang bisa dikatakan orang baik dan takut akan Allah. Inilah salah satu keluh kesah atau pertanyaan yang keluar dari mulut Ayub “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan ?”(Ayub 3 : 11). Sungguh memilukan nasib Ayub, seorang saleh dan patuh pada perintah Allah. Dia harus mengalami penderitaan yang begitu berat. Sebenarnya apa yang ingin Allah tunjukan kepada manusia terutama melalui kisah Ayub? Belajar dari Kitab Ayub, kita dituntut semakin peka untuk lebih peduli dan bersikap solider terhadap sesama yang menderita. Setidaknya solidaritas tersebut dapat penulis wujudkan melalui jawaban yang tepat dari pertanyaan mengenai makna sebuah penderitaan yang terjadi menimpa hidup manusia. Dalam bukunya, Krispurwana Cahyadi (2011: 3) memaparkan pemikiran dari Paus Yohanes Paulus II, demikian: “membela martabat dan hak asasi manusia merupakan salah satu tugas Gereja”, beliau memandang manusia sebagai pribadi berharga dihadapan Allah dan diciptakan secitra dengan-Nya. Dengan menghargai martabat manusia kita mewujudkan sikap iman terhadap Allah. Pertanyaannya: “Apakah kita cukup beriman untuk mewujudkan tugas tersebut?”. Saat berada di kayu Salib, Yesus pernah mengatakan, “Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani!” yang artinya “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 12 Aku?”. Bahkan, Yesus pun merasa Bapa-Nya telah meninggalkan Dia. Apakah memang demikian? Apakah Allah tidak peduli terhadap manusia yang menderita? Fenomena di atas menunjukan bahwa orang seringkali tertutup oleh nuansa penderitaan sehingga tidak ada tempat bagi Allah untuk memperjelas maksudnya, Allah selalu bertindak sesuai dengan maksud-Nya sendiri (Atkinson, 2002: 55). Dalam penderitaan-Nya, Yesus tidak diam dan meratapi sengsara-Nya. Ia memberi contoh bagaimana kita harus bersikap ketika berada dalam penderitaan. Ungkapan “Eloi, Eloi Lama Sabakhtani” adalah usaha untuk terus-menerus mencari Allah meski penderitaan dialami begitu berat. Allah yang kita imani adalah Allah yang dekat, yang mau hadir ketika penderitaan terjadi. Hanya saja kita tidak menyadarinya. Begitu juga Allah hadir saat Yesus di salib dan wafat, jika Allah tidak hadir maka Yesus tidak mungkin bangkit (Haryatno, 2011: 335). Kita tidak boleh melupakan bahwa Allah tetap menyertai umatnya dalam situasi apapun, terutama dalam pengalaman penderitaan, sebab Allah sendiri juga mengalami penderitaan yang ditanggung oleh Yesus Kristus Putera-Nya (Robini, 1998: 15). Penderitaan Yesus adalah demi dan untuk umat yang dikasihi-Nya, demi kita semua, manusia. Karena itu, kita juga dipanggil untuk menderita bersama Dia, seperti yang dilakukan oleh Paulus untuk Yesus Kristus yang tertulis dalam Kitab Suci, II Tim: 10-12 sbb : Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku. Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita di Antiokhia dan Ikonium dan Listra. Semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku daripada-Nya. Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 13 Sanggupkah kita menderita bersama Kristus seperti yang dilakukan Paulus? Selama ini kita mempercayai penderitaan adalah ganjaran atas perbuatan dosa, namun kisah Ayub memberi kita wajah lain dari penderitaan, yaitu penderitaan tanpa dosa. Itulah sebabnya mengapa kisah Ayub penting untuk memahami arti dan makna penderitaan orang benar, yaitu karena penderitaan Ayub adalah penderitaan yang tidak biasa, penderitaan tanpa melakukan perbuatan dosa. Menurut Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II: “…Penderitaan Ayub adalah penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh manusia secara penuh berdasarkan akal budinya…” (SD art. 11). Kalau bukan hukuman atas dosa, lantas apa maksud Allah dibalik penderitaan orang benar? Memang benar bahwa penderitaan mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan akibat dari dan bentuk dari dosa. Manusia yang menderita, harus dibebaskan. Gereja harus memerangi ketidakadilan yang terjadi di dunia, apa yang harus dilakukan oleh Gereja dalam menanggapi penderitaan sesama? Sejak dahulu sudah diusahakan suatu pembebasan bagi kaum miskin, namun sampai sekarang belum tuntas juga. Negara Indonesia ini memang banyak menyimpan sejarah hidup, penderitaan dan perjuangan manusia. Ada juga manusia yang pasrah pada nasib, dan ada juga yang terdorong untuk menuntut keadilan. Seperti yang dilakukan oleh Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan keadilan, namun akhirnya ditemukan tewas mengenaskan akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pihak yang merasa terusik dengan aksi nekat yang dilakukannya (Majalah Tempo, XXIII. Oktober, 1993). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 14 Menyadari hal di atas, penulis mengupayakan suatu bentuk pendekatan reflektif kritis guna memberi gambaran baru sebagai usaha untuk membantu orang benar zaman sekarang menemukan makna dibalik penderitaannya. Selain itu, beranjak dari situasi di mana seringkali terjadi vonis semena-mena atas penderitaan orang lain, maka penderitaan harus dimaknai sungguh-sungguh sehingga dapat menjauhkan kita dari penilaian subjektif yang malah semakin menambah penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Lalu bagaimana usaha kita dalam menemukan makna dibalik penderitaan yang menimpa orang benar? Dan apa yang harus kita lakukan sebagai usaha membantu mereka yang menderita dapat memaknai penderitaannya? Beranjak dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengajak kita semua belajar bersama untuk merefleksikan penderitaan yang terjadi di dalam hidup kita khususnya belajar bersama Kitab Ayub, melalui kacamata iman Kristiani menemukan bersama makna dibalik penderitaan orang benar serta penerapannya melalui katekese pembebasan. Maka dari itu, penulis tertarik menulis skripsi ini dengan judul : BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini dapat dirumuskan sbb: 1. Bagaimana penderitaan orang benar dimaknai dalam Kitab Ayub ? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 15 2. Bagaimana orang benar jaman sekarang memaknai penderitaann yang dihadapinya? 3. Apakah katekese pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) dapat membantu umat Kristiani dalam menyikapi penderitaan yang terjadi dalam hidup secara konkret? C. Tujuan Penulisan 1. Mengungkapkan bagaimana penderitaan orang benar dimaknai dalam Kitab Ayub sehingga dapat menjadi inspirasi bagi umat kristiani dalam menyikapi penderitaan hidup. 2. Memaparkan bagaimana keteguhan iman, membantu orang benar jaman sekarang menanggapi penderitaan hidup sehingga dapat semakin didewasakan dalam iman 3. Memaparkan bagaimana katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis masih sangat relevan digunakan sebagai alternative dalam membantu peserta untuk mendalami dan menemukan makna dari pengalaman hidupnya. 4. Memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. D. Manfaat Penulisan 1. Bagi penulis sendiri, penulis semakin peka dan termotivasi untuk menanggapi penderitaan orang lain, serta penulis dapat semakin bertumbuh dewasa dalam menyikapi penderitaan yang terjadi dalam hidup. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 16 2. Bagi pembaca, pembaca menemukan makna penderitaan sebagai inspirasi mereka terutama dalam menanggapi/menyikapi permasalahan yang mereka alami. 3. Memberi gambaran kepada semua orang, sejauhmana iman, pengharapan dan kasih pada Allah dapat membebaskan manusia dari belenggu penderitaan yang terjadi dalam hidupnya, serta tidak melihat penderitaan sebagai sesuatu yang mengerikan, melainkan dapat menyikapinya secara tepat dengan iman yang dewasa. E. Metode Penulisan Metode penulisan yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis deskriptif terhadap kisah Ayub. Kisah Ayub menjadi sumber pokok dalam penulisan karya ini. Penulis akan memaparkan hasil refleksi kritis terhadap kisah Ayub dan diperkaya dengan studi pustaka. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini dibagi dalam lima bab yang akan diuraikan sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II membahas tentang Identitas dari Kitab Ayub, struktur penulisan, sistematika penulisan, gaya penulisan kitab Ayub dan sikap Ayub dalam menghadapi penderitaan. Hal ini bertujuan supaya pembaca dapat benar-benar mengenal dan memahami jalan pikiran Kitab Ayub, dengan maksud untuk PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 17 mendasari usaha pemaknaan atas penderitaan yang terungkap dalam Kitab Ayub, yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Bab III merupakan usaha memahami penderitaan secara umum, mulai dari pengertian penderitaan, beberapa contoh penderitaan, dan cara mengatasinya. Selanjutnya penulis akan membahas tentang relevansi penderitaan Ayub bagi penderitaan manusia, umat Kristiani di zaman sekarang. Dalam bagian ini, penulis akan menguraikannya seperti: makna penderitaan manusia menurut iman Kristiani, makna penderitaan Ayub, dan relevansi penderitaan Ayub bagi penderitaan kita Sebagai hasil dari usaha pemaknaan atas penderitaan itu, Pada Bab IV, penulis akan menunjukan aplikasinya dalam katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai wujud praktis dari usaha menemukan makna dibalik penderitaan orang benar zaman sekarang. Sebelumnya penulis akan memaparkan panggilan dan pergulatan orang berimann dalam menghadapi penderitaan, kemudian dilanjutkan dengan pokok-pokok gagasan berkatekese bagi orang Kristiani yang menderita di Zaman sekarang. Akhirnya Bab V merupakan penutup dari rangkaian penulisan skripsi ini, penulis akan mengungkapkan kembali inti pokok dari seluruh rangkaian pembahasan karya tulis ini, yang berisi kesimpulan dan saran yang dapat semakin meneguhkan iman pembaca. Terutama dalam memotivasi dan memberikan inspirasi kepada mereka, sehingga mampu menanggapi pengalaman penderitaan yang terjadi dalam hidupnya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 18 BAB II BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB Keistimewaan Kitab Ayub semakin jelas bila kita mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai Kitab tersebut. Pada bab ini, penulis mengajak kita untuk belajar memahami Kitab Ayub seperti: identitas Kitab Ayub, struktur penulisan Kitab Ayub, genre Kitab Ayub, gambaran singkat kisah Ayub si penderita dan maksud penderitaan Ayub. A. Identitas Kitab Ayub Kita diharapkan dapat memahami identitas Kitab Ayub secara menyeluruh. Hal ini sebagai suatu usaha untuk memudahkan kita menemukan makna di balik penderitaan orang benar yang di kisahkan dalam kitab tersebut. Ini juga menjadi acuan kita dalam menanggapi pengalaman penderitaan yang terjadi dalam kehidupan umat kristiani di zaman sekarang. 1. Asal-Usul Kitab Ayub Konon pada abad-abad yang silam, para sarjana yakin bahwa pernah ada sejenis cerita rakyat berjenis fabel berisi ajaran-ajaran moral yang bertujuan memperkuat perasaan religious masyarakat. Cerita ini lebih merupakan kisah “konon di suatu masa” tentang seorang tokoh yang menderita. Tokoh tersebut bernama Ayub yang memiliki pribadi yang baik dan begitu sempurna (Kushner, 1987: 46). Sepanjang sejarah kehidupan di bumi, umat manusia tak lepas dari pergulatan dengan masalah kematian dan penderitaan. Pada hakikinya manusia PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 19 menyadari bahwa penderitaan adalah akibat dari adanya kejahatan ataupun dosa si penderita. Namun, yang menjadi persoalannya adalah mengapa masih ada orang yang menderita bukan karena dosanya? (Robini, 1998: 38). Beranjak dari pertanyaan itu, maka menjadi penting bagi kita untuk membahas Kitab Ayub. Perlu diketahui bahwa Kitab Ayub merupakan hasil dari refleksi mengenai problem penderitaan, terutama penderitaan orang saleh yang takut akan Allah. Dalam pembahasan kita ini, kita akan menemukan komprehensif kitab tersebut, perihal pengalaman penderitaan orang benar yang hendak kita bahas dalam terang iman Kristiani. (Robini, 1998: 19). Pada abad ke-6 sebelum masehi, pada zaman Nabi Yehezkiel Ayub dikenal sebagai tokoh yang amat saleh dan juga baik, dapat dilihat dalam Yeh 14 : 14,20 selain Nuh dan Daniel. Pada abad ke-5 dan ke-4 sebelum Masehi seorang penyair anonim yang berbakat dan juga memiliki kemampuan intelektual yang sangat baik, mencoba mengkritisi pandangan para ahli dan guru kebijaksanaan mengenai hubungan mutlak antara perbuatan manusia dan nasibnya (Weiden, 1995: 104105). Mempelajari Kitab Ayub sama halnya dengan menyingkap pengalaman manusia, terutama dalam peristiwa penderitaan. Sepertinya si pengarang Kitab Ayub ingin mencari jawaban atas penderitaan Ayub. Oleh sebab itu, tema penderitaan Ayub merupakan hal yang sangat dekat dengan manusia. 2. Pengarang Kitab Ayub Heavenor menuliskan bahwa pengarang Kitab Ayub belum diketahui (1999: 67). Tampaknya pernyataan ini menjadi permulaan yang membuat kita pesimis untuk mengetahui identitas lengkap pengarang kitab tersebut. Namun kita harus PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 20 mengakui bahwa si pengarang adalah orang beriman yang mungkin memiliki pengalaman yang sama dengan Ayub (tokoh dalam tulisannya). Kushner menuliskan bahwa pengaramg kitab Ayub adalah seorang pria yang hidup sekitar tahun 600-400 SM dan tidak ada satu tulisan sejarahpun yang mengetahui nama pria tersebut. Sejak saat itu, pria tanpa kejelasan nama atau identitas jelas ini telah menyuguhkan karya yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia (Kushner, 1987 : 45). Banyak ahli melihat bahwa pengarang Kitab Ayub bukanlah orang Yahudi. Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang berperan dalam keseluruhan kisah. Seluruh kisah dan tokoh-tokoh dalam cerita tidak terikat pada suatu budaya Yahudi semata-mata. Para ahli mengambil kesimpulan bahwa kitab ini bukan ditulis seorang Yahudi. Meskipun pernyataan di atas dapat diterima bahwa kitab tersebut banyak terdapat unsur non-Yahudi, namun kitab ini telah diterima secara umum ditulis oleh orang Yahudi dalam bahasa Ibrani (Robini, 1998: 28). Pengarang kitab Ayub hanya kita kenal melalui karya unggul yang dihasilkannya. Ia pasti seorang Israel yang sering merenungkan tulisan para nabi dan ajaran para bijaksana. Mungkin sekali ia bertempat tinggal di Palestina. Tetapi dia pasti membuat perjalanan-perjalanan atau malahan tinggal di luar negeri, khususnya di negeri Mesir. Kita hanya dapat menerka-nerka di zaman mana pengarang hidup. Bagian-bagian prosa sangat serupa dengan ceritera-ceritera mengenai para bapa bangsa. Kesamaan itu menyebabkan orang di zaman dahulu yakin, bahwa kitab Ayub sama seperti kitab Kejadian ditulis oleh Musa. Tetapi dugaan itu paling-paling berlaku untuk rangka kitab Ayub saja. Kitab Ayub pasti dikarang sesudah zaman nabi Yeremia dan Yehezkiel. Sebab di dalamnya terdapat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 21 persamaan ungkapan dan gagasan dengan nabi-nabi itu. Bahasa yang dipakai kitab sehabis masa pembuangan di Babel (Guinan, 2002: 403) Kitab Ayub dipilih berdasarkan refleksi mengenai problem penderitaan, terlebih hal yang menyangkut penderitaan orang benar (Robini, 1998: 18). Pengarang Ayub merenungkan nasib orang benar yang menderita. Menurut pendapat tentang pembalasan di bumi yang beredar di kalangan umum, nasib semacam itu sangat absurd. Inilah yang pengarang refleksikan. Pengarang sepertinya mempunyai kepekaan yang sangat besar terhadap penderitaan kaum lemah miskin, tersingkir dan difabel yang ada di jamannya. Mungkin yang menjadi pertanyaannya saat itu, mengapa orang yang sudah susah hidupnya harus semakin menderita oleh penyakit dan akhirnya binasa, sedangkan orang congkak dengan bebasnya menikmati hidup berkelimpahan harta dan uang? Ternyata para cendekia dan orang yang dianggap cerdas berusaha memberikan kejelasan mengenai realitas ini, tidak membuat hati si pengarang merasa puas (Kushner, 1987 : 45). Dikarenakan ketidakpuasannya tersebut si pengarang yang mempunyai kemampuan intelektual dan jiwa seni yang hebat ini akhirnya menulis sebuah sajak filosofis yang panjang sesuai dengan pergulatan hatinya sendiri mengenai persoalan mengapa Allah membiarkan hal-hal buruk menimpa orang-orang benar. Sajak yang reflektif ini muncul dalam Alkitab bernama Kitab Ayub (Kushner, 1987 : 45). Pengarang yang hidup antara abad ke-6 dan ke-4 sebelum M., bermaksud untuk memperlihatkan kekeliruan kepercayaan tradisional, bahwa dalam dunia inilah segala kebaikan dan kejahataan sudah mendapat ganjaran dari Allah (Heuken, 2004: 166). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 22 3. Waktu Penulisan Sangat sulit menentukan kapan pastinya Kitab Ayub muncul. Beberapa ahli menempatkannya dalam konteks pembuangan di Babel, ada juga ahli yang mengaitkannya dengan peperangan dan kekacauan yang menimbulkan kehancuran Yehuda dan Yerusalem sekitar tahun 587 SM. Ada yang mengatakan bahwa kitab Ayub ditulis sekitar masa-masa Yesaya dan Yeremia hidup. Pada umumnya, buku ini diakui telah ditulis sekitar tahun 600-400 SM. Pendapat inilah yang sering dijadikan suatu acuan, tetapi kepastiannya tidak ada (Robini, 1998: 29). B. Struktur Penulisan Kitab Ayub Struktur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cara sesuatu disusun atau dibangun, atau berarti juga susunan atau bangunan yang dapat memberikan petunjuk bagi kita untuk lebih dalam mempelajari keberadaan sesuatu. Dalam hal ini penulis akan mengajak kita untuk melihat struktur kisah dalam Kitab Ayub. Jadi pertanyaannya adalah seperti apakah struktur Kitab Ayub? Dapat dikatakan struktur kitab adalah kerangka dari seluruh rangkaian yang ada dalam kitab tersebut. Maka dengan melihat struktur kitab, setidaknya keutuhan isi dapat diketahui. Mengenai struktur penulisan Kitab Ayub, Weiden menuliskan bahwa prolog-epilog Ayub bukan suatu cerita rakyat saja, melainkan hasil karya seorang pengarang yang melalui skematisasi itu ingin memberikan kesan “luar biasa” kepada kisahnya. Ke-luar-biasa-an yang dimaksud adalah menunjukan bagaimana Allah berkarya dalam diri Ayub atau peristiwa hidup manusia terutama peristiwa penderitaan, dan ini diperlihatkan secara menyeluruh oleh Kitab Ayub (Weiden, 1995 : 109). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 23 Secara garis besar, Kitab Ayub terbagi dalam tiga bagian utama. Bagian pertama yakni prolog (Ayb 1-2), bagian kedua adalah bagian dialog yang memaparkan pembicaraan antara Ayub dan teman-temannya, termasuk Ellihu. Dapat dikatakan ini merupakan bagian puisi yang didramakan (Ayb 3-42:7). Sedangkan bagian ketiga dari kitab ini adalah bagian epilog ( Ayb 42: 8-17) yang berbentuk prosa sama seperti pada prolog (Robini, 1998: 23). Penulis membuat gambarnya, sbb: Kitab Ayub Prolog Dialog Epilog Secara lebih mendetail, untuk semakin memberi kejelasan pada pembaca, penulis memaparkan pemikiran Marvin H. Pope dalam buku yang disusun oleh Robini.M., dan H. J. Suhendra, di mana dia membagi Kitab Ayub dalam 5 bagian utama, berikut gambar dan uraiannya: Prolog 1-2 1. Dialog 3-31 Elihu 32-37 Yahwe 38:1-42:6 Prolog 42:7-17 Prolog Pada bagian prolog, tokoh Ayub diperkenalkan. Bisa jadi bagian ini adalah bagian yang paling diketahui banyak orang dibandingkan dengan bagian-bagian yang lain. Pada bagian prolog Ayub dikenal sebagai orang yang jujur, benar dan takut akan Allah, dan ia menjauhkan diri dari segala hal yang tidak baik (Ayb 1: 10). Kitab Ayub mengisahkan seorang yang bernama Ayub. Ia berasal dari Uz. Ayub adalah seorang konglomerat pada zamannya, dia ayah dari tujuh anak laki- PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 24 laki, dan tiga anak perempuan; angka-angka yang menggambarkan kesempurnaan (Atkinson, 1974: 19). Ia adalah sosok orang yang setia, taat, saleh, jujur, benar, takut akan Allah, sekaligus menjauh dari larangan Allah (Ayb 1: 1; 2: 3). Dia sangat terkenal paling kaya diantara semua orang di sebelah timur (Ayb 1: 3). Tiba-tiba ia dicobai iblis dengan sepengetahuan atau izin dari Allah (Ayb 1:12) (Weiden: 199: 72). Percobaan tersebut menerpa dirinya satu demi satu. Hartanya musnah tak berbekas, anak-anaknya diambil oleh Allah dari dirinya (Ayb 1: 1519). a. Allah di Awal Penderitaan Ayub Karakter Ayub pada bagian prolog adalah gambaran Ayub sebagai orang saleh yang sabar dan bijaksana, cara hidup dan penghayatan imannya mendapat perhatian khusus dari dewan surgawi dan Allah juga memuji kesalehan Ayub (Ayb 1: 8). Ada tiga percobaan yang dialami oleh Ayub. Percobaan pertama: Iblis yang datang bersama-sama dengan dewan-dewan surgawi menantang iman Ayub di hadapan Allah (Ayb 1: 9), “Apakah dia menyesali perbuatan baik yang telah dia lakukan sebelumnya? Bagaimana motivasi Ayub menjadi hamba Allah? apakah ada motif ingin mendapatkan timbal balik dari Allah? dan bagaimana sikap Ayub dalam menanggapi penderitaan yang ditimpakan pada dirinya dan orang lain, bila menurutnya kenyataan tidak sesuai dengan paradigmanya? Apakah Ayub cukup sabar dengan penderitaan yang menimpa dirinya dan orang lain secara tidak adil?. Percobaan kedua: atas sepengetahuan dan izin dari Allah, Iblis menimpakan penderitaan pada Ayub dengan tujuan untuk menguji kesetiaan Ayub (Ayb 1: 12). Kedua: Ayub yang telah kehilangan seluruh harta dan anak-anak yang dikasihinya, tetap menunjukan kesetiaannya kepada Allah (Ayb 1: 20). Percobaan ketiga: iblis mempengaruhi Allah supaya memberi izin untuk mencobai Ayub PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 25 kembali (Ayb 2:5), dan Allah pun meng-iya-kan. Namun demikian, Allah masih berbelaskasih pada Ayub, Ia tidak mengizinkan Iblis mengambil nyawa Ayub (Ayb 2:6). Pada bagian ini kita diajak untuk melihat bagaimana sikap Ayub dalam menanggapi cobaan atas dirinya. Tiga bentuk cobaan di atas, sekaligus menjadi pertanyaan untuk mengantar kita untuk melihat lebih jelas bagaimana Ayub menghadapi penderitaan yang menimpanya. Ayub telah membuat penilaian bahwa Allah memberikan sejahtera pada orang jahat dan menimpakan penderitaan pada orang yang benar seperti dirinya, yang berkeyakinan kuat tidak melakukan perbuatan yang sekiranya dapat membuat Allah murka, menghujat Allahpun Ayub tidak pernah. Ayub tidak pernah menyesali bahwa dia dulu adalah hamba Tuhan yang saleh dan berbelas kasih kepada sesama terutama kaum miskin, lemah, dan tersingkir yang hidup disekitarnya. Sehubungan dengan cobaan Ayub yang pertama, hal ini menunjukan keberhasilan Ayub mengatasinya dengan baik (Robini, 1998: 49). Sama halnya dengan cobaan yang kedua, Ayub juga berhasil mengatasinya. Awalnya iblis beranggapan bahwa Ayub berbuat baik semata-mata hanya untuk mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah. Setan meragukan Ayub adalah hamba Allah yang setia, karena menurutnya Ayub akan meninggalkan Allah dan mengutuk-Nya apabila Ayub tidak diberkati dan mendapatkan kelimpahan harta dan kebahagiaan. Dan hal itu diperjelaskan oleh doktrin ortodoks “siapa yang berbuat baik akan diberi ganjaran dari Tuhan”. Namun dalam kisah Ayub, dia tetaplah orang benar, jujur, takut akan Allah dan menjauhi larangan Allah. Ayub tetap menjadi anak Allah meskipun berbagai penderitaan seperti kehilangan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 26 anaknya, harta musnah dan kesehatan memburuk, Ayub tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Allah (Ayb 1: 21-22). Dalam dialog, Ayub tidak pernah berkata seperti ini: “Baiklah sebab seseorang yang mengabdi kepada Tuhan tidak akan memperoleh apa-apa, maka aku akan mengutuk Allah. Sekaligus tidak bersedia menjadi hamba-Nya lagi.” Namun yang terjadi adalah sebaliknya, tetap berpegang teguh pada imannya akan Allah (Robini, 1998: 50). b. Peran Iblis yang Tersembunyi Penulis akan membagi penderitaan akibat iblis menjadi dua bagian. Pembagian ini lebih dikarenakan oleh serangan iblis terhadap diri Ayub; maksudnya karena Ayub diserang Iblis dua kali. Dari situ kita langsung dapat mengatakan bahwa ada dua jenis musibah yang terjadi dan akan diuraikan secara lebih jelas dalam pembahasan berikut: 1) Musibah yang Pertama Musibah pertama adalah musibah yang menimpa Ayub pertama kali dikarenakan oleh serangan Iblis (Ayb 1: 13 - 19). Dalam musibah ini, Ayub mengalami peristiwa mengerikan yang menimpa hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu adalah: serangan orang syeba yang merampas lembu, sapi, keledai-keledai dan membunuh penjaganya dengan mata pedang (Ayb 1: 14 - 15); api turun dari langit membakar habis kambing domba dan penjaga-penjaganya (Ayb 1: 16 ); serbuan orang-orang Kasdim yang membentuk tiga pasukan terhadap unta-unta dan merampas serta memukul penjaganya dengan mata pedang (Ayb 1: 17); dan tiupan angin ribut dari seberang padang gurun ke rumah tempat anak-anak Ayub berkumpul dalam pesta hingga rumah itu roboh menimpa mereka (Ayb 1: 18 - 19). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 27 Bila kita perhatikan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas, tidak secara langsung menimpa diri Ayub secara pribadi. Dalam serangan ini Ayub hanya mendengar berita dari para penjaga atau pembantunya saja. Dengan demikian penderitaan Ayub akibat serangan Iblis ini menimpa Ayub tidak secara langsung. Maksudnya, derita itu tidak terkena langsung pada diri Ayub namun tetap saja ia merasa sedih karena mendengar berita tersebut. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas berlangsung secara berturut-turut. Tidak ada jeda waktu di antara peristiwa yang satu dan yang lain. Hal ini dinyatakan dengan ungkapan penjaga atau pembantunya. Seperti yang dituliskan di sana: “Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata:…”, yang diulang tiga kali (Ayb 1: 16-18). Dengan demikian menjadi jelas bahwa peristiwa itu terjadi sangat singkat. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana Ayub seakan-akan tidak sempat menarik nafas sebelum peristiwa baru didengarkannya. Musibah pertama oleh serangan Iblis ini sangat dahsyat; dalam waktu yang singkat Iblis berhasil menghancurkan seluruh harta dan anak-anak yang dikasihinya. Mengenai hal ini, Weiden mengatakannya sebagai kemalangan yang tidak memberikan waktu untuk refleksi” (1995: 110). Dengan waktu singkat seperti itu, dapat dibayangkan bagaimana Ayub diam terpaku memandang kosong. Dia tidak menyangka bahwa peristiwa tragis tersebut menimpa keluarganya dengan waktu yang singkat tanpa jeda sedikitpun. Mungkin saja hal tersebut dapat dihubungkan dengan reaksi spontan Ayub yang mengoyak pakaiannya dan mencukur kepalanya, dst (Ayb. 1 : 20). Dari seluruh peristiwa mengerikan karena serangan Iblis, Ayub mampu bertahan pada keyakinannya akan kuasa Allah. Hal ini terlihat dalam ungkapan berikut: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 28 pula aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb 1: 21). Itu artinya Ayub tetap berpasrah diri terhadap Allah. Seperti yang dituliskan dalam Ayub 1: 22: “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut”. Penulis melihat bahwa dalam penderitaan tersebut Ayub tetap setia kepada Dia [Allah]. 2) Musibah Kedua Musibah yang kedua adalah musibah yang terjadi pada Ayub karena serangan kedua dari Iblis. Musibah yang kedua ini secara langsung menimpa diri Ayub yaitu serangan terhadap fisiknya. Di sana dituliskan bahwa setelah Iblis pergi dari hadapan Tuhan Allah, maka dia menimpakan barah yang busuk dari telapak kaki Ayub hingga batu kepalanya (Ayb 2: 7). Sejak saat itu, setelah digaruknya dengan sekeping beling, Ayub mengalami penderitaan secara fisik (Ayb. 2: 8). Penderitaan fisik tersebut menyebabkan Ayub tidak dikenal lagi oleh para sahabatnya karena penderitaan fisik Ayub sangat mengerikan dan mengubah bentuk fisik dirinya (Ayb. 2: 12). Penderitaan fisik ini merupakan awal dari penderitaan yang secara langsung berhubungan dengan diri Ayub sendiri. Lengkap sudah penderitaan Ayub. Penderitaan tidak hanya menyerang harta dan keluarganya, namun penderitaan akibat serangan Iblis tersebut telah melekat pada dirinya. Sejak awal memang Ayub sasaran utama serangan dari Iblis, dan itu atas sepengetahuan dan izin Allah. Akibat serangan-serangan iblis itu, Ayub mengalami kesedihan karena kehilangan seluruh harta dan anak-anaknya. Inilah penderitaan jiwa Ayub yang teramat dalam. Serangan iblis tidak hanya menyerang harta dan anak-anak yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 29 dikasihinya , tetapi juga melukai diri Ayub. Penderitaan semakin melekat pada diri Ayub. 2. Dialog Bagian dialog merupakan bagian terbesar dari Kitab Ayub, dan bagian ini dapat terbagi menjadi tiga bagian lagi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Wilcox. Perlu kita ketahui bahwa dialog yang dimaksud dalam kitab ini mempunyai pengertian yang berbeda dari yang kita pahami saat ini. Pada kitab ini, yang dimaksud “dialog” tidak terdapat proses saling menanggapi satu sama lain. Maksudnya, setelah seorang berbicara tidak ada lagi yang memberi tanggapan, namun setelah seseorang berbicara maka yang lainnya serta merta beralih pada pembicaraan lain. Sepaham dengan Wilcox, Robini (1998: 24) membagi bagian dialog menjadi tiga lingkaran. a. Lingkaran Pertama Lingkaran pertama terdiri dari Ayb 3-14. Pada bab ini ingin diperlihatkan bagaimana bagian puisi dari kitab ini memiliki karakteristik dan bentuk “Mazmur” yang berisi tentang pujian yang diiringi oleh keluh kesah. Dialog dimulai pada bab 3 yaitu pada saat Ayub mulai meratapi hari kelahirannya (Ayb 3: 1-16). Ayb 3: 2026 Pada bagian puisi ini Ayub mulai meratapi nasibnya sehingga ia merasa bahwa Allah tidak adil kepadanya (Robini, 1998: 25). Berikut dinamika argumentasi Ayub melawan sahabt-sahabatnya: • Ayb 3 • Ayb 4-5 keluh kesah Ayub, dia menyesali hari kelahirannya. Elifas memberanikan diri berbicara untuk menanggapi ratapan Ayub. Elifas berusaha menguatkan Ayub, menyarankan Ayub PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 30 supaya lebih berpengharapan (4:6). Bukankah orang tidak bersalah dan jujur dilindungi oleh Allah? (4:7). Elifas memberi penghiburan pada Ayub sesuai dengan keyakinannya, bahwa pada akhirnya orang yang tidak bersalah, tidak akan binasa. Maksud Elifas yakni kita akan menuai apa yang kita tabur (4: 79). Pada bagian ini, Elifas mengingatkan Ayub, ia hidup di dunia yang diatur secara moral, sehingga kesalehan akan mendapatkan upah yang baik “pemikiran tradisional: prinsip pembalasan di Bumi” (Atkinson, 2002: 53). Pada bab 5, Elifas menyarankan Ayub supaya berhenti mengeluh karena penderitaan yang dihadapinya, dan ia harus mengaku bersalah kepada Allah yang transenden. Elifas tidak terbuka pada kemungkinan lain yang terjadi pada masalah Ayub. Elifas terlalu berpegang pada keyakinan tentang pemahaman tradisional mengenai prinsip pembalasan di bumi (Atkinson., 2002: 57). • Ayb 6 Ayub kecewa pada sahabat-sahabatnya, menurut Ayub mereka terlalu skeptis dalam menanggapi kasus penderitaan yang menimpa dirinya. • Ayb 7 hidup itu berat. Pada bagian ini, Ayub meratapi nasibnya yang malang, begitu berat dan mengerikan untuk disadari. Ratapan Ayub seolah mengarah langsung pada Allah, dan berharap Allah akan mendengarkan dan menjawab ratapan yang keluar dari mulutnya. • Ayb 8 Bildad membela keadilan hukuman Allah. Bildad adalah model teolog yang berpegang pada masa lalu. Bildad memulai PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 31 pembicaraannya dengan nada kesal: “Berapa lamakah lagi engkau akan berbicara begitu, dan perkataan mulutmu seperti angin yang menderu?” (8:2). Bildad seperti mempunyai argumentasi bahwa anak-anak Ayub meninggal karena kesalahan mereka sendiri (8:4). Jika Elifas memuliakan ke-Mahakudusan Allah. Maka bildad lebih menekankan kekuatan dan keadilan Allah (lih Ayb 8:3), disitu Bildad seperti bertanya tetapi ingin menegaskan keyakinannya. • Ayb 9 Jawab Ayub: tidak seorangpun dapat bertahan di hadapan Allah. Pada bagian ini Ayub mau mengakui bahwa Allah mempunyai kuasa penuh atas dunia dan seisinya, termasuk penderitaan yang menimpa dirinya. Meski Ayub sangat menyadari bahwa dirinya tidak bersalah, dan menurutnya tidak ada alasan yang tepat jika Allah menimpakan penderitaan pada dirinya. Tetapi Ayub mengakui, betapa kuat Allah dibanding dirinya yang tidak berdaya karena tertimpa penderitaan, Ayub hanya bias pasrah kendati hatinya bergumul akan keadilan Allah (9: 19-20). • Ayb 10 Apakah maksud Allah dengan penderitaan? Ayub menyatakan bahwa dirinya tidak mengerti dengan maksud Allah membiarkan penderitaan terjadi pada dirinya. Padahal dia tidak pernah melakukan kesalahan yang membuat Allah murka. Tetapi mengapa penderitaan itu harus dialaminya? (Robini, 1998: 25, 43). • Ayb 11 Anjuran Zofar supaya Ayub merendahkan diri di hadapan Allah. Pada bagian ini menunjukan bagaimana Zofar memuliakan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 32 hikmat Allah. Zofar sangat marah karena Ayub belum berhenti mengeluh, dan menurut Zofar Ayub terlalu banyak bicara (11: 23). Zofar mengandalkan hikmat Allah yang tidak terselami. Zofar yakin bahwa di dunia ini terdapat banyak hal yang tidak kita pahami. Namun Allah tetap adil. Allah menghukum yang jahat dan memberikan ganjaran bagi yang berbuat baik. Zofar menyarankan supaya Ayub bertobat dan mengaku salah. Bagaimana mungkin Ayub mengaku salah jika dirinya sungguh benar atau tidak melakukan kesalahan sedikitpun. Zofar memang mempunyai jalan pikir yang sama dengan kedua sahabat Ayub lainnya yakni Bildad dan Elifas. Mereka sama-sama berpegang pada penadangan tradisional (Atkinson, 2002: 74). • Ayb 12 Ayub mengakui kekuasaan dan hikmat Allah, tetapi Ayub tidak merasa bersalah. Ayub tetap bersikeras berpegang teguh pada keyakinan bahwa dirinya benar. • Ayb 13 Ayub membela perkaranya di hadapan Allah. Ayub menuntut keadilan Allah (13:15). Ayub jujur mengatakan bahwa dia benar (13:18) • Ayb 14 setelah mati tidak ada harapan lagi Pada bagian puisi Ayub menunjukkan karakter yang jauh berbeda dari sebelumnya yakni pada bagian prosa (Ayb 1-2). Pada bagian puisi, Ayub menjadi pemarah. Dalam kemarahan jiwanya yang mendalam, Ayub menyatakan kebenarannya. Bagian puisi dalam Kitab Ayub merupakan perjuangan hebat pengarang untuk menggali makna sesungguhnya dari hidup manusia, khususnya ketika dilanda penderitaan dan ketidakadilan, apalagi tanpa alasan yang jelas. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 33 Dalam keadaan kecewa, Ayub memberontak kepada Allah. Ia mulai mempertanyakan keadilan Allah. Ia berseru: “Di mana keadilan Allah?” Diri Ayub merasa saleh dan benar, tidaklah pantas untuk menderita. Ayub berkeluh kesah dan mengutuk hari kelahirannya (Ayb 3). Melihat kondisi Ayub yang menderita, Elifas teman Ayub berbicara seakan penderitaan yang diterima Ayub adalah karena perbuatan dosa (Ayb 4: 8). Temanteman Ayub bersikap skeptis, mereka masih percaya pada pendapat tradisional tentang adanya pembalasan di bumi: “Allah akan memberi ganjaran pada orang yang saleh dengan kebahagiaan, melindungi orang yang lemah, dan hukuman kepada orang jahat” (Robini, 1998: 51). Ayub merasa dirinya orang benar, tiddak pantas menderita, dan ia tidak terima mendapat tuduhan telah melakukan kesalahan yang membuat Allah murka. b. Lingkaran Kedua Lingkaran kedua terdiri atas bab 15-21. Bagian ini memuat struktur yang sama dengan lingkaran pertama, yaitu Ayub berbicara dan kemudian ditanggapi oleh sahabat-sahabatnya (Robini: 1998: 25). Ayb 15 Pendapat Elifas bahwa orang fasik akan binasa Ayb 16-17 Ayub mengeluh tentang perlakuan Allah Ayb 18 pendapat Bildad, bahwa orang fasik pasti akan binasa Ayb 19 Keyakinan Ayub, bahwa Allah tetap akan memihak kepadanya Ayb 20 Pendapat Zofar, bahwa sesudah kemujuran sebentar, orang fasik akan binasa Ayb 21 Pendapat Ayub, kemujuran orang fasik, kelihatannya tahan lama PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 34 c. Lingkaran Ketiga Lingkaran ketiga dimulai dari Ayub 22-31. Pada lingkaran ketiga ini ada sedikit kejanggalan. Zofar tidak berbicara dan Ayub menginterupsi pembicaraan tanpa memberi kesempatan pada Zofar untuk menyampaikan argumentasinya. Pada lingkaran ini, bagian dialog yang seharusnya diisi oleh zofar dan diakhiri dengan sebuah himne tentang kebijaksanaan Allah justru dilihat oleh para ahli tafsir tidak sesuai, karena hal ini berhubungan dengan konteks makro dari kisah, apabila diletakkan pada mulut Ayub (Robini, 1998: 25). Ayub berharap kedatangan sahabat-sahabatnya dapat memberi penghiburan bagi dirinya namun ternyata para sahabatnya justru membuatnya semakin menderita. Bagi mereka, penderitaan yang dialami Ayub merupakan akibat kesalahan yang diperbuatnya sendiri (Robini, 1998:25). 3. Ellihu Masuk Dalam Pembicaraan Ellihu adalah seorang pemuda yang hadir selama dialog berlangsung, namun dia berdiam diri karena ingin menghormati orang-orang yang lebih tua. Dengan bahasa yang cukup angguh dan sombong Ia mencoba menanggapi beberapa argumen yang telah muncul dalam dialog anatara Ayub dan ketiga sahabatnya. Kedatangan Elihu adalah untuk memperkuat pernyataan sahabat-sahabat Ayub bahwa Allah sangat adil terhadap Ayub, dan ini sekaligus ingin mempertahankan pendapat tradisional mengenai derita sebagai hukuman (Weiden, 1995: 103). Sangat disadari adanya kejanggalan yang ditemukan pada bagian ini. Pada akhir pembicaraan kita tidak menemukan bagaimana dan dari mana Elihu berasal (Robini, 199: 26). Dengan sengsara Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia membuka telinga mereka (Ayb 36: 15). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 35 4. Ayub Ingin Allah Bicara Dan Jawaban Dari Allah Pada Ayb 38, harapan Ayub supaya Allah mau berbicara dengannya akan dikabulkan. Namun, Allah tidak mempertanggungjawabkan nasib Ayub. tetapi Allah hanya memberikan kesempatan kepada Ayub untuk menemukan kesadaran baru dan amat penting: manusia dalam kekecilan dan keterbatasannya tidak bisa menilai, apalagi menghakimi Allah dan tindakannya (Weiden, 1995: 103). a. Ayub ingin Allah Bicara Padanya Ayub menolak untuk menyerah kepada ketidakadilan. Artinya dia sangat menuntut keadilan dari Allah. Karena selama ini dia menginterprestasikan bahwa Allah akan membalas kebaikan seseorang dan memberikan hukuman kepada orang jahat. Teman-teman Ayub memiliki keyakinan bahwa tidak ada orang yang 100% benar dihadapan Allah, sedangkan Ayub yakin bahwa dirinya secara keseluruhan adalah benar dihadapan Allah. Teman-teman Ayub terlalu skeptic dalam menanggapi keyakinan Ayub. Mereka sudah terlalu yakin pada pandangan tradisonal, bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Bagi mereka, orang yang menderita adalah karena kesalahan mereka sendiri. Namun Ayub tetap bersikeras mengatakan bahwa dirinya tidak pantas menderita karena dia tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki Allah (Robini, 1998: 19). Keyakinan Ayub mengenai kesalehannya mendorong dia untuk berusaha supaya ia dapat berbicara dengan Allah “yang tidak memberi keadilan” kepadadanya. Ayub memiliki keyakinan bahwa dalam suatu pembicaraan yang jujur dan terbuka perselisihannya dengan Allah bias diselesaikan, sama seperti suatu perkara antarmanusia seringkali bias diselesaikan secara damai. Namun, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 36 Allah tidak memberikan kesempatan kepada Ayub, mungkin saja Allah puynya cara sendiri untuk menjawab pertanyaan Ayub dan sulit untuk ditangkap atau dipahami oleh manusia yang terbatas seperti Ayub. b. Teofani: Jawaban Allah Menurut Wilcox, keistimewaan Kitab Ayub terletak pada kehebatannya dalam memperlihatkan sosok manusiawi dari tokoh yang bernama Ayub. Ini menunjukan sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan dirinya menghadapi penderitaan sehingga akhirnya Ayub memberontak pada Allah, dan dengan suara lantang dia berani menantang Allah supaya dapat berbicara langsung dengan dirinya dengan maksud supaya Allah dapat menunjukan letak kesalahan yang menyebabkan dia pantas untuk menderita. Jawaban atas harapan Ayub dan juga kita, dapat ditemukan pada bagian teofani ini. Teofani merupakan jawaban dari Allah yang bertujuan untuk meredam kekecewaan dan kemarahan Ayub (Robini, 1998: 71). Perlu ditegaskan kembali bahwa Allah tidak mempertanggungjawabkan nasib Ayub, Ia hanya memberi kesempatan pada Ayub untuk mencapai suatu kesadaran baru dan amat penting: manusia sebagai makhluk yang terbatas, dan bergantung pada Allah, manusia tidak dapat menilai Allah, menghakimi Allah dan tindakan-Nya. Manusia harus dapat sampai pada pemahaman bahwa dalam seluruh karya-Nya adalah misteri yang sulit dimengerti oleh manusia yang terbatas (Weiden, 1995: 103). Dalam misteri besar yakni Allah, ada tempat bagi misteri kecil yakni derita Ayub, nasib yang berat, namun bukan tanpa permusuhan dengan Allah ( Ayb 38: 1 - 42: 6). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 37 Sesungguhnya Allah ingin menyadarkan Ayub untuk bersikap rendah hati, supaya dia mampu menerima penderitaannya dengan penuh kesabaran. Namun kembali lagi pada pengertian ‘manusia sebagai makhluk yang terbatas’, sehingga sulit untuk memahami maksud Allah. Allah menggunakan dua cara dalam menjawab harapan Ayub 1) Jawaban Allah yang Pertama “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya memberitahukan Aku” (Ayb 38: 2-4). “Di manakah engkau pada saat aku memberi dasar pada bumi? Katakanlah jika engkau tahu. Siapakah yang telah menetapkan ukuannya, apakah engkau tahu?...” (Ayb 38: 4-6) Allah berkata kepada Ayub, “Apakah engkau pernah turun ke sumber laut atau berjalan-jalan di dasar samodra raya? Apakah pintu maut tersingkap bagimu, atau pernahkah engkau melihat pintu gelap pekat? (Ayb 38: 16-17) Apakah engkau pernah masuk sampai perbendaharaan salju, atau melihat perbendaharaan salju batu? Di manakah jalan ke tempat terang terpancar, ke tempat angin timur bertebaran di atas bumi?”(Ayb 38: 22-24). “Dapatkah engkau memberkas ikatan bintang Kartika, dan membuka beenggu Bintang Belatik?”Dapatkah engkau menerbitkan Bintang pada waktunya, dan membimbing Bintang Biduk dengan pengiring-pengiringnya” (Ayb 38: 31-32). “Dapatkah engkau menyaringkan suaramu sampai keawan-awan, sehingga banjir meliputi engkau, dapatkah engkau melepaskan kilat sehingga sambung menyambung, sambil berkata kepadamu ‘Ya’ “ (Ayb 38: 34-36). “Dapatkah engkau memburu mangsa untuk singa betina, dan memuaskan selera-selera singa muda, kalau mereka merangkak keluar dari sarangnya, mengendap di semak belukar? Siapakah yang menyediakan mangsa bagi burung gagak, apabila anak-anaknya berkaok-kaok kepada Allah, berkeliaraan karena tidak ada makanan?” (Ayb 38: 39-41). “Apakah lembu hutan berkeinginan takluk padamu, maukah ia tidur semalam dekat palunganmu? Dapatkah engkau memaksa lembu hutan agar mengikuti engkau, alur bajak, dan keluan, atau apakah ia akan menyisir tanah lembah mengikuti engkau?”...(Ayb 39: 12-13). “Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah berbicara hal-hal yang terlalu ajaib dan besar bagiku yang tidak ku ketahui” (Ayb 42: 3). Jawaban pertama ini mau menunjukan betapa kecilnya Ayub dihadapan Allah. Allah menjelaskan kepada Ayub tentang realitas ciptaan yang ada di dunia PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 38 ini, sehingga dia menjadi sadar bahwa manusia adalah bagian kecil dari keseluruhan jagat raya. Oleh karena itulah, Ayub tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kosmos, apalagi menguasainya.alangkah baiknya Ayub tidak banyak bicara mengenai penderitaannya, dan tidak memprotes pada Allah mengenai apa yang dia alami (Robini, 1998: 26). Dalam bagian teofani Ayub 38:1-42:6 kita dapat menangkap salah satu pemecahan yang dapat dicapai perihal penderitaan yang disusulkan dalam Kitab Ayub. Allah akan mengantarkan Ayub untuk memahami betapa besar dan dalamnya misteri penderitaan manusia. Satu-satunya jalan adalah menyerah pada kebaikan Yahwe dan kepada kebijaksanaan-Nya dalam dunia yang diciptakan-nya (Robini, 1998: 18-20). 2) Jawaban Allah yang Kedua Pada jawaban yang kedua, dibicarakan mengenai binatang yang menyerupai Lewiatan dan Behemot. Bagian ini mau menekankan suatu makna bahwa Ayub lebih kecil dibandingkan kedua binatang itu, sehingga Ayub sungguh harus menyadari keterbatasannya dihadapan Allah. Di dalam teofani, Allah sama sekali tidak membahas permasalahan yang diperdebatkan oleh Ayub dan sahabatsahabatnya. Namun, akhirnya Ayub mengakui ketidakmampuannya dan bertobat di hadapan Allah berhubungan dengan kekecilan dan keterbatasannya dalam memahami maksud Allah yang terlalu agung untuk dimengerti, sehingga akhirnya Allah memulihkan keadaan Ayub seperti sediakala (Robini, 1998: 26). Sikap rendah hati Ayub ditampilkan. Dia yang takut akan Allah berkata: “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab, apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, dan tidak akan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 39 kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan”(Ayb 39: 37- 38). Sikap tobat ini Ayub tunjukan setelah dia mengalami pencerahan baru, yakni setelah Tuhan Allah sendiri dua kali menampakkan diri-Nya dalam teofani. Di sini Ayub menyadari eksistensi dirinya sebagai yang hina di hadapan Allah. Dengan demikian, dia pun merasa pantas untuk menarik kembali tuduhannya dan segala kata-katanya. Sikap Ayub itulah yang penulis anggap sebagai sikap pertobatan Ayub. Ayub kembali pada kesadarannya yang dulu, yakni takut akan Allah Dalam Ayb 42: 1-6 Ayub menunjukan sikap pertobatannya, yakni sebagai seorang beriman yang percaya kepada Tuhan Allah. Ayub akhirnya tahu dan percaya bahwa Tuhan Allah sanggup melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya, dan itu takkan gagal. Keyakinan Ayub didapatnya bukan semata-mata dari orang lain, tetapi dia sendiri mendapatkannya sendiri langsung dari Allah lewat teofani. 5. Epilog Sepanjang 11 ayat sampai kitab berakhir, muncul kembali bagian prosa yang menceritakan pemulihan nasib Ayub setelah penderitaan yang dialaminya. Pada bagian ini diceritakan bagaimana Ayub memperoleh kembali keluarga yang sama besarnya dengan dahulu, serta dilimpahkannya kepada Ayub harta dua kali lipat. Akhirnya, Ayub meninggal dunia setelah melihat anak cucunya sampai pada keturunan yang ke-empat ( Weiden, 1995: 103). Allah mengembalikan segala milik Ayub, bahkan diberi-Nya lebih daripada apa yang dimilikinya sebelumnya (lih. Ayb 42: 7-17). C. Gaya Penulisan Kitab Ayub Dengan kekhususan gaya penulisan suatu karya, maka tentunya ada unsur pembeda dengan gaya penulisan karya tulis lain. Dalam konteks ini kita sedang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 40 membicarakan penulisan Kitab Ayub. Pertanyaannya: seperti apa gaya penulisan yang dipakai dalam penulisan Kitab Ayub? Jika Kitab tersebut adalah istimewa, adakah perbedaan dengan tulisan-tulisan lain, terutama dari gaya penulisannya? Berbicara mengenai gaya penulisan, khususnya yang akan menegaskan genre dari tulisan tersebut, kita akan berhadapan dengan beberapa jenis karya tulis. Ada yang berupa prosa, dan puisi. Oleh karena itu, di sini akan ditunjukan perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Dalam Ensiklopedi Indonesia Vol 5 dituliskan perbedaan antara prosa dan puisi. Prosa adalah bentuk karangan sastra dengan bahasa yang biasa, bukan [bahasa] puisi; terdiri dari kalimat-kalimat yang jelasa runtunan pemikirannya, biasanya ditulis satu kalimat setelah yang lain, dalam kelompok-kelompok kalimat yang berupa alinea. Pada dasarnya prosa ini lebih bersandar pada susunan penalaran daripada kepada asosiasi imajinasi. Karangan-karangan yang tergolong prosa adalah semua bentuk karangan ilmiah, laporan-laporan dan dalam karya sastra, seperti novel, cerpen, essai dll. Selain itu juga karya bahasan, seperti essai, kritik (Ensiklopedi Indonesia, 1984: 2780). Sedangkan yang dimaksud dengan puisi adalah karangan yang mempunyai bentuk khas, misalnya ditulis dalam bait-bait, tiap bait ditulis atau terdiri dari baris atau lirik, yang memiliki rima dan sajak. Keterangan inilah yang membedakan puisi dengan prosa. Meskipun demikian, perbedaan seperti itu kini kurang memuaskan. Satu hal yang jelas dalam berpuisi adalah si pengarang lebih berbicara dengan metafora, memacu daya imaji-imaji pembaca, dan lebih berusaha menciptakan suasana daripada melukiskan situasi secara terang-terangan. Hal-hal tersebut terdapat juga dalam prosa, tetapi tingkat intensitasnya pada puisi lebih tinggi (Ensiklopedi Indonesia, 1984: 2792-2793). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 41 Demikianlah perbedaan antara prosa dan puisi. Sekarang, apakah genre Kitab Ayub termasuk prosa atau puisi? Berikut kita akan melihat bagaimana sistematika penulisan Kitab Ayub: bagian prosa dan bagian puisinya. 1. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Prosa Bagian prosa Kitab Ayub, terdapat pada bagian prolog dan epilog, dan dapat dikatakan bahwa ini merupakan “bingkai” dari kitab tersebut. Sementara bagian yang terbesar dari kitab tersebut adalah terdiri dari tiga rangkaian berupa dialog antara Ayub dan tokoh-tokoh lainnya adalah berupa syair/puisi (Heavenor, 1999: 68). Dr. Wim Van Der Weiden, MSF di dalam buku yang berjudul Seni Hidup Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama menuliskan bahwa dalam keadaan sekarang bagian prosa terdiri atas sejumlah adegan yang pendek sebagai berikut : a. Ayub diperkenalkan (1:1-5) b. Dialog pertama Yahwe-Iblis (1:6-12) c. Kemalangan pertama (1:13-22) d. Dialog kedua Yahwe-Iblis (2:1-7a) e. Kemalangan terakhir (2:7b-10) f. Kunjungan ketiga teman (2:11-13) g. Dialog Yahwe-Elifas (42:7-10) h. Keadaan Ayub dipulihkan (42:11-17) Garis ganda di atas dimaksudkan sebagai garis pemisah, di mana pengarang menyisipkan bagian puisi dalam prosanya (Ayb 3: 1-42:6). Bagian puisi ini menunjukan keterlibatan Elihu dalam pembicaraan (32-37), dan Teofani (38-42: 6). Dengan memperhatikan struktur prosa ini, kita dapat menunjukan beberapa hal: PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 42 bahwa kemalangan Ayub terjadi dalam prolog, dan kemalangan itu "dipulihkan” dalam epilog. Maka dapat dikatakan bahwa kisah itu berakhir dengan bahagia (Weiden, 1995: 107). Di atas penulis sudah memperlihatkan bagaimana Weiden menunjukan bahwa skematisasi prolog-epilog memiliki unsur ‘luar biasa’, hingga Weiden memberi penegasan “Kitab Ayub bukan cerita rakyat”. Di sini penulis mengutip skema-skema yang diuraikan Weiden dalan bukunya Seni Hidup. Berikut skema tersebut: 1) Skema harta-milik Ayub: 7+3 putra dan putri (1:2) 7+3 ribu kambing domba dan unta (1:3) 5+5 ratus pasang lembu dan keledai (1:3) 7+7 hari dan malam (2:13) 7+7 lembu jantan dan domba jantan (42:8) 7+3 putra dan putrid (42:13) 2x7 + 2x3 ribu kambing, domba dan unta (42:12) 2x5 + 2x5 ratus pasang lembu dan keledai (42:12) 2) Skema percobaan: disebabkan orang-disebabkan alam:  Orang syeba (Ayb 1: 15)-api Allah (halilintar) (Ayb 1: 16)  Orang Kasdim (Ayb 1: 17)-angin rebut (Ayb 1: 19). 3) Dua adegan yang identik di surga 4) Refrain yang sama: dan berkata…hanya “Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain aku sendiri yang luput, memberitahukan hal itu kepada tuan” (Ayb 1: 16-18). sehingga dapat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 43 Dengan melihat dan memperhatikan struktur prosa di atas, kita semakin dimudahkan dalam mempelajari kisah Ayub dengan alur yang menyeluruh dan teratur ini. Di sini alur kisah dapat menunjukan integritas kitab itu sendiri (Van Der Weiden, 1995: 109). 2. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Puisi Thomas Carlyle menyebut Kitab Ayub sebagai “puisi” yang paling indah di segala bangsa dan segala bahasa; pernyataan paling tua yang mengungkapkan masalah yang tidak pernah berakhir, yakni mengenai hidup manusia dan kehendak Tuhan Allah atas dunia ini (seperti dikutip oleh Kushner, 1988: 38). Ke-puisi-an ini adalah salah satu ciri khas dari Kitab Ayub tersebut. Berhubungan dengan syair atau puisi, Heavenor menuliskan bahwa Oesterley dan Robinson berpendapat demikian dikatakannya: Dalam keseluruhan kepustakaan tidak ada syair yang penanggalan dan latar belakang historisnya mempunyai makna yang kurang penting dari Ayub [baca: Kitab Ayub]…Ayub merupakan syair yang universal, dan inilah salah satu dari cirinya yang memberikan nilai dan daya pikatnya bagi kita dewasa ini (Heavenor, 1999: 67). Maksudnya, dengan memahami kitab ini sebagai kitab puisi atau syair, yang mana syair memiliki nilai universal berlaku untuk setiap masa bahkan setiap orang, maka barangkali tepatlah bila penanggalan kitab ini tidak terlalu dipentingkan. Namun, mungkin saja yang dipentingkan adalah nilai atau makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan semata-mata nilai historisnya, karena memang Kitab Ayub bukan buku atau kitab sejarah. Karena Kitab Ayub terdapat unsure puisi, sesuai dengan pengertiannya di atas, kitab ini lebih berbicara metafora, memberikan imaji-imaji yang sugestif, merangsang asosiasi-asosiasi dan lebih PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 44 berusaha menghadirkan suasana daripada melukiskan situasi, berbeda dengan tulisan sejarah yang cenderung mengangkat fakta historis atau situasi. Bagian puisi Kitab Ayub di mulai dari Ayb 3: 1-42: 6. Bagian puisi adalah bagian yang indah dalam Kitab Ayub. Susunan dapat digambarkan secara sistematis sbb: Prolog 1-2 Monolog 3 Dialog 4-27 Monolog 29-31 Yahwe 38:1- 42:6 Epilog 42: 7-17 Elihu 32-37 Madah 28 Keterangan :  Ayb 3 adalah monolog pertama dari Ayub perihal keluh kesahnya  Ayb 4-27 adalah dialog panjang yang terdiri dari tiga deretan pidato dari Ayub dan sahabat-sahabatnya  Setelah dialog, kembali lagi pada monolog panjang dari Ayub (Ayb 29-31)  Ayb 38:1-42:6 berisi pidato Yahwe dan jawaban Ayub yang berhubungan langsung dengan monolog yang kedua (Ayb 29-31), berakhir dengan suatu ajakan kepada Yahwe (Ayb 31:35-37).  Pada bagian Ayb 31 dan Ayb 38 diselipkan beberapa pidato dari Elihu. Melalui sisipan yang besar ini kelompok guru kebijaksanaan mencoba menangkis/ mengelak dari pengaruh negative “kemenangan” kritik Ayub atas pendapat ketiga sahabatnya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 45  Ayb 28 merupakan madah kebijaksanaan. Ini juga merupakan tambahan, namun sulit dipastikan apakah madah itu disisipkan oleh penyair sendiri, atau oleh orang lain.  Dua kotak dengan garis putus-putus adalah bagian dari prosa (prolog dan epilog). Ayub memiliki unsur puisi lebih banyak daripada unsur prosa yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana Heavenor mengatakan bahwa kitab itu meliputi syair/puisi serta prosa. Namun tentang prosa tersebut lebih terdapat pada prolog dan epilog, yang merupakan “bingkai” dari kitab itu. Sementara bagian yang terbesar yang terdiri dari tiga rangkaian berupa dialog antara Ayub dan tokohtokoh lainnya adalah berupa syair/puisi (Heavenor, 1999: 68). Menurut penulis, dengan membaca kitab ini pembaca dapat masuk ke dalam isinya, sehingga dapat merasakan bagaimana kita ada di dalam cerita tersebut. Akhirnya kita benar-benar menghayati suasana yang terjadi dalam kisah Kitab Ayub, dan ini mendorong kita untuk menemukan gagasan-gagasan baru mengenai kitab tersebut. D. Sikap Ayub Ketika Menghadapi Penderitaan Mendengar kata penderitaan, sebagai orang awam kita berpikir betapa buruknya hal itu. Penderitaan identik dengan sebab-akibat sesuatu terjadi pasti ada dasarnya. Biasanya penderitaan yang terjadi pada seseorang disangkutpautkan dengan kesalahan yang dilakukan terutama perbuatan yang melanggar kehendak Allah seperti mencuri, berzinah, sombong, atau menindas orang lain. Namun di sini, kita sedang membahas penderitaan manusia yang terjadi bukan karena perbuatan dosa atau tindakan kriminalisasi. Penulis mengajak PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 46 pembaca melihat bagaimana penderitaan tidak selalu terjadi karena dosa. Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana penderitaan-penderitaan dapat terjadi pada orang saleh. Di sini letak problema penderitaan manusia. Ketika Allah dipahami sebagai Allah yang berbelaskasih, Mahaadil, dan Mahakuasa, pada kenyataannya ada orang baik, tidak pernah berbuat dosa malah dibiarkan menderita. Apakah itu adil? Keadilan Allah dipertanyakan dan kuasa Allah mulai diragukan. Benarkah Allah itu Mahaadil dan berbelaskasih? Pada bagian ini, kita akan diajak untuk melihat bagaimana orang saleh yakni Ayub dapat menderita, dan bagaimana dia sebagai orang yang saleh dan beriman pada Allah menyikapi penderitaan yang dialaminya. 1. Ayub dan Penderitaannya Penderitaan ini terjadi karena adanya perjumpaan atau interaksi dan komunikasi dengan sesama. Di dalam kisah Ayub penderitaan ini beberapa kali terjadi: antara Ayub dan istrinya, antara Ayub dan sahabat-sahabatnya, serta antara Ayub dan Elihu. Pada bagian ini, penulis akan menulis dua hal: perjumpaan Ayub dengan isterinya, dan perjumpaan Ayub dengan sahabat-sahabatnya. Hal ini dikarenakan dalam perjumpaan-perjumpaan tesebut Ayub menunjukan reaksinya, atau ada aksi balasan/pembelaan diri dari Ayub. Dengan adanya aksi pembelaan diri dari Ayub, penulis ingin menunjukan bahwa ada sesuatu yang menekan dirinya. Berikut kita akan melihat sikap atau reaksi Ayub ketika mengalami pengalaman penderitaan. 2. Sikap Ayub dalam Penderitaan Penderitaan Ayub adalah penderitaan yang dialami oleh orang benar ( Van Der Weiden, 1995: 109), karena Ayub sendiri orang benar; “saleh, jujur, takut PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 47 akan Allah, dan menjauhi kejahatan” (Ayb. 1: 1). Sebagai orang benar yang menderita, ternyata Ayub mempunyai kekhasan dalam menyikapi hal tersebut. a. Kepasrahan Ayub Dalam prolog jelas terlihat kepasrahan hati Ayub dalam menghadapi penderitaan. Dalam Kitab Ayub dituliskan bagaimana penyerahan dirinya kepada kehendak Allah. Ayub meyakini bahwa apapun yang terjadi pada dirinya, semua itu adalah kehendak Allah. Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang member, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1: 21). Menurut penulis, kalimat yang indah ini jelas menunjukan bahwa Ayub adalah seseorang yang beriman mendalam kepada Allah. Ayub menerima penderitaan yang terjadi pada dirinya, namun bukan berarti bahwa Ayub menerima penderitaan sebagai hukuman karena dosa yang dia perbuat, melainkan atas kesadaran dirinya sebagai makhluk ciptakan Allah, yang percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi adalah kehendak-Nya. Sikap pertama Ayub ini menunjukan jati dirinya sebagai pribadi beriman mendalam, jujur, baik, taat, dan takut pada Allah. b. Ayub Mengeluh Ayub bersikeras menolak hubungan antara dosa pribadi dan penderitaannya. Ayub tidak menyangkal adanya pembalasan di bumi, sebaliknya ia justru mengharapkannya. Namun kenyataan yang terjadi padanya membuat ia ragu akan keadilan Allah. Sungguh suatu hal wajar bila kita mendengar orang menderita mengeluhkan keadaan dirinya. Itu tidak menutup kemungkinan terjadi pada orang benar dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 48 saleh seperti Ayub. Keluhannya terungkap dalam Ayb 3. Dalam bab tersebut Ayub terlihat sangat meratapi nasib malang yang menimpa dirinya. Keluhan Ayub terungkap jelas pada ay. 11; “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?”. Ini jelas ingin menunjukan betapa Ayub menyesali hari kelahirannya. Kita lihat lagi ay. 13; “Jikalau tidak, aku sekarang berbaring dan tenang; aku tertidur dan mendapat istirahat”. Ayai ini menunjukan betapa menderitanya Ayub, lebih-lebih karena penderitaan ini dialaminya tanpa sebab yang pasti, artinya dialami tanpa berbuat dosa. Ketika kita menderita, baik secara rohani maupun jasmani, seringkali kita menangis. Ini adalah bagian dari kodrat manusia. pada saat kita berhenti menangis, kita mulai bertanya: mengapa? Mengapa penderitaan ini terjadi padaku? Mengapa ya Allah? Namun, tidak ada jawaban (Carretto, 1989: 25). Kebanyakan orang yang menderita, pada suatu ketika juga akan berkata seperti Ayub: “Biar hilang lenyap hari kelahiranku dan malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan” (Ayb 3: 3) (Carretto, 1989: 25). Beban berat penderitaan seringkali membuat kita khilaf, mengeluh, dan men yesali hidup. Kalau sudah seperti ini, manusia sulit untuk menemukan makna hidup, akhirnya melihat penderitaan sebagai sesuatu yang sangat buruk (Carretto, 1989: 25). c. Kekecewaan dan Kemarahan Ayub Sama seperti kita, Ayub adalah manusia biasa dan terbatas. Dalam kesadarannya sebagai orang yang takut akan Allah, rupanya penderitaan dapat mengubah sifatnya. Ayub bereaksi terhadap situasi sulit yang menimpa dirinya. Ini adalah hal yg manusiawi. Kemanusiawian Ayub sebagai manusia yang terbatas, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 49 nampak dari sikapnya pada saat kecewa dan marah kepada istri dan sahabatsahabatnya. Kemarahan Ayub terhadap istrinya terungkap dalam Ayb 2: 10 : “Engkau berbicara seperti perempuan gila!...” Kata-kata itu sungguh tidak wajar diucapkan oleh seorang suami terhadap isterinya. Namun, hal itu wajar saja, sebab dalam situasi menderita, seharusnya seorang istri menguatkan hati Ayub dalam menghadapi situasi sulit, tetapi malah sebaliknya, istri Ayub menyarankan hal yang tidak mungkin Ayub lakukan. Demikian tertulis: Maka berkatalah isterinya kepadanya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!”. Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang jahat?” Dalam kesemuaannya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya (Ayb 2: 9-10). Seandainya istri Ayub tidak mengucapkan kata-kata seperti itu, Ayub tidak akan mengeluarkan kata-kata kasar dari mulutnya. Dari sini penulis dapat mengatakan bahwa kemarahan Ayub adalah kehendak bebasnya. Seperti yang telah disinggung pada bagian pendahuluan, yaitu manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang diberi anugerah kesadaran, akal budi dan kebebasan dalam menentukan pilihan dalam hidupnya. Allah menghormati kebebasan yang telah diberikannya kepada manusia. Hal ini Allah tunjukan dengan membiarkan kemungkinan manusia akan salah pilih (Dicker, 1972: 10). Selain marah pada istrinya, Ayub juga menunjukan sikap marah terhadap ketiga sahabatnya. Ayb. 13: 4-5: “Sebaliknya kamulah orang yang menutupi dusta, tabib palsulah kamu sekalian. Sekiranya kamu menutup mulut, itu akan dianggap kebijaksanaan dari padamu.” Kalimat bernada kasar itu diungkapkan karena dia merasa mengetahui apa yang ingin disampaikan sahabatnya. Biasanya seorang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 50 sahabat dapat memberi penghiburan dan mampu memberi penguatan kepada sahabat yang sedang kesusahan. Namun, di sini sahabat-sahabat Ayub malah berbalik menvonis Ayub berdosa, dan menganjurkan dia untuk merendahkan diri di hadapan Allah, seperti yang dikatakan oleh salah satu sahabatnya, Zofar: Jikalau engkau ini menyediakan hatimu, dan menadahkan tanganmu kepadaNya; jikalau engkau menjauhkan kejahatan dalam tanganmu, dan tidak membiarkan kecurangan ada dalam kemahmu, maka sesungguhnya engkau dapat mengangkat mukamu tanpa cela, dan engkau akan berdiri teguh dan tidak akan takut, bahkan engkau akan melupakan kesusahanmu, hanya teringat kepadanya seperti kepada air yang telah mengalir lalu (Ayb. 11: 1316). Bagaimana mungkin Ayub mengaku bersalah jika kenyataannya dia tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak dikehendak Allah seperti yang dituduhkan sahabat-sahabat Ayub kepada dirinya. Di sini Ayub sangat ingin berbicara secara langsung kepada Allah, seperti dikatakannya : “Apa yang kamu tahu, aku juga tahu, aku tidak kalah dengan kamu. Tetapi aku hendak berbicara dengan Yang Mahakuasa, aku ingin membela perkaraku di hadapan Allah” (Ayb. 13: 2-3). Apakah Allah akan menjawab Ayub? Jika kita berada pada posisi Ayub, mungkin pertanyaan yang muncul adalah; mengapa semua penderitaan ini ada? Mengapa saya menderita, sedangkan saya tidak melanggar kehendak Allah? Pada saat itu juga kegalauan menyelimuti hati kita sebagai makhluk yang terbatas. Di dalam keterbatasan kita sebagai manusia, karena merasa benar dan tidak bersalah, kita sering memberontak dan membela diri karena memang tidak bersalah dan tidak pantas mendapat hukuman/siksaan ataupun penderitaan. Begitu juga dengan Ayub, dia melakukan hal yang sama seperti kita yang hidup pada masa kini. Apakah Allah mau berbicara pada Ayub? Bagaimana Allah menjawab Ayub? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 51 d. Tantangan dan Pemberontakan dari Ayub Sikap Ayub yang lebih keras dari kemarahannya terhadap isteri dan sahabatnya adalah sikap Ayub yang menantang. Tantangan ini terjadi karena amarah Ayub yang memuncak. Seperti ada tekanan yang dahsyat terhadap diri Ayub, membuat dia untuk seakan ingin meledak . Hanya saja, yang penulis maksudkan di sini adalah tantagan dari Ayub diarahkan langsung pada Allah Allah sendiri. Maksudnya, Ayub menantang Allah untuk membuktikan bahwa Ayub tidak bersalah, dan bukan tantangan kepada para sahabat yang memvonisnya sebagai bersalah. Seperti yang dinyatakan oleh Ayub, Ayub berbicara pada Allah: Aku dinyatakan bersalah (oleh para sahabatnya), apa gunanya aku menyusahkan diri dengan sia-sia? Walaupun aku membasuh diriku dengan salju dan mencuci tanganku dengan sabun, namun Engkau akan membenamkan aku dalam lumpur, sehingga pakaianku merasa jijik terhadap aku (Ayb. 9: 29). Dari ucapan ini, kita dapat mengatakan bahwa daripada tenggelam dalam derita yang tidak jelas bagaimana asal-usulnya, lebih baik berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu yang tidak jelad sebabnya, meski hasilnya tidak pasti. Selain itu, dalam ayat yang agak panjang, Ayub berkata pula: Karena Dia (Allah) bukan manusia seperti aku, sehingga aku dapat menjawab-Nya: Mari bersama-sama menghadap pengadilan. Tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami berdua! Biarlah Ia menyingkirkan pentung-Nya daripadaku, jangan aku ditimpa kegentaran terhadap Dia, maka aku akan berbicara tanpa rasa takut terhadap Dia, karena aku tidak menyadari kesalahanku (Ayb. 9: 29-35). Karena merasa tidak melakukan kesalahan, dengan berani dan sedikit lantang Ayub berbicara pada Allah. Ayub menuntut keadilan. Siapapun itu, tanpa terkecuali Ayub, jika berhadapan pada situasi yang tidak semestinya, pasti akan mencari tahu penyebab dari sesuatu yang terjadi, berharap keadilan dapat dirasakan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 52 Keberanian Ayub untuk berperkara dengan Tuhan Allah dinyatakannya dengan mengatakan: “Ketahuilah, aku [telah] menyiapkan perkaraku, aku yakin, bahwa aku benar” (Ayb. 13: 18). Namun, Ayub tetap menaruh rasa takut terhadap Tuhan Allah dengan mengatakan: “…Hanya janganlah Kaulakukan terhadap aku dua hal ini, maka aku tidak akan bersembunyi terhadap Engkau: jauhkanlah kiranya tangan-Mu dari padaku, dan kegentaran terhadap Engkau janganlah menimpa aku!” (Ayb. 13: 20-21). Timbulnya rasa pemberontakan Ayub terungkap dalam Ayb. 23: 2-4, begini: “Sekarang ini keluh kesahku menjadi pemberontakan, tangan-Nya menekan aku, sehingga aku mengaduh. Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. Maka akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kepenuhi mulutku dengan kata-kata pembelaan”. Di sini sangat jelas bahwa Ayub terang-terangan menantang kepada Tuhan Allah, siapa yang benar dan siapa yang salah: dalam hal ini tentu saja Ayub tidak menyalahkan Allah sendiri. Ayub hanya ingin tahu apakah dirinya benar atau salah dimata Allah. Jadi, bagi penulis, tantangan Ayub terhadap Allah tidak sebagai wujud kontranya, namun lebih ingin membuktikan kebenaran pendapatnya dan sekaligus kebenaran dirinya di hadapan sahabat-sahabatnya. Ayub hanya ingin menuntut keadilan pada Allah, dan dia berharap kiranya Allah menunjukan suatu kebenaran atas perkara penderitaannya. Ayub memiliki konsepsi terhadap Allah bahwa orang benar harus menerima pahala, orang lemah mendapat perlindungan, dan orang jahat mendapat hukuman. Setelah melihat kenyataan yang terjadi pada dirinya, Ayub merasa bahwa Allah tidaklah adil pada dirinya. Ayub merasa tidak pantas menderita (Robini, 1998 : 19). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 53 e. Tuduhan Ayub kepada Allah Dalam perdebatannya dengan para sahabat, Ayub akhirnya mengucapkan kalimat yang digolongkan sebagai tuduhan terhadap Allah bahwa penderitaan yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan Allah sendiri. Seperti dikatakannya: “Tetapi inilah yang Kausembunyikan di dalam hati-Mu [kehendak supaya Ayub menderita]; aku tahu, bahwa inilah maksud-Mu [penderitaan Ayub]” (Ayb. 10: 13). Di sini Ayub seperti mempersalahkan situasinya yang penuh dengan penderitaan itu kepada Tuhan Allah sebagai penyelenggara segala sesuatu. Sangat manusiawi bila Ayub mengarahkan tuduhannya terhadap Allah, apalagi dengan kesadarannya bahwa Allah adalah penyelenggara segala sesuatu yang terjadi di bumi termasuk penderitaan yang dia alami. Menurut penulis, hal ini terjadi dikarenakan semua yang terlibat dalam perdebatan itu, terutama Ayub sendiri, tidak mengetahui mengapa dan dari mana penderitaannya itu. Maka arah pandangan pun ditujukan kepada Sang Mahakuasa itu, Tuhan Allah sendiri. Ini adalah salah satu contoh dari keterbatasan manusia. f. Pengharapan Ayub Ketika seseorang mengalami musibah atau masalah yang berat sekalipun, tidak menutup kemungkinan bahwa disaat sulit seperti itu manusia masih mempunyai pengharapan untuk mendapatkan keringanan atas beban, atau hukuman/sanksi yang dia terima dari seseorang at aupun Allah sendiri yang mempunyai hidup ini. Begitu pula dengan Ayub orang benar yang menderita oleh perbuatan iblis atas seizin Allah, mengalami masa-masa yang begitu sulit, meski Ayub berkali-kali menyesali kelahirannya, namun Ayub tetap mempunyai PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 54 pengharapan terhadap Allah. Akhirnya jauh dii bawah lembah timbul sebercak harapan kecil (Carretto, 1989: 25). Dalam dialog Ayub dengan teman-temannya, beberapakali muncul tema pengharapan. Dalam pembahasan akan disinggung terlebih dahulu beberapa ayat atau perikop pendek yang mengemukakan pengharapan secara implicit, untuk kemudian kedua bab yang memuat perikop pengharapan yang eksplisit juga akan dibahas, yakni bab 16 dan 19. 1) Pengharapan Implisit Dalam penderitaan yang dia alami, Ayub masih mempunyai suatu pengharapan akan belaskasih Allah terhadap dirinya yang sedang menderita. Dapat dilihat pada Ktab Ayub 7: 16-19, seperti di bawah ini: 16 Aku jemu, aku tidak mau hidup selama-lamanya. Biarkanlah aku, karena hari-hariku hanya seperti hembusan nafas saja.17Apakah gerangan manusia, sehingga dia Kauanggap agung, dan Kau Perhatikan,18dan Kaudatangi setiap pagi, dan Kau uji setiap saat? 19Bilakah Engkau mengalihkan pandanganMu dari padaku, dan membiarkan aku, sehingga aku sempat menelan ludahku? Secara sepintas saja Ayub meminta dan berharap Allah mempunyai waktu mengalihkan pandangan-Nya dari dirinya. Sebab Ayub merasa seperti buruan yang tidak berhenti dikejar oleh Allah. Jika harapan Ayub dikabulkan, maka dia mempunyai kesempatan untuk tenang sejenak, bahkan merasakan sedikit kegembiraan sebelum meninggal dunia. Ayub dengan jujur berbicara kepada Allah tentang rasa ketidakadilan, penolakan, dan keragu-raguan yang dialaminya. Ia bahkan berharap Allah akan membiarkannya Ayub sedikit merasa gembira terlepas dari rasa menderita meski hanya sebentar saja. Dapat kita bayangkan begitu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 55 tersiksanya Ayub sehingga memohon Allah berpaling sebentar dari pengawasanNya atas diri Ayub. 2) Pengharapan Eksplisit Kedua perikop yang paling jelas mengungkapkan pengharapan Ayub adalah 16: 18-22 dan 19: 25-27. Dalam kedua teks itu, Ayub menggunakan semacam “hak” atas intervensi atau tindakan Allah atas dasar tradisi kuno Israel. Secara sangat aneh Ayub akan memindahkan pada diri Allah masalah yang tidak dapat dipecahkannya lagi di dunia ini. Pengalaman sebelum Ayub menderita mendorong dirinya untuk tetap menjaga keterbukaan bagi Allah yang baik hati, yang dia rasa sudah lama tidak dialaminya lagi. Demi jelasnya kedua perikop ini, akan dibahas dalam konteksnya masing-masing. Mari kita melihat terlebih dahulu Ayb 16: 1822, sebagai berikut ( Van Der Weiden, 1995: 161) : 18 Hai bumi, janganlah menutupi darahku, dan janganlah kiranya teriakku mendapat tempat perhentian! 19 Ketahuilah, sekarangpun juga, Saksiku ada di sorga. Yang memberi kesaksian bagiku ada di tempat yang tinggi. 20 Sekalipun aku dicemoohkan oleh sahabat-sahabatku, namun ke arah Allah mataku menengadah sambil menangis, 21 supaya Ia memutuskan perkara antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan sesamanya. 22 Karena sedikit jumlah tahun yang akan datang, dan aku akan menempuh jalan, dari mana aku tak akan kembali lagi. Meskipun Ayub masih hidup, ia merasa dirinya sudah “mati”, sehingga berbicara seakan-akan seperti orang yang sudah mati, dan darahnya tercurah ke tanah. Bumi diajak untuk membiarkan darahnya kelihatan, supaya bisa berteriak terus kepada Allah. Seperti halnya dalam kej. 4, ketika Habel dibunuh oleh Kain, darahnya berteriak kepada Allah dari tanah (Kej. 4: 10), dan Allah bertindak sebagai pembela Habel melawan pembunuhnya. Ayub ingat akan tradisi Israel dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 56 berharap dengan suatu keyakinan iman yang kuat, bahwa Allah bersedia menjadi pembelanya seperti pengalaman Habel (Van Der Weiden, 1995: 164). Ayub merasa sendirian, teman-temannya “jauh”, keluarganya hancur, ia hampir mati. Allah adalah satu-satunya tempat Ayub menyimpan harapan. Dasar harapan Ayub adalah tradisi tentang peran Allah sebagai pembela hamba-Nya yang tidak bersalah, ditambah lagi Ayub teringat akan kedekatannya dengan Allah. Ayub sangat berharap bahwa Allah sendirilah yang memutuskan perkara diantara Ayub dan Allah ( Van Der Weiden, 1995: 165). Dalam tradisi Israel, seorang yang mengalami nasib sangat buruk, harus “ditebus” oleh saudara yang terdekat yang bertindak sebagai penebus (go’el dalam bahasa Ibrani). Jika tidak ada saudara yang lebih dekat dan saudara jauh, maka seseorang dapat mengharapkan bahwa Allah dapat bertindak sebagai penebus, misalnya ketika Bani Israel diperbudak di Mesir, ketika bangsa Yehuda di pembuangan Babel, Allah menebus mereka dari penjajahnya. Dalam seluruh deretan ayat dari wejangan ini, Ayub menyatakan bahwa 1) situasinya sangat ekstrem (terjadi pd ay. 7-12, 20); bahwa 2) tanpa “penebus” dan penolong manusia ( ay. 1-3, 13-19,21-22); dan akhirnya bahwa ia saleh ( ay. 6, 23-24). Begitulah syarat-syarat terpenuhi dan Ayub berhak mengharapkan tindakan dari Allah penebus. Pengharapan yang ditaruh pada Allah diungkapkan Ayub, begini: “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu . Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikanNya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu” (Ayb. 19: 25-27). Ayub mengungkapkan keyakinannya bahwa Allah adalah penebus yang hidup, artinya Allah diimani sebagai sumber kehidupan yang dapat mengembalikan daya PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 57 hidup kepada Ayub yang ibaratnya sudah hamper mati. Tindakan Allah akan terjadi sebelum ia meninggal, dan tubuhnya sudah sangat rusak. Allah akan bertindak seperti “saudaranya” bukan orang asing, dan Ia akan menbus dia dari Yang (maksudnya Allah) yang menyebabkan kehancuran itu (Weiden, 1995: 166169). Sama seperti pada Ayb 16: 18-22, dia [Ayub] memindahkan permasalahannya dengan Allah ke dalam diri Allah: Allah Sang Penebus akan menebus diri Ayub dari Allah musuh yang menimpakan penderitaan kepadanya (seolah-olah Allah mempunyai kepribadian ganda) ( Weiden, 1995: 166-169). Setelah melihat bagaimana seluk-beluk Kitab Ayub, terutama mengenai isinya yang berbicara mengenai penderitaan manusia saleh. Maka, pada bab selanjutnya kita akan diajak melihat usaha dalam memaknai penderitaan manusia menurut pandangan iman Kristiani beserta relevansi dari Kitab Ayub bagi penderitaan manusia zaman sekarang yang akan dibahas pada bab berikutnya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 58 BAB III USAHA MEMAKNAI PENDERITAAN MANUSIA MENURUT PANDANGAN IMAN KRISTIANI DAN RELEVANSINYA BAGI ORANG KRISTIANI DI ZAMAN SEKARANG Penderitaan memaksa kita untuk berhadapan dengan kebuntuan, ketakutan, dan berujung pada keraguan akan keadilan dan belaskasih Allah. Peristiwa itu membuat kebanyakan orang mengeluh, sama seperti yang terdapat dalam Kitab Ayub (Ayb 3). Pertanyaan “di mana Allah saat kita tertimpa masalah?” kerapkali keluar dari mulut manusia yang merasa tidak sanggup menjalani hari-harinya?. Ini adalah reaksi wajar dari si penderita. Manusia memang makhluk ciptaan Allah yang selalu ingin mengetahui segala hal yang terjadi dalam hidupnya, termasuk pengalaman penderitaan. Manusia memang salah satu bagian paling kecil dari ciptaan Allah yang lainnya. Tetapi manusia diciptakan Allah secara lebih istimewa. Keistimewaan manusia dilihat dari kemampuannya untuk berpikir, mempunyai cita-cita, membuat rencana, dan tahu harus ke mana. Seringkali manusia mengalami bahwa nasibnya tidak sesuai dengan yang dicita-citakan, kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan harapan. Karena hal inilah manusia terdorong untuk mencari makna hidupnya untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Manusia selalu bertanya tentang fenomen yang terjadi dalam hidupnya. Tidak heran jika manusia disebut sebagai makhluk yang reflektif, inilah yang menjadikan manusia selalu berusaha menemukan nilai dan makna hidupnya dari setiap pengalaman yang terjadi (KWI, 1996: 2). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 59 Sebagai makhluk reflektif, penulis ingin mengajak kita semua untuk memahami pengertian penderitaan secara umum beserta factor-faktor penyebabnya. Selain itu penulis juga ingin mengajak kita semua melihat dan menemukan makna dibalik penderitaan yang terjadi pada manusia melalui kacamata iman Kristiani beserta relevansinya bagi pengalaman hidup umat Kristiani di masa sekarang. A. Memahami Penderitaan Secara Umum Penderitaan menjadi problema ketuhanan bagi orang-orang yang percaya bahwa Allah itu Mahabaik, Mahaadil dan Mahacinta. Mengenai hal ini, apakah kita akan menyimpulkan bahwa Allah melakukan sesuatu yang salah terhadap segala yang diciptakan di dunia? Di mana keadilan Allah? Apakah maksud Allah dengan persoalan yang sulit dipahami ini? Apakah iman kita dapat memberi jawaban atas semua ini (Atkinson, 1996: 31). Pada hakikinya, manusia menderita karena adanya kejahatan, yang merupakan sesuatu kekurangan, pembatasan atau penyimpangan dari sesuatu yang baik. Dapat dikatakan bahwa manusia menderita apabila ia mengalami suatu kejahatan dalam bentuk apapun. Kejahatan dapat berasal dari dalam dirinya sendiri dan dari luar dirinya (SD art 7). 1. Pengertian Penderitaan Menurut Budi Kleden, penderitaan dipahami sebagai akibat dari keburukan (malum). Dalam hubungannya dengan penderitaan manusia, dapat dikatakan bahwa malum atau keburukan adalah sesuatu yang menyebabkan orang merasa menderita atau yang menyebabkan penderitaan pada manusia. Antonym dari PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 60 malum adalah bonum yang berarti kebaikan, artinya sesuatu yang diharapkan, dan merupakan keadaan terpenuhinya suatu keinginan yang dicita-citakan seseorang. Sebaliknya malum adalah keadaan di mana tidak terpenuhinya sesuatu yang dianggap sebagai semestinya (Budi Kleden, 2006: 16- 17). Penderitan adalah rasa sakit yang dialami manusia sebagai akibat dari sesuatu yang merugikan, misalnya kejahatan (Budi Kleden, 2006 :19). Pada hakikatnya penderitaan mempunyai arti lebih luas dari pada rasa sakit, lebih kompleks dan berakar dalam diri manusia. Bapa Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya menggarisbawahi perihal penderitaan manusia bukan sekedar rasa sakit semata-mata, melainkan menyentuh aspek terdalam hidup manusia, baik jiwa maupun raga ( Salvifici Doloris art. 5). Sesuatu yang buruk tentu saja dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, jauh dari keindahan dan juga kebenaran. Malum (keburukan) dapat berasal dari dalam diri manusia maupun dari luar pribadi manusia itu sendiri. Di dalam malum hanya ada perpecahan, tidak ada kesatuan (Budi Kleden, 2006 :18). Penderitaan lahir dari pengalaman kontras seperti karena ketidakadilan, tekanan, kekerasan atau karena kehilangan sesuatu yang dirasa sangat berarti bagi hidup seseorang. Tentu saja setiap manusia menginginkan hal-hal yang indah dalam hidupnya, namun sayangnya penderitaan yang menimpa manusia tidak dapat dihindari dan tanpa terkecuali. Penderitaan adalah bagian dari hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan dari kebahagiaan. Penderitaan tidak hanya dialami oleh manusia melainkan dialami oleh semua makhluk hidup seperti tumbuhan dan juga hewan (Budi Kleden, 2006:19). Penderitaan yang melanda tumbuhan dan hewan sedikit berbeda dengan penderitaan yang melanda manusia. Penderitaan hewan dan tumbuhan adalah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 61 penderitaan lebih secara fisis seperti ancaman kebakaran hutan, peristiwa banjir, dimangsa oleh hewan lain, dan kekeringan. Sedangkan penderitaan yang dialami manusia tidak hanya secara fisis saja, melainkan lebih kompleks. Penderitaan yang melanda manusia itu bisa seperti rasa takut, frustasi, mendapat penghinaan, putus asa, diasingkan, kecemasan, dll. Selain itu, penderitaan bersifat kontras terhadap apa yang dianggap sebagai hak atau kewajiban. Maksudnya, orang tidak hanya menderita karena haknya tidak terwujud, tetapi juga karena ketidakmampuannya dalam memenuhi kewajiban tertentu (Budi Kleden, 2006:19). 2. Beberapa Contoh Penderitaan Manusia Allah menghargai kebebasan yang diberikan-Nya kepada manusia, dan Allah tidak pernah membatasi itu. Jika manusia menderita, entah karena diri sendiri atau orang lain, itu adalah akibat dari kebebasan yang disalahgunakan oleh manusia sendiri (Budi Kleden, 1998: 185). Banyak sekali penyebab-penyebab timbulnya penderitaan antara lain: karena ketidakadilan, tekanan, kekerasan atau karena kehilangan sesuatu yang telah dialami sebagai sesuatu yang berarti: kesehatan, harta benda, harga diri, dll. Di bawah ini akan diuraikan beberapa contoh penderitaan manusia, diantaranya dari diri sendiri, oleh orang lain, penyakit menular, dan bencana alam. a. Penderitaan karena diri sendiri Penderitaan terjadi bukan hanya karena sebab dari luar seperti tertimpa bencana alam, tetapi juga karena kesalahan sendiri: orang menderita karena perbuatannya atau sebagai akibat tindakannya yang mengecewakan dirinya dan orang lain, atau karena gagal mencapai sesuatu (Budi Kleden, 2006: 20). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 62 Penderitaan yang disebabkan kesalahan diri sendiri biasanya berhubungan dengan dosa. Dosa dapat menjauhkan manusia dari Allah, dan dari sesamanya. Dosa menyebabkan manusia menderita. Jika dilihat dari segi hubungan manusia dengan Allah, dosa dipahami sebagai penolakan terhadap Allah: manusia menyalahgunaan kebebasan dari Allah (KWI, 2007: 101). Secara sadar atau tidak, orang yang berdosa meragukan cintakasih-Nya. Oleh karena itu manusia sering berpaling dari penciptanya kepada ciptaan yang dianggap lebih berharga (Heuken, 199: 10). Dalam terang wahyu ilahi orang melihat apa itu dosa, terutama dosa asal. Jika manusia tidak mempunyai pengetahuan mengenai Allah, maka dia akan berpikir bahwa dosa terjadi secara otomatis akibat dari struktur masyarakat yang salah (KWI, 2007: 101). Kej 2: 4a-25 dan Kej 3: 1-24 menggambarkan bahwa penderitaan dan kematian ada setelah manusia pertama (adam dan hawa) jatuh dalam dosa (Stanislaus, 2008:53). Yewangoe memaparkan pemikiran Vengal Chakkarao seorang Teolog Salib dari India. Dia menggunakan perumpamaan tentang anak yang hilang ketika menjelaskan bagaimana dosa masuk ke dalam hidup manusia dan merenggangkan relasi antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan sesamannya (Yewangoe, 1998: 71). Dosa tercipta ketika manusia mulai memilih untuk bebas melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki Allah. Misalnya meninggalkan hal baik dan mendekati halhal duniawi yang bersifat sementara. Pada saat ego merasuk ke dalam jiwa manusia, manusia menjauh dari Allah dan sesama. Manusia terkucilkan karena dosa yang dibuatnya sendiri. Contoh sederhana dari penderitaan yang disebabkan diri sendiri adalah kemalasan, orang yang malas bekerja, berdampak pada PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 63 hidupnya yang penuh kekurangan sandang, pangan, dan papan. Itu hanya salah satu contoh dari banyaknya kejadian. b. Penderitaan yang disebabkan oleh orang lain Budi Kleden (2006 : 18). memaparkan pemikiran Leibniz dan Immanuel Kant yang menyatakan penderitaan yang disebabkan oleh orang lain dengan istilah malum morale yang artinya keburukan moral. Yang mana keburukan moral ini ditimpakan oleh manusia kepada manusia lain, dan biasanya dilakukan oleh orangorang yang memiliki kuasa. Contoh keburukan moral tersebut adalah ketidakadilan social (KKN), kekerasan, penindasan terhadap kaum lemah, miskin, tertindas, dan difabel. Keburukan moral ini masih ditemukan di Indonesia sampai sekarang. Contoh lain dari penderitaan yang disebabkan oleh orang lain adalah pelecehan seksual dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Kasus ini kerapkali ditemukan baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Salah satu pengalaman menyedihkan datang dari Tchuna (23 tahun), mahasiswi jurusan Fisioterapi Fakultas kedokteran di India diperkosa secara bergiliran selama satu jam oleh 6 laki-laki di dalam bus, tidak hanya diperkosa tetapi Tchuna, gadis cantik itu juga dihajar hingga babak belur, bahkan sebuah batang besi dimasukkan ke dalam vaginanya hingga ususnya nyaris keluar, dan dalam keadaan kritis dan tak sadarkan diri, dengan tubuh penuh darah dan tanpa busana, ia dilempar begitu saja ke jalanan. Sungguh sangat tidak manusiawi perbuatan yang dilakukan oleh para pemerkosa itu. Negeri indonesia juga memiliki lembar-lembar sejarah yang penuh luka siksa terhadap perempuan. Pada tahun 1965, ribuan perempuan, atas tuduhan komunis, diburu, disiksa, diperkosa. Pada tahun 1989 hingga 1999, saat Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Orde Baru, ratusan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 64 perempuan turut juga mengalami siksaan dan pelecehan seksual. Di masa orde baru juga, Marsinah mengalami hal serupa seperti yang dialami Tchuna. Pada tanggal 5 Mei 1993, tubuh buruh pabrik arloji di Sidoarjo itu ditemukan tak bernyawa dengan keadaan penuh luka, pergelangan tangan lecet akibat ikatan yang terlalu kencang, serta tulang selangkangan dan vagina hancur. Mayatnya ditemukan di sebuah gubuk pinggir sawah di Nganjuk Jawa Timur. Bedanya Marsinah dirusak kelaminnya karena berdemo menolak PHK sepihak terhadap rekan kerjanya. Hal yang menjadi keprihatinan di negeri ini adalah pelaku utamanya tak tersentuh hukum sampai sekarang (Majalah Tempo XXIII, Oktober 1993: 22-24). Penindasan pada perempuan tak pernah mati. Berdasarkan catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2011 menyebutkan ada sekitar 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan, di wilayah domestik maupun publik. Angka ini meningkat 13,32 persen dari tahun sebelumnya. Lalu pada tahun 2012 masyarakat Indonesia juga dikejutkan dengan maraknya kasus perkosaan di angkot Jakarta. Ironisnya beberapa politisi justru menuding perempuan yang notabene korban sebagai biang pemicu birahi karena memakai rok mini. Sungguh komentar yang kurang bijaksana dan sangat mengecewakan. Tetapi tidak ada demo seperti pelecehan pada perempuan seperti kasus Tchuna gadis India. Mungkin kita terlalu pengecut untuk memberikan pembelaan pada perempuan, atau mungkin kita terlalu takut untuk mengambil resiko buruk seperti yang dialami oleh Marsinah si buruh pabrik yang malang. c. Penderitaan demi orang lain dan demi tugas perutusan Dalam hal ini, penderitaan Paulus dapat menjadi contoh. Paulus rela menderita demi umatnya ditempat ia mewartakan Kerajaan Allah. Paulus pernah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 65 dipenjara karena telah memberikan kesaksian kepada banyak orang dengan pewartaan-Nya akan Yesus Kristus (Kis 22:1-22). Tidak hanya Paulus, para nabinabi seperti musa, Yeremia, Yehezkiel, dll menderita demi orang lain dank arena tugas dan tanggungjawabnya dalam mewartakan Kerajaan Allah. Tokoh paling besar sepanjang sejarah hidup umat Kristiani yang menderita demi umat manusia adalah Yesus Kristus Putera Allah. Yesus menderita dan wafat karena dosa manusia, dan karena tugas yang diberikan Allah Bapa kepada-Nya. Yesus disalibkan demi dan untuk menebus dosa manusia. Di salib Yesus tetap mempertahankan kesatuan-Nya dengan Allah dan taat kepada tugas yang diberikan kepada-Nya. Dalam suasana penuh haru itu, Yesus memperlihatkan ajaran pokok kehidupan-Nya, yaitu penyerahan total kepada Allah. Sikap Yesus ini member teladan kepada kita bahwa dalam situasi sulit seperti apapun, kita sebaiknya tetap mempercayakan semua perkara hidup kepada Allah secara total (KWI, 1996: 138). Yesus adalah hamba dan juga Putera Allah yang setia dalam ketaatan tanpa syarat melayani rencana penyelamatan Allah bagi umat manusia (Yoh 10: 18; 4: 34). Seluruh peristiwa yang terjadi dalam hidup Yesus Kristus termasuk di dalamnya: penderitaan, wafat, dan kebangkitan adalah rencana penyelamatan Allah “digenapi” menjadi nyata dan terwujud di tengah-tengah umat manusia (Groenen, 1979: 19). d. Penderitaan karena penyakit Orang sakit adalah orang yang tidak kuat mengurus hidupnya sendiri karena fisik atau badannya tidak mampu untuk melakukannya. Dalam keadaan seperti ini perhatian dan bantuan orang lain sungguh sangat membantu si sakit menjalani masa sakinya itu (Heru Ismadi. 1994 : 19). Penyakit kusta misalnya. Penyakit ini sangat menyiksa si penderita, dan seringkali orang yang menderita penyakit ini PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 66 diasingkan dari tempat kelahirannya sendiri. Hal ini sangat menyiksa batin dan kedalaman jiwa si penderita. Apakah mereka menginginkan penyakit tersebut? Tentu saja tidak. Tapi mengapa terkadang orang sering melihat orang lain dengan sebelah mata? Di manakah rasa hormat dan cinta kasihnya? e. Bencana Alam Budi Kleden (2006 : 18). memaparkan pemikiran Leibniz dan Immanuel Kant yang mengatakan penderitaan akibat bencana sebagai malum physicum yang artinya keburukan alamiah. Keburukan alamiah ini terletak pada kenyataan negative yang sangat merugikan tatanan kehidupan, misalnya seperti peristiwa gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan angin puting beliung. Kembali kita diingatkan pada peristiwa meletusnya gunung merapi di kota Yogyakarta tahun 2010 lalu. Bencana ini meninggalkan kesedihan bagi para korban. Mereka harus kehilangan para kerabat, sahabat, dan juga harta benda. Peristiwa alam memang tidak dapat diprediksi oleh manusia, sama seperti rencana Allah yang tersembunyi di dalamnya. Bencana merapi itu kutuk atau rahmat? Mungkinkah ini kutuk dari Allah atau berkat? Pertanyaan ini menjadi bahan refleksi bagi kita untuk menemukan makna dibalik musibah yang terjadi pada manusia. 3. Cara Mengatasi Penderitaan Pada bagian di atas diuraikan beberapa contoh penderitaan manusia. Penderitaan dapat terjadi oleh karena kesalahan yang kita lakukan sendiri, ada juga penderitaan yang dikarenakan orang lain, demi tugas perutusan, disebabkan oleh bencana alam, dan penyakit menular/mematikan. Berikut penulis memaparkan beberapa cara mengatasi penderitaan manusia. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 67 a. Penderitaan Karena Diri Sendiri Dengan melakukan kesalahan kita dapat belajar dari pengalaman, memperbaiki kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika kita melakukan kesalahan pada awalnya, kita tidak akan mengetahui akibat dari kesalahan tersebut. Melalui penderitaan yang disebabkan oleh sendiri: akibat melakukan perbuatan salah, kita dengan penuh kesadaran dan iman bertobat kepada Allah, mohon pengampunan. Dengan pertobatan, kita dituntun Allah ke jalan yang lebih baik lagi. b. Penderitaan Karena Orang Lain Penderitaan yang dikarenakan oleh orang lain ini merupakan unsur dari kejahatan “rusak dan kacaunya tatanan hidup, artinya tidak ada keharmonisan diantara keduabelah pihak”. Penderitaan yang disebabkan oleh orang lain, memberi gambaran kepada kita bahwa dunia ini semakin tidak aman. Situasi yang kurang baik ini jangan menjadikan kita takut untuk mengekspresikan diri. Terutama bagi kaum perempuan, selalulah bersikap hati-hati, menggunakan pakaian sopan, bila perlu berlatih ilmu bela diri untuk berjaga-jaga dari tindak criminal yang merajalela. c. Penderitaan demi Orang Lain Ada juga penderitaan demi orang lain, biasanya adalah demi tugas dan perutusan, orang-orang ini merasa terpanggil untuk melindungi sesamanya manusia dengan ajaran-aaran kebaikan “mewartakan kabar baik” tetapi, harus PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 68 mengalami ditolak seperti Paulus, dikhianati dan disiksa seperti Yesus bahkan sampai mati di kayu Salib demi menebus dosa manusia. d. Penderitaan Karena Bencana Alam Terkadang orang menyadari dirinya hidup tidak sendirian misalnya dengan peristiwa bencana alam seperti merapi, tsunami dan gempa bumi. Di snilah letak kebesaran Allah. Melalui peristiwa alam sangat dahsyat yang menelan banyak korban jiwa, manusia dipersatukan sebagai saudara satu Bapa, saling membantu, saling mengasihi, dan terpanggil untuk rela melayani sesama yang sedang dilanda bencana. Misalnya: bencana merapi yang terjadi pada tahun 2010 di Yogyakarta. Pada saat bencana dahsyat letusan merapi terjadi, banyak orang kehilangan rumah, harta benda dan orang-orang yang dikasihi. Pada saat yang bersamaan juga, banyak saudara-saudari, mulai dari mahasiswa, biarawan-biarawati, bapak/ibu, anak-anak, tua/muda terpanggil dan terketuk hatinya membantu meringankan beban saudara/I yang tertimpa bencana. Ada yang menjadi relawan, donator, dll. hal ini menunjukan betapa besar kuasa dan rencana Allah dalam mempersatukan umat manusia yang tidak saling mengenal, berasal dari berbagai bagian pulau-pulau dan kota yang berbeda. Sungguh terlihat nyata semangatsemangat orang-orang dalam memberikan bantuan yang tidak habis-habisnya bagi para korban merapi. Jelas terasa dan dipahami bahwa ternyata ada makna yang sangat berharga dari peristiwa bencana alam yakni rasa persaudaraan, saling tolong-menolong, saling mengasihi, dan menghargai. Apakah harus ada bencana alam dulu, supaya manusia dapat melebur menjadi satu? e. Penderitaan Karena Penyakit Penderitaan yang disebabkan oleh penyakit ingin mengajak kita untuk bersikap pasrah pada kehendak Allah. Penyakit bukanlah kutukan dari Allah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 69 Penyakit ada di dunia untuk menyadarkan kita bahwa kita membutuhkan orang lain. Kita tidak bisa hidup sendirian. Oleh karena itu menjaga hubungan baik satu dan yang lain adalah hal yang sangat mulia dan dikehendaki Allah. Penulis tertarik pada sebuah novel yang ditulis oleh Agnes Jessica dengan judul “Ungu”. Novel ini bercerita tentang bagaimana seorang Raja yang sangat berkuasa di langit sekaligus seorang Bapa yang mengutus Putera-Nya untuk melihat makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang ada di bumi. Di bumi sering terjadi kekacauan, manusia saling menghancurkan, saling menjatuhkan, hanya sedikit manusia yang sungguh-sungguh baik dan memiliki kerinduan akan Sang Penciptanya. Dalam Novel dikisahkan bagaimana hidup manusia dengan berbagai karakter dan permasalahannya. Di tengah kisah, ada dua orang tokoh pria (Lazuardy) dan wanita (Irene) yang sedang berbincang mengenai topic mengenai “hal buruk yang terjadi di dunia”. Rasa sakit selalu dinilai orang sebagai sesuatu yang buruk padahal sebenarnya tidak selalu begitu: “seperti ibu yang sedang melahirkan anak, sakitnya luar biasa. Tetapi setelah melahirkan bayinya, seorang ibu lupa akan sakitnya”. Si pria berkata: “pengertian membuat kita bisa memahami penyelesaian atas segala persoalan dan mengambil keputusan bagaimana harus bertindak”, kemudian si wanita menanggapi: “maksudmu apapun yang terjadi di dunia ini, kekacauannya, penderitaannya, susah dan derita, Tuhan biarkan terjadi untuk melahirkan sesuatu yang baik pada akhirnya?”. Kemudian si pria menjawab: “Ya”, “Ibarat sebuah cerita, bab satu sampai bab sembilan belas kacau balau, tetapi di bab dua puluh, tokoh utamanya menang, bukan?” si wanita ingin mempertegaskan pemahamannya (Agnes Jessica, 2011: 158). Mungkin dapat dimengerti bahwa hidup ini ibarat cerita dalam sebuah novel, selalu terjadi kekacauan dan jika keadaan membaik maka cerita berakhir. Seperti PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 70 pada kisah Ayub, diawal cerita, Ayub dikisahkan sebagi manusia paling beruntung, setia dan takut akan Allah. Melihat kehidupan Ayub yang terbilang sempurna, iblis menjadi iri dan menghasut Allah supaya mengizinkan iblis untuk menimpa penderitaan kepada Ayub sebagai bentuk percobaan bagi kesetiaan Ayub akan Allah. Keyakinan Ayub akan Allah tidak tergoyahkan oleh semua penderitaan yang menimpanya. Berkat kesetianya itu, Allah mengembalikan kehidupan Ayub seperti semula, bahkan dua kali lipat dari sebelum Ayub dicobai. Cerita Ayub menghapus pendapat tentang adanya ikatan antara penderitaan dan hukuman atas kesalahan/dosa si penderita. Dengan memahami pengajaran Yesus, kita dapat melihat sebab-akibat langsung antara dosa dan penderitaan manusia tidak selalu ada. Oleh karenanya, dapat dimengerti mengapa orang yang tidak bersalah terkadang ditimpa penderitaan (Eilen Egan n Kathleen Egan, OSB., 2001:62). Seringkali penderitaan dialami oleh orang-orang yang tidak bersalah. Mengapa demikian? Ini menjadi pertanyaan yang sangat meresahkan bagi kita yang tidak pernah berhenti mencari makna dari peristiwa yang terjadi dalam hidup. Ketika berbicara kepada kaum muda, ibu Teresa memberikan contoh-contoh nyata berkaitan dengan penderitaan orang-orang tidak berdosa, dan pentingnya memberikan penjelasan atau tanggapan mengenai masalah itu. Lewat pemahamannya yang sangat mendalam tentang kekuatan dari penderitaan orangorang yang tidak bersalah, banyak anggota masyarakat yang terpinggirkan dan terbebani masalah, merasa kehilangan dan menderita, melihat kesengsaraan yang mereka alami dengan pandangan dan harapan yang baru (Eilen Egan-Kathlen Egan, 2001: 59). Ibu Teresa adalah salah satu tokoh yang memusatkan perhatiannya kepada penderitaan orang-orang tidak bersalah sebagai jawaban atas pertanyaan, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 71 “Mengapa Allah yang Mahakasih membiarkan penderitaan semacam itu terjadi. Anak-anak meninggal dunia karena kelaparan, banyak orang tewas karena bencana alam, misalnya gempa bumi di Guatemala, gunung merapi meletus pada tahun 2010 di Yogyakarta?”, dan masih banyak lagi. Dengan suara lirih, Ibu Teresa berkata (kutipan buku Eilen Egan-Kathlen Egan, 2001: 59): Apa jadinya dunia tanpa semua penderitaan itu? Penderitaan orang-orang tidak berdosa, sama seperti penderitaan Yesus. Ia menderita untuk kita, dan penderitaan orang-orang tidak bersalah itu menyatu dengan penderitaan-Nya dalam penebusan. Inilah yang disebut membantu penebusan. Dengan cara inilah kita membantu menyelamatkan dunia dari hal-hal yang lebih buruk lagi. “Bukankah dengan adanya kegelapan, maka terang dibutuhkan” (Agnes Jessica, 2011: 489). Terkadang kita harus mengalami sendiri apa yang disebut penderitaan supaya kita memahami untuk apa Allah yang Maha Kuasa membiarkan itu terjadi di dunia. Begitulah sifat Allah. Allah selalu mempunyai maksud yang misteri dan terlalu sulit dipahami oleh manusia bahkan memang tidak dapat dipahami manusia. Allah selalu mempunyai maksud dan tujuan dari setiap peristiwa hidup yang kita alami. Allah adalah transenden. B. Relevansi Penderitaan Ayub Bagi Penderitaan Hidup Umat Kristiani di Zaman Sekarang 1. Makna Penderitaan Manusia Menurut Pandangan Iman Kristiani Sesungguhnya penderitaan tidak harus selalu dipandang buruk. Namun kebanyakan orang sudah menginterprestasikan bahwa penderitaan merupakan pengalaman sangat mengerikan. Tentu saja setiap orang menghendaki kebahagiaan, tidak ada yang ingin menderita. Namun perlu disadari bahwa penderitaan tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia. Penderitaan adalah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 72 peristiwa yang terjadi oleh adanya tujuan. Tujuan yang penulis maksud yakni karya keselamatan Allah yang tidak mampu diselami oleh pengetahuan manusia, ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang terbatas (Atkinson, 2002: 54-55). Intensitas penderitaan bertingkat-tingkat, dari yang terberat hingga ringgan. Persepsi pada setiap orang juga berpengaruh dalam menentukan intensitas penderitaan. Suatu kejadian dianggap penderitaan oleh seseorang belum tentu dianggap penderitaan bagi orang lain. Dalam artian suatu permasalahan sederhana yang dibesar-besarkan akan menjadi penderitaan mendalam apabila disikapi secara reaksioner oleh individu. Ada pula masalah urgen yang disepelekan juga dapat berakibat fatal dan menimbulkan kekacauan. Maksudnya adalah pengalaman penderitaan dapat dimaknai secara berbeda, mengapa begitu? karena semua tergantung pada tahap kesadaran, pemahaman, dan keyakinan seseorang yang berbeda-beda dalam melihat realitas Allah dalam hidupnya. Sesungguhnya ukuran berat atau tidaknya suatu pengalaman penderitaan adalah tergantung pada bagaimana seseorang menanggapi penderitaan tersebut. Jika kita menerima pengalaman itu dengan iman, kita akan mengatakan bahwa penderitaan adalah suatu rahmat dari Tuhan yang dapat mendekatkan kita dengan Dia yang Mahakasih dan Mahakuasa (Atkinson, 2002: 167). Menurut Leibniz, penderitaan adalah bagian dari kehidupan kita sebagai makhluk yang fana. Hanya Allah yang memiliki predikat bebas dari penderitaan. Walaupun demikian, penderitaan kita tidaklah tragis. Kita hanya perlu meyakinkan diri bahwa kita hidup di dunia yang tercipta oleh Allah yakni baik adanya (Budi Kleden, 2006: 105). Allah itu baik, kasih-nya kepada manusia tanpa batas. menciptakan dunia baik adanya, Dia tidak pernah mengehendaki penderitaan, tetapi manusia tidak luput dari pengalaman penderitaan, atau kebobrokan alami, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 73 semua adalah kenyataan dari keterbatasan manusia. tidak seorangpun dapat mengelak dari kejahatan moral (KWI, 2007: 100). Allah itu Maha Kuasa. Dia berkuasa atas langit dan bumi beserta isinya (Atkinson, 2002: 55). Manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada dirinya hari ini atau besok. Manusia hanya bisa pasrah dan berserah diri kepada kehendak Sang pencipta. Apapun yang terjadi pada manusia; kesedihan atau kegembiraan, suka atau duka, kebahagiaan atau penderitaam pasti tersembunyi makna dan tujuan di dalamnya. a. Memahami arti penebusan dan makna penderitaan Yesus Kristus Dapat dikatakan bahwa berkat kesengsaraan Kristus maka semua penderitaan manusia telah berada dalam situasi baru. Dan seolah-olah Ayub telah melihat hal ini sebelumnya, ketika ia berkata: “Aku tahu: Penebusku hidup”, dan seolah-olah dia telah mengarahkan hal itu kepada penderitaannya sendiri, yang tanpa Penebusan tidak akan dapat mewahyukan kepadanya maknanya yang sepenuh-penuhnya. Dalam Salib Kristus bukan hanya Penebusan yang terlaksana lewat penderitaan, tetapi juga penderitaan manusia telah ditebus. Kristus-meskipun sama sekali tidak bersalah-telah memikul “seluruh kejahatan dari dosa”. pengalaman akan kejahatan ini menentukan seberapa jauh penderitaan Kristus yang tak dapat dibandingkan, yang merupakan harga dari Penebusan. Yesus Kristus Putera Allah, “walaupun dalam rupa Allah,…telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2: 6-7). Demi umat manusia yang dikasihi-Nya, Ia “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2 Kor 8: 9). Demikianlah Yesus Kristus telah melaksanakan karya penebusan melalui sengsara dan wafatnya di kayu Salib yang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 74 disebut salib penghinaan namun menjadi lambang kemenangan Yesus Kristus atas maut (Madah Bakti, 2007: 141, lih SD art 2). Yesus diutus Bapa untuk “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin,…untuk menyembuhkan mereka yang putus asa” (Luk 4: 18), untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19: 10). Yesus Kristus menjadi teladan bagi Gereja untuk membagikan kasih kepada sesame yang membutuhkan bantuan, secara khusus mereka yang lemah dalam iman, miskin harapan, miskin secara materi, dll. Di sini kita diajak untuk melihat dan memahmi bahwa di dalam diri mereka yang miskin dan menderita Allah hadir secara nyata. Dengan berusaha meringankan beban mereka yang miskin dan menderita, Gereja melayani Yesus Kristus yang hadir dalam diri mereka, selain itu Gereja semakin dekat dan mengenal Yesus secara lebih intens (Dokumen Konsili Vatikan II, 1993: 75). Melalui penderitaan-Nya, manusia diselamatkan dari dosa. Dengan sengsara “Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia membuka telinga mereka” (Ayb 36: 15). Karya penebusan Yesus Kristus sangat jelas diaktualisasikan-Nya dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu juga Gereja dipanggil untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri, sehingga buah-buah keselamatan dapat diterima oleh manusia. b. Allah mendidik manusia melalui peristiwa penderitaan Manusia diharapkan dapat terbuka pada Allah. Dengan penderitaan, manusia mempunyai suatu buah pergulatan yang dalam. Sesuatu yang tidak dapat diganti dengan apa pun. Penderitaan yang dialami membawa pesan bahwa sakit dan derita ternyata memiliki nilainya sendiri. Pengalaman tersebut, menimbulkan rasa solidaritas kepada sesama yang menderita. Rasa solider dan setia kawan dengan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 75 orang lain yang menderita merupakan ajakan Gereja untyk terlibat dalam hidup masyarakat. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini menjadi “kegembiraan dan harapan” duka dan kecemasan “ umat beriman. (GS art. 1a) Allah tidak berteriak, berseru, atau memaksa kita untuk langsung mengikuti Dia. Roh Allah sangat lembut seperti suara sayup-sayup atau hembusan angin sepoi-sepoi. Roh yang penulis bicarakan ini adalah Roh Kasih. Roh Kasih adalah Roh Allah sendiri, yang selalu membawa kita semakin dekat dengan kasih. Beginila cara Allah menyapa manusia. Namun, seringkali manusia menolak sapaan Allah. Manusia takut hanyut dan masuk dalam suasana kasih yang bias saja menarik manusia pada hal yang tidak dia kehendaki. Maksudnya, manusia takut apabila dengan menerima Roh Kasih, kebebasan yang dimilikinya berkurang (Henry J, 1998: 12-13). Jika manusia takut menerima Roh kasih, manusia sulit terbuka pada realita penderitaan yang terjadi disekitarnya, dia akan memilih untuk berusaha menjauh dan menghindari pemandangan penderitaan yang ada di hadapannya. Pandangan Allah yang penuh kasih senantiasa tertuju pada manusia (Van Breemen, 2000: 15). Kita harus mengakui segala keterbatasan kita dihadapan Allah. Allah tidak pernah membiarkan anak yang dikasihinya mengalami penderitaan tanpa makna. Kembali kita diingatkan bahwa Allah punya maksud yang luar biasa atas pengalaman manusia yang menderita. 1) Penderitaan mengembangkan kepribadian manusia: menjadikan manusia rendah hati Melihat penderitaan dan kebahagiaan di dunia ini, orang mesti mengatakan bahwa secara total kebahagiaan lebih banyak, dan kebahagiaan ini tidak dapat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 76 dicapai apabila seluruh penderitaan harus dijauhkan. Tanpa penderitaan fisis, kita tidak akan mampu menikmati saat-saat bahagia kehidupan. Demikian juga halnya dengan penderitaan moral dan batin. Tanpa penderitaan yang pernah dialami atau dilihat, orang tidak akan memperoleh gagasan dan daya juang yang tinggi untuk berperang melawan dan mengatasi penderitaan itu. Jangan sampai kita berkesimpulan bahwa perkembangan di dunia ini tidak ada gunanya ( Budi Kleden, 2006: 105). Penderitaan membina kepribadian seseorang menjadi berkembang serta tangguh. Bapa suci Yohanes Paulus II berkata: “…Penderitaan manusia membangkitkan rasa belaskasihan; juga membangkitkan rasa hormat, dan dengan caranya sendiri menimbulkan rasa takut. Karena di dalam penderitaan termuat keagungan dari suatu misteri yang khusus…” (Salvifici Doloris art 4). Sikap rendah hati Ayub ditampilkan. Dia yang takut akan Allah berkata: “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab, apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, dan tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan” (Ayb. 39: 37- 38). Sikap tobat ini Ayub tunjukan setelah dia mengalami pencerahan baru, yakni setelah Tuhan Allah sendiri dua kali menampakkan diri-Nya dalam teofani. Di sini Ayub menyadari eksistensi dirinya sebagai yang hina di hadapan Allah. 2) Ditantang untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi penderitaan: solidaritas Di dunia remaja ini, masih banyak saudara-saudari kita yang masih membutuhkan pertolongan. Sebagai umat beriman kita harus memiliki hati nurani yang peka terhadap penderitaan sesame. Tuhan Allah sendiri mengajarkan kita PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 77 untuk dapat saling mengasihi satu sama lain, dan juga mengasihi Dia yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Bunda Teheresa adalah seorang tokoh yang tergerak hatinya oleh belaskasihan untuk memberikan perhatian lebih terhadap kaum miskin, lemah, dan tersingkir. Tokoh ini mempunyai keyakinan bahwa apa yang ia lakukan terhadap saudaranya yang kecil, dia melakukannya pada Tuhan yakni wujud cintanya kepada Tuhan Allah. Dengan kasih yang luar biasa, Bunda Theresa menampung dan merawat orang-orang miskin, serta orangorang yang terkena penyakit menular seperti kusta. Penderitaan yang dialami oleh penduduk culcuta menyentuh ke dalaman hati Bunda Teresa terpanggil untuk membebaskan para penderita dengan cinta kasih yang dia kobarkan. Konsekuensi iman sebagai pengikut Kristus adalah berusaha mewujudkan imannya dalam tindakan nyata. Salah satu wadah perwujudan iman adalah bersikap solider, rela dan setiakawan terhadap mereka yang menderita. Setiakawan berarti masuk ke dalam situasi hidup si penderita. Ikut berjuang melawan penderitaan agar orang yang menderita memperoleh kebebasan untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Cara yang dapat kita lakukan adalah dengan memberi peneguhan kepada mereka melalui katekese. Gereja katolik didirikan oleh Kristus demi keselamatan semua orang; maka Gereja terdorong oleh tugas dan kewajibannya untuk mewartakan kabar gembira (DKV II: 52). Sebagai makhluk social, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sudah kodratnya bahwa manusia hidup di dunia saling membutuhkan satu sama lain. Tuhan Allah menghendaki manusia untuk dapat hidup berdampingan secara harmonis, saling mengasihi, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Bapa Paus Yohanes Paulus II berkata: “…Penderitaan manusia membangkitkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 78 rasa belaskasihan; juga membangkitkan rasa hormat, dan dengan caranya sendiri menimbulkan rasa takut. Karena di dalam penderitaan termuat keagungan dari suatu misteri yang khusus…” (SD art. 4). Konsekuensi iman sebagai pengikut Kristus adalah berusaha mewujudkan imannya dalam tindakan nyata. Salah satu wadah perwujudan iman adalah bersikap solider, rela dan setiakawan terhadap mereka yang menderita. Setiakawan berarti masuk ke dalam situasi hidup si penderita. Ikut berjuang melawan penderitaan agar orang yang menderita memperoleh kebebasan untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Cara yang dapat kita lakukan adalah dengan memberi peneguhan kepada mereka melalui katekese. Rasa solider dan setia kawan dengan orang lain yang menderita merupakan ajakan Gereja. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini menjadi “kegembiraan dan harapan” duka dan kecemasan “ umat beriman. (GS art. 1a) Permasalahan-permasalahan penderitaan seperti bencana alam, kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan sering terjadi dan menimpa sesame kita manusia. Hal ini menyebabkan mereka mengalami situasi yang sangat sulit dan memprihatinkan. sebagai orang beriman kristiani kita diharapkan peka dalam menanggapi segala persoalan tersebut. Kita ditantang untuk berani ambil bagian dalam mengatasi penderitaan-penderitaan yang terjadi dengan cara terjun langsung memberikan bantuan bagi saudara kita yang menderita entah itu dengan cara memberikan peneguhan atau dengan cara memberikan bantuan berupa materil seperti sembako, pakaian, dll. Sekecil apapun yang dapat kita lakukan untuk saudara kita yang sedang menderita, kita memberikan berkat penghiburan kepada mereka, dan itu dapat mengurangi penderitaan yang mereka hadapi. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 79 3) Kedewasaan iman Seorang Kristiani sudah sepantasnya menemani Yesus yang menderita melalui pola hidup penuh iman, bersaksi atas hidup Yesus Kristus. Manusia yang berusaha menanggung penderitaannya sendiri, dan mempersatukan diri dengan penderitaan Yesus Kristus adalah sikap manusia yang dewasa dalam iman, sehingga menjadikan dirinya dapat meresapi kasih Allah (Diez Merino, 1982: 15). Menurut Karl Rahner, kemampuan diri manusia untuk dapat menghargai hidup, sekaligus beriman, bergantung pada mampu atau tidaknya ia merasa dan yakin bahwa hidup yang diterimanya memiliki aspek yang positif. Seandainya, dalam hidupnya ia selalu mengalami peristiwa pahit, maka akan menimbulkan pergulatan batin yang menjadikan dia sulit untuk menghargai hidup, apalagi mensyukurinya yang nota bene adalah anugerah dari Allah. Pernyataan inilah yang menurut Karl Rahner, ateisme dapat dimengerti. Bagi orang beriman masalah adanya penderitaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Kita mempunyai tanggungjawab untuk menemukan makna dari setiap pengalaman hidup yang kita alami (Robini, 1998:14-15). Dengan penderitaan, manusia mempunyai suatu buah pergumulan yang dalam. Penderitaan yang dialami membawa pesan bahwa sakit dan derita ternyata memiliki nilainya sendiri. Pengalaman tersebut, menimbulkan rasa solidaritas kepada sesama yang mengalami penderitaan/menderita. Perlu disadari, seseorang dapat bertumbuh dewasa dan berkembang dalam iman adalah pengaruh dari daya aktifnya seseorang menanggapi penderitaannya, melalui pergumulannya berhadapan dengan penderitaan, lalu dapat mengatasinya (Atkinson, 2002: 167). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 80 Seseorang yang dewasa berani menerima/ menghadapi penderitaan. Orang yang mampu menerima penderitaan dan dapat mengatasinya, dapat tumbuh menjadi pribadi yang dewasa. Kemampuan untuk menerima penderitaan tidak lepas dari iman. Seperti halnya dengan Yesus Kristus yang memilih menderita dan wafat dikayu salib demi menanggung dosa umat manusia. Allah selalu punya cara untuk memberi penghiburan kepada anaknya yang sedang menderita, penghiburan tersebut dapat didatangkannya melalui orangorang disekitar kita, baik itu orang yang sudah kita kenal maupun orang yang tidak sengaja kita jumpai. Allah itu baik, kasihNya tiada berkesudahan. Kita harus mengakui bahwa terkadang hanya iman kita yang mampu menghantarkan kita pada pengenalan terhadap sosok Allah yang penuh misteri dan Mahakasih. Allah itu Maha Kasih. Allah jelas mengasihi kita. Seluruh alam ciptaan dan terutama karya penyelamatan-Nya yang memuncak dalam pengutusan anak-Nya ke dunia untuk mewartakan Kerajaan Allah dan untuk membebaskan umat manusia dari belenggu dosa adalah bukti dari kasih Allah (Groenen, 1979: 17). Berikut ini penulis akan memberi pemahaman mengenai makna dibalik penderitaan Ayub. karena menurut penulis, ada hubungan antara penderitaan manusia dengan penderitaan Ayub. 2. Makna Penderitaan Ayub Orang beriman kerapkali mensubyektivasikan penderitaan yang dialaminya sebagai tanda kesetiakawanan dengan Kristus yang menderita. Namun harus diingat, kitapun ikut serta dalam membuat adanya penderitaan dalam struktur kedosaan di mana kita sendiri terlibat di dalamnya. Kita pun tetap bertanggung jawab atas penderitaan kita sendiri dan orang lain. Maka mencari makna PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 81 penderitaan tetap relevan. Dalam Kitab Suci ada beberapa jawaban mengenai akibat intrinsik dari perbuatan manusia (Ayb 4: 8), atau penderitaan sebagai hukuman Allah (Ayb 4: 7), dan penderitaan sebagai sarana pendidikan atau pemurnian (Keb1-6 terutama Keb 3: 5). Penderitaan yang terjadi pada manusia seringkali dipahami sebagai hukuman dari Allah atas dosa yang dilakukan oleh manusia. Memang benar bila penderitaan dilihat sebagai akibat dari dosa, tetapi jika penderitaan dikaitkan dengan kesalahan/kejahatan. Pada bagian ini kita diajak untuk melihat makna penderitaan Ayub. Bagi orang beriman, memaknai penderitaan manusia adalah sesuatu yang wajib dilakukan. Hal ini dikarenakan umat Kristiani memegang tanggungjawab yakni berani memberikan kesaksian iman yang dialaminya lewat pengalaman hidup sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, banyak saudara-saudari kita yang kehilangan iman, keyakinan kepada Allah menjadi samar-samar dikarenakan penderitaan tragis yang dialaminya. Kenyataan itu menjadi keprihatinan bagi kita. Allah tetaplah Allah yang setia. Dia selalu menyertai umatnya dalam situasi apapun terutama dalam penderitaan. Sebab Allah juga menderita dalam diri Putera-Nya. Keyakinan iman inilah yang mendorong kita untuk merefleksikan pengalaman penderitaan yang terjadi pada manusia, dengan maksud bahwa penderitaan tidak menjadi sesuatu yang sia-sia dan tanpa makna (Robini, 1998: 15). Penderitaan Ayub adalah ujian kesetiaannya. Tetapi baik Ayub maupun sahabat-sahabatnya tidak mengetahuinya. Sahabat-sahabat itu memberi keterangan yang lazim: kebahagiaan orang fasik hanya berlangsung sebentar saja, bdk Mzm 37 dan 73, dan kemalangan orang benar hanya menguji kebenarannya, bdk Kej PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 82 22:12; ataupun kemalangannya berupa hukuman atas kesalahan yang dilakukan karena keterbatasan manusia saja, bdk Mzm 19:13; 25:7. Begitulah pendirian sahabat-sahabat selama masih yakin bahwa Ayub seorang yang kurang lebih benar. Tetapi jeritannya karena sengsara dan kedurhakaannya terhadap Allah akhirnya sahabat-sahabat Ayub yakin bahwa dia terlalu fasik. Maka kemalangan yang mendatangi Ayub menunjukan, bahwa ia seorang yang berbuat dosa berat. Elihu, ia memperdalam pendirian ketiga sahabat itu: jikalau Allah membiarkan seseorang, yang nampaknya benar, menderita, maka tujuannya ialah, supaya ia mendapat kesempatan memulihkan dosa-dosa kelalaian atau kesalahan yang tidak disengaja, atau - dan inilah sumbangan khas yang disampaikan Elihu dalam bab 32-37 - supaya orang benar disembuhkan dari kesombongannya. Namun sama seperti sengsara dan dosa pribadi, walaupun Elihu kurang keras dalam ucapannya. Pandangan tentang ‘menderita karena dosa’ bertumpu pada paham keyakinan akan ‘keadilan Allah’ dan paham ‘pembalasan di bumi’. Kepercayaan akan keadilan Allah bertumpu pada tindakan Allah mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat. Berpijak pada kepercayaan akan keadilan Allah dan paham pembalasan di bumi, orang sampai pada kesimpulan bahwa bencana, penyakit, penderitaan dan segala konsekuensinya adalah hukuman dari dosa. pemikiran ini tertuang dalam buku-buku kebijaksanaan seperti Amsal(Ams 10-22; 25-29) dan Yesus bin Sirakh. Fakta bahwa orang-orang baik menderita dan mati dibunuh, memicu refleksi seseorang untuk mempersoalkan kebenaran ‘paham pembalasan di bumi’. Salah satunya Kitab Ayub. Kitab ini ingin memaparkan diskusi yang sangat panjang yang menyajikan argumentasi bahwa paham pembalasan di bumi tidak dapat dipertahankan lagi. Kitab Ayub mau menggugat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 83 ajaran tradisional yang berbicara bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Kitab Ayub mau menunjukan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penderitaan dan dosa. oleh karena itu, penderitaan tidak boleh secara langsung dikaitkan dengan dosa (Stanislaus, 2008: 55-58). Kitab Ayub ingin menunjukan sisi yang lain dari penderitaan, yakni penderitaan orang benar. Kitab ini secara jelas ingin membongkar atau mengkritisi pemahaman mengenai pembalasan di bumi sehubungan dengan pandangan tradisonal yang berkeyakinan bahwa seseorang mengalami penderitaan adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Tetapi Kitab Ayub menyuguhkan gagasan baru mengenai penderitaan. a. Penderitaan Ayub Bukan Akibat Dosa Atau Hukuman Dari Allah Penderitaan identik dengan sebab-akibat. Arti bahwa sesuatu terjadi pasti ada dasarnya. Sebagai contoh misalnya penderitaan yang terjadi pada seseorang selalu dihubungkan dengan perbuatan seseorang. Namun di sini, kita akan membahas penderitaan manusia yang terjadi bukan karena perbuatan dosa atau tindakan kriminalisasi yakni tokoh Ayub, melainkan mengenai orang benar yang menderita. Pemikiran tradisonal mempengaruhi pemahaman manusia bahwa penderitaan yang menimpa manusia diakibatkan oleh perbuatan dosa. Allah sendiri menjanjikan keselamatan bagi orang yang percaya dan mematuhi perintah-Nya, sedangkan orang yang berbuat jahat akan diberi ganjaran sesuai dengan perbuatan dosanya. Teman-teman Ayub memiliki keyakinan bahwa tidak ada orang yang 100% benar dihadapan Allah, sedangkan Ayub yakin bahwa dirinya secara keseluruhan adalah benar dihadapan Allah. Teman-teman Ayub terlalu skeptis dalam PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 84 menanggapi keyakinan Ayub. Mereka sudah terlalu yakin pada pandangan tradisonal, bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Bagi mereka, orang yang menderita adalah karena kesalahan mereka sendiri. Namun Ayub tetap bersikeras mengatakan bahwa dirinya tidak pantas menderita karena dia tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki Allah. Keyakinan Ayub mengenai kesalehannya mendorong dia untuk berusaha supaya ia dapat berbicara dengan Allah “yang tidak memberi keadilan” kepadadanya. Ayub memiliki keyakinan bahwa dalam suatu pembicaraan yang jujur dan terbuka perselisihannya dengan Allah bias diselesaikan, sama seperti suatu perkara antarmanusia seringkali bias diselesaikan secara damai. Namun, Allah tidak memberikan kesempatan kepada Ayub, mungkin saja Allah punya cara sendiri untuk menjawab pertanyaan Ayub dan sulit untuk ditangkap atau dipahami oleh manusia yang terbatas seperti Ayub. Kitab Ayub memberi gambaran lain mengenai penderitaan manusia, seakan ingin membongkar paradigma tradisional berkaitan dengan sebab-akibat dari penderitaan. Kitab yang penuh misteri ini ingin mengajak manusia berpikir dan bersikap kritis mengenai maksud Allah mengapa membiarkan orang saleh bernama Ayub harus menderita? Apakah benar Allah sungguh membiarkan hal itu terjadi? Kitab Ayub tidak memecahkan masalah penderitaan, tetapi penderitaan akan ditempatkan dalam misteri Allah sebagai sesuatu yang tidak selalu bisa dimengerti manusia (W.Van der Weiden, 1995: 119). Kitab Ayub menyajikan kisah tentang pengalaman penderitaan yang dialami orang tanpa berbuat dosa. Ayub adalah sosok yang saleh dan takut akan Allah. Biasanya orang yang takut pada Allah, sudah pasti dia orang beriman. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 85 Pemikiran tradisonal mempengaruhi pemahaman manusia bahwa penderitaan yang menimpa manusia diakibatkan oleh perbuatan dosa. Allah sendiri menjanjikan keselamatan bagi orang yang percaya dan mematuhi perintah-Nya, sedangkan orang yang berbuat jahat akan diberi ganjaran sesuai dengan perbuatan dosanya. Kitab Ayub memberi gambaran lain mengenai penderitaan manusia, seakan ingin membongkar paradigma tradisional berkaitan dengan sebab-akibat dari penderitaan. Kitab yang penuh misteri ini ingin mengajak manusia berpikir dan bersikap kritis mengenai maksud Allah mengapa membiarkan orang saleh bernama Ayub harus menderita? Dalam mempelajari kitab ini, penderitaan dimaknai secara berbeda, bukan semata-mata karena dosa si penderita, namun lebih-lebih berkaitan dengan maksud Allah yang misteri, Allah yang transenden, membiarkan penderitaan terjadi pada orang saleh (Atkinson, 2002: 54). Allah selalu bertindak sesuai dengan rencanaNya menjadikan dunia ini sempurna (Atkinson, 2002: 55). Tidak ada satupun dari manusia yang dapat menyelami maksud Allah. Hal ini membuktikan bahwa manusia makhluk yang sangat kerdil, terbatas dan bergantung pada Allah. Tidak ada diantara manusia itu sempurna, kesempurnaan hanyalah milik Allah Sang Pencipta dan Mahakuasa (Atkinson, 2002: 54). b. Penderitaan Ayub Membawa Pemahaman Baru Mengenai Allah Dan Penderitaan Manusia Allah itu Mahabaik, manusia tidak dihancurkan Allah. Ia hanya didik dan dimurnikan oleh Allah. Setiap manusia berdosa dan harus dimurnikan. Jadi, melalui penderitaan manusia dipulihkan oleh Allah (Robini, 1998, 36). Oleh PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 86 rahmat Allah, seseorang dapat menyadari kemalangannya sendiri, dan menyatakan kelemahannya di hadapan Allah. Allah menarik orang berdosa. Dengan mengaku diri orang berdosa, maka manusia menyerahkan diri kepada Allah yang Maharahim. Seperti yang dilakukan Ayub, setelah terlalu keras pada pendapatnya tidak mau dikatakan berdosa dia sempat meragukan keadilan dan belaskasih Allah, namun akhirnya mengakui kelemahan dan kekurangannya di hadapan Allah. Sikap rendah hati Ayub ditampilkan. Dia yang takut akan Allah berkata: “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab, apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, dan tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan”(Ayb. 39: 37- 38). Sikap tobat ini Ayub tunjukan setelah dia mengalami pencerahan baru, yakni setelah Tuhan Allah sendiri dua kali menampakkan diri-Nya dalam teofani. Di sini Ayub menyadari eksistensi dirinya sebagai yang hina di hadapan Allah. Dengan demikian, dia pun merasa pantas untuk menarik kembali tuduhannya dan segala kata-katanya. Sikap Ayub itulah yang penulis anggap sebagai sikap pertobatan Ayub. Ayub kembali pada kesadarannya yang dulu, yakni takut akan Allah. Allah tetap menyertai umatnya dalam segala situasi, terutama sangat jelas dan nyata dalam penderitaan, sebab Ia adalah Allah yang menderita di dalam diri Putera-Nya. Dalam Ayb. 42: 1-6 Ayub menunjukan sikap pertobatannya, yakni sebagai seorang beriman yang percaya kepada Tuhan Allah. Ayub akhirnya tahu dan percaya bahwa Tuhan Allah sanggup melakukan apa pun yang dikehendakiNya, dan itu takkan gagal. Keyakinan Ayub didapatnya bukan semata-mata dari orang lain, tetapi dia sendiri mendapatkannya sendiri langsung dari Allah lewat teofani. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 87 Manusia adalah salah satu dari sekian banyak ciptaan Allah. Sebagai makhluk ciptaan Allah, sudah sepantasnya kita memiliki kesadaran membangun dan mengembangkan sikap tobat, sehingga kita semakin menyadari betapa besar kasih karuniaNya. Iman kitalah yang dapat menyelamatkan kita dari penderitaan. Perlu diketahui; iman bukan hasil usaha manusia sendiri, tetapi pemberian dari Allah (rahmat). Dengan sengsara Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia membuka telinga mereka (Ayb 36: 15). Allah mengembalikan segala milik Ayub, bahkan diberi-Nya lebih daripada apa yang dimilikinya sebelumnya (lih. Ayb 42: 10-17). Di dunia ini kita diharapkan untuk berani memberi kesaksian kepada sesame, bahwa berhadapan dengan penderitaan yang sangat pahit sekalipun, hidup ini tetap memiliki makna yang paling dalam (Robini, 1998: 15). Penderitaan membawa orang pada pemahaman untuk beriman kepada Allah. Melalui penderitaan, manusia dapat semain dekat dengan Allah. Apabila manusia mampu memaknai peristiwa tersebut dengan iman dan pengharapannya kepada Allah Sang sumber keselamatan hidup, maka pedneritaan dapat menjadi pengalaman yang luar biasa berharga. Dalam bagian teofani Ayub 38:1-42:6 kita dapat menangkap salah satu pemecahan yang dapat dicapai perihal penderitaan yang disusulkan dalam Kitab Ayub. Allah akan mengantarkan Ayub untuk memahami betapa besar dan dalamnya misteri penderitaan manusia satu-satunya jalan adalah menyerah pada kebaikan Yahwe dan kepada kebijaksanaan-Nya dalam dunia yang diciptakan-Nya (18-20). Perlu kita sadari, hal pokok dalam iman adalah pengalaman menyerahkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 88 diri secara total kepada Allah. Iman adalah rasional bukan karena dibuktikan, tetapi karena dipertanggungjawabkan (Iman Katolik Hal 131). Iman membebaskan karena memecahkan belenggu ketakutan dan kecurigaan. Dalam iman, manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah yang tak terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba terbatas, menyapa dan memanggilnya. Iman berarti jawaban atas panggilan Allah. Hanya iman yang sanggup menghantarkan orang mengenal dan merasakan kehadiran Allah dalam situasi penderitaan yang dialami sesame maupun dirinya sendiri. 3. Relevansi Penderitaan Ayub Bagi Penderitaan Kita Memaknai, dalam hal ini termasuk memaknai penderitaan, menurut fore, merupakan inti kehidupan manusia. Lebih lanjut bagi Fore, “Upaya mencari tahu makna adalah upaya mencari tahu Allah” (2000: 1). Maka berlandaskan pemikiran Fore tersebut, penulis akan menguraikan beberapa gambaran mengenai relevansi penderitaan Ayub bagi penderitaan kita, sehingga iman kita akan Allah semakin diteguhkan, terutama dalam situasi penderitaan hidup umat Kristiani zaman sekarang. a. Penderitaan, Dosa, dan Pertobatan Budi Kleden (2006: 93) menuliskan bagaimana Agustinus beranggapan bahwa penderitaan adalah sesuatu yang berada di luar rancangan Allah tentang sebuah dunia yang harmonis. Di dalam dunia yang diciptakan dapat saja terjadi hal-hal yang tidak direncanakan Allah dan tidak dikehendaki Allah. Namun sebagai pencipta, Allah memiliki kesanggupan untuk memulihkan penyimpangan itu dengan menjadikannya sarana pembelajaran, darinya manusia dapat semakin PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 89 mendalami rahasia ciptaan dan menekuni jalannya menuju Allah. Dan dia juga menekankan kesanggupan Allah untuk menggunakan keburukan yang diciptakan manusia menjadi sesuatu yang berguna. Artinya, meskipun Allah membiarkan kejahatan terjadi di dunia ini, itu bukan berarti Allah tidak peduli kepada manusia, hanya saja Allah menghendaki supaya manusia lebih menyadari dirinya sebagai makhluk ciptaan yang terbatas, dan dapat dengan sadar dan bebas mencintai Dia seperti Dia mencintai manusia. Sengsara dan penderitaan bisa menjadi “sarana yang dipakai Allah untuk mempertobatkan pendosa, sejauh orang tersebut melakukan kesalahan yang melanggar kehendak Allah” (Wim, 1995: 192). Bapa suci Paus Yohanes Paulus II memberikan pernyataan mengenai makna pertobatan yang dituangkannya di dalam seri dok. Gerejawi no. 29 (SD Art 11) sebagai berikut: “…Penderitaan harus berfungsi untuk pertobatan yaitu untuk membangun kembali kebaikan dalam subyek, yang dapat mengenal belas kasih ilahi dalam panggilan untuk bertobat tadi. Maksud pertobatan ialah untuk mengalahkan kejahatan , yang dalam berbagai bentuknya masih ada dalam diri manusia.”(hal 24) Melalui pertobatannya, manusia kembali menempatkann diri dalam keharmonisan ilahi. Pelanggaran dan dosa telah membawa manusia keluar dari keutuhan dengan diri sendiri, sesama dan Allah. Maka, pertobatan yang lahir dari pengalaman penderitaan, pada akhirnya memperbaiki lagi kehancuran tersebut. Pandangan ini sering digunakan untuk mengolah pengalaman penderitaan secara lebih bermakna. Rasa sakit dimaknai sebagai tanda peringatan bagi tubuh, dan berbagai kekurangan dapat menjadi pengalaman berharga dalam proses pendewasaan diri, serta kematian dilihat sebagai kemungkinan untuk menciptakan ruang bagi kehidupan (Budi Kleden, 2006: 97). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 90 Dari penjelasan di atas, tentu saja muncul pertanyaan lain: “Bagaimana dengan Ayub orang benar dan tidak berdosa tetapi menderita? b. Penderitaan, Pengharapan, Perjuangan Dan Pembebasan Melalui peristiwa penderitaan, orang dituntut untuk semakin menghayati kehadiran Allah dalam hidupnya, sehingga menjadikan ia teguh dalam iman. Dalam situasi yang sulit seperti apapun, orang beriman masih mempunyai pengharapan dan semangat juang dalam menghadapi situasi penderitaan. Seperti sama halnya yang dilakukan oleh Ayub, meski dalam keadaan penderitaan yang sangat dahsyat, Ayub masih menyimpan harapan yang sangat mendalam kepada Allah. Dia berharap bahwa Allah senantiasa mengasihi dia, memberi sedikit keringanan atas penderitaannya. Ayub juga menunjukan keteguhan imannya dalam pengharapan, meminta Allah untuk menjawab dia yang sedang dalam kesedihan atas situasi dirinya yang sangat sekarat. Dari uraian-uraian sebelumnya, kita dapat melihat hal yang menarik dari Ayub. Ini jelas tampak pada bagaimana usahanya untuk membuktikan bahwa dirinya benar. Di situ terlihat perjuangan Ayub di hadapan sahabat-sahabatnya. Ayub dituduh berdosa, serta dianjurkan supaya mengakui kesalahannya dan bertobat. Namun Ayub teguh pada keyakinannya, bahwa dia tidak bersalah. Hal itu menimbulkan perdebatan diantara mereka. Perdebatan itu adalah sehubungan dengan pandangan tradisional yang diyakini oleh sahabat-sahabat Ayub, dan keyakinan Ayub yang dengan jujur berkata apa adanya bahwa pendapat temantemanya itu tidak sesuai dengan apa yang sedang dia hadapi. Dalam diri Ayub muncul pertanyaan: “Kalau aku berbuat dosa, apakah yang telah aku lakukan terhadap Engkau, ya penjaga manusia? mengapa Engkau menjadikan aku sasaran- PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 91 Mu,…” (Ayb 7: 20). Ayub bahkan tidak tahu di mana letak kesalahannya, sehingga dia harus mengalami penderitaan. Menurut penulis, sikap Ayub dapat menjadi teladan bagi kita, supaya tidak menyerah atau pasrah ketika mengalami penderitaan. Sebaliknya, kita harus tetap berjuang, berpengharapkan, serta dapat membebaskan diri kita dari situasi penderitaan. Melalui perjuangan Ayub dihadapan sahabat-sahabatny ini, kita dapat memetik maknanya bahwa hal ini menghantarkan dan menyadarkan kita supaya ketika berhadapan dengan situasi yang sama, misalnya: tuduhan-tuduhan, penindasan terhadap kita, kita tidak hanya diam dan menyerah pada keadaan yang memojokan, tetapi sebaliknya kita harus berusaha, berjuang membebaskan diri dari situasi yang tidak menyenangkan itu. Dikarenakan si penderita tidak layak menderita, atau tidak layak menanggung penderitaan itu, berarti ada pihak lain yang bertanggungjawab, yakni si penindas. Dalam penderitaannya, si penderita harus berjuang membebaskan dirinya. Hal ini tampak dari usaha keras Ayub untuk meyakinkan sahabat-sahabatnya bahwa dia tidak bersalah. Hal inilah yang dapat penulis jadikan contoh konkret mengenai alasan mengapa si penderita tidak boleh tinggal diam dalam menghadapi penderitaannya, minimal si penderita dapat mencari makna dari peristiwa tersebut, supaya pengalaman penderitaan tetap memiliki nilai hidup. Usaha seperti itu dapat diselaraskan dengan pemikiran Marx yang mengusulkan adanya revolusi terhadap para kapitalis. Tentang hal ini juga dapat ditemukan dalam tulisan Magnis Suseno yang membahas tentang pemikiran Marx yang menunjukan siapa yang seharusnya memperjuangkan nasib kaum tertindas (1999: 81-86). Di sana dituliskan bahwa yang tertindaslah yang harus berjuang membebaskan dirinya sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Ayub dihadapan sahabat-sahabatnya. Dapat dimengerti bahwa PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 92 Ayub adalah tokoh inspiratif bagi perjuangan kita yang hidup di zaman sekarang, terutama sebagai kaum miskin, tertindas, dan menderita. Sesungguhnya penderitaan lebih bersifat afektif, artinya dapat mengundang simpati orang yang melihat penderitaan sesamanya. Untuk itu penderitaan mengundang solidaritas dan kerja sama dalam membebaskan situasi yang menimbulkan penderitaan itu. Dapat dikatakan, dalam memperjuangkan kebebasan dari penderitaan, orang tidak mungkin berjalan sendiri-sendiri. Ketika melihat saudaranya yang lain menderita, dia akan merasa simpati terhadap penderitaan sesamanya, dan akhirnya dia merasakan penderitaan itu juga, dan ini mendorong orang lain untuk bersikap simpati yang kemudian menimbulkan aksi. Aksi itu tidal lain adalah ikut ambil bagian dalam berjuang membebaskan si penderita dari penderitaannya. Manusia akhirnya harus berjuang untuk setia kepada Allah bukan hanya ketika sedang dalam keadaan yang menyenangkan, tetapi terutama dalam kemalangan. c. Penderitaan dan Penerimaan Diri Sebagai Makhluk yang Terbatas Dia yang takut akan Allah berkata: “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab, apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, dan tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan”(Ayb. 39: 37- 38). Sikap tobat ini Ayub tunjukan setelah dia mengalami pencerahan baru, yakni setelah Tuhan Allah sendiri dua kali menampakkan diri-Nya dalam teofani. Di sini Ayub menyadari eksistensi dirinya yang terbatas di hadapan Allah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 93 Kita yang hidup di zaman sekarang, diajak untuk memiliki keteguhan iman yang dalam seperti Ayub. dalam situasi yang sekarat Ayub masih percaya bahwa Allah penebusnya hidup. Ayub yakin bahwa Allahnya yang hidup akan menolong dia, membebaskan dia dari penderitaan yang sangat menyiksa dirinya. Mengutip dari karya Paulus dari Salib: “Barangsiapa bersabar terhadap kehendak Ilahi, dialah yang tersuci, karena penyerahan total kepada kehendak Ilahi mengandung cinta sempurna, amal kasih dan cinta kepada Allah terdapat segala keutamaan”. Buah dari kesabaran adalah pengharapan yang mampu menjadikan seseorang dapat menerima penderitaan yang menimpanya dengan penuh kerendahan hati tanpa mengabaikan imannya kepada kuasa Tuhan Allah sumber kasih dan kehidupan. Dengan begitu penderitaannya menjadi sedikit ringan. Manusia adalah makhluk yang terbatas dan tidak dapat terpisahkan dari permasalahan yang bersifat kompleks di dalam perjalanan hidup di dunia. Oleh karena itu, manusia perlu berserah diri kepada Allah secara total, serta dengan penuh kerendahan hati menerima penderitaan tersebut sebagai rahmat dari Allah sebagai kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus. Iman dapat menyelamatkan kita dari rasa berat dan siksa penderitaan yang menimpa. Maksudnya adalah jika kita mampu menerima penderitaan tersebut dan memaknainya sebagai suatu rahmat dari Allah guna untuk mendewasakan iman kita, alhasil penderitaan tersebut akan terasa ringan. Hal itu dikarenakan kita mengandalkan Allah dalam setiap perkara hidup kita. Di dalam iman ada kekuatan yang tiada tara, terutama dalam mengambil sikap yang tepat sesuai dengan keyakinan kita akan kebaikan Allah yang merupakan sumber kasih dan keselamatan sejati. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 94 Ternyata, jika kita dapat terbuka pada kebaikan Allah, kita mempunyai gagasan baru yang lebih hidup yaitu bahwa penderitaan bukanlah sebuah hambatan untuk hidup bahagia. Orang akan memperoleh kekuatan dalam menghadapi penderitaan. Oleh karena itu penderitaan hendaknya menjadi momen bagi manusia untuk menyadari kehadiran Allah dalam hidupnya. Akhirnya, penulis berpendapat bahwa untuk mendalami makna penderitaan Ayub bagi penderitaan kita, kita selalu berpijak pada iman. Mengapa, karena penderitaan Ayub hanya dapat dimaknai dengan iman. Untuk mengakhiri bab ini, penulis akan menegaskan bahwa usaha memaknai penderitaan manusia menurut pandangan iman kristiani, terutama belajar dari Kitab Ayub dan relevansinya bagi orang Kristiani zaman sekarang, sebagaimana menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini sudah selesai. Selanjutnya, bab berikut akan membahas aplikasi pemaknaan penderitaan yang telah di atas yakni mengenai Kitab Ayub, khususnya melalui katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP), yang digunakan sebagai tindak lanjut dari usaha pemaknaan atas penderitaan yang telah di bicarakan dari bab 1-3. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 95 BAB IV APLIKASI PEMAKNAAN PENDERITAAN DALAM KITAB AYUB DENGAN KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) Dalam Bab IV ini, penulis membagi pembicaraan menjadi tiga bagian yang meliputi: panggilan dan pergulatan orang beriman dalam menghadapi penderitaan, pokok-pokok gagasan berkatekese bagi orang Kristiani yang menderita di zaman sekarang, dan katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP). Bab ini merupakan tindak lanjut dari usaha pemaknaan atas penderitaan yang telah dibicarakan pada bab-bab sebelumnya. A. Panggilan dan Pergulatan orang beriman dalam menghadapi Penderitaan 1. Panggilan Manusia Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan cirinya yang khas (Michael Polanyi, 2001: 15). Ada dua maksud panggilan manusia, yakni panggilan sebagai sapaan dari Allah (gratio operans), dan panggilan sebagai jawaban manusia (gratia cooperans). Sapaan Allah datang kepada manusia melalui perjumpaannya dengan Allah. Allah sendiri yang mempunyai inisiatif untuk memanggil manusia (Mardi Prasetya. 1992: 14). Tanda-tanda sapaan Allah dapat direnungkan dari pribadi Kristus dan pewahyuan-Nya, ajaran-ajaran Kristus yang secara nyata sampai pada kita melalui wahyu Kitab Suci, ajaran Gereja, serta kesaksian-kesaksian hidup panggilan dalam keluarga, pergaulan dengan teman, dan pergaulan dengan umat sekitar tempat tinggal. Allah menyatakan diri kepada manusia melalui pertemuan pribadi. Dalam PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 96 pertemuan itu, Allah tidak memperkenalkan diri-Nya saja, tetapi juga memperlihatkan rencana keselamatan-Nya. Wahyu Allah bukan sekedar informasi, melainkan cara Allah berkomunikasi dengan manusia. Ini merupakan cara Allah mengundang partisipasi manusia untuk ambil bagian dalam rencana penyelamatan Allah. Manusia diajak bertemu dengan Allah dan hidup dalam kesatuan denganNya (KWI, 1996: 124). Pada akhir zaman Allah akan menghapus segala air mata: maut tidak akan ada lagi; perkabungan, ratap tangis dan dukacita akan berlalu.’; (Why 21: 4). Allah terus-menerus mewahyukan diri di dalam Gereja, komunitas, dan orang-orang beriman: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18: 20). Kutipan injil itu mau menunjukkan kepada kita bahwa Allah hadir melalui orang-orang yang ada di sekitar kita. Ketika kita dirundung masalah entah itu berat atau ringan, Allah senantiasa membantu kita menghadapinya. Bagaimana cara Allah membantu kita? Tentu saja melalui saudara-saudari yang ada di sekitar kita. Perlu kita sadari bahwa “pola hidup yang ditawarkan oleh injil adalah suatu usaha untuk mengartikan hidup ini” (Setyakarjana, 1997: 11). Untuk menjawab sapaan Allah, kita perlu mendengarkan dan terbuka terhadap sapaan cinta Allah yang hadir melalui banyak cara. Dengan bersikap terbuka, kita mampu melihat dan mengalami betapa Allah mencintai manusia, dan menjadikan hidup manusia lantas lebih berarti, meski dalam situasi menderita sekalipun. Melalui keterbukaan atas sapaan Allah, manusia semakin memahami bahwa dengan beriman kepada Allah, dia dapat menemukan makna dari pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidupnya (Setyakarjana, 1997: 11). . Allah hadir lewat orang-orang yang miskin dan menderita. Mengapa? Karena Allah sendiri adalah Allah yang menderita dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 97 (Robini, 1998: 15). Secara manusiawi dapat dikatakan bahwa Sang Pencipta sejak semula ikut ‘bersedih’ atas penderitaan yang tidak dapat dihindari-Nya. Tentu saja ‘kesedihan illahi’ itu tidak sama seperti kesedihan manusia. Maka dalam arti tertentu terdapat suatu solidaritas menderita antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya. Solidaritas ini memuncak dalam pengorbanan nyawa yang diterima Yesus Kristus secara sukarela demi manusia yang dikasihi, dan itu bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala penderitaan (Heuken, 2005: 169). Pengalaman pribadi mengenai hubungan kita dengan Allah dapat melalui banyak hal, salah satunya dari refleksi atas pengalaman hidup (Mardi Prasetya. 1992: 14). Manusia dianugerahi rahmat untuk bekerjasama menjawab sapaan Allah, dan ini jelas dalam disposisi manusia secara maksimal diarahkan untuk mencari kehendak Allah. Hasil akhir dari usaha mencari Allah adalah penyerahan diri secara total kepada Allah, dengan melakukan kehendak-Nya yang penuh kasih (Merino, 1989: 7). Disposisi tersebut berupa kebebasan manusia sebagai ciptaan yang secitra dengan-Nya, dengan kebebasan tersebut manusia dapat secara aktif memilih dan bekerjasama dengan Allah atau bahkan menolak Allah. Bekerjasama dengan Allah berarti manusia ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan-Nya. Caranya adalah bersikap terbuka pada sesama, dan sanggup mewujudkan cinta kasih di tengah dunia. Manusia memiliki kemampuan-kemampuan berupa; kemampuan psiko-fisik, kemampuan psiko-sosial, dan kemampuan spiritualitas-rasional. Kemampuankemampuan itu berkaitan dengan taraf kedewasaan pribadi manusia yang akan menentukan kualitas jawabannya terhadap Allah. Hal ini disebabkan adanya pengaruh disposisi intelektual, afektif, dan volutif. Orang dapat beriman dan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 98 mengetahui banyak tentang iman, tetapi tidak tergerak untuk mencintai hal yang diketahuinya, itu tidak ada artinya. Ini disebabkan oleh disposisi afektifnya tidak dewasa, dan sebagainya; lebih-lebih bila integritas diri atau keutuhan pribadi tidak tercapai dalam pertumbuhan hidupnya maka hal ini akan sangat menentukan mutu jawaban. Selain itu, disposisi manusia menyangkut pada tindakan hidup seharihari, di mana seseorang mampu mewujudkan kesaksian hidup iman, bekerja secara efektif terlibat dalam tugas Gereja membangun Kerajaan Allah di tengah dunia (Mardi Prasetya, 1992: 15). Dalam sejarah hidup manusia, baik secara profan maupun yang berdimensi sejarah keselamatan, terjadi dialektika antara kecenderungan manusia yang didorong oleh rahmat dan kecenderungan kepada dosa; sebuah medan hidup yang terbentang antara kuasa Iblis dan Kuasa Allah. Uraian di atas cukup memperlihatkan kepada kita bahwa manusia selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihan dalam hidup. Suka atau tidak suka, manusia memang harus menentukan pilihan, jalan mana yang harus di tempuh. Mengikuti kuasa setan atau kuasa Allah? Sebagai anggota Gereja, apa yang harus dilakukan umat beriman dalam menanggapi panggilan hidupnya terutama ketika berhadapan dengan penderitaan, bagaimana umat beriman menyikapi hal tersebut? a. Manusia sebagai Pribadi Manusia adalah pribadi. Setiap pribadi unik dan dipanggil Allah menuju kesucian sebagai murid Yesus (Yes 14: 4). Manusia sebagai pribadi, dipanggil Allah untuk ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan. Secara personal, manusia dicintai oleh Allah dan dipanggil untuk membangun relasi dengan Allah (Banawiratma, 1994: 140). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 99 Panggilan menjadi murid Yesus Kristus menyangkut seluruh pribadi. Iman menjiwai seluruh aspek kemanusiaannya. Panggilan itu tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga berciri kebersamaan atau komunitas. Semua pengikut Kristus disatukan dalam Tubuh Mistik Kristus, yakni dalam Gereja-Nya (Rukiyanto, 2012: 77). b. Manusia Mencari Allah Paulus dari Salib menggambarkan Allah sebagai seorang Bapa yang mengulurkan tangan-Nya bagi manusia. Dalam peziarahan hidup ini manusia mencari-cari Allah. Di mana Allah ketika gunung Merapi meletus dan menewaskan banyak orang? Di mana Allah ketika Ayub menderita? Apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi permasalahan hidup ini? Pertanyaan ini sangat sering diucapkan manusia yang mencari Allah. “Manusia mencari Allah dan Allah mencari manusia”, manusia ibaratkan anak yang hilang dan Allah adalah Bapa yang penuh belaskasih (Luk 15: 11-32). Seorang anak sering melakukan kesalahan, tidak patuh, dan sering mengecewakan orang tua, tetapi “orang tua tidak meninggalkan anaknya, sahabat tidak mengkhianati sahabatnya, dan Allah itu Bapaku sekaligus sahabatku” (Carretto, 1989: 23). Manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan Allah dan manusia seperti “Ibu dan anak”, kerinduan manusia akan Allah sudah terukir dalam hati manusia (KGK, 2007: 19). Hanya dalam Allah manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang dicari secara terusmenerus: “Martabat paling luhur manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah…” (KGK, 2007: 19). Sejak dahulu, manusia PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 100 berusaha menemukan Allah dengan cara pandang iman dan pola hidup rohani seperti berdoa, kurban, upacara dan meditasi. c. Manusia Mencintai Allah dan Mencintai Sesama Kebebasan adalah ciri manusia yang membuatnya melampaui makhluk ciptaan lain. Kebebasan ini terungkap di dalam kesanggupan berpikir maupun dalam kemampuan berkehendak. Untuk menjamin kebebasan itu, dibutuhkan kemahakuasaan Allah (Budi Kleden, 1998: 247). Kemahakuasaan Allah sangat dibutuhkan, karena tanpa kekuasaan Allah kekuasaan manusia menjadi absolute dan tidak ada batasnya, dan orang yang tidak punya kuasa akan semakin menderita (Budi Kleden, 1998: 249). Dalam tindakan kasih kepada sesama, kasih kepada Allah menjadi nyata (lih Mat 22: 37-39). Allah mengharapkan manusia dengan kehendak bebas yang Dia berikan, manusia dapat secara bebas dan sadar saling mengasihi satu sama lain, saling meneguhkan dalam setiap perkara hidup. Inilah salah satu panggilan manusia, dan cara manusia menjawab panggilan Allah yakni dapat mencinta Allah dan mencintai sesama. Mencintai sesama berarti juga mencintai Allah. Perlu diketahui bahwa kasih kepada sesama bukan hanya sebatas relasi yang baik antara satu sama lain, melainkan lebih dari itu yakni melalui pengalaman pribadi hidupnya yang penuh misteri, manusia dapat menyadari keterbatasan dan kelemahannya sendiri. Dalam kasih manusia mau menerima kenyataan itu juga di dalam diri sesama (KWI, 1996: 191). 2. Pergulatan Orang Beriman dalam Penderitaan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, manusia adalah ciptaan Allah yang secitra dengan-Nya. Karena itu manusia diberi anugerah kebebasan dan akal PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 101 budi untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk pengalaman penderitaan, itu adalah hasil dari pilihan bebas manusia sendiri. Dari kebebasan manusia timbul kejahatan. Dalam gambaran yang mengesankan, Perjanjian Lama memperlihatkan sumber kejahatan dan kesengsaraan (Dreher,1973: 36). Ini adalah lukisan tentang jatuhnya manusia dalam dosa. Masih ingat tentang dosa asal? Manusia pertama menolak hakikat dirinya sebagai ciptaan. Hakikat dari ciptaan adalah terbatas dan tergantung pada Sang Penciptanya. Namun manusia tidak menerima hakikat dirinya sebagai ciptaan. Dengan bebas ia memutuskan untuk melanggar dan merusak batas-batas yang telah ditetapkan oleh Sang Penciptanya; “Perempuan itu melihat…lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya” (Kej 3: 6). Inilah awal dari dosa asal manusia. Manusia tergiur oleh hawa nafsunya sendiri dan tidak peduli dengan aturan yang ditentukan oleh Sang Penciptanya. Kesalahan manusia pertama adalah menyalahgunakan kebebasan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Dengan sadar dan bebas, manusia melepaskan diri dari rangkulan Allah. Ini terjadi karena manusia ingin seperti Allah ketergantungannya kepada Allah, dan tidak menerima keterbatasan dan ini adalah unsur terdalam dari dosa asal manusia yang berasal dari pilihan bebas manusia pertama (Stanislaus, 2008: 26). Penjelasan tadi menunjukkan adanya ketegangan antara kedosaan dan pertobatan untuk tetap memilih Allah, serta ketegangan antara usaha mencari kehendak Allah dan kehendaknya sendiri. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, bahwa ada dialektika antara kecenderungan manusia yang didorong oleh rahmat dan kecenderungan kepada dosa (Mardi Prasetya, 1992: 15). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 102 Realitas hidup yang terjadi pada dunia dewasa ini, orang beriman sering mengalami kesulitan dalam mengikuti suara hati. Padahal suara hati adalah bisikan dari Allah sendiri. Secara tradisional, suara hati dipahami dalam pengertian psikologis, yaitu “kesadaran”, dan dalam pengertian moral, yaitu kesadaran tentang yang benar dan yang salah” (Billy dan Keating., 2009: 21). Manusia memiliki keterbatasan pengetahuan untuk memahami maksud Allah. Dalam hidupnya sehari-hari, orang beriman selalu berhadapan dengan berbagai masalah yang bervariasi, dan cara menyikapinya juga bervariasi. Seringkali terjadi konflik dalam hidup bersama yang terkadang berciri patologi, emosional, moral, rohani dan eksistensial. Semua itu menunjukkan kelemahan kodrat manusia yang cenderung berpihak pada dosa (Mardi Prasetya, 1992: 16). Allah telah menciptakan dunia baik adanya (Kej 1-2), dan Allah menciptakan manusia secitra dengan-Nya (Kej 2: 7). Orang beriman percaya bahwa Allah adalah Mahabaik. Segala yang direncanakan Allah adalah baik. Segala yang berasal dari Allah itu baik. Bagaimana mungkin Allah membiarkan manusia menderita? Allah tidak pernah merencanakan hal yang jahat untuk menimpa manusia, karena Allah Mahacinta. Cinta Allah terbukti melalui anugerah kebebasan dan kesadaran yang diberikan kepada manusia sebagai ciptaan yang secitra dengan-Nya. Allah tidak pernah berpikir untuk merenggut kebahagiaan manusia, justru sebaliknya. Allah ingin manusia terbebas dari penderitaan akibat dosa. Cinta kasih Allah yang luar biasa juga terbukti ketika Allah mengirimkan putra-Nya yang tunggal di tengah hidup manusia, untuk menyampaikan kabar gembira Kerajaan Allah dan akhirnya sengsara dan wafat untuk menebus dosa umat manusia. Jadi, sungguh bukan hal yang benar jika mengatakan penderitaan semata-mata berasal dari Allah dan merupakan hukuman atas dosa manusia. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 103 Yesus menolak penderitaan sebagai hukuman atas dosa orang yang menderita (Luk 13;2). Bila Kerajaan Allah sudah sampai pada kemuliaannya, semua penderitaan terhapuskan. Yesus menyerahkan diri ke dalam tangan orang jahat untuk menderita dan wafat di kayu Salib sebagai bukti ketaatan-Nya sampai mati. Dengan demikian Yesus sebagai manusia sempurna mengalahkan segala bentuk penolakan/ pemberontahan terhadap Allah dan mendamaikan dunia ciptaan dengan Sang Pencipta. Manusia ditebus dari dosa, pangkal dari segala deritanya. Umat Kristen perdana memandang penderitaan sebagai rahmat untuk ikut ambil bagian dalam penderitaan Yesus Kristus dan dalam kemuliaan-Nya (Heuken, 2005: 168). Setelah melihat bagaimana pergulatan orang beriman dalam menghadapi penderitaan, akhirnya kita terdorong untuk menyikapinya secara tepat. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari iman. Berikut akan dijelaskan bagaimana seharusnya kita sebagai orang Kristiani mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi penderitaan hidup. a. Kesadaran Untuk Beriman dan Terlibat Dalam Memperjuangkan Martabat Manusia yang Menderita Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, manusia itu lemah, diciptakan memiliki keterbatasan dan ketergantungan pada Allah Sang Pencipta (Stanislaus, 2008: 26). Namun manusia adalah makhluk kesayangan Allah yang paling berbahagia karena diberi anugerah akal budi dan suara hati. Dengan akal budi dan suara hatinya, manusia mempunyai kesadaran untuk menentukan pilihan dalam hidup, termasuk kesadaran untuk beriman. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 104 Umat Kristiani dipanggil untuk beriman. Panggilan ini menumbuhkan sikap hati yang pasrah, aktif, setia, tekun, mencintai Allah dan sesama, bertanggungjawab walau mengalami kesulitan, dan hidupnya berpusat pada Kristus (Mardi Prasetya, 1992: 17). Allah menghendaki manusia untuk saling mengasihi, dan ikut terlibat dalam memperjuangkan dan membebaskan sesamanya KLMTD (kaum, miskin, tersingkir, lemah, dan difabel) dari ketidakadilan dan kejahatan-kejahatan dunia. Jika kita mencintai Allah, kita juga harus mencintai sesama manusia. Mencintai Allah dapat kita wujudkan dengan cinta kepada sesama misalnya; berupa perhatian, sikap murah hati, dst. Dalam injil Matius Allah berfirman “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25: 40) (Egan, 2001: 7). Allah menggambarkan dirinya sebagai orang yang paling hina. Jadi, menurut penulis bahwa perbuatan baik atau buruk yang kita lakukan di dunia ini, terutama kepada saudara kita KLMTD (Kaum lemah, miskin, tersingkir, dan difabel) merupakan perbuatan yang kita lakukan langsung menyentuh hati Allah. Hal ini juga sesuai dengan maksud dari ARDAS KAS 2011. Selain memiliki kesadaran untuk beriman, kita juga hendaknya memiliki sikap berani bersyukur dalam pengalaman penderitaan. Hal ini merupakan sikap yang juga tidak dapat dilakukan tanpa iman. Dengan iman yang teguh kepada Allah, kita dapat menghadapi penderitaan seberat apapun. Berikut penulis akan memaparkan bagaimana orang beriman berani bersyukur dalam pengalaman penderitaannya. Berani bersyukur adalah sikap yang mencerminkan kesetiaan seseorang pada Allah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 105 b. Berani Bersyukur dalam Pengalaman Penderitaan: Kesetiaan Orang Beriman Bagi orang beriman, penderitaan karena dosanya adalah konsekuensi. Konsekuensi ini tidak semata-mata untuk menjadi penyesalan, namun sebaliknya, sebagaimana dikatakan Yesus Kristus dalam “sabda bahagia di bukit”, penderitaan itu patut disyukuri. Berikut sabda-Nya: Berbahagialah orang yang dianiaya sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu (Mat 5: 10-12; bdk. Luk 6: 20-23). Selain dari perkataan Yesus dalam injil tersebut, kita juga dapat menemukan pesan yang serupa dari Petrus dalam suratnya; “13 …, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya. 14Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu. 15Janganlah ada diantara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau. 16 Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu” (1 Pet 4: 13-16). Menyadari hal itu, penderitaan karena iman bukanlah sesuatu yang sia-sia, dan menjadi penyesalan melainkan suatu sarana yang dapat semakin mendekatkan manusia dengan Sang Penciptanya. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk percaya bahwa penderitaan memiliki nilai dan makna. Yesus sendiri adalah alasan yang nyata bagi orang beriman untuk mengharapkan kebahagiaan, seperti janji Kristus. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 106 B. Pokok-Pokok Gagasan Berkatekese bagi Orang Kristiani yang Menderita Di Zaman Sekarang Pada bagian ini, penulis akan memaparkan gagasan-gagasan dan sikap yang diperlukan bagi katekis, serta gagasan-gagasan dan sikap yang perlu ditumbuhkan dalam diri peserta katekese. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan inspirasi kepada katekis supaya dapat menjalani proses katekese dengan baik, terarah dan dapat menjawab kebutuhan peserta katekese. Selain itu, katekis juga dapat menumbuhkan sikap iman yang tepat bagi para peserta, sehingga para peserta dapat menyadari dirinya sebagai anggota Gereja yang memiliki tugas dan juga kewajiban, misalnya: ikut terlibat dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia, setiakawan ikut mengatasi atau menghadapi penderitaan sesame. 1. Gagasan dan Sikap yang Diperlukan bagi Katekis a. Memahami Pengalaman Penderitaan Peserta Penderitaan dapat menjadi sarana yang dipakai Allah untuk membuat manusia lebih dekat dan lebih mengenal Dia. Arus globalisasi saat ini semakin menyeret banyak orang terperosok ke dalam berbagai macam godaan yang menghantarkan manusia kepada kesengsaraan. Manusia adalah makhluk lemah yang mudah tergoda untuk jatuh dalam dosa. Namun, tidak jarang orang tidak menyadari kesalahan yang dilakukan, bahkan ada yang menyalahkan Allah, menantang Tuhan “kalau memang Tuhan sayang padaku, aku ingin Tuhan memperlihatkan mujizatnya kepadaku saat ini juga”, ada juga yang menanyakan keberadaan Tuhan “di mana Tuhan, saat bahaya menimpaku?”. inilah sisi dari kelemahan dan keterbatasan manusia. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 107 Banyak sekali permasalahan yang terjadi dalam hidup manusia, dan penderitaan itu memang tidak dapat lepas dari peradaban hidup manusia. Ada penderitaan yang terjadi akibat orang lain, demi orang lain, karena diri sendiri, penyakit menular dan bencana alam. Tidak hanya manusia yang menderita, Allah juga menderita. Penderitaan Allah tampak jelas pada saat anak-Nya yang tunggal yakni Yesus Kristus wafat di kayu salib . Namun, penderitaan Allah ini memiliki Tujuan untuk membebaskan umat manusia dari dosa. hal ini merupakan bentuk cinta-Nya kepada kita manusia. Kasih Allah [Bapa] kepada manusia [anak-Nya] tidak pernah berkesudahan. Allah tidak akan membiarkan anak-anak-Nya mengalami penderitaan yang tidak berarti, artinya walaupun seseorang menderita, ada makna yang tersirat dibalik penderitaannya itu terutama demi kedewasaan umat beriman, bagaimana mereka dapat melihat penderitaan tersebut sebagai rahmat dari Allah. Menyambut rahmat Allah dapat membebaskan kita dengan dorongan kuat untuk mendewasakan diri dari beban berat yang ditimbulkan oleh penderitaan (Van Breemen, 2000) b. Memahami Tugas Gereja dalam Menanggapi Penderitaan Manusia Gereja mempunyai tugas penting dalam menanggapi penderitaan yang terjadi di dunia. Untuk memahami sikap Gereja terhadap penderitaan dan mereka yang menderita, perlu dilihat dalam konteks asal usul Gereja sebagai seluruh peristiwa hidup Yesus: keprihatinan-Nya terutama berkaitan dengan Kerajaan Allah, kesadaran-Nya tentang peranan-Nya sendiri dalam perwujudan Kerajaan Allah, tindakan-tindakan-Nya, relasi-relasi-Nya dengan orang –orang pada jamannya, permasalahan yang dialaminya, dan akhirnya sampai pada apa yang disaksikan oleh para murid-Nya tentang kebangkitan-Nya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 108 Di dalam peristiwa Paskah, Yesus adalah realisasi dari Kerajaan Allah itu sendiri. Tuhan Yesus telah memulai Gereja-Nya dengan mewartakan Kabar Gembira yaitu tentang Kerajaan Allah. Peristiwa paskah melahirkan Gereja sebagai umat Allah dalam Kristus yang merupakan peristiwa dari penyerahan total Kristus (Wibowo Ardhi, 1993: 3). Kerajaan Allah adalah suasana atau lingkup di mana Allah secara efektif menjadi yang paling menentukan hidup manusia dalam relasinya dengan sesamanya maupun dalam hidupnya sendiri. Kerajaan Allah mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri, sesama, dan Allah. Bagi Yesus, Kerajaan Allah adalah hal yang sangat penting dalam dunia. Yesus sendiri prihatin melihat situasi penindasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan bentuk kejahatankejahatan lainnya yang dialami oleh umat manusia. Penderitaan yang terjadi pada manusia bukan karena Allah, tetapi karena sikap manusia yang terlalu keras, egois, dan serakah. kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia menimbulkan keprihatinan bagi Allah, sehingga dengan kemahakuasaan-Nya, Allah mengutus putera-Nya Yesus Kristus untuk lahir ke dunia, menjelma sebagai manusia, dan menyelamatkan manusia melalui pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Yesus sendiri mempunyai pikiran bahwa dunia ini akan damai jika Allah meraja dalam hati seluruh umat manusia (Wibowo Ardhi, 1993: 3). 2. Gagasan dan Sikap yang Perlu Ditumbuhkan dalam Diri Peserta a. Menyadari Diri sebagai Makhluk yang Terbatas dan Dapat Melihat Wajah Allah Pada Pengalaman Penderitaan Dalam upaya memahami arti dari penderitaan, maka dituntut suatu pemahaman manusia yang jernih mengenai hidup dan mengenai Allah. Karena PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 109 berhadapan dengan realitas kehidupan, sangat erat hubungannya dengan pertanyaan mengenai arti, maksud, dan tujuan hidup ini. Dalam dunia ini, manusia mempertanyakan apa arti, maksud dan tujuan hidupnya. Di satu sisi, manusia mempunyai keinginginan akan: kesenangan, kebahagiaan, dan akan sesuatu yang lain. Namun disisi lain, manusia memiliki keterbatasan. Seandainya “ada sesuatu yang dicari”, apakah itu? Siapakah itu? Hidup bukan sesuatu yang dipahami, tetapi harus dijalani. Manusia lahir ke dunia, dari masa kanak-kanak menjadi tumbuh besar dan belajar. Dalam usaha mencapai keberhasilan, tidak jarang manusia mengalami kegagalan. Akhirnya, manusia menyadari dirinya sebagai makhluk yang terbatas dan lemah: terancam dapat mengalami sakit, menderita dan berujung kematian. Hidup adalah realitas yang perlu dijalani, tidaknya direnungkan saja. Penderitaan dan kebahagiaan merupakan bagian dari kehidupan manusia. oleh karena hal itu, manusia harus memiliki sikap yang tepat dalam menghadapinya. Apakah penderitaan manusia merupakan akhir dari segalanya? Tentu saja tidak, Allah tidak pernah menghendaki manusia menyerah pada penderitaan. Manusia yang menderita harus menyadari bahwa ada tujuan yang lain yang menjadi tujuan hidupnya, tentu saja hal itu adalah sesuatu yang lebih bermakna. Hidup di dunia ini dapat menjadi lahan bagi manusia untuk lebih mengenal dirinya, sesama dan Allah lewat penderitaan, kebahagiaan, kesuksesan, kegagalan, dst. Makna hidup, perlu dicari dari pengalaman-pengalaman hidup. b. Menerima Penderitaan sebagai Kenyataan Hidup Kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai macam penderitaan. Kalau realitas penderitaan senantiasa mengiringi kehidupan manusia, maka pertanyaan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 110 yang mendasar adalah bagaimana sebaiknya sikap manusia terhadap realitas penderitaan? Menyerah atau menerima saja kenyataan yang tidak dapat dihindari? Atau bahkan mengajukan protes, memberontak atau menggugat hal tersebut? Pada hakikatnya, pengalaman penderitaan itu tampak begitu kejam sehingga sukar untuk diterima, terlebih jika penderitaan yang menimpa orang itu kurang adil dan tidak pada tempatnya, apalagi jika tidak dapat dipahami secara rasional. Berhadapan dengan realitas penderitaan, manusia cenderung melakukan perlawanan terhadap penderitaan. Mengutip ucapan Bapa Suci Yohanes Paulus II mengenai hal berhadapan dengan penderitaan: “…’penderitaan agaknya secara khusus bersifat hakiki bagi kodrat manusia…,justru karena hal itu, menampakkan dengan caranya sendiri mengatasinya… “ (SD art 2). Penulis menangapi maksud pernyataan itu; setiap penderitaan manusia dapat diatasi dengan caranya sendiri, karena di dunia ini tidak ada masalah tanpa solusi, semua tergantung pada pribadi, sanggup atau tidak menerima segala konsekuensi yang akan terjadi sesudahnya. Suatu ketika orang akan sampai pada pertanyaan yang berkaitan dengan arti dan makna hidup manusia. Pertanyaan tentang hidup manusia dengan segala permasalahannya yang kompleks sebagai realitas dari peristiwa hidup. Berhadapan dengan realitas penderitaan, manusia cenderung melakukan perlawanan terhadap penderitaan. Namun ternyata kesusahan menciptakan pemberontakan. Manusia tidak menghendaki pengalaman menderita, kalau saja bisa dilakukan, manusia akan membuang itu jauh-jauh. Tetapi, itu adalah tindakan yang sia-sia. Manusia berhadapan dengan kegagalan, kekosongan dan frustasi. Sikap yang tepat adalah menyadari diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keterbatasan, menyerahkan diri secara penuh kepada kehendak Tuhan (Tuhan yang mengatur, Tuhan yang memberi dan Tuhanlah yang mengambil), PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 111 artinya menerima bahwa apapun yang terjadi kepada manusia (pengalaman menyenangkan atau menyedihkan) adalah kehendak Tuhan. Sikap lain yang dapat dilakukan adalah menerima bahwa penderitaan merupakan bagian dari hidup manusia. Dalam hal ini perlawanan tetap mengambil peran dalam proses penyerahan, tetapi dalam artian perlawanan itu dapat membebaskan dan menyelamatkan oleh iman manusia akan Allah. c. Menyadari Diri sebagai Anggota Gereja 1) Ikut Memperjuangkan Hak-Hak Asasi Manusia Bagi orang beriman kristiani, memperjuangkan hak-hak asasi manusia adalah salah satu panggilan sebagai anggota Gereja di mana Yesus Kristus sebagai kepalanya. Semakin bersatu dengan Kristus dan semakin serupa dengan-Nya berarti semakin masuk dalam kepedulian-Nya, yakni Kerajaan Allah. Tugas pokok Yesus Kristus adalah memperjuangkan Kerajaan Allah, kuasa, dan tindakan Allah yang menyelamatkan manusia agar manusia semakin utuh dalam iman yang kemudian dapat membawa manusia pada jalan kebenaran (Banawiratma, 1994: 141). 2) Setiakawan Melawan Penderitaan Sesama Konsekuensi iman sebagai pengikut Kristus adalah berusaha mewujudkan imannya dalam tindakan nyata. Salah satu wadah perwujudan iman adalah rela dan setiakawan terhadap mereka yang menderita. Setiakawan berarti ikut masuk dalam situasi si penderita, serta ikut berjuang melawan penderitaan sehingga saudara/I kita yang menderita dapat memperoleh kebebasan untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 112 Berpola pada pengertian Gereja sebagai “umat Allah”, kita berasal dari Allah, umat kesayangan Allah yang mempunyai tujuan serta fungsi melayani rencana penyelamatan Allah di dunia ini. Rencana Allah adalah “ingin membawa manusia hidup seperti Bapa mencintai Putra, dan Putra mencintai Bapa (1 Yoh 1: 1-4). Demikian pula Allah merangkul semua manusia tanpa kecuali. Namun kenyataan yang terjadi adalah perpecahan antara kaum miskin dan kaya, yang bahagia dan menderita. Realitas hidup manusia di zaman sekarang, membuktikan bahwa terdapat pengkotak-kotakan, pengelompokan-pengelompokan, dan kelas-kelas yang diciptakan oleh masyarakat. Ada manusia yang diberi nama: tuna susila atau pelacur, gelandangan, golongan A, B, C. Ada yang disebut penderita kusta, narapidana, dst. Kelompok-kelompok manusia ini, sering di pandang sebagai orang yang kurang baik, dihina dan disingkirkan dari pergaulan manusia biasa, yang merasa diri lebih suci atau saleh. Berhadapan dengan situasi tersebut di atas, setiap orang yang telah ditebus dari penderitaan, harus ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus dalam diri saudara-saudara yang menderita, karena Kristus hadir dalam penderitaan mereka (SD art 19). Sesungguhnya ajakan setiakawan dengan mereka yang menderita, juga merupakan tuntutan injil: dan Raja itu akan menjawab mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Mat 25: 40). Terhadap mereka yang tidak melaksanakannya, Tuhan akan menjawab mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Mat 25: 45). Dalam kutipan injil tersebut, sangat jelas bahwa PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 113 Yesus hadir dalam penderitaan orang-orang yang hina, miskin dan tertindas. Mereka ini memanggil untuk diperhatikan. Tindak lanjut dari pemahaman akan ajakan Gereja dan Injil tersebut di atas adalah setiap orang harus aktif menolong orang yang menderita dalam tindakan konkret. C. Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) Sebagai Alternative dalam Menanggapi Penderitaan Orang Kristiani Bagian ini berisi penjelasan mengenai katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) yang merupakan usaha penulis untuk memperjelas tindaklanjut dari pemaknaan penderitaan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. 1. Gambaran Katekese secara Umum Dalam seluruh perutusan Gereja, penyelenggaraan katekese selalu dipandang sebagai salah satu tugas utama. Hal ini bertujuan untuk membantu umat dalam mengembangkan iman akan Yesus sesabagai Putera Allah. Kepercayaan itu membuat umat hidup dalam nama-Nya (Yoh 20: 31). Sesudah Yesus bangkit, dan sebelum Dia naik menghadap Bapa-Nya, Ia menyampaikan pesan kepada para Rasul perihal perintah-Nya yang terakhir. Perintah tersebut tercatat di dalam injil Matius 28: 19-20, begini bunyinya: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (CT art 1 hal 9). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 114 Tuhan Yesus mengutus para Rasul untuk dengan berwibawa menjelaskan apa yang telah diajarkan-Nya kepada mereka, dan Dia mencurahkan Roh kepada mereka untuk menjalankan misi tersebut. Tidak lama kemudian, istilah “katekese” digunakan untuk merangkum seluruh usaha Gereja memperoleh murid-murid, untuk membantu umat mengimani bahwa Yesus adalah Putera Allah yang tunggal dan kudus, sehingga dengan beriman umat manusia beroleh kehidupan di dalam nama-Nya, dan untuk membina serta mendidik mereka dalam perihal hidup, dan dengan demikian Tubuh Kristus terbentuk (CT Art 1). Melalui katekese Gereja mengembangkan diri serta mengaktualisasikan panggilan dan perutusannya yaitu dengan cara membina, mendidik, dan mengajarkan kepada seluruh umat beriman mengenai misteri Yesus Kristus. Sebagai pembinaan iman, katekese bertujuan membantu umat beriman kristiani untuk menghayati dan mewujudkan imannya di dalam hidup konkret, iman yang dewasa, aktif, dan misioner. Oleh karena itu, katekese berusaha menolong setiap umat beriman kristiani untuk saling bertukar pengalaman iman atau komunikasi iman. Pengalaman yang dikomunikasikan ialah iman Gereja Perdana (Kitab Suci), iman Gereja sepanjang masa (tradisi), serta iman pribadi dan kelompok (Huber, 1979: 10). Dengan begitu, katekese membantu semua umat kristiani untuk memperoleh keselamatan yang berasal dari Yesus Kristus. Sebagai anggota Gereja, kita juga diajak untuk ambil bagian dalam mewartakan kabar baik kepada sesama manusia, dengan bersaksi atas pengalaman iman yang kita alami dalam hidup sehari-hari. Sebagai umat Kristiani kita juga terpanggil untuk dapat membantu saudara-saudar kita yang mengalami kesulitan; krisis iman, krisis kasih, dan yang sedang mengalami pergulatan iman dalam menyikapi permasalahan hidupnya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 115 a. Pengertian Katekese secara Umum Kata katekese berasal dari kata Yunani catechein (kt. Kerja) dan catechesis (kt. Benda). Akar katanya adalah kat dan echo. Kat artinya keluar, ke arah luas dan echo artinya gema/gaung. Berarti makna profan dari katekese adalah suatu gema yang diperdengarkan/disampaikan kepada umat manusia. Gema dapat terjadi jika ada suara yang penuh dengan keyakinan dan gema tidak pernah berhenti pada satu arah, maka katekese juga harus dilakukan dengan penuh keyakinan dan tidak pernah berhenti pada satu arah. Dalam Kitab Suci, katekese dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman, dan pendidikan iman supaya orang semakin dewasa dalam iman (lih. Luk. 1: 4; Kis. 18: 25; Kis. 21: 21; Rom. 2: 18; I Kor. 14: 19; dan Gal. 6: 6). Segala usaha pewartaan injil dan penyampaiaan ajaran Gereja berkaitan dengan Kerajaan Allah di dunia disebut katekese (Rukiyanto, 2012: 59). Seluruh Katekese bersifat kristosentris) artinya menempatkan Yesus Kristus sebagai pusatnya. Itu berarti jantung hati katekese adalah Yesus Kristus. Di dalam katekese secara sungguh-sungguh katekis dan seluruh umat secara bersama mendalami misteri hidup dan cinta kasihNya. Kita ingin lebih mengenali pribadiNya dan menjalin hubungan yang mendalam denganNya (CT,5-6. b. Isi Katekese Isi katekese adalah seluruh pengalaman hidup Yesus Kristus termasuk ajaran-Nya. Pelaku katekese tidak menyampaikan ajarannya sendiri, tetapi kebenaran dan ajaran Kristus (CT 5-6; PUK 97). Artinya katekese harus bersifat Kristosentris atau berpusat pada pribadi Kristus. Dalam katekese perlu ditekankan bahwa Kristus adalah lilin, cahaya bagi hidup manusia\serta jawaban atas persoalan-persoalan hidup manusia. Jadi, dalam katekese, pelaku katekese wajib PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 116 memberikan penjelasan secara lengkap tentang peristiwa Yesus Kristus, anugerah keselamatan yang dibawa-Nya, serta penebusan dosa bagi umat manusia. (Rukiyanto, 2012: 61). Isi katekese pada hakikatnya adalah kabar gembira tentang keselamatan yang terwujud dalam diri Yesus Kristus. Katekese harus menyampaikan pesan kabar gembira Yesus Kristus. Tanpa pesan ini, katekese akan menjadi hampa dan tidak berarti. Hal ini ditegaskan oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II, sbb: “Karena katekese merupakan suatu momen atau aspek dalam pewartaan Injil isinya juga tidak dapat lain kecuali isi pewartaan Injil sendiri secara menyeluruh . satu-satunya amanat, yakni Warta Gembira keselamatan yang telah didengar sekali atau ratusan kali, dan telah diterima seratus kali, dan telah diterima dengan setulus hati, dalam katekese terus-menerus dijalani melalui refleksi dan studi sistematis, melalui kesadaran akan gema pemantulannya dalam kehidupan pribadi seseorang, suatu kesadaran yang meminta komitmen yang semakin penuh dan dengan mengintegrasikannya dalam keseluruhan yang organis dan selaras, yakni peri hidup Kristen dalam masyarakat dan dunia” (CT, art. 26). Melalui isi dalam katekese itulah, umat beriman diberikan peneguhan akan keselamatan yang abadi. Diharapkan semuanya itu semakin memantapkan umat beriman untuk terus mengikuti Yesus Kristus. Umat beriman meyakini bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya penyelamat yang penuh kasih dan setia membimbing, menjaga dan menyertai hidup manusia. kabar gembira itulah yang menjadi sumber iman dan pengharapan setiap umat beriman. “Bahkan Yesus Kristus sendiri dalam pewartaan-Nya menampilkan diri sebagai tokoh penyelamat dan pembebas bagi umatNya. Ia adalah representasi/penampakan Allah, sakramen Allah penyelamat yang paling sempurna. “Allah telah mendamaikan dunia dengan diriNya karena dan dalam Kristus” (II Kor. 5: 18-19). Disitu saya melihat bahwa tema pembebasan ini sangat sesuai untuk katekese kita di Indonesia.” (Huber, 1979: 41). Sejak awal kita telah membicarakan tentang penderitaan. Dari tema penderitaan tersebut, kita diajak untuk menemukan makna dibalik tema tersebut. Banyaknya PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 117 realitas penderitaan dalam hidup ini, sebagai manusia yang berakal-budi dan sekaligus makhluk reflektif, penulis mengajak kita semua untuk dapat menyikapi/ menanggapi realitas tersebut melalui katekese pembebasan yang penulis tawarkan dalam penulisan skripsi ini. “Katekese berarti ingin tolong-menolong supaya dapat belajar dari iman. Katekese juga menjelaskan bahwa iman akan tawaran keselamatan Allah dalam Yesus Kristus adalah suatu kemungkinan di dalam hidup yang sangat berarti. Di segala jaman, manusia selalu ditantang oleh pertanyaan mengenai arti hidupnya. Dan katekese ingin menolong manusia menyadari bahwa hidup ini ditopang oleh cinta kasih Allah sendiri, bahwa di dalam hidup ini terdapatlah kekuatan yang membebaskan, membaharui, yaitu: Allah.” (Huber, 1979: 41). Perlu kita ingat bahwa Yesus Kristus adalah tokoh penyelamat dan pembebas manusia yang nyata. Kita sebagai umat-nya juga dituntut untuk dapat meneruskan karya penyelamatan-Nya dengan bersikap peduli pada penderitaan sesama. c. Tujuan Katekese Tujuan utama katekese adalah membantu umat Kristiani membangun relasi yang hangat dalam kesatuan dengan Yesus Kristus (CT 5). Dengan begitu, umat Kristiani memutuskan untuk mengikuti Kristus, belajar berpikir dan bertindak seperti Dia, sehingga iman umat semakin diperteguh dan dihayati dalam hidup sehari-hari. Menurut Bapa Suci Yohanes Paulus II, tujuan katekese adalah sbb: “Pada intinya katekese sungguh perlu baik bagi pendewasaan iman maupun bagi kesaksian umat Kristen di tengah masyarakat. Tujuannya ialah mendampingi umat Kristen untuk meraih kesatuan iman serta pengertian akan Putera Allah, kedewasaan pribadi manusia, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Katekese bertujuan juga menyiapkan mereka untuk membela diri terhadap siapapun yang meminta pertanggungjawaban dan harapan yang ada pada mereka” (CT, art. 20). Arah katekese umat bermula dari pengalaman, kemudian direfleksikan di dalam terang iman dan diusahakan agar sampai pada pengalaman baru yang lebih PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 118 baik. Melalui kesaksian, umat saling membantu meneguhkan iman saudaranya. Melalui katekese, umat juga diharapkan semakin antusias menghayati imannya di dalam pergulatan hidup sehari-hari sehingga makin peka mengenali karya Allah di tengah-tengahnya dan juga makin peduli pada penderitaan sesamanya lebih-lebih yang miskin dan menderita. Menjadi pengikut Kristus berarti bersedia ikut ambil bagian dalam tugas pewartaan-Nya dengan ikut berjuang mewujudkan Kerajaan Allah di tengahtengah hidup manusia, dan senantiasa mengandalkan Dia dalam hidup sehari-hari (CT, art. 20). Sedangkan secara khusus katekese memiliki tujuan untuk mengembangkan iman umat (yang masih dalam tahap awal), memelihara, merawat, dan mempertumbuhkan iman dalam pengetahuan dan dalam hidup kristiani pada umumnya (CT, art. 20). Pada umumnya setiap kegiatan yang dilakukan manusia memiliki tujuan. Sama halnya dengan katekese. Sebelumnya sudah dijelaskan pengertian dari Katekese dalam Kitab Suci, yakni dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman, dan pendidikan iman supaya orang semakin dewasa dalam iman. Hal tersebut merupakan usaha Gereja untuk menghantarkan umat Kristiani pada tercapainya tujuan katekese. d. Prinsip Katekese Prinsip katekese adalah berusaha untuk mencapai suatu tujuan yang dicitacitakan demi perkembangan iman Gereja. Usaha katekese merupakan tanggung jawab seluruh umat sebagai Gereja, yakni mementingkan “proses” (bukan hasil yang langsung/”instan”). Dengan kata lain : yang lebih utama adalah bukan “target”/”hasil” yang sudah dicapai, melainkan “proses” untuk memperoleh hasil PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 119 yang maksimal. Katekese tidak hanya mengajarkan iman, tetapi berusaha mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh sampai mencapai kepenuhannya. Katekese sebagai salah satu tugas pastoral Gereja, bila dilihat dari segi proses, terjadi dengan saling membagikan pengalaman iman (Huber, 1981: 15). Adapun menurut PKKI II komunikasi iman dilaksanakan dengan tujuan: “Supaya dalam terang injil kita semakin meresapi arti dan pengalamanpengalaman kita sehari-hari; kita bertobat; (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari; dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan makin dikukuhkan hidup kristiani kita, pula kita semakin bersatu dengan Kristus; makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan menokohkan Gereja semesta; sehingga kita sanggup memberikan kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah mmasyarakat” (Huber, 1979: 16) Sarana maupun metode katekese yang diupayakan, semuanya bertujuan untuk memudahkan terjadinya komunikasi iman. Pemikiran bahwa dalam pertemuan katekese “yang penting asal diisi dengan banyak kegiatan bagi umat” bertentangan dengan prinsip suatu proses katekese yang bertanggung jawab. Katekese hanya salah satu dari upaya-upaya pastoral secara menyeluruh. Proses perkembangan iman harus dilengkapi dengan upaya-upaya pastoral yang lain. Seperti membebaskan kaum lemah dan tertindas dapat bangkit dari keterpurukan hidup di tengah masyarakat yang menganggap kerdil terhadap orangorang kecil yang semakin menderita di tempat di mana seharusnya ia dapat hidup tenang, bahagia dan merasa aman. Katekese bertolak pada pengalaman konkrit peserta, dengan begitu peserta dapat menghayati pengalaman hidupnya, tentu saja tidak terlepas dari terang injil yang berpusat pada Yesus Kristus. Katekese membantu orang menghayati imannya dalam situasi aktual (orang mampu mewujudkan imannya secara konkrit dalam hidup, ada integritas antara PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 120 iman dan hidup bersama orang lain). Katekese berupaya mendorong umat untuk membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama maupun lingkungannya. Dalam hal ini, proses katekese yang bertujuan mematangkan dan mendewasakan iman harus dilaksanakan secara sadar dan terencana dengan penuh tanggung jawab. Katekese harus memperhitungkan situasi peserta (latar belakang, psokologi, minat, kebutuhannya dan antropologisnya). Maka dari itu, katekese harus menjadi lebih kontekstual (Setyakarjana, 1997: 67). Proses katekese adalah proses pendidikan iman yang membebaskan. Dalam proses katekese setiap pribadi dihargai martabatnya sederajat, dimana setiap orang bebas mengungkapkan pengalaman imannya tanpa rasa takut. Dalam hal ini setiap pengalaman iman dari masing-masing pribadi harus dilihat sebagai pengalaman yang dapat memperkaya pengalaman iman sesamanya dalam proses berkatekese (Rukiyanto, 2012: 73). Katekese diharapkan membangun iman yang “terlibat’ (mendorong “aksi”). Pendamping katekese sebagai “fasilitator” yang memudahkan terjadinya komunikasi iman. Untuk itu, tidak tepatlah kalau pendamping bertindak sebagai orang yang ‘maha tahu’ apalagi sebagai penceramah yang mendominasi proses pertemuan. Proses katekese harus mampu menyentuh pengalaman hidup seharihari ataupun pengalaman iman peserta sebagai medan pertemuan manusia dengan Allah (Rukiyanto, 2012: 73). e. Subjek Katekese Katekese adalah karya Gereja yang mendasar. Gereja dipanggil untuk melanjutkan tugas Yesus, Sang Guru, diutus menjadi pengajar iman, dan dengan dijiwai oleh Roh Kudus. Oleh karena itu subyek katekese adalah Gereja. Iman PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 121 yang diajarkan oleh Gereja dalam iman yang dihidupi oleh Gereja itu sendiri, yaitu; pemahaman tentang Allah dan rencana penyelamatan-Nya, pandangan tentang manusia adalah ciptaan yang paling mulia, warta Kerajaan Allah, serta harapan dan kasih (Komisi Kateketik KWI, 2000: 1). f. Objek Katekiese Tujuan definitif katekese adalah bukan hanya membuat orang saling berkomunikasi, melainkan juga dapat bersatu dan membangun kemesraan dengan Yesus Kristus. Segala kegiatan mewartakan Kabar Gembira dimengerti sebagai usaha mempererat kesatuan dengan Yesus Kristus. Mulai dengan pertobatan ‘awal’ seseorang kepada Allah, yang digerakan oleh Roh Kudus melalui pewartaan Injil yang pertama, katekese berusaha mengukuhkan dan mematangkan kesetiaan manusia (Komisi Kateketik KWI, 2000: 2). Menurut penulis, hal inilah yang merupakan objek dari katekese. g. Fungsi Katekese Katekese berfungsi sebagai pendidikan iman. Artinya katekese berusaha agar hidup umat beriman secara pribadi dan jemaat berkembang semakin matang, membebaskan, bertanggungjawab, dan kreatif mengembangkan imannya. Katekese juga membimbing dan membina orang beriman dalam kehidupan kristiani yang mendalam, menumbuhkan dan mendorong orang beriman untuk terlibat dalam hidup bersama, baik secara pribadi, maupun dalam hidup persekutuan. Secara lebih luas, katekese ikut bertanggungjaab dalam membangun dunia yang lebih baik, sehingga nilai-nilai Kerajaan Allah semakin terwujud dalam kehidupan setiap hari (Seri Puskat No. 97, 1972: 8).. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 122 Katekese juga membawa orang beriman kepada kesadaran untuk semakin terlibat dalam persoalan-persoalan dan pergulatan hidup konkret yang dialami dalam masyarakat. Terlibat secara aktif dalam perjuangan bersama dan memberI makna dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup. Iman Kristiani harus menyentuh pergumulan hidup dengan segala permasalahannya, sebagai gambaran atas tawaran kasih Allah untuk menyelamatkan manusia. Meskipun manusia berada dalam situasi penderitaan atau dalam keadaan apapun, ia dapat menemukan bahwa Allah selalu setia beserta manusia. Katekese membina umat untuk semakin mengenal dan merasakan kehadiran Allah dalam perjalanan hidupnya di dunia, serta diajak untuk peduli dan solider terhadap nasib sesama, dan ikut memperjuangkan hak asasi manusia. Iman kristiani diwujudkan dalam kehidupan nyata melalui pelayanan terhadap saudara yang miskin dan menderita tanpa memandang suku dan agama. Pelayanan dapat berupa pelayanan sabda. Pelayan sabda adalah tindakan gerejani (“Eklesial”), suatu fungsi pastoral. Melalui itulah sabda Allah disampaikan dengan berbagai cara dan bentuk, dengan tujuan membina, memberi semangat dan memupuk iman secara mendalam. 2. Katekese Pembebasan Hidup sangat berharga. Oleh karena itu manusia selalu berusaha mempertahankan hidupnya. Jika ia sakit dan terancam nyawanya, ia selalu mencoba mempertahankan hidupnya dengan obat, perawatan, bila perlu dengan senjata. Tetapi ada juga manusia yang pasrah pada nasib malang yang menimpa dirinya. Hal ini menjadi keprihatinan Gereja, sehingga mendorong Gereja untuk melakukan tindakan yang dapat membebaskan orang-orang yang menderita PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 123 dengan harapan supaya hidup mereka menjadi lebih baik dan penuh harapan (KWI, 1996: 1). Perlu kita ketahui bahwa cita-cita Kristus yaitu Kerajaan Allah yang merajai dunia, maksudnya adalah Allah menghendaki semua orang memperoleh keselamatan, dan keselamatan itu dapat menjadi cita-cita Gereja yang paling utama (Wibowo Ardhi, 1993: 7). Bagaimana usaha yang dapat Gereja lakukan bagi keselamatan semua orang? Menurut penulis, Gereja dapat mengusahakan suatu tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah adalah mempersatukan manusia dalam Kristus (Ef 1: 10) (Wibowo Ardhi, 1993: 7). Sebagai usaha Gereja untuk mempersatukan manusia dengan Kristus adalah misalnya dapat melalui: pewartaan kabar gembira bagi seluruh umat manusia, menjadi saksi kepada sesama, serta dapat mengusahakan suatu katekese yang kontekstual terutama bagi umat manusia yang sering berhadapan dengan realitas penderitaan. Menurut penulis, katekese yang cocok untuk permasalahanpermasalahan hidup manusia zaman sekarang adalah katekese pembebasan. Hal ini mengingat bahwa pewartaan Kerajaan Allah oleh Gereja mewujud dalam upaya membebaskan manusia dari segala bentuk kejahatan dan penindasan (Krispurwana, 2011: 25). Di sini kita betitik tolak dari pengalaman mendalam mengenai kebebasan Kristiani. Kristus sebagai tokoh utama “Pembebas kita”, telah membebaskan kita dari perbudakan dosa. dengan demikian, hidup baru dalam rahmat adalah hasil dari pembebasan yang dilakukan oleh Kristus. Di sini penulis melihat bahwa kebebasan dalam arti kristiani adalah hidup dalam Roh, artinya tidak bersikap seenaknya mengikuti keinginan-keinginan daging seperti: bersikap seenaknya pada orang PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 124 lain, mengambil hak orang lain untuk kesenangan pribadi. Kebebasan adalah suatu hidup dalam cinta kasih, kepada Allah dan Sesama. Pada bagian latar belakang penulisan skripsi ini, penulis telah menggambarkan realitas dunia yang semakin kacau, permasalahan yang berkaitan dengan penderitaan kerapkali terjadi. Realitas penderitaan tersebut, mendorong kita untuk mencari makna dibalik semua peristiwa-peristiwa penderitaan; kekerasan, penindasan, ketidakadilan dan pelecehan yang terjadi dalam tatanan hidup ini. Dalam situasi Gereja yang seperti itu, Gereja terpanggil memperjuangkan hidup mereka yang lemah, tersingkir dan difabel. Itu adalah bagian dari tugas perutusan Gereja untuk mewartakan serta membela kehidupan dan martabat manusia. Gereja akan menentang segala tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah (Krispurwana, 2011: 25). a. Isi Katekese Pembebasan Isi katekese pembebasan adalah keselamatan dan pembebasan di dalam Allah dan Yesus Kristus. Dari Kitab Suci kita dapat belajar menghargai dan mengingat serta menyadari kembali setiap kegiatan pewartaan para nabi dan para rasul tentang pewartaan. Inti pewartaan para nabi selalu berkisar pada Yhwe sebagai pembebas umat yang dikasihi-Nya: “siarkanlah itu sampai ke ujung bumi, katakanlah Tuhan telah menebus Yakub hamba-Nya (Is. 48: 20). Sedangkan dalam pewartaan rasul-rasul, Yesus Kristus dan karya keselamatan-Nya menjadi isi pokok pewartaan mereka: “Jadi, ketahuilah saudara-saudara, oleh karena Dialah maka diberikan kepada kamu pengampunan dosa. dan di dalam Dialah setiap orang yang percaya memperoleh pembebasan dari segala dosa yang tidak dapat kamu peroleh dari hukum Musa” (Kis. 13: 38-39). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 125 Sehubungan dengan isi katekese pembebasan, Huber (1979: 41) menulis pernyataan, sbb: “Bahkan Yesus Kristus sendiri dalam pewartaan-Nya menampilkan diri sebagai tokoh penyelamat dan pembebas bagi umatNya. Ia adalah representasi/penampakan Allah, sakramen Allah penyelamat yang paling sempurna. “Allah telah mendamaikan dunia dengan diriNya karena dan dalam Kristus” (II Kor. 5: 18-19). Disitu saya melihat bahwa tema pembebasan ini sangat sesuai untuk katekese kita di Indonesia.…katekese ingin menolong manusia menyadari bahwa hidup ini ditopang oleh cinta kasih Allah sendiri, bahwa di dalam hidup ini terdapatlah kekuatan yang membebaskan, membaharui, yaitu Allah ” (Huber, 1979: 41). Sebab itu, katekese kita di Indonesia dewasa ini harus banyak berbicara dan menekankan bahwa keselamatan dan pembebasan justru terdapat di dalam Allah dan Yesus Kristus Putera-Nya. Menurut penulis, katekese jaman sekarang harus dapat menjawab kebutuhan umat kristiani, dengan kesanggupan untuk menawarkan keselamatan bagi banyak orang. Hal ini juga sesuai dengan kehendak Allah dan Yesus Kristus Putera-Nya, serta merupakan cita-cita Gereja. b. Tujuan dan Sasaran Katekese Pembebasan Tujuan dan sasaran dari katekese pembebasan adalah memerdekakan anakanak Allah dari segala perbudakan dosa dalam bidang kebudayaan, ekonomi, sosial, dan politik. Selain itu katekese pembebasan juga memiliki cita-cita dan harapan untuk membebaskan umat manusia dari berbagai bentuk penderitaan yang terjadi dalam hidupnya (Hadiwikarta, 1985: 7). Penjelasan di atas merupakan usaha penulis untuk beranjak dari realitas permasalahan ketidakadilan yang terjadi dan belum teratasi sampai sekarang. Sebagai bentuk keprihatinan inilah, penulis tergerak hati untuk memberikan sumbangan pemikiran, sekurang-kurangnya dapat membantu umat kristiani yang ingin atau mempunyai kepekaan yang sama dalam mengurangi kasus ketidakadilan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 126 yang menyebabkan penderitaan umat manusia, entah itu penderitaan yang menimpa dirinya ataupun orang lain. Sesuai dengan pemahaman Gereja sebagai Umat Allah yang dibentuk atas inisiatif Allah sendiri (lih. Kel. 19: 5-6), ambil bagian dalam suatu hubungan akrab dengan Allah, turut serta dalam keprihatinanNya bagi umat manusia. Gereja merupakan bagian dari dunia. Apapun yang terjadi di dunia merupakan tanggungjawab seluruh umat beriman. Pembebasan dalam konteks ini dipahami sebagai suatu upaya mendirikan suatu tatanan sosial baru yang akan menghapus struktur-struktur sosial yang menindas orang-orang kecil, dan menciptakan suatu masyarakat di mana semua orang dapat hidup berdampingan secara damai tanpa ada aturan tingkat struktur sosial atau pemisahan status sosial, dan diskriminasi gender. Pada bagian ini, penulis akan menguraikan beberapa hal mengenai dasardasar katekese pembebasan, pemahaman katekese secara umum, , serta mengenai tujuan dan fungsi dari katekese pembebasan yang penulis pilih sebagai aplikasi untuk menanggapi pengalaman penderitaan yang dialami oleh umat beriman. c. Dasar-dasar Katekese Pembebasan Persoalan-persoalan penderitaan yang telah dibicarakan pada bab-bab sebelumnya, hendaknya ditindaklanjuti. Oleh karena itu, penulis menggunakan katekese pembebasan sebagai usaha penerapan pemaknaan pada realitas penderitaan-penderitaan manusia yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Hal ini juga merupakan suatu usaha untuk membantu umat Kristiani dalam menyikapi atau menanggapi penderitaan-penderitaan yang terjadi di zaman sekarang. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 127 1) Dasar Teologi Bagi Gutierrez (1973) teologi bukan merupakan kebijaksanaan, bukan pula pengetahuan rasional, melainkan refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh Sabda Injil. Menurut Gutierrez (1973), motivasi terdalam dari berteologi ialah membiarkan diri kita dinilai oleh Sabda Allah (Nitiprawiro, 1987: 38). Dengan berpikir melalui iman, kita memperkuat cinta dan harapan kita. Sebagai orang Kristiani, kita dipanggil untuk sebuah praksis yang definitive, yaitu kasih, tindakan, dan komitmen untuk memberi pelayanan kepada sesama manusia. di Amerika Latin berarti praksis pembebasan dari belenggu sosial, ekonomi, dan politik dari sistem masyarakat dan dari dosa struktural yang merusak hubungan manusia dengan Allah. teologi harus menjadi kritis dalam terang injil, baik terhadap masyarakat umum maupun terhadap Gereja sebagai institusi. Oleh karena itu, teologi bertugas untuk membebaskan kedua kelembagaan tersebut dari keberhalaan dan alienasi (Nitiprawiro, 1987: 39). Katekese dan teologi dapat dikatakan sebagai dua hal yang terpisahkan tetapi sangat dekat berhubungan. keduanya saling terkait. Keterkaitannya terlebih pada keduanya sebagai pelayan iman (Horst, 1973: 5), pelayan injil, atau pelayan berita pembebasan manusia (Horst, 1973: 14). Menyadari kedekatan itu, terkadang ada yang menganggap katekese sebagai teologi praktis (Adisusanto, 2000: 22-25). Namun demikian, katekese memiliki kekhasannya sendiri yang membedakannya dari teologi. Dalam prakteknya, katekese lebih cenderung memilih jalan yang sederhana dibandingkan dengan teologi. Hal ini bukan berarti bahwa katekese adalah penyederhanaan atau bentuk sederhana dari teologi; salah satunya adalah penggunaan bahasa dalam berkatekese yang berbeda dengan teologi yang tidak mudah dimengerti begitu saja oleh kebanyakan kaum awam. Selain itu, PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 128 dibandingkan dengan katekese yang lebih bertujuan pada umat yaitu kedewasaan iman umat (PKKI II No. 1), tentu saja tanpa mengabaikan segi pengetahuan, teologi lebih sistematis dalam merefleksikan iman. Dalam teologi, kita berusaha menyelami misteri penyelamatan manusia yang oleh Allah sendiri. Begitu juga dengan berkatekese, kita berusaha menyelami misteri penyelamatan Allah bersama-sama dengan orang yang kita layani. Teologi harus berlangsung dalam “communio” atau persekutuan iman, sebagai komunikasi iman dengan Gereja (Tradisi). Di dalam katekese, persekutuan iman diaktualisasikan melalui komunikasi iman, dengan maksud untuk membina penghayatan iman sesama (Hardawiryana,1985: 7). Injil Yesus Kristus merupakan pewartaan mengenai kebebasan dan kekuatan untuk pembebasan. Pembebasan pertama-tama dan terutama berarti pembebasan dari perbudakan dosa yang sudah sangat berakar dalam kehidupan umat manusia. Untuk dapat membedakan dengan jelas apa yang fundamental dalam persoalan ini dan apa yang merupakan akibat sampingannya, umat beriman mutlak perlu mengadakan refleksi teologis mengenai pembebasan (Hadiwikarta, 1985: 7). 2) Dasar Psikologis Katekese yang dilaksanakan di dalam kehidupan umat tidak semata-mata bertujuan demi umat secara “communio”, namun akhirnya akan menuju kepada perkembangan masing-masing umat secara pribadi. Orang dewasa menyadari bahwa manusia mempunyai nilai selaras dengan nilai hatinya (dalam arti Kitab Suci, istilah itu berarti pusat kepribadian spiritualitasnya). Inilah pusat pribadi manusia. seorang pribadi yang dewasa, sadar bahwa ia bertanggungjawab atas kehidupannya. Dengan begitu, aspek personalitas dari umat pantas mendapatkan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 129 perhatian,sehingga umat yang mengalami permasalahan dalam hidupnya dapat menemukan solusi yang tepat (Pradnjawidya, Seri Puskat 3: 7). Oleh sebab itu secara psikologis, katekese dituntut mampu menyentuh kebutuhan dasar dari pribadi tersebut. Hal ini adalah wajar, sebab umat sebagai pribadi pada hakikinya akan menjalankan hidup sehari-hari dengan cara dan situasinya sendiri, karena Tuhan telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga mampu mengusahakan perkembangannya sendiri (Seri Puskat 34,Dicker, 1972: 8). Untuk itulah maka katekese perlu memiliki dasar psikologis demi perkembangan iman dari aspek psikologi umat beriman secara pribadi. Iman yang diungkapkan dalam Gereja harus diwujudkan dalam dunia, misalnya: menghargai martabat manusia (Krispurwana, 2011: 3). Orang beriman adalah anggota Gereja yang mempunyai tugas konkret sebagai wujud dasar imannya, dengan menegakkan keadilan di tengah dunia melalui perjuangan membebaskan manusia dari segala bentuk kejahatan; penindasan, ketidakadilan terhadap hak dan martabat seseorang yang terjadi oleh tatanan masyarakat (yang kuat itulah yang berkuasa) (Krispurwana, 2011: 25). Secara psikologi, setiap orang termasuk umat beriman telah memiliki potensi untuk mengalami kepenuhan atau terpenuhinya harapan untuk membebaskan diri dari belenggu, pergulatan selama berhadapan dengan penderitaan, baik secara fisik maupun mental/batiniah. Artinya, suatu pembebasan dapat kita rasakan apabila kita mempunyai suatu harapan dan iman kepada Dia yang Maha kasih, sebab Allah adalah sumber keselamatan sejati. 3) Dasar Sosiologis Dalam tradisi pemikiran keagamaan, selain dosa pribadi, kita mengenal dosa sosial, dosa yang telah membentuk struktur yang menjadikan pribadi-pribadi di PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 130 dalamnya sulit untuk terlepas dari dosa. ini disebabkan dosanya sudah menyatu dengan struktur, maka hal semacam ini tidak dapat diatasi dengan usaha-usaha pribadi saja, tetapi harus dijalankan secara structural. Demikian pula dalam tradisi orang Kristiani yang disebut Perjanjian Lama. Dalam PL, dosa itu berlapis, dari dosa pribadi, dosa ekonomi, dosa sosial, dosa politik, dosa hukum, dosa budaya, bahkan dosa dari segala dosa, yakni dikenal dengan dosa asal. Dosa-dosa yang berlembaga dan berbentuk system inilah yang dipahami oleh masyarakat Amerika Latin sebagai sesuatu yang meninda, mempermiskin, memperbodoh, dan mengintimidasi, serta membunuh dengan kekerasan spiral semakin meningkat intensitasnya (Wahono, 2000: xxvi). Dalam pembahasan di atas, dituliskan bahwa umat beriman itu hidup sebagai komunitas. Dapat dikatakan bahwa kita, umat beriman, sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa orang lain. Artinya, ia selalu berada dalam relasinya dengan orang lain. Iman berkembang dalam pengakuan “communio” atau persekutuan iman (kesaksian) di tengah masyarakat (Huber, 1979: 60). Oleh karena itu iman individual dapat hidup dan dipahami dalam suatu komunitas beriman. Penulis juga mengutip ungkapan Paulus: “Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikianlah juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (Rom. 12:4-5), dan itulah yang dimaksud dengan Gereja Kristus, yakni kita menjadi satu tubuh di dalam Kristus, dan Kristus sebagai kepalanya (bdk Ef. 1: 22; 4: 15; Kol. 1: 18). Kenyataan ini menuntut sikap-sikap pula atas keberadaan sang subjek atau umat beriman di antara sesamanya. Dengan demikian segi sosial dari kehidupan pribadi umat perlu digambarkan. Maka pertanyaannya: dasar PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 131 sosiologis apakah yang dapat diungkapkan untuk melandasi tumbuh dan berkembangnya kesadaran umat beriman sebagai komunitas? Dan secara khusus bagi katekese pembebasan, bagaimana aspek sosial dapat menunjukan adanya pembebasan bagi suatu komunitas umat beriman, bahkan untuk manusia umumnya di dalam hidup bermasyarakat? Perlu diketahui bahwa agama Kristen dimengerti sebagai agama sosial, karena mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial. Gereja dan dunia tidak lagi dipahami sebagai dua entitas yang bertentangan satu sama lain, melainkan sebagai dua aspek kehidupan yang saling menstransformasi satu sama lain. Sebagai konsekuensinya, hubungan yang erat antara agama dan politik, antar Allah dan masyarakat, antara teologi dan analisis sosial, antara pembebasan dan penyelamatan, antara ekaristi dan keadlian, kini semakin disadari di kalangan kaum beriman kristiani (Baskara, 1995: 15-16). Perlu kita pahami bahwa jalan yang ditempuh Gereja adalah jalan yang dilewati manusia untuk membangun kehidupan pribadi dan social yang lebih baik (Krispurwana, 2011: 3). Dalam pembahasan tentang dasar sosiologis katekese pembebasan ini, penulis akan mengambil model masyarakat yang disebut dengan Gereja Kristus. Maksudnya, sebagai orang beriman dengan memusatkan diri kepada Yesus Kristus, otomatis hanya berharap kepada-Nya untuk membebaskan belenggubelenggu dalam kehidupan. Dan tidah hanya berharap, kita juga harus memiliki iman yang penuh dan mendalam terhadap Dia. Masyarakat yang di cita-citakan adalah masyarakat yang beriman kepada Allah, meletakkan segala perkara hidupnya hanya kepada-Nya sehingga Kerajaan Allah dapat terwujud di tengah kehidupan masyarakat. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 132 3. Katekese Pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) a. Alasan Pemilihan Model Katekese Pembebasan Alasan penulis memilih katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis adalah mengingat bahwa judul skripsi ini berbicara tentang realitas penderitaan manusia, maka penulis melihat bahwa katekese pembebasan dengan model ini sangat tepat digunakan sebagai sumbangan untuk membantu umat kristiani dalam menanggapi penderitaan yang terjadi di zaman sekarang. Untuk semakin memperjelas maksud penulis memilih model ini, berikut penulis akan menjelaskan secara singkat tiga komponen pokok dari model Shared Christian Praxis: b. Tiga Komponen Pokok 1) Praksis Praksis mengacu pada tindakan manusia yang mempunyai tujuan untuk tercapainya suatu keterlibatan baru yang dilahirkan oleh kesadaran historis dan refleksi kritis, yang didalamnya juga terkandung proses kesatuan dialektis antara praktek dan teori yaitu kreativitas. Kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang menekankan dinamika praksis yang terus berkembang melahirkankan praksis baru (Heryatno W.W., 1997: 2). 2) Kristiani Katekese dengan “Shared Christian Praxis” mencoba mengusahakan supaya kekayaan iman kristiani sepanjang sejarah dan visinya semakin terjangkau, dekat dan relevan untuk kehidupan umat kristiani pada zaman sekarang. Kekayaan iman yang ditekankan dalam model ini meliputi dua unsure pokok yaitu pengalaman PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 133 hidup iman kristiani sepanjang sejarah (tradisi) dan visinya. Tradisi kristiani mengungkapkan realitas iman jemaat kristiani yang hidup. Inilah tangapan manusia terhadap pewahyuan Allah yang terlaksana di tengah hidup manusia. Dalam konteks ini, tradisi perlu dipahami sebagai perjumpaan antara rahmat Allah dalam Kristus dan tanggapan manusia. Oleh karena itu, di sini tradisi tidak hanya berupa tradisi pengajaran Gereja, melainkan juga meliputi: Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgy, kehidupan jemaat, dll. Sebagai realitas iman yang dihidupi dalam konteks historisnya, tradisi kristiani senantiasa mengundang keterlibatan praktis dan proses pendewasaan iman peserta. Di samping itu, tradisi sebagai sabda yang dihidupi menyediakan perangkat nilai untuk pemupukan identitas kristiani dan memberi inspirasi serta menyediakan makna bagaimana hidup seturut nilai-nilai tersebut (Heryatno W.W., 1997: 3). Sedangkan visi kristiani menggarisbawahi tuntutan dan janji yang terkandung di dalam tradisi, tanggungjawab dan perutusan umat kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan mereka. Visi kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah yang sungguh dihidupi dan diusahakan secara terus-menerus di dalam kehidupan manusia. Tradisi dan visi kristiani menumbuhkan rasa saling memiliki dalam persekutuan dan persaudaraan sebagai umat beriman akan Yesus Kristus. Begitulah nilai tradisi dan visi kristiani sepanjang sejarah hidup manusia dapat menjadi milik umat beriman baik secara pribadi maupun komuniter (Heryatno W.W., 1997: 3). 3) Shared Istilah ini menunjuk pengertian komunikasi yang timbal balik, sikap partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta, sikap terbuka (inklusif) baik untuk PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 134 kedalaman diri pribadi, kehadiran sesame, maupun untuk rahmat Allah. Ujian ini juga menekankan proses katekese yang menggarisbawahi aspek dialog, kebersamaan, keterlibatan dan solidaritas. Dalam “sharing”, semua peserta diharapkan secara terbuka siap mendengarkan dengan hati dan juga dapat berkomunikasi dengan kebebasan hati. Dalam kata “sharing” juga terkandung hubungan dialektis antara pengalaman hidup factual peserta dengan tradisi dan visi kristiani. Unsure kebersamaan menggarisbawahi hubungan antar subyek yaitu peserta dengan pendamping, dan antar peserta sendiri. Dengan keterbukaan yang ada pada masing-masing peserta, hubungan diantara mereka semakin erat, dan melalui perjumpaan antar pribadi, peserta dapat semakin menyadari pentingnya sikap solidaritas terhadap permasalahan yang satu dengan yang lainnya. Dapat dikatakan bahwa melalui dialog yang terjalin antar peserta dalam katekese, semua peseta dapat menjadi partner yang dapat saling menguhkan dan menguatkan satu sama lain terutama dalam situasi atau permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hidup. Hal ini disebabkan adanya rasa memiliki perjuangan dan visi yang sama. Di dalam proses ini, peserta tidak hanya mendengar dengan telinga, tetapi juga hati. Ada keterlibatan aktif dari peserta yang lain. Hal ini akan menghantarkan peserta pada suatu dialog yang kemudian melalui refleksi-kritis dapat menemukan penegasan, penilaian, serta pengambilan keputusan yang mendorong pada keterlibatan baru. Dapat dipertegas kembali bahwa melalui refleksi-kritis dari suatu dialog bersama, peserta dapat menentukan niat-niat yang akan dilakukan untuk menanggapi permasalahan hidup yang sedang terjadi secara konkret dalam hidup keluarga maupun masyarakat, dan pada akhirnya adalah suatu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 135 aksi nyata untuk mengatasi permasalahan atau menjawab kebutuhan hidup peserta (Heryatno W.W., 1997: 4). c. Langkah-langkah Model Shared Christian Praxis (SCP) 1) Langkah 1: Pengungkapan Praksis Factual (Mengungkapkan Pengalaman Hidup Peserta) Langkah ini mengajak para peserta untuk mengungkapkan pengalaman hidup dan keterlibatan mereka dalam bentuk cerita, puisi atau video singkat, dll. dalam proses pengungkapan itu, peserta dapat menggunakan perasaan mereka, menjelaskan nilai, sikap, kepercayaan dan keyakinan yang melatarbelakanginya. Dengan cara itu, diharapkan peserta dapat semakin bersikap kritis dan dapat terbuka serta peka terhadap situasi yang ada disekitarnya. Selain itu, peserta juga dapat memaknai pengalaman hidupnya sendiri. Disamping pengalaman pribadi, peserta juga dapat mengungkapkan pengalaman orang lain atau masyarakat. 2) Langkah 2: Refleksi Kritis Pengalaman Factual (Mendalami Pengalaman Hidup Konkret Peserta) Langkah kedua ini mendorong peserta untuk lebih aktif, kritis, dan kreatif dalam memahami dan mengolah keterlibatan hidup mereka sendiri maupun masyarakat. Tujuan langkah ini adalah memperdalam refleksi dan mengantar peserta pada kesadaran kritis akan keterlibatan mereka, akan asumsi dan alasan (pemahaman), motivasi, sumber historis, kepentingan dan konsekuensi yang disadari dan hendak diwujudkan (imajinasi). Dengan refleksi-kritis pada pengalaman konkret peserta diharapkan sampai pada nilai dan visinya yang pada langkah keempat akan dikonfrontasikan dengan pengalaman iman Gereja sepanjang sejarah (tradisi) dan visi kristiani. Langkah ini bersifat analitis yang kritis (Heryatno W.W., 1997: 6). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 136 3) Langkah 3: Mengusahakan Supaya Tradisi Dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau (Menggali Pengalaman Iman Kristiani) Pokok dari langkah ini adalah mengusahakan supaya tradisi dan visi kristiani menjadi lebih terjangkau, lebih dekat dan relevan bagi peserta pada zaman sekarang. Pada langkah ini, pendamping diharapkan dapat menjadi fasilitator yang professional, dapat membuka peluang yang seluas-luasnya kepada peserta untuk menemukan nilai-nilai dari tradisi dan visi kristiani. Seperti yang telah dijelaskan di awal, yang dimaksud dengan tradisi adalah iman kristiani yang sungguh dihidupi dan diperkembangkan Gereja dalam sejarahnya. Maka tradisi Gereja tidak terbatas pada pengajaran Gereja (dogma), tetapi juga merangkum Kitab Suci, spiritualitas, devosi, kebiasaan hidup beriman, dll. visi merefleksikan harapan dan janji, serta tanggungjawab yang muncul dari tradisi suci yang bertujuan untuk mendorong dan meneguhkan iman jemaat dalam keterlibatannya untuk mewujudkan kehadiran nilai-nilai Kerajaan Allah. supaya tradisi dan visi kristiani semakin terjangkau dan relevan untuk kehidupan peserta, tradisi dan visi kristiani perlu dijelaskan dan diinterpretasikan (Heryatno W.W., 1997: 6). 4) Langkah 4: Interpretasi Dialektis antara Praksis dan Visi Peserta Dengan Tradisi Dan Visi Kristiani (Menerapkan Iman Kristiani dalam situasi Peserta Konkret) Langkah ini mengajak peserta supaya dapat meneguhkan, mempertanyakan, memperkembangkan dan menyempurnakan pokok-pokok penting yang telah ditemukan pada langkah pertama dan kedua. Untuk selanjutnya pokok-pokok penting itu dikonfrontasikan dengan hasil interpretasi tradisi dan visi kristiani dari langkah ketiga. Dari proses konfrontasi itu diharapkan peserta dapat secara aktif menemukan kesadaran atau sikap-sikap baru yang hendak diwujudkan. Dengan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 137 kesadaran baru itu peserta akan lebih bersemangat dalam mewujudkan imannya dan dengan itu diharapkan supaya nilai-nilai Kerajaan Allah makin dapat diraskan di tengah-tengah kehidupan bersama. Interpretasi yang dialektis ini akan memampukan peserta untuk menginternalisasikan dan mensosialisasi nilai tradisi dan visi kristiani sehingga menjadi bagian hidup mereka sendiri. Hidup dan praksis factual peserta diintegrasikan ke dalam tradisi kristiani dan sebaliknya peserta mempersonalisasi tradisi dan visi kristiani menjadi milik mereka sendiri. Di samping itu, perwujudan kesadaran iman yang baru dapat memperkaya dan mendinamisir tradisi dan visi kristiani juga menjadi pokok penting pada langkah ini. Dengan proses itu, diharapkan hidup iman peserta menjadi lebih aktif, dewasa, dan misioner (Heryatno W.W., 1997: 7). 5) Langkah 5: Keterlibatan Baru demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah Di Dunia (Mengusahakan Aksi Konkret) Karena keprihatinan utama model “Shared Christian Praxis” adalah keterlibatan iman, maka langkah yang terakhir ini bertujuan mendorong peserta supaya sampai pada keputusan konkret bagaimana menghidupi iman kristiani pada konteks hidup yang telah dianalisa dan dipahami, direfleksi secara kritis, dinilai secara kreatif dan bertanggungjawab. Inilah tanggapan praktis peserta terhadap situasi konkret mereka yang telah dikonfrontir dengan tradisi dan nilai kristiani. Keputusan konkret dari langkah ini dipahami sebagai puncak dan buah dari metode ini. Tentu saja tanggapan peserta dipengaruhi oleh tema dasar yang direfleksikan, nilai-nilai kristiani yang diinternalisasikan, dan konteks kepentingan religious, politik, social, dan ekonomi peserta (Heryatno W.W., 1997: 7). 4. Usulan Program Katekese Pembebasan dan Contoh Persiapan Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 138 Bertitik tolak dari pemikiran dalam Bab I, II dan III, maka penulis mengusulkan sebuah program katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis beserta contoh persiapannya. Usulan program dan contoh persiapan katekese ini diharapkan dapat membantu umat kristiani, terutama bagi orang muda atau orang dewasa dalam memaknai realitas penderitaan yang terjadi dalam hidupnya. Program dan contoh persiapan katekese ini tidak bersifat baku, maksudnya usulaan program ini masih dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan para peserta katekese. Pada penulisan skripsi ini, penulis membuat 4 program. Dari 4 program tersebut, penulis akan menjabarkan 1 contoh katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) yaitu nomor 3. Adapun program dan contoh katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) tersebut adalah sbb: Tema Umum : Menjadi orang kristiani yang memiliki kedewasaan iman dalam memaknai penderitaan hidup Tujuan Umum : Bersama pendamping, melalui katekese pembebasan, peserta diajak untuk menemukan makna penderitaan dalam hidupnya, dengan harapan peserta dapat semakin didewasakan dalam iman, sehingga akhirnya peserta termotivasi dalam menentukan aksi nyata untuk terlibat mengatasi penderitaan diri dan sesame. Tema I : Penderitaan manusia Tujuan : Bersama pendamping, peserta dapat semakin menyadari dirinya sebagai makhluk yang terbatas dan merupakan ciptaan Allah yang miliki kebebasan untuk menerima atau menolak kebaikan Allah terutama pada saat dilanda penderitaan. Diharapkan, dengan begitu, peserta dapat semakin memiliki kesadaran untuk PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 139 mengambil sikap yang tepat bertitik tolak dari imannya yang teguh akan Allah, khusunya ketika berhadapan dengan realitas penderitaan Tema II : Meneladani sikap Ayub dalam menghadapi penderitaan Tujuan : Bersama pendamping, peserta diajak untuk belajar dari sikap ketaatan Ayub pada Allah ketika dia mengalami penderitaan, dan dari situ peserta juga belajar untuk menemukan makna dibalik penderitaan orang benar melalui kacamata iman kristiani, sehingga iman peserta semakin berkembang dan mendalam Tema III : Bagaimana sikap orang Kristiani dalam menghadapi penderitaan hidup Tujuan : Bersama pendamping, sebagai orang Kristiani para peserta diajak untuk mencari, menggali dan menemukan makna dibalik penderitaan yang terjadi dalam hidupnya, supaya peserta semakin didewasakan dalam iman, dan dapat ikut ambil bagian dalam menghadapi penderitaanya sendiri dan orang lain secara dewasa dengan bertolak dari cara pandang iman Kristiani. Tema IV : Ikut sengsara bersama Yesus Kristus Tujuan : Bersama pendamping, peserta menyadari sebab terjadinya penderitaan manusia, serta mampu melihat dan memahami penderitaan Yesus Kristus sehingga peserta semakin dapat meneladani sikap Yesus secara konkret dalam hidup sehari-hari PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 140 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 141 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 142 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 143 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 144 a. Contoh Persiapan Katekese Pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) Berikut ini adalah contoh katekese pembebasan. Sebagai contoh persiapan katekese, di sini penulis akan menggunakan katekese pembebasan dengan menggunakan model Shared Christian Praxis (SCP). Shared Christian Praxis adalah model katekese yang diperkenalkan oleh Thomas H. Groome (Heryatno W.W, 1997). Katekese Pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) Tema : Bagaimana sikap orang Kristiani dalam menghadapi penderitaan hidup Tujuan : Bersama pendamping, sebagai orang Kristiani para peserta diajak untuk mencari, menggali dan menemukan makna dibalik penderitaan yang terjadi dalam hidupnya, supaya peserta semakin didewasakan dalam iman, dan dapat ikut ambil bagian dalam menghadapi penderitaanya sendiri dan orang lain secara dewasa dengan bertolak dari cara pandang iman Kristiani. Peserta : Orang Kristiani kelompok Dewasa Waktu : Selama 90 menit Model : Shared Christian Praxis Metode : tanya jawab, sharing, informasi, refleksi pribadi, dan pemutaran film PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 145 Sarana : LCD, laptop, mikrofon, Kitab Suci, film singkat “Oscar Arnulfo Romero Sumber Bahan : Ayub 1: 13-22 PEMIKIRAN DASAR Di dunia ini, manusia dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu seperti: kesedihan, kesukaran, kegembiraan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kegagalan. Ini merupakan fenomen kehidupan yang dialami oleh manusia. Manusia tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia. Penderitaan merupakan pengalaman yang sangat dekat dengan manusia. Dapat dikatakan bahwa hidup dan penderitaan adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan manusia. Maksudnya, meskipun kita tidak mengharapkan penderitaan terjadi, penderitaa itu akan tetap terjadi di kehidupan ini. Karena menyadari hal itulah, maka penderitaan harus disikapi secara tepat. Ini bertujuan supaya hidup kita semakin terarah, jelas, mempunyai makna dan nilai, bukan sebaliknya menjadi sesuatu yang harus ditakuti. Dalam bacaan Ayub 1: 13-22 digambarkan bagaimana kemalangan demi kemalangan menimpa Ayub. Di sana, Ayub mengalami banyak kehilangan: kehilangan hartanya, yakni ternak-ternaknya, dan kehilangan anak-anaknya. Kehilangan-kehilangan itu rupanya terjadi seketika hal itu digambarkan oleh adanya laporan dari pembantunya yang memberitahukan perihal bencana itu. Artinya, kemalangan yang terjadi dan didengar Ayub disusul dengan kemalangan lain yang juga didengarnya. Singkatnya, Ayub tidak memiliki waktu untuk PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 146 merenungkan atau untuk berdiam diri merenungi nasibnya, sebab ketika bencana pertama didengarnya, langsung saja disusul dengan berita bencana kedua dan seterusnya. Ini dapat dikatakan Ayub seperti disambar petir. Bertubi-tubi dia mendengar berita yang sesungguhnya tidak seorangpun ingin mendengarnya dan setelah berita terakhir dia baru bisa menyikapinya: berdiri, mengoyak jubah dan mencukur kepalanya, lalu sujud dan menyembah Tuhan Allah (Ayb 1: 13-20). Dalam pengalaman penderitaan itu, ia tidak berbuat dosa (Ayb 1: 21-22). Dapatkah kita meneladani sikap iman Ayub ketika berhadapan dengan pengalaman penderitaan? Sikap atau cara seseorang dalam menanggapi penderitaannya akan menunjukan kualitas dirinya sebagai pribadi, terutama sebagai orang beriman. Maksudnya, orang beriman akan menyikapi realitas hidupnya yang penuh penderitaan dengan cara pandang imannya. Tentu saja hal itu akan berbeda dengan mereka yang belum memiliki iman yang kuat. Hanya saja, persoalan praktisnya adalah bagaimana orang beriman dapat menyikapi realitas penderitaan yang terjadi dalam hidupnya. Dalam katekese ini, para peserta diajak merefleksikan pengalaman hidupnya, terutama ketika mengalami atau berhadapan dengan penderitaan. Sebagai orang Kristiani yang beriman, peserta akan diajak membandingkannya dengan sumber wahyu tertulis yakni Kitab Suci, secara khusus adalah Kitab Ayub. Di sini peserta katekese akan belajar dari Ayub yang merupakan tokoh utama dalam Kitab Ayub: Bagaimana Ayub menanggapi penderitaanny? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 147 PENGEMBANGAN LANGKAH-LANGKAH 1. Pembukaan a. Pengantar Bapa/ibu, saudara/saudari terkasih, syukur kepada Allah sebab kita dapat berkumpul di sini untuk bersama-sama menemukan makna hidup kita, sehingga semua pengalaman-pengalaman hidup yang telah kita lewati tidak berlalu begitu saja secara sia-sia tanpa makna. Pada kesempatan yang penuh rahmat ini, secara bersama-sama dan penuh rasa persaudaraan, kita mencoba untuk mencari, menggali dan menemukan makna kehidupan dan kehendak Allah atas diri kita, tentu saja semua usaha itu dilandasi oleh kesadaran kita sebagai umat Kristiani yang beriman kepada-Nya. Untuk mengawali pertemuan kita pada hari ini, saya mengajak Bapak/Ibu dan saudara-I sekalian untuk menyanyi bersama. b. Lagu Pembukaan“Dia mengerti” c. Doa Pembukaan Dengan penuh kerendahan hati dihadapan Allah kita dapat menyiapkan diri untuk berdoa. Marilah kita berdoa: Allah Bapa yang penuh belas kasih, puji syukur dan terimakasih kami ucapkan atas segala berkat yang boleh kami terutama secara istimewa untuk mala mini, sehingga kami dapat berkumpul ditempat ini dalama nama-Mu. Allah Bapa disurga, pada kesempatan ini, kami bersama-sama hendak mencari, menggali dan menemukan makna terdalam pengalaman hidup yang boleh kami jalani selama ini. Ya Bapa, curahkanlah Roh Kududs-Mu atas diri kami masing-masing supaya kami dapat menemukan apa yang kami cari, dan bimbinglah kami Bapa PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 148 supaya dapat memahami kehendak-Mu yang nyata dalam hidup kami, terutama dalam pertemuan hari ini. Ya Bapa, bantu kami sebagai saudara seiman, dapat saling percaya dan terbuka satu sama lain, sehingga pengalaman-pengalaman berharga kami dapat diungkapkan secara bebas dan sadar, guna untuk saling menguatkan dan meneguhkan satu sama lain terutama dalam menanggapi penderitaan hidup. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin. 1. Langkah I : Mengungkap Pengalaman Hidup Peserta a. Pemutaran Film singkat yang berjudul “Oscar Arnulfo Romero”. b. Kemudian, pendamping mengajak peserta untuk merenungkan Film singkat yang berjudul “Oscar Arnulfo Romero”. Peserta diajak untuk menemukan makna yang tersirat di dalamnya. Setelah waktu merenung selesai, pendamping meminta kesediaan dua orang peserta untuk menceritakan makna apa yang dapat dia tangkap dari pemutaran film tersebut dan bagaimana perasaannya? Dibantu dengan pertanyaan: 1) Kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami oleh Mgr. Oscar Arnulfo Romero ketika menyuarakan nasib rakyat kecil? 2) Apakah Bapak/Ibu dan saudara/saudari akan melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh Mgr Oscar Arnulfo Romero, terutama bila kita berada dalam situasi yang kurang lebih sama? 3) Apa yang dapat kita lakukan untuk membantu saudara-saudari kita yang sedang mengalami penderitaan? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 149 c. Intisari: Memasuki dekade 1970-an, Elsalvador dicengkram oleh kekuasaan pemerintahan kanan yang militeristik dan berperan sebagai tuan tanah dan pemilik modal. Negeri setengah feodal dan setengah kapitalis ini dikendalikan oleh pemerintahan militer yang berfungsi mengunci sistem yang timpang dan menindas rakyat kecil. Pater Grande (sahabat Mgr Oscar Arnulfo Romero) adalah rohaniwan Katolik yang menjadi salah satu korban kekejian para-militer yang disewa tuan tanah. Represi rezim membuahkan perang saudara di negeri Amerika Tengah itu yang berlangsung selama 12 tahun (1980-1992). Dalam situasi seperti inilah Mgr Óscar Romero y Arnulfo Galdámez (15 Agustus 1917 – 24 Maret 1980) diangkat menjadi uskup keempat dari Gereja Katolik El Salvador. Setelah peristiwa pembunuhan yang terjadi pada sahabatnya Pater Rutilio Grande, yang tewas ditangan para-militer, Beliau mulai tergerak hati untuk peduli dan berpihak pada permasalahan rakyat kecil El Salvador yang tertindas. Uskup Oscar Romero meyakini bila perjuangan yang dilakukan oleh Pater Grande berbasiskan ajaran dan praksis pembebasan yang berakar dari iman kepada Yesus Kristus. Melalui berbagai pidato maupun homilinya ketika misa (ibadat Katolik), sang uskup mengeluarkan kritikan-kritikan pedas pada rezim militer yang brutal pada rakyatnya sendiri, terutama kepada kaum tani, tetapi sangat ramah terhadap tuan tanah, pemilik modal dan kapitalis asing. Oscar Romero pernah berkata: “Kristus sedang ‘tersalib’ bersama-sama rakyat El Savador yang menderita dan tertindas. Uskup Oscar Romero mengikuti jejak Kristus yang tersalib. Ia menjadi martir kebenaran dan kemerdekaan ketika ditembak oleh aparat militer saat memimpin misa di gerejanya. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 150 d. Rangkuman: Tentu kita tidak akan diam jika melihat sahabat atau kerabat kita dilanda suatu musibah yang menyebabkannya mengalami rasa sakit, stress, frustasi, atau bahkan sampai mengalami gangguan jiwa. Sebagai umat beriman, kita terdorong untuk membantu sahabat atau kerabat kita tersebut melewati masa-masa kritisnya dengan memotivasi dia untuk bangkit dari keterpurukan, memberikan peneguhan, pendampingan, dan pengharapan yang dapat membebaskannya dari kesengsaraan jiwa dan raga. Seperti sama halnya dengan pengalaman dari Mgr Oscar Arnulfo Romero. Pada awalnya beliau bersikap dingin dan kurang peduli dengan permmasalahan rakyat kecil. Namun, pada akhirnya beliau menyadari bahwa sebagai anggota Gereja beliau terpanggil untuk dapat menyuarakan apa yang menjadi hak dari saudara-saudara kita kaum lemah, miskin, tertindas dan difabel. Hal ini juga merupakan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang. Untuk menjadi orang katolik sejati, kepekaan hati kita sangat dibutuhkan. Allah menghendaki kita untuk dapat mencintai Dia dan sesama manusia. mencintai Allah berarti juga harus mencintai sesama. 2. Langkah II : Mendalami Pengalaman Hidup Peserta a. Peserta diajak untuk merefleksikan sharing pengalaman yang sesuai dengan film “Oscar Arnulfo Romero” dengan dibantu pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana cara Mgr. Oscar Arnulfo Romero mengatasi kesulitan yang hadapi ketika ingin menyuarakan dan memperjuangkan keadilan bagi rakyat kecil di El Salvador? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 151 2. Cara mana saja yang bapak/ibu dan saudara/saudari gunakan ketika menghadapi kesulitan dalam membantu meringankan penderitaan sesama? b. Dari jawaban yang telah diungkapkan oleh peserta, pendamping memberikan arahan rangkuman singkat: Meskipun mengalami berbagai kesulitan dalam membela rakyat miskin, Mgr Oscar Romero tidak pernah berhenti memperjuangkan suara rakyat miskin. Dalam semuanya itu, beliau berdoa dan memohon petunjuk dari Tuhan. Meski perjuangan Mgr Oscar Romero ini tidak dapat menghentikan peperangan yang sedang terjadi, tetapi setidaknya rasa cinta dan kepeduliannya terhadap nasib rakyat kecil di El Salvador dapat memberikan rasa damai dan kekuatan bagi mereka dalam menghadapi situasi pelik yang sedang terjadi. Sungguh tidak dapat kita ragukan bahwa ketulusan cinta yang kita curahkan kepada orang-orang yang sedang dalam situasi sulit dapat membuat mereka merasa lebih kuat menerima dan menghadapi hari-harinya yang berat. Penerimaan itulah yang kemudian menimbulkan pengharapan baru yang dapat membebaskan mereka dari kecemasan dan ketakutan-ketakutan hidup. 3. Langkah III : Menggali Pengalaman Iman Kristiani a. Salah satu peserta diminta untuk membacakan isi Kitab Suci Ayub 1: 13-22 b. Setelah mendengarkan isi KS, peserta diberi waktu hening sejenak untuk merenungkan dan menanggapi isi bacaan KS, dengan dibantu beberapa pertanyaan, sbb: 1) Dari perikop tersebut, ayat manakah yang menunjukan pengalaman penderitaan Ayub? PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 152 2) Ayat manakah yang menunjukan sikap iman yang seharusnya dimiliki oleh kita sebagai hamba Allah? 3) Melalui kisah Ayub dalam perikop tersebut, sikap seperti apa yang ingin ditanamkan oleh Allah kepada kita sebagai murid-Nya? 4) Pesan apa yang dapat kita petik dari pengalaman Ayub, terutama ketika mengalami permasalahan hidup yang datang bertubi-tubi? c. Peserta diajak untuk mencari dan menemukan makna atau pesan yang tersirat dalam bacaan KS sehubungan dengan 3 pertanyaan di atas. d. Pendamping memberikan interpretasi dari bacaan Ayub 1 :13-22 Dalam Kitab Ayub 1:13-22 digambarkan sebagai mana kemalangan demi kemalangan menimpa Ayub. Di sana, Ayub mengalami banyak kehilangan: kehilangan hartanya, yakni ternak-ternaknya, dan kehilangan anak-anaknya. Kehilangan-kehilangan itu rupanya terjadi seketika hal itu digambarkan oleh adanya laporan dari pembantunya yang memberitahukan perihal bencana itu. Artinya, kemalangan yang terjadi dan didengar Ayub disusul dengan kemalangan lain yang juga didengarnya (ay 13-19). Singkatnya, Ayub tidak memiliki waktu untuk merenungkan atau untuk berdiam diri merenungi nasibnya, sebab ketika bencana pertama didengarnya, langsung saja disusul dengan berita bencana kedua dan seterusnya. Ini dapat dikatakan Ayub seperti disambar petir. Bertubi-tubi dia mendengar berita yang sesungguhnya tidak seorangpun ingin mendengarnya dan setelah berita terakhir dia baru bias menyikapinya: berdiri, mengoyak jubah dan mencukur kepalanya, lalu sujud dan menyembah Tuhan Allah (ayat 20). Dalam penderitaan karena merasa kehilangan, Ayub tetap setia kepadaNya. Hal itu terungkap dari ucapannya, yang tidak mempersalahkan apalagi mengutuki Tuhan Allah, sebagaimana menjadi ramalan iblis itu: “Dengan PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 153 telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang member, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (ayat 21). Ay 21 ini menunjukan sikap Ayub yang masih taat dan beriman kepada Allah meskipun ia mengalami penderitaan yang berat. Pada ay 21 diperlihatkan bagaimana Ayub tidak berbuat dosa sedikitpun tidak berbuat kesalahan, apalagi menaruh benci pada Allah (ayat 22). 4. Langkah IV : Menerapkan Iman Kristiani dalam situasi Konkret Peserta a. Pengantar Penderitaan adalah pengalaman yang tidak dapat kita hindari. Seringkali kita melakukan kesalahan dan berdampak negative bagi hidup kita. Tidak jarang juga kita mengalami permasalahan hidup yang sangat berat sehingga kita merasa lelah dan ingin menyerah pada keadaan. Namun menyerah dalam keadaan putus asa bukanlah cara yang tepat dalam mengatasi permasalahan hidup. Sejak awal kita telah banyak berbicara mengenai permasalahan hidup yang menimbulkan penderitaan dalam hidup manusia terutama berkaitan dengan Kitab Ayub. Kitab Ayub mau menunjukan kepada kita bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas dan bergantung pada Allah. Artinya manusia diciptakan oleh Allah dan untuk berbakti kepada Allah. Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia hendaknya memiliki sikap iman yang kuat, lebih-lebih ketika berhadapan dengan masalah hidup. Sikap iman tersebut adalah bagaimana manusia dapat mennyerahkan diri secara total terhadap rencana Allah, dapat menerima dengan hati yang penuh iman, sanggup bergulat dengan penderitaan tersebut, kemudian dapat memaknainya. Sikap iman seperti ini akan menciptakan pengharapan baru yang mampu membuat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 154 pribadi merasakan bebas dari rasa cemas dan ketakutannya pada penderitaan. Karena sesungguhnya yang harus manusia takutkan bukanlah pengalaman penderitaan, melainkan rasa takut berhadapan dengan penderitaa itu sendirilah. b. Sebagai bahan refleksi supaya kita dapat menemukan hal-hal yang masih diperlukan untuk semakin mendewasakan iman kita sebagai orang kristiani, terutama dalam menghadapi atau menyikapi permasalahanpermasalahan yang terjadi dalam hidup ini (untuk orang lain atau diri sendiri) secara lebih nyata (melalui perkataan dan perbuatan) di tengah masyarakat, maka marilah kita merenungkan bersama-sama, dengan dibantu pertanyaan -pertanyaan berikut: 1) Apakah melalui pertemuan ini, Bapak-Ibu, saudara-saudari merasa menemukan dan memperoleh ketegasan akan sikap iman yang perlu diteladani dari penderitaan Yesus dan penderitaan Ayub (orang beriman)? 2) Sikap-sikap mana yang dapat kita usahakan untuk senantiasa dapat dilakukan dalam menyikapi permasalahan hidup kita dan sesama? c. Saat hening diiringi dengan instrument. Setelah waktu refleksi selesai, peserta diberi kesempatan secukupnya untuk mensharingkan hasil refleksi pribadi sesuai dengan panduan 3 pertanyaan di atas. d. Arah rangkuman penerapan pada situasi peserta Allah juga menderita. Allah menderita melalui Putra-Nya Yesus Kristus. Penderitaan Yesus adalah penderitaan yang sangat mulia. Demi cinta-Nya kepada manusia, Yesus rela sengsara dan wafat di kayu Salib. Penderitaan Yesus adalah penderitaan yang dialami oleh manusia yang bersih tanpa dosa. Penderitaan Yesus ingin menunjukan kepada kita bagaimana sikap iman Yesus kepada Bapa-Nya PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 155 membuat Dia sanggup menanggung kesengsaraan. Pada detik-detik kematian-Nya Yesus melakukan penyerahan diri secara total kepada umat manusia yang dicintaiNya dan juga kepada Bapa di Surga. Dalam Kitab Ayub, kita juga menemukan satu sikap yang sangat mengagumkan, yakni ketika Ayub mendengar berita bencana yang menimpa dirinya: melenyapkan seluruh ternak dan anak-anaknya. Ayub tidak kehilangan jati dirinya sebagai orang yang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Artinya, Ayub tetap setia sebagai orang yang percaya kepada Allah. Dengan melihat pengalaman Ayub, kenyataannya diantara kita masih banyak yang mengalami hal serupa, meski pengalamannya tidak sama persis dengan kisah Ayub itu. Tetapi, meski demikian sebagai orang beriman kita tetap harus bertahan dalam iman kita, karena itulah yang dikehendaki Tuhan Allah supaya kita lakukan. Akhirnya dengan melihat kisah Ayub tadi, kita yang masih hidup sampai saat ini dapat lebih baik lagi dalam menyikapi penderitan-penderitaan hidup secara tepat, entah itu terjadi pada diri kita sendiri maupun orang lain. 5. Langkah V : Mengusahakan suatu Aksi Konkret Di sini, pendamping mengajak peserta menungkapkan harapan atau niat-niat sebagai usaha yang mungkin dapat dilanjutkan. Di sinilah kembali penekanan akan pentingnya pengharapan untuk pembebasan diri dari belenggu penderitaan, yang khas dalam katekese pembebasan. a. Pengantar Bapak/Ibu dan saudara-saudari terkasih, dalam pembicaraan tadi, kita sudah berusaha menemukan hal-hal yang perlu kita upayakan untuk semakin mendewasakan iman kita, terutama dalam menyikapi permasalahan-permasalahan hidup kita. Dalam film singkat “Oscar ARnulfo Romero” diceritakan bagaimana PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 156 kisah seorang uskup yang awalnya tidak peduli pada rakyat miskin, lambat laun Roh Kudus menggerakkan hatinya untuk peduli pada rakyat kecil, dengan ambil bagian dalam permasalahan yang dihadapi oleh rakyat El Salvador pada masa rusuh selama beliau menjabat sebagai seorang uskup. Meski mengalamiberbagai ancaman keselamatan dari pihak militer, uskup Oscar Romera tetap bersikeras menyuarakan nasib rakyat kecil yang mengalami penindasan dan ketidakadilan. Sikap peduli dan cinta kepada sesama adalah sikap iman yang luar biasa. Hal ini adalah sesuatu tindakan yang dikendaki oleh Yesus Kristus (mencintai sesama). Sedangkan Kitab Ayub ingin menanamkan kepada kita sikap iman yang pasrah dan percaya serta taat pada kehendak Allah. Selalu yakin dan percaya bahwa Allah memiliki rencana baik yang sulit diselami oleh akal budi manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah manusia bersikap rendah hati, mencintai Allah dan sesama. b. Marilah kita merenungkan hal-hal konkrit apa saja yang harus kita lakukan untuk mewujudnyatakan hasil refleksi kita dalam usaha menemukan makna dari pengalaman penderitaan entah itu yang dialami oleh diri sendiri ataupun orang lain. Pertanyaan untuk menuntut umat dalam membuat niat-niat: 1) Aksi konkrit apa yang hendak Bapak/Ibu dan saudara-saudari lakukan untuk menghadirkan Kerajaan Allah bagi sesama yang sedang mengalami keputusasaan terhadap permasalahan hidup yang menimpanya ? 2) Hal-hal apa saja yang perlu kita perhatikan dalam mewujudkan niat-niat itu? c. Niat-niat tersebut diungkapkan bersama (atau direrungkan dalam hati masing-masing, dan kemudian diungkapkan dalam doa umat). 6. Penutup PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 157 a. Setelah selesai merenungkan niat-niat, marilah kita memandang salib yang ada di tengah-tengah kita yang menunjukan sikap Yesus sendiri: mau membagi hidup-nya bagi manusia. Yesus telah memberikan bukti nyata sekaligus teladan bagaimana kita mengikuti Allah. lilin bernyala sebagai symbol yang menerangi langkah hidup kita, dan membimbing kita dengan terang kasih-Nya. Berikut, kita dipersilahkan untuk saling mengungkapkan doa pribadi secara spontan, dan juga dapat mendoakan satu sama lain b. Doa umat secara spontan c. Doa Penutup : Allah Bapa yang Mahabaik, kami bersyukur atas rahmat penyertaan-Mu dari awal hingga akhir pertemuaan ini. Terimakasih Bapa, karena kami dapat mengungkapkan pengalaman pribadi kami secara terbuka dihadapan-Mu, dan bahkan kami boleh merenungkan Sabda-Mu melalui Kitab Ayub. Melalui pertemuan ini, kami memperoleh peneguhan, kekuatan dan keyakinan dalam menjalankan hidup kami baik suka maupun duka. Kami bersyukur boleh menemukan makna atas pengalaman penderitaan hidupku yang berharga, kamipun semakin dituntut untuk dapat semakin setia kepada-Mu tanpa batas. Melalui Yesus Kristus, kami Engkau tebus, dan dengan penderitaan-Nya yang mulia, kami Engkau selamatkan dari dosa.akhirnya ya Bapa, kami mohon, semoga apa yang kami harapkan dan cita-citakan demi kemuliaan nama-Mu dapat terlaksana dengan baik sesuai kehendak-Mu. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin d. Doa ini diakhiri dan dipersatujan dalam doa yang diajarkan oleh Yesus Kristus “Doa Bapa Kami” e. Lagu Penutup “Damai BersamaMu PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 158 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Untuk mengakhiri penulisan skripsi ini, penulis akan merumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Penderitaan merupakan realitas yang paling dekat dengan manusia, manusia tidak dapat mengelak dari pengalaman tersebut. Sebagai makhluk yang reflektif, dengan adanya pengalaman penderitaan yang terjadi sepanjang sejarah hidup manusia, akhirnya manusiapun terdorong untuk mencari cara menyikapi hal tersebut seperti memaknainya. Berkaitan dengan Kitab Ayub: Kitab Ayub merupakan kitab paling besar berbicara tentang penderitaan manusia. Dalam kitab ini, dikisahkan seorang tokoh bernama Ayub. Ayub adalah orang yang saleh dan takut akan Allah, tetapi tibatiba saja Ayub dicobai iblis atas persetujuan Allah. Mengapa? Karena Iblis meragukan ketulusan Ayub taat kepada Allah. Penderitaan Ayub menjadi topic yang menarik dibahas karena menurut pandangan tradisional penderitaan adalah akibat dari kesalahan manusia, sedangkan dalam Kitab Ayub, penderitaan justru dialami orang yang saleh. Berdasarkan hasil belajar dari Kitab Ayub, secara khusus dalam rangka memaknai penderitaan, penulis menyimpulkan bahwa penderitaan yang terjadi pada diri Ayub bukanlah karena dosa, ataupun hukuman atas dosa. Cara pandang ketiga sahabat Ayub berhubungan dengan penderitaan yang dialaminya adalah keliru. Mereka berpegang pada keyakinan mengenai pendapat tradisonal tentang pembalasan di bumi. Inilah permasalahan yang ada pada Kitab Ayub. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 159 Melalui penderitaan, Allah hendak mendidik manusia supaya semakin dewasa dalam iman, sehingga mempunyai kepekaan pada permasalahan dan pengalaman penderitaan yang terjadi pada sesama, serta ikut ambil bagian dalam menghadapi dan mengatasi penderitaan tersebut. Pada akhir cerita, kehidupan Ayub dipulihkan kembali oleh Allah. Allah melipatgandakan segala kepunyaan Ayub sebelum ia dicobai iblis. Ini semua adalah buah dari ketaatan Ayub akan Allah, meski menderita, Ayub tetap menyimpan harapan pada Allah serta setia dan takut akan Allah, walaupun sebelumnya Ayub sempat mengeluh pada keadilan Allah, dan tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang misteri rencana Allah. Berkaitan dengan usaha untuk menemukan makna dibalik penderitaan manusia, Katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) menjadi salah satu alternative yang dapat digunakan untuk mengaktualisasikan usaha dalam menemukan makna-makna penderitaan, sehingga umat kristiani dapat bersikap bijaksana dan lebih baik lagi dalam menyikapi penderitaannya. Dengan begitu, penderitaan tidak dilihat sebagai peristiwa yang sangat menakutkan. Singkatnya, katekese pembebasan dapat menjadi tempat bagi makna-makna penderitaan diungkapkan dan disadari umat beriman demi tumbuhnya harapa baru atas pembebasan diri dari belenggu penderitaan. PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 160 B. Saran Berikut ini adalah saran-saran yang dapat diungkapkan kepada siapa saja yang membaca atau menggunakan skripsi ini, juga yang hendak melanjutkan usaha memaknai penderitaan dan katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP). Kitab Ayub memberi gambaran kepada kita bahwa tidak semua penderitaan diakibatkan oleh dosa, misalnya saja Ayub. Dia adalah orang beriman tetapi mengalami penderitaan. Penderitaan memang sesuatu yang misteri, tidak dapat dipahami dengan nalar kita, karena rencana Allah penuh misteri dan selalu indah pada waktunya. Oleh sebab itu, kita disarankan untuk tidak melihat dan menilai penderitaan yang menimpa orang lain sebagai akibat dari dosanya. Dalam usaha mencari dan menemukan makna hidup ini, kita tidak boleh berhenti, karena hidup ini terus berjalan dan berkembang, maka sebagai makhluk reflektif dan juga beriman kita sebaiknya kita berusaha untuk memaknai dan menyikapi pengalaman-pengalaman hidup secara terus-menerus dan lebih tepat lagi. Katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) dapat menjadi salah satu alternative bagi para katekis. Untuk itu, dalam rangka menerapkan ataupun mengembangkan katekese ini, terkebih dahulu katekis harus memahami duduk permasalahan dari adanya penderitaan. Hal ini sangat berguna untuk membantu umat yang sedang mengalami penderitaan, supaya dapat menemukan harapan baru untuk membebaskan diri dari belenggu penderitaan, serta semakin membantu katekis untuk semakin bertindak bijaksana. Singkatnya, kepekaan dan kesadaran akan realitas sangat membantu dalam mengembangkan katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP). PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 161 DAFTAR PUSTAKA Adisusanto, FX.,. (2000). Katekese Sebagai Pelayan Sabda (Seri Puskat No. 371). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat Alkitab. (1997). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia Atkinson, David. (1974). The Message Of Job. Penerjemah: Gwyneth Jones. Edisi 1.-1996; 2.-2002 (No. D 720/9, Seri Pemahaman dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini (PPAAMK) “Ayub” Dalam Kasih Allah Rahasia Penderitaan, Tujuan, dan kekuatannya ditemukan). ISBN: 979-8976-00-2. Jakarta: yayasan Komunikasi Bina Kasih, Anggota IKAPI DKI Jakarta. Banawiratma, J.B., (1987). Kemiskinan dan Pembebasa. Yogyakarta: Kanisius. Bria, Emanuel. (2007). Jika Ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan? (Percikan Filsafat Whitehead). Yogyakarta: Kanisius. Carretto, Carlo. (1989). Mengapa Ya Tuhan: Makna Derita Yang Mendalam. (diterjemahkan oleh A. Soenarja, SJ). Yogyakarta: Kanisius. Cookz, Bernard. (1972). Iman dan Katekis (Seri Puskat No. 110). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat Dokumen Konsili Vatikan II. (1995). (R. Hardawiryana, SJ., penerjemah). Jakarta: Obor Dreher, Bruno. (1973). Pembebasan Manusia. diterjemahkan dan disesuaikan oleh Alex Beding. Ende: Nusa Indah Egan, Eilen & Egan, Kathleen. (2001). Suffering Into Joy: Mengubah Penderitaan Menjadi Kegembiraan (A. Rahartati Bambang Haryo, Penerjemah). Batam: Santo Press. Fore, Wiliam F. (2000). Para Pembuat Mitos: Injil, Kebudayaan dan Media. (Wenas Kalngit, Penerjemah). Jakarta: Gunung Mulia. Groenen, C., OFM. (1979). Panggilan Kristen. Yogyakarta: Kanisius. Groome, Thomas H. (1997). Shared Christian Praxis: Suatu Model Berkatekese. (F.X. Heryatno Wono Wulung, Penyadur). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat. (Buku asli diterbitkan th 1991). Guinan, Michael D. “Ayub”. Dalam Dianne Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Kitab Perjanjian Lama: Ayub (Lembaga Biblika Indonesia). Yogyakarta: Kanisius. Hardiwikarta, J., Pr. (1985). Instruksi mengenai segi-segi tertentu “Teologi Pembebasan”. Jakarta: Obor Haryanto. (2011). “Memaknai Pengalaman Penderitaan”. (Dalam Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat Cinta-Mu (hal. 334). Yogyakarta: Seminari Tinggi St. Paulus. Nouwen, Henry J.M. (1998). Mencari Makna Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius. Heryatno Wono Wulung, FX., SJ. (1997). Shared Christian Praxis: Suatu Model Berkatekese (Seri PuskatcNo. 356). (saduran bebas dari Thomas H. Groome, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry, New York: Harper Collins, 1990, hal. 133-297). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat. Huber, Th., SJ,. (1979). Arah Katekese Di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, Ende: Nusa Indah . (1981). “Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se- II: 26 Juni-5 Juli 1980”. Dalam Katekese Umat. Indonesia. Yogyakarta: Puskat PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 162 Keating, Thomas. (1999). Krisis Iman Krisis Kasih. Yogyakarta: Kanisius. Kleden, Budi. (2006). Membongkar Derita; Teodice: Kegelisahan Filsafat dan Teologi. Cet. 1. Maumere: Seminari Tinggi Ledalero. Krispurwana Cahyadi, T. SJ,. (2011). Yohanes Paulus II tentang Keadilan dan Perdamaian. Jakarta: Fidei Press Kushner, Harold. (1987). Derita Kutuk Atau Rahmat. Yogyakarta: Kanisius. . (1988). Ketika Penderitaan Melanda Hidup Orang-orang Baik. Judul asli “When Bad Things Happen To Good People”, (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Tim Editor Mitra Utama, copyright 1981, Cetakan I 1988). Jakarta: Mitra Utama. KWI. (1996). Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius Magnis Suseno. (1987). Keadilan dan Analisis Sosial: Segi-Segi Etis. Dalam Banawiratma (Ed.). Kemiskinan dan Pembebasan (hal. 37-38). Yogyakarta: Kanisius. Mardi Prasetya. (1992). Psikologi Hidup Rohani. Yogyakarta: Kanisius. Michael Polanyi. (2011). Kajian Tentang Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Robini M, Johanes dan H. J. Suhendra, (2002). Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu Telaah Filosofis Kitab Ayub. Yogyakarta: Kanisius. Surip Stanislaus. (2008). Tragedi Kemanusiaan: Kejatuhan, Peradaban Jahat, dan Penderitaan Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Telaumbanua, Marianus. (1999). Ilmu Kateketik: Hakekat, Metode dan Peran Katekese Gerejawi. Jakarta: Obor. Timotheus, M. ed. (1970). Penderitaan Tapa dan Puasa. Yogyakarta: Kanisius. Van der Horst, Step. (1973). Teologi dan Katekese. Seri Puskat No. 21. Yogyakarta: Puskat Van Der Weiden, Wim. (1995). Seni Hidup: “Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama”. Yogyakarta: Kanisius. . (2011). Setia Kendati Lemah. Yogyakarta : Kanisius. Wahono Nitiprawiro. (1987). Teologi Pembebasan “Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Wibowo Ardhi, FX. (1993). Arti Gereja. Yogyakarta: Kanisius. Yewangoe, A.A. (1993). Thelogia Crucis di Asia (Stephen Sulleman, Penerjemah). Jakarta: BPK Gunung Mulia. Yohanes Paulus II, Paus. (1992). Catechesi Tradebdae (Penyelenggaraan Katekese): Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II Kepada Para Uskup, Klerus dan Segenap Umat Beriman tentang Katekese Masa Kini (16 Oktober 1979). (Seri Dokumen Gerejawi No. 28). Diterjemahkan oleh Robert Hardawiryana SJ. Jakarta: Departemen Dokumen dan Penerangan KWI. . (1993). Salvifici Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan). Seri Dokemen Gerejawi No. 29. Surat Apostolik Paus Johanes Paulus II. (J. Hadiwikarta, Pr., Penerjemah). Jakarta: Departemen Dokumen dan Penerangan KWI