BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari (Agustiani, 2009). Menurut Sunaryo, (2004) konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual. Termasuk di dalamnya adalah persepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimilikinya, interaksi individu dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek serta tujuan, harapan dan keinginannya. Konsep diri menurut Rahmat, J. (1991), mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologis, dan fisis. Hardy, M & Heyes, S. (1988), juga berpendapat semakin berkembang seseorang, semakin lebih mampu dia mengatasi lingkungannya. Namun, sementara dia mengetahui lingkungannya, diapun mengetahui siapa dirinya, dan diapun mengembangkan sikap terhadap dirinya sendiri dan perilakunya. Pengetahuan dan sikap inilah yang dinamakan dengan konsep diri. Konsep diri dikembangkan melalui proses yang sangat kompleks yang melibatkan banyak variabel. Keempat komponen konsep diri adalah identitas, citra tubuh, harga diri dan peran. Konsep diri adalah representasi fisik seorang individu, pusat inti dari “aku” dimana semua persepsi dan pengalaman terorganisasi. Konsep diri adalah kombinasi dinamis yang dibentuk selama bertahun-tahun dan didasarkan pada hal berikut; reaksi orang lain terhadap tubuh seseorang, persepsi berkelanjutan tentang reaksi orang lain terhadap diri, hubungan dengan diri dan orang lain, struktur kepribadian, persepsi terhadap stimulus yang mempunyai dampak pada diri, pengalaman baru atau sebelumnya, perasaan saat ini tentang fisik, emosional, dan sosial diri, dan harapan tentang diri. Dari pengertian yang telah dikemukakan oleh bererapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara individu melihat pribadinya secara utuh, meliputi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual. Konsep diri juga diperoleh dari pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungan sekitar. 2. Dimensi / Komponen Konsep Diri a. Dimensi Internal Yosep, (2010) mengungkapkan bahwa ada dua dimensi dalam konsep diri manusia yaitu, dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal atau yang disebut juga karangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu yakni penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia didalam dirinya. Dimensi ini terdiri dalam tiga bentuk: 1) Diri identitas (identity self) Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “siapakah saya?” dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. Kemudian dengan bertambah usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti “ saya pintar tetapi terlalu gemuk” dan sebagainya. Hal-hal yang penting yang terkait dengan identitas diri (Sunaryo, 2004) yaitu: a) Berkembang sejak masa kanak-kanak, bersamaan dengan berkembangnya konsep diri. b) Individu yang memiliki perasaan identitas diri kuat akan memandang dirinya tidak sama dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya. c) Identitas jenis kelamin berkembangan secara bertahap sejak bayi. d) Identitas jenis kelamin dimulai dengan konsep laki-laki dan perempuan serta banyak dipengaruhi oleh pandangan maupun perlakuan masyarakat. e) Kemandirian timbul dari perasaan berharga, menghargai diri sendiri, kemampuan dan penguasaan diri. f) Individu yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya. 2) Diri pelaku (behavioral self) Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “ apa yang dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. 3) Diri penerimaan/penilai (judging self) Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri indentitas dan diri pelaku. b. Dimensi Eksternal Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain diluar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama, dan sebagainya. Dimensi yang dikemukakan oleh Fitts dalam buku psikologi perkembangan (Agustiani, 2009) adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu: 1) Diri fisik (physical self) Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang penampilan dirinya mengenai (cantik, kesehatan jelek, dirinya, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus). 2) Diri etik-moral (moral-ethical self) Ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk. 3) Diri pribadi (personal self) Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat. 4) Diri keluarga (family self) Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga. 5) Diri sosial (social self) Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya. Pembentukkan penilaian individu terhadap bagainbagian dirinya dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seseorang tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki fisik yang baik tanpa adanya reaksi dari orang lain yang memperlihatkan bahwa secara fisik ia memang menarik. Demikian pula seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik tanpa adanya tanggapan atau reaksi orang lain disekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memiliki pribadi yang baik. Komponen konsep diri menurut Suliswati, et al. (2005), dan Kusumawati & Hatono, (2010), menjelaskan bahwa komponen konsep diri terdiri dari citra tubuh (body image), ideal diri (self-ideal), harga diri (self-esteem), peran (selfrole), dan identitas diri (self-identity). 1) Citra tubuh (body image) Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh. Individu yang menerima tubuhnya apa adanya biasanya memiliki harga diri tinggi dari pada individu yang tidak menyukai tubuhnya. 2) Ideal diri (self-ideal) Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai standar pribadi, dibentuk oleh gambaran tipe orang yang diinginkan; sejumlah aspirasi, nilai, dan tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma masyarakat. 3) Harga diri (self-esteem) Harga diri merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain yaitu dicintai, dihormati, dan dihargai. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalamai keberhasilan, sebaliknya individu akan merasa harga dirnya rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima lingkungan. 4) Peran (self-role) Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang dihapakan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu di dalam kelompok sosialnya. 5) Identitas diri (self-identity) Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai sesuatu kesatuan yang utuh, berhubungan dengan perasaan berbeda dengan orang lain, dan berhubungan dengan jenis kelamin. Jadi dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek konsep diri menurut Suliswati, et al. (2005) & Kusumawati (2010). 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri Terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri manusia menurut Agryle, M (1969, dalam Hardy, M. & Heyes, S. 1985), yaitu; Reaksi dari orang lain, pembandingan dengan orang lain, peranan orang lain, dan identifikasi terhadap orang lain. a. Reaksi dari orang lain Cooley, C, H (1902, dalam Hardy, M. & Heyes, S. 1985) membuktikan, bahwa dengan mengamati pencerminan perilaku kita terhadap respon orang lain kita dapat mempelajari diri kita sendiri. Konsep diri terbentuk dalam waktu yang lama, dan pembentukan ini tidak dapat diartikan bahwa adanya reaksi yang tidak biasa dari seseorang akan dapat mengubah konsep diri individu. Akan tetapi, apabila tipe reaksi seprti ini muncul karena orang lain yang memiliki arti (significant others) yaitu orang-orang yang kita nilai, seperti misalnya orang tua, teman, dan lain-lain, maka reaksi ini mungkin berpengaruh terhadap konsep diri. Konsep diri dapat dibedakan menurut daerah keaktifan seseorang, misalnya diri sebagai seorang yang terpelajar, diri sebagai seorang olaragawan, atau diri sebagai seorang yang terkemuka dilingkungannya. Jadi, jatidiri (identity) orang lain dapat mempengaruhi konsep diri seseorang akan tergantung kepada aspek tertentu mana yang membangkitkan respon. Konsep diri relatif stabil, karena kita biasanya memilih teman-teman mana yang menganggap kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri karenanya, mereka memperkukuh konsep diri kita. Orang lain yang sangat berarti bagi sebagaian besar anak-anak ialah orang tua. Seorang anak sangat dipengaruhi oleh pandangan oleh orang tuanya sendiri sebagai seorang yang pandai, nakal, pendiam, gemuk, kuat, dan sebagainya. b. Pembandingan Dengan Orang Lain Konsep diri kita sangat tergantung kepada cara bagaimana kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Orang-orang dewasa umumnya membuat perbandingan antara kakak dan adik. Rata-rata seorang anak akan menganggap dirinya sebagai seorang yang kurang pandai karena secara terus menerus membandingan dirinya dengan salah seorang saudaranya yang lebih pandai. Kita biasanya lebih suka membandingkan diri kita sendiri dengan orang-orang yang hampir serupa dengan kita. c. Peranan Seseorang Setiap orang memainkan peran yang berbeda-beda. Didalam setiap peran tersebut dia diharapkan akan melakukan perbuatan dengan cara-cara tertentu. Saya diharapkan dapat membedakan perbuatan dalam kemampuan saya sebagai seorang guru dan sebagai seorang suami. Jadi, harapan-harapan dan pengalaman- pengalaman yang berkaitan dengan peran yang berbeda mungkin berpengaruh terhadap konsep diri seseorang. d. Identifikasi Terhadap Orang Lain Jika anak-anak khususnya mengagumi orang dewasa, mereka seringkali mencoba menjadi pengikut orang dewasa tersebut, dengan cara meniru beberapa nilai, keyakinan, dan perbuatan. Proses identifikasi ini menyebabkan anak-anak tersebut merasakan bahwa mereka telah memiliki beberapa sifat dari orang yang dikagumi. Suatu perubahan di dalam konsep diripun yang biasa tidak bertahan lama. Ini terjadi sesudah anak melihat sebuah film yang sangat dramatis yang sangat menimbulkan identifikasi terhadap seorang pahlawan, namun identifikasi ini segera menghilang sesudah kenyataan menegaskan kembali pengidentifikasian ini. Menurut Sullivan, H, S (1953, dalam Raknmat, J. 2003) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak menyenangi diri kita. Menurut Miyamoto, S, F & Dornbusch, S, M (1956, dalam Raknmat, J. 2003) mencoba mengkolerasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima angka dari yang paling jelek sampai paling baik. Yang dinilai ialah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik dan kesukaan orang lain pada dirinya. Dengan skala yang sama ternyata mereka juga menilai orang lain. Ternyata orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain, cenderung memberikan skor yang tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya harga dirinya sesuai dengan penilaian orang lain terhadap dirinya. Ada yang paling berpengaruh yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri kita. Meat, G, H (1934 dalam Raknmat, J. 2003) menyebutkan mereka significant others – orang lain yang sangat penting. Ketika kita masih kecil meraka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Dewey, R & Humber, W, J. (1966, dalam Raknmat, J. 2003) menamainya affective others – orang lain yang dengan meraka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Senyuman, pujian, penghargaan, pelukan mereka, menyebabkan kita menilai diri kita secara positif. Ejekan, cemoohan, dan hardikan yang membuat kita memandang diri kita secara negatif. 4. Perkembangan Konsep Diri Perkembangan konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut disepanjang kehidupan manusia. Symonds (1951), Fitts (1971, dalam buku Agustiani 2009) mengatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat kelahiran, tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya kemampuan perseptif. Diri (self) berkembang ketika individu merasakan bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari orang lain. Ketika dikenali sebagai orang yang terpisah dari dirinya dan ia mulai mengenali wajah-wajah orang lain, seorang bayi membentuk pandangan yang masih kabur tentang dirinya sebagai seorang individu. Stressor menentang kapasitas adaptif seseorang. Selye (1956, dalam Perry & Potter, 2005) menyatakan bahwa stres adalah kehilangan dan kerusakan normal dari kehidupan, bukan hasil spesifik tindakan seseorang atau respon khas terhadap sesuatu. Proses normal dari kematangan dan perkembangan itu sendiri adalah stressor. Perubahan yang terjadi dalam kesehatan fisik, spiritual, emosional, seksual, kekeluargaan, dan sosiokultural dapat menyebabkan stres. Stressor konsep diri adalah segala perubahan nyata atau yang dicerap yang mengancam identitas, citra tubuh, harga diri, atau perilaku peran. Individu yang berbeda bereaksi terhadap situasi yang sama dengan tingkat stres yang beragam. Persepsi tentang stressor adalah faktor penting yang mempengaruhi respon terhadap stressor tersebut. KESEHATAN Stressor fisik dan emosional Konsep Diri: Identitas Citra tubuh Harga diri Fungsi peran Stressor fisik dan emosional PENYAKIT Gambar 1.1 Bagaimana stressor mempengaruhi Konsep diri B. Activity of Daily Living (ADL) 1. Pengertian ADL Activity of melakukan Daily Living (ADL) adalah keterampilan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan secara mudah dan layak. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang biasa dilakukan setiap hari yang meliputi merawat diri, kegiatan di dapur, merawat perkakas rumah tangga dan kegiatan-kegiatan pada umumnya yang dilakukan dalam memenuhi hajad hidup setiap hari, seperti keterampilan menggunakan kamar kecil (WC), mengenal mata uang dan lainlain (Nawawi Ahmad, 2010). Activity of Daily Living (ADL) yaitu kemampuan seseorang untuk mengurus dirinya sendiri dimulai dari bagian tidur, mandi, berpakaian dan seterusnya sampai pergi tidur kembali, atau segala kegeiatan orang yang mengurus dirinya sendiri (Alaxeia, 2008). 2. Tujuan ADL Evaluasi ADL membantu praktisi menentukan bagaimana pasien yang independen dan keterampilan apa yang meraka dapat selesaikan sendiri, serta mengukur seberapa tergantung masing-masing individu dapat melakukan intervensi yang diberikan oleh Profesional Kesehatan. Tujuan dari praktisi melakukan evaluasi ADL adalah untuk membantu pasien menjadi sebagai independentas mungkin, menggunakan adaptasi yang sesuai jika diperlukan (Nursing Enclycopedia: www.enotes.com). 3. Fungsi Activity of Daily Living (ADL) a. Mengembangkan keterampilan-keterampilan pokok untuk memelihara dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi. b. Untuk melengkapi tugas-tugas pokok secara efesien dalam kontak sosial sehingga dapat diterima oleh lingkungan. c. Untuk meningkatkan kemandirian klien. Pemberian activity of daily living merupakan salah satu cara agar konsep diri klien dengan harga diri rendah dapat kembali positif dalam arti mampu melakukan aktivitas yang sebenarnya masih mampu ia lakukan dan mengembalikan kepercayaan diri bahwa dirinya berarti buat orang lain dan lingkungan di sekitarnya. 4. Indikator Activity of Daily Living (ADL) Lowton (2007) mengungkapkan bahwa ada beberapa point penting dalam melakukan activity of daily living yakni: a. Mandi b. Berpakaian c. Toileting d. Makan e. Berpindah/pergerakkan f. Pekerjaan rumah tangga g. Kemampuan untuk menagani keungan h. Tanggung jawab untuk pengobatan sendiri i. Transportasi j. Laundry C. Harga Diri Rendah (HDR) 1. Pengertian Harga Diri Rendah Harga diri rendah adalah perasaan yang tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri Keliat (1998, dalam Yosep, 2010) Harga diri rendah merupakan suatu kondisi penilaian diri yang negatif berkepanjangan pada seseorang atas dirinya atau kemampuannya (Carpenito,1998). Harga diri seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman. Individu yang memiliki harga diri rendah melihat lingkungan menganggap sebagai ancaman. dengan cara negatif dan Menurut Antai Otong (1995, dalam buku Yosep, 2010), Harga diri dipengaruhi oleh pengalaman individu dalam perkembangan fungsi ego, dimana anak-anak yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan internal dan ekternal biasanya memiliki perasaan aman terhadap lingkungan dan menunjukkan harga diri yang positif. Sedangkan individu yang memiliki harga diri rendah cenderung untuk mempersepsikan lingkungannya negatif dan sangat mengancam. Mungkin pernah mengalami depresi atau gangguan dalam fungsi egonya. 2. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah Hasil riset Malhi (2008, dalam Yosep, 2010) menyimpulkan bahwa harga diri rendah diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini disebabkan karena kurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah menyebabkan upaya yang rendah, selanjutnya hal ini menyebabkan penampilan seseorang yang tidak optimal. Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas kesalahannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan, atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya. 1) Faktor Predisposisi Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakkan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realities. 2) Faktor Presipitasi Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adlah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan atau bentuk tubuh, kegagalan atau produktivitas yang menurun. Secara umum gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan, perkosaan, atau dipenjara termasuk dirawat dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman. Penyebab lainnya adalah harapan fungsi tubuh yang tidak tercapai serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga. Harga diri rendah kronik, biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat. Baik faktor predisposisi maupun presipitasi diatas bila memengaruhi seseorang dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, maka dianggap akan memengaruhi terhadap koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme koping individu tidak efektif). Bila kondisi pada klien tidak dilakukan intervensi lebih lanjut dapat menyebabkan klien tidak mau bergaul dengan orang lain (isolasi sosial: menarik diri), yang menyebabkan klien asyik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko perubahan sensori persepsi: Halusinasi. Menurut Peplau dan Sullivan (dalam Yosep, 2010) harga diri berkaitan dengan pengalaman interpersonal, dalam tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia seperti good me, bad me, not me, anak sering dipersalahkan, ditekan sehingga perasaan amannya tidak terpenuhi dan merasa di tolak oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak efektif akan menimbulkan harga diri rendah. Sedangkan menurut Caplan (dalam Yosep, 2010) lingkungan sosial akan memengaruhi individu, pengalaman seseorang dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak oleh menyebabkan lingkungan stress dan sosial, tidak menimbulkan perilaku akibat harga diri rendah. dihargai akan penyimpangan 3. Indikator Orang yang memiliki Harga Diri Rendah Yosep (2010), menerangkan bahwa tanda-tanda atau indikator klien harga diri rendah dapat dilihat sebagai berikut: 1. Mengejek dan mengkritik diri. 2. Merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau menolak diri sendiri. 3. Mengalami gejala fisik, misal: tekanan darah tinggi, gangguan penggunaan zat. 4. Menunda keputusan. 5. Sulit bergaul. 6. Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas. 7. Menarik diri dari realitas, cemas, panik, cemburu, curiga, halusinasi. 8. Merusak diri: harga diri rendah menyokong klien untuk menghindari hidup. 9. Merusak/melukai orang lain. 10. Perasaan tidak mampu. 11. Pandangan hidup yang pesimitis. 12. Tidak menerima pujian. 13. Penurunan produktifitas. 14. Penolakan terhadap kemampuan diri. 15. Kurang memerhatikan perawatan diri. 16. Berpakaian tidak rapi. 4. 17. Berkurang selera makan. 18. Tidak berani menatap lawan bicara. 19. Lebih banyak menunduk. 20. Bicara lambat dengan nada suara lemah. Faktor-faktor yang menyebabkan Harga Diri Rendah Salah satu penyebab dari harga diri rendah yaitu berduka disfungsional. Berduka disfungsional merupakan pemanjangan atau tidak sukses dalam menggunakan respon intelektual dan emosional oleh individu dalam melalui proses modifikasi konsep diri berdasarkan persepsi kehilangan (Ajibarang, 2008). Tanda dan gejala: 5. a. Rasa bersalah b. Adanya penolakan c. Marah, sedih dan menagis d. Perubahan pola makan, tidur, kosentrasi dan aktifitas. e. Mengungkapkan tidak berdaya. Akibat Harga Diri Rendah Harga diri rendah dapat beresiko terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Ajibarang, 2008). Tanda dan Gejala: a. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul b. Menghindar dari orang lain/menyendiri c. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tampak tidak bercakap-cakap dengan klien yang lain atau perawat. d. Tidak ada kontak mata, klien selalu menunduk e. Berdiam diri di kamar atau klien kurang mobilitas f. Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika di ajak bercakapcakap. g. 6. Tidak atau jarang melakukan kegiatan sehari-hari. Rentang Respon Harga Diri Rendah Respon Adaptif Aktualisasi Diri D. Konsep diri positif Respon Maladaptif Harga diri rendah Kerancuan depersona identitas lilasi Hubungan Konsep Diri (self-concept) dengan Pelaksanaan Activity of Daily Living (ADL) Pada klien Harga Diri Rendah. Activity of Daily Living merupakan kemampuan seseorang untuk mengurus dirinya sendiri dimulai dari bagian tidur, mandi, berpakaian dan seterusnya sampai pergi tidur kembali, atau segala kegeiatan orang yang mengurus dirinya sendiri (Alaxeia, 2008). Activity of Daily Living adalah keterampilan melakukan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari yang dilakukan secara mudah dan layak. ADL merupakan kegiatan yang biasa dilakukan setiap hari yang meliputi merawat diri, kegiatan di dapur, merawat perkakas rumah tangga dan kegiatankegiatan pada umumnya yang dilakukan dalam memenuhi hajad hidup setiap hari, seperti keterampilan menggunakan kamar kecil (WC), mengenal mata uang dan lain-lain (Nawawi Ahmad, 2010). Tujuan dari Evaluasi Activity of daily living yaitu membantu praktisi menentukan bagaimana pasien yang independen dan keterampilan apa yang meraka dapat selesaikan sendiri, serta mengukur seberapa tergantung masing-masing individu dapat melakukan intervensi yang diberikan oleh Profesional Kesehatan. Tujuan dari praktisi melakukan evaluasi ADL adalah untuk membantu pasien menjadi sebagai independentas mungkin, menggunakan adaptasi yang sesuai jika diperlukan (Nursing Encyclopedia; www.enotes.com). Fungsi dalam melakukan Activity of Daily Living yaitu mengembangkan keterampilan-keterampilan pokok untuk memelihara dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi, melengkapi tugas-tugas pokok secara efisien dalam kontak sosial sehingga dapat diterima oleh masyarakat, serta dapat meningkatkan kemandirian klien. Klien dengan harga diri rendah tentu memiliki konsep diri yang negatif dalam dirinya sehingga ia tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya. Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalamanpengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari (Agustiani, 2009). Orang yang memandang rendah dirinya sendiri kurang memiliki konsep diri yang jelas, merasa rendah diri, sering memilih tujuan yang kurang realistis atau bahkan tidak memiliki tujuan yang pasti, cenderung pesimis dalam menghadapi masa depan, mengikat masa lalu secara negatif, berkubang dalam perasaan negatif, punya reaksi emosional dan behavioral yang lebih buruk dalam merespon tanggapan yang negatif dari orang lain, kurang mampu menunjukkan feedback positif terhadap dirinya sendiri, lebih memerhatikan dampak sosial mereka terhadap orang lain, dan lebih mudah kena depresi atau berpikir terlalu mendalam saat mereka menghadapi stress atau kekalahan (Taylor, Shelley E. 2009). Harga diri rendah yaitu perasaan yang tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri Keliat (1998, dalam Yosep, 2010). Salah satu penyebab dari harga diri rendah yaitu berduka disfungsional. Berduka disfungsional merupakan pemanjangan atau tidak sukses dalam menggunakan respon intelektual dan emosional oleh individu dalam melalui proses modifikasi konsep diri berdasarkan persepsi kehilangan (Ajibarang, 2008). Berikut merupakan Tanda dan gejala harga diri rendah, yakni; Rasa bersalah, adanya penolakan, marah, sedih dan menagis, perubahan pola makan, tidur, kosentrasi dan aktifitas, mengungkapkan tidak berdaya. Untuk mengembalikan konsep diri klien dengan harga diri rendah perlu diberikan tindakan keperawatan yang sesuai dengan standar operasional profesi. Salah satu tindakan keperawatan yang diberikan pada klien dengan harga diri rendah yaitu pemenuhan activity of daily living pada klien harga diri rendah. Klien harga diri rendah cenderung berdiam diri dan sulit untuk bersosialisasi dengan lingkungan disekitarnya, mereka sulit untuk memperhatikan kebersihan diri dan juga sulit melakukan aktivitas harian seperti mandi, membersihkan tempat tidur, dan tidak adanya motivasi hidup, sehingga merasa dirinya tidak berarti untuk ornag lain dan lingkungan disekitarnya. Pelaksanaan activity of daily living merupakan salah satu cara agar konsep diri klien dengan harga diri rendah dapat kembali positif dalam arti mampu melakukan aktivitas yang sebenarnya yang masih mampu ia lakukan dan mengembalikan kepercayaan diri bahwa dirinya berarti buat orang lain dan lingkungan di sekitarnya. E. Kerangka Konseptual Activity of Daily Living (ADL) Konsep Diri: Klien HDR Pengetahuan perawat tentang pembentukan konsep diri Keterangan: : Area yang diteliti : Area yang tidak diteliti Gambar 1.2 : Kerangka konsep penelitian pengaruh Activity of Daily Living terhadap konsep diri. F. Hipotesa Berdasarkan kajian teori dan kerangka konseptual tersebut dapat di susun hipotesa sebagai berikut: Ho: p = 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan pelaksanaan activity of daily living pada klien harga diri rendah. Ha: p ≠ 0 : Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan pelaksanaan activity of daily living pada klien harga diri rendah.