BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanggal 29

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanggal 29 Mei 2006 di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur menjadi sejarah
penting karena peristiwa keluarnya gas dan lumpur panas dari dalam tanah dengan
suhu 100°C yang telah menggenangi beberapa desa di Kabupaten Sidoarjo
(Mazzini et al, 2007; Davies et al, 2008; Abidin et al, 2009; Batubara, 2012). Hari
itu menjadi awal bencana yang terus berkelanjutan hingga sekarang. Lumpur
panas dengan volume 100 ribu – 150 ribu meter kubik per hari keluar dari perut
bumi (Batubara, 2012), sedangkan laporan hasil debat di forum international
AAPG 28 Oktober 2008, Cape Town, Afrika Selatan menyebutkan bahwa antara
tahun 2006 sampai Juli 2007 volume semburan berkisar antara 120.000 – 180.000
m3/hari. Luapan lumpur Lapindo telah menggenangi wilayah lebih dari 6,5 Km2
yang di dalamnya termasuk menggenangi pabrik, lahan pertanian, dan jalan tol
Surabaya-Gempol (McMichael, 2009). Di dalam genangan lumpur itu juga
terdapat beberapa desa, antara lain Renokenongo, Siring (bagian timur), Jatirejo
(bagian timur), Glagaharum (bagian barat), Kedungbendo, Ketapang (bagian
timur), dan Besuki (bagian barat). Semua desa ini terletak di wilayah administrasi
tiga kecamatan, yaitu Tanggulangin, Porong, dan Jabon (Batubara, 2012:3).
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)
bahwa semburan lumpur panas di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, yang terjadi sejak tanggal 29 Mei 2006 hingga saat ini masih berlanjut
11
2
dan belum ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, semua usaha untuk
menghentikan keluarnya lumpur dari dalam bumi sejauh ini tidak berhasil
(Mazzini et al, 2009) dan kemungkinan nihil untuk berhenti (Abidin et al, 2009).
Para ahli geologi memperkirakan fenomena semburan lumpur akan berlangsung
sekitar 20 (dua puluh) tahun (BPLS, 2009) sedangkan menurut peneliti lainnya
Davies et al (2010) mengatakan bahwa prediksi umur dari luapan lumpur akan
berlangsung selama 26 tahun.
Bencana lumpur Lapindo melanda di daerah pemukiman padat penduduk.
Lebih dari 50.000 orang yang tinggal di wilayah tergenang dipindahkan (Mazzini
et al, 2011; World Geothermal Congress, 2010), kepadatan penduduknya cukup
tinggi karena memang daerah ini merupakan daerah industri, sebagian lain
merupakan perumahan (residence), dan juga daerah ini merupakan aksesibilitas
utama penghubung antara kota-kota besar di selatan maupun timur dari Kabupaten
Sidoarjo apabila bermobilitas ke Kota Surabaya, melihat materi lumpur yang
dikeluarkan volumenya semakin banyak, maka Pemerintah pada tahun 2006
membuat tanggul untuk menampung materi lumpur yang keluar dari dalam bumi
agar tidak semakin melebar, baik ke area pemukiman, infrastruktur jalan maupun
bangunan lain yang ada di sekitar luapan lumpur Lapindo, sehingga merusak
tatanan ruang dan wilayah yang sudah dibangun dan telah menggenangi 12 desa
di tiga kecamatan. Berikut pada gambar 1.1 menunjukkan kawasan terdampak
lumpur Lapindo.
3
Sumber : BPLS (2013)
Gambar 1.1. Peta Kawasan Terdampak Luapan Lumpur Lapindo
Berdasarkan Gambar 1.1 dapat dijelaskan bahwa secara keruangan luapan
lumpur terletak di daerah pemukiman padat penduduk, dampak kerugian dan
kerusakan yang ditimbulkan oleh luapan lumpur yang menggenangi wilayah yang
terletak di daerah pemukiman padat penduduk diperkirakaan mencapai Rp 45
triliun pertahun yang dihitung dari kerugian ekonomi masyarakat, industri, serta
infrastruktur (Sukiadi, 2008). Berikut disajikan data luas wilayah dan jumlah
penduduk tiap-kecamatan di Kabupaten Sidoarjo khususnya Kecamatan di sekitar
kawasan bencana lumpur Lapindo seperti disajikan pada Tabel 1.1.
4
Tabel 1.1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Kabupaten Sidoarjo
No
Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Sidoarjo
Buduran
Candi
Porong
Krembung
Tulangan
Tanggulangin
Jabon
Krian
Balongbendo
Wonoayu
Tarik
Prambon
Taman
Waru
Gedangan
Sedati
Sukodono
Total
Luas Wilayah
(km2)
62,56
41,03
40,67
29,82
29,55
31,21
32,29
81,00
32,50
31,40
33,92
36,06
34,23
31,54
30,32
24,06
79,43
32,68
714,27
Jumlah Penduduk
Sensus Tahun 2000
(Sebelum Kejadian
Lumpur Lapindo)
146615
65164
92897
69337
53039
67308
71149
47683
88572
57357
61666
53645
60924
176704
210426
106630
67469
66430
1.416.547
Sensus Tahun 2010
(Setelah Kejadian
Lumpur Lapindo)
194051
92334
145146
65909
58358
87422
84580
49989
118685
66865
72009
60977
68336
212857
231298
132847
92468
111121
1.945.252
Sumber : Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka. BPS Tahun 2005 dan 2013
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa dari hasil sensus penduduk
yang dilakukan sebelum dan sesudah ada kejadian lumpur Lapindo didapatkan
hasil bahwa ada dinamika penduduk di tiga kecamatan (masing-masing
Kecamatan Porong, Kecamatan Tanggulangin dan Kecamatan Jabon) yang diakibatkan dari luapan lumpur Lapindo sehingga berdampak signifikan terhadap
kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat yang terpaksa dan dipaksa
untuk menjauh dari luapan lumpur.
Bencana lumpur Lapindo menggenangi wilayah (desa) yang terletak di
tiga kecamatan yaitu Kecamatan Porong, Kecamatan Tanggulangin dan
Kecamatan Jabon. Sebagian besar wilayah luapan lumpur Lapindo merupakan
wilayah pemukiman, industri, sawah, tambak dan jalan penghubung kota-kota
5
besar. Hal tersebut mengindikasikan betapa pentingnya permasalahan wilayah
sebagai akibat bencana lumpur Lapindo.
Pengembangan wilayah atas penggunaan lahan di daerah penelitian perlu
dievaluasi setelah kejadian bencana lumpur Lapindo, karena kebutuhan akan
penggunaan lahan juga semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk diperlukan suatu analisis karakteristik tingkat perkembangan wilayah
untuk pembangunan yang berbasis pengurangan risiko bencana khususnya di area
terdampak bencana lumpur Lapindo.
Berdasarkan variasi kondisi fisik, posisi geografis dan potensi ancaman
bencana, maka masing-masing wilayah akan memiliki model penanganan tingkat
perkembangan wilayah di kawasan rawan bencana sehingga perlu ada pendekatan
dan indikator untuk memprediksi potensi dan ancaman lanjutan yang kaitannya
dengan perkembangan wilayah. Selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan
skala prioritas dan juga untuk menentukan indikator penentu perkembangan
wilayah yang dapat digunakan untuk menentukan langkah-langkah strategis yang
dapat ditempuh untuk manajemen bencana maupun pembangunan wilayah.
Di samping aspek praktis seperti yang diungkapkan di atas, persoalan
teoritik juga menjadi alasan utama dilakukannya penelitian ini terutama karena
masih terdapat keterbatasan kajian yang mengenai tingkat perkembangan wilayah
di kawasan rawan bencana serta penggunaan unit analisis wilayah desa dalam
analisis. Dengan kata lain, pengembangan wilayah berbasis bencana menjadi
pilihan strategi pengembangan pada wilayah-wilayah yang secara faktual terdapat
di kawasan rawan bencana. Dari hasil penelitian ini dapat disusun tipologi
6
wilayah dan risiko bencana. Tipologi pengembangan wilayah berbasis bencana
bersifat komprehensif multisektoral dan dapat digunakan sebagai dasar bagi
perencanaan pembangunan. Hasil kajian ini akan menjadi pegangan bagi
pemerintah daerah dan stakeholders lainnya dalam kegiatan pembangunan yang
terpadu dan merata di area terdampak lumpur Lapindo khususnya di tiga
kecamatan yaitu Kecamatan Porong, Kecamatan Tanggulangin dan Kecamatan
Jabon.
1.2 Permasalahan Penelitian
Bencana lumpur Lapindo mempunyai daya rusak yang sangat besar,
karena kecepatan material lumpur yang dikeluarkan sangat besar sehingga salah
satunya menyebabkan amblesan tanah (subsidence) yang mencapai 1-4 cm/hari
pada batasan wilayah 22 km2, sejauh ini sudah dilakukan usaha pemantauan
amblesan tanah (subsidence) dengan memasang 20 stasiun GPS (Mazzini et al,
2007) selain itu juga terdapat pergerakan tanah secara horizontal (surface
displacements) sekitar 0,5-2 cm/hari (Abidin et al, 2009). Dampak luapan lumpur
Lapindo, tidak hanya membawa kerugian pada lingkungan di sekitarnya, tetapi
juga kerugian harta benda dan menelan korban jiwa, karena luapan lumpur
mengggenangi pemukiman warga dan apapun yang ada di sekitar wilayah luapan
lumpur Lapindo.
Ada beberapa permasalahan yang mendasar yang perlu diangkat dalam
bencana lumpur Lapindo khususnya terkait masalah perkembangan wilayah
sebagai dampak adanya luapan lumpur Lapindo sehingga perlu adanya kajian
yang lebih komprehensif yaitu :
7
1. Semburan lumpur Lapindo terletak di daerah pemukiman padat penduduk,
bahkan di beberapa titik merupakan kawasan perumahan (residence),
diperkirakan volume lumpur yang menggenangi lebih dari 27 juta m3 (Mazzini
et al, 2007).
2. Sebelum adanya bencana lumpur Lapindo, kawasan tersebut merupakan
kawasan industri yang menjadi sumber pekerjaan bagi warga sekitar maupun
warga luar kota. Diperkirakan total kehilangan sampai Agustus 2007 mencapai
Rp. 28,3 milyar (Rumati, 2007 hal. 36-70 dalam McMichael, 2009) yang terdiri
atas Rp. 8,3 milyar pada kehilangan asset infrastruktur, Rp. 5,8 milyar pada
sektor industri di Sidoarjo, dan Rp. 14,2 milyar dampak secara tidak langsung
pada sektor ekonomi Provinsi Jawa Timur khususnya sektor makanan,
kerajinan kulit di Tanggulangin Tahun 2007-2008 omsetnya turun hingga 70
persen1, transportasi dan industri rumah tangga (McMichael, 2009).
3. Pada bagian sisi timur dari luapan lumpur Lapindo merupakan kawasan
pertambakan sebagai tempat budidaya ikan di Kabupaten Sidoarjo yang
merupakan produk unggulan dalam bidang perikanan. Akibat pencemaran yang
terjadi sehingga mengakibatkan kematian budidaya udang yang mencapai 60 %
pada lahan seluas 9000 ha, perhitungan dari provinsi bahwa petani mengalami
kerugian hingga Rp. 13 milyar (Fitrianto, 2012).
1
Wawancara dengan Ketua Koperasi Intako (Industri Tas dan Koper di Tanggulangin)
8
4. Pada bagian sisi barat dari titik pusat luapan lumpur Lapindo ini merupakan
jalur utama penghubung (baik rel kereta api maupun jalan raya utama) antara
kota-kota besar di bagian selatan dan timur apabila bermobilitas ke kota-kota di
utara seperti Surabaya sebagai pusat perdagangan di Jawa Timur maka kotakota tersebut harus melewati jalur yang berdekatan langsung dengan luapan
lumpur Lapindo. Kawasan ini diketahui sebagai ‘pita pembangunan’ (growth
ribbon) di Jawa Timur yang terdiri atas Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan dan
Malang (McMichael, 2009).
Berangkat dari permasalahan yang kompleks tersebut, maka perlu strategi
pemecahan masalah melalui penjabaran dan penyederhanaan dan sekuen berfikir
yang logis. Pemecahan masalah perlu dilakukan secara rasional, sistematis,
transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Analisis hubungan
tingkat perkembangan wilayah dan potensi risiko bencana merupakan salah upaya
mencari jawaban atas permasalahan tersebut diatas dan merupakan langkah
sistematis dan optimal untuk pengelolaan dan penataan wilayah secara
komprehensif, terpadu dan berwawasan lingkungan.
Berdasarkan beberapa hal yang dikemukakan diatas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Apa karakteristik dan pola sebaran keruangan potensi tingkat perkembangan
wilayah ?
2. Apa karakteristik dan pola sebaran keruangan potensi tingkat risiko bencana ?
3. Apa model hubungan yang terjadi antara tingkat perkembangan wilayah
dengan potensi risiko bencana ?
9
1.3 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai hubungan tingkat perkembangan wilayah dan potensi
risiko bencana pada kasus bencana luapan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo
sejauh yang penulis ketahui belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya.
Walaupun studi empiris yang berhubungan dengan masalah perkembangan
wilayah akibat bencana dan juga bencana lumpur Lapindo telah dilakukan oleh
banyak peneliti. Perbedaan Penelitian ini pada waktu dan tempat serta terdapat
perbedaan utama yaitu terletak pada pilihan variabel yang digunakan, pilihan
kelompok dan kedalaman materi serta pilihan unit analisis. Berikut beberapa
penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti lain :
10
Tabel 1.2. Keaslian Penelitian
Nama Peneliti
(Tahun)
1. Martwein
Reinaldy Benung
(2004)
Judul Penelitian
Pengaruh Jembatan Kahayan
Terhadap
Perkembangan
Wilayah Perkotaan Palangka
raya
Tujuan
1.
2.
2.
Mohamad Ali
(2008)
Evaluasi
Perkembangan
Wilayah Kabupaten Buol
Sebelum
dan
Sesudah
Pemekaran
1.
2.
3. Constantinus
Chrisnan
Soegiherprajoko
(2008)
Analisis Pengaruh Bencana
Lumpur Lapindo Terhadap
Nilai Tanah Sekitarnya
(Studi Pada Kabupaten
Pasuruan Tahun 2005-2007)
1.
2.
Untuk mengetahui seberapa
besar
pengaruh
Jembatan
Kahayan
terhadap
perkembangan dan perubahan
fisik kota;
Untuk mengetahui faktor-faktor
lain
yang
juga
turut
berpengaruh.
Metode
Metode
Deskriptif
kualitatif
dan
kuantitatif
Untuk
mengetahui Metode
deskriptif
perkembangan
Wilayah kuantitatif-kualitatif
Kabupaten Buol sebelum dan
serta
menggunakan
sesudah pemekaran dari aspek Indeks Pembangunan
fisik, ekonomi dan sosial;
Manusia
Untuk
mengetahui
perkembangan
Wilayah
Kabupaten
Buol
sesudah
pemekaran ditinjau dari aspek
normatif / standar.
Untuk menganalisis nilai tanah 1. Kajian
data
di kawasan sekitarnya sebagai
sekunder dan data
alternatif relokasi;
primer;
Menentukan bentuk fungsi 2. Analisis
data
model yang dapat digunakan
dilakukan dengan
untuk mengestimasi nilai tanah
menggunakan
yang dipengaruhi oleh beberapa
model
regresi
variabel.
berganda dengan
metode OLS.
Hasil Penelitian
1.
Pembangunan
Jembatan
Kahayan
berpengaruh
cukup
kuat
terhadap
perkembangan fisik Kota Palangka Raya, bila
dikaitkan dengan aksesibilitas keterjangkauan
sarana transportasi;
2. Faktor-faktor lain yang turut bekerja dalam
proses perkembangannya adalah faktor
lingkungan,
perkembangan
kawasasan
fungsional sebagai implementasi kebijakan
pemerintah daerah dan intervensi pemerintah
dalam menetukan arah pembangunan kota.
1. Aspek
fisik,
yakni;
rasio
fasilitas
kesehatan/1.000 dari 0,50 menjadi 0,66;
2. Aspek ekonomi, yakni; naiknya PDRB
perkapita
dari
Rp.3.118.311
menjadi
Rp.6.249.783;
3. Aspek sosial yakni; menurunnya angkatan
kelahiran bayi dari 66 per 1.000 kelahiran
hidup menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup.
1.
2.
Terjadi perubahan variasi nilai tanah dengan
perubahan Intersep yang tidak normal dari
nilai sebelumnya yaitu rata-rata sebesar Rp
97.500,00 per m2, hal ini disebabkan adanya
spekulan tanah di daerah yang tidak terkena
dampak
bencana
dikarenakan
adanya
peningkatan permintaan tanah untuk relokasi;
Pola nilai tanah di Kecamatan Beji, Kecamatan
Gempol dan Kecamatan Pandaan Kabupaten
10
11
Lanjutan Tabel 1.2
4. Rachman Rifai
(2008)
Spatial Modelling and Risk
Assesment of Sidoarjo Mud
Volcanic Flow
Untuk memprediksi genangan yang 1.
mungkin terjadi selanjutnya di
kawasan lumpur sehingga dapat
diketahui element at risk nya.
2.
5. Moch. Shofwan
(2014)
Analisis Hubungan Tingkat 1.
Perkembangan Wilayah dan
Potensi Risiko Bencana di
Kawasan Bencana Lumpur 2.
Lapindo Kabupaten Sidoarjo
3.
Menilai karakteristik dan pola
sebaran keruangan potensi tingkat
perkembangan wilayah;
Menentukan karakteristik dan
pola sebaran keruangan potensi
tingkat risiko bencana;
Menganalisis dan menyusun
model hubungan antara tingkat
perkembangan
wilayah
dan
potensi risiko bencana.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
Menggunakan
model 1D2D
hydrodynamic
2.
Model;
SOBEK untuk
menggambarkan
model aliran
lumpur.
Metode
1.
Kuantitatif;
Tingkat
perkembangan
2.
wilayah
menggunakan
3.
metode scalling;
Potensi
risiko
bencana
menggunakan
4.
metode scoring.
Tabulasi
Silang
(crosstab) dan uji
korelasi Spearman
Indepth Interview
Pasuruan menunjukkan daerah yang tidak
terkena pengaruh negatif bencana lumpur
Lapindo Sidoarjo sehingga terjadi kenaikan
yang cukup besar
terhadap Nilai Tanah
setelah bencana.
Dari hasil pemodelan menunjukkan kecocokan
sebesar 40 % terhadap luas area yang
digenangi;
Membandingkan luas genangan dengan model
yang diterapkan dengan luas genangan yang
terekam dilapangan yang memakai citra satelit
IKONOS.
Sebagian besar (49,1%) desa tingkat
perkembangan wilayahnya tergolong kategori
sedang di semua zona;
Sebagian besar (73,6%) desa tingkat potensi
risiko bencananya tergolong kategori rendah;
Hasil dari analisis model hubungan antara
tingkat perkembangan wilayah dan potensi
risiko bencana menunjukkan ada sebesar
(15,1%) desa yang termasuk prioritas
penanganan utama.
Hasil dari uji analisis korelasi Spearman
menunjukkan ada hubungan yang erat dan
signifikan antara tingkat perkembangan
wilayah dan potensi risiko bencana dengan
nilai signifikansi 0,011 lebih kecil dari
11
12
1.4 Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menilai karakteristik dan pola sebaran keruangan potensi tingkat
perkembangan wilayah;
2. Menentukan karakteristik dan pola sebaran keruangan potensi tingkat
risiko bencana;
3. Menganalisis
dan
menyusun
model
hubungan
antara
tingkat
perkembangan wilayah dengan potensi risiko bencana.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian meliputi dua aspek yaitu:
1. Ilmu pengetahuan
Menambah pengetahuan dalam bidang manajemen bencana tentang
hubungan tingkat perkembangan wilayah dan potensi risiko bencana,
sehingga dapat mengetahui bagaimana perkembangan wilayah secara
komprehensif di daerah yang rawan maupun sudah terkena bencana.
2. Pembangunan
a. Rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam upaya meminimalkan
dampak lanjutan (sequential) khususnya pada masalah perkembangan
wilayah, sehingga apabila terjadi bencana alam yang serupa maka bisa
mereduksi dampak yang ditimbulkan.
b. Dapat dijadikan acuan untuk merencanakan tata ruang yang berbasis
risiko bencana, khususnya bencana lumpur Lapindo.
13
c. Memberikan masukan kepada pemerintah sebagai pemangku kebijakan,
lembaga swadaya dan masyarakat tentang pentingnya manajemen risiko
bencana.
Download