52 BAB III PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN

advertisement
BAB III
PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Bab ini menjelaskan tentang definisi perjanjian internasional (PI), fungsi dan jenisjenis perjanjian internasional. Dalam bagian pertama dijelaskan mempunyai Konvensi Wina
tahun 1969, dengan muatan materi dasar dari perjanjian internasional. Selain itu, dijelaskan
tentang ratifikasi internasional dan keterlibatan negara-negara dalam pembentukan
perjanjian internasional. Terakhir, bagaimana perjanjian internasional dalam sistem hukum
Indonesia.
Adapun bab ini dimaksudkan agar mahasiswa memahami secara komprehensif
tentang prinsip-prinsip, teori-teori, dan norma-norma hukum perjanjian internasional, baik
dalam cakupan internasional maupun perjanjian internasional dalam konteks tingkat
nasional di Indonesia.
1. Istilah Perjanjian Internasional dalam Konvensi Wina 1969
Hubungan internasional yang diperankan negara-negara dan organisasi internasional,
tidak akan tercipta secara harmonis jika tidak didukung perjanjian internasional. Suatu
instrumen hukum internasional, digunakan sebagai peraturan, pedoman utama dan kaidah
normatif bagi pihak-pihak dalam menjalankan hubungan internasional secara baik dan
damai. Sebagai sumber hukum utama, Pasal 38 ICJ (International Court of Justice)
menegaskan adanya Perjanjian Internasional memberikan kepastian hukum yang saling
mengikat bagi para pihak dalam melangsungkan praktek hubungan antara satu atau lebih
negara dalam berbagai kepentingan. Baik perjanjian internasional bersifat antara kedua
negara (bilateral treaties), oleh tiga negara (trilateral treaties), dan juga perjanjian
diselenggarakan oleh banyak negara (multilateral) sama-sama memberi daya ikat karena
menimbulkan hak dan kewajiban.
52
Bilateral Treaties, yaitu suatu perjanjian yang dilakukan secara resmi ataupun tidak
resmi dan menyangkut bidang/sektor tertentu yang disepakati bersama diantara dua negara
yang melakukan perjanjian. Selain itu, terdapat pula model perjanjian yang melibatkan 3
(tiga) negara peserta dengan disebut Trilateral Treaties. Dalam skala jumlah peserta
perjanjian yang lebih banyak dikenal istilah Multilateral Treaties, yaitu suatu perjanjian
internasional yang melibatkan lebih dari 2 (dua) atau 3 (tiga) negara peserta. Umumnya,
perjanjian multilateral berisi kesepakatan bersama bersifat regional ataupun atas dasar
kepentingan yang sama antar negara-negara.
Sumber HI lainnya adalah kebiasaan internasional (international costumary rules),
keputusan pengadilan (court decission), prinsip-prinsip umum hukum internasional yang
diakui negara-negara beradab (general principle of law recognized by civilized countries), dan
karya-karya ahli hukum internasional yang memiliki kemasyhuran secara internasional
(justice world). Keempat sumber hukum tersebut dapat dijadikan sumber hukum
internasional, ketika sumber hukum satu sama lain saling melengkapi. Ketika PI tidak
memuat ketentuan hukum tertentu, maka kebiasaan hukum internasional dijadikan sumber
berikutnya.
Sesungguhnya PI tidak terbatas pada ketiga jenis tersebut di atas, lebih penting dari
itu bagaimana suatu PI memiliki kekuatan mengikat yang secara langsung (self-executing)
atau tidak langsung (non self-executing) terhadap negara-negara dengan tuntutan prosedur
ratifikasi.
Self executing treaties adalah suatu perjanjian internasional yang secara langsung
dapat mengikat dan diberlakukan dalam suatu negara tanpa memerlukan persetujuan dari
parlemen, dengan aklamasi Presiden sudah cukup diberlakukan. Sehingga ratifikasi oleh
Parlemen atau Konggres hanya terjadi jika terdapat kasus atau persoalan yang sangat berat.
Kondisi seperti ini terjadi di Amerika Serikat, Jerman, dan juga Perancis. Sedangkan non-self
executing treaties adalah perjanjian-perjanjian yang hanya akan mengikat jika kesepakatan
internasional tersebut telah diratifikasi oleh atau harus mendapatkan persetujuan DPR atau
53
Parlemen. Sifat dari non-self executing treaties dalam pemberlakuan di suatu negara sangat
berat. Di satu pihak, setiap negara mewajibkan kesepakatan internasional di ratifikasi melalui
persetujuan DPR atau Parlemen. Dan di pihak lain, pengadilan-pengadilan nasional tidak
akan menggunakannya sebagai sumber hukum jika tidak/belum diratifikasi menjadi bagian
hukum nasional.1
Penerapan PI dalam suatu negara tergantung pada teori-teori penerapan PI yang
digunakan negara-negara. Adakalanya negara tersebut menggunakan teori monisme
(monism theory) dan juga ada beberapa kelompok negara menggunakan teori dualisme
(dualism theory). Namun demikian, penggunaan teori-teori tersebut di atas tidak selalu
menjamin suatu negara dapat menerapkan secara seragam.
Keabsahan suatu PI memang sangat tergantung selain kepada terpenuhi atau tidak
suatu persyaratan menurut ketentuan Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission), juga penting menjadi pertimbangan bagaimana suatu kesepakatan disetujui
oleh banyak pihak. Konsekuensinya, hak-hak dan kewajiban-kewajiabn secara internasional
dapat timbul dan mengikat negara-negara secara berangsung-angsur. Negara-negara
sebagai peserta dalam suatu PI umumnya memiliki kesamaan status hukum (equality)
sebagai negara-negara berdaulat. Status kesamaan hukum (equality before the law) mutlak
dalam PI, sebab hanya Negara-negara berdaulat penuhlah yang memiliki hak bicara dan hak
suara.
Namun, tidaklah mengherankan jika terdapat perbedaan kemampuan atau kapasitas
dalam menjalankan berbagai kewajiban internasional. Untuk itu, dalam kondisi-kondisi
tertentu suatu negara dapat menanggalkan sebagian ketentuan hukum yang terdapat dalam
PI. Suatu pengecualian yang diakui keberadaannya oleh masyarakat internasional mengingat
kemampuan negara berbeda-beda. Reservasi adalah metode yang paling sering digunakan
negara-negara ketika ketentuan PI tidak berkesesuaian dengan ketentuan hukum nasional,
1
Wisnu Aryo Dewanto, Perjanjian Internasional Self-Executing Dan Non-Self-Executing Di Pengadilan Nasional,
Disertasi Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2011, Hlm: 49.
54
khususnya ketentuan hukum pidana, hukum tata negara, dan juga hukum hak asasi manusia
suatu negara.
Dalam bagian tulisan ini, perlu dikemukakan tentang bagaimana keberadaan sumber
hukum Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the
Law of Treaty, 1969) yang digunakan dalam hubungan internasional antara negara-negara?
Kedua, apakah fungsi dan kegunaan PI dalam hukum hubungan internasional? Ketiga,
bagaimana daya ikat perjanjian internasional terhadap negara-negara baik karena putusan
yang mengikat secara terbatas (closed agreement) atau daya ikat terhadap negara secara
lebih terbuka dan meluas (open agreement)? Keempat, bagaimana kontribusi negara-negara
dalam proses pembuatan hukum perjanjian internasional? Kelima, bagaimana praktek dan
metode negara-negara dalam memberlakukan hukum perjanjian internasional dalam sisten
hukum nasional masing, termasuk dalam praktek di Indonesia?
Definisi Perjanjian Internasional dan Fungsinya
Definisi perjanjian internasional di kalangan publik, khususnya di Indonesia sangat
bervariasi. Secara populer, perjanjian internasional memiliki arti semua bentuk perjanjian
yang bersifat lintas batas negara atau transnasional. Di kalangan publik, tidak dibedakan
antara perjanjian internasional dan kontrak internasional, karena keduanya dipahami sebagai
perjanjian internasional tanpa melihat subjek, karakter hubungan hukum, serta rezim hukum
yang menguasainya.2
Menurut Pasal 2 ayat (1) butir (a) Konvensi Wina 1969, definisi PI adalah: “An
International Agreement concluded between States (and International Organizations) in
written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or
in two or more related instruments and whatever its particular designation”. Artinya, “suatu
persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis
2
Domus Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 19.
55
dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa
dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya”.
Suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan
dirumuskan dalam bentuk tertulis:
(i) antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau
(ii) sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau
lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun
juga namanya”.
Adapun menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, definisi PI adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur
dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik.3
Berdasarkan beberapa definisi PI di atas, maka suatu perjanjian dapat dikategorikan
sebagai PI apabila memenuhi beberapa unsur, yaitu:
1. Perjanjian
harus
memiliki
karakter
internasional,
baik
secara
formal
(pembentukannya) maupun materiil (substansinya).
2. Perjanjian harus dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum
internasional, yakni negara dan/atau organisasi internasional, sehingga tidak
dibenarkan jika perjanjian dibuat oleh pihak yang bukan merupakan subjek hukum
internasional.
3. Perjanjian harus dibuat secara tertulis dan memiliki daya ikat yang kuat bagi
seluruh pihak yang andil dalam perjanjian.
3
Pasal 1 poin (1) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
56
Dengan demikian, perjanjian internasional yaitu suatu kesepakatan yang dibuat oleh
kedua belah pihak, negara-negara sebagai subyek hukum internasional atau obyek yang
jelas, dibuat secara tertulis dan mengikat secara sebagian besar negara-negara. Adapun
fungsi PI dalam hubungan internasional, sebagai berikut: Pertama, PI merupakan suatu
tanda bagi suatu negara yang telah menempatkan dirinya sebagai negara moderen yang
beradab. Menggunakan perundingan dan perjanjian, negara-negara akan berusaha untuk
menahan diri dari tindakan penggunaan kekeran di dalam penyelesaian sengketa. Sebab,
dalam merumuskan perjanjian internasional, pihak-pihak yang mewakili negara hendaknya
menggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi
kepentingan nasional (national interest).
Kedua, sebagai pedoman tertulis yang mengandung kepastian hukum bagi kedua
negara atau lebih untuk dijadikan rujukan dalam melakukan hubungan internasional dan juga
sebagai arah dari pembangunan nasional negara masing-masing. Misalnya, berdirinya badan
PBB terkait dengan bantuan program pembangunan (United Nations for Development
Program - UNDP), bagi negara-negara yang sedang membangun dan mengembangkan
demokrasi.
Ketiga, sebagai sertifikat atau bukti bahwa negara-negara tersebut terikat berbagai
kesepakatan internasional, sehingga jika dikemudian hari terdapat sengketa maka model
penyelesaian sudah jelas ada rujukannya di luar atau di dalam pengadilan.4
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional
Sebagai suatu instrumen hukum hubungan internasional, perjanjian internasional
tidak sedikit istilah yang digunakan untuk memperlihatkan adanya transaksi atau perikatan
dalam tatanan internasional. Istilah tersebut antara lain, perjanjian atau perundingan
(Treaty), kesepakatan (agreement), perjanjian (Tractaat), piagam (Charter), Deklarasi
4
Dicari dalam J. O’Brien dan Malcolm Shaw, International Law, dalam Malcolm D. Evans.
57
(Declaration), Anggaran Dasar (Statuta), Kesepakatan (Covenant), Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding), Protokol Tambahan (Protocol), dan lain-lainya.5
Dasar yang harus diyakinkan kebenarannya adalah bahwa suatu PI menurut Konvensi
Wina, harus memiliki lima unsur utama: (1) Adanya pihak-pihak negara-negara sebagai
subyek hukum (states as international legal subject), (2) Menyetujui suatu kesepakatan atau
obyek tertentu; (3) Diatur oleh hukum internasional didasarkan Komisi Hukum
Internasiomal, (governed by International Law Commission); (4) didasarkan pada perjanjian
secara tertulis (made in written form); dan (5) memiliki daya ikat yang kuat (enter into
binding force). Dengan kata lain, syarat sahnya perjanjian internasional memiliki daya ikat
yang efektif, jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi.
Dengan kata lain, bahwa Konvensi Wina 1969 hanya mengatur berbagai perjanjian
internasional yang diikuti hanya oleh negara-negara sebagai subjek hukum internasional.
Suatu negara yang memiliki kedaulatan penuh (full state sovereignity), adalah negara-negara
yang memiliki kewenangan penuh, baik untuk urusan dalam negeri (domestic affairs),
maupun untuk urusan luar negeri (foreign affairs) tanpa ada campur tangan dari kekuatan
negara luar.
Sedangkan pengaturan PI yang diterapkan oleh subyek hukum non-negara, dapat
disandarkan kepada hukum kebiasaan internaasional, dimana organisasi internasional dan
lainnya diakui memiliki status yang sederjat seperti kedudukan negara. Selain terdapat
perjanjian yang diikuti oleh subyek hukum negara, organisasi internasional, baik berbentuk
organisasi antara negara (inter-governmental organization) atau organisasi swadaya
masyarakat (non-governmental organization). Vatikan atau Tahta Suci di Vatikan Roma,
Organisasi Gerakan Pembebasan (Liberation Movement Organization), dan juga organisasiComment [AVK1]: - #tolong di cek,
bagaimana organisasi-organisasi noninternasional harus mengikuti prosedur
dan mekanisme pembuatan perjanjian
internasional.
organisasi profesi setingkat dunia lainnya.6 Dalam Protokol Tambahan
5
6
Lihat dalam Pasal berapa istilah-istilah tersebut diatur oleh Konvensi Wina 1969.
Lihat subyek hukum internasional dalam J. G. Starke, An Introduction To International Law, Sidney: Butterworth,
1988.
58
Berlaku dan Mengikatnya Perjanjian Internasional
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 (1) Konvensi Wina 1969, suatu perjanjian
internasional mulai dapat diberlakukan bergantung pada dua hal, yaitu: Ketentuan perjanjian
internasional itu sendiri; atau, apa yang telah disetujui oleh negara peserta.
Pada umumnya, pemberlakuan suatu perjanjian dapat dilihat pada bagian klausula
formal (klausula final) yang biasanya terletak dalam pasal-pasal terakhir perjanjian atau
setelah pasal-pasal substansial (dispositive provision) perjanjian internasional tersebut.
Misalnya ketentuan yang menjelaskan pada salah satu pasalnya bahwa perjanjian ini berlaku
segera setelah penandatanganan. Sehingga sejak penandatanganan dilakukan oleh negara
peserta, maka perjanjian yang ditandatangani secara otomatis berlaku bagi negara yang
bersangkutan. Dari praktek-praktek penerapan PI, daya ikatnya tergantung selain pada
jumlah negara-negara yang menyetujui dan meratifikasi. Misalnya, Statuta Roma yang
disetujui di San Remo tahun 1998, baru kemudian dapat diimplementasikan sejak setelah
Comment [AVK2]: #cek kepastiannya
pemberlakuan Statuta Roma tahun 2004
atau 2005?
enam puluh negara meratifikasinya dalam sistem hukum nasionalnya.
Adapun mengenai mengikatnya perjanjian, suatu perjanjian internasional baru mulai
dapat mengikat bagi negara peserta perjanjian tersebut bergantung pula pada tahap-tahap
pembentukan perjanjian itu sendiri. Jika perjanjian tersebut tidak mensyaratkan adanya
ratifikasi, maka negara peserta akan terikat secara hukum sejak penandatanganan perjanjian
itu. Jika perjanjian tersebut mensyaratkan ratifikasi, maka negara peserta baru akan terikat
secara hukum sejak diratifikasinya perjanjian itu. Sebaliknya, masih saja dilematis
pemberlakuan PI, seperti Statuta Roma. Sebab, selain negara-negara ada yang dapat
menolak pemberlakuannya, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Juga Israel dan termasuk
Indonesia. Di pihak negara-negara yang menolak umumnya, selain dapat berdampak pada
sistem hukum pidana nasionalnya. Juga negara-negara penolak umumnya tidak
menghendaki pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu dipersoalkan oleh Komisi HAM
Internasional dan juga tentunya Dewan Keamanan PBB.
59
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu PI dapat berakibat timbulnya
hukum lain, atau dapat menuntut suatu negara atas pelanggaran terhadap suatu perjanjian
internasional ada dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu bahwa perjanjian yang dilanggar
adalah sah telah berlaku dan perjanjian itu pula telah mengikat secara hukum bagi negara
yang melanggar perjanjian tersebut.7 Kesamaan status negara-negara, sebagai negara pihak
atau negara yang sama-sama meratifikasi statuta Konvensi menjadi dasar mutlak kebolehan
kedua negara melakukan klaim dan pertanggungjawaban hukum.
Jenis-Jenis Perjanjian Internasional
Setidaknya ada tiga jenis PI yang selama ini dijadikan pegangan dalam mempelajari
kerjasama internasional. Pertama, PI dilakukan oleh dua negara (Bilateral Treaties) untuk
mengikatkan diri ke dalam suatu obyek perjanjian bersifat publik (ketertiban, perdamaian,
kepentingan politik, militer, pertahanan dan keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan bidang kebudayaan lainnya), atau juga obyeknya keperdataan, bersifat mengikat tetapi
terbatas hanya kepada dua pihak saya (closed agreement). Di satu pihak, negara yang
menyelenggarakan PI secara bilateral wajib mematuhi dan menghormatinya (Pacta Sunt
Servanda). Karena itu, pihak-pihak yang berada di luar kesepakatan tersebut tidak merasa
ada kewajiban untuk mematuhinya. Sebab, praktek perjanjian hanya memihak terbatas pada
negara-negara yang menyepakati saja. Namun, tidak berarti negara-negara lain dapat
mencampurinya. Kewajiban untuk menghormati dan untuk tidak ikut intervensi, menjadi
batasan moralitas/kode etik internasional.
Dalam suatu hubungan antara kedua negara, Bilateral treaties tidak mudah dilakukan
mengingat kedua sistem hukum mereka berbeda-beda. Di satu pihak, terdapat negaranegara menganut sistem common law, di mana negara-negara terikat dengan
sistem
hukumnya, dan kebiasaan hukum, putusan-putusan hakim dijadikan dasar dalam
7
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Cet. I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, April 2010, hlm. 32-34.
60
menentukan sikap dan penerima terhadap PI ke dalam hukum nasional. Doktrin Precedent,
atau putusan-putusan hakim nasional dan internasional merupakan rujukan utama bagi
hakim-hakim di pengadilan. Misalnya, Inggris, dan Amerika Serikat tergolong negara-negara
penganut sistem common law yang lebih mengutamakan hukum kebiasaan internasional.
Namun, tidak berarti negara-negara tersebut tidak memiliki sumber hukum tertulis,
termasuk dalam hal ini Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Amerika sebagai negara yang
menempatkan PI sebagai sumber hukum nasional yang statusnya sejajar dengan konstitusi
Pasal 6 UUD AS; The international treaties shall be supreme law of the land.
Di pihak lain, negara-negara penganut sistem Kontinental adalah negara-negara yang
lebih mengutamakan sumber hukum tertulis, atau perundang-undangan (legisme). Hampir
kebanyakan negara-negara model kedua ini menempatkan hukum tertulis lebih utama
dijadikan sumber hukum oleh para penegak hukumnya. Karena itu, PI dapat digunakan
sebagai sumber hukum nasional, bilamana pemerintah negara tersebut telah meratifikasinya
ke dalam sistem hukum nasional.
Dalam sistem hukum negara-negara kontinental atau civil law, seperti Belanda dan
negara-negara sejenisnya seperti Indonesia, umumnya pemberlakuan PI lebih sulit dan
bahkan sangat birokratis. Pertama, setiap PI wajib di ratifikasi oleh lembaga Parlemen,
Konggres, Senat atau DPR. Kedua, pengadilan-pengadilan tidak akan menempatkan PI
sebagai sumber hukum nasional jika PI belum diratifikasi sebagai bagian dari hukum nasional
yang berbentuk Undang-Undang.
Trilateral Treaties, yaitu ketiga negara meningkatkan diri untuk menyepakati pada
suatu obyek tertentu untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan, timbul hak
dan kewajiban yang mengikat negara-negara. Misalnya perjanjian ketiga negara yaitu
Indonesia, Malaysia, dengan Singapura terhadap keberadaan Selat Malaka sebagai suatu
wilayah perairan yang bersentuhan ketiga negara tersebut. Dalam kenyataan Selat Malaka
sebagai suatu selat perairan yang sangat sibuk dengan lalu lintas kapal pengangkut barangbarang berbagai negara.
61
Tidak mengherankan jika pelanggaran dan kejahatan lintas negara (Transnational
Organized Crimes), seperti pembajakan, penyelundupan, transaksi senjata gelap dan
perdagangan manusia acapkali dilakukan di Selat Malaka tersebut. Untuk mencegah dan
menindak pelaku pelanggaran dan kejahatan tersebut, ketiga negara merasa terpanggil
untuk menciptakan rasa aman dan damai bagi pengguna Selat tersebut. Ketiga negara
memiliki jurisdiksi masing-masing untuk melakukan tindakan kedaulatan terhadap pelaku
kejahatan yang terjadi di selat Malaka, sehingga mereka dapat meminta pertanggung
jawaban hukum kepada pelaku kejahatan tersebut yang terjadi di wilayah Selat Malaka,
sebagai tempat kejadian (locus delicti).
Namun demikian, kedua model PI tersebut di atas, mengisyarakatkan adanya sifat
Treaty of Contract. Perjanjian ini tidak secara langsung sebagai sumber hukum internasional.
PI dapat digunakan sebagai sumber hukum yang mengikat hanya kepada pihak-pihak yang
menandatangani dan juga terbatas hanya pada hukum yang khusus. Karena itu, Treaty of
Contract dapat saja menjadi sumber hukum internasional sepanjang mendasarkan pada
proses perubahan dari kebiasaan internasional. Sekalipun peristiwa dari perjanjian yang
memiliki daya ikat yang sama sebagai akibat dari hukum kebiasaan internasional. Misalnya,
setiap perjanjian internasional bersifat bilateral dalam hal tindakan diplomasi negara, hukumhukum negara, putusan-putusan pengadilan dan praktek organisasi internasional hanya akan
mengikat lebih luas jika telah mengalami proses yang saling diakui.
Di satu pihak, negara-negara yang terlibat dalam suatu perjanjian bilateral maupun
trilateral treaties terikat untuk menghormati dan mematuhi asas hukum perjanjian. Misalnya,
asas contractual international transaction consensus. Sebaliknya, negara-negara di luar pihak
juga wajib menghormatinya sepanjang negara-negara tersebut terlibat dalam pengambilan
manfaat dari obyek perjanjian tersebut. Misalnya, perjanjian bilateral antara Inggris dan
Amerika Serikat. Negara-negara yang lewat selat tersebut wajib tunduk pada peraturanperaturan perairan yang disepakati oleh kedua negara.
62
Ketiga, Multilateral Treaties yaitu suatu perjanjian atau perundingan yang diikuti
banyak negara untuk membuat kesepakatan terhadap obyek tertentu, dengan prosesdur
dan mekanisme menurut ketentuan Komisi Hukum Internasional, dilakukan secara tertulis
dimana setiap utusan negara-negara memiliki hak lobi, negosiasi (berunding) untuk dan atas
kepentingan memperjuangkan kepentingan negara-negara di tingkat internasonal. Setiap
delegasi negara memiliki hak untuk memohon penjelasan klarifikasi (clarification), dan
menentukan tentang kepastian dan keakuratan kata dan kalimat (authenticity), untuk
menyetujui (approve), menerima (accept) dan menandatangani (signature) perjanjian
tersebut. PI bersifat multilateral dapat mengikat negara-negara sepanjang negara-negara
tersebut selain turut menyetujui perundingan, juga memiliki i’tikad baik (good faith) untuk
menerima dan menjadikan PI tersebut bagian dari hukum nasionalnya masing-masing.8
Misalnya, pada tahun 1998 negara-negara dan segenap organisasi internasional,
bertemu di San Remo, Italia untuk menyetujui lahirnya perjanjian Statuta Roma 1998,
tentang Pendirian Mahkamah Pidana Internasional bersifat permanen. Selama ini, dari tahun
1946 telah ada peradilan pidana, namun peradilan tersebut sifatnya sementara atau ad-hoc.
Sebagaimana telah digelar dalam Kasus Nuremberg Genocide Convention 1946 terhadap
penjahat genosida NAZI di Jerman, yang juga diikuti oleh Konvensi Tokyo 1948 atas
kejahatan perang yang dilakukan tentara Jepang.
Perbedaan yang mendasar antara Bilateral dan Trilateral Treaties dengan Multilateral
adalah bukan sekedar jumlah subyek hukumnya negara-negara yang ikut begitu banyak.
Namun, karena multilateral treaties memiliki sifat hukum law making treaties (perjanjian
membuat hukum). Suatu perjanjian internasional yang membuat hukum, dimaknai sebagai
suatu kesepakatan yang memiliki daya ikat hukum yang terbuka dan luas, dapat dipaksakan
baik kepada negara-negara yang ikut menandatangani (third parties) atau sebagai negara
pihak, atau negara-negara yang tidak hadir karena memang negara tersebut belum berdiri
8
Diambil dari Starke – Eddy Pratomo
63
atau belum memiliki kedaulatan penuh atau negara-negara tersebut tidak mau menyetujui.
Tetapi bagi negara-negara yang tidak memiliki kedaulatan penuh maka negara-negara
tersebut dapat menundukan diri untuk mematuhi perjanjian tersebut (adhesion). Misalnya,
Piagam Pendirian PBB di San-Fransisco, 1945 telah mengikat semua negara, sebagai anggota
sah dan wajib mematuhi maksud dan tujuan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Negara-negara yang tidak ikut PI, selain ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia
(world peace), ketertiban dunia (world order), juga wajib berupaya mencegah atau
mengendalikan diri untuk tidak menggunakan kekerasan militer dalam suatu penyelesaian
persengketaan.9
Adanya metode negara-negara yang tidak turut penyelesaian sengketa internasional,
selain menggunakan model diplomasi, negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, dan pencarian fakta,
juga cara-cara damai dapat dilakukan melalui peradilan internasional dan arbitrase
internasional.
Comment [AVK3]: tolong
ditambahkan materi batalnya,
berakhirnya PI. Kebolehan negara
mengundurkan diri dan juga penafsiran
dalam amandemen PI (dilihat Pasalnya).
#
3.2. Keterlibatan Negara-negara dalam Pembuatan Perjanjian Internasional
Hakikat PI dalam konteks perkembangan hukum internasional kontemporer
menunjukan perkembangan luar biasa. Bukan sekedar jumlahnya PI hampir puluhan ribu,
melainkan juga telah bersinggungan dengan semakin toleransinya negara-negara dalam
mengakomodir hukum-hukum kebiasaan internasional untuk disejajarkan dengan status PI.
Karena itu, seberapa jauh negara-negara terlibat dalam suatu pembentukan PI tergantung
kepada kemampuan negara-negara tersebut dalam mengelola dan merawat hubungan
internasional, baik antara sesama negara maupun antara negara sebagai anggota dari
Comment [AVK4]: #cek tulisan
Theodore Coulombis
organisasi internasional.
9
Pasal 3 ayat (2) Piagam PBB.
64
Dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969, suatu negara yang akan menghadiri pembuatan PI
harus memenuhi syarat sebagai berikut.
Pertama, bahwa wakil suatu negara memiliki surat kepercayaan yang ditandatangani
oleh kepala negaranya, Presiden atau Perdana Menteri, dengan surat kepercayaan (Letter of
Credential), yang memberikan kewenangan penuh kepada delegasi suatu negara (Full
Powers). Sebagaimana ditegaskan oleh Konvensi Wina. Di Amerika Serikat, Sekretaris Negara
bersama Kementerian Luar Negeri memiliki kewenangan untuk menentukan serta
menerbitkan Surat Kepercayaan tersebut.
Kedua, yang dapat mewakili negara ke dalam pembuatan PI, antara lain Kepalakepala negara (Heads of State), Kepala pemerintahan (Heads of Government), Menteri Luar
Negeri (Minister for Foreign Affairs), Kepala-kepala negara, Menteri suatu negara tidak
memerlukan surat kepercayaan (letter of credence). Dengan demikian, letter of credence
diwajibkan bagi utusan diplomasi. Kepala perwakilan diplomatik (Heads of diplomatic
missions), dan perwakilan-perwakilan yang disahkan pejabat berwenang untuk menjadi
delegasi dalam PI, baik yang diselenggarakan negara-negara, maupun organisasi
internasional.
Ketiga, adalah delegasi melakukan pendaftaran (registration) dan menyerahkan surat
kepercayaan tersebut, sebagai peserta dalam PI, dengan kewenangan untuk melakukan
perundingan atau adu tawar (negotiation), penjelasan (clarification), kepastian dan kesaksian
(authencity), persetujuan (approval), dan penandatanganan (signature). Semestinya, utusanutusan negara-negara menjadi terikat (enter to be bound) sejak penandatanganan. Namun,
ternyata daya ikat perjanjian internasional memerlukan persyaratan atau tahapan
pemberlakuan melalui ratifikasi.
3.3. Praktek Ratifikasi di Berbagai Negara
Ratifikasi merupakan suatu prosedur dan mekanisme hukum terkait dengan
pemberlakukan PI ke dalam hukum nasional, sehingga dapat menjadi sumber hukum untuk
dipergunakan oleh hakim-hakim suatu pengadilan negaranya masing-masing. Dalam
65
Comment [AVK5]: #jelaskan
menggunakan footnote istilah dalam
lighter kuning tersebut
prakteknya, ratifikasi dibedakan ke dalam beberapa tahapan, berdasarkan kepada landasan
teoritis dan filosofis suatu negara. Monisme dan dualisme merupakan dua teori yang paling
masyhur digunakan untuk melihat seberapa jauh negara-negara berdaulat dapat
mematahkan perjanjian internasional, dan diimplementasikan dalam kasus-kasus yang
dihadapinya, baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Penting untuk dicatat,
bahwa perbedaan isu hukum, antara hukum publik dengan hukum ekonomi merupakan dua
ranah hukum berdimensi internasional.
Dalam konteks hukum ekonomi internasional, negara-negara adidaya dengan mudah
menyetujui berbagai transaksi atau perjanjian internasional. Bahkan lebih dari itu, negaranegara adidaya dapat memaksa negara sekutunya untuk menyetujui perjanjian-perjanjian
multilateral. Misalnya, berbagai perjanjian multilateral, termasuk APEC, perdagangan bebas
dan WTO, tergolong PI multilateral yang mudah disepakati dan diimplementasikan secara
global. Sebab kepentingan ekonomi nasional negara-negara peserta tidak luput dari
perdagangan internasional, termasuk praktek impor dan ekspor barang, jasa dan teknologi
informatika lainnya. Di pihak lain, isu-isu hukum publik, keamanan dan pertahanan, kejahatan
internasional, dan juga pelanggaran HAM berat acapkali menjadi persoalan yang sangat sulit
mendapatkan dukungan dari negara-negara adikuasa. Kelima negara anggota tetap DK PBB
seringkali menjadi contoh paradoks atau tidak konsisten dalam mengimplementasikan
perjanjian internasional.
Konvensi internasional tentang Terorisme tahun 2003, termasuk PI yang secara
kebijakan tergolong sangat cepat didukung untuk diimplementasikan. Negara-negara seperti
Amerika Serikat, Inggris dan negara Barat lainnya, merasa terancam oleh gerakan teroris dari
negara-negara ketiga, khususnya negara-negara Muslim. Namun, berbeda halnya dengan PI
seperti Statuta Roma 1998, negara-negara besar tidak peduli mengingat ancaman besar
terhadap kedaulatan negaranya tidak dapat dihindarkan. Kasus Pemerintah Amerika Serikat
terhadap Suku Indian, kasus Pemerintah Inggris di Australia terhadap Suku Aborigin, juga
China terhadap bangsa Tibet.
66
Ratifikasi PI di Negara Penganut Monisme
Negara-negara penganut teori monisme tampak jauh lebih sederhana dalam
melakukan ratifikasi, sehingga sekali suatu negara telah menyepakati PI, suatu negara dapat
memberlakukannya di tingkat nasional. Hal ini terjadi karena negara-negara penganut
paham monisme, menempatkan hukum internasional, atau PI dan hukum nasional
merupakan kedua sistem hukum yang satu sama lain tidak terpisahkan (inseparable part of
law) satu sama lain.
Ada tiga alasan mengapa negara-negara penganut monisme lebih sederhana dalam
melakukan ratifikasi. Pertama, konstitusi atau hukum dasar negara-negara tersebut
menempatkan PI sebagai sumber hukum yang sejajar dengan konstitusinya. Di Amerika
Serikat, dengan jelas diatur dalam Pasal 6, bahwa PI menjadi sumber hukum yang tinggi di
negerinya, International Treaty... shall be the supreme law of the land. Meskipun Jerman tidak
menggunakan sistem Pemerintahan Presidensil, dalam konteks pemberlakuan PI hampir
sama dengan AS, yaitu menempatkan PI sebagai sumber hukum nasionalnya yang setara
dengan konstitusi.
Alasan kedua, negara-negara penganut monisme menempatkan PI dan urusan
hubungan luar negeri, sebagai urusan kekuasaan eksekutif (executive affairs). Dalam
pembelakuannya PI cukup dengan suatu keputusan Presiden (President Decree) atau
Perdana Menteri. Self executing treaties, suatu perjanjian internasional yang dengan
sendirinya dapat diberlakukan dengan penguatan atau pengesahan dari Kepala
Pemerintahan atau Presiden. Akibatnya, daya ikat PI di tingkat hukum nasional lebih cepat
oleh karena model ratifikasi tidak membutuhkan persetujuan dari parlemen (parliament
endorcement). Namun, dalam kondisi tertentu, seperti di AS, ada juga suatu PI yang
memerlukan suatu persetujuan dari Kongres, apabila berkaitan dengan hal-hal yang penting
dan dalam penerapannya akan berdampak pada situasi nasional. Tentu saja, persoalan
67
pertahanan dan keamanan (security and defence) dipandang sebagai persoalan sensitif baik
ke dalam negaranya maupun dampak keluar negeri.10
Alasan ketiga, hakim-hakim di negara-negara penganut teori monisme secara teknis
dapat dengan mudah menjadikan PI sebagai sumber hukum dalam putusannya, mengingat
sejak ratifikasi hanya memerlukan pengesahan dari Presiden. Penganut teori monisme,
pemerintah suatu negara sangat jelas menempatkan urusan luar negeri (foreign affairs)
sebagai urusan eksekutif, sehingga hampir sebagian besar kebijakan luar negeri dibuat oleh
Presiden sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan.
Dalam hal suatu PI tersebut kontradiksi dengan kebiasaan internasional, maka hakimhakim dengan sendirinya akan mengutamakan hukum kebiasaan internasional, sebagai
pelaksanaan dari asas Jus Cogen. Karena itu, ketika terdapat PI yang bertentangan dengan
Jus Cogen, maka dengan sendirinya hakim-hakim dari tingkat pertama hingga Mahkamah
Agung akan membatalkan peraturan hukum bersumber PI tersebut. Sebab, Jus Cogen
tergolong sumber hukum kebiasaan internasional yang memiliki derajat tertinggi yang tidak
dapat dikalahkan oleh hasil kesepakatan PI, termasuk yang bersifat multilateral.11
Ratifikasi PI di Negara Penganut Teori Dualisme
Kondisi ratifikasi di negara-negara penganut teori dualisme memang berbeda
mengingat prosedur dan mekanisme agak berbelit-belit. Hakim-hakim di negara-negara
tersebut hampir cenderung untuk mengutamakan sumber hukum nasionalnya. Mengapa di
negara-negara penganut teori dualisme praktek ratifikasi tidak semudah praktek di negaranegara penganut monisme.
Pertama, negara-negara penganut teori dualisme, beranggapan bahwa perjanjian
internasional (PI) dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum terpisah. Ajaran
kedaulatan hukum negara secara nasional lebih diutamakan untuk dijadikan sumber hukum
10
11
Op.Cit, Wisnu Aryo Dewantoro.
Yudha Bakti, Disertasi
68
utama (prima facie). Mereka memandang bahwa PI hanya dapat dijadikan bagian dari sistem
hukum nasional manakala telah dilakukan suatu proses ratifikasi yang prosedural oleh
parlemen atau hakim-hakim di pengadilan.
Dengan kata lain, kompleksitas implementasi PI di dalam negara penganut teori
dualisme menunjukan urusan luar negeri tidak sekedar ikhwal kewenangan eksekutif,
melainkan juga kewenangan parlemen atau DPR. Sebagai salah satu contoh di negara
federal di Australia, ratifikasi PI memerlukan persetujuan dari Parlemen, karena urusan luar
negeri termasuk kewenangan pengawasan parlemen. seberapa jauh urusan luar negeri
membuktikan kepentingan rakyat sangat tergantung pada wakil-wakil rakyat di Parlemen.
Sifat dan daya ikat PI dalam negara-negara penganut dualisme adalah non-self
executing treaties, yaitu PI tidak dengan sendirinya dapat diimplementasikan mengingat
memerlukan adanya persetujuan dari Parlemen atau DPR. Untuk mengimplementasikan PI di
negara-negara tersebut memang agak sulit.12
Kedua, persoalan PI bukan sekedar urusan Presiden, atau Perdana Menteri melainkan
juga urusan dari wakil-wakil rakyat. Setiap upaya untuk memberlakukan PI menuntut adanya
suatu pengesahan dari anggota parlemen DPR. Model ratifikasi demikian ini, tentu tidak saja
terbatas pada PI bersifat Multilateral saja, akan tetapi berlaku pada PI bersifat bilateral dan
Trilateral. Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Singapura
menyepakati perjanjian ekstradisi, yaitu saling tukar-menukar penjahat dari kedua negara.
Syarat utamanya adalah pelanggaran atau kejahatan tersebut harus sama tergolong
kejahatan yang juga dilarang oleh kedua negara (double criminality). Meskipun demikian,
perjanjian ekstradisi batal ditindak lanjuti oleh karena beberapa alasan, salah satunya,
perjanjian ekstradisi yang telah disepakati memerlukan pengakuan dari hakim-hakim. 13
Konsekuensi dari PI bukan sekedar eksekutif menuntut adanya suatu dukungan dan
pengesahan dari parlemen. Prosedur ratifikasi menjadi birokratif mengingat mekanisme
12
13
Wisnu, Eddy, atau Maurize
Jawahir Thontowi, Penegakan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY, Yogyakarta: Leutika, 2009, Hlm: 225.
69
terkadang tidak mudah ditempuh. Hal ini mengingat prosedur dan mekanisme ratifikasi
pertama perlu diajukan oleh beberapa kementerian yang terkait. Misalnya, Menteri Luar
Negeri (Minister of Foreign Affairs) dan Menteri Kehakiman (Minister of Justice)
mempersiapkan untuk mengusut tersebut negara. Meskipun dalam ratifikasi tidak perlu
adanya pengesahan setiap pasal-pasal, karena setelah diterjemahkan ke dalam bahasa
nasional masing-masing, anggota-anggota DPR hanya menyetujui pemberlakuan PI tersebut
secara keseluruhan. Terkecuali, terdapat adanya persyaratan (reservasi), maka beberapa
pasal dapat dianulir. Misalnya, ketika Pemerintahan Indonesia melakukan ratifikasi terhadap
HAM, maka konsep kejahatan perang (war of crimes), kejahatan kemanusiaan (crime against
humanity), dan tindakan agresi (the act of aggression) tidak diberlakukan di Indonesia.
Ketiga, dalam praktek ratifikasi PI ke dalam hukum nasional di negara-negara
penganut teori dualisme memang tidak mudah. Selain hakim-hakim dalam hal menemukan
hukum baru ketika dalam hukum nasional tidak diaturnya, maka hakim sangat tergatung
kepada pengesahan dari anggota parlemen. Hal ini juga menjadi lebih rigid ketika hakimhakim di negara-negara sistem kontinental tidak memberlakukan doktrin precedent. Meski
putusan-putusan hakim di masa lalu, yang mengandung kebenaran dan keadilan sekalipun,
tetap saja hakim tidak mudah untuk menjadi putusan-putusan tersebut sebagai sumber
hukum yang patut dipertimbangkan.
Karena itu, dalam hal ada tidaknya pertentangan antara PI dengan hukum kebiasaan
internasional, maka hakim-hakim di negara-negara tersebut umumnya merujuk pada hukum
nasional, dengan menggunakan metode penafsiran hukum yang bertahap, yakni penafsiran
kebahasaan (linguistic interpretation), penafsiran sejarah (historical interpretation),
penafsiran sosiologis dan antropologis (sociologist and anthropologist interpretation).
Perjanjian Internasional di Indonesia
Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antar negara.
70
Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja sama
internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional. Dalam
melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah
Republik Indonesia melakukan berbagai upaya termasuk membuat perjanjian internasional
dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek-subyek hukum internasional lain.
Dasar hukum pemberlakuan Perjanjian Internasional di Indonesia adalah Pasal 11
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Sejatinya undang-undang tentang Perjanjian
Internasional merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang
memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam praktiknya di Indonesia, bentuk pengesahan suatu Perjanjian Internasional
terbagi dalam empat kategori, yaitu:
1. Ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional turut menandatangani naskah perjanjian;
2. Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3. Penerimaan (acceptance); dan
4. Penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari
negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan
perjanjian internasional tersebut.
Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian internasional di Indonesia sebelum
disahkannya Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
dijabarkan dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960, kepada
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan
perjanjian internasional, yaitu pengesahan melalui undang-undang atau keputusan presiden,
bergantung kepada materi yang diaturnya.
71
Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia dapat dilakukan dengan undangundang atau Keputusan Presiden. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan
undang- undang, apabila berkenaan dengan:14
1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
3. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5. pembentukan kaidah hukum baru; dan
6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Adapun pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan dengan Keputusan Presiden. Dalam hal
pengesahan perjanjian internasional melalui Keputusan Presiden, maka Pemerintah Republik
Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu
perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.15
A. Istilah-istilah dalam Perjanjian Internasional
1.
Agreed minutes, yaitu risalah yang disepakati.
2.
Agreement (persetujuan), yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang
bersifat sementara. Perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.
3.
Charter yaitu istilah yang dapat dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian
badan yang melakukan fungsi administratif Misal Atlantic Charter.
4. Convention (konvensi), yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak
berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).
5.
Covenant yaitu anggaran dasar LBB (Liga Bangsa Bangsa)
6. Declaration (Deklarasi), yaitu perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan
dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai traktat bila menerangkan suatu judul dan
batang tubuh ketentuan traktat dan sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan
14
15
Pasal 10 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Pasal 11 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
72
lampiran pada traktat atau konvensi. Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila
mengatur hal-hal yang kurang penting.
7.
Exchange notes (Pertukaran nota), yaitu metode yang tidak resmi tetapi akhir-akhir ini
banyak digunakan. Biasanya pertukaran nota dilakukan oleh wakil-wakil militer dan
negara serta dapat bersifat multilateral. Akibat pertukaran nota ini timbul kewajiban
yang menyangkut mereka.
8.
Final act (Ketentuan penutup), yaitu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan
negara peserta, nama utusan yang turut diundang serta Inasalah yang disetujui
konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
9. General act (Ketentuan Umum), yaitu traktat yang dapat bersifat resmi dan tidak resmi.
Misalnya, LBB (Liga Bangsa Bangsa) menggunakan ketentuan umum mengenai arbritasi
untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional tahun 1928.
10. Letter of intens yaitu nota kesepakatan.
11. Modus vivendi, yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat
sementara sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanent, terinci dan
sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.
12. Negotiation (perundingan), merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara
tentang objek tertentu. Dalam melaksanakan negosiasi, suatu negara dapat diwakili oleh
pejabat yang dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full powers).
13. Proses verbal, yaitu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulankesimpulan konferensi diplomatic atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses
verbal tidak diratifikasi.
14. Protocol (protokol), yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat
oleh kepala negara, mengatur masalah-masalah tambahan seperti ketentuan tambahan
sebuah perjanjian.
15. Ratification (ratifikasi), yaitu persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar
menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara peserta perjanjian.
16. Signature (penandatanaganan), yaitu penandatanganan hasil perundingan yang
dituangkan dalam naskah perundingan yang dilakukan wakil-wakil negara peserta yang
73
hadir. Dalam perjanjian bilateral, penandatanganan dilakukan oleh kedua wakil negara
yang telah melakukan perundingan sehingga penerimaan hasil perundingan secara bulat
dan penuh, mutlak sangat diperlukan oleh kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam
perjanjian multilateral penandatanganan naskah hasil perundingan dapat dilakukan jika
disetujui 2/3 dan semua peserta yang hadir dalam perundingan, kecuali jika ditentukan
lain. Namun demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan oleh masing-masing negara,
sebelum diratifikasi oleh masing-masing negaranya.
17. Statute (piagam); yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan
internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu seperti
pengawasan internasional yang mencakup tentang minyak atau mengenai lapangan
kerja lembaga-lembaga internasional. Piagam itu dapat digunakan sebagai alat
tambahan untuk pelaksanaan suatu konvensi seperti piagam kebebasan transit.
18. Summary record, yaitu catatan singkat, ikhtisar.
19. Treaty (traktat), yaitu perjanjian formal yang merupakan persetujuan dua negara atau
lebih. Perjanjian ini khusus mencakup bidang politik dan bidang ekonomi.
B.
Pejabat Berwenang dalam Perjanjian Internasional
Sebuah perjanjian internasional tidak dapat membebankan sebuah kewajiban atau
memberikan hak kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pihak tersebut. Berdasarkan hukum
kebiasaan internasional penegrtian pernyataan tersebut terangkum dalam sebuah prinsip
pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Prinsip tersebut tercantum dalam VCLT 1969 Pasal 34 ,
“A treaty does not create either obligations or rights for a third state without its consent”.
Dalam praktek pernyataan persetujuan keterikatan terhadap aturan sebuah perjanjian
internasional tersebut tidak bisa dilakukan secara begitu saja oleh sebuah negara. Untuk
mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian internasional sebuah negara akan mengirimkan
representasinya yang memiliki wewenang untuk bernegosiasi, bernegosiasi dan melakukan
ratifikasi. Pada setiap negara,pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional
ditentukan oleh konstitusi masing-masing. Dilihat dari pembagian wewenang melalui
74
amanah konstitusi maka pejabat yang berwenang mewakili negara dalam pembuatan
perjanjian internasional dapat dikategorikan dalam 2 hal, yaitu:

Kewenangan mutlak eksekutif : perjanjian internasional terpusat pada kepala negara.

Kewenangan mutlak legislative : kewenangan pembuat perjanjian internasional pada
lembaga legislative.
Pasal 7 VCLT menyatakan representatif negara dalam perundingan perjanjian
internasional dapat dikategorikan:

Kepala Negara, Kepala Pemrintahan dan Menteri Luar Negeri dengan kewenangan
mewakili negara dan mengkatkan diri terhadap perjanjian internasional.

Kepala Misi Dimplomatik, untuk tujuan mengadopsi teks perjanjian antara negara
yang mengakui dan negara yang diakui.

Perwakilan negara yang diakreditasi untuk konferensi internasional atau organisasi
internasional (atau salah satu instansinya) dengan tujuan untuk mengadopsi teks
perjanjian dalam pertemuan tersebut.
Di Indonesia sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjianinternasional seperti tertuang
dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai
kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuanDewan Perwakilan
Rakyat.
C. Pemberlakuan Perjanjian Internasional di Inggris dan Amerika Serikat
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa siapa yang memiliki wewenang
untuk mewakili negara dalam negosiasi pembentukan perjanjian internasional tergantung
dalam perangkat pengaturan konstitusi di masing-masing negara. Di Inggris, hal yang
berkaitanm
dengan proses negosiasi, penandatanganan dan ratifikasi
perjanjian
internasional menjadi hak prerogative menteri luar negeri. Sedangkan mengenai siapa yang
berhak mewakili negar adalam permbuatan perjanjian internasional di Amerika Serikat,
tercantum dalam dalam Pasal II, Ayat 2 konstitusi negara menyatakan bahwa Presiden
75
memili kuasa wewenang oleh dan dengan nasehat dan persetujuan dari senat untuk
membuat perjanjian internasional, dengan dukungan persetujuan minimal dua pertiga dari
jumlah Senator.
D. Tahapan Pemberlakuan Perjanjian Internasional
Setelah melalui tahapan proses ratifikasi, maka tahapan selanjutnya dalam
memberlakukan perjanjian internasional menjadi berbeda-beda di setiap negara. Hal
tersebut dipengaruhi oleh teori berlakunya hukum internasional yang di anut oleh negara.
Terdapat dua aliran mengenai hukum internasional yang berkembang dan umum
dipraktekan negara-negara berdaulat, aliran tersebut adalah mereka yang memberdakan
hukum nasional dengan hukum internasional dan mereka yang menganggap hukum
internasional dan hukum nasional merupakan satu keasatuan hukum.
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
sistem atau perangkat hukum yang terpisah. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh
aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:
1.
Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum
internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber
pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan
bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;
2.
Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum
perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
3.
Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada
realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum
nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.
4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi
oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional.
Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan
dengan hukum internasional.
76
Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat
hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain.
Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum
internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu
dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.
Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat
hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum
internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum
yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional
merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur
kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang
hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda
dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum
internasional.
Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional.
Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum
nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional.
Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini
dimungkinkan dalam teori monisme.
Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan
kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum
internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat
bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum
internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai
berikut:
1.
tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negaranegara;
77
2.
dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada
wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari
kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.
Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum
nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum nasional tunduk
pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada
pendelegasian wewenang dari hukum internasional.
Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan
keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori
dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Dalam UU
Nomor 24 Tahun 2000, proses pengesahan perjanjian internasional diatur pada BAB III (Pasal
9 – 14) tentang Pengesahan Perjanjian Internasional. Menurut ketentuan UU Nomor 24
Tahun 2000, semua pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
atau keputusan presiden. Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan
undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah RI juga dapat membuat perjanjian
internasional melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian
tersebut. Materi perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang apabila
berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara,
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia,
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara,
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup,
e. pembentukan kaidah hukum baru,
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
E. Tugas Delegasi Negara
Tugas dan fungsi dari seorang perwakilan/delegasi negara dalam proses perumusan
perjanjian internasional terkandung dalan Pasal 3 Konvensi Wina 1961 yaitu:
78
a. Mewakili negara pengirim di dalam negara penerima.
b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima di
dalam batas-batas yang diijinkan oleh hukum internasional.
c. Mengadakan persetujuan dengan pemerintah negara penerima.
d. Memberikan keterangan tentang kondisi dan perkembangan negara penerima, sesuai
dengan undang-undang dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim.
e. Memelihara hubungan persahabatan antara kedua negara.
Perwakilan diplomatik memiliki fungsi Negosiasi mendiskusikan dan mendialogkan
(negotiation), Representasi memerankan sebagai pimpinan negara (representation),
Perlindungan berkewajiban untuk melindungi (protection), Pelaporan sebagai kewenangan
membuat (report function), dan Hubungan persahabatan (friendly relations)
F.
Reservasi dan Alasanya
Perumusan Reservasi (pasal 19 Konvensi wina)
Suatu Negara pada waktu melakukan penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan
atau aksesi terhadap suatu perjanjian boleh mengajukan reservasi kecuali jika :
a.
Reservasi itu dilarang oleh perjanjian
b. Perjanjian itu sendiri menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak
termasuk reservasi yang dipersoalkan, boleh diajukan
Dalam hal tidak termasuk di dalam sub paragraph (a) dan (b), maka reservasi itu
bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian.
Pasal 20 Konvensi Wina 1969 mengatur reservasi yg diizinkan oleh perjanjian tidak
memerlukan penerimaan oleh negara peserta lainnya. Jika penerapan perjanjian secara
keseluruhan sebagai syarat utama untuk terikat oleh perjanjian maka reservasi memerlukan
penerimaan seluruh peserta perjanjian. Jika perjanjian merupakan instrumen konstitusi
organisasi internasional maka reservasi memerlukan penerimaan dari organ kompeten
organisasi tersebut.
79
Reservasi dapat dilakukan dengan 2 macam cara, yaitu dengan tidak memerlukan
persetujuan negara peserta lainnya dan melalui persetujuan dari :Semua negara
peserta,Organ yang kompeten dari organisasi internasional yang bersangkutan.
Akibat hukum Pensyaratan / reservasi adalah : merubah ketentuan yang disyaratkan dalam
perjanjian, memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu dalam hal pelaksanaannya oleh
negara yang melakukan ratifikasi.
Prosedur reservasi Reservasi, pernyataan menerima reservasi, menolak reservasi
harus diformulasikan dalam dalam bentuk tertulis dan disampaikan kepada negara peserta
lain dan negara yang berhak menjadi peserta
Jika reservasi diformulasikan pada saat penandatangan maka harus diformalkan pd saat
meratifikasi atau mengikutsertai perjanjian.
Pembatalan reservasi, dan penolakan reservasi dapat setiap saat dilakukan dan tidak
memerlukan penerimaan dari negara anggota atau organisasi anggota.
Pembatalan
penolakan reservasi dapat dilakukan setiap saat dan berlaku efektif setelah pemberitahuan
tertulis di terima oleh peserta perjanjian lainnya. Sedangkan pembatalan penolakan reservasi
dapat efektif setelah pemebritahuan tertulis diterima oleh negara pengaju reservasi
G. Pembatalan dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
Untuk mencegah negara mengelak dari tanggungjawab yang dibebankan kepadanya
dalam sebuah perjanjian internasional, Pasal 42(1) VCLT menyatakan bahwa ,” sahnya
sebuah perjanjian atau persetujuan sebuah negara untuk tunduk pada aturan dalam sebuah
perjanjian internasional hanya dapat diberhentikan melalui aturan yang tertuang dalam
konvensi ini”. Tujuan pembuatan pasal tersebut adalah untuk mencegah adanya tindakan
meremehkan integritas perjanjian internasional dengan alasan yang tidak masuk akal. Dalam
peraturan lebih lanjut Pasal 44(1) VCLT secara tegas menyatakan bahwa negara hanya
diperbolehkan untuk menangguhkan atau menarik pemberlakuan perjanjian internasional
secara keseluruhan dan bukan pada bagian tertentu saja terkecuali apabila terdapat
peraturan dalam perjanjian tersebut yang mengatur sebaliknya. Demikian pula dalam Pasal
80
44(3) VCLT yang hanya memperbolehkan penangguhan atau menarik pemberlakuan sebuah
perjanjian pada bagian/aturan tertentu apabila berkenaan dengan :
(a) Pasal yang dimaksud merupakan pasal tunggal yang tidak berkaitan dengan pasalpasal yang lain dalam perjanjian tersebut dalam penerapanya.
(b) Telah diatur dalam perjanjian tersebut bahwa pengakuan terhadap pasal yang
dimaksud bukanlah hal yang perlu dilakukan/wajib sehingga tidak membutuhkan
keterikatan kepada seluruh peserta perjanjian.
(c) Keberlangsungan penerapan sisa pasal-pasal dalam perjanjian itidak akan
diragukan/terpengaruh.
Dalam konsep pembatalan sebuah perjanjian internasional acapkali yang menjadi
kendala adalah keabsahan sebuah perjanjian internasional ditinjau dari segi konstitusi
sebuah negara peserta perjanjian. Di beberapa kasus terdapat negara yang dalam
konstitusinya menjelaskan bahwa pelaksana eksekutif sebuah negara tidak dapat melakukan
kewajiban tertentu yang dibebankan sebuah perjanjian internasional tanpa seijin parlemen
atau penguasa legislatif. Hal tersebut menyebabkan negara melakukan tindakan
ketidakpatuhan terhadap perjanjian internasional yang dibebankan oleh konstitusinya.
Berbagai macam pendapat ahli berkembang menanggapi isu tersebut , namun terdapat
sebuah pendapat yang menyatakan bahwa sebuah perjanjina internasional akan secara
otomatis batal demi hukum apabila dalam aturan konstitusi negara peserta perjanjian
internasional tersebut melarang pemberlakuanya. Alasan dasar pendapat tersebut adalah
ketika perwakilan negara (penguasa Eksekutif) bertindak dalam ranah wewenang yang
diberikan oleh konstitusi,yang mana koridor kebebasan bertindak dibatasi oleh aturanaturan yang tercantum dalam konstitusi. Pendapat ahli yang lainya menyebutkan bahwa
perjanjian internasional masih dapat berlaku, namun keabsahanya tidak lagi terjaga apabila
rekanan negara peserta perjanjian internasional tersebut mengetahui bahwa negara
tersebut telah melanggar peraturan konstitusinya dengan tunduk pada perjanjian
internasional yang dipermasalahkan.
Pendekatan yang kedua dapat dilihat dalam Pasal 46 VCLT yang menyatakan bahwa:
81
1. Negara tidak dapat menarik kembali fakta ketika negara tersebut telah
mengekspresikan keinginanya untuk tunduk terhdap sebuah perjanjian internasional
telah melanggar aturan hukum di dalam negerinya terkait kompetensi untuk
mengikatkan diri terhdap sebuah perjanjian dan akan berakibat batalnya pernyataan
untuk mengikatkan diri tersebut, kecuali pelangaran tersebut merupakan perwujudan
dan dianggap terkait dengan hukum nasional yang sifatnya fundamentalis.
2. Sebuah pelanggaran akan menjadi nyata apabila pelanggaran tersebut akan menjadi
bukti obyektif bagi setiap negara yang melakukan hal serupa apabila dibandingkan
dengan praktek pada umunya dan prinsip iktikad baik.
Sedangkan dalam berakhirnya perjanjian internasional terdapat beberapa metode yang
dapat diterapkan, yang paling umum adalah berakhirnya perjanjian berdasarkan
kesepakatan yang telah diatur dalam perjanjian terlebih dahulu. Pada umumnya dalam
penyusunan sebuah perjanjian internasional akan mencantumkan kapan mulai berlakunya
perjanjian dan pilihan apakah perjanjina akan berakhir atau dapat diperbaharui dalam jangka
waktu tertentu. Dalam Pasal 54(1)(b) VCLT mengakui adanya praktek pengakhiran perjanjian
internasional dengan kesepakatan para pihak dengan adanya musyawarah/konsultasi
terlebih dahulu.
Apabila didalam sebuah perjanjian tidak terdapat pasal yang menjelaskan mengenai
masa berakhirnya perjanjian maka negara peserta perjanjian dapat merujuk pada aturan
Pasal 56 VCLT yang memberikan hak kepada negara peserta perjanjian internasional untuk
menarik atau mengakhiri keikutsertaanya dalam perjanjian yang dapat dilakukan engan
memberikan sebuah pemberitahuan tidak kurang dari 12 bulan dari keinginan untuk menarik
diri atau mengakhiri perjanjian. Aturan serupa juga dapat dijumpai pada Pasal 58 VCLT yang
memperbolehkan dua atu lebih negara peserta dapat menunda pemberlakuan perjanjian
selama penangguhan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap hak ,kewajiban dan tidak
melanggar atau bertentangan dengan isi dari ketentuan dalam perjanjian.
Pelanggaran isi perjanjian dapat pula menyebabkan negara mengajukan berakhirnya
perjanjian atau pemberian ganti rugi. Dalam beberapa perdebatan banyak dibahas mengenai
kategori pelanggaran berat dan pelanggaran ringan terhadap perjanjian dimana pelanggaran
82
berat dapat menjadi alasan pengajuan berakhirnya perjanjian. Pasal 60(1) menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap materi/isi pokok perjanjian oleh salah satu pihak perjanjian
bilateral dapat membuat pihak yang lain mengajukan pembatalan atau penangguhan
pelaksanaan perjanjian baik sebagian maupun secara keseluruhan. Berbeda dengan
perjanjian bilateral, dalam perjanjian multilateral proses pengajuan pengakhiran perjanjian
jauh lebih rumit karena melibatkan banyak pihak. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian
multilateral melakukan pelanggaran maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalah
atau pemutusan perjanjian karena pelanggaran yang dilakukan akan memberikan
ketidakadilan bagi pihak yang lain. Pasal 60(2) VCLT mengatur 3 hal yang dapat dilakukan
dalam pembatalan/pengakhiran perjanjian multilateral, yang pertama adalah bahwa apabila
terjadi pelanggaran terhadap materi/isi pokok dalam sebuah perjanjian multilateral, maka
peserta perjanjian yang lain dengan suara bulat boleh mengajukan penangguhan atau
penghentian sebagian/keseluruhan perjanjian tersebut,baik terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran ataupun terhadap semua pihak peserta perjanjian secara keseluruhan. Selain itu
pihak
yang
menderita
kerugian
secara
langsung
dapat
mengajukan
penangguhan/mengakhiri perjanjian multilateral antara negara tersebut dengan negara yang
melakukan pelanggaran saja, dan yang terkahir pihak yang tidak secara langsung dirugikan
oleh pelanggaran yang dilakukan salah satu peserta perjanjian dapat mengajukan
penangguhan/mengakhiri keikutsertaan dalam perjanjian apabila pelanggaran tersebut telah
mempengaruhi proses berjalanya hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian.
Berakhirnya perjanjian internasional juga dapat dilakukan ketika kewajiban yang
dibebankan oleh perjanjian tidak mungkin untuk dilakukan karena obyek yang bersangkutan
hilang/rusak secara permanen (Pasal 61 VCLT). Perjanjian internasional juga dapat berakhir
apabila terdapat perubahan mendasar yang terjadi sejak pembentukan perjanjian, sehingga
objek yang ingin dicapai oleh perjanjian menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Pasal 62
VCLT membolehkan pembatalan perjanjian yang diakibatkan oleh berubahnya keadaan yang
terjadi setelelah perjanjian dibuat dan diterapkan.
83
H. Penafsiran, Amandemen, dan Modifikasi Perjanjian Internasional
Konvensi Wina 1969 mengenai interpretasi perjanjian internasional diatur dalam tiga
pasal saja, yaitu pasal 31, 32 dan 34, tetapi meliputi masalah yang sangat luas sekali, oleh
karena itu memerlukan pembahasan tersendiri. Dalam bagian ini hanya membahas yang
pokok-pokok saja sekedar mengetahui isi ketentuan Konvensi Wina 1969. naskah suatu
perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai
atau sejalandengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian. Pasal 31 Konvensi Wina
menetapkan ketentuan umum tentang penafsiran yang terdiri dari empat ayat, yaitu :
1. Suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan iktikad baik menurut arti kata-katanya yang
biasa dalam rangka obyek dan maksudnya.
2. Kerangka maksud penafsiran harus mencakup sebagai tambahan atau teks, kecuali
naskah mukadimah dan lampiran yang mencakup setiap persetujuan dan naskah yang
ada hubungannya dengan penetapan perjanjian tersebut.
3. Harus juga diperhatikan setiap persetujuan dan praktek penerapan yangmenyusul
pembentukan perjanjian, serta setiap aturan hukum internasional yang relevan.
4. Arti yang khusus dapat ditetapkan bagi suatu hal bila dikehendaki demikian.
Pasal 31 ini memiliki dasarnya pada ayat yang pertama, yaitu pada Iktikad baik (good faith)
dan arti yang biasa dari kata-kata (ordinary meaning of term).
Dalam Hukum Internasional dikenal tiga school of thoughts” aliran/approach mengenai
interpretasi, yang pertama adalah Aliran yang berpegang pada kehendak para pembuat
perjanjian itu. Aliran ini menggunakan secara luas “preparatory work/travaux preparatories”
pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang menggambarkan kehendak para pihak.
Aliran Textual school, yang menghendaki bahwa kepada naskah perjanjian hendaknya
diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of
the words). Jadi unsur pentingnya adalah naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para
pihak pembuat perjanjian serta obyek dan tujuan dari perjanjian itu.
Aliaran Teleogical thought, cara penafsiran ini menitik beratkan pada interpretasi
dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri terlepas dari
kehendak semula pembuat perjanjian itu. Dengan demikian naskah suatu perjanjian dapat
84
diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan
kehendak semula daripada pembuat perjanjian.
International law comission (ILC) yang menyusun rancangan Wina 1969, memberikan
pengertian Amademen sebagai perubahan terbatas maupun perubahan umum dari suatu
perjanjian yang dalam hal ini berlaku untuk semua peserta. Amademen sebagai mana
dimaksud dalam uraian tersebut, hanyalah satu dari beberapa bentukperubahan perjanjian
yangdikenal dalam hukum Internasional. Perubhanperjanjian itu sendiri terjadi bilamana
diadakan penambahan ketentuan-ketentuan asli, sementara perjanjian itu sendiri tetap
berlaku. Karena amandemen merupakan suatu bentuk perubahan dari suatu perjanjian,
maka bentuk-bentuk lainya adalah modifikasi. Konvensi wina 1969 membedakan secara
tegas antara amademen dan modifikasi serta mengaturnya dalam ketentuan yang
berbeda. Modifikasi adalah perubahan perjanjian yang diadakan oleh dua atau lebih peserta
akan tetapi tidak semua pserta dari suatu perjanjian multilateral.
Perubahan atau pembuatan amandemen terhadap perjanjian itu tergantung dari
kesepakatan para pihak. Mengenai perubahan atau amandemen terhadap perjanjian
multilateral ini tidak mengharuskan adanya prakarsa dari semua Negara pihak dari perjanjian
tersebut. Namun setiap usul perubahan baik di dalam bentuk amandemen atau revisi
haruslah diberitahukan kepada semua Negara pihak dan semuanya berhak untuk ikut serta
dalam mengambil keputusan tentang kelanjutan usul perubahan tersebut. Setiap Negara
akan mempunyai hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang
yang akan diambil mengenai usul tersebut dan berpartisipasi dalam perundingan dan
persetujuan mengenai perubahan perjanjian tersebut.
85
Download