Chapter Three - Repository UNIMAL

advertisement
Chapter
Three
Pembuatan
Perjanjian
Internasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Pasal 11 (1)
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
29
A. Kewenangan Membuat Perjanjian Internasional dan Surat
Kuasa (Full Powers)
Konstitusi masing-masing negara umumnya mengatur dengan
jelas badan yang berwenang untuk melakukan pembuatan perjanjian
internasional. Dalam hal ini, dikenal ada tiga bentuk kewenangan
dalam membuat perjanjian internasional, yaitu :
(a) Kewenangan Mutlak Eksklusif; yaitu kewenangan yang biasanya
terdapat pada system monokrasi dengan kekuasaan terfokus
kepada kepala negara sebaga kepala eksekutif. Sistem ini
dipakai pada sistem monarki absolut namun sudah sangat
jarang terjadi;
(b) Kewenangan Mutlak Legislatif; yaitu kewenangan yang biasanya
berkembang pada saat lembaga legislative suatu negara
memegang seluruh kekuasaan termasuk kekuasaan
pembuatan perjanjian.
(c) Pembagian Kewenangan antara Eksekutif dengan Legislatif; yaitu
sistem yang dianut oleh banyak negara di dunia, dimana
kewenangan untuk membuat perjanjian berada di tangan
lembaga eksekutif, namun untuk melaksanakannya lembaga
eksekutif harus meminta persetujuan dari pihak legislative. Ini
merupakan pembagian kerjasama antara rejim presidential
dengan rejim parlementer.
Pada umumnya, negara bagian dari suatu negara federal tidak
mempunyai wewenang mengadakan perjanjian internasional. Namun,
terkadang ada juga yang diberikan wewenang oleh konstitusi federal
negara yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian internasional.
Artinya, wewenang umum untuk mengadakan perjanjian internasional
(treaty making power) dalam suatu negara federal lazimnya berada pada
pemerintah federal.
30
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
UUDNRI 1945 Pasal 11 telah menetapkan bahwa yang menjadi
pemegang kekuasaan membuat perjanjian internasional adalah
Presiden dengan persetujuan DPR. Kemudian dalam peraturan
operasional untuk melaksanakan pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomorr. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 13 dan 14
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri.
Jelas bahwa dalam konteks pembuatan perjanjian internasional
pemegang treaty making power di Indonesia adalah Presiden yang dapat
memberikan wewenangnya kepada Menteri Luar Negeri. Atas dasar
KEPPRES No. 102/2001, ditentukan bahwa Departemen Luar Negeri
merupakan bagian dari pemerintah negara dipimpin oleh seorang
Menteri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas
pokok DEPLU adalah menyelenggarakan sebagian tugas umum
pemerintahan dan pembangunan di bidang politik dan hubungan di
luar negeri.
Dalam melakukan hubungan luar negeri, Indonesia mengacu
kepada ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 mengenai Hukum
Perjanjian yang telah menjadi hukum positif internasional dan dasar
hukum pembuatan perjanjian internasional. Konvensi ini menentukan
bahwa yang dapat mewakili negara dalam pembuatan perjanjian
adalah:
a. Kepala Negara (Presiden) atau Kepala Pemerintahan (Perdana
Menteri);
b. Menteri Luar Negeri;
c. Kepala Perwakilan atau Misi Diplomatik;
d. Pejabat Pemerintah yang diberi kuasa (full power) oleh Presiden atau
Menteri Luar Negeri.
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
31
Selanjutnya dalam pelaksanaan treaty making power, Presiden
dibantu oleh Menteri Luar Negeri, yang selanjutnya Deplu c.q. Dit.
Perjanjian Polkamwil dan Dit. Perjanjian Ekososbud tidak saja bertugas
menyiapkan naskah perjanjian, tetapi juga merundingkan dengan
pihak-pihak lainnya dalam perjanjian.
Dalam Konvensi Wina disebutkan bahwa surat kuasa adalah
suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk
mewakili negaranya dalam berunding, menerima, atau membuktikan
keaslian naskah suatu perjanjian, menyatkaan persetujuan negara
untuk diikat suatu perjanjian atua melaksanakan perbuatan lainnya
sehubungan dengan suatu perjanjian. Dalam praktik internasional,
utusan-utusan suatu negara ke suatu konferensi internasional biasanya
dilengkapi dengan surat kuasa, walaupun tidak mutlak diperlukan.
Pasal 7 (1) (b) Konvensi Wina menyatakan bahwa wakil dari suatu
negara dalam suatu perundingan dapat dibebaskan dari surat kuasa
kalau memang demikian praktik dari negara yang bersangkutan.
Bahkan utusan yang tidak mempunyai surat kuasa juga dapat
mengikuti suatu perjanjian asal saja dikonfirmasikan kemudian oleh
pemerintahnya.
Surat kuasa bukanlah satu-satunya dokumen yang diperlukan
oleh suatu utusan untuk mewakili negaranya dalam sebuah konferensi
bilateral maupun multilateral. Surat kepercayaan (credential) adalah
surat yang wajib diserahkan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan
Badan-Badan Subsider lainnya seminggu sebelum sidang dimulai.21 PBB
akan dapat menentukan delegasi mana yang benar-benar mewakili
suatu negara, terutama bila negara tersebut memiliki pemerintahan
tandingan.
Walaupun demikian, Mochtar Kusumaatmadja memiliki
pendapat bahwa apabila seseorang yang dikirim menghadiri konferensi
21
Lihat Pasal 27 Rules of Procedure of the General Assembly.
32
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
tidak membawa surat kuasa penuh, dan hanya disampaikan melalui
email ataupun telephone saja kepada ketua atau sekretaris konferensi,
secara hukum tindakan tersebut dibenarkan asalkan kemudian
disahkan atau dikirimkan surat kuasa penuh oleh negara yang
bersangkutan. Tanpa pengesahan tersebut, maka semua tindakan yang
dilakukan oleh perwakilan tersebut tidak memiliki kekuatan yang sah
(batal demi hukum).22
B. Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional
a. Tahap Penjajakan
Pada tahap ini para pihak yang ingin membuat perjanjian
menjajaki
kemungkinan-kemungkinan
untuk
dibuatnya
perjanjian internasional. Penjajakan dapat dilakukan melalui
inisiatif instansi atau lembaga pemerintahan (negara) di Indonesia
ataupun inisiatif dari calon mitra. Penjajakan bertujuan untuk
bertukar pikiran tentang berbagai masalah yang akan dituangkan
dalam perjanjian dimaksud.
b. Tahap Perundingan
Kebutuhan suatu negara untuk berhubungan dengan negaranegara lain untuk membicarakan dan memecahkan berbagai
persoalan yang timbul diantara mereka menimbulkan kehendak
negara-negara tersebut untuk mengadakan perundingan. Tahap
perundingan merupakan suatu upaya yang ditempuh oleh para
pihak untuk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum
dapat disetujui dalam tahap penjajakan. Tahap ini juga berfungsi
sebagai wahana memperjelas pemahaman setiap pihak tentang
ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional.
Setelah para pihak mendapatkan persetujuan untuk
mengadakan perundingan, maka masing-masing pihak akan
22
Mochtar Kusumaatmadja, Ibid. Hlm. 43-44.
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
33
menunjuk organ-organ yang berwenang untuk menghadiri
perundingan tersebut. Jika Kepala Negara tidak dapat menghadiri
perundingan, maka akan diwakili oleh Menteri Luar Negeri, atau
wakil diplomatiknya, dan apabila tidak maka akan ditunjuk
wakil-wakil berkuasa penuh yang mendapat surat kuasa untuk
mengadakan perundingan menandatangani atau menyetujui teks
perjanjian dalam konferensi tersebut.23 Pada tahap perundingan
ini, beberapa draft atau rancangan perjanjian ditawarkan dan
dibahas, sehingga muncul usul, amandemen, pro maupun kontra.
c. Tahap Perumusan Naskah
Rumusan naskah adalah hasil kesepakatan dalam perundingan
oleh para pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahap
ini diberikan tanda paraf terhadap materi yang telah disetujui, dan
dihasilkan juga Agreed Minutes, atau Minutes of Meeting, atau Records of
Discussion atau Summary Records yang berisi hal-hal yang sudah
disepakati, belum disepakati, serta agenda perundingan
berikutnya.
Apabila suatu perjanjian merupakan perjanjian bilateral dari
dua negara yang mempunyai bahasa yang sama, hal ini tidak akan
menimbulkan kesulitan. Masing-masing pihak pada perjanjian
tersebut membuat naskah atas kertasnya sendiri dengan
mendahulukan nama negaranya setiap nama negara para pihak
muncul. Begitu juga dengan letak tanda tangan, di sebelah kiri
ataupun di bagian atas secara berurutan. Sedangkan bila
perjanjian tersebut dibuat oleh lebih dari dua negara atau
perjanjian multilateral dapat dibuat dengan memilih salah satu
bahasa yang disetujui oleh semua para pihak dalam perjanjian.
Sebuah naskah perjanjian juga biasanya terdiri dari unsur-unsur
formil, yaitu mukaddimah, batang tubuh, klausula penutup, dan
annex. Dalam mukaddimah terkandung unsur-unsur filosofis,
23
Lihat Pasal 7 (1) dan (2) Konvensi Wina 1969.
34
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
politis dan sosiologis sebagai dasar dibentuknya perjanjian
tersebut. Khusus bagi negara-negara Islam, mukaddimah biasanya
dimulai dengan puji-pujian kepada Tuhan.
d. Tahap Penerimaan
Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal
hasil perundingan dapat disebut sebagai penerimaan yang
ditandai dengan pemberian tanda paraf pada naskah perjanjian
oleh masing-masing ketua delegasi. Terhadap perjanjian
multilateral, proses penerimaan biasanya merupakan pengesahan
suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.
Penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) dalam suatu
perjanjian bilateral ataupun multilateral dengan anggota yang
masih terbatas, akan lebih mudah dilakukan dengan suara bulat.
Namun untuk perjanjian yang diikuti oleh banyak negara seperti
PBB, pengambilan keputusan dengan suara bulat sangat sulit
dilakukan, sehingga para pihak menentukan sendiri proses
penentuan keputusan mereka. Konvensi Wina menentukan
bahwa penerimaan dapat dilakukan dengan suara bulat ataupun
dengan dua pertiga dari peserta yang hadir dan memberikan
suara.24
Kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text) adalah
suatu perbuatan dalam proses pembuatan perjanjian yang
mengakhiri secara pasti naskah yang telah dibuat. Bila suatu
naskah sudah disahkan, maka naskah ini tidak boleh diubah lagi.
Menurut Pasal 10 Konvensi Wina, pengesahan naskah suatu
perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam
naskah itu sendiri, atau sesuai dengan kesepakatan bersama para
pihak. Dapa juga dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau
24
Lihat Pasal 9 Konvensi Wina 1969.
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
35
paraf di bawah naskah perjanjian atau tanda tangan dalam suatu
final act. Penerimaan naskah berbeda dengan kesaksian naskah.
e. Tahap Penandatanganan
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari sebuah perundingan
untuk melegalisasi kesepakatan yang dituangkan dalam naskah
perjanjian internasional. Namun penandatanganan tidak selalu
berarti pemberlakuan perjanjian internasional. Pemberlakuan
tergantung dari klausula pemberlakuan yang telah disepakati
dalam perjanjian internasional. Akibat dari penandatanganan
suatu perjanjian tergantung dari ada atau tidaknya persyaratan
ratifikasi perjanjian tersebut. Apabila perjanjian harus diratifikasi,
maka penandatanganan hanya berarti utusan-utusan telah
menyetujui teks perjanjian dan bersedia menerimanya serta akan
meneruskan kepada pemerintah yang berhak untuk menerimnya
atau bahkan menolak perjanjian tersebut.25
Secara yuridis, apabila suatu negara yang telah
menandatangani perjanjian tapi belum meratifikasinya, maka
negara tersebut belum merupakan peserta dalam perjanjian.
Dalam hal ini negara tersebut berkewajiban untuk tidak
melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan obyek dan
tujuan perjanjian selama negara tersebut belum meratifikasinya.26
Penandatanganan disini hanya dapat dilakukan oleh utusanutusan yang memiliki surat kuasa penuh. Penandatangan ini
bukan berarti otentifikasi naskah, melainkan persetujuan negara
untuk diikat secara hukum. Menurut Pasal 7 (2) Konvensi Wina,
hanya kepala negara, kepala pemerintah, dan Menteri Luar Negeri
yang dapat menandatangani tanpa memerlukan surat kuasa
25
26
Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London, 1987. Hlm. 429.
Lihat Pasal 18 Konvensi Wina 1969.
36
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
penuh, sedangkan perwakilan lain wajib memiliki surat kuasa
penuh.27
C. Ketentuan Khusus Dalam Proses Mengikat Diri (Consent to be
Bound)
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan negara dalam
memberikan persetujuannya untuk mengikatkan diri pada sebuah
perjanjian internasional, dan ini tergantung pada kesepakatan para
pihak saat membuat perjanjian. Pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negaranegara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional
lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena
mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh
sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional
dilakukan berdasarkan undang-undang.
Pasal 11 Konvensi Wina menyatakan: “the consent of the State to be
bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instrumen constituting
a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so
agreed.” Dengan banyaknya cara yang dapat dilakukan dalam
mengikatkan diri pada sebuah perjanjian internasional, sayangnya telah
memunculkan banyak kebingungan dalam pelaksanaannya. Cara yang
paling banyak dilakukan adalah penandatanganan dan ratifikasi.
Lebih lanjut Pasal 12 (1) menyebutkan bahwa:
The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by the signature of
its representative when:
(a) The treaty provides that signature shall have that effect;
(b) It is otherwise established that the negotiating States were agreed that
signature should have that effect; or
27
Lihat Pasal 7 (2) Konvensi Wina 1969.
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
37
(c) The intention of the State to give that effect to the signature appears from
the full powers of its representative or was expressed during the
negotiations.
Ssedangkan Pasal 14 (1) menyatakan bahwa:
The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by ratification
when:
(a) The treaty provides for such consent to be expressed by ratification;
(b) It is otherwise established that the negotiating States were agreed that
ratification should be required;
(c) The representative of the State has signed the treaty subject to
ratification; or
(d) The intention of the State to sign the treaty subject to ratification appears
from the full powers of its representative or was expressed during the
negotiations.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian
internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar
1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk
membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu
penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat
berlaku dan menjadi hukum di Indonesia.
Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba
menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut. Pengaturan
tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam
bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960,
yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian
menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional
selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut
Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau
keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam
38
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari
Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk
diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus
mengenai perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian
internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam
pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori,
yaitu:
1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan
mengesahkan
suatu
perjanjian
internasional
turut
menandatangani naskah perjanjian internasional;
2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan
suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani
naskah perjanjian;
3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu
pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak
pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian
internasional tersebut;
4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang
sifatnya self-executing(langsung
berlaku
pada
saat
penandatanganan).
D. Ratifikasi
Dalam
suatu
pengesahan
perjanjian
internasional,
penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan
sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut.
Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan
pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan
mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
39
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan
sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.
Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional
yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya
prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang. Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan
persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu
pemberitahuan ke DPR.
Pasal 14 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa persetujuan
suatu negara untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk
ratifikasi bila:
a. Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan
dalam bentuk ratifikasi;
b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk
mengadakan ratifikasi;
c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan
syarat utnuk meratifikasinya kemudian, atau;
d. Penerima Kuasa delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi
diharuskan kemudian.
Adapun kewenangan dan proses ratifikasi suatu perjanjian di
Indonesia dicantumkan dalam Pasal 9, 10 dan 11 ayat (1) Undangundang No. 24 Tahun 2000. Pasal 9 menyatakan bahwa pengesahan
perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan
sepanjang disyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut, dan
dilaksanakan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional yang
dilakukan dengan undang-undang (Pasal 10), apabila berhubungan
dengan:
40
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. Pembentukan kaidah hukum baru;
f. Pinjaman atau hibah luar negeri.
Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa untuk ratifikasi perjanjian
internasional yang dilakukan melalui keputusan presiden, apabila
materi perjanjian tersebut tidak termasuk seperti yang dicantumkan
dalam Pasal 10. Materi perjanjian ini bersifat prosedural dan
memerlukan penerapan dalam jangka waktu singkat tanpa
mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis
perjanjian ini diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut
kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik,
perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak
berganda, dan penanaman modal serta perjanjian yang bersifat teknis.
Proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia baik
bilateral maupun multilateral melalui Keppres ataupun undangundang, oleh lembaga pemrakarsa atau instansi terkait dalam
perjanjian tersebut mengadakan rapat interdepartemen dengan tujuan:
a. Menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan
undang-undang atau rancangan keputusan presiden tentang
pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumendokumen yang dibutuhkan lainnya.
b. Mengkoordinasikan pembahasan rancangan atau materi
permasalahan dimaksud bersama dengan pihak-pihak terkait
lainnya.
c. Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan
melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.
Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta
pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai
perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
41
merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut
dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang
ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.Indonesia sebagai negara
yang menganut paham gabungan antara monisme dan dualisme,
walaupun masih belum konsisten, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2
UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa: ”Pengesahan perjanjian
internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undangundang atau keputusan presiden.”
Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke
dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga
memperlihatkan bahwa Indonesia mulai memandang hukum nasional
dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan
terpisah satu dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus
ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No.
24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan
presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi
perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undangundang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat
terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian
internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih
spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh
Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political
Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus
membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di
covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.
E. Reservasi
Sebuah negara dapat memilih untuk menerima semua ketentuan
dalam perjanjian atau hanya sebagian ketentuan perjanjian saja. Dalam
kasus seperti ini, negara dapat membuat sebuah reservasi sebagai
bentuk persetujuan atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu
dalam perjanjian. Berdasarkan Pasal 2 (1) (d) Konvensi Wina, reservation
42
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
means a unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when
signing, ratifying, accepting, approving, or acceding to a treaty, whereby it purports
to exclude or to modify the legal effects of certain provisions of the treaty in their
application to that State. Jadi reservasi adalah suatu pernyataan resmi
negara yang diberikan sewaktu menandatangani, meratifikasi atau
menyatakan ikut serta dalam suatu persetujuan yang menentukan halhal tertentu sebagai syarat kesediaannya menjadi pihak dalam
perjanjian.
Reservasi dapat berbentuk suatu pernyataan yang dilampirkan
pada naskah perjanjian itu sendiri, biasanya di atasnya, di sebelah
bawah atau di bawahnya tanda tangan wakil atau wakil-wakil negara
yang mengadakan reservasi tersebut. Reservasi juga dapat dilampirkan
pada naskah ratifikasi ataupun pernyataan ikur serta (aksesi) dari
suatu negara. Selain itu, reservasi juga dapat tertera dalam suatu
instrumen resmi tersendiri yang merupakan bagian dari perjanjian,
seperti protokol atau proses verbal dari tanda tangan, suatu proses
verbal pertukaran atau deposit naskah ratifikasi, atau bentuk lainnya
yang disetujui.28
Dampak dari reservasi sangat tergantung dari diterima atau
tidaknya reservasi tersebut oleh negara para pihak lainnya. Reservasi
untuk perjanjian bilateral sepertinya tidak akan menimbulkan masalah,
karena sebagai gantinya akan dengans endirinya dinegosiasikan
kembali ruang lingkup yang diatur sebagai hasil negosiasi tersebut.
Sebaliknya dalam perjanjian multilateral, permasalahan akan semakin
rumit karena reservasi mungkin saja diterima oleh sebagian negara
anggota, dan ditolak oleh negara anggota lainnya.
Menurut ketentuan hukum tradisional, sebuah negara tidak bisa
melakukan reservasi apabila tidak diterima oleh seluruh negara anggota
yang sudah menandatangani perjanjian tersebut, walaupun belum
28
Schwarzenberger, Ibid. Hlm. 126. Lihat Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum
Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989.
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
43
diratifikasi. Tetapi aturan ini kemudian dikesampingkan oleh pendapat
Hakim Mahkamah Internasional dalam kasus genosida.29 Pengadilan
memutuskan bahwa teori tradisional tentang reservasi telah difahami
dengan baik, namun ada beberapa kasus yang tidak bisa diterapkan
teori ini. Khususnya tidak dapat diterapkan terhadap Konvensi
Genosida, yang bertujuan untuk melindungi individu, dan
menyebabkan harus diberlakukannya hak resiprokal terhadap negara
anggota.30 Mahkamah Internasional mengakui praktik reservasi dengan
memberikan pembatasan rangkap, yaitu:
a. Reservasi tidak boleh bertentangan dengan maksud dan
tujuan perjanjian internasional;
b. Negara yang menyatakan keberatannya terhadap reservasi
yang diajukan oleh negara lain, dapat menganggap dirinya
tidak terikat dalam perjanjian dengan negara tersebut.
Konvensi Wina sendiri menyatakan bahwa sebuah negara dapat
mengajukan ratifikasi, kecuali terhadap perjanjian yang memang sudah
dilarang untuk melakukan reservasi dan tidak sesuai dengan maksud
dan tujuan perjanjian. Di samping itu, Konvensi juga menyebutkan
bahwa bila negara keberatan terhadap sebuah reservasi yang diajukan
oleh negara lain, karena reservasi tersebut bertentangan dengan
maksud dan tujuan perjanjian, maka yang tidak berlaku hanyalah yang
direservasi saja.
Dalam praktiknya, reservasi yang pernah dilakukan oleh
Indonesia dalam perjanjian multilateral umumnya terkait dengan
masalah penyelesaian sengketa. Misalnya reservasi terhadap Pasal 12
ayat 1 pada Convention for Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft atau
Pasal 14 ayat 1 pada Convention for the Suppression on Unlawful Acts Against
the Safety of Civil Aviation, dimana dinyatakan bahwa penyelesaian
29
30
Lihat E. Klein, Genocide Convention (Advisory Opinion), EPIL II, 1995, Hlm. 544-546.
Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, 7th edition, Peter Malnczuk,
Routledge, New York, 1997
44
Chapter Three – Pembuatan Perjanjian Internasional
sengketa ke Mahkamah Internasional harus mendapatkan persetujuan
pihak-pihak yang bersengketa sebelumnya.
Download