BAB I - Repository UNIMAL

advertisement
IMPLEMENTASI UU NO. 24 TAHUN 2000 DALAM PEMBUATAN DAN
PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
(The Implementation of UU No. 24/2000 in the Making and Ratification of
International Treaties)
Oleh: Malahayati, S.H.
Keywords: Perjanjian Internasional, Pembuatan, Ratifikasi.
Abstract
The result of this study shows that the implementation of UU No. 24/2000 about
International Treaty is not consistent with the rule of treaty making practice and treaty
making powers. Therefore, It should be more consistent with the rules of UU No. 24/2000
and the government should prepare the JUKLAK (technical guidance) for the
implementation of UU No. 24/2000 about International Treaty.
A. Latar Belakang Permasalahan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang anti penjajahan dan bertekad untuk
menghapuskannya serta turut aktif berpartisipasi dalam melaksanakan ketertiban
dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk
itulah Bangsa Indonesia menggunakan landasan politik luar negeri yang bebas dan
aktif. Hal ini dicantumkan dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyai, “Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian
dengan negara lain”.
Untuk mencapai tujuan di atas, pemerintah telah menentukan kebijakan yang
hendak ditempuh dan diperjuangkan. Tujuan yang ingin dicapai, cara pendekatan dan
pelaksanaannya dirumuskan dalam berbagai kebijaksanaan dan dilakukan melalui
diplomasi perjuangan diantaranya dengan mengadakan kerjasama dengan negara lain,
atau melalui perjanjian internasional.
Kemudian dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Perjanjian Internasional yang akan dijadikan acuan dalam melaksanakan diplomasi
dan perjanjian kerjasama dengan negara lain, atau subjek hukum internasional
lainnya. Perjanjian internasional merupakan instrumen yang tidak dapat dilepaskan
dari kegiatan diplomasi bangsa dengan negara lain. Globalisasi telah menjadikan
seluruh bangsa di dunia mau tidak mau harus melakukan kerjasama dengan negara
lain.
Perjanjian ini merupakan rujukan terhadap Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian Internasional yang dibuat antara negara dan organisasi internasional atau
antara organisasi internasional dengan organisasi internasional. Walaupun Konvensi
ini belum berlaku, namun hampir semua bangsa merujuk kepada ketentuan di dalam
konvensi tersebut. Konvensi ini hanya mengatur mengenai prosedur membuat,
menjalankan dan mengakhiri suatu perjanjian internasional. Untuk isi suatu perjanjian
internasional diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang melakukan perjanjian
Indonesia walaupun belum menjadi pihak dalam konvensi tersebut, namun
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasional, maka Indonesia telah ikut merujuk isi dari konvensi tersebut.
Perbedaanya adalah, pada konvensi mengatur mengenai prosedur antara para pihak
dalam perjanjian, sedangkan dalam undang-undang perjanjian internasional mengatur
prosedur yang harus dilakukan oleh instansi terkait di Indonesia dalam membuat
perjanjian internasional.
Dari Pasal 11 UUD 1945 dan Undang-undang No. 24 tahun 2000 tersebut,
jelas disebutkan bahwa pemegang wewenang dalam membuat perjanjian di Indonesia
adalah Presiden, yang kemudian memberikan wewenangnya kepada Menteri Luar
Negeri.
Setelah suatu perjanjian internasional dibuat, maka akan diperlukan suatu
pengesahan yang dilakukan melalui undang-undang ataupun keputusan presiden. Hal
ini diatur dalam Pasal 10 dan 11 UU No. 24 tahun 2000. Pasal 10 menyebutkan
bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila
berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
Hal mengenai perubahan wilayah, penetapan batas wilayah, kedaulatan negara, hak
asasi manusia, lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman
atau hibah luar negeri juga membutuhkan pengesahan melalui undang-undang.
Selain hal yang disebutkan di atas, dalam Pasal 11 ditentukan bahwa
perjanjian internasional tersebut akan disahkan melalui keputusan presiden. Materi
dari perjanjian tersebut bersifat prosedural, dan penerapannya dalam waktu singkat
tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis perjanjian yang
termasuk di sini adalah perjanjian induk menyangkut kerjasama di bidang iptek,
perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, dan penghindaran pajak berganda dan
kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat
teknis (Mochtar, 2003: 120).
Walupun telah diatur dalam Pasal 10 dan 11 tersebut, dalam implementasinya
sering terjadi perbedaan penafsiran dan pendapat dari instansi terkait yang pada
umumnya didasarkan pada kepentingan masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas, sehubungan dengan implementasi pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, maka yang dirasakan perlu untuk dibahas adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah proses pembuatan perjanjian internasional menurut UU No. 24
Tahun 2000?
2. Bagaimana proses ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional
menurut UU No. 24 Tahun 2000?
3. Kendala apa saja yang dihadapi dalam mengimplementasikan pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000?
B. Ruang Lingkup dan Tujuan Penulisan
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dibahas di atas, maka ruang
lingkup penelitian ini hanya terbatas mengenai prosedur pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional berdasarkan ketentuan di dalam Undang-undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk menjawab beberapa pertanyaan
yaitu:
4. Untuk mengetahui proses pembuatan perjanjian internasional menurut UU No. 24
Tahun 2000;
5. Untuk mengetahui proses ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional
menurut UU No. 24 Tahun 2000;
6. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan
pengesahan perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000.
C. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan ini, digunakan cara
atau metode Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan mengumpulkan
data-data dari surat kabar, majalah, bulletin, hasil penelitian maupun makalahmakalah pada seminar oleh para ahli yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
dalam tulisan ini. Selain itu data juga didapat dari naskah-naskah perjanjian maupun
perundang-undangan dan melalui informasi website tertentu.
Data kemudian dianalisa dengan seksama dan diinterpretasikan secara
sistematis. Dalam menganalisa data yang diperoleh, penulis menggunakan metode
deskriptif, yaitu menguraikan data secara teoritis terlebih dahulu, kemudian
diinterpretasikan sesuai dengan teori yang ada yang berkenaan dengan masalah yang
diteliti, sehingga kemudian diperoleh suatu kesimpulan yang nantinya akan dapat
menjawab permasalahan yang timbul sebelumnya.
D. Perjanjian Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Menurut Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969, Perjanjian Internasional
didefinisikan sebagai :
An international agreement concluded between states in written form and
govern by intenational law, whether embodied in a single instrument or in two
or more related instruments and whatever its particular designation.
(Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur
oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih
instrumen yang berkaitan dan apapun yang diberikan padanya, terjemahan
bebas dari penulis)
Defenisi ini kemudian dikembangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu :
“Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun,
yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi
internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak
dan kewajiban pada Pemerintah Indonesia yang bersifat hukum publik.”
Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional disebutkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian,
dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur menurut hukum internasional yang
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian
internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu
subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan
ikatan atau hubungan yang mempunyai akibat-akibat hukum.
Ada baiknya kita uraikan unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian
internasional. Ada dua unsur yang terdapat dalam pengertian perjanjian internasional
menurut Konvensi Wina dan Undang-undang Perjanjian Internasiona, yaitu unsur
adanya para pihak sebagai subjek hukum internasional dan unsure yang kedua adalah
adanya pengaturan dari hukum internasional.
Unsur yang pertama adalah adanya subjek hukum internasional, yang terdiri
dari negara-negara, organisasi internasional, ataupun gerakan-gerakan pembebasan
nasional, serta subjek hukum internasional lainnya. Artinya, setiap perjanjian
internasional dibatasi dalam pengertian bahwa para pihak dalam perjanjian tersebut
adalah subjek hukum internasional, termasuk di dalamnya perjanjian antara negaranegara, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional, dan perjanjian
antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. Selain
itu bisa juga dikategorikan ke dalam perjanjian internasional adalah perjanjian antara
negara-negara dengan Tahta Suci, Palang Merah Internasional, dan dengan Gerakan
Pembebasan Nasional, misalnya PLO.
Sebaliknya, suatu perjanjian tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian
internasional menurut Konvensi Wina dan Undang-undang Perjanjian Internasional
Republik Indonesia di atas, terhadap perjanjian yang dibuat antara satu negara dengan
orang perorangan atau antara satu negara sengan suatu badan hukum, misalnya
perusahaan minyak dari Amerika Serikat dengan Pemerintah Indonesia. Kontrak
antara suatu negara dengan maskapai minyak bukan perjanjian internasional karena
diatur oleh hukum nasional negara yang bersangkutan dan dapat diatur melalui
hukum perdata, bukan hukum publik (Mochtar, 2003: 118).
Dalam perkembangannya, ada perbedaan antara ketentuan dalam Konvensi
Wina dengan ketentuan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perjanjian
Internasional mengenai para pihak dalam perjanjian internasional. Konvensi Wina
mengatur khusus perjanjian internasional yang para pihaknya adalah negara,
sedangkan untuk perjanjian internasional antar organisasi internasional atau antara
organisasi internasional dengan subjek hukum internasional lainnya, akan diatur
dalam ketentuan tersendiri. Sedangkan Undang-undang Republik Indonesia tentang
Perjanjian Internasional mengatur seluruh perjanjian yang melibatkan subjek hukum
internasional, baik negara, organisasi internasional maupun subjek hukum
internasional lainnya (Mauna, 2003: 85). Jadi konsep Undang-undang Perjanjian
Internasional lebih luas dibandingkan dengan pengaturan dalam Konvensi Wina
1969.
Unsur yang kedua, adanya pengaturan oleh hukum internasional. Artinya
suatu perjanjian dikategorikan sebagai perjanjian internasional apabila ketentuan
mengenai perjanjian tersebut diatur oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang
diatur menurut hukum nasional, tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional
menurut Konvensi dan Undang-undang tersebut di atas. Contohnya adalah perjanjian
pembelian tanah, pembangunan gedung, atau transaksi lainnya yang menggunakan
hukum nasional setempat, tidak dapat dimasukkan sebagai perjanjian internasional.
Demikian juga dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat antara perusahaanperusahaan swasta tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, karena
mereka bukan subjek hukum internasional (Mauna, 2003: 86).
2. Nama dan Istilah Perjanjian Internasional
Ada beberapa nama dan istilah yang digunakan dalam menyebutkan suatu
perjanjian internasional. Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan
Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi
Internasional atau antara Organisasi-organisasi Internasional tidak memberikan
pembedaan terhadap berbagai bentuk perjanjian internasional. Pada umumnya bentuk
dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut
memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya.
Namun demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan
kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan
suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional pada dasarnya
menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politik dan
hukum bagi para pihak tersebut.
Adapun nama atau istilah perjanjian internasional yang sering dipraktekkan di
Indonesia adalah sebagai berikut (Deplu, 2004: 2):
a. Traktat (Treaty)
Bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting
yang mengikat negara secara menyeluruh, yang umumnya bersifat
multilateral.
b. Konvensi (Convention)
Suatu perjanjian penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi
biasanya bersifat “Law Making Treaty” dengan pengertian yang meletakkan
kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.
c. Persetujuan (Agreement)
Suatu bentuk perjanjian internasional yang isinya tidak termasuk materi
seperti yang dikategorikan dalam treaty atau convention. Umumnya bersifat
bilateral.
d. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)
Bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat khas. Dalam
prakteknya, kerjasama melalui MoU lebih disukai karena dianggap sederhana
dan dapat dibuat sebagai persetujuan induk atau sebagai pelaksanaan
perjanjian yang mengatur hal-hal teknis. Karena dianggap sederhana maka
umumnya MoU tidak perlu diratifikasi.
e. Pengaturan (Arrangement)
Bentuk perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari suatu perjanjian
internasional yang telah ada, atau sering disebut implementing arrangement.
f. Agreed Minutes/Summary Records/Records of Discussion
Suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintahan tentang hasil
akhir atau hasil sementara dari suatu pertemuan teknis. Bentuk ini banyak
dipakai untuk merekam pembicaraan pada acara-acara kunjungan resmi atau
tidak resmi, atau untuk mencapai kesepakatan sementara sebagai bagian dari
rangkaian putaran perundingan mengenai suatu masalah.
g. Pertukaran Nota Politik (Exchange of Notes)
Instrumen
diplomatik
yang
berisi
pertukaran
penyampaian
atau
pemberitahuan resmi posisi Pemerintah masing-masing yang telah disetujui
bersama mengenai suatu masalah tertentu. Exchange of Note dapat berupa
sekedar pelaksanaan tindak lanjut dari suatu persetujuan yang telah dicapai;
konfirmasi dari kesepakatan lisan yang telah dicapai sebelumnya; kesepakatan
tentang perbaikan dari suatu perjanjian yang telah berlaku; atau suatu
perjanjian yang ditandatangani di tempat yang berbeda dan dalam waktu yang
tidak sama.
Atau istilah lain seperti Joint Statement, Modus Vivendi, Protocol, Charter,
Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side
Letter, Reciprocal Agreement, Letter of Intent, Aide Memoire, atau Demarche.
3. Jenis-jenis Perjanjian Internasional
Ada beberapa jenis perjanjian internasional yang biasa dilaksanakan oleh
negara-negara. Penggolongan yang pertama adalah perbedaan perjanjian internasional
dalam dua bagian, yaitu perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian
bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, sedangkan perjanjian multilateral adalah
perjanjian dengan banyak para pihak.
Penggolongan yang kedua adalah penggolongan perjanjian dalam treaty
contract dan law making treaties (Mochtar, 2003: 119). Treaty contract maksudnya
adalah perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya
mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
Contohnya adalah perjanjian mengenai batas wilayah teritorial, perjanjian
kewarganegaraan, dan perjanjian perdagangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan law making treaties adalah perjanjian yang
meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara
keseluruhan. Contohnya adalah Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik
dan Konvensi Jenewa 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang.
Perbedaan antara kedua bentuk di atas adalah terletak pada pihak yang tidak
turut serta dalam perundingan yang melahirkan perjanjian tersebut. Pihak ketiga tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian treaty contract, sedangkan dalam law making
treaties selalu terbuka bagi pihak yang tidak ikut serta dalam perjanjian untuk
menjadi salah satu pihak perjanjian tersebut.
E. Pembuatan Perjanjian Internasional
1. Dasar Hukum Pembuatan Perjanjian Internasional
Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945, Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain. Kemudian dikeluarkan Surat Presiden Republik
Indonesia Nomor 2826/HK/60, pada tanggal 22 Agustus 1960 tentang pembuatan
perjanjian dengan negara lain, sebagai bentuk penjelasan Pasal 11 Undang-undang
Dasar 1945. Selanjutnya untuk melaksanakan operasional Pasal 11 tersebut, maka
dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
yang juga merupakan pelaksana ketentuan-ketentuan Pasal 13 dan 14 Undang-undang
Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, disebutkan bahwa yang menjadi pemegang
kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional adalah Presiden, yang dibantu
oleh Menteri Luar Negeri. Dalam berhubungan dengan pihak luar negeri untuk
membuat perjanjian, Indonesia berpedoman kepada Konvensi Wina 1969, yang
menentukan bahwa yang dapat mewakili negara dalam pembuatan perjanjian
internasional adalah:
-
Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan;
-
Menteri Luar Negeri;
-
Kepala Perwakilan atau Misi diplomati;
-
Pejabat Pemerintah yang diberi kuasa oleh Presiden atau Menteri Luar
Negeri.
Dalam melaksanakan wewenang untuk membuat perjanjian internasional
tersebut, Presiden akan dibantu oleh Menteri Luar Negeri, melalui Direktorat
Perjanjian Politik dan Keamanan Wilayah, dan Direktorat Perjanjian Ekonomi,
Sosial, dan Budaya. Kedua direktorat ini bertugas untuk menyiapkan naskah
perjanjian dan juga merundingkan dengan pihak-pihak lain dalam perjanjian tersebut
(Deplu, 2004: 5).
2. Proses Pembuatan Perjanjian
Pasal 4 Undang-undang Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa dalam
membuat suatu perjanjian internasional, Pemerintah Indonesia harus berdasarkan
kepada kesepakatan diantara para pihak, serta perjanjian tersebut harus dilaksanakan
dengan itikad baik. Perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan satu negara atau lebih,
organisasi internasional, ataupun subjek hukum internasional lainnya.
Dalam membuat perjanjian internasional, Pemerintah juga harus berpedoman
kepada kepentingan nasional dan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, memperhatikan hukum yang berlaku, dan tidak bertentangan dengan
politik luar negeri Republik Indonesia, yaitu Politik Bebas Aktif.
Secara umum, mekanisme pembuatan perjanjian internasional didasarkan juga
pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Perjanjian Internasional, yang menentukan
agara lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen ataupun non
departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang memiliki rencana untuk mambuat
perjanjian internasional, harus melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai
rencana tersebut dengan Menteri Luar Negeri. Ketentuan ini berlaku untuk semua
jenis perjanjian, baik bilateral maupun multilateral.
Mekanisme konsultasi dan koordinasi dilakukan melalui rapat interdepartemen antara lembaga dengan departemen luar negeri untuk meminta pendapat
mengenai
rencana
pembuatan,
perundingan,
hingga
pengesahan
perjanjian
internasional tersebut. (Deplu, 2004: 5)
Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu
tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan.
Tahap-tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
-
Tahap Penjajakan;
Pada tahap ini, para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki
kemungkinan-kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional.
Penjajakan ini dapat dilakukan melalu inisiatif instansi atau lembaga
pemerintahan di Indonesia atau bisa juga melalui inisiatif dari pihak asing
yang ingin mengadakan perjanjian dengan pihak Indonesia.
-
Tahap Perundingan;
Tahap perundingan adalah suatu upaya yang ditempuh oleh para pihak
yang membuat perjanjian internasional untuk mencapai kesepakatan atas
materi yang masih belum disepakati dalam tahap penjajakan. Tahap ini juga
merupakan tahap pemaparan konsep-konsep yang akan ditawarkan dalam
perjanjian tersebut.
Perundingan dalam suatu konferensi internasional umumnya dilakukan
oleh utusan-utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri.
Namun, untuk perundinga-perundingan bidang tertentu akan langsung
ditangani oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri.
Untuk utusan suatu negara dalam konferensi internasional biasanya akan
dilengkapi dengan surat kuasa (full powers). Full powers ini adalah surat
kuasa yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang
diwakilkannya dalam berunding, menerima atau membuktikan keaslian
naskah suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lain yang berhubungan
dengan perjanjian tersebut. Hingga saat ini, pembuatan perjanjian di Indonesia
berpedoman pada Surat Presiden No. 2826 yang akhirnya menimbulkan
banyak penyimpangan-penyimpangan, terutama dalam hal pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional.
-
Tahap Perumusan Naskah;
Pada tahap ini dirumuskan suatu hasil kesepakatan dalam perundinganperundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional, yang
dilakukan dengan pemarafan terhadap naskah tersebut. Pada tahap ini disusun
Agreed Minutes, Minutes of Meeting, Records of Discussion atau Summary
Records yang berisi hal-hal yang telah disepakati, hal-hal yang belum
disepakati, dan perundingan-perundingan berikutnya yang akan dilakukan.
-
Tahap Penerimaan;
Kesepakatan terhadap suatu naskah awal hasil perundingan dalam
perjanjian bilateral dapat dianggap sebagai suatu bentuk penerimaan. Hal ini
ditandai dengan pemarafan oleh masing-masing delegasi pada naskah
perjanjian. Sedangkan dalam perundingan multilateral, tindakan penerimaan
suatu perjanjian biasanya berupa pengesahan oleh negara pihak perjanjian.
-
Tahap Penandatanganan;
Ini merupakan tahap terakhir dalam suatu prosedur perundingan
perjanjian. Namun penandatanganan tidak selalu merupakan pemberlakuan
perjanjian internasional, karena ada juga perjanjian yang akan berlaku bila
sudah diratifikasi.
F. Pengesahan Perjanjian Internasional
1. Proses Pengesahan
Penandatangan suatu perjanjian internasional belum berarti menciptakan
ikatan hukum bagi para pihaknya. Bagi perjanjian yang belum berlaku dengan
ditandatanganinya naskah, maka perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan yang
berwenang di negaranya. Pengesahan ini dinamakan ratifikasi.
Pembedaan antara tanda tangan dan ratifikasi memiliki anti penting, yang
dianggap perlu untuk memungkinkan pejabat negara yang memiliki wewenang untuk
membuat perjanjian untuk meneliti kembali apakah para utusan yang ditugaskan
untuk berunding tidak keluar dari instruksi.
Pasal 14 Konvensi Wina menyebutkan bahwa persetujuan negara untuk diikat
suatu perjanjian dapat dinyakan dalam bentuk ratifikasi apabila:
-
Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam
bentuk ratifikasi;
-
Terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk
mengadakan ratifikasi;
-
Utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat
untuk meratifikasinya kemudian;
-
Kuasa penuh delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan
kemudian.
2. Bentuk-bentuk Pengesahan
Pada perjanjian multilateral, ada beberapa bentuk pengesahan, seperti
prosedur akseptasi, aksesi, dan persyaratan (reservation). Namun demikian, semua
bentuk atau prosedur ini tergantung kepada sistem konstitusional negara masingmasing (Mauna, 2003: 120). Di Indonesia istilah yang sering dipakai untuk
pengesahan adalah ratifikasi. Bentuk akseptasi menurut Konvensi Wina merupakan
istilah yang mempunyai bentuk pengesahaan dengan syarat-syarat yang sama seperti
yang berlaku terhadap ratifikasi.
Bentuk aksesi adalah suatu perbuatan perbuatan hukum dimana suatu negara
yang bukan merupakan peserta asli perjanjian multilateral, menyatakan menyetujui
untuk terikat dengan perjanjian tersebut. Persetujuan negara untuk mengikatkan diri
pada suatu perjanjian dapat dinyatakan dengan aksesi apabila perjanjian itu sendiri
secara jelas menyatakan hal tersebut, atau terbukti negara-negara yang ikut berunding
menginginkan demikian.
Bentuk pensyaratan atau reservation adalah suatu sistem dimana suatu negara
yang merupakan pihak pada perjanjian dapat menyatakan pensyaratan terhadap pasalpasal tertentu. Jadi kalau pensyaratan tersebut diterima, maka negara tersebut dapat
menolak untuk melaksanakan pasal-pasal tertentu tersebut. Mahkamah Internasional
dalam pendapatnya yang dikeluarkan tanggal 28 Mei 1951 mengakui praktek
pensyaratan dengan pembatasan yaitu tidak boleh bertentangan dengan maksud dan
tujuan perjanjian, serta negara yang menyatakan keberatan terhadap pensyaratan yang
diajukan dapat menganggap dirinya tidak terikat dalam perjanjian dengan negara
tersebut (Mauna, 2003: 122).
G. Implemetasi UU No. 24 Tahun 2000 dalam Pembuatan dan Pengesahan
Perjanjian Internasional
1. Implementasi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional, membuat perjanjianperjanjian, baik dengan negara lain ataupun organisasi internasional, bahkan subjek
hukum internasional lainnya. Ditinjau dari segi materi, perjanjian-perjanjian yang
dibuat oleh Indonesia meliputi hampir semua bidang, baik politik, ekonomi, hukum,
keuangan, perdagangan maupun budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Perjanjian Internasional
Departemen Luar Negeri, sampai tahun 2000 Indonesia telah membuat dan menjadi
pihak pada sekitar 2000 perjanjian bilateral dan 100 perjanjian multilateral
(Keterangan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di depan DPR atas Rancangan
Undang-undang tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional, Jakarta
22 Mei 2000). Kegiatan dan keikutsertaan Indonesia dirumuskan dalam berbagai
instrumen hukum. Dalam pembuatan perjanjian (treaty making practice) dibedakan
antara perjanjian-perjanjian yang sangat penting yang biasanya disebut traktat dan
konvensi, sedangkan untuk perjanjian yang biasa atau berupa aturan pelaksana,
biasanya disebut persetujuan atau agreement.
Menurut Surat Presiden R.I. No. 2826 tahun 1960, hanya perjanjian-perjanjian
yang terpenting saja, yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri yang harus
disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan
Presiden. Contoh perjanjian dalam pengertian di atas adalah perjanjian-perjanjian
persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah, kerjasama ekonomi, dan kerjasama
pinjaman. Sedangkan perjanjian-perjanjian dengan materi lain, biasanya dilakukan
dalam bentuk persetujuan hanya disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah
disahkan oleh Presiden (Deplu, 2003: 8).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Surat
Presiden 2826 tersebut, ada perjanjian yang disahkan oleh Presiden setelah disetujui
DPR dengan Undang-undang, dan ada juga persetujuan yang disahkan sendiri oleh
Presiden dengan Keputusan Presiden. Untuk persetujuan yang disahkan melalui
Keppres, DPR hanya diberitahukan saja, tanpa perlu memberikan persetujuannya.
Mengenai prosedur pengesahan perjanjian internasional di Indonesia menurut
Undang-undang Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000, ada dua jenis
pengesahan perjanjian internasional. Pengesahan yang pertama dilakukan dengan
undang-undang, dan pengesahan yang kedua dilakukan dengan keputusan presiden
(Pasal 10 UU RI No. 24/2000).
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
-
masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
-
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
-
Kedaulatan dan hak berdaulat negara;
-
Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
-
Pembentukan kaidah hukum baru;
-
Pinjaman atau hibah luar negeri.
Sedangkan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui keputusan
presiden apabila materi perjanjian tidak termasuk di dalam materi yang disebutkan di
atas. Contohnya perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran
niaga, dan penghindaran pajak berganda (Deplu, 2004: 8).
2. Kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional
Walaupun telah diatur dalam Pasal 10 dan 11 UU No. 24 Tahun 2000 tentang
pengesahan melalui Keppres dan Undang-undang, dalam implementasinya masih
sering terjadi perbedaan penafsiran dan pendapat dari instansi terkait yang pada
umumnya didasarkan pada kepentingan masing-masing.
Menurut hasil penelitian dan pengamatan, pada umumnya masalah-masalah
yang berhubungan dengan politik, hukum dan ekstradisi dibuat dalam bentuk
perjanjian, sedangkan soal-soal yang menyangkut bidang kerjasama ekonomi,
keuangan, pinjaman dan kerjasama teknik yang seharusnya juga dibuat dalam bentuk
perjanjian, yang pengesahannya harus disetujui terlebih dahulu oleh DPR dalam
bentuk undang-undang, ternyata hanya dibuat dalam bentuk persetujuan saja dan
disahkan melalui keppres tanpa persetujuan DPR. Padahal ini merupakan materi yang
fundamental dalam hubungan kenegaraan. Bahkan bidang-bidang kerjasama
ekonomi, keuangan, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan itulah yang paling
banyak dibuat oleh Indonesia dalam bentuk persetujuan.
Selain perjanjian-perjanjian resmi di atas, ada juga perjanjian tidak resmi yang
jumlahnya sangat banyak yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Menurut
pengamatan Direktorat Perjanjian Internasional hingga Desember 2000, tidak kurang
dari 1800 perjanjian tidak resmi yang telah dibuat, misalnya memorandum,
pengaturan dan pertukaran nota, yang berlaku langsung setelah penandatanganan
(Laporan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di depan DPR atas Rancangan
Undang-undang tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional, Jakarta
22 Mei 2000).
Tetapi sebaliknya, tidak ada satupun ketentuan hukum yang mengatur
pembuatan dan pengesahan perjanjian tidak resmi tersebut. Tidak adanya ketentuan
ketentuan yang mengatur hal tersebut, telah menyebabkan diberlakukannya prosedur
pengesahan terhadap persetujuan-persetujuan sederhana yang seharusnya cukup
diberlakukan secara langsung setelah ditandatangani. Terjadilah tumpah tindih
pengaturan dan salah kaprah dalam mengartikan suatu materi perjanjian, sehingga
banyak terjadi kesalahpahaman dalam membuat dan memakai istilah terhadap
perjanjian yang dibuat.
Untuk lebih jelasnya, ada baiknya dilihat kasus yang terjadi dalam hal
pengesahan perjanjian yang materinya adalah mengenai soal-soal politik atau yang
mempengaruhi haluan politik luar negeri Indonesia, dimana seharusnya dibuat dalam
bentuk perjanjian, dan disahkan oleh undang-undang. Permasalahan yang muncul
adalah mengenai penentuan tapal batas landas kontinen. Apakah penentuan tapal
batas kontinen dapat dirumuskan dalam perjanjian atau cukup dalam bentuk
persetujuan; atau penentuan tapal batas landas kontinen sama dengan penentuan tapal
batas laut teritorial.
Dalam prakteknya, sampai sekarang penentuan tapal batas landas kontinen
dengan negara-negara tetangga hanya dibuat dalam bentuk persetujuan dan bukan
perjanjian. Artinya, hanya disahkan melalui Keputusan Presiden, dan tidak
memerlukan pengesahan dari DPR. Misalnya untuk Persetujuan antara IndonesiaMalaysia mengenai Penentuan Batas Landas Kontinen yang disahkan melalui
Keppres No. 89 tahun 1969, Lembaran Negara No. 54/1969, tanggal 5 Nopember
1969.
Contoh lain adalah Persetujuan antara Indonesia-Thailand tentang Penentuan
Batas Landas Kontinen, yang disahkan dengan Keppres No. 21 tahun 1972,
Lembaran Negara No. 16/1872 tanggal 11 Maret 1972. Kemudian ada Persetujuan
Indonesia-Australia tentang Penentuan Batas-batas Dasar Laut tertentu, yang
disahkan melalui Keppres No. 42 tahun 1971, dalam Lembaran Negara No. 43/1971
tanggal 1 Juli 1971.
Kalau dilihat dari contoh-contoh di atas, jelas bahwa semua perjanjian
mengenai landas kontinen hanya dibuat dalam bentuk persetujuan, yang disahkan
melalui Keputusan Presiden. Artinya Pemerintah menganggap bahwa perjanjian
mengenai landas kontinen tidak termasuk kedalam kategori perjanjian yang penting,
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 UU No. 24 tahun 2000. Padahal di
dalam Pasal 10 tersebut, sudah ditetapkan bahwa perjanjian internasional harus
disahkan melalui undang-undang apabila menyangkut masalah perubahan wilayah,
penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, atau kedaulatan atau hak
berdaulat negara.
Penerapan yang kurang tepat juga terjadi dalam perjanjian internasional yang
materinya mengenai kerjasama ekonomi dan teknik atau pinjaman luar negeri. Dalam
pelaksanaannya, banyak perjanjian dengan materi tersebut dibuat dalam bentuk
persetujuan dan bukan dalam bentuk perjanjian. Namun di dalam pengesahannya, ada
yang disahkan dengan undang-undang, ada pula yang disahkan hanya dengan
Keputusan Presiden. Di sini telah terjadi kesimpangsiuran pengaturan, karena untuk
materi perjanjian internasional yang sama telah terjadi dua bentuk pengesahan yang
berbeda.
Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik yang disahkan dengan undangundang, misalnya Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Negara Pertamina dengan
perusahaan-perusahaan minyak PT. Caltex Indonesia, PT. Stanvac Indonesia dan PT.
Shell Indonesia. Semua perjanjian ini disahkan dengan Undang-undang No. 1 tahun
1963. Di sini dapat kita lihat bahwa perjanjian di atas dikategorikan kepada perjanjian
internasional, yang dibuat dan disahkan melalui undang-undang. Hal ini sama sekali
tidak tepat karena perusahaan-perusahaan tersebut bukanlah subjek hukum
internasional, artinya perjanjian tersebut tidak dapat dibuat berdasarkan ketentuan
dalam UU No. 24 Tahun 2000, ataupun disahkan melalui undang-undang. Seharusnya
perjanjian-perjanjian tersebut cukup dilaksanakan dan mengikat para pihak secara
langsung setelah penandatanganan perjanjian. Tidak lagi diperlukan pengesahan baik
melalui Keppres, apalagi undang-undang.
Di samping itu, hal-hal yang mengatur bantuan keuangan, baik pinjaman atau
hibah (loan agreement) pada umumnya dibuat dalam bentuk persetujuan dan bukan
dalam bentuk perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 UU No. 24 tahun
2000. Karena hanya dibuat dalam bentuk persetujuan, maka pengesahannya cukup
dilakukan melalui Keppres saja. Namun pada prakteknya, tidak semua persetujuanpersetujuan mengenai pinjaman uang tersebut disahkan melalui Keppres, malah ada
yang disahkan melalui undang-undang. Bahkan yang lebih parah lagi, ada yang
langsung diberlakukan tanpa melakukan pengesahan terlebih dahulu.
Contoh persetujuan yang disahkan melalui Keppres adalah Loan Agreement
antara Republik Indonesia dengan Abu Dhabi, yang disahkan melalui Keppres No. 34
tahun 1877, Lembaran Negara No. 42/1977 tanggal 25 Juni 1977 dan Loan
Agreement antara Republik Indonesia dengan Kuwait yang disahkan melalui Keppres
No. 33 tahun 1977, Lembaran Negara No. 41/1977, tanggal 25 Juni 1977. Sedangkan
persetujuan yang disahkan melalui undang-undang adalah Persetujuan antara
Republik Indonesia dengan Bbelanda tentang Soal-soal Keuangan, yang disahkan
dengan UU No. 7 tahun 1966, Lembaran Negara No. 34/1966 tanggal 8 Nopember
1966.
Disamping itu tidak kurang dari 170 persetujuan bantuan keuangan dan kredit
lainnya yang dibuat Indonesia dengan berbagai negara dari tahun 1960 sampai tahun
1978 yang tidak disahkan melalui Keppres maupun Undang-undang, melainkan
diberlakukan secara langsung setelah penandatanganan persetujuan tersebut.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelaslah bahwa pelaksanaan perjanjianperjanjian dibidang kerjasama ekonomi dan teknik dan juga di bidang pinjaman
keuangan mengalami kesimpangsiuran karena ada yang dibuat dalam bentuk
perjanjian tetapi pengesahannya hanya dengan Keputusan Presiden saja; banyak yang
dibuat dalam bentuk persetujuan yang pengesahannya ada yang melalui Keputusan
Presiden, ada juga yang melalui Undang-undang; bahkan ada yang dibuat dengan
bentuk persetujuan yang tidak membutuhkan pengesahan, yang berlaku secara
lagnsung setelah penandatanganan persetujuan tersebut.
H. Kesimpulan
Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu,
yang diatur menurut hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik, yang dilakukan oleh
subjek hukum internasional.
Dalam membuat suatu perjanjian internasional, Pemerintah Indonesia harus
berdasarkan kepada kesepakatan diantara para pihak, serta perjanjian tersebut harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan satu
negara atau lebih, organisasi internasional, ataupun subjek hukum internasional
lainnya. Perjanjian dibuat melalui lima tahap yaitu penjajakan, perundingan,
perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan.
Mengenai prosedur pengesahan perjanjian internasional di Indonesia menurut
Undang-undang Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000, ada dua jenis
pengesahan perjanjian internasional. Pengesahan yang pertama dilakukan dengan
undang-undang, dan pengesahan yang kedua dilakukan dengan keputusan presiden.
Perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang biasanya disebut
perjanjian (Treaty), sedangkan yang disahkan melalui Keputusan Presiden biasanya
disebut Persetujuan (Agreement).
Walaupun telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang pembuatan dan
pengesahan melalui Keppres dan Undang-undang, dalam implementasinya masih
sering terjadi perbedaan penafsiran dan pendapat dari instansi terkait yang pada
umumnya didasarkan pada kepentingan masing-masing. Ada yang seharusnya
disahkan melalui undang-undang, tapi prakteknya disahkan dengan Keppres saja,
sebaliknya ada yang seharusnya cukup disahkan melalui Keppres, malah disahkan
melalui Undang-undang. Bahkan ada yang tidak disahkan sama sekali dan langsung
berlaku setelah penandatanganan persetujuan dilakukan. Permasalahan terjadi
disebabkan kurang jelasnya ketentuan yang mengatur tentang pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional di dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional.
I. Saran
Dalam menghadapi permasalahan di atas, ada baiknya disarankan kepada
Pemerintah untuk membentuk suatu Petunjuk Pelaksana yang jelas terhadap Undangundang No. 24 tahun 2000 yang akan dijadikan sebagai pedoman teknis dalam hal
pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, sehingga dapat dihindarkan
terjadinya
kesimpangsiuran
dalam
pembuatan
dan
pengesahan
perjanjian
internasional.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. BUKU
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Dasar-Dasar dan Pelaksanaannya,
DEPLU, Jakarta, 1987
Elias, 1971. Problems Concerning the Validiti of Treaties, RCAD, Third Edition.
Glennon, 1983. The Senate Role in Treaty Ratification, American Journal of
International Law.
Harvarth, 1979. The Validity of Executive Agreement.
Irewati, Awani. 1996, Ekonomi Politik dari Kerjasama Ekonomi ASEAN Sepuluh,
Analisis CSIS.
Mauna, Boer. 2003, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung.
Moctar, K. 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Alumni, Bandung.
B. TEKS/NASKAH PERUNDANG-UNDANGAN/MEDIA MASSA
The UN Treaties Registration with Particular References to Agreement of
International Bank, NILR, 1957.
Naskah Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional.
Naskah Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Pernyataan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia pada akhir tahun 1997. DEPLU.
Keterangan Menteri Luar Negeri di Depan DPR atas Rancangan Undang-undang
Tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional, Jakarta, 22 Mei
2000. DEPLU.
Anonymous, 2004. Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional dalam
Kerangka UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Direktorat
Perjanjian Ekososbud DEPLU. Disampaikan dalam Simposium
Pengembangan dan Pengajaran Hukum Internasional di Era Globalisasi.
Tanggal 20-21 Desember 2004.
Framework Agreement On Enhancing ASEAN Economic Cooperation, Singapura, 28
Januari 1992.
Download