BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Jantung 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Gagal Jantung
2.1.1 Pengertian Gagal Jantung
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak mampu
memompakan darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh,
walaupun darah balik masih normal (Departemen Kesehatan R.I., 2007). Penyakit
Gagal Jantung yang dalam istilah medis disebut dengan "Heart Failure atau
Cardiac Failure", merupakan suatu keadaan darurat medis dimana jumlah darah
yang dipompa oleh jantung seseorang setiap menitnya tidak mampu memenuhi
kebutuhan normal metabolisme tubuh (Rilantono, dkk, 2004).
Gagal jantung kongestif terjadi sewaktu kontraktilitas jantung berkurang
dan vetrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk selama
diastole. Hal ini menyebabkan volume diastolic akhir ventrikel secara progresif
bertambah (Black, 2005). Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrient
dan oksigen jaringan. Mekanisme gagal jantung meliputi kerusakan sifat
kontraktil dari jantung yang mengarah pada curah jantung kurang dari normal,
aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi atau degeneratif otot
jantung. Beberapa faktor sistemik yang dapat memperparah gagal jantung
meliputi peningkatan laju metabolik (misalnya demam, koma, tirotoksikosis),
10
11
hipoksia, dan anemia yang membutuhkan peningkatan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen (Sani, A., 2007).
Jadi gagal jantung adalah suatu kegagalan pemompaan darah sehingga
tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh, sedangkan tekanan pengisian ke
dalam jantung masih cukup tinggi, sehingga mengakibatkan jantung tidak dapat
mencukupi kebutuhan oksigen pada sebagian organ.
2.1.2 Etiologi Gagal Jantung
Menurut Black (2005) penyebab gagal jantung mencakup beberapa hal
yang menyebabkan peningkatan volume plasma sampai derajat tertentu sehingga
volume diastolic akhir meregangkan serat-serat ventrikel melebihi panjang
optimumnya. Penyebab tersering adalah cedera pada jantung itu sendiri yang
memulai siklus kegagalan dengan mengurangi kekuatan kontraksi jantung,
sehingga terjadi akumulasi volume darah di ventrikel (Rilantono, dkk, 2004).
Terjadinya gagal jantung dapat disebabkan oleh :
a. Disfungsi miokard (kegagalan miokardial)
Beban tekanan berlebihan-pembebanan sistolik (systolic overload)
Beban sistolik yang berlebihan diluar kemampuan ventrikel (systolic
overload) menyebabkan hambatan pada pengosongan ventrikel sehingga
menurunkan curah ventrikel atau isi sekuncup.
b. Beban volume berlebihan-pembebanan diastolic (diastolic overload)
Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic
overload) akan menyebabkan volum dan tekanan pada akhir diastolic
12
dalam ventrikel meninggi. Prinsip Frank Starling ; curah jantung mulamula akan meningkat sesuai dengan besarnya regangan otot jantung, tetapi
bila beban terus bertambah sampai melampaui batas tertentu, maka curah
jantung justru akan menurun kembali.
c. Peningkatan kebutuhan metabolic-peningkatan kebutuhan yang berlebihan
(demand overload).
Beban kebutuhan metabolic meningkat melebihi kemampuan daya kerja
jantung di mana jantung sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi
keadaan gagal jantung walaupun curah jantung sudah cukup tinggi tetapi
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh.
d. Gangguan pengisian (hambatan input)
Hambatan pada pengisian ventrikel karena gangguan aliran masuk ke
dalam ventrikel atau pada aliran balik vena/venous return akan
menyebabkan pengeluaran atau output ventrikel berkurang dan curah
jantung menurun.
e. Kelainan Otot Jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
yang menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup arterosklerosis
koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
f. Aterosklerosis Koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah
ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis(akibat penumpukan asam
13
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung.
g. Hipertensi Sistemik / Pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertropi serabut otot jantung.
h. Peradangan dan Penyakit Miokardium
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
i. Penyakit jantung
Penyakit jantung lain seperti stenosis katup semilunar, temponade
perikardium, perikarditis konstruktif, stenosis katup AV.
j. Faktor sistemik
Faktor sistemik seperti hipoksia dan anemia yang memerlukan
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik.
Hipoksia atau anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung.
Asidosis
dan
abnormalitas
elektrolit
juga
dapat
menurunkan
kontraktilitas jantung.
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis
penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis
yang
menyebabkan gagal jantung mencakup beberapa keadaan yang meningkatkan
beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan
yang dapat meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta
14
dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark
miokardium dan kardiomiopati (Rilantono, dkk, 2004).
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa aritmia, infeksi sistemik dan
infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Penanganan yang efektif terhadap gagal
jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme
fisiologis dan penyakit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang
memicu terjadinya gagal jantung (Sani, A., 2007).
2.1.3 Klasifikasi Gagal Jantung
Menurut derajat sakitnya, gagal jantung dapat dibedakan menjadi (Rilantono, dkk,
2004):
a. Derajat 1: Tanpa keluhan. Pasien masih bisa melakukan aktivitas fisik seharihari tanpa disertai kelelahan ataupun sesak napas
b. Derajat 2: Ringan - aktivitas fisik sedang menyebabkan kelelahan atau sesak
napas, tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka keluhan pun hilang
c. Derajat 3: Sedang - aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan atau sesak
napas, tetapi keluhan akan hilang jika aktivitas dihentikan
d. Derajat 4: Berat - tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari, bahkan
pada saat istirahat pun keluhan tetap ada dan semakin berat jika melakukan
aktivitas walaupun aktivitas ringan.
Sedangkan menurut lokasi terjadinya, gagal jantung dapat dibedakan menjadi
(Sani, A., 2007) :
15
a. Gagal jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri
tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan
dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong kejaringan paru.
Manifestasi klinis yang terjadi meliputi dispnea, batuk, mudah lelah,
takikardi dengan bunyi jantung S3, kecemasan kegelisahan, anoreksia,
keringat dingin, dan paroxysmal nocturnal dyspnea,ronki basah paru
dibagian basal
b. Gagal jantung kanan
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti visera dan
jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi
vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema akstremitas bawah
yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan,
hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena leher, asites (penimbunan
cairan didalam rongga peritonium), anoreksia dan mual, dan lemah.
2.1.4
Manifestasi Klinis Gagal Jantung
Manifestasi Klinis Gagal Jantung (Rilantono, dkk, 2004) meliputi:
a. Ortopnue yaitu sesak saat berbaring
b. Dipsneu on effort (DOE) yaitu sesak bila melakukan aktifitas
16
c. Paroxymal noctural dipsneu (PND) yaitu sesak nafas tiba-tiba pada malam
hari disertai batuk
d. Berdebar-debar
e. Lekas lelah
f. Batuk-batuk
g. Peningkatan desakan vena pulmonal (edema pulmonal) ditandai oleh batuk
dan sesak nafas.
h. Peningkatan desakan vena sistemik seperti yang terlihat pada edema
perifer umum dan penambahan berat badan.
2.1.5
Komplikasi Gagal Jantung
Komplikasi gagal jantung yang bisa terjadi antara lain (Sani, A., 2007) :
a. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis
darah.
b. Syok kardiogenik akibat disfungsi nyata dari jantung.
c. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.
2.1.6 Pemeriksaan Fisik
Menurut Rilantono, dkk (2004) pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien
meliputi :
a. Auskultasi nadi apikal, biasanya terjadi takikardi (walaupun dalam
keadaan berustirahat), bunyi jantung, S1 dan S2 mungkin lemah karena
menurunnya kerja pompa. Irama gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan
17
sebagai aliran darah ke atrium yang distensi. Murmur dapat menunjukkan
inkompetensi / stenosis katup.
b. Palpasi nadi perifer, nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk
dipalpasi dan pulsus alternan (denyut kuat lain dengan denyut lemah)
mungkin ada.
c. Tekanan darah
d. Pemeriksaan kulit : kulit pucat (karena penurunan perfusi perifer
sekunder) dan sianosis (terjadi sebagai refraktori Gagal Jantung Kronis).
Area yang sakit sering berwarna biru/belang karena peningkatan kongesti
vena
2.1.7
Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
Pemeriksaan Penunjang untuk menegakkan diagnose gagal jantung antara lain
(Sani, A., 2007):
a. EKG (elektrokardiogram): untuk mengukur kecepatan dan keteraturan
denyut jantung. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan
aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis :
takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau
lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
b. Echokardiogram: menggunakan gelombang suara untuk mengetahui
ukuran dan bentuk jantung, serta menilai keadaan ruang jantung dan
fungsi katup jantung. Sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis
gagal jantung.
18
c. Foto rontgen dada: untuk mengetahui adanya pembesaran jantung,
penimbunan cairan di paru-paru atau penyakit paru lainnya.
d. Tes darah BNP: untuk mengukur kadar hormon BNP (B-type natriuretic
peptide) yang pada gagal jantung akan meningkat.
e. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan
dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
f. Scan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
pergerakan dinding.
g. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup
atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras
disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi
fraksi/perubahan kontraktilitas
2.1.8
Penatalaksanaan Gagal Jantung
Penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung (Sani, A., 2007) meliputi :
a. Farmakologi
1) Diuretik: untuk mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan
2) Penghambat ace (ace inhibitors): untuk menurunkan tekanan darah dan
mengurangi beban kerja jantung
3) Penyekat beta (beta blockers): untuk mengurangi denyut jantung dan
menurunkan tekanan darah agar beban jantung berkurang
4) Digoksin: memperkuat denyut dan daya pompa jantung
19
5) Terapi nitrat dan vasodilator koroner: menyebabkan vasodilatasi perifer
dan penurunan konsumsi oksigen miokard
6) Digitalis: memperlambat frekuensi ventrikel dan meningkatkan kekuatan
kontraksi, peningkatan efisiensi jantung. saat curah jantung meningkat,
volume cairan lebih besar dikirim ke ginjal untuk filtrasi dan ekskresi dan
volume intravascular menurun.
7) Inotropik positif: Dobutamin adalah obat simpatomimetik dengan kerja
beta 1 adrenergik. Efek beta 1 meningkatkan kekuatan kontraksi
miokardium (efek inotropik positif) dan meningkatkan denyut jantung
(efek kronotropik positif).
8) Sedatif: Pemberian sedatif untuk mengurangi kegelisahan bertujuan
mengistirahatkan dan memberi relaksasi pada klien.
b. Non Farmakologi
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif dengan tujuan :
1) Untuk menurunkan kerja jantung
2) Untuk meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard
3) Untuk menurunkan retensi garam dan air.
a) Tirah baring
Tirah baring mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan
jantung dan menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume
intra vaskuler melalui induksi diuresis berbaring
20
b) Oksigen
Pemenuhan oksigen akan mengurangi demand miokard dan membantu
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
c) Diet
Pengaturan diet membuat kerja dan ketegangan otot jantung minimal.
Selain itu pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur,
atau mengurangi edema.
d) Revaskularisasi koroner
e) Transplantasi jantung
f) Kardiomioplasti
2.2 Konsep Discharge Planning
2.2.1 Pengertian Discharge Planning
Discharge planning (perencanaan pulang) adalah masalah multidisiplin
atau interaksi dimana petugas kesehatan, pasien, dan keluarga berkolaborasi untuk
memberikan dan mengatur kontinuitas perawatan yang diperlukan pasien
(Swansburg, 2000). Discharge planning dimulai ketika pasien masuk dalam
rangka mempersiapkan pemulangan yang awal dan kebutuhan yang mungkin
untuk perawatan tindak lanjut di rumah. Komunikasi dan kerjasama dengan
pasien dan keluarga sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pasien setelah
pemulangan dari rumah sakit (Brunner & Suddarth, 2002).
21
Discharge planning yang berhasil adalah suatu proses yang terpusat,
terkoordinasi, dan terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang memberi kepastian
bahwa pasien mempunyai suatu rencana untuk memperoleh perawatan yang
berkelanjutan setelah meninggalkan rumah sakit (AHA, 1983 dalam Potter &
Perry, 2005). Pasien yang perlu diberikan perawatan di rumah adalah mereka
yang memerlukan bantuan selama masa penyembuhan dari penyakit akut atau
untuk mencegah atau mengelola penurunan kondisi akibat penyakit kronis (Potter
& Perry, 2005).
Discharge planning menghasilkan hubungan yang terintegrasi ketika
pasien mendapatkan perawatan di rumah sakit dan perawatan yang diberikan
setelah pasien pulang. Perencanaan pulang memerlukan suatu komunikasi yang
baik dan terarah sehingga pasien dapat mengerti dan menjadi bermanfaat ketika
pasien berada di rumah (Nursalam, 2008).
2.2.2 Manfaat Discharge Planning
Discharge planning mempunyai manfaat sebagai berikut (Spath, 2003 dalam
Nursalam 2008):
1) memberikan kesempatan dalam mendalami pengajaran kepada pasien
yang dimulai dari rumah sakit;
2) memberikan tindak lanjut secara sistematis yang digunakan untuk
memberikan kontinuitas perawatan;
22
3) mengevaluasi pengaruh dari intervensi yang sudah disusun dan
mengidentifikasi adanya kekambuhan atau perawatan baru yang
dibutuhkan;
4) membantu pasien untuk mandiri dan siap melakukan perawatan dirumah.
2.2.3 Prinsip-prinsip Discharge Planning
Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam discharge planning antara lain
(Nursalam, 2008):
a. Identifikasi kebutuhan pasien
Kebutuhan berkaitan dengan masalah yang mungkin muncul pada saat ,
sehingga dapat mengantisipasi masalah yang mungkin muncul di rumah;
b. Discharge planning dilakukan secara kolaboratif
Perencanaan pulang merupakan pelayanan multidisiplin dan setiap tim
saling bekerja sama;
c. Sesuai dengan sumber daya dan fasilitas
Tindakan atau rencana ketika pasien berada di rumah disesuaikan dengan
keadaan yang ada di lingkungan rumah;
d. Discharge planning dilakukan pada setiap sistem pelayanan kesehatan
Setiap pasien masuk pelayanan kesehatan maka discharge planning juga
dilakukan.
2.2.4 Jenis-jenis Pemulangan Pasien
Jenis pemulangan pasien sebagai berikut (Chesca, 1982 dalam Nursalam, 2008):
23
a. Pulang sementara atau cuti (conditioning discharge)
Dilakukan apabila kondisi pasien baik dan tidak terdapat komplikasi.
Pasien untuk sementara dirawat di rumah, akan tetapi tetap ada
pengawasan dari pihak rumah sakit atau puskesmas terdekat;
b. Pulang mutlak atau selamanya (absolute discharge)
Dilakukan ketika hubungan antara rumah sakit dan pasien berakhir, akan
tetapi bila pasien perlu dirawat kembali maka prosedur perawatan dapat
dilakukan kembali;
c. Pulang paksa (judical discharge)
Dilakukan jika pasien diperbolehkan pulang walaupun kondisi kesehatan
tidak memungkinkan untuk pulang, akan tetapi pasien harus dipantau
dengan melakukan kerja sama dengan perawat puskesmas terdekat.
2.2.5 Keberhasilan Discharge Planning
Keberhasilan dalam discharge planning antara lain (Potter & Perry, 2005):
a. Pasien dan keluarga memahami diagnosa, antisipasi tingkat fungsi, obatobatan dan pengobatan ketika pulang, antisipasi perawatan tingkat lanjut,
dan respons jika terjadi kegawatdaruratan;
b. Pendidikan khusus pada keluarga dan pasien untuk memastikan perawatan
yang tepat setelah pasien pulang;
c. Berkoordinasi dengan sistem pendukung di masyarakat, untuk membantu
pasien dan keluarga membuat koping terhadap perubahan dalam status
kesehatan;
24
d. Melakukan relokasi dan koordinasi sistem pendukung atau memindahkan
pasien ke tempat pelayanan kesehatan lain.
2.2.6 Faktor Risiko Dalam Discharge Planning
Beberapa kondisi yang menyebabkan pasien berisiko tidak dapat memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan setelah pasien mendapatkan
discharge planning antara lain (Potter & Perry, 2005):
a. Kurangnya pengetahuan tentang rencana pengobatan;
b. Diagnosa terbaru penyakit kronik kepada pasien;
c. Terjadi operasi besar;
d. Terjadi operasi radikal;
e. Masa penyembuhan yang lama dari penyakit yang diderita atau setelah
dilakukan operasi besar;
f. Isolasi sosial;
g. Ketidakstabilan emosional atau mental;
h. Program perawatan di rumah yang kompleks;
i. Kurangnya sumber dana;
j. Kurangnya penyediaan atau ketepatan sumber rujukan;
k. Penyakit terminal.
2.2.7 Prosedur Discharge Planning
Prosedur perencanaan pemulangan pasien antara lain (Potter & Perry, 2005):
25
a. Sejak waktu penerimaan pasien, lakukan pengkajian tentang kebutuhan
pelayanan kesehatan untuk pasien pulang dengan menggunakan riwayat
keperawatan, rencana perawatan, dan pengkajian kemampuan fisik dan
fungsi kognitif yang dilakukan secara terus menerus;
b. Kaji kebutuhan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga yang
berhubungan dengan terapi di rumah, hal-hal yang harus dihindarkan
akibat dari gangguan kesehatan yang dialami, dan komplikasi yang
mungkin terjadi;
c. Bersama pasien dan keluarga, kaji faktor-faktor lingkungan di rumah yang
dapat menggangggu perawatan diri (ukuran kamar, lebar jalan, langkah,
fasilitas kamar mandi);
d. Berkoordinasi dengan dokter dan disiplin ilmu yang lain, mengkaji
perlunya rujukan untuk mendapatkan perawatan di rumah atau di tempat
pelayanan yang lain;
e. Kaji penerimaan terhadap masalah kesehatan dan larangan yang
berhubungan dengan masalah kesehatan tersebut;
f. Konsultasi dengan tim kesehatan lain tentang berbagai kebutuhan pasien
setelah pulang;
g. Tetapkan diagnosa keperawatan dan rencana perawatan yang tepat.
Lakukan implementasi rencana perawatan. Evaluasi kemajuan secara terus
menerus. Tentukan tujuan pulang yang relevan, yaitu sebagai berikut:
1) Pasien akan memahami masalah kesehatan dan implikasinya
2) Pasien akan mampu memenuhi kebutuhan individunya
26
3) Lingkungan rumah akan menjadi aman
4) Tersedia sumber perawatan kesehatan di rumah; persiapan sebelum
hari kepulangan pasien
h. Anjurkan cara-cara untuk merubah pengaturan fisik di rumah sehingga
kebutuhan pasien dapat terpenuhi;
i. Berikan informasi tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan di
masyarakat kepada pasien dan keluarga;
j. Lakukan pendidikan untuk pasien dan keluarga sesegera mungkin setelah
pasien dirawat dirumah sakit. Pasien dapat diberikan pamphlet atau buku
pada hari kepulangan pasien
k. Biarkan pasien dan keluarga bertanya atau berdiskusi tentang berbagai isu
yang berkaitan dengan perawatan di rumah (sesuai pilihan);
l. Periksa order pulang dari dokter tentang resep, perubahan tindakan
pengobatan, atau alat-alat khusus yang diperlukan;
m. Tentukan apakah pasien atau keluarga telah mengatur transportasi untuk
pulang ke rumah;
n. Tawarkan bantuan ketika pasien berpakaian dan mempersiapkan seluruh
barang-barang pribadinya untuk dibawa pulang;
o. Periksa seluruh barang pasien agar tidak tertinggal;
p. Berikan pasien resep atau obat-obatan sesuai instruksi dokter;
q. Hubungi bagian administrasi untuk mengurus keuangan pasien;
r. Gunakan alat bantu untuk membawa barang-banrang pasien dan untuk
mobilisasi pasien (kursi roda);
27
s. Bantu pasien pindah dari kursi roda;
t. Bantu pasien pindah dari kursi roda ke kendaraan dan bantu untuk
memindahkan barang-barang pasien;
u. Beritahu ke bagian lain tentang waktu kepulangan pasien;
v. Catat kepulangan pasien pada format ringkasan;
w. Dokumentasikan status masalah kesehatan saat pasien pulang
Berdasarkan Pedoman Implementasi Standar JCI (Joint Comission
International) RSUP Sanglah Denpasar 2012, penatalaksanaan Discharge
Planning dilakukan secara berkelanjutan sejak awal pasien masuk rumah sakit
sampai pasien diperbolehkan pulang, meliputi alasan pasien rawat inap, tanggal
dan jam dilakukan perencanaan pulang, estimasi tanggal pemulangan pasien, serta
nama perawat yang memberikan Discharge Planning.
Prosedur discharge planning antara lain:
a. Mengkaji pengaruh rawat inap terhadap pasien dan keluarga, pekerjaan,
dan keuangan
b. Melakukan antisipasi terhadap masalah saat pulang
c. Mengkaji bantuan yang diperlukan dalam hal minum obat, makan,
menyiapkan makanan, edukasi kesehatan, mandi, diet, berpakaian, dan
transportasi
d. Menanyakan adakah yang membantu keperluan tersebut diatas
e. Menanyakan apakah pasien hidup/ tinggal sendiri setelah keluar dari
rumah sakit
28
f. Mengkaji apakah pasien memerlukan peralatan medis di rumah setelah
keluar dari rumah sakit
g. Mengkaji apakah pasien memerlukan alat bantu setelah keluar dari rumah
sakit (tongkat, kursi roda,walker)
h. Mengkaji apakah pasien memerlukan bantuan/ perawatan khusus di rumah
setelah keluar rumah sakit (homecare, homevisit)
i. Mengkaji apakah pasien bermasalah dalam memenuhi kebutuhan
pribadinya setelah keluar dari rumah sakit
j. Mengkaji apakah pasien memiliki nyeri kronis dan kelelahan setelah
keluar dari rumah sakit
k. Mengkaji apakah pasien dan keluarga memerlukan edukasi kesehatan
setelah keluar dari rumah sakit (obat-obatan, nyeri, diit, mencari
pertolongan, follow up dan lain-lain)
l. Mengkaji apakah pasien dan keluarga memerlukan keterampilan khusus
setelah keluar dari rumah sakit
m. Apabila ada perubahan Discharge Planning setelah initial assessment,
maka perubahan tersebut dicatat di lembar catatan tambahan pada format
discharge planning tersebut
2.2.8 Pengajaran dalam Discharge Planning
Perencanaan pemulangan pasien membutuhkan identifikasi kebutuhan
spesifik pasien, yang meliputi (Albet, 2013) :
a. Medication (obat)
29
Perawat menjelaskan obat yang harus dilanjutkan di rumah;
b. Environtmen (lingkungan)
Lingkungan rumah tempat pasien akan pulang sebaiknya aman. Pasien
juga sebaiknya memiliki fasilitas pelayanan yang dibutuhkan untuk
kontinuitas perawatannya;
c. Treatment (pengobatan)
Perawat harus memastikan bahwa pengobatan dapat berlanjut setelah
pasien pulang, yang dilakukan oleh pasien atau anggota keluarga. Jika hal
ini tidak memungkinkan, perencanaan harus dibuat sehingga seseorang
dapat berkunjung ke rumah untuk memberikan keterampilan perawatan;
d. Health teaching (pengajaran kesehatan)
Pasien
yang
akan
mempertahankan
pulang
kesehatan.
sebaiknya
Termasuk
diberitahu
tanda
dan
bagaimana
gejala
yang
mengindikasikan kebutuhan perawatan kesehatan tambahan;
e. Outpatient referral
Pasien sebaiknya mengenal pelayanan dari rumah sakit yang dapat
meningkatkan perawatan kontinu
f. Diet
Pasien sebaiknya diberitahu tentang pembatasan pada dietnya, mampu
memilih diet yang sesuai untuk dirinya.
30
2.3 Konsep Kecemasan/ Ansietas
2.3.1 Pengertian Kecemasan/ Ansietas
Menurut Maramis (2005), kecemasan adalah ketegangan, rasa tidak aman,
dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui. Sedangkan
Stuart dan Sundeen (1998), mengemukakan ansietas atau kecemasan berkaitan
dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, keadaan emosi ini tidak
mempunyai
objek
emosi
yang
spesifik.
Kondisi
dialami
subjek
dan
dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Ansietas berbeda dengan rasa
takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap suatu bahaya. Ansietas
adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi
cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat kecemasan yang parah
tidak sejalan dengan kehidupan. Sedikit berbeda dengan apa yang dikemukakan
oleh Hawari (2008), kecemasan merupakan gangguan alam perasaan yang
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelan jutan, tidak mengalami
gangguan dalam menilai realita, kepribadian tetap utuh, perilaku dapat terganggu
tetapi masih dalam batas normal.
Jadi berdasarkan beberapa uraian tentang pengertian kecemasan diatas
maka kecemasan dapat diartikan perasaan yang dialami oleh individu atau
kelompok yang mengalami perasaan gelisah, kekhawatiran, perasaan tidak
berdaya, dan tidak jelas sebabnya yang merupakan respon emosional terhadap
31
penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya dan tidak mengganggu
penilaian terhadap realita.
2.3.2 Penyebab Kecemasaan/Ansietas
Menurut Stuart dan Sundeen (1998), faktor predisposisi dan presipitasi
yang menyebabkan kecemasan adalah:
a.Faktor Predisposisi
Dalam pandangan psikoanalitik ansietas adalah konflik emosional yang
terjadi antara dua elemen kepribadian id dan super ego. Id mewakili dorongan
insting dan impuls primitive seseorang, sedangkan super ego mencerminkan hati
nurani seseorang dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku
berfungsi menangani tuntutan dari kedua elemen yang bertentangan dan fungsi
asietas
adalah
mengingatkan
bahwa
ada
bahaya.
Menurut
pandangan
interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya
penerimaan dan penolakan interpersonal. Orang dengan harga diri rendah akan
mudah mengalami perkembangan ansietas berat. Menurut pandangan prilaku
ansietas merupakan produk frustasi yaitu merupakan segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan
(Hawari, 2008).
b. Faktor Presipitasi
Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang atau menurunnya untuk melakukan aktivitas seharihari. Ancaman terhadap
sistem diri sendiri seseorang dapat membahayakan
32
identitas, harga diri, dan fungsi sosial dan integritas seseorang. Rasa takut dapat
menyebabkan kita menjadi cemas, setiap orang tahu perasaan takut itu, dan
banyak juga dari kita mempunyai satu atau dua rasa takut yang menyebabkan
orang cemas dan terguncang jiwanya karena rasa takut pada sesuatu yang berlebih
(Maramis, 2005).
2.3.3 Tingkat Kecemasan/Ansietas
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) tingkat ansietas dibagi menjadi empat
tingkatan yaitu:
a.Kecemasan/Ansietas Ringan
Kecemasan/ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meninggalkan lahan persepsinya. Ansietas sebagai motivator belajar serta
menghasilkan perkembangan kreativitas. Respon fisiologis yang timbul pada
tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, persepsi meningkat, kesadaran tinggi,
mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan sesuai situasi.
b. Kecemasan/Ansietas Sedang
Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu lebih terarah. Manifestasi
yang muncul pada tingkatan ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut
jantung dan pernafasaan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat
dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar tetapi
33
tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, mudah tersinggung, tidak sabar,
mudah lupa, marah, dan menangis.
c.Kecemasan/Ansietas Berat
Ansietas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terperinci dan spesifik dan tidak
dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada sesuatu area lain. Mengeluh pusing, sakit kepala, nausea,
insomnia, sering kencing, diare, palpitasi, tidak mau belajar secara efektif,
berfokus pada diri sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasaan tinggi,
perasaan tidak berdaya dan bingung.
d.Panik/Ansietas Berat Sekali
Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan terperangah, ketakutan
dan eror. Rincian terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan
kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun
dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik
terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan
dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang
rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung
terus menerus dalam waktu lama, dapat terjadi kelelahan bahkan kematian, dan
gejala yang timbul pada tahap ini adalah susah nafas, dilatasi pupil, palpitasi,
pucat, berteriak dan menjerit.
34
2.3.4 Gejala Klinis Kecemasan
Menurut Hawari (2008), gejala klinis kecemasaan dapat dibagi menjadi
beberapa kelompok yaitu:
a.Gangguan Cemas
Keluhan yang sering muncul dikemukakan oleh orang yang mengalami
gangguan kecemasan seperti khawatir, firasat buruk, mudah tersinggung, takut
akan pikiran, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendiri,
takut pada keramaian, takut pada banyak orang, ganguan pola tidur, mimpi-mimpi
yang menegangkan, ganguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan- keluhan,
berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit
kepala dan lain-lain.
b. Gangguan Cemas Menyeluruh
Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, biasanya juga disertai dengan
kecemasan secara menyeluruh dan menetap yang berlangsung paling sedikitnya
satu bulan, dengan manifestasi seperti ketegangan motorik yang meliputi gemetar,
tegang, nyeri otot, letih, kelopak mata bergetar, kening berkerut, muka tegang,
dan tidak bisa diam. Sedangkan manifestasi dari hiperaktivitas saraf autonom
seperti
jantung berdebar, rasa dingin, berkeringat berlebih, telapak kaki dan
tangan basah, kesemutan, sering buang air seni, muka merah atau pucat, nadi dan
pernapasan meningkat. Selain itu juga timbul rasa khawatir berlebih tentang halhal yang akan datang, misalnya takut, berpikir berulang, berpikir akan datangnya
kemalangan terhadap dirinya atau orang lain. Kewaspadaan juga menjadi berlebih
35
seperti mengamati lingkunagan secara berlebih mengakibatkan konsentrasi mudah
beralih, sukar tidur, mudah tersinggung, merasa ngeri dan tidak sabar.
c.Gangguan Panik
Gejala klinis dengan kecemasan yang datangnya mendadak disertai
perasaan takut mati disebut juga gangguan panik, gangguan panik ditegakkan
dengan adanya empat dari duabelas gejala yang muncul, gejala itu seperti sesak
nafas, jantung berdebar, nyeri didada, pusing, rasa tercekik, vertigo, perasaan
melayang, perasaan seakan-akan diri atau lingkungan tidak realitis, kesemutan
rasa aliran rasa aliran panas dingin, berkeringat banyak, rasa akan pingsan,
menggigil/gemetaran, merasa takut mati, takut jadi gila, atau melakukan tindakan
secara tidak terkendali.
d.Ganguan Phobia
Salah satu bentuk kecemasan yang didominasi oleh gangguan alam pikir.
Phobia adalah ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu objek,
aktivitas, atau situasi yang menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk
mengindarinya. Rasa takut ini disadari oleh orang yang bersangkutan sebagai
suatu yang berlebih dan tidak masuk akal, namum tidak mampu diatasi.
e.Gangguan Obsesif-Konfulsif
Obsesif adalah bentuk kecemasan yang didominasi oleh pikiran berulang
terpaku dan berulang kali muncul. Secara klinis kriteria gangguan obsesif sebagai
berikut: gagasan atau ide, pikiran, bayangan impuls yang terpaku dan berulang
tidak berdasarkan keinginan sendiri tetapi sebagai pikiran yang mendesak,
kedalam kesadaran dan dihayati sebagai hal yang tak masuk akal atau tidak
36
disukai. Kompulsif adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang
sebagai konsekuensi dari pikiran yang bercorak, kriteria klinisnya adalah tingkah
laku berulang yang nampaknya mempunyai tujuan yang ditampilkan menurut
aturan tertentu. Tingkah laku ini dimaksudkan untuk manghasilkan atau mencegah
suatu peristiwa yang biasanya orang bersangkutan mengenal perbuatannya tidak
masuk akal, tidak memperoleh kesenangan ketika melakukan penanggulangan
perbuatan itu walaupun hal itu meredakan ketegangan.
2.3.5 Reaksi Ansietas/Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundenn (1998), kecemasan dapat diekspresikan
secara langsung atau perubahan fisiologis, perilaku dan secara tidak langsung
melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan
kecemasan. Respon fisiologis meliputi palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah
tinggi, rasa mau pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun, nafas
pendek, tekanan pada dada, nafas dangkal, dan terengah-engah. Pada
neuromuskuler respon yang muncul reflek meningkat, reaksi kejutan, mata
berkedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum,
kaki goyah, gerakan janggal. Respon pada gastrointestinal seperti kehilangn nafsu
makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, diare, rasa terbakar diperut.
Respon pada traktus urinarius seperti tidak dapat menahan kencing, sering
berkemih, sedangkan pada kulit respon yang muncul wajah kemerahan,
berkeringat setempat (telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit,
wajah pucat dan berkeringat seluruh tubuh (Marwiati, 2008).
37
Respon
perilaku, kognitif, dan afektif terhadap kecemasan akan
memunculkan berbagai gejala. Pada respon perilaku, gejala yang muncul antara
lain gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang kordinasi,
cenderung mendapat cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal,
menghalangi, melarikan diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi. Sedangkan
respon kognitif akan muncul gejala seperti perhatian terganggu, konsentrasi
buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preukopasi, hambatan berpikir,
bidang persepsi menurun, produktivitas menurun, bingung, waspada, kesadaran
diri meningkat. Sedangkan untuk respon afektif muncul gejala seperti kehilangan
objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual, takut cedera
untuk kematian, mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, nervus, ketakutan,
teror, gugup, dan gelisah (Alwisol, 2006).
2.3.6 Pengukuran Tingkat Kecemasan
Pengukuran tingkat kecemasan menggunakan instrumen HARS (Halminton
Anxiety Rating Scale) yang dikutip dari Hawari (2008), yang terdiri dari 14 gejala,
meliputi respon emosi dan prilaku, respon fisiologis pasien, dan respon kognitif.
Tiap kelompok gejala terdiri dari beberapa pertanyaan, masing-masing kelompok
gejala diberi penilaian sebagai berikut: “tidak ada gejala sama sekali (tidak ada)”
skor 0, “satu gejala dari pilihan yang ada (ringan)” skor 1, “separuh dari gejala
yang ada (sedang)” skor 2, “lebih dari separuh gejala yang ada (berat)” skor 3,
“semua gejala yang ada (berat sekali)” skor 4. Masing-masing skor dari ke 14
kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat
38
diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu; total skor <14 ”tidak ada
kecemasan”, skor 14-20 “kecemasaan ringan”, skor 21-27 “kecemasan sedang”,
skor 28-41 “kecemasan berat”, skor 42-56 “kecemasan berat sekali” (Hawari,
2008).
2.4 Hubungan Discharge Planning Terhadap Tingkat Kecemasan Pada
Pasien Gagal Jantung
Ketika seseorang mengetahui tentang penyakitnya, maka ia akan berpikir
tentang penyakitnya, cara pengobatan yang akan ditempuh, biaya yang
dihabiskan, prognosis penyakitnya, dan lama penyembuhan dari penyakitnya.
Pasien gagal jantung yang menjalani terapi pengobatan yang lama dan sering
keluar masuk rumah sakit akan berdampak terhadap kecemasan yang dirasakan
oleh pasien terhadap penyakit yang dialaminya. Salah satu dampak yang dialami
merupakan reaksi psikologis terhadap dampak dari penyakit gagal jantung yang
dihadapi oleh pasien (Zaviera, F., 2007).
Pasien gagal jantung banyak yang mengalami kecemasan yang bervariasi
dari kecemasan ringan sampai dengan kecemasan berat. Kecemasan yang dialami
pasien mempunyai beberapa alasan diantaranya cemas akibat sesak nafas, cemas
akan kondisi penyakitnya, cemas jika penyakitnya tidak bisa sembuh, cemas dan
takut akan kematian, yang dapat dilihat dari seringnya pasien bertanya tentang
penyakitnya dan berulang meskipun pertanyaan sudah dijawab, pasien terlihat
gelisah, sulit istirahat dan tidak bergairah saat makan (Sani, 2007).
39
Salah satu cara untuk mengurangi kecemasan tersebut adalah melalui
pemberian discharge planning (perencanaan pulang). Menurut Pedoman
Implementasi Standar JCI RSUP Sanglah Denpasar, perencanaan pulang berupa
informasi intervensi medis dan non medis yang sudah diberikan, jadwal kontrol
dan gizi yang harus dipenuhi setelah di rumah, makanan atau minuman yang
dapat memperberat sakit pasien, dosis minum obat, kemana harus menghubungi
jika sakitnya kambuh. Perencanan pulang ini dimulai ketika pasien masuk dalam
rangka mempersiapkan pemulangan yang awal dan kebutuhan yang mungkin
untuk perawatan tindak lanjut di rumah. Namun apabila penyampaian
perencanaan pulang kurang lengkap dan hanya dalam bentuk pendokumentasian
resume pasien pulang, akan menyebabkan pasien menjadi kurang mengerti
dengan apa yang disampaikan oleh tenaga kesehatan dan pasien akan merasa
cemas dengan kondisinya. Bila kecemasan pasien ini tidak mendapatkan
penanganan yang tepat dan adekuat dari dokter atau perawat dan pihak keluarga,
maka akan menyebabkan tingkat kecemasan pasien bertambah parah, berdampak
pada ketidakpastian pasien terhadap semua prosedur tindakan yang akan diberikan
petugas kesehatan di rumah sakit (Hawari, 2008).
Download