laporan tahunan/akhir - BP3U Palembang

advertisement
LAPORAN TAHUNAN/AKHIR
IDENTIFIKASI KOMPONEN PENYUSUN PENGELOLAAN PERIKANAN DI RAWA
BANJIRAN GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU
Oleh :
Husnah, Yoga Candra Ditya, Melfa Marini, Sonny Koeshendrajana,
Joko Samiaji, Dessy, dan Raider Sigit Juniarto
`
PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN
DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
TAHUN 2013
LAPORAN TAHUNAN/AKHIR
IDENTIFIKASI KOMPONEN PENYUSUN PENGELOLAAN PERIKANAN DI RAWA
BANJIRAN GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU
Oleh :
Husnah, Yoga Candra Ditya, Melfa Marini, Sonny Koeshendrajana, Joko Samiaji,
Dessy, dan Raider Sigit Juniarto
PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN
DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
TAHUN 2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN
: Identifikasi komponen penyusun pengelolaan
1. Judul penelitian
perikanan rawa banjiran Giam Siak Kecil,
Provinsi Riau
2. Tim Penelitian
:
- Husnah
- Yoga Candra Ditya
- Melfa Marini
- Sonny Koeshendrajana
- Joko Samiaji
- Dessy
- Raider Sigit Junianto
3. Jangka Waktu Penelitian
:
(Koodinator)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
1 (satu) Tahun
Palembang,
Desember 2013
Mengetahui,
Kepala Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum
Koordinator Kegiatan
Drs. Budi Iskandar, MSc
NIP.
Dr. Ir. Husnah, M.Phil
NIP. 19610215 198903 2 001
iii
ABSTRAK
Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistim
perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti dari cagar biosfir GSK-BB.
Sasaran utama penetapan cagar biosfir adalah sebagai kawasan konservasi dan sebagai
model pengelolaan lahan yang berkelanjutan. namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagar
biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah dimanfaakan masyarakat untuk berbagai
kegiatan termasuk perikanan. Hasil studi pada tahun 2010 mengindikasikan perubahan
antrophogenik yang berasal dari wilayah sekitar cagar biosfir. Hal ini menunjukkan bahwa
pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan di cagar biosfir ini belum
optimal. Mengingat kegiatan pemanfaatan dari berbagai sektor perlu disusun model
pengelolaan yang terpadu dengan pendekatan berbasis masyarakat dan ekosistem yang
melibatkan berbagai lembaga dan pengguna (stakeholder) yang terkait dengan
keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya alam di GSK. Penelitian bersifat
multi tahun untuk mendukung pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK. Pada
tahun 2013 kegiatan yang dilakukan berupa desk study dan Focus group discussion dengan
pemanfaat dan pangelola sumberdaya ikan di rawa banjiran GSK. Penurunan kualitas
sumberdaya perairan GSK disebabkan oleh dan faktor anthropogenik. Oleh karena itu arah
kebijakan dan strategi pengelolaan dimasa mendatang agar lebih ditekankan pada upaya
meminimalisasi tekanan lingkungan dan menyusun dan menerapkan peraturan mengenai
pemanfaatan pengawasan dan sangksi berkaitan dengan sumberdaya GSK. Pengelolaan
yang perlu dilakukan kedepan diantaranya adalah rehabilitasi hutan, zonasi wilayah
konservasi dan pemanfaatan, domestikasi ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksi
hukum pelanggaran pemanfaatan SDA, restocking ikan asli, transfer teknologi pembenihan
dan budidaya, inisiasi pembentukan lembaga masyarakat pengelola GSK. Bagi peruntukan
pengembangan pemanfaatan perikanan arah dan strategi kebijakan yang disarankan adalah:
penetapan zonasi pemanfaatan, domestikasi ikan asli, transfer teknologi pembenihan ikan
asli dan restocking ikan asli seperti tapah, baung dan selais. Model Pengelolaan
sumberdaya perairan rawa banjiran GSK secara keseluruhan harus bersifat terpadu,
komprehensif dan partisipatif sesuai dengan dinamika perkembangan yang terjadi.
.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat nya sehingga riset berjudul “Identifikasi komponen penyusun pengelolaan
perikanan di rawa banjiran Giam siak Kecil, Provinsi Riau” dapat terlaksana dengan baik
sesuai dengan rencana.
Tujuan ini adalah
untuk mendapatkan data dan
informasikomponen penyusun pengelolaan sebagai berikut: (1) Potensi dan peamanfaatan
sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GSK (2) Potensi dan pemanfaatan
sumberdaya alam di rawa banjiran GSK, (3) Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di
rawa banjiran GSK, (4) Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK dan (5)
Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK.Diharapkan
dengan adanya informasi ini dapat memberikan kontribusi terhadap penyusunan konsep
pengelolaan sumberdaya perikana di rawa banjiran Giam Siak Kecil, provinsi Riau.
Ucapan terima kasih kami tujukan terutama kepada pihak-pihak yang telah
membantu terlaksananya penelitian ini:
1. Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Riau
2. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura
3. BAPPEDA ProvinsiRiau
4. BAPPEDA Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura
5. BLHD Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura
6. Dekan Fakultas Perikanan, Universitas Riau
7. Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau
8. PT. Sinarmas Forestry
9. Peneliti non klas dan teknisi di Laboratorium Koleksi Ikan, Hidrobiologi dan Kimia
BPPPU
10. Kepala Desa, nelayan dan masyarakat lainnya di Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air
Hitam
Demikianlah semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi dunia perikanan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Palembang,
Desember 2013
Penulis
v
DAFTAR ISI
No
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Hal
i
iii
iv
v
vi
vii
x
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Dan Sasaran
1.3. Tujuan dan Sasaran Kegiatan
1.4. Keluaran yang Diharapkan
1.5. Hasil Yang Diharapkan
1.4. Manfaat dan Dampak
1
1
2
3
3
4
4
II
TELAHAAN HASIL-HASIL PENELITIAN TERKAIT
SEBELUMNYA
2.1. Definisi dan Klasifikasi Lahan Rawa
2.2. Karakteristik Khas Ekosistem Rawa Banjiaran
2.3. Profil Kewilayahan Mandau
2.4. Asumsi Dampak Degradasi Lingkungan Terhadap
Komponen Ikan
5
III.
5
8
10
11
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran dan Alur Pendekatan Pemecahan
Masalah Penelitian
3.2. Waktu dan Lokasi
3.3. Pendekatan Dalam Penelitian
3.4. Kebutuhan Data
3.5. Faktor Resiko dan Keberhasilan
3.6. Komponen Kegiatan
3.7. Alat dan Bahan Penelitian
3.8. Metode Penelitian
13
13
13
13
14
14
14
15
15
vi
No
IV.
Hal
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan dan Ikan di
Di Rawa Banjiran Giam Siak Kecil
4.2. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Non Perikanan
4.3. Sosial ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sungai dan Rawa
Banjiran Giam Siak Kecil
4.4. Existing Pengelolaan Sumberdaya Alam di GSK
4.5. Kelembagaan
17
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
66
VI.
DAFTAR PUSTAKA
67
47
48
59
60
vii
DAFTAR TABEL
No
2.1
Hal
Parameter kunci lingkungan terdegradasi
11
4.1.4.1 Jenis-jenis ikan di sekitar Giam Siak Kecil Provinsi Mandau
32
4.1.4.2 Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem dan dinamika
fluktuasi air dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010. Data
penelitian( Husnah et al, 2010) diolah
35
4.1.4.3 Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem, dinamika fluktuasi
air dan alat tangkap dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010.
Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah
37
4.1.4.4 Jenis ikan tertangkap nelayan di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Data
FGD 2013 diolah)
39
4.1.4.5 Jenis ikan yang mengalami penurunan jumlah di rawa banjiran GSK
tahun 2013 (Data FGD 2013 diolah)
40
4.1.4.6 Jenis ikan yang punah di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Diolah dari
data FGD 2013)
41
4.1.5.1 Hasil tangkapan nelayan pada berbagai tinggi air, tipologi habitat dan
jenis alat tangkap (Data penelitian Husnah et al (2010) diolah
44
4.1.5.2 Jenis dan sebaran ikan di Danau Laut Tawar dan disepanjang badan
sungai Krueng Peusangan pada tahun 2012 (warna hitam, biru dan
merah adalah waktu ditemukan masing-masing pada bulan Maret, Juni
dan Septmber )
48
4.3.2.1 Deskripsi Profil Sosial Ekonomi Nelayan Perairan Sungai dan Rawa
Banjiran GSK Menurut Lokasi Terpilih, 2013.
51
4.3.3.1 Mata Pencaharian Masyarakat Menurut Jenis Usaha, Pengalaman
Usaha dan Alokasi Curahan Kerja di Lokasi Terpilih, 2013.
53
4.3.3.2 Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan Sehari-hari Di GSK,
2013.
54
4.3.3.3 Dinamika Pola Penggunaan Alat Tangkap dan Ikan Tertangkap
Menurut Bulan di Lokasi Studi, 2013.
54
viii
No
Hal
4.3.4.1 Jumlah anggota bekerja responden di rawa banjiran Giam Siak Kecil
55
(GSK)
4.3.4.2 Struktur Pendapatan Keluaraga Menurut Kategori Jenis Pendapatan
dan Besaran Pendapatan Yang Diterima di Giam Siak Kecil, 2013.
56
4.3.4.3 Struktur Pengeluaran Keluarga Menurut Kategori jenis Pengeluaran
dan Besarannya di rawa banjiran Giam Siak Kecil (GSK), 2013.
57
4.3.5.1 Rata-rata luas lahan usaha responden
57
4.3.6.1 Peran Perempuan Dalam Keluarga dan Keterkaitannya dengan
Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Sungai dan Rawa GSK,
2013.
58
4.4.1.
Persepsi masyarakat di rawa banjiran Giam Siak Kecil mengenai
sumberdaya alam
60
4.4.2
Persepsi masyarakat di rawa banjiran Giam Siak Kecil mengenai
sumberdaya alam
60
4.4.3
Persepsi responden (pemanfaat) terhadap komponen dan proses
pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran Giam Siak Kecil
61
4.5.1
Identifikasi Kelembagaan Masyarakat Nelayan di Tasik Karialau, Air
Hitam, Betung dan Serai (2013).
62
4.5.2
Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang isu penting pengelolaan
SDA di Giam Siak Kecil
64
4.5.3
Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang peluang peluang untuk
perbaikan sistem pengelolaan SDA di Giam Siak Kecil
65
4.5.4
. Kriteria keberhasilan dan kegagalan pengelolaan
65
ix
DAFTAR GAMBAR
No
Hal
2.2.1
Contoh ekosistem “Swamp” di daerah aliran sungai (DAS) Rawas
Provinsi Sumatra Selatan.
5
2.2.2
Contoh ekosistem “Marsh” di daerah aliran sungai (DAS)
Lempuing, Provinsi Sumatra Selatan
6
2.2.3
Contoh ekosistem “blanket bog” (a) dan “raised bog’ (b).
19
2.2.4
Contoh ekosistem disebut “hochmoor".
21
3.1
Kerangka pemikiran dan alur pemecahan masalah penelitian . Alur
Pengelolaan ) (
)
13
4.1.1.1
Sungai Siak Kecil dan tasik-tasik di Suaka Margasatwa Giam Siak
Kecil, Provinsi Riau (Husnah & Prianto, 2011).
17
4.1.1.2
Profil rawa banjiran di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Provinsi
Riau (Husnah & Prianto, 2011).
18
4.1.1.3
Kondisi Tasik Betung saat muka air rendah (tahun 2008) dan tinggi
(Agustus, 2010) (Husnah & Prianto, 2011).
18
4.1.3.1
Tinggi muka air di Tasik Cagar Biosfir GSK (A) penguapan (B) dan
curah hujan (C) di stasiun klimatologi Pekanbaru tahun 2010
(Husnah & Prianto, 2011)
20
4.1.3.2 Tinggi muka air (water level) pada stasiun pengamatan di Tasik
Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei,
Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
21
4.1.3.3
Suhu udara dan air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak
Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan
November 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
22
4.1.3.4
Nilai pH sedimen pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak
Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, dan Agustus
2010 (Husnah & Prianto, 2011).
23
x
No
Hal
4.1.3.5
Nilai pH air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan
Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November
2010 (Husnah & Prianto, 2011).
23
4.1.3.6
Nilai keasaman mineral (a) dan keasaman total (b) pada stasiun
pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada
bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah &
Prianto, 2011).
24
4.1.3.7
Bahan organik (A) total organik karbon (TOC) dan organik karbon
terlarut (DOC) pada bulan Agustus (B) pada Komplek Tasik Giam
Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil di Riau pada tahun 2010.
25
4.1.3.8
Kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen) pada tasik Giam
Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari hingga
November 2010.
26
4.1.3.9
Kandungan konsumsi oksigen biota (BOD 5 day) dan konsumsi
oksigen proses kimia (COD) pada tasik Giam Siak Kecil dan
Sungai Siak Kecil, Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010
(Husnah & Prianto, 2011).
27
4.1.3.10 Kandungan jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik
(conductivity) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil ,
Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah &
Prianto, 2011).
28
4.1.3.11 Kandungan fenol pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil
, Riau pada bulan Agustus 2010.
29
4.1.3.12 Kandungan bahan organik pada sedimen di tasik Giam Siak Kecil
dan Sungai Siak Kecil (Husnah & Prianto, 2011).
29
4.1.3.13 Kandungan logam berat Timah Hitam (Pb) pada sedimen di tasik
Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari
dan Mei.
30
4.1.3.14 Laju produksi karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) dari
tumbuhan sepadan di di komplek danau rawa banjiran Giam Siak
Kecil Provinsi Riau , 2010
31
4.1.5.1
42
Hasil tangkapan ikan pada alat lukah (pot trap) di Tasik Air Hitam
pada tahun 2010 (Husnah et al., 2010)
xi
No
Hal
4.1.5.2
Hasil tangkapan ikan pada alat jaring (gill net) di Tasik Air Hitam
pada tahun 2010 (Husnah et al., 2010).
43
4.1.5.3
tangkapan ikan pada berbagai alat tangkap di kempat tasik pada
bulan Pebruari, Mei, Agustus dan November 2010 (Marini et al.,
2011)
45
4.3.1.1
Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung,
Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Pasang Maksimum di
Perairan SungaiDan Rawa Banjiran GSK.
49
4.3.1.2
Betung, Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Suru
Terendah di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran GSK.
50
4.3.2.1
Distribusi Komposisi Kelompok Usia Nelayan Tasik Air Hitam,
Tasik Katialau, Tasik Serai dan Tasik Betung Tahun 2013.
Keterkaitan sumber daya, pemanfaat dan pengelola sebagai
ilustrasisistem sosial ekologi.
51
4.3.3.1
52
xii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil merupakan satu dari dua suaka
margasatwa dalam kawasan inti (core) Cagar Biosfir Giam Siak Kecil (GSK)Bukit Batu di Provinsi Riau yang ditetapkan oleh United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai cagar biosfir ke tujuh di
Indonesia pada bulan Mei 2009 di Jeju, Korea Selatan (Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia, 2009). Dibandingkan dengan enam cagar biosfir lainnya di
Indonesia, Cagar Biosfir GSK-Bukit Batu memiliki karakteristik yang spesifik
diantaranya adalah kawasan intinya (core zone) merupakan kawasan konservasi
dan hutan produksi yang tidak dikonversi (Biosphere Reserve Directory, 2010;
LPPM IPB, 2009), sedangkan cagar biosfir lainnya kawasan intinya adalah taman
nasional.
Sasaran utama ditetapkannya Cagar Biosfer GSK-BB tersebut diantaranya
adalah adalah: (1) memanfaatkan Cagar Biosfer untuk konservasi sumberdaya
alam dan (2)memanfaatkan Cagar Biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan
pendekatan pembangunan berkelanjutan di bentang lansekap (sustainable
development of the landscape) hutan rawa gambut, tasik dan sistem perairannya,
dan lahan gambut yang telah dikonversi menjadi hutan tanaman industri (HTI),
perkebunan, pertanian, dan pemukiman (LIPI, 2009; Biosphere Reserve
Directory, 2010). Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan
bagian dari sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti,
namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan
tersebut telah dimanfaakan masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk
perikanan.
Sampai saat ini informasi mengenai potensi dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan di rawa banjiran ini masih terbatas. Studi yang dilakukan Husnah et al
(2010) menunjukkan intensitas penangkapan ikan yang tinggi diindikasikan
dengan padatnya berbagai alat tangkap yang dioperasikan di danau rawa banjiran
(tasik) maupun di Sungai Siak baik pada musim kemarau maupun hujan. Jenis
ikan yang ditemukan mencapai 37 spesies dan didominasi oleh kelompok ikan
rawa (blackfish) ekonomis
dari famili Siluridae seperti ikan lais-laisan
1
(Kryptopterus spp) dan Ikan Tapah (Wallago leeri), dan dari famili Bagridae
yaitu Ikan Baung (Hemibagrus nemurus).
Suatu wilayah yang akan dijadikan kawasan suaka hendaknya memenuhi
beberapa persyaratan diantaranya tersedianya kualitas lingkungan yang baik untuk
kehidupan,
pertumbuhan
dan
perkembangbiakan
biota
yang
dilindungi
(Koeshendrajana&Hoggarth, 1998; Hoggarth, 2000; Crivelli, 2002). Namun hasil
studi Husnah dan Marini (2011) mengindikasikan tingginya kandungan logam
berat timah hitam (Pb) dan cadmium pada sedimen dan organ ikan yang berasal
dari rawa banjiran Giam Siak Kecil. Selain itu prevalensi ketidaknormalan
kesehatan ikan mencapai 20%. Kondisi ini mengindikasikan adanya pengaruh
antrophogenik yang berasal dari sekitar wilayah cagar biosfir.
Untuk memfungsikan suaka margasatwa GSK secara optimal dengan tetap
memperhatikan
keberlanjutan
pemanfaatan
sumberdaya
oleh
masyarakat
disekitarnya perlu dilakukan penyusunan dan implementasi model pengelolaan
sumberdaya di rawa banjiran GSK. Upaya ini telah diinsiasi oleh Balai Penelitian
Perikanan Perairan Umum (BP3U) melalui penandatangan naskah keinginan
bekerja sama antara BP3U dengan lembaga dan stakeholder di provinsi Riau
diantaranya adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Balai Konservasi Sumberdaya
Alam, Balai Pengelolaan DAS, Fakultas Perikanan Universitas Riau dan PT
Sinarmas Forestry pada bulan Oktober 2011.
Kegiatan desk study ” Identifikasi komponen penyusun pengelolaan
perikanan di rawa banjiran Giam Siak Kecil, Prov Riau” merupakan satu dari
rangkaian penelitian yang bersifat multi tahun untuk mendukung pengelolaan
perikanan terpadu di rawa banjiran GSK.
1.2. Justifikasi
Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari
sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti dari cagar
biosfir GSK-BB. Sasaran utama penetapan cagar biosfir adalah sebagai kawasan
konservasi dan sebagai model pengelolaan lahan yang berkelanjutan. namun dari
sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah
2
dimanfaakan masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk perikanan. Hasil studi
pada tahun 2010 mengindikasikan perubahan antrophogenik yang berasal dari
wilayah sekitar cagar biosfir. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan
sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan di cagar biosfir ini belum
optimal. Mengingat kegiatan pemanfaatan dari berbagai sektor perlu disusun
model pengelolaan yang terpadu dengan pendekatan berbasis masyarakat dan
ekosistem yang melibatkan berbagai lembaga dan pengguna (stakeholder) yang
terkait dengan keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya alam di
GSk.
1.3.
Tujuan Dan Sasaran Kegiatan
Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi komponen-komponen penyusun
model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran Giam Siak Kecil:
a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran
GSK
b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya data dasar komponen
penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK
diantaranya:
a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran
GSK
b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
3
1.4
Keluaran Yang Diharapkan
Keluaran dari penelitian ini adalah komponen penyusun model
pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK diantaranya:
a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran
GSK
b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
1.5
Hasil Yang Diharapkan
Data dan informasi komponen komponen penyususn pengelolaan
perikanan terpadu di rawa banjiran GSK
1.6
Manfaat Dan Dampak
Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi
komponen penyusun pengelolaan terpadu
sumberdaya ikan di rawa banjiran
Giam Siak Kecil. Dampak yang diharapkan dari kegiatan penelitian adalah
keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya ikan di rawa banjiran
Giam Siak Kecil.
4
II. TELAAH HASIL–HASIL PENELITIAN TERKAIT SEBELUMNYA
2.1. Definisi Dan Klasifikasi Lahan Rawa
Lahan rawa berdasarkan Artikel 1.1 Konvensi Ramsar yang dilaksanakan di
Iran pada tahun 1971, didefinisikan sebagai lahan basah, atau “wetland”, yang
mencakup wilayah “marsh”, “fen”, lahan gambut (peatland), atau air, baik terbentuk
secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak (static) atau mengalir, baik
air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya,
pada keadaan surut terendah tidak melebihi enam meter (Anonimous, 2011). Menurut
Subagyo (2006) lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu
yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang
(waterlogged) air dangkal. Lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah, seperti
“swamp”, “marsh”, “bog” dan “fen”, masing-masing mempunyai arti yang berbeda
(Anonimous, 2011)..
“Swamp” adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan
wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air
tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun.
Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian dasar tanah
berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai vegetasi dari
jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika biasanya berupa
hutan rawa atau hutan gambut (Gambar 2.2.1).
Gambar 2.2.1 Contoh ekosistem “Swamp” di daerah aliran sungai (DAS) Rawas Provinsi Sumatra
Selatan.
5
“Marsh” adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen, namun
mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara periodik,
dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali diendapkan.
Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh biasanya
ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa “reeds” (tumbuhan air
sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites sp.), “sedges”
(sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili Cyperaceae), dan
“rushes” (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau “mendong”, dari famili Juncaceae,
yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau keranjang). Marsh dibedakan
menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau saltwater marsh), dan "rawa pedalaman"
(inland marsh, atau fresh water marsh) (SSSA, 1984; Monkhouse & Small,
1978)(Gambar 2.2.2).
Gambar 2.2.2
“Bog”
Contoh ekosistem “Marsh” di daerah aliran sungai (DAS) Lempuing,
Provinsi Sumatra Selatan.
adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan tanahnya
tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut Spaghnum sebagai vegetasi
dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (bereaksi) masam. Ada dua macam bog,
yaitu "blanket bog” (Gambar 2.2.3a), dan "raised bog” (Gambar 2.2.3b). Blanket bog
adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk deposit
gambut tersusun dari lumut Spaghnum, menutupi tanah seperti selimut pada
6
permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut masam yang
tebal disebut “hochmoor" (Gambar 2.2.4),yang dapat mencapai ketebalan 5 meter, dan
membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal .
a
b
Gambar 2.2.3 Contoh ekosistem “blanket bog” (a) dan “raised bog’ (b).
Gambar 2.2.4 Contoh ekosistem disebut “hochmoor".
“Fed” adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa sejenis “reeds”,
“sedges” dan “rushes”, tetapi air tanahnya bereaksi alkalis, biasanya mengandung kapur (CaCO3)
atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut
“laagveen” atau “lowmoor”.
7
2.2. Karakteristik Khas Ekosistem Rawa Banjiran
Karakteristik khas ekosistem rawa adalah secara periodik mengalami musim
air dalam dan musim air dangkal. Fluktuasi kedalaman ini akibat limpahan air dari
sungai, danau dan atau air hujan (Junk dan Wantzen, 2004). Perubahan kedalaman air
musiman mempengaruhi kondisi kualitas air (Hartoto, 2000), dan ritme kehidupan
ikan (Lowe-McConnell, 1987). Perubahan kedalaman air merupakan faktor utama
yang menentukan struktur komunitas ikan di rawa banjiran/lebak (Lowe-McConnell,
1987; Baran dan Cain, 2001; Hoeinghais et al, 2003). Struktur dan fungsi komunitas
biota perairan berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup dari
biota tersebut. Lain halnya dengan biota pada lingkungan darat (terrestrial) dimana
perkembangan struktur dan fungsi komunitas merupakan fungsi dari kualitas dan
kuantitas lahan dan udara, struktur dan fungsi biota perairan selain fungsi kedua
komponen tersebut juga merupakan fungsi dari kualitas dan kuantitas media air.
Karakteristik dan dinamika kualitas media air sangat dipengaruhi oleh kualitas
udara, tanah di dasar perairan, geomorfologi dan kegiatan yang ada di daerah
tangkapan air (water catchment area) dan di daerah aliran sungai. Habitat ikan tidak
hanya menyediakan kualitas dan kuantitas air untuk hidup, namun dapat juga
menyediakan pakan alami ataupun substrat untuk tumbuh dan berkembang biak. Oleh
karena itu, dikenal beberapa jenis habitat seperti habitat pengasuhan, habitat mencari
makan dan habitat pemijahan. Habitat ikan bervariasi tergantung pada karakteristik
morfologi dan tingkah laku ikan yang berbeda antara satu jenis ikan dengan jenis ikan
lainnya.
Untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan
perlu.dilakukan pengelolaan perikanan, meliputi berbagai kegiatan yang ditujukan
dalam pengelolaan perikanan, diharapkan kesejahteraan hidup masyarakat dapat
meningkat,oleh sebab itu inventarisasi mengenai keinginan, harapan dan prefensi
masyarakat perlu dilakukan (Kartamihardja, 1993).
Hal-hal yang perlu diperhatikan agar dicapai tingkat pemanfaatan yang optimal dan
berkelanjutan, adalah :
8
a.
Pengelolaan Habitat
Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan di dalam pengelolaan
sumberdaya perairan adalah kondisi habitat agar habitat baru tersebut sesuai bagi
persyaratan perkembangan populasi ikan untuk menyelesaikan daur hidupnya.karna
setiap perairan yang terbentuk mungkin hanya cocok sebagai daerah pertumbuhan,
tetapi tidak sebagai daerah pemijahan bagi beberapa jenis ikan, sehingga ikan tersebut
hanya dapat tumbuh namun tidak dapat melanjutkan keturunannya.
Agar produksi perikanan di perairan rawa banjiran meningkat dan sesuai
dengan sasaran yang diharapkan, maka pengelola perikanan harus mampu
memanipulasi dan memodifikasi habitat rawa banjiran sehingga sesuai dengan
persyaratan yang diperlukan oleh populasi ikan.
b. Pengelolaan Populasi Ikan
Perubahan ekosistem sungai menjadi ekosistem rawa banjiran akan
berpengaruh terhadap populasi ikan. Pada awal penggenangan, siklus hidup ikan akan
terganggu. Jenis ikan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan rawa banjiran akan
tumbuh dan berkembang biak serta biasanya merupakan ikan yang mendominasi.
Sebaliknya, jenis ikan yang kurang atau tidak mampu beradaptasi, pada jangka
panjang akan menghilang meskipun mungkin pada tahun pertama penggenangan
jumlahnya melimpah.
c.
Pengelolaan Penangkapan
Pola usaha penangkapan ikan yang dikembangkan di suatu perairan harus
didasarkan pada pengetahuan tentang populasi ikan seperti formasi populasi,
dinamika populasi, kelimpahan stok dan biomass, dan produksi maksimum lestari
yang dapat dicapai. Usaha penangkapan diarahkan pada rasionalisasi pemanfaatan
sumber yang optimal dengan memperhatikan kelestarian sumber. Dengan sasaran itu,
maka pola pembinaan pengelolaan di daerah padat menurut Widana dan
Martosubroto (1986) dilakukan dengan upaya sebagai berikut :
1. pembatasan upaya baik jumlah alat tangkap maupun musim penangkapan.
2. pembatasan ukuran mata jaring atau alat lain
9
3. membangun reservat baru dan meningkatkan fungsi reservat yang sudah ada, serta
perlu adanya pengawasan terhadap kegiatan nelayan yang merugikan fungsi
reservet tersebut dan perlu adanya penyuluhan tentang arti penting suatu reservat.
4. mengadakan penebaran yang harus ditunjang dengan penyediaan benih yang cukup
dengan jalan meningkatkan fungsi BBI lokal.
5.perlu penyuluhan yang intensif kepada masyarakat mengenai pentingnya kelestarian
sumber.
Pengendalian penangkapan ikan antara lain dapat dilakukan dengan cara:
1. Menetapkan daerah dan musim atau bulan larangan penangkapan ikan, yang
bertujuan untuk memberi kesempatan ikan berkembang biak dan bertumbuh.
2. Pengaturan ukuran terkecil yang boleh ditangkap, yaitu dengan penetapan ukuran
terkecil mata jaring insang dan ukuran mata pancing rawai yang boleh dipakai
oleh nelayan.
3. Pengaturan upaya penagkapan, misalnya dengan mengatur jumlah nelayan dan
atau unit alat tangkap.
4. Larangan penggunaan alat tangkap ikan yang dapat membahayakan kelestarian
sumberdaya perikanan, misalnya larangan penggunaan bahan peledak dan bahan
beracun berbahaya (B3), alat tangkap berarus listrik dan pukat harimau.
2.3. Profil Kewilayahan Mandau
Mandau merupakan sebuah kecamatan yang terletak di kabupaten Bengkalis,
dengan Ibukota Duri, luas wilayah 937.47 km2, 9 kelurahan dan 6 desa. Kabupaten
bengkalis awalnya terdiri dari 1 (satu) wilayah pembantu Bupati yang berkedudukan
di Duri dan 8 (delapan) wilayah kecamatan, yaitu : Kecamatan Bengkalis (luas
514,00 km2), kecamatan Mandau (luas 3,440,47 km2) ibukota Duri, Kecamatan
Merbau (luas 1.348,91 km2) ibu kota Teluk Bitung, Kecamatan Tebing Tinggi (luas
1.436,83 km2) dengan ibukota Selat Panjang,
Kemudian berdasarkan data akhir 2002 (sumber : badan pusat Statistik),
Kabupaten Bengkalis mengalami pemekaran wilayah menjadi 11 (sebelas) kecamatan
Gambar 2.1) Kecamatan – kecamatan tersebut (3 kecamatan baru) adalah Kecamatan
10
Rangsang Barat (dengan luas 241,60 km2 dan ibukota Segomeng) merupakan
pemekaran dari Kecamatan Rangsang (luas menjadi 681 km2), Kecamatan Rupat
Utara (ibukota Tanjung Medan dengan luas 628,50 km2) yang merupakan pemekaran
dari Kecamatan Rupat (luas menjadi 896,35 km) dan Kecamatan Tebing Tinggi Barat
(Ibukota Alai dengan luas 586,83 km2) yang merupakan pemekaran dari Kecamatan
Tebing Tinggi (luas menjadi 849,50 km2) serta menjadi 136 desa 24 Kelurahan
(berdasarkan data akhir 2002). Selanjutnya berdasarkan perda yang disyahkan awal
tahun 2003, guna mempercepat proses pembangunan Kabupaten Bengkalis
dimekarkan kembali hingga menjadi 13 kecamatan pinggir (merupakan hasil
pemekaran dari Kecamatan Mandau) dan Kecamatan Siak Kecil (merupakan
pemekaran dari Kecamatan Bukit Batu).
Batas wilayah dari kecamatan Mandau adalah Sebelah Utara Berbatasan
dengan Kecamatan Bukit Batu dan Kodya Dumai, sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Pinggir, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu
dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu dengan Letak wilayah
0°56’12”-1°28’17” Lintang Utara, 100°56’10”-101°43’26” Bujur Timur.
2.4. Asumsi Dampak Degradasi Lingkungan Terhadap Komponen Ikan
a. Jumlah ikan asli dan ikan dengan ciri taxa khusus berkurang
b. Jumlah species yang peka berkurang
c. Persentase specialis trofik dan habitat berkurang
d. Jumlah total individu berkurang
e. Persentase ukuran individu yang besar dan jumlah ukuran kelas berkurang
f. Persentase species dan individu ikan introduksi bertambah
g. Persentase individu yang toleran bertambah
h. Persentase individu dengan keabnormalan morfologi luar bertambah
11
2.5. Parameter Kunci Lingkungan Terdegradasi
Tabel 1. Parameter kunci lingkungan terdegradasi
KIMIA
pH
ANC
Conductivity
SO4
Nitrat
DOC
FISIKA
Habitat structure
Bank stability
Degree channel alteration
Riparian vegetation
Land use
PARAMETER
BIOLOGI
External anomali
LOKASI
REFERENSI
pH
Acid Neutralizing Capacity (ANS)
eq/L
DO (ppm)
Nitrat (mg/L)
Urban land Use
≥6
≥ 50
Forest land Use
Bank stability rating
Remoteness rating
Aesthetic rating
Channel alteration rating
Riparian buffer width (m)
Point Source of discharge
≥ 25% catchment area
≥4
≤ 4.2
≤ 20% catchment area
Optimal/sub optimal
Optimal or sub optimal
No channelization
≥ 15
no
DEGRADASI
≤5
≤0
≤2
≥7
> 50% catchment
area
poor
=0
12
III METODOLOGI
3.1 . Kerangka Pemikiran Dan Alur Pendekatan Pemecahan Masalah
Penelitian
BENCANA ALAM DAN
PROSES ALAMIAH
PEMANFAATAN
MULTI SEKTOR
Pertanian,
Pertambangan,
Pemukiman, Industri,
Perikanan, dll
SUMBERDAYA PERAIRAN
RAWA BANJIRAN GSK
DEGRADASI LINGKUNGAN DAN
SUMBERDAYA HAYATI PERAIRAN
SUNGAI (KRUENG) PEUSANGAN
Sektor Perikanan
PENGELOLAAN TERPADU
WILAYAH/EKOSISTEM, SEKTOR,
DISIPLIN ILMU DAN
STAKEHOLDER
POTENSI DAN PEMANFAATAN
SUMBERDAYA PERIKANAN
PENELITIAN
LINGKUNGAN
PERAIRAN (fisik,
kimia dan
biologi)
KARAKTERISTIK
SUMBERDAYA
IKAN
KAPASITAS
PENANGKAPAN
Gambar 3.1. Kerangka pemikiran dan alur pemecahan masalah penelitian . Alur
Pengelolaan ) (
)
3.2. Waktu dan Lokasi
Kegiatan Penelitian dilakukan tahun 2013 di provinsi Riau
3.3 . Pendekatan dalam Penelitian
Pada tahun ke satu (2013) penelitian yang dilakukan bersifat desk study.
Data yang dikumpulkan mencakup studi pustaka yang berkaitan dengan
komponen penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran.
13
Data dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dari lembaga terkait.
Selain itu, akan dilakukan beberapa kali pertemuan dengan stakeholder seperti
pemanfaat (masyarakat) dan pengelola seperti dinas-dinas pemerintah provinsi
Riau, lembaga perguruan tinggi dan lembaga penelitian kementrian dan non
kementrian yang terlibat dalam naskah keinginan bekerja sama yang telah ditanda
tangani di Pekanbaru pada bulan Nopember 2011.
3.4. Kebutuhan Data
Data sekunder yang dikumpulkan mencakup:
a.
Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa
banjiran GSK
b.
Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c.
Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d.
Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
e.
Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran
GSK
3.5 Faktor Resiko dan Keberhasilan
Faktor keberhasilan yang mendorong pencapaian sasaran adalah telah
adanya keinginan bekerja sama yang dituangkan dalam”Naskah kerjasama
pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK antara lembaga penelitian
departemen dan non departemen, Pemerintah Provinsi Riau dan perguruan tinggi
di Provinsi Riau”. Selain itu beberapa studi pendahuluan mengenai sumberdaya
alam di GSK telah dilakukan
baik dari perguruan tinggi maupun lembaga
penelitian departemen dan non departemen.
3.6 . Komponen Kegiatan
Kegiatan penelitian terdiri atas:
a. Studi pustaka/desk study
b. Diskusi dengan Tim persiapan Penelitian
c. Focus discussion group(FGD) dengan pemanfaat SDI rawa banjiran Giam
Siak Kecil
14
d. Focus group discussion (FGD) dengan pengelola SDI rawa banjiran Giam
Siak Kecil
e. Penyusunan draft komponen pengelolaan terpadu SDI rawa banjiran Giam
Siak Kecil
3.7. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang dibutuhkan diantaranya adalah alat tulis kantor untuk kebutuhan
administrasi penelitian, FGD dan penyusunan draft pngelolaan. Untuk mobilitas
kegiatan FGD alat yang dibutuhkan adalah kendraaan roda empat dan perahu
motor.
3.8. Metode penelitian
3.8.1 . Pengumpulan Data
Pada tahun ke satu (2013) penelitian yang dilakukan bersifat desk study
dan appraisal study melalui diskusi kelompok secara terfokus focus group
discussion/FGD). Data yang dikumpulkan mencakup studi pustaka yang berkaitan
dengan komponen penyusun model pengelolaan
perikanan terpadu di rawa
banjiran. Data dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dari lembaga terkait.
Selain itu, dilakukan beberapa kali pertemuan (FGD) dengan para pemanfaat dan
pengelola SDI rawa banjiran Giam Siak Kecil seperti masyarakat pemanfaat
langsung SDA GSK, dinas-dinas pemerintah provinsi Riau, lembaga perguruan
tinggi dan lembaga penelitian kementrian dan non kementrian yang terlibat dalam
naskah keinginan bekerja sama yang telah ditanda tangani di Pekanbaru pada
bulan Nopember 2011.
Data sekunder yang dikumpulkan mencakup:
a.
Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa
banjiran GSK
b.
Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK
c.
Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK
d.
Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
15
e.
Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran
GSK
Data primer diperoleh melalui survey observasi lapang dan responden
kunci yang diperoleh melalui diskusi kelompok terfokus (FGD). FGD
dilaksanakan secara bertahap, tahap pertama dilakukan dengan para pemanfaat
sumberdaya perairan yang berasal dari empat tasik yaitu tasik Serai, Katialau,
Betung dan Air Hitam. Peserta sebagai responden kunci dan atau narasumber
terdiri atas berbagai pemanfaat, yaitu: nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan,
pengolah ikan, petani dan pekebun.
Tahap kedua dilakukan dengan para
pengambil keputusan dari berbagai Satuan Kerja Pemerintah Daerah (provinsi dan
kabupaten, perguruan tinggi, dan Lembaga Swadaya).
Pada tahap pertama, FGD dilaksanakan di tasik Serai dan Betung berlokasi
di rawa banjiran GSK pada bulan April 2013. Peserta FGD pertama sebanyak 37.
Tahap kedua dilaksanakan di tasik Katialau dan Air Hitam berlokasi di rawa
banjiran GSK pada bulan Oktober 2013 melibatkan peserta sebanyak 64 orang.
Focus group discussion dengan pengelola dilakukan pada bulan Oktober 2013
dengan
peserta sebanyak 41 yang berasal dari Pusat Penelitian Pengelolaan
Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI), Balai Penelitian Perikanan
Perairan Umum, Universitas Riau, Universitas Islam Riau, PT. Sinamas Forestry,
pejabat tingkat kecamatan dan SKPD lingkup provinsi dan kabupaten di Riau
Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD)
dengan presentasi status sumberdaya alam rawa banjiran GSK hasil penelitian
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum pada tahun 2010 dilanjutkan
pengarahan pengisian dan tanya jawab.
3.8.2. Analisis Sampel
3.8.2.1. Analisis Data
Data yang dihasilkan dari kegiatan FGD dari pemanfaat dan pengelola SDI rawa
banjiran Giam Siak Kecil akan dikelompokan berdasarkan :
a. Sumberdaya dan ekologi
b. Sosial ekonomi
c. Aspek Legal dan kelembagaan
d. Masalah dan peluang
16
e. Isu dan peluang pengelolaan yang akan menghasilkan tujuan dan
rencana pengelolaan dan kriteria keberhasilan pengelolaan.
Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisa secara deskripsi. Data disusun
secara tabulasi dan gambar kemudian dianalisa dengan pemberian skor kemudian
dibahas secara deskriftif.
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran Giam
Siak Kecil
4.1.1. Karakteristik dan keragaman habitat ikan
Berdasarkan klasifikasi yang tercantum dalam Artikel 2.1. Konvensi Ramsar tahun
1971, rawa banjiran merupakan ekosistem perairan yang memiliki satu atau lebih tipe
ekosistem lahan rawa. Pada Suaka Margasatwa GSK, rawa banjirannya terdiri atas ekosistem
sungai permanen (permanen river) yaitu Sungai Siak Kecil, rawa lebak (grassland) terdiri
atas swamp, marsh, bog dan danau rawa banjiran (floodplain lake) yang terendam air secara
semi permanen (tasik) tersebar disepanjang Sungai Siak Kecil dari bagian hulu hingga hilir
(Husnah & Prianto, 2011). Tasik tersebut diantaranya adalah Sigalanggang, Baru, Tangkalan
Siam, Tombatusonsang, Katialau, Serai, Betung, Merbalu, Ungus, Besingin dan Air Hitam
(Gambar 4.1.1.1).
Morfologi rawa banjiran (tasik berikut anak sungai) di Suaka Margasatwa GSK
berbeda dengan morfologi sebagian besar rawa banjiran di Sumatera Selatan dan Kalimantan.
Morfologi rawa banjiran di Suaka Margasatwa GSK dicirikan dengan saluran utama Sungai
Siak Kecil yang kedua sisinya langsung ditumbuhi oleh tanaman sempadan (riparian
vegetation) (Gambar 4.1.1.2). Pada kondisi musim air besar (musim hujan), kesemua tasik
tersebut menyatu dengan badan air Sungai Siak Kecil, sedangkan pada musim air kecil
(musim kemarau) khususnya pada musim kemarau yang panjang, hampir sebagian besar tasik
tersebut kering dan perairan yang tersisa di dalam tasik adalah saluran yang menghubungkan
tasik dengan Sungai Siak Kecil (Gambar 4.1.1.3) (Husnah & Prianto, 2011).
Gambar 4.1.1.1 Sungai Siak Kecil dan tasik-tasik di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil,
Provinsi Riau (Husnah & Prianto, 2011).
18
A
C
H
E
G
D
B
J
K
F
L
Keterangan:
A.
Tumbuhan daratan (teresterial);Callophyllum sp, Kompassia sp
B.
Tumbuhan sepadan (Riparian vegetation); Syzygum sp, Fragraea sp
C.
Tumbuhan sepadan (Riparian vegetation), Pandanus sp
D.
Rumput purun (Eleocharis sp)
E.
Savannah floodplain(flooded grassland) area
F.
Canal connected to the main river (Saluran berhubungan dengan badan sungai)
G.
River bank (Sepadan sungai)
H.
Main river (Badan sungai)
J . Highest water level (Muka air tertinggi)
K.
Lowest water level (Muka air terendah)
Gambar 4.1.1.2 Profil rawa banjiran di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Provinsi Riau (Husnah &
Prianto, 2011).
Gambar 4.1.1.3 Kondisi Tasik Betung saat muka air rendah (tahun 2008) dan tinggi (Agustus, 2010)
(Husnah & Prianto, 2011).
19
4.1.2. Topografi dan kondisi tanah
Kondisi topografi di kawasan cagar biosfir GSK-BB tidak berbeda dengan kondisi di
wilayah kabupaten Bengkalis dan kabupaten Siak. Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan
dataran rendah, rata-rata ketinggian antara 1 - 25 meter diatas permukaan laut, sebagian besar
merupakan tanah organosol, yaitu jenis tanah yang banyak mengandung bahan organic
(Pemerintah Kabupaten Bengkalis, 2010).
Bentang alam di Kabupaten Siak sebagian besar terdiri dari dataran rendah di bagian
Timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Pada umumnya struktur tanah terdiri dan
tanah podsolik merah kuning dan batuan, dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus
dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Lahan semacam ini subur untuk pengembangan
pertanian, perkebunan dan perikanan (Pemerintah Kabupaten Siak, 2010).
4.1.3. Kualitas fisiko kimia air dan sedimen
Komplek tasik di cagar biosfir GSK dan BB termasuk dalam kelompok ekosistem
perairan rawa banjiran, oleh karena itu proses siklus
fisika kimia dan biologi sangat
berkaitan erat dengan fluktuasi tinggi muka air yang juga dipengaruhi oleh iklim setempat.
Cagar biosfir GSK-Bukit Batu beriklim tropis dengan suhu udara antara 25°- 32° Celsius,
dengan kelembaban dan curah hujan cukup tinggi. Musim hujan terjadi sekitar bulan
September hingga Januari dan musim kemarau terjadi sekitar bulan Pebruari hingga Agustus
dengan curah hujan rata-rata berkisar antara antara 809-4.078 mm/tahun. Periode kering
(musim kemarau) biasanya terjadi antara bulan Pebruari hingga Agustus (Husnah & Prianto
2011).
Berdasarkan pengukuran tinggi air harian pada akhir bulan Pebruari hingga
pertengahan bulan Nopember (Gambar 4.1.3.1) menunjukkan kondisi tinggi muka air rendah
terjadi pada bulan awal bulan Maret hingga pertengahan bulan Juli, sedangkan kondisi air
tinggi terjadi pada akhir bulan Juli hingga akhir bulan Pebruari. Bila dikaitkan dengan laju
penguapan dan curah hujan harian berdasarkan stasiun pemantauan klimatologi di Pekanbaru
tahun 2010, maka fluktuasi tinggi muka air tersebut khususnya curah hujan kurang berkaitan
erat. Hal ini diperkirakan karena kondisi tataguna lahan yang sangat berbeda dengan tata
guna lahan di kawasan cagar biosfir yang didominasi oleh penutupan lahan hutan industri dan
hutan alam (Husnah & Printo, 2011)..
20
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
1
1
1
1
1
1
1
PebruariMaret
1
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
26
1
Tinggi air (cm)
A
September Oktober November
Waktu (Bulan)
B
70.00
60.00
Penguapan (mm)
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1
1
J anuari
1
Pebruari
1
Maret
1
A pril
1
Mei
1
J uni
1
1
J uli
A gus tus
1
1
S eptember
Oktober
Nov ember
W a ktu pe ng a m a ta n
140.0
C
120.0
Curah hujan (mm)
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
1
1
Januari
1
Pebruari
1
Maret
1
April
1
Mei
1
Juni
1
Juli
1
Agustus
1
September
1
Oktober
November
Waktu (tanggal/bulan)
Gambar 4.1.3.1 Tinggi muka air di Tasik Cagar Biosfir GSK (A) penguapan (B) dan curah
hujan (C) di stasiun klimatologi Pekanbaru tahun 2010 (Husnah & Prianto,
2011)
Fluktuasi tinggi muka air musim air rendah dan tinggi pada tasik di cagar biosfir GSK
berikut dengan Sungai Siak Kecil relative lebih rendah (lebih kurang 1.5 m) dibandingkan
dengan fluktuasi tinggi muka air pada beberapa danau atau tasik di rawa banjiran di Sumatra
Selatan ataupun di Kalimantan yang lebih dari 2 m (Husnah & Prianto, 2011).
21
Water level (m)
Feb
May
August
Nov
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
1
2
3
Serai
4
5
6
Katialau
7
8
9
Betung
10
11
12
Air Hitam
13
14
15
Siak Siak
kecil kecil
Sampling Site
Gambar 4.1.3.2 Tinggi muka air (water level) pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak
Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan
November 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
Relatif rendahnya fluktuasi tinggi muka air pada kedua musim di cagar biosfir GSK berkaitan
erat pasokan air yang relative kurang karena sumber air di Tasik Cagar biosfir GSK sebagian
besar dari Sungai Siak Kecil dengan debit air yang relative lebih rendah bila dibandingkan
dengan sumber air rawa banjiran di Sumatra Selatan dan Kalimantan yang berasal dari sungai
besar dengan debit air relative lebih tinggi. Dari kedua sisi sungai terbentuk bagian yang
agak dalam (tasik) yang bagian tepinya ditumbuhi tanaman kelompok pancang, tiang dan
semai dengan diameter batang masing-masing berukuran 10-20 cm, 5-10 cm, dan kurang dari
5 cm (Husnah & Prianto, 2011) .
Fluktuasi suhu air pada komplek tasik Giam Siak Kecil yang mencakup Tasik Serai,
Katialau, Betung, dan Air Hitam, serta pada dua stasiun di badan utama Sungai Siak Kecil
(hulu dan hilir) berkaitan erat dengan fluktuasi suhu udara dan ketinggian muka air (Gambar
4.1.3.2 dan 4.1.3.3). Fluktuasi suhu udara dan air pada komplek tasik Giam Siak Kecil pada
musim hujan dan kering mencapai 4 oC. Suhu air di badan utama Sungai Siak Kecil relatif
lebih rendah dibandingkan dengan keempat tasik tersebut. Hal ini berkaitan dengan
kedalaman air yang relatif lebih tinggi dan adanya aliran alir di badan utama Sungai Siak
Kecil (Husnah & Prianto, 2011)..
22
Water Temperature (oC)
Feb
May
August
Nov
38
36
34
32
30
28
26
24
22
20
1
2
3
4
5
Serai
6
7
8
Katialau
9
10
Betung
11
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
kecil hilir
Sampling Site
Air Temperature (oC)
Feb
May
August
Nov
38
36
34
32
30
28
26
24
22
20
1
2
3
Serai
4
5
6
7
Katialau
8
9
10
Betung
11
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
kecil hilir
Sampling Site
Gambar 4.1.3.3. Suhu udara dan air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan
Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010
(Husnah & Prianto, 2011).
Keasaman sedimen dan air pada komplek tasik Giam Siak Kecil (Tasik Serai,
Katialau, Betung dan Air Hitam) serta pada dua stasiun pengamatan di badan utama Sungai
Siak Kecil tergolong tinggi dengan nilai aktivitas ion hidrogen (pH) pada sedimen dan air
pada kisaran 3.5-5.0 dan 3.5-4.0 (Gambar 4.1.3.4 dan 4.1.3.5). Dari keempat tasik yang
diamati, nilai pH pada Tasik Serai relatif lebih rendah daripada ketiga tasik lainnya begitupun
dengan badan air Sungai Siak Kecil. Rendahnya nilai pH pada perairan rawa banjiran
tersebut berkaitan dengan jenis tanah yang mendominasi di lahan tersebut yaitu tanah gambut
(Husnah & Prianto, 2011).
23
pH Sediment
Feb May August
5.50
5.00
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1
2
3
4
5
Serai
6
7
8
Katialau
9
10
11
Betung
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
hulu hilir
Sampling site
Gambar 4.1.3.4 Nilai pH sedimen pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan
Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, dan Agustus 2010 (Husnah &
Prianto, 2011).
Water pH
Feb May August Nov
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1
2
3
4
Serai
5
6
Katialau
7
8
9
Betung
10
11
12
Air Hitam
13
14
15
Siak Siak
Sampling Site
Gambar 4.1.3.5 Nilai pH air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai
Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010
(Husnah & Prianto, 2011).
Bila dikaitkan dengan kandungan keasaman total dan mineralnya (Gambar 4.1.3.6),
dimana kandungan asam mineral dan keasaman total pada stasiun di Tasik Serai lebih rendah
daripada stasiun lainnya, maka sumber keasaman di Tasik Serai disebabkan oleh asam-asam
gambut sedangkan pada stasiun lainnya sumber keasaman disebabkan oleh asam-asam
mineral (Husnah & Prianto, 2011)..
24
Kondisi terlihat dengan jelas pada bulan basah yaitu pada bulan Agustus dan November
terjadi peningkatan kandungan asam mineral yang berasal dari limpasan pada stasiun Tasik
Katialau, Betung, Air Hitam dan badan utama Sungai Siak.
Mineral acidity (mg/L)
Feb May August Nov
50
40
30
20
10
0
1
2
3
4
5
Serai
6
7
8
Katialau
9
10
11
Betung
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
Sampling Site
Total Acidity (mg/L)
Feb
May August Nov
50
40
30
20
10
0
1
2
3
Serai
4
5
6
Katialau
7
8
9
Betung
10
11
12
Air Hitam
13
14
15
Siak Siak
Sampilng Site
Gambar 4.1.3.6 Nilai keasaman mineral (a) dan keasaman total (b) pada stasiun pengamatan
di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei,
Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
Kandungan bahan organik di komplek tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil
cenderung meningkat dengan menurunnya tinggi muka air pada bulan Mei khususnya di
Tasik Katialau dan Tasik Betung (Gambar 4.1.3.7). Peningkatan kandungan bahan organik
tersebut berkaitan dengan konsentrasi bahan tersebut, berkaitan dengan akibat sinergi dari
berkurangnya volume air dan penambahan bahan organik pengaruh aktivitas dari pemukiman
masyarakat (Husnah & Prianto, 2011).
25
Organic matter (mg C/L)
Feb
May
August
Nov
18.00
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
1
2
3
4
5
Serai
6
7
8
Katialau
9
10
11
Betung
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
hulu hilir
Sampling Site
Dissolved organic carbon/DOC (mg/l)
7
30
6
25
5
20
4
15
3
10
2
5
1
0
DOC
TOC
Total organic carbon/TOC (mg/l)
35
0
1
2
Serai
3
4
5
Katialau
6
7
8
Betung
9
10
11
12
Air Hitam
13
14
Siak Siak
kecil Kecil
hulu Hilir
Sampling site
Gambar 4.1.3.7. Bahan organik (A) total organik karbon (TOC) dan organik karbon terlarut
(DOC) pada bulan Agustus (B) pada Komplek Tasik Giam Siak Kecil dan
Sungai Siak Kecil di Riau pada tahun 2010.
Pada Gambar 4.1.3.7 terlihat juga bahwa kandungan bahan organik cenderung lebih
tinggi pada stasiun di bagian hilir seperti di Tasik Katialau, Betung, Air Hitam dan Sungai
Siak Kecil bagian hilir daripada Tasik Serai dan Siak Kecil Bagian hulu. Tasik Serai
merupakan tasik yang paling hulu dibandingkan dengan ketiga tasik lainnya. Relatif lebih
tingginya bahan organik pada bagian hilir berkaitan pasokan bahan organik berasal dari
berbagai aktivitas dan lingkungan yang lebih banyak dibandingkan di bagian hulu yang
merupakan kawasan konservasi. Fenomena tersebut didukung oleh data TOC dan DOC yang
lebih tinggi pada bagian hilir mulai dari Tasik Betung, Tasik Air Hitam hingga Siak Kecil
Bagian hilir dibandingkan dengan Tasik Serai, Tasik Katialau, dan Siak Kecil bagian hulu
(Gambar 4.1.3.7). Bila dikaitkan antara nilai TOC dan DOC, maka nilai DOC hanya 25%
daripada nilai TOC. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar bahan organik yang ada
dalam perairan dalam bentuk partikel (particulate) lebih besar dari 0.45 mikron yang
merupakan sisa dekomposisi bahan-bahan organik yang merupakan karakteristik dari lahan
gambut. Karakteristik lahan gambut terlihat juga dari nilai TOC yang lebih dari 10 mg/l.
26
Fluktuasi tinggi muka air di rawa banjiran akan berkaitan erat dengan proses
dekomposisi bahan organik dan kandungan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut pada
akhir dari air besar (bulan Februari) lebih rendah dibandingkan dengan waktu pengamatan
lainnya (Mei, Agustus, dan November) (Gambar 4.1.3.8). Hal ini berkaitan dengan puncak
dari dekomposisi tumbuhan yang mati akibat tergenang air dan proses oksidasi senyawasenyawa tereduksi. Tingginya proses oksidasi senyawa tereduksi didukung oleh tingginya
kandungan oksigen yang dibutukan untuk proses proses kimia (chemical oxygen
demand/COD) (Gambar 4.1.3.9). Tingginya Selain itu, kandungan bahan organik terlarut
pada tasik (Serai, Katialau, Betung, dan Air Hitam) yang dicirikan dengan perairan yang
tergenang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan mengalir (Sungai Siak Kecil bagian
Dissolved Oxygen (mg/L)
hulu dan hilir).
Feb
May
August
Nov
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
1
2
3
Serai
4
5
6
7
Katialau
8
9
Betung
10
11
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
hulu hilir
Sampling Site
Gambar 4.1.3.8 Kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen) pada tasik Giam Siak Kecil
dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010.
Relatif lebih besarnya kandungan oksigen terlarut pada perairan tergenang adalah
kontribusi fotosintesa dari tumbuhan air dan dangkalnya perairan pada perairan tasik.
Kontribusi rendahnya tinggi muka air terhadap oksigen terlarut terlihat secara nyata pada
Tasik Serai yang relatif lebih dangkal dibandingkan tasik lainnya.
Peningkatan proses dekomposisi dicirikan oleh peningkatan konsusumsi oksigen
terlarut oleh dekomposer dan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan. Berdasarkan
pengukuran jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk proses dekomposisi mikroba
selama 5 hari (biological oxygen demand/BOD5 day) menunjukkan peningkatan pada saat
tinggi muka air rendah (bulan Mei) dan bukan pada bulan Februari. Tingginya BOD pada
27
bulan Mei tersebut berkaitan dengan terjadi konsentrasi mikroba akibat berkurangnya volume
air (Gambar 4.1.3.9).
Feb
May
August
Nov
BOD 5 day (mg DO/L)
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
-1.00
1
2
3
4
5
Serai
-2.00
6
7
8
Katialau
9
10
11
Betung
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
hulu hilir
Sampling Site
COD (mg DO/L)
Feb
May
August
Nov
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1
2
3
Serai
4
5
6
7
Katialau
8
9
Betung
10
11
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
hulu hilir
Sampling Site
Gambar 4.1.3.9 Kandungan konsumsi oksigen biota (BOD 5 day) dan konsumsi oksigen
proses kimia (COD) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil,
Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah & Prianto,
2011).
28
Total Dissolved Sollids
(mg/L)
Feb
May
August
Nov
160
140
120
100
80
60
40
20
0
1
2
3
4
5
Serai
6
7
8
Katialau
9
10
11
Betung
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
hulu hilir
Sampling Site
Conductivity (US)
Feb
May
August
Nov
300
250
200
150
100
50
0
1
2
3
Serai
4
5
6
7
Katialau
8
9
Betung
10
11
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
hulu hilir
Sampling Site
Gambar 4.1.3.10.
Kandungan jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik
(conductivity) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau
pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah & Prianto, 2011).
Relatif lebih tingginya keasaman mineral pada seluruh stasiun kecuali di Tasik Serai
berkaitan dengan jumlah ion-ion dalam air yang diindikasikan dengan tingginya kandungan
jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik (Conductivity) (Gambar 4.1.3.10).
Diperkirakan ion-ion tersebut berkaitan dengan sulfat yang merupakan hasil oksidasi tanah
mineral.
Senyawa fenol merupakan salah satu produk hasil dekomposisi, oleh karena
kandungan senyawa fenol erat kaitannya dengan kandungan bahan organik di suatu perairan.
Fenomena tersebut juga terjadi pada perairan rawa banjiran Giam Siak Kecil dimana
kandungan fenol yang tinggi di Tasik Katialau dan Air Hitam (Gambar 4.1.3.11) berkaitan
erat dengan kandungan bahan organiknya (Husnah & Prianto, 2011).
29
Phenol (mg/kg)
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
Serai
5
6
7
8
Katialau
9
10
Betung
11
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
kecil kecil
Sampling site
Gambar 4.1.3.11. Kandungan fenol pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau
pada bulan Agustus 2010.
Seperti halnya dengan di kolom air, kandungan bahan organik pada sedimen di Tasik
Serai, Katialau, Betung dan Air hitam ataupun Sungai Siak Kecil relatif tinggi dengan
kandungan lebih dari 5% (Gambar 4.1.3.12). Tingginya kandungan bahan organik ini
tercermin juga dari tekstur sedimen yang didominasi oleh partikel debu dan pasir baik pada
Tasik ataupun Sungai Siak Kecil dengan persentase kandungan pasir, debu dan liat di Tasik
Betung, Air Hitam dan Sungai Siak Kecil masing-masing adalah 47.02, 45.38, 7.6%; 41.10,
51.37, 7.53%; dan 51.60, 40.84, 7.56% (Husnah & Prianto, 2011).
Pengukuran terhadap logam berat Timah Hitam (Lead/Pb) dan Cadmium (Cd)di
sedimen pada bulan Pebruari dan Juni menunjukkan kandungan kedua logam tersebut pada
sebagian besar stasiun di Giam Siak Kecil dan badan utama Sungai Siak Kecil telah melebihi
Organic matter (%)
baku mutu yang diizinkan yaitu lebih dari 0.6 mg/Kg (Gambar 4.1.3.13).
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1
2
3
Serai
4
5
6
7
Katialau
8
9
10
Betung
11
12
13
Air Hitam
14
15
Siak Siak
kecil kecil
Sampling site
Gambar 4.1.3.12 . Kandungan bahan organik pada sedimen di tasik Giam Siak Kecil dan
Sungai Siak Kecil (Husnah & Prianto, 2011).
30
Pebruari
Mei
Lead (mg/Kg)
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
1
2
3
Serai
4
5
6
7
Katialau
8
9
10
Betung
11
12
13
Air Hitam
14
15
siak siak
kecilkecil
Sampling Site
Gambar 4.1.3.13. Kandungan logam berat Timah Hitam (Pb) pada sedimen di tasik Giam
Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari dan Mei.
Sebaliknya, kecuali pada Tasik Betung pada bulan Pebruari dan Tasik Serai pada bulan Mei,
kandungan logam Cadmiun pada sebagian besar stasiun pengamatan pada konsentrasi <0,005
mg/Kg. Tingginya kandungan Timah Hitam diperkirakan berkaitan dengan pasokan dari
kegiatan industri perminyakan disekitar Tasik Giam Siak Kecil.
Kemampuan suatu perairan untuk menghasilkan atau memproduksi karbon persatuan
luasan dan waktu merupakan indikator dari tingkat kesuburannnya. Pada perairan rawa
banjiran, produktivitas perairan sebagian besar berasal dari luar perairan atau disebut dengan
allochtonous yang berasal dari . dekomposisi daun atau bagian dari tumbuhan sepadan
(riparian vegetation) akan menentukan produktivitas perairan. Laju produksi guguran dari
tumbuhan sepadan jenis Samak bervariasi antara perairan tasik dan Sungai Siak Kecil dan
berada pada kisaran 2,92-3,91 ton karbon (C)/ha/th (Gambar 4.1.3.14). Laju produksi karbon
di rawa banjiran Giam Siak Kecil relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju produksi
serasah pohon bakau di Muara Sunga Musi
yang berada pada kisaran 10-20 ton/ha/th
(Husnah et al, 2009). Rendahnya laju produksi karbon di Giam Siak Kecil berkaitan dengan
lamanya tenggang waktu antara waktu penempatan dan waktu pengumpulan serasah yang
mencapai 90 hari, sehingga sebagian dari guguran bagian dari tumbuhan sepadan tersebut
telah mengalami proses dekomposisi. Dari bagian-bagian tumbuhan sepadan yang jatuh ke
dalam litter trap, komposisi yang tertinggi berasal dari daun dengan persentase pada kisaran
50-80%. Hal yang sama juga ditemukan pada komposisi serasah pohon bakau di Muara
Sungai Musi (Husnah & Prianto, 2011).
31
P (kg/ha.year)
N (kg/ha/year)
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
100
80
60
N
C and P
C (tonne/ha/year)
40
20
0
Betung
Air Hitam
Sungai SiakKecil
Sampling Site
Percentage (%)
Daun
Ranting
Buah
Kelopak
Hancuran
Kulit kayu
Campuran(biji)
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Betung
Air hitam
Sungai Siak Kecil
Sampling Site
Gambar 4.1.3.14. Laju produksi karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) dari tumbuhan
sepadan di di komplek danau rawa banjiran Giam Siak Kecil Provinsi
Riau , 2010
4.1.4. Keragaman jenis ikan
Ikan
dapat digunakan sebagai indikator dari perubahan lingkungan perairan.
Berdasarkan hasil tangkapan nelayan, jumlah jenis ikan yang ditemukan selama riset
berlangsung dari 14 stasiun ditemukan sebanyak 37 jenis yang berasal dari 12 familia (Tabel
4.1.2), dengan hasil tangkapan tertinggi pada bulan November di stasiun Air hitam. Dari 12
familia tersebut kelimpahan relatif didominasi oleh familia Siluridae dari spesies Wallago
leerii (Husnah, et. al, 2010). Rendahnya keanekaragaman jenis dan hasil tangkapan di Giam
Siak Kecil tersebut kemungkinan disebabkan oleh kondisi ekosistem hutan rawa di daerah
aliran Sungai Siak sudah banyak mengalami kerusakan, lokasi yang sempit dan juga faktor
karakteristik dari lokasi itu sendiri yang merupakan rawa banjiran sehingga pengaruh
ketinggian air memegang peranan yang sangat penting, Menurut Kottelat et al, (1996)
semakin panjang dan lebar ukuran suatu perairan semakin banyak pula jumlah jenis ikan
yang menempatinya. Adanya hubungan positif antara kekayaan jenis dengan suatu area yang
32
ditempati tergantung pada dua faktor. Pertama, peningkatan jumlah mikro habitat akan dapat
meningkatkan keragaman. Kedua, area yang lebih luas sering memiliki variasi habitat yang
lebih besar dibanding dengan area yang lebih sempit (Wooton, 1991). Keasaman yang tinggi
dan sumber karbon yang dominan berasal dari serasah di Giam Siak Kecil menyebabkan
hanya ikan jenis rawa (black fish) dan jenis ikan dengan rantai makanan detritus feeder dan
predator yang mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut (Marini et al., 2011)
Tabel 4.1.4.1. Jenis-jenis ikan di sekitar Giam Siak Kecil Provinsi Mandau
No
Familia
Nama Ikan
Nama Latin
Valid Name
1
Ambassidae
Fatimah/
Sepengkah
Parambassis
apogonoides
2
Ambassidae
Sepengkah kepala
pendek
Parambassis
macrolepis
3
Anabantiidae
Betok
Anabas testudineus
Anabas testudineus
4
Bagridae
Baung
Hemibagrus nemurus
Hemibagrus nemurus
5
Bagridae
Baung layar/Baung
pisang
Bagrichthys
macracanthus
Bagrichthys macracanthus
6
Bagridae
Gelang/Riu
Pseudeutropius
bracypopterus
Pseudeutropius
brachypopterus
7
Bagridae
Sengetai
Mystus bimaculatus
Mystus bimaculatus
8
Bagridae
Leiocassis leiacanthus
Leiocassis leiacanthus
9
Belonidae
Selincah
Belontia hasseltii
Belontia hasselti
10
Channidae
Bujuk/ Lumpung
Channa lucius
Channa lucius
11
Channidae
Gabus
Channa striata
Channa striata
12
Channidae
Siandang/
Serandang
Channa pleuropthalmus
Channa pleurophthalma
13
Channidae
Toman
Channa melastoma
Channa melasoma
14
Clariidae
Koli/Lele
Clarias nieuhofi
Clarias nieuhofii
15
Clariidae
Sembilang/ seperti
lele
Encheloclaris
tapeinopterus
Encheloclarias
tapeinopterus
Parambassis apogonoides
33
Lanjutan Tabel 4.1.4.1
No
Familia
Nama Ikan
Nama Latin
Valid Name
16
Cyprinidae
Mengkaek/
Semburingan
Puntius lineatus
Puntius lineatus
17
Cyprinidae
Pantau merah
Rasbora cephalotaenia
Rasbora cephalotaenia
18
Cyprinidae
Paweh/Paud
Osteochilus spilurus
Osteochilus spilurus
19
Cyprinidae
Pimping/ Siamias
Parachela oxygastroides
Parachela oxygastroides
20
Cyprinidae
Situmbuk
Luciocephalus pulcher
Luciocephalus pulcher
21
Cyprinidae
Sosau
Pectenocypris korthausae
Pectenocypris korthausae
22
Cyprinidae
Kalabau
Osteochilus
melanopleurus
Osteochilus melanopleurus
23
Helostomatidae
Tembakang
Helostoma temmenckii
Helostoma temminkii
24
Luciocephalinae/Osphro
nemidae
Sepat mata merah
Trichogaster trichopterus
Trichogaster trichopterus
25
Luciocephalinae/Osphro
nemidae
Sepat permato
Trichogaster leerii
Trichogaster leerii
26
Nandinae/ Nandidae
tengkorak labu
Nandus nebulosis
Nandus nebulosus
27
Pangasidae
Juaro
Pangasius polyuranodon
Pangasius polyuranodon
28
Pristolepidinae/Nandida
e
Sepatung
Pristolepis fasciata
Pristolepis fasciata
29
Siluridae
Balik tulang
Kryptopterus micronema
Phalacronotus micronemus
30
Siluridae
Lais
Kryptopterus lais
Kryptopterus lais
31
Siluridae
Lais
Silurodes hypopthalmus
Ompok hypophthalmus
32
Siluridae
Lais
Kryptopterus limpok
Kryptopterus limpok
33
Siluridae
Lais janggut/selais
koteh
Ompok eugeneiatus
Ompok eugeneiatus
34
Siluridae
Lais modang/Tapa
wallago leerii
Wallago leerii
35
Siluridae
Lais muncung
Kryptopterus apogon
Phalacronotus apogon
36
Siluridae
Lilo/Ilo-ilo
Silurichthys hasselti
Silurichthys hasseltii
37
Siluridae
Tapa payu
Silurichthys phaiosoma
Silurichthys phaiosoma
Jenis ikan tercatat dalam contoh koleksi nelayan namun tidak tertangkap pada saat survey (huruf bewarna merah)
Sumber: Husnah et el. (2010)
34
Dari 37 jenis ikan yang dikoleksi nelayan harian, hanya 30 jenis ditemukan pada saat
survey lapangan (Tabel 4.1.4.2). Keragaman jenis ikan bervariasi dan dipengaruhi oleh
lokasi, tinggi muka air, dan jenis alat tangkap yang digunakan (Tabel 4.1.4.2-4.1.4.4). Pada
saat air turun, jenis ikan yang ditemukan pada tasik dibandingkan dengan jenis ikan total
pada kisaran 37-60%, pada saat air kecil (stabil) pada kisaran 7-57%, dan pada saat air naik
(puncak) pada kisaran 10-50%. Relatif lebih banyaknya ikan tertangkap pada saat air kecil
berkaitan dengan berkurangnya luasan habitat perairan sehingga peluang tertangkap berbagai
jenis ikan semakin besar dibandingkan pada saat air besar. Keragaman jenis ikan di tasik
Betung dan Air Hitam relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tasik lainnya. Hal ini
berkaitan dengan jenis dan jumlah alat tangkap yang digunakan. Pada kedua tasik tersebut
alat yang digunakan adalah berbagai ukuran lukah dan jaring insang baik pada saat air kecil
maupun air naik (Tabel 4.1.4.4). Persentasi jenis ikan yang tertangkap dengan alat lukah di ke
empat tasik pada kisaran 36.67-73.33% dan alat tangkap jaring pada kisaran 23.33-36.67%.
Dibandingkan dengan ekosistem tasik, jenis ikan yang tertangkap dengan di badan sungai
Siak Kecil lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan kurang bervariasi mikrohabitat dan
keragaman jenis alat tangkap yang digunakan di badan sungai.
Lingkungan perairan yang sehat diindikasikan dengan keberadaan top predator. Pada
perairan laut top predator diantaranya adalah ikan hiu (Griffin et al., 2008) sedangkan pada
perairan umum daratan ikan top predator diantaranya adalah toman (Wikipedia, 2013) dan
ikan tapah (Wallago leeri). Kedua jenis ikan tersebut tergolong ikan yang dominan
tertangkap oleh nelayan di tasik maupun sungai Siak Kecik khususnya pada saat air turun dan
air rendah (Tabel 4.1.4.3). Komposisi ikan toman dan ikan tapah dalam tangkapan nelayan
berada pada kisaran 26-50% dan lebih dari 50%. Hasil FGD dengan para pemanfaat juga
menunjukkan bahwa 100% responden di Tasik Serai, Katialau dan Air hitam menjawab
bahwa ikan toman, ikan tapah dan ikan ekonomis lainnya seperti ikan baung, bujuk, selais
dan serandang (Tabel 4.1.4.4) adalah ikan yang masih banyak ditemukan. Namun demikian,
ikan toman dan tapah tergolong adalah ikan yang sedang mendapat tekanan penangkapan.
Hal ini terlihat dari jawaban lebih dari 60% pemanfaat yang menjawab bahwa kedua jenis
ikan ini telah mengalami penurunan ukuran (Tabel 4.1.4.5).
35
Tabel 4.1.4.2. Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem dan dinamika fluktuasi air dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010.
Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah
No
Nama lokal
Nama latin
Tasik
Air turun
FebMaret
Air
hitam
x
Sungai
Air kecil (stabil)
Air naik (Puncak)
April-Juni
Serai
Katialau
Betung
Air hitam
Siak kecil
Betung
Air hitam
x
x
xx
x
x
x
xx
x
x
xx
Air hitam
x
Serai
Baung
Hemibagrus nemurus
2
Baung layar
3
Bujuk/Lumpung
Bagrichthys
macracanthus
Channa lucius
xxx
x
xx
4
Gabus
Channa striata
5
gelang/Riu
6
Patin
Psedeutropius
bracypopterus
Pangasius sp
7
koli/lele
Clarias nieuhofi
8
Lilo
Silurichthys hasseltii
x
9
Mengkaek
Puntius lineatus
x
10
pantau
Rasbora cephalotaenia
x
11
paud-paud
Osteochilus spilurus
12
Permato
Trygoster leerii
13
Pimping
Parachila oxygastroides
14
Selais balik tulang
Kryptopterus micronema
15
Selais botul/
lais muncung
Lais sungut
(janggut)
Kryptopterus apogon
x
Ompok eugeneiatus
x
x
x
Katialau
Air
Turun
SeptNop
Betung
Juli-Agustus
1
16
Tasik
x
x
xx
x
x
x
x
x
x
xx
x
x
x
x
x
x
x
x
x
xx
x
x
x
x
xx
x
x
x
x
36
Lanjutan Tabel 4.1.4.2
No
Nama lokal
Nama latin
Tasik
Air turun
17
FebMaret
Air
hitam
xx
Sungai
Air kecil (stabil)
Air naik (Puncak)
April-Juni
Serai
Katialau
Betung
Air hitam
Air
Turun
SeptNop
Betung
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Juli-Agustus
Katialau
Betung
Air hitam
x
Kryptopterus limpok
18
Selais modang/
lais tapa
Selais sp
Kryptopterus lais
x
x
x
19
Selincah/kepar
Belontia hasseltii
x
x
x
20
Semburingan
Puntius lineatus
x
21
Sepat
Trygoster trychopterus
22
Sepatung/batung
Pristolepis fasciata
23
Sepengkah
Parambassis apogonoides
24
Serandang
Channa pleuropthalmus
25
Singetai
Mystus bimaculatus
26
Sosau
Pectenocypris korthausae
27
Tapa Payu
Silurichthys phaiosoma
28
tapah
Wallago leeriii
x
x
xx
29
Tembkang
Helostoma temminckii
x
x
x
x
30
Toman
Channa melastoma
x
x
x
x
0,40
0,57
0,27
Kelimpahan relatif
Tasik
Siak kecil
Serai
x
x
x
x
x
x
xxx
x
x
x
x
x
x
x
x
Air hitam
x
x
x
x
x
x
x
x
x
xx
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
0,40
0,50
0,47
0,60
0,50
x
x
x
0,37
0,07
xxx
0,07
x
0,10
37
Tabel 4.1.4.3. Keragaman
jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem, dinamika fluktuasi air dan alat tangkap dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada
tahun 2010. Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah
No
Nama lokal
Nama latin
Tasik
Sungai siak kecil
Tasik
Air turun
Air Kecil
Air naik
Feb-Maret
April-Juni
Juli-Agustus
Lukah
Luka
h
xx
Pancing
Jaring
Tajur
Lukah
Lukah
1
Baung
Hemibagrus nemurus
2
Baung layar
3
Bujuk/Lumpung
Bagrichthys
macracanthus
Channa lucius
4
Gabus
Channa striata
5
Gelang/Riu
6
Patin
Psedeutropius
bracypopterus
Pangasius sp
7
Koli/lele
Clarias nieuhofi
8
Lilo
Silurichthys hasseltii
x
9
Mengkaek
Puntius lineatus
x
10
Pantau
Rasbora cephalotaenia
x
11
Paud-paud
Osteochilus spilurus
12
Permato
Trychoter leerii
13
Pimping
Parachila oxygastroides
14
Selais balik tulang
Kryptopterus micronema
15
Selais botul/lais muncung
Kryptopterus apogon
x
x
16
Lais sungut (janggut)
Ompok eugeneiatus
x
x
17
Selais modang/ lais tapa
Kryptopterus limpok
xx
18
Selais sp
Kryptopterus lais
x
x
19
Selincah/kepar/sekopa
Belontia hasseltii
x
x
20
Semburingan
Puntius lineatus
x
21
Sepat
Trygoster trychopterus
x
x
xxx
x-xx
x-xx
x
x
x
x
Air turun
Jaring
Sept-Nop
Pancing
Tajur
xx
Jal
a
Lukah
Jaring
x
xx
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
xx
x
x
x
x
x-xx
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
38
x
Lanjutan Tabel 4.1.4.3
No
Nama lokal
Nama latin
Tasik
Sungai siak kecil
Air turun
Air Kecil
Feb-Maret
Lukah
22
Sepatung/batung
Pristolepis fasciata
23
Sepengkah
Parambassis apogonoides
24
Serandang/siandang
Channa pleuropthalmus
25
Singetai
Mystus bimaculatus
26
Sosau
Pectenocypris korthausae
27
Tapa Payu
Silurichthys phaiosoma
28
Tapah
Wallago leeriii
29
Tembakang/tuakang
Helostoma temminckii
30
Toman
Channa melastoma
jenis ikan
x
Air naik
April-Juni
Lukah
Pancing
Jaring
x
x
x
x
Tasik
Air turun
Juli-Agustus
Tajur
Lukah
Sept-Nop
Lukah
Jaring
Pancing
x
x
x
xxx
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x-xx
x
x
x
x
x
Tajur
Jala
Lukah
Jaring
xxx
x-xxx
x
x
x
x
xxx
xxx
x
xx
x
x-xx
x
x
xx
xxx
x
x
Jumlah
11
18
3
8
1
2
19
11
3
3
1
22
7
% dari total jenis
36,67
60,00
10,00
26,67
3,33
6,67
63,33
36,67
10,00
10,00
3,33
73,33
23,33
Kelimpahan jenis ikan (x)
x:
Jenis ikan < 25% dari total hasil tangkapan
xx:
Jenis ikan 26-50% dari total hasil tangkapan
xxx:
Jenis ikan >50% dari total hasil tangkapan
39
Tabel. 4.1.4.4. Jenis ikan tertangkap nelayan di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Data FGD
2013 diolah)
No
N
Nama lokal
Papaud
Baung
3
Baung
Pisang
Betok
Ilo-ilo
koli/lele
7
8
Nama ilmiah
Serai
1
2
4
5
6
Nama Umum
Lumpung/
Bujuk
Mengkaek
9
10
Pantau
Patung
11
12
Gelang/Riu
Sekopah
13
Selais
14
Sengitai
15
16
Sepat
Sepengkah
17
18
Siamis/Pimp
ing
Siandang
19
20
21
22
Sosau
Tapa
Toman
Tuakang
23
24
25
Belida
Sengarat
Jalay
26
Kayangan
27
Kasung
Katialau
Tasik
Betung
Air Hitam
Bantak Batu
Baung (Asian redtail
catfish)
False balack lancer
Osteochilus spilurus
Hemibagrus nemurus
82
100
39
100
40
80
67
100
Bagrichthys macropterus
82
100
70
100
Betok (Climbing Perch)
Hasselt's leaf ctfish
Lindi (Slender walking
catfish)
Runtuk
Anabas testudienus
Silurichthys hasseltii
Clarias nieuhofi
73
55
82
50
72
94
60
60
60
58
67
100
Chana lucius
100
100
70
100
Engkarit (lined/striped
barb)
Seluang
Empatung (Mlayan
leaffish)
Nuayang Tebal
Ketoprak (Malay
comtail)
Puntius lineatus
91
100
60
92
Rasbora cephalotaenia
Pristolepis fasciata
82
73
100
94
70
60
100
92
Psedeutropius bracypopterus
Belontia hasselti
82
82
72
100
40
50
58
100
Kryptopterus sp (K. Micronema,
K. apogon, K limpok, K. Lais);
Ompok eugeneiatus)
Mystus bimaculatus
100
100
80
100
82
83
50
25
Trichopodus trichopterus
Parambassis apogonoides
91
100
100
100
60
60
100
100
Prachela oxygastroides
91
94
70
100
Channa pleuropthalmus
100
100
70
100
Pectenocypris korthausae
Wallago leerii
Channa melastoma
Helostoma temminckii
73
100
100
100
94
100
100
100
60
70
70
80
100
100
100
92
Three spot gourami
Gaba-gaba/Senara
(Iridescent glassy
perchlet)
Kelampak/kelampok
(galss fish/glass barb)
Selendang mayang
(Ocellated snakehead)
Tapah
Black snakehead
Tambakan/Biawan
(Kissing gourami)
clown knifefish
Chitala chitala
Channa maruliodes
Arwana (Asian
bonytounge
Sclepages formosus
40
Tabel. 4.1.4.5. Jenis ikan yang mengalami penurunan jumlah di rawa banjiran GSK tahun
2013 (Data FGD 2013 diolah)
No
Jenis ikan
Nama lokal
Nama Umum
Nama ilmiah
Serai
Katialau
Betung
Air Hitam
1
Papaud
Bantak Batu
Osteochilus spilurus
36
6
10
33
2
Baung
Hemibagrus nemurus
36
56
20
58
3
Baung Pisang
Baung (Asian
redtail catfish)
False balack lancer
Bagrichthys macropterus
36
61
30
58
4
Betok
Anabas testudienus
45
39
20
50
5
Ilo-ilo
Silurichthys hasseltii
36
50
20
50
6
koli/lele
Clarias nieuhofi
45
50
20
58
7
Chana lucius
36
33
20
58
8
Lumpung/Buju
k
Mengkaek
Betok (Climbing
Perch)
Hasselt's leaf
ctfish
Lindi (Slender
walking catfish)
Runtuk
Puntius lineatus
45
28
20
58
9
Pantau
Engkarit
(lined/striped
barb)
Seluang
Rasbora cephalotaenia
36
28
20
50
10
Patung
Pristolepis fasciata
27
39
20
50
11
Gelang/Riu
Empatung
(Mlayan leaffish)
Nuayang Tebal
45
22
10
50
12
Sekopah
Psedeutropius
bracypopterus
Belontia hasselti
36
44
10
58
13
Selais
Kryptopterus sp (K.
Micronema, K. apogon, K
limpok, K. Lais); Ompok
eugeneiatus)
55
50
40
58
14
Sengitai
Mystus bimaculatus
36
50
20
50
15
Sepat
Trichopodus trichopterus
45
28
10
58
16
Sepengkah
Parambassis apogonoides
45
28
20
50
17
Siamis/
Pimping
Prachela oxygastroides
55
44
20
58
18
Siandang
Three spot
gourami
Gaba-gaba/Senara
(Iridescent glassy
perchlet)
Kelampak/kelamp
ok (galss fish/glass
barb)
Selendang
mayang (Ocellated
snakehead)
Channa pleuropthalmus
55
50
20
58
19
Sosau
Pectenocypris korthausae
36
44
10
50
20
Tapa
Tapah
Wallago leerii
55
61
40
92
21
Toman
Black snakehead
Channa melastoma
45
67
30
58
22
Tuakang
Helostoma temminckii
45
67
20
58
23
Belida
Tambakan/Biawan
(Kissing gourami)
clown knifefish
24
Sengarat
25
Jalay
26
Kayangan
27
Kasung
Ketoprak (Malay
comtail)
Chitala chitala
Channa maruliodes
Arwana (Asian
bonytounge
Sclepages formosus
41
Menurut Welcomme (2001), salah satu indikator penurunan populasi ikan adalah penurunan
ukuran individu ikan.Tekanan terhadap keragaman jenis ikan telah dirasakan oleh para
pemanfaat sumberdaya ikan di rawa banjiran GSK. Rata-rata lebih dari 58% responden di
keempat tasik menyatakan bahwa empat jenis ikan yaitu belida, jalay, sengarat dan arwana
sudah tidak ditemukan lagi saat ini (Tabel 4.1.4.6).
Tabel. 4.1.4.6. Jenis ikan yang punah di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Diolah dari data
FGD 2013)
No
1
2
Jenis ikan
Nama lokal
Papaud
Baung
3
4
Baung Pisang
Betok
5
6
Ilo-ilo
koli/lele
7
8
Lumpung/Bujuk
Mengkaek
Nama Umum
Bantak Batu
Baung (Asian redtail
catfish)
False balack lancer
Betok (Climbing
Perch)
Hasselt's leaf ctfish
Lindi (Slender walking
catfish)
Runtuk
Engkarit (lined/striped
barb)
Seluang
Empatung (Mlayan
leaffish)
Nuayang Tebal
Ketoprak (Malay
comtail)
Nama ilmiah
Osteochilus spilurus
Hemibagrus nemurus
Serai
Katialau
6
6
Bagrichthys macropterus
Anabas testudienus
17
11
Silurichthys hasseltii
Clarias nieuhofi
11
11
Chana lucius
Puntius lineatus
6
6
Rasbora cephalotaenia
Pristolepis fasciata
6
11
Psedeutropius bracypopterus
Belontia hasselti
11
11
9
10
Pantau
Patung
11
12
Gelang/Riu
Sekopah
13
Selais
Kryptopterus sp (K.
Micronema, K. apogon, K
limpok, K. Lais); Ompok
eugeneiatus)
11
14
Sengitai
Mystus bimaculatus
17
15
16
Sepat
Sepengkah
Trichopodus trichopterus
Parambassis apogonoides
22
6
17
Prachela oxygastroides
11
18
Siamis/
Pimping
Siandang
Channa pleuropthalmus
11
19
20
21
22
Sosau
Tapa
Toman
Tuakang
Pectenocypris korthausae
Wallago leerii
Channa melastoma
Helostoma temminckii
11
11
11
11
23
24
25
26
Belida
Sengarat
Jalay
Kayangan
Three spot gourami
Gaba-gaba/Senara
(Iridescent glassy
perchlet)
Kelampak/kelampok
(galss fish/glass barb)
Selendang mayang
(Ocellated snakehead)
Tapah
Black snakehead
Tambakan/Biawan
(Kissing gourami)
clown knifefish
Arwana (Asian
bonytounge
Chitala chitala
Channa maruliodes
Sclepages formosus
82
27
64
91
61
61
61
Betung
80
60
70
20
Air Hitam
58
100
58
42
4.1.5. Penangkapan ikan
Hasil tangkapan ikan pada rawa banjiran Giam Siak Kecil berkaitan erat dengan
fluktuasi tinggi muka air (Tabel 4.1.5.1).
Tinggi Muka Air (cm)
Tinggi air (cm)
Total tangkapan ikan (kg/hari/nelayan)
140
7
120
6
100
5
80
4
60
3
40
2
20
1
0
0
Hasil Tangkapan
(kg/hari/nelayan)
.
Waktu pengamatan
Total tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan)
7
120
6
100
5
80
4
60
3
40
2
20
1
0
0
Hasil tangkapan
(kg/hari/nelayan)
Tinggi Muka Air
Tinggi air (cm)
140
Waktu pengamatan
Tinggi air (cm)
180
Total tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan)
7
160
5
120
100
4
80
3
60
2
40
1
20
0
Hasil tangkapan ikan
(kg/hari/nelayan)
6
140
0
Waktu Pengamatan
Tinggi air (cm)
To tal tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan)
200
30
180
Tinggi Muka Air
140
20
120
100
15
80
10
60
40
Hasil tangkapan ikan
(kg/hari/nelayan)
25
160
5
20
0
0
Waktu Pengamatan
Gambar 4.1.5.1. Hasil tangkapan ikan pada alat lukah (pot trap) di Tasik Air Hitam pada
tahun 2010 (Husnah et al., 2010)
43
Pada alat tangkap lukah (pot trap) hasil tangkapan ikan dari beberapa nelayan (Gambar
4.1.5.1-4.1.5.2) menunjukan pada saat air mulai turun yang terjadi antara bulan pebruari
hingga Mei, hasil tangkapan lukah cenderung menurun dengan kisaran tangkapan 2-5
kg/hari/nelayan. Pada saat air rendah (bulan Mei hingga Agustus) hasil tangkapan meningkat
dengan kisaran tangkapan antara 3-6 kg/hari/nelayan. Pada saat air terendah (akhir bulan
Juni) terjadi penurunan hasil tangkapan dengan kisaran 1-3 kg, dan hasil mulai meningkat
kembali pada saat air besar dengan hasil tangkapan pada kisaran 5-25 kg/hari/nelayan. Hasil
tangkapan ikan dengan jaring menunjukkan tingkah laku yang sedikit berbeda dengan alat
tangkap lukah. Hasil tangkapan ikan dengan jaring cenderung meningkat pada saat air
tergenang cukup lama (Mei-Agustus) dengan kisaran hasil tangkapan 4-8 kg/hari/nelayan
dan saat tinggi muka air tertinggi yaitu pada bulan November dengan kisaran hasil tangkapan
5-16 kg/hari/nelayan (Gambar 4.1.5.2) (Husnah et al., 2010).
180
18
160
16
140
14
120
12
100
10
80
8
60
6
40
4
20
2
0
0
Hasil Tangkapan (kg/hari/nelayan)
Hasil tangkapan (kg/hari/nelayan)
39
42
43
45
50
51
54
56
57
60
63
64
65
67
69
70
74
75
77
80
84
85
87
88
92
95
9
10968
10 0
10 1
10 2
10 3
10 4
10 5
10 6
10 7
10 8
11 9
11 0
11 1
11 2
11 3
11 4
11 5
11 6
11 7
11 8
12 9
12 0
12 1
12 2
12 3
12 4
12 5
12 6
12 7
12 8
13 9
13 0
13 1
13 2
13 3
13 4
13 5
13 6
13 7
13 8
14 9
14 0
14 1
14 2
14 3
14 4
14 5
14 6
14 7
14 8
15 9
15 0
15 1
15 2
15 3
15 4
15 5
15 6
15 7
15 8
16 9
16 0
16 1
16 2
3
Tinggi muka air
Tinggi muka air (cm)
Waktu Pengamatan
Gambar 4.1.5.2. Hasil tangkapan ikan pada alat jaring (gill net) di Tasik Air Hitam pada
tahun 2010 (Husnah et al., 2010).
Hasil tangkapan nelayan di tasik Air hitam cenderung lebih tinggi dibandingkan tiga tasik
lainnya dengan hasil tangkapan pada kisaran 6-10 kg/nelayan/bulan pada saat air turun (Februari –
Maret, 51-100 kg/nelayan/bulan pada air kecil (air stabil), dan lebih dari 100 kg/nelayan/bulan pada
saat air air besar (Juli-Agustus) dan air mulai turun (September-Nopember) (Tabel 4.1.5.1 & Gambar
4.1.5.3). Hasil tangkapan ikan tersebut sebagian besar diperoleh dari alat tangkap lukah dan jaring
yang dioperasikan hampir sepanjang tahun di tasik Air Hitam. Sebagian besar hasil tangkapan berasal
dari tiga jenis ikan yaitu ikan tapah, toman dan tembakang. Hasil tangkapan ikan tapah pada saat air
turun, air kecil, air besar dan mulai turun masing-masing pada kisaran 26- 50 kg/nelayan/bulan, 1125 kg/nelayan/bulan, 51-100 kg/nelayan/bulan dan lebih besar dari 100 kg/nelayan/bulan.
44
Tabel 4.1.5.1. Hasil tangkapan nelayan pada berbagai tinggi air, tipologi habitat dan jenis alat tangkap (Data penelitian Husnah et al (2010) diolah
No
Na ma l oka l
Na ma l a ti n
Ai r turun
Ai r keci l (Sta bi l )
Ai r Na i k
Ai r Turun
Feb-Ma r
Apri l -Juni
Jul i -Agus tus
Sept-Nop
Ta s i k
Ai r hi t
Ka ti
Luka h
Ba ung
Hemibagrus nemurus
2
Ba ung l a ya r
Bagrichthys macracanthus
3
Bujuk/Lumpung
Channa lucius
1
4
Ga bus
Channa striata
1
5
gel a ng/Ri u
Psedeutropius bracypopterus
6
Pa ti n
Pangasius sp
7
kol i /l el e
Clarias nieuhofi
8
Li l o
Silurichthys hasseltii
9
Mengka ek
Puntius lineatus
10
pa nta u
Rasbora cephalotaenia
11
pa ud-pa ud
Osteochilus spilurus
12
Perma to
Trygoster leerii
13
Pi mpi ng
Parachila oxygastroides
14
Sel a i s ba l i k tul a ng
Kryptopterus micronema
15
Sel a i s botul /l a i s muncung
Kryptopterus apogon
16
La i s s ungut (ja nggut)
Ompok eugeneiatus
17
Sel a i s moda ng/ l a i s ta pa
Kryptopterus limpok
18
Sel a i s s p
Kryptopterus lais
19
Sel i nca h/kepa r/s ekopa
Belontia hasseltii
20
Semburi nga n
Puntius lineatus
21
Sepa t
Trygoster trychopterus
22
Sepa tung/ba tung
Pristolepis fasciata
23
Sepengka h
Parambassis apogonoides
24
Sera nda ng
Channa pleuropthalmus
25
Si ngeta i
Mystus bimaculatus
26
Sos a u
Pectenocypris korthausae
27
Ta pa Pa yu
Silurichthys phaiosoma
28
ta pa h
Wallago leeriii
29
Temba ka ng/tua ka ng
Helostoma temminckii
30
Toma n
Channa melastoma
Keterangan:
: Hasil Tangkapan ≤ 5 kg/nelayan/hari
1
: Hasil Tangkapan 6-10 kg/nelayan/hari
2
Ai r hi t
Ka ti
Luka h
1
Tota l (kg/nel a ya n)
Bet
1
Sunga i
Ai r hi t
Ja ri ng
4
1
4
Sera i
Ka ti
Si a k keci l
Ta s i k
Ka ti
Pa nci ng Ta jur Ra wa i Ta jur Luka h
1
Ai r hi t
Luka h
1
1
1
Bet
3
4
5
1
1
2
3
Ta s i k
Ai r hi t
Sera i
Ai r hi t
Ja ri ng
Pa nci ngTa jur
Bet
Bet
Ja l a
6
Ai r hi t Bet
Luka h
2
6
Ai r hi t
Ja ri ng
1
1
4
1
1
2
4
5
1
1
1
1
1
2
4
4
1
1
1
1
3
1
1
1
1
3
1
3
5
2
1
3
1
5
1
1
1
1
1
1
1
1
2
4
2
2
1
4
1
6
5
1
6
2
4
4
1
5
3
1
4
5
2
1
6
6
5
6
6
2
3
6
1
1
2
1
1
1
1
4
1
1
2
2
3
4
2
1
3
4
3
5
3
1
1
1
2
3
1
5
1
1
1
1
: Hasil Tangkapan 11-25 kg/nelayan/hari
: Hasil Tangkapan 26-50 kg/nelayan/hari
1
1
5
6
1
1
2
4
1
0
1
1
1
1
2
: Hasil Tangkapan 51-100 kg/nelayan/hari
: Hasil Tangkapan > 101 kg/nelayan/hari
45
Hasil tangkapan ikan toman dan ikan tembakang relatif lebih kecil dibandingkan tapah. Hasil
tangkapan kedua jenis ini cenderung lebih besar pada saat air naik dan mulai turun dengan kisaran 2650 kg/nelayan/bulan.
Informasi tersebut di atas mendukung hasil penilaian nelayan yang menyatakan telah
terjadinya tekanan terhadap sumberdaya ikan tapah dan toman yang dindikasikan dengan
penurunan ukuran individu ikan. Hasil FGD tentang isu permasalahan yang dihadapi nelayan
di tasik GSK, juga menunjukkan telah terjadi penurunan jumlah ikan dan pendapat nelayan
sebagai akibat peanurunan ketebalan hutan di sekitar GSK (Tabel 4.1.5.2)
Gambar 4.1.5.3. Hasil tangkapan ikan pada berbagai alat tangkap di kempat tasik pada bulan
Pebruari, Mei, Agustus dan November 2010 (Marini et al., 2011)
46
Tabel 4.1.5.2. Isu dan permasalahan dihadapi oleh pemanfaat dan pengelola rawa banjiran
Giam Siak Kecil tahun 2013. (data FGD tahun 2013 yang diolah). Isue utama
diindikasikan dengan skor nilai mendekati 0.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Isu dan Permasalahan
Peningkatan ketinggian air
Penurunan ketinggian muka air
Meluasnya wilayah tumbuhan air di perairan
Penurunan ketebalan hutan di sekitar GSK
Hilangnya sumber-sumber air dan sungai di sekitar GSK
Pencemaran perairan
Penurunan jumlah jenis-jenis ikan
Penurunan jumlah ikan
Penurunan pendapatan dari hasil
tangkapan/karamba/pariwisata
Pemakaian alat tangkap illegal (strum,tuba, bom)
Padatnya jumlah jaring (alat tangkap ikan)/keramba
dioperasikan di perairan
Semakin kecilnya ukuran mata jaring yang dioperasikan
Belum ada peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan,
pengawasan dan sanksi berkaitan dengan sumberdaya GSK
Belum diterapkannya peraturan-peraturan mengenai
pemanfaatan, pengawasan dan sanksi berkaitan dengan
sumberdaya GSK
Belum ada wadah/lembaga pengelola sumberdaya GSK
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kelestarian
sumberdaya
Pemanfaat
9
9
10
5
6
6
7
4
4
Pengelola
10
6
9
6
8
7
5
5
7
5
8
8
10
9
9
10
4
10
4
11
13
6
4
4.2. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam non perikanan
Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistim
perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti,
ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan
namun dari sebelum
tersebut telah dimanfaakan
masyarakat. Berbagai aktivitas pada kedua kabupaten ini akan mempengaruhi kualitas,
produktivitas dan keberlanjutan dari sumberdaya perairan dan ikan di perairan tasik ataupun
di Sungai Siak Kecil berikut dengan anak-anak sungainya.
Pada zona inti, berbagai jenis pemanfaatan lahan diantaranya adalah
pertanian
musiman dan perikanan. Pada zona penyangga, kegiatan masyarakat diantaranya perikanan,
perkebunan tanaman industri, kelapa sawit, dan tanaman perkebunan lainnya, pertanian
musiman, pengumpulan kayu dan produk hutan lainnya. Pemanfaatan lahan pada zona
transisi diutamakan pemukiman, pertanian musiman, perkebunan sawit, karet, agro industri,
47
industri kehutanan, pertambangan, ekplorasi gas dan minyak bumi, serta berbagai
pemanfaatan ekonomi lainnya (Anonimous, 2010).
Di luar kawasan cagai biosfir GSK-BB, pemanfaatan lahan di Kabupaten Bengkalis
seperti di kecamatan Mandau, diantaranya didominasi oleh penutupan lahan berupa kebun
karet, semak belukar, hutan, kebun sawit, kebun campuran dan lahan terbuka, dan sebagian
kecil merupakan lahan pertanian, lahan terbangun dan badan air. Sebagian dari areal lahan
terbuka merupakan
kawasan pertambangan (Pemerintah Kabupaten Bengkalis, 2010).
Ladang-ladang minyak bumi terdapat di Kecamatan Mandau, Bukit Batu pengelolaannya
dilakukan oleh perusahaan minyak PT. Caltex Pasific Indonesia dengan wilayah operasi di
Kecamatan Mandau dan Bukit Batu. Jumlah perusahaan besar yang beroperasi di sekitar
kawasan cagar biosfir GSK-BB di kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis
dan di
Kabupaten Siak masing-masing sebanyak 7 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan
industri dan hutan dan bidang lain.
4.3 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sungai dan Rawa Banjiran GSK
4.3.1 Lokasi Terpilih Dan Profil Masyarakat Nelayan
Giam Siak Kecil (GSK) merupakan komplek tasik terbesar di Provinsi Riau yang juga
merupakan bagian dari sub daerah aliran sungai (DAS) Mandau dan Sungai Siak Kecil.
Sungai Siak kecil menghubungkan kompleks tasik Giam Siak Kecil dengan selat Bengkalis.
Kompleks tasik ini terdiri atas beberapa tasik yang saling berhubungan seperti: Tasik Baru,
Tombatusonsang, Katialau, Serai, Betung, Marbalu, Bunian, Ungus, Besingin dan Air hitam.
Komplek tasik Giam Siak Kecil dikelilingi oleh hutan tanaman industri yang dimiliki oleh
empat perusahaan dibawah naungan Sinar Mas Forestry (LPPM IPB, 2008 dalam Husnah et
al., 2012), dan telah diusulkan pada bulan Pebruari 2009 dan telah mendapatkan persetujuan
UNESCO pada bulan Mei 2009 sebagai Cagar Biosfir Giam Siak Kecil –Bukit Batu (GSKBB) yang merupakan satu dari tujuh Cagar Biosfir yang ada di Indonesia. Penurunan jumlah
dan ukuran jenis ikan tertangkap telah banyak dilaporkan oleh para peneliti dan salah satu
jenis ikan yang merupakan ikon dari Sungai Siak yaitu ikan Terubuk (Tenualosa Macrura)
sudah jarang ditemukan. Fenomena tersebut diperkuat oleh hasil kajian yang dilakukan oleh
Husnah et al. (2009) di Sungai Siak yang berlokasi di Kuala Tapung hingga muara Sungai
Mandau mengindikasikan rendahnya kuantitas dan kualitas hasil tangkapan nelayan
ditemukan hanya pada beberapa lokasi khususnya pada lokasi pemukiman, perkebunan dan
industri. Pada lokasi berdekatan dengan muara Sungai Mandau masih ditemukannya jenis
48
ikan ekonomis penting seperti Ikan Belida (Notopterus chitala), Patin (Pangasius sp), Baung
(Mystus nemurus) dan Ikan Lais-laisan (Kyrptopterus sp.).
Sementara itu, kajian terkait aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat nelayan
yang bermukim di kawasan cagar biosfir GSK-BB relatif belum banyak dilakukan. Oleh
karena itu, salah satu tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek sosial ekonomi dan budaya
masyarakat nelayan di kawasan tersebut. Data dan informasi nelayan pada perikanan sungai
dan rawa banjiran GSK dikumpulkan pada lokasi-lokasi terpilih: (a) Tasik Katialau; (b) Tasik
Betung; (c) Tasik Air Hitam, dan; (d) Tasik Serai. Sebaran lokasi-lokasi pengamatan tersebut
pada saat air tertinggi (pasang maksimum) dan air terendah (surut minimum) dapat dilihat
pada Gambar 4.3.1.1 dan 4.3.1.2
4.3.2 Profil Sosial Ekonomi dan Budaya
Profil sosial Ekonomi nelayan direpresentasikan oleh beberapa indikator, antara lain
adalah (a) jarak lokasi atau desa ke tempat pusat kegiatan ekonomi baik di tingkat kecamatan,
kabupaten dan propinsi; (b) komposisi jumlah penduduk; (c) tingkat pendidikan, dan; (d)
jumlah nelayan. Mengacu pada Tabel 1 di bawah serta Gambar 1 dan 2, lokasi terjauh
ditunjukkan oleh Tasik Air Hitam dan Katialau; kemudian diikuti oleh Tasik Serai dan
Betung.
Jarak lokasi tempuh tersebut berimplikasi pada biaya transportasi yang harus
dikeluarkan oleh nelayan, baik untuk menjual hasil tangkapannya maupun untuk membeli
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dari sisi tingkat pendidikan, nelayan di Tasik Air Hitam
relatif mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, diikuti oleh nelayan Tasik
Serai, Katialau dan Betung.
Dari sisi komposisi kelompok umur, nelayan di keempat lokasi menunjukkan pola
distribusi kelompok umur yang beragam; meskipun demikian dapat dikatakan bahwa nelayan
di Tasik Serai relatif menjadi profesi bagi generasi usia produktif (20-50 tahun) serta sedikit
sekali dilakukan oleh generasi ‘manula’ (>50 tahun). Lebih dari 50% nelayan Tasik Serai
berusia 20-30 tahun; komposisi kelompok usia yang sama ditunjukkan oleh nelayan Tasik Air
Hitam (33%), Tasik Katialau (25%) dan Tasik Betung (20%). Fenomena ini mengindikasikan
bahwa semakin dekat lokasi masyarakat ke pusat kegiatan ekonomi, semakin kecil minat
masyarakat berprofesi sebagai nelayan (ilustrasi Tabel 4.3.2.1 dan Gambar 4.3.2.1). Secara
umum dijumpai bahwa suku Melayu dan Siak relatif mendominasi profesi nelayan perikanan
perairan sungai dan rawa banjiran di GSK; kemudian diikuti oleh suku Mandau dan Jawa.
49
Gambar 4.3.1.1. Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung, Tasik
Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Pasang Maksimum di Perairan Sungai
Dan Rawa Banjiran GSK.
50
Gambar 4.3.1.2.
Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung, Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Surut
Terendah di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran GSK.
51
Tabel 4.3.2.1. Deskripsi Profil Sosial Ekonomi Nelayan Perairan Sungai dan Rawa Banjiran
GSK Menurut Lokasi Terpilih, 2013.
Diskripsi
Tasik Betung
Tasik Serai
40
10
160
70
290
120
403
365
768
Orbitasi (km)
Jarak Desa ke Ibukota Kecamatan
ke Ibukota Kabupaten
ke Ibukota Propinsi
Penduduk (orang)
- Laki-laki
- Perempuan
- Total
Tingkat Pendidikan (%)
- s/d tamat SD
- SLTP/A
- PT
Nelayan (orang)
Tasik Air Hitam
Tasik Katialau
1997
1731
3728
na
na
na
na
na
na
49,81
47,1
3,09
72,37
27,63
-
83,33
16,67
-
72,23
27,67
-
70
60
12-16
18-20
Sumber: Data primer dan sekunder (2013) di olah.
Keterangan:
- Nelayan Tasik Betung dari Desa Tasik Betung
- Nelayan Tasik Serai dari Desa Tasik Serai
- Nelayan Tasik Air Hitam dari Desa Lubuk Gaung, mereka bersifat musiman dengan cara membangun
pondok di sekitar lokasi penangkapan pada saat musim ikan.
- Nelayan Tasik Katialau bersifat musiman dengan cara membangun pondok di sekitar lokasi
penangkapan pada saat musim ikan.
Persentase Usia
Persentase Usia
35,00
30,00
30,00
25,00
25,00
20,00
20,00
15,00
15,00
10,00
10,00
5,00
5,00
0,00
0,00
<20 Tahun
20-30
31-40
41-50
<20 Tahun
>50
20-30
31-40
41-50
>50
(b) Tasik Katialau
(a) Tasik Air Hitam
Persentase Usia
Persentase Usia
60,00
50,00
50,00
40,00
40,00
30,00
30,00
20,00
20,00
10,00
10,00
0,00
0,00
<20 Tahun
20-30
31-40
41-50
>50
<20 Tahun
(c) Tasik Serai
20-30
31-40
41-50
>50
(c) Tasik Betung
Gambar 4.3.2.1. Distribusi Komposisi Kelompok Usia Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik
Katialau, Tasik Serai dan Tasik Betung Tahun 2013.
4.3.3 Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan
Hubungan masyarakat, sumber daya alam dan pengelola sumber daya merupakan satu
kesatuan yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai satu kesatuan sistem sosial ekologi
atau sistem ekologi sosial. Anonymous (2013) menyatakan bahwa Sistem Ekologi-Sosial
52
(SES) adalah sebuah sistem ekologi yang berhubungan erat dengan/dan dipengaruhi oleh satu
atau lebih sistem sosial. Sebuah sistem ekologi dapat secara bebas didefinisikan sebagai suatu
sistem yang saling tergantung dari organisme atau unit biologis. Istilah "SES" digunakan
untuk merujuk pada subset dari sistem sosial di mana beberapa hubungan saling tergantung
antara manusia yang dimediasi melalui interaksi dengan biofisik dan unit biologi nonmanusia (Anderies et al., 2004 dalam Anonymous, 2013). Secara sederhana hubungan
tersebut di atas dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4.3.3.1.
Gambar 4.3.3.1. Keterkaitan sumber daya, pemanfaat dan pengelola sebagai ilustrasi
sistem sosial ekologi.
Lingkungan sosial ekonomi dan budaya meliputi: (a) keberadaan manusia dalam
kumpulan rumah tangga yang membentuk komunitas dengan karakteristik budaya berupa
sistem nilai, perilaku dan norma yang mengalami perubahan secara dinamis sebagai respon
ataupun antisipasi dinamika perubahan sumber daya alam; (b) kelembagaan sosial ekonomi
seperti sistem peraturan sosial dalam memanfaatkan sumber daya serta ekonomi pasar.
Penelitian LIPI (2007) mengungkapkan bahwa secara tradisional penduduk atau
masyarakat telah bermukim dan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya dalam kawasan
cagar alam biosfir GSK, terutama pada lahan ‘daratan’
berupa hutan dan vegetasi
pendukungnya kemudian mengalami perluasan ke lahan ‘perairan’ berupa sungai dan rawa
banjiran. Masyarakat memanfaatan hasil-hasil hutan maupun sungai dan rawa banjiran untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, antara lain berupa bahan makanan, sayuran, buah-buahan
dan ikan. Pemanfaatan sumber daya untuk diperjual belikan untuk mendapatkan uang secara
langsung (cash money) umumnya berupa kayu dan ikan. Dalam memanfaatkan dan
mendayagunakan sumber daya alam yang ada, sistem peraturan sosial yang terbentuk didasari
atas kesadaran bahwa mereka sangat tergantung pada kekayaan sumber daya alam yang ada,
sehingga mereka harus berperilaku arif dan bijaksana sedemikian rupa sehingga
kelestariannya terjamin.
53
Hasil penelitian di lokasi terpilih tasik Katialau, tasik Air Hitam, tasik Betung dan
tasik Serai menjelaskan pola mata pencaharian masyarakat yang hidup di sekitar cagar alam
biosfir GSK seperti diilustrasikan pada Tabel 4.3.3.1.
Pada tabel tersebut diuraikan
pengalaman usaha terkait dengan mata pencaharian yang masyarakat beserta alokasi curahan
waktu mereka sehari-hari maupun dalam periode mingguan serta tahunan.
Tabel 4.3.3.1. Mata Pencaharian Masyarakat Menurut Jenis Usaha, Pengalaman Usaha dan
Alokasi Curahan Kerja di Lokasi Terpilih, 2013.
Lokasi
Tasik Katiallau
Tasik Air Hitam
Tasik Betung
Tasik Serai
Jenis Usaha
Pertanian
Perkebunan
Perikanan
Pertanian
Perkebunan
Perikanan
Perkebunan
Perikanan
Perkebunan
Perikanan
Perdagangan
Pengalaman (th)
Jam/Hari
Hari/Minggu
Bulan/Tahun
16
5
7
10
2
4
16
36
7
16
4
5
3
6
8
2
9
4
6
5
7
10
7
5
7
7
7
6
6
6
4
7
5
6
12
9
10
10
11
11
9
11
11
12
Sumber: Data survai 2013 di olah.
Secara tradisi, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya perikanan perairan
sungai dan rawa banjiran GSK telah tertanam dalam kebiasaan masyarakat setempat bahwa
sumber daya yang ada tersebut mempunyai nilai penting bagi penghidupan mereka seharihari; hal ini selanjutnya terefleksi dalam pola perkembangan mata pencaharian mereka.
Masyarakat secara sadar tidak menggunakan alat tangkap dan cara penangkapan yang bersifat
merusak kelestarian kehidupan sumber daya perikanan perairan sungai dan rawa banjiran,
misalnya tidak menggunakan alat setrum listrik, bahan peledak dan racun (tuba) ikan ataupun
memasang alat tangkap yang dipasang memotong jalur aliran sungai terutama pada saat
musim kemarau. Dengan melakukan tindakan seperti di atas, diyakini bahwa sumber daya
ikan sungai dan rawa banjiran terjamin kelestariannya. Pola mata pencaharian masyarakat
nelayan di sekitar sumber daya perairan sungai dan rawa banjiran GSK sehari-hari
ditunjukkan oleh Tabel 4.3.3.2.
Aktivitas penangkapan ikan di kalangan masyarakat nelayan sekitar perairan sungai
dan rawa banjiran GSK didominasi oleh nelayan tradisional dengan penguasaan armada dan
alat tangkap yang sederhana.
54
Tabel 4.3.3.2. Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan Sehari-hari Di GSK, 2013.
Waktu
(Jam)
Lampiran
1. Susunan keanggotaan Badan Koordinasi
Pengelolaan
cagar Biosfer Giam Siak
Aktivitas/Kegiatan
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4
Kecil-Bukit Batu (Kep Gub Riau No. Kpts. 920/V/2010 tanggal 14 Mei 2010).
Memasang Jaring
Melihat Lukah
SMenjemur Ikan
Menyalai Ikan
Jual Ikan
Cari Kayu
Berkebun :
Karet
Sawit
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Sumber: Survai 2013, data di olah.
Armada perahu yang digunakan berukuran panjang dan lebar sekitar 5-6 m (panjang)
dan 70-80 cm (lebar) yang dioperasikan dengan dayung dan/atau mesin tempel dengan daya
yang relatif kecil (< 5 PK). Alat tangkap yang digunakan berupa jaring, pacing, jala dan
bubu. Selain itu alat tangkap lukah digunakan. Kegiatan penangkapan ikan umumnya masih
berorientasi pada upaya memenu kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Peningkatan jumlah
penduduk serta perkembangan peningkatan akses jalan dari lokasi pemukiman menuju pusatpusat kegiatan ekonomi (pasar) baik ke kecamatan, kabupaten maupun propinsi
menyebabkan permintaan terhadap ikan meningkat. Hal ini mendorong nelayan untuk
melakukan modifikasi alat tangkap dan cara penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga
mampu memperoleh hasil tangkapan ikan dalam jumlah besar dan menguntungkan. Berbagai
perubahan konstruksi alat tangkap dan pengoperasian penangkapan cenderung memberikan
dampak negatip terhadap kondisi sumber daya ikan sehingga kegiatan penangkapan ikan
menjadi tidak terkendali. Dinamika pola penggunaan alat tangkap dan hasil ikan tertangkap
menurut bulan pada peride penangkapan tahunan dapat dilihat pada Tabel 4.3.3.3
Tabel 4.3.3.3. Dinamika Pola Penggunaan Alat Tangkap dan Ikan Tertangkap Menurut
Bulan di Lokasi Studi, 2013.
Alat Tangkap dan
Bulan
Ikan Tertangkap Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Lukah (Lais Tapa)
Lukah (Toman)
Jaring (Tuakang)
Jaring (Baung)
Jaring (Lele)
Jaring (Lumpung)
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Sumber: Survai 2013, data diolah.
55
5
1
1
Literatur review mengungkapkan bahwa pada masa lalu (sebelum tahun 2000an)
musim ikan (panen raya) terjadi pada saat awal musim penghujan. Pada saat tersebut
permukaan air sungai naik dan air melimpah ke daerah rawa banjiran sampai mendekati
kawasan ‘daratan’ hutan dan daerah pemukiman. Kondisi ini secara langsung memberikan
kesempatan nelayan untuk memperluas daerah penangkapan ikan yang dapat di akses,
sehingga hasil tangkapan mereka meningkat. Situasi ini berbeda keadaannya bila
dibandingkan dengan perikanan sungai dan rawa banjiran di Sumatra Selatan dan Kalimantan
Barat, dimana musim ikan (panen raya) terjadi pada saat air mulai surut hingga surut
terendah. Bahkan, pada saat air surut terendah banyak ikan tertangkap atau terperangkap
yang tidak sempat termanfaatkan, baik dikonsumsi secara langsung atau diolah. Pada saat
panen raya, ikan tidak terjual seluruhnya, sehingga kegiatan pengolahan ikan baik dalam
bentuk ikan asin maupun ikan salai marak dipraktekkan oleh masyarakat nelayan.
4.3.4 Pendapatan Dan Pengeluaran Rumah Tangga
Secara tradisional, ada anggapan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga
semakin sejahtera tingkat kehidupan mereka. Hal ini di dasarkan pada pertimbangan bahwa
dengan adanya anggota keluarga yang ralatif banyak maka tersedia potensi tenaga kerja yang
dapat melakukan kegiatan usaha perekonomian produktif (Tabel 4.3.4.1).
Tabel 4.3.4.1. Jumlah anggota bekerja responden di rawa banjiran Giam Siak Kecil (GSK)
Jumlah anggota bekerja responden di Perairan Katialau GSK
Jumlah Anggota Keluarga
Persentase
Lokasi
yang Bekerja
Jawaban
1
50,00
2
16,67
Tasik Katialau
3
16,67
4
5,56
>4
5,56
1
8
2
75
Tasik Air Hitam
3
8
4
0
>4
8
1
40
2
40
Tasik Betung
3
0
4
20
>4
0
1
45
2
27
Tasik Serai
3
9
4
9
>4
0
56
Tabel 4.3.4.1
memberikan ilustrasi bahwa rataan jumlah anggota keluarga yang dapat
membantu kegiatan usaha produktif sebanyak 2 orang.
Pola mata pencaharian masyarakat sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya
di lokasi dimana mereka bermukim. Hasil FGD memberikan ilustrasi bahwa 90% peserta
menyatakan bahwa ketergantungan mereka terhadap sumber daya perairan rawa banjiran
tinggi.
Sebagian besar masyarakat pemanfat SDA rawa banjiran GSK memiliki mata
pencaharian lebih dari satu kegiatan
usaha
perekonomian. Struktur pendapatan dan
pengeluaran rumah tangga masyarakat dapat digambarkan seperti pada Tabel 4.3.4.2 dan
Tabel 4.3.4.3
Tabel. 4.3.4.2. Struktur Pendapatan Keluaraga Menurut Kategori Jenis Pendapatan dan
Besaran Pendapatan Yang Diterima di Giam Siak Kecil, 2013.
Persentase Pengeluaran Responden di Perairan Katialau GSK
Lokasi
Tasik Katialau
Tasik Air Hitam
Tasik Betung
Tasik Serai
Jenis Pengeluaran
Kebutuhan Makanan
Kebutuhan Pakaian
Kebutuhan Perumahan
Kebutuhan Pendidikan
Kebutuhan Kesehatan
Kebutuhan Makanan
Kebutuhan Pakaian
Kebutuhan Perumahan
Kebutuhan Pendidikan
Kebutuhan Kesehatan
Kebutuhan Makanan
Kebutuhan Pakaian
Kebutuhan Perumahan
Kebutuhan Pendidikan
Kebutuhan Kesehatan
Kebutuhan Makanan
Kebutuhan Pakaian
Kebutuhan Perumahan
Kebutuhan Pendidikan
Kebutuhan Kesehatan
<500 ribu
38,89
16,67
11,11
5,56
33,33
25
33
25
33
75
0
30
0
80
10
9
64
27
9
55
Rata-rata pengeluaran per bulan
500 ribu-1 jt
1-2 jt
5,56
44,44
38,89
22,22
16,67
5,56
22,22
11,11
11,11
5,56
33
42
33
50
40
0
0
0
0
18
0
0
9
0
50
0
0
0
0
64
0
0
0
0
>2jt
5,56
5,56
5,56
0,00
0,00
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sumber: FGD Tahun 2013.
Keterangan: Angka dalam tabel menunjukkan prosentase responden
57
Tabel 4.3.4.3. Struktur Pengeluaran Keluarga Menurut Kategori jenis Pengeluaran dan
Besarannya di rawa banjiran Giam Siak Kecil (GSK), 2013.
Besaran Pendapatan Keluarga Responden di Perairan Katialau GSK
Persentase Pilihan Responden
Lokasi
Jenis Pendapatan
<1 juta
1-3 juta
>3 juta
Pendapatan utama
16,67
55,56
0
Tasik Katialau
Pendapatan Sampingan
16,67
11,11
0,00
Pendapatan Utama
17
67
0
Tasik Air Hitam
Pendapatan Sampingan
8
8
0
Pendapatan Utama
10
30
0
Tasik Betung
Pendapatan Sampingan
40
20
0
Pendapatan Utama
0
64
27
Tasik Serai
Pendapatan Sampingan
3
6
0
Sumber: FGD Tahun 2013.
Keterangan: Angka dalam tabel menunjukkan prosentase responden
4.3.5 Penguasaan Lahan
Pola pencaharian masyarakat lebih dari satu usaha tercermin dari luasan lahan yang
dimiliki (Tabel 4.3.5.1). Mata pencaharian non perikanan seperti pertanian, perkebunan dan
pengolahan ikan
dilakukan oleh kaum perempuan (istri dan anak). Usaha sampingan
sebagian besar responden adalah pearkebunan. Hal ini terlihat dari luasan ladang dan
perkebunan yang lebih dari 4 hektar dibandingkan dengan lahan sawah kurang dari satu
hektar.
Tabel 4.3.5.1. Rata-rata luas lahan usaha responden
Rata-rata luas Lahan Usaha Responden
Lokasi
Tasik Katialau
Tasik Air Hitam
Tasik Betung
Tasik Serai
Jenis Lahan Usaha
Sawah (ha)
Ladang/Kebun (ha)
Keramba (ha)
Sawah
Ladang/Kebun
Keramba
Sawah
Ladang/Kebun
Keramba
Sawah
Ladang/Kebun
Keramba
Luas (ha)
1,17
4,63
0,6
0,5
0,0
1,75
0
0,0
4,25
0
Sumber: FGD Tahun 2013.
Keterangan: Angka dalam tabel menunjukkan prosentase responden
58
4.3.6 Peran Wanita Dalam Rumah Tangga Nelayan
Pembagian peran dalam rumah tangga terbentuk mengikuti kondisi sosial budaya dan
sosial ekonomi yang dipraktekkan oleh suatu komunitas. Kondisi tersebut juga dipengaruhi
oleh bagaimana keterkaitan hubungan antara komunitas tersebut dengan sumber daya alam
dimana mereka menggantungkan penghidupannya. Gender oleh Simatauw et al. (2001),
didefinisikan sebagai perbedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah
masyarakat berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 4.3.6.1. Peran Perempuan Dalam Keluarga dan Keterkaitannya dengan Pengelolaan
Sumber daya Perikanan Perairan Sungai dan Rawa GSK, 2013.
Lokasi
Tasik Katialau
Tasik Air Hitam
Tasik Betung
Tasik Serai
Jenis Peran
Mengurus RT
Membantu usaha (mencari
uang)
Menyumbang pemikiran dalam
mengambil keputusan
Lainnya
kosong
Mengurus RT
Membantu usaha (mencari
uang)
Menyumbang pemikiran dalam
mengambil keputusan
Lainnya
Mengurus RT
Membantu usaha (mencari
uang)
Menyumbang pemikiran dalam
mengambil keputusan
Lainnya
Mengurus RT
Membantu usaha (mencari
uang)
Menyumbang pemikiran dalam
mengambil keputusan
Lainnya
Pilihan Responden (%)
61,11
50,00
33,33
0,00
16,67
92
58
33
90
70
60
0
91
64
55
-
Sumber: FGD Tahun 2013.
Keterangan: Angka dalam tabel menunjukkan prosentase responden
Gender berbeda dengan jenis kelamin; gender merupakan bentukan manusia bukan kodrat
yang mengandung pengertian bahwa gender dapat berubah setiap saat.
Lebih lanjut
dinyatakan bahwa gender ini bersifat dinamis secara lokalitas. Dalam konteks analisis gender
serta keterkaitannya dengan penguasaan, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya
59
alam, terkait di dalamnya adalah bagaimana pola hubungan kuasa dan peran anatara laki-laki
dan perempuan dalam menjadikan alam sebagai sumber penghidupan.
Hasil diskusi
kelompok terfokus di lokasi komunitas/ masyarakat nelayan terpilih, peran perempuan dapat
diidentifikasi seperti ditunjukkan oleh Tabel 4.3.6.1.
Mengurus urusan rumah tangga merupakan peran dominan perempuan dalam rumah
tangga nelayan di keempat lokasi yang di amati.
Dalam konteks penghidupan dan
keterkaitannya dengan sumber daya perikanan, perempuan dalam rumah tangga nelayan
berperan membantu keluarga dalam mencari penghasilan dan memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengambilan keputusan keluarga.
4.4. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK
Pasal 33 UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa secara legal sumber daya
alam yang ada di wilayah Indonesia dimiliki oleh negara. Secara faktual, kehadiran negara
dalam kepemilikan (property rights system) sumber daya tidak terlihat dengan jelas sehingga
terkesan bahwa sumber daya yang ada adalah bukan milik siapa-saja atau milik bersama
(common property) atau dimiliki oleh masyarakat (communal property). Hak kepemilikan
sumber daya akan berimplikasi pada hak pemanfatan (access rights). Pemahaman status
keterkaitan pemanfaat dengan sumber daya alam yang ada akan berpengaruh pada praktek
pola pemanfaatan sumber daya tersebut. Selain daripada itu, pemahaman tingkat kerentanan
sosial
(masyarakat) secara implisit tergambarkan dari pola pikir masyarakat terhadap
kepemilikan dan tanggungjwab terhadap pengelolaannya. Tabel 4.4.1 dibawah memberikan
ilustrasi persepsi masyarakat hasil FGD terkait dengan kepemilikan sumber daya perairan
rawa banjiran GSK. Sebagian besar responden menyatakan bahwa sumber daya tersebut
merupakan milik yang masyarakat.
Tabel 4.4.1. Persepsi masyarakat di rawa banjiran Giam Siak Kecil mengenai sumberdaya
alam
Pilihan
Tidak ada
Tuhan
Negara (pemerintah)
Masyarakat
PT. Sinarmas
Tidak menjawab
Serai
27
0
18
45
0
9
Tasik Persentase/Jawaban
Katialau
Betung
0
30
17
0
33
10
44
50
0
0
6
10
Air Hitam
0
17
17
67
0
0
60
Pemikiran tersebut terungkap juga dari Tabel 4.4.2. ternyata persepsi masyarakat
bahwa masyarakat adalah bagian dari pengelola perairan di rawa banjiran GSK dan persepsi
masyarakat tentang terlibatnya mereka dalam pengelolaan SDA. Pemikiran tersebut
merupakan nilai penting
dalam pengelolaan sehingga apabila akan dilakukan beberapa
alternatif pengelolaan maka diharapkan masyarakan akan berpartisipasi untuk mendukung
keberhasilan pengelolaan.
Tabel 4.4.2. Persepsi pemanfaat tentang pengelola sumberdaya perairan di Giam Siak Kecil
saat ini
Pengelola
Tidak ada
Pemerintah
Masyarakat
PT. Sinarmas Forestry
kosong
Serai
36
9
45
0
9
Persentase Pilihan Responden/ Lokasi Tasik
Katialau
Betung
Air Hitam
Rataan
17
20
0
18
6
20
25
15
78
60
75
65
0
0
0
0
6
0
0
4
Namun demikian beberapa hal mempengaruhi keberhasilan pengelolaan diantaranya belum
ada kesepakatan tentang penentuan siapa yang berhak untuk memanfaatkan SDA, jenis alat
yang digunakan, batas daerah penangkapan, belum adanya aturan sangsi terhadap
pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional dan penggunaan alat tangkap yang ilegal, belum
adanya peran tokah agama, adat, masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan SDA, dan
belum adanya koordinasi dengan pengelola lain seperti satuan kerja pemerintah daerah
(dinas-dinas terkait dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA rawa banjiran GSK) yang
tercermin dari hasil FGD bahwa dalam pengelolan masyarakat tidak meminta izin dari
pemerintah karena mereka tidak dilibatkan dalam proses pengelolaan (Tabel 4.4.3).
4.5.
Kelembagaan
Secara sederhana kelembagaan dapat di artikan sebagai wadah dan seperangkat
mekanisme yang disepakati dan dijalankan. Kata kelembagaan tidak hanya merujuk kepada
lembaga atau organisasi, tetapi juga merujuk kepada aturan-aturan yang ada dan mengikat
(Priatna, 2007). Ciri umum kelembagaan sosial adalah organisasi pola-pola pemikiran dan
pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan hasilhasilnya.
61
Tabel 4.4.3. Persepsi responden (pemanfaat) terhadap komponen dan proses pengelolaan
sumberdaya alam di rawa banjiran Giam Siak Kecil
Parameter/komponen
penilaian
Apakah ada kesepakatan
siapa yang boleh menangkap
ikan
Persentase Pilihan Responden/Lokasi Tasik
Serai
Ya
Tidak
100
Katialau
Ya
Tidak
11
72
Betung
Ya
Tidak
Air Hitam
Ya
Tidak
8
92
Rataan
Ya
Tidak
5
66
Apakah ada kesepakatan
pembatasan jenis dan
jumlah alat/ketamba yang
beroperasi
100
33
61
33
67
17
57
Apakah ada kesepakatan
penempatan alat
tangkap/keramba di GSK
100
17
72
17
83
8
64
Apakah ada sangsi bagi
masyarakat yang melanggar
kesepakatan
36
55
50
44
30
60
33
67
37
56
Apakah Bapak/Ibu ikut
melestarikan lingkungan
sumberdaya alam di GSK,
baik itu sumberdaya hutan
maupun perairan
Apakah ada peran tokoh
agama dalam pengelolaan
sumberdaya alam di GSK
82
9
61
28
70
20
67
33
70
23
18
73
61
22
20
70
25
75
31
60
Apakah ada peran tokoh
adat dalam pengelolaan
sumberdaya alam di GSK
37
55
17
67
30
60
21
70
Apakah ada peran tokoh
masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya
alam di GSK
18
73
28
50
50
40
75
25
43
47
Apakah ada peran
pemerintah dalam
pengelolaan sumberdaya
alam di GSK
18
73
28
50
30
50
67
33
36
52
61
33
75
25
34
15
22
56
13
77
Apakah Bapak/Ibu ikut
mengelola sumberdaya alam
di GSK
Apakah Bapak/Ibu dalam
pengelolaan sumberdaya
alam, baik itu hutan dan
perairan GSK meminta
pertimbangan izin kepada
para tokoh agama, adat,
masyarakat dan pemerintah
9
82
20
70
62
Kelembagaan sosial memiliki suatu tingkat kekekalan tertentu ketika himpunan normanorma yang terkandung di dalam kelembagaan sosial tersebut berkisar kepada kebutuhan
pokok sudah sewajarnya harus dipelihara. Fungsi dari kelembagaan sosial adalah menjaga
keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan
sistem pengendalian sosial (social control system).
Konflik terjadi seiring munculnya
perbedaan kepentingan atau kebutuhan di dalam suatu masyarakat. Berfungsinya peranan ini
akan dapat mengikat tujuan-tujuan pembentukan kelembagaan sesuai dengan fungsinya
tersebut.
Hasil identifikasi kelembagaan yang ada dan berkembang di lokasi kajian dapat
dilihat pada Tabel 4.5.1.
Tabel 4.5.1. Identifikasi Kelembagaan Masyarakat Nelayan di Tasik Karialau, Air Hitam,
Betung dan Serai (2013).
Parameter/ Komponen
Apakah sudah ada kelompok
nelayan/pembudidaya/
masyarakat lainnya
Serai
Ada
Tidak
Ada
0
91
Lokasi Tasik Persentasi Pilihan responden
Katialau
Betung
Air Hitam
Ada
Tidak
Ada
Tidak
Ada
Tidak
Ada
Ada
Ada
0
94
10
80
8
92
Rataan
Ada
Tidak
Ada
5
89
Apakah ada aturan-aturan yang
tidak tertulis dijalankan secara
turun temurun dalam
menjalankan usaha/mata
pencaharian
Apakah ada upacara-upacara
adat berkaitan dengan
sumberdaya di GSK
Apakah ada pengaturan waktu
kapan bekerja dan tidak bekerja
0
91
28
67
30
60
0
100
14
79
0
0
11
78
0
0
0
100
3
44
0
0
11
72
0
0
0
100
3
43
Apakah ada orang yang di
hormati di lingkungan tempat
tinggal dan usaha
Apakah ditemukan konflik
antara nelayan/pembudidaya/
usaha pariwisata yang
merupakan penduduk asli
setempat
Apakah ditemukan konflik
antara
nelayan/pembudidaya/usaha
pariwisata yang merupakan
penduduk asli setempat dengan
nelayan/pembudidaya/
usaha pariwisata pendatang
45
45
72
11
70
20
25
75
53
38
9
82
0
89
30
60
0
100
10
83
0
91
11
72
30
60
0
100
10
81
Sumber: Data FGD 2013 diolah.
63
Berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus di masing-masing lokasi, kelembagaan
dalam bentuk kelompok nelayan, pengolah ikan, pekebun ataupun bentuk lainnya sebagai
representasi suatu wadah atau organisasi maupun mekanisme pengaturan kegiatan
penangkapan di keempat lokasi dilaporkan hampir tidak ada.
Meskipun demikian, ada
ketokohan yang dihormati dan dianut oleh masing-masing komunitas tersebut dan tidak
ditemukan konflik antar pengguna baik antar penduduk asli dan antar penduduk asli dengan
pendatang.
Berdasarkan hasil studi pustaka, data primer FGD pemanfaatn dan pengelola yang
telah dipaparkan pada sub bab 4.1-4.5 tersebut diatas, perlu disusun tujuan pengelolaan,
rencana pengelolaan dan kriteria keberhasilan pengelolaan. Ketiga komponen tersebut tidak
didasarkan pada sinergitas antara persepsi masyarakat pemanfaat dan pengelola SDA rawa
banjiran GSK yang merupakan inti dari pengelolaan secara bersama (ko-manajemen).
Tujuan pengelolaan dicermikan dari isu atau permasalahan penting yang dirasakan oleh
pemanfaatan dan pengelola. Isu penting yang dirasakan oleh nelayan maupun pengelola di
rawa banjiran GSK diantaranya adalah penurunan jumlah ikan, penurunan ketebalan hutan
disekitar GSK, penurunan pendapatan dari hasil tangkapan (Tabel 4.5.2). Isu penting lain
yang dirasakan pemanfaat adalah belum adanya tapal batas yang jelas wilayah inti suaka
margasatawa GSK sehingga pembukaan lahan untuk perkebunan sawit seperti yang
ditemukan di desa tasik Serai dan Betung telah memasuki wilayah inti ssuaka margasatwa
GSK. Untuk itu persepsi masyarakat dan nelayan tentang rencana pengelolaan ke depan
diarahkan pada rehabilitasi hutan, zonasi wilayah konservasi dan pemanfaatan, domestikasi
ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksi hukum pelanggaran pemanfaatan SDA,
restocking ikan asli, transfer teknologi pembenihan dan budidaya, inisiasi pembentukan
lembaga masyarakat pengelola GSK (Tabel 4.5.3). Keberhasilan suatu pengelolaan dirasakan
langsung oleh nelayan dan pengelolaa suatu SDA.
Berdasarkan hasil FGD, persepsi
keberhasilan pengelolaan menurut pemanfaat dan pengelola rawa banjiran GSK diindikasikan
pada besarnya produksi ikan dan pendapatan masyarakat serta masih baiknya
keragaman
ikan.
64
Tabel 4.5.2. Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang isu penting pengelolaan SDA di
Giam Siak Kecil
No
Isu dan Permasalahan
Serai
Jawaban responden/Lokasi Tasik
Katialau
Betung
Air
Rataan
Hitam
Pemanfaat
12
9
10
9
Rataan
Pengelola
1
Peningkatan ketinggian air
7
2
Penurunan ketinggian muka air
5
16
8
9
9
3
9
10
12
9
10
8
5
5
4
5
6
9
3
9
4
6
8
6
Meluasnya wilayah tumbuhan air di
perairan
Penurunan ketebalan hutan di sekitar
GSK
Hilangnya sumber-sumber air dan
sungai di sekitar GSK
Pencemaran perairan
10
6
9
7
5
9
2
6
7
Penurunan jumlah jenis-jenis ikan
6
7
9
7
7
8
Penurunan jumlah ikan
3
6
4
3
4
9
Penurunan pendapatan dari hasil
tangkapan/karamba/pariwisata
Pemakaian alat tangkap illegal
(strum,tuba, bom)
Padatnya jumlah jaring (alat tangkap
ikan)/keramba dioperasikan di
perairan
Semakin kecilnya ukuran mata jaring
yang dioperasikan
Belum ada peraturan-peraturan
mengenai pemanfaatan, pengawasan
dan sanksi berkaitan dengan
sumberdaya GSK
Belum diterapkannya peraturanperaturan mengenai pemanfaatan,
pengawasan dan sanksi berkaitan
dengan sumberdaya GSK
Belum ada wadah/lembaga pengelola
sumberdaya GSK
Rendahnya pemahaman masyarakat
terhadap kelestarian sumberdaya
2
7
4
4
4
7
5
5
7
9
3
7
3
5
8
9
5
10
9
8
10
12
5
10
9
9
10
12
7
8
9
9
4
13
9
7
12
10
4
12
11
7
13
11
6
13
15
9
16
13
4
4
5
10
11
12
13
14
15
16
Sumber: Data FGD 2013 diolah
Keterangan: Prioritas jawaban utama diindikasikan dengan skor yang mendekati angka 0
65
Tabel 4.5.3. Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang peluang peluang untuk perbaikan
sistem pengelolaan SDA di Giam Siak Kecil
No
Peluang Perbaikan
Jawaban responden/Lokasi Tasik
Serai
Katialau
Betung
Air Hitam
2
3
1
4
Rataan
Pemanfaat
2
Rataan
Pengelola
1
Rehabilitasi hutan
2
Pembersihan tumbuhan air
6
5
6
3
Instalasi pengendalian limbah
industri di perkotaan
Pengadaan sarana
penampungan sampah organik
dan organik pemukiman dan
usaha pariwisata
Pengadaan tempat
pembuangan sampah akhir
Domestikasi ikan asli pada Balai
Benih Ikan Dinas KKP
Transfer teknologi pembenihan
dan budidaya ikan Asli
Restocking ikan asli GSK
6
7
7
4
7
8
8
7
7
9
6
8
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Zonasi wilayah konservasi dan
pemanfaatan di GSK
Inisiasi pembentukan lembaga
masyarakat pengelola GSK
Penerapan pengawasan dan
sanksi hukum pelanggaran
hukum pemanfaatan
sumberdaya GSK
Pembatasan jumlah dan ukuran
mata jaring alat tangkap dan
keramba pada musim tertentu
9
4
2
3
4
2
3
3
5
2
4
3
8
4
5
2
2
4
6
4
3
4
1
3
3
5
3
3
4
9
5
4
3
3
3
5
4
1
3
7
3
4
4
Sumber: Data FGD 2013 diolah
Keterangan: Prioritas jawaban utama diindikasikan dengan skor yang mendekati angka 0
Tabel 4.5.4. Kriteria keberhasilan dan kegagalan pengelolaan
No
Kriteria Keberhasilan
Serai
Jawaban responden/Lokasi Tasik
Katialau
Betung
Air Hitam
1
Produksi ikan
1
2
3
1
Rataan
Pemanfaat
2
2
Keragaman ikan
4
2
4
3
3
3
Kuantitas dan kualitas perairan
4
4
4
4
4
4
Pendapatan masyarakat
2
2
2
3
2
5
Kualitas pendididkan
masyarakat
Tidak adanya konflik
5
5
4
5
5
3
3
3
3
4
5
5
4
6
5
4
6
Rataan
Pengelola
Sumber: Data FGD 2013 diolah
Keterangan: Prioritas jawaban utama diindikasikan dengan skor yang mendekati angka 1
66
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Pengembangan pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya perairan
rawa banjiran GSK bagi perikanan dapat dikelompokkan kedalam pengembangan
usaha perikanan tangkap dan pengolahan ikan. Hasil FGD memetakan status dan
permasalahan pemanfaatan serta pendayagunaan sumberdaya GSK, dalam
kelompok
dinamika potensi sumberdaya perairan dan ikan, potensi dan
pemanfaatan sumberdaya alam non perikanan dan sosial ekonomi serta
kelembagaan pengelolaan perikanan.
Penurunan kualitas sumberdaya perairan GSK disebabkan oleh dan faktor
anthropogenik. Oleh karena itu arah kebijakan dan strategi pengelolaan dimasa
mendatang agar lebih ditekankan pada upaya meminimalisasi tekanan lingkungan
dan menyusun dan menerapkan peraturan mengenai pemanfaatan pengawasan dan
sangksi berkaitan dengan sumberdaya GSK. Pengelolaan yang perlu dilakukan
kedepan diantaranya adalah rehabilitasi hutan, zonasi wilayah konservasi dan
pemanfaatan, domestikasi ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksi hukum
pelanggaran pemanfaatan SDA, restocking ikan asli, transfer teknologi
pembenihan dan budidaya, inisiasi pembentukan lembaga masyarakat pengelola
GSK
Bagi peruntukan pengembangan pemanfaatan perikanan arah dan strategi
kebijakan yang disarankan adalah: penetapan zonasi pemanfaatan, domestikasi
ikan asli, transfer teknologi pembenihan ikan asli dan restocking ikan asli seperti
tapah, baung dan selais. Model Pengelolaan sumberdaya perairan rawa banjiran
GSK secara keseluruhan harus bersifat terpadu, komprehensif dan partisipatif
sesuai dengan dinamika perkembangan yang terjadi.
67
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2010a. Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Access 23 Desember 2010.
http://www.bengkalis.go.id/sajian_menu.php?link_unemdi=4
Anonymous. 2010b. Pemerintah Kabupaten Siak. Access 23 Desember 2010.
http://siakkab.go.id/tentangsiak_4_Geografi.html
Anonymous. 2011. Classification system for wetland type. Http://www.
Ramsar.org/cda/en/ramsar-activities-cepa-classification-system/main/ramsar/16369^21235_4000_0. Akses Oktober 2011 jam 9.42
Anonimous. 2011. Suaka Margasatwa di Riau – Sumatera – Indonesia. Suaka
Margasatwa di Riau – Sumatera – Indonesia Thursday, 27 January 2011 09:52
(ramsar.org, 2011). http://www.ramsar.org/pictures/norbalwet - 2007 - 04. Jpg.
Disebut “hochmoor”.
Anonymous,
2013.
Sistem
Sosial
Ekologi.
mcrm.blogspot.com/2012/04/
sistem-ekologi-sosial.html
Desember 2013.
http://tropicaldiakses
11
Griffin, E., K.L. Miller, B. Freitas, and M. Hirshfield. 2008. Predator as prey: why
healthy ocean need sharks. Oceana. Washington D.C. 20 pp
Hoggarth, D., M.F. Sukadi, A.S. Sarnita, S. Koeshendrajana, N.A. Wahyudi, E.S.
Kartamihardja, A. Poernomo, M.S. Anggraeni, A.K. Gaffar, Ondara, Samuel,
M.A. Thomas, Murniati dan K. Purnomo. 2000. Panduan Pengelolaan
Bersama Suaka Produksi Ikan Di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran.
Balitbangtan – Puslitbang Perikanan. Jakarta. 27 hal.
Husnah et al., 2009. Penentuan Tingkat Degradasi Lingkungan Perairan di Sungai
Siak Bagian Hilir dengan benthic Integrated Biotic Index (B-IBI). Laporan
Tahunan/Akhir. T.a. 2009. Internal record. BRPPU.PRPT.BRKP.DKP.
Husnah dan E. Prianto. 2011. Karakteristik lingkungan perairan rawa: Studi kasusu
rawa banjiran suaka margasatwa Giam Siak Kecil. Dalam: Perikanan dan
kondisi lingkungan sumberdaya ikan perairan umum daratan Riau.N.N.
Wiadyana, A. K. Gaffar dan Husnah (eds). Bee Publishing. Palembang. Hal:
37-60
Husnah, Makri, E. Riani, K. Fatah, Maturidi, A. Sudrajat, M. Marini, Darmansyah,
M. D. Rastina dan R. S. Junianto. 2011. Karakteristik Habitat, Sumber Daya
Perairan Dan Kegiatan Penangkapan Ikan Di Komplek Danau Rawa Banjiran
Sub DAS Mandau, Provinsi Riau. Laporan Teknis (tidak dipublikasikan).
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan,
Balitbang-KP, KKP. Jakarta.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartika, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes
of western Indonesia and Sulawesi. Barkeley Books. Singapura
LIPI. 2007. Keanekaragaman Hayati Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil Tasik
Bitung Dan Hutan Konservasi PT Arara Abadi Blok Bukit Batu, Riau.
68
Laporan Akhir: Kerjasama LIPI dengan PT Arara Abadi Sinar Mas Asia Pulp
and Paper, Riau. 112 hal.
MAP Bosphere Reserve Directory. 2010. Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Acces 23
Desember 2010. http://www.unesco.org/mabdb/br/brdir/directory/ biores.asp?
code=INS+07 &mode=all
Marini, M. Asyari, dan Herlan. 2011. Keragaman jenis ikan. Dalam: Perikanan dan
kondisi lingkungan sumberdaya ikan perairan umum daratan Riau.N.N.
Wiadyana, A. K. Gaffar dan Husnah (eds). Bee Publishing. Palembang. Hal:
141-230.
Priyatna, F.N. 2007. Laporan Aspek Sosial Ekonomi Sungai Seruyan. Balai Besar
Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Sarnita, A.S., M.F. Sukadi dan F. Cholik. 1993. Program penelitian perikanan
perairan umum. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Perairan Umum.
Pengkajian potensi dan prospek pengembangan perairan umum Sumatera
Simatauw, M., L. Simanjuntak dan P.T. Kuswardono. 2001. Gender dan
Pengelolaan Sumber daya Alam: Sebuah Panduan analisis. Yayasan
Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL).
Galang Printika.
Yogjakarta. 106 hal.
Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries: Ecology and Management. Food and
Agricultural Organization. The United Nation. Fishing News Book. Oxford.
357 p.
Wikipedia. 2013. List of apex predators http://en.wikipedia.org/wiki/
List_of_apex_predators#In_ aquatic_environments. 24 Desember 2013 jam
12.10
Wooton, J. 1991. Ecology of Teleost Fishes. New York: Chapman & Hall.
69
Download