LAPORAN TAHUNAN/AKHIR IDENTIFIKASI KOMPONEN PENYUSUN PENGELOLAAN PERIKANAN DI RAWA BANJIRAN GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU Oleh : Husnah, Yoga Candra Ditya, Melfa Marini, Sonny Koeshendrajana, Joko Samiaji, Dessy, dan Raider Sigit Juniarto ` PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2013 LAPORAN TAHUNAN/AKHIR IDENTIFIKASI KOMPONEN PENYUSUN PENGELOLAAN PERIKANAN DI RAWA BANJIRAN GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU Oleh : Husnah, Yoga Candra Ditya, Melfa Marini, Sonny Koeshendrajana, Joko Samiaji, Dessy, dan Raider Sigit Juniarto PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2013 ii LEMBAR PENGESAHAN : Identifikasi komponen penyusun pengelolaan 1. Judul penelitian perikanan rawa banjiran Giam Siak Kecil, Provinsi Riau 2. Tim Penelitian : - Husnah - Yoga Candra Ditya - Melfa Marini - Sonny Koeshendrajana - Joko Samiaji - Dessy - Raider Sigit Junianto 3. Jangka Waktu Penelitian : (Koodinator) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) 1 (satu) Tahun Palembang, Desember 2013 Mengetahui, Kepala Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Koordinator Kegiatan Drs. Budi Iskandar, MSc NIP. Dr. Ir. Husnah, M.Phil NIP. 19610215 198903 2 001 iii ABSTRAK Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti dari cagar biosfir GSK-BB. Sasaran utama penetapan cagar biosfir adalah sebagai kawasan konservasi dan sebagai model pengelolaan lahan yang berkelanjutan. namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah dimanfaakan masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk perikanan. Hasil studi pada tahun 2010 mengindikasikan perubahan antrophogenik yang berasal dari wilayah sekitar cagar biosfir. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan di cagar biosfir ini belum optimal. Mengingat kegiatan pemanfaatan dari berbagai sektor perlu disusun model pengelolaan yang terpadu dengan pendekatan berbasis masyarakat dan ekosistem yang melibatkan berbagai lembaga dan pengguna (stakeholder) yang terkait dengan keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya alam di GSK. Penelitian bersifat multi tahun untuk mendukung pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK. Pada tahun 2013 kegiatan yang dilakukan berupa desk study dan Focus group discussion dengan pemanfaat dan pangelola sumberdaya ikan di rawa banjiran GSK. Penurunan kualitas sumberdaya perairan GSK disebabkan oleh dan faktor anthropogenik. Oleh karena itu arah kebijakan dan strategi pengelolaan dimasa mendatang agar lebih ditekankan pada upaya meminimalisasi tekanan lingkungan dan menyusun dan menerapkan peraturan mengenai pemanfaatan pengawasan dan sangksi berkaitan dengan sumberdaya GSK. Pengelolaan yang perlu dilakukan kedepan diantaranya adalah rehabilitasi hutan, zonasi wilayah konservasi dan pemanfaatan, domestikasi ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksi hukum pelanggaran pemanfaatan SDA, restocking ikan asli, transfer teknologi pembenihan dan budidaya, inisiasi pembentukan lembaga masyarakat pengelola GSK. Bagi peruntukan pengembangan pemanfaatan perikanan arah dan strategi kebijakan yang disarankan adalah: penetapan zonasi pemanfaatan, domestikasi ikan asli, transfer teknologi pembenihan ikan asli dan restocking ikan asli seperti tapah, baung dan selais. Model Pengelolaan sumberdaya perairan rawa banjiran GSK secara keseluruhan harus bersifat terpadu, komprehensif dan partisipatif sesuai dengan dinamika perkembangan yang terjadi. . iv KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat nya sehingga riset berjudul “Identifikasi komponen penyusun pengelolaan perikanan di rawa banjiran Giam siak Kecil, Provinsi Riau” dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana. Tujuan ini adalah untuk mendapatkan data dan informasikomponen penyusun pengelolaan sebagai berikut: (1) Potensi dan peamanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GSK (2) Potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK, (3) Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK, (4) Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK dan (5) Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK.Diharapkan dengan adanya informasi ini dapat memberikan kontribusi terhadap penyusunan konsep pengelolaan sumberdaya perikana di rawa banjiran Giam Siak Kecil, provinsi Riau. Ucapan terima kasih kami tujukan terutama kepada pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini: 1. Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Riau 2. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura 3. BAPPEDA ProvinsiRiau 4. BAPPEDA Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura 5. BLHD Kabupaten Bengkalis dan Siak Indrapura 6. Dekan Fakultas Perikanan, Universitas Riau 7. Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau 8. PT. Sinarmas Forestry 9. Peneliti non klas dan teknisi di Laboratorium Koleksi Ikan, Hidrobiologi dan Kimia BPPPU 10. Kepala Desa, nelayan dan masyarakat lainnya di Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air Hitam Demikianlah semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi dunia perikanan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Palembang, Desember 2013 Penulis v DAFTAR ISI No HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR Hal i iii iv v vi vii x I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Dan Sasaran 1.3. Tujuan dan Sasaran Kegiatan 1.4. Keluaran yang Diharapkan 1.5. Hasil Yang Diharapkan 1.4. Manfaat dan Dampak 1 1 2 3 3 4 4 II TELAHAAN HASIL-HASIL PENELITIAN TERKAIT SEBELUMNYA 2.1. Definisi dan Klasifikasi Lahan Rawa 2.2. Karakteristik Khas Ekosistem Rawa Banjiaran 2.3. Profil Kewilayahan Mandau 2.4. Asumsi Dampak Degradasi Lingkungan Terhadap Komponen Ikan 5 III. 5 8 10 11 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran dan Alur Pendekatan Pemecahan Masalah Penelitian 3.2. Waktu dan Lokasi 3.3. Pendekatan Dalam Penelitian 3.4. Kebutuhan Data 3.5. Faktor Resiko dan Keberhasilan 3.6. Komponen Kegiatan 3.7. Alat dan Bahan Penelitian 3.8. Metode Penelitian 13 13 13 13 14 14 14 15 15 vi No IV. Hal HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan dan Ikan di Di Rawa Banjiran Giam Siak Kecil 4.2. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Non Perikanan 4.3. Sosial ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sungai dan Rawa Banjiran Giam Siak Kecil 4.4. Existing Pengelolaan Sumberdaya Alam di GSK 4.5. Kelembagaan 17 V. KESIMPULAN DAN SARAN 66 VI. DAFTAR PUSTAKA 67 47 48 59 60 vii DAFTAR TABEL No 2.1 Hal Parameter kunci lingkungan terdegradasi 11 4.1.4.1 Jenis-jenis ikan di sekitar Giam Siak Kecil Provinsi Mandau 32 4.1.4.2 Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem dan dinamika fluktuasi air dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010. Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah 35 4.1.4.3 Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem, dinamika fluktuasi air dan alat tangkap dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010. Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah 37 4.1.4.4 Jenis ikan tertangkap nelayan di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Data FGD 2013 diolah) 39 4.1.4.5 Jenis ikan yang mengalami penurunan jumlah di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Data FGD 2013 diolah) 40 4.1.4.6 Jenis ikan yang punah di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Diolah dari data FGD 2013) 41 4.1.5.1 Hasil tangkapan nelayan pada berbagai tinggi air, tipologi habitat dan jenis alat tangkap (Data penelitian Husnah et al (2010) diolah 44 4.1.5.2 Jenis dan sebaran ikan di Danau Laut Tawar dan disepanjang badan sungai Krueng Peusangan pada tahun 2012 (warna hitam, biru dan merah adalah waktu ditemukan masing-masing pada bulan Maret, Juni dan Septmber ) 48 4.3.2.1 Deskripsi Profil Sosial Ekonomi Nelayan Perairan Sungai dan Rawa Banjiran GSK Menurut Lokasi Terpilih, 2013. 51 4.3.3.1 Mata Pencaharian Masyarakat Menurut Jenis Usaha, Pengalaman Usaha dan Alokasi Curahan Kerja di Lokasi Terpilih, 2013. 53 4.3.3.2 Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan Sehari-hari Di GSK, 2013. 54 4.3.3.3 Dinamika Pola Penggunaan Alat Tangkap dan Ikan Tertangkap Menurut Bulan di Lokasi Studi, 2013. 54 viii No Hal 4.3.4.1 Jumlah anggota bekerja responden di rawa banjiran Giam Siak Kecil 55 (GSK) 4.3.4.2 Struktur Pendapatan Keluaraga Menurut Kategori Jenis Pendapatan dan Besaran Pendapatan Yang Diterima di Giam Siak Kecil, 2013. 56 4.3.4.3 Struktur Pengeluaran Keluarga Menurut Kategori jenis Pengeluaran dan Besarannya di rawa banjiran Giam Siak Kecil (GSK), 2013. 57 4.3.5.1 Rata-rata luas lahan usaha responden 57 4.3.6.1 Peran Perempuan Dalam Keluarga dan Keterkaitannya dengan Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Sungai dan Rawa GSK, 2013. 58 4.4.1. Persepsi masyarakat di rawa banjiran Giam Siak Kecil mengenai sumberdaya alam 60 4.4.2 Persepsi masyarakat di rawa banjiran Giam Siak Kecil mengenai sumberdaya alam 60 4.4.3 Persepsi responden (pemanfaat) terhadap komponen dan proses pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran Giam Siak Kecil 61 4.5.1 Identifikasi Kelembagaan Masyarakat Nelayan di Tasik Karialau, Air Hitam, Betung dan Serai (2013). 62 4.5.2 Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang isu penting pengelolaan SDA di Giam Siak Kecil 64 4.5.3 Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang peluang peluang untuk perbaikan sistem pengelolaan SDA di Giam Siak Kecil 65 4.5.4 . Kriteria keberhasilan dan kegagalan pengelolaan 65 ix DAFTAR GAMBAR No Hal 2.2.1 Contoh ekosistem “Swamp” di daerah aliran sungai (DAS) Rawas Provinsi Sumatra Selatan. 5 2.2.2 Contoh ekosistem “Marsh” di daerah aliran sungai (DAS) Lempuing, Provinsi Sumatra Selatan 6 2.2.3 Contoh ekosistem “blanket bog” (a) dan “raised bog’ (b). 19 2.2.4 Contoh ekosistem disebut “hochmoor". 21 3.1 Kerangka pemikiran dan alur pemecahan masalah penelitian . Alur Pengelolaan ) ( ) 13 4.1.1.1 Sungai Siak Kecil dan tasik-tasik di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Provinsi Riau (Husnah & Prianto, 2011). 17 4.1.1.2 Profil rawa banjiran di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Provinsi Riau (Husnah & Prianto, 2011). 18 4.1.1.3 Kondisi Tasik Betung saat muka air rendah (tahun 2008) dan tinggi (Agustus, 2010) (Husnah & Prianto, 2011). 18 4.1.3.1 Tinggi muka air di Tasik Cagar Biosfir GSK (A) penguapan (B) dan curah hujan (C) di stasiun klimatologi Pekanbaru tahun 2010 (Husnah & Prianto, 2011) 20 4.1.3.2 Tinggi muka air (water level) pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). 21 4.1.3.3 Suhu udara dan air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). 22 4.1.3.4 Nilai pH sedimen pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, dan Agustus 2010 (Husnah & Prianto, 2011). 23 x No Hal 4.1.3.5 Nilai pH air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). 23 4.1.3.6 Nilai keasaman mineral (a) dan keasaman total (b) pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). 24 4.1.3.7 Bahan organik (A) total organik karbon (TOC) dan organik karbon terlarut (DOC) pada bulan Agustus (B) pada Komplek Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil di Riau pada tahun 2010. 25 4.1.3.8 Kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010. 26 4.1.3.9 Kandungan konsumsi oksigen biota (BOD 5 day) dan konsumsi oksigen proses kimia (COD) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil, Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). 27 4.1.3.10 Kandungan jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik (conductivity) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). 28 4.1.3.11 Kandungan fenol pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Agustus 2010. 29 4.1.3.12 Kandungan bahan organik pada sedimen di tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil (Husnah & Prianto, 2011). 29 4.1.3.13 Kandungan logam berat Timah Hitam (Pb) pada sedimen di tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari dan Mei. 30 4.1.3.14 Laju produksi karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) dari tumbuhan sepadan di di komplek danau rawa banjiran Giam Siak Kecil Provinsi Riau , 2010 31 4.1.5.1 42 Hasil tangkapan ikan pada alat lukah (pot trap) di Tasik Air Hitam pada tahun 2010 (Husnah et al., 2010) xi No Hal 4.1.5.2 Hasil tangkapan ikan pada alat jaring (gill net) di Tasik Air Hitam pada tahun 2010 (Husnah et al., 2010). 43 4.1.5.3 tangkapan ikan pada berbagai alat tangkap di kempat tasik pada bulan Pebruari, Mei, Agustus dan November 2010 (Marini et al., 2011) 45 4.3.1.1 Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung, Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Pasang Maksimum di Perairan SungaiDan Rawa Banjiran GSK. 49 4.3.1.2 Betung, Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Suru Terendah di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran GSK. 50 4.3.2.1 Distribusi Komposisi Kelompok Usia Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Katialau, Tasik Serai dan Tasik Betung Tahun 2013. Keterkaitan sumber daya, pemanfaat dan pengelola sebagai ilustrasisistem sosial ekologi. 51 4.3.3.1 52 xii 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil merupakan satu dari dua suaka margasatwa dalam kawasan inti (core) Cagar Biosfir Giam Siak Kecil (GSK)Bukit Batu di Provinsi Riau yang ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai cagar biosfir ke tujuh di Indonesia pada bulan Mei 2009 di Jeju, Korea Selatan (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2009). Dibandingkan dengan enam cagar biosfir lainnya di Indonesia, Cagar Biosfir GSK-Bukit Batu memiliki karakteristik yang spesifik diantaranya adalah kawasan intinya (core zone) merupakan kawasan konservasi dan hutan produksi yang tidak dikonversi (Biosphere Reserve Directory, 2010; LPPM IPB, 2009), sedangkan cagar biosfir lainnya kawasan intinya adalah taman nasional. Sasaran utama ditetapkannya Cagar Biosfer GSK-BB tersebut diantaranya adalah adalah: (1) memanfaatkan Cagar Biosfer untuk konservasi sumberdaya alam dan (2)memanfaatkan Cagar Biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan di bentang lansekap (sustainable development of the landscape) hutan rawa gambut, tasik dan sistem perairannya, dan lahan gambut yang telah dikonversi menjadi hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, pertanian, dan pemukiman (LIPI, 2009; Biosphere Reserve Directory, 2010). Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti, namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah dimanfaakan masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk perikanan. Sampai saat ini informasi mengenai potensi dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di rawa banjiran ini masih terbatas. Studi yang dilakukan Husnah et al (2010) menunjukkan intensitas penangkapan ikan yang tinggi diindikasikan dengan padatnya berbagai alat tangkap yang dioperasikan di danau rawa banjiran (tasik) maupun di Sungai Siak baik pada musim kemarau maupun hujan. Jenis ikan yang ditemukan mencapai 37 spesies dan didominasi oleh kelompok ikan rawa (blackfish) ekonomis dari famili Siluridae seperti ikan lais-laisan 1 (Kryptopterus spp) dan Ikan Tapah (Wallago leeri), dan dari famili Bagridae yaitu Ikan Baung (Hemibagrus nemurus). Suatu wilayah yang akan dijadikan kawasan suaka hendaknya memenuhi beberapa persyaratan diantaranya tersedianya kualitas lingkungan yang baik untuk kehidupan, pertumbuhan dan perkembangbiakan biota yang dilindungi (Koeshendrajana&Hoggarth, 1998; Hoggarth, 2000; Crivelli, 2002). Namun hasil studi Husnah dan Marini (2011) mengindikasikan tingginya kandungan logam berat timah hitam (Pb) dan cadmium pada sedimen dan organ ikan yang berasal dari rawa banjiran Giam Siak Kecil. Selain itu prevalensi ketidaknormalan kesehatan ikan mencapai 20%. Kondisi ini mengindikasikan adanya pengaruh antrophogenik yang berasal dari sekitar wilayah cagar biosfir. Untuk memfungsikan suaka margasatwa GSK secara optimal dengan tetap memperhatikan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat disekitarnya perlu dilakukan penyusunan dan implementasi model pengelolaan sumberdaya di rawa banjiran GSK. Upaya ini telah diinsiasi oleh Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum (BP3U) melalui penandatangan naskah keinginan bekerja sama antara BP3U dengan lembaga dan stakeholder di provinsi Riau diantaranya adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Balai Pengelolaan DAS, Fakultas Perikanan Universitas Riau dan PT Sinarmas Forestry pada bulan Oktober 2011. Kegiatan desk study ” Identifikasi komponen penyusun pengelolaan perikanan di rawa banjiran Giam Siak Kecil, Prov Riau” merupakan satu dari rangkaian penelitian yang bersifat multi tahun untuk mendukung pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK. 1.2. Justifikasi Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti dari cagar biosfir GSK-BB. Sasaran utama penetapan cagar biosfir adalah sebagai kawasan konservasi dan sebagai model pengelolaan lahan yang berkelanjutan. namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah 2 dimanfaakan masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk perikanan. Hasil studi pada tahun 2010 mengindikasikan perubahan antrophogenik yang berasal dari wilayah sekitar cagar biosfir. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan di cagar biosfir ini belum optimal. Mengingat kegiatan pemanfaatan dari berbagai sektor perlu disusun model pengelolaan yang terpadu dengan pendekatan berbasis masyarakat dan ekosistem yang melibatkan berbagai lembaga dan pengguna (stakeholder) yang terkait dengan keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya alam di GSk. 1.3. Tujuan Dan Sasaran Kegiatan Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi komponen-komponen penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran Giam Siak Kecil: a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GSK b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya data dasar komponen penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK diantaranya: a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GSK b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK 3 1.4 Keluaran Yang Diharapkan Keluaran dari penelitian ini adalah komponen penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK diantaranya: a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GSK b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK 1.5 Hasil Yang Diharapkan Data dan informasi komponen komponen penyususn pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran GSK 1.6 Manfaat Dan Dampak Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi komponen penyusun pengelolaan terpadu sumberdaya ikan di rawa banjiran Giam Siak Kecil. Dampak yang diharapkan dari kegiatan penelitian adalah keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya ikan di rawa banjiran Giam Siak Kecil. 4 II. TELAAH HASIL–HASIL PENELITIAN TERKAIT SEBELUMNYA 2.1. Definisi Dan Klasifikasi Lahan Rawa Lahan rawa berdasarkan Artikel 1.1 Konvensi Ramsar yang dilaksanakan di Iran pada tahun 1971, didefinisikan sebagai lahan basah, atau “wetland”, yang mencakup wilayah “marsh”, “fen”, lahan gambut (peatland), atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak (static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak melebihi enam meter (Anonimous, 2011). Menurut Subagyo (2006) lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah, seperti “swamp”, “marsh”, “bog” dan “fen”, masing-masing mempunyai arti yang berbeda (Anonimous, 2011).. “Swamp” adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut (Gambar 2.2.1). Gambar 2.2.1 Contoh ekosistem “Swamp” di daerah aliran sungai (DAS) Rawas Provinsi Sumatra Selatan. 5 “Marsh” adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen, namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara periodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali diendapkan. Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh biasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa “reeds” (tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites sp.), “sedges” (sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili Cyperaceae), dan “rushes” (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau “mendong”, dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau keranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau saltwater marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau fresh water marsh) (SSSA, 1984; Monkhouse & Small, 1978)(Gambar 2.2.2). Gambar 2.2.2 “Bog” Contoh ekosistem “Marsh” di daerah aliran sungai (DAS) Lempuing, Provinsi Sumatra Selatan. adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut Spaghnum sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (bereaksi) masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog” (Gambar 2.2.3a), dan "raised bog” (Gambar 2.2.3b). Blanket bog adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk deposit gambut tersusun dari lumut Spaghnum, menutupi tanah seperti selimut pada 6 permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut masam yang tebal disebut “hochmoor" (Gambar 2.2.4),yang dapat mencapai ketebalan 5 meter, dan membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal . a b Gambar 2.2.3 Contoh ekosistem “blanket bog” (a) dan “raised bog’ (b). Gambar 2.2.4 Contoh ekosistem disebut “hochmoor". “Fed” adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa sejenis “reeds”, “sedges” dan “rushes”, tetapi air tanahnya bereaksi alkalis, biasanya mengandung kapur (CaCO3) atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut “laagveen” atau “lowmoor”. 7 2.2. Karakteristik Khas Ekosistem Rawa Banjiran Karakteristik khas ekosistem rawa adalah secara periodik mengalami musim air dalam dan musim air dangkal. Fluktuasi kedalaman ini akibat limpahan air dari sungai, danau dan atau air hujan (Junk dan Wantzen, 2004). Perubahan kedalaman air musiman mempengaruhi kondisi kualitas air (Hartoto, 2000), dan ritme kehidupan ikan (Lowe-McConnell, 1987). Perubahan kedalaman air merupakan faktor utama yang menentukan struktur komunitas ikan di rawa banjiran/lebak (Lowe-McConnell, 1987; Baran dan Cain, 2001; Hoeinghais et al, 2003). Struktur dan fungsi komunitas biota perairan berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup dari biota tersebut. Lain halnya dengan biota pada lingkungan darat (terrestrial) dimana perkembangan struktur dan fungsi komunitas merupakan fungsi dari kualitas dan kuantitas lahan dan udara, struktur dan fungsi biota perairan selain fungsi kedua komponen tersebut juga merupakan fungsi dari kualitas dan kuantitas media air. Karakteristik dan dinamika kualitas media air sangat dipengaruhi oleh kualitas udara, tanah di dasar perairan, geomorfologi dan kegiatan yang ada di daerah tangkapan air (water catchment area) dan di daerah aliran sungai. Habitat ikan tidak hanya menyediakan kualitas dan kuantitas air untuk hidup, namun dapat juga menyediakan pakan alami ataupun substrat untuk tumbuh dan berkembang biak. Oleh karena itu, dikenal beberapa jenis habitat seperti habitat pengasuhan, habitat mencari makan dan habitat pemijahan. Habitat ikan bervariasi tergantung pada karakteristik morfologi dan tingkah laku ikan yang berbeda antara satu jenis ikan dengan jenis ikan lainnya. Untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan perlu.dilakukan pengelolaan perikanan, meliputi berbagai kegiatan yang ditujukan dalam pengelolaan perikanan, diharapkan kesejahteraan hidup masyarakat dapat meningkat,oleh sebab itu inventarisasi mengenai keinginan, harapan dan prefensi masyarakat perlu dilakukan (Kartamihardja, 1993). Hal-hal yang perlu diperhatikan agar dicapai tingkat pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan, adalah : 8 a. Pengelolaan Habitat Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan di dalam pengelolaan sumberdaya perairan adalah kondisi habitat agar habitat baru tersebut sesuai bagi persyaratan perkembangan populasi ikan untuk menyelesaikan daur hidupnya.karna setiap perairan yang terbentuk mungkin hanya cocok sebagai daerah pertumbuhan, tetapi tidak sebagai daerah pemijahan bagi beberapa jenis ikan, sehingga ikan tersebut hanya dapat tumbuh namun tidak dapat melanjutkan keturunannya. Agar produksi perikanan di perairan rawa banjiran meningkat dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka pengelola perikanan harus mampu memanipulasi dan memodifikasi habitat rawa banjiran sehingga sesuai dengan persyaratan yang diperlukan oleh populasi ikan. b. Pengelolaan Populasi Ikan Perubahan ekosistem sungai menjadi ekosistem rawa banjiran akan berpengaruh terhadap populasi ikan. Pada awal penggenangan, siklus hidup ikan akan terganggu. Jenis ikan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan rawa banjiran akan tumbuh dan berkembang biak serta biasanya merupakan ikan yang mendominasi. Sebaliknya, jenis ikan yang kurang atau tidak mampu beradaptasi, pada jangka panjang akan menghilang meskipun mungkin pada tahun pertama penggenangan jumlahnya melimpah. c. Pengelolaan Penangkapan Pola usaha penangkapan ikan yang dikembangkan di suatu perairan harus didasarkan pada pengetahuan tentang populasi ikan seperti formasi populasi, dinamika populasi, kelimpahan stok dan biomass, dan produksi maksimum lestari yang dapat dicapai. Usaha penangkapan diarahkan pada rasionalisasi pemanfaatan sumber yang optimal dengan memperhatikan kelestarian sumber. Dengan sasaran itu, maka pola pembinaan pengelolaan di daerah padat menurut Widana dan Martosubroto (1986) dilakukan dengan upaya sebagai berikut : 1. pembatasan upaya baik jumlah alat tangkap maupun musim penangkapan. 2. pembatasan ukuran mata jaring atau alat lain 9 3. membangun reservat baru dan meningkatkan fungsi reservat yang sudah ada, serta perlu adanya pengawasan terhadap kegiatan nelayan yang merugikan fungsi reservet tersebut dan perlu adanya penyuluhan tentang arti penting suatu reservat. 4. mengadakan penebaran yang harus ditunjang dengan penyediaan benih yang cukup dengan jalan meningkatkan fungsi BBI lokal. 5.perlu penyuluhan yang intensif kepada masyarakat mengenai pentingnya kelestarian sumber. Pengendalian penangkapan ikan antara lain dapat dilakukan dengan cara: 1. Menetapkan daerah dan musim atau bulan larangan penangkapan ikan, yang bertujuan untuk memberi kesempatan ikan berkembang biak dan bertumbuh. 2. Pengaturan ukuran terkecil yang boleh ditangkap, yaitu dengan penetapan ukuran terkecil mata jaring insang dan ukuran mata pancing rawai yang boleh dipakai oleh nelayan. 3. Pengaturan upaya penagkapan, misalnya dengan mengatur jumlah nelayan dan atau unit alat tangkap. 4. Larangan penggunaan alat tangkap ikan yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan, misalnya larangan penggunaan bahan peledak dan bahan beracun berbahaya (B3), alat tangkap berarus listrik dan pukat harimau. 2.3. Profil Kewilayahan Mandau Mandau merupakan sebuah kecamatan yang terletak di kabupaten Bengkalis, dengan Ibukota Duri, luas wilayah 937.47 km2, 9 kelurahan dan 6 desa. Kabupaten bengkalis awalnya terdiri dari 1 (satu) wilayah pembantu Bupati yang berkedudukan di Duri dan 8 (delapan) wilayah kecamatan, yaitu : Kecamatan Bengkalis (luas 514,00 km2), kecamatan Mandau (luas 3,440,47 km2) ibukota Duri, Kecamatan Merbau (luas 1.348,91 km2) ibu kota Teluk Bitung, Kecamatan Tebing Tinggi (luas 1.436,83 km2) dengan ibukota Selat Panjang, Kemudian berdasarkan data akhir 2002 (sumber : badan pusat Statistik), Kabupaten Bengkalis mengalami pemekaran wilayah menjadi 11 (sebelas) kecamatan Gambar 2.1) Kecamatan – kecamatan tersebut (3 kecamatan baru) adalah Kecamatan 10 Rangsang Barat (dengan luas 241,60 km2 dan ibukota Segomeng) merupakan pemekaran dari Kecamatan Rangsang (luas menjadi 681 km2), Kecamatan Rupat Utara (ibukota Tanjung Medan dengan luas 628,50 km2) yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Rupat (luas menjadi 896,35 km) dan Kecamatan Tebing Tinggi Barat (Ibukota Alai dengan luas 586,83 km2) yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Tebing Tinggi (luas menjadi 849,50 km2) serta menjadi 136 desa 24 Kelurahan (berdasarkan data akhir 2002). Selanjutnya berdasarkan perda yang disyahkan awal tahun 2003, guna mempercepat proses pembangunan Kabupaten Bengkalis dimekarkan kembali hingga menjadi 13 kecamatan pinggir (merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Mandau) dan Kecamatan Siak Kecil (merupakan pemekaran dari Kecamatan Bukit Batu). Batas wilayah dari kecamatan Mandau adalah Sebelah Utara Berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu dan Kodya Dumai, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pinggir, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu dengan Letak wilayah 0°56’12”-1°28’17” Lintang Utara, 100°56’10”-101°43’26” Bujur Timur. 2.4. Asumsi Dampak Degradasi Lingkungan Terhadap Komponen Ikan a. Jumlah ikan asli dan ikan dengan ciri taxa khusus berkurang b. Jumlah species yang peka berkurang c. Persentase specialis trofik dan habitat berkurang d. Jumlah total individu berkurang e. Persentase ukuran individu yang besar dan jumlah ukuran kelas berkurang f. Persentase species dan individu ikan introduksi bertambah g. Persentase individu yang toleran bertambah h. Persentase individu dengan keabnormalan morfologi luar bertambah 11 2.5. Parameter Kunci Lingkungan Terdegradasi Tabel 1. Parameter kunci lingkungan terdegradasi KIMIA pH ANC Conductivity SO4 Nitrat DOC FISIKA Habitat structure Bank stability Degree channel alteration Riparian vegetation Land use PARAMETER BIOLOGI External anomali LOKASI REFERENSI pH Acid Neutralizing Capacity (ANS) eq/L DO (ppm) Nitrat (mg/L) Urban land Use ≥6 ≥ 50 Forest land Use Bank stability rating Remoteness rating Aesthetic rating Channel alteration rating Riparian buffer width (m) Point Source of discharge ≥ 25% catchment area ≥4 ≤ 4.2 ≤ 20% catchment area Optimal/sub optimal Optimal or sub optimal No channelization ≥ 15 no DEGRADASI ≤5 ≤0 ≤2 ≥7 > 50% catchment area poor =0 12 III METODOLOGI 3.1 . Kerangka Pemikiran Dan Alur Pendekatan Pemecahan Masalah Penelitian BENCANA ALAM DAN PROSES ALAMIAH PEMANFAATAN MULTI SEKTOR Pertanian, Pertambangan, Pemukiman, Industri, Perikanan, dll SUMBERDAYA PERAIRAN RAWA BANJIRAN GSK DEGRADASI LINGKUNGAN DAN SUMBERDAYA HAYATI PERAIRAN SUNGAI (KRUENG) PEUSANGAN Sektor Perikanan PENGELOLAAN TERPADU WILAYAH/EKOSISTEM, SEKTOR, DISIPLIN ILMU DAN STAKEHOLDER POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN PENELITIAN LINGKUNGAN PERAIRAN (fisik, kimia dan biologi) KARAKTERISTIK SUMBERDAYA IKAN KAPASITAS PENANGKAPAN Gambar 3.1. Kerangka pemikiran dan alur pemecahan masalah penelitian . Alur Pengelolaan ) ( ) 3.2. Waktu dan Lokasi Kegiatan Penelitian dilakukan tahun 2013 di provinsi Riau 3.3 . Pendekatan dalam Penelitian Pada tahun ke satu (2013) penelitian yang dilakukan bersifat desk study. Data yang dikumpulkan mencakup studi pustaka yang berkaitan dengan komponen penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran. 13 Data dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dari lembaga terkait. Selain itu, akan dilakukan beberapa kali pertemuan dengan stakeholder seperti pemanfaat (masyarakat) dan pengelola seperti dinas-dinas pemerintah provinsi Riau, lembaga perguruan tinggi dan lembaga penelitian kementrian dan non kementrian yang terlibat dalam naskah keinginan bekerja sama yang telah ditanda tangani di Pekanbaru pada bulan Nopember 2011. 3.4. Kebutuhan Data Data sekunder yang dikumpulkan mencakup: a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GSK b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK 3.5 Faktor Resiko dan Keberhasilan Faktor keberhasilan yang mendorong pencapaian sasaran adalah telah adanya keinginan bekerja sama yang dituangkan dalam”Naskah kerjasama pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK antara lembaga penelitian departemen dan non departemen, Pemerintah Provinsi Riau dan perguruan tinggi di Provinsi Riau”. Selain itu beberapa studi pendahuluan mengenai sumberdaya alam di GSK telah dilakukan baik dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian departemen dan non departemen. 3.6 . Komponen Kegiatan Kegiatan penelitian terdiri atas: a. Studi pustaka/desk study b. Diskusi dengan Tim persiapan Penelitian c. Focus discussion group(FGD) dengan pemanfaat SDI rawa banjiran Giam Siak Kecil 14 d. Focus group discussion (FGD) dengan pengelola SDI rawa banjiran Giam Siak Kecil e. Penyusunan draft komponen pengelolaan terpadu SDI rawa banjiran Giam Siak Kecil 3.7. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang dibutuhkan diantaranya adalah alat tulis kantor untuk kebutuhan administrasi penelitian, FGD dan penyusunan draft pngelolaan. Untuk mobilitas kegiatan FGD alat yang dibutuhkan adalah kendraaan roda empat dan perahu motor. 3.8. Metode penelitian 3.8.1 . Pengumpulan Data Pada tahun ke satu (2013) penelitian yang dilakukan bersifat desk study dan appraisal study melalui diskusi kelompok secara terfokus focus group discussion/FGD). Data yang dikumpulkan mencakup studi pustaka yang berkaitan dengan komponen penyusun model pengelolaan perikanan terpadu di rawa banjiran. Data dikumpulkan berasal dari berbagai sumber dari lembaga terkait. Selain itu, dilakukan beberapa kali pertemuan (FGD) dengan para pemanfaat dan pengelola SDI rawa banjiran Giam Siak Kecil seperti masyarakat pemanfaat langsung SDA GSK, dinas-dinas pemerintah provinsi Riau, lembaga perguruan tinggi dan lembaga penelitian kementrian dan non kementrian yang terlibat dalam naskah keinginan bekerja sama yang telah ditanda tangani di Pekanbaru pada bulan Nopember 2011. Data sekunder yang dikumpulkan mencakup: a. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran GSK b. Potensi dan Pemanfaatan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK c. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat di rawa banjiran GSK d. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK 15 e. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran GSK Data primer diperoleh melalui survey observasi lapang dan responden kunci yang diperoleh melalui diskusi kelompok terfokus (FGD). FGD dilaksanakan secara bertahap, tahap pertama dilakukan dengan para pemanfaat sumberdaya perairan yang berasal dari empat tasik yaitu tasik Serai, Katialau, Betung dan Air Hitam. Peserta sebagai responden kunci dan atau narasumber terdiri atas berbagai pemanfaat, yaitu: nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan, petani dan pekebun. Tahap kedua dilakukan dengan para pengambil keputusan dari berbagai Satuan Kerja Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten, perguruan tinggi, dan Lembaga Swadaya). Pada tahap pertama, FGD dilaksanakan di tasik Serai dan Betung berlokasi di rawa banjiran GSK pada bulan April 2013. Peserta FGD pertama sebanyak 37. Tahap kedua dilaksanakan di tasik Katialau dan Air Hitam berlokasi di rawa banjiran GSK pada bulan Oktober 2013 melibatkan peserta sebanyak 64 orang. Focus group discussion dengan pengelola dilakukan pada bulan Oktober 2013 dengan peserta sebanyak 41 yang berasal dari Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI), Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Universitas Riau, Universitas Islam Riau, PT. Sinamas Forestry, pejabat tingkat kecamatan dan SKPD lingkup provinsi dan kabupaten di Riau Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan presentasi status sumberdaya alam rawa banjiran GSK hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum pada tahun 2010 dilanjutkan pengarahan pengisian dan tanya jawab. 3.8.2. Analisis Sampel 3.8.2.1. Analisis Data Data yang dihasilkan dari kegiatan FGD dari pemanfaat dan pengelola SDI rawa banjiran Giam Siak Kecil akan dikelompokan berdasarkan : a. Sumberdaya dan ekologi b. Sosial ekonomi c. Aspek Legal dan kelembagaan d. Masalah dan peluang 16 e. Isu dan peluang pengelolaan yang akan menghasilkan tujuan dan rencana pengelolaan dan kriteria keberhasilan pengelolaan. Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisa secara deskripsi. Data disusun secara tabulasi dan gambar kemudian dianalisa dengan pemberian skor kemudian dibahas secara deskriftif. 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perairan dan ikan di rawa banjiran Giam Siak Kecil 4.1.1. Karakteristik dan keragaman habitat ikan Berdasarkan klasifikasi yang tercantum dalam Artikel 2.1. Konvensi Ramsar tahun 1971, rawa banjiran merupakan ekosistem perairan yang memiliki satu atau lebih tipe ekosistem lahan rawa. Pada Suaka Margasatwa GSK, rawa banjirannya terdiri atas ekosistem sungai permanen (permanen river) yaitu Sungai Siak Kecil, rawa lebak (grassland) terdiri atas swamp, marsh, bog dan danau rawa banjiran (floodplain lake) yang terendam air secara semi permanen (tasik) tersebar disepanjang Sungai Siak Kecil dari bagian hulu hingga hilir (Husnah & Prianto, 2011). Tasik tersebut diantaranya adalah Sigalanggang, Baru, Tangkalan Siam, Tombatusonsang, Katialau, Serai, Betung, Merbalu, Ungus, Besingin dan Air Hitam (Gambar 4.1.1.1). Morfologi rawa banjiran (tasik berikut anak sungai) di Suaka Margasatwa GSK berbeda dengan morfologi sebagian besar rawa banjiran di Sumatera Selatan dan Kalimantan. Morfologi rawa banjiran di Suaka Margasatwa GSK dicirikan dengan saluran utama Sungai Siak Kecil yang kedua sisinya langsung ditumbuhi oleh tanaman sempadan (riparian vegetation) (Gambar 4.1.1.2). Pada kondisi musim air besar (musim hujan), kesemua tasik tersebut menyatu dengan badan air Sungai Siak Kecil, sedangkan pada musim air kecil (musim kemarau) khususnya pada musim kemarau yang panjang, hampir sebagian besar tasik tersebut kering dan perairan yang tersisa di dalam tasik adalah saluran yang menghubungkan tasik dengan Sungai Siak Kecil (Gambar 4.1.1.3) (Husnah & Prianto, 2011). Gambar 4.1.1.1 Sungai Siak Kecil dan tasik-tasik di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Provinsi Riau (Husnah & Prianto, 2011). 18 A C H E G D B J K F L Keterangan: A. Tumbuhan daratan (teresterial);Callophyllum sp, Kompassia sp B. Tumbuhan sepadan (Riparian vegetation); Syzygum sp, Fragraea sp C. Tumbuhan sepadan (Riparian vegetation), Pandanus sp D. Rumput purun (Eleocharis sp) E. Savannah floodplain(flooded grassland) area F. Canal connected to the main river (Saluran berhubungan dengan badan sungai) G. River bank (Sepadan sungai) H. Main river (Badan sungai) J . Highest water level (Muka air tertinggi) K. Lowest water level (Muka air terendah) Gambar 4.1.1.2 Profil rawa banjiran di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Provinsi Riau (Husnah & Prianto, 2011). Gambar 4.1.1.3 Kondisi Tasik Betung saat muka air rendah (tahun 2008) dan tinggi (Agustus, 2010) (Husnah & Prianto, 2011). 19 4.1.2. Topografi dan kondisi tanah Kondisi topografi di kawasan cagar biosfir GSK-BB tidak berbeda dengan kondisi di wilayah kabupaten Bengkalis dan kabupaten Siak. Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan dataran rendah, rata-rata ketinggian antara 1 - 25 meter diatas permukaan laut, sebagian besar merupakan tanah organosol, yaitu jenis tanah yang banyak mengandung bahan organic (Pemerintah Kabupaten Bengkalis, 2010). Bentang alam di Kabupaten Siak sebagian besar terdiri dari dataran rendah di bagian Timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Pada umumnya struktur tanah terdiri dan tanah podsolik merah kuning dan batuan, dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Lahan semacam ini subur untuk pengembangan pertanian, perkebunan dan perikanan (Pemerintah Kabupaten Siak, 2010). 4.1.3. Kualitas fisiko kimia air dan sedimen Komplek tasik di cagar biosfir GSK dan BB termasuk dalam kelompok ekosistem perairan rawa banjiran, oleh karena itu proses siklus fisika kimia dan biologi sangat berkaitan erat dengan fluktuasi tinggi muka air yang juga dipengaruhi oleh iklim setempat. Cagar biosfir GSK-Bukit Batu beriklim tropis dengan suhu udara antara 25°- 32° Celsius, dengan kelembaban dan curah hujan cukup tinggi. Musim hujan terjadi sekitar bulan September hingga Januari dan musim kemarau terjadi sekitar bulan Pebruari hingga Agustus dengan curah hujan rata-rata berkisar antara antara 809-4.078 mm/tahun. Periode kering (musim kemarau) biasanya terjadi antara bulan Pebruari hingga Agustus (Husnah & Prianto 2011). Berdasarkan pengukuran tinggi air harian pada akhir bulan Pebruari hingga pertengahan bulan Nopember (Gambar 4.1.3.1) menunjukkan kondisi tinggi muka air rendah terjadi pada bulan awal bulan Maret hingga pertengahan bulan Juli, sedangkan kondisi air tinggi terjadi pada akhir bulan Juli hingga akhir bulan Pebruari. Bila dikaitkan dengan laju penguapan dan curah hujan harian berdasarkan stasiun pemantauan klimatologi di Pekanbaru tahun 2010, maka fluktuasi tinggi muka air tersebut khususnya curah hujan kurang berkaitan erat. Hal ini diperkirakan karena kondisi tataguna lahan yang sangat berbeda dengan tata guna lahan di kawasan cagar biosfir yang didominasi oleh penutupan lahan hutan industri dan hutan alam (Husnah & Printo, 2011).. 20 April Mei Juni Juli Agustus 1 1 1 1 1 1 1 PebruariMaret 1 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 26 1 Tinggi air (cm) A September Oktober November Waktu (Bulan) B 70.00 60.00 Penguapan (mm) 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 1 1 J anuari 1 Pebruari 1 Maret 1 A pril 1 Mei 1 J uni 1 1 J uli A gus tus 1 1 S eptember Oktober Nov ember W a ktu pe ng a m a ta n 140.0 C 120.0 Curah hujan (mm) 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 1 1 Januari 1 Pebruari 1 Maret 1 April 1 Mei 1 Juni 1 Juli 1 Agustus 1 September 1 Oktober November Waktu (tanggal/bulan) Gambar 4.1.3.1 Tinggi muka air di Tasik Cagar Biosfir GSK (A) penguapan (B) dan curah hujan (C) di stasiun klimatologi Pekanbaru tahun 2010 (Husnah & Prianto, 2011) Fluktuasi tinggi muka air musim air rendah dan tinggi pada tasik di cagar biosfir GSK berikut dengan Sungai Siak Kecil relative lebih rendah (lebih kurang 1.5 m) dibandingkan dengan fluktuasi tinggi muka air pada beberapa danau atau tasik di rawa banjiran di Sumatra Selatan ataupun di Kalimantan yang lebih dari 2 m (Husnah & Prianto, 2011). 21 Water level (m) Feb May August Nov 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1 2 3 Serai 4 5 6 Katialau 7 8 9 Betung 10 11 12 Air Hitam 13 14 15 Siak Siak kecil kecil Sampling Site Gambar 4.1.3.2 Tinggi muka air (water level) pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). Relatif rendahnya fluktuasi tinggi muka air pada kedua musim di cagar biosfir GSK berkaitan erat pasokan air yang relative kurang karena sumber air di Tasik Cagar biosfir GSK sebagian besar dari Sungai Siak Kecil dengan debit air yang relative lebih rendah bila dibandingkan dengan sumber air rawa banjiran di Sumatra Selatan dan Kalimantan yang berasal dari sungai besar dengan debit air relative lebih tinggi. Dari kedua sisi sungai terbentuk bagian yang agak dalam (tasik) yang bagian tepinya ditumbuhi tanaman kelompok pancang, tiang dan semai dengan diameter batang masing-masing berukuran 10-20 cm, 5-10 cm, dan kurang dari 5 cm (Husnah & Prianto, 2011) . Fluktuasi suhu air pada komplek tasik Giam Siak Kecil yang mencakup Tasik Serai, Katialau, Betung, dan Air Hitam, serta pada dua stasiun di badan utama Sungai Siak Kecil (hulu dan hilir) berkaitan erat dengan fluktuasi suhu udara dan ketinggian muka air (Gambar 4.1.3.2 dan 4.1.3.3). Fluktuasi suhu udara dan air pada komplek tasik Giam Siak Kecil pada musim hujan dan kering mencapai 4 oC. Suhu air di badan utama Sungai Siak Kecil relatif lebih rendah dibandingkan dengan keempat tasik tersebut. Hal ini berkaitan dengan kedalaman air yang relatif lebih tinggi dan adanya aliran alir di badan utama Sungai Siak Kecil (Husnah & Prianto, 2011).. 22 Water Temperature (oC) Feb May August Nov 38 36 34 32 30 28 26 24 22 20 1 2 3 4 5 Serai 6 7 8 Katialau 9 10 Betung 11 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak kecil hilir Sampling Site Air Temperature (oC) Feb May August Nov 38 36 34 32 30 28 26 24 22 20 1 2 3 Serai 4 5 6 7 Katialau 8 9 10 Betung 11 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak kecil hilir Sampling Site Gambar 4.1.3.3. Suhu udara dan air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). Keasaman sedimen dan air pada komplek tasik Giam Siak Kecil (Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air Hitam) serta pada dua stasiun pengamatan di badan utama Sungai Siak Kecil tergolong tinggi dengan nilai aktivitas ion hidrogen (pH) pada sedimen dan air pada kisaran 3.5-5.0 dan 3.5-4.0 (Gambar 4.1.3.4 dan 4.1.3.5). Dari keempat tasik yang diamati, nilai pH pada Tasik Serai relatif lebih rendah daripada ketiga tasik lainnya begitupun dengan badan air Sungai Siak Kecil. Rendahnya nilai pH pada perairan rawa banjiran tersebut berkaitan dengan jenis tanah yang mendominasi di lahan tersebut yaitu tanah gambut (Husnah & Prianto, 2011). 23 pH Sediment Feb May August 5.50 5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1 2 3 4 5 Serai 6 7 8 Katialau 9 10 11 Betung 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak hulu hilir Sampling site Gambar 4.1.3.4 Nilai pH sedimen pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, dan Agustus 2010 (Husnah & Prianto, 2011). Water pH Feb May August Nov 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1 2 3 4 Serai 5 6 Katialau 7 8 9 Betung 10 11 12 Air Hitam 13 14 15 Siak Siak Sampling Site Gambar 4.1.3.5 Nilai pH air pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). Bila dikaitkan dengan kandungan keasaman total dan mineralnya (Gambar 4.1.3.6), dimana kandungan asam mineral dan keasaman total pada stasiun di Tasik Serai lebih rendah daripada stasiun lainnya, maka sumber keasaman di Tasik Serai disebabkan oleh asam-asam gambut sedangkan pada stasiun lainnya sumber keasaman disebabkan oleh asam-asam mineral (Husnah & Prianto, 2011).. 24 Kondisi terlihat dengan jelas pada bulan basah yaitu pada bulan Agustus dan November terjadi peningkatan kandungan asam mineral yang berasal dari limpasan pada stasiun Tasik Katialau, Betung, Air Hitam dan badan utama Sungai Siak. Mineral acidity (mg/L) Feb May August Nov 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 Serai 6 7 8 Katialau 9 10 11 Betung 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak Sampling Site Total Acidity (mg/L) Feb May August Nov 50 40 30 20 10 0 1 2 3 Serai 4 5 6 Katialau 7 8 9 Betung 10 11 12 Air Hitam 13 14 15 Siak Siak Sampilng Site Gambar 4.1.3.6 Nilai keasaman mineral (a) dan keasaman total (b) pada stasiun pengamatan di Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil pada bulan Februari, Mei, Agustus dan November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). Kandungan bahan organik di komplek tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil cenderung meningkat dengan menurunnya tinggi muka air pada bulan Mei khususnya di Tasik Katialau dan Tasik Betung (Gambar 4.1.3.7). Peningkatan kandungan bahan organik tersebut berkaitan dengan konsentrasi bahan tersebut, berkaitan dengan akibat sinergi dari berkurangnya volume air dan penambahan bahan organik pengaruh aktivitas dari pemukiman masyarakat (Husnah & Prianto, 2011). 25 Organic matter (mg C/L) Feb May August Nov 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1 2 3 4 5 Serai 6 7 8 Katialau 9 10 11 Betung 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak hulu hilir Sampling Site Dissolved organic carbon/DOC (mg/l) 7 30 6 25 5 20 4 15 3 10 2 5 1 0 DOC TOC Total organic carbon/TOC (mg/l) 35 0 1 2 Serai 3 4 5 Katialau 6 7 8 Betung 9 10 11 12 Air Hitam 13 14 Siak Siak kecil Kecil hulu Hilir Sampling site Gambar 4.1.3.7. Bahan organik (A) total organik karbon (TOC) dan organik karbon terlarut (DOC) pada bulan Agustus (B) pada Komplek Tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil di Riau pada tahun 2010. Pada Gambar 4.1.3.7 terlihat juga bahwa kandungan bahan organik cenderung lebih tinggi pada stasiun di bagian hilir seperti di Tasik Katialau, Betung, Air Hitam dan Sungai Siak Kecil bagian hilir daripada Tasik Serai dan Siak Kecil Bagian hulu. Tasik Serai merupakan tasik yang paling hulu dibandingkan dengan ketiga tasik lainnya. Relatif lebih tingginya bahan organik pada bagian hilir berkaitan pasokan bahan organik berasal dari berbagai aktivitas dan lingkungan yang lebih banyak dibandingkan di bagian hulu yang merupakan kawasan konservasi. Fenomena tersebut didukung oleh data TOC dan DOC yang lebih tinggi pada bagian hilir mulai dari Tasik Betung, Tasik Air Hitam hingga Siak Kecil Bagian hilir dibandingkan dengan Tasik Serai, Tasik Katialau, dan Siak Kecil bagian hulu (Gambar 4.1.3.7). Bila dikaitkan antara nilai TOC dan DOC, maka nilai DOC hanya 25% daripada nilai TOC. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar bahan organik yang ada dalam perairan dalam bentuk partikel (particulate) lebih besar dari 0.45 mikron yang merupakan sisa dekomposisi bahan-bahan organik yang merupakan karakteristik dari lahan gambut. Karakteristik lahan gambut terlihat juga dari nilai TOC yang lebih dari 10 mg/l. 26 Fluktuasi tinggi muka air di rawa banjiran akan berkaitan erat dengan proses dekomposisi bahan organik dan kandungan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut pada akhir dari air besar (bulan Februari) lebih rendah dibandingkan dengan waktu pengamatan lainnya (Mei, Agustus, dan November) (Gambar 4.1.3.8). Hal ini berkaitan dengan puncak dari dekomposisi tumbuhan yang mati akibat tergenang air dan proses oksidasi senyawasenyawa tereduksi. Tingginya proses oksidasi senyawa tereduksi didukung oleh tingginya kandungan oksigen yang dibutukan untuk proses proses kimia (chemical oxygen demand/COD) (Gambar 4.1.3.9). Tingginya Selain itu, kandungan bahan organik terlarut pada tasik (Serai, Katialau, Betung, dan Air Hitam) yang dicirikan dengan perairan yang tergenang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan mengalir (Sungai Siak Kecil bagian Dissolved Oxygen (mg/L) hulu dan hilir). Feb May August Nov 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1 2 3 Serai 4 5 6 7 Katialau 8 9 Betung 10 11 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak hulu hilir Sampling Site Gambar 4.1.3.8 Kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010. Relatif lebih besarnya kandungan oksigen terlarut pada perairan tergenang adalah kontribusi fotosintesa dari tumbuhan air dan dangkalnya perairan pada perairan tasik. Kontribusi rendahnya tinggi muka air terhadap oksigen terlarut terlihat secara nyata pada Tasik Serai yang relatif lebih dangkal dibandingkan tasik lainnya. Peningkatan proses dekomposisi dicirikan oleh peningkatan konsusumsi oksigen terlarut oleh dekomposer dan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan. Berdasarkan pengukuran jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk proses dekomposisi mikroba selama 5 hari (biological oxygen demand/BOD5 day) menunjukkan peningkatan pada saat tinggi muka air rendah (bulan Mei) dan bukan pada bulan Februari. Tingginya BOD pada 27 bulan Mei tersebut berkaitan dengan terjadi konsentrasi mikroba akibat berkurangnya volume air (Gambar 4.1.3.9). Feb May August Nov BOD 5 day (mg DO/L) 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 -1.00 1 2 3 4 5 Serai -2.00 6 7 8 Katialau 9 10 11 Betung 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak hulu hilir Sampling Site COD (mg DO/L) Feb May August Nov 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1 2 3 Serai 4 5 6 7 Katialau 8 9 Betung 10 11 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak hulu hilir Sampling Site Gambar 4.1.3.9 Kandungan konsumsi oksigen biota (BOD 5 day) dan konsumsi oksigen proses kimia (COD) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil, Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). 28 Total Dissolved Sollids (mg/L) Feb May August Nov 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1 2 3 4 5 Serai 6 7 8 Katialau 9 10 11 Betung 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak hulu hilir Sampling Site Conductivity (US) Feb May August Nov 300 250 200 150 100 50 0 1 2 3 Serai 4 5 6 7 Katialau 8 9 Betung 10 11 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak hulu hilir Sampling Site Gambar 4.1.3.10. Kandungan jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik (conductivity) pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari hingga November 2010 (Husnah & Prianto, 2011). Relatif lebih tingginya keasaman mineral pada seluruh stasiun kecuali di Tasik Serai berkaitan dengan jumlah ion-ion dalam air yang diindikasikan dengan tingginya kandungan jumlah padatan terlarut (TDS) dan daya hantar listrik (Conductivity) (Gambar 4.1.3.10). Diperkirakan ion-ion tersebut berkaitan dengan sulfat yang merupakan hasil oksidasi tanah mineral. Senyawa fenol merupakan salah satu produk hasil dekomposisi, oleh karena kandungan senyawa fenol erat kaitannya dengan kandungan bahan organik di suatu perairan. Fenomena tersebut juga terjadi pada perairan rawa banjiran Giam Siak Kecil dimana kandungan fenol yang tinggi di Tasik Katialau dan Air Hitam (Gambar 4.1.3.11) berkaitan erat dengan kandungan bahan organiknya (Husnah & Prianto, 2011). 29 Phenol (mg/kg) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 Serai 5 6 7 8 Katialau 9 10 Betung 11 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak kecil kecil Sampling site Gambar 4.1.3.11. Kandungan fenol pada tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Agustus 2010. Seperti halnya dengan di kolom air, kandungan bahan organik pada sedimen di Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air hitam ataupun Sungai Siak Kecil relatif tinggi dengan kandungan lebih dari 5% (Gambar 4.1.3.12). Tingginya kandungan bahan organik ini tercermin juga dari tekstur sedimen yang didominasi oleh partikel debu dan pasir baik pada Tasik ataupun Sungai Siak Kecil dengan persentase kandungan pasir, debu dan liat di Tasik Betung, Air Hitam dan Sungai Siak Kecil masing-masing adalah 47.02, 45.38, 7.6%; 41.10, 51.37, 7.53%; dan 51.60, 40.84, 7.56% (Husnah & Prianto, 2011). Pengukuran terhadap logam berat Timah Hitam (Lead/Pb) dan Cadmium (Cd)di sedimen pada bulan Pebruari dan Juni menunjukkan kandungan kedua logam tersebut pada sebagian besar stasiun di Giam Siak Kecil dan badan utama Sungai Siak Kecil telah melebihi Organic matter (%) baku mutu yang diizinkan yaitu lebih dari 0.6 mg/Kg (Gambar 4.1.3.13). 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1 2 3 Serai 4 5 6 7 Katialau 8 9 10 Betung 11 12 13 Air Hitam 14 15 Siak Siak kecil kecil Sampling site Gambar 4.1.3.12 . Kandungan bahan organik pada sedimen di tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil (Husnah & Prianto, 2011). 30 Pebruari Mei Lead (mg/Kg) 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 1 2 3 Serai 4 5 6 7 Katialau 8 9 10 Betung 11 12 13 Air Hitam 14 15 siak siak kecilkecil Sampling Site Gambar 4.1.3.13. Kandungan logam berat Timah Hitam (Pb) pada sedimen di tasik Giam Siak Kecil dan Sungai Siak Kecil , Riau pada bulan Pebruari dan Mei. Sebaliknya, kecuali pada Tasik Betung pada bulan Pebruari dan Tasik Serai pada bulan Mei, kandungan logam Cadmiun pada sebagian besar stasiun pengamatan pada konsentrasi <0,005 mg/Kg. Tingginya kandungan Timah Hitam diperkirakan berkaitan dengan pasokan dari kegiatan industri perminyakan disekitar Tasik Giam Siak Kecil. Kemampuan suatu perairan untuk menghasilkan atau memproduksi karbon persatuan luasan dan waktu merupakan indikator dari tingkat kesuburannnya. Pada perairan rawa banjiran, produktivitas perairan sebagian besar berasal dari luar perairan atau disebut dengan allochtonous yang berasal dari . dekomposisi daun atau bagian dari tumbuhan sepadan (riparian vegetation) akan menentukan produktivitas perairan. Laju produksi guguran dari tumbuhan sepadan jenis Samak bervariasi antara perairan tasik dan Sungai Siak Kecil dan berada pada kisaran 2,92-3,91 ton karbon (C)/ha/th (Gambar 4.1.3.14). Laju produksi karbon di rawa banjiran Giam Siak Kecil relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju produksi serasah pohon bakau di Muara Sunga Musi yang berada pada kisaran 10-20 ton/ha/th (Husnah et al, 2009). Rendahnya laju produksi karbon di Giam Siak Kecil berkaitan dengan lamanya tenggang waktu antara waktu penempatan dan waktu pengumpulan serasah yang mencapai 90 hari, sehingga sebagian dari guguran bagian dari tumbuhan sepadan tersebut telah mengalami proses dekomposisi. Dari bagian-bagian tumbuhan sepadan yang jatuh ke dalam litter trap, komposisi yang tertinggi berasal dari daun dengan persentase pada kisaran 50-80%. Hal yang sama juga ditemukan pada komposisi serasah pohon bakau di Muara Sungai Musi (Husnah & Prianto, 2011). 31 P (kg/ha.year) N (kg/ha/year) 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 100 80 60 N C and P C (tonne/ha/year) 40 20 0 Betung Air Hitam Sungai SiakKecil Sampling Site Percentage (%) Daun Ranting Buah Kelopak Hancuran Kulit kayu Campuran(biji) 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Betung Air hitam Sungai Siak Kecil Sampling Site Gambar 4.1.3.14. Laju produksi karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) dari tumbuhan sepadan di di komplek danau rawa banjiran Giam Siak Kecil Provinsi Riau , 2010 4.1.4. Keragaman jenis ikan Ikan dapat digunakan sebagai indikator dari perubahan lingkungan perairan. Berdasarkan hasil tangkapan nelayan, jumlah jenis ikan yang ditemukan selama riset berlangsung dari 14 stasiun ditemukan sebanyak 37 jenis yang berasal dari 12 familia (Tabel 4.1.2), dengan hasil tangkapan tertinggi pada bulan November di stasiun Air hitam. Dari 12 familia tersebut kelimpahan relatif didominasi oleh familia Siluridae dari spesies Wallago leerii (Husnah, et. al, 2010). Rendahnya keanekaragaman jenis dan hasil tangkapan di Giam Siak Kecil tersebut kemungkinan disebabkan oleh kondisi ekosistem hutan rawa di daerah aliran Sungai Siak sudah banyak mengalami kerusakan, lokasi yang sempit dan juga faktor karakteristik dari lokasi itu sendiri yang merupakan rawa banjiran sehingga pengaruh ketinggian air memegang peranan yang sangat penting, Menurut Kottelat et al, (1996) semakin panjang dan lebar ukuran suatu perairan semakin banyak pula jumlah jenis ikan yang menempatinya. Adanya hubungan positif antara kekayaan jenis dengan suatu area yang 32 ditempati tergantung pada dua faktor. Pertama, peningkatan jumlah mikro habitat akan dapat meningkatkan keragaman. Kedua, area yang lebih luas sering memiliki variasi habitat yang lebih besar dibanding dengan area yang lebih sempit (Wooton, 1991). Keasaman yang tinggi dan sumber karbon yang dominan berasal dari serasah di Giam Siak Kecil menyebabkan hanya ikan jenis rawa (black fish) dan jenis ikan dengan rantai makanan detritus feeder dan predator yang mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut (Marini et al., 2011) Tabel 4.1.4.1. Jenis-jenis ikan di sekitar Giam Siak Kecil Provinsi Mandau No Familia Nama Ikan Nama Latin Valid Name 1 Ambassidae Fatimah/ Sepengkah Parambassis apogonoides 2 Ambassidae Sepengkah kepala pendek Parambassis macrolepis 3 Anabantiidae Betok Anabas testudineus Anabas testudineus 4 Bagridae Baung Hemibagrus nemurus Hemibagrus nemurus 5 Bagridae Baung layar/Baung pisang Bagrichthys macracanthus Bagrichthys macracanthus 6 Bagridae Gelang/Riu Pseudeutropius bracypopterus Pseudeutropius brachypopterus 7 Bagridae Sengetai Mystus bimaculatus Mystus bimaculatus 8 Bagridae Leiocassis leiacanthus Leiocassis leiacanthus 9 Belonidae Selincah Belontia hasseltii Belontia hasselti 10 Channidae Bujuk/ Lumpung Channa lucius Channa lucius 11 Channidae Gabus Channa striata Channa striata 12 Channidae Siandang/ Serandang Channa pleuropthalmus Channa pleurophthalma 13 Channidae Toman Channa melastoma Channa melasoma 14 Clariidae Koli/Lele Clarias nieuhofi Clarias nieuhofii 15 Clariidae Sembilang/ seperti lele Encheloclaris tapeinopterus Encheloclarias tapeinopterus Parambassis apogonoides 33 Lanjutan Tabel 4.1.4.1 No Familia Nama Ikan Nama Latin Valid Name 16 Cyprinidae Mengkaek/ Semburingan Puntius lineatus Puntius lineatus 17 Cyprinidae Pantau merah Rasbora cephalotaenia Rasbora cephalotaenia 18 Cyprinidae Paweh/Paud Osteochilus spilurus Osteochilus spilurus 19 Cyprinidae Pimping/ Siamias Parachela oxygastroides Parachela oxygastroides 20 Cyprinidae Situmbuk Luciocephalus pulcher Luciocephalus pulcher 21 Cyprinidae Sosau Pectenocypris korthausae Pectenocypris korthausae 22 Cyprinidae Kalabau Osteochilus melanopleurus Osteochilus melanopleurus 23 Helostomatidae Tembakang Helostoma temmenckii Helostoma temminkii 24 Luciocephalinae/Osphro nemidae Sepat mata merah Trichogaster trichopterus Trichogaster trichopterus 25 Luciocephalinae/Osphro nemidae Sepat permato Trichogaster leerii Trichogaster leerii 26 Nandinae/ Nandidae tengkorak labu Nandus nebulosis Nandus nebulosus 27 Pangasidae Juaro Pangasius polyuranodon Pangasius polyuranodon 28 Pristolepidinae/Nandida e Sepatung Pristolepis fasciata Pristolepis fasciata 29 Siluridae Balik tulang Kryptopterus micronema Phalacronotus micronemus 30 Siluridae Lais Kryptopterus lais Kryptopterus lais 31 Siluridae Lais Silurodes hypopthalmus Ompok hypophthalmus 32 Siluridae Lais Kryptopterus limpok Kryptopterus limpok 33 Siluridae Lais janggut/selais koteh Ompok eugeneiatus Ompok eugeneiatus 34 Siluridae Lais modang/Tapa wallago leerii Wallago leerii 35 Siluridae Lais muncung Kryptopterus apogon Phalacronotus apogon 36 Siluridae Lilo/Ilo-ilo Silurichthys hasselti Silurichthys hasseltii 37 Siluridae Tapa payu Silurichthys phaiosoma Silurichthys phaiosoma Jenis ikan tercatat dalam contoh koleksi nelayan namun tidak tertangkap pada saat survey (huruf bewarna merah) Sumber: Husnah et el. (2010) 34 Dari 37 jenis ikan yang dikoleksi nelayan harian, hanya 30 jenis ditemukan pada saat survey lapangan (Tabel 4.1.4.2). Keragaman jenis ikan bervariasi dan dipengaruhi oleh lokasi, tinggi muka air, dan jenis alat tangkap yang digunakan (Tabel 4.1.4.2-4.1.4.4). Pada saat air turun, jenis ikan yang ditemukan pada tasik dibandingkan dengan jenis ikan total pada kisaran 37-60%, pada saat air kecil (stabil) pada kisaran 7-57%, dan pada saat air naik (puncak) pada kisaran 10-50%. Relatif lebih banyaknya ikan tertangkap pada saat air kecil berkaitan dengan berkurangnya luasan habitat perairan sehingga peluang tertangkap berbagai jenis ikan semakin besar dibandingkan pada saat air besar. Keragaman jenis ikan di tasik Betung dan Air Hitam relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua tasik lainnya. Hal ini berkaitan dengan jenis dan jumlah alat tangkap yang digunakan. Pada kedua tasik tersebut alat yang digunakan adalah berbagai ukuran lukah dan jaring insang baik pada saat air kecil maupun air naik (Tabel 4.1.4.4). Persentasi jenis ikan yang tertangkap dengan alat lukah di ke empat tasik pada kisaran 36.67-73.33% dan alat tangkap jaring pada kisaran 23.33-36.67%. Dibandingkan dengan ekosistem tasik, jenis ikan yang tertangkap dengan di badan sungai Siak Kecil lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan kurang bervariasi mikrohabitat dan keragaman jenis alat tangkap yang digunakan di badan sungai. Lingkungan perairan yang sehat diindikasikan dengan keberadaan top predator. Pada perairan laut top predator diantaranya adalah ikan hiu (Griffin et al., 2008) sedangkan pada perairan umum daratan ikan top predator diantaranya adalah toman (Wikipedia, 2013) dan ikan tapah (Wallago leeri). Kedua jenis ikan tersebut tergolong ikan yang dominan tertangkap oleh nelayan di tasik maupun sungai Siak Kecik khususnya pada saat air turun dan air rendah (Tabel 4.1.4.3). Komposisi ikan toman dan ikan tapah dalam tangkapan nelayan berada pada kisaran 26-50% dan lebih dari 50%. Hasil FGD dengan para pemanfaat juga menunjukkan bahwa 100% responden di Tasik Serai, Katialau dan Air hitam menjawab bahwa ikan toman, ikan tapah dan ikan ekonomis lainnya seperti ikan baung, bujuk, selais dan serandang (Tabel 4.1.4.4) adalah ikan yang masih banyak ditemukan. Namun demikian, ikan toman dan tapah tergolong adalah ikan yang sedang mendapat tekanan penangkapan. Hal ini terlihat dari jawaban lebih dari 60% pemanfaat yang menjawab bahwa kedua jenis ikan ini telah mengalami penurunan ukuran (Tabel 4.1.4.5). 35 Tabel 4.1.4.2. Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem dan dinamika fluktuasi air dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010. Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah No Nama lokal Nama latin Tasik Air turun FebMaret Air hitam x Sungai Air kecil (stabil) Air naik (Puncak) April-Juni Serai Katialau Betung Air hitam Siak kecil Betung Air hitam x x xx x x x xx x x xx Air hitam x Serai Baung Hemibagrus nemurus 2 Baung layar 3 Bujuk/Lumpung Bagrichthys macracanthus Channa lucius xxx x xx 4 Gabus Channa striata 5 gelang/Riu 6 Patin Psedeutropius bracypopterus Pangasius sp 7 koli/lele Clarias nieuhofi 8 Lilo Silurichthys hasseltii x 9 Mengkaek Puntius lineatus x 10 pantau Rasbora cephalotaenia x 11 paud-paud Osteochilus spilurus 12 Permato Trygoster leerii 13 Pimping Parachila oxygastroides 14 Selais balik tulang Kryptopterus micronema 15 Selais botul/ lais muncung Lais sungut (janggut) Kryptopterus apogon x Ompok eugeneiatus x x x Katialau Air Turun SeptNop Betung Juli-Agustus 1 16 Tasik x x xx x x x x x x xx x x x x x x x x x xx x x x x xx x x x x 36 Lanjutan Tabel 4.1.4.2 No Nama lokal Nama latin Tasik Air turun 17 FebMaret Air hitam xx Sungai Air kecil (stabil) Air naik (Puncak) April-Juni Serai Katialau Betung Air hitam Air Turun SeptNop Betung x x x x x x x x x x Juli-Agustus Katialau Betung Air hitam x Kryptopterus limpok 18 Selais modang/ lais tapa Selais sp Kryptopterus lais x x x 19 Selincah/kepar Belontia hasseltii x x x 20 Semburingan Puntius lineatus x 21 Sepat Trygoster trychopterus 22 Sepatung/batung Pristolepis fasciata 23 Sepengkah Parambassis apogonoides 24 Serandang Channa pleuropthalmus 25 Singetai Mystus bimaculatus 26 Sosau Pectenocypris korthausae 27 Tapa Payu Silurichthys phaiosoma 28 tapah Wallago leeriii x x xx 29 Tembkang Helostoma temminckii x x x x 30 Toman Channa melastoma x x x x 0,40 0,57 0,27 Kelimpahan relatif Tasik Siak kecil Serai x x x x x x xxx x x x x x x x x Air hitam x x x x x x x x x xx x x x x x x x x x x x x x x x x x 0,40 0,50 0,47 0,60 0,50 x x x 0,37 0,07 xxx 0,07 x 0,10 37 Tabel 4.1.4.3. Keragaman jenis ikan pada berbagai tipe ekosistem, dinamika fluktuasi air dan alat tangkap dirawa banjiran Giam Siak Kecil pada tahun 2010. Data penelitian( Husnah et al, 2010) diolah No Nama lokal Nama latin Tasik Sungai siak kecil Tasik Air turun Air Kecil Air naik Feb-Maret April-Juni Juli-Agustus Lukah Luka h xx Pancing Jaring Tajur Lukah Lukah 1 Baung Hemibagrus nemurus 2 Baung layar 3 Bujuk/Lumpung Bagrichthys macracanthus Channa lucius 4 Gabus Channa striata 5 Gelang/Riu 6 Patin Psedeutropius bracypopterus Pangasius sp 7 Koli/lele Clarias nieuhofi 8 Lilo Silurichthys hasseltii x 9 Mengkaek Puntius lineatus x 10 Pantau Rasbora cephalotaenia x 11 Paud-paud Osteochilus spilurus 12 Permato Trychoter leerii 13 Pimping Parachila oxygastroides 14 Selais balik tulang Kryptopterus micronema 15 Selais botul/lais muncung Kryptopterus apogon x x 16 Lais sungut (janggut) Ompok eugeneiatus x x 17 Selais modang/ lais tapa Kryptopterus limpok xx 18 Selais sp Kryptopterus lais x x 19 Selincah/kepar/sekopa Belontia hasseltii x x 20 Semburingan Puntius lineatus x 21 Sepat Trygoster trychopterus x x xxx x-xx x-xx x x x x Air turun Jaring Sept-Nop Pancing Tajur xx Jal a Lukah Jaring x xx x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x xx x x x x x-xx x x x x x x x x x x 38 x Lanjutan Tabel 4.1.4.3 No Nama lokal Nama latin Tasik Sungai siak kecil Air turun Air Kecil Feb-Maret Lukah 22 Sepatung/batung Pristolepis fasciata 23 Sepengkah Parambassis apogonoides 24 Serandang/siandang Channa pleuropthalmus 25 Singetai Mystus bimaculatus 26 Sosau Pectenocypris korthausae 27 Tapa Payu Silurichthys phaiosoma 28 Tapah Wallago leeriii 29 Tembakang/tuakang Helostoma temminckii 30 Toman Channa melastoma jenis ikan x Air naik April-Juni Lukah Pancing Jaring x x x x Tasik Air turun Juli-Agustus Tajur Lukah Sept-Nop Lukah Jaring Pancing x x x xxx x x x x x x x x x x x x x x-xx x x x x x Tajur Jala Lukah Jaring xxx x-xxx x x x x xxx xxx x xx x x-xx x x xx xxx x x Jumlah 11 18 3 8 1 2 19 11 3 3 1 22 7 % dari total jenis 36,67 60,00 10,00 26,67 3,33 6,67 63,33 36,67 10,00 10,00 3,33 73,33 23,33 Kelimpahan jenis ikan (x) x: Jenis ikan < 25% dari total hasil tangkapan xx: Jenis ikan 26-50% dari total hasil tangkapan xxx: Jenis ikan >50% dari total hasil tangkapan 39 Tabel. 4.1.4.4. Jenis ikan tertangkap nelayan di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Data FGD 2013 diolah) No N Nama lokal Papaud Baung 3 Baung Pisang Betok Ilo-ilo koli/lele 7 8 Nama ilmiah Serai 1 2 4 5 6 Nama Umum Lumpung/ Bujuk Mengkaek 9 10 Pantau Patung 11 12 Gelang/Riu Sekopah 13 Selais 14 Sengitai 15 16 Sepat Sepengkah 17 18 Siamis/Pimp ing Siandang 19 20 21 22 Sosau Tapa Toman Tuakang 23 24 25 Belida Sengarat Jalay 26 Kayangan 27 Kasung Katialau Tasik Betung Air Hitam Bantak Batu Baung (Asian redtail catfish) False balack lancer Osteochilus spilurus Hemibagrus nemurus 82 100 39 100 40 80 67 100 Bagrichthys macropterus 82 100 70 100 Betok (Climbing Perch) Hasselt's leaf ctfish Lindi (Slender walking catfish) Runtuk Anabas testudienus Silurichthys hasseltii Clarias nieuhofi 73 55 82 50 72 94 60 60 60 58 67 100 Chana lucius 100 100 70 100 Engkarit (lined/striped barb) Seluang Empatung (Mlayan leaffish) Nuayang Tebal Ketoprak (Malay comtail) Puntius lineatus 91 100 60 92 Rasbora cephalotaenia Pristolepis fasciata 82 73 100 94 70 60 100 92 Psedeutropius bracypopterus Belontia hasselti 82 82 72 100 40 50 58 100 Kryptopterus sp (K. Micronema, K. apogon, K limpok, K. Lais); Ompok eugeneiatus) Mystus bimaculatus 100 100 80 100 82 83 50 25 Trichopodus trichopterus Parambassis apogonoides 91 100 100 100 60 60 100 100 Prachela oxygastroides 91 94 70 100 Channa pleuropthalmus 100 100 70 100 Pectenocypris korthausae Wallago leerii Channa melastoma Helostoma temminckii 73 100 100 100 94 100 100 100 60 70 70 80 100 100 100 92 Three spot gourami Gaba-gaba/Senara (Iridescent glassy perchlet) Kelampak/kelampok (galss fish/glass barb) Selendang mayang (Ocellated snakehead) Tapah Black snakehead Tambakan/Biawan (Kissing gourami) clown knifefish Chitala chitala Channa maruliodes Arwana (Asian bonytounge Sclepages formosus 40 Tabel. 4.1.4.5. Jenis ikan yang mengalami penurunan jumlah di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Data FGD 2013 diolah) No Jenis ikan Nama lokal Nama Umum Nama ilmiah Serai Katialau Betung Air Hitam 1 Papaud Bantak Batu Osteochilus spilurus 36 6 10 33 2 Baung Hemibagrus nemurus 36 56 20 58 3 Baung Pisang Baung (Asian redtail catfish) False balack lancer Bagrichthys macropterus 36 61 30 58 4 Betok Anabas testudienus 45 39 20 50 5 Ilo-ilo Silurichthys hasseltii 36 50 20 50 6 koli/lele Clarias nieuhofi 45 50 20 58 7 Chana lucius 36 33 20 58 8 Lumpung/Buju k Mengkaek Betok (Climbing Perch) Hasselt's leaf ctfish Lindi (Slender walking catfish) Runtuk Puntius lineatus 45 28 20 58 9 Pantau Engkarit (lined/striped barb) Seluang Rasbora cephalotaenia 36 28 20 50 10 Patung Pristolepis fasciata 27 39 20 50 11 Gelang/Riu Empatung (Mlayan leaffish) Nuayang Tebal 45 22 10 50 12 Sekopah Psedeutropius bracypopterus Belontia hasselti 36 44 10 58 13 Selais Kryptopterus sp (K. Micronema, K. apogon, K limpok, K. Lais); Ompok eugeneiatus) 55 50 40 58 14 Sengitai Mystus bimaculatus 36 50 20 50 15 Sepat Trichopodus trichopterus 45 28 10 58 16 Sepengkah Parambassis apogonoides 45 28 20 50 17 Siamis/ Pimping Prachela oxygastroides 55 44 20 58 18 Siandang Three spot gourami Gaba-gaba/Senara (Iridescent glassy perchlet) Kelampak/kelamp ok (galss fish/glass barb) Selendang mayang (Ocellated snakehead) Channa pleuropthalmus 55 50 20 58 19 Sosau Pectenocypris korthausae 36 44 10 50 20 Tapa Tapah Wallago leerii 55 61 40 92 21 Toman Black snakehead Channa melastoma 45 67 30 58 22 Tuakang Helostoma temminckii 45 67 20 58 23 Belida Tambakan/Biawan (Kissing gourami) clown knifefish 24 Sengarat 25 Jalay 26 Kayangan 27 Kasung Ketoprak (Malay comtail) Chitala chitala Channa maruliodes Arwana (Asian bonytounge Sclepages formosus 41 Menurut Welcomme (2001), salah satu indikator penurunan populasi ikan adalah penurunan ukuran individu ikan.Tekanan terhadap keragaman jenis ikan telah dirasakan oleh para pemanfaat sumberdaya ikan di rawa banjiran GSK. Rata-rata lebih dari 58% responden di keempat tasik menyatakan bahwa empat jenis ikan yaitu belida, jalay, sengarat dan arwana sudah tidak ditemukan lagi saat ini (Tabel 4.1.4.6). Tabel. 4.1.4.6. Jenis ikan yang punah di rawa banjiran GSK tahun 2013 (Diolah dari data FGD 2013) No 1 2 Jenis ikan Nama lokal Papaud Baung 3 4 Baung Pisang Betok 5 6 Ilo-ilo koli/lele 7 8 Lumpung/Bujuk Mengkaek Nama Umum Bantak Batu Baung (Asian redtail catfish) False balack lancer Betok (Climbing Perch) Hasselt's leaf ctfish Lindi (Slender walking catfish) Runtuk Engkarit (lined/striped barb) Seluang Empatung (Mlayan leaffish) Nuayang Tebal Ketoprak (Malay comtail) Nama ilmiah Osteochilus spilurus Hemibagrus nemurus Serai Katialau 6 6 Bagrichthys macropterus Anabas testudienus 17 11 Silurichthys hasseltii Clarias nieuhofi 11 11 Chana lucius Puntius lineatus 6 6 Rasbora cephalotaenia Pristolepis fasciata 6 11 Psedeutropius bracypopterus Belontia hasselti 11 11 9 10 Pantau Patung 11 12 Gelang/Riu Sekopah 13 Selais Kryptopterus sp (K. Micronema, K. apogon, K limpok, K. Lais); Ompok eugeneiatus) 11 14 Sengitai Mystus bimaculatus 17 15 16 Sepat Sepengkah Trichopodus trichopterus Parambassis apogonoides 22 6 17 Prachela oxygastroides 11 18 Siamis/ Pimping Siandang Channa pleuropthalmus 11 19 20 21 22 Sosau Tapa Toman Tuakang Pectenocypris korthausae Wallago leerii Channa melastoma Helostoma temminckii 11 11 11 11 23 24 25 26 Belida Sengarat Jalay Kayangan Three spot gourami Gaba-gaba/Senara (Iridescent glassy perchlet) Kelampak/kelampok (galss fish/glass barb) Selendang mayang (Ocellated snakehead) Tapah Black snakehead Tambakan/Biawan (Kissing gourami) clown knifefish Arwana (Asian bonytounge Chitala chitala Channa maruliodes Sclepages formosus 82 27 64 91 61 61 61 Betung 80 60 70 20 Air Hitam 58 100 58 42 4.1.5. Penangkapan ikan Hasil tangkapan ikan pada rawa banjiran Giam Siak Kecil berkaitan erat dengan fluktuasi tinggi muka air (Tabel 4.1.5.1). Tinggi Muka Air (cm) Tinggi air (cm) Total tangkapan ikan (kg/hari/nelayan) 140 7 120 6 100 5 80 4 60 3 40 2 20 1 0 0 Hasil Tangkapan (kg/hari/nelayan) . Waktu pengamatan Total tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan) 7 120 6 100 5 80 4 60 3 40 2 20 1 0 0 Hasil tangkapan (kg/hari/nelayan) Tinggi Muka Air Tinggi air (cm) 140 Waktu pengamatan Tinggi air (cm) 180 Total tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan) 7 160 5 120 100 4 80 3 60 2 40 1 20 0 Hasil tangkapan ikan (kg/hari/nelayan) 6 140 0 Waktu Pengamatan Tinggi air (cm) To tal tangkapan ikan (Kg/hari/nelayan) 200 30 180 Tinggi Muka Air 140 20 120 100 15 80 10 60 40 Hasil tangkapan ikan (kg/hari/nelayan) 25 160 5 20 0 0 Waktu Pengamatan Gambar 4.1.5.1. Hasil tangkapan ikan pada alat lukah (pot trap) di Tasik Air Hitam pada tahun 2010 (Husnah et al., 2010) 43 Pada alat tangkap lukah (pot trap) hasil tangkapan ikan dari beberapa nelayan (Gambar 4.1.5.1-4.1.5.2) menunjukan pada saat air mulai turun yang terjadi antara bulan pebruari hingga Mei, hasil tangkapan lukah cenderung menurun dengan kisaran tangkapan 2-5 kg/hari/nelayan. Pada saat air rendah (bulan Mei hingga Agustus) hasil tangkapan meningkat dengan kisaran tangkapan antara 3-6 kg/hari/nelayan. Pada saat air terendah (akhir bulan Juni) terjadi penurunan hasil tangkapan dengan kisaran 1-3 kg, dan hasil mulai meningkat kembali pada saat air besar dengan hasil tangkapan pada kisaran 5-25 kg/hari/nelayan. Hasil tangkapan ikan dengan jaring menunjukkan tingkah laku yang sedikit berbeda dengan alat tangkap lukah. Hasil tangkapan ikan dengan jaring cenderung meningkat pada saat air tergenang cukup lama (Mei-Agustus) dengan kisaran hasil tangkapan 4-8 kg/hari/nelayan dan saat tinggi muka air tertinggi yaitu pada bulan November dengan kisaran hasil tangkapan 5-16 kg/hari/nelayan (Gambar 4.1.5.2) (Husnah et al., 2010). 180 18 160 16 140 14 120 12 100 10 80 8 60 6 40 4 20 2 0 0 Hasil Tangkapan (kg/hari/nelayan) Hasil tangkapan (kg/hari/nelayan) 39 42 43 45 50 51 54 56 57 60 63 64 65 67 69 70 74 75 77 80 84 85 87 88 92 95 9 10968 10 0 10 1 10 2 10 3 10 4 10 5 10 6 10 7 10 8 11 9 11 0 11 1 11 2 11 3 11 4 11 5 11 6 11 7 11 8 12 9 12 0 12 1 12 2 12 3 12 4 12 5 12 6 12 7 12 8 13 9 13 0 13 1 13 2 13 3 13 4 13 5 13 6 13 7 13 8 14 9 14 0 14 1 14 2 14 3 14 4 14 5 14 6 14 7 14 8 15 9 15 0 15 1 15 2 15 3 15 4 15 5 15 6 15 7 15 8 16 9 16 0 16 1 16 2 3 Tinggi muka air Tinggi muka air (cm) Waktu Pengamatan Gambar 4.1.5.2. Hasil tangkapan ikan pada alat jaring (gill net) di Tasik Air Hitam pada tahun 2010 (Husnah et al., 2010). Hasil tangkapan nelayan di tasik Air hitam cenderung lebih tinggi dibandingkan tiga tasik lainnya dengan hasil tangkapan pada kisaran 6-10 kg/nelayan/bulan pada saat air turun (Februari – Maret, 51-100 kg/nelayan/bulan pada air kecil (air stabil), dan lebih dari 100 kg/nelayan/bulan pada saat air air besar (Juli-Agustus) dan air mulai turun (September-Nopember) (Tabel 4.1.5.1 & Gambar 4.1.5.3). Hasil tangkapan ikan tersebut sebagian besar diperoleh dari alat tangkap lukah dan jaring yang dioperasikan hampir sepanjang tahun di tasik Air Hitam. Sebagian besar hasil tangkapan berasal dari tiga jenis ikan yaitu ikan tapah, toman dan tembakang. Hasil tangkapan ikan tapah pada saat air turun, air kecil, air besar dan mulai turun masing-masing pada kisaran 26- 50 kg/nelayan/bulan, 1125 kg/nelayan/bulan, 51-100 kg/nelayan/bulan dan lebih besar dari 100 kg/nelayan/bulan. 44 Tabel 4.1.5.1. Hasil tangkapan nelayan pada berbagai tinggi air, tipologi habitat dan jenis alat tangkap (Data penelitian Husnah et al (2010) diolah No Na ma l oka l Na ma l a ti n Ai r turun Ai r keci l (Sta bi l ) Ai r Na i k Ai r Turun Feb-Ma r Apri l -Juni Jul i -Agus tus Sept-Nop Ta s i k Ai r hi t Ka ti Luka h Ba ung Hemibagrus nemurus 2 Ba ung l a ya r Bagrichthys macracanthus 3 Bujuk/Lumpung Channa lucius 1 4 Ga bus Channa striata 1 5 gel a ng/Ri u Psedeutropius bracypopterus 6 Pa ti n Pangasius sp 7 kol i /l el e Clarias nieuhofi 8 Li l o Silurichthys hasseltii 9 Mengka ek Puntius lineatus 10 pa nta u Rasbora cephalotaenia 11 pa ud-pa ud Osteochilus spilurus 12 Perma to Trygoster leerii 13 Pi mpi ng Parachila oxygastroides 14 Sel a i s ba l i k tul a ng Kryptopterus micronema 15 Sel a i s botul /l a i s muncung Kryptopterus apogon 16 La i s s ungut (ja nggut) Ompok eugeneiatus 17 Sel a i s moda ng/ l a i s ta pa Kryptopterus limpok 18 Sel a i s s p Kryptopterus lais 19 Sel i nca h/kepa r/s ekopa Belontia hasseltii 20 Semburi nga n Puntius lineatus 21 Sepa t Trygoster trychopterus 22 Sepa tung/ba tung Pristolepis fasciata 23 Sepengka h Parambassis apogonoides 24 Sera nda ng Channa pleuropthalmus 25 Si ngeta i Mystus bimaculatus 26 Sos a u Pectenocypris korthausae 27 Ta pa Pa yu Silurichthys phaiosoma 28 ta pa h Wallago leeriii 29 Temba ka ng/tua ka ng Helostoma temminckii 30 Toma n Channa melastoma Keterangan: : Hasil Tangkapan ≤ 5 kg/nelayan/hari 1 : Hasil Tangkapan 6-10 kg/nelayan/hari 2 Ai r hi t Ka ti Luka h 1 Tota l (kg/nel a ya n) Bet 1 Sunga i Ai r hi t Ja ri ng 4 1 4 Sera i Ka ti Si a k keci l Ta s i k Ka ti Pa nci ng Ta jur Ra wa i Ta jur Luka h 1 Ai r hi t Luka h 1 1 1 Bet 3 4 5 1 1 2 3 Ta s i k Ai r hi t Sera i Ai r hi t Ja ri ng Pa nci ngTa jur Bet Bet Ja l a 6 Ai r hi t Bet Luka h 2 6 Ai r hi t Ja ri ng 1 1 4 1 1 2 4 5 1 1 1 1 1 2 4 4 1 1 1 1 3 1 1 1 1 3 1 3 5 2 1 3 1 5 1 1 1 1 1 1 1 1 2 4 2 2 1 4 1 6 5 1 6 2 4 4 1 5 3 1 4 5 2 1 6 6 5 6 6 2 3 6 1 1 2 1 1 1 1 4 1 1 2 2 3 4 2 1 3 4 3 5 3 1 1 1 2 3 1 5 1 1 1 1 : Hasil Tangkapan 11-25 kg/nelayan/hari : Hasil Tangkapan 26-50 kg/nelayan/hari 1 1 5 6 1 1 2 4 1 0 1 1 1 1 2 : Hasil Tangkapan 51-100 kg/nelayan/hari : Hasil Tangkapan > 101 kg/nelayan/hari 45 Hasil tangkapan ikan toman dan ikan tembakang relatif lebih kecil dibandingkan tapah. Hasil tangkapan kedua jenis ini cenderung lebih besar pada saat air naik dan mulai turun dengan kisaran 2650 kg/nelayan/bulan. Informasi tersebut di atas mendukung hasil penilaian nelayan yang menyatakan telah terjadinya tekanan terhadap sumberdaya ikan tapah dan toman yang dindikasikan dengan penurunan ukuran individu ikan. Hasil FGD tentang isu permasalahan yang dihadapi nelayan di tasik GSK, juga menunjukkan telah terjadi penurunan jumlah ikan dan pendapat nelayan sebagai akibat peanurunan ketebalan hutan di sekitar GSK (Tabel 4.1.5.2) Gambar 4.1.5.3. Hasil tangkapan ikan pada berbagai alat tangkap di kempat tasik pada bulan Pebruari, Mei, Agustus dan November 2010 (Marini et al., 2011) 46 Tabel 4.1.5.2. Isu dan permasalahan dihadapi oleh pemanfaat dan pengelola rawa banjiran Giam Siak Kecil tahun 2013. (data FGD tahun 2013 yang diolah). Isue utama diindikasikan dengan skor nilai mendekati 0. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Isu dan Permasalahan Peningkatan ketinggian air Penurunan ketinggian muka air Meluasnya wilayah tumbuhan air di perairan Penurunan ketebalan hutan di sekitar GSK Hilangnya sumber-sumber air dan sungai di sekitar GSK Pencemaran perairan Penurunan jumlah jenis-jenis ikan Penurunan jumlah ikan Penurunan pendapatan dari hasil tangkapan/karamba/pariwisata Pemakaian alat tangkap illegal (strum,tuba, bom) Padatnya jumlah jaring (alat tangkap ikan)/keramba dioperasikan di perairan Semakin kecilnya ukuran mata jaring yang dioperasikan Belum ada peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan, pengawasan dan sanksi berkaitan dengan sumberdaya GSK Belum diterapkannya peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan, pengawasan dan sanksi berkaitan dengan sumberdaya GSK Belum ada wadah/lembaga pengelola sumberdaya GSK Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya Pemanfaat 9 9 10 5 6 6 7 4 4 Pengelola 10 6 9 6 8 7 5 5 7 5 8 8 10 9 9 10 4 10 4 11 13 6 4 4.2. Potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam non perikanan Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti, ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan namun dari sebelum tersebut telah dimanfaakan masyarakat. Berbagai aktivitas pada kedua kabupaten ini akan mempengaruhi kualitas, produktivitas dan keberlanjutan dari sumberdaya perairan dan ikan di perairan tasik ataupun di Sungai Siak Kecil berikut dengan anak-anak sungainya. Pada zona inti, berbagai jenis pemanfaatan lahan diantaranya adalah pertanian musiman dan perikanan. Pada zona penyangga, kegiatan masyarakat diantaranya perikanan, perkebunan tanaman industri, kelapa sawit, dan tanaman perkebunan lainnya, pertanian musiman, pengumpulan kayu dan produk hutan lainnya. Pemanfaatan lahan pada zona transisi diutamakan pemukiman, pertanian musiman, perkebunan sawit, karet, agro industri, 47 industri kehutanan, pertambangan, ekplorasi gas dan minyak bumi, serta berbagai pemanfaatan ekonomi lainnya (Anonimous, 2010). Di luar kawasan cagai biosfir GSK-BB, pemanfaatan lahan di Kabupaten Bengkalis seperti di kecamatan Mandau, diantaranya didominasi oleh penutupan lahan berupa kebun karet, semak belukar, hutan, kebun sawit, kebun campuran dan lahan terbuka, dan sebagian kecil merupakan lahan pertanian, lahan terbangun dan badan air. Sebagian dari areal lahan terbuka merupakan kawasan pertambangan (Pemerintah Kabupaten Bengkalis, 2010). Ladang-ladang minyak bumi terdapat di Kecamatan Mandau, Bukit Batu pengelolaannya dilakukan oleh perusahaan minyak PT. Caltex Pasific Indonesia dengan wilayah operasi di Kecamatan Mandau dan Bukit Batu. Jumlah perusahaan besar yang beroperasi di sekitar kawasan cagar biosfir GSK-BB di kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis dan di Kabupaten Siak masing-masing sebanyak 7 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan industri dan hutan dan bidang lain. 4.3 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sungai dan Rawa Banjiran GSK 4.3.1 Lokasi Terpilih Dan Profil Masyarakat Nelayan Giam Siak Kecil (GSK) merupakan komplek tasik terbesar di Provinsi Riau yang juga merupakan bagian dari sub daerah aliran sungai (DAS) Mandau dan Sungai Siak Kecil. Sungai Siak kecil menghubungkan kompleks tasik Giam Siak Kecil dengan selat Bengkalis. Kompleks tasik ini terdiri atas beberapa tasik yang saling berhubungan seperti: Tasik Baru, Tombatusonsang, Katialau, Serai, Betung, Marbalu, Bunian, Ungus, Besingin dan Air hitam. Komplek tasik Giam Siak Kecil dikelilingi oleh hutan tanaman industri yang dimiliki oleh empat perusahaan dibawah naungan Sinar Mas Forestry (LPPM IPB, 2008 dalam Husnah et al., 2012), dan telah diusulkan pada bulan Pebruari 2009 dan telah mendapatkan persetujuan UNESCO pada bulan Mei 2009 sebagai Cagar Biosfir Giam Siak Kecil –Bukit Batu (GSKBB) yang merupakan satu dari tujuh Cagar Biosfir yang ada di Indonesia. Penurunan jumlah dan ukuran jenis ikan tertangkap telah banyak dilaporkan oleh para peneliti dan salah satu jenis ikan yang merupakan ikon dari Sungai Siak yaitu ikan Terubuk (Tenualosa Macrura) sudah jarang ditemukan. Fenomena tersebut diperkuat oleh hasil kajian yang dilakukan oleh Husnah et al. (2009) di Sungai Siak yang berlokasi di Kuala Tapung hingga muara Sungai Mandau mengindikasikan rendahnya kuantitas dan kualitas hasil tangkapan nelayan ditemukan hanya pada beberapa lokasi khususnya pada lokasi pemukiman, perkebunan dan industri. Pada lokasi berdekatan dengan muara Sungai Mandau masih ditemukannya jenis 48 ikan ekonomis penting seperti Ikan Belida (Notopterus chitala), Patin (Pangasius sp), Baung (Mystus nemurus) dan Ikan Lais-laisan (Kyrptopterus sp.). Sementara itu, kajian terkait aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat nelayan yang bermukim di kawasan cagar biosfir GSK-BB relatif belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, salah satu tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat nelayan di kawasan tersebut. Data dan informasi nelayan pada perikanan sungai dan rawa banjiran GSK dikumpulkan pada lokasi-lokasi terpilih: (a) Tasik Katialau; (b) Tasik Betung; (c) Tasik Air Hitam, dan; (d) Tasik Serai. Sebaran lokasi-lokasi pengamatan tersebut pada saat air tertinggi (pasang maksimum) dan air terendah (surut minimum) dapat dilihat pada Gambar 4.3.1.1 dan 4.3.1.2 4.3.2 Profil Sosial Ekonomi dan Budaya Profil sosial Ekonomi nelayan direpresentasikan oleh beberapa indikator, antara lain adalah (a) jarak lokasi atau desa ke tempat pusat kegiatan ekonomi baik di tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi; (b) komposisi jumlah penduduk; (c) tingkat pendidikan, dan; (d) jumlah nelayan. Mengacu pada Tabel 1 di bawah serta Gambar 1 dan 2, lokasi terjauh ditunjukkan oleh Tasik Air Hitam dan Katialau; kemudian diikuti oleh Tasik Serai dan Betung. Jarak lokasi tempuh tersebut berimplikasi pada biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh nelayan, baik untuk menjual hasil tangkapannya maupun untuk membeli kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dari sisi tingkat pendidikan, nelayan di Tasik Air Hitam relatif mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, diikuti oleh nelayan Tasik Serai, Katialau dan Betung. Dari sisi komposisi kelompok umur, nelayan di keempat lokasi menunjukkan pola distribusi kelompok umur yang beragam; meskipun demikian dapat dikatakan bahwa nelayan di Tasik Serai relatif menjadi profesi bagi generasi usia produktif (20-50 tahun) serta sedikit sekali dilakukan oleh generasi ‘manula’ (>50 tahun). Lebih dari 50% nelayan Tasik Serai berusia 20-30 tahun; komposisi kelompok usia yang sama ditunjukkan oleh nelayan Tasik Air Hitam (33%), Tasik Katialau (25%) dan Tasik Betung (20%). Fenomena ini mengindikasikan bahwa semakin dekat lokasi masyarakat ke pusat kegiatan ekonomi, semakin kecil minat masyarakat berprofesi sebagai nelayan (ilustrasi Tabel 4.3.2.1 dan Gambar 4.3.2.1). Secara umum dijumpai bahwa suku Melayu dan Siak relatif mendominasi profesi nelayan perikanan perairan sungai dan rawa banjiran di GSK; kemudian diikuti oleh suku Mandau dan Jawa. 49 Gambar 4.3.1.1. Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung, Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Pasang Maksimum di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran GSK. 50 Gambar 4.3.1.2. Lokasi Penangkapan Ikan Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Betung, Tasik Katialau dan Tasik Serai Pada Saat Air Surut Terendah di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran GSK. 51 Tabel 4.3.2.1. Deskripsi Profil Sosial Ekonomi Nelayan Perairan Sungai dan Rawa Banjiran GSK Menurut Lokasi Terpilih, 2013. Diskripsi Tasik Betung Tasik Serai 40 10 160 70 290 120 403 365 768 Orbitasi (km) Jarak Desa ke Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten ke Ibukota Propinsi Penduduk (orang) - Laki-laki - Perempuan - Total Tingkat Pendidikan (%) - s/d tamat SD - SLTP/A - PT Nelayan (orang) Tasik Air Hitam Tasik Katialau 1997 1731 3728 na na na na na na 49,81 47,1 3,09 72,37 27,63 - 83,33 16,67 - 72,23 27,67 - 70 60 12-16 18-20 Sumber: Data primer dan sekunder (2013) di olah. Keterangan: - Nelayan Tasik Betung dari Desa Tasik Betung - Nelayan Tasik Serai dari Desa Tasik Serai - Nelayan Tasik Air Hitam dari Desa Lubuk Gaung, mereka bersifat musiman dengan cara membangun pondok di sekitar lokasi penangkapan pada saat musim ikan. - Nelayan Tasik Katialau bersifat musiman dengan cara membangun pondok di sekitar lokasi penangkapan pada saat musim ikan. Persentase Usia Persentase Usia 35,00 30,00 30,00 25,00 25,00 20,00 20,00 15,00 15,00 10,00 10,00 5,00 5,00 0,00 0,00 <20 Tahun 20-30 31-40 41-50 <20 Tahun >50 20-30 31-40 41-50 >50 (b) Tasik Katialau (a) Tasik Air Hitam Persentase Usia Persentase Usia 60,00 50,00 50,00 40,00 40,00 30,00 30,00 20,00 20,00 10,00 10,00 0,00 0,00 <20 Tahun 20-30 31-40 41-50 >50 <20 Tahun (c) Tasik Serai 20-30 31-40 41-50 >50 (c) Tasik Betung Gambar 4.3.2.1. Distribusi Komposisi Kelompok Usia Nelayan Tasik Air Hitam, Tasik Katialau, Tasik Serai dan Tasik Betung Tahun 2013. 4.3.3 Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan Hubungan masyarakat, sumber daya alam dan pengelola sumber daya merupakan satu kesatuan yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai satu kesatuan sistem sosial ekologi atau sistem ekologi sosial. Anonymous (2013) menyatakan bahwa Sistem Ekologi-Sosial 52 (SES) adalah sebuah sistem ekologi yang berhubungan erat dengan/dan dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial. Sebuah sistem ekologi dapat secara bebas didefinisikan sebagai suatu sistem yang saling tergantung dari organisme atau unit biologis. Istilah "SES" digunakan untuk merujuk pada subset dari sistem sosial di mana beberapa hubungan saling tergantung antara manusia yang dimediasi melalui interaksi dengan biofisik dan unit biologi nonmanusia (Anderies et al., 2004 dalam Anonymous, 2013). Secara sederhana hubungan tersebut di atas dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4.3.3.1. Gambar 4.3.3.1. Keterkaitan sumber daya, pemanfaat dan pengelola sebagai ilustrasi sistem sosial ekologi. Lingkungan sosial ekonomi dan budaya meliputi: (a) keberadaan manusia dalam kumpulan rumah tangga yang membentuk komunitas dengan karakteristik budaya berupa sistem nilai, perilaku dan norma yang mengalami perubahan secara dinamis sebagai respon ataupun antisipasi dinamika perubahan sumber daya alam; (b) kelembagaan sosial ekonomi seperti sistem peraturan sosial dalam memanfaatkan sumber daya serta ekonomi pasar. Penelitian LIPI (2007) mengungkapkan bahwa secara tradisional penduduk atau masyarakat telah bermukim dan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya dalam kawasan cagar alam biosfir GSK, terutama pada lahan ‘daratan’ berupa hutan dan vegetasi pendukungnya kemudian mengalami perluasan ke lahan ‘perairan’ berupa sungai dan rawa banjiran. Masyarakat memanfaatan hasil-hasil hutan maupun sungai dan rawa banjiran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, antara lain berupa bahan makanan, sayuran, buah-buahan dan ikan. Pemanfaatan sumber daya untuk diperjual belikan untuk mendapatkan uang secara langsung (cash money) umumnya berupa kayu dan ikan. Dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya alam yang ada, sistem peraturan sosial yang terbentuk didasari atas kesadaran bahwa mereka sangat tergantung pada kekayaan sumber daya alam yang ada, sehingga mereka harus berperilaku arif dan bijaksana sedemikian rupa sehingga kelestariannya terjamin. 53 Hasil penelitian di lokasi terpilih tasik Katialau, tasik Air Hitam, tasik Betung dan tasik Serai menjelaskan pola mata pencaharian masyarakat yang hidup di sekitar cagar alam biosfir GSK seperti diilustrasikan pada Tabel 4.3.3.1. Pada tabel tersebut diuraikan pengalaman usaha terkait dengan mata pencaharian yang masyarakat beserta alokasi curahan waktu mereka sehari-hari maupun dalam periode mingguan serta tahunan. Tabel 4.3.3.1. Mata Pencaharian Masyarakat Menurut Jenis Usaha, Pengalaman Usaha dan Alokasi Curahan Kerja di Lokasi Terpilih, 2013. Lokasi Tasik Katiallau Tasik Air Hitam Tasik Betung Tasik Serai Jenis Usaha Pertanian Perkebunan Perikanan Pertanian Perkebunan Perikanan Perkebunan Perikanan Perkebunan Perikanan Perdagangan Pengalaman (th) Jam/Hari Hari/Minggu Bulan/Tahun 16 5 7 10 2 4 16 36 7 16 4 5 3 6 8 2 9 4 6 5 7 10 7 5 7 7 7 6 6 6 4 7 5 6 12 9 10 10 11 11 9 11 11 12 Sumber: Data survai 2013 di olah. Secara tradisi, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya perikanan perairan sungai dan rawa banjiran GSK telah tertanam dalam kebiasaan masyarakat setempat bahwa sumber daya yang ada tersebut mempunyai nilai penting bagi penghidupan mereka seharihari; hal ini selanjutnya terefleksi dalam pola perkembangan mata pencaharian mereka. Masyarakat secara sadar tidak menggunakan alat tangkap dan cara penangkapan yang bersifat merusak kelestarian kehidupan sumber daya perikanan perairan sungai dan rawa banjiran, misalnya tidak menggunakan alat setrum listrik, bahan peledak dan racun (tuba) ikan ataupun memasang alat tangkap yang dipasang memotong jalur aliran sungai terutama pada saat musim kemarau. Dengan melakukan tindakan seperti di atas, diyakini bahwa sumber daya ikan sungai dan rawa banjiran terjamin kelestariannya. Pola mata pencaharian masyarakat nelayan di sekitar sumber daya perairan sungai dan rawa banjiran GSK sehari-hari ditunjukkan oleh Tabel 4.3.3.2. Aktivitas penangkapan ikan di kalangan masyarakat nelayan sekitar perairan sungai dan rawa banjiran GSK didominasi oleh nelayan tradisional dengan penguasaan armada dan alat tangkap yang sederhana. 54 Tabel 4.3.3.2. Pola Mata Pencaharian Masyarakat Nelayan Sehari-hari Di GSK, 2013. Waktu (Jam) Lampiran 1. Susunan keanggotaan Badan Koordinasi Pengelolaan cagar Biosfer Giam Siak Aktivitas/Kegiatan 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4 Kecil-Bukit Batu (Kep Gub Riau No. Kpts. 920/V/2010 tanggal 14 Mei 2010). Memasang Jaring Melihat Lukah SMenjemur Ikan Menyalai Ikan Jual Ikan Cari Kayu Berkebun : Karet Sawit 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Sumber: Survai 2013, data di olah. Armada perahu yang digunakan berukuran panjang dan lebar sekitar 5-6 m (panjang) dan 70-80 cm (lebar) yang dioperasikan dengan dayung dan/atau mesin tempel dengan daya yang relatif kecil (< 5 PK). Alat tangkap yang digunakan berupa jaring, pacing, jala dan bubu. Selain itu alat tangkap lukah digunakan. Kegiatan penangkapan ikan umumnya masih berorientasi pada upaya memenu kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Peningkatan jumlah penduduk serta perkembangan peningkatan akses jalan dari lokasi pemukiman menuju pusatpusat kegiatan ekonomi (pasar) baik ke kecamatan, kabupaten maupun propinsi menyebabkan permintaan terhadap ikan meningkat. Hal ini mendorong nelayan untuk melakukan modifikasi alat tangkap dan cara penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga mampu memperoleh hasil tangkapan ikan dalam jumlah besar dan menguntungkan. Berbagai perubahan konstruksi alat tangkap dan pengoperasian penangkapan cenderung memberikan dampak negatip terhadap kondisi sumber daya ikan sehingga kegiatan penangkapan ikan menjadi tidak terkendali. Dinamika pola penggunaan alat tangkap dan hasil ikan tertangkap menurut bulan pada peride penangkapan tahunan dapat dilihat pada Tabel 4.3.3.3 Tabel 4.3.3.3. Dinamika Pola Penggunaan Alat Tangkap dan Ikan Tertangkap Menurut Bulan di Lokasi Studi, 2013. Alat Tangkap dan Bulan Ikan Tertangkap Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Lukah (Lais Tapa) Lukah (Toman) Jaring (Tuakang) Jaring (Baung) Jaring (Lele) Jaring (Lumpung) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Sumber: Survai 2013, data diolah. 55 5 1 1 Literatur review mengungkapkan bahwa pada masa lalu (sebelum tahun 2000an) musim ikan (panen raya) terjadi pada saat awal musim penghujan. Pada saat tersebut permukaan air sungai naik dan air melimpah ke daerah rawa banjiran sampai mendekati kawasan ‘daratan’ hutan dan daerah pemukiman. Kondisi ini secara langsung memberikan kesempatan nelayan untuk memperluas daerah penangkapan ikan yang dapat di akses, sehingga hasil tangkapan mereka meningkat. Situasi ini berbeda keadaannya bila dibandingkan dengan perikanan sungai dan rawa banjiran di Sumatra Selatan dan Kalimantan Barat, dimana musim ikan (panen raya) terjadi pada saat air mulai surut hingga surut terendah. Bahkan, pada saat air surut terendah banyak ikan tertangkap atau terperangkap yang tidak sempat termanfaatkan, baik dikonsumsi secara langsung atau diolah. Pada saat panen raya, ikan tidak terjual seluruhnya, sehingga kegiatan pengolahan ikan baik dalam bentuk ikan asin maupun ikan salai marak dipraktekkan oleh masyarakat nelayan. 4.3.4 Pendapatan Dan Pengeluaran Rumah Tangga Secara tradisional, ada anggapan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga semakin sejahtera tingkat kehidupan mereka. Hal ini di dasarkan pada pertimbangan bahwa dengan adanya anggota keluarga yang ralatif banyak maka tersedia potensi tenaga kerja yang dapat melakukan kegiatan usaha perekonomian produktif (Tabel 4.3.4.1). Tabel 4.3.4.1. Jumlah anggota bekerja responden di rawa banjiran Giam Siak Kecil (GSK) Jumlah anggota bekerja responden di Perairan Katialau GSK Jumlah Anggota Keluarga Persentase Lokasi yang Bekerja Jawaban 1 50,00 2 16,67 Tasik Katialau 3 16,67 4 5,56 >4 5,56 1 8 2 75 Tasik Air Hitam 3 8 4 0 >4 8 1 40 2 40 Tasik Betung 3 0 4 20 >4 0 1 45 2 27 Tasik Serai 3 9 4 9 >4 0 56 Tabel 4.3.4.1 memberikan ilustrasi bahwa rataan jumlah anggota keluarga yang dapat membantu kegiatan usaha produktif sebanyak 2 orang. Pola mata pencaharian masyarakat sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya di lokasi dimana mereka bermukim. Hasil FGD memberikan ilustrasi bahwa 90% peserta menyatakan bahwa ketergantungan mereka terhadap sumber daya perairan rawa banjiran tinggi. Sebagian besar masyarakat pemanfat SDA rawa banjiran GSK memiliki mata pencaharian lebih dari satu kegiatan usaha perekonomian. Struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga masyarakat dapat digambarkan seperti pada Tabel 4.3.4.2 dan Tabel 4.3.4.3 Tabel. 4.3.4.2. Struktur Pendapatan Keluaraga Menurut Kategori Jenis Pendapatan dan Besaran Pendapatan Yang Diterima di Giam Siak Kecil, 2013. Persentase Pengeluaran Responden di Perairan Katialau GSK Lokasi Tasik Katialau Tasik Air Hitam Tasik Betung Tasik Serai Jenis Pengeluaran Kebutuhan Makanan Kebutuhan Pakaian Kebutuhan Perumahan Kebutuhan Pendidikan Kebutuhan Kesehatan Kebutuhan Makanan Kebutuhan Pakaian Kebutuhan Perumahan Kebutuhan Pendidikan Kebutuhan Kesehatan Kebutuhan Makanan Kebutuhan Pakaian Kebutuhan Perumahan Kebutuhan Pendidikan Kebutuhan Kesehatan Kebutuhan Makanan Kebutuhan Pakaian Kebutuhan Perumahan Kebutuhan Pendidikan Kebutuhan Kesehatan <500 ribu 38,89 16,67 11,11 5,56 33,33 25 33 25 33 75 0 30 0 80 10 9 64 27 9 55 Rata-rata pengeluaran per bulan 500 ribu-1 jt 1-2 jt 5,56 44,44 38,89 22,22 16,67 5,56 22,22 11,11 11,11 5,56 33 42 33 50 40 0 0 0 0 18 0 0 9 0 50 0 0 0 0 64 0 0 0 0 >2jt 5,56 5,56 5,56 0,00 0,00 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sumber: FGD Tahun 2013. Keterangan: Angka dalam tabel menunjukkan prosentase responden 57 Tabel 4.3.4.3. Struktur Pengeluaran Keluarga Menurut Kategori jenis Pengeluaran dan Besarannya di rawa banjiran Giam Siak Kecil (GSK), 2013. Besaran Pendapatan Keluarga Responden di Perairan Katialau GSK Persentase Pilihan Responden Lokasi Jenis Pendapatan <1 juta 1-3 juta >3 juta Pendapatan utama 16,67 55,56 0 Tasik Katialau Pendapatan Sampingan 16,67 11,11 0,00 Pendapatan Utama 17 67 0 Tasik Air Hitam Pendapatan Sampingan 8 8 0 Pendapatan Utama 10 30 0 Tasik Betung Pendapatan Sampingan 40 20 0 Pendapatan Utama 0 64 27 Tasik Serai Pendapatan Sampingan 3 6 0 Sumber: FGD Tahun 2013. Keterangan: Angka dalam tabel menunjukkan prosentase responden 4.3.5 Penguasaan Lahan Pola pencaharian masyarakat lebih dari satu usaha tercermin dari luasan lahan yang dimiliki (Tabel 4.3.5.1). Mata pencaharian non perikanan seperti pertanian, perkebunan dan pengolahan ikan dilakukan oleh kaum perempuan (istri dan anak). Usaha sampingan sebagian besar responden adalah pearkebunan. Hal ini terlihat dari luasan ladang dan perkebunan yang lebih dari 4 hektar dibandingkan dengan lahan sawah kurang dari satu hektar. Tabel 4.3.5.1. Rata-rata luas lahan usaha responden Rata-rata luas Lahan Usaha Responden Lokasi Tasik Katialau Tasik Air Hitam Tasik Betung Tasik Serai Jenis Lahan Usaha Sawah (ha) Ladang/Kebun (ha) Keramba (ha) Sawah Ladang/Kebun Keramba Sawah Ladang/Kebun Keramba Sawah Ladang/Kebun Keramba Luas (ha) 1,17 4,63 0,6 0,5 0,0 1,75 0 0,0 4,25 0 Sumber: FGD Tahun 2013. Keterangan: Angka dalam tabel menunjukkan prosentase responden 58 4.3.6 Peran Wanita Dalam Rumah Tangga Nelayan Pembagian peran dalam rumah tangga terbentuk mengikuti kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi yang dipraktekkan oleh suatu komunitas. Kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh bagaimana keterkaitan hubungan antara komunitas tersebut dengan sumber daya alam dimana mereka menggantungkan penghidupannya. Gender oleh Simatauw et al. (2001), didefinisikan sebagai perbedaan peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh sebuah masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Tabel 4.3.6.1. Peran Perempuan Dalam Keluarga dan Keterkaitannya dengan Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Sungai dan Rawa GSK, 2013. Lokasi Tasik Katialau Tasik Air Hitam Tasik Betung Tasik Serai Jenis Peran Mengurus RT Membantu usaha (mencari uang) Menyumbang pemikiran dalam mengambil keputusan Lainnya kosong Mengurus RT Membantu usaha (mencari uang) Menyumbang pemikiran dalam mengambil keputusan Lainnya Mengurus RT Membantu usaha (mencari uang) Menyumbang pemikiran dalam mengambil keputusan Lainnya Mengurus RT Membantu usaha (mencari uang) Menyumbang pemikiran dalam mengambil keputusan Lainnya Pilihan Responden (%) 61,11 50,00 33,33 0,00 16,67 92 58 33 90 70 60 0 91 64 55 - Sumber: FGD Tahun 2013. Keterangan: Angka dalam tabel menunjukkan prosentase responden Gender berbeda dengan jenis kelamin; gender merupakan bentukan manusia bukan kodrat yang mengandung pengertian bahwa gender dapat berubah setiap saat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa gender ini bersifat dinamis secara lokalitas. Dalam konteks analisis gender serta keterkaitannya dengan penguasaan, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya 59 alam, terkait di dalamnya adalah bagaimana pola hubungan kuasa dan peran anatara laki-laki dan perempuan dalam menjadikan alam sebagai sumber penghidupan. Hasil diskusi kelompok terfokus di lokasi komunitas/ masyarakat nelayan terpilih, peran perempuan dapat diidentifikasi seperti ditunjukkan oleh Tabel 4.3.6.1. Mengurus urusan rumah tangga merupakan peran dominan perempuan dalam rumah tangga nelayan di keempat lokasi yang di amati. Dalam konteks penghidupan dan keterkaitannya dengan sumber daya perikanan, perempuan dalam rumah tangga nelayan berperan membantu keluarga dalam mencari penghasilan dan memberikan sumbangan pemikiran dalam pengambilan keputusan keluarga. 4.4. Existing pengelolaan sumberdaya alam di GSK Pasal 33 UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa secara legal sumber daya alam yang ada di wilayah Indonesia dimiliki oleh negara. Secara faktual, kehadiran negara dalam kepemilikan (property rights system) sumber daya tidak terlihat dengan jelas sehingga terkesan bahwa sumber daya yang ada adalah bukan milik siapa-saja atau milik bersama (common property) atau dimiliki oleh masyarakat (communal property). Hak kepemilikan sumber daya akan berimplikasi pada hak pemanfatan (access rights). Pemahaman status keterkaitan pemanfaat dengan sumber daya alam yang ada akan berpengaruh pada praktek pola pemanfaatan sumber daya tersebut. Selain daripada itu, pemahaman tingkat kerentanan sosial (masyarakat) secara implisit tergambarkan dari pola pikir masyarakat terhadap kepemilikan dan tanggungjwab terhadap pengelolaannya. Tabel 4.4.1 dibawah memberikan ilustrasi persepsi masyarakat hasil FGD terkait dengan kepemilikan sumber daya perairan rawa banjiran GSK. Sebagian besar responden menyatakan bahwa sumber daya tersebut merupakan milik yang masyarakat. Tabel 4.4.1. Persepsi masyarakat di rawa banjiran Giam Siak Kecil mengenai sumberdaya alam Pilihan Tidak ada Tuhan Negara (pemerintah) Masyarakat PT. Sinarmas Tidak menjawab Serai 27 0 18 45 0 9 Tasik Persentase/Jawaban Katialau Betung 0 30 17 0 33 10 44 50 0 0 6 10 Air Hitam 0 17 17 67 0 0 60 Pemikiran tersebut terungkap juga dari Tabel 4.4.2. ternyata persepsi masyarakat bahwa masyarakat adalah bagian dari pengelola perairan di rawa banjiran GSK dan persepsi masyarakat tentang terlibatnya mereka dalam pengelolaan SDA. Pemikiran tersebut merupakan nilai penting dalam pengelolaan sehingga apabila akan dilakukan beberapa alternatif pengelolaan maka diharapkan masyarakan akan berpartisipasi untuk mendukung keberhasilan pengelolaan. Tabel 4.4.2. Persepsi pemanfaat tentang pengelola sumberdaya perairan di Giam Siak Kecil saat ini Pengelola Tidak ada Pemerintah Masyarakat PT. Sinarmas Forestry kosong Serai 36 9 45 0 9 Persentase Pilihan Responden/ Lokasi Tasik Katialau Betung Air Hitam Rataan 17 20 0 18 6 20 25 15 78 60 75 65 0 0 0 0 6 0 0 4 Namun demikian beberapa hal mempengaruhi keberhasilan pengelolaan diantaranya belum ada kesepakatan tentang penentuan siapa yang berhak untuk memanfaatkan SDA, jenis alat yang digunakan, batas daerah penangkapan, belum adanya aturan sangsi terhadap pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional dan penggunaan alat tangkap yang ilegal, belum adanya peran tokah agama, adat, masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan SDA, dan belum adanya koordinasi dengan pengelola lain seperti satuan kerja pemerintah daerah (dinas-dinas terkait dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA rawa banjiran GSK) yang tercermin dari hasil FGD bahwa dalam pengelolan masyarakat tidak meminta izin dari pemerintah karena mereka tidak dilibatkan dalam proses pengelolaan (Tabel 4.4.3). 4.5. Kelembagaan Secara sederhana kelembagaan dapat di artikan sebagai wadah dan seperangkat mekanisme yang disepakati dan dijalankan. Kata kelembagaan tidak hanya merujuk kepada lembaga atau organisasi, tetapi juga merujuk kepada aturan-aturan yang ada dan mengikat (Priatna, 2007). Ciri umum kelembagaan sosial adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan hasilhasilnya. 61 Tabel 4.4.3. Persepsi responden (pemanfaat) terhadap komponen dan proses pengelolaan sumberdaya alam di rawa banjiran Giam Siak Kecil Parameter/komponen penilaian Apakah ada kesepakatan siapa yang boleh menangkap ikan Persentase Pilihan Responden/Lokasi Tasik Serai Ya Tidak 100 Katialau Ya Tidak 11 72 Betung Ya Tidak Air Hitam Ya Tidak 8 92 Rataan Ya Tidak 5 66 Apakah ada kesepakatan pembatasan jenis dan jumlah alat/ketamba yang beroperasi 100 33 61 33 67 17 57 Apakah ada kesepakatan penempatan alat tangkap/keramba di GSK 100 17 72 17 83 8 64 Apakah ada sangsi bagi masyarakat yang melanggar kesepakatan 36 55 50 44 30 60 33 67 37 56 Apakah Bapak/Ibu ikut melestarikan lingkungan sumberdaya alam di GSK, baik itu sumberdaya hutan maupun perairan Apakah ada peran tokoh agama dalam pengelolaan sumberdaya alam di GSK 82 9 61 28 70 20 67 33 70 23 18 73 61 22 20 70 25 75 31 60 Apakah ada peran tokoh adat dalam pengelolaan sumberdaya alam di GSK 37 55 17 67 30 60 21 70 Apakah ada peran tokoh masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam di GSK 18 73 28 50 50 40 75 25 43 47 Apakah ada peran pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam di GSK 18 73 28 50 30 50 67 33 36 52 61 33 75 25 34 15 22 56 13 77 Apakah Bapak/Ibu ikut mengelola sumberdaya alam di GSK Apakah Bapak/Ibu dalam pengelolaan sumberdaya alam, baik itu hutan dan perairan GSK meminta pertimbangan izin kepada para tokoh agama, adat, masyarakat dan pemerintah 9 82 20 70 62 Kelembagaan sosial memiliki suatu tingkat kekekalan tertentu ketika himpunan normanorma yang terkandung di dalam kelembagaan sosial tersebut berkisar kepada kebutuhan pokok sudah sewajarnya harus dipelihara. Fungsi dari kelembagaan sosial adalah menjaga keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control system). Konflik terjadi seiring munculnya perbedaan kepentingan atau kebutuhan di dalam suatu masyarakat. Berfungsinya peranan ini akan dapat mengikat tujuan-tujuan pembentukan kelembagaan sesuai dengan fungsinya tersebut. Hasil identifikasi kelembagaan yang ada dan berkembang di lokasi kajian dapat dilihat pada Tabel 4.5.1. Tabel 4.5.1. Identifikasi Kelembagaan Masyarakat Nelayan di Tasik Karialau, Air Hitam, Betung dan Serai (2013). Parameter/ Komponen Apakah sudah ada kelompok nelayan/pembudidaya/ masyarakat lainnya Serai Ada Tidak Ada 0 91 Lokasi Tasik Persentasi Pilihan responden Katialau Betung Air Hitam Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Ada 0 94 10 80 8 92 Rataan Ada Tidak Ada 5 89 Apakah ada aturan-aturan yang tidak tertulis dijalankan secara turun temurun dalam menjalankan usaha/mata pencaharian Apakah ada upacara-upacara adat berkaitan dengan sumberdaya di GSK Apakah ada pengaturan waktu kapan bekerja dan tidak bekerja 0 91 28 67 30 60 0 100 14 79 0 0 11 78 0 0 0 100 3 44 0 0 11 72 0 0 0 100 3 43 Apakah ada orang yang di hormati di lingkungan tempat tinggal dan usaha Apakah ditemukan konflik antara nelayan/pembudidaya/ usaha pariwisata yang merupakan penduduk asli setempat Apakah ditemukan konflik antara nelayan/pembudidaya/usaha pariwisata yang merupakan penduduk asli setempat dengan nelayan/pembudidaya/ usaha pariwisata pendatang 45 45 72 11 70 20 25 75 53 38 9 82 0 89 30 60 0 100 10 83 0 91 11 72 30 60 0 100 10 81 Sumber: Data FGD 2013 diolah. 63 Berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus di masing-masing lokasi, kelembagaan dalam bentuk kelompok nelayan, pengolah ikan, pekebun ataupun bentuk lainnya sebagai representasi suatu wadah atau organisasi maupun mekanisme pengaturan kegiatan penangkapan di keempat lokasi dilaporkan hampir tidak ada. Meskipun demikian, ada ketokohan yang dihormati dan dianut oleh masing-masing komunitas tersebut dan tidak ditemukan konflik antar pengguna baik antar penduduk asli dan antar penduduk asli dengan pendatang. Berdasarkan hasil studi pustaka, data primer FGD pemanfaatn dan pengelola yang telah dipaparkan pada sub bab 4.1-4.5 tersebut diatas, perlu disusun tujuan pengelolaan, rencana pengelolaan dan kriteria keberhasilan pengelolaan. Ketiga komponen tersebut tidak didasarkan pada sinergitas antara persepsi masyarakat pemanfaat dan pengelola SDA rawa banjiran GSK yang merupakan inti dari pengelolaan secara bersama (ko-manajemen). Tujuan pengelolaan dicermikan dari isu atau permasalahan penting yang dirasakan oleh pemanfaatan dan pengelola. Isu penting yang dirasakan oleh nelayan maupun pengelola di rawa banjiran GSK diantaranya adalah penurunan jumlah ikan, penurunan ketebalan hutan disekitar GSK, penurunan pendapatan dari hasil tangkapan (Tabel 4.5.2). Isu penting lain yang dirasakan pemanfaat adalah belum adanya tapal batas yang jelas wilayah inti suaka margasatawa GSK sehingga pembukaan lahan untuk perkebunan sawit seperti yang ditemukan di desa tasik Serai dan Betung telah memasuki wilayah inti ssuaka margasatwa GSK. Untuk itu persepsi masyarakat dan nelayan tentang rencana pengelolaan ke depan diarahkan pada rehabilitasi hutan, zonasi wilayah konservasi dan pemanfaatan, domestikasi ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksi hukum pelanggaran pemanfaatan SDA, restocking ikan asli, transfer teknologi pembenihan dan budidaya, inisiasi pembentukan lembaga masyarakat pengelola GSK (Tabel 4.5.3). Keberhasilan suatu pengelolaan dirasakan langsung oleh nelayan dan pengelolaa suatu SDA. Berdasarkan hasil FGD, persepsi keberhasilan pengelolaan menurut pemanfaat dan pengelola rawa banjiran GSK diindikasikan pada besarnya produksi ikan dan pendapatan masyarakat serta masih baiknya keragaman ikan. 64 Tabel 4.5.2. Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang isu penting pengelolaan SDA di Giam Siak Kecil No Isu dan Permasalahan Serai Jawaban responden/Lokasi Tasik Katialau Betung Air Rataan Hitam Pemanfaat 12 9 10 9 Rataan Pengelola 1 Peningkatan ketinggian air 7 2 Penurunan ketinggian muka air 5 16 8 9 9 3 9 10 12 9 10 8 5 5 4 5 6 9 3 9 4 6 8 6 Meluasnya wilayah tumbuhan air di perairan Penurunan ketebalan hutan di sekitar GSK Hilangnya sumber-sumber air dan sungai di sekitar GSK Pencemaran perairan 10 6 9 7 5 9 2 6 7 Penurunan jumlah jenis-jenis ikan 6 7 9 7 7 8 Penurunan jumlah ikan 3 6 4 3 4 9 Penurunan pendapatan dari hasil tangkapan/karamba/pariwisata Pemakaian alat tangkap illegal (strum,tuba, bom) Padatnya jumlah jaring (alat tangkap ikan)/keramba dioperasikan di perairan Semakin kecilnya ukuran mata jaring yang dioperasikan Belum ada peraturan-peraturan mengenai pemanfaatan, pengawasan dan sanksi berkaitan dengan sumberdaya GSK Belum diterapkannya peraturanperaturan mengenai pemanfaatan, pengawasan dan sanksi berkaitan dengan sumberdaya GSK Belum ada wadah/lembaga pengelola sumberdaya GSK Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya 2 7 4 4 4 7 5 5 7 9 3 7 3 5 8 9 5 10 9 8 10 12 5 10 9 9 10 12 7 8 9 9 4 13 9 7 12 10 4 12 11 7 13 11 6 13 15 9 16 13 4 4 5 10 11 12 13 14 15 16 Sumber: Data FGD 2013 diolah Keterangan: Prioritas jawaban utama diindikasikan dengan skor yang mendekati angka 0 65 Tabel 4.5.3. Persepsi pemanfaat dan pengelola tentang peluang peluang untuk perbaikan sistem pengelolaan SDA di Giam Siak Kecil No Peluang Perbaikan Jawaban responden/Lokasi Tasik Serai Katialau Betung Air Hitam 2 3 1 4 Rataan Pemanfaat 2 Rataan Pengelola 1 Rehabilitasi hutan 2 Pembersihan tumbuhan air 6 5 6 3 Instalasi pengendalian limbah industri di perkotaan Pengadaan sarana penampungan sampah organik dan organik pemukiman dan usaha pariwisata Pengadaan tempat pembuangan sampah akhir Domestikasi ikan asli pada Balai Benih Ikan Dinas KKP Transfer teknologi pembenihan dan budidaya ikan Asli Restocking ikan asli GSK 6 7 7 4 7 8 8 7 7 9 6 8 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Zonasi wilayah konservasi dan pemanfaatan di GSK Inisiasi pembentukan lembaga masyarakat pengelola GSK Penerapan pengawasan dan sanksi hukum pelanggaran hukum pemanfaatan sumberdaya GSK Pembatasan jumlah dan ukuran mata jaring alat tangkap dan keramba pada musim tertentu 9 4 2 3 4 2 3 3 5 2 4 3 8 4 5 2 2 4 6 4 3 4 1 3 3 5 3 3 4 9 5 4 3 3 3 5 4 1 3 7 3 4 4 Sumber: Data FGD 2013 diolah Keterangan: Prioritas jawaban utama diindikasikan dengan skor yang mendekati angka 0 Tabel 4.5.4. Kriteria keberhasilan dan kegagalan pengelolaan No Kriteria Keberhasilan Serai Jawaban responden/Lokasi Tasik Katialau Betung Air Hitam 1 Produksi ikan 1 2 3 1 Rataan Pemanfaat 2 2 Keragaman ikan 4 2 4 3 3 3 Kuantitas dan kualitas perairan 4 4 4 4 4 4 Pendapatan masyarakat 2 2 2 3 2 5 Kualitas pendididkan masyarakat Tidak adanya konflik 5 5 4 5 5 3 3 3 3 4 5 5 4 6 5 4 6 Rataan Pengelola Sumber: Data FGD 2013 diolah Keterangan: Prioritas jawaban utama diindikasikan dengan skor yang mendekati angka 1 66 V. KESIMPULAN DAN SARAN Pengembangan pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya perairan rawa banjiran GSK bagi perikanan dapat dikelompokkan kedalam pengembangan usaha perikanan tangkap dan pengolahan ikan. Hasil FGD memetakan status dan permasalahan pemanfaatan serta pendayagunaan sumberdaya GSK, dalam kelompok dinamika potensi sumberdaya perairan dan ikan, potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam non perikanan dan sosial ekonomi serta kelembagaan pengelolaan perikanan. Penurunan kualitas sumberdaya perairan GSK disebabkan oleh dan faktor anthropogenik. Oleh karena itu arah kebijakan dan strategi pengelolaan dimasa mendatang agar lebih ditekankan pada upaya meminimalisasi tekanan lingkungan dan menyusun dan menerapkan peraturan mengenai pemanfaatan pengawasan dan sangksi berkaitan dengan sumberdaya GSK. Pengelolaan yang perlu dilakukan kedepan diantaranya adalah rehabilitasi hutan, zonasi wilayah konservasi dan pemanfaatan, domestikasi ikan asli, penerapan pengawasan dan sanksi hukum pelanggaran pemanfaatan SDA, restocking ikan asli, transfer teknologi pembenihan dan budidaya, inisiasi pembentukan lembaga masyarakat pengelola GSK Bagi peruntukan pengembangan pemanfaatan perikanan arah dan strategi kebijakan yang disarankan adalah: penetapan zonasi pemanfaatan, domestikasi ikan asli, transfer teknologi pembenihan ikan asli dan restocking ikan asli seperti tapah, baung dan selais. Model Pengelolaan sumberdaya perairan rawa banjiran GSK secara keseluruhan harus bersifat terpadu, komprehensif dan partisipatif sesuai dengan dinamika perkembangan yang terjadi. 67 DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2010a. Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Access 23 Desember 2010. http://www.bengkalis.go.id/sajian_menu.php?link_unemdi=4 Anonymous. 2010b. Pemerintah Kabupaten Siak. Access 23 Desember 2010. http://siakkab.go.id/tentangsiak_4_Geografi.html Anonymous. 2011. Classification system for wetland type. Http://www. Ramsar.org/cda/en/ramsar-activities-cepa-classification-system/main/ramsar/16369^21235_4000_0. Akses Oktober 2011 jam 9.42 Anonimous. 2011. Suaka Margasatwa di Riau – Sumatera – Indonesia. Suaka Margasatwa di Riau – Sumatera – Indonesia Thursday, 27 January 2011 09:52 (ramsar.org, 2011). http://www.ramsar.org/pictures/norbalwet - 2007 - 04. Jpg. Disebut “hochmoor”. Anonymous, 2013. Sistem Sosial Ekologi. mcrm.blogspot.com/2012/04/ sistem-ekologi-sosial.html Desember 2013. http://tropicaldiakses 11 Griffin, E., K.L. Miller, B. Freitas, and M. Hirshfield. 2008. Predator as prey: why healthy ocean need sharks. Oceana. Washington D.C. 20 pp Hoggarth, D., M.F. Sukadi, A.S. Sarnita, S. Koeshendrajana, N.A. Wahyudi, E.S. Kartamihardja, A. Poernomo, M.S. Anggraeni, A.K. Gaffar, Ondara, Samuel, M.A. Thomas, Murniati dan K. Purnomo. 2000. Panduan Pengelolaan Bersama Suaka Produksi Ikan Di Perairan Sungai Dan Rawa Banjiran. Balitbangtan – Puslitbang Perikanan. Jakarta. 27 hal. Husnah et al., 2009. Penentuan Tingkat Degradasi Lingkungan Perairan di Sungai Siak Bagian Hilir dengan benthic Integrated Biotic Index (B-IBI). Laporan Tahunan/Akhir. T.a. 2009. Internal record. BRPPU.PRPT.BRKP.DKP. Husnah dan E. Prianto. 2011. Karakteristik lingkungan perairan rawa: Studi kasusu rawa banjiran suaka margasatwa Giam Siak Kecil. Dalam: Perikanan dan kondisi lingkungan sumberdaya ikan perairan umum daratan Riau.N.N. Wiadyana, A. K. Gaffar dan Husnah (eds). Bee Publishing. Palembang. Hal: 37-60 Husnah, Makri, E. Riani, K. Fatah, Maturidi, A. Sudrajat, M. Marini, Darmansyah, M. D. Rastina dan R. S. Junianto. 2011. Karakteristik Habitat, Sumber Daya Perairan Dan Kegiatan Penangkapan Ikan Di Komplek Danau Rawa Banjiran Sub DAS Mandau, Provinsi Riau. Laporan Teknis (tidak dipublikasikan). Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Balitbang-KP, KKP. Jakarta. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartika, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater fishes of western Indonesia and Sulawesi. Barkeley Books. Singapura LIPI. 2007. Keanekaragaman Hayati Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil Tasik Bitung Dan Hutan Konservasi PT Arara Abadi Blok Bukit Batu, Riau. 68 Laporan Akhir: Kerjasama LIPI dengan PT Arara Abadi Sinar Mas Asia Pulp and Paper, Riau. 112 hal. MAP Bosphere Reserve Directory. 2010. Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Acces 23 Desember 2010. http://www.unesco.org/mabdb/br/brdir/directory/ biores.asp? code=INS+07 &mode=all Marini, M. Asyari, dan Herlan. 2011. Keragaman jenis ikan. Dalam: Perikanan dan kondisi lingkungan sumberdaya ikan perairan umum daratan Riau.N.N. Wiadyana, A. K. Gaffar dan Husnah (eds). Bee Publishing. Palembang. Hal: 141-230. Priyatna, F.N. 2007. Laporan Aspek Sosial Ekonomi Sungai Seruyan. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Sarnita, A.S., M.F. Sukadi dan F. Cholik. 1993. Program penelitian perikanan perairan umum. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Perairan Umum. Pengkajian potensi dan prospek pengembangan perairan umum Sumatera Simatauw, M., L. Simanjuntak dan P.T. Kuswardono. 2001. Gender dan Pengelolaan Sumber daya Alam: Sebuah Panduan analisis. Yayasan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL). Galang Printika. Yogjakarta. 106 hal. Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries: Ecology and Management. Food and Agricultural Organization. The United Nation. Fishing News Book. Oxford. 357 p. Wikipedia. 2013. List of apex predators http://en.wikipedia.org/wiki/ List_of_apex_predators#In_ aquatic_environments. 24 Desember 2013 jam 12.10 Wooton, J. 1991. Ecology of Teleost Fishes. New York: Chapman & Hall. 69