fakultas hukum universitas wijaya putra surabaya 2014

advertisement
TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI
DI INDONESIA
PROPOSAL SKRIPSI
DI SUSUN OLEH :
SUKMAWATI SISWO PUTRI
29120158
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2014
TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Sutabaya
OLEH :
SUKMAWATI SISWO PUTRI
NPM : 29120158
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2014
2
TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI
DI INDONESIA
NAMA
: SUKMAWATI SISWO PUTRI
NPM
: 29120158
JURUSAN
: ILMU HUKUM
FAKULTAS
: HUKUM
DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH :
PEMBIMBING
ANDY USMINA WIJAYA, S.H., M.H
3
Telah diterimadan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS.
Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-sayarat
mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 29 Maret 2014
Tim Penguji Skripsi :
1.
Ketua
: Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H (
(Dekan)
)
2.
Sekretaris
: Andy Usmina Wijaya, S.H., M.H
(Pembimbing)
(
)
3.
Anggota
: 1. Dr. H. Taufiqurrahman,S.H., M.Hum(
(Dosen Penguji I)
)
2. H. Syahrul Alam, S.H., M.Hum
(Dosen Penguji II)
(
)
4
BIARKANLAH WAKTU YANG AKAN
MENJAWAB SEMUANYA,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!!!!
HIDUP ADALAH PERJUANGAN....!!!
CAAAYYYOOOOO
TETAP
SEMANGGGAAAAATTT
5
MOTTO
K
: ETIKA
O
:TAK
P
:ERLU
I
:NSPIRASI
6
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan memanjatkan rasa syukur kepada ALLAH S.W.T, karena hanya
berkat limpahan taufiq, dan hidayah-Nya semata. Sehingga, penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: “TINJAUAN YURIDIS
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA” untuk
memenuhi salah satu syarat Ujian Tugas Akhir Sarjana Strata-1 Di Fakultas
Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Skripsi ini, tidak akan penulis selesaikan tanpa adanya motivasi dan
dorongan dari semua pihak baik moril maupun spiritual. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:
1. Bunda selaku Orang tua penulis yang memberikan semangat penuh yang
tak terhingga nilainya.
2. Bapak Budi Endarto., S.H., M.Hum. Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra
Surabaya.
3. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman., S.H., M.Hum. Selaku Wakil Rektor
Universitas Wijaya Putra Surabaya.
4. Ibu Tri Wahyu Andayani., S.H., C.N., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya.
5. Bapak Andy Usmina Wijaya., S.H., M.H. Selaku Kepala Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
6. Para Bapak/Ibu Dosen Universitas Wijaya Putra Surabaya.
I
7
7. Hadir Dana Klana (Sang Kekasih) makasih sayang sudah banyak membantu
dan selalu setia menemani pembutan skripsi ini I LOVE YOU, I MISS YOU
BEIB
8. Kakak Surya Insan Mardhika dan Pendhut Siswo Putro yang sudah
memberikan do‟a dan semangatnya.
9. Adik-adik ku Dewi Sri Pamungkas Siswo Putri dan Veter yang selalu
menyemangati dan selalu menemani.
10. Sobat ku I Komang Satria Anggara, yang selalu memotivasi dan selalu
memberikan semangat penuh.
11. Sobat Yuda Permadi Kusuma Dinata.
12. Sobat Bagus Wahyudi Agung Prabowo (Kecap), makasih bos sudah kasih
semangatnya.
13. Sobat
Johannes
Hutapea
makasih
bang
sudah
memotivasi
aku
HORAS,,,,,!!!!!!.
14. Sobat Nocky Leon Agusta sebagai sahabat dekat penulis yang selalu
membuat suasana menjadi semangat.
15. Temen-temen dan Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra
Surabaya.
16. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini tidak dapat penulis
sebutkan secara rinci, karena keterbatasan waktu dan pikiran penulis.
Semoga segala amal perbuatan dan amal ibadah yang diberikan kepada
penulis. Senantiasa mendapatkan berkah, pahala dan kebaikan yang berlipat
ganda dari ALLAH SWT.
II
8
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini dalam rangka
memenuhi Ujian Tugas Akhir. Jauh dari kesempurnaan masih banyak
kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penyusunannya. Mengingat
keterbatasan wawasan dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dengan
kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat
mengharapkan saran, kritik, tanggapan, serta masukan untuk penyempurnaan
penulisan skripsi. Dengan demikian, skripsi ini diharapkan akan memberikan nilai
tambah dan manfaat yang besar bagi semua pihak untuk menambah Khasanah,
wawasan, dan pengetahuan luas di dunia pendidikan Indonesia dimasa depan.
Surabaya, 29 Maret 2014
Terima kasih
Penulis
IV
9
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ......................................................................................... 7
1.3
Penjelasan Judul ........................................................................................... 7
1.4
Alasan Pemilihan Judul ............................................................................... 8
1.5
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 9
1.6
Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9
1.7
Metode Penelitian ........................................................................................ 10
1.8
Sistematika Pertanggungjawaban ........................................................... 14
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI BERDASARKAN
KETENTUAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA ................................................ 15
2.1
Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan KUHP Di
Indonesia ................................................................................................................... 15
2.2
Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Undang-Undang
Di Luar KUHP Di Indonesia ................................................................................... 30
BAB III PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA ...... 40
3.1
Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi Di
Indonesia Berdasarkan KUHP .............................................................................. 40
3.2
Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi Di
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Diluar KUHP .................................. 47
3.2.1
Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan Abortus
Provocatus Criminalis........................................................................................ 52
3.2.2
Kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani kejahatan
Abortus Provocatus Criminalis. ...................................................................... 54
BAB IV PENUTUP ........................................................................................................ 61
4.1
KESIMPULAN ............................................................................................... 61
V
10
4.2
SARAN ........................................................................................................... 62
DAFTAR BACAAN ....................................................................................................... 64
VI
11
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Praktik Abortus sudah bukan rahasia lagi, terutama sebagai akibat
dari semakin meluasnya budaya pergaulan bebas dan prostitusi yang tidak
bias terkendali. Dengan semakin meningkatnya kasus-kasus kehamilan yang
terjadi di luar nikah dan multiplikasi keragaman motivasi. Hal tersebut, pada
gilirannya mendorong orang-orang tertentu cenderung menggugurkan
kandungan sebagai bentuk untuk menutupi aib atua menghilangkan jejak dari
perbuatan melanggar hukum.
Kasus Abortus di Indonesia jarang di ajukan ke Pengadilan, karena
pihak si ibu yang merupakan „korban‟ juga sebagai „pelaku‟ sehingga sukar
diharapkan adanya laporan abortus. Umumnya kasus abortus diajukan ke
pengadilan hanya bila terjadi komplikasi (si ibu sakit berat/mati) atau bila ada
pengaduan dari si ubu atau suaminya (dalam hal izin).
Permasalahan
abortus
tidak
hanya
berkaitan
dengan
bidang
kedokteran forensik, tetapi juga berkaitan dengan hukum kesehatan.
Perbedaan intinya adalah dalam hukum lebih tertuju pada ketentuan hukum
yang mengatur dalam keadaan apa, dimana, oleh siapa, pengguguran dapat
dilakukan, sementara dalam bidang kedokteran forensik tertuju kepada
pemeriksaan dan pembuktian pengguguran kandungan dilakukan, kapan,
berapa, umur bayi dan lain-lain.1 Dalam pengertian medis, abortus adalah
gugur kandungan atau keguguran dan keguguran itu sendiri berarti
berakhirnya kehamilan, sebelum fetus dapat hidup sendiri di luar kandungan.
Batas kandungan yang dapat di terima di dalam abortus adalah sebelum 28
minggu dan berat badan fetus yang keluar dari 1000 gram.
Salah satu masalah yang dikemukakan dalam lapangan ilmu
kedokteran adalah desakan berbagai pihak agar masalah saat kapan
dimulainya sebuah kehidupan dan pula saat kehidupan itu dianggap tidak
ada, dapat diagendakan secepatnya. Sebab, ketentuan yang demikian itu,
akan sangat erat kaitannya dengan kontribusi dalam menentukan adanya
tindak pidana aborsi.
Abortus atau pengguguran kandungan selalu menjadi permasalahan
dari masa ke masa. Dari kesehatan secara alami terjadi keguguran pada
10% - 15% kehamilan. Di lain pihak ada keadaan yang memaksa
pengguguran
kandungan
yang
harus
di
tempuh
(provokasi)
untuk
menyelamatkan nyawa ibu hamil, tetapi banyak pula pengguguran dilakukan
bukan untuk tujuan darurat yang mengancam nyawa seorang ibu hamil. Yang
terakhir inilah yang menjadi permasalahan karena dalam pandangan
masyarakat, hukum, dan agama tindakan abortus bertentangan dengan
kaidah-kaidah dan norma kesusilaan.
Pengguguran kandungan (aborsi) selau menjadi perbincangan baik
dalam forum resmi maupun maupun tidak resmi yang menyangkut bidang
1
A. S. Alam dan Ilyas Amir, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi, Makassar, 2010, hal. 6.
2
kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu yang lain. 2 Aborsi merupakan
fenomenal sosial yang semakin hari semakin semakin memprihatinkan.
Keprihatianan
itu
bukan
tanpa
alasan,
karena
sejauh
ini
perilaku
pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri
pelaku maupun bagii masyarakat luas. Hal ini, disebabkan karena aborsi
menyangkut norma moral serta hukum kehidupan bangsa dan negara.
Zaman kontemporer memanfaatkan obat-obatan dan prosedur
operasi teknologi tinggi dalam melakukan aborsi. Legalitas, normalitas,
budaya dan pandangan mengenai aborsi secara substansial berbeda
diseluruh negara. Aborsi atau lazim disebut dengan pengguguran kandungan
masuk
keperadapan
manusia
disebabkan
karena
manusia
tidak
menghendaki kehamilan tersebut.3
Abortus itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia
(abortus provocatus) maupun karena sebab-sebab alamiah, yakni terjadi
dengan sendirinya, dalam arti bukan karena perbuatan manusia (abortus
spontatus). Aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik
karena didorong alasan medis, misalnya karena seorang ibu yang
hamil
menderita suatu penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang
hamil
tersebut
maka
kandungannya
harus
digugurkan
(abortus
therapeuticius). Di samping itu, karena alasan-alasan yang yang tidak
dibenarkan oleh hukum (abortus criminalis).
2
Achadiat Charisdiono, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Buku Kedokteran, Jakarta, 2007, hal. 12.
3
Manopo Abas, Aborsi dan Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah Simposium Aborsi, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta, 1948, hal. 10.
3
Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum
dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini, dikarenakan aborsi yang terjadi
dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi
dimana-mana dan bias saja dilakukan secara ilegal. Dalam memandang
kedudukan hukum aborsi di Indonesia perlu dikaji kembali apa yang yang
menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi
pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak
pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada
sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan abortus
provocatus medicalis. Sedangkan, aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu
tindak pidana lebih dikenal sebagai abortus provocatus criminalis.
Masalah pengguguran kandungan pada hakekatnya tidak dapat
dilepaskan kaitannya dengan nilai-nilai serta norma-norma agama yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia, terkait dengan hukum positif di
Indonesia pengaturan masalah pengguguran kandungan tersebut terdapat
pada Pasal 346, 347, 348, 349 dan 350 KUHP. Menurut ketentuan yang
tercantum pada Pasal 346, 347, dan 348 KUHP tersebut abortus criminalis
meliputi perbutan-perbuatan sebagai berikut4 :
1. Menggugurkan Kandungan (afdrijving Van de vrucht atau
vrucht afdrijving).
2. Membunuh Kandungan (de dood van vrucht veroorzaken atau
vurcht doden).
4
Musa Perdana Kusuma, Bab-Bab Tentang Kedokteran Forensik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 192.
4
Undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai perbedaan
pengertian menggugurkan kandungan dan membunuh kandungan, demikian
pula mengenai pengertian dari kandungan itu sendiri. Dari segi terminologi
menggugurkan berarti membuat gugur atau menyebabkan gugur, dimana
sama artinya dengan jatuh atau lepas.5 Jadi, pengguguran kandungan berarti
membuat kandungan menjadi gugur atau menyebabkan menjadi gugur.
Sedangkan, membunuh sama dengan menyebabkan mati atau
menghilangkan nyawa.6 Jadi, membunuh kandungan berarti menyebabkan
kandungan menjadi mati atau menghilangkan nyawa kandungan. Pada
pengguguran kandungan yaitu lepasnya kandungan dari rahim dan keluarga
kandungan tersebut dari tubuh seorang ibu yang mengandung. Sedangkan,
pada
pembunuhan
kandungan
perbuatan
yang
dihukum
adalah
menyebabkan matinya kandungan.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adapun
ketentuan yang berkaitan dengan masalah tindak pidana aborsi dan
penyebabnya dapat dilihat pada KUHP Bab XIX Pasal 229, 346, 347, 348
349 yang memuat jelas larangan aborsi. 7 Sedangkan, dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang
ketentuan aborsi dalam Pasal 76, 77, 78 terdapat perbedaan antara KUHP
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam
mengatur masalah aborsi. KUHP dengan tegas melarang aborsi dengan
alasan apapun, sedangkan Undang-undang Kesehatan memperboleh kan
5
6
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Kartika, Surabaya, 1997.
Ibid.
7
http://D.M Purba .blogspot.com/2011/07/abortus dan Undang-undang abortus, RS. Dr. Pringadi diakses 07
Desember 2011.
5
aborsi atau dalam indikasi kedaruratan medis maupun karena adanya akibat
dari perkosaan.
Abortus Provocatus dibagi dalam dua jenis, yaitu abortus provocatus
therapeuticus dan abortus provocatus criminalis.8 Abortus provocatus
therapeuticus adalah penghentian kehamilan pada saat dimana janin belum
dapat hidup diluar kandungan. Hal ini dilakukan demi kepentingan kesehatan
si ibu, biasanya karena ada gangguan kesehatan pada seorang ibu.
Sedangkan, abortus provocatus criminalis, suatu proses penghentian
kehamilan yang sengaja dilakukan tanpa indikasi medis. Proses ini, legal dan
biasanya dilakukan karena ketidaksiapan menjadi orang tua. Knight
menyatakan bahwa abortus provocatus terjadi pada kira-kira 40% dari
seluruh abortus, meskipun angka tersebut bervariasi.
8
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Word Health Organozation, 2008.
6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang skripsi di atas, maka penulis
akan mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana aborsi menurut ketentuan
hukum yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana aborsi di Indonesia?
1.3 Penjelasan Judul
Untuk menghindari multitafsir dalam penelitian ini maka, diperlukan
adanya suatu penjelasan istilah proposal skripsi ini sebagai berikut :
“TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI
DI INDONESIA”
Tinjauan adalah cara, sudut pandang dari penyelesaian suatu permasalahan
hukum.9
Yuridis adalah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau hukum
yang berlaku di Indonesia.10
Penegakan hukum adalah proses dilaksanakannya upaya untuk menegakkan
atau menfungsikan norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.11
9
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press.
10
11
Ibid.
Prof. Jimmly Asshiddiqie.
7
Tindak Pidana Aborsi adalah suatu perbuatan melanggar hukum yang
sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam Rahim seorang wanita
hamil.12
1.4 Alasan Pemilihan Judul
Untuk dapat mengetahui dan memahami lebih jauh landasan hukum
tindak pidana aborsi atau pengguguran kandungan berdasarkan KUHP Pasal
346 sampai dengan 349 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, serta mengkaji terhadap pengawasan serta tindakan yang
kongkrit oleh pemerintah dalam praktek yang telah terjadi di masyarakat
terhadap penjatuhan sanksi bagi „pelaku‟ aborsi yang tidak sesuai antara
KUHP dengan UU Kesehatan. Tindakan aborsi berdasarkan KUHP
merupakan suatu tindakan pembunuhan yang dapat menghilangkan nyawa
bagi seorang anak. Sedangkan, menurut Undang-Undang Kesehatan
tindakan aborsi yang dilakukan oleh seseorang diperbolehkan apabila dalam
keadaan darurat yang dapat mengancam nyawa dan keselamatan bagi
seorang ibu.
12
K. Bertens : 2002.
8
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka dapat diambil
tujuan penelitian sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan mengenai
pengguguran kandungan (abortus) dengan pembunuhan anak.
2) Untuk mengetahui penegakan hukum dalam menanggulangi
kejahatan pengguguran (abortus) di Indonesia.
1.6 Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum
ini akan bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Undang-undang Kesehatan khususnya.
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya refensi
dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang Abortus
Provocatus
terhadap
KUHP
dan
Undang-Undang
Kesehatan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
setelah perubahan Pasal 28 mengenai Hak untuk hidup
yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara.
9
b) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
a) Sebagai wahana penulis mengembangkan penalaran,
membentuk pola piker ilmiah sekaligus untuk mengetahui
kemampuan
penulis
dalam
menerapkan
ilmu
yang
diperoleh di bangku perkuliahan.
b) Untuk memberikan suatu jawaban atas permasalahan
yang menjadi pokok penelitian dalam penulisan ilmiah.
1.7 Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Jenis penelitian dari penulisan skripsi ini adalah menggunakan yuridis
yang mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
Undang-Undang Kesehatan.
2) Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) yang mengacu pada Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu pendekatan yang melihat
norma-norma hukum tentang tindakan aborsi dalam kajian sanksi dan
upaya pencegahannya.
10
3) Langkah Penelitian
a. Obyek Penelitian
Penegakan hukum tindak pidana aborsi berdasarkan KUHP dan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 di Indonesia.
b. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian
ini adalah berupa bahan hukum, yang diperoleh dengan cara studi
kepustakaan, meliputi :
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mempunyai kekuatan yang mengikat secara yuridis seperti
undang-undang dan yurisprudensi.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer
seperti rancangan perundang-undangan, hasil penelitian,
buku-buku, jurnal, literatur, majalah, dan teks-teks tentang
hukum.
c) Bahan
Hukum
Tersier,
yaitu
bahan
hukum
yang
menjelaskan maupun memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus dan ensiklopedi.
11
c. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk
mendapatkan bahan-bahan hukum
yang diperlukan sesuai
dengan pokok pembahasan.
Bahan
hukum
yang
dikumpulkan
sebagai
sumber
penelitian adalah :
 KUHP dan UU Nomor 36 Tahun 2009
Adalah sebagai bahan hukum primer yaitu sebagai
dasar landasan yang mempunyai kekuatan hukum
secara yuridis dengan dasar KUHP dan UU Nomor
36 Tahun 2009 inilah sebagai dasar acuan penulis
dalam pembuatan penelitian hukum.
 Buku dan artikel yang berkaitan dengan penegakan
hukum tindak pidana aborsi adalah sebagai sumber
hukum
sekunder
yaitu
menjelaskan
dan
memaparkan secara rinci mengenai bahan hukum
primer
yang
diperoleh
melaui
sumber
buku,
literatur, risalah rapat, yang ada kaitannya dengan
penulisan penelitian hukum ini.
 Kamus
Adalah
sebagai
bahan
hukum
tersier
yaitu
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder.
12
Dari ketiga bahan hukum primer, sekunder, dan tersier
ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan,
yaitu penelitian terhadap bahan-bahan yang harus penulis
kumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahanbahan hukum tersebut dikumpulkan selanjutnya dengan
wilayah-wilayah
yang
menjadi
pembahasannya.
Adapun
penelitian ini dilakukan terhadap buku-buku, risalah-risalah,
artikel,
surat
kabar,
majalah-majalah,
serta
peraturan
perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan
penelitian ini.
d. Metode Analisis
Menganalisis pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana aborsi
di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta dampak yang ditimbulkan bagi dunia kesehatan dan
pengaruh terhadap seorang yang melakukan tindak pidana aborsi
tersebut. Metode analisis tersebut menggunakan cara deduktif,
dimana
pembahasan
diuraikan
lebih
lanjut
dengan
menggambarkan wilayah-wilayah yang bersifat umum menjadi
wilayah-wilayah yang bersifat khusus.
13
1.8 Sistematika Pertanggungjawaban
Dalam pembuatan proposal penelitian hukum (skripsi) ini digunakan
sistematika pertanggungjawaban penulisan sebagai berikut :
BAB I adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan
yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan
judul,
tujuan
penelitian,
metode
penelitian,
dan
sistematika
pertanggungjawaban.
BAB II tinjauan pustaka yang meliputi tinjauan tentang pengaturan tindak
pidana aborsi berdasarkan KUHP dan UU No. 36 Tahun 2009 dan juga
tinjauan terhadap faktor penyebab terjadinya tindak pidana aborsi di
Indonesia. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai kerangka pemikiran,
sehingga sangat membantu penulis dalam menjawab permasalahan yang
menjadi obyek penelitian penulis.
BAB III adalah menjelaskan dari hasil penelitian dan pembahasan yaitu yang
menjelaskan tentang pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana aborsi
yang sesuai dengan norma, kaidah aturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian
yang dilakukan penulis.
14
15
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI BERDASARKAN KETENTUAN
UNDANG-UNDANG DI INDONESIA
2.1 Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan KUHP Di Indonesia
Pada
dasarnya
aborsi
(pengguguran
kandungan)
yang
di
kualifikasikan sebagai perbuatan kejahatan atau tindak pidana hanya dapat
dilihat dalam KUHP walaupun dalam Undang-Undnag Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan memuat juga sanksi terhadap perbuatan aborsi tersebut.
KUHP
mengatur
berbagai
kejahatan
maupun
pelanggaran.
Salah
satukejahatan yang diatur di dalam KUHP adalah masalah abortus criminalis.
Ketentuan mengenai abortus criminalis dapat di lihat dalam Bab XIV buku ke
II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa (khususnya Pasal 346-349).
Adapun rumusan Pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 299 KUHP :
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruhnya supaya diobati dengan sengaja memberitahukan
atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan, diancam pidana penjara paling lama 4 tahun
atau dendan paling banyak tiga ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan
atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau
kebiasaan atau ia seorang tabib, bidan, atau juru obat pidananya
tersebut ditambah sepertiga.
3. Jika yang bersalah, melakukan kejahtaan tersebut dalam
menjalankan pecarian, maka dapat dicabut haknya untuk
melakukan pencarian.
Pasal 346 KUHP :
15
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Pasal 347 KUHP :
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
2. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Pasal 349 KUHP :
Jika seorang tabib, bidan, atau juru obat membantu melakukan
kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan Pasal
347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. Secara singkat dapat
dijelaskan bahwa yang dapat dihukum, menurut KUHP dalam kasus
aborsi ini adalah :
a. Pelaksanaan aborsi, yaitu tenaga medis atau dukun atau orang
lain dengan hukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiga dan
bias juga hak untuk praktek.
b. Wanita yang menggugurakan kandungannya, dengan hukuman
maksimal 4 tahun.
c. Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab
terjadinya aborsi itu dihukum dengan hukuman bervariasi.
Di dalam KUHP tidak diberikan penjelasan mengenai pengertian
kandungan itu sendiri dan memberikan arti yang jelas mengenai aborsi dan
membunuh (mematikan) kandungan. Dengan demikian mengetahui bahwa
KUHP hanya mengatur mengenai abortus provocatus criminalis, dimana
semua jenis aborsi dilarang dan tidak diperbolehkan oleh undang-undang
apapun alasannya.
Pengaturan abortus provocatus di dalam KUHP yang merupakan
warisan zaman Belanda bertentangan dengan landasan dan politik hukum
yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan
16
kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (setelah
perubahan) karena melarang abortus provocatus tanpa pengecualian”. Hal ini
dinilai sangat memberatkan kalangan medis yang terpaksa harus melakukan
abortus provocatus untuk menyelamatkan jiwa seorang ibu yang selama ini
merupakan pengecualian diluar ketentuan perundang-undangan. Contohnya
adalah berlakunya Pasal 349 KUHP, jika pasal ini diterapkan secara mutlak,
maka para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya dapat dituduh
melakukan pelanggaran hukum dan mendapat ancaman pidana penjara.
Pada perkembangannya peraturan mengenai abortus provocatus atau
abortus criminalis dapat dijumpai dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Jika, pada Pasal 299 dan 346-349 KUHP tidak diatur masalah
abortus provocatus medicalis. Apabila ditelaah lebih jauh, kedua peraturan
perundang-undangan tersebut berbeda satu sama lainnya. KUHP mengenal
larangan baortus provocatus tanpa kecuali, termasuk aborsi provocatus
medicalis atau abortus provocatus therapeuticus. Tetapi Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memperbolehkan terjadi abortus
provocatus medicalis dengan spesifikasi thepeutics. Dalam konteks hukum
pidana, terjadilah perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang
lama (KUHP) dengan peraturan peraturan perundang-undangan yan baru.
Padahal peraturan perundang-undangan berlaku asas “Lex Posteriori
Derograt Legi Priori”. Asas ini beranggapan bahwa jika diundangkan
peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan yang lama yang mengatur
materi yang sama dan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka
17
peraturan yang baru itu mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang
lama.13
Berlakunya asas Lex Posteriori Derograt Legi Priori merupakan salah
satu upanaya pemerintah untuk mengembangkan hukum pidana di
Indonesia. Banyak aturan-aturan KUHP yang dalam situasi khusus tidak
relevan lagi untuk diterapkan pada saat ini.
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia upaya
perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari dari
konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif,
undang-undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan
perlindungan kepada anak berdasarkan asas non diskriminatif; kepentingan
yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan. Perhargaan terhadap penghargaan anak. Dalam melakukan
pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat,
baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.14
Definisi tentang anak, perlindungan anak, dan hak anak masingmasing dijalaskan dalam Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 12 UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Pasal 1 angka 1
menentukan, yaitu : “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan
13
Hasnil Basri Siregar, Pengantar Hukum Indonesia, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum
USU, Medan, 1994, hal. 53.
14
Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik, Yang Berkembang Dalam Masyarakat, Bagian Hukum Pidana FH UAJY
, Yogyakarta, 2007, hal : 16-17.
18
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pasal 1 angka 2
menentukan : “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. Pasal 1 angka 12 menentukan bahwa : “Hak anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara”.
Bahwa hak anak dalam kandungan atau janin merupakan bagian dari
hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesui dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2, 3 dan 4 UUPA.
Pasal 2 menentukan
15
: “Penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945
(setelah perubahan) serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak
meliputi : nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk
hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan pendapat
anak”. Pasal 3 menentukan : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi
secara
optimal
sesuai
dengan
harkat
dan
martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
15
Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pengguguran Kandungan, dalam Departemen Kesehatan R.
I, Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah Dalam Simposium, Jakarta, 2007, hal : 47-48.
19
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera”. Pasal 4 menyatakan : “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Jika, menelaah dalam pasal-pasal di KUHP, tampaklah KUHP tidak
membolehkan
suatu
abortus
provocatus
di
Indonesia.
KUHP
tidak
melegalkan abortus provocatus tanpa terkecuali. Bahkan abortus provocatus
medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang, termasuk di
dalamnya adalah abortus prpvocatus yang dilakukan oleh perempuan korban
pemerkosaan. Oleh karena itu sudah dirumuskan demikian, maka dalam
kasus abortus provocatus yang dilakukan oleh korban pemerkosaan, minimal
ada dua orang yang terkenena ancaman sanksi pidana sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam KUHP, yakni si ibu sendiri yang hamil karena
perkosaan serta barang siapa yang sengaja membantu si ibu tersebut
menggugurkan kandungannya. Seorang ibu yang hamil Karena pekosaan
dapat terkena ancaman sanksi pidana kalau seorang ibu tersebut sengaja
menggugurkan kandungan tanpa bantuan orang lain. Ia juga terkena
ancaman sanksi pidana.
20
Dalam rumusan KUHP, kejahatan mengenai pengguguran kandungan
dapat dibedakan menjadi :
1. Yang dilakukan sendiri (Pasal 346 KUHP).
2. Yang dilakukan oleh orang lain, dalam hal ini dibedakan menjadi 2
yaitu :
a) Ada persetujuannya (Pasal 347 KUHP).
b) Tanpa persetujuannya (Pasal 348 KUHP).
Ada pula pengguguran kandungan oleh orang lain baik atas maupun
tidak, dan orang lain itu orang yang mempunyai kualitas pribadi tertentu
seperti dokter, bidan dan juru obat (Pasal 349 KUHP).
Kejahatan terhadap nyawa janin dapat dibagi menjadi empat
golongan menurut kualifikasi pelakunya dengan keadaan yang menyertainya
sebagai berikut :
1. Perempuan itu yang melakukan sendiri atau menyuruh untuk
itu menurut Pasal 346 KUHP.
R. Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab UndangUndang Hukum Pidana serta Komentar-komentar Lengkap
Pasal Demi Pasal”16, merumuskan sebagai berikut :
“Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau
mati kandungan atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun”.
16
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,
Tahun 1985, hal. 243.
21
Dengan memperhatikan rumusan Pasal 346 KUHP
tersebut terkandung maksud oleh pembentuk undang-undang
untuk melindungi nyawa janin dalam kandungan meskipun
janin itu punya perempuan yang mengandungnya.
P.A.F Lamintang17 mengemukakan putusan Hoge
Raad sebagai berikut :
“Hoge Raad 1 November 1879, W. 7038, yaitu
pengguguran anak dari kandungan itu hanyalah dapat
dihukum, jika anak yang berada didalam kandungan itu
selama dilakukan usaha pengguguran berada dalam keadaan
hidup. Undang-Undang tidak mengenal anggapan hukum yang
dapat memberikan kesimpulan bahwa anak yang berada di
dalam kandungan itu berada dalam keadaan hidup atau
mempunyai kemungkinan untuk tetap hidup”.
Jika, memperhatikan rumusan Pasal 346 KUHP
tersebut, maka dapat dikemukakan unsur-unsur dari kejahatan
pengguguran kandungan (abortus) sebagai berikut :
 Subyeknya adalah perempuan wanita itu sendiri
atau orang lain yang disuruhnya.
 Dengan sengaja.
 Menggugurkan atau mematikan kandungannya.
2. Orang lain melakukan tanpa persetujuan dari seorang ibu yang
mengandung itu menurut Pasal 347 KUHP.
Abortus jenis ini dicantumkan tegas dalam Pasal 347
KUHP. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab
17
P.A.F Lamintang, Putusan Hoge Raad, Tahun 1979, hal. 206.
22
Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal”.18 merumuskannya sebagai
berikut :
“Pengguguran kandungan (abortus) dengan cara ini dengan
maksud untuk melindungi perempuan yang mengandung
karena ada kemungkinan menggangu kesehatannya atau
keselamatannya terancam”.
Dengan memperhatikan rumusan Pasal 347 KUHP
dapat dikemukakan unsur-unsur yang terkandung didalamnya
yaitu sebagai berikut :
 Subyeknya orang lain.
 Dengan sengaja.
 Menggugurkan atau mematikan kandungannya.
 Tanpa
izin
perempuan
yang
digugurkan
kandungannya itu.
Adapun
pengguguran
kandungan
(abortus)
yang
dilakukan oleh orang lain tersebut tanpa izin perempuan yang
digugurkan kandungannya itu sehingga perempuan tersebut
meninggal. Oleh Karena itu, ancaman pidananya diperberat
atau ditambah menjadi hukuman penjara lima belas tahun
menurut Pasal 347 ayat 2 KUHP.
18
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Tahun 1985, hal. 243.
23
3. Orang yang melakukan dengan persetujuan perempuan itu
menurut Pasal 348 KUHP
Pengguguran kandungan (abortus) ini diatur dalam
Pasal 348 KUHP sebagaimana yang dirumuskan oleh R.
Soesilo19 sebagai berikut :
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur
atau mati kandungannya seorang perempuan dengan
izin perempuan itu dihukum penjara selama-lamanya
lima belas tahun”.
Di dalam pasal ini sudah barang tentu tidak lagi akan
mengulangi perlindungan
hukum
terhadap
nyawa janin
maupun kesehatan, nyawa perempuan, melainkan lebih
ditujukan atas perlindungan pihak ketiga atau kesusilaan,
karena meskipun dengan persetujuan perempuan itu ada
suatu keperluan diluar dirinya yang harus diperhatikan.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 348
KUHP adalah sebagai berikut :
 Subyeknya adalah orang lain.
 Menggugurkan atau mematikan kandungan.
 Dengan
izin
perempuan
yang
digugurkan
kandungannya.
4. Bagi orang-orang tertentu diberikan pemberatan pidana dan
pidana tambahan menurut Pasal 349 KUHP.
19
Ibid, hal. 244.
24
Di dalam Pasal 349 KUHP ini, mengatur mengenai
orang-orang tertentu yang pidananya diperberat. Adapun
orang-orang tertentu yang dimaksud dalam rumusan Pasal
349 KUHP menurut R. Soesilo 20 adalah sebagai berikut :
“Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat
membantu dalam kejahatan yang tersebut dalam Pasal
346 KUHP atau bersalah atau membantu dalam salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan
348, maka hukuman yang ditentukan dalam itu dapat
ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari
jabatannya yang digunakan untuk melakukan
kejahatan itu”.
Berdasarkan uraian mengenai rummusan Pasal 346, 347, 348 dan
349
KUHP
yang
mengatur
mengenai
macam-macam
pengguguran
kandungan (abortus), maka adapun juga unsur-unsur pokok yang terdapat
didalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP adalah sebagai berikut :
a. Adanya perempuan yang mengandung atau hamil.
b. Perempuan yang buah kandungannya hidup.
c. Kandungan itu digugurkan atau dimatikan atau menyuruh untuk itu
dengan sengaja.
1) Adanya wanita yang mengandung atau hamil.
Menurut
pasal-pasal
tentang
pengguguran
kandungan
(abortus) provocatus criminalis, diisyaratkan adanya wanita yang
mengandung, yang harus dibuktikan adanya. Dalam hal ini, menjadi
kewajiban ilmu kedokteran untuk dapat menetapkan kapan, dan
adanya perempuan hamil. Pengetahuan kedokteran yang teknis dan
20
Ibid.
25
penyidikan kedokteran dalam hal ini memegang peranan yang sangat
penting.
2) Perempuan yang buah kandungannya hidup.
Jika diperhatikan isi dari Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP
tidak disebut dengan jelas tentang hal itu. Oleh karena itu, undangundang tidak menyebutkan dengan jelas, sebagaimana lazimnya
terdapat pendapat yang berbeda-beda. Di satu pihak berpendapat,
oleh karena undang-undang tidak merumuskan dengan dengan jelas,
maka tidak perlu dipersoalkan buah kandungan yang digugurkan atau
dimatikan, masih hidup atua sudah mati, semua itu termasuk dalam
perbuatan pengguguran kandungan (abortus).
P.A.F. Lamintang dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Pidana Indonesia”21 mengemukakan suatu putusan Hoge Raad
sebagai berikut :
“Hoge Raad 20 Desember 1943, 1944 No. 232 yaitu alat-alat
pembuktian yang disebutkan oleh hakim di dalam putusannya
haruslah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa perempuan itu
hamil dan mengandung anak yang hidup dan bahwa bertuduh
mempunyai maksud untuk dengan sengaja menyebabkan
gugur atau meninggalnya anak tersebut”.
Kemudian R. Soesilo 22 mengemukakan sebagai berikut :
“Cara mengugurkan atau membenuh kandungan itu rupa-rupa,
baik dengan obat yang diminum, maupun alat-alat yang
21
22
Ibd.
Ibid, hal. 243.
26
dimasukkan
melalui
anggota
kemaluan
menggugurkan
kandungan yang sudah mati, tidak dihukum demikian pula
tidak dihukum orang yang untuk membatasi kelahiran anak
mencegah terjadinya kehamilan (Mathusianisme)”.
3) Kandungan itu digugurkan atau dimatikan atau menyuruh untuk itu
dengan sengaja
Perbuatan ini lebih cenderung kepada masalah hubungan
kausal dan masalah sikap batin yaitu gugurnya kandungan adalah
musabab dari perbuatan yang disengaja itu.
Untuk membedakan abortus dengan pembunuhan anak
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 341 KUHP supaya dapat
diketahui perbedaan-perbedaan yang terdapat dikedua hal tersebut,
maka terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan
pembunuhan anak, unsur-unsur yang terkandung di dalamnya agar
lebih jelas perbedaan abortus dan pembunuhan anak itu sendiri :
Pasal 341 KUHP menentukan bahwa :
“Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa
anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama
dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan
anak, dihukum karena makar mati terhadap anak
(kinderdoodsleg) dengan hukuman penjara selama-lamanya
tujuh tahun”.
27
Dali Mutiara dalam bukunya yang berjudul “Kejahatan dan
Pelanggaran Kriminal Sehari-hari”23 memberikan rumusan sebagai
berikut :
“Yang dinamakan pembunuhan bayi (Kinderdoodsleg) yaitu
ibu yang dengan sengaja membunuh anak yang baru
dilahirkan dengan tidak memikirkan panjang lebar terlebih
dahulu oleh rasa takut bahwa orang lain akan tahu bahwa ia
melahirkan bayi”.
Pembunuhan anak yang diatur dalam Pasal 341 KUHP sesuai
dengan pengertian tersebut
diatas dan menitik beratkan dari segi
kesengajaan pembunuhan bayi yang telah dilahirkannya, tanpa
memikirkan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Unsur-unsur
yang
terpenting
dalam
pembunuhan
anak
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 341 KUHP mengenai
pembunuhan biasa anak adalah :
 Pembunuhan anak dilakukan pada waktu dilahirkan
atau sebentar setelah dilahirkan.
 Pembunuhan dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri.
 Anak itu lahir dalam keadaan hidup.
 Perbuatan dan sikap ibunya itu dilakukan karena
terdorong oleh rasa takut atau malu karena diketahui
tentang kelahiran dari anaknya itu.
Wirjono Projodikoro dalam bukunya yang berjudul “Tindak Pidana
Tertentu
di
Indonesia”24,
mengemukakan
adanya
perbedaan
antara
pembunuhan anak dengan pengguguran kandungan (abortus) sebagai
berikut :
23
24
Dali Mutiara, Kejahatan dan Pelanggaran Kriminal Sehari-hari, Tahun 1957, hal. 67.
Wirjono Projodikoro, Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Tahun 1980, hal. 77.
28
“Bahwa pembunuhan anak harus ada bayi yang lahir dan hidup,
sedangkan dalam pengguguran kandungan (abortus), apa yang
keluar dari tubuh ibu adalah suatu kandungan, yang hidup
tetapibelum menjadi (Onvolidragen Vrucht) atau bayi yang sudah mati
(Voldragem Vrucht). Perbedaan inilah juga yang bembedakan
maksimum hukuman pada pengguguran kandungan (abortus) 4
(empat) tahun kurang dari pembunuhan anak 7 (tujuh)”.
Selain dari perbedaan di atas, masih ada perbedaan lain yang
menjadi perbedaan pokok antara pembunuhan anak dan pengguguran
kandungan (abortus) yaitu alasan yang mendorong terjadinya perbedaan
pidana, baik yang tercantum di dalam Pasal 341 dan 342 KUHP maupun
yang terdapat di dalam Pasal 346 KUHP.
Sehubungan dengan adanya perbedaan tersebut di atas, maka
Wirjono Projodikorodalam bukunya yang berjudul “Tindak-Tindak Pidana
Tertentu di Indonesia”25 mengemukakan sebagai berikut :
“Dalam hal abortus tidak diperdulikan alasan-alasan apa yang
mendorong si ibu untuk melakukan, jadi tidak seperti dalam hal
pembunuhan anak. Dimana disebutkan alasan atau suatu ketakutan
si ibu akan diketahui lahirnya si anak”.
Dalam merumuskan ancaman pidananya, pembentuk undang-undang
hanya memberi batasan maksimal, yaitu 10 tahun dan denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Dengan demikian, juka
seseorang pelaku abortus provocatus criminalis yang terbukti bersalah di
depan pengadalin maka akan, dijatuhi hukuman pidana minimal 10 bulan dan
denda Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
25
Ibid.
29
2.2 Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Undang-Undang Di Luar
KUHP Di Indonesia
Dalam pengertian medis, aborsi adalah terhentinya kehamilan dengan
kematian dan pengeluaran janin pada usia kurang dari 20 minggu dengan
berat janin kurang dari 500 gram, yaitu sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan secara mandiri. 26 Menggugurkan kandungan atau dalam dunia
kedokteran dikenal dengan istilah „aborsi‟, berarti pengeluaran hasil konsepsi
(pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar
kandungan. Dalam kaitannya dengan hal ini, Suryono Eko Tama, dkk
mengemukakan pendapat sebagai berikut :
“Dari segi medis, tidak ada batasan pasti kapan kandungan dapat
digugurkan. Kandungan perempuan dapat digugurkan kapan saja
sepanjang ada indikasi medis untuk menggugurkan kandungan itu.
Misalnya diketahui anak yang akan lahir mengalami cacat berat atau
atau si ibu menderita sakit jantung ayang sangat berbahaya sekali
untuk keselamatan jiwanya pada saat melahirkan nanti. Sekalipun
janin itu sudah berusia 5 bulan atau 6 bulan, pertimbangan medis
membolehkan dilakukan abortus provocatus”.27
Abortus Provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi
berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena
kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai
macam jenis abortus. Dalam kamus Latin-Indonesia sendiri abortus diartikan
sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau
abortus provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan
dari rahim sebelum waktunya.28 Dengan kata lain “Pengeluaran” itu
dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan
manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya.
26
27
28
Lilien Eka Candra, Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi sama dengan Kriminal, Lifestyle, Mei 2006, hal.10.
Suryono Eko Tama, dkk, Op.Cit,hal. 35.
Kusmaryanto , SC, Kontroversi Aborsi, Gramedia WIdiasarana Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 203.
30
Demikian antara lain pengertian aborsi atau pengguguran kandungan,
baik menurut ilmu kedokteran, pengertian umum, maupun pengertian
menurut ilmu hukum, bahwa pengguguran kandungan itu adalah suatu
perbuatan yang sengaja dilakukan atau dilakukan sebelum waktunya.
Jenis-jenis aborsi
Proses abortus dapat berlangsung dengan cara :
 Spontan/alamiah
(terjadi
secara
alami,
tanpa
tindakan
apapun);
 Buatan/sengaja (aborsi yang dilakukan sengaja);
 Terapeutik/medis (aborsi yang dilakukan atas indikasi medis
karena terdapatnya suatu permasalahan/komplikasi). 29
Abortus secara medis dapat dibagi menjadi dua macam :
 Abortus Spontaneus, adalah aborsi yang terjadi dengan tidak
didahului faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis sematamata disebabkan oleh faktor alamiah.
Rustam Mochtar dalam Muhdiono menyebutkan macammaam aborsi spontan :30
a) Abortus Completes, (keguguran lengkap) artinya
seluruh hasil konsepsi dikeluarkan sehinga rongga
rahim kosong.
29
Lilien Eka Candra, Loc.Cit.
30
Rustam Mochtar dalam Muhdiono, Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan madzab imam syafi’I dan
madzab hanafi), Skripsi , UIN Yogyakarta, 2002, hal. 211.
31
b) Abortus Inkopletus, (keguguran bersisa) artinya
hanya
ada
sebagian
dari
hasil
konsepsi
yang
dikeluarkan yang tertinggal adalah deci dua dan
plasenta.
c) Abortus Iminen, yaitu keguguran yang membakat dan
akan terjadi dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat
dicegah dengan memberikan obat-obat hormonal dan
anti pasmodica.
d) Missed Abortion, keadaan dimana janin sudah mati
tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan
selama dua bulan atau lebih.
e) Abortus Habitulis, atau keguguran berulang adalah
keadaan dimana penderita mengalami keguguran
berturut-turut 3 kali atau lebih.
f)
Abortus Infeksious dan Abortus Septic, adalah
abortus yang disertai infeksi genital.
Kehilangan janin tidak disengaja biasanya terjadi pada
pada kehamilan usia muda (satu sampai tiga bulan). Dapat terjadi
karena penyakit antara lain : demam, panas tinggi, ginjal, TBC,
spesilis atau karena kesalahan genetik. Pada aborsi spontan tidak
jarang janin keluar dalam keadaan utuh.31 Kadangkala kehamilan
seorang wanita dapat gugur dengan sendirinya tanpa ada suatu
31
Yayasan Pengembangan Pedesaan, Kesehatan Reprosuksi, cet.1, Danar Wijaya, Malang, 1997, hal. 141.
32
tindakan ataupun perbuatan yang disengaja. Hal ini, sering
disebut dengan “keguguran” atau aborsi spontan. Ini sering terjadi
pada ibu-ibu yang masih hamil muda, dikarenakan suatu akibat
yang tidak disengaja dan diinginkan ataupun karena suatu
penyakit yang dideritanya. Dalam usia yang sangat muda
keguuguran dapat saja terjadi, karena aktivitas ibu yang
mengandung terlalu berlebihan, stress berat, berolahraga yang
membahayakan
keselamatan
janin
seperti
bersepeda
dan
sebagainya.
 Abortus Provocatus, adalah aborsi yang disengaja baik
dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat.
Abortus Provokatus merupakan istilah lain yan secara resmi
dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini adalah
pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk
tumbuh dan berkembang. Menurut Fact Abortion,
“Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social, Studies
and Action”.
, Maret 1991, dalam
istilah kesehatan “aborsi aborsi
didefinisikan
penghentian
sebagai
kehamilan
setelah
tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi Rahim (uterus),
sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu”.32 Di Indonesia
belum ada batasan resmi mengenai pengguguran kandungan
(aborsi). “Aborsi didefinisikan sebagai terjadinya keguguran
32
http//www.lbh-apik.or.id/fact-32.,htm, Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, diakses Tanggal 22 April
2010.
33
janin, melakukan aborsi sebagai pengguguran kandungan
(dengan sengaja karena tidak mengiginkan bakal bayi yang
dikandung itu)”.33
Berkaitan dengan masalah aborsi di Indonesia telah mengatur hal-hal
tentang aborsi yaitu di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana terdapat di dalam Pasal
29, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349. Di dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan khususnya dalam Pasal 15.
Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992 :
1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil atau janinnya, dapat dilakukan medis tertentu.
2) Tindakan medis tertentu sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (1)
hanya
dapat
dilakukan
berdasarkan
indikasi
medis
yang
mengharuskan diambilnya tindakan tersebut :
a) Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
wewenang untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung
jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
b) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami
atau keluarganya.
c) Pada sarana kesehatan tertentu, sementara itu dalam
penjelasan resmi dari ayat (1) itu dakatakan bahwa : “Tindakan
33
JS. Badudu dan Sultan Muhammad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
1996, hal. 15.
34
medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan
apapun dilaranag karena bertentangan dengan norma agama,
norma hukum, norma kesusilaan, dan norma kesopanan”.
Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya penyelamatan jiwa ibu
atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan medis tertentu.
Sedangkan di dalam UU No. 23 Tahun 1992, terdapat beberapa hal
yang dapat di uraikan sebagai berikut :
1) Aborsi hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai
cara untuk menyelamatkan ibunya, jadi, aborsi yang dilakukan
karena alasan lain, jelas-jelas dilarang. Alasan lain ini misalnya
bayi cacat, jenis kelaminnya tidak sesuai dengan yang diinginkan
orang tuanya, kehamilan tidak dikehendaki, (bias termasuk
perkosaan), incest, gagal KB , dan lain sebagainya.
2) Yang sering disebut-sebut sebagai indikasi medis, sebenarnya
tidak secara langsung disebutkan oleh UU itu,tetapi tafsir Pasal 15
ayat (1) itu kemudian diperluas menjadi indikasi medis. Namun,
jelas bahwa tafsir dan kontroversi Pasal 15 ayat (1) itu sangat
aneh, sebab disitu berarti bahwa kemungkinan indikasi medis itu
untuk menyelamatkan janin. Padahal hasil aborsi adalah kematian
janin, bukan untuk menyelamatkan janin. Indikasi medis ini sangat
terbatas, yakni hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat
sebagai unpaya untuk menyelamatkan nyawa ibu (dan anaknya).
Indikasi medis yang tidak membahayakan nyawa ibu , tidak boleh
35
menjadi alasan untuk menggugurkan kandungan, sebab ia tidak
membahayakan nyawa ibu.
3) Indekasi medis itu tidak sama dengan indikasi kesehatan. Oleh
karena itu, alasan demi kesehatan baik ibu maupun janin tidak
boleh
menjadi
alasan
untuk
aborsi.
Misalnya,
ibu
yang
mengandung dan kesehatannya terganggu, tetapi gangguan itu
tidak mengancam nyawanya, maka ini tidak menjadi alasan untuk
melakukan aborsi.
4) Rumusan undang-undang ini dirasakan tidak mencukupi untuk
menyelesaikan masalah aborsi dewasa ini. Sebab, UU kesehatan
tidak sejalan dengan KUHPidana yang menyatakan segala
macam aborsi dilarang, sedangkan dalam UU kesehatan abortus
medicalis trapiticus bisa dilakukan. Padahal kedua-duanya berlaku
di Indonesia.
Mencermati ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 khususnya Pasal 75 ayat (2) huruf b yang mengatur tentang
aborsi karena alasan darurat dalam hal ini adalah adanya trauma psikologis
yang dialami oleh wanita hamil sebagai akibat tindak pidana perkosaan yang
dialaminya. Pada akhirnya penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung
para
penegak
hukum
untuk
menegakkan
keadilan
terutama
bagi
perempuanyang jelas-jelas berkedudukan sebagai korban perkosaan.
Pendapat ahli hukum masa kini, sudah seharusnya menjadi pertimbangan
dalam rangka menjatuhkan pidana, jadi tidak semata-mata didasarkan pada
bunyi undang-undang, akan tetapi juga memperhatikan latar belakang
36
perbuatan dilakukan. Hal ini, pun dalam proses pembuktiannya juga tidak
mudah, Karena harus dibuktikan lebih dahulu perkosaannya.
Dengan demikian, alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan
aborsi apabila tindakan perkosaan tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti.
Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang
yang benar-benar belum pernah dikenal oleh korban, tetapi juga telah dikenal
sebelumnya bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban.
Apabila
aborsi
karena
perkosaan
dijadikan
pengecualian
sebagaimana alasan medis, maka kriteria dijadikan pengecualian harus
benar-benar jelas dan tegas, sehingga tidak disalahgunakan oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab, akibatnya aborsi marak dilakukan. Dengan
demikian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 memperbolehkan praktek
aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dengan persyaratan dilakukan
oleh tenaga yang kompenten, dan memenuhi ketentuan agama dan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan yang dialami oleh seorang wanita akan menimbulkan
derita fisik, psikis dan sosial pada dirinya. Penderitaan tersebut akan terus
berlanjut apabila korban ternyata mengalami kehamilan. Berbeda dengan
kehamilan yang tidak dikehendaki lainnya, misalnya kegagalan dalam
penggunaan alat kotrasepsi dalam Keluarga Berencana (KB) atau dalam
hubungan seks pranikah. Kehamilan karena perkosaan lebih sulit dan berat
diterima oleh perempuan atau keluarganya.
Sebenarnya korban perkosaan yang hamil dapat memilih satu dari
dua alternatif untuk menyikapi kondisinya tersebut, meneruskan kehamilan
37
yang tidak dikehendaki atau melakukan abortus provocatus, tentu dengan
masing-masing resiko. Apabila memilih meneruskan kehamilannya, ia harus
siap menjadi orang tua tunggal tanpa suami, disamping itu secara sosiologis
hal tersebut merupakan pilihan yang berat mengingat kondisi sosialkultural
masyarakat Indonesia yang masih memandang rendah, bahkan menabuhkan
seorang perempuan yang hamil tanpa suami sah. Sedangkan jika alternatif
kedua yang dipilih, resiko keselamatan jiwa bisa terancam. Kalaupun abortus
provocatus dapat dilakukan dengan selamat, ancaman sanksi pidan asudah
menghadang apabila terbukti abortus provocatus yang dilakukan tidak
memenuhi syarat-syarat sebagaimana di tentukan dalam undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
perlindungan
hukum
terhadap
perempuan
yang
diberikan
terhadap
perempuan korban perkosaan yang melakukan pengguguran kandungan
(abortus provocatus) menjadi hak dari perempuan tersebut. Artinya
pengguguran
kandungan
(abortus
provocatus)
yang
dilakukan
oleh
perempuan korban perkosaan diperbolehkan. Seperti yang disebutkan dalam
Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, salah satu
pengecualian
terhadap
peremouan
untuk
melakukan
aborsi
adalah
kehamilan akibat perkosaan yang mengakibatkan trauma psikologis bagi
perempuan korban perkosaan tersebut. Tekanan psikologis yang dialami oleh
perempua yang mengadung karena perkosaan, dapat dimasukkan sebagai
indikasi medis untuk melakukan pengguguran kandungan asalkan memenuhi
syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009, sebagai dasar hukum melegalkan tindakan pengguguran
kandungan yang dilakukan oleh korban perkosaan, termasuk mereka dalam
38
hal ini, adalah tenaga kesehatan yang berkompenten dan memiliki
kewenangan
yang
diberikan
oleh
undang-undang
untuk
melakukan
pengguguran kandungan.
Dengan demikian, Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
yang mengatur tentang abortus provocatus medicalis tetap dapat berlaku di
Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda dengan rumusan abortus
provocatus criminalis menurut KUHP.
39
40
BAB III
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA
3.1 Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia
Berdasarkan KUHP
Pada ketentuan Pasal 13 huruf (b) UU No. 2 Tahun 2002, disebutkan
bahwa salah satu tugas pokok Kepolisian adalah untuk menegakkan hukum
selanjutnya pada Pasal 14 ayat (1) huruf (g) disebutkan bahwa “Dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
bertugas
:
…….melakukan
penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara
Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnnya.”
Berkaitan dengan wewenang penyelidikan dan penyidikan oleh
kepolisian, Pasal 15 ayat (1) UU No. 2 Tahun menyebutkan bahwa :
Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dan Pasal 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum
berwenang :
1) Menerima laporan dan/atau pengaduan (huruf a);
2) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan (huruf f);
3) Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian (huruf g);
4) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang
(huruf h);
5) Mencari keterangan dan barang bukti (huruf i).
40
Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 menyatakan
bahwa :
Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik
Indonesia berwenang :
a) Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan,
dan
penyitaan;
b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksan tanda pengenal diri;
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f)
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
Dalam menanggulangi masalah kejahatan, tentunya diperlukan
partisipasi masyarakat untuk melaporkannya pada pihak yang berwajib dalam
hal ini adalah penyelidik, yaitu “Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang berwenang melakukan penyelidikan” (Pasal 4 KUHAP).
41
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang ini” (Pasal 1 butir 5 KUHAP), atau secara
sederhana dapat didefinisikan bahwa penyelidikan adalah serangkaian
kegiatan penyelidik guna mengumpulkan data-data tentang suatu peristiwa
yang diduga tindak pidana, guna menentukan apakah peristiwa yang
diselidiki itu benar-benar merupakan suatu tindak pidana itu tersedia data dan
faktanya untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Di dalam organisasi
kepolisian di pakai istilah reserse yan tugas utamanya tentang penerimaan
laporan dan pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa.
Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana Van Bemmelen, tahap
penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum
acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.34
Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri yang terpisah dari
fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu atau metode atau
merupakan sub dari pada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain
yang
berupa
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan,
penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian
penyidikan dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.
Latar
belakang,
motivasi,
dan
urgensi
diintroduksikan
fungsi
penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak
asasi manusia, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan
34
KUHAP.
42
penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa, perlu ditentukan
terlebih dahulu berdasarkan pada data atau keterangan yang didapat dari
hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi memang benar sebagai
peristiwa
tindak
pidana
sehingga
dapat
dilanjutkan
kepada
proses
penyidikan. Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan terlebih
dahulu tindakan penyelidikan untuk mendapatkan bukti permulaan yang
cukup guna dapat dilakukan tindak lanjut yang berupa penyidikan.
Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 5 KUHAP, penyidik berwenang :
a. Karena ditentukan oleh undang-undang untuk :
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana.
2) Mencari keterangan dan barang bukti.
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri.
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
b. Atas perintah penyidik, penyidik dapat melakukan tindakan berupa
:
1) Penangkapan,
larangan
meninggalkan
tempat,
penggeledahan, dan penyitaan.
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat.
43
3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
4) Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
Berdasarkan pada wewenang tersebut, yang dijadikan pokok
perhatian adalah wewenang penyelidik dalam menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Laporan dari
masyarakat khususnya dari korban sangatlah penting dalam membantu
aparat penegak hukum. “Laporan adalah suatu pemberitahuan yang
disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan
undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang
atau diduga akan terjadinya tindak pidana (KUHAP Pasal 1 butir 24)”.
Terdapat
persamaan
dan
perbedaan
antara
laporan
dengan
pengaduan Persamaannya adalah bahwa baik laporan maupun pengaduan
keduanya sama-sama berisi pemberitahuan seseorang kepada pejabat yang
berwenang tentang suatu tindak pidana yang
telah
atau
akan
terjadi.
Perbedaan antara laporan dengan pengaduan adalah :
1) Laporan diajukan dalam tindak pidana biasa, sedang pengaduan
diajukan dalam hal tindak pidana aduan.
2) Laporan tidak menjadi syarat penuntutan, sedangkan pengaduan
adalah
syarat penuntutan, artinya
tanpa
pengaduan
tersebut
penuntutan tidak dapat dilakukan.
3) Laporan dapat diajukan oleh setiap orang, sedangkan pengaduan
hanya dapat diajukan oleh orang tertentu, yakni orang yang berhak
untuk mengajukan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 72 KUHP.
44
4) Pengajuan laporan tidak terikat oleh batas waktu tertentu, sedangkan
pengajuan pengaduan
dibatasi oleh
tenggang
waktu
tertentu
sebagaimana diatur dalam Pasal 74 KUHP.
5) Laporan yang telah diajukan tidak dapat dicabut kembali, sedangkan
pengaduan yang telah diajukan dapat dicabut kembali dalam tempo
tiga bulan sejak diajukannya pengaduan itu. (Pasal 75 KUHP)
6) Dalam pengaduan harus ditegaskan adanya permintaan agar
terhadap pelaku tindak pidana itu diambil tindakan hukum, sedangkan
dalam laporan hal itu tidak perlu dikemukakan.
Adapun orang yang berhak mengajukan laporan berdasarkan Pasal
108 KUHAP adalah :
a) Setiap
orang
yang mengetahui peristiwa
yang
diduga
merupakan tindak pidana.
b) Sestiap orang yang melihat suatu peristiwa yang diduga
merupakan suatu tindak pidana.
c) Setiap orang yang menyaksikan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana.
d) Setiap orang yang menjadi korban dari peristiwa tindak pidana.
(kajian umum)
e) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana terhadap :
1) Ketentraman umum dan keamanan umum;
45
2) Jiwa atau hak milik.
f)
Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya
yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana.
Apabila seorang penyelidik atau penyidik menerima laporan maupun
suatu informasi tentang terjadinya suatu tindak pidana, maka ia wajib segera
mengambil langkah-langkah guna mengetahui sejauh mana kebenaran
laporan atau informasi tersebut. Berdasarkan data dan fakta yang
diperolehnya, penyelidik menentukan apakah peristiwa tersebut benar-benar
merupakan tindak pidana dan apakah terhadap tindak pidana tersebut dapat
dilakukan penyidikan. Hasil-hasil yang diperoleh dengan dilaksanakannya
penyelidikan tersebut menajdi bahan bagi penyidik untuk melakukan
penyidikan. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa sebagai tindak pidana,
maka penyelidik harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi suatu
peristiwa sebagai tindak pidana dengan mempergunakan ilmu pengetahuan
hukum pidana.
Segala kegiatan penyelidikan diarahkan guna memperoleh apa yang
dinamakan “7-P emas”, yaitu tujuh pertanyaan yang terdiri dari :
1) Siapa yang melakukan kejadian itu, siapa saksinya, siapa pelapornya,
dan siapa korbannya?.
2) Apa yang terjadi sebenarnya dan apa akibat dari kejadian tersebut?
3) Di mana tempat kejadian itu terjadi?
4) Dengan menggunakan alat-alat apa kejadian tersebut dilakukan?
46
5) Mengapa kejadian itu terjadi?
6) Bagaimanakah kejadian itu dilakukan?
7) Kapan kejadian itu dilakukan?
3.2 Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Diluar KUHP
Dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia memang
melarang tindakan aborsi kecuali tindakan abortus provocatus medicalis,
tetapi dalam kenyataannya di masyarakat masih banyak kasus aborsi dan
ada juga yang secara terang-terangan melakukan praktik aborsi. Ada istilah
yang dipakai dalam masyarakat saat ini untuk melakukan aborsi yaitu
determinasi kehamilan atau menstruation regulation. Aborsi memamng
mengundang banyak kontroversi, misalnya menganai hak janin dan hak ibu
hamil, atau mengenai awal konsep kehidupan, apakah sejak terjadinya
konsepsi atau beberapa minggu/bulansetelah itu. Perbedaan pandangan
inilah
yang
menyebabkan
timbulnya
dua
aliran
berbeda
memperdebatkan masalah aborsi. Menurut K. Bertens, gerakan
Pro
yang
Life
menekankan hak janin untuk hidup. Bagi mereka mengaborsi janin sama
dengan pembunhunan (Murder) gerakan Pro Choice mengedepankan pilihan
perempuan mau melanjutkan kehamilannya atau mengakhirinya dengan
aborsi. Bagi mereka perempuan mempunyai hak untuk memilih dua
kemungkinan itu, orang lain dalam masalah ini tidak dapat ikut campur.
Forum Kesehatan Perempuan mengusulkan legalisasi aborsi seperti yang
dikutip oleh K. Bertens : 1) aborsi hanya dipraktekkan dalam klinik atau
47
fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah dan organisasi-organisasi
profesi medis; 2) aborsi hanya dilakukan oleh tenaga professional yang
terdaftar dan memperoleh izin untuk itu, yaitu dokter spesialis kebidanan dan
ginetologi atau dokter umum yang mempunyai kualifikasi untuk itu; 3) aborsi
hanya dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu (untuk usia
diatas 12 minggu ada indikasi medis); 4) harus disediakan konselingbagi
perempuan sebelum dan sesudah aborsi; 5) harus ditetapkan tarif baku yang
terjangkau oleh segala lapisan masyarakat35.
Pertentangan antara pandangan tersebut memang masih dirasakan
sampai sekarang, tetapi sampai sekarang belum ada pemecahan yang
objektif yang harus dipilih oleh masyarakat khususnya bagi mereka yang
mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Sebenarnya, beberapa negara
yang melegalkan aborsi memberi pilihan yang layak bagi ibu-ibu yang
memiliki anak di luar nikah. Selain terjadinya klinik aborsi dimana-mana, jika
perempuan memutuskan menyimpan janin yang dia kandung, biasanya
tersedia dua alternatif : sebagai Single Mother, atau pengaturan adopsi untuk
bayi tersebut. Sebagai Single Mother dia beserta bayinya akan mendapatkan
dukungan material, seperti tunjangan makanan, kesehatan, biaya hidup
bahkan sekolah bagi anak dari pemerintah. Tetapi Pemerintah Indonesia
tidak akan mampu untuk melakukan hal tersebut melihat perekonomian
negara yang sedang mengalami krisis, jangankan mengharapkan tunjangan
perlakuan manusiawi pun sulit di dapat bagi perempuan yang bernasib
seperti ini. Perdebatan antara pandangan Pro Life dan Pro Choice memang
tidak akan pernah selesai dan merupakan pilihan sulit bagi masyarakat yang
35
Bertens : 2002.
48
mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, dan untuk mencegah
kehamilan yang tidak dikehendaki. Pokok dari permasalahan Abortus
Provocatus ini adalah karena adanya kehamilan yang tidak dikehendaki, dan
untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut harus ada
upaya-upaya
dari
pemerintah
dan
masyarakat
dalam
mencegah
permasalahan ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan
perbuatan yang lebih progresif kearah perluasan akses penggunaan alat
kontrasepsi kepada semua perempuan yang potensial mengalami kehamilan,
tidak hanya pada pasangan resmi. Tanpa adanya keberanian untuk
melakukan perubahan seperti itu, angka kehamilan yang tidak di kehendaki
akan tetap tinggi. Tetapi apabila perempuan telah terlanjur mengalami
kehamilan yang tidak dikehendaki, hal yang perlu dipertimbangkan
perempuan tersebut dalah masa depan anak dan masa depan perempuan
yang melahirkan anak tersebut.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang
menggantikan Undang-Undang Kesehatan sebelumnya yaitu UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992, melalui Pasal 75, 76, dan 77 memberikan
penegasan
mengenai
peraturan
pengguguran
kandungan
(abortus
provocatus).
Berikut ini adalah uraian mengenai pengaturan aborsi yaitu :
Pasal 75 :
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud
dikecualikan berdasarkan :
pada
ayat
(1)
dapat
49
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin,
yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebut hidup di luar kandungan ; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan di akhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompenten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi di hitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dan (3)
diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 76 : Aborsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 75
hanya dapat dilakukan :
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
wewenang yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
Menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77 : Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan
dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan (3)
yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan perundangundangan.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tersebut, jika dikaitkan dengan aborsi karena kehamilan tidak
dikehendaki akibat perkosaan, maka dapat disimpulkan : Pertama, secara
umum praktik aborsi dilarang; Kedua, larangan terhadap praktik dikecualikan
pada beberapa keadaan, kehamilan terhadap perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Selain itu tindakan
50
medis terhadap aborsi kehamilan yang tidak dikehendaki akibat perkosaan
hanya dapat dilakukan apabila :
(1) Setelah melalui konseling dan/ atau penasehatan pra tindakan
dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor yang kompenten dan berwenang.
(2) Dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung
dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan
medis.
(3) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewengan
yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Dengan persetujuan ibu hamil bersangkutan; dan
(5) Penyedia layanan kesehatan.
Apabila
dihubungkan
dengan
aborsi
karena
kehamilan
tidak
dikehendaki akibat perkosaan, dimana kehamilan akibat perkosaan yang
dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan dapat
dijadikan alasan darurat untuk melakukan aborsi sebenarnya perlu menjadi
pertimbangan dalam menerapkan sanksi pidana, khususnya bagi para
penegak hukum (hakim). Karena janin yang diaborsi adalah sebagai akibat
pemaksaan hubungan dengan ancaman kekerasan. Perkosaan sendiri
merupakan suatu tindak pidana yang pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana
penjara 12 (dua belas) tahun sesuai Pasal 285 KUHP. Sedangkan,
korbannya harus mendapatkan perlindungan hukum yang salah satu caranya
adalah mengembalikan kondisi jiwanya akibat tekanan daya paksa dari pihak
51
lain (tekanan psikologis). Alasan tekanan psikologis akibat perkosaan inilah
yang seharusnya dijadikan pertimbangan untuk menentukan bahwa aborsi
akibat perkosaan sebagai suatu pengecualian, sehingga seharusnya legal
dilakukan.
Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan sebelum
terjadi sampai terjadinya suatu kejahatan dan memperbaiki perilaku dari
pelaku kejahatan yang dinyatakan bersalah dan dihukum di penjara
Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai teori perwujudan kearah sistem
pembinaan dan pendidikan.
3.2.1 Upaya penanggulangan
Provocatus Criminalis.
dan
pencegahan
kejahatan
Abortus
Di dalam rangka menanggulangi setiap kejahatan secara umum
terdapat dua metode, yaitu :
a. Preventif, yaitu usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan
atau tindak pidana. Langkah-langkah yang dapat ditempuh
dalam hal ini adalah dengan membentuk program-program
kemasyarakatan
dan
organisasi-organisasi
pertahanan
masyarakat.
b. Represif, yaitu penanggulangan kejahatan setelah terjadinya
kejahatan tersebut. Dalam hal ini, yaitu proses penanganan
suatu tindak pidana yang di mulai dari penyelidikan sampai
pada tahap persidangan di pengadilan.
Munurut, Reckles dalam The Crime Problem, yang secara sederhana
dapat dijelaskan sebagai berikut :
52
1) Peningkatan dan pemantapan aparatur penegak hukum, meliputi
pemantapan organisasi, personal, dan sarana-prasarana untuk
menyelesaikan perkara pidana.
2) Perundang-undangan yang dapat berfungsi menganalisir dan
membendung kejahatan dan mempunyai jangkauan ke masa
depan.
3) Mekanisme peradilan pidana yang efektif dan memenuhi syaratsyarat cepat, tepat mudah, dan sederhana.
4) Koordinasi
antar
aparatur
penegak
hukum
dan
aparatur
pemerintahan lainnya yang berhubungan, untuk meningkatkan
daya guna dalam penanggulangan kriminalitas.
5) Partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran pelaksanaan
penanggulangan kriminalitas.
Penggarapan
kelima
unsur
ini
merupakan
konsep
umum
penerapannya dalam bentuk perintah operasional harus disesuaikan pada
waktu dan tempat yang tepat dan selaras dengan kondisi masyarakat.
Tetapi,
kiranya
perlu
disinggung
suatu
asas
umum
dalam
penanggulangan kejahatan (Crime Prevention) yang banyak dipakai oleh
Negara-negara maju. Asas ini merupakan gabungan dari 2 (dua) sistem,
yaitu :
1) Moralistik, dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama
dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain
yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan.
53
2) Abolionistik,
berusaha
menanggulangi
kejahatan
dengan
memberantas sebab-sebabnya.
Untuk memperkuat daya kemampuan operasional penaggulangan
perlu pula dipadukan tiga kemauan (will), yaitu Political Will, Social Will dan
Individual Will.
Kehendak pemerintah (Plitical Will) dengan berbagai upaya, perlu
didukung pula oleh citra sosial (Socia Will) melalui berbagai media
melancarkan penerapan keinginan pemerintah. Dan kekuatan besar yang
tidak boleh dilupakan adalah Human atau Individual Will, berupa kesadaran
untuk patuh dan taat pada hukum serta senantiasa berusaha mengindarkan
diri untuk tidak berbuat kejahatan.
3.2.2 Kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani kejahatan Abortus
Provocatus Criminalis.
Dalam menghadapi kasus abortus provocatus criminalis ini tidak
semudah yang dibayangkan. Sesuai dengan teori mungkin bisa diungkap
dengan tepat dan cepat, serta secara pasti, tetapi tidak demikian. Banyak
sekali kendala yang harus dihadapi.
Kendala yang pertama adalah dari masyarakat itu sendiri. Kurangnya
pengetahuan tentang pergaulan bebas tersebut yang akhirnya membuahkan
sesuatu yang tidak diinginkan. Masyarakat yang mengganggap hla tersebut
adalah sebagai aib yang harus ditutupi tak segan melakukan tindakan aborsi.
Dalam keadaan seperti ini mereka rela mengeluarkan uang berjuta-juta
rupiah bagi para dokter peralatan pendukung untuk membuktikan kasus
kejahatan Abortus Provocatus Criminalis asal bersedia melakukan tindakan
54
pengguguran kandungan. Dan bagi banyak masyarakat tindakan ini adalah
tindakan yang paling benar untuk menutupi sebuah malu.
Padahal dari tindakan tersebut tidak sedikit yang harus kehilangan
nyawa tau setidaknya mereka mengalami keadaan dimana rahim mereka
rusak dan tidak akan dapat lagi memiliki anak. Kesadaran masyarakat yang
amat sangat diperlukan dalam menuntaskan masalah ini. Di samping itu,
karena kasus ini bukan merupakan kasus delik aduan maka agak sulit untuk
menuntaskan kasus ini hingga keakarnya, karena mereka yang tahu dengan
masalah ini enggan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Kendala yang lain yang mungkin menjadi penyebab sulitnya
mengungkap kasus Abortus Provocatus Criminalis adalah pihak kepolisian
sering sekali sulit mengidentifikasi hasil dari barang bukti Abortus Provocatus
Criminalis. Karena dari hasil-hasil dari perbuatan tersebut sering sudah
hancur atau dibuang entah kemana.
Arif Gosita dalam bukunya Masalah Korban Kejahatan Kumpulan
Karangan mengatakan bahwa: “Dalam kasus aborsi, janin ditolak sebagai
makhluk hidup dan dianggap sebagai objek mati. Oleh karena diformulasikan
seperti itu maka penghancurannya saat itu tidak dianggap sbagai suatu
pembunuhan dan tidak menimbulkan kemarahan moral atau pertentangan
moral seperti pada kasus pembunuhan lain.36”
Sudah menjadi opini publik bahwa salah satu latar belakang aborsi
dilarang undang-undang adalah bertentangan dengan moral masyarakat dan
atau moral agama. Apabila dihubungkan dengan pendapat tersebut,
36
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Keterangan), Akademika Presindo, Jakarta, 1985, hal. 88.
55
sebenarnya yang menentang moral adalah pemerkosaannya bukan orang
yang melakukan aborsi. Aborsi merupakan akibat dari tindakan orang biadab
yang memperkosa perempuan, sehingga perempuan tersebut menjadi hamil.
Perempuan dalam hal ini adalah sebagai korban dari rentetan tindak pidana
perkosaan yang dilakukan terhadapnya berakibat hamil maka janin yang
dikandungnya adalah dianggap sebagai objek yang mati . oleh karena,
dianggap sebagai objek yang mati maka penggugurannya, dianggap legal
untuk dilakukan.
Apabila dihubungkan dengan Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa
(Overmacht), sebenarnya Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009
yang mengatur tentang pengecualian melakukan aborsi terhadap kehamilan
akibat perkosaan, mengakui adanya daya paksa bagi siapa yang melakukan
aborsi.
Ketentuan tentang Overmacht atau daya paksa yang terdapat dalam
Pasa 48 KUHP, yaitu : “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh
daya paksa tidak dipidana”.37 Dari ketentuan Pasal 48 KUHP tersebut dapat
disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu
paksaan atau tekanan yang tidak dapat dihindarkan. Adapun paksaan itu
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan suatu ancaman yang
membahayakan diri dan jiwanya. Tentu saja dalam hal ini, orang yang
diancam tersebut mempunyai dugaan kuat bahwa ancaman itu benar-benar
akan
dilaksanakan
apabila
ia
menolak
mengerjakan
sesuatu
yang
dikehendaki pemaksa.
37
Ibid, hal.23.
56
Daya paksa (Overmacht) ini merupakan alasan pemaaf. Dalam alasan
pemaaf ini, seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi
pidana karena tidak adanya kesalahan. Artinya perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa tetap besifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan
pidana. Tetapi, ia tidak dipidana karena tidak adanya kesalahan. Dengan
demikian, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa. Karena, Overmacht sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48
KUHP hanya memuat alasan pemaaf, artinya perbuatan yang dilakukan tetap
bersifat melawan hukum, tetapi kesalahannya bisa dimaafkan karena
pengaruh daya paksa tadi.
Seseorang yang melakukan perbuatan pidana, sedangkan ia berada
dibawah pengaruh daya paksa sehingga ia terpaksa melakukan perbuatan
tersebut tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini, mencerminkan rasa keadilan,
sebab orang tersebut melakukan perbuatan pidana karena dorongan tidak
mampu dilawannya, misalnya mengancam keselamatannya.
Dihubungan dengan teori tersebut, dalam kasus Abortus Provocatus
pada korban pemerkosaan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, yakni hak
perempuan yang hamil bertentangan dengan hak janin. Dengan demikian
untuk menentukan apakah perempuan yang melakukan Abortus Provocatus
atas kandungannya dapat dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan
manakah yang lebih utama.38 Hak janin untuk untuk tetap hidup atau hak
perempuan untuk tetap menjalankan hidupnya tanpa tekanan psikologis dan
sosial.
38
Suryono Eko Tama, dkk, Op.Cit, hal.194.
57
Mencermati ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 khususnya Pasal 75 ayat (2) huruf b yang mengatur tentang
aborsi karena alasan darurat (pemaksa) dalam hal ini adalah adanya trauma
psikologis yang dialami oleh wanita hamil sebagai akibat tindak pidana
perkosaan yang dialaminya. Pada akhirnya penyelesaian kasus tersebut
sangat tergantung pada para penegak hukum untuk menegakkan keadilan
terutama bagi perempuan yang jelas-jelas sebagai korban perkosaan.
Padahal ahli hukum masa kini, sudah seharusnya menjadi pertimbangan
dalam rangka menjatuhkan pidana, jadi tidak semata-mata didasarkan pada
bunyi undang-undang, akan tetapi juga memperhatikan memperhatikan latar
belakang perbuatan dilakukan. Hal inipun dalam proses pembuktianya juga
tidak mudah, karena harus dibuktikan lebih dahuku perkosaannya.
Dengan demikian, alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan
aborsi apabila tindakan perkosaannya tidak dapat dibuktikan atau tidak
terbukti. Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh
orang yang benar-benar belum kenal oleh korban, tapi juga telah dikenal
sebelumnya bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban.
Apabila
aborsi
Karena
perkosaan
dijadikan
pengecualian
sebagaimana alasan medis, maka kriteria yang dijadikan pengecualian harus
benar-benar jelas dan tegas, sehingga tidak disalahgunakan oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab, akibatnya aborsi marak dilakukan. Dengan
demikian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 memperbolehkan praktek
aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dengan persyaratan dilakukan
oleh tenaga yang kompenten, dan memenuhi ketentuan agama dan
perundang-undangan yang berlaku.
58
Perkosaan yang dialami oleh seorang wanita akan menimbulkan
derita fisik, psikis dan sosial pada dirinya. penderitaan tersebut akan terus
berlanjut apabila korban ternyata mengalami kehamilan. berbeda dengan
kehamilan yang tidak dikehendaki lainnya, misalnya kegagalan karena dalam
pemakaian alat kontrasepsi dalam Keluarga Berencana (KB) atau karena
dalam hubungan seks pranikah. kehamilan karena perkosaan lebih sulit dan
berat diterima oleh perempuan dan keluarganya.
Sebenarnya korban perkosaan yang hamil dapat memilih satu dari
dua alternatif untuk menyikapi kondisinya tersebut, meneruskan kehamilan
yang tidak dikehendaki atau melakukan Abortus Provocatus, tentu dengan
masing-masing resiko. Apabila memilih untuk meneruskan kehamilannya, ia
harus siap menjadi orang tua tunggal tanpa suami, disamping itu secara
sosiologis hal tersebut merupakan pilihan yang sangat berat mengingat
kondisi sosialkultural masyarakat Indonesia yang masih menganggap
rendahbahkan menabuhkan seorang wanita yang hamil tanpa suami sah.
Sedangkan, jika alternatif kedua yang dipilih, resiko keselamatan jiwa bisa
mengancam. Kalaupun Abortus Provocatus dapat dilakukan dengan selamat,
ancaman sanksi pidana sudah menhadang, apabila terbukti Abortus
Provocatus yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditentukan oleh perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor Nomor 36 Tahun 2009tentang
Kesehatan, perlindungan hukum yang diberikan terhadap perempuan korban
perkosaan yang melakukan pengguguran kandunganmenjadi hak dari
perempuan tersebut. Artinya pengguguran kandungan yang dilakukan oleh
perempuan korban perkosaan diperbolehkan. Seperti yang disebutkan dalam
59
Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, salah satu
pengecualian terhadap perempuan melakukan aborsi adalah kehamilan
akibat dari perkosaan yang mengakibatkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan tersebut. Tekanan psikologis yang dialami perempuan yang
mengandung karena perkosaan, dapat dimasukkan sebagai indikasi medis
untuk melakukan pengguguran kandungan asalkan memenuhi syarat-syarat
sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009,
sebagai dasar hukum untuk melegalkan tindakan pengguguran kandungan
yang dilakukan oleh korban perkosaan, termasuk dalam hal ini adalah tenaga
kesehatan yang berkompeten dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang untuk melakukan pengguguran kandungan tersebut.
60
61
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil kajian penelitian yang dilakukan oleh penulis,
maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
4.1.1 Pengaturan hukum tentang aborsi diatur dalam KUHP dan UU
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menurut pengaturan hukum,
dalam hukum Pidana Indonesia (KUHP) Abortus Provocatus
Criminalis
dilarang
memandang
latar
dan
diancam
belakang
hukuman
dilakukannya
pidana
dan
rang
tanpa
yang
melakukan yaitu semua orang baik pelaku maupun penolong
Abortus. Ini diatur dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 75, 76,
dan 77 jo Pasal 194 tentang Ksehatan memberikan pengecualian
Abortus dengan alasan medis yang dikenal dengan Abortus
Provocatus Medicalis mengenai legalisasi aborsi d Indonesia
masih menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Masyarakat
yang pro menilai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan
merupakan hal yang bisa dilakukan jika memang nantinya anak
yang dilahirkan akan membawa tekanan psikis terhadap wanita
tersebut dan aborsi sah saja dilakukan karena tidak merugikan
orang lain karena yang merasakan sakit adalah wanita tersebut.
Mengenai legalitas aborsi, menurut pandangan masyarakat tidak
61
boleh dilakukan kecuali karena indikasi kedaruratan medis, karena
janin di dalam kandungan punya hak untuk hidup dan jika aborsi
dilegalkan
maka
akan
menggeser nilai-nilai norma
dalam
masyarakat.
4.1.2 Untuk pengaturan penegakan hukum mengenai tindak pidana
aborsi yang berlandaskan atas UUD, KUHP, KUH Perdata, UU
HAM, UUPA, dan Hukum Positif di Indonesia dan rancangan
undang-undang lainnya sebaiknya hak anak dalam kandungan
atau janin merupakan bagian dari hak asasi manusiayang wajib
dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai denagn
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu penyelenggara
perlindungan
anak
sebaiknya
berdasarkan
Pancasila
dan
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (setelah perubahan)
serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak.
4.2 SARAN
4.2.1 Perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan perundangundangan yang mengatur masalah aborsi yakni penjelasan
tentang yang dimaksud dengan abortus dan abortus bagi korban
perkosaan.
62
4.2.2 Perlu kerjasama antara penegak hukum yakni pihak kepolisian,
kejaksaan, dan para hakim dengan pihak dokter forensik dan juga
peran aktif masyarakat dalam menangani kasus abortus criminalis.
63
DAFTAR BACAAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UUD 1945 (SESUDAH AMANDEMEN)
KUHP
KUHAP
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009
BUKU
Alam A. S. dan Amir Ilyas, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi,
Makassar, 2010.
Asshiddiqie Jimmly.
Badudu. JS dan Zair Muhammad Sultan, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996.
Bertens. K. : 2002.
Candra Eka Lilien, Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi sama dengan Kriminal,
Lifestyle, Mei 2006.
Candra Eka Lilien, Loc.Cit.
Charisdiono Achadiat, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Buku
Kedokteran, Jakarta, 2007
Gosita
Arif, Masalah Korban Kejahatan
Akademika Presindo, Jakarta, 1985.
(Kumpulan
Keterangan),
Kusuma Perdana Musa, Bab-Bab Tentang Kedokteran Forensik, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1981.
Lamintang. P.A.F, Putusan Hoge Raad, Tahun 1979.
64
Manopo Abas, Aborsi dan Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah Simposium
Aborsi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 1948.
Mochtar Rustam dalam Muhdiono, Aborsi Menurut Hukum Islam
(Perbandingan madzab imam syafi’I dan madzab hanafi), Skripsi ,
UIN Yogyakarta, 2002.
Mutiara Dali, Kejahatan dan Pelanggaran Kriminal Sehari-hari, Tahun
1957.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Word Health Organozation, 2008.
Projodikoro Wirjono, Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Tahun 1980.
Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik, Yang Berkembang Dalam Masyarakat,
Bagian Hukum Pidana FH UAJY , Yogyakarta, 2007, hal : 16-17.
Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pengguguran Kandungan,
dalam Departemen Kesehatan R. I, Kumpulan Naskah-Naskah
Ilmiah Dalam Simposium, Jakarta, 2007.
SC, Kusmaryanto , Kontroversi Aborsi, Gramedia WIdiasarana Indonesia,
Jakarta, 2002.
Siregar Basri Hasnil, Pengantar Hukum Indonesia, Kelompok Studi Hukum
dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1994.
Soesilo. R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta KomentarKomentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Tahun 1985.
Soesilo. R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Tahun 1985.
Tama Eko Suryono, dkk, Op.Cit.
Tama Eko Suryono, dkk, Op.Cit.
Yayasan Pengembangan Pedesaan, Kesehatan Reprosuksi, cet.1, Danar
Wijaya, Malang, 1997.
65
INTERNET
http://D.M Purba .blogspot.com/2011/07/abortus dan Undang-undang
abortus, RS. Dr. Pringadi diakses 07 Desember 2011.
http//www.lbh-apik.or.id/fact-32.,htm, Aborsi dan Hak Atas Pelayanan
Kesehatan, diakses Tanggal 22 April 2010.
KAMUS
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Kartika, Surabaya,
1997.
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press.
66
Download