TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA PROPOSAL SKRIPSI DI SUSUN OLEH : SUKMAWATI SISWO PUTRI 29120158 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014 TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Sutabaya OLEH : SUKMAWATI SISWO PUTRI NPM : 29120158 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014 2 TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA NAMA : SUKMAWATI SISWO PUTRI NPM : 29120158 JURUSAN : ILMU HUKUM FAKULTAS : HUKUM DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH : PEMBIMBING ANDY USMINA WIJAYA, S.H., M.H 3 Telah diterimadan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-sayarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Surabaya, 29 Maret 2014 Tim Penguji Skripsi : 1. Ketua : Tri Wahyu Andayani, S.H., C.N., M.H ( (Dekan) ) 2. Sekretaris : Andy Usmina Wijaya, S.H., M.H (Pembimbing) ( ) 3. Anggota : 1. Dr. H. Taufiqurrahman,S.H., M.Hum( (Dosen Penguji I) ) 2. H. Syahrul Alam, S.H., M.Hum (Dosen Penguji II) ( ) 4 BIARKANLAH WAKTU YANG AKAN MENJAWAB SEMUANYA,,,,,,,,,,,,,,,,!!!!!!!! HIDUP ADALAH PERJUANGAN....!!! CAAAYYYOOOOO TETAP SEMANGGGAAAAATTT 5 MOTTO K : ETIKA O :TAK P :ERLU I :NSPIRASI 6 KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan memanjatkan rasa syukur kepada ALLAH S.W.T, karena hanya berkat limpahan taufiq, dan hidayah-Nya semata. Sehingga, penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: “TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA” untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Tugas Akhir Sarjana Strata-1 Di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Skripsi ini, tidak akan penulis selesaikan tanpa adanya motivasi dan dorongan dari semua pihak baik moril maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bunda selaku Orang tua penulis yang memberikan semangat penuh yang tak terhingga nilainya. 2. Bapak Budi Endarto., S.H., M.Hum. Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 3. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman., S.H., M.Hum. Selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 4. Ibu Tri Wahyu Andayani., S.H., C.N., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 5. Bapak Andy Usmina Wijaya., S.H., M.H. Selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 6. Para Bapak/Ibu Dosen Universitas Wijaya Putra Surabaya. I 7 7. Hadir Dana Klana (Sang Kekasih) makasih sayang sudah banyak membantu dan selalu setia menemani pembutan skripsi ini I LOVE YOU, I MISS YOU BEIB 8. Kakak Surya Insan Mardhika dan Pendhut Siswo Putro yang sudah memberikan do‟a dan semangatnya. 9. Adik-adik ku Dewi Sri Pamungkas Siswo Putri dan Veter yang selalu menyemangati dan selalu menemani. 10. Sobat ku I Komang Satria Anggara, yang selalu memotivasi dan selalu memberikan semangat penuh. 11. Sobat Yuda Permadi Kusuma Dinata. 12. Sobat Bagus Wahyudi Agung Prabowo (Kecap), makasih bos sudah kasih semangatnya. 13. Sobat Johannes Hutapea makasih bang sudah memotivasi aku HORAS,,,,,!!!!!!. 14. Sobat Nocky Leon Agusta sebagai sahabat dekat penulis yang selalu membuat suasana menjadi semangat. 15. Temen-temen dan Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 16. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini tidak dapat penulis sebutkan secara rinci, karena keterbatasan waktu dan pikiran penulis. Semoga segala amal perbuatan dan amal ibadah yang diberikan kepada penulis. Senantiasa mendapatkan berkah, pahala dan kebaikan yang berlipat ganda dari ALLAH SWT. II 8 Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini dalam rangka memenuhi Ujian Tugas Akhir. Jauh dari kesempurnaan masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penyusunannya. Mengingat keterbatasan wawasan dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat mengharapkan saran, kritik, tanggapan, serta masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi. Dengan demikian, skripsi ini diharapkan akan memberikan nilai tambah dan manfaat yang besar bagi semua pihak untuk menambah Khasanah, wawasan, dan pengetahuan luas di dunia pendidikan Indonesia dimasa depan. Surabaya, 29 Maret 2014 Terima kasih Penulis IV 9 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 7 1.3 Penjelasan Judul ........................................................................................... 7 1.4 Alasan Pemilihan Judul ............................................................................... 8 1.5 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 9 1.6 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9 1.7 Metode Penelitian ........................................................................................ 10 1.8 Sistematika Pertanggungjawaban ........................................................... 14 BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA ................................................ 15 2.1 Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan KUHP Di Indonesia ................................................................................................................... 15 2.2 Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Undang-Undang Di Luar KUHP Di Indonesia ................................................................................... 30 BAB III PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA ...... 40 3.1 Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia Berdasarkan KUHP .............................................................................. 40 3.2 Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Diluar KUHP .................................. 47 3.2.1 Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan Abortus Provocatus Criminalis........................................................................................ 52 3.2.2 Kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani kejahatan Abortus Provocatus Criminalis. ...................................................................... 54 BAB IV PENUTUP ........................................................................................................ 61 4.1 KESIMPULAN ............................................................................................... 61 V 10 4.2 SARAN ........................................................................................................... 62 DAFTAR BACAAN ....................................................................................................... 64 VI 11 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Praktik Abortus sudah bukan rahasia lagi, terutama sebagai akibat dari semakin meluasnya budaya pergaulan bebas dan prostitusi yang tidak bias terkendali. Dengan semakin meningkatnya kasus-kasus kehamilan yang terjadi di luar nikah dan multiplikasi keragaman motivasi. Hal tersebut, pada gilirannya mendorong orang-orang tertentu cenderung menggugurkan kandungan sebagai bentuk untuk menutupi aib atua menghilangkan jejak dari perbuatan melanggar hukum. Kasus Abortus di Indonesia jarang di ajukan ke Pengadilan, karena pihak si ibu yang merupakan „korban‟ juga sebagai „pelaku‟ sehingga sukar diharapkan adanya laporan abortus. Umumnya kasus abortus diajukan ke pengadilan hanya bila terjadi komplikasi (si ibu sakit berat/mati) atau bila ada pengaduan dari si ubu atau suaminya (dalam hal izin). Permasalahan abortus tidak hanya berkaitan dengan bidang kedokteran forensik, tetapi juga berkaitan dengan hukum kesehatan. Perbedaan intinya adalah dalam hukum lebih tertuju pada ketentuan hukum yang mengatur dalam keadaan apa, dimana, oleh siapa, pengguguran dapat dilakukan, sementara dalam bidang kedokteran forensik tertuju kepada pemeriksaan dan pembuktian pengguguran kandungan dilakukan, kapan, berapa, umur bayi dan lain-lain.1 Dalam pengertian medis, abortus adalah gugur kandungan atau keguguran dan keguguran itu sendiri berarti berakhirnya kehamilan, sebelum fetus dapat hidup sendiri di luar kandungan. Batas kandungan yang dapat di terima di dalam abortus adalah sebelum 28 minggu dan berat badan fetus yang keluar dari 1000 gram. Salah satu masalah yang dikemukakan dalam lapangan ilmu kedokteran adalah desakan berbagai pihak agar masalah saat kapan dimulainya sebuah kehidupan dan pula saat kehidupan itu dianggap tidak ada, dapat diagendakan secepatnya. Sebab, ketentuan yang demikian itu, akan sangat erat kaitannya dengan kontribusi dalam menentukan adanya tindak pidana aborsi. Abortus atau pengguguran kandungan selalu menjadi permasalahan dari masa ke masa. Dari kesehatan secara alami terjadi keguguran pada 10% - 15% kehamilan. Di lain pihak ada keadaan yang memaksa pengguguran kandungan yang harus di tempuh (provokasi) untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil, tetapi banyak pula pengguguran dilakukan bukan untuk tujuan darurat yang mengancam nyawa seorang ibu hamil. Yang terakhir inilah yang menjadi permasalahan karena dalam pandangan masyarakat, hukum, dan agama tindakan abortus bertentangan dengan kaidah-kaidah dan norma kesusilaan. Pengguguran kandungan (aborsi) selau menjadi perbincangan baik dalam forum resmi maupun maupun tidak resmi yang menyangkut bidang 1 A. S. Alam dan Ilyas Amir, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi, Makassar, 2010, hal. 6. 2 kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu yang lain. 2 Aborsi merupakan fenomenal sosial yang semakin hari semakin semakin memprihatinkan. Keprihatianan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku maupun bagii masyarakat luas. Hal ini, disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum kehidupan bangsa dan negara. Zaman kontemporer memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi dalam melakukan aborsi. Legalitas, normalitas, budaya dan pandangan mengenai aborsi secara substansial berbeda diseluruh negara. Aborsi atau lazim disebut dengan pengguguran kandungan masuk keperadapan manusia disebabkan karena manusia tidak menghendaki kehamilan tersebut.3 Abortus itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia (abortus provocatus) maupun karena sebab-sebab alamiah, yakni terjadi dengan sendirinya, dalam arti bukan karena perbuatan manusia (abortus spontatus). Aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena didorong alasan medis, misalnya karena seorang ibu yang hamil menderita suatu penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang hamil tersebut maka kandungannya harus digugurkan (abortus therapeuticius). Di samping itu, karena alasan-alasan yang yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortus criminalis). 2 Achadiat Charisdiono, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Buku Kedokteran, Jakarta, 2007, hal. 12. 3 Manopo Abas, Aborsi dan Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah Simposium Aborsi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 1948, hal. 10. 3 Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini, dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bias saja dilakukan secara ilegal. Dalam memandang kedudukan hukum aborsi di Indonesia perlu dikaji kembali apa yang yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan abortus provocatus medicalis. Sedangkan, aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortus provocatus criminalis. Masalah pengguguran kandungan pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan nilai-nilai serta norma-norma agama yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, terkait dengan hukum positif di Indonesia pengaturan masalah pengguguran kandungan tersebut terdapat pada Pasal 346, 347, 348, 349 dan 350 KUHP. Menurut ketentuan yang tercantum pada Pasal 346, 347, dan 348 KUHP tersebut abortus criminalis meliputi perbutan-perbuatan sebagai berikut4 : 1. Menggugurkan Kandungan (afdrijving Van de vrucht atau vrucht afdrijving). 2. Membunuh Kandungan (de dood van vrucht veroorzaken atau vurcht doden). 4 Musa Perdana Kusuma, Bab-Bab Tentang Kedokteran Forensik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 192. 4 Undang-undang tidak memberikan penjelasan mengenai perbedaan pengertian menggugurkan kandungan dan membunuh kandungan, demikian pula mengenai pengertian dari kandungan itu sendiri. Dari segi terminologi menggugurkan berarti membuat gugur atau menyebabkan gugur, dimana sama artinya dengan jatuh atau lepas.5 Jadi, pengguguran kandungan berarti membuat kandungan menjadi gugur atau menyebabkan menjadi gugur. Sedangkan, membunuh sama dengan menyebabkan mati atau menghilangkan nyawa.6 Jadi, membunuh kandungan berarti menyebabkan kandungan menjadi mati atau menghilangkan nyawa kandungan. Pada pengguguran kandungan yaitu lepasnya kandungan dari rahim dan keluarga kandungan tersebut dari tubuh seorang ibu yang mengandung. Sedangkan, pada pembunuhan kandungan perbuatan yang dihukum adalah menyebabkan matinya kandungan. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adapun ketentuan yang berkaitan dengan masalah tindak pidana aborsi dan penyebabnya dapat dilihat pada KUHP Bab XIX Pasal 229, 346, 347, 348 349 yang memuat jelas larangan aborsi. 7 Sedangkan, dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang ketentuan aborsi dalam Pasal 76, 77, 78 terdapat perbedaan antara KUHP dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam mengatur masalah aborsi. KUHP dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun, sedangkan Undang-undang Kesehatan memperboleh kan 5 6 Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Kartika, Surabaya, 1997. Ibid. 7 http://D.M Purba .blogspot.com/2011/07/abortus dan Undang-undang abortus, RS. Dr. Pringadi diakses 07 Desember 2011. 5 aborsi atau dalam indikasi kedaruratan medis maupun karena adanya akibat dari perkosaan. Abortus Provocatus dibagi dalam dua jenis, yaitu abortus provocatus therapeuticus dan abortus provocatus criminalis.8 Abortus provocatus therapeuticus adalah penghentian kehamilan pada saat dimana janin belum dapat hidup diluar kandungan. Hal ini dilakukan demi kepentingan kesehatan si ibu, biasanya karena ada gangguan kesehatan pada seorang ibu. Sedangkan, abortus provocatus criminalis, suatu proses penghentian kehamilan yang sengaja dilakukan tanpa indikasi medis. Proses ini, legal dan biasanya dilakukan karena ketidaksiapan menjadi orang tua. Knight menyatakan bahwa abortus provocatus terjadi pada kira-kira 40% dari seluruh abortus, meskipun angka tersebut bervariasi. 8 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Word Health Organozation, 2008. 6 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang skripsi di atas, maka penulis akan mengambil rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana aborsi menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia? 2. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana aborsi di Indonesia? 1.3 Penjelasan Judul Untuk menghindari multitafsir dalam penelitian ini maka, diperlukan adanya suatu penjelasan istilah proposal skripsi ini sebagai berikut : “TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA” Tinjauan adalah cara, sudut pandang dari penyelesaian suatu permasalahan hukum.9 Yuridis adalah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau hukum yang berlaku di Indonesia.10 Penegakan hukum adalah proses dilaksanakannya upaya untuk menegakkan atau menfungsikan norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.11 9 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press. 10 11 Ibid. Prof. Jimmly Asshiddiqie. 7 Tindak Pidana Aborsi adalah suatu perbuatan melanggar hukum yang sengaja mengakhiri kehidupan kandungan dalam Rahim seorang wanita hamil.12 1.4 Alasan Pemilihan Judul Untuk dapat mengetahui dan memahami lebih jauh landasan hukum tindak pidana aborsi atau pengguguran kandungan berdasarkan KUHP Pasal 346 sampai dengan 349 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta mengkaji terhadap pengawasan serta tindakan yang kongkrit oleh pemerintah dalam praktek yang telah terjadi di masyarakat terhadap penjatuhan sanksi bagi „pelaku‟ aborsi yang tidak sesuai antara KUHP dengan UU Kesehatan. Tindakan aborsi berdasarkan KUHP merupakan suatu tindakan pembunuhan yang dapat menghilangkan nyawa bagi seorang anak. Sedangkan, menurut Undang-Undang Kesehatan tindakan aborsi yang dilakukan oleh seseorang diperbolehkan apabila dalam keadaan darurat yang dapat mengancam nyawa dan keselamatan bagi seorang ibu. 12 K. Bertens : 2002. 8 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka dapat diambil tujuan penelitian sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan mengenai pengguguran kandungan (abortus) dengan pembunuhan anak. 2) Untuk mengetahui penegakan hukum dalam menanggulangi kejahatan pengguguran (abortus) di Indonesia. 1.6 Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain : a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Undang-undang Kesehatan khususnya. a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya refensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang Abortus Provocatus terhadap KUHP dan Undang-Undang Kesehatan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan Pasal 28 mengenai Hak untuk hidup yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. 9 b) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya. b. Manfaat Praktis a) Sebagai wahana penulis mengembangkan penalaran, membentuk pola piker ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan. b) Untuk memberikan suatu jawaban atas permasalahan yang menjadi pokok penelitian dalam penulisan ilmiah. 1.7 Metode Penelitian 1) Jenis Penelitian Jenis penelitian dari penulisan skripsi ini adalah menggunakan yuridis yang mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Kesehatan. 2) Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu pendekatan yang melihat norma-norma hukum tentang tindakan aborsi dalam kajian sanksi dan upaya pencegahannya. 10 3) Langkah Penelitian a. Obyek Penelitian Penegakan hukum tindak pidana aborsi berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 di Indonesia. b. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah berupa bahan hukum, yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan, meliputi : a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat secara yuridis seperti undang-undang dan yurisprudensi. b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti rancangan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku, jurnal, literatur, majalah, dan teks-teks tentang hukum. c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan maupun memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedi. 11 c. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang diperlukan sesuai dengan pokok pembahasan. Bahan hukum yang dikumpulkan sebagai sumber penelitian adalah : KUHP dan UU Nomor 36 Tahun 2009 Adalah sebagai bahan hukum primer yaitu sebagai dasar landasan yang mempunyai kekuatan hukum secara yuridis dengan dasar KUHP dan UU Nomor 36 Tahun 2009 inilah sebagai dasar acuan penulis dalam pembuatan penelitian hukum. Buku dan artikel yang berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana aborsi adalah sebagai sumber hukum sekunder yaitu menjelaskan dan memaparkan secara rinci mengenai bahan hukum primer yang diperoleh melaui sumber buku, literatur, risalah rapat, yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian hukum ini. Kamus Adalah sebagai bahan hukum tersier yaitu memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 12 Dari ketiga bahan hukum primer, sekunder, dan tersier ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap bahan-bahan yang harus penulis kumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahanbahan hukum tersebut dikumpulkan selanjutnya dengan wilayah-wilayah yang menjadi pembahasannya. Adapun penelitian ini dilakukan terhadap buku-buku, risalah-risalah, artikel, surat kabar, majalah-majalah, serta peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini. d. Metode Analisis Menganalisis pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana aborsi di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dampak yang ditimbulkan bagi dunia kesehatan dan pengaruh terhadap seorang yang melakukan tindak pidana aborsi tersebut. Metode analisis tersebut menggunakan cara deduktif, dimana pembahasan diuraikan lebih lanjut dengan menggambarkan wilayah-wilayah yang bersifat umum menjadi wilayah-wilayah yang bersifat khusus. 13 1.8 Sistematika Pertanggungjawaban Dalam pembuatan proposal penelitian hukum (skripsi) ini digunakan sistematika pertanggungjawaban penulisan sebagai berikut : BAB I adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggungjawaban. BAB II tinjauan pustaka yang meliputi tinjauan tentang pengaturan tindak pidana aborsi berdasarkan KUHP dan UU No. 36 Tahun 2009 dan juga tinjauan terhadap faktor penyebab terjadinya tindak pidana aborsi di Indonesia. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai kerangka pemikiran, sehingga sangat membantu penulis dalam menjawab permasalahan yang menjadi obyek penelitian penulis. BAB III adalah menjelaskan dari hasil penelitian dan pembahasan yaitu yang menjelaskan tentang pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana aborsi yang sesuai dengan norma, kaidah aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan penulis. 14 15 BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG DI INDONESIA 2.1 Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan KUHP Di Indonesia Pada dasarnya aborsi (pengguguran kandungan) yang di kualifikasikan sebagai perbuatan kejahatan atau tindak pidana hanya dapat dilihat dalam KUHP walaupun dalam Undang-Undnag Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memuat juga sanksi terhadap perbuatan aborsi tersebut. KUHP mengatur berbagai kejahatan maupun pelanggaran. Salah satukejahatan yang diatur di dalam KUHP adalah masalah abortus criminalis. Ketentuan mengenai abortus criminalis dapat di lihat dalam Bab XIV buku ke II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa (khususnya Pasal 346-349). Adapun rumusan Pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 299 KUHP : 1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati dengan sengaja memberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam pidana penjara paling lama 4 tahun atau dendan paling banyak tiga ribu rupiah. 2. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan atau ia seorang tabib, bidan, atau juru obat pidananya tersebut ditambah sepertiga. 3. Jika yang bersalah, melakukan kejahtaan tersebut dalam menjalankan pecarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian. Pasal 346 KUHP : 15 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Pasal 347 KUHP : 1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. 2. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pasal 349 KUHP : Jika seorang tabib, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa yang dapat dihukum, menurut KUHP dalam kasus aborsi ini adalah : a. Pelaksanaan aborsi, yaitu tenaga medis atau dukun atau orang lain dengan hukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiga dan bias juga hak untuk praktek. b. Wanita yang menggugurakan kandungannya, dengan hukuman maksimal 4 tahun. c. Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab terjadinya aborsi itu dihukum dengan hukuman bervariasi. Di dalam KUHP tidak diberikan penjelasan mengenai pengertian kandungan itu sendiri dan memberikan arti yang jelas mengenai aborsi dan membunuh (mematikan) kandungan. Dengan demikian mengetahui bahwa KUHP hanya mengatur mengenai abortus provocatus criminalis, dimana semua jenis aborsi dilarang dan tidak diperbolehkan oleh undang-undang apapun alasannya. Pengaturan abortus provocatus di dalam KUHP yang merupakan warisan zaman Belanda bertentangan dengan landasan dan politik hukum yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan 16 kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (setelah perubahan) karena melarang abortus provocatus tanpa pengecualian”. Hal ini dinilai sangat memberatkan kalangan medis yang terpaksa harus melakukan abortus provocatus untuk menyelamatkan jiwa seorang ibu yang selama ini merupakan pengecualian diluar ketentuan perundang-undangan. Contohnya adalah berlakunya Pasal 349 KUHP, jika pasal ini diterapkan secara mutlak, maka para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya dapat dituduh melakukan pelanggaran hukum dan mendapat ancaman pidana penjara. Pada perkembangannya peraturan mengenai abortus provocatus atau abortus criminalis dapat dijumpai dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jika, pada Pasal 299 dan 346-349 KUHP tidak diatur masalah abortus provocatus medicalis. Apabila ditelaah lebih jauh, kedua peraturan perundang-undangan tersebut berbeda satu sama lainnya. KUHP mengenal larangan baortus provocatus tanpa kecuali, termasuk aborsi provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus. Tetapi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memperbolehkan terjadi abortus provocatus medicalis dengan spesifikasi thepeutics. Dalam konteks hukum pidana, terjadilah perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang lama (KUHP) dengan peraturan peraturan perundang-undangan yan baru. Padahal peraturan perundang-undangan berlaku asas “Lex Posteriori Derograt Legi Priori”. Asas ini beranggapan bahwa jika diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan yang lama yang mengatur materi yang sama dan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka 17 peraturan yang baru itu mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.13 Berlakunya asas Lex Posteriori Derograt Legi Priori merupakan salah satu upanaya pemerintah untuk mengembangkan hukum pidana di Indonesia. Banyak aturan-aturan KUHP yang dalam situasi khusus tidak relevan lagi untuk diterapkan pada saat ini. Dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia upaya perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas non diskriminatif; kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Perhargaan terhadap penghargaan anak. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.14 Definisi tentang anak, perlindungan anak, dan hak anak masingmasing dijalaskan dalam Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 12 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Pasal 1 angka 1 menentukan, yaitu : “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan 13 Hasnil Basri Siregar, Pengantar Hukum Indonesia, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1994, hal. 53. 14 Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik, Yang Berkembang Dalam Masyarakat, Bagian Hukum Pidana FH UAJY , Yogyakarta, 2007, hal : 16-17. 18 belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pasal 1 angka 2 menentukan : “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 1 angka 12 menentukan bahwa : “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara”. Bahwa hak anak dalam kandungan atau janin merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesui dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2, 3 dan 4 UUPA. Pasal 2 menentukan 15 : “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 (setelah perubahan) serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi : nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan pendapat anak”. Pasal 3 menentukan : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi 15 Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pengguguran Kandungan, dalam Departemen Kesehatan R. I, Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah Dalam Simposium, Jakarta, 2007, hal : 47-48. 19 demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera”. Pasal 4 menyatakan : “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Jika, menelaah dalam pasal-pasal di KUHP, tampaklah KUHP tidak membolehkan suatu abortus provocatus di Indonesia. KUHP tidak melegalkan abortus provocatus tanpa terkecuali. Bahkan abortus provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang, termasuk di dalamnya adalah abortus prpvocatus yang dilakukan oleh perempuan korban pemerkosaan. Oleh karena itu sudah dirumuskan demikian, maka dalam kasus abortus provocatus yang dilakukan oleh korban pemerkosaan, minimal ada dua orang yang terkenena ancaman sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHP, yakni si ibu sendiri yang hamil karena perkosaan serta barang siapa yang sengaja membantu si ibu tersebut menggugurkan kandungannya. Seorang ibu yang hamil Karena pekosaan dapat terkena ancaman sanksi pidana kalau seorang ibu tersebut sengaja menggugurkan kandungan tanpa bantuan orang lain. Ia juga terkena ancaman sanksi pidana. 20 Dalam rumusan KUHP, kejahatan mengenai pengguguran kandungan dapat dibedakan menjadi : 1. Yang dilakukan sendiri (Pasal 346 KUHP). 2. Yang dilakukan oleh orang lain, dalam hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu : a) Ada persetujuannya (Pasal 347 KUHP). b) Tanpa persetujuannya (Pasal 348 KUHP). Ada pula pengguguran kandungan oleh orang lain baik atas maupun tidak, dan orang lain itu orang yang mempunyai kualitas pribadi tertentu seperti dokter, bidan dan juru obat (Pasal 349 KUHP). Kejahatan terhadap nyawa janin dapat dibagi menjadi empat golongan menurut kualifikasi pelakunya dengan keadaan yang menyertainya sebagai berikut : 1. Perempuan itu yang melakukan sendiri atau menyuruh untuk itu menurut Pasal 346 KUHP. R. Soesilo dalam bukunya berjudul “Kitab UndangUndang Hukum Pidana serta Komentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal”16, merumuskan sebagai berikut : “Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”. 16 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Tahun 1985, hal. 243. 21 Dengan memperhatikan rumusan Pasal 346 KUHP tersebut terkandung maksud oleh pembentuk undang-undang untuk melindungi nyawa janin dalam kandungan meskipun janin itu punya perempuan yang mengandungnya. P.A.F Lamintang17 mengemukakan putusan Hoge Raad sebagai berikut : “Hoge Raad 1 November 1879, W. 7038, yaitu pengguguran anak dari kandungan itu hanyalah dapat dihukum, jika anak yang berada didalam kandungan itu selama dilakukan usaha pengguguran berada dalam keadaan hidup. Undang-Undang tidak mengenal anggapan hukum yang dapat memberikan kesimpulan bahwa anak yang berada di dalam kandungan itu berada dalam keadaan hidup atau mempunyai kemungkinan untuk tetap hidup”. Jika, memperhatikan rumusan Pasal 346 KUHP tersebut, maka dapat dikemukakan unsur-unsur dari kejahatan pengguguran kandungan (abortus) sebagai berikut : Subyeknya adalah perempuan wanita itu sendiri atau orang lain yang disuruhnya. Dengan sengaja. Menggugurkan atau mematikan kandungannya. 2. Orang lain melakukan tanpa persetujuan dari seorang ibu yang mengandung itu menurut Pasal 347 KUHP. Abortus jenis ini dicantumkan tegas dalam Pasal 347 KUHP. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab 17 P.A.F Lamintang, Putusan Hoge Raad, Tahun 1979, hal. 206. 22 Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”.18 merumuskannya sebagai berikut : “Pengguguran kandungan (abortus) dengan cara ini dengan maksud untuk melindungi perempuan yang mengandung karena ada kemungkinan menggangu kesehatannya atau keselamatannya terancam”. Dengan memperhatikan rumusan Pasal 347 KUHP dapat dikemukakan unsur-unsur yang terkandung didalamnya yaitu sebagai berikut : Subyeknya orang lain. Dengan sengaja. Menggugurkan atau mematikan kandungannya. Tanpa izin perempuan yang digugurkan kandungannya itu. Adapun pengguguran kandungan (abortus) yang dilakukan oleh orang lain tersebut tanpa izin perempuan yang digugurkan kandungannya itu sehingga perempuan tersebut meninggal. Oleh Karena itu, ancaman pidananya diperberat atau ditambah menjadi hukuman penjara lima belas tahun menurut Pasal 347 ayat 2 KUHP. 18 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Tahun 1985, hal. 243. 23 3. Orang yang melakukan dengan persetujuan perempuan itu menurut Pasal 348 KUHP Pengguguran kandungan (abortus) ini diatur dalam Pasal 348 KUHP sebagaimana yang dirumuskan oleh R. Soesilo19 sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun”. Di dalam pasal ini sudah barang tentu tidak lagi akan mengulangi perlindungan hukum terhadap nyawa janin maupun kesehatan, nyawa perempuan, melainkan lebih ditujukan atas perlindungan pihak ketiga atau kesusilaan, karena meskipun dengan persetujuan perempuan itu ada suatu keperluan diluar dirinya yang harus diperhatikan. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 348 KUHP adalah sebagai berikut : Subyeknya adalah orang lain. Menggugurkan atau mematikan kandungan. Dengan izin perempuan yang digugurkan kandungannya. 4. Bagi orang-orang tertentu diberikan pemberatan pidana dan pidana tambahan menurut Pasal 349 KUHP. 19 Ibid, hal. 244. 24 Di dalam Pasal 349 KUHP ini, mengatur mengenai orang-orang tertentu yang pidananya diperberat. Adapun orang-orang tertentu yang dimaksud dalam rumusan Pasal 349 KUHP menurut R. Soesilo 20 adalah sebagai berikut : “Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam kejahatan yang tersebut dalam Pasal 346 KUHP atau bersalah atau membantu dalam salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka hukuman yang ditentukan dalam itu dapat ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu”. Berdasarkan uraian mengenai rummusan Pasal 346, 347, 348 dan 349 KUHP yang mengatur mengenai macam-macam pengguguran kandungan (abortus), maka adapun juga unsur-unsur pokok yang terdapat didalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP adalah sebagai berikut : a. Adanya perempuan yang mengandung atau hamil. b. Perempuan yang buah kandungannya hidup. c. Kandungan itu digugurkan atau dimatikan atau menyuruh untuk itu dengan sengaja. 1) Adanya wanita yang mengandung atau hamil. Menurut pasal-pasal tentang pengguguran kandungan (abortus) provocatus criminalis, diisyaratkan adanya wanita yang mengandung, yang harus dibuktikan adanya. Dalam hal ini, menjadi kewajiban ilmu kedokteran untuk dapat menetapkan kapan, dan adanya perempuan hamil. Pengetahuan kedokteran yang teknis dan 20 Ibid. 25 penyidikan kedokteran dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting. 2) Perempuan yang buah kandungannya hidup. Jika diperhatikan isi dari Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP tidak disebut dengan jelas tentang hal itu. Oleh karena itu, undangundang tidak menyebutkan dengan jelas, sebagaimana lazimnya terdapat pendapat yang berbeda-beda. Di satu pihak berpendapat, oleh karena undang-undang tidak merumuskan dengan dengan jelas, maka tidak perlu dipersoalkan buah kandungan yang digugurkan atau dimatikan, masih hidup atua sudah mati, semua itu termasuk dalam perbuatan pengguguran kandungan (abortus). P.A.F. Lamintang dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pidana Indonesia”21 mengemukakan suatu putusan Hoge Raad sebagai berikut : “Hoge Raad 20 Desember 1943, 1944 No. 232 yaitu alat-alat pembuktian yang disebutkan oleh hakim di dalam putusannya haruslah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa perempuan itu hamil dan mengandung anak yang hidup dan bahwa bertuduh mempunyai maksud untuk dengan sengaja menyebabkan gugur atau meninggalnya anak tersebut”. Kemudian R. Soesilo 22 mengemukakan sebagai berikut : “Cara mengugurkan atau membenuh kandungan itu rupa-rupa, baik dengan obat yang diminum, maupun alat-alat yang 21 22 Ibd. Ibid, hal. 243. 26 dimasukkan melalui anggota kemaluan menggugurkan kandungan yang sudah mati, tidak dihukum demikian pula tidak dihukum orang yang untuk membatasi kelahiran anak mencegah terjadinya kehamilan (Mathusianisme)”. 3) Kandungan itu digugurkan atau dimatikan atau menyuruh untuk itu dengan sengaja Perbuatan ini lebih cenderung kepada masalah hubungan kausal dan masalah sikap batin yaitu gugurnya kandungan adalah musabab dari perbuatan yang disengaja itu. Untuk membedakan abortus dengan pembunuhan anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 341 KUHP supaya dapat diketahui perbedaan-perbedaan yang terdapat dikedua hal tersebut, maka terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan pembunuhan anak, unsur-unsur yang terkandung di dalamnya agar lebih jelas perbedaan abortus dan pembunuhan anak itu sendiri : Pasal 341 KUHP menentukan bahwa : “Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak, dihukum karena makar mati terhadap anak (kinderdoodsleg) dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun”. 27 Dali Mutiara dalam bukunya yang berjudul “Kejahatan dan Pelanggaran Kriminal Sehari-hari”23 memberikan rumusan sebagai berikut : “Yang dinamakan pembunuhan bayi (Kinderdoodsleg) yaitu ibu yang dengan sengaja membunuh anak yang baru dilahirkan dengan tidak memikirkan panjang lebar terlebih dahulu oleh rasa takut bahwa orang lain akan tahu bahwa ia melahirkan bayi”. Pembunuhan anak yang diatur dalam Pasal 341 KUHP sesuai dengan pengertian tersebut diatas dan menitik beratkan dari segi kesengajaan pembunuhan bayi yang telah dilahirkannya, tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya. Unsur-unsur yang terpenting dalam pembunuhan anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 341 KUHP mengenai pembunuhan biasa anak adalah : Pembunuhan anak dilakukan pada waktu dilahirkan atau sebentar setelah dilahirkan. Pembunuhan dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Anak itu lahir dalam keadaan hidup. Perbuatan dan sikap ibunya itu dilakukan karena terdorong oleh rasa takut atau malu karena diketahui tentang kelahiran dari anaknya itu. Wirjono Projodikoro dalam bukunya yang berjudul “Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”24, mengemukakan adanya perbedaan antara pembunuhan anak dengan pengguguran kandungan (abortus) sebagai berikut : 23 24 Dali Mutiara, Kejahatan dan Pelanggaran Kriminal Sehari-hari, Tahun 1957, hal. 67. Wirjono Projodikoro, Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Tahun 1980, hal. 77. 28 “Bahwa pembunuhan anak harus ada bayi yang lahir dan hidup, sedangkan dalam pengguguran kandungan (abortus), apa yang keluar dari tubuh ibu adalah suatu kandungan, yang hidup tetapibelum menjadi (Onvolidragen Vrucht) atau bayi yang sudah mati (Voldragem Vrucht). Perbedaan inilah juga yang bembedakan maksimum hukuman pada pengguguran kandungan (abortus) 4 (empat) tahun kurang dari pembunuhan anak 7 (tujuh)”. Selain dari perbedaan di atas, masih ada perbedaan lain yang menjadi perbedaan pokok antara pembunuhan anak dan pengguguran kandungan (abortus) yaitu alasan yang mendorong terjadinya perbedaan pidana, baik yang tercantum di dalam Pasal 341 dan 342 KUHP maupun yang terdapat di dalam Pasal 346 KUHP. Sehubungan dengan adanya perbedaan tersebut di atas, maka Wirjono Projodikorodalam bukunya yang berjudul “Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”25 mengemukakan sebagai berikut : “Dalam hal abortus tidak diperdulikan alasan-alasan apa yang mendorong si ibu untuk melakukan, jadi tidak seperti dalam hal pembunuhan anak. Dimana disebutkan alasan atau suatu ketakutan si ibu akan diketahui lahirnya si anak”. Dalam merumuskan ancaman pidananya, pembentuk undang-undang hanya memberi batasan maksimal, yaitu 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Dengan demikian, juka seseorang pelaku abortus provocatus criminalis yang terbukti bersalah di depan pengadalin maka akan, dijatuhi hukuman pidana minimal 10 bulan dan denda Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). 25 Ibid. 29 2.2 Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Undang-Undang Di Luar KUHP Di Indonesia Dalam pengertian medis, aborsi adalah terhentinya kehamilan dengan kematian dan pengeluaran janin pada usia kurang dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram, yaitu sebelum janin dapat hidup diluar kandungan secara mandiri. 26 Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah „aborsi‟, berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Dalam kaitannya dengan hal ini, Suryono Eko Tama, dkk mengemukakan pendapat sebagai berikut : “Dari segi medis, tidak ada batasan pasti kapan kandungan dapat digugurkan. Kandungan perempuan dapat digugurkan kapan saja sepanjang ada indikasi medis untuk menggugurkan kandungan itu. Misalnya diketahui anak yang akan lahir mengalami cacat berat atau atau si ibu menderita sakit jantung ayang sangat berbahaya sekali untuk keselamatan jiwanya pada saat melahirkan nanti. Sekalipun janin itu sudah berusia 5 bulan atau 6 bulan, pertimbangan medis membolehkan dilakukan abortus provocatus”.27 Abortus Provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai macam jenis abortus. Dalam kamus Latin-Indonesia sendiri abortus diartikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau abortus provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya.28 Dengan kata lain “Pengeluaran” itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya. 26 27 28 Lilien Eka Candra, Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi sama dengan Kriminal, Lifestyle, Mei 2006, hal.10. Suryono Eko Tama, dkk, Op.Cit,hal. 35. Kusmaryanto , SC, Kontroversi Aborsi, Gramedia WIdiasarana Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 203. 30 Demikian antara lain pengertian aborsi atau pengguguran kandungan, baik menurut ilmu kedokteran, pengertian umum, maupun pengertian menurut ilmu hukum, bahwa pengguguran kandungan itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan atau dilakukan sebelum waktunya. Jenis-jenis aborsi Proses abortus dapat berlangsung dengan cara : Spontan/alamiah (terjadi secara alami, tanpa tindakan apapun); Buatan/sengaja (aborsi yang dilakukan sengaja); Terapeutik/medis (aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena terdapatnya suatu permasalahan/komplikasi). 29 Abortus secara medis dapat dibagi menjadi dua macam : Abortus Spontaneus, adalah aborsi yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis sematamata disebabkan oleh faktor alamiah. Rustam Mochtar dalam Muhdiono menyebutkan macammaam aborsi spontan :30 a) Abortus Completes, (keguguran lengkap) artinya seluruh hasil konsepsi dikeluarkan sehinga rongga rahim kosong. 29 Lilien Eka Candra, Loc.Cit. 30 Rustam Mochtar dalam Muhdiono, Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan madzab imam syafi’I dan madzab hanafi), Skripsi , UIN Yogyakarta, 2002, hal. 211. 31 b) Abortus Inkopletus, (keguguran bersisa) artinya hanya ada sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan yang tertinggal adalah deci dua dan plasenta. c) Abortus Iminen, yaitu keguguran yang membakat dan akan terjadi dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan memberikan obat-obat hormonal dan anti pasmodica. d) Missed Abortion, keadaan dimana janin sudah mati tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama dua bulan atau lebih. e) Abortus Habitulis, atau keguguran berulang adalah keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih. f) Abortus Infeksious dan Abortus Septic, adalah abortus yang disertai infeksi genital. Kehilangan janin tidak disengaja biasanya terjadi pada pada kehamilan usia muda (satu sampai tiga bulan). Dapat terjadi karena penyakit antara lain : demam, panas tinggi, ginjal, TBC, spesilis atau karena kesalahan genetik. Pada aborsi spontan tidak jarang janin keluar dalam keadaan utuh.31 Kadangkala kehamilan seorang wanita dapat gugur dengan sendirinya tanpa ada suatu 31 Yayasan Pengembangan Pedesaan, Kesehatan Reprosuksi, cet.1, Danar Wijaya, Malang, 1997, hal. 141. 32 tindakan ataupun perbuatan yang disengaja. Hal ini, sering disebut dengan “keguguran” atau aborsi spontan. Ini sering terjadi pada ibu-ibu yang masih hamil muda, dikarenakan suatu akibat yang tidak disengaja dan diinginkan ataupun karena suatu penyakit yang dideritanya. Dalam usia yang sangat muda keguuguran dapat saja terjadi, karena aktivitas ibu yang mengandung terlalu berlebihan, stress berat, berolahraga yang membahayakan keselamatan janin seperti bersepeda dan sebagainya. Abortus Provocatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Abortus Provokatus merupakan istilah lain yan secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini adalah pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Fact Abortion, “Info Kit on Women’s Health oleh Institute For Social, Studies and Action”. , Maret 1991, dalam istilah kesehatan “aborsi aborsi didefinisikan penghentian sebagai kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi Rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu”.32 Di Indonesia belum ada batasan resmi mengenai pengguguran kandungan (aborsi). “Aborsi didefinisikan sebagai terjadinya keguguran 32 http//www.lbh-apik.or.id/fact-32.,htm, Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, diakses Tanggal 22 April 2010. 33 janin, melakukan aborsi sebagai pengguguran kandungan (dengan sengaja karena tidak mengiginkan bakal bayi yang dikandung itu)”.33 Berkaitan dengan masalah aborsi di Indonesia telah mengatur hal-hal tentang aborsi yaitu di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana terdapat di dalam Pasal 29, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan khususnya dalam Pasal 15. Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992 : 1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan medis tertentu. 2) Tindakan medis tertentu sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut : a) Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan wewenang untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli. b) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya. c) Pada sarana kesehatan tertentu, sementara itu dalam penjelasan resmi dari ayat (1) itu dakatakan bahwa : “Tindakan 33 JS. Badudu dan Sultan Muhammad Zair, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996, hal. 15. 34 medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilaranag karena bertentangan dengan norma agama, norma hukum, norma kesusilaan, dan norma kesopanan”. Namun, dalam keadaan darurat sebagai upaya penyelamatan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan medis tertentu. Sedangkan di dalam UU No. 23 Tahun 1992, terdapat beberapa hal yang dapat di uraikan sebagai berikut : 1) Aborsi hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai cara untuk menyelamatkan ibunya, jadi, aborsi yang dilakukan karena alasan lain, jelas-jelas dilarang. Alasan lain ini misalnya bayi cacat, jenis kelaminnya tidak sesuai dengan yang diinginkan orang tuanya, kehamilan tidak dikehendaki, (bias termasuk perkosaan), incest, gagal KB , dan lain sebagainya. 2) Yang sering disebut-sebut sebagai indikasi medis, sebenarnya tidak secara langsung disebutkan oleh UU itu,tetapi tafsir Pasal 15 ayat (1) itu kemudian diperluas menjadi indikasi medis. Namun, jelas bahwa tafsir dan kontroversi Pasal 15 ayat (1) itu sangat aneh, sebab disitu berarti bahwa kemungkinan indikasi medis itu untuk menyelamatkan janin. Padahal hasil aborsi adalah kematian janin, bukan untuk menyelamatkan janin. Indikasi medis ini sangat terbatas, yakni hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai unpaya untuk menyelamatkan nyawa ibu (dan anaknya). Indikasi medis yang tidak membahayakan nyawa ibu , tidak boleh 35 menjadi alasan untuk menggugurkan kandungan, sebab ia tidak membahayakan nyawa ibu. 3) Indekasi medis itu tidak sama dengan indikasi kesehatan. Oleh karena itu, alasan demi kesehatan baik ibu maupun janin tidak boleh menjadi alasan untuk aborsi. Misalnya, ibu yang mengandung dan kesehatannya terganggu, tetapi gangguan itu tidak mengancam nyawanya, maka ini tidak menjadi alasan untuk melakukan aborsi. 4) Rumusan undang-undang ini dirasakan tidak mencukupi untuk menyelesaikan masalah aborsi dewasa ini. Sebab, UU kesehatan tidak sejalan dengan KUHPidana yang menyatakan segala macam aborsi dilarang, sedangkan dalam UU kesehatan abortus medicalis trapiticus bisa dilakukan. Padahal kedua-duanya berlaku di Indonesia. Mencermati ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 khususnya Pasal 75 ayat (2) huruf b yang mengatur tentang aborsi karena alasan darurat dalam hal ini adalah adanya trauma psikologis yang dialami oleh wanita hamil sebagai akibat tindak pidana perkosaan yang dialaminya. Pada akhirnya penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung para penegak hukum untuk menegakkan keadilan terutama bagi perempuanyang jelas-jelas berkedudukan sebagai korban perkosaan. Pendapat ahli hukum masa kini, sudah seharusnya menjadi pertimbangan dalam rangka menjatuhkan pidana, jadi tidak semata-mata didasarkan pada bunyi undang-undang, akan tetapi juga memperhatikan latar belakang 36 perbuatan dilakukan. Hal ini, pun dalam proses pembuktiannya juga tidak mudah, Karena harus dibuktikan lebih dahulu perkosaannya. Dengan demikian, alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan aborsi apabila tindakan perkosaan tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti. Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang yang benar-benar belum pernah dikenal oleh korban, tetapi juga telah dikenal sebelumnya bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban. Apabila aborsi karena perkosaan dijadikan pengecualian sebagaimana alasan medis, maka kriteria dijadikan pengecualian harus benar-benar jelas dan tegas, sehingga tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, akibatnya aborsi marak dilakukan. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 memperbolehkan praktek aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dengan persyaratan dilakukan oleh tenaga yang kompenten, dan memenuhi ketentuan agama dan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dialami oleh seorang wanita akan menimbulkan derita fisik, psikis dan sosial pada dirinya. Penderitaan tersebut akan terus berlanjut apabila korban ternyata mengalami kehamilan. Berbeda dengan kehamilan yang tidak dikehendaki lainnya, misalnya kegagalan dalam penggunaan alat kotrasepsi dalam Keluarga Berencana (KB) atau dalam hubungan seks pranikah. Kehamilan karena perkosaan lebih sulit dan berat diterima oleh perempuan atau keluarganya. Sebenarnya korban perkosaan yang hamil dapat memilih satu dari dua alternatif untuk menyikapi kondisinya tersebut, meneruskan kehamilan 37 yang tidak dikehendaki atau melakukan abortus provocatus, tentu dengan masing-masing resiko. Apabila memilih meneruskan kehamilannya, ia harus siap menjadi orang tua tunggal tanpa suami, disamping itu secara sosiologis hal tersebut merupakan pilihan yang berat mengingat kondisi sosialkultural masyarakat Indonesia yang masih memandang rendah, bahkan menabuhkan seorang perempuan yang hamil tanpa suami sah. Sedangkan jika alternatif kedua yang dipilih, resiko keselamatan jiwa bisa terancam. Kalaupun abortus provocatus dapat dilakukan dengan selamat, ancaman sanksi pidan asudah menghadang apabila terbukti abortus provocatus yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana di tentukan dalam undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perlindungan hukum terhadap perempuan yang diberikan terhadap perempuan korban perkosaan yang melakukan pengguguran kandungan (abortus provocatus) menjadi hak dari perempuan tersebut. Artinya pengguguran kandungan (abortus provocatus) yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan diperbolehkan. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, salah satu pengecualian terhadap peremouan untuk melakukan aborsi adalah kehamilan akibat perkosaan yang mengakibatkan trauma psikologis bagi perempuan korban perkosaan tersebut. Tekanan psikologis yang dialami oleh perempua yang mengadung karena perkosaan, dapat dimasukkan sebagai indikasi medis untuk melakukan pengguguran kandungan asalkan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, sebagai dasar hukum melegalkan tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan oleh korban perkosaan, termasuk mereka dalam 38 hal ini, adalah tenaga kesehatan yang berkompenten dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan pengguguran kandungan. Dengan demikian, Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang abortus provocatus medicalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda dengan rumusan abortus provocatus criminalis menurut KUHP. 39 40 BAB III PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA 3.1 Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia Berdasarkan KUHP Pada ketentuan Pasal 13 huruf (b) UU No. 2 Tahun 2002, disebutkan bahwa salah satu tugas pokok Kepolisian adalah untuk menegakkan hukum selanjutnya pada Pasal 14 ayat (1) huruf (g) disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : …….melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnnya.” Berkaitan dengan wewenang penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, Pasal 15 ayat (1) UU No. 2 Tahun menyebutkan bahwa : Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang : 1) Menerima laporan dan/atau pengaduan (huruf a); 2) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan (huruf f); 3) Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian (huruf g); 4) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang (huruf h); 5) Mencari keterangan dan barang bukti (huruf i). 40 Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa : Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang : a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksan tanda pengenal diri; e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Dalam menanggulangi masalah kejahatan, tentunya diperlukan partisipasi masyarakat untuk melaporkannya pada pihak yang berwajib dalam hal ini adalah penyelidik, yaitu “Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berwenang melakukan penyelidikan” (Pasal 4 KUHAP). 41 “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini” (Pasal 1 butir 5 KUHAP), atau secara sederhana dapat didefinisikan bahwa penyelidikan adalah serangkaian kegiatan penyelidik guna mengumpulkan data-data tentang suatu peristiwa yang diduga tindak pidana, guna menentukan apakah peristiwa yang diselidiki itu benar-benar merupakan suatu tindak pidana itu tersedia data dan faktanya untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Di dalam organisasi kepolisian di pakai istilah reserse yan tugas utamanya tentang penerimaan laporan dan pengaturan serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana Van Bemmelen, tahap penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.34 Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri yang terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu atau metode atau merupakan sub dari pada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian penyidikan dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Latar belakang, motivasi, dan urgensi diintroduksikan fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan 34 KUHAP. 42 penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa, perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan pada data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi memang benar sebagai peristiwa tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan kepada proses penyidikan. Jadi, sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan terlebih dahulu tindakan penyelidikan untuk mendapatkan bukti permulaan yang cukup guna dapat dilakukan tindak lanjut yang berupa penyidikan. Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 5 KUHAP, penyidik berwenang : a. Karena ditentukan oleh undang-undang untuk : 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. 2) Mencari keterangan dan barang bukti. 3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. 4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. Atas perintah penyidik, penyidik dapat melakukan tindakan berupa : 1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan. 2) Pemeriksaan dan penyitaan surat. 43 3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. 4) Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik. Berdasarkan pada wewenang tersebut, yang dijadikan pokok perhatian adalah wewenang penyelidik dalam menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Laporan dari masyarakat khususnya dari korban sangatlah penting dalam membantu aparat penegak hukum. “Laporan adalah suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana (KUHAP Pasal 1 butir 24)”. Terdapat persamaan dan perbedaan antara laporan dengan pengaduan Persamaannya adalah bahwa baik laporan maupun pengaduan keduanya sama-sama berisi pemberitahuan seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang suatu tindak pidana yang telah atau akan terjadi. Perbedaan antara laporan dengan pengaduan adalah : 1) Laporan diajukan dalam tindak pidana biasa, sedang pengaduan diajukan dalam hal tindak pidana aduan. 2) Laporan tidak menjadi syarat penuntutan, sedangkan pengaduan adalah syarat penuntutan, artinya tanpa pengaduan tersebut penuntutan tidak dapat dilakukan. 3) Laporan dapat diajukan oleh setiap orang, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang tertentu, yakni orang yang berhak untuk mengajukan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 72 KUHP. 44 4) Pengajuan laporan tidak terikat oleh batas waktu tertentu, sedangkan pengajuan pengaduan dibatasi oleh tenggang waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 74 KUHP. 5) Laporan yang telah diajukan tidak dapat dicabut kembali, sedangkan pengaduan yang telah diajukan dapat dicabut kembali dalam tempo tiga bulan sejak diajukannya pengaduan itu. (Pasal 75 KUHP) 6) Dalam pengaduan harus ditegaskan adanya permintaan agar terhadap pelaku tindak pidana itu diambil tindakan hukum, sedangkan dalam laporan hal itu tidak perlu dikemukakan. Adapun orang yang berhak mengajukan laporan berdasarkan Pasal 108 KUHAP adalah : a) Setiap orang yang mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. b) Sestiap orang yang melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. c) Setiap orang yang menyaksikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. d) Setiap orang yang menjadi korban dari peristiwa tindak pidana. (kajian umum) e) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap : 1) Ketentraman umum dan keamanan umum; 45 2) Jiwa atau hak milik. f) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Apabila seorang penyelidik atau penyidik menerima laporan maupun suatu informasi tentang terjadinya suatu tindak pidana, maka ia wajib segera mengambil langkah-langkah guna mengetahui sejauh mana kebenaran laporan atau informasi tersebut. Berdasarkan data dan fakta yang diperolehnya, penyelidik menentukan apakah peristiwa tersebut benar-benar merupakan tindak pidana dan apakah terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan. Hasil-hasil yang diperoleh dengan dilaksanakannya penyelidikan tersebut menajdi bahan bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Untuk dapat menentukan suatu peristiwa sebagai tindak pidana, maka penyelidik harus memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi suatu peristiwa sebagai tindak pidana dengan mempergunakan ilmu pengetahuan hukum pidana. Segala kegiatan penyelidikan diarahkan guna memperoleh apa yang dinamakan “7-P emas”, yaitu tujuh pertanyaan yang terdiri dari : 1) Siapa yang melakukan kejadian itu, siapa saksinya, siapa pelapornya, dan siapa korbannya?. 2) Apa yang terjadi sebenarnya dan apa akibat dari kejadian tersebut? 3) Di mana tempat kejadian itu terjadi? 4) Dengan menggunakan alat-alat apa kejadian tersebut dilakukan? 46 5) Mengapa kejadian itu terjadi? 6) Bagaimanakah kejadian itu dilakukan? 7) Kapan kejadian itu dilakukan? 3.2 Mekanisme Penegakan Hukum Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Diluar KUHP Dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia memang melarang tindakan aborsi kecuali tindakan abortus provocatus medicalis, tetapi dalam kenyataannya di masyarakat masih banyak kasus aborsi dan ada juga yang secara terang-terangan melakukan praktik aborsi. Ada istilah yang dipakai dalam masyarakat saat ini untuk melakukan aborsi yaitu determinasi kehamilan atau menstruation regulation. Aborsi memamng mengundang banyak kontroversi, misalnya menganai hak janin dan hak ibu hamil, atau mengenai awal konsep kehidupan, apakah sejak terjadinya konsepsi atau beberapa minggu/bulansetelah itu. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan timbulnya dua aliran berbeda memperdebatkan masalah aborsi. Menurut K. Bertens, gerakan Pro yang Life menekankan hak janin untuk hidup. Bagi mereka mengaborsi janin sama dengan pembunhunan (Murder) gerakan Pro Choice mengedepankan pilihan perempuan mau melanjutkan kehamilannya atau mengakhirinya dengan aborsi. Bagi mereka perempuan mempunyai hak untuk memilih dua kemungkinan itu, orang lain dalam masalah ini tidak dapat ikut campur. Forum Kesehatan Perempuan mengusulkan legalisasi aborsi seperti yang dikutip oleh K. Bertens : 1) aborsi hanya dipraktekkan dalam klinik atau 47 fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah dan organisasi-organisasi profesi medis; 2) aborsi hanya dilakukan oleh tenaga professional yang terdaftar dan memperoleh izin untuk itu, yaitu dokter spesialis kebidanan dan ginetologi atau dokter umum yang mempunyai kualifikasi untuk itu; 3) aborsi hanya dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu (untuk usia diatas 12 minggu ada indikasi medis); 4) harus disediakan konselingbagi perempuan sebelum dan sesudah aborsi; 5) harus ditetapkan tarif baku yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat35. Pertentangan antara pandangan tersebut memang masih dirasakan sampai sekarang, tetapi sampai sekarang belum ada pemecahan yang objektif yang harus dipilih oleh masyarakat khususnya bagi mereka yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Sebenarnya, beberapa negara yang melegalkan aborsi memberi pilihan yang layak bagi ibu-ibu yang memiliki anak di luar nikah. Selain terjadinya klinik aborsi dimana-mana, jika perempuan memutuskan menyimpan janin yang dia kandung, biasanya tersedia dua alternatif : sebagai Single Mother, atau pengaturan adopsi untuk bayi tersebut. Sebagai Single Mother dia beserta bayinya akan mendapatkan dukungan material, seperti tunjangan makanan, kesehatan, biaya hidup bahkan sekolah bagi anak dari pemerintah. Tetapi Pemerintah Indonesia tidak akan mampu untuk melakukan hal tersebut melihat perekonomian negara yang sedang mengalami krisis, jangankan mengharapkan tunjangan perlakuan manusiawi pun sulit di dapat bagi perempuan yang bernasib seperti ini. Perdebatan antara pandangan Pro Life dan Pro Choice memang tidak akan pernah selesai dan merupakan pilihan sulit bagi masyarakat yang 35 Bertens : 2002. 48 mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, dan untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki. Pokok dari permasalahan Abortus Provocatus ini adalah karena adanya kehamilan yang tidak dikehendaki, dan untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki tersebut harus ada upaya-upaya dari pemerintah dan masyarakat dalam mencegah permasalahan ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan perbuatan yang lebih progresif kearah perluasan akses penggunaan alat kontrasepsi kepada semua perempuan yang potensial mengalami kehamilan, tidak hanya pada pasangan resmi. Tanpa adanya keberanian untuk melakukan perubahan seperti itu, angka kehamilan yang tidak di kehendaki akan tetap tinggi. Tetapi apabila perempuan telah terlanjur mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, hal yang perlu dipertimbangkan perempuan tersebut dalah masa depan anak dan masa depan perempuan yang melahirkan anak tersebut. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang Kesehatan sebelumnya yaitu UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992, melalui Pasal 75, 76, dan 77 memberikan penegasan mengenai peraturan pengguguran kandungan (abortus provocatus). Berikut ini adalah uraian mengenai pengaturan aborsi yaitu : Pasal 75 : (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud dikecualikan berdasarkan : pada ayat (1) dapat 49 a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan ; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan di akhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompenten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi di hitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dan (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 76 : Aborsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan : a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu; b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan wewenang yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77 : Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tersebut, jika dikaitkan dengan aborsi karena kehamilan tidak dikehendaki akibat perkosaan, maka dapat disimpulkan : Pertama, secara umum praktik aborsi dilarang; Kedua, larangan terhadap praktik dikecualikan pada beberapa keadaan, kehamilan terhadap perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Selain itu tindakan 50 medis terhadap aborsi kehamilan yang tidak dikehendaki akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila : (1) Setelah melalui konseling dan/ atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompenten dan berwenang. (2) Dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. (3) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewengan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Menteri. (4) Dengan persetujuan ibu hamil bersangkutan; dan (5) Penyedia layanan kesehatan. Apabila dihubungkan dengan aborsi karena kehamilan tidak dikehendaki akibat perkosaan, dimana kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan dapat dijadikan alasan darurat untuk melakukan aborsi sebenarnya perlu menjadi pertimbangan dalam menerapkan sanksi pidana, khususnya bagi para penegak hukum (hakim). Karena janin yang diaborsi adalah sebagai akibat pemaksaan hubungan dengan ancaman kekerasan. Perkosaan sendiri merupakan suatu tindak pidana yang pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana penjara 12 (dua belas) tahun sesuai Pasal 285 KUHP. Sedangkan, korbannya harus mendapatkan perlindungan hukum yang salah satu caranya adalah mengembalikan kondisi jiwanya akibat tekanan daya paksa dari pihak 51 lain (tekanan psikologis). Alasan tekanan psikologis akibat perkosaan inilah yang seharusnya dijadikan pertimbangan untuk menentukan bahwa aborsi akibat perkosaan sebagai suatu pengecualian, sehingga seharusnya legal dilakukan. Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan sebelum terjadi sampai terjadinya suatu kejahatan dan memperbaiki perilaku dari pelaku kejahatan yang dinyatakan bersalah dan dihukum di penjara Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai teori perwujudan kearah sistem pembinaan dan pendidikan. 3.2.1 Upaya penanggulangan Provocatus Criminalis. dan pencegahan kejahatan Abortus Di dalam rangka menanggulangi setiap kejahatan secara umum terdapat dua metode, yaitu : a. Preventif, yaitu usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan atau tindak pidana. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam hal ini adalah dengan membentuk program-program kemasyarakatan dan organisasi-organisasi pertahanan masyarakat. b. Represif, yaitu penanggulangan kejahatan setelah terjadinya kejahatan tersebut. Dalam hal ini, yaitu proses penanganan suatu tindak pidana yang di mulai dari penyelidikan sampai pada tahap persidangan di pengadilan. Munurut, Reckles dalam The Crime Problem, yang secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut : 52 1) Peningkatan dan pemantapan aparatur penegak hukum, meliputi pemantapan organisasi, personal, dan sarana-prasarana untuk menyelesaikan perkara pidana. 2) Perundang-undangan yang dapat berfungsi menganalisir dan membendung kejahatan dan mempunyai jangkauan ke masa depan. 3) Mekanisme peradilan pidana yang efektif dan memenuhi syaratsyarat cepat, tepat mudah, dan sederhana. 4) Koordinasi antar aparatur penegak hukum dan aparatur pemerintahan lainnya yang berhubungan, untuk meningkatkan daya guna dalam penanggulangan kriminalitas. 5) Partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran pelaksanaan penanggulangan kriminalitas. Penggarapan kelima unsur ini merupakan konsep umum penerapannya dalam bentuk perintah operasional harus disesuaikan pada waktu dan tempat yang tepat dan selaras dengan kondisi masyarakat. Tetapi, kiranya perlu disinggung suatu asas umum dalam penanggulangan kejahatan (Crime Prevention) yang banyak dipakai oleh Negara-negara maju. Asas ini merupakan gabungan dari 2 (dua) sistem, yaitu : 1) Moralistik, dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan. 53 2) Abolionistik, berusaha menanggulangi kejahatan dengan memberantas sebab-sebabnya. Untuk memperkuat daya kemampuan operasional penaggulangan perlu pula dipadukan tiga kemauan (will), yaitu Political Will, Social Will dan Individual Will. Kehendak pemerintah (Plitical Will) dengan berbagai upaya, perlu didukung pula oleh citra sosial (Socia Will) melalui berbagai media melancarkan penerapan keinginan pemerintah. Dan kekuatan besar yang tidak boleh dilupakan adalah Human atau Individual Will, berupa kesadaran untuk patuh dan taat pada hukum serta senantiasa berusaha mengindarkan diri untuk tidak berbuat kejahatan. 3.2.2 Kendala-kendala yang dihadapi dalam menangani kejahatan Abortus Provocatus Criminalis. Dalam menghadapi kasus abortus provocatus criminalis ini tidak semudah yang dibayangkan. Sesuai dengan teori mungkin bisa diungkap dengan tepat dan cepat, serta secara pasti, tetapi tidak demikian. Banyak sekali kendala yang harus dihadapi. Kendala yang pertama adalah dari masyarakat itu sendiri. Kurangnya pengetahuan tentang pergaulan bebas tersebut yang akhirnya membuahkan sesuatu yang tidak diinginkan. Masyarakat yang mengganggap hla tersebut adalah sebagai aib yang harus ditutupi tak segan melakukan tindakan aborsi. Dalam keadaan seperti ini mereka rela mengeluarkan uang berjuta-juta rupiah bagi para dokter peralatan pendukung untuk membuktikan kasus kejahatan Abortus Provocatus Criminalis asal bersedia melakukan tindakan 54 pengguguran kandungan. Dan bagi banyak masyarakat tindakan ini adalah tindakan yang paling benar untuk menutupi sebuah malu. Padahal dari tindakan tersebut tidak sedikit yang harus kehilangan nyawa tau setidaknya mereka mengalami keadaan dimana rahim mereka rusak dan tidak akan dapat lagi memiliki anak. Kesadaran masyarakat yang amat sangat diperlukan dalam menuntaskan masalah ini. Di samping itu, karena kasus ini bukan merupakan kasus delik aduan maka agak sulit untuk menuntaskan kasus ini hingga keakarnya, karena mereka yang tahu dengan masalah ini enggan untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Kendala yang lain yang mungkin menjadi penyebab sulitnya mengungkap kasus Abortus Provocatus Criminalis adalah pihak kepolisian sering sekali sulit mengidentifikasi hasil dari barang bukti Abortus Provocatus Criminalis. Karena dari hasil-hasil dari perbuatan tersebut sering sudah hancur atau dibuang entah kemana. Arif Gosita dalam bukunya Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan mengatakan bahwa: “Dalam kasus aborsi, janin ditolak sebagai makhluk hidup dan dianggap sebagai objek mati. Oleh karena diformulasikan seperti itu maka penghancurannya saat itu tidak dianggap sbagai suatu pembunuhan dan tidak menimbulkan kemarahan moral atau pertentangan moral seperti pada kasus pembunuhan lain.36” Sudah menjadi opini publik bahwa salah satu latar belakang aborsi dilarang undang-undang adalah bertentangan dengan moral masyarakat dan atau moral agama. Apabila dihubungkan dengan pendapat tersebut, 36 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Keterangan), Akademika Presindo, Jakarta, 1985, hal. 88. 55 sebenarnya yang menentang moral adalah pemerkosaannya bukan orang yang melakukan aborsi. Aborsi merupakan akibat dari tindakan orang biadab yang memperkosa perempuan, sehingga perempuan tersebut menjadi hamil. Perempuan dalam hal ini adalah sebagai korban dari rentetan tindak pidana perkosaan yang dilakukan terhadapnya berakibat hamil maka janin yang dikandungnya adalah dianggap sebagai objek yang mati . oleh karena, dianggap sebagai objek yang mati maka penggugurannya, dianggap legal untuk dilakukan. Apabila dihubungkan dengan Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), sebenarnya Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang pengecualian melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan, mengakui adanya daya paksa bagi siapa yang melakukan aborsi. Ketentuan tentang Overmacht atau daya paksa yang terdapat dalam Pasa 48 KUHP, yaitu : “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.37 Dari ketentuan Pasal 48 KUHP tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu paksaan atau tekanan yang tidak dapat dihindarkan. Adapun paksaan itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan suatu ancaman yang membahayakan diri dan jiwanya. Tentu saja dalam hal ini, orang yang diancam tersebut mempunyai dugaan kuat bahwa ancaman itu benar-benar akan dilaksanakan apabila ia menolak mengerjakan sesuatu yang dikehendaki pemaksa. 37 Ibid, hal.23. 56 Daya paksa (Overmacht) ini merupakan alasan pemaaf. Dalam alasan pemaaf ini, seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dijatuhi pidana karena tidak adanya kesalahan. Artinya perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap besifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana. Tetapi, ia tidak dipidana karena tidak adanya kesalahan. Dengan demikian, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Karena, Overmacht sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48 KUHP hanya memuat alasan pemaaf, artinya perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum, tetapi kesalahannya bisa dimaafkan karena pengaruh daya paksa tadi. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana, sedangkan ia berada dibawah pengaruh daya paksa sehingga ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana. Hal ini, mencerminkan rasa keadilan, sebab orang tersebut melakukan perbuatan pidana karena dorongan tidak mampu dilawannya, misalnya mengancam keselamatannya. Dihubungan dengan teori tersebut, dalam kasus Abortus Provocatus pada korban pemerkosaan terjadi konflik antara 2 (dua) hak, yakni hak perempuan yang hamil bertentangan dengan hak janin. Dengan demikian untuk menentukan apakah perempuan yang melakukan Abortus Provocatus atas kandungannya dapat dipidana atau tidak dapat dinilai dari kepentingan manakah yang lebih utama.38 Hak janin untuk untuk tetap hidup atau hak perempuan untuk tetap menjalankan hidupnya tanpa tekanan psikologis dan sosial. 38 Suryono Eko Tama, dkk, Op.Cit, hal.194. 57 Mencermati ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 khususnya Pasal 75 ayat (2) huruf b yang mengatur tentang aborsi karena alasan darurat (pemaksa) dalam hal ini adalah adanya trauma psikologis yang dialami oleh wanita hamil sebagai akibat tindak pidana perkosaan yang dialaminya. Pada akhirnya penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung pada para penegak hukum untuk menegakkan keadilan terutama bagi perempuan yang jelas-jelas sebagai korban perkosaan. Padahal ahli hukum masa kini, sudah seharusnya menjadi pertimbangan dalam rangka menjatuhkan pidana, jadi tidak semata-mata didasarkan pada bunyi undang-undang, akan tetapi juga memperhatikan memperhatikan latar belakang perbuatan dilakukan. Hal inipun dalam proses pembuktianya juga tidak mudah, karena harus dibuktikan lebih dahuku perkosaannya. Dengan demikian, alasan psikologis tidak cukup dijadikan alasan aborsi apabila tindakan perkosaannya tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti. Mengingat dewasa ini perkosaan tidak hanya murni dilakukan oleh orang yang benar-benar belum kenal oleh korban, tapi juga telah dikenal sebelumnya bahkan memiliki hubungan dekat dengan korban. Apabila aborsi Karena perkosaan dijadikan pengecualian sebagaimana alasan medis, maka kriteria yang dijadikan pengecualian harus benar-benar jelas dan tegas, sehingga tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, akibatnya aborsi marak dilakukan. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 memperbolehkan praktek aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dengan persyaratan dilakukan oleh tenaga yang kompenten, dan memenuhi ketentuan agama dan perundang-undangan yang berlaku. 58 Perkosaan yang dialami oleh seorang wanita akan menimbulkan derita fisik, psikis dan sosial pada dirinya. penderitaan tersebut akan terus berlanjut apabila korban ternyata mengalami kehamilan. berbeda dengan kehamilan yang tidak dikehendaki lainnya, misalnya kegagalan karena dalam pemakaian alat kontrasepsi dalam Keluarga Berencana (KB) atau karena dalam hubungan seks pranikah. kehamilan karena perkosaan lebih sulit dan berat diterima oleh perempuan dan keluarganya. Sebenarnya korban perkosaan yang hamil dapat memilih satu dari dua alternatif untuk menyikapi kondisinya tersebut, meneruskan kehamilan yang tidak dikehendaki atau melakukan Abortus Provocatus, tentu dengan masing-masing resiko. Apabila memilih untuk meneruskan kehamilannya, ia harus siap menjadi orang tua tunggal tanpa suami, disamping itu secara sosiologis hal tersebut merupakan pilihan yang sangat berat mengingat kondisi sosialkultural masyarakat Indonesia yang masih menganggap rendahbahkan menabuhkan seorang wanita yang hamil tanpa suami sah. Sedangkan, jika alternatif kedua yang dipilih, resiko keselamatan jiwa bisa mengancam. Kalaupun Abortus Provocatus dapat dilakukan dengan selamat, ancaman sanksi pidana sudah menhadang, apabila terbukti Abortus Provocatus yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor Nomor 36 Tahun 2009tentang Kesehatan, perlindungan hukum yang diberikan terhadap perempuan korban perkosaan yang melakukan pengguguran kandunganmenjadi hak dari perempuan tersebut. Artinya pengguguran kandungan yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan diperbolehkan. Seperti yang disebutkan dalam 59 Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, salah satu pengecualian terhadap perempuan melakukan aborsi adalah kehamilan akibat dari perkosaan yang mengakibatkan trauma psikologis bagi korban perkosaan tersebut. Tekanan psikologis yang dialami perempuan yang mengandung karena perkosaan, dapat dimasukkan sebagai indikasi medis untuk melakukan pengguguran kandungan asalkan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, sebagai dasar hukum untuk melegalkan tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan oleh korban perkosaan, termasuk dalam hal ini adalah tenaga kesehatan yang berkompeten dan memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan pengguguran kandungan tersebut. 60 61 BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil kajian penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 4.1.1 Pengaturan hukum tentang aborsi diatur dalam KUHP dan UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menurut pengaturan hukum, dalam hukum Pidana Indonesia (KUHP) Abortus Provocatus Criminalis dilarang memandang latar dan diancam belakang hukuman dilakukannya pidana dan rang tanpa yang melakukan yaitu semua orang baik pelaku maupun penolong Abortus. Ini diatur dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Sedangkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 75, 76, dan 77 jo Pasal 194 tentang Ksehatan memberikan pengecualian Abortus dengan alasan medis yang dikenal dengan Abortus Provocatus Medicalis mengenai legalisasi aborsi d Indonesia masih menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Masyarakat yang pro menilai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan merupakan hal yang bisa dilakukan jika memang nantinya anak yang dilahirkan akan membawa tekanan psikis terhadap wanita tersebut dan aborsi sah saja dilakukan karena tidak merugikan orang lain karena yang merasakan sakit adalah wanita tersebut. Mengenai legalitas aborsi, menurut pandangan masyarakat tidak 61 boleh dilakukan kecuali karena indikasi kedaruratan medis, karena janin di dalam kandungan punya hak untuk hidup dan jika aborsi dilegalkan maka akan menggeser nilai-nilai norma dalam masyarakat. 4.1.2 Untuk pengaturan penegakan hukum mengenai tindak pidana aborsi yang berlandaskan atas UUD, KUHP, KUH Perdata, UU HAM, UUPA, dan Hukum Positif di Indonesia dan rancangan undang-undang lainnya sebaiknya hak anak dalam kandungan atau janin merupakan bagian dari hak asasi manusiayang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai denagn harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu penyelenggara perlindungan anak sebaiknya berdasarkan Pancasila dan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (setelah perubahan) serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak. 4.2 SARAN 4.2.1 Perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan perundangundangan yang mengatur masalah aborsi yakni penjelasan tentang yang dimaksud dengan abortus dan abortus bagi korban perkosaan. 62 4.2.2 Perlu kerjasama antara penegak hukum yakni pihak kepolisian, kejaksaan, dan para hakim dengan pihak dokter forensik dan juga peran aktif masyarakat dalam menangani kasus abortus criminalis. 63 DAFTAR BACAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945 (SESUDAH AMANDEMEN) KUHP KUHAP UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 BUKU Alam A. S. dan Amir Ilyas, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi, Makassar, 2010. Asshiddiqie Jimmly. Badudu. JS dan Zair Muhammad Sultan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996. Bertens. K. : 2002. Candra Eka Lilien, Tanpa Indikasi Medis Ibu, Aborsi sama dengan Kriminal, Lifestyle, Mei 2006. Candra Eka Lilien, Loc.Cit. Charisdiono Achadiat, Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran, Buku Kedokteran, Jakarta, 2007 Gosita Arif, Masalah Korban Kejahatan Akademika Presindo, Jakarta, 1985. (Kumpulan Keterangan), Kusuma Perdana Musa, Bab-Bab Tentang Kedokteran Forensik, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. Lamintang. P.A.F, Putusan Hoge Raad, Tahun 1979. 64 Manopo Abas, Aborsi dan Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah Simposium Aborsi, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 1948. Mochtar Rustam dalam Muhdiono, Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan madzab imam syafi’I dan madzab hanafi), Skripsi , UIN Yogyakarta, 2002. Mutiara Dali, Kejahatan dan Pelanggaran Kriminal Sehari-hari, Tahun 1957. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Word Health Organozation, 2008. Projodikoro Wirjono, Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Tahun 1980. Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik, Yang Berkembang Dalam Masyarakat, Bagian Hukum Pidana FH UAJY , Yogyakarta, 2007, hal : 16-17. Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pengguguran Kandungan, dalam Departemen Kesehatan R. I, Kumpulan Naskah-Naskah Ilmiah Dalam Simposium, Jakarta, 2007. SC, Kusmaryanto , Kontroversi Aborsi, Gramedia WIdiasarana Indonesia, Jakarta, 2002. Siregar Basri Hasnil, Pengantar Hukum Indonesia, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1994. Soesilo. R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta KomentarKomentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Tahun 1985. Soesilo. R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Tahun 1985. Tama Eko Suryono, dkk, Op.Cit. Tama Eko Suryono, dkk, Op.Cit. Yayasan Pengembangan Pedesaan, Kesehatan Reprosuksi, cet.1, Danar Wijaya, Malang, 1997. 65 INTERNET http://D.M Purba .blogspot.com/2011/07/abortus dan Undang-undang abortus, RS. Dr. Pringadi diakses 07 Desember 2011. http//www.lbh-apik.or.id/fact-32.,htm, Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, diakses Tanggal 22 April 2010. KAMUS Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Kartika, Surabaya, 1997. Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press. 66